Anda di halaman 1dari 341

Kado 1 Abad Al Muhsinun

Burung-Burung Kertas i
ii Burung-Burung Kertas
Antologi Esai dan Cerpen
Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen
bagi Remaja Tahun 2013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Burung-Burung Kertas iii


BURUNG-BURUNG KERTAS
Antologi Esai dan Cerpen
Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun 2013

Penyunting
Yohanes Adhi Satiyoko
Aji Prasetyo

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh:


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34
Yogyakarta 55224
Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667
Laman www.balaibahasa.org

Cetakan Pertama
Desember 2013

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


BURUNG-BURUNG KERTAS; Antologi Esai dan Cerpen Pemenang
Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2013, Yohanes Adhi Satiyoko,
Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013
(xii, 244 hlm.; 21cm)
ISBN 978-602-777-785-9

iv Burung-Burung Kertas
KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga


hari ini, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Un-
dang Nomor 24 Tahun 2009, yang dipertegas lagi dalam Permen-
dikbud Nomor 21 Tahun 2012, mengemban tugas sebagai lembaga
pembina dan pengembang bahasa dan sastra Indonesia dan Dae-
rah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu,
Balai Bahasa Provinsi DIY selalu menyelenggarakan kegiatan
yang berkenaan dengan pembinaan kebahasaan dan kesastraan.
Lomba penulisan kebahasaan dan kesastraan yang diejawantahkan
dalam lomba menulis esai dan cerpen bagi remaja DIY
diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi DIY sebagai bentuk
penjaringan dan pembi- naan generasi muda yang bertalenta
menulis karya kebahasaan dan kesastraan.
Sasaran kegiatan pembinaan proses kreatif yang dilakukan
pada tahun ini tertuju pada remaja, khususnya mereka yang ber-
usia 13—19 tahun. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
generasi mudalah yang kelak diharapkan menjadi generasi yang
kreatif, inovatif, dan mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasio-
nal, maupun internasional. Generasi mudalah yang di masa
datang juga akan menjadi pemegang kendali kekuatan dan
kesejahteraan bangsa; dan oleh karenanya, sejak dini mereka
harus dibekali de- ngan kepekaan yang tinggi, wawasan yang
tajam, dan sikap yang kritis sehingga kelak mampu menghadapi
segala tantangan dan hambatan. Dan kita yakin, bekal semacam
itu, niscaya dapat diper- oleh dari belajar berproses kreatif
menulis, di antaranya menulis esai dan cerpen.

Burung-Burung Kertas v
Sejumlah karya “terbaik’ hasil nominasi esai dan cerpen
buku antologi ini adalah bukti bahwa remaja di DIY, mampu
“mencipta” sesuatu (karangan) melalui proses kreatif
(perenungan dan pemikiran); dan di dalamnya mereka
menunjukkan bahwa mereka memiliki ketajaman penglihatan dan
kepekaan menangkap problem-problem sosial dan kemanusiaan
yang dihadapinya. Untuk itu, kegiatan kreatif-kompetitif ini perlu
terus dipertahankan dan dikembangkan untuk menghasilkan
generasi yang aktif- kreatif-kompetitif sebagai generasi yang
“pilih tanding” bagi negara dan bangsa Indonesia.

Yogyakarta, September 2013

Drs. Tirto Suwondo, M.Hum.

vi Burung-Burung Kertas
MENGUNGGAH DIRI

Menulis karya sastra adalah menggambar kehidupan dalam


remasan jari. Rupa remasan itu menyimpan ribuan bahkan
jutaan cerita yang siap dihadirkan untuk dinikmati. Karya sastra
menjadi sebuah cermin mini yang bisa membiaskan catatan
kehidupan manusia, walau tidak secara utuh. Jarak estetik antara
realita dan cerita fiksi menjadi ruang kreatif yang menghadirkan
gambaran kehidupan secara estetik. Ruang kreatif itulah yang
menjadi bagian dari pengarang untuk meramu gambaran
kehidupan yang dia tangkap. Di dalam ruang kreatif, yang selalu
ada dan disediakan oleh lembaga atau komunitas peduli
perkembangan sastra, penulis diajak untuk selalu
mengembangkan diri dan mengolah kepekaan imaji ketika
menghadapi dan mengalami fenomena kemanusiaan. Balai
Bahasa Provinsi DIY selalu menyediakan diri untuk memberi
ruang kreatif pembinaan penulisan kreatif karya sastra dan bahasa.
Lomba menulis kebahasaan dan kesastraan yang
diejawantahkan dalam “Lomba Menulis Esai dan Cerpen bagi
Remaja DIY, pada tahun 2013 ini, bertujuan untuk “mengunggah”
potensi-potensi muda kreatif DIY supaya lebih mendewasa
dalam khazanah keba- hasaan dan kesastraan di tingkat daerah.
Maka, hasil-hasil karya esai (10 judul) dan cerpen (20 judul)
terbaik tersebut dimuat dalam Antologi Esai dan Cerpen
Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun
2013 dengan judul BURUNG-BURUNG KERTAS. Tidak lain dan
tidak bukan, penerbitan antologi BURUNG-BURUNG KERTAS
mewujud dalam rangka mengapresiasi kreativitas potensi-
potensi remaja penulis di DIY.

Burun
g-Burung Kertas
vii
Penerbitan buku ini bukanlah sebuah akhir perjalanan remaja-
remaja penulis tersebut, tetapi inilah satu batu pijakan yang
perlu dilalui mereka untuk mengunggah diri dalam usaha
melebarkan sayap kepenulisan mereka. Maka, harapan kami
adalah melihat remaja-remaja potensial ini untuk semakin
berkembang, kritis, dan konstruktif dalam menggambarkan
kehidupan manusia dalam imaji mereka. “Teruslah melihat dunia
dalam kacamatamu, catat, dan tuangkan melalui tintamu. Biarlah
dunia berkaca melalui hasil karya kebahasaan dan kesastraanmu.
Terus maju dan pantang menyerah.”

Yogyakarta, September 2013

Y. Adhi Satiyoko

viii Burung-Burung Kertas


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY.................................v
MENGUNGGAH DIRI....................................................................vii
DAFTAR ISI.........................................................................................ix

ESAI

MINAT BACA RENDAH: PENYEBAB MARAKNYA


BAHASA ALAY
Imas Indra Hapsari............................................................................3
SENI ALA KADARNYA
Anggalih Bayu Muh. Kamim...........................................................13
ESAI BAGI REMAJA: KEBUTUHAN ATAU
KETERTARIKAN?
Anita Meilani....................................................................................23
AKU GUNCANGKAN DUNIA DENGAN MEMBACA
Surya Jatmika...................................................................................32
MENCIPTA TOKOH FIKTIF DALAM KARYA SASTRA
Ratu Pandan Wangi........................................................................41
APLIKASI PINTAR TEBAKU UNTUK MENINGKATKAN
MINAT BERBAHASA DAN BERSASTRA PADA
REMAJA
Sangga Hadi Pratama.....................................................................52
PERSPEKTIF: KEBUDAYAAN SEBAGAI ASET
PEMBANGUNAN
Sri Mulyani................................................................................61
Burung-Burung Kertas ix
FIKSI MINI: KREATIVITAS SASTRA YANG TIDAK BIASA
Muhammad Ikhwan Anas................................................................69
EKSPANSI BUDAYA: LUNTURNYA KEBUDAYAAN ASLI
INDONESIA
Alfiani Dyah Kurnia Sari.................................................................77
BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL
PEMBANGUN KARAKTER ANAK
Dian Andri Ani..........................................................................87

CERPEN

BERMULA DARI SUARA


Deliana Poetriayu Siregar....................................................................99
BINTANG HARAPAN
Akbar Yoga Pratama..........................................................................108
BURUNG-BURUNG KERTAS
Beladiena Herdiani.............................................................................119
CERITA DI RADIO
Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati..........................................126
HIKAYAT BATU-BATU
Nur Cholifah...................................................................................130
KEGELAPAN YANG MENGINTAI
Ratu Pandan Wangi.......................................................................135
KISAH PAGI DAN KAU YANG KUPANGGIL TUAN
Galih Pangestu Jati........................................................................142
KUPU-KUPU SEGERA TERBANG
Primadita Herdiani........................................................................148
LAMBANG KEBEBASAN
Nisrina Salsabila.................................................................................155
MAMAK GUNTUR
Wahyu Sekar Sari...........................................................................162
x Burung-Burung Kertas

PEMUDA YANG BERDOA SEPANJANG MALAM


Achmad Muchtar............................................................................170
PENARI JALANAN
Dyah Inase Sobri............................................................................175
PETA LUKA BERBINGKAI
Eni Puji Utami...............................................................................182
PINDAHNYA ORION
Ambar Fidianingsih.......................................................................188
LASKAR DILEM
Fajar Wijanarko..................................................................................196
KABAR KEMATIAN
Arlina Hapsari................................................................................204
CERITA BAHAGIA SELEPAS HUJAN
Suci Nurani Wulandari.................................................................210
PAKDHE
Anita Meilani..................................................................................218
TIGA BUNGKUS KERUPUK PASIR DI PENGHUJUNG
SENJA
Nopa Triana...................................................................................224
PULANG
Annisa Nur Harwiningtyas...........................................................232

CATATAN DEWAN JURI

ESAI......................................................................................................241
CERPEN...............................................................................................243

Burung-Burung Kertas xi
xii Burung-Burung Kertas
ESAI

Burung-Burung Kertas 1
2 Burung-Burung Kertas
MINAT BACA RENDAH:
PENYEBAB MARAKNYA BAHASA ALAY
Imas Indra Hapsari

Pada Juni yang lalu, penikmat musik Indonesia sempat dika-


getkan oleh kicauan musisi internasional Owl City. Lewat akun
twitter resminya, ia berkicau, ‘jomblo h4h4h4 lu k3n4 v12u5
4l4y y4? K37ul424n cy4ph4 wkwkwk - -’ (Jomblo hahaha lu
kena virus alay ya? Ketularan siapa?). Owl City memang dikenal
sangat menyukai Indonesia, bahkan ia sudah menganggap
Indonesia seba- gai rumah keduanya. Namun, berkicau dengan
bahasa yang awam- nya diketahui sebagai bahasa alay sangat di
luar dugaan. Bayangkan saja, Owl City memiliki pengikut sebanyak
800 ribu. Bukan tidak mungkin kalau bahasa alay yang mereka
pakai sesekali itu, mereka pakai kembali di kalangan muda
sehari-hari.
Bahasa alay bermula dari munculnya iklan operator seluler
Esia yang menawarkan tarif Rp1 untuk satu karakter pesan singkat.
Muncullah bahasa alay yang bertujuan untuk mempersingkat karak-
ter pesan singkat, misalnya, kata tidak bisa ditulis dengan berbagai
cara seperti, g, gx, nggk dan lainnya. Kata aku bisa ditulis Q, aq, w
dan masih banyak lagi.
Setelah lima tahun berlalu, kesadaran menggunakan bahasa
yang baik sudah mulai muncul. Tulisan huruf bercampur angka
dan tanda baca sudah jarang dijumpai walaupun masih ada bebe-
rapa yang menggunakannya. Zaman berlanjut ke zaman
singkatan, tidak jauh berbeda dengan bahasa alay, bahasa ini
dipopulerkan lewat sosial media twitter. Twitter sendiri juga
membatasi penulisan hanya 140 karakter saja. Dari situlah
muncul istilah-istilah mager (males gerak), cukstaw (cukup tahu),
gengges (ganggu), kamseupay (kampungan sekali udik payah), dan
Burung-Burung Kertas 3
lain sebagainya. Iklan opera-

4 Burung-Burung Kertas
tor seluler 3 juga menyumbang istilah eksmud yang artinya
‘eksekutif muda’. Makin luas saja penggunaan istilah-istilah
singkatan ini di kalangan muda.
Sepertinya betul juga hipotesis mahasiswa bersama Berthold
Damshauser dalam majalah Tempo, 30 Juni 2013. Dalam diskusi
dengan mahasiswanya, Damshauser dihadapkan pada dugaan
bahwa bahasa dan manusia Indonesia sedang dalam proses evo-
lusi. Bukan tidak mungkin evolusi yang dimaksudkan mahasiswa
Damshauer menyangkut bagaimana kepedulian manusia
Indonesia terhadap bahasanya sendiri karena suatu evolusi tidak
akan dikenal sebagai evolusi ketika proses tersebut belum usai.
Sekarang mau- kah kita membiarkan bahasa kita berevolusi
menjadi bahasa yang tidak pada tempatnya?

Mengenal Pembelajaran Bahasa Indonesia di Tingkat Dasar


Saat itu, saya dan rekan-rekan diberikan kesempatan untuk
menjadi pemateri dalam pelatihan menulis. Pada tanggal 18—25
Juni 2013, saya sebagai anggota Komunitas Ruang bekerja sama
dengan Save The Children menjadi pemateri untuk 14 SD di wilayah
rawan bencana di Kabupaten Magelang. Pelatihan menulis ini di-
ikuti oleh 340 orang siswa kelas IV. Kesempatan tersebut saya
gunakan untuk melihat sejauh mana siswa-siswi ini memahami
penggunakaan bahasa Indonesia secara aplikatif.
Pada awal sesi pelatihan, kami meminta siswa-siswi ini
untuk menulis perjalanan mereka dari rumah sampai sekolah.
Hasil tu- lisan mereka ini menjadi dasar penilaian awal (pre-test)
seberapa mereka menguasai dasar-dasar penulisan dan seberapa
mereka peka terhadap lingkungan sekitar. Dasar-dasar penulisan
yang dinilai adalah susunan kalimat, tanda baca, kalimat efektif,
logika tulisan, dan pemilihan kata. Dari seluruh hasil penilaian
awal di- dapatkan 52% atau sebanyak 176 siswa tidak memahami,
37% atau 125 siswa cukup memahami, dan 11% atau 39% siswa
memahami dasar penulisan yang baik dan benar.
Setelah tulisan awal mereka dikumpulkan, barulah tim mem-
berikan materi mengenai kepenulisan dasar. Materi dasar ini me-

Burung-Burung Kertas 5
liputi penulisan paragraf yang menjorok, huruf kapital di awal
kalimat, tanda baca titik di akhir kalimat, dan jumlah kata dan
satu kalimat supaya menjadi kalimat efektif. Pemateri juga
menje- laskan bagaimana membuat kalimat sesuai dengan logika
kalimat supaya kalimat yang dibuat tidak berbelit-belit. Tidak
lupa, pema- teri menyelipkan permainan kereta kata, yaitu
sebuah permainan menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat
yang memiliki cerita. Mirip dengan soal yang biasanya ada di
lembar kerja siswa. Per- mainan ni menguji seberapa anak
memahami struktur kalimat.
Selanjutnya, pelatihan dilanjutkan dengan latihan
wawancara. Siswa-siswi ini diajari untuk berani bertanya dan
mendapat infor- masi. Mereka mewawancarai guru, tim dari Save
The Children, atau tim pemateri sendiri. Mereka juga diminta
untuk mengamati ling- kungan sekitar mereka dan
mengkolaborasikannya dalam sebuah tulisan. Penilaian akhir
ditujukan untuk menilai seberapa siswa- siswi menyerap apa
yang telah disampaikan oleh para pemateri. Hasil penilaian
akhir meliputi aspek yang sama adalah 38% atau 127 siswa
tidak memahami, 168 siswa atau 50% siswa cukup memahami,
dan sebanyak 12% atau 42 siswa memahami kepenulis- an dasar
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Peningkatan ini cukup
baik walaupun tidak sesignifikan seperti yang diharapkan. Dalam
praktiknya, pelajaran bahasa Indonesia belum menjadi perhatian
serius bagi siswa. Ini terlihat dari bagaimana cara mereka menulis
kalimat. Ketika pemateri meminta mereka menulis para- graf,
banyak di antara mereka menulis dengan awalan nomor.
Seolah mereka menjawab soal. Mereka masih menulis dengan huruf
besar dan kecil, seperti yang digunakan pada bahasa alay.
Mereka belum mengindahkan peraturan bahwa hanya huruf di
awal kali- mat dan nama yang berawalan huruf kapital. Mereka
masih ba-
nyak pula menulis tanpa tanda titik di akhir kalimat.
Hampir setiap tulisan yang kami baca mengandung
pengulang- an kata yang berlebihan. Ini berarti kosakata anak-
anak di sini sangatlah terbatas. Hal ini diperkuat dengan banyak
anak-anak yang menyisipkan kata-kata berbahasa daerah. Banyak
6 Burung-Burung Kertas
anak meng- gunakan kata ngarit, njegur, mbajak, dan sebagainya.

Burung-Burung Kertas 7
Di SD Wonolelo 3, pemateri banyak menemui siswa yang sa-
ma sekali tidak mengerti arti dari kalimat tertentu. Parahnya ketika
mereka diminta menulis kalimat, tulisan yang muncul hanyalah
frasa-frasa, contohnya, bangun tidur, makan, berangkat sekolah, ber-
main, pulang, dan seterusnya.
Di SD N 1 Srumbung, kami juga menemukan anak yang ber-
seru, “Satu paragraf doang ya!” memprotes arahan para
pemateri. Setelah itu, kami menyadari penggunaan ekspresi
“doang” yang menunjukkan bahwa peran media sangat besar
terhadap anak- anak ini.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Kekuatan Media Sosial


Peran media sosial, seperti televisi, radio, dan internet
sangat berpengaruh terhadap cara menulis seseorang. Banyak
media so- sial menggunakan media tulis untuk berkomunikasi.
Ini mengapa kebutuhan membaca dan menulis sering
berbanding terbalik de- ngan kemampuan. Komunikasi tertulis
sering mengalami penyim- pangan-penyimpangan dari aturan
awalnya, sedangkan komuni- kasi lisan juga menentukan
komunikasi tertulis kita. Apa yang kita ucapkan akan tertulis
demikian pula sebaliknya.
Lambat laun kita menyadari bahwa semakin canggih media
komunikasi, semakin berkurang pula makna komunikasi itu sen-
diri. Ketika tahun 1980-an, masyarakat lebih mengenal media
ko- munikasi surat. Surat dianggap media yang murah, tetapi
sampai- nya pesan kepada orang yang dimaksud memerlukan
waktu yang tidak sebentar sehingga komunikasi tersebut justru
bermakna. Selain itu, ada alternatif lain selain surat, yaitu
telegraf. Alternatif ini menguntungkan karena sampainya pesan
lebih cepat, tetapi tetap saja telegraf tidak bisa diakses bebas
begitu saja. Hal ini menyebabkan komunikasi yang disampaikan
memang memiliki tujuan yang jelas sehingga maknanya ada.
Berbeda dengan komunikasi saat ini, komunikasi dengan
mu- dahnya terjalin menyebabkan kita tidak menghargai makna
komu- nikasi. Dengan biaya dan mudahnya media komunikasi
diakses, semakin banyak orang bisa berbagi pesan dengan

8 Burung-Burung Kertas
mudah. Akan

Burung-Burung Kertas 9
tetapi, pesannya sendiri kurang bermakna, contohnya, pesan-pe-
san yang disebar karena ada gratis sms, atau pesan-pesan di media
sosial yang kurang penting isinya.
Rata-rata pengguna internet di Amerika Serikat menghabiskan
waktu 121 milyar menit pada Juli 2012 untuk media sosial. Jumlah
ini meningkat 37% dari jumlah pada Juni 2012, yaitu 88 miliar
menit. Dengan waktu selama itu, mereka dapat mengamati tren-
tren yang terjadi di media sosial. Dengan jumlah pengguna yang
ba- nyak, akses informasi yang mudah dan cepat membuat suatu
hal yang baru dapat dinikmati dengan mudahnya sehingga bukan
se- kali-dua kali muncul celetukan atau kosakata khas anak muda
yang diikuti oleh banyak orang. Sesuai dengan teori konformitas,
peng- guna media sosial secara tidak sadar akan menyesuaikan
diri de- ngan kebiasan dan tren yang terjadi. Jika hal ini tidak
ditanggapi secara dewasa, hal itu akan muncul kata-kata yang
melenceng dari makna sebenarnya.
Contoh paling baru adalah fenomena vickiisme yang terjadi
akhir- akhir ini. Gejala vickiisme sebenarnya bukan gejala baru,
bahkan sejak lepas dari penjajahan. Sebagian masyarakat kita
sudah ter- kena virus “ngintelektual” itu. Sebuah penyakit yang
umum terjadi ketika modernisme atau zaman rasional masuk ke
dalam komunitas atau negeri yang sebelumnya dikenal sangat
tradisional.
Memang untuk sebagian orang gaya bahasa Vicky terlihat sa-
ngat intelektual. Akan tetapi bagi orang lain, gaya bahasa Vicky
hanya menjadi hiburan yang mengocok perut. Hal yang patut
diwaspadai di sini ialah bagaimana anak-anak dengan usia yang
masih berkembang disuguhi berbagai tayangan yang
mengeskpos vickiisme. Ditambah lagi, pengaruh komunitas yang
sering meng- gunakan gaya bahasa Vicky untuk bahan lelucon.
Bukan hal yang berlebihan, kita mengkhawatirkan anak-anak
yang masih dalam masa meniru ini menggunakan bahasa Vicky.
Apalagi dengan data yang ada, masih banyak anak sekolah dasar
yang belum mema- hami bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mengingat berapa usia Vicky dan bagaimana dia berkomunikasi
dengan bahasanya, kita tidak bisa menutup mata pada
kemungkinan bahwa anak- anak bisa juga mengikuti kiblat
1 Burung-Burung Kertas
0
Vicky.

Burung-Burung Kertas 11
Contoh lain adalah fenomena merebaknya ciyus dan miapah
di pertengahan bulan Oktober tahun lalu. Kata-kata ini sebenarnya
muncul dari pemakaian sosial media. Ada beberapa anak
pengguna sosial media berpura-pura cadel. Alhasil, kata-kata ini
dianggap sebagai sesuatu yang lucu sehingga banyak digunakan
oleh ka- langan muda saat itu. Akan tetapi, fenomena kata-kata
tersebut hanyalah bersifat musiman. Alasannya, masyarakat
lambat laun akan menganggap kata-kata tersebut biasa atau ada
kata lainnya yang lebih menarik.
Kembali mengingatkan, fenomena ragam bahasa sebenarnya
bukan setahun dua tahun saja mulai terjadi. Banyak kata yang
diadopsi dari artis-artis televisi. Cetar membahana, sesuatu, dan
alham- dulillah ya sering kita dengar dari penyanyi Syahrini.
Entah apa maksudnya, kata-kata ini juga menjadi tren di
kalangan muda. Sebelumnya, Titi D.J. sempat membuat tren ember
(memang begitu); Titi Kamal dengan jablai (jarang dibelai) dan
seruan khas ala pela- wak Sule, prikitiew.
Dengan timbul-tenggelamnya fenomena ragam bahasa, kita
patut mengingat bahwa sebenarnya bahasa senantiasa berkem-
bang. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh budaya yang juga
selalu berkembang. Sebagai manusia evolusioner, manusia Indo-
nesia pasti juga mengevolusikan bahasanya. Tipe kalimat “diam-
bilnya buku ini” semakin jarang terdengar. Kini orang cenderung
mengatakan “ia mengambil buku”. Dulu perbuatan yang difokus-
kan, kini individulah yang ditonjolkan dan dijadikan fokus
kalimat, tak lagi hanya menjadi imbuhan. Selain itu, kata ganti orang
seperti hamba tidak lagi dipakai.
Ini sebuah fenomena yang wajar jika kita melihat bahasa dalam
konteks budaya. Apalagi dengan perkembangan komunikasi
yang begitu cepat. Akan tetapi di balik itu semua, tentu saja ada
urgensi untuk melindungi bahasa Indonesia dari degradasi
makna dan salah pemakaian. Di lihat dari sisi historis, kita semua
mengerti bahwa bahasa Indonesia menjadi komponen penting
terhadap per- satuan bangsa. Bahasa juga merupakan salah satu
dari tujuh unsur budaya universal. Ini artinya bahasa Indonesia
akan menjadi pe-

1 Burung-Burung Kertas
2
nanda peradaban manusia Indonesia. Jangan sampai muncul,
orang Indonesia kehilangan kemampuannya berbahasa
Indonesia.
Akan tetapi di sisi lain, perlindungan terhadap bahasa Indo-
nesia sangatlah dilematis. Bahasa Indonesia menghadapi berbagai
“ancaman” dan “gangguan”, mulai dari kebutuhan bahasa asing
yang lebih memiliki pamor, pencanangan penggunaan bahasa
dae- rah, hingga bahasa nonformal yang sering dipakai di media
sosial. Perlindungan bahasa Indonesia sendiri tampak menjadi
sangat klise. Apa yang patut dilindungi?
Fenomena ragam bahasa memang sangatlah wajar. Akan
tetapi, ragam bahasa akan menjadi berbahaya apabila anak-anak,
khusus- nya, mulai tidak peduli dengan aturan berbahasa yang
baik dan benar. Hal inilah yang patut kita waspadai. Jangan
sampai penggu- naan bahasa yang salah ini kita biarkan begitu saja
sehingga terjadi pemakluman-pemakluman yang fatal.
Implikasinya adalah anak- anak tidak lagi bisa berbahasa
dengan baik dan benar.

Arti Sesungguhnya Perlindungan Bahasa Indonesia


Keterampilan berbahasa Indonesia tidak dapat dikuasai secara
instan. Kemampuan berbahasa seseorang ditentukan oleh seberapa
biasa orang tersebut mengaplikasikan bahasanya. Pada level dasar
keterampilan berbahasa anak-anak bisa dilatih melalui minat mem-
baca. Sayangnya, lagi-lagi indeks minat baca masyarakat
Indonesia sangatlah rendah, yaitu 0,001. Ini berarti dari seribu
penduduk hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi,
sedangkan Indonesia masih berada di urutan 69 dari 127 negara
menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO.
Anak-anak sekolah dasar wajib dibangun keingintahuannya
lewat buku. Bukan dipaksa membaca, melainkan mereka dimo-
tivasi untuk bisa membaca. Pada awalnya, ini bisa dilakukan de-
ngan membacakan anak-anak cerita. Keingintahuan anak-anak
yang tinggi akan membuat mereka terus-menerus minta dibacakan
cerita. Pada titik inilah, kita mengajari anak-anak untuk
membaca. Pola yang salah di Indonesia adalah menjadikan

Burung-Burung Kertas 13
kemampuan mem- baca salah satu indikator untuk masuk
sekolah dasar. Jika anak-

1 Burung-Burung Kertas
4
anak harus bisa membaca untuk masuk sekolah dasar, semasa
ta- man kanak-kanak atau PAUD mereka akan dipaksa untuk
belajar membaca. Jika mereka dipaksa untuk membaca, ke depan,
mereka akan membenci membaca. Rata-rata yang dibaca anak
Indonesia adalah 27 halaman per tahun, jauh dari rata-rata
Finlandia yang membaca 300 halaman dalam 5 hari.
Membaca menjadi sangat penting untuk menjadi fondasi
ber- bahasa anak-anak. Dengan membaca, anak-anak belajar
kosakata baru. Mereka belajar menyusun kalimat dan
menggunakan ber- bagai variasi kosakata dalam kalimatnya.
Hampir seluruh sekolah- sekolah yang saya kunjungi di Magelang
menutup perpustakaan- nya. Ini merupakan jawaban mengapa
selama ini anak-anak tidak gemar membaca.
Meningkatkan minat baca akan sama dengan melindungi ba-
hasa Indonesia. Kebijakan dinas pendidikan selama ini mewajibkan
siswa-siswi untuk membaca minimal 15 buku dalam waktu 3 tahun
ketika di bangku sekolah menengah atas. Pada dasarnya, kebijakan
ini memang dimaksudkan untuk meningkatkan minat baca
siswa, tetapi saya kira pemberian tugas semacam itu sudah
sangat ter- lambat untuk siswa menengah atas. Berdasarkan
pengalaman saya ketika di bangku sekolah, banyak anak-anak
yang mengeluh ketika mengerjakan tersebut. Bagi mereka, tugas
tersebut tidak begitu penting dibandingkan dengan materi yang
harus dikejar untuk masuk perguruan tinggi. Ini menunjukkan
indikasi bahwa sejak kecil mereka tidak dibiasakan untuk
membaca buku selain buku pelajaran.
Jika memang dinas pendidikan menghendaki tugas sedemi-
kian rupa, praktiknya harus dilakukan berjenjang. Pada tingkat
taman kanak-kanak, minat baca dilatih bukan dari paksaan. Pada
usia bermain, mereka justru harus banyak dibacakan cerita-
cerita sehingga ada ketertarikan bagi mereka untuk mengenal
buku.
Di tingkat sekolah dasar, anak-anak mulai belajar membaca.
Di sini, setiap minggunya mereka wajib membaca sebuah buku
cerita yang menurut mereka menarik. Setelah membaca buku
ter- sebut, mereka satu per satu akan menceritakan apa yang
telah
10 Burung-Burung Kertas
mereka baca di depan kelas. Dengan bercerita, mereka akan
mem- budayakan kebiasaan membaca. Mereka juga akan tertarik
untuk membaca buku-buku yang lain.
Di tingkat sekolah menengah pertama, siswa-siswi
diarahkan untuk membaca buku dengan jumlah halaman dan
tema tertentu. Mereka diarahkan untuk bisa menuangkan apa
yang telah mereka baca lewat tulisan atau membuat resensi.
Metode ini juga diguna- kan untuk sekolah menengah atas
dengan ketentuan yang lebih kompleks.
Ritme pembelajaran seperti ini memang sudah diterapkan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi menurut
pengalaman saya, membaca buku menjadi standar kompetensi
ta- hunan belaka. Pada setiap penugasannya, masih ada juga
siswa- siswi yang bingung dalam mengerjakan tugas dan
akhirnya meng- ambil jalan pintas. Untuk membentuk kebiasaan
membaca, pola pembelajaran di atas bisa dilakukan dalam skala
waktu dua mingguan.

Penutup
Terlepas dari normal atau tidaknya evolusi bahasa
Indonesia, sebagai masyarakat Indonesia, kita harus melindungi
bahasa persa- tuan kita. Kebanggaan berbahasa Indonesia harus
dipupuk sejak dini. Peningkatan minat baca sebagai salah satu
solusi melindungi bahasa Indonesia yang baik dan benar juga
harus dipertimbang- kan. Ibarat sambil menyelam minum air,
solusi ini tidak saja akan membiasakan anak-anak untuk
berbahasa yang baik dan benar, tetapi anak-anak juga belajar
ilmu pengetahuan secara luas.

Daftar Bacaan
Damshauer, Berthold. “Evolusi Bahasa dan Manusia Indonesia”.
Dalam Majalah Tempo, 24--30 Juni 2013, hlm. 130.

Burung-Burung Kertas 11
Biodata
Imas Indra Hapsari. Tinggal di Tempel RT 004, Lumbungrejo, Tempel,
Sleman. Saat ini Imas Indra Hapsari kuliah di Fakultas ISIPOL, Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Jika ingin
berkorespondensi dengan Imas Indra Hapsari dapat menghubungi HP:
085747519933 dan pos-el: imasindrahapsari@gmail.com.

12 Burung-Burung Kertas
SENI ALA KADARNYA
Anggalih Bayu Muh. Kamim

Latar Belakang Masalah


Demoralisasi dan defisit nasionalisme yang tengah
menghan- tui masyarakat saat ini tampaknya tak terlepas dari
pengaruh tontonan yang tidak sehat. Tayangan televisi yang
diharapkan dapat menjadi media pendidikan dan pengenalan
kebudayaan, kini justru disalahgunakan. Produk pertelevisisan
yang ada saat ini hanya mementingkan permintaan pasar,
bukannya mengede- pankan aspek edukatif. Hal ini
menyebabkan terjadinya perge- seran nilai dalam masyarakat
akibat adanya tayangan yang tidak sehat. Contoh konkret dari
bentuk tontonan yang tidak sehat terse- but adalah
dimunculkannya adegan-adegan kekerasan yang terlalu
berlebihan. Peran orang tua dalam menyikapi permasalahan ini
sangatlah penting karena anak-anak belum mampu menyaring
ma- na yang merupakan adegan-adegan yang tidak baik dan
adegan yang pantas ditonton. Selain maraknya kemunculan
adegan keke- rasan yang berlebihan, tayangan televisi, khususnya
sinetron, pada saat ini lebih sering menceritakan kisah percintaan.
Ditambah lagi, dengan seringnya diperlihatkan adegan-adegan
yang tidak sero- nok, seperti adegan berciuman, berpelukan
antarpasangan, dan bahkan saat melakukan hubungan seksual.
Akibat dari terlalu se- ringnya penayangan kisah percintaan, hal
itu menyebabkan ta- yangan sinetron terkesan membosankan.

Burung-Burung Kertas 13
Rumusan Masalah
a. Dampak negatif apa sajakah yang ditimbulkan dari sinetron
religi?
b. Bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan dari sinetron
religi dapat terjadi?

Tujuan Kajian
a. Esai ini bertujuan untuk menelisik jabaran dampak negatif
dari sinetron religi.
b. Esai ini bertujuan untuk menelisik proses munculnya dampak
negatif dari sinetron religi.

Dampak Negatif dari Sinetron Religi


Terdapat banyak dampak negatif dari sinetron religi yang
dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu aspek sosiokultural, psikologi
anak, dan kesehatan anak. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai
berikut.

1. Dampak Sosiokultural dari Sinetron Religi


Saat ini dunia pertelevisian Indonesia tengah dibanjiri dengan
sinetron-sinetron religi yang tidak mendidik. Sinetron religi yang
ada saat ini juga hanya mengedepankan permintaan pasar dari
pada mengedepankan aspek-aspek edukatif. Sinetron religi
terke- san semakin tidak mendidik karena adanya penambahan
unsur- unsur komedi dalam penulisan cerita. Hal ini
menyebabkan tujuan dari pembuatan sinetron religi tersebut
menjadi kabur, yang awal- nya ingin menyampaikan pesan-pesan
islami pada para pemirsa, tetapi tujuan tersebut menjadi
melenceng dari tujuan sebenarnya. Akibatnya, unsur-unsur
islami yang ingin disampaikan menjadi tidak tersampaikan
akibat dari adanya dominasi unsur komedi.
Dengan demikian, seakan-akan agama Islam disepelekan de-
ngan menjadikannya sebagai bahan komedi dan tak jarang dalam
sinetron religi bertema komedi tersebut terdapat keterlibatan
pe- main seorang ustaz. Ustaz dalam sinetron religi tersebut
sering digunakan sebagai seorang penengah konflik dan juga

14 Burung-Burung Kertas
pemberi

Burung-Burung Kertas 15
dakwah kepada para pemain yang terlibat dalam suatu konflik.
Namun, tak jarang pemain ustaz tersebut justru dijadikan bahan
lelucon oleh pemain lain yang berfungsi agar sinetron terkesan
lucu. Hal ini justru dapat merendahkan peran ustaz sebagai pen-
dakwah. Selain itu, dalam suatu sinetron religi seorang ustaz lebih
terlihat sebagai seorang aktor dari pada seorang pendakwah.
Akibatnya, seakan-akan ustaz tersebut hanyalah mengejar suatu
popularitas, bukannya menjalankan perannya sebagai pendakwah.
Selain itu, dalam sinetron religi yang bertemakan hidayah se-
ring diperlihatkan adegan-adegan yang memuat unsur
pornografi, contohnya saja, adegan lelaki hidung belang yang
main di kafe dengan selingkuhannya dengan diperlihatkan
kehidupan para pe- kerja seks komersial secara konkret. Tujuan
penyampaian cerita tersebut sebenarnya sangat mulia, yaitu
ingin menggambarkan bahwa dalam kehidupan itu ada yang
namanya azab dan kemu- liaan. Namun, jika cara
penyampaiannya salah, hal itu justru akan menyebabkan masalah
tersendiri. Menurut Syaikh bin Baz Rahima- hullah, tidak boleh
seorang laki-laki menyaksikan wanita telan- jang, setengah
telanjang, atau yang membuka wajahnya, begitu pula seorang
wanita tidak boleh menyaksikan laki-laki yang mem- buka
pahanya, baik di televisi atau video, film, maupun visual
lainnya, seseorang berkewajiban untuk menahan pandangan
atau berpaling sebab hal itu merupakan sumber fitnah dan salah
satu penyebab rusaknya hati dan menyimpangnya dari kebenaran.
Pen- dapat beliau didukung oleh ayat Alquran Surah An Nur: 30--
31 yang artinya Hendaklah mereka menahan pandanganya dan
memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguh- nya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan
kemaluannya.
Hal ini tentunya sangat ironis, sinetron religi yang seharusnya
dapat digunakan sebagai sarana dakwah, tetapi jika cara penyajian-
nya salah, justru dapat berakibat fatal. Selain itu, dengan dimuat-
nya unsur-unsur pornografi justru dapat mencoreng nama baik
agama Islam. Belum lagi sinetron religi saat ini tidak hanya
16 Burung-Burung Kertas
diton- ton oleh dewasa, tetapi juga anak-anak. Oleh karena itu,
kunci

Burung-Burung Kertas 17
utamanya adalah perlu diperhatikan cara pengemasan sinetron
religi tersebut. Dalam sinetron religi, saat ini juga sering muncul
jargon-jargon atau kata-kata yang tidak mendidik. Contohnya saja
dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji terdapat tokoh-tokoh yang
sering mengucapkan kata-kata kotor seperti dasar pe ak lu, ah dasar
tukang ngibul, dan masih banyak lagi. Kata-kata yang tidak men-
didik ini tentunya juga dapat mencoreng agama Islam karena meng-
gambarkan seolah-olah umat agama Islam itu suka bertutur kata
yang tidak sopan dan suka mencela orang lain. Hal ini tentunya
menambah poin keburukan sinetron religi saat ini.
Tak jarang sering muncul kata-kata yang bersifat menghina
dan terlalu merendahkan derajat orang lain. Contoh nyata adalah
dalam sinetron Islam KTP, dalam sinetron tersebut terdapat tokoh
orang kaya yang selalu menghina orang miskin yang ditemuinya.
Tokoh tersebut bahkan menghina orang miskin yang bertemu
de- ngannya dengan kata-kata di luar batas kemanusiaan, seperti
Ah, dasar Kaum melarat, Kaum Marjinal, Merakbal dan masih banyak
lagi. Hal itu justru dapat menggambarkan bahwa agama Islam itu
adalah yang tidak menghargai dan mengasihi orang-orang
berperekono- mian rendah. Dengan begitu, hal ini tentunya
sangatlah disa- yangkan.
Sineas senior, Deddy Mizwar, menilai bahwa banyak karya
berupa film ataupun sinetron yang belum mampu
menyampaikan pesan secara islami. Soalnya yang memproduksi
karya-karya terse- but bukan orang Islam, tetapi tontonan yang
dijualnya diklaim tontonan islami. Itu artinya tontonan semacam
itu hanya sebagai barang dagangan saja. Hal itu artinya yang
dikejar hanyalah per- mintaan pasar sehingga yang dikejar
hanyalah popularitas dan semakin membuktikan karya tersebut
tidak sesuai dengan tujuan pembuatannya. Akibatnya, yang pada
mulanya ingin digunakan sebagai sarana penyebaran agama
Islam, akhirnya justru menco- reng agama Islam itu sendiri,
sedangkan Allah pernah berfirman dalam Surah Al Maidah: 57—
58 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi
buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah
diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang
18 Burung-Burung Kertas
kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu
betul- betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru
(mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya
buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka
benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya orang-orang
yang menjelekan agama Islam itu adalah orang-orang yang tidak
mau mempergunakan akal, sedangkan Allah telah memberikan
suatu anugerah yang luar biasa pada manusia, yaitu berupa akal
dan pikiran, tetapi jika akal tidak digunakan dapat
mencerminkan bahwa orang tersebut tidak lebih berharga dari
seekor binatang. Mengapa dapat digambarkan seperti binatang?
Karena mereka hanya mengedepankan hawa nafsu mereka, yaitu
keinginan me- ngejar suatu popularitas tanpa memikirkan
dampak buruk dari hasil perbuatan mereka tersebut.
Satu hal lagi yang dapat menunjukan keburukan dari
sinetron religi zaman sekarang ini adalah adanya tokoh sentral
dalam cerita berupa seorang ustaz atau haji yang mempunyai
tabiat buruk. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan realitas
sebenarnya yang ada di dalam masyarakat. Haji dan para mubalig
yang dalam kehi- dupan bermasyarakat sangat disegani,
dihormati, dan bahkan di- jadikan panutan dan teladan. Namun,
justru dalam kebanyakan sinetron religi digambarkan sebagai
orang yang bengis dan ber- tabiat buruk. Tentunya hal ini
mencoreng nama baik para pendak- wah Islam. Contoh nyata
adalah dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Di dalam sinetron
tersebut terdapat tokoh bernama Haji Mu- hidin yang sombong
dengan memberi gelar pada dirinya “haji tiga kali”. Haji Muhidin
juga digambarkan sebagai orang yang selalu iri terhadap rezeki
yang selalu diterima keluarga Haji Sulam. Pelukisan tokoh yang
demikian dapat memberikan gambaran yang salah pada
masyarakat tentang seorang haji. Masyarakat men- jadi selalu
mengidentikkan seorang haji sebagai seorang yang sa- ngat
sombong dan bertabiat buruk. Hal ini tentunya juga dapat
mengubah cara pandang masyarakat terhadap para pendakwah.
Masyarakat akan menaruh kecurigaan terhadap para pendakwah
dan terjadilah saling ketidakpercayaan. Para pendakwah yang
Burung-Burung Kertas 19
dahulu selalu disegani, dihormati, bahkan dijadikan tauladan,
aki- bat dari perubahan cara pandang ini, menyebabkan
masyarakat tidak percaya pada dakwah mereka yang
menyebabkan masyara- kat menjadi terjerumus ke jurang
kesesatan. Hal ini juga memper- lihatkan bahwa sinetron religi
yang ada bukannya menyampaikan nilai-nilai islami, tetapi justru
menjerumuskan masyarakat.
Sinetron religi saat ini juga terlalu merendahkan harkat dan
martabat seorang wanita. Ini terlihat dari adanya pengidentikan
wanita dengan seorang pekerja seks komersial, istri selingkuhan,
dan penipu. Dalam sinetron religi bertema hidayah, wanita
sering digambarkan sebagai seorang penghasut para pria,
bahkan juga tak jarang wanita diidentikkan dengan pemeras
harta para pria melalui perannya sebagai istri selingkuhan dan
juga wanita yang berperan sebagai seorang istri yang sah dalam
sinetron religi terse- but sering digambarkan sebagai seorang
yang tidak mempunyai harga diri. Hal ini terlihat dari adegan
lelaki hidung belang yang selalu memukuli istrinya yang sah.
Alquran telah menjelaskan larangan untuk merendahkan para
wanita. Hal ini sesuai dengan ayat Alquran dalam Surah Hujuraat:
11 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang diter-
tawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perem-
puan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu
lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan
memang- gil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa
yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Selain hal di atas, dampak sosiologis lain yang muncul adalah
mulai berkurangnya rasa hormat masyarakat terhadap ustaz,
haji, dan mubalig. Para pendakwah yang dahulu disegani,
dihormati, dan bahkan dijadikan seorang tauladan, justru kini
mulai dilupakan. Ini sebagai akibat dari terlalu seringnya
penggambaran tokoh haji sebagai tokoh antagonis. Contoh
konkret adalah dalam sinetron Haji Medit, Islam KTP, Tukang
Bubur Naik Haji, Mak Ijah Pengen Naik Haji, Anak-anak Manusia,
dan masih banyak lagi. Seorang haji selalu digambarkan sebagai
20 Burung-Burung Kertas
orang kaya yang agamis, tetapi jika

Burung-Burung Kertas 21
bertemu orang miskin, orang miskin tersebut selalu dihina dan
diremehkan oleh tokoh haji tersebut, sedangkan realitas yang
ada dalam masyarakat tidak seperti itu. Akibat adegan tersebut
sering ditonton oleh masyarakat, hal ini menyebabkan cara pan-
dang masyarakat terhadap para pemuka agama menjadi
berubah. Masyarakat akan cenderung mengidentikkan para
pemuka agama di masyarakat tersebut sama dengan yang ada
dalam sinetron yang mereka tonton sehingga muncullah
kecurigaan masyarakat terhadap pemuka agama mereka sendiri.
Akibatnya, pemuka aga- ma selalu digosipkan dengan hal-hal
yang tidak baik, bahkan mulai muncul desas-desus yang dapat
menganggu pribadi pemuka aga- ma tersebut.
Yang semakin memprihatinkan masyarakat saat ini lebih suka
main hakim sendiri. Mereka dengan seenaknya menuduh dan
mem- fitnah seorang pemuka agama telah mengajarkan ajaran
yang me- nyesatkan, bahkan sering kali mereka menangkap dan
mengusir pemuka agama yang dituduh tersebut. Tentunya ini
merupakan suatu tindakan di luar batas kemanusiaan. Hal ini
juga menambah poin negatif dari sinetron religi saat ini. Padahal
secara jelas Islam telah melarang umatnya untuk merendahkan
harkat dan martabat para pendakwah dan pemuka agama, hal ini
tertuang dalam Alquran Surah At Taubah: 65 yang artinya Dan jika
kamu tanyakan kepada mereka (tanggapan apa yang mereka lakuka itu),
tentulah mereka akan menjawab, ‘sesungguhnya kami hanyalah
bersendagurau dan ber- main-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan
nama Allah, ayat-ayat- Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?
Ayat lain yang memperkuat ayat ini adalah dalam Surah
Fathir ayat: 28 yang artinya Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.”. Hal ini membuktikan
bahwasanya kita tidak boleh merendahkan para pemuka agama
sehingga diperlukan suatu pengemasan cerita yang lebih santun
dan tidak menyesatkan.

2. Dampak Psikologis bagi Anak dari Adanya Sinetron


Religi Menurut Astrid W. E. N, M.Psi, Psikolog anak dan remaja
KANCIL, Jakarta Selatan, adegan-adegan yang diperankan artis
22 Burung-Burung Kertas
dalam tayangan sinetron akan banyak memberikan pengaruh bu-
ruk kepada anak. Anak yang masih polos dan belum bisa membe-
dakan hidup nyata dan akting dengan mudah meniru apa yang
ada di sinetron, misalnya adegan kekerasan. Jika anak tidak di-
dampingi orang tua, bisa saja anak meniru adegan kekerasan
dalam sinetron, seperti berantem, memukul hingga menjambak
rambut temannya. Contoh lainnya ialah adegan antagonis yang
selalu ada di setiap sinetron juga dengan mudah ditiru anak-
anak. Untuk itu, jangan heran jika anak yang sering nonton
sinetron, dia lebih cepat marah jika keinginannya tak dipenuhi.
“Anak itu rasa ingin tahunya besar. Dan, anak suka meniru apa
yang dilihatnya. Jika yang dilihatnya memberi contoh buruk, bisa
saja anak pun berperi- laku buruk seperti apa. yang dilihatnya,”
terang Astrid saat ditemui di sela-sela seminar yang berlangsung
di Hotel Sultan, Jakarta belum lama ini.
Senada dengan Astrid, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi. Psi-
kolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI dan Klinik Raditya Me-
dical Center Depok, Jawa Barat, juga mengatakan anak belum
bisa membedakan informasi yang diterimanya antara kisah nyata
atau fiksi (khayalan). “Sinetron saat ini masih banyak menyajikan
ke- bencian, kebohongan, tipu muslihat, dan hal-hal tidak realistis
lain- nya. Ini sangat buruk jika ditonton dan ditiru anak-anak,
tambah Vera.
Tak jarang dalam sinetron religi bertema hidayah sering mun-
cul tayangan berbau seksualitas. Tayangan adegan bertema sek-
sualitas yang sering muncul dapat merangsang anak. Anak
menjadi cepat mengalami tahap kedewasaan karena hormon
seksualnya telah dirangsang oleh tayangan tersebut. Akibatnya,
anak yang belum paham mengenai hal-hal seksualitas menjadi
terjebak ke jurang kegelapan sehingga tak heran jika saat ini
sering terjadi kasus pemerkosaan dan pencabulan anak di bawah
umur, bahkan pada pertengahan tahun 2013 di salah satu
wilayah di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, telah terjadi
kasus pencabulan anak sekolah dasar, yang ternyata pelakunya
adalah teman laki-lakinya sendiri.

Burung-Burung Kertas 23
Tentunya hal ini sangatlah menyedihkan. Belum lagi, dalam
sinetron juga sering didengar kata-kata berbau seksualitas yang
pada akhirnya juga berdampak buruk pada anak. Anak yang
masih belum mengerti arti kata itu sebenarnya, karena terlalu
sering menonton sinetron tersebut, menyebabkan anak memiliki
kebiasa- an dengan kata-kata yang berhubungan dengan hal
seksualitas tersebut.

Solusi
Karena dampak negatif sinetron religi menyebabkan efek yang
berbahaya, perlu dicari solusi untuk penyelesaian masalah ini.
Cara yang pertama adalah membatasi waktu anak untuk
menonton te- levisi. Kemudian, pilih tontonan yang sesuai
dengan usia anak. Sedapat mungkin orang tua atau orang dewasa
di rumah menahan sementara waktu tidak dulu menonton
sinetron sebelum anak- anak tidur. Jika pun anak meminta
nonton sinetron, orang tua tetap harus mendampingi anaknya
meskipun saat nonton sinetron anak-anak ataupun sinetron religi
yang saat ini marak. Peran orang tua sesungguhnya adalah
mendampingi anak menonton untuk mengajarkan bahwa apa
yang ditontonnya tidak semuanya patut ditirunya.
Namun, yang paling tepat adalah mengarahkan anak melaku-
kan aktivitas lain bersama anggota keluarga, mengerjakan tugas
sekolah, atau hanya berkumpul dan bercanda bersama keluarga.
Sebaiknya, orang tua mengalihkan ke tontonan lain, seperti film
edukasi anak atau film kartun yang banyak menampilkan
gambar warna, ukuran, dan jalan cerita sesuai dengan umur
anak- anak, juga lebih baik yang bisa melatih kemampuan pola
pikir anak. Selain itu, orang tua juga bisa mengajak anak
melakukan aktivitas yang lebih bermanfaat, seperti main ludo,
atau permainan edukasi lainnya. Cara kedua kita sebagai
masyarakat harus bisa memfilter tontonan yang layak ditonton
sehingga kita bisa menjadi masya- rakat yang waspada sekaligus
kritis.

24 Burung-Burung Kertas
Simpulan
Agar sinetron religi berkualitas dan layak tonton, sebaiknya
dalam pengemasan sinetron tersebut tidak meninggalkan tujuan
utama pembuatan sinetron tersebut dan adegan yang kurang
mendidik sebaiknya dikurangi. Dengan demikian, akan tercipta
karya seni yang benar-benar berkualitas.

Biodata Penulis
Anggalih Bayu Muh. Kamim. Tinggal di Topanrejo, Maguwoharjo, Depok,
Sleman. Saat ini Anggalih Bayu Muh. Kamim sekolah di SMA Negeri 2
Ngaglik, Sleman. Jika ingin berkorespondensi dengan Anggalih Bayu Muh.
Kamim dapat menghubungi HP: 085293198545.

Burung-Burung Kertas 25
ESAI BAGI REMAJA:
KEBUTUHAN ATAU KETERTARIKAN?
Anita Meilani

Pendahuluan
Pengadaaan lomba atau sayembara menulis untuk kalangan
remaja dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta sudah
sering kita dengar, baik menulis cerpen, puisi, esai, maupun
karya ilmiah. Hadiah yang diberikan pun sangat menarik minat.
Bedanya adalah, ketertarikan remaja terhadap jenis tulisan yang
dilomba- kan. Sadar atau tidak, acuh atau tidak, peminat cerpen
lebih ba- nyak dibandingkan dengan esai. Sebagai tulisan yang
sama-sama berbentuk prosa, esai ternyata tidak begitu menarik
perhatian re- maja. Padahal, pembelajaran menulis esai ada
dalam kurikulum sekolah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), ke- terampilan menulis esai diberikan pada
kelas XII semester 2. Secara normatif, siswa seharusnya sudah
mengerti prinsip-prinsip penu- lisan esai.
Pada kenyataannya, cerpen yang sifatnya lebih imajinatif tetap
mengambil banyak minat dari remaja. Padahal banyak tulisan
yang menyoroti kurangnya minat siswa atau remaja terhadap
sastra. Kelihatannya sastra yang dimaksudkan adalah karya-
karya yang bersifat fiksi seperti novel sastra dan bukan karangan
nonfiksi. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar karena
terbukti pe- serta lomba-lomba menulis cerpen tidak sedikit
jumlahnya. Itu berarti remaja sudah menunjukkan apresiasi yang
cukup tinggi terhadap sastra. Jika sastra yang dianggap kurang
diminati saja kini sudah semakin menarik bagi remaja, lalu
bagaimana dengan esai sendiri?

26 Burung-Burung Kertas
Banyak yang menganggap bahwa menulis adalah suatu
bakat, minat atau ketertarikan. Dalam hal ini termasuk pula menulis
esai. Ketika dihadapkan pada dua pilihan misalnya,
diperintahkan me- nulis esai atau cerpen, remaja cenderung
memilih menulis cerpen. Buktinya, setiap tahun peserta sayembara
penulisan cerpen di Balai Bahasa Yogyakarta lebih banyak
menarik perhatian remaja diban- dingkan dengan peserta
sayembara penulisan esai, dengan per- bandingan peserta
mencapai 1:8 pada tahun 2012.
Esai adalah kebutuhan setiap remaja dalam dunia
pendidikan formal. Esai merupakan dasar bagi penulisan yang
bersifat aka- demik pada jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh
karena itu, pelajaran menulis esai diberikan di sekolah pada jenjang
kelas XII. Namun, mengapa esai hanyalah dianggap sebuah
ketertarikan?

Esai sebagai Literasi Madani


Esai adalah tulisan pendek yang menyoroti topik dari sudut
pandang penulisnya (Wiedarti: 2006:63). Karena didasari oleh su-
dut pandang pribadi, maka esai sangat bersifat subjektif. Ada
yang menggolongkan esai sebagai karangan fiksi, namun ada
juga yang menyebutnya sebagai karangan semi-populer. Dalam
suatu esai terdapat argumen atau kritikan penulis terhadap suatu
pokok ma- salah, sehingga isinya tergantung pada pengalaman
dan pendapat penulis itu sendiri.
Esai adalah ekspresi tulis opini penulisnya. Opini adalah
suatu gagasan dalam pikiran seseorang. Secara berurutan dapat
dijabar- kan bahwa dari sebuah topik, memunculkan opini
penulis dan kemudian jika dituliskan dapat menghasilkan sebuah
esai. Namun, tidak semua opini bisa menjadi argumen esai. Opini
yang bisa menjadi argumen adalah opini yang logis, kuat dan bisa
dipertang- gungjawabkan. Meskipun sama-sama memiliki
argumen penulis di dalamnya, esai berbeda dengan artikel dan
feature.
Karakter esai yang paling menonjol adalah subjektivitas penu-
lis, yang digambarkan melalui argumen, pernyataan, kritikan

Burung-Burung Kertas 27
ber- dasarkan studi pustaka, pemikiran, pengamatan dan refleksi
penu- lis. Wardhana (via Pujiono, 2013:57) menjabarkan
komposisi ka-

28 Burung-Burung Kertas
rangan esai sendiri meliputi judul, pendahuluan, pokok bahasan
(isi), dan kesimpulan. Dengan karakteristik seperti itu, esai sebe-
narnya menjadi kebutuhan penting dalam dunia pendidikan
formal.
Esai sebagai karangan semi-ilmiah yang tidak terlalu
panjang dapat menjadi bekal dasar dalam kegiatan penulisan
ilmiah. Pada tingkatan pendidikan formal, esai digunakan
sebagai penugasan untuk mengetahui tingkat pemahaman dan
apresiasi siswa/maha- siswa terhadap materi ajar yang
diberikan. Dalam pembelajaran penulisan esai di SMA, biasanya
siswa diperintahkan membuat esai pendek yang di dalamnya
telah mencakup unsur organisasi esai yaitu pernyataan tesis
(pendahuluan), isi gagasan, dan kesim- pulan. Berdasarkan esai
pendek yang kurang lebih hanya lima paragraf ini diharapkan
siswa mampu mengembangkan tulisannya menjadi argumen
panjang berdasarkan studi pustaka.
Selain sebagai bekal dasar penulisan karya ilmiah, esai juga
dianggap sebagai bekal menuju literasi madani. Literasi madani
sendiri adalah “kemampuan masyarakat untuk membaca agar
mampu memberi keputusan sosial yang bertanggung jawab dan
kemampuan menulis secara kritis untuk mengaktualisasi peran
sosialnya dalam masyarakat” (Alwasilah, via Wiedarti, 2006:65).
Artinya dengan literasi madani kita bisa menjadi bangsa yang
cer- das yang mencerminkan keterampilan hidup berdemokrasi.
Dalam konteks masyarakat madani, literasi (keterampilan
membaca dan menulis) diarahkan pada membaca madani dan me-
nulis madani. Perwujudan literasi madani dapat dilihat dalam
arti- kel-artikel, tajuk, opini, kritik, dan resensi yang termuat
dalam surat-surat kabar. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagai ma- syarakat kita sudah mampu menyuarakan pikiran
sebagai kontrol terhadap pemerintah, yang merupakan ciri dari
bangsa yang meng- anut sistem demokratis. Madani sendiri dapat
diartikan sebagai “seimbang”.
Hal-hal yang berbau politik, ilmiah, dan lain sebagainya,
sebe- narnya bukan tugas guru bahasa Indonesia saja untuk
mengajarkan esai kepada anak didik atau remaja. Guru mata
pelajaran lain se- harusnya juga menguasai teknik penulisan
Burung-Burung Kertas 29
esai. Esai tidak hanya

30 Burung-Burung Kertas
dipergunakan dalam karangan sastra saja, tetapi juga pada
bidang- bidang yang lain. Esai merupakan dasar dari penulisan
ilmiah, tidak terbatas pada sastra. Materi pada bidang studi lain
dapat dikaji dalam bentuk esai.

Penguasaan Guru dalam Penulisan Esai


Wiedarti (2006:70) mengungkapkan bahwa ternyata hanya ter-
dapat 15% (dari 70 guru bidang studi) yang menguasai
penulisan esai lima paragraf secara benar, sedangkan 85%
lainnya tidak me- ngetahui organisasi penulisan esai, terutama
tentang pentingnya pernyataan tesis yang membatasi pokok
bahasan. Guru-guru yang dijadikan sampel adalah guru-guru
berbagai bidang studi dari SMA yang diambil dari masing-masing
kota di Kaltim, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.
Dengan kemampuan yang sedemikian itu, guru tidak dapat
membimbing siswanya dalam penulisan esai yang kemudian
diha- rapkan mampu berpikir kritis. Mungkin karena merasa
tidak mam- pu menulis esai, guru tidak mau mengajarkan
penulisan esai kepada siswanya. Inilah salah satu faktor siswa
tidak tertarik dengan pe- nulisan esai.
Kenyataannya, dengan sampel beberapa SMA di Yogyakarta
menggunakan sampel masing-masing alumni sekolah tersebut, ter-
nyata penulisan esai malah sama sekali tidak diajarkan.
Alasannya adalah materi penulisan esai yang ada di kurikulum
kelas XII se- mester 2 digeser oleh persiapan ujian nasional yang
dianggap lebih penting.
Ada beberapa alasan mengapa pembelajaran esai diberikan
di kelas XII semester 2. Dalam Wiedarti (2006:64), alasannya adalah
pembekalan penulisan esai memerlukan keterampilan dasar berupa
keterampilan membaca dan menulis pada kelas X, XI, dan XII di
semester 1 (membaca: cepat, memindai, intensif; menulis paragraf:
deskriptif, naratif, ekspositoris, persuasif, dan argumentatif; me-
lengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan kaki; meng-
ungkapkan informasi melalui penulisan resensi; menulis
rangkum- an atau ringkasan isi buku; menulis karya ilmiah (hasil
pengamatan dan penelitian); dan menulis karangan berdasarkan
topik tertentu
Burung-Burung Kertas 31
dengan pola pengembangan deduktif dan induktif) yang
kesemua- nya diasumsikan mampu mendukung pemelajaran
penulisan esai. Itulah mengapa esai tidak diberikan di kelas X
atau XI, bahkan di kelas XII semester 1.

Aturan yang Menjadi Alasan


Hyland (via Pujiono, 2013:55), mendasarkan dalam teori
esai argumentatif kriteria penulisan esai yang baik harus
mengandung tesis, masalah, argumen, dan kesimpulan. Ada
tahapan-tahapan tertentu yang secara teoritis membatasi siswa
dalam menulis esai. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat
membatasi topik yang mereka tulis dan uraiannya tidak keluar
dari masalah.
Namun, “kerapian” dalam menulis esai tersebut
menyebabkan siswa kurang tertarik menulis esai jika bukan
tuntutan dari tugas sekolah. Bentuk esai dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu esai formal dan esai informal (Payne, via
Pujiono, 2013:53). Esai formal dipergunakan oleh pelajar,
mahasiswa dan para peneliti untuk me- ngerjakan tugas-
tugasnya. Esai bernada formal sebaiknya peng- gunaan
pronomina pertama dihindari, sudut pandang harus logis
berdasarkan fakta, serius, dan lebih panjang dibandingkan
dengan esai informal. Esai informal sendiri lebih mudah ditulis
karena lebih bersifat personal, jenaka, dengan bentuk struktur
tidak ter- lalu formal (bertutur) sehingga bukanlah suatu alasan
yang tepat jika remaja malas menulis esai hanya karena masalah
sistematika penulisan yang diharuskan runtut. Untuk itu,
pemikiran yang se- perti itu harus diluruskan dari mental remaja
Indonesia. Jika terus- menerus esai dianggap terlalu berat untuk
ditulis sebagai tulisan sehari-hari, bukan tidak mungkin esai
tetap tidak seeksis cerpen. Sesungguhnya jika permasalahan ini
ditangani dan diberi perhatian lebih, penulisan esai akan mampu
dikuasai siswa setelah lulus dan memasuki perguruan tinggi.
Dengan demikian, maha- siswa baru tidak akan kesulitan
mengerjakan tugas-tugas kuliah yang kebanyakan berupa esai
atau makalah. Jika mahasiswa me- nguasai penulisan esai
dengan baik, mereka akan mampu menulis makalah yang lebih
32 Burung-Burung Kertas
kompleks dan lebih panjang dengan baik pula.

Burung-Burung Kertas 33
Esai Sastra
Perkembangan esai di Indonesia dipopulerkan oleh H.B.
Jassin. Karya Jassin yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esei (1985) merupakan rujukan penulis esai di
Indonesia. Esai-esai yang ditulis sebagian besar adalah esai
sastra. Menurut Jassin, esai adalah uraian yang mebicarakan
berbagai macam ra- gam, tidak tersusun secara teratur, tetapi
seperti dipetik dari ber- bagai macam jalan pikiran (via Pujiono,
2013:53). Esais-esais Indonesia yang terkenal hingga sekarang
antara lain adalah Iwan Simatupang, Sutan Takdir Alisyahbana,
dan Sitor Situmorang.
Esai sastra sendiri merupakan pandangan atau pendapat
pribadi penulisnya mengenai suatu masalah kesastraan.
Ternyata sejak dulu, eksistensi esai telah dipermasalahkan. Hal
tersebut pernah diungkapkan oleh Nugroho Notosusanto dalam
“Persada” lampiran majalah “Kisah” November 2006. Nugroho
mengeluh bahwa genre esai merupakan genre yang
dianaktirikan dalam dunia sastra kita. Di dalamnya juga terdapat
pernyataan dari S.M. Ardan bahwa hasil sastra terbaru lebih
banyak cipta daripada be- rupa esai atau kritik atau resensi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa bukan hal yang mengherankan jika
kini pun remaja lebih menyukai cerpen sebagai hasil cipta sastra
dibandingkan esai, baik esai sastra maupun esai yang membahas
masalah lain.
Contoh dari esai sastra adalah tulisan Jakob Soemardjo
terha- dap cerpen “Mangga Arumanis” karya Muh Rustandi
Kartakusuma dengan ciri-ciri subjektivitas penulis berdasarkan
pengalaman dan pengetahuannya.
Mangga Arumanis adalah simbol Rustandi untuk
menyatakan kehidupan (keluarga) masyarakat dan bangsa yang
otentik, jujur, sesuai tuntutan hati nurani, bermoral dan teguh
iman. Mangga Arumanis juga berarti pengorbanan kepentingan
diri sendiri. Meskipun sebuah keluarga, sebuah masyarakat atau
sebuah bangsa itu miskin, asal hidup bermoral dan beriman,
akan menjadikan hidup ini akan menjadi manis dijalani dan
dinikmat dihayati. Keka- yaan itu baru berharga, baru manis,

34 Burung-Burung Kertas
kalau diperoleh pula secara otentik, jujur, bermoral, dan
beriman. Tokoh Hendra adalah pah-

Burung-Burung Kertas 35
lawan bagi pengarangnya, Rustandi Kartakusuma. Pahlawan itu
dengan gagah berani menyumbangkan buah-buah mangga yang
tidak halal itu kepada mereka yang membutuhkan makanan. Ha-
nya dengan berbuat demikian, ia dapat kembali bermesraan de-
ngan istrinya, Yanti. Meskipun Yanti berasal dari keluarga kaya,
ia mau hidup dalam kemiskinan mendampingi Pahlawannya,
Hen- dra, yang bersikukuh mempertahankan sikap bermoral dan
ber- iman, penuh pengorbanan, dan pengabdian kepada
sesama.”
Pengetahuan penulis tentang mangga arumanis, pandangan
positifnya terhadap tokoh di dalam cerpen yang diulas sangat
memperlihatkan betapa pribadinya sebuah esai. Inilah yang me-
nyangkal pernyataan bahwa esai terlalu ilmiah yang berindikasi
terlalu “serius”, karena esai sendiri malah sangat subjektif. Pan-
dangan yang seperti itu di kalangan remaja harus segera dilu-
ruskan.
Sebenarnya tanggapan terhadap karya sastra yang ada tidak
hanya dapat diapresiasi melalui esai, namun juga kritik dan resensi.
Walaupun sama-sama memuat argumen, ketiga jenis tulisan terse-
but memiliki perbedaan pada tujuannya. Dapat dipahami bahwa
sastrawan kita pun memiliki kegelisahan tentang nasib genre
esai pada masa ini. Meskipun telah dimasukkan ke dalam
kurikulum sekolah, pada kenyataannya pembelajaran esai belum
juga mak- simal.

Penutup
Tampaknya remaja belum menyadari pentingnya esai dalam
kegiatan akademis. Tentu saja hal ini juga merupakan akibat dari
pembelajaran oleh guru yang tidak menekankan dan
menyampai- kan pentingnya esai untuk mereka, sehingga remaja
kurang mema- hami hal tersebut. Setidaknya ada dua alasan
mengapa esai kurang berkembang di kalangan remaja.
Pertama, adanya persepsi bahwa esai terlalu bersifat ilmiah,
harus mengikuti kaidah atau aturan penulisan tertentu, sehingga
menyebabkan adanya asumsi bahwa terlalu banyak batasan yang
diberikan dalam penulisan esai, sehingga remaja yang merasa ingin

36 Burung-Burung Kertas
bebas berekspresi tertekan batasan-batasan tersebut. Aturan penu-
lisan esai yang memang bersifat semi-ilmiah menghambat kemauan
remaja yang cenderung labil dan belum memahami fungsi esai.
Secara psikologis usia remaja memang menyebabkan mereka lebih
senang dengan hal-hal bersifat imajinatif, karena mereka sendiri
pun suka berimajinasi. Itulah yang mengakibatkan dalam dunia
sastra hasil cipta lebih banyak dibanding ulasannya seperti yang
diungkapkan oleh S.M. Ardan.
Kedua, kurangnya perhatian guru terhadap perkembangan
kemampuan siswanya dalam menulis esai yang mengakibatkan
kurangnya pemahaman siswa terhadap fungsi esai. Seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa banyak guru yang malah
be- lum menguasai esai dengan benar, maka bagaimana siswa
dapat menguasai esai dengan baik pula? Padahal dalam tingkat
univer- sitas, mahasiswa diasumsikan sudah mampu menulis
esai dengan baik dan benar sehingga banyak dosen mata kuliah
menguji pema- haman mahasiswanya dengan tugas menulis esai.
Sosialisasi terhadap guru semua bidang studi tentang
penting- nya penulisan esai sebagai bekal dasar penulisan karya
ilmiah dapat menjadi solusi. Tidak hanya sosialisasi, akan tetapi
juga pelatihan penulisan esai yang kemudian diharapkan mampu
ditularkan kepa- da siswa-siswanya. Tentu saja, sosialisasi dan
pelatihan tersebut tidak hanya diberikan kepada para guru,
tetapi juga kepada para mahasiswa calon guru.
Dalam sudut pandang lain, jika memang pada dasarnya
remaja banyak yang mencintai sastra, bukan tidak mungkin
pengembang- an awal kecintaan untuk menulis esai adalah
dengan menulis esai sastra. Dengan ketertarikan yang condong
ke sastra, esai akan menjadi lebih menyenangkan jika yang diulas
adalah sebuah topik yang mereka sukai dan kuasai. Lama-lama
remaja akan menyadari bahwa penting sekali mempelajari esai.
Antara lain melatih peka dalam lingkungan sekitar, menangkap
dengan cepat masalah yang ada, berpikir kritis, dan
mengungkapkan data dengan argumen yang kuat, yang
menjadikan bekal untuk menyusun kerangka ber-

Burung-Burung Kertas 37
pikir ilmiah. Menulis bukan hanya masalah tertarik atau tidak
ter- tarik, menulis juga sebagai kebutuhan, apapun jenisnya.
Dalam menulis esai dapat dimulai pula dari penulisan esai
informal, yang kemudian berlanjut ke tahapan esai formal yang
mengharuskan adanya data-data dari studi pustaka.
Pada akhirnya, seperti wahyu Tuhan yang disampaikan
pertama kali kepada Nabi Muhammad saw., iqro’ ‘bacalah’.
Bacalah kemudian menulislah. Jika ingin menaklukkan dunia,
silakan Anda membacalah. Jika ingin dikenal dunia, silakan Anda
menulislah. Cogito ergo sum. Aku berpikir karena itu aku ada.
Scribo ergo sum. Aku menulis karena itu aku ada, maka mari
mulailah berpikir untuk menulis agar segera dikenal dunia.

Daftar Bacaan
Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Pujiono, Setyawan. 2013. Terampil Menulis: Cara Mudah dan Praktis
dalam Menulis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wiedarti, Pangesti. 2006. “Menulis Karya Ilmiah dan
Pengajarannya”. Diktat FBS, Universitas Negeri Yogyakarta.

Biodata
Anita Meilani. Tinggal di Celep, Srigading, Sanden, Bantul. Saat ini Anita
Meilani kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Jika ingin
berkorespondensi dengan Anita Meilani dapat menghubungi HP:
085743802244 dan pos-el: meilanitta@yahoo.com.

38 Burung-Burung Kertas
AKU GUNCANGKAN DUNIA
DENGAN MEMBACA
Surya Jatmika

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari
akarnya. Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan
dunia.”(Bung Karno)

Pendahuluan
Tentu kita pernah mendengar salah satu pekik retorik yang
digaungkan Sang maha mentor abadi, Bung Karno, di atas. Kata
mutiara di atas telah menunjukan betapa besarnya harapan beliau
terhadap kaum muda. Beliau telah menyadari sepenuhnya akan
arti pentingnya kaum muda untuk membawa bangsa ini menuju
keperadaban yang lebih baik.
Satu pemuda bukanlah sembarang pemuda. Pemuda yang
diharapkan Bung Karno adalah pemuda yang cerdas, kritis dan
pintar dalam setiap hal. Apalah gunanya satu pemuda, seratus,
sejuta, bahkan semilyar, jika mereka bodoh, tentu keadaan stagnasi
atau tidak bergerak yang ada. Oleh karena itu, jika lebih diper-
dalam, makna tersirat Bung Karno dalam kata mutiaranya adalah
harapan satu orang pemuda yang cerdas, kritis dan pintar.
Satu kunci untuk menjadi pemuda cerdas, kritis dan pintar,
yaitu dengan membaca segala buku bermutu, yang
mencerdaskan dan mencerahkan pikiran, serta menjadikan
hidup lebih berkuali- tas. Membaca buku sampah (buku porno,
buku makna kosong) hanya membuat pikiran miring atau
melenceng dalam ketidakseim- bangan, menjadikan kita sebagai
pribadi tak berkarakter dan terke- san liar, menghalalkan segala
cara untuk menyelesaikan setiap persoalan.

Burung-Burung Kertas 39
Akan tetapi, di negeri ini tampaknya membaca buku
bermutu belum menjadi budaya. Masyarakat terutama pemuda
belum me- mahami arti penting membaca bagi kehidupan,
padahal membaca adalah kunci segala kesuksesan. Tidak ada
orang di muka bumi ini sukses tanpa membaca. Seorang Thomas
Alfa Edison tidak akan menemukan bola lampu jika tidak
membaca. Oleh karena itu, reali- ta ini menjadi dasar penulis
mengemukakan gagasannya.

Fakta Membaca Pemuda Indonesia


Seperti yang dijelaskan sebelumnya membaca buku bermutu
merupakan kunci kesuksesan atas segalanya. Membaca akan
membawa pelakunya menjadi pribadi dengan kualitas tinggi.
Insan berkualitas mampu membawa bangsanya menuju
kedudukan per- adaban yang lebih baik. Oleh karena itu, tidak
salah jika para ahli, baik skala lokal maupun internasional,
menjadikan membaca seba- gai parameter kemajuan suatu
bangsa.
Membaca dan petumbuhan kemajuan negara merupakan
suatu hukum perbandingan lurus. Semakin tinggi minat baca
penduduk suatu negara, semakin tinggi pertumbuhan kemajuan
negara,dan sebaliknya. Hukum ini tentu menjadi sebuah jawaban
atas apa yang terjadi di Indonesia yang tidak kunjung maju. Ini
terjadi kare- na minat baca penduduknya terutama pemuda kita
sangatlah rendah.
Menurut penelitian berskala nasional bahkan internasional di-
katakan minat baca buku penduduk kita tergolong rendah, ter-
utama pemuda kita. Berikut beberapa buktinya.
1. Berdasarkan data CSM pada anak SMA di 13 negara, termasuk
Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca
sebanyak 32 buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang
22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei
7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0
buku.
2. Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal

40 Burung-Burung Kertas
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),

Burung-Burung Kertas 41
Ella Yulaelawati, mengatakan bahwa skor rata-rata kemampu-
an membaca remaja Indonesia adalah 402, di bawah skor rata-
rata negara yang masuk Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) dan Indonesia menempati urutan 57
dari 62 negara.
3. Laporan Bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesia
from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca
usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu
meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan
Singa- pura (74,0).

Data dan fakta di atas merupakan sebuah jawaban atas keada-


an kita yang tidak kunjung maju sekaligus potret betapa mempri-
hatinkan minat baca buku bermutu penduduk kita terutama pe-
muda. Pemuda merupakan generasi penerus, di mana masa
depan bangsa dan peradabannya berada di genggaman tangan
mereka. Namun, mereka malah memiliki minat baca yang rendah
terhadap buku berkulitas.
Keadaan terpuruknya minat baca buku bermutu pemuda
saat ini masih dipandang masalah sepele bagi pemerintah dan
masya- rakat. Padahal keadaan tersebut merupakan akar segala
bencana kemanusiaan di negeri ini (korupsi, kemiskinan dan
kriminalitas). Selain itu, rendahnya minat baca buku bermutu
pada pemuda me- rupakan suatu pertanda hancurnya peradaban
bangsa dimasa de- pan. Oleh karena itu, ‘bencana’ rendahnya
minat baca pemuda Indonesia harus disikapi dengan segera. Jika
tidak, niscaya Indone- sia akan tenggelam, karena kekalahan
dalam persaingan global lantaran kebodohan generasi
penerusnya sendiri.

Pemuda Kita
Pemuda Indonesia memang rendah dalam hal minat
membaca buku bermutu, tetapi tidak untuk minat membaca pada
dunia maya (internet). Mereka sudah menjadikan internet
sebagai kebutuhan pokok dalam hidup mereka. Tanpa adanya
internet, hidup mereka bagaikan sayur tanpa garam yang

42 Burung-Burung Kertas
hambar rasanya.

Burung-Burung Kertas 43
Saat ini internet mereka gunakan sebagai sumber informasi
pertama dan utama akan setiap hal, seperti tugas, teori makalah,
kajian dan berbagai karya. Pemanfaatan internet yang besar
seba- gai sumber informan utama daripada buku, didasari alasan
mudah, ringkas dan tidak menjenuhkan sehingga keadaan tersebut
menye- babkan Indonesia menduduki peringkat lima dunia
sebagai peng- guna internet terbanyak di dunia.
Fakta mengenai prestasi penggunaan internet pada masyarakat
bagaikan dua sisi perasaan kehidupan, antara kebanggaan dan
keprihatinanan. Kebanggan yang dirasakan adalah penduduk In-
donesia terutama pemuda ternyata memiliki wawasan IPTEK (Il-
mu pengetahuan dan teknologi) yang tinggi. Keprihatinnanya,
ma- syarakat kita, terutama pemuda, masih menjadikan bacaan di
inter- net sebagai sumber informasi pertama dan utama dalam
menger- jakan setiap karya mereka.
Penggunaan internet sebagai sumber informasi merupakan
jalan yang salah. Kevalidan, keakuratan, mutu, dan kebenaran tu-
lisan di dalam internet masih menjadi keraguan bagi para pakar.
Ini disebabkan penulisannya yang masih dibelenggu oleh emosi
sesaat penulis sehingga tanggung jawab dan makna tulisan
kabur. Oleh sebab itu, para ahli menempatkan internet sebagai
pustaka kelas terbawah dan disarankan agar tidak dipakai dalam
setiap penulisan ilmiah dan yang penulisan karya yang lain.
Pustaka kelas teratas tentu adalah tulisan-tulisan bermutu hasil
pemikiran dan penelitian para ahli yang ditulis dengan makna
dan tanggung jawab yang penuh sehingga validasi dan keakurat-
annya tidak menjadi keraguan. Akan tetapi, dengan alasan
mudah, ringkas, dan tidak menjenuhkan, tetap saja menjadikan
internet sebagai primadona pemuda kita sebagai bacaan dan
acuan.
Keadaan ini tentu bukanlah hal yang sepele. Pembacaan bacaan
yang tidak bermutu tentu akan melencengkan pikiran, merusak
moral dan mengubah pola perilaku kita menjadi tidak terkendali.
Selain itu, penggunaan bacaan tidak bermutu sebagai penunjang
gagasan akan melahirkan dan menyuguhkan tulisan sampah
yang dapat meracuni pikiran pembacanya.

44 Burung-Burung Kertas
Ketika pikiran rusak, moral pun menjadi rusak dan tentu
me- rembet pada perilaku pembacanya yang menjadi tidak
terkendali. Keadaan yang terjadi adalah carut marut dan hidup di
bawah bayang-bayang ketakutan. Itulah gambaran yang terjadi
ketika kita mengabaikan hal sepele, yaitu rendahnya minat
membaca baca- an bermutu pada masyarakat kita, terutama
pemuda (generasi penerus bangsa).

Bagaimana Kita Menyikapinya?


Tingginya angka minat membaca masyarakat terutama
pemu- da akan bacaan di internet memang suatu keprihatinan.
Akan tetapi, hal itu dapat dijadikan sarana atau jembatan emas
untuk meningkatkan minat baca buku bermutu. Dengan jalan
penerbitan buku e-book lalu di upload di internet dan pelayanan
download secara mudah dan gratis, hal itu tentu akan
meningkatkan minat baca pemuda kita akan buku bermutu.
Buku elektonik ini tentu menjawab kelemahan yang dimiliki
buku cetakan, seperti pada umumnya, yaitu rumit, tidak ringkas,
dan menjenuhkan. Kevalidan, keakuratan, dan tanggung
jawabnya pun tidak menjadi keraguan karena buku elektronik
sama saja dengan buku cetakan hanya saja wujudnya yang berbeda
dari hard file (cetakan) menjadi soft file (elektronik) sehingga solusi
ini dapat dijadikan senjata untuk mengatasi masalah membaca
negeri ini.
Solusi selanjutnya adalah perbaikan kondisi perpustakaan di
negeri kita. Dengan melihat pemuda kita yang “gila” teknologi,
perpustakaan sebaiknya mengikuti keadaan dan kondisi demiki-
an. Pengadaan fasilitas pendukung, seperti internet, ruang baca
nyaman, buku baru berkualitas, akses mudah dan sebagainya, ten-
tu akan meningkatkan minat membaca pemuda di perpustakaan.
Perlu kita ketahui bahwa kurangnya peran perpustakaan di
lingkungan kita lantaran kondisinya yang sebatas sebagai ruang
baca dan gudang buku, tanpa adanya fasilitas lain yang
diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan
pengelola perpusta- kaan sebaiknya memberikan anggaran guna
membentuk perpusta- kaan yang modern sesuai dengan apa yang

Burung-Burung Kertas 45
diinginkan masyarakat

46 Burung-Burung Kertas
terutama pemuda sehingga minat baca penduduk di
perpustakaan semakin tinggi.
Solusi terakhir yang penulis tawarkan adalah sistem wajib
membaca satu semester bagi siswa. Sistem ini mengajak guru (pen-
didik) untuk mewajibkan siswanya (baik dari tingkat SD (sekolah
dasar) maupun perguruan tinggi) untuk membaca beberapa buku
setiap satu semesternya (buku yang bermutu). Pemberian
kewajiban ini harus didasari kemampuan anak dalam hal membaca,
sebagai contoh untuk SD 1 buku, SMP 3 buku, SMA 4 buku, dan
mahasiswa 5 buku.
Setelah selesai membaca, guru diharapkan mengajak siswanya
untuk meresensi atau meringkas setiap bacaan mereka,
kemudian memberikan pertanyaan mengenai buku yang mereka
baca. Hal ini tentu menekan angka kecurangan yang dilakukan
siswa se- hingga mereka sungguh-sungguh melakukan kegiatan
membaca. Penulis melihat sistem ini belum diterapkan oleh
pemerintah kita. Padahal jika kita menengok negeri tetangga
(Malaysia) dan negara-negara maju (Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa), sistem ini adalah suatu kewajiban bagi
setiap peserta didik. Oleh karena itu, tidak salah kita
mengadopsinya demi mencetak ma-
nusia berkualitas dan Indonesia yang maju.
Dengan solusi yang penulis tawarkan di atas diharapkan
mam- pu menggerakkan hati masyarakat kita terutama pemuda
untuk meningkatkan minat baca mereka terhadap buku bermutu.
Dengan demikian, akan terbentuklah manusia berkualitas dan
terbentuklah Indonesia yang jaya. Lalu yang menjadi pertanyaan,
bagaimana membaca dapat membuat hidup kita lebih berkualitas
dan mampu memajukan bangsa?

Ketika Membaca Mengguncang Dunia


Mayoritas penduduk negeri kita masih beranggapan bahwa
kemajuan bangsa didasari oleh pertumbuhan ekonomi yang baik.
Pemikiran ini adalah salah besar. Fondasi utama dalam
kemajuan bangsa adalah bermula dari kualitas hidup
penduduknya yang dimulai dari minat baca mereka terhadap

Burung-Burung Kertas 47
buku-buku bermutu.

48 Burung-Burung Kertas
Akan tetapi, mereka masih belum menyadari sepenuhnya akan
hal tersebut karena belum mengetahui arti penting membaca buku
bermutu.
Membaca buku bermutu adalah kegiatan yang tidak ada
rugi- nya. Menurut Sri Harjanto Sahid, membaca sama halnya
menyerap pengetahuan dari buku sama artinya dengan
menimbun investasi untuk membangun masa depan, berarti
memperkaya dan memper- kuat kerajaan pikiran, sekaligus
meluaskan dan memenuhkan gu- dang kerajaan sunyi kalbu
dengan mutiara-mutiara kebijaksanaan hidup sehingga terciptalah
manusia berkualitas dan beretika.
Dengan terciptanya manusia berkualitas dan beretika, hal itu
akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Ini
dikarenakan manusia berkualitas akan mendorong terlahirnya tin-
dakan-tindakan nyata yang memajukan peradaban. Berbeda de-
ngan manusia tidak berkualitas, mereka hanya akan memperkeruh
keadaan dan menyebabkan hancurnya peradaban dengan omong
kosong mereka.
Kemudian, bukti selanjutnya yang menguatkan argumen pe-
nulis membaca buku bermutu mampu mengguncang dunia telah
terpampang nyata di muka bumi ini. Keadaan itu dapat kita lihat
perbedaan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
Indonesia dan Amerika Serikat adalah negara yang sama,
yaitu sama tergolong lima besar penduduk terbanyak di dunia
(Amerika ke-3 dan Indonesia ke-4). Namun, yang membedakan,
Amerika adalah negara adidaya penguasa dunia di balik
keterbatasan sum- ber daya alam, sedangkan Indonesia adalah
negara miskin di balik keterlimpahan sumber daya alamnya.
Tentu ini merupakan fakta yang sangat ironi bagi kita (orang
Indonesia).
Terjadinya keadaan tersebut lantaran kualitas penduduk ke-
dua negara sangatlah berbeda. Perbedaan kualitas hidup
disebab- kan budaya membacanya. Dari fakta yang telah
dijelaskan sebe- lumnya menyatakan bahwa jumlah buku yang
wajib dibaca pemuda Amerika adalah 32 buku, sedangkan
Indonesia 0 buku. Nah, dari bukti yang telah ada, kita dapat
melihat dampak besar di kemudian hari orang yang membaca
Burung-Burung Kertas 49
buku bermutu dibanding dengan yang tidak.

50 Burung-Burung Kertas
Amerika, negara dengan penduduk terbesar ketiga dunia de-
ngan keterbatasan sumber daya alam, mampu menjadi penguasa
dunia lantaran kualitas penduduknya yang sangat tinggi. Hal itu
hanya diperoleh dengan cara membudayakan membaca bacaan
bermutu dari usia dini hingga seterusnya. Mengapa kita tidak
bisa?
Kita, Indonesia, janganlah kalah dengan Amerika. Kelebihan
yang kita miliki dari Amerika sangatlah berpotensi besar untuk
menjadikan negeri ini menjadi penguasa dunia selanjutnya yang
bahkan mampu mengalahkan Amerika dengan jalan
meningkatkan minat baca buku bermutu sebagai jalan keluarnya.
Masa depan bangsa ini ada digenggaman tangan kita. Oleh
karena itu, mari pemuda bawa bangsa kita menjadi macan dunia
melalui membaca buku bermutu.

Penutup
Rendahnya minat baca buku bermutu pemuda kita menjadi
suatu keprihatinan bagi kita. Ditambah lagi kesenangan mereka
membaca bacaan di dunia maya yang kualitasnya jauh dari kata
berkualitas membuat kita menjadi lebih prihatin. Bacaan-bacaan
tidak bermutu mampu merusak moral pembaca yang merembet
rusaknya tingkah laku kita. Ketika tingkah laku kita menjadi
tidak terkendali membuat kondisi menjadi tidak kondusif.
Situasi tidak kondusif menyebabkan terhambatnya segala
sistem yang bekerja sehingga menyebabkan terhambatnya negara
memperoleh kemajuan dalam segala aspek. Itulah sedikit gam-
baran jika kita masih menyepelekan masalah minat membaca buku
bermutu di kalangan masyarakat terutama pemuda sebagai
pene- rus bangsa.
Oleh karena itu, penulis berharap pihak-pihak terkait
mampu merealisasikan solusi yang penulis gagas dalam esai ini.
jika telah terealisasi meningkatlah minat membaca buku bermutu
masyarakat terutama pemuda kita. Ketika kita memiliki pemuda
berkualitas karena minat baca buku bermutu yang tinggi,
terbentuklah negara makmur dan bukan tidak mungkin lagi
Indonesia mampu meng-

Burung-Burung Kertas 51
ungguli Amerika “Sang Penguasa” dunia melalui membaca buku
bermutu.

Biodata
Surya Jatmika. Tinggal di Pulutan, Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Saat ini
Surya Jatmika kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Jika ingin berkores-
pondensi dengan Surya Jatmika dapat menghubungi HP: 085643951994.

52 Burung-Burung Kertas
MENCIPTA TOKOH FIKTIF
DALAM KARYA SASTRA
Ratu Pandan Wangi

Dewasa ini, sastra makin digemari. Berbagai karya sastra di-


terbitkan, diulas, dan diperbincangkan. Sastra dijadikan topik da-
lam seminar dan forum diskusi. Pelajaran sekolah pun tak lepas
darinya. Sastra tampak di mana pun dengan disisipkan dalam
ber- bagai buku, majalah, koran, hingga bacaan anak-anak.
Karya sastra itu sendiri merupakan sesuatu yang rumit, tak
bisa begitu saja dipahami. Tak semua orang bisa menangkap
mak- sudnya sebab inti dalam karya sastra dipoles sedemikian
rupa dengan berbagai metafora dan tipografi. Tujuannya bukan
untuk menyesatkan, melainkan untuk memaksimalkan daya
khayal pem- baca. Satu karya sastra bisa diterjemahkan menjadi
macam-macam. Kita harus jeli menangkap makna setiap kata, setiap
kalimat, setiap paragraf, hingga keseluruhan karya tersebut.
Membaca karya sastra adalah suatu proses yang panjang dan
lama. Oleh karena itu, tulisan mesti dibuat semenarik mungkin
supaya pembaca tidak bosan. Banyak cara yang bisa dilakukan,
misalnya, pandai-pandai menentukan tema, mengembangkan
kon- flik, memilih sudut pandang, serta yang tak kalah penting,
yaitu menciptakan tokoh fiktif yang memukau.
Sebagai contoh, novel legendaris Dr. Jekyll and Mr. Hyde
karya Robert Louis Stevenson mempunyai tokoh berkepribadian
ganda yang sangat unik. Kepribadian yang bernama Dr. Jekyll
digambar- kan sebagai seorang lelaki bertubuh tegap dan bagus.
Wajahnya tampan, penampilannya bersih dan rapi,
pembawaannya ramah, sedangkan kepribadian yang bernama
Mr. Hyde sangatlah bertolak belakang. Wajahnya begitu buruk
dan memancarkan hawa dingin
Burung-Burung Kertas 53
yang menyeramkan. Dua kepribadian tersebut bersatu menjadi
tokoh yang menyedot perhatian pembaca sampai akhir cerita.
Sebelum mencipta tokoh fiktif, tentukan jenis karya sastra
yang hendak ditulis sebab penokohan berbeda-beda untuk setiap
jenis cerita. Apabila ingin menulis tentang sejarah ataupun
budaya, kita dapat menampilkan tokoh yang sekaligus
mencerminkannya. Apabila ingin menulis tentang misteri, kita
jangan membuat tokoh yang memperumit isi cerita. Buat saja
tokoh yang sederhana, tetapi berbeda halnya apabila ingin
menulis cerita mengenai pencarian jati diri. Dalam jenis tulisan
ini, penokohan mesti kita buat secara utuh.
Salah satu cerita tentang pencarian jati diri adalah Sybil
karya Flora Rheta Schreiber. Novel yang berdasarkan kisah nyata
dan menggoncang dunia psikologi ini mengisahkan seorang
perempu- an bernama Sybil yang mempunyai 16 kepribadian.
Dikisahkan pada awalnya, Sybil tak menyadari kemunculan
kepribadian-ke- pribadian itu. Lalu, ia mulai mengunjungi
psikolog. Dalam perte- muan-pertemuan mereka terkuaklah
penyebab Sybil menjadi demikian. Ia melakukan penyembuhan
dan akhirnya berhasil. Keenam belas kepribadian itu menyatu.
Pembaca pun mendapat penuturan mendetail dari kejadian awal
sampai akhir, dari sebab sampai akibat.
Biasanya pembaca mudah menyukai tokoh yang mirip
dirinya sendiri. Kemiripan itu bisa di permukaan, misalnya,
remaja lebih menyukai karya sastra yang tokohnya sesama
remaja daripada tokohnya orang tua. Bisa juga kemiripan yang
lebih dalam, seperti sifat dan kebiasaan. Namun, kemiripan-
kemiripan itu pada akhir- nya dapat membuat bosan sehingga
ciptakan juga tokoh yang membuat pembaca penasaran.
Sumber ide untuk mencipta tokoh fiktif bisa berasal dari mana
saja. Perhatikan orang-orang yang sudah dikenal baik. Kita tentu
hafal penampilan, kepribadian, dan latar belakang mereka. Coba
tulis deskripsi mengenainya secara terperinci, atau kita bisa
pergi ke beberapa tempat, misalnya, taman kota, kedai minuman,
se- kolah kejuruan, tempat ibadah, dan lain-lain. Lalu, kita
cermati orang-orang yang berada di sana. Apakah lebih banyak
anak muda
54 Burung-Burung Kertas
atau orang tua? Apakah mereka berkelompok atau terpisah? Apa
saja topik pembicaraannya? Kita coba menebak-nebak yang sedang
mereka pikirkan.
Kita juga bisa melakukan pengembaraan ke dalam diri
sendiri. Pikirkan hal-hal yang kita sukai dan yang tidak,
bagaimana me- nyikapi suatu kejadian, apa saja mimpi kita. Mari
bercakap-cakap dengan diri sendiri. Korek berbagai kenangan
sebab kenangan merupakan sumber ide lainnya. Barangkali kita
mempunyai ke- nangan yang sangat berharga. Daripada
membiarkannya terlupa- kan, coba diabadikan dalam bentuk
tulisan, atau sebaliknya kita mempunyai kenangan pahit dan
menyakitkan yang selama ini ter- bayang-bayang. Mungkin jika
dituangkan menjadi kata-kata, kita bisa memaafkan dan
melupakan kenangan tersebut. Selain kenang- an mengenai
peristiwa yang telah terjadi, kita bisa menciptakan kenangan
baru. Caranya adalah pergi ke tempat-tempat yang be- lum
pernah dikunjungi. Lain kali saat pergi ke restoran, pesan menu
yang kelihatannya tak ingin kita pesan, atau bicara dengan
orang-orang asing. Semakin banyak kenangan yang dimiliki, se-
makin banyak pula peluang untuk memperoleh ide.
Ide adalah sesuatu yang murah dan ada di mana pun asalkan
kita kreatif. Buka pikiran dan pandangan lebar-lebar. Biarkan ide
mengalir deras. Namun, jangan loloskan ide tanpa disaring
karena bisa saja ide yang ditemukan sangat klise. Peras pikiran
kita dan barangkali ide pertama, kedua, dan ketiga kita klise.
Oleh karena itu, kita sebaiknya berpikir dari berbagai sudut
pandang. Cari referensi dari buku, surat kabar, majalah, dan lain-
lain. Bisa juga kita mengikuti seminar dan diskusi. Tanyakan
pendapat orang lain mengenai ide kita. Mari terus berpikir dan
berpikir sampai mendapat ide yang luar biasa.
Kita dapat memilih ide yang unik dan tak ada duanya, atau
sudut pandangnya dibuat lain sehingga pembaca tak berpikir yang
itu-itu saja. Sebagai contoh, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta sudah
begitu sering dibahas hingga daya tariknya berkurang. Namun,
cerpen berjudul Kunang-kunang di Langit Jakarta oleh Agus Noor—
salah satu pemenang 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas 1992—
2012—menghadirkan sesuatu yang berbeda. Cerpen ini melukis-
Burung-Burung Kertas 55
kan realitas tragedi dengan cara romantis. Para perempuan yang
diperkosa dalam kerusuhan itu disimbolkan sebagai kunang-ku-
nang dan roh penasaran. Mereka beterbangan bebas di gedung-
gedung kosong, sederhana, tetapi menggugah.
Setelah mendapat ide, sebaiknya kita segera merealisasikan-
nya. Jangan tunggu terlalu lama sebab bisa-bisa lupa atau ide itu
kehilangan momentumnya. Ciptakan tokoh-tokoh fiktif yang
men- dukung ide tersebut. Tempatkan mereka di posisi yang
tepat. Berdasarkan kepentingannya, tokoh dibagi menjadi tiga,
yaitu fi- guran, tokoh sampingan, dan tokoh utama. Figuran ialah
tokoh yang hanya berada di latar belakang, keberadaannya
untuk mela- kukan fungsi sederhana lalu hilang dan dilupakan,
sedangkan to- koh sampingan berperan lebih banyak, bisa
mempengaruhi cerita, tetapi hanya muncul sebentar.
Tokoh utama adalah fokus pembaca sehingga mesti dibuat
memukau agar pembaca ingin terus mengikuti kisahnya. Penam-
pilannya bisa dibuat menarik, seperti cantik, tampan, rupawan,
anggun, eksotis, karismatik. Namun yang penting, ia menarik
sim- pati pembaca. Beri peran protagonis sebagai korban atau
penye- lamat, penyembuh, pencinta kedamaian, dan sebagainya.
Namun, jangan ciptakan tokoh yang terlalu sempurna. Bukannya
bersim- pati, bisa-bisa pembaca merasa bosan. Untuk itu,
sisipkan keku- rangan atau keburukan pada sang tokoh.
Dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tokoh
utamanya dijuluki Ikal. Ia lelaki yang penampilannya biasa saja,
tidak kaya dan tidak digilai perempuan, cerdas, tetapi akhirnya
menjadi pengangguran. Karakter seperti ini terasa akrab dengan
pembaca sehingga mendapat banyak simpati. Ikal adalah orang
yang pantang menyerah. Ia bercita-cita menempuh pendidikan di
Perancis walaupun keadaannya tak memungkinkan. Berkat
usaha keras, dukungan orang-orang terdekat, dan campur tangan
Tuhan, akhirnya Ikal bisa mewujudkan keinginannya. Karakter
dan plot ceritanya sangat sesuai bagi pembaca untuk menganggap
Ikal orang yang dekat dengan mereka. Pembaca ikut menangis
saat Ikal me- nangis, tertawa saat Ikal tertawa, dan bangga bukan
main saat ia akhirnya berhasil.

56 Burung-Burung Kertas
Tokoh utama juga bisa dijadikan antagonis asalkan memikat.
Contohnya adalah tokoh utama dalam novel Out karya Natsuo
Kirino yang memenangkan Japan’s Grand Prix for Crime Fiction, na-
manya Yayoi, buruh pabrik yang tidak sengaja membunuh
suami- nya. Sebelum kejadian tersebut, ia adalah orang yang
biasa-biasa saja. Namun, karena harus menyingkirkan mayat itu
dengan cara memutilasi, kepribadian Yayoi perlahan-lahan
berubah. Ia men- jadi psikopat. Namun, kekejamannya justru
memperindah cerita. Baik antagonis maupun protagonis,
pastikan tokoh utama sering muncul agar pembaca akrab
dengannya. Tonjolkan ia, le- mahkan tokoh lainnya. Kita bisa
juga menggunakan sudut pandang tokoh utama itu agar pembaca
lebih bersimpati. Dalam bercerita ada sudut pandang orang
pertama dan sudut pandang orang keti- ga. Sudut pandang
orang pertama sering dipilih penulis pemula sebab sederhana
dan terasa alami. Sudut pandang ini digunakan apabila penutur
ingin menjadi tokoh yang terlibat dalam cerita, kecuali kita
sedang menceritakan diri sendiri, jadikan si penutur orang yang
berbeda dari kita. Beri ia kepribadian sendiri. Pastikan gaya
bertuturnya mencerminkan kepribadian itu, juga pendidikan dan
status sosialnya. Tokoh yang dijadikan penutur mesti hadir di
adegan-adegan penting dan minimalkan adegan yang kurang
penting baginya.
Sudut pandang orang ketiga dibagi jadi dua, yaitu serba tahu
dan terbatas. Orang ketiga serba tahu, seperti sebutannya, menge-
tahui segala sesuatu. Ia seolah berada di mana pun dan kapan
pun. Ia tahu pikiran dan keinginan para tokoh, juga masa lalu dan
masa depan, sedangkan orang ketiga terbatas hanya melihat dari
sudut pandang salah satu tokoh. Penuturannya tergantung pada
yang dilihat orang itu dan hanya bisa menduga-duga.
Tokoh yang dijadikan sudut pandang bisa diganti-ganti, con-
tohnya, Traveler’s Tale karya Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman
Hidajat, dan Ninit Yunita. Ada empat tokoh utama dalam novel
itu. Tiap bab menggunakan sudut pandang orang yang berbeda.
Terdapat ciri yang jelas dalam pergantiannya walaupun semua
bab menggunakan sudut pandang orang pertama sebab dalam
bercerita Francis menyebut dirinya “aku”, Retno menyebut
Burung-Burung Kertas 57
dirinya

58 Burung-Burung Kertas
“saya”, sedangkan Farah “gue” dan Jusuf “gua”. Dengan demikian,
pembaca tidak merasa bingung.
Manakah sudut pandang yang sebaiknya dipilih? Tergantung
keinginan kita. Apabila ingin pembaca mendalami tokoh-tokoh
dalam cerita, pilih sudut pandang orang ketiga terbatas. Namun,
jika ingin bermain dengan bahasa, pilih sudut pandang orang
ketiga serba tahu atau orang pertama. Sebaiknya kita berhati-
hati agar permainan bahasa itu tidak mengaburkan ceritanya.
Kita bisa melakukan penjajakan pendapat mengenai
karakter tokoh fiktif yang diharapkan orang-orang. Hasilnya bisa
sangat berguna, sebagai contoh, kita hendak menulis karya
sastra yang sasaran pembacanya para ibu. Kita mesti mengetahui
tokoh seperti apa yang mereka inginkan. Apakah tokoh ibu
bersifat kuat yang bisa mengangkat isu persamaan gender, tokoh
ibu yang lemah dan tidak berdaya, tokoh ibu yang bebas dan
modern, atau justru tokoh lelaki yang memesona? Data-data
mengenai hal ini akan membantu pemasaran karya kita.
Sastra bisa menghubungkan kita dengan banyak orang.
Selain menjadikan orang lain sebagai inspirasi penciptaan tokoh
fiktif, ada banyak penggemar sastra yang bisa dimanfaatkan.
Mari ber- hubungan dengan mereka supaya memperoleh berbagai
informasi, misalnya, mengetahui macam-macam penafsiran dari
suatu karya sastra. Bisa juga saling bertanya, atau ikuti
komunitas sastra, ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan,
seperti diskusi, talk show dengan penulis terkenal, bahkan
menerbitkan buku antologi anggota.
Sastra memang seolah tak mengenal batas. Kita bisa berhu-
bungan dengan pencinta sastra dari seluruh dunia. Pengetahuan
kita akan makin melimpah. Persediaan tokoh-tokoh fiktif juga
makin kaya. Dengan orang Perancis, misalnya, kita bisa mendis-
kusikan novel Les Misérables karya Victor Hugo. Novel fenomenal
ini menggambarkan dan mengutuk ketidakadilan sosial Perancis
pada abad ke-19. Kita bisa bertanya lebih jauh mengenai sejarah
dan budaya di novel itu dari penduduk aslinya. Bisa juga mendis-
kusikan novel Musashi karya Eiji Yoshikawa dengan orang
Jepang, novel legendaris yang membahas situasi Jepang abad 16—
17 yang
Burung-Burung Kertas 59
mengandung idealisasi Jepang mengenai harga diri. Tokoh
utama- nya memilih jalan hidup yang sangat menarik, yaitu jalan
pedang. Ia melenyapkan segala nafsunya akan segala sesuatu
kecuali nafsu akan pertempuran.
Namun, tak salah juga kita memilih menikmati sastra
seorang diri sebab sastra bisa menjadi sesuatu yang sangat
universal sekali- gus sangat pribadi. Kita bisa membaca karya sastra
di suatu tempat sunyi, kemudian bercakap-cakap dengan diri
sendiri dan mencari penafsiran yang paling tepat, tak terbebani
pendapat-pendapat orang lain. Sastra bisa menjadi milik pribadi,
bisa menjadi pelarian dari hidup yang serba rumit, bisa pula
sebagai terapi. Membaca karya sastra merupakan proses
berkenalan lebih jauh dengan ke- pribadian, hasrat, dan sisi lain
dari diri kita.
Alangkah baiknya apabila dalam membaca karya sastra, kita
mempunyai pembimbing sebab kegiatan membaca sebaiknya
ter- arah sejak awal dan harus ada pegangan yang bersifat luwes.
Tak semua buku layak dibaca. Oleh karena itu, kita mesti selektif.
Tak perlu membaca buku yang hanya memberi kesenangan
semu, cari buku yang menambahkan sesuatu pada diri kita, baik
berupa tambahan wawasan, kecerdasan emosi, maupun
spiritualitas. Pilih karya-karya yang memenangkan penghargaan,
seperti Nobel Sastra, Pulitzer, dan sebagainya. Apabila masih
bingung dalam memilih, kita minta saja bantuan orang yang
berpengalaman, seperti orang tua, atau guru. Dengan catatan,
mereka tidak memberi pak- saan-paksaan atau larangan yang
justru membuat orang malas membaca.
Sastra membuat kita lebih peka pada berbagai macam emosi,
seperti keriangan, kepahitan, kegundahan, keluguan, dan
sebagai- nya. Kita menjadi lebih memperhatikan keindahan
maupun keburukan sebab kedua hal itu tumpang tindih dalam
sastra, bah- kan melebur. Yang tampak indah bisa saja
sebenarnya buruk, be- gitu pula sebaliknya. Untuk mengasah
kepekaan ini, kita mesti membaca tak hanya dengan mata, tetapi
juga dengan hati dan pikiran.
Membaca erat kaitannya dengan menulis. Aktivitas
membaca yang intens berarti belajar menulis secara alami.
60 Burung-Burung Kertas
Lama-lama kita

Burung-Burung Kertas 61
akan hafal porsi untuk pembuka, isi dan penutup supaya tulisan
menarik. Kita mengetahui cara memilih sudut pandang.
Bagaimana supaya kalimat ringkas dan padat, atau sebaliknya—
penuh meta- fora? Bagaimana membuat orang berdebar-debar
membaca sampai akhir? Bagaimana mencipta tokoh fiktif yang
membekas di benak pembaca?
Segala pengetahuan mengenai tulis-menulis tak ada gunanya
apabila tidak dipraktikkan. Oleh karena itu, terlintas ide untuk
mencipta tokoh fiktif, sebaiknya kita segera mengajukan pertanya-
an bertubi-tubi mengenai dirinya. Apa jenis kelamin tokoh itu,
laki-laki atau perempuan? Bagaimana penampilannya?
Tubuhnya tinggi atau pendek? Memakai kacamata tidak?
Bagaimana caranya berdiri dan berjalan? Seperti apa sifatnya?
Apakah ia pemarah, pemurung, periang, atau pendengki? Seperti
apa teman-temannya? Ia memiliki berapa anggota keluarga? Apa
saja hobinya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
mendetail dan menjawabnya, kita akan mendapat gambaran utuh
mengenai sang tokoh. Kita juga mesti memikirkan kebiasaan,
bakat, dan seleranya.
Pastikan kepribadian tokoh tampak dalam dialognya. Beri ia
ciri khas dalam berbicara. Tak perlu membuat dialog yang tak
ada gunanya. Dialog mesti ikut berperan mengembangkan cerita.
Pesan moral juga bisa disisipkan dalam dialog supaya kesannya
pembaca tidak digurui.
Yang tidak kalah penting adalah menamai sang tokoh. Nama
adalah sesuatu yang mewakili seseorang, maka mesti dipilih
dengan tepat. Apabila tokoh kita bersifat kejam, kita berikan juga
nama yang berkesan kejam supaya pembaca mudah
mengidentifi- kasinya. Bisa juga memberi julukan-julukan.
Sebaiknya jangan beri nama yang mirip untuk tokoh-tokoh yang
berdekatan. Sebagai contoh, apabila tokoh kakak bernama Maria,
jangan namai si adik Mirna atau Melisa. Beri nama dengan huruf
depan yang berbeda, misalnya Cintia.
Beberapa penulis sengaja meniadakan nama tokoh-
tokohnya. Salah satu contoh adalah novel berjudul Blindness
karya Jose Saramago. Novel ini berkisah mengenai wabah
kebutaan yang menjangkit suatu negara. Hampir semua orang
62 Burung-Burung Kertas
menjadi buta.

Burung-Burung Kertas 63
Karena tidak bisa melihat, para tokoh tidak bisa saling mengidenti-
fikasi penampilan. Oleh karena itu, nama menjadi sesuatu yang
tak penting. Sang penulis hanya menjuluki tokohnya lelaki buta
pertama, istri lelaki buta pertama, gadis berkacamata hitam,
lelaki bertampal mata, dan sebagainya. Ketiadaan nama ini tidak
meng- ganggu pembaca, justru menjadikannya istimewa.
Buktinya, novel ini menjadi pemenang Penghargaan Nobel Sastra
tahun 1998.
Setelah berhasil mencipta tokoh-tokoh fiktif, sebaiknya kita
segera menulis. Hambatan utama memulainya adalah rasa takut
kalau hasil tulisan kita buruk, padahal itu wajar bagi orang yang
baru belajar menulis. Cobalah kita menulis setiap hari. Bisa berupa
buku harian atau jurnal singkat mengenai hal-hal yang terjadi
hari ini. Kita jadikan menulis sebagai suatu kebiasaan, jangan
merasa terbebani. Apabila kegiatan menulis mulai terasa tak
menyenang- kan, kita sebaiknya berhenti sejenak, lalu mulai lagi.
Kita bisa me- nulis tentang apa saja. Apabila masih terasa sulit,
kita cari tempat menulis yang nyaman. Menulis memang bisa
dilakukan di mana saja, tetapi gairah menulis bisa lebih tersulut
apabila berada di tempat favorit. Mungkin tempat yang udaranya
segar dan suasana- nya sunyi, atau justru tempat yang riuh
rendah, sebab banyak objek yang bisa dijadikan ide tulisan.
Apabila masih juga sulit untuk mencipta tokoh fiktif, kita
bisa menulis fan fiction. Itu adalah fiksi yang ditulis oleh fan
‘penggemar’ dari novel, komik, serial televisi, dan sebagainya.
Karya-karya tersebut sudah mempunyai berbagai tokoh dengan
segala latar belakangnya. Kita tinggal mengubah jalan cerita.
Sebagai contoh, kita adalah penggemar dari Harry Potter karya J.
K. Rowling. Tokoh utamanya adalah Harry, penyihir yang
berusaha menyelamatkan dunia sihir dari Pangeran Kegelapan.
Kita bisa menggunakan tokoh itu. Namun ubah ceritanya,
mungkin Harry justru berperan sebagai antagonis dan membantu
sang Pangeran Kegelapan untuk me- nguasai dunia sihir. Hal itu
tentu akan menarik. Dengan mengem- bangkan tokoh milik
orang lain, lama-lama kita bisa menciptakan tokoh sendiri.
Namun, perlu diingat bahwa fan fiction tidak di- maksudkan
untuk mengambil keuntungan berupa materi. Hanya untuk
64 Burung-Burung Kertas
bersenang-senang dan mengembangkan imajinasi.

Burung-Burung Kertas 65
Sebaiknya berhati-hati dan konsisten dalam menceritakan
to- koh-tokoh kita. Apabila di awal cerita seorang tokoh adalah
anak tunggal, di tengah cerita kita jangan membuat adegan ia
mengun- jungi kakaknya. Hal demikian terjadi apabila proses
penulisan berjeda lama sebab kita bisa lupa. Setelah
menyelesaikan suatu tulisan, kita baca tulisan itu berkali-kali
dengan cermat. Pastikan tak ada kesalahan penokohan. Bisa juga
minta tolong pada orang lain untuk memeriksanya.
Mari kita terus menulis. Pada awalnya tak perlu takut pada
kualitas. Jangan mencoba menjadi perfeksionis sebab sifat itu
ber- bahaya pada awal-awal pembelajaran. Apabila ingin
semuanya sempurna, kita menulis akan sangat berhati-hati dan
takut meng- ambil risiko. Mutu tulisan mungkin akan menjadi
lebih bagus, tetapi produktivitas kurang. Dalam sebulan,
barangkali kita hanya akan menghasilkan satu karya. Namun,
apabila menulis tanpa takut- takut, kita bisa menghasilkan tujuh
karya dalam sebulan, bahkan lebih. Hal itu menjadi lebih baik
sebab sesungguhnya kualitas bu- kan ditentukan oleh kehati-
hatian, melainkan ditentukan oleh se- berapa banyak kita
menulis.
Biasanya apabila penulis berusaha mengesankan pembaca,
karyanya justru terasa datar sebab kosakata indah dihambur-ham-
burkan sampai inti dari tulisan itu sendiri terkubur. Bisa juga
kita menggunakan teknik menulis terlalu banyak sehingga karya
tidak alami. Padahal yang terpenting dari suatu karya sastra adalah
emo- sinya. Lepaskan segala emosi kita saat menulis, niscaya
hasilnya akan terasa nyata dan hidup. Pembaca seolah-olah masuk
ke dalam dunia yang kita ciptakan.
Dalam menulis, upayakan jangan beri celah yang bisa
dikritik orang lain. Namun apabila mendapat kritik, kita terima
saja dengan lapang dada sebab seperti kata Putu Wijaya, “Tanpa
kritik, kesenian akan berpacu tanpa cemeti.” Kritik sebenarnya
sangat berguna sebab membuat karya sastra menjadi lebih
sederhana dan lebih jelas bagi pembaca. Karya sastra dibedah
sedemikian rupa, dibagi-bagi ke dalam fungsi yang mudah
dipahami, lantas diberi komentar positif dan negatif. Tak hanya
pembaca yang lebih ter-
66 Burung-Burung Kertas
buka pandangannya, sang penulis pun juga. Namun sebaiknya,
kita berhati-hati karena kritik adalah pedang bermata dua. Ada
sebagian orang yang mencoba menjatuhkan penulis dengan
kritik yang bukan-bukan sehinga tak perlu pedulikan kritik
semacam itu.
Kita bisa menjadi kritikus untuk karya kita sendiri. Baca
dengan keyakinan bahwa kita orang lain. Usahakan seobjektif
mungkin. Barangkali ada cerita yang menghibur bagi
sekelompok orang, tetapi menyinggung kelompok lainnya.
Ada kesulitan dan kemudahan dalam segala sesuatu, begitu
pula dalam menulis dan mencipta tokoh fiktif. Pada awalnya kita
memang sulit, tetapi jangan cepat menyerah! Sesungguhnya,
satu- satunya batasan yang ada ialah batasan yang dibuat sendiri
se- hingga dorong batas kemampuan kita lebih jauh, jangan
bersikap tak sabaran ataupun tamak. Sesuatu berhasil dilakukan
apabila kita fokus dan menjalaninya selangkah demi selangkah.
Dalam menulis karya sastra, kita mesti menciptakan tokoh
fiktif yang menarik agar orang-orang betah membacanya. Kita
dapat mengawali dengan mencari ide. Ide bisa ditemukan kapan
pun dan di mana pun, terutama dalam proses membaca.
Sebaiknya kita membaca karya sastra yang bermutu dan
menyerap segala pengetahuan darinya. Selanjutnya, kita
praktikkan menulis. Realisa- sikan tokoh fiktif kita ke dalam
cerita.

Biodata Penulis
Ratu Pandan Wangi. Tinggal lahir di di Jalan Lowanu Gang Dahlia UH VI /
686D Sorosutan, Yogyakarta. Saat ini Ratu Pandan Wangi kuliah di
Universitas Gadjah Mada, Jurusan Sastra Perancis. Hobinya membaca,
menulis dan melukis. Jika ingin berkorespondensi dengan Ratu Pandan
Wangi dapat menghubungi HP: 085743655818.

Burung-Burung Kertas 67
APLIKASI PINTAR TEBAKU
UNTUK MENINGKATKAN MINAT
BERBAHASA DAN BERSASTRA PADA
REMAJA
Sangga Hadi Pratama

Latar Belakang
Minat sastra dan bahasa di kalangan remaja masih sangat ren-
dah. Fakta ini didukung oleh beberapa survai yang dilakukan
lembaga kredibel dan pandangan dari beberapa ahli. Hal ini juga
disadari oleh objek yang bersangkutan, yaitu remaja itu sendiri.
Mereka merasa enggan untuk mendalami bahasa dan sastra. Se-
bagian dari mereka mungkin merasa prihatin dan sangat ingin
mengatasi masalah ini, karena mereka sendirilah yang mengerti
akan apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Disadari atau tidak,
sesungguhnya banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk me-
ningkatkan minat bahasa dan sastra bagi remaja.
Kenyataannya, remaja di Indonesia saat ini lebih menggan-
drungi barang-barang elektronik impor yang dapat melakukan
banyak hal, seperti gadget, smartphone, maupun pc tablet. Namun di
antara produk gadget tersebut, smartphone-lah yang paling
jamak digunakan. Di era globalisasi yang serba dekat seperti
sekarang, alat-alat seperti di atas sudah umum dimiliki remaja di
Indonesia dan cukup ampuh untuk membuat ketagihan. Di dalam
gadget ter- dapat ribuan hiburan, pengetahuan, dan permainan
yang dikemas secara menarik sehingga membuat mereka tidak
dapat lepas dari- nya. Selanjunya, apakah premis “ketagihan
gadget” dapat diubah menjadi “ketagihan sastra dan bahasa”?
Di sinilah penulis ingin menggabungkan keduanya menjadi
inovasi yang mutakhir, atau bahkan belum ada dalam sejarah keba-
hasaan dan kesastraan di Indonesia. Sebuah aplikasi pintar yang

68 Burung-Burung Kertas
berisi materi-materi menarik tentang kebahasaan dan
kesastraan, tetapi tetap mendidik dan mampu memikat minat
muda-mudi Indonesia agar mencintai bahasa dan sastra
bangsanya sendiri. Selanjutnya, bagaimanakah rancangannya?
Hal tersebutlah yang akan penulis kupas di bagian selanjutnya.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang tersebut di atas, penulis menyebut-
kan beberapa masalah yang akan dibahas pada bagian
pembahasan, seperti bagaimana membuat remaja agar tertarik
dengan dunia bahasa dan sastra; aplikasi pintar seperti apa yang
mampu me- ningkatkan minat berbahasa dan bersastra remaja
Indonesia; dan fasilitas seperti apa yang akan ditanamkan pada
aplikasi tersebut untuk menarik minat bahasa dan sastra di
kalangan remaja.

Tujuan
Dengan dibuatnya karya tulis ini, penulis bertujuan
meningkat- kan minat berbahasa dan bersastra melalui cara yang
disukai oleh remaja Indonesia, kemudian menjadikan Balai
Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pelopor
dalam hal menjaring segmen remaja untuk peduli terhadap hal-hal
yang terkait dengan kebahasaan dan kesusastraan. Yang terakhir
adalah menjawab tan- tangan global akan kemudahan dalam
mengakses informasi, ter- lebih yang berhubungan dengan
kebahasaan dan kesusastraan Indonesia yang sangat kaya dan
beragam.

Analisis dan Solusi


Indonesia memiliki kualitas dan kuantitas pelajar yang terbi-
lang baik dan melimpah. Banyak prestasi yang telah ditorehkan
remaja-remaja Indonesia. Prestasi yang ditorehkan ada di
banyak bidang studi, seperti matematika, sains, olahraga, dan
inovasi ling- kungan. Lingkup prestasinya pun beragam, dari
tingkat kota/ka- bupaten hingga tingkat mancanegara. Banyak
negara-negara di dunia sudah mengakui kehebatan remaja ibu
Burung-Burung Kertas 69
pertiwi sehingga me- reka akan mempertimbangkan keberadaan
Indonesia.

70 Burung-Burung Kertas
Lalu di manakah letak prestasi bahasa dan sastra? Ternyata
prestasi di bidang ini masih dipandang sebelah mata oleh banyak
pihak, padahal untuk berprestasi di bidang ini bukanlah perkara
mudah. Prestasi tersebut diperlukan pemahaman yang
mendalam dan holistik. Sebut saja prestasi di bidang pembuatan
esai, kita membutuhkan wawasan serta kemampuan tata bahasa
yang mum- puni. Jika tidak memiliki kelebihan, kita keluar sebagai
juara mung- kin hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Sebuah pertanyaan akan muncul ke permukaan. Bagaimana
merangkul pemuda agar gemar mendalami bahasa dan sastra
Indonesia demi prestasi yang lebih cemerlang di masa yang akan
datang? Jawaban dari pertanyaan di atas telah dijawab oleh
perta- nyaan itu sendiri. Jika ingin membuat kawula muda
memiliki minat yang tinggi, kita harus “merangkul” mereka
dengan cara yang mereka sukai. Bagaimanakah cara yang
mereka sukai? Tentu saja dengan masuk ke dunia mereka
dengan mengikuti “tren” per- gaulan mereka. Bergaul di sini
berbeda dengan makna bergaul dalam arti yang sebenarnya.
Bergaul di sini berarti mengenal du- nianya dan mau menerima
kebiasaannya.
Pergaulan remaja pada beberapa tahun ini telah bergeser ke
pergaulan “awan” yang berbeda dengan satu dekade sebelumnya
yang lebih condong pada pergaulan “nongkrong”. Pergaulan
awan membuat remaja bisa tetap bersosialisasi dengan sesamanya
mes- kipun dengan jarak yang jauh dan mengurangi risiko yang
ada pada pergaulan “nongkrong”, seperti narkoba, perkelahian
remaja, dan maksiat. Hal inilah yang menjadi dasar penulis
berusaha untuk menjadikan pergaulan awan sebagai sarana
mempromosikan kesa- daran minat berbahasa dan sastra.
Selanjutnya, bagaimana caranya memanfaatkan tren ini? Apakah
mungkin Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau
instansi yang terkait dengan kebahasaan dan kesastraan “turun
gunung” menjadikan momen ini sebagai titik balik di tengah
kekeringan sastra dan bahasa di kalangan remaja?
Survei yang dilansir Growth for Knowledge (GfK) pada tahun
2012 menunjukkan bahwa pengguna smartphone di Indonesia me-
nembus angka 13 juta orang dan diprediksi akan terus tumbuh
Burung-Burung Kertas 71
di

72 Burung-Burung Kertas
angka 20--50% setiap tahunnya sehingga pada akhir tahun 2013
jumlah pengguna smartphone akan menembus 20 juta orang dan
dari jumlah tersebut 38% penggunanya ternyata masih berusia
di antara 14--24 tahun.
Ini merupakan salah satu celah untuk merangkul mereka.
Me- manfaatkan banyaknya pengguna smartphone di usia belia
dengan membuat sebuah aplikasi yang dapat diunduh secara
gratis, me- narik, dan memiliki banyak manfaat. Selanjutnya, apa
nilai lebihnya jika kita menggunakan aplikasi pintar pada
smartphone dibanding- kan dengan menggunakan media promosi
lain?
Aplikasi di smartphone dapat diunduh secara gratis. Sesuatu
yang gratis, pada umumnya, dapat memikat khalayak ramai
untuk memilikinya. Inilah tujuannya, dengan aplikasi yang gratis,
diha- rapkan makin banyak pula remaja yang tertarik
mengunduh dan menggunakannya secara optimal. Aplikasi
pintar yang gratis ini penulis harapkan dapat menyasar semua
kalangan, termasuk ke- pada mereka yang tidak memiliki
perangkat yang memadai. Cara- nya adalah dengan
memasukkannya ke pembelajaran mata pelajar- an terkait, yaitu
Bahasa Indonesia. Peran guru pembimbing diper- lukan di sini
dengan mengikutsertakan aplikasi ini pada pem- belajaran
sehari-hari.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat aplikasi
pintar ini juga terbilang sangat murah dan waktu pembuatannya
tidak terlalu lama. Cukup dengan membuat sebuah tim IT yang
kompe- ten di bidangnya masing-masing dan ditambah dengan
sedikit modal teknis, jadilah aplikasi impian ini dalam waktu
lebih kurang satu tahun. Namun, penulis berharap, dengan ide
dan konsep dasar yang sudah dituliskan dalam karya tulis ini,
waktu pembuatannya bisa dipercepat. Belum ditambah dengan
peluang iklan yang dapat disematkan pada aplikasi ini sehingga
dapat menjadi pemasukan secara kontinu bagi keberlangsungan
aplikasi dan tentunya untuk pengembang serta lembaga di
belakangnya. Selain itu, pembuatan aplikasi pintar lebih ramah
lingkungan karena tidak menggunakan banyak kertas. Penulis
juga bersedia terjun langsung ke dalam proyek ini jika
Burung-Burung Kertas 73
memungkinkan.

74 Burung-Burung Kertas
Selanjutnya, aplikasi pintar seperti apa yang dapat membuat
kawula muda tertarik dengan dunia sastra dan bahasa? Pertama,
aplikasi ini harus memberi kesan awal yang menarik dan
pengguna tidak menyadari bahwa sebenarnya ini adalah sebuah
aplikasi edukasi. Oleh karena itu, nama aplikasi pintar ini harus
unik dan menggoda sehingga dapat membimbing mereka untuk
mengun- duh dan mencobanya. Penulis pun menamai aplikasi
pintar ini dengan nama tebaku.
Tebaku adalah akronim dari tebak baku. Tebak baku adalah konten
andalan dari aplikasi ini. Inspirasinya ialah guru mata pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah penulis yang melakukan kuis kata
baku dan tidak baku di kelas. Sayangnya, penulis dan teman-
teman mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Dari kejadian
di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan remaja
tentang kebahasaan dan kesastraan di Yogyakarta, khususnya,
masih cukup rendah sehingga sebuah permainan edukasi
mendesak untuk diwujudkan.
Tebaku harus memiliki identitas. Mengapa identitas? Tentu
agar aplikasi pintar ini memiliki sesuatu yang dapat diingat para
penggunanya, misalnya saja, tebaku memiliki sebuah maskot
yang menarik dan berjiwa muda, tetapi yang dimaksud identitas
di sini tidak hanya sebatas pada pembuatan maskot. Identitas
berarti ciri khas yang membuat aplikasi ini berbeda dengan
aplikasi lain- nya di smartphone yang umumnya hanya
menyajikan permainan, hiburan, berita, wawasan, dan
pengetahuan secara terpisah. Hal itu akan menjadi sangat hebat
jika tebaku mampu menyajikan semua elemen tersebut menjadi
satu aplikasi yang luar biasa. Itulah yang menyebabkan penulis
selalu menyebutkan Tebaku adalah sebuah aplikasi pintar, bukan
aplikasi biasa.
Tebak baku sebagai konten andalan dari aplikasi tebaku, harus
memiliki konsep yang kuat, mencakup bagaimana isi materinya,
teknisnya, dan lain sebagainya. Di sini, penulis akan
membahasnya secara detail ditambah dengan beberapa konten
pendukung lain yang tak kalah penting, seperti pencarian kata
baku, info unik bahasa dan sastra Indonesia, e-book downloader,
pedoman penulisan baku, dan forum diskusi. Tebak baku
Burung-Burung Kertas 75
merupakan sebuah permain-

76 Burung-Burung Kertas
an yang menyerupai kuis berperingkat. Teknis permainannya sa-
ngat sederhana. Pengguna akan dihadapkan pada beberapa
pilihan kata, bisa dua, tiga, atau lebih, yang salah satunya adalah
kata baku sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kita
tentu menyadari bahwa hingga sekarang masyarakat awam,
terutama remaja, masih bimbang tentang mana kata yang baku
dan mana yang tidak baku. Tentu dengan permainan sederhana
ini, mereka merasa tertantang untuk menguji sejauh mana
kemampuan mereka. Setelah memilih kata yang mereka anggap
benar, pengguna diha- ruskan menekan tombol OK untuk
mengetahui apakah jawaban mereka benar atau salah. Jika benar,
pengguna dapat melanjutkan permainan ke babak berikutnya.
Namun, jika salah, pengguna tidak dapat melanjutkan permainan
ke babak berikutnya.
Sesuai dengan tujuan penulis, aplikasi pintar tebaku tidak boleh
hanya sekadar mengedepankan sisi hiburan. Di mana letak aspek
edukasinya? Setelah pengguna yang gagal melanjutkan
permainan ke babak berikutnya, maskot tebaku, sebut saja
dengan nama Ku- baku (singkatan dari Aku Bangga Berbahasa
Baku) akan memberi- kan penjelasan, mengapa jawaban yang
dipilih pengguna salah, dan mengapa jawaban yang benar adalah
jawaban yang lain dengan menyertakan analisisnya.
Sedikit “obat candu” diperlukan agar aplikasi ini semakin ba-
nyak diminati. Karena permainan ini bertemakan kuis berpering-
kat, peringkat para penggunanya wajib disajikan. Dengan
mendaf- tar sebagai member tebaku, pengguna akan terdaftar dan
tercatat pada server. Server akan mencatat bagaimana
perkembangan level dan skor dari para pengguna. Semakin tinggi
level dan skor peng- guna tersebut, makin tinggi pula
peringkatnya. Perlu penulis informasikan pula bahwa kriteria
skor adalah seberapa banyak pengguna mampu menjawab soal
tebaku dengan benar, sedangkan level ditentukan berdasarkan
seberapa cepat pengguna mampu menyelesaikan kuis tebaku.
Semakin cepat pengguna menyelesaikan- nya, semakin tinggi pula
levelnya.
Dengan adanya sistem ranking ini, penulis memprediksi
akan terjadi persaingan untuk memperebutkan peringkat tebaku
Burung-Burung Kertas 77
secara paralel. Akibatnya, pengguna setia tebaku akan terus
mengasah

78 Burung-Burung Kertas
dirinya untuk lebih banyak mengenal kata-kata baku. Sistem
ranking seperti ini tentunya akan menjadikan para penghuni pe-
ringkat teratas memiliki tingkat ketenaran yang tinggi.
Ketenaran merupakan satu dari beberapa hal yang ingin dimiliki
remaja Indonesia.
Setelah ranking ditentukan, perlu rasanya memberikan apre-
siasi kepada jawara tebaku setiap periodenya. Apresiasinya
dapat berupa apa saja, tetapi penulis merekomendasikan untuk
tidak memberikan hadiah berupa uang. Akan lebih baik, hadiah
tersebut berupa buku pembelajaran yang mendukung program
peningkatan kemampuan berbahasa dan sastra.
Konten berikutnya dari aplikasi pintar tebaku masih berhu-
bungan dengan kata baku dan tidak baku. Konten ini cukup mirip
dengan search engine terkemuka di dunia, google.com. Akan
tetapi, konten ini dikhususkan untuk mengetahui kata mana yang
baku dan tidak baku, misalnya saja, pengguna aplikasi pintar tebaku
ingin mengetahui apakah kata “jaman” merupakan kata baku
atau bu- kan, pengguna tersebut cukup mengetikkan kata
“jaman” di dalam tempat yang disediakan. Setelah selesai, server
akan mengeluarkan jawaban bahwa kata yang ia masukkan
adalah tidak baku disertai dengan penjelasannya. Secara umum,
konten yang satu ini lebih mirip dengan kamus elektronik dan
sejenis dengan games tebak baku, hanya saja sisi permainannya
dihilangkan. Oleh karena itu, penulis memberikan nama cari
baku untuk konten ini.
Tampaknya konten aplikasi tebaku masih terlalu sedikit.
Oleh karena itu, penulis masih memiliki beberapa konten lainnya,
seperti infoku. Infoku adalah sebuah media dalam tebaku yang
menyajikan info-info unik dari dunia kebahasaan dan kesastraan,
baik di Indo- nesia maupun mancanegara, misalnya saja,
penelitian-penelitian di dunia tentang kebahasaan yang
membuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang
paling mudah untuk dipelajari ka- rena di dalamnya tidak
mengandung kata kerja bentuk aktual, lampau, dan sebagainya.
Dapat pula berupa kisah berwawasan, cerita inspiratif, motivasi,
ataupun sejarah kebahasaan dan kesas- traan yang ada di
Indonesia, seperti tokoh Taufiq Ismail merupa- kan seorang
Burung-Burung Kertas 79
penyair dua era, yaitu angkatan 66 dan reformasi.

80 Burung-Burung Kertas
Setelah infoku, masih ada e-book downloader. E-book
downloader adalah fasilitas bagi para pengguna setia tebaku
berupa kumpulan buku elektronik gratis yang dapat diunduh.
Untuk menambah tantangan disediakan buku-buku elektronik
baru yang berkualitas. Namun, untuk mengunduhnya, pengguna
diharuskan menjawab pertanyaan atau kuis yang berkaitan dengan
wawasan bahasa dan sastra. Pengguna yang hendak membaca
buku elektronik tersebut lantas akan mencari tahu jawabannya.
Akibatnya, pengetahuan dan wawasan pengguna tebaku pun
akan bertambah.
Untuk menyelesaikan masalah rendahnya pengetahuan akan
bahasa dan sastra yang benar, pedoman penulisan karya tulis atau
sastra wajib dimasukkan. Hal ini dilakukan karena referensi yang
ada di setiap buku berbeda-beda. Akan lebih indah, panduan ber-
bahasa dan bersastra di Indonesia dapat lebih terperinci melalui
aplikasi tebaku ini sehingga ke depannya kesalahan dalam penulisan
karya tulis dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan.
Konten terakhir, agar pengguna tebaku tidak kehilangan
wak- tunya untuk bersosialisasi, perlu rasanya kita memberikan
sebuah forum diskusi. Forum ini tidak hanya bermanfaat dalam
berdiskusi tentang bahasa dan sastra, tetapi juga tentang topik
pelajaran lain yang ada di sekolah ataupun kampus. Penulis
berharap bahwa tebaku dapat dijadikan sebagai “jujukan”
aplikasi berkualitas dan mendidik karena memiliki fasilitas
edukasi yang lengkap.

Penutup
Sebagai penutup, penulis akan menggarisbawahi hal-hal
yang menjadi jawaban dari rumusan masalah bahwa untuk
membang- kitkan minat remaja Indonesia untuk bahasa dan sastra
tidak cukup hanya dengan cara konvensional. Cara luar biasa dan
modern ha- rus dilakukan, yaitu dengan cara merebut hati
mereka dan mema- suki dunia mereka. Langkah ini dapat
dilakukan dengan aplikasi pintar yang telah penulis kemukakan di
bagian analisis. Fasilitasnya pun dibuat sedemikian rupa agar
lebih menarik karena kami re- maja Indonesia yang aktif,
dinamis, kreatif, dan penuh energi. Kami akan menyambut
Burung-Burung Kertas 81
dengan baik kehadiran aplikasi pintar ini karena tebaku sesuai
dengan jiwa muda kami.

82 Burung-Burung Kertas
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih memiliki
banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun akan sangat bermanfaat bagi penulis ke depannya.
Adapun sebagai saran, penulis berharap pihak-pihak terkait
dapat membantu terwujudnya aplikasi edukasi ini. Semoga karya
tulis ini dapat diteliti lebih lanjut agar ke depannya dapat menjadi
lebih sempurna. Jika nantinya aplikasi pintar ini dapat terwujud,
kekurangan penulis-penulis lain dalam menyusun karya tulis
dapat dikurangi.

Biodata Penulis
Sangga Hadi Pratama. Tinggal di Jalan Sidokabul No. 32 031/008,
Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta. Saat ini Sangga Hadi Pratama sekolah di
SMA Negeri 2 Yogyakarta. Jika ingin berkorespondensi dengan Sangga Hadi
Pratama dapat menghubungi HP: 083840053737, pos-el:
sanggapratama@gmail.com.

Burung-Burung Kertas 83
PERSPEKTIF: KEBUDAYAAN SEBAGAI ASET
PEMBANGUNAN
Sri Mulyani

Wajah Pembangunan Indonesia, Sebuah Siluet


Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa ada-
lah kebesaran, keluasan, dan kemajemukaannya. Berbentuk negara
kepulauan dengan bentang alam dari Sabang sampai Merauke,
serta topografi alam lengkap meliputi laut, pegunungan, dan da-
taran rendah menjadikan Indonesia kaya sumber daya alam. Indo-
nesia juga terdiri atas bermacam wilayah dengan berbagai adat
dan kebiasaan, Indonesia kaya dengan budaya. Keberagaman
alam, sosial dan budaya tersebut menjadi peluang sekaligus tan-
tangan bagi pembangunan nasional. Hal ini sudah disadari sepe-
nuhnya oleh para pendiri bangsa.
Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tesebut
dengan melahirkan sejumlah konsepsi kebangsaan dan
kenegara- an, yaitu Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
undang Dasar Republik Indonesia 1945 sebagai konstitusi
negara, Negara Kesa- tuan Republik Indonesia sebagai bentuk
negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Keempat konsepsi tersebut ditujukan sebagai pedoman
pelaksanaan pembangunan untuk me- wujudkan kesejahteraan
rakyat, sebuah tugas besar dan berat.
Rakyat Indonesia sangat majemuk dengan kondisi tempat ting-
gal dan budaya yang berbeda. Hal ini menyebabkan kebutuhan
dan sumber daya yang dimiliki untuk pembangunan pun
berbeda. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
pilihan yang te- pat untuk mewadahi kemajemukan bangsa,
sedangkan Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara

84 Burung-Burung Kertas
sebagai modal untuk bersatu.

Burung-Burung Kertas 85
Perbedaan tidak menjadi alasan alasan untuk tidak bersatu, karena
bersatu bukan berarti sama.
Menyesuaikan karakteristik yang beragam, sifat pemerintahan
Indonesia yang semula sentralistik kini menjadi desentralistik.
Desentralisasi ini, selain hak untuk mengelola daerahnya sendiri,
juga diikuti oleh desentralisasi fiskal dari pusat ke daerah.
Daerah memiliki hak otonom. Pelaksanaan otonomi daerah,
sejak Januari 2001, sejalan dengan pembangunan nasional melalui
pembangunan daerah untuk meningkatkan kemandirian daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945,
baik secara konstitusional maupun legal, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pe- layanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Dalam pen- jelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa melalui otonomi luas
daerah diharapkan mam- pu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip de- mokrasi, pemerataan keadilan,
keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Berbagai potensi alam, sosial, budaya di daerah diharapkan
dapat dikelola secara maksimal dengan adanya hak otonomi ter-
sebut. Akan tetapi, sebagian besar daerah di Indonesia relatif masih
bergantung pada dana perimbangan dari pemerintah pusat. Hal
ini dapat dilihat dari komponen pemasukan APBD. Artinya, dae-
rah belum optimal melakukan pembangunan daerah. Penyebab
pertama ialah daerah belum menemukan potensinya untuk dike-
lola. Kedua, daerah tidak mengetahui cara mengelola potensinya.
Perdagangan, pertanian, peternakan, dan pertambangan me-
rupakan potensi fisik-alam yang mudah terlihat. Namun, belum
banyak daerah yang memperhatikan potensi budaya daerahnya
dan mengelolanya menjadi manuver ampuh untuk pembangunan
daerah. Beberapa daerah memang telah memberikan wadah bagi
budayanya, tetapi belum tahu cara memberikan nilai terhadap bu-
dayanya tersebut untuk “dijual”.

86 Burung-Burung Kertas
Kebudayaan: Hilang atau Termarjinalkan?
Kebudayaan memiliki arti luas yang terdiri atas hal-hal yang
bersifat tangible dan intangible. Definisi kebudayaan paling tua
dikemukakan oleh Taylor, yaitu bahwa kebudayaan adalah kese-
luruhan aktivitas-aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, keper-
cayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan lain.
Koentjaraningrat menyebutkan tiga macam perwujudan
kebudaya- an, yaitu 1) kebudayaan sebagai kompleks ide,
gagasan, nilai, nor- ma dan peraturan; 2) kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivi- tas kelakuan berpola manusia dan
masyarakat; dan 3) benda-benda sebagai karya manusia. Dengan
demikian, pada dasarnya kebuda- yaan melekat pada diri
manusia. Eksistensi kebudayaan akan selalu ada seiring dengan
berlangsungnya kehidupan manusia. Kebudayaan menjadi
simbol dan tingkat peradaban umat manu- sia yang akan
berubah dan berkembang seiring perubahan zaman. Namun
demikian, pengertian kebudayaan berbeda dalam masyarakat
yang masih awam kebudayaan. Pertama, ketika men- dengar
“budaya” atau “kebudayaan” apa yang terlintas dipikiran adalah
seni pertunjukan, hiburan tradisonal, dan barang-barang kuno.
Kebudayaan didudukkan sebagai tontonan dilihat sebagai
sarana relaksasi dari penat dan lelah. Kebudayaan seolah-olah
ha- nya memiliki nilai seni dan estetika walaupun beberapa
pihak terkadang berupaya menggali dan mempertahankan nilai
filosofis
dari kebudayaan.
Diakui ataupun tidak, kebudayaan merupakan bidang nomor
sekian dalam pembangunan. Pembangunan dan pengembangan
kebudayaan tetap ada, tetapi belum menjadi prioritas. Bukan salah
satu pihak atau pihak lain, kondisi perekonomian dan
perpolitikan Indonesia masih rentan, demikian juga dengan
pendidikan. Akan tetapi, kesedihan sebenarnya ialah tidak
sedikit pihak apatis ter- hadap keberadaan budaya Indonesia.
Kebudayaan belum dipan- dang sebagai jalan. Dalam sepeda,
mungkin kebudayaan adalah satu dari sekian banyak sekrup,
keberadaannya tidak terlihat, ke- tiadaannya dalam jangka

Burung-Burung Kertas 87
pendek tidak terasa. Akan tetapi, dengan sekrup itulah
sebenarnya roda dapat terbaut dengan kuat, sepeda

88 Burung-Burung Kertas
akan lebih tangguh dan cepat menapaki, bahkan jalan terjal dan
curam.
Ketiga, yang paling tragis adalah ketika kebudayaan itu
hilang, tidak diketahui, dan dilupakan. Permasalahan mendasar
kebudaya- an di Indonesia adalah keberadaan budaya yang mulai
terancam keberlangsungannya. Insentif yang relatif rendah dan
pandangan miring bagi pelaku budaya menjadikan keengganan
tersendiri un- tuk terjun dalam bidang kebudayaan. Pelestari
budaya dan buda- yawan yang tertinggal hanyalah orang-orang
yang benar-benar peduli dan cinta dengan kebudayaannya. Hal
ini diperparah de- ngan semakin kerasnya tuntutan hidup di era
globalisasi dan kema- juan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua hal tersebut cukup hebat mengalihkan perhatian sebagian
besar masyarakat terhadap kebudayaan.
Singkat kata, kebudayaan belum dipandang sebagai sesuatu
yang penting. Jika itu tanaman, kebudayaan belum memiliki
tempat pasti untuk tumbuh sehingga tak akan berbuah. Yang
harus dila- kukan adalah menentukan quo vadis kebudayaan
sebelum kebuda- yaan benar-benar tak dikenal.

Quo Vadis Kebudayaan oleh Soekarno


“Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-
tiap bangsa mempunyai cara berjoangnya sendiri, mempunyai
ka- rakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa
sebagai individu mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian
yang ter- wujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya,
dalam pereko- nomiannya, dalam wataknya dan lain-lain
sebagainya.”
Pada 1958 silam, Soekarno dengan lantangnya meneriakkan
kepercayaan diri bangsa untuk menjadi diri sendiri. Cara berjuang
dalam pelaksanaan pembangunan adalah berdasarkan kepribadian
bangsa. Kemajemukan adalah kepribadian bangsa Indonesia se-
hinga di atas kemajemukanlah seharusnya pembangunan berjalan.
Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita,
yang sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita bangsa
Indonesia. Kemajemukan dalam konteks kebudayaan jelas

Burung-Burung Kertas 89
menjadi aset dan

90 Burung-Burung Kertas
sumber daya perekonomian. Kekayaan budaya Indonesia
beragam dan berlimpah, mulai dari budaya Aceh sampai budaya
Papua, dan apabila didaftar akan mencapai ratusan budaya.
Tidak perlu bermuluk-muluk untuk menjadikan kebudayaan
sebagai golden manuver bagi pembangunan nasional, tetapi setidak-
nya tahu cara mengelola kebudayaan, lebih lagi mengelola
kebuda- yaan agar menjadi aset dalam pembangunan. Jangan
sampai kedua kalinya Indonesia mengalami Dutch Disease.
Dutch Disease merupakan sintesis yang polpuler untuk
meng- gambarkan paradoks pertumbuhan yang lamban di
negara yang kaya sumber daya alam. Kelambanan ini disebabkan
negara tidak mampu mengelola sumber daya alamnya. Sumber
daya alam Indo- nesia yang melimpah belum bisa mendatangkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat.Sebagian besar kekayaan alam
Indonesia dinikmati oleh negara lain yang baru disadari ketika
sumber daya alam ter- sebut hampir habis.
Di tengah kebingungan menipisnya sumber daya alam,
sudah saatnya untuk menggali, mengelola, dan mengembangkan
sumber daya budaya di Indonesia. Jangan sampai kebudayaan
Indonesia yang banyak dan beragam baru disadari
kebermanfaatnya setelah hampir hilang. Kebudayaan potensial
sebagai aset dalam pemba- ngunan. Terlebih dunia internasional
telah cukup mengenal dan ‘memandang’ kebudayaan dan
kesenian Indonesia. Sebagai aset pembangunan kebudayaan
memiliki peran pendukung pengem- bangan pariwisata daerah
dan nasional. Kebudayaan berperan sebagai daya tarik wisata.
Apabila dipadukan dengan keeksotisan bentang alam dan sosial
Indonesia akan tercipta wisata terpadu di Indonesia dalam skala
daerah maupun nasional.
Hal senada pun diungkapkan oleh Gita Wirjawan, Menteri
Perdagangan Indonesia, “Indonesia memiliki banyak desainer,
se- niman, arsitek, artis panggung, musisi, produser, dan
sutradara berkelas internasional. Berbagai produk khas
Indonesia, seperti batik, songket Palembang, patung Bali, produk
unik dari Papua, berbagai kreasi seni Jawa Barat, dan mebel
Jepara bahkan telah diakui mancanegara.” Hal tersebut
memberikan optimisme bahwa seni dan budaya dapat dijadikan
Burung-Burung Kertas 91
sebagai salah satu alternatif yang

92 Burung-Burung Kertas
strategis untuk menjawab permasalahan dasar jangka pendek dan
menengah antara lain tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan,
dan daya saing industri di Indonesia.
Pengelolaan kebudayaan nasional-daerah untuk mendongkrak
pembangunan akan sejalan dengan upaya pemerintah mengem-
bangkan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif merupakan bagian inte-
gratif dari pengetahuan yang bersifat inovatif, pemanfaatan tekno-
logi secara kreatif, dan budaya. Pertama adalah pengembangan
ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya, meliputi perfilman, seni
rupa, industri musik, dan seni pertunjukkan. Kedua ekonomi
kreatif bebasis media, desain dan iptek yang meliputi media, de-
sain, arsitektur, dan fashion. Pengembangan ekonomi kreatif ini
ditujukan untuk pengelolaan kebudayaan nasional-daerah untuk
mendongkrak pembangunan akan sejalan dengan upaya
pemerin- tah mengembangkan ekonomi kreatif.
Pemberdayaan kebudayaan sebagai daya dukung dalam ke-
rangka pembangunan nasional, tahap yang pertama kali perlu
dila- kukan adalah inventarisasi kebudayaan nasional/daerah.
Cassier membagi kebudayaan dalam lima aspek, yaitu: 1)
kehidupan spi- ritual, 2) bahasa dan kesustraan, 3) kesenian, 4)
sejarah, dan 5) ilmu pengetahuan. Pendataan ini akan lebih
efisien jika dilakukan dalam tingkat daerah. Dalam inventarisasi,
kebudayaan diklasifi- kasikan berdasarkan kelima kategori
tersebut di atas. Data nanti- nya akan dikompilasi secara
nasional. Meskipun demikian, daerah tetap memiliki arsip
potensi budayanya sendiri demi kepentingan perencanaan
pembangunan daerah.
Tahap kedua adalah pemilihan skala prioritas. Prinsip
pengem- bangan kebudayaan tersebut adalah kedaerahan,
dengan tujuan untuk menciptakan icon daerah sebagai sarana
promosi pariwisata daerah. Akan tetapi, dimungkinkan pemilihan
aspek kebudayaan untuk dikembangkan dalam skala nasional.
Penetapan skala priori- tas aspek kebudayaan mana yang akan
dikembangkan diselaraskan dengan 1) rencana pembangunan
daerah jangka panjang dan atau menengah (RPJPD/RPJMD). 2)
Masterplan pengembangan daerah,
3) analisis SWOT, dan 4) analisis biaya manfaat.
Burung-Burung Kertas 93
Tahap ketiga adalah rehabilitasi dan revitalisasi aspek budaya
yang telah dipilih untuk menjadi prioritas pengembangan. Proses
ini disertai koordinasi pengembangan kebudayaan dengan
bidang lain yang juga akan dikembangkan daerah, misalnya
ekonomi, pariwisata, dan pendidikan. Tahap terakhir adalah
finishing, aspek kebudayaan yang telah berhasil direhabilitasi dan
direvitalisasi kemudian dikembangkan dengan dipadukan
dengan wisata lain, misalnya wisata alam dan kuliner. Upaya ini
dilalukan untuk men- dukung terwujudnya wisata terpadu.
Apabila sudah mapan, dapat dikembangkan aspek kebudayaan
yang lain.
Pengelolaan kebudayaan oleh daerah pada dasarnya menye-
suaikan sistem pemerintahan Indonesia yang desentralistik. Dalam
otonomi daerah tata kelola otonomi secara makro menghendaki
interaksi atau kompatibilitas diantara pemerintah (public), swasta
(private) dan masyarakat (community). Dengan demikian, pengelo-
laan kebudayaan di daerah harus bersifat pemberdayaan dengan
masyarakat dan komunitas berperan sebagai subjek, sedangkan
pemerintah berperan sebagai fasilitator. Kebudayaan digali dari
masyarakat, oleh masyarakat sendiri, dan dikelola masyarakat
sehingga hasilnya pun akan dinikmati oleh masyarakat.

Simpulan
Indonesia sebagai bangsa yang besar, luas, dan majemuk me-
rupakan negara yang kaya sumber daya alam untuk
pembangunan. Akan tetapi, disadari oleh pendiri bangsa, potensi
besar yang dimi- liki Indonesia juga merupakan tantangan yang
juga bisa menjadi ancaman. Ductch disease yang pernah dialami
Indonesia tidak perlu terulang. Kekayaan alam yang melimpah di
Indonesia hampir hi- lang tanpa banyak rakyat Indonesia yang
menikmatinya. Ketidak- mampuan mengelola menjadikan
sumber daya alam seolah tidak berguna bagi pembangunan
nasional.
Selain keanekaragaman alam dan sumber dayanya,
Indonesia memiliki keberagaman kebudayaan. Di tengah
menipisnya sumber daya alam Indonesia, sudah saatnya

94 Burung-Burung Kertas
kebudayaan diberdayakan sebagai aset pembangunan.
Pemberdayaan ini akan sejalan dengan

Burung-Burung Kertas 95
upaya pemerintah mengembangkan ekonomi kreatif sebagai
pendukung pengembangan pariwisata.
Tahap pertama yang perlu dilakukan adalah inventarisasi
kebudayaan nasional/daerah dan mengategorikan dalam lima
aspek, yaitu: 1) kehidupan spiritual, 2) bahasa dan sastra, 3)
kese- nian, 4) sejarah, dan 5) ilmu pengetahuan. Tahap kedua
adalah pemilihan skala prioritas dengan mempertimbangkan 1)
rencana pembangunan daerah jangka panjang dan atau
menengah (RPJPD/ RPJMD). 2) Masterplan pengembangan
daerah, 3) analisis SWOT, dan 4) analisis biaya manfaat. Tahap
ketiga adalah rehabilitasi dan revitalisasi aspek budaya yang
telah dipilih untuk menjadi prioritas pengembangan.
Pengelolaan kebudayaan ini dilakukan dengan prinsip pem-
berdayaan masyarakat dengan melibatkan pemerintah (public),
swasta (private) dan masyarakat (community). Swasta berperan
sebagai generator, masyarakat sebagai aktor, sedangkan
pemerin- tah sebagai fasilitator. Kebudayaan digali dari
masyarakat, oleh masyarakat, diolah masyarakat, dan akhirnya
kembali ke ma- syarakat untuk peningkatan kesejahteraan.
Kebudayaan selalu ada mengiringi kehidupan masyarakat
sehingga sebagai aset bagi pem- bangunan nasional, kebudayaan
adalah sumber daya yang tidak akan pernah habis.

Biodata
Sri Mulyani tinggal di Manukan RT 03, Sendangsari, Pajangan, Bantul. Saat
ini Sri Mulyani kuliah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah
Mada. Jika ingin berkorespondensi dengan Sri Mulyani dapat menghubungi
pos-el: mulyanisri729@gmail.com, atau sri.mulyani.tw@mail.ugm.ac.id

96 Burung-Burung Kertas
FIKSI MINI:
KREATIVITAS SASTRA YANG TIDAK BIASA
Muhammad Ikhwan Anas

Pendahuluan
Fiksi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki
arti: bagian dari sastra yang berupa cerita rekaan atau tidak
berdasar- kan kenyataan, sedangkan mini memiliki arti: kecil,
sedikit. Apabila kedua kata tersebut digabung, pengertian baru
akan terbentuk, yaitu fiksi mini. Fiksi mini adalah kisah fiksi yang
hanya terdiri beberapa kalimat saja, tidak lebih dari satu
paragraf, tetapi sudah memiliki isi cerita.
Fiksi mini memiliki sejarah sangat panjang. Sejauh yang
telah diketahui, dimulai oleh kisah fabel yang ditulis oleh Aesop
(620-- 560 SM) yang berbentuk cerita mini, tetapi sudah mampu
bercerita dalam kependekannya. Timur Tengah, terutama kisah-
kisah sufi memiliki cerita mini yang tak kalah populer, berbentuk
anekdot- anekdot, seperti Narsuddin ataupun Abunawas.
Tiongkok me- miliki fiksi mini Zen yang sering dianggap lebih
menggugah dari- pada tuturan panjang yang sudah ada. Pada
tahun 1920, seorang penulis Amerika, Ernest Hemingway
menantang temannya bahwa dia bisa menulis cerita utuh hanya
dalam enam kata, dan dia me- nyatakan bahwa tulisan tersebut
adalah karya terbaiknya.
Fiksi mini berkembang di semua negara, dalam bahasa Inggris
kita mengenalnya sebagai flash fiction, sudden fiction ataupun micro
fiction, bahkan Sean Borgstrom melontarkan istilah lainnya, yaitu
nanofiction. Dalam bahasa Perancis dikenal sebagai nouvelles, orang
Jepang menyebutnya “cerita telapak tangan” hal ini tidak lain
dise- babkan karena fiksi mini cukup apabila dituliskan pada

Burung-Burung Kertas 97
telapak

98 Burung-Burung Kertas
tangan kita. Ada juga istilah lain seperti postcard fiction karena
kisah ini cukup untuk dituliskan di selembar kartu pos.
Fiksi mini bisa dibilang layaknya kalimat iklan: padat,
singkat dan memiliki “efek” yang seringkali melebihi karya sastra
yang lebih panjang. Seperti dikutip dari Cortazar, perbandingan
novel, cerpen, dan fiksi mini bisa diumpamakan: novel seperti
pertan- dingan tinju dua belas ronde, cerpen seperti
pertandingan tinju dengan jumlah ronde lebih sedikit dan
berakhir KO atau TKO, sedangkan fiksi mini bisa digambarkan
sebagai pukulan telak yang langsung menyebabkan lawan KO
pada kesempatan pertama.
Sebegitu hebatkah fiksi mini? Apakah fiksi mini bisa disebut
sebagai kisah fiksi? Apakah fiksi mini bisa diaplikasikan di
sekolah? Berapa batasan fiksi mini? Adakah wadah untuk penulis
fiksi mini di Indonesia? Bersumber dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut, esai ini akan menguraikan “fiksi mini” lebih jelas.

A. Fiksi Mini sebagai Kisah Fiksi


Fiksi mini memang hanya terdiri atas beberapa kalimat,
bahkan tidak sedikit yang cukup terdiri dari beberapa kata. Lalu,
apakah fiksi mini bisa dikategorikan sebagai kisah fiksi?
Anggapan yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat
selama ini berpendapat bahwa yang disebut kisah fiksi adalah
selalu berbentuk cerpen maupun novel yang hal tersebut terdiri
atas satu halaman atau lebih. Padahal secara dasar, kisah fiksi tidak
pernah dibatasi oleh berapa jumlah kata, asalkan memenuhi syarat
memiliki ide serta penyampaian yang jelas.
Dalam berbagai kesempatan, seperti halnya pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah dan juga dunia penerbitan, selalu
ditekankan bahwa tulisan dengan panjang sekitar 1000 kata
disebut cerpen, sekitar 7500 kata disebut novelet, kemudian lebih
dari 50000 kata disebut novel.
Pakem tersebut sudah ditanamkan semenjak siswa duduk di
bangku pendidikan dasar, bahkan diulang kembali di pendidikan
menengah pertama dan menengah atas. Melengkapi dasar di
atas, ditambah pula syarat bahwa sebuah cerita fiksi lengkap

Burung-Burung Kertas 99
memiliki

10 Burung-Burung Kertas
0
awal, tengah dan akhir dengan berbagai unsur seperti plot,
tokoh, penokohan, suasana, konflik, dan penyelesaian.
Ernest Hemingway yang disebut sebagai pembangkit fiksi
mini modern pernah mengungkapkan, “Cerita fiksi itu cuma
enam kata. Selebihnya hanya imajinasi.” Hemingway menyatakan
bahwa hal itu tidak lain karena didasarkan pada karyanya yang
lahir berkat sikapnya menantang temannya bahwa dia bisa
menciptakan sebuah karya fiksi utuh hanya dengan beberapa
kata saja. Mari kita simak fiksi mini yang dimaksud:
FOR SALE: Baby shoes, never worn.
(DIJUAL: sepatu bayi, tidak pernah dipakai)

Fiksi mini di atas yang ditulis pada tahun 1920 menunjukkan


tulisan yang sangat singkat, tetapi memberi gambaran dan me-
maksa pembacanya untuk memikirkan apa kelanjutan dari cerita
tersebut, penulis memberikan ruang sangat terbuka karena meng-
izinkan pembaca untuk melontarkan imajinasi mereka tanpa ditun-
tun olehnya. Kenyataannya, Julius Caesar juga pernah
melontarkan sebuah kalimat yang juga bisa kita sebut sebagai
sebuah fiksi mini meskipun dahulu tidak dimaksudkan untuk itu.
Kita pasti mengenal kalimat ini:
Vini, Vidi, Vici.
(Aku datang, aku lihat, aku menang.)

Sekali lagi, contoh di atas memang hanya berupa tiga kata


yang sangat singkat, meskipun begitu, kalimat ini memiliki ide
dan penyampaian yang jelas sehingga mampu menggambarkan
sesuatu sehingga bisa disebut sebagai sebuah fiksi mini.

B. Fiksi Mini sebagai Sastra Kritik


Jika kita sering membaca fiksi mini, tentunya tidak akan jauh
dari satu topik paling khas, yaitu kritikan. Meskipun ada yang
tidak dimaksudkan untuk mengritik, fiksi mini pada akhirnya
akan berujung pada kritik untuk suatu hal. Dengan
kesederhanaan

Burung-Burung Kertas 10
1
kalimatnya, fiksi mini menjadi salah satu sastra yang juga sangat
efektif berperan sebagai sebuah media penyampai pesan.
Mari kita simak dua fiksi mini yang di-tweet oleh akun twitter
@sandiskanok dan @rkzvberikut ini:
UDIN
“Bu, si Udin mau dikubur kapan?”
“Setelah UN-nya selesai, Pak Haji.” Oleh @sandiskanok

DI KANTOR POLISI
“Saya mau lapor kehilangan,
Pak.” “Kehilangan apa, Mas?”
“Kepercayaan!” Oleh @rkzv

Apa yang dirasakan setelah membaca fiksi mini berbentuk


dialog sederhana di atas? Tersindir? Miris? Sedih? Setuju?
Berma- cam-macam emosi bisa terbentuk sesaat setelah
membaca per- cakapan di atas. Coba kita kupas kemungkinan
maksud dari fiksi mini tersebut.
Fiksi mini pertama merupakan sindiran pada masyarakat luas
bahwa masalah UN pun masih menjadi momok yang menakutkan
bagi sebagian kalangan sehingga urusan pemakaman jenazah
pun kalah penting dibanding UN.
Fiksi mini kedua menyinggung masalah sensitif yang saat ini
sangat sering dibicarakan, yaitu kepercayaan. Digambarkan, be-
tapa sangat susahnya mencari rasa kepercayaan pada banyak
hal, sampai-sampai masalah ini pun perlu dilaporkan sebagai
sebuah berita kehilangan. Akun twitter@rkzv memilih menanggapi
berbagai berita negatif yang setiap hari dilihat ataupun didengar
di ling- kungan atau media massa dengan menulis sebuah dialog
lugu di atas.
Sebenarnya, bentuk sastra kritik bisa berupa novel atau cer-
pen, bahkan puisi. Namun, tidak semua orang bisa kerasan duduk
lebih lama untuk membaca beberapa halaman penuh tulisan.
Dengan membaca fiksi mini yang hanya tersusun dari beberapa
kalimat, orang bisa merasakan sensasi yang sama seperti yang
mereka baca berlembar-lembar cerita dengan inti yang serupa.

10 Burung-Burung Kertas
2
Lalu, tema apa yang sering dituliskan? Masalah kritik kepe-
mimpinan dan ketidakadilan sampai sekarang masih menjadi
salah satu topik terlaris untuk ditulis dalam bentuk fiksi mini.
Berikut ini beberapa fiksi mini yang menggunakan tema
tersebut:
MALAM DITIADAKAN
“Supaya presiden kalian cepat ketemu,” kata Tuhan.
Oleh: @sepertihidup_

MENCARI PRESIDEN DALAM TUMPUKAN JERAMI


“Ketemu?” “Tidak. Ini, hanya ada janji-janjinya saja.”
Oleh: @penenun_kata

BIAYA SEKOLAH NAIK,


BENDERA TURUN SETENGAH TIANG
“Satu lagi teman kita yang harus putus sekolah,” kata ketua
kelasku.
Oleh: @puspabr

MENGINAP DI RUMAH TEMAN


“Keren, di langit-langit kamarnya ada bulan dan bintang.”
Oleh: @sibangor

C. Membaca Fiksi Mini sebagai Sastra Digital


Dalam perkembangannya dewasa ini,
fiksi mini lebih dikenal masyarakat luas
bukan dari teks cetak, melainkan berkat
adanya media online, seperti blog, twitter,
ataupun forum dan jejaring sosial. Oleh
karena itu, muncul istilah baru untuk
menyebut fiksi mini, yaitu sebagai
Gambar 1 Logo sastra digital, terlebih ketika twitter mulai naik
Fiksimini Indonesia
daun.
Kenapa twitter? Hal ini tidak lain disebabkan karena situs ini
memiliki batasan 140 karakter untuk setiap tweet yang dibuat,
maka dari itu, fiksi mini sangat sesuai jika ditulis di jejaring ini.
Fiksi mini di Indonesia pun berkembang dengan pesat
Burung-Burung Kertas 10
3
berkat adanya media twitter ini, yaitu munculnya akun
@fiksimini dibuat

10 Burung-Burung Kertas
4
pada17 Maret 2010 oleh Agus Noor (sastrawan dari Yogyakarta)
bersama Eka Kurniawan dan Clara Ng yang bertindak sebagai
moderator.
Salah satu pencapaian terbesar @fiksimini adalah berhasil
menggaet lebih dari 132 ribu followers, di mana jumlah fantastis
tersebut termasuk sangat jarang dimiliki akun yang berfokus pada
sastra. Fiksi mini di Indonesia ini rutin melempar topik baru untuk
kemudian ditanggapi pengikutnya dengan menggunakan tweet
ber- isi fiksi mini. Contoh kicauan tentang usulan topik sebagai
berikut.
@fiksimini: Hai fiksiminier, presidennya sudah
ditemukan? Mungkin dia ada di balik imajinasimu. Ayo
temukan.

Mengapa fiksi mini dewasa ini mudah sekali berkembang di


Indonesia khususnya di dunia maya?
Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari fenomena di atas.
Pertama, jumlah pengguna twitter di Indonesia termasuk dalam
lima besar negara yang teraktif berkicau. Alasan kedua, disadari
ataupun tidak, Indonesia sudah sangat condong pada era digitali-
sasi yang masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu membaca
artikel di internet daripada di media cetak. Ketiga, untuk
berparti- sipasi dalam @fiksimini tidak mengenal latar belakang,
semua pengguna bisa mengirimkan fiksi mini mereka bahkan hanya
seba- gai pembaca alias tidak ikut memberi kicauan pun bisa. Hal
ini kian meneguhkan bahwa fiksi mini pantas disebut sebagai
sastra digital. “Ternyata booming, sampai sekarang dan ternyata
selain para penulis banyak banget orang biasa yang bisa nulis,
juga ikutan gabung dan menulis juga di @fiksimini,” jelas Oddie.
Akun ini juga rajin mengadakan temu anggota (gathering) dan
juga telah menghasilkan beberapa buku fiksi mini. Salah satunya
adalah buku Dunia dalam Mata (2013).

Burung-Burung Kertas 10
5
Gambar 2 dan 3. Gathering @fiksimini

Penutup
Sebagai bagian dari sastra dan juga memiliki fungsi media
penyampai pesan, fiksi mini berhasil bertahan dan semakin ber-
kembang. Fiksi mini bisa ditulis dan dinikmati siapa saja, apa pun
latar belakang sosial, profesi, ataupun umurnya. “Hampir di
semua kota-kota besar ada komunitas fiksiminiers, termasuk di
Bandung. Tak hanya yang aktif mengirim tulisan ke @fiksimini
saja, tetapi penikmat (yang hanya sekadar membaca timeline
fiksimini-red) saja juga bisa ikutan,” ujar Michan, salah satu anggota
aktif @FmersBdg. Selain keaktifan di dunia maya, fiksi mini juga
telah banyak merambah dunia cetak. Ini tentu saja memberi
napas segar bagi sastra Indonesia dan dunia karena bisa lebih
mengenalkan pada masyarakat yang belum terbiasa dengan
bentuk sastra yang satu ini sehingga khalayak luas mengetahui
bahwa bentuk sastra po- puler yang ada tidak hanya puisi,
novel, dan cerpen, tetapi fiksi mini juga dapat mengambil peran.
Di sekolah pun, guru bisa ber-
inisiatif memasukkan fiksi mini ke dalam materi pelajaran.
Tidak semua orang mampu menulis panjang dan
menyelesai- kan naskah cerita, tetapi semua orang bisa menulis
fiksi mini. Pen- dapat ini sejalan dengan Agus Noor, pencetus
@fiksimini yang per- nah menuliskan 14+1 Diktum Fiksimini pada
tahun 2010:
Diktum Fiksimini 1: Menceritakan seluas mungkin dunia,
dengan seminim mungkin kata. Diktum Fiksimini 2: Ibarat
dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan yang telak dan
menohok. Diktum Fiksimini 3: Kisahnya ibarat lubang kun-
ci, yang justru membuat kita bisa “mengintip” dunia
10 Burung-Burung Kertas
6
secara berbeda. Diktum Fiksimini 4: Bila novel
membangun du-

Burung-Burung Kertas 10
7
nia. Cerpen menata kepingan dunia. Fiksimini
mengganggu- nya. Diktum Fiksimini 5: Fiksimini yang kuat
ibarat granat yang meledak dalam kepala kita. Diktum
Fiksimini 6: Ia bisa berupa kisah sederhana, diceritakan
dengan sederhana, tetapi selalu terasa ada yang tidak
sederhana di dalamnya. Diktum Fiksimini 7: Alurnya
seperti bayangan berkelebat, tetapi membuat kita terus
teringat. Diktum Fiksimini 8: Serupa permata mungil
yang membiaskan banyak cahaya, kita terus terpesona
setiap kali membacanya. Diktum Fiksi- mini 9: Seperti
sebuah ciuman, fiksimini jangan terlalu se- ring diulang-
ulang. Diktum Fiksimini 10: Bila puisi meng- olah bahasa,
fiksimini menyuling cerita, menyuling dunia. Diktum
Fiksimini 11: Ia tak semata membuat tawa. Karena ia adalah
gema tawanya. Diktum Fiksimini 12: Kau kira fiksimini
ialah kolam kecil, tapi kau tak pernah mampu men- duga
kedalamannya. Diktum Fiksimini 13: Di ujung kisah- nya:
kita seperti mendapati teka-teki abadi yang tak bertepi.
Diktum Fiksimini 14: Pelan-pelan kau menyadari, ia sebu-
tir debu yang mampu meledakkan semesta. Diktum
Fiksi- mini Terakhir: Lupakan semua diktum itu. Mulailah
menulis fiksimini!

Daftar Bacaan
Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Biodata Penulis
Muhammad Ikhwan Anas. Tinggal di Dhuri, RT 05/20, Tirtomartani,
Kalasan, Sleman. Saat ini Muhammad Ikhwan Anas kuliah di Universitas
Gadjah Mada, Jurusan Ilmu Komunikasi. Jika ingin berkorespondensi
dengan Muhammad Ikhwan Anas dapat menghubungi HP: 081904008875.-

10 Burung-Burung Kertas
8
EKSPANSI BUDAYA: LUNTURNYA
KEBUDAYAAN ASLI INDONESIA
Alfiani Dyah Kurnia Sari

Kebudayaan itu ibarat sebuah lensa yang seperti halnya saat


kita menggunakan lensa, untuk meneropong sesuatu kita harus
memilih suatu objek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Be-
berapa orang awam mengartikan kebudayaan merupakan
sebuah seni. Padahal sebenarnya kebudayaan itu bukan hanya
sekadar seni. Kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena
kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan
antar manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
ekspansi adalah perluasan wilayah suatu negara dengan
menduduki sebagian/seluruhnya wilayah negara lain, hal ini
berarti ekspansi budaya adalah perluasan budaya ke negara lain.
Anda pasti pernah mendengar kata ini “Annyong haseyo!”. Ya,
beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab
dengan kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!”
dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata
itu sejak mereka nonton film-film drama Korea yang diputar di
televisi. Banyak juga tambahan kosakata baru seperti “Kamsaham-
nida,” (terima kasih), “Sarang haeyo,” (I love you), dan sebagainya.
Teman-teman saya (terutama yang perempuan) sering sibuk mem-
bahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng,
menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keran-
jingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masak-
an, pakaian, bahasa, dan sebagainya.
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses
me- masok produk-produk budayanya ke pasar global.
Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut
Hallyu sejak
Burung-Burung Kertas 10
9
tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan
lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan
sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di
tele- visi nasional dan mendapat sambutan hangat dari
masyarakat In- donesia dan sejak saat itu pulalah kebudayaan asli
Indonesia mulai memudar. Sebelum diterjang oleh gelombang
Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh
gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika.
Berbagai tanggapan pun muncul menanggapi terjangan budaya
asing di negara Indonesia. Selama ini, kita sering kali mengulang-
ulang seruan waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya
global. Contohnya, “Ha- ti-hati terhadap bahaya westernisasi!”,
“Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”.
Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah karena salah
satu usaha untuk memperta-
hankan budaya dan identitas bangsa kita.
Sosiolog, Ibnu Khaldun, menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa
yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup
bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya
arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat ke-
biasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia
ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta
kebudayaan global. Ya, Indonesia sedang kalah saat ini, tetapi
resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri
juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena suka atau tidak
suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita.
Bagaimanapun juga globalisasi akan sulit dicegah dengan apa pun
caranya karena globalisasi bisa dikatakan perubahan global yang
mempengaruhi seluruh sudut dunia. Mengenai pengaruh positif
dan negatifnya, kita harus bisa menanganinya dengan segala
konsekuensi bukan dengan menyuarakan seruan yang
sesungguhnya tidak dapat men- cegah masuknya budaya
globalisasi yang sebenarnya. Ketakutan yang berlebihan
terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan
bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek
paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Oleh
karena itu, strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan men-
11 Burung-Burung Kertas
0
jadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri.

Burung-Burung Kertas 11
1
Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmo-
dernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop
awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama
Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika
melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood,
mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun,
kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel
dan berubah-ubah, bu- daya pop menjadi sangat terbuka untuk
diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan
dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di
Kuwait. Peran media massa yang semakin canggih dalam
menyebarkan informasi men- jadikan proses ini makin cepat,
dengan persinggungan antarbudaya yang mengalir deras
melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Dalam
situasi seperti ini, pilihannya hanya mempenga- ruhi atau
dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh,
mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Sudah saatnya
kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan
turut membawa kebudayaan negara Indonesia kepada dunia.
Yang harus kita tentukan pertama kali adalah definisi kebuda-
yaan asli negara kita sendiri. Apa itu budaya asli Indonesia?
Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong,
paguyub- an, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik
budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya konkret maupun
abstrak. Sebe- lum mulai menyebarkan budaya, kita perlu
mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita
berurusan dengan masalah
hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya.
Budayawan Jepang, Yamada Shoji, mengatakan bahwa ada
dua hal yang bertentangan dalam budaya, yakni perilaku “memi-
liki” sekaligus “menyebarkan”. Pernyataan ini kita temukan
tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang negara
kita alami akhir-akhir ini dengan negara Malaysia. Ini menjadi
satu kesulitan tersendiri karena di satu sisi kita semestinya
bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tetapi di sisi
lain kita merasa hak milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia
pun nya- tanya sangat banyak yang merupakan pengaruh
11 Burung-Burung Kertas
2
kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan
barongsai dan potehi

Burung-Burung Kertas 11
3
dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India
mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Oleh
karena itu, inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita
pen- ting untuk dilakukan, tetapi dengan tetap meniscayakan
asimilasi dan akulturasi. Berbagai undang-undang perlindungan
budaya yang telah ada selayaknya harus dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, kita
perlu mempercepat industrialisasi budaya. Industrialisasi
budaya adalah usaha menggalakkan industri budaya di suatu
negara. Ha- nya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi,
kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan
daya saing dan kemampuan survival-nya, menjadi pengaruh
positif bagi kesejah- teraan masyarakat serta menjadi jalan
menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana
industrialisasi budaya mendorong eks- pansi budaya? Hal ini
terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan
pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat
terhadap budaya tersebut. Kesuksesan industri bu- daya berbanding
lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri
tersebut melakukan ekspansi pasar, ia juga telah me- lakukan
ekspansi budaya. Adapun ekspansi budaya membutuhkan
produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi
atau berkualitas ekspor yang mampu membawa nama negara Indo-
nesia ke seluruh penjuru dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan me-
tode penyebaran yang tepat. Meskipun kita telah melakukan in-
dustrialisasi batik, permintaan batik di luar negeri tidak akan serta
merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan
produk batik. Lalu, bagaimana kita akan mempromosikan begitu
banyak budaya asli negara kita kepada pasar luar negeri? Bahkan
untuk memperkenalkan budayanya saja sudah sulit. Budaya pop
dan media massa memiliki hubungan simbiotik yang keduanya
saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Ke-
populeran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh
media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media
massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang
sedang dan akan populer. Oleh karena itu, kita harus
11 Burung-Burung Kertas
4
memprioritaskan

Burung-Burung Kertas 11
5
terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan
komunikasi massa.
Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi
bu- daya secara serius. Indonesia terhadap perfilman nasional?
Pada umumnya, masyarakat akan menjawab sinis untuk
pertanyaan tersebut karena ada beberapa faktor. Pertama,
kesuksesan sebuah film berimbas pada berlomba-lombanya sineas
film untuk membuat film yang sejenis. Kondisi ini jelas akan
membuat jenuh penikmat film nasional. Kasus ini terjadi ketika
film “Jelangkung” banyak mendapatkan apresiasi dari
masyarakat. Kemudian muncul film- film horor yang dalam
perkembangannya bergeser pada genre film horor “nakal”.
Kedua, film bagus adalah film dengan visual effect yang bagus.
Sebuah pemahaman keliru bagi penonton awam yang menuntut
mutu. The Artist merupakan contoh konkret. Film bisu dan hitam
putih yang menjadi film terbaik Academy Award ke-84 tahun
2012 mengalahkan delapan film pesaingnya. Ini me- nunjukkan
bahwa tidak selamanya film bagus mesti menampilkan
kecanggihan teknologi dalam setiap adegannya. Maklum, melihat
masyarakat kita yang mudah terpukau terhadap sebuah kecang-
gihan. Ketiga, hanya mengejar profit tanpa disertai kualitas. For-
mat audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian
lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa.
Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap
mak- sud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film
juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu
disadari seperti iklan dan propaganda.
Film merupakan whole package karena mampu mengakomoda-
sikan unsur-unsur budaya seperti bahasa, musik, pakaian, adat,
kebiasaan, nilai-nilai sikap positif, dan sebagainya. Contohnya
suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat
Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia,
menyantap masakan seluruh daerah Indonesia, memamerkan alam
seluruh daerah Indonesia, menampilkan hasil budaya seluruh
daerah Indonesia. Mengapa harus seluruh daerah Indonesia? Ya,
hal ini dikarenakan agar tidak menimbulkan suatu perasaan iri
di berbagai daerah jika hanya satu budaya Indonesia yang
11 Burung-Burung Kertas
6
ditam-

Burung-Burung Kertas 11
7
pilkan. Bagi negara-negara yang sama sekali tidak tahu atau me-
ngenal dengan Negara Indonesia, film akan menjadi ajang perke-
nalan sekaligus promosi budaya, sedangkan perbedaan bahasa
dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film
ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara
tujuan karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang
sangat setia, yaitu penggemar atau sering juga disebut dengan fans.
Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita,
merekalah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen
budaya kita di samping media massa, seperti televisi, radio,
majalah, dan inter- net. Saya ingin mengambil contoh, di sebuah
kampus terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang
Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa
produk budaya Je- pang, seperti komik, anime, dan J-dorama.
Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian
tertentu dari budaya Jepang, seperti festivalnya, masakannya,
permainannya, kebiasaan- nya, sampai hantunya dan tentu saja
mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan
semua itu. Oleh karena itu, potensi fans sangat besar bagi
ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya
yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk
lain. Film sebagai media ekspansi yang memiliki pengaruh positif
yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi
kesuksesan unsur-unsur yang terkan- dung di dalamnya. Industri
perfilman Indonesia yang tengah bang- kit saat ini dapat
diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca
negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara
tujuan, hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran
produk-produk budaya lainnya. Pemerintah di- tuntut aktif
untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lo- binya
untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di
negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu men-
jangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin,
hing- ga dunia Barat.
Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh per-
filman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat ter-
hadap budaya Indonesia di manca negara, tugas berikutnya
11 Burung-Burung Kertas
8
adalah

Burung-Burung Kertas 11
9
memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi
menjadi suatu gelombang budaya negara Indonesia yang deras.
Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik,
sastra, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan
mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kuat lagi. Jika
kelompok-kelompok fans telah terbentuk di mancanegara, maka
para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go inter-
national. Tren-tren yang berlaku di Indonesia akan turut
digemari pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi
budaya kita. Ini dapat diiringi pula dengan masuknya produk-
produk lain se- perti beragam manufaktur yang membawa nama
dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita
menuju kegemilangan budaya Indonesia. Jika saatnya tiba, kita
boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-
mana.
Avanpeursen mengatakan kebudayaan merupakan gejala
ma- nusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, dan ilmu),
komuni- kasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan
teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.

Sejumlah Resiko
Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang mem-
bingungkan. Sifat industri yang cenderung berorientasi pasar di-
khawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena me-
nyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu baik.
Hal ini bisa kita perhatikan, misalnya, pada dunia sinetron
negara kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang ada
sifatnya membodohi bahkan merusak budaya asli negara Indonesia,
seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah
Indonesia harus campur tangan dengan mengontrol kualitas
produk-produk budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial
budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia.
Jangan sampai sine- tron dan film-film sampah bisa lolos ekspor.
Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk,
pemerintah pun wajib menge- luarkan kebijakan yang
memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang

12 Burung-Burung Kertas
0
tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk

Burung-Burung Kertas 12
1
dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau
pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan
budaya itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat
memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak
dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan
higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan peran
aktif pemerintah.
Selanjutnya, ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya
me- ngenai kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan
eks- pansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam
perkem- bangan kebudayaan kita selama beberapa 10 tahun
terakhir. Ke- bijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah
menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan
di Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh
negeri. Katakan, apa itu film nasional? Apa itu artis nasional? Apa
itu surat kabar nasional? Apa itu televisi nasional? Semuanya itu
bohong sebab yang ada hanyalah film-film dan artis-artis Jakarta,
serta surat-surat kabar dan televisi-televisi Jakarta. Apakah itu
Monas? Monumen nasio- nal? Itu juga bohong. Itu adalah
monumen yang ada di emblem Pemda DKI Jakarta.
Seharusnya kita memang perlu mengingat kembali makna
ke- budayaan nasional. Dalam penjelasan pasal 32 Undang-
Undang Dasar 1945 sudah diterangkan bahwa kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai pun- cak-puncak kebudayaan di daerah-daerah
di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sen- diri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Para penyusun undang-
undang ini telah menyadari bahwa seluruh masyarakat kita sejak
dulu telah memiliki banyak kebu- dayaan, bukan hanya satu.
Konsep kebangsaan kita terlihat unik karena memayungi ratusan
suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam
satu identitas baru, yaitu Indonesia. Harus diakui bahwa konsep
12 Burung-Burung Kertas
2
kebangsaan kita memang didefinisikan oleh

Burung-Burung Kertas 12
3
penjajah. Itu menjelaskan penyebab masyarakat Riau harus berbeda
bangsa dengan masyarakat Johor meskipun mereka berbudaya
yang sama di masa lalu, juga penyebab masyarakat Timor Timur
dan Timor Barat harus berbeda bangsa meskipun sesama anak
Timor. Begitu juga, putra-putri Dayak, Papua, dan lain-lain yang
terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat para penjajah
dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-
states) modern seperti yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya
dipa- hami secara bijak. Nasionalisme merupakan manifestasi
kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong
bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan dari
penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun
dirinya, lingkungan masya- rakat, bangsa, dan negaranya. Kita,
sebagai warga negara Indo- nesia, sudah tentu merasa bangga
dan mencintai bangsa dan ne- gara Indonesia. Hal ini senada
dengan pandangan Prof. Sartono Kartodirdjo yang
mengungkapkan bahwa nasionalisme merupakan pandangan
tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan
sekaligus menghormati bangsa lain.
Bangsa Indonesia terdiri atas suku yang berbeda-beda yang
dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah
penjajah yang sama. Nasionalisme kita bertujuan memerdekakan
seluruh negeri dari penjajahan sehingga sangat tidak pantas jika
Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan
baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk
mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung
dalam rumah bangsa Indonesia.
Era reformasi saat ini menjadi tantangan masyarakat Indonesia
untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan
nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya sangat
berharap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan
nasional kita akan berlangsung lebih adil dan lebih kokoh. Kita
membutuhkan lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di
Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya
mendengar berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar.
Terlepas dari sejumlah kritik
12 Burung-Burung Kertas
4
mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya cukup
salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan
suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta.
Perkembangan kebudayaan nasional secara dinamis yang
didorong oleh desen- tralisasi menghadirkan wajah kebudayaan
Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Apabila putra-
putri Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari
Sabang sampai Merauke, kita akan lebih mudah bersatu untuk
melebarkan sayap kebuda- yaan asli kita ke mancanegara.

Biodata Penulis
Alfiani Dyah Kurnia Sari. Tinggal di Rogocolo RT 09, Tirtonirmolo, Kasihan,
Bantul. Saat ini Alfiani Dyah Kurnia Sari sekolah di SMA Negeri 1 Sewon,
Bantul. Jika ingin berkorespondensi dengan Alfiani Dyah Kurnia Sari dapat
menghubungi HP: 083869995570.

Burung-Burung Kertas 12
5
BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL
PEMBANGUN KARAKTER ANAK
Dian Andri Ani

Pendahuluan
Budaya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
pikiran, akal budi, atau adat istiadat. Indonesia memiliki banyak
ragam budaya tradisional, yaitu dalam kesenian dan permainan.
Di Indonesia hampir di setiap daerah memiliki budaya
tradisional sendiri-sendiri. Budaya di setiap daerah berbeda-beda
dan budaya tersebut telah menyatu dengan kebiasaan
masyarakat setempat. Sangat beragamnya budaya Indonesia
membuat masyarakat sulit untuk mengenalnya semua, bahkan
ada yang tidak mengenal satu pun budaya di negeri sendiri.
Betapa ironisnya negeri ini bila warganya tidak mengenal
kebudayaan sendiri. Oleh karena itu, budaya yang dimiliki
negeri ini perlu diperkenalkan pada ge-
nerasi muda.
Budaya dapat diperkenalkan melalui keluarga dan
lingkungan sekitar. Di dalam keluarga, budaya dapat
diperkenalkan melalui penggunaan bahasa ibu dalam kehidupan
sehari-hari. Melalui lingkungan sekitar budaya dapat
diperkenalkan melalui tontonan tradisional dan teman
sepermainan sang anak. Tontonan tradisional biasanya didapati di
lingkunga sekitar atau di daerah tersebut. Saat bersama teman
sepermainan biasanya anak akan bermain, di situlah budaya
bangsa ini dapat diperkenalkan, yaitu permainan tradisional.
Tontonan tradisional dan permainan tradisional sangat mem-
bantu dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, budaya ter-
sebut harus diperkenalkan kepada anak guna membangun

12 Burung-Burung Kertas
6
karak-

Burung-Burung Kertas 12
7
ter sang anak. Karakter anak sangat penting bagi bangsa karena
karakter penting dalam pembangunan karakter bangsa.
Saat ini banyak pejabat negara yang tidak memiliki karakter
bangsa, contohnya mereka mengambil hak rakyat, mengambil
uang negara atau korupsi. Betapa menyedihkan nasib bangsa ini
yang seharusnya memiliki tanggung jawab malah menyalahguna-
kan kedudukannya. Keadaan yang seperti itu akan membuat
bang- sa Indonesia ini terpuruk. Mungkin bangsa ini tidak hanya
terpu- ruk, tetapi kehilangan karakter bangsa dan budaya. Para
penjahat seperti itu melakukan tindak kejahatan yang seolah-olah
tidak me- miliki rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan, serta
peduli sosial.
Karakter seseorang mulai dibentuk saat mereka masih
balita, masa kanak-kanak hingga remaja. Di masa era globalisai
ini, ka- rakter anak tidak terbentuk dengan baik, bahkan ada
yang tidak memiliki karakter. Di era globalisasi yang modern
disertai tekno- logi yang canggih membuat hilangnya karakter
anak. Alat-alat yang canggih seperti komputer, smartphone, laptop,
atau yang lain- nya membuat anak malas, kebanyakan anak bila
mereka sudah di depan komputer untuk ngegame pasti mereka
akan lupa untuk bel- ajar, bahkan makan pun lupa. Komputer dan
laptop tidak hanya untuk ngegame saja, tetapi dapat mengakses
internet. Situs di inter- net dapat membahayakan bagi anak,
contohnya, mereka dapat membuka situs dewasa atau melihat
kekerasan-kekerasan orang dewasa. Hal seperti itu dapat
mengganggu pembentukan karakter anak.
Fasilitas anak di masa era globalisasi yang modern seperti
saat ini juga membuat anak kurang untuk bersosialisasi dan
tidak peduli akan lingkungan sekitar. Jika anak tidak peduli akan
ling- kungan di sekitarnya lalu apa yang akan terjadi pada bangsa
ini untuk kedepannya. Hilangnya kepedulian pada lingkungan
sekitar akan membuat hilangnya rasa untuk memajukan bangsa
ini.

12 Burung-Burung Kertas
8
Isi
Dihentikannya liberalisme oleh UUD 1945 yang kembali di
tengah-tengah kita, kreativitas dalam kebudayaan mendapat ke-
sempatan untuk tumbuh sepesat-pesatnya. Kreativitas tidak lagi
dihalang-halangi oleh dominasi. Dalam abad ke-20, Pancasila
men- jadi suatu filsafat kebudayaan.
Budaya yang sangat beragam di bangsa ini sangat sayang
bila tidak diperkenalkan dan dilestarikan pada generasi muda.
Budaya bukan hanya sekadar budaya saja, melainkan dapat
membangun karakter anak guna membangun karakter bangsa
ini. Karakter anak sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa
ini agar menjadi bangsa yang aman, damai, dan maju.
Budaya dapat dijadikan sebagai senjata untuk membangun
bangsa ini menuju bangsa yang gemilang. Budaya Indonesia
harus di lestarikan dan diterapkan dan mewujudkan nilai-nilai
karakter yang telah dibuat oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan seba- gai berikut.
1. Religius
Religius adalah karakter yang berhubungan dengan
kepercaya- an atau agama. Kebudayaan Indonesia banyak yang
mengajarkan tentang keagamaan atau disebut juga religius.
Contoh kebudayaan yang mengandung religius, yaitu kesenian
wayang. Kesenian wa- yang merupakan budaya yang berbentuk
tontonan. Di dalam cerita wayang tersebut terdapat nilai-nilai
religius yang mengenai sifat manusia, yaitu baik dan buruk.
Dalam kisah pewayangan digam- barkan dengan seseorang yang
melakukan kesalahan dia akan me- lakukan semedi. Semedi adalah
cara wayang untuk memohon am- punan pada Tuhan.
2. Jujur
Jujur adalah apa adanya tidak ada kepalsuan disertai dengan
fakta yang benar-benar terjadi. Kejujuran sangat penting dalam
berkehidupan. Kejujuran dapat ditanamkan melalui permainan tra-
disional. Contoh permainan tradisional yang menanamkan sifat
jujur, yaitu permainan dakon, kelereng, dan bekelan.

Burung-Burung Kertas 12
9
Dalam permainan dakon, kelereng,dan bekelan anak dilatih
untuk berbuat jujur. Jika anak tersebut tidak jujur, saat ia
bermain tidak mengakui kekalahannya dan akan bermain terus.
3. Toleransi
Toleransi adalah sikap seseorang yang tidak menyimpang
dari aturan dan seseorang tersebut menghargai atau
menghormati tin- dakan yang dilakukan oleh orang lain. Di dalam
budaya dapat diartikan sikap dan perbuatan yang tidak melarang
atau mendes- kriminasi terhadap kelompok-kelompok yang
berbeda.
Permainan tradisonal yang mempunyai nilai karakter toleransi
salah satunya ialah permainan pak tepong. Permainan pak tepong
dilakukan oleh beberapa orang. Caranya dibuat garis sebagai batas
pelempar dan beberapa meter di depannya dibuat lingkaran.
Penata pecahan genteng harus menutup mata dan teman-temannya
lari untuk bersembunyi jika melihat temannya sang penjaga
harus memegang tumpukan pecahan genteng dan mengucapkan
Pak Tepong. Namun, teman yang bersembunyi harus merobohkan
tum- pukan genteng tersebut. Pada saat itulah toleransi
ditumbuhkan, yaitu genteng boleh dirobohkan dengan cara
mereka sendiri asal masih di dalam lingkaran.
4. Disiplin
Disiplin adalah patuh, taat, dan hormat pada suatu ketentuan
atau peraturan yang berlaku. Disiplin sangat penting dalam
meraih kesuksesan dan memajukan bangsa ini. Kedisiplinan
pada anak dapat dibentuk melalui permainan tradisional.
Permainan tradi- sional yang membantu anak untuk disiplin
salah satunya ialah per- mainan kasti. Permainan kasti dapat
membentuk kedisiplinan me- lalui aturan atau kesepakatan yang
telah dibuat oleh kedua kelom- pok. Anggota dari kelompok harus
menaati kesepakatan-kesepa- katan tersebut. Bila tidak menaati,
orang tersebut akan mendapat- kan sebuah hukuman.
5. Kerja Keras
Kerja keras adalah bekerja dengan sungguh-sungguh atau
se- mangat untuk mencapai apa yang diinginkannya. Kerja keras
sa- ngat penting untuk mencapai suatu keberhasilan. Permainan
tra-
13 Burung-Burung Kertas
0
disional yang menggambarkan kerja keras salah satunnya adalah
permainan gobak sodor.
Permainan gobak sodor dilakukan oleh dua kelompok.
Pemain harus bisa melewati garis tanpa tersentuh oleh lawan. Oleh
karena itu, pemain harus berusaha keras agar bisa melewati
lawan tanpa tersentuh lawan. Hal tersebut melatih seseorang
untuk bekerja keras.
6. Kreatif
Kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan atau
mengha- silkan sesuatu yang baru. Kreativitas sangat diperlukan
dalam era globalisasi yang modern seperti saat ini untuk
mengembangkan potensi pada dirinya.
Kreatif dapat dibentuk melalui permainan tradisional,
seperti mobil-mobilan kulit jeruk. Mobil-mobilan kulit jeruk
biasanya menggunakan kulit jeruk gulung atau jeruk bali. Kulit
jeruk yang sedemikian rupa harus dibentuk mobil-mobilan, di
situlah kreativi- tas harus dikembangkan untuk membentuk mobil-
mobilan. Proses kreativitas seperti itu melatih seseorang
mengembangkan potensi untuk menemukan hal yang baru.
7. Mandiri
Mandiri adalah keadaan seseorang yang dapat berdiri
sendiri, tidak bergantung pada orang lain sehingga bebas dari
ketergan- tungan. Mandiri merupakan keadaan dapat berdiri
sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
Kemandirian dapat dilatihkan kepada anak melalui
permainan tradisional. Permainan tradisional yang melatih
kemandirian ada- lah permainan egrang. Egrang merupakan
permainan yang meng- gunakan dua bambu. Bambu tersebut
diberi panjatan sehingga bisa untuk dinaiki dengan satu bambu
dipegang tangan kanan dan satu bambu bambu dipegang tangan
kiri. Dengan posisi seperti itulah, kita dapat melatih kemandirian.
Kita bisa berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
8. Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu merupakan suatu dorongan untuk
mengetahui hal-hal baru. Rasa ingin tahu membuat seseorang
aktif dan dapat mendorong seseorang untuk kreatif.

Burung-Burung Kertas 13
1
Permainan tradisional yang dapat menumbuhkan karakter
rasa ingin tahu ialah jamuran. Permainan jamuran dilakukan mi-
nimal empat orang. Jamuran adalah permainan yang menyebutkan
nama-nama tumbuhan. Jadi, pemain harus mengetahui jenis-
jenis tumbuhan. Dari situlah membuat pemain mempunyai rasa
ingin mengetahui berbagai macam atau jenis pada tumbuhan.
9. Semangat Kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah perasaan atau keturunan, se-
nasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah air. Semangat kebangsaan
seperti ini diperlukan dalam persatuan dan kesatuan dalam bangsa
Indonesia ini.
Budaya yang dapat membuat tumbuhnya rasa kebangsaan
ialah kesenian kethoprak. Kethoprak merupakan kesenian yang
menceritakan peperangan antara kedua kerajaan yang
mempere- butkan daerah kekuasaan. Peperangan yang dilakukan
oleh kedua kerajaan tersebut merupakan gambaran saat
Indonesia pada saat penjajahan dan ingin merdeka.
10. Cinta Tanah Air
Cinta tanah air merupakan perasaan cinta terhadap bangsa
dan negaranya sendiri. Dalam rasa cinta tanah air terdapat nilai-
nilai rela berkorban untuk bangsa dan negara. Cinta tanah air
dapat ditanamkan pada generasi muda melalui kebudayaan salah
satunya melalui bahasa daerah. Bahasa daerah digunakan dalam
bahasa sehari-hari. Bahasa daerah dapat digunakan untuk melatih
rasa cinta tanah air karena salah satu wujud cinta tanah air adalah
bangga dengan bahasa sendiri.
11. Menghargai Prestasi
Menghargai prestasi merupakan suatu sikap atau tindakan
yang mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. Di
dalam sebuah permainan, pasti akan ada yang mengalami keme-
nangan dan kekalahan. Jika menang, kita jangan merasa
sombong. Sebaliknya, bila kita kalah, kita harus menghargai
keberhasilan atau kemenangan mereka. Menghargai kemenangan
dapat dilaku- kan melalui ucapan selamat dan berjabat tangan.

13 Burung-Burung Kertas
2
12. Bersahabat/Komunikatif
Yang dimaksud bersahabat komunikatif adalah suatu
tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul,
dan bekerja sama dengan orang lain. Bersahabat dan
komunikatif dapat dita- namkan dalam permainan tradisional
salah satunya adalah bermain kelereng. Dari permainan tersebut,
anak akan menjalin pertemanan dengan teman lainnya. Permainan
kelereng juga melatih anak untuk belajar bekerja sama dan
mengomunikasikan keinginan dan pi- kirannya.
13. Cinta Damai
Cinta damai merupakan sebuah perbuatan yang
menciptakan harmoni dalam kehidupan. Cinta damai
menghindari pertikaian dan peperangan. Karakter cinta damai
dapat ditanamkan melalui kebudayaan atau dalam sebuah
permainan tradisional. Salah satu permainan tradisional tersebut
adalah hom pi pah. Hom pi pah adalah permainan yang dimainkan
minimal tiga orang. Dalam permainan tersebut, jika tangan
mereka beda, dia akan kalah. Dari kekalahan tersebut anak
dididik untuk tidak marah dan menjalin hubungan yang
harmonis dengan temannya.
14. Gemar Membaca
Yang dimaksud gemar membaca adalah suka membaca buku
atau informasi. Kata pepatah “membaca adalah jendela dunia”
karena dengan membaca kita bisa mengetahui semu hal yang be-
lum pernah kita tahu.
Nilai karakter gemar membaca bisa diterapkan kepada anak
melalui permainan ABCD. Permainan ABCD adalah permainan
yang menggunakan jari dengan suatu topik misal hewan dan
buah. Permainannya adalah mengucapkan huruf abjad sampai
urutan yang terakhir, nah saat huruf terakhirlah yang
menentukan huruf awal dari nama hewan dan buah tersebut.
Melalui permainan tersebut memacu anak untuk banyak
membaca agar mengetahui nama-nama buah dan hewan.
15. Peduli Lingkungan
Peduli lingkungan merupakan sikap seseorang terhadap
ling- kungan untuk menjaganya. Lingkungan sekitar perlu untuk
kita jaga agar tidak terjadi banyaknya bencana. Peduli lingkungan
Burung-Burung Kertas 13
3
dapat

13 Burung-Burung Kertas
4
diterapkan melalui permainan tradisional. Permainan tersebut
adalah pasaran. Pasaran biasanya dilakukan di luar rumah
dengan membuat rumah-rumahan. Di situlah penanaman peduli
lingkung- an, rumah-rumahan yang dibuat harus dijaga dengan
baik agar tidak rusak.
16. Peduli Sosial
Peduli sosial merupakan perilaku seseorang yang berbuat baik
terhadap sesama, yaitu berbagi dan membantu. Nilai karakter
pe- duli sosial sangat diperlukan dalam kehidupan di bangsa ini
agar warga negara tidak sengsara seperti saat ini karena
banyaknya korupsi di badan legislatif.
Permainan tradisional yang mengandung nilai karakter
peduli sosial, yaitu uding (berkelompok). Uding adalah
permainan yang menggunakan tali yang tersusun dari karet.
Permainan tersebut membantu menanamkan nilai peduli sosial.
Nilai karakter tersebut dilakukan melalui cara saling membantu
antarteman.
17. Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah keadaan yang wajib menanggung
segala sesuatu atas perbuatannya. Tanggung jawab sangat
dibutuh- kan dalam pekerjaan ataupun yang lainnya. Tanggung
jawab dapat ditanamkan kepada anak melalui permainan
tradisional ibu-ibuan. Permainan yang berperan sebagai ibu harus
melindungi anak-anak. Peran ibu harus bertanggung jawab dan
menjaga anak-anaknya agar tidak diambil musuhnya. Dari
situlah nilai tanggung jawab ditanamkan kepada anak.
18. Demokratis
Demokratis adalah memutuskan suatu masalah berdasarkan
kesepakatan bersama. Setiap orang berhak untuk memberikan pen-
dapatnya. Karakter demokratis dapat ditanamkan melalui per-
mainan tradisional, contohnya adalah permainan boi-boinan.
Sebelum permainan dimulai, kesepakatan-kesepakatan dan aturan-
aturan dalam permainan di musyawarahkan bersama. Di saat
membuat kesepakatan itulah yang melatih untuk demokratis.

Burung-Burung Kertas 13
5
Penutup
Dalam pembentukan karakter yang dibuat oleh kementrian
pendidikan dan kebudayaan terdapat delapan belas nilai, yaitu
religius, jujur, toleransi, disiplin kerja keras, kreatif, mandiri, de-
mokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Karakter seperti itu sangat dibutuhkan dalam kemajuan bangsa
ini. Untuk itu, karakter anak harus dibangun agar pembangunan
di bangsa ini terlaksana dengan baik.
Betapa pentingnya kebudayaan yang kita miliki dan banyak
manfaat yang kita peroleh dari kebudayaan tersebut. Jangan
sam- pai kebudayaan yang kita miliki direbut oleh bangsa lain.
Kebu- dayaan juga perlu dikembangkan agar seluruh warga
bangsa Indo- nesia mengenalnya.
Manfaat kebudayaan bangsa ini salah satunya, yaitu memba-
ngun karakter yang dimiliki dalam bangsa ini. Karakter itu
sangat penting bagi suatu bangsa karena karakter bangsa
menunjukan bagaimana bangsa tersebut.
Oleh karena itu, kita sebagai orang tua dan generasi muda
diharapkan untuk dapat memperkenalkan kebudayaan bangsa
ke- pada anak-anak dan generasi yang selanjutnya. Selain kita
meles- tarikan budaya bangsa ini, anak kita juga dapat
membangun karak- ter kepada generasi muda untuk memajukan
bangsa dan menunjuk- kan karakter bangsa ini.

Biodata Penulis
Dian Andri Ani. Tinggal di Pendul RT 50, Argorejo, Sedayu, Bantul. Saat ini
Dian Andri Ani sekolah di SMA Negeri 1 Sedayu. Jika ingin
berkorespondensi dengan Dian Andri Ani dapat menghubungi HP:
087738706117.

13 Burung-Burung Kertas
6
96 Burung-Burung Kertas
CERPEN

Burung-Burung Kertas 97
98 Burung-Burung Kertas
BERMULA DARI SUARA
Deliana Poetriayu Siregar

Hari ini senja kembali menyapa. Sama dengan sapaan


akrabnya di hari-hari lalu, ia selalu menimbulkan suasana yang
sama. Sama juga dengan rasa yang selalu aku rasakan kala
senja. Rasa yang sama saja dengan secangkir seduhan kopi Gayo
tanpa campuran gula di dalamnya. Pahit tapi masih dapat
dinikmati. Rasa ini teracik dengan sempurna. Takarannya pas,
tidak kurang dan tidak lebih. Kali ini aku duduk sendiri dan
masih menunggu kehadiran Ben. Tak seperti biasanya, ia kali ini
datang terlambat. Ia tak kun- jung menyapa diriku. Hari-hari lalu,
Ben selalu datang tak berse- lang lama setelah Jen pergi. Tapi kali
ini, sepertinya ia ingin menguji
kesabaranku.
“Sudah berapa batang Djarum kau habiskan hari ini?”
“Belum sebatang pun,” jawabku menimpali suara Ben yang
lembut penuh kasih sayang.
“Kau tidak bertanya mengapa aku datang terlambat?”
Ya, Ben masih saja berlaku seperti sepuluh tahun yang lalu.
Ia begitu lembut, penuh perhatian, dan selalu menaruh
kekhawatiran dari rasa sakit yang aku rasakan. Meski kelembutan
dari suaranya penuh perhatian, masih dapat kukenali ketegasan
dari tiap pernya- taan yang ia lontarkan.
“Mengapa engkau datang terlambat?”
“Aku menunggu emosimu mereda. Mengapa engkau begitu
gusar tadi?” suara Ben masih begitu tenang.
“Jen yang memancingku,” jawabku dengan mimik kesal.
“Apa yang ia pancing dari dirimu?”

Burung-Burung Kertas 99
“Untaian memori itu. Satu babak memori mengenang Sam.
Padahal aku tak menyukai itu.”
“Kau harus biasakan untuk terlepas dari memori tentang Sam.”
“Aku sudah berusaha. Tapi kali ini ceritanya begitu emo-
sional.”
“Kau harus coba lebih kuat. Terlebih, Sam sudah sepuluh ta-
hun menghilang. Sepuluh tahun juga ia tidak menyapa
kehidupan- mu lagi,” papar Ben mencoba menguatkan
perasaanku.
Ia menyampaikan dengan suara yang lebih empuk dan
penuh optimisme. Seharusnya hanya engkau yang muncul saat
itu, Ben. Aku tak merasa seteduh saat bersamamu kala aku
bercengkerama dengan Sam sepuluh tahun lalu. Sesungguhnya ia
adalah kekacauan yang berbalut romantisme senja. Ia adalah Sam
yang dengan se- enaknya mengambil bagian dalam hidupku dan
merenggut keba- hagiaanku. Ia adalah Sam sosok Bengis yang
berkedok cinta tanpa batas. Ia adalah Sam yang tega-teganya
membuat kelam satu babak perjalanan ini sepuluh tahun lalu. Ia
adalah Sam yang berganti dengan sosok Ben yang begitu aku
kagumi.
“Apa yang paling engkau benci dari babak itu?” tanya Ben
kemudian.
Aku hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaan, Ben.
Sepuluh tahun lalu, semua begitu menyiksa. Ibuku
menganggapku aib dan ini semua hanya karena Sam. Sam yang
muncul dalam hidupku, semula membawa pelangi yang begitu
nyata dan indah. Sayang semua berakhir dengan luka yang
mendalam. Bagaikan sayatan dalam yang sakitnya begitu dalam
dan tak kunjung pudar. Hanya sebab keberadaan Sam, aku
dikucilkan dari lingkunganku. Aku pun pada akhirnya harus
menerima perpisahan dengan Maurin. Semua karena Sam
sampai aku harus lama mendekam di balik jeruji besi. Semua
terasa sakit hingga entah apa yang aku harus katakan pada Ben.
“Tak perlu kau nyatakan bila memang engkau tak
mengingin- kannya,” ujar Ben kemudian.
Peluh air mata membasahi pipi. Ia sepertinya tak terbendung
kembali. Jemari mungilku kupakai untuk menyeka tetesannya.
100 Burung-Burung Kertas
Aku

Burung-Burung Kertas 101


merasa malu terlihat lemah kembali di hadapan Ben. Aku tak seha-
rusnya menjadi demikian.
“Sam bukan penyebab dari masalah sepuluh tahun itu!”
“Jen?” ujarku terperanjat.
“Tidak ada Jen di sini. Ia sedang tertidur. Hanya ada aku
dan kau di sini,” ujar Ben coba menata emosiku kembali.
“Aku baru saja mendengar suara Jen,” kataku mencoba
meya- kinkan Ben tentang suara yang aku dengar.
“Jen tidak ada di sini. Ia sedang tertidur. Ia akan
menjumpaimu malam nanti.”
“Aku tidak ingin bertemu Jen nanti malam. Aku masih marah
padanya. Panggil saja Nad atau Mel untuk menemaniku berbin-
cang.”
“Kau belum bisa meredam amarah pada Jen?”
“Belum bisa. Aku yakin ini karena Jen masih bersahabat baik
dengan Sam. Ya, ia pasti masih bersahabat dengan Sam di
belakang- ku,” ujarku dengan penuh kecurigaan.
“Jangan berburuk sangka! Praduga seperti itu yang
menjerat- mu kembali terperosok ke dalam lembah kelam dalam
kehidupan- mu sendiri.”
“Tapi ini semua sulit. Ini begitu berat bagiku.”
“Jangan engkau menganggap semua kesulitan di masa itu ha-
nya milikmu sendiri. Jen, Nad, dan Mel juga merasakannya. Aku
minta engkau menyadari hikmahnya. Toh setelah kejadian itu,
aku justru bisa muncul dalam kehidupanmu. Peristiwa itu yang
membuat aku mengenalmu lebih baik. Jen, Nad, dan Mel sudah
cukup tersiksa dengan rasa-rasa pahit yang engkau bubuhkan
tiap senja.”
“Apa engkau juga mulai merasa jenuh berteman denganku,
Ben?”
“Engkau lagi-lagi mulai menaruh curiga. Coba engkau pejam-
kan mata dan tanyakan lagi pada hatimu. Jangan dengarkan
suara- ku, Jen, Nad, atau juga Mel. Ingat saja rasa lain yang
engkau cicip kala senja bersamaku. Itulah sejujurnya juga yang aku
rasakan saat bersamamu.”
“Aku menyukai rasa yang ini, Ben.”

102 Burung-Burung Kertas


“Kalau begitu, coba miliki rasa itu sepenuhnya. Gunakan rasa
itu untuk memerangi rasa yang Sam tabur dalam lubuk hatimu.
Aku yakin engkau pasti bisa menaklukkannya.”
“Aku sudah katakan begitu padanya, Ben,” tiba-tiba Jen me-
nyambung pembicaraan.
“Mengapa engkau bisa kembali lagi, Jen?” tanyaku
keheranan. “Aku didesak oleh Mel dan Nad untuk
mendatangimu lagi.
Mereka membujukku untuk datang berbaikan dengan dirimu.”
“Tapi engkau tak seharusnya menyapa saat aku sedang ber-
sama Ben. Lagi pula ini waktu bagi Mel untuk menemaniku.”
“Ben dan Mel yang memberiku kesempatan untuk menyapa-
mu. Aku hanya sebentar sekadar meminta maaf.”
“Aku memaafkanmu. Aku juga baru sadar tentang rasa pahit
yang juga engkau rasakan, Jen. Aku juga meminta maaf.”
“Aku rasa ini semua kesalahan kita semua. Aku akan mening-
galkanmu untuk berbincang dengan Ben kembali,” ujar Jen
meng- akhiri.
Tak berapa lama Jen pun pergi. Ben kembali hadir. Kali ini
suaranya lebih ringan. Sepertinya ia tahu bahwa Jen baru saja da-
tang dan telah berbaikan dengan diriku.
“Lebih lega?”
“Iya. Aku merasakan rasa yang aku cintai lagi, Ben.”
“Itu sebabnya aku datang sebagai pengganti Sam. Aku ingin
menghadirkan kembali rasa yang engkau cintai.”
Ben memang begitu perhatian. Ia adalah sosok yang aku
cintai. Ia sangat ideal untuk dicintai. Ia memberikan rasa sayang
yang pas. Tidak sengaja ia buat sebagai penenang saja. Ia begitu
menyita perhatianku. Merenggut porsi yang lebih besar daripada
Jen, Mel, dan Nad. Ia hadir hanya di saat yang tepat. Seperti yang
ia katakan, ia adalah hikmah dari peristiwa itu.
“Ben, ini sudah pukul tujuh. Aku sudah membuat janji
bertemu dengan Karin,” ujarku mencoba menutup sesi obrol santai
bersama dengan Ben.
“Baiklah, aku akan melepas kepergianmu. Aku rasa
pertemuan- mu dengan Karin telah memberikan kebaikan
kepada kehidupan- mu,” ujar Ben kemudian.
Burung-Burung Kertas 103
“Apa contohnya, Ben?”
“Gampang saja, engkau sudah beberapa hari tidak
bergantung pada rokok kebanggaanmu itu. Dan aku rasa itu baik
untuk me- nambah pergaulanmu,” jelas Ben seraya tersenyum
manis meng- akhiri.
Aku hanya berpikir ringan. Mengangguk pertanda setuju
dengan ucapan Ben. Aku pun kemudian tersenyum mengakhiri
perbincangan senja itu. Rasa pahit itu pun perlahan memudar.
Setidaknya hari ini Ben sukses memudarkannya.
Aku memutuskan bergegas menemui Karin sebelum
akhirnya Mel mendesak untuk bertemu denganku. Meski aku
sudah ber- kopromi dengan Mel, aku takut kalau-kalau Mel jenuh
tiba-tiba dan memaksa untuk bertemu denganku. Akhirnya aku
putuskan untuk segera berjalan menuju rumah Karin. Rumah
Karin tak seberapa jauh dari taman. Ia sempat mengirim pesan
singkat tentang jadwal bertemu hari ini. Ia mengingatkan aku
mengenai buku ca- tatan yang menjadi milikku, Ben, Jen, Mel, dan
Nad. Ia memasti- kan kami masih rajin mengisinya.
Rumah Karin sangat megah. Aku sangat menyukai arsitektur
bangunan rumah Karin. Konsepnya elegan tapi bersentuhan
dengan alam. Setiap Karin menjanjikan aku untuk bertemu di
rumahnya, aku merasa sangat bahagia. Rumahnya sangat nyaman
untuk seka- dar berbagi cerita.
Tak berapa lama aku menunggu di ruang tamu, sosok Karin
yang anggun datang menghampiriku. Karin saat itu terlihat
sangat manis. Ia mengenakan pakaian merah muda bermotif
bunga kecil berwarna keunguan. Ia tersenyum dan mempersilakan
aku berdiri.
“Ayo kita masuk ke ruanganku saja!” ajak Karin padaku.
Aku berjalan di belakang Karin. Karin dan aku tengah
berjalan menuju sebuah ruangan yang lebih tenang. Ruangan
Karin ini me- mang menjadi saksi bisu persahabatan aku dan
Karin. Hari ini, ruangan ini begitu lekat di pikiranku.
Kenampakan pertamakali aku memasuki ruangan ini begitu
berbeda dengan kenampakannya sekarang. Aku merasakan
begitu bersahabat dengannya saat ini. Cukup berbeda dengan
keadaan lima tahun silam.
104 Burung-Burung Kertas
“Tak terasa sudah lima tahun. Apa engkau sudah dapat ber-
adaptasi dengan kondisi ini?”
“Iya, Rin. Aku merasa sangat tertolong setelah
kehadiranmu.” Aku merasa Karin adalah salah satu karakter
yang Tuhan ciptakan untuk mengangkatku dari keterpurukan.
Ia yang menguatkan aku. Ia adalah Karin yang mengenalkan
aku pada Ben, Jen, Mel, dan Nad. Karin juga adalah orang yang
pada akhir- nya menciptakan media komunikasi efektif antara
aku dengan Ben, Jen, Mel, dan Nad. Ia yang membungkus aib
menjadi sebuah ke-
kuatan, keunikan, atau bahkan sekadar kelebihan sederhana.
“Aku ingin memulai obrolan hari ini dengan mengingat
peris-
tiwa sepuluh tahun lalu. Aku ingin menguji caramu menguasai
emosimu. Aku ingin engkau memikirkan semua peristiwa
sepuluh tahun lalu dengan sempurna,” pinta Karin kemudian
dengan di- sertai sentuhan tangan yang menguatkanku.
Sepuluh tahun silam, aku seolah menjadi orang gila. Perka-
winanku dengan Jonathan seolah tak bisa berjalan sempurna.
Jonathan kerap menyiksaku. Ia mudah merajuk bila aku tidak
membuatkan secangkir kopi Gayo favoritnya sepulang dari kerja.
Bila aku tidak segera sadar, ia akan menyiramkan air panas sehabis
aku jerang. Lebih dari sekadar menyiksa fisikku, Jo juga telah
memiliki dua orang perempuan simpanan. Oleh karena aku tidak
tahan dengan kelakuan Jo, aku mencoba lari ke keluargaku.
Ibuku menolakku mati-matian dan akhirnya kerap menyalahkan
aku atas segala perilaku Jo. Ibu selalu melihat aku sebagai anak
yang tidak pernah tumbuh dewasa dalam menyelesaikan
masalah dalam ru- mah tanggaku. Aku pun pada akhirnya
dikembalikan dalam sua- sana mencekam bersama Jo.
Penolakan dari sumber-sumber keselamatan tersebut mem-
buat aku menjadi depresi berat. Aku sempat ditemukan
beberapa kali berusaha melukai diriku sendiri. Tapi usaha bunuh
diriku ter- sebut juga berkali-kali gagal karena aku yang
diselamatkan oleh Maurin, putri kecilku yang dulu berusia enam
tahun. Berkali-kali aku tak menjumpai orang yang tepat untuk
berbagi cerita atau sekadar meminta pertolongan kecil, aku pun
Burung-Burung Kertas 105
pada akhirnya mene- mukan Sam. Pada mulanya, Sam tidak
pernah menampilkan diri

106 Burung-Burung Kertas


baik pada Jo maupun Maurin. Ia lebih senang hanya berdiskusi
dengan diriku. Ia muncul sebagai penguat mentalku. Ia meng-
ajariku mengenai keberanian. Ia bahkan sesekali memaksaku untuk
melawan kekerasan yang dilakukan Jo. Tapi aku berkali-kali me-
nolak melakukannya karena rasa takut pada Jo yang sangat
besar. Tak berapa lama aku mengenal Sam, muncul karakter Jen.
Ia adalah sahabatku dan juga Sam disaat yang bersamaan. Jen
tidak senang mengobrol denganku. Ia lebih sering
mengingatkanku dengan suara-suara yang menggema di otakku.
Jen lebih sering mengobrol dengan Sam saat itu. Mereka banyak
berdiskusi. Ter- kadang Jen membuatku cemburu. Saat itu aku
mencintai Sam yang juga memberikan perhatian sama besarnya
untukku dan juga Jen. Sam saat itu begitu perhatian dan
kuanggap sebagai pahlawan dalam masa penyiksaanku. Tapi
semua itu berakhir ketika rasa cemburuku terlampaui jumlahnya.
Aku mulai mengabaikan saran-
saran bijak Jen. Aku menekan pengaruh Jen kuat-kuat.
Akhirnya, Sam mulai mengambil peran yang cukup dominan
dalam kehidupanku. Ia mulai memonopoli tubuhku. Ia
membalas- kan rasa sakitku pada Jo secara terus menerus.
Hingga suatu kali, Sam menggunakan tubuhku untuk membunuh
Jo. Sejak saat itu pula aku dicap sebagai pembunuh. Aku
dipenjara dan Sam entah ke mana perginya. Karena peristiwa
pahit itu, aku dijauhi masya- rakat, dituntut mati oleh keluarga
Jo, dibenci seumur hidup oleh Ibu dan harus dipisahkan dengan
Maurin. Maurin dianggap perlu diadopsi oleh orang lain yang
sangat jauh untuk menjauhkan dari pengaruh burukku atau juga
pengaruh buruk Sam.
Aku mendekam lima tahun dalam bui dengan rasa malu yang
begitu luar biasa. Selain rasa malu, rasa berdosa juga menghantui
diriku. Rasa jijik pada Sam juga muncul. Aku tinggal dengan rasa
yang penuh dengan penyesalan. Aku hanya ditemani oleh pan-
dangan aneh teman satu sel yang menyebut aku gila. Aku terba-
ngun sebagai aku selama dua atau tiga hari sekali dan menjadi
lupa ingatan untuk beberapa hari lain. Yang hanya dapat aku
defi- nisikan adalah aku dapat mendengarkan suara-suara dari
Jen, Mel, Nad, dan Ben. Saat itu, aku belum mampu
Burung-Burung Kertas 107
berkenalan dengan

108 Burung-Burung Kertas


mereka. Aku hanya memiliki perspektif tentang mereka. Hanya
suara Ben yang sejak awal telah terdengar teduh dan bijaksana.
Setelah lima tahun mengakrabi bui, aku dibebaskan
bersyarat oleh Karin. Ia adalah seorang ahli kejiwaan yang mau
menjaminku. Ia melakukan penjaminan dan perawatan instensif
untuk sekadar menyelamatkan aku. Sejak lima tahun lalu, Karin
mencoba meme- diasi kehidupan Ben, Mel, Nad, dan Jen
denganku. Sesekali aku yang datang berkunjung menemui Karin.
Sesekali bila diminta, Ben, Jen, Mel, atau Nad yang datang
mengunjungi Karin. Terka- dang Karin yang meminta demikian
agar Ben, Jen, Mel, dan Nad bisa bercerita mengenai
permasalahanku dari sudut pandang yang lain. Dahulunya Mel,
Ben, Jen, dan Nad tidak bisa berbincang denganku. Mereka hanya
mengambil peran sebagai suara-suara di otakku. Kadang mereka
adalah karakter yang mengambil peran tubuhku saat aku tertidur.
Mereka kerap melakukannya tanpa per- misi kepadaku. Mereka
melakukan seenaknya hingga kadang mem- buatku lelah saat
terbangun. Tapi untung saja mereka tidak seperti Sam yang
menggunakan tubuhku untuk bertindak kriminal.
Karin bilang, aku adalah seorang penderita alter ego. Lebih
dari suara-suara, Ben, Jen, Mel, Nad, dan bahkan Sam adalah ka-
rakter yang telah hidup dalam diriku. Ia mengambil peran dan
posisi tertentu dalam hidupku. Aku adalah karakter dominan
yang menguasai tubuhku sendiri. Ben dan Jen adalah karakter
dominan lainnya. Tapi frekuensi kemunculan mereka saat ini bisa
aku atur. Terlebih Mel dan Nad. Mereka karakter yang lemah
yang jarang muncul. Mel hanya muncul saat aku sedang
terancam bahaya. Ia tidak pernah meminjam tubuhku untuk
menjalani kehidupannya. Nad muncul saat aku perlu
bersosialisasi dengan orang lain. Nad paling ahli berkomunikasi
dengan orang lain. Ia menguasai ke- mampuan bercakap-cakap
dengan baik. Ia cukup pandai menyim- pan rahasia bila tengah
bergaul dengan orang lain. Sama dengan Mel, Nad tidak memiliki
kehidupan sendiri.
“Sudah minum obat, Ca?”
“Sudah, Rin. Apa aku bisa sembuh?”
“Tentu saja bisa. Kesembuhanmu akan bergantung kepada
Burung-Burung Kertas 109
caramu beradaptasi dengan semua karaktermu yang lain. Aku
lihat

110 Burung-Burung Kertas


dari buku catatan kalian, kalian sudah belajar banyak sejauh ini.
Kalian bisa bekerja sama dan menekan kemunculan Sam,” jelas
Karin.
Aku masih harus berusaha untuk menguatkan diriku sendiri,
Ica Meidina. Ica masih harus berusaha bersahabat dengan
dirinya sendiri. Tidak hanya bersahabat dengan karakter lainnya,
aku juga harus bersahabat dengan masa laluku. Aku juga harus
belajar ber- sahabat dengan Sam. Aku harus bersahabat dengan
seluruh kehi- dupanku.

Biodata Penulis
Deliani Poetriayu Siregar tinggal di Jalan Kaliurang km.14, Sleman. Saat ini
Poetri kuliah di Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah
menulis, “berbicara”, jalan-jalan, dan mendesain. Jika ingin berkores-
pondensi dengan Poetri dapat menghubungi: HP 087834859655, email:
delianipsiregar@yahoo.com, twitter: @anggsiregar, FB: Anggi Siregar.

Burung-Burung Kertas 111


BINTANG HARAPAN
Akbar Yoga Pratama

Aku selalu berpikir hidup itu seperti garis lurus. Tak ada yang
menarik untuk didefinisikan tentang garis-garis yang saling beraturan.
Sekalipun mereka berkooordinasi membentuk suatu bidang asimetri, itu
sama sekali tak bisa disebut seni. Menurutku, hidup tak pernah punya
cerita. Setidaknya sampai aku bertemu denganmu, teman kecil yang
bicara dalam kebisuan, yang bertindak dalam kebungkaman.
“Kelompok tiga, Sofi, Igo, Eka, Miko, Bagus…!” seruku.
“Hahahaha…!” tiba-tiba seisi kelas meledak oleh tawa.
Aku yang dipercaya membuka undian kelompok, berdiri me-
matung menatap sekitar. Pandanganku terhenti di mata Sofi, dia
nampak kecewa dan masih tak percaya dengan hasil undian. Dan
aku tahu apa sebabnya. Aku memberanikan diri menatapnya de-
ngan tatapan ala Tom Hanks dalam film di mana ia terdampar di
suatu pulau sepi, tidak bertemu manusia selama tujuh belas bulan,
dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Alih-alih
menenang- kan hatinya, itu justru membuat orang merasa mual
dan ingin muntah.
Sambil beranjak duduk, aku melihat beberapa teman menu-
ding Sofi sambil terbahak-bahak. Wajahnya memerah. Kulirik so-
sok bernama Bagus yang duduk sendirian di depan. Dia
bergeming layaknya sebuah tiang seolah tak merespon
lingkungan sekitar. Sungguh, dia adalah orang paling tolol dan
kolotan yang pernah kukenal. Untungnya aku tidak sekolompok
dengannya. Sofi dan teman sekelompoknya, kecuali Bagus
sampai menggerutu habis-

112 Burung-Burung Kertas


habisan padaku saat jam istirahat. Padahal aku hanya ditugasi Bu
Hindun untuk membuka undian.
“Dosa apa aku harus bekerja sekelompok dengan dia selama
tiga minggu ke depan?”
“Huss! Jangan gitu, Sof! Gimana juga, dia itu teman sekelas
kita.”
“Tapi, kenapa mesti aku yang sekelompok coba!”
“Mungkin kaliaaaann ” aku sedikit ingin menggoda.
“Heh, Ram! Sembarangan!” balasnya. Aku terbahak men-
dengarnya.
Aku sendiri mengakui Bagus seorang pemuda yang aneh.
Sangat aneh. Tubuhnya tinggi kurus. Wajahnya tirus. Matanya
berkantung, seperti orang yang tak pernah tidur. Rambutnya
tipis dan kemerahan, disisir dengan belahan yang tak
proporsional. Dia punya kening lebar yang ditumbuhi jerawat.
Alisnya juga tebal sekali sementara dagunya mundur ke
belakang. Jika disaksikan dengan saksama, keseluruhan
tubuhnya mirip dengan pohon jati kurus yang sedang
meranggas.
Pertama kali bertatap muka—dua tahun lalu—dia membuat
kami semua ternganga. Ia memakai celana SMP lawas sepanjang
lutut yang menampakkan betisnya yang seperti tongkat bersekrup.
Kakinya terbungkus sepatu futsal yang ukurannya tiga nomor di
atas ukuran kakinya. Bagian paling menakjubkan adalah, kaos
kakinya bermotif belang-belang merah muda!
Dia selalu datang terlambat ke kelas, dengan nafas terengah-
engah dan peluh bercucuran membasahi tubuhnya yang hitam
le- gam, seperti Usain Bolt yang baru saja menyelesaikan sprint
1000 meternya. Begitu masuk, hal pertama yang dia lakukan
adalah menampilkan senyum lebarnya dan ber-”hehe” kepada
guru yang sedang mengajar. Lalu dia akan duduk di sana, di
bangku depan dengan seluruh pakaian dan peralatannya yang
usang, diam sepan- jang hari seperti seonggok benda uzur di
sudut ruangan.
Bagus. Kupikir, namanya sama sekali tak pernah seperti wu-
judnya.
Tapi, ada satu hal yang harus kuakui juga. Dia seperti
Burung-Burung Kertas 113
mutiara yang terbungkus debu tebal. Di balik perangainya yang
tolol dan

114 Burung-Burung Kertas


membuat jengkel, dia memiliki otak yang ajaib. Tak dinyana
oleh- ku, bahkan oleh oknum-oknum pengejeknya, dia adalah
anggota tetap rangking tujuh besar di kelas! Maka dari itu, aku
tak pernah berani ikut-ikutan mencelanya. Tanggung jawabku
sebagai ketua OSIS membuatku harus bergaul dengan segala
kalangan warga sekolah tanpa pandang bulu. Dan salah satu
tanggung jawabnya, adalah menjadi teladan bagi teman-teman.
Entahlah, aku hanya berusaha menjadi baik.
“Menurut kamu, yang salah itu Bagus atau teman-teman,
Ram?” tanya Sofi.
Aku bungkam seribu bahasa. Aku bukanlah bi ahkaamil
haakimiin yang mampu dengan jelas dan pasti menunjuk seseorang
atau sekelompok orang sebagai tersangka. Aku sama sekali tak
mampu memahami Bagus atau teman-teman yang lain. Yang satu
seperti merasa tidak membutuhkan orang lain dan sangat menjeng-
kelkan jika diajak bicara. Yang satunya lagi menilai bahwa Bagus
adalah sebentuk produk yang gagal melewati seleksi alam, dan
mereka jengah juga karena Bagus tidak pernah bisa diajak berko-
munikasi yang baik. Aku sendiri menyadari kedua hal itu.
“Gak tau, Sof.” jawabku demi membuatnya diam.
***
Aku melirik ke kelompok Sofi,
“Bagaimana kalau kita mengadakan penelitian tentang
peman- faatan biogas? Yang mudah saja, karena dekat rumah kita
ada ternak sapi yang lumayan besar,” usul Sofi.
Semua teman mengangguk kecuali Bagus.
“Aku tidak sependapat!” katanya tiba-tiba. Mereka, bahkan
seisi kelas menatapnya.
“Kenapa?”
“Eh,” dia tampak tergagap. “Hehe tidak apa-apa. Emm, hanya
saja… ya kalau kalian setuju, aku tidak apa-apa,”
“Aku ingin mendengar alasanmu tidak sependapat denganku.
Barangkali kamu punya ide yang lebih cemerlang?”
“Tidak, tidak. Aku ngikut saja… Hehe, iya aku ngikut saja,”
“Dasar orang aneh!” gerutu Sofi.

Burung-Burung Kertas 115


Satu hal yang paling dibenci dari bekerja satu kelompok
dengan Bagus adalah, Bagus selalu menjadi sasaran bullying teman-
teman. Ketika selesai presentasi, teman-teman akan berlomba-
lomba mengacungkan tangan untuk memberi pertanyaan atau
tanggapan. Dan biasanya mereka mengatakan, “saya ingin
bertanya pada Mas Bagus…” atau “saya ingin menanggapi
pernyataan Profesor Bagus…”
Tampaknya, mereka lupa dengan prestasi Bagus. Mereka
me- manggilnya dengan julukan-julukan yang menggelikan. Aku
tak tahu siapa yang sebenarnya lebih tolol. Bagus memang tak
pernah bisa menguraikan jawaban secara sempurna. Tapi teman-
teman? Mereka menanyakan dan menyatakan hal-hal kritis sekadar
untuk menerima tanggapan bodoh. Mereka menikmati ekspresi
Bagus yang selalu tampak seperti badut sirkus yang lupa pada
atraksi selanjutnya. Terkadang, Sofi sendiri merasa iba. Dan
perasaannya mendorongnya untuk mencegah mereka
melakukan mental abuse yang lebih parah terhadapnya. Dan kau
tahu apa tanggapan me- reka?
“Hahaha… sudah kita duga. Kalau tiga kali berturut-turut
kamu sekelompok sama dia… itu artinya kalian jodoh! Sekarang
mulai kelihatan kan chemistry-nya? Hahaha!” kata Uli yang paling
semangat mewakili dua puluh empat siswa lainnya.
***
Sekarang bulan Juni. Aku senang sebentar lagi kami naik
kelas. Aku sangat berharap tidak sekelas dengan orang-orang
aneh ma- cam Bagus, atau macam teman-temanku yang lain.
Tapi, ada kabar mengejutkan. Suatu pagi, guru kami
mengkonfirmasi ketidakhadir- an Bagus selama beberapa hari
belakangan. Rupanya, dia keluar dari sekolah. Gumam-gumam
keheranan pun bermunculan.
“Apakah gara-gara dia selalu terlambat dan menjadi bulan-
bulanan kita?” Igo heran.
“Tanpa mengikuti ujian kenaikan kelas terlebih dahulu?”
Rani menimpali.
“Sepertinya dia memang berniat tidak melanjutkan sekolah,”
giliran Uli bicara.

116 Burung-Burung Kertas


“Oh… anak malang,” gumam yang lain dengan nada meng-
hina.
“Dia bahkan tidak meninggalkan apapun untuk kita…”
“Kalian salah!” tiba-tiba wali kelas kami, Bu Hindun menyela,
“dia meninggalkan ini…,” perempuan itu mengacung-acungkan
sepucuk surat. “Tapi di sini tulisannya untuk Sofia.”
“Haaaaaa!” seisi kelas langsung menuding Sofi. Aku tak ter-
kejut karena pagi ini, sebelum jam masuk, kepala sekolah dan Bu
Hindun mengajakku berbicara di ruang guru. Mereka bercerita
banyak tentang Bagus. Aku diam memahami dan mencari solusi.
“Kubilang juga apa? Diam-diam mereka saling cinta! Hahaha!”
Uli makin menggila.
Sofi maju ke depan mengambil surat itu dengan wajah
merah padam. “Sialan kalian semuaaa!” geramnya pelan. Dia
buka surat itu sambil memaki-maki pada diri sendiri. Kalau
Bagus di sini, dia yang akan dimaki! Sofi membuka surat itu dan
mulai mem- bacanya.
Halo Sof,
Aku cuma mau minta maaf karena aku selalu membuatmu marah.
Aku tau kamu membenciku karena banyak hal, terutama karena aku bodoh,
tidak pernah ikut mengerjakan tugas kelompok, dan mempermalukan kalian
saat presentasi.
Biar kujelaskan, aku selalu terlambat karena aku harus mengurusi
dua adikku.
Aku sudah tidak punya orangtua.
Lalu aku tidak bisa ikut kerja kelompok siang hari karena aku harus
bekerja. Aku harus membantu pamanku di pasar, demi menghidupi
mereka.
Sementara kalau malam, aku sudah terlalu lelah untuk melakukan
hal lain. Aku tidak senang membagi kisah hidupku yang tidak menye-
nangkan. Tapi, aku tidak ingin kamu salah paham.
Itu saja.
Bagus.
Selesai membaca itu, aku menemukan tatapan teman-teman
yang seperti sudah siap menerkam dengan ejekan.

Burung-Burung Kertas 117


“Kalian harus membaca ini!” Sofi berseru sambil
melambaikan surat itu pada mereka, suaranya sudah cukup
membuat semua homo sapiens tolol di kelas tafakur
mendengarnya. Sudah nampak butir-butir embun yang siap
menetes dari mata cantik Sofi.
Seisi kelas membaca surat itu secara bergantian, aku sendiri
tak terlalu tertarik, aku hanya pura-pura bertanya pada Sofi apa
isi surat itu.
“Apa isi suratnya, Sof?”
“Baca sendiri! Ram, besok temenin aku ke rumah Bagus ya!
Kita cari alamatnya di ruang tata usaha!”
“Oke siaap! Tapi kita ke pasar dulu cari dia,” kataku. Sofi
mengangguk.
“Apa sih yang enggak untukmu, Sof?” batinku melanjutkan.
Tiba-tiba sekelas memalingkan muka ke arahku dan Sofi.
“Ram, Sof, gak nyangka ya, Bagus itu...”
“Makanya kamu jangan ejek dia terus!” Sofi tidak terima,
kucoba menenangkannya.
“Kalo kamu mau, besok pulang sekolah ikut aku sama Sofi ke
rumah Bagus. Kita minta maaf, kita ajak dia sekolah lagi,” kataku
mencairkan suasana.
“Hmm.. Gimana yaa, aku takut Ram. Lagian besok aku ada
acara. Titip salam aja, ya,” kata Uli.
Sebenarnya aku ingin langsung menghajar si pengecut ini
demi mendengar kata-katanya tadi. Pandanganku tajam ke arah
mata- nya, lalu aku memalingkan mata ke luar, seolah tak peduli
tentang yang kurasakan.
“Pengecut!” batinku.
Aku memandangnya lagi dengan sengit. Aku tahu, dia hanya
gengsi. Sosok seperti itulah yang harusnya dijauhi.
***
Esoknya, sesuai janji kemarin, sepulang sekolah kami ke pasar.
Sayangnya, di pasar kami sama sekali tak melihat pemuda itu.
Kami putuskan untuk ke rumahnya.
“Assalamualaikum! Bagus!” Sofi memanggilnya. Hening.
“Gus, Bagus! Ini Sofi, Gus!” masih memanggilnya. Lagi, tanpa
jawaban.
118 Burung-Burung Kertas
Aku yang menunggunya sambil duduk di sebuah lincak
mera- tapi keadaan rumahnya. Interiornya yang sangat
sederhana, lantai tanah yang kotor, tembok dan atap dari gedhek,
kontras dengan keadaan rumahku.
“Tapi, dari sinilah profesor itu lahir,” batinku. Aku mencoba
mengaitkannya dengan isi surat kemarin. Ternyata aku
mengagumi sosoknya.
Aku melihat ke atas, kutemukan puluhan bintang dari kertas
karton lusuh yang digantung dengan rafia seadanya, bertuliskan
beberapa mimpi, harapan, dan cita-citanya. Beberapa yang mem-
buatku terenyuh adalah yang bertuliskan “JADI DOKTER!”,
“MENDIRIKAN RUMAH SAKIT DI PEDALAMAN”, “NAIK
HAJI!”, dan masih banyak lagi. Beberapa sudah ada yang terjatuh
di lantai, diantaranya bertuliskan, “BAHAGIAKAN ORANG TUA
SELAGI SEMPAT!”, “NAIK HAJI BARENG ORANG TUA”, dan
sepertinya bintang-bintang yang bertuliskan hal-hal tentang orang
tua—entah disengaja atau tidak—telah jatuh sendiri ke tanah—
merefleksikan keadaanya yang sudah tidak punya orang tua. Ba-
gus, rumah ini, dan kertas karton lusuh berbentuk bintang beserta
tulisannya, dengan berbagai cara mencoba mengiris batinku. Perih,
pedih.
“Pemimpin macam apa aku ini!” aku mengutuki diri sendiri.
“Ram, pulang, yuk! Kayaknya Bagus nggak ada di rumah,”
Sofi nampak lelah.
“Sof, lihat ini,” aku menunjuk ke langit-langit teras dan
meng- ayunkan telunjukku ke lantai.
Dia memandangnaya. Sofi juga terenyuh hatinya. Tiba-tiba,
embun di matanya mulai membanjir. Ia merasa ada yang
menusuk- nusuk kalbunya, mungkin ia sedang berpikir, “Apa
pemuda ini harus kehilangan mimpinya karena aku?”
Tiba-tiba dia berkata sambil terisak, “Aku yang salah, Ram.”
“Maksudnya? Nggak, nggak ada yang pantas disalahkan di
sini.”
“Tapi, dia terus-terusan diejek di sekolah karena aku, Ram!”

Burung-Burung Kertas 119


“Bukan, Sof! Bukan! Percaya aku! Ini soal teman-teman aja
yang belum mengerti Bagus,” kataku lembut, mencoba menjadi
dewa penyelamat batinnya.
“Kak, lagi apa di sini, Kak? Cari siapa?” tiba-tiba suara anak
laki-laki kecil berseragam putih merah nan lusuh datang sembari
menggandeng seorang anak perempuan yang juga berpakaian
sa- ma, hanya saja sepertinya lebih kecil. Kami kaget tak alang
ke- palang.
“Astaga! Kita cari Kak Bagus, Dek. Kak Bagusnya di mana
ya? Tadi sudah dicari di pasar nggak ketemu” tanyaku.
“Kalau jam segini, Mas Bagus lagi di bawah jembatan layang
Lempuyangan, Kak!”
“Oh, ngapain dia di sana?” Sofi dengan suara lembutnya
mulai bicara.
“Lihat aja sendiri, Kak. Cepet! Nanti keburu Mas Bagus pu-
lang!”
“Oke, Dek. Makasih ya!” aku langsung buru-buru menuju mo-
tor, Sofi dengan semangat mengisi jok belakang motorku.
Tangan- nya menepuk pundakku, sebuah sengatan semangat
menyelamat- kan mimpi seorang pemuda menyambar tubuhku.
“Oiya, Dek. Ini kakak ada permen. Buat Adik nih,” kata Sofi
sambil memberi dua anak itu permen Yupi. Permen manis yang
empuk, seempuk hatinya. Mungkin.
“Sama-sama, Mas Ganteng! Makasih Mba cantik! Kakak ber-
dua cocok!” suara si anak perempuan yang nampaknya sekitar
kelas 3 SD membuatku terhenyak.
“Amiin amiin ya, Dek. Makasih ya!” jawabku mengamini sam-
bil tertawa. Kedua anak itu hanya tersenyum. Sofi malah bereks-
presi datar. Aku langsung memacu motorku.
“Tuh, Sof. Anak kecil aja tahu! Hehe,” kataku bercanda saat
di jalan.
“Apaan sih, bukan waktunya bercanda ah!” balasnya sambil
mencubit pelan lenganku.
“Duh! Hehe.. Iya iya,” jawabku.
“Anak kecil nggak pernah bohong lho, Sof,” batinku sambil
tersenyum.

120 Burung-Burung Kertas


Sesampainya di bawah fly-over Lempunyangan, kami
mencari sosok Bagus.
“Ram... itu Bagus!” Sofi tercekat dan menunjuk ke utara,
meli- hat sosok Bagus. Aku mengangguk, ikut tercekat.
Sedang apa dia di sana? Sungguh, hati kami seperti tertusuk
belati saat melihat seorang Bagus. Dia yang selalu seperti
sampah di kelas, ternyata adalah malaikat penolong bagi para
anak-anak jalanan lainnya. Ternyata dia sedang mengajari anak-
anak jalan itu membaca, berhitung, menulis, bahkan melukis! Dan
dia... sendi- rian! Ah, pemuda ini.
“Baguuuss!! Gus, Bagus!” seru Sofi sambil setengah berlari.
Aku hanya berjalan pelan mengikutinya dari belakang.
“Gus, ternyata kamu...”
Belum selesai Sofi bicara, Bagus memotong, “Ayo ke tempat
lain dulu, ada yang harus aku omongin ke kalian! Adik-adik
tunggu sebentar yaa!”
Anak-anak jalanan yang menjelma menjadi pelajar itu meng-
iyakan. Kami menuju ke selatan, agak jauh dari kerumunan
jelmaan pelajar jalanan.
“Sof, Ram, aku minta maaf ya, selama ini aku selalu tertutup
begini,” Bagus memulai.
“Nggak, Gus! Kamu nggak salah, yang salah itu kita. Kita nggak
pernah jadi teman yang baik selama dua tahun ini. Maafin kita,
Gus!” mata Sofi mulai berkaca-kaca.
“Gus, kembalilah ke sekolah. Kelas hampa tanpa kamu, Gus.
Aku, Sofi, semua teman-teman butuh kamu. Bukan sebagai
sampah lagi, tapi sebagai pahlawan. Kamu pahlawan Gus, bagi
mimpi- mimpimu! Bagi kami! Bagi anak-anak itu,” aku mencoba
menyema- ngatinya.
“Aku nggak bisa. Ini dunia yang pantas untuk aku. Aku bukan
apa-apa di sekolah.”
“Bukan apa-apa gimana? Tujuh besar setiap ambil rapot! Itu
yang kamu sebut bukan apa-apa, Iya!” nada bicara Sofi meninggi.
“Gus, tentang bintang-bintang harapan di rumahmu? Apa
sekarang itu jadi sia-sia begitu aja?” kataku. Bagus yang sedari
tadi menunduk mulai berani menatap kami.

Burung-Burung Kertas 121


“Bintang harapan? Kalian ke rumah? Kalian lihat semuanya?”
Bagus tercekat.
“Jadi dokter, mendirikan rumah sakit di pedalaman, naik
haji! Itu semua apaan, Gus? Mimpi di siang bolong? Bukan kan?!
Kejar, Gus! Sekolahlah tempatmu!” kataku menegaskan.
“Kami butuh untuk mengenal kamu lebih dalam, Gus.
Pastikan bintang harapan itu menjadi kenyataan kelak!” ujar Sofi
penuh emosi.
“Kembalilah ke sekolah, Gus! Jika mengingat prestasimu
sela- ma dua tahun ini, kamu pantas mendapat beasiswa. Aku
yakin itu! Aku akan mengusulkan itu ke sekolah. Atas nama
mimpi, atas nama sahabat!” aku jadi ikutan emosi.
“Tuh, Gus! Ketua OSIS yang bilang, aku percaya, sekolah
pasti mau!” Sofi menimpali. Kami bertiga bungkam selama
beberapa detik.
Sejurus kemudian, Bagus berkata penuh makna, “Atas nama
kebesaran bintang-bintang harapanku. Aku putuskan kembali!”
Kami gembira. Sofi tersenyum manis. Aku memasang wajah
Tom Hanks-ku padanya, walau aku tahu ini bukan situasi yang
tepat. Tak kusangka, mataku juga mulai berair menatap cakrawala.
Sang senja bersayap menyoroti wajah kami, yang duduk di
tembok atas tepian jembatan layang Lempuyangan yang di
kolongnya sa- rat akan cerita. Aku percaya, senja dan mimpi
mengubah rupa Tom Hanks-ku sejenak menjadi seperti
Leonardo Di Caprio, se- mentara Sofi adalah Kate Winslet-nya
sore itu. Bagus, ia yang akan menjadi bintang di malam ini, juga
malam-malam selanjutnya. Bintang yang penuh harapan.
Bagaimanapun juga, pemuda penuh mimpi ini tetap tak bisa
terdefinisikan rupanya. Ia masih jenaka bak jati kurus yang
meranggas.
Mulai hari itu, setiap selasa, jumat, dan minggu sore, kami
bertiga rutin mengajar anak-anak jalanan di kolong jembatan la-
yang bermakna itu. Bagus telah kembali ke sekolah dan menemukan
kepercayaan dirinya. Tahun ketiga, kami bertiga tetap sekelas dan
formasi teman-teman yang lain pun tak berubah. Mereka mulai
memandang Bagus dengan sepenuh hati, mengajaknya duduk se-
bangku, dan bahkan mulai ada yang berebut untuk sekelompok
122 Burung-Burung Kertas
dengannya. Aku senang dengan pemandangan ini. Setidaknya di
akhir masa kepemimpinanku di OSIS, aku turut andil dalam me-
nyelamatkan mimpi seorang pemuda hebat yang hampir sirna.
Aku sudah dan masih butuh banyak belajar dari Bagus, Sofi, dan
yang lainnya.
Aku mulai memahami Cicero dengan teori Rehumanize-nya,
“Manusia mendapatkan sesuatu dari manusia lain. Manusia
melepaskan sesuatu dari manusia lain. Manusia menjadi manusia karena
manusia lain, atau mungkin ada juga manusia yang menjadi manusia
kembali karena manusia lain. Bagi umat manusia, manusia itu suci.”

Biodata Penulis
Akbar Yoga Pratama tinggal di Jalan Menjangan 19, Wirobrajan, Yogya-
karta. Saat ini Yoga bersekolah di SMA N 7, Yogyakarta. Hobinya adalah
menulis, bermain futsal, dan meracik kopi. Jika ingin berkorespondensi
dengan Yoga dapat menghubungi: HP 087838519163, email:
akbar_yogapratama@yahoo.com, FB: Akbar Yoga Pratama, twitter:
@yogakbaar.

Burung-Burung Kertas 123


BURUNG-BURUNG KERTAS
Beladiena Herdiani

Jam di sudut kamar, terus berdetak. Aku menghitung usia,


hening mengingat dosa-dosa. Jarum jam di pojok kamar terus
ber- gerak. Waktu meruncing menghunjam harapan. Segala yang
da- tang dan pergi sebentar lagi akan menjadi kenangan.
Mungkin tak lama lagi aku pun tinggal masalalu. Lalu datang
sebuah tanya dari sudut hati, apa yang akan dilakukan jika usia
tinggal sebulan lagi? Tak ada jawaban. Hanya jam di sudut kamar
yang terus ber- detak, seakan sedang mengakrabi kematian.
Diam-diam aku bicara pada mati. Wahai maut kapankah kau
menjemput?
Aku menebar pandang ke sekeliling ruang, dinding putih dan
lantai yang bersih. Perabot tertata rapi. Sepertinya kamar yang
menyenangkan bukan? Tapi tidak untukku. Sudah lama aku
terku- rung di sini. Terikat pada selang infus yang menggantung
di sam- ping tempat tidurku. Hari ke hari semakin lemah tak
berdaya. Tubuhku tak kuat lagi menanggung penyakit walau
hasratku un- tuk hidup tak pernah melemah.
Ingin rasanya berlarian menantang angin diluar sana. Bermain
pasir, lumpur, dan lumut di sungai. Rindu terik mentari dan sejuk
sinar rembulan. Aku ingin berkegiatan langsung di bawah langit
seperti dulu. Namun kini langit hanyalah kotak kecil dalam
bingkai jendela, yang selalu membuatku takut karena aku merasa
ada suara- suara lembut semayup yang memanggili namaku dari
sana.
Sungguh aku bukanlah anak lembek yang tak bisa apa-apa
seperti ini. Dulu aku lincah ceria, aku senang bergerak dan berkeri-
ngat. Diam adalah kesia-siaan bagiku. Aku sangat menikmati
124 Burung-Burung Kertas
men- jadi bagian dalam tim basket sekolah. Bersama timku aku
pernah

Burung-Burung Kertas 125


mempersembahkan piala kejuaraan nasional untuk sekolah. Aku
bangga dengan prestasiku. Mungkin kebanggaan itu akan terus
kumiliki andai dokter tak mendiagnosa leukimia dan memvonis
usiaku tak kan lama lagi.
Ada sesal yang mengganjal hari itu, saat aku mendengar
vonis dokter. Sebenarnya aku sudah sering merasa pusing, lemas
saat berlari. Tapi aku diam saja. Tak memberi tahu siapa pun.
Sebab aku menyukai basket lebih dari apa saja, dan tak mau
berhenti hanya karena kepalaku tak mau bekerja sama. Aku ingin
memper- sembahkan lebih banyak lagi prestasi untuk ayah, ibu,
dan seko- lahku.
Aku sedang begitu semangat mendribel bola dan bersiap me-
lompat untuk melakukan slam dunk ketika pusing itu datang
tiba- tiba. Bagai gunting tajam tak terlihat memotong benang
rapuh di kepala. Bola terhenti diujung jari. Lalu rontok jatuh
bersama tubuh- ku. Aku pingsan diantara sorak sorai teman-
teman dan para guru yang menunggu sebuah angka dari bola
yang akan kumasukkan. Pertandingan terhenti di tengah jalan.
Lenyap sudah angka keme- nangan. Tak ada lagi piala kejuaraan.
Aku bahkan tak mampu menyelesaikan pertandingan terakhirku.
Andai aku mampu berta- han sedetik lagi, sudah pasti
kemenangan di pihak kami.
Ketika sadar, aku merasa tubuhku begitu lemas. Tapi aku
menggeleng ketika dokter bertanya, masih pusing? Aku berusaha
bangun, tapi tak bisa, rasanya seperti ada setumpuk batu menindih
seluruh tubuhku. Kemarin kaki ini kuat berlari keliling lapangan
kini bahkan tak bisa menyingkirkan selembar selimut dari tubuhku.
Hanya mampu bergerak lemah dan menyingkap sedikit ujung
seli- mut di bawah lutut. Saat itulah dokter melihat bercak lebam
kebiru- biruan di betisku. Aku mengaku karena jatuh saat
berlatih. Karena ingin cepat pulang, aku berbohong. Sebab aku
tak mau sakit. Aku mau bertanding basket lagi.
Tapi dokter itu orang pintar, tak mudah dibodohi. Ia
meminta izin pada ayah ibu untuk memeriksa darahku. Lalu
jadilah aku seperti ini. Teronggok lemas bagai seikat sayuran
layu. Aku putus asa.
***
126 Burung-Burung Kertas
Di luar jendela, ada bayang kecil yang memandang dengan
sepasang mata hitam. Kukira itu adalah sepasang mata kematian.
Tapi di bawah hitamnya mata itu ada sesuatu sebentuk bulan sabit
yang bersinar lembut. Aku menyebutnya senyum rembulan.
Ingin kusambut senyum itu dengan senyum juga, tapi aku sudah
lupa bagaimana cara tersenyum. Aku tak sanggup tersenyum
dalam himpitan kematian. Aku bahkan telah lama lupa warna
bulan.
“Semangat pagi, Ivan!” sapa gadis dengan sepasang mata hi-
tam dan senyum rembulan. Jelas bukan malaikat maut yang
datang tapi seorang bidadari yang selalu ingin menghiburku.
Tapi tak pernah berhasil karena aku selalu dipenuhi ketegangan
dan keta- kutan pada kematian. Seperti biasa aku hanya diam.
“Turunlah dari tempat tidur, ayo kita jalan-jalan,” ia menyo-
rongkan kursi roda ke samping tempat tidur.
“Nggak mau, aku bosan dengan taman rumah sakit,” tapi ia
memaksaku. Menegakkan tubuhku dan menurunkan kedua
kakiku. “Siapa bilang ke taman, ayo kita cari suasana baru,”
ujarnya dengan wajah bersemangat. Tangannya kuat menyokong
tubuhku. Ia telah tumbuh besar kini. Bukan gadis kecil yang
lemah lagi.
Sekarang ia lebih kuat dariku berkali lipat.
Wajah kecilnya menyeruak dalam ingatan yang terpotong-
potong. Dahulu ia gadis kecil yang selalu menangis ketika
bermain denganku. Ia yang selalu berjingkat berburu cahaya pagi
di bawah pohon-pohon yang jatuhkan buahnya, memunguti
pecahan sawo yang disisakan kelelawar. “Menjijikkan!” kataku
waktu itu. Tapi ia meyakinkanku bahwa buah yang termanis
adalah yang dipilih- kan kelelawar. Lalu aku akan
mentertawakannya hingga ia me- nangis.
“Mau kamu bawa ke mana aku?” tanyaku kebingungan saat
melintasi lorong-lorong rumah sakit yang asing. Aku tak pernah
sampai ke bagian ini. Jalan-jalan hanya seputar area bangsal
pera- watanku saja, paling jauh di taman depan bangsal.
“Berkunjung pada seseorang!” Ia membelokkan kursi roda
ke bangsal anak-anak. Di depan sebuah kamar kami berhenti. Ia
mengetuk pintu sebelum membukanya. Aku mengintip dari celah
Burung-Burung Kertas 127
pintu yang belum terbuka benar. Ada seorang anak lelaki. Dalam

128 Burung-Burung Kertas


selimut ia meringkuk, persis sepertiku. Apakah ia juga ingin
abadi dalam sekarat yang sama, atau hanya ingin bergantung
semam- punya sebelum ranting kehidupan yang terus merapuh
ini patah? “Haloo... Kak Nadia datang, bangun dong, lihat Kakak
bawa teman,” lagi-lagi ia dengan senyum rembulan dan sepasang
mata hitamnya menebar semangat. Anak lelaki itu seperti
tersengat. Ia membuang selimutnya dan tertawa. Aneh! Sudut
bibirku seperti ditarik oleh kekuatan ajaib. Aku pun ikut
tertawa. Kegembiraan anak lelaki itu seperti virus yang menular
seketika. Aku tertawa! Di saat aku tak punya rasa percaya diri,
bahkan untuk bisa terse-
nyum kecil saja.
“Kenalin, ini Kak Ivan, sahabat Kak Nadia sejak kecil. Waktu
seumur kamu keluarga Kakak pindah ke depan rumahnya, jadi
deh kami bertetangga. Main bareng, sekolah bareng, ngapain aja
bareng.”
Anak lelaki kecil itu menyalamiku sambil menyebut
namanya keras-keras, “Aku Hanan, umur lima tahun. Sakit
thalasemia, Kak Ivan sakit apa?”
Ah! Ia anak yang berani. Tak takut menyebut nama penyakit-
nya, seakan penyakit itu sudah menjadi bagian dari identitasnya.
Terbata aku menjawabnya, “Leukimia.”
Aku tak pernah menyebutkannya. Bagiku, nama penyakitku
adalah nama iblis yang menyeramkan. Ia mengintai dari suatu
tempat yang tak diketahui untuk tiba-tiba datang dan mengambil
nyawaku. Kata orang menyebut nama setan itu sama saja dengan
memanggilnya. Tentu saja aku tak mau didatangi mahluk yang
paling menakutkan itu. Aku tak mau cepat mati. Tidak seperti
vonis dokter!
“Oh masih saudaraan tuh. Mia-mia juga kan?” Hanan terkekeh.
Begitu juga Nadia.
“Eh tahu nggak, Kak Ivan ini juara basket lho!” Nadia menje-
laskan pada Hanan.
“Wah keren dong, aku belum pernah main basket, nggak boleh
capek-capek sama ibu, tapi aku sering nonton di tivi. Kalau sudah
besar, aku mau jadi juara basket juga,” Hanan menatapku kagum.

Burung-Burung Kertas 129


Aku merasa malu, kami sedang berada di gerbong yang
sama. Kereta kematian yang sama. Tapi ia tak sedikit pun terlihat
takut. “Kamu kok santai saja sih, Dek? Kamu nggak takut
sama...eh
penyakitmu?” tanyaku hati-hati.
“Kok nanya begitu sih, Kak? Kakak takut mati ya? Emang
mati itu kayak apa? Kata ibu, semua juga akan mati kok. Kalau
aku mati duluan, aku nunggu ibu di surga. Kalau ibu dulu, berarti
ibu yang nunggu aku di sana. Nanti kita akan berkumpul lagi di
tempat yang abadi. Yang nggak ada sakit, apalagi mati.”
Aku terkesiap mendengarnya. Ah, ia memang pemberani.
“Lalu apa yang kamu lakukan sambil menunggu waktu itu
datang?” aku bertanya lagi.
“Ya macam-macam, menggambar, mewarnai, mendengarkan
dongeng Kak Nadia. Suka-suka aja lah. Emangnya mau ngapain
lagi, yang penting berdoa saja.”
Hanan benar, apalagi yang bisa dilakukan manusia bila tahu
waktunya di dunia akan segera berakhir? Tak ada selain mende-
katkan diri pada Yang Kuasa.
“Eh Kak Ivan mau ikutan dengar dongeng Kak Nadia nggak?
Tentang kisah bangau emas.”
Aku mengangguk, menyanggupi ajakan Hanan walau aku
telah mengetahui dongeng dari Jepang itu. Di negeri matahari
terbit itu bangau emas adalah makhluk mistis yang dipercaya
ber- umur panjang. Jika kita mempersembahkan senbazuru,
untaian seribu origami burung kertas padanya, sang bangau
emas akan menganugerahi umur panjang. Nadia membawakan
dongeng itu dengan indah sehingga Hanan terbuai, begitu juga
aku.
“Aku ingin buat seribu burung kertas. Ajarin bikinnya dong,
Kak, “ pinta Hanan pada Nadia. Aku terharu mendengarnya. Anak
itu menghadapi kematian yang sama sepertiku, tapi ia tak putus
harapan. Serius mengikuti petunjuk Nadia membuat origami
dengan kertas lipat warna-warni. Ia terus berusaha.
Saat malam yang lelap, seorang ibu akan terbangun jika
men- dengar anaknya menangis, dan seorang ibu akan lebih
menangis jika mengetahui anaknya tak bangun lagi. Hanan
130 Burung-Burung Kertas
meninggal dunia karena terinfeksi virus hepatitis yang menular
dari tranfusi darah

Burung-Burung Kertas 131


orang yang tak dikenal. Ia baru menyelesaikan duaratus burung-
burung kertas. Ibu Hanan menyerahkan keduaratus origami itu
pada Nadia sebab begitulah pesan Hanan sebelum meninggal.
Na- dia memberikannya padaku. Aku pun menerimanya sebagai
wa- risan semangat. Kugantung untaian burung-burung kertas
itu di jendela. Agar ia bisa melihatnya dari langit sana.
Keduaratus bu- rung-burung yang telah mengantarkannya ke
surga.
“Sebenarnya, aku ingin menceritakan sebuah kisah lagi pada
Hanan,” Nadia berucap sendu.
“Ceritakan padaku, akan kusampaikan padanya kelak di
alam sana,” Nadia memandangku haru. Matanya berkilatan
embun, yang tak lama kemudian menetes menjadi airmata.
“Kisah Sadako dan seribu burung-burung kertas,” lagi-lagi
sebuah kisah dari negeri amaterasu. Sebuah kisah nyata yang terjadi
setelah pemboman di Hiroshima. Kisah seorang gadis kecil
berna- ma Sadako Sasaki yang terpapar radiasi bom atom. Ia
menderita leukima. Sadako membuat origami seribu burung-
burung kertas namun keburu meninggal sebelum sempat
menyelesaikannya. Lalu sahabatnya menyelesaikan hingga seribu
buah. Kemudian keseribu origami burung bangau itu ikut
dimakamkan bersamanya. Kini patung Sadako menjadi simbol
perdamaian di Jepang.
“Dia pun tak putus asa ya, berusaha terus sampai akhir
hayat- nya,” aku termenung sesaat, berpikir mencari hikmah di
balik kisah itu.
“Bawakan aku kertas lipat. Akan kulanjutkan burung-burung
lipat Hanan hingga seribu buah,” pintaku pada Nadia yang segera
disanggupinya.
Hari-hariku tak membosankan lagi. Kemotherapy,
pengobatan kanker yang menyakitkan menjadi teringankan.
Rambutku yang rontok, kulitku yang menghitam tak
kupedulikan. Pikiranku terus pada burung-burung itu. Bila
kehabisan kertas lipat, aku akan me- makai kertas seadanya yang
bisa kudapat di rumah sakit. Kadang dengan kertas koran atau
bungkus obat yang kuminta dari suster.

132 Burung-Burung Kertas


Untaian burung-burung kertas memenuhi kamarku. Jumlah-
nya hampir seribu. Tak terasa waktu tiga bulan terlalui. Usiaku
melebihi vonis dokter. Dan aku menyadari sesuatu, bahwa untuk
melakukan hal-hal baik tak perlu khawatir akan batas usia. Yang
diperlukan hanya kemauan saja. Lakukan segera tanpa ditunda-
tunda. Dan biarkan Tuhan menentukan akhir dari segala.
Pada lipatan burung keseribu, samar kudengar kepak sayap
yang makin mendekat. Mungkin itu kepak sayap burung bangau
emas yang membawa buntalan nyawa baru. Atau kepak sepasang
sayap malaikat yang akan menjemputku.

Biodata Penulis
Beladiena Herdiani tinggal di Pogung Dalangan Sia XVI/VII No. 178. Saat ini
Bela bersekolah di MAN Maguwoharjo. Hobinya adalah memasak, menulis,
mendengarkan musik, memancing, dan membaca. Jika ingin
berkorespondensi dengan Beladiena Herdiani dapat menghubungi: HP
083867631160, twitter: @Beladieena dee, FB: Beladiena Herdiani.

Burung-Burung Kertas 133


CERITA DI RADIO
Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati

Aku melemparkan tas dan jaketku ke kasur. 14 jam di luar


rumah melakukan banyak hal tanpa berhenti berhasil membuatku
gila. Kini saatnya istirahat dan demi apapun juga aku tak mau
melakukan hal lain, selain tidur sambil mendengarkan radio.
Bantal dan radio sudah siap.
“Ternyata kita sudah punya penelepon ketiga, nih.” kata si
penyiar perempuan. Ternyata aku sudah ketinggalan. Penelepon
ketiga biasanya menjadi penelepon terakhir. Acara ini adalah acara
favoritku sejak aku SMP. Di acara ini, orang bebas bercerita tentang
apa saja. Sebagian penelepon adalah perempuan dan sebagian besar
yang mereka ceritakan adalah cerita yang menyedihkan.
Mungkin karena masalah mereka terlalu berat, jadi satu-satunya
jalan adalah bercerita.
“Langsung saja kita sapa penelepon ketiga. Halo? Halo?”
“Halo...” jawab si penelepon. Betul dugaanku. Dari suaranya
sudah terdengar jelas kalau penelepon ketiga ini adalah perem-
puan.
“Halo, mau cerita apa hari ini?”
“Besok sore itu aku menikah, Mbak.”
“Wow, senang donk? Terus apa ada masalah?”
“Sebenarnya aku masih ada yang kurang, Mbak. Aku dulu
pernah suka sama teman SD. Tapi, sampai sekarang aku belum
sempat bilang.”
“Nah, memang sampai sekarang masih ingin bilang ke teman
SD-mu itu?”

134 Burung-Burung Kertas


Aku membesarkan volume radioku. Aku juga teringat
dengan masa-masa ketika aku masih di Sekolah Dasar.
“Iya, Mbak. Itu keinginanku dari dulu. Aku ingin dia tahu
kalau aku dulu pernah suka sama dia. Cuma itu, selanjutnya ter-
serah.”
“Kenapa kamu sampai punya keinginan sekuat itu?”
“Ya karena dulu aku malu-malu. Aku baru sadar setelah SMP
kalau aku benar-benar sayang sama dia. Karena sampai saat itu,
aku masih sering kangen.”
“Oh begitu. Omong-omong, apa kalian satu kelas?”
“Kami beda kelas, tapi kelas kami berseberangan. Kami
sering duduk di dekat jendela. Jadi, kami masih bisa saling lihat
dari kelas kami masing-masing, Mbak.”
“Wah, masih SD sudah romantis ya?” si penyiar dan si
penele- pon tertawa.
“Kira-kira, menurut kamu, apa dia juga sayang sama kamu?”
“Aku rasa iya, Mbak. Waktu itu, awal kelas 6, teman sekelas-
nya bilang sama aku kalau si dia suka aku. Mulai dari itu, aku jadi
sering lihat dia dan akhirnya aku malah suka dia.”
“Awalnya malah dari dia rupanya. Terus, apa sih yang
berkesan dari dia?”
“Dia itu bandel, Mbak. Sebelum kelas 6, aku belum begitu
memperhatikan dia karena dia masuk di daftar anak-anak nakal.
Tapi, setelah aku punya sedikit rasa sayang ke dia, aku tahu
kalau dia sebenarnya anak yang baik.”
“Baik? Baik dalam hal apa?”
“Aku jadi melihat sisi lain dari dia. Kalau berangkat sekolah,
biasanya diantar ibu atau bapaknya. Dia nggak pernah lupa cium
tangan. Dia juga punya banyak teman. Sampai sekarang, aku
masih sering lihat dia, Mbak. Banyak orang mencarinya karena
dia adalah pemain biola yang tidak main-main. Aku yakin dia
sudah menjadi laki-laki hebat.”
“Kamu pasti bangga, ya. Oya, pacar kamu tahu tentang ini?”
“Tahu. Tapi untungnya pacarku juga baik sama aku. Aku cerita
semuanya ke pacarku. Tapi, kalau yang detail banget, aku nggak
cerita.”

Burung-Burung Kertas 135


“Memang detail yang mana?”
“Aku sering curi-curi pandang kalau kebetulan lihat dia di
suatu tempat. Aku pernah titip salam buat dia lewat temannya,
tapi aku nggak tahu apa salam itu sampai ke dia. Aku sering tanya
ke teman- temannya tentang dia. Aku tahu semua tentang dia,
Mbak, tapi karena teman-temannya, bukan karena dia sendiri
yang cerita.”
“Separah itukah? Kamu sampai cari-cari informasi tentang
dia? Sebenarnya kenapa kamu sampai seperti itu? Apa kamu
masih kangen? Sekarang ini, perasaanmu ke dia itu seperti apa?”
Si penelepon itu terdiam beberapa saat. Aku merasa harus
mengetahui kelanjutan ceritanya. Aku tidak mengantuk lagi
kare- na aku berusaha terus terjaga supaya aku bisa mendengarkan
ceri- tanya sampai selesai.
“Halo? Halo? Masih di sanakah?”
“Halo, Mbak. Maaf, tadi ada masalah sedikit.”
“Tidak apa-apa. Balik ke pertanyaan tadi. Sekarang ini, pera-
saanmu ke dia itu seperti apa?”
“Aku merasa kecewa, Mbak.”
“Kenapa bisa kecewa?”
“Dulu kelas kami pernah dijadikan satu karena kalau nggak
salah ingat, ada sosialisai dari salah satu SMP. Dia kebetulan
duduk di belakangku persis. Kami sempat cerita-cerita bareng
teman yang lain. Dia tanya, ‘Mau lanjut ke SMP mana?’ Langsung
aku jawab. Terus aku tanya ke dia juga. Ternyata, SMP impian
kami beda, Mbak. Tiba-tiba, dia tanya lagi apa aku udah punya
pacar.”
“Dan? Kamu jawab apa?”
“Aku bilang aku sudah punya pacar. Aku kecewa banget, ba-
nget, banget. Duduk di dekat dia memang buat aku gemetaran,
tapi jawabanku itu benar-benar membuatku kecewa sampai
seka- rang. Dia langsung diam, Mbak. Mungkin dia merasa sedih
dan kecewa, tapi aku lebih kecewa lagi.”
“Kalau boleh menyimpulkan, jadi kekecewaanmu itu bisa
diobati setelah kamu ketemu dan bilang ke dia kalau kamu
pernah suka sama dia. Begitu?”

136 Burung-Burung Kertas


“Iya, Mbak.”
“Kamu tadi bilang kalau besok sore kamu mau menikah?”
“Iya, Mbak. Besok aku menikah, tapi aku masih punya
sesuatu
yang belum sempat aku lakukan.”
“Ya semoga ada keajaiban. Barangkali si dia lagi mendengar-
kan acara ini juga. Ada yang ingin disampaikan atau ditanyakan
kepada pendengar?”
“Ada. Boleh aku sebut nama?”
“Mmm... Boleh, tapi nama panggilan, ya.”
“...Krisna, semoga kamu mendengarkan acara ini. Masih ingat
aku? Aku Puspa. Kalau memang ada keajaiban, semoga kita
masih bisa bertemu.”
“Sudah?”
“Sudah, Mbak. Terimakasih.”
***
Aku tak lagi menghiraukan celoteh si penyiar setelah si
pene- lepon itu, maksudku Puspa, menutup teleponnya. Aku
langsung beranjak berdiri dan mengambil kunci motor.
“Krisna, mau ke mana
lagi?” “Mau ke rumah
Puspa, bu.”

Biodata Penulis
Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati tinggal di Minggiran MJ II/IIIb,
Yogyakarta. Saat ini Ajeng kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Hobinya adalah menulis, membaca, travelling, bersepeda. Jika ingin
berkorespondensi dengan Ajeng dapat menghubungi: HP 085643524774,
email: gabrielle_benice@yahoo.com, FB: Gabriela Ajeng.

Burung-Burung Kertas 137


HIKAYAT BATU-BATU
Nur Cholifah

Tahukah kau kawanku, batu-batu itu tak pernah berharap


menjadi gugusan bintang yang kerlipnya tiba di matamu setelah
melewati ratusan ribu tahun cahaya. Ia mungkin pernah
bergolak di dasar gunung, juga beku di bibir kawah. Ia juga
pernah jatuh dan terbelah. Namun apapun yang terjadi batu
tetaplah batu.
Batu itu kawanku, tetap berdiam di dasar arus, di antara peng-
huni sungai yang tak pernah diam. Tegak di lautan yang tak
pernah tidur. Tegar terpanggang panas kering di padang pasir
yang tak kenal hujan.
Ia diam, sabar ,dan pasrah. Selalu tenang dimana pun berada.
Tak pernah mengeluh pada segala kejadian dan tetap menerima
takdirnya sebagai batu-batu. Tak marah meski orang-orang mena-
makannya benda mati. Tak apa dipandang sebelah mata, atau
pun disebut tak berguna. Karena banyaknya, mudah ditemukan
di ma- na-mana, ia tak istimewa, keberadaan batu-batu di segala
tempat terlalu dianggap biasa. Tak luar biasa menemukannya di
puncak gunung. Tak aneh menggeletak di pantai. Namun adakah
yang berpikir bagaimana batu-batu mencapai tempatnya?
Kau boleh menyebutnya keras, tapi bukan berarti ia tak bisa
dibentuk. Lihatlah susunan batu abadi yang kau sebut sebagai
candi. Tangan-tangan indah membentuknya dengan setia.
Cobalah kau gali dasar rumahmu, maka akan kau temukan
setumpuk batu yang menjadi pondasi kehidupanmu. Batu-batu
itu kawanku, tak pernah menunjukkan dirinya. Tanpa kau minta
ia akan selalu ada. Disetiap jalanmu, di balik aspal, di kaki
jembatan. Di mana saja kau butuh penopang.
138 Burung-Burung Kertas
Batu-batu itu tak pernah berontak, walau kau menggunakan-
nya sebagai alas penajam besi. Tak mengaduh walau pisaumu
me- lukai. Ia terus mendukungmu dengan kekuatan batu-batu.
Tak lekang oleh angin dan cuaca. Kalau pun air bisa melubangi
itu butuh waktu berabad-abad. Batu-batu itu kawanku, teguh
dalam pilihannya walau ribuan arus terus menggerus.
***
Aku ingin jadi batu-batu. Namun kekerasan hatiku dianggap
kenakalan. Orang-orang menyebut kepalaku sekeras batu. Tak
mau menerima saran siapa pun meski itu orangtuaku. Ibuku
marah- marah tak setuju. Sedang ayah selalu menganggapku
salah. Tapi aku tak mau kalah. Aku bertahan seperti batu-batu!
“Mama maunya kamu masuk fakultas kedokteran, jadi
dokter itu hebat,” lagi-lagi mama berkata begitu. Lalu
mencontohkan kakak mama yang jadi dokter, kaya raya dan
dihormati di mana- mana.
“Atau fakultas ekonomi, nanti jadi dosen seperti papa. Kamu
kan anak papa, seharusnya jadi penerus papa,” buah jatuh tak
kan jauh dari pohonnya, begitu prinsip papa. Di mana-mana yang
nama- nya burung pasti beranak burung, ikan beranak ikan. Tak
mungkin kan buaya beranak cicak? Papa panjang lebar dengan
analoginya. “Tapi aku kan manusia Pa, bukan binatang. Kalau
aku tak
jadi dosen seperti papa, aku kan juga tetap manusia. Apa aku jadi
anak monyet kalau aku tak jadi dosen? Kalau aku monyet, papa
juga monyet dong,” tentangku pada papa.
“Kok malah bilang papamu monyet sih!” suara mama
mening- gi. Mamaku orang yang sangat keras. Apa saja
perintahnya harus dilaksanakan. Tak ada seorang pun di rumah
ini berani menen- tangnya.
“Habis papa juga bilang aku cicak!” kemarahan mama seperti
membentur batu, aku mebalasnya lebih keras. Buah jatuh tak
jauh dari pohonnya kali ini terbukti. Aku sekeras mama.
“Kapan papa bilang begitu?” papa membela diri. “Mana
mung- kin menjelekkan anak sendiri. Kamu ini tak paham
nasihat papa!” lama-lama semakin ruwet, tak jelas ujung pangkal.
Kutinggalkan papa-mama begitu saja dengan tak sopan. Sungguh
Burung-Burung Kertas 139
bukan maksud-

140 Burung-Burung Kertas


ku untuk kurang ajar. Tapi aku tak tahan, mama papa tak mau
mengerti aku.
Aku kelas tiga kini, sebentar lagi kelulusan. Mama ingin aku
masuk fakultas kedokteran, papa ingin aku masuk fakultas eko-
nomi, tapi aku punya pilihan sendiri. Aku ingin jadi seniman. Ku-
rencanakan untuk melanjutkan ke institut seni.
“Dasar kepala batu!” kudengar mama masih melanjutkan
omelan. Aku tak tahan! Diam-diam di tengah malam rumah ku-
tinggalkan. Mencari ketenangan.
***
Tahukah kau kawanku, kisah ikan, kera, dan pohon pisang?
Sebuah kisah sejuk yang menenangkan jiwa. Membuatmu jadi bijak-
sana. Bila kau resapi dengan saksama kau akan tahu bahwa
dunia tak hanya terdiri dari batu-batu.
Pernah ada sebuah kolam yang sejuk bening airnya, begitu
hening tanpa riak dan gejolak, sangat jernih hingga bisa kau lihat
batu-batu diam dan ikan-ikan berenang tenang. Sebatang pohon
pisang menaungi kolam dengan bentangan daun-daunnya. Mem-
berikan keteduhan pada air, ikan juga batu.
Namun suatu hari ketenangan itu tergangu oleh kehadiran
seekor kera yang segera memanjat pohon pisang dengan kasarnya.
Membuat batang pohon pisang terguncang keras. Dahan patah-
patah dan daunnya compang-camping. Penghuni kolam yang lain
tak tega melihat pohon pisang dikoyak seperti itu. Buahnya yang
kuning ranum dicabik-cabik sedemikian rupa hingga tinggal kulit
saja.
Seekor ikan emas mengeluarkan mulutnya di permukaan air,
berteriak sekencang mungkin, “Hentikan, hentikan!”
Kera mendengar teriakan itu. Ia berhenti mengoyak pohon
pisang. Memandang ke kolam, lalu menjerit panik, “Akan kusela-
matkan kau!”
Ikan emas tak mengerti bahasa kera, kera pun tak paham mak-
sud ikan. Mereka saling berteriak, sedang batu-batu di dasar kolam
tetap diam.

Burung-Burung Kertas 141


“Apa yang kau lakukan?” pohon pisang bertanya pada kera
yang mengangkat ikan dari air dan meletakkannya di atas dahan
pohon pisang.
“Kuselamatkan ia agar tak mati tenggelam,” jawab kera.
“Dan kau ikan kecil, apa yang ingin kau hentikan?” pohon
pisang bertanya pada ikan kecil yang mulai megap-megap.
“Aku ingin kera berhenti menyakitimu,” jawab ikan.
Pohon pisang menurunkan dua makhluk itu, kera ke tanah,
ikan ke air. “Tahukah kalian apa yang bagi seseorang merupakan
makanan, bagi yang lain menjadi racun? Udara adalah neraka
bagi ikan. Air adalah celaka bagi kera.”
Begitulah kawanku, apa yang menjadi napas tiap orang
berbe- da. Bahkan, matahari yang membuat elang perkasa
melihat jelas, membutakan mata seekor burung hantu.
Sementara kegelapan yang membuat dunia lelap adalah terang
untuk kelelawar. Belajar- lah dari pohon pisang yang tak merasa
terkoyak oleh cabikan kera. Sebab, ia tahu harus ada yang
memakan buahnya supaya bisa ber- guna. Pohon pisang yang
bijaksana, tak kan mati sebelum menum- buhkan tunasnya.
Sementara batu-batu, ia begitu diam di dasar kolam.
***
“Mama, papa, maafkan aku,” kucium punggung lengan mama,
papa menepuk bahuku. Kami saling memafkan kini. Telah
terjalin pengertian yang amat dalam di antara kami. Tak lagi
saling ber- keras dengan pendapat masing-masing.
“Papa tak setuju dengan cita-citamu jadi seniman sebab papa
tak suka melihat tampang seniman, gondrong, kumal, bau, mirip
orang gila. Papa ingin kamu bersih, rapi, berdasi, seperti papa
sehari-hari. Papa hanya tak mau melihat anak papa yang ganteng
menjadi jelek,” aku mengerti kemarahan papa adalah
perwujudan kasih sayang padaku.
“Sekarang zaman sudah berbeda, seniman tak lagi seperti
itu. Mereka bisa bergaya juga. Memakai jas, berdasi dengan
paduan celana jeans dan sepatu ket. Memang tak senecis papa.
Tapi begi- tulah gaya seniman yang selalu ingin tampil beda,”
papa meng- angguk. Ia menganggapnya sebagai sebuah
kompromi.
142 Burung-Burung Kertas
“Mama ingin kamu jadi dokter karena mama ingin kamu
bahagia hidup sejahtera, punya nama supaya mama yakin kehi-
dupanmu kelak terjamin. Jadi mama tenang meninggalkanmu di
dunia kelak. Jangan jadi seniman, nanti tak bisa kaya,” Mama
tersedu. Jarang kudengar suara mama selembut ini. Biasanya hanya
marah dan teriak-teriak. Sungguh aku tersentuh.
“Jadi dokter zaman sekarang sama saja Ma, dokter bukan
lagi priyayi. Seniman akan punya nama jika ia terus berkarya.
Tak beda dengan dokter yang rajin bekerja. Soal miskin-kaya, itu
tinggal bagaimana kita berusaha.” Kurasakan kesejukan ayunan
lembut daun-daun pohon pisang di tepi kolam merasuki jiwaku.
Aku sejernih permukaan kolam. Mampu melihat ikan dan batu-
batu.
“Baiklah, papa setuju, kau boleh jadi seniman. Silakan masuk
institut seni, tapi kau harus jadi seniman sungguh-sungguh.
Jangan cuma gaya atau tampang seniman, tapi karya tak ada.”
Aku merasa lega. Hilang sudah batu-batu yang menghimpit
punggungku. Sekarang langkah terasa ringan. Setelah kelulusan
aku tak ragu untuk mendaftar ke institut seni.
“Terimakasih, Mama, Papa,” aku bersimpuh, mengucap
syukur luar biasa. Mama-papa menerima pilihanku untuk tak
menjadi pi- lihan mereka. Aku bisa jadi diri sendiri, bebas dari
bayang-bayang orangtua.
Tahukah kau kawanku? Aku adalah aku, bukan batu-batu.

Biodata Penulis
Nur Cholifah tinggal di Jalan Kemuning No. 140 B, Sanggrahan, Condong-
catur, Depok, Sleman. Saat ini Olif bersekolah di MAN Maguwoharjo,
Sleman. Hobinya adalah membuat kolase, membaca, menulis,
travelling , mendengarkan musik, fashion photography, menyanyi, dan
bermain basket. Jika ingin berkorespondensi dengan Olif dapat
menghubungi: HP 089647950078, twitter: @olivianast. FB: oliv on oiiv II.

Burung-Burung Kertas 143


KEGELAPAN YANG MENGINTAI
Ratu Pandan Wangi

Kalau seorang malaikat jatuh dari langit, tentu dia berwujud


lelaki baik hati, berpenampilan rapi, berambut hitam halus dan
berusia dua puluh tahun. Lebih spesifik lagi, tentu namanya
Pandu. Teman dekatku itu memang perangainya pantas
disandingkan dengan malaikat. Namun hari ini tak ada
kedamaian pada dirinya. Sudah setengah jam dia mengaduk-
aduk teh dengan gelisah dan bungkam seribu bahasa. Ketika
akhirnya dia membuka mulut, ter- ucaplah sesuatu yang absurd,
“Ajari aku jadi orang jahat seper- timu.”
Aku terperangah. Pandu dan kejahatan sama sekali tak bisa
dihubungkan. Selama sepuluh tahun berteman dengannya, aku
mengenal dia sebagai orang baik-baik. Keluarganya tak kaya. Na-
mun dia dirawat dan dididik dengan telaten oleh orang tuanya.
Tak heran Pandu menjadi anak yang sopan. Dia juga kerap
meraih juara kelas. Namun anak itu tak lantas menjadi sombong.
Dia mau mengajari anak-anak lain yang tak sepandai dirinya.
Katanya, ilmu tak berguna apabila tak dibagi dengan orang lain.
Sekarang Pandu kuliah di jurusan bisnis. Kemampuannya
da- lam bidang itu memang menonjol. Dia juga aktif dalam
organisasi dan sering dipercaya sebagai pemimpin. Dengan
segala kelebihan itu, tak heran Pandu disukai para gadis
walaupun wajahnya tak terlalu menarik—matanya terlampau
sipit dan dahinya menonjol, sedang alisnya tumbuh jarang-
jarang. Namun keunikan itu justru memesona Linda, gadis yang
dijodohkan dengannya.
Hal yang paling mencolok dari Pandu adalah jiwa sosialnya.
Dia peka pada keadaan sekitar, bahkan cenderung melankolis.
144 Burung-Burung Kertas
Seringkali dia berempati dan menanggung penderitaan yang
bukan miliknya. Dia pun kerap menjadi sukarelawan. Terkadang
aku melihatnya di posko gawat darurat sedang menyalurkan
bantuan, atau di panti werda sedang menyuapi manula. Dia juga
perhatian pada teman, tetangga, bahkan orang-orang yang baru
ditemuinya. Singkatnya Pandu bagaikan malaikat yang menebar
kebaikan di mana-mana.
Lantas mengapa dia minta kuajari jadi orang jahat? Ketika
kulontarkan pertanyaan itu padanya, dia menghela napas berat.
Baru kusadari wajahnya pucat dan matanya memerah karena ku-
rang tidur. Air mukanya pun segelap awan di luar sana.
Tampaknya hujan akan turun, tetapi kami aman di kedai minum
ini.
Pandu berkata lirih, “Noel, maaf karena telah menyebutmu
orang jahat. Tapi aku tak tahu sebutan yang lebih pantas dari itu.
Kau kaget kan kenapa tiba-tiba aku jadi lancang? Sebetulnya dari
dulu aku sudah begini, tapi hanya kusimpan dalam hati. Sekarang
aku berbaik hati membaginya pada orang-orang. Kau yang per-
tama...”
Aku tak keberatan disebutnya orang jahat. Kenyataannya
memang begitu.
“Selama ini bagaimana pendapatmu tentangku, Noel?” tanya-
nya. Aku menjawab bahwa dia orang paling baik yang pernah
kutemui dan bahwa hidupnya sempurna. Namun lelaki itu malah
tertawa. Katanya, “Ya, hidupku memang sempurna... tapi hanya
di permukaan. Aku sudah capek berpura-pura.”
Pandu pun mulai bercerita.
“Kau ingat Linda, bukan?” tanya Pandu. “Dia tetanggaku
sejak dulu. Orang tua kami bersahabat dan menjodohkan kami
saat kecil.”
Aku beberapa kali bertemu dengannya. Linda adalah gadis
mungil berwajah manis. Namun sifatnya agak galak. Dia juga se-
olah tak bisa berhenti bicara. Namun Pandu sangat sabar mengha-
dapinya. Saat kecil, dia mau saja diseret Linda untuk main
masak- masakan. Saat remaja, kelihatannya dia sampai tuli karena
mende- ngarkan gadis itu bergosip tentang segala sesuatu.
Sekarang pun Pandu masih direpotkan oleh Linda. Dia sering
Burung-Burung Kertas 145
mengantar dan

146 Burung-Burung Kertas


menjemputnya ke mana-mana, membantunya mengerjakan
tugas kuliah dan sebagainya. Namun dia melakukannya dengan
senang hati.
Kelihatannya Pandu sangat menyayangi Linda. Aku tak tahu
bagaimana dengan Linda, mungkin dia juga mempunyai
perasaan yang sama. Namun mereka berdua tak pernah
berpacaran. Hanya terus-menerus bersama tanpa ikatan.
Bagaimana jika Linda direbut lelaki lain? Aku pernah menanyakan
itu pada Pandu, tetapi dia hanya tersenyum. Katanya dia tak
khawatir sebab dia percaya pada Linda.
Sekarang Linda kuliah di jurusan kecantikan kulit. Dia
memang menyukai segala sesuatu tentang kecantikan. Gadis itu pun
bercita- cita mempunyai salon sendiri. Pandu setuju, katanya dia
akan mem- bantu pemasaran dan pengelolaan keuangannya.
Mereka akan menjadi sepasang suami istri yang saling
mendukung. Kedengaran- nya sungguh sempurna.
“Hubunganku dengan Linda sama sekali tak sempurna,” kata
Pandu menyela lamunanku. Dia terlihat sedih sekaligus geram.
“Apa yang terjadi?”
Pandu menghela napas panjang. Dia bercerita bahwa sebelum-
nya dia hendak melamar Linda setelah mereka lulus kuliah. Berarti
dua tahun lagi. Pandu pun menyiapkan diri untuk hidup
berkeluar- ga, terutama dalam hal keuangan. Kelak dia harus bisa
menafkahi keluarganya. Maka Pandu mencari peluang-peluang
bisnis. Kebe- tulan teman satu jurusannya, Joni, juga hendak
memulai usaha. Mereka pun bekerja sama menjadi distributor
makanan. Namun hanya makanan-makanan unik seperti keripik
rumput laut, permen pedas dan sebagainya. Mereka membeli
makanan-makanan itu dalam jumlah besar lalu menjualnya di
kampus. Cukup banyak yang tertarik.
“Bisnis kami makin lama makin berkembang,” komentar
Pan- du. “Aku dan Joni bekerja makin keras. Kami pun menjadi
teman dekat.”
Aku pernah bertemu sekali dengan Joni. Dia bertubuh jang-
kung, gerak-geriknya luwes dan seulas senyum selalu
tersungging di wajahnya yang tampan. Katanya dia seorang
pekerja yang efi-
Burung-Burung Kertas 147
sien. Begitu tercetus ide untuk melakukan sesuatu, dia akan lang-
sung melakukannya, dan seringkali tindakannya tepat. Dia tak
suka terlalu banyak berpikir seperti Pandu. Namun perbedaan
itu justru makin mengakrabkan mereka berdua.
Suatu hari Pandu mengenalkan Joni pada Linda. Mereka
lang- sung akrab. Pembawaan Joni yang cerdas bisa mengimbangi
kece- rewetan Linda. Pandu pun senang karena dua orang yang
disa- yanginya ternyata cocok.
“Tapi mereka terlalu cocok,” kata Pandu muram. “Mereka
jadi sering bertemu tanpa aku. Linda pun jarang mengobrol
denganku lagi. Dia bahkan seolah lupa padaku... Begitu juga Joni,
dia berlagak tak tahu bahwa Linda sudah dijodohkan denganku.
Aku berusaha menghalangi-halangi mereka, tapi tak bisa... Dan
akhirnya, yah, kau pasti bisa menebak.”
Aku melihat amarah perlahan-lahan merasuki Pandu. Wajah
dan telinganya merah padam. Urat-urat lehernya menegang. Ke-
dua tangannya terkepal dan gemetaran.
“Pandu,” panggilku pelan, “kau baik-baik saja?”
“Aku tak baik-baik saja!!” teriak Pandu. Beberapa
pengunjung kedai menoleh ke arah kami. Namun Pandu tak
peduli, amarah telah membutakannya. Selama ini dia hampir tak
pernah marah, tetapi begitu terjadi...
BAM! Kepalan tangan Pandu memukul meja kami, membuat
teh tumpah dari cangkir-cangkir. Dengan desisan mengerikan dia
bicara, “Linda mengkhianatiku, Noel. Setelah semua yang kulaku-
kan untuknya! Kata dia, aku membosankan karena tak pernah
menyulut masalah dalam hubungan kami. Dasar gadis aneh! Joni
juga, tega-teganya dia melakukan itu padaku...”
Dari dulu aku memang curiga pada Joni. Tingkah lakunya
terlalu hati-hati dan tertata, seolah penuh kepalsuan. Sedangkan
Linda, sebenarnya aku pun tak suka pada dia. Sebab matanya
seringkali jelalatan kalau melihat lelaki lain. Barangkali diam-
diam dia menjalin hubungan dengan mereka. Namun tentu saja
Pandu tak menyadari kekurangan Linda dan Joni, sebab dia
terlalu me- nyayangi keduanya. Setelah dikhianati seperti itu pun
pasti dia memaafkan mereka.

148 Burung-Burung Kertas


“Jadi apa yang akan kau lakukan?” tanyaku, sekadar memas-
tikan.
“Sebetulnya aku sudah melakukan banyak hal,” kata Pandu.
Tiba-tiba aku melihat emosi yang tak pernah ada di wajahnya:
kelicikan.
“Kau tahu kenapa aku berteman denganmu, Noel, padahal
kita begitu berbeda?” bisik Pandu. “Kau begitu suka berbuat onar
dan berkecimpung di dunia hitam. Tapi aku memercayaimu. En-
tahlah, aku merasa bahwa sebenarnya kau orang baik. Buktinya
kau selalu memberiku nasihat supaya berhenti jadi orang naif.
Aku tak pernah mematuhinya, bukan?”
Kelicikan di wajah Pandu makin lama makin nyata. Dia pun
berbisik makin pelan, “Kau pasti tak percaya, tapi akhirnya aku
mematuhi nasihatmu baru-baru ini.”
Rupanya Pandu melancarkan aksi balas dendam! Rasa benci-
nya pada Linda dan Joni membesar seiring berjalannya waktu.
Begitu dia memutuskan untuk balas dendam, alangkah dahsyat
rasa benci yang membludak dari hatinya.
“Aku mulai dengan Joni,” kata Pandu lirih.
Kebetulan Pandu memiliki teman seorang ahli komputer.
Disu- ruhnya masuk ke sistem komputer kampus secara ilegal.
Lantas mengubah sana-sini dan membuat bukti palsu bahwa Joni
curang dalam ujiannya. Bukti itu demikian meyakinkan hingga
para dosen percaya. Joni pun diberi sanksi keras. Bahkan izinnya
untuk berbis- nis di kampus dicabut.
“Menyenangkan sekali membuat Joni menderita,” kata
Pandu sambil terkekeh. Namun aku melihat tangannya agak
gemetar. Diam-diam mungkin Pandu merasakan sakit yang sama
dengan Joni, setelah melukainya seperti itu.
“Masih ada Linda,” ujarku, “apa yang kau lakukan padanya?”
Sisi gelap Pandu kembali bangkit. Matanya menyorotkan
kebencian yang amat sangat. Dia berkata bahwa Linda menyakiti
hatinya lebih parah daripada Joni. Pandu memang tampaknya
sangat mencintai gadis itu.
Salah satu hal yang disukai Pandu dari Linda adalah kecan-
tikannya. Gadis itu memang gemar berdandan. Dia kerap
merawat
Burung-Burung Kertas 149
wajah, rambut dan tubuhnya dengan berbagai produk
kecantikan. Pandu pun memanfaatkan kebiasaan itu.
Kiriman produk kecantikan untuk Linda diakali. Dengan
bantuan seorang kenalan, Pandu berhasil memperoleh bahan kimia
keras yang wujudnya tak mencolok. Dicurinya paket masker
wajah untuk Linda. Dicampur dengan bahan kimia tadi lalu
dikembali- kan. Linda tak menyadarinya. Dia mengoleskan
bahan kimia itu di wajahnya. Selang beberapa jam, kulitnya
menjadi sangat panas seolah terbakar. Wajahnya pun memerah,
melepuh, bahkan kulit- nya terkelupas sana-sini.
“Dia sekarang tak cantik lagi!” seru Pandu sambil terbahak.
“Kudengar kerusakan wajahnya parah. Bahkan mungkin tak bisa
diperbaiki dengan operasi plastik. Rasakan itu, Linda! Sekarang
tak akan ada lelaki yang mau denganmu!”
Aku tak percaya kalau orang di depanku ini Pandu. Dulu dia
begitu memuja Linda dan memperlakukannya dengan hati-hati.
Dia kerap memuji betapa indahnya rambut gadis itu kalau
digerai, betapa halus dan putih kulitnya. Namun sekarang dia
merusak keindahan Linda dengan tangannya sendiri.
Pandu masih terbahak. Serunya, “Rasakan itu! Salah sendiri
kalian mengkhianatiku, Linda, Joni... Kalian pikir aku tak bisa
marah, tapi ternyata bisa kan...”
Aku hanya mengangguk.
“Noel, aku muak jadi orang baik!” kata Pandu. “Selama ini
aku mengira, kalau aku berbuat baik maka orang-orang akan
begitu juga padaku, tapi...”
“Kau salah besar.”
“Ya!” timpal Pandu geram. “Karena itu ajarilah aku jadi orang
jahat, Noel! Aku ingin membalas dendam lebih banyak lagi pada
Linda dan Joni.”
“Kau serius, Pandu?”
“Tentu saja,” jawabnya. Namun ada keraguan dalam
suaranya. “Dan aku... Aku tak akan memercayai siapapun lagi...”
Pandu terus berbicara, namun kata-katanya makin lirih.
Akhirnya berhenti sama sekali.

150 Burung-Burung Kertas


Temanku itu menunduk. Kedua tangannya menutupi wajah.
Tubuhnya bergoncang-goncang dan isakan keras pun terdengar.
Suaranya seperti rintihan hewan buas yang terluka. Entah rasa
sakit macam apa yang merobek hatinya. Pandu pun menangis,
menangis, dan terus menangis. Mungkin menangis karena di-
khianati. Mungkin menangis karena menyesal. Mungkin
menangis karena... entahlah.
Beberapa lama kemudian Pandu mencari saputangan di saku-
nya. Disekanya air mata dengan saputangan itu. Lalu menoleh
padaku dan berkata, “Maaf, aku permisi sebentar ke kamar
kecil.” Aku pun sendirian. Kuminum tehku yang telah lama
dingin.
Lalu terlihat olehku dompet Pandu di atas meja. Dia mengeluar-
kannya saat mencari saputangan, tetapi lupa menyimpannya lagi.
Aku pun meraihnya. Ada uang beberapa ratus ribu rupiah di
sana. Kuambil semua uang itu, lalu cepat-cepat keluar kedai. Aku
sedang butuh uang.

Biodata Penulis
Ratu Pandan Wangi tinggal di Jalan Lowano, Gang Dahlia UH VI/686 D,
Sorosutan, Yogyakarta. Saat ini Pandan kuliah di Jurusan Sastra Prancis,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca,
melukis, bermain teater, dan bermain musik. Jika ingin berkorespondensi
dengan Pandan dapat menghubungi: HP 085743655818, email:
ratupandanw@gmail.com, FB: Ratu Pandan Wangi, twitter: @pandanw.

Burung-Burung Kertas 151


KISAH PAGI DAN
KAU YANG KUPANGGIL TUAN
Galih Pangestu Jati

Tuan, harapanku telah berpendar. Menyebar bersama helaan


nafas yang penuh dengan cemas dan rindu. Aku tak punya lagi
yang namanya harapan. Bukannya aku tak percaya, ataupun aku
telah putus asa, tapi kenyataan memang demikian. Waktu mela-
rangku untuk menaruh beberapa potong harapan padamu
seperti setiap pagi aku menaruh sepotong panekuk pada
piringmu. Atau menuangkan harapan padamu seperti aku
menuangkan kopi pada cangkirmu.
***
“Tok… Tok… Tok…” Pagi ini embun belum sempat turun.
Udara dingin masih menyelinap pada celah-celah dinding rumah,
lalu dengan halus dan sangat pelan menusuk dengan bengisnya
pada setiap pori tubuhku. Tapi tiga ketukan pintu telah
terdengar. Setan! Aku tak bergegas. Masih bertahan dengan tidur
yang ha- nyalah sebuah kepura-puraan untuk menutupi
kemalasan.
Setelahnya, tidak ada suara. Hanya ada derit pintu pelan dan
langkah yang nyaris tanpa terdengar. Rasa penasaranku menye-
ruak, mengalahkan dingin yang sudah mulai pudar. Aku melang-
kahkan kaki menuruni ranjang menuju ruang makan. Kulihat Ibu
sedang berkasih-kasihan dengan seseorang, bukan Ayah, tapi
kau, Tuan. Matanya penuh dengan binar yang tak pernah
kutemukan ketika berbincang denganku, atau dengan Ayah.
Begitu teduh, tapi nampak liar dan nakal.
“Kamu sudah bangun?” Ucap Ibu dengan segala kegagapan
ketika sudah menyadari aku berdiri di sampingnya. Aku hanya
diam dengan penuh keheranan.
152 Burung-Burung Kertas
Saat itulah aku pertama kali melihatmu, Tuan. Dan terlibat
dalam satu pertemuan dimana kata orang adalah hal yang selalu
dinantikan, yang tanpa dirasa mengandung berbagai harapan,
meski nanti pasti tahu akan berakhir pedih dalam perpisahan. Kau
mengulurkan tangan padaku dengan senyum yang hangat dan
mengembang. Sungguh begitu menawan, Tuan. Menenangkan.
“Siapa namamu, Nak?”
“Rukmini”
Kau tersenyum mendengar namaku, Tuan. Dan aku merasa
kesal. Kau pasti menertawakan namaku yang tidak semodern
Jean, Kate, Montana atau apalah itu. Aku menunduk, tapi kau
malah mengangkat daguku pelan sambil menyunggingkan
senyum itu lagi.
“Kamu tahu, siapa Rukmini?” tanyamu Tuan. Dan aku hanya
bisa menggeleng pelan. Kau berkata Rukmini itu putri Raja
Bisma- ka dari Kerajaan Widarba. Ia adalah penjelmaan dari Dewi
Laksmi, dewi Kemakmuran dan Kekayaan. Dia adalah istri
Kresna, jelmaan dari Dewa Wisnu. Seketika aku merasa bangga
oleh namaku karena ceritamu itu, Tuan. Tapi itu hanya sebuah
dongeng, dipaidho keneng1. Setelahnya kau berusaha
mengakrabkan diri denganku tanpa kutahu apa motifmu di balik
itu. Kau bercerita apa saja tentangmu. Tidak berlebihan, dan
tidak membual. Tidak seperti Ayah yang kerap membanggakan
diri sebagai pemburu dengan menunjukkan berlembar-lembar
foto hasil buruannya yang entah asli, entah di- ambil dari
internet karena aku sendiri tak pernah melihat Ayah pulang
dengan membawa seekor pun hewan yang ada pada foto
yang dipamerkannya.
Tak terasa matahari sudah mulai naik. Hangat kopimu
bahkan telah menguap. Aku menawarkan lagi untukmu satu
cangkir kopi panas baru. Tapi kau kelihatan sudah tiada
berselera lagi untuk mencoba meneguknya. Kau malah mengecup
keningku pelan. Mem- buatku merasa limbung, Tuan. Tapi aku
tidak jatuh. Jatuh hanya akan menumbuhkan keangkuhan pada
benakmu karena merasa berhasil bisa melakukan penaklukan.
Dan aku tak mau itu.

Burung-Burung Kertas 153


1
Bisa disangkal

154 Burung-Burung Kertas


“Aku hanyalah secercah embun, Nak. Datang sesaat sebelum
kerontang menguapkan aku. Kalau aku mampu, aku ingin meng-
hentikan waktu, agar aku bisa lebih lama datang padamu. Tapi
sayang, aku harus segera pergi, sekarang.” Dengan sunggingan
senyum yang masih menempel pada bibirmu, kau berbalik
menuju Ibu, Tuan. Kemudian kau kecup kening Ibuku dengan
khidmat dan pergi menuju pintu.
***
Setelah pagi itu, pagi-pagi seterusnya aku selalu menunggu
Tuan untuk datang bertandang. Setiap pagi sebelum azan subuh
berkumandang--bahkan sebelum Ibu bangun--aku telah berke-
cimpung di dapur membuat beberapa buah panekuk untuk Tuan.
Entah rasanya seperti apa, tapi kau tetap berusaha menikmati dan
melahapnya, Tuan.
“Ketika aku memakan panekukmu, aku seperti merasakan
panekuk dari The Original Pancake House. Apa kau terbang ke sana
dan mencuri beberapa potong panekuk semalam buatku? Atau
lebih parahnya kamu mencuri resep di sana mengendap-endap
seperti plankton yang berusaha mencuri resep di Krusty Krab?”
Pujimu dalam lelucon yang kau keluarkan dari mulutmu yang
tetap mengulum senyum, Tuan.
“Tuan pandai membuatku besar kepala,” jawabku singkat
dengan rasa senang yang begitu merekah. Merasa bangga bisa
menyenangkanmu hanya dengan adonan berisi terigu, susu,
telur, baking powder, vanili, dan gula yang di panggang di atas
wajan ceper lalu disajikan dengan madu.
Lalu setelah menikmati panekuk buatanku, kau harus
memba- yar dengan mendongengkanku sampai waktumu habis,
dan berla- lu. Beberapa dongeng yang belum pernah aku dengar
kau bawakan dengan rangkaian kata dan nada yang tepat,
kadang turun kadang naik, kau begitu mampu membuat emosiku
turun naik mengikuti alur dongenganmu. Dan itu yang selalu aku
rindukan darimu, Tuan. Itu yang membuatku selalu ingin
menahanmu ketika kau harus segera pergi. Tapi kau selalu
menenangkanku dengan janji- janji akan kembali esok nanti.

Burung-Burung Kertas 155


Tapi sering pula kau membuatku kecewa. Tidak semua pagi
kau datang. Beberapa pagi kau mangkir dari janjimu, Tuan. Entah
karena pagi tak mengizinkanmu atau alasan lain yang selalu kau
sembunyikan dan tak mau membaginya padaku.
“Tidak semua yang terjadi bisa dijelaskan dengan kata-kata,
Nak. Nanti dulu, biarkan saja itu menjadi sebuah pertanyaan
hingga waktu bersedia menjelaskannya padamu.” Jelasmu, Tuan.
Ada beberapa pagi yang bukan kau, tapi Ayah yang datang
ke rumah. Ia datang setelah beberapa hari bahkan kadang bebe-
rapa minggu tidak pulang, Tuan. Entah ke mana aku pun tak
tahu. Seperti yang selalu dibanggakannya, katanya Ayah berburu
dan banyak menghabiskan hari-harinya di hutan bersama hewan
dan kawan-kawannya. Ketika pulang, dia hanya tidur seharian.
Tak ada dan tak mau bercengkrama denganku ataupun Ibu,
apalagi mendongeng seperti yang selalu kau lakukan padaku. Dia
begitu dingin. Aku merasakan kesepian. Ibu pun begitu, ada raut
sedih yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata pada raut
mukanya. Aku juga kerap merasa iri ketika melihat teman
sepermainanku bercengkrama dengan Ayahnya masing-masing.
Mereka kerap dijemput di gerbang sekolah dengan raut muka
bahagia. Lalu me- reka akan dibelikan eskrim atau mainan yang
mereka inginkan. Sedangkan aku?
Pernah sekali aku protes pada Ayah kenapa dia lebih suka
tidak berada di rumah dan menghabiskan waktu bersama yang
katanya binatang di hutan daripada dengan anak istrinya sendiri.
Dia malah memasang wajah yang geram dan langsung mendarat-
kan tamparan pada pipiku. Begitu sakit dan perih, Tuan. Mulai
saat itu aku membencinya. Ketika dia pulang aku tak pernah lagi
bicara padanya, Ayah pun juga tak pernah ada niat berbicara
denganku.
***
Lama-lama aku merasa ada rasa yang tak bisa diberi nama.
Bagaimana sesuatu yang secara sadar dirasakan memang ada yang
salah, dinikmati dan begitu menggiurkan, lalu menimbulkan rasa
nyaman. Bodohnya aku masih terlalu polos dan mudah terlarut
di dalamnya. Aku membiarkan sebuah dosa lesap bersama do-

156 Burung-Burung Kertas


ngeng-dongengmu yang selalu aku tunggu dan bersama pagi
yang selalu mampu mengobati rasa sepi. Dan itu tidak hanya
sekali dua kali, tapi berulang kali ketika kau datang ke mari,
Tuan. Pa- dahal seharusnya dari awal aku harus curiga
tentangmu, tentang Ibu dan tentang pagi. Di balik semua itu
tanpa kusadari ada sebuah khianat yang dengan sengaja
diendapkan. Sebetulnya aku tak bo- leh diam, tapi ternyata
dendam lebih keparat. Ia mampu mem- bungkamku dari semua
ini. Tak berlangsung lama, hingga pada suatu pagi ketika hari
masih nampak gelap, semua itu terungkap meski pekat masih
berusaha mengaburkannya.
Pagi itu kau telah datang, Tuan. Kau hendak pergi, seperti
biasa sedang mengecup kening Ibu mesra. Lalu pintu terbuka,
udara dingin seketika masuk menusuk setiap pori dan
menggelitik lubang hidungku. Sesosok bayangan berdiri di
ambang pintu. Dari potongan tubuhnya aku sudah hafal, Ayah.
Lalu dia berjalan meng- hampirimu dan Ibu. Aku masih duduk di
meja makan dengan mulut yang tak sadar telah menganga
menyaksikan gerak-gerik- nya. Ibu tampak terperanjat dan mulai
menampakkan muka yang pucat. Tidak ada suara, sunyi.
“Plakk…!!!”
Terdengar tamparan keras. Aku melihat tamparan keras men-
darat di wajah Ibu. Ia pun tersungkur di lantai.
“Biadab! Aku suruh kau menjaga istri dan anakku, bukan aku
suruh kau untuk menikmatinya!” suara Ayah keras kepadamu,
Tuan. Kalian terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran dua
orang laki-laki dewasa.
“Tolong! Tolong!” teriak Ibu dengan tangis yang menjadi-
jadi. Seketika para tetangga berbondong-bondong datang ke ru-
mah. Mereka berkerumun berusaha melerai pertengkaranmu de-
ngan Ayah, lalu membawa Ayah keluar entah ke mana. Aku
meng- hampirimu dengan segala keberanian yang berusaha aku
kum- pulkan. Kulihat kau telah jatuh tersungkur dengan leleran
darah yang mengalir pada kepala yang telah retak. Matamu telah
tertutup, dan napasmu satu-satu.
“Tuan!!” rintihku pelan.
***
Burung-Burung Kertas 157
Ini pertama kali dan mungkin terakhir kali aku datang ke
rumahmu, Tuan. Di sini aku tidak akan memaksamu memakan
panekuk buatanku, atau menyiksamu untuk terus memutar otak
memberikan dongeng-dongeng baru untukku. Tapi sangat seder-
hana. Aku hanya ingin melihat tubuhmu untuk terakhir kalinya
sebelum tanah menyentuhmu dan kemudian menenggelamkanmu
dengan semena-mena.
Kini kulihat tubuhmu telah kaku dengan kepala yang retak
dan beberapa lebam biru pada wajah, ujung mulut, dan pada
bebe- rapa bagian tubuhmu. Bau anyir darah sudah tak tercium
lagi. Aku ingin mendekat, mengecup tanganmu yang dulu sempat
kuta- ruh beberapa lembar harap, tapi tak bisa. Perempuan dan
beberapa tuyul-tuyul kecil di sekelilingmu yang sedang meraung-
raung itu, mungkin tak akan pernah mengizinkannya.
Aku mulai paham, khianat memang nikmat namun kuyakin,
itu hanya untuk sesaat, bukan? Sekarang, kesepian telah
menunggu- ku lagi sepulang dari sini. Dia akan menungguku
seperti dahulu aku menunggumu datang ketika pagi belum
terang.
“Rukmini!”

Biodata Penulis
Galih Pangestu Jati tinggal di Cenangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Saat
ini Galih kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya
adalah membaca, menulis, dan nonton film. Jika ingin berkorespondensi
dengan Galih dapat menghubungi: HP 081390028378, email:
gpangestujati@gmail.com, twitter:@pangestujati.

158 Burung-Burung Kertas


KUPU-KUPU SEGERA TERBANG
Primadita Herdiani

Apa salahku padamu? Aku lahir dan tumbuh di dunia yang


sama denganmu. Tidak makan kembang atau batu. Bernapas
dengan oksigen sepertimu. Kulitku, rambutku, serupa denganmu.
Aku juga anak Adam dan Hawa, sari pati tanah surga. Lahir dari
buah cinta yang sama. Tak ada beda. Tapi mengapa kau menyi-
kapiku lain, hanya karena aku tak sesempurna dirimu?
Tahukah kau? Bagiku, sempurna adalah kata yang menyakit-
kan, seperti tombak yang menusuk di ulu hati. Selalu menjadi
alasan untuk memandang rendah padaku. Bagaimana bila di
balik, sempurna adalah aku dan cacat adalah kau, akankah kau
tetap memandangku begitu? Dengan wajah sinis, karena mengira
aku tak mampu. Atau dengan tatap kasihan, karena berpikir aku
patut dikasihani. Sesungguhnya, aku pun punya kemampuan
yang sama denganmu, hanya saja kemampuanku masih
terkungkung dalam penjara kata-kata. Yang terus-menerus
kuberjuang untuk menem- busnya.
Kuakui kadang aku frustrasi. Sulit untuk membuat orang me-
ngerti isi hati. Ibu yang melahirkanku pun pernah kubuat mena-
ngis karena marahku yang berlebihan. Aku mengamuk
memecah- kan barang-barang. Tangan ibu sampai berdarah,
terluka oleh pe- cahan kaca. Aku menyesal melihatnya, tapi saat
itu hatiku pun sedang berdarah-darah. Terluka oleh keadaan
diriku sendiri.
Aku tak bermaksud melukai ibu atau merusak apa-apa.
Hanya saja rasanya sangat menjengkelkan bila tak ada seorang
pun bisa mengerti apa yang dimaksud. Padahal aku hanya
menginginkan sesuatu yang sederhana saja. “Ibu aku ingin
Burung-Burung Kertas 159
makan apel” tapi ibu

160 Burung-Burung Kertas


memberiku jeruk. “Ibu aku mau pakai baju merah” tapi ibu me-
makaikanku baju biru. Kekurangan itu membuatku tak bisa me-
nyampaikan pikiran, keinginan, juga perasaan. Belum sekalipun
kukatakan, “aku mencintaimu ibu”, sebab tak kutahu cara
menyam- paikannya. Aku pun tak ingin selalu marah, sebab
marah hanya membuat semakin lemah.
Tapi beginilah keadaanku, terlahir sebagai tunarungu. Dunia
membisu padaku. Sedikit pun tak kudengar bunyi-bunyi. Bumi
sunyi sepi. Tak pernah ada suara desau angin, gelegar petir,
rintik hujan menerpa jendela, juga nyanyian jengkerik. Angin
hanyalah sesuatu yang bertiup menggoyang rambutku. Petir,
kilatan sinar di langit yang menyilaukan mata. Hujan adalah air
yang jatuh dari langit. Dan jengkerik, aku bahkan belum pernah
melihatnya secara nyata. Ia selalu sembunyi, dalam lubang tanah
atau di balik rerumputan. Indraku yang tak lengkap tak mampu
menemukan sarangnya, walau ibu bilang banyak di halaman.
Kau selalu menertawakanku, menjadikanku bulan-bulanan
ejekan yang tak bisa kudengar namun sangat tajam kurasakan.
Begitu menusuk! Kau menganggapku bodoh dan tak bosan mem-
permainkan. Bertubi-tubi memancing kemarahanku dengan
sesuatu yang tak kupahami.
“Nana budeg...Nana budeg...” mulutmu bergerak-gerak, li-
dahmu menjulur-julur, wajahmu sangat tak menyenangkan. Kau
berjalan mengikutiku dengan kaleng rombeng yang dipukul-
pukul tepat di depan mukaku. Membuatku risih, terhalangi
pandangan. Kau sangat mengganggu. Kalau aku berlari kau pun
berlari, kalau aku sembunyi kau akan mencari. Aku seperti tikus
kecil buruan yang hidup tak aman karena kejaran kucing
pengejek sepertimu. Lain waktu kau membawa plastik gembung
penuh udara yang kau tiup dengan mulutmu. Lalu saat aku
lengah kau akan meng- endap dari belakang dan
meledakkannya tepat di samping teli- ngaku. Aku menangis,
bukan karena terkejut tapi lagi-lagi karena wajahmu yang begitu
mengejek. Kau selalu saja tertawa di atas
tangisku.
“Dasar budeg!” lalu kau berlalu. Kembali ke rumahmu. Mung-
kin bagimu aku hanyalah mainan kesukaan yang selalu kau per-
Burung-Burung Kertas 161
mainkan sepulang sekolah. Bertahun semua dera hina darimu
kutahan sendiri. Sampai suatu hari ibu pulang kerja lebih pagi.
Menemukanku sedang dalam bulan-bulananmu. Ibu mengusirmu
pergi dengan gagang sapu di tangannya. Kau tak pernah datang
kembali. Tapi aku telanjur menjadi tikus kecil yang gemetar dan
tak sanggup keluar dari liang persembunyiannya.
Aku tak berani. Kehilangan percaya diri. Kupilih meringkuk
dalam gelap kamarku. Kadang dari kegelapanku kulihat ibu me-
nangis. Lagi-lagi aku membuat satu-satunya orang yang kucintai
itu menangis. Ia pasti sedih sekali, andai ada ayah pasti tak
sesulit ini. Sayang, ayah dipanggil Tuhan lebih dulu dari kami.
Aku me- rasa sangat bersalah. Menyesal, kenapa aku harus
dilahirkan? Un- tuk apa? Hanya untuk menyusahkan ibu atau
dihina olehmu? Tuhan adakah Kau dekat? Aku pun menangis,
dalam sunyiku yang sema- kin gelap.
Dalam keremangan hari-hari, aku sering berkhayal, seandai-
nya semua orang di dunia sepertiku. Kamilah yang normal, kau
dengan segala kesombonganmu adalah kecacatan. Apa yang akan
terjadi? Kau berteriak-teriak sendiri. Tak ada yang
mendengarmu, kau akan dianggap aneh sebab mulutmu
mengeluarkan suara-suara yang tak dimengerti siapa pun. Aku
akan habis-habisan menerta- wakanmu. Memperlakukanmu
sama seperti kau memperlaku- kanku. Sebab kau berkelakuan
aneh. Suka bicara sendiri, dengan bahasa yang tak perlu. Sebab di
duniaku, kami punya bahasa sen- diri yang tak tertangkap oleh
telinga. Kami bicara dengan bahasa hati. Penuh kasih dan
pengertian.
Setiap malam aku bangun diam-diam, berdoa sepenuh hati
agar duniaku terwujud. Aku memohon agar kau mengalami
derita yang sama atau bahkan lebih dariku. Sungguh aku sangat
mem- bencimu. Kau adalah makhluk yang paling kubenci di
dunia ini!
***
“Nana, hari ini ibu akan pulang lebih malam, kunci pintu agar
Igo, anak nakal itu tidak masuk rumah dan mengganggumu lagi.”
kubaca gerak bibir ibu, aku mengerti. Ini hari Minggu, biasanya
ibu libur. Namun demi tambahan biaya sekolah, ibu harus
162 Burung-Burung Kertas
lembur. Aku masuk sekolah luar biasa, yang biayanya tak biasa.
Ibu ingin

Burung-Burung Kertas 163


menjadikan tikus kecil yang tak percaya diri ini menjadi manusia
luar biasa.
Hanya tirai ruang depan yang kubuka, sekadar untuk mema-
sukkan cahaya. Pemandangan di luar jendela sama seperti biasa.
Halaman kecil yang rimbun aneka tanaman hias, lalu beberapa
ekor kupu-kupu datang, terbang mengitari bunga-bunga. Ah,
beta- pa indahnya! Kuambil buku catatan kecilku dan sebuah
pena dari tas sekolah. Aku menuliskan perasaanku yang dipenuhi
kekagum- an di sana.
Mulanya ia hanya ulat yang menggeliat dalam kepompong
bisu. Tak seorang pun peduli sebelum ia mampu
mengembangkan sayapnya. Sebelum mampu mencecap madu. Ia
harus memakan daun tanpa henti. Menjadi pertapa puasa dalam
pupa. Lalu ber- juang keluar dari kungkungan kepompong kering
untuk mengem- bangkan sayap basahnya. Lalu terbang
menyongsong matahari. Menghiasi dunia dengan sayap
indahnya.
Sebelum mampu merasakan manisnya dunia, ia harus lahap
menelan pahit pucuk-pucuk ilmu. Lalu bersabar dalam puasa
batin yang panjang. Memupuk keberanian untuk menghadapi
dunia dengan sayap-sayap kemenangan. Aku ingin berubah dari
ulat perusak tanaman menjadi kupu-kupu penghias taman.
Kutuliskan semuanya dalam buku kecilku. Lalu aku memejamkan
mata me- mohon. Aku ingin jadi kupu-kupu untuk ibu.
Setelah berdoa kulihat kau memanjat pohon jambu tetangga
depan rumah. Kau memang sungguh nakal. Tuhan memberimu
kesempurnaan tapi kau mempergunakannya untuk kejahatan.
Penghuni rumah depan sedang pergi. Rumah itu kosong
beberapa hari ini. Kau berniat mencuri! Aku tak habis pikir,
untuk memper- oleh sebiji jambu kau harus begitu. Bapak ibu
depan rumah adalah orang-orang yang ramah. Tanpa kau minta
mereka akan memberi. Beberapa hari lalu aku diberi tanpa
meminta. Mereka memang orang-orang baik. Kuperhatikan saja
gerak-gerikmu dari balik jen- dela. Kalau aku bisa teriak akan
kuteriaki kau, maling!
Kau mengendap, tengok kiri kanan dengan culasnya. Melom-
pati pagar lalu memanjat pohon jambu diam-diam. Tanganmu ra-
164 Burung-Burung Kertas
kus memetik buah-buah matang. Menjejalkan ke saku kiri, lalu

Burung-Burung Kertas 165


kanan. Ke balik bajumu. Penuh kedua tanganmu menggenggam
hingga kau lupa berpegangan. Kau jatuh! Untuk sesaat aku
terkejut, lalu tertawa, akhirnya tiba giliranku untuk
menertawakanmu. Puas rasanya. Aku terus tertawa hingga
kusadari kau tak bangkit lagi. beberapa lama aku menunggu
untuk melihat kepalamu muncul dari balik pagar. Tapi kau tak
kunjung berdiri. Aku mulai mendu- ga-duga apa yang terjadi
padamu?
Aku masih di balik jendela, tegang memandang ke seberang.
Ini sudah terlalu lama. Aku merasakan ada yang tak beres.
Jangan- jangan kau celaka. Jatuhmu cukup tinggi. Aku bisa saja
datang menolong seandainya kau benar terluka. Namun aku
bimbang, bukankah aku adalah orang yang paling ingin kau
celaka. Lalu kenapa sekarang aku mengkhawatirkanmu? Dalam
kebimbangan- ku masih tak kulihat dirimu. Tapi bagaimana
seandainya kau tak apa-apa justru sedang asyik menikmati jambu
curian di balik pagar? Kalau aku menghampirimu, bisa-bisa kau
habis melempariku, dengan jambu-jambu itu!
Lalu aku menghitung dalam hati, kalau dalam hitungan kese-
puluh kau tak muncul aku akan menyeberang untuk melihat ke-
adaanmu. Tak peduli dengan resiko kau akan menyakitiku. Aku
mulai menghitung. Hitungan awal, hanya daun-daun jambu yang
terlihat berguguran. Setengah hitungan, masih saja tak terlihat
perkembangan. Sebelum hitungan kesembilan aku membuka
pintu rumah. Seekor kupu-kupu hinggap di bahuku, seakan
hendak me- nemani dan memberi keberanian.
Dari celah pagar kulihat tubuhmu tak bergerak. Kakimu
terte- kuk badanmu telungkup. Aku terkejut! Lagi-lagi gemetar.
Ah, ke- napa harus gemetar setiap kali melihatmu? Kupanjat
pagar, ku- hampiri kau yang masih diam. Kuambil sembarang
ranting jatuh. Aku takut kau tiba-tiba berbalik lalu menyerang
setelah aku men- capai tubuhmu. Dengan ranting kusentuh ujung
kakimu, kau tak bereaksi. Kau pingsan dan darah tampak
berlumuran ketika kubalik tubuhmu.
***
“Terima kasih,” berkali-kali kau ucapkan padaku. Aku meng-
angguk saja. Ibu tampak masih bicara dengan kedua orangtuamu.
166 Burung-Burung Kertas
Sebentar lagi kau pulang setelah dua minggu di rumah sakit. Kata
yang sama diucapkan pula oleh kedua orangtuamu. Tapi aku tak
merasa luar biasa. Aku lebih bahagia dengan yang ibu katakan
padaku.
“Ibu sangat bangga padamu Nana.”
Menurut ibu, menolong orang yang selalu menyakiti, itu luar
biasa. Butuh kebesaran hati dan kesucian pikiran.
“Kau lebih dari sempurna,” ibu memelukku lama sekali.
“Maafkan aku Nana,” kau berusaha meraih tanganku. Pasti
sakit sekali bergerak dengan luka-luka seperti itu. Kakimu terbalut
gips. Lenganmu terbungkus perban di beberapa tempat.
“Sama-sama,” jawabku dengan bahasa isyarat yang tak kau
mengerti. Ibu menerjemahkannya padamu.
“Nana bilang, ya sama-sama. Semoga Igo tidak nakal lagi,”
aku tersenyum. Ibu menambahkan sendiri, tapi lucu rasanya
meli- hat wajahmu memerah malu.
“Tuh dengar kata Nana, perbaiki sikapmu sebelum Tuhan
sendiri yang menghukummu. Kapok tidak?” ayahmu tampak
jeng- kel. Sering kulihat ia begitu marah padamu. Menjewer,
bahkan memukulmu, tapi segala tindak hukuman yang diberikan
orang- tuamu tak sedikit pun membuatmu jera.
“Jangan pernah lupa, Nana adalah penyelamatmu. Kalau dia
tidak datang menolong, tak tahu apa yang akan terjadi. Belum
tentu bisa bernafas sampai hari ini,” tambah lelaki itu.
Kalau kau tidak sedang dalam keadaan sakit, tangannya pasti
sudah meraih daun telingamu. Sayang sekali, kau menyediakan
telinga sempurnamu hanya untuk dijewer! Kau telah menyia-
nyia- kan telingamu. Betapa bodohnya kau! Andai kau terlahir
sepertiku. Kau akan tahu betapa berharganya telinga itu.
“Belajar banyak juga dari Nana, keberaniannya luar biasa.
Yang namanya berani itu bukan sok jago, pukul sana, tonjok sini.
Keberanian terbesar adalah berani menolong dan memaafkan,”
ibumu ikut bicara. Sudah lama ia tertekan dengan kenakalanmu.
Setiap kau berulah, ialah yang repot minta maaf ke sana ke mari
sembari ganti rugi.

Burung-Burung Kertas 167


“Igo harus minta maaf pada ayah-ibunya juga,” kataku
dengan kata-kata yang kususun dengan jari-jemari. Ibu kembali
menerje- mahkan. Matamu berkaca-kaca setelah paham. Airmata
segera ber- kumpul lalu jatuh meluncur melewati dagu.
“Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku, Ibu,” kau ucapkan terbata-
bata. Tampak sangat sulit di mulutmu, padahal kau tak bisu.
Ayah- ibumu tampak haru. Mereka memelukmu. Aku pun
memujimu kini, kau sungguh punya nyali. Sebab, meminta maaf
adalah sikap penuh berani.
“Mulai hari ini aku adalah temanmu,” katamu padaku. “Apa
kau mengerti apa yang kukatakan?”
Tentu aku mengerti, aku sudah keluar dari kepompongku.
Sayapku sudah mengembang, siap untuk terbang. Aku sudah me-
nembus penjara kata yang membuatku terkungkung kebisuan.
Aku sudah belajar membaca gerak bibir, menggetarkan pita
suara juga menggerakkan lidah agar mengeluarkan kata yang
sama de- nganmu.
“Jangan khawatir temanku, aku mengerti bahasamu,” kataku
dengan isyarat jari-jari yang belum kau mengerti. Mungkin
perte- manan kita akan lebih baik jika kau mau belajar bahasaku
juga. Banyak hal di duniaku yang perlu kau tahu. Ada banyak
kegiatan seru yang menarik. Aku menguasai keterampilan yang
tak kau pelajari. Kalau kakimu sudah sembuh aku akan
mengajakmu me- nari hip-hop dan main musik beatbox. Lihatlah
kelincahan tubuh juga decak mulutku!
“Ajari aku bahasamu,” pintamu sebelum aku dan ibuku
pamit pulang. Aku mengangguk mantap. Segala kebencian dan
permu- suhan pun tanggal. Aku adalah kupu-kupu yang segera
terbang.

Biodata Penulis
Primadita Herdiani tinggal di Sanggrahan, RT 04/RW 036, Wedomartani,
Depok, Sleman. Saat ini Dita kuliah di Universitas Diponegoro, Semarang.
Hobinya dalah membaca, mendengarkan musik, dan memancing. Jika ingin
berkorespondensi dengannya, dapat menghubungi HP 089669550379,
email: primadita_3005@yahoo.co.id, twitter: @primdiitt.

168 Burung-Burung Kertas


LAMBANG KEBEBASAN
Nisrina Salsabila

Aku selalu mengingat perkataan teman kecilku dulu. ‘Ikuti


kata hatimu’, begitu katanya. Sebuah kalimat, tiga kata, delapan
suku kata, dan lima belas huruf itulah yang membuatku berhasil
kini. Merubah hidupku dan membuatnya menjadi lebih baik.
Aku ini anak yang sangat penurut, dulunya. Semua kemauan
Ibu dan Ayah selalu kuturuti, sekalipun aku tidak menyukainya.
Aku hanya ingin menjadi anak yang patuh dan berbakti pada
mereka. Hingga, aku bertemu dengan Randu ...
***
Lembah Permai adalah tempat paling indah yang pernah ku-
jumpai. Rerumputan berbunga terhampar sepanjang lembah. Po-
hon-pohon besar berdiri berjajar di tengah lembah. Tapi hanya
satu pohon yang sering kudatangi. Pohon yang tampak berbeda
dari pohon-pohon lain yang berada di Lembah Permai; pohon
randu. Tempat teman kecilku tinggal bersama domba-dombanya.
“Aku menyukai perbedaan,” jawabnya, ketika kutanya me-
ngapa ia memilih tinggal di bawah pohon randu. “Selain itu,
nama-
ku memang diambil dari nama pohon ini,” tambahnya.
“Kenapa tidak pohon mangga atau pohon buah lainnya? Po-
hon randu tidak memiliki buah yang bisa dimakan,” tanyaku
suatu hari.
Teman kecilku terkekeh. “Aku akan dipenuhi semut jika
tinggal di bawah pohon mangga.”
Yang kutahu dari teman kecilku ini hanya sedikit. Ia gadis
kecil pengelana yang tangguh. Kutahu dari cerita-ceritanya yang

Burung-Burung Kertas 169


sering diceritakan untukku ketika hari sedang bagus, dan angin
bertiup sepoi-sepoi.
“Aku hanya seorang gadis kecil pengelana dengan lima puluh
domba,” tuturnya ketika pertama kali bertemu dengannya.
Aku tertawa mendengar penuturannya. “Memang kau
pernah hitung jumlah domba-dombamu itu?”
Dengan wajah polosnya, ia menggeleng. “Terakhir kali kuhi-
tung domba-dombaku tahun lalu. Dan saat itu, jumlahnya lima
puluh ekor.”
Teman kecilku pernah bercerita tentang mimpinya, impiannya.
Mimpinya sangatlah sederhana. Sangat sederhana untuk seorang
gadis kecil yang masih punya banyak peluang.
“Aku hanya ingin menjadi seperti layang-layang lepas,” ujar-
nya sambil memejamkan mata dan merentangkan kedua tangan-
nya. Lantas meliuk–liukkan dirinya, seperti sebuah layang-layang
lepas.
Saat itu, aku sedikit heran mendengar impiannya. Yang ku-
tahu, gadis-gadis tidak menyukai layang-layang, apalagi ingin
menjadi layang-layang lepas. Tapi Randu berbeda. Ucapannya
ka- dang seperti orang dewasa.
Alisku bertaut. “Kenapa layang-layang lepas?”
“Layang-layang lepas itu lambang kebebasan. Freedom! Ia sebe-
narnya bisa menentukan takdirnya, tapi ia hanya pasrah pada
angin yang membawanya. Beruntung jika ia jatuh di atas
permukaan laut. Ia bisa menyapa ikan-ikan dan para penghuni
laut lainnya. Tapi takdir buruk bisa saja sudah menantinya. Ya,
itulah hidup,” jelasnya, masih tetap memejamkan mata dan
membayangkan diri- nya menjadi layang-layang lepas.
Penuturannya tentang ‘lambang kebebasan’ menggugah
sema- ngatku. Aku bisa menjadi apa saja yang kuimpikan, tanpa
harus berdebat tiga puluh menit dengan Ayah dan Ibu. Layang-
layang lepas, lambang kebebasan!
Suatu malam, aku membawa payungku dan berlari di tengah
hujan menuju rumah teman kecilku. Aku tahu, mungkin tidur
nye- nyak tak akan kudapatkan malam ini. Tapi inilah
gambaranku ten-

170 Burung-Burung Kertas


tang kebebasan yang dimaksud Randu. Dengan kata lain, aku ka-
bur dari rumah malam ini.
“Kau sedang apa? Bermain hujan-hujanan seperti anak
kecil?” komentar Randu begitu aku sampai di rumahnya.
“Rumahku jadi becek karenamu!” marahnya.
Aku meletakkan payungku dan duduk di lantai rumahnya.
“Maaf. Malam ini, aku ingin bermalam di sini. Boleh?”
Teman kecilku berkacak pinggang. “Kabur karena kalah
debat dengan orangtua, pengecut sekali!”
Ada tanda tanya besar di otakku saat itu. “Darimana kau
tahu?”
Randu tersenyum penuh rahasia. “Menurutku itu tidak pen-
ting. Yang jelas, aku tidak mengizinkanmu menginap di rumahku.
Sekarang, pulanglah!”
Melihatku yang masih diam di tempat, Randu mengambil
mantel hujannya. Ia mendorongku sampai ke depan pintu rumah
kayunya, dan memberiku mantel hujan kepunyaannya.
“Pulanglah! Apa perlu aku mengantarmu?”
Begitulah. Malam itu, akhirnya Randu mengantarku pulang.
Tapi aku memintanya untuk tidak ikut masuk ke pekarangan ru-
mahku. Aku tidak mau ia terkena masalah dan akhirnya debat
berkepanjangan dengan orangtuaku.
Aku berbalik dan hendak mengucapkan terimakasih pada te-
man kecilku itu. “Terimakasih ...” Tapi sosoknya sudah hilang di
tengah hujan lebat.
***
Sudah kubilang sebelumnya, teman kecilku itu gadis kecil
pe- ngelana. Dari cerita-ceritanya, pernah kusimpulkan bahwa ia
se- nang bertualang. Tapi kenyataannya lain dari yang
kupikirkan.
“Aku diusir dari rumah. Tapi tak apa, dengan usiran itu,
akhir- nya aku bisa berkelana. Mendatangi tempat-tempat yang
belum pernah kutemui,” katanya suatu hari.
“Termasuk Lembah Permai ini?” tanyaku.
Randu tersenyum. “Tentu saja!” ujarnya. “Sudah banyak tem-
pat yang kudatangi, tapi Lembah Permai yang paling lama ku-
tinggali.”
Burung-Burung Kertas 171
“Menyenangkankah tinggal di Lembah Permai?”
Teman kecilku itu hanya mengangguk. “Ya ... pemandangan
di sini sungguh luar biasa! Domba-dombaku juga sepertinya se-
nang tinggal di sini.”
Teman kecilku sudah banyak memberiku pelajaran tentang
kebebasan. Kini, giliranku untuk mengajarinya hal-hal yang
kubisa. Suatu hari, aku membawa peralatan lukisku menuju
pohon randu di tengah Lembah Permai. Hari ini, aku akan
mengajarkan hal baru pada Randu; melukis pemandangan!
Menyenangkan sekali jika teman kecilku itu akhirnya bisa melukis
Lembah Permai. Tem-
pat yang menurutnya luar biasa indah.
“Kau bawa apa?” Randu menyambutku dengan senyum
khas- nya. Ia memindahkan beberapa buah mangga dari rumah
kayunya ke keranjang buah besar.
“Peralatan melukis,” jawabku pendek. Aku terus mengamati
kegiatannya. “Akan kau ke manakan buah-buah mangga itu?”
Ia menyeka peluh di dahinya, “Aku hendak ke pasar. Aku
akan menjual buah-buah ini, sekaligus salah satu dombaku.
Kema- rin, ada saudagar kaya yang memesannya, dan bilang
akan mene- muiku di pasar.”
Aku sedikit kecewa mendengar penuturannya. “Berarti kau
tak bisa melukis bersamaku hari ini?”
Randu tertawa kecil. “Tentu bisa! Aku bisa menunda kebe-
rangkatanku ke pasar. Saudagar kaya itu pasti bisa menunggu
sebentar.”
Aku bernapas lega mendengar jawabannya, “Baiklah. Kau
mau melukis di mana?”
Randu tampak berpikir, “Di balik semak berbunga itu! Kau
tidak keberatan, bukan?” Ia menunjuk semak berbunga di dekat
pohon randu-nya.
“Hm, tidak.” Aku menggeleng ragu. Sebenarnya, aku sedikit
alergi dengan bunga-bunga itu. Tapi demi mengajarinya melukis,
aku tidak keberatan.
Kami melukis di balik semak berbunga itu. Biarpun aku tak
jarang bersin-bersin, tapi kegiatan melukis bersama Randu ini
sangat mengasyikkan. Berbeda dengan lukisanku yang
172 Burung-Burung Kertas
didominasi

Burung-Burung Kertas 173


warna hijau rerumputan lembah. Lukisan Randu berpusat pada
satu benda; layang-layang lepas. Kebetulan, ada layang-layang
lepas terbang tertiup angin di langit lembah yang cerah ini. Tak
kusangka, teman kecilku ini pandai juga melukis.
Setelah lukisannya selesai, ia menunjukkannya padaku.
“Bagus?”
Aku melihat lukisannya yang sudah selesai. “Hm, yah ...
apa judulnya?”
“Menurutmu?” Randu balik bertanya.
Aku menerka-nerka judulnya. Sekilas, mungkin judulnya
layang-layang lepas. Tapi kupikir, teman kecilku pasti memberi
judul yang berbeda dari pikiran orang-orang. Maka kujawab,
“Lambang kebebasan, bukan?”
Teman kecilku bertepuk tangan riuh, “Hebat sekali kau bisa
menebak judul lukisanku!” serunya di tengah senyum manisnya.
“Sepertinya aku harus segera ke pasar. Kau bisa bawa pulang lu-
kisanku dan simpan baik-baik?”
Aku mengangguk pasti sambil terus memandangi sosok
Randu yang makin menjauh.
***
Tak selamanya aku dan Randu akur. Ada kalanya kami
berde- bat. Dan satu kali perdebatan itu yang membuat semuanya
menjadi hancur. Aku akui, itu memang kesalahanku.
Pagi itu, Randu berlari-lari kecil menuju rumahku. Aku yang
kebetulan sedang menyirami bunga di pekarangan melihatnya,
dan segera menemuinya.
“Ada apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
Teman kecilku tersenyum kecil, memperlihatkan satu
giginya yang tanggal. “Kau ke sini bukan untuk memperlihatkan
gigimu yang tanggal itu, kan?”
Randu manyun, “Tentu bukan! Aku ingin mengambil
lukisanku. Bolehkah?”
“Hm, tidak!”
Raut wajah Randu berubah, “Kenapa tidak boleh? Itu
milikku, bukan?”

174 Burung-Burung Kertas


Aku menjelaskan pada teman kecilku bahwa lukisannya
sudah tidak ada lagi di rumahku. Aku hanya bilang lukisannya
hilang, padahal diam-diam aku mengirimnya untuk dipamerkan
di balai kesenian kota, yang letaknya jauh dari Lembah Permai.
Tidak seperti dugaanku, wajah Randu memerah. Ia meng-
hentak-hentakkan kakinya dengan kesal, “Kenapa bisa hilang?
Aku sudah berpesan agar kau menjaganya dengan baik!”
“Maaf,” hanya satu kata dengan empat huruf itu yang
kuucap- kan sebelum akhirnya Randu berlari pulang ke
rumahnya dengan perasaan marah. Satu hal yang tidak
kuketahui, teman kecilku itu pulang ke rumahnya dengan
berlinang air mata. Saat itu, aku mera- sa aku adalah orang
terbodoh di dunia.
Esoknya, aku berniat meminta maaf pada Randu, sekaligus
mengucapkan perpisahan padanya. Lusa, aku akan tinggal di ru-
mah nenekku. Ini permintaan ayah dan ibu agar aku tidak selalu
bermain bersama Randu. Rupanya, mereka sudah mengetahui
identitas teman kecilku itu.
Aku benar-benar terkejut begitu sampai di Lembah Permai.
Lebih tepatnya, di depan rumah teman kecilku. Rumahnya
porak- poranda. Entah apa yang terjadi pada rumahnya. Tanpa
pikir pan- jang, aku memasuki rumah Randu.
Tak kutemukan sosok teman kecilku itu di dalam rumahnya.
Semua berantakan dan rumah itu kosong. Hanya ada secarik kertas
yang membuatku tertarik.
Jika kau tidak menemukanku di rumah, yakinlah, aku sudah
memaaf- kanmu. Aku pergi tanpa membawa domba-dombaku ke rumah
saudagar kaya itu. Ia akan mengangkatku menjadi anaknya. Ah iya,
aku sudah dengar tentang kepindahanmu. Jadi kuperbolehkan kau
menjual domba- dombaku agar tidak merepotkanmu dan keluargamu.
Menurutku, kau tidak harus menuruti kata-kata orangtuamu.
Aku tahu kau lebih suka tinggal di Lembah Permai ketimbang di
rumah nenekmu. Tapi semua keputusan ada di tanganmu sekarang.
‘Ikuti kata hatimu.’
Randu,
pengelana layang-layang lepas.

Burung-Burung Kertas 175


Aku hampir tidak percaya membaca suratnya. Teman
kecilku sekarang sudah tidak ada lagi di Lembah Permai. Entah
aku akan bertemu dengannya lagi atau tidak. Jujur, aku ingin
mengucapkan beribu-ribu maaf tentang lukisannya dan
mengabarkan kalau lukisannya paling banyak diminati dalam
pameran tersebut.
***
Bertahun-tahun setelah kepergian Randu, aku menjadi pelukis
hebat. Sekarang aku menjadi ilustrator di majalah paling laris di
negeri ini dan digaji cukup banyak. Aku akan terus mengingat
sosok teman kecilku itu. Aku berharap, suatu saat, layang-layang
lepas akan menuntunku untuk bertemu kembali dengannya.
“Kau benar-benar ingin bertemu denganku?”
Aku terus memandangi jendela kamarku yang menghadap
Lembah Permai, dan tak sadar menjawab pertanyaannya, “Ya.”
“Kalau begitu, berbaliklah!”
Sesaat aku tersadar. Aku berbalik dan menemukan sosoknya
di belakangku. Sosok teman kecilku yang selalu kurindukan. Tak
salah lagi, itu—
“Randu?!”

Biodata Penulis
Nisrina Salsabila tinggal di PMA No.86, Jamblangan, Margomulyo, Seyegan,
Sleman. Saat ini Nisrina bersekolah di SMP N 1 Godean, Sleman. Hobinya
adalah membaca buku dan menulis cerita. Jika ingin berkorespondensi
dengan Nisrina dapat menghubungi: HP 087843193363, email:
nis_salsabila57@yahoo.co.id, FB: Nisrina Salsabila, twitter:
@Nisrina_Chacca.

176 Burung-Burung Kertas


MAMAK GUNTUR
Wahyu Sekar Sari

“Aku emoh sekolah,” bentakku kepada Mamak ketika


berulang kali memaksaku mengenakan seragam.
“Kenapa Gun, kakak-kakakmu kabeh sekolah. Tak malu kau
tak berpendidikan tinggi seperti kakak kau?” sahut Mamak
dengan wajah tua, coklat, keriput, lengkap dengan peluh menetes
sebutir- butir.
“Gun tak punya kawan Mak, dikucilkan. Mamak tak kasian
lihat Gun selalu diejek kawan anak tukang rongsok, Gun si gimbal
kali Sunter, Gun jelek kumuh juragan sampah. Gun malu Mak,
Gun malu,” jawabku membela diri. Aku memang tidak kuat lagi,
diejek dua tahun sejak aku bersekolah mengenakan seragam merah
putih yang warnanya tidak putih lagi.
“Jadi kau malu punya Mamak tukang rongsok? Apa yang ada
di otak kau? Apa kau mau jadi pencopet saja biar lekas kaya? Apa
kau mau Mamak mengajari kau cara merampok? Kau ini anak
ma- cam apa? Kau lebih malu jadi anak tukang rongsok apa jadi
anak pencopet kaya? hah?” jawab Mamak keras, mendetumkan
gen- dang telingaku beberapa saat. Rasanya hampir mual lihat
Mamak marah seperti ini.
“Kenapa Gun bisa lahir dari Mamak yang miskin?” sahutku
tanpa memperdulikan aturan tatanan masyarakat tentang bagai-
mana cara berbicara pada Mamak.
“Memang kau kira Mamak kau ini tak malu punya anak
macam kau? Tak usah sekolah saja, bantu Mamak cari rongsok,”
tungkas Mamak seraya memalingkan wajah. Aku tau butir-butir
putih be- ning menetes pelan di wajah Mamak. Aku merasa
berdosa semarah
Burung-Burung Kertas 177
ini sama Mamak. Ah, apa gunanya marah? Toh Mamak juga tak
bisa memberiku uang banyak dan membeli sepeda seperti kawan
di sekolah. Bagusnya menuruti ucapan Mamak dulu saja lebih
baik. Aku segera beranjak mengambil keranjang sampah, berlari
me- ngejar Mamak yang sudah berjalan jauh sekitar dua puluh
lima meter di depanku.
“Kita mau cari rongsok dimana Mak,” tanyaku pelan, takut
kalau Mamak marah lagi.
“Jauh-jauh dari Mamak saja, katanya kau malu jadi tukang
rongsok,” ucap Mamak pelan tanpa sedikitpun menoleh ke
arahku. Aku tahu, ya aku tahu. Butiran bening itu masih menetes
satu dua ketika Mamak berjalan cepat tanpa memperdulikan aku
mengekor dibelakangnya.
“Mamak marah?” tanyaku hati-hati.
“Punya hak apa Mamak marah sama kau? Kau cuma titipan
Tuhan, kau tak salah kalau malu punya Mamak miskin seperti
ini; yang salah kenapa dulu memilih Bapak kau sebagai suami,”
Mamak berjalan amat sangat cepat hingga aku tak bisa
menyamakan lang- kah dan menyusulnya. Ah tak usah
dipikirkan? Paling nanti pulang cari rongsok Mamak juga tidak
marah lagi. Langkahku menyusuri trotoar kota, berusaha
mencari rongsok sebanyak-banyaknya.
****
Sinar matahari yang tadinya menyilau penguras dahaga
lekas meredub. Remang cahaya yang masuk dari cela kecil
kardus yang menjadi dinding gubuk kami hilang satu-satu. Aku
sudah duduk di sudut gubuk dengan tangan menyangga dagu.
Hujan sepertinya akan turun sore ini. Kakakku sudah duduk
bersandar membela- kangiku. Mereka kakakku, Dai, Lan, dan
Ram. Dai yang sudah duduk di bangku enam, Kakak laki-laki
tertua yang memiliki tahi lalat di dagu persis sepertiku. Lan yang
sedang duduk di bangku lima, Kakak tukang masak di gubuk.
Ram si pendiam yang duduk di bangku empat. Dan aku yang
duduk di bangku dua. Aku pernah bertanya kepada Mamak
mengapa kami berempat tidak pernah tahu siapa Bapak kami?
Tapi kata Mamak, Kita itu punya Mamak yang bisa jadi Mamak
dan bisa jadi Bapak. Katanya, kita bisa ber- untung tidak pernah
178 Burung-Burung Kertas
bertemu Bapak. Dan ketika akalku semakin

Burung-Burung Kertas 179


mengejar jawab Mamak mengapa kita tidak mencari Bapak saja?
Mamak tidak akan segan-segan menghukumku tidur di luar
gubuk dan tidak diizinkan makan hingga hari berganti. Mamak
jahat, jeritku setiap kali Mamak memarahiku perihal
keingintahuan ten- tang keberadaan Bapak.
Mamak datang dengan batuk-batuk yang tidak pelan lagi.
Menutupi mulut dengan kedua telapak tangannya setiap kali Lan
bertanya apakah Mamak sudah minum obat. Mamak dengan
cepat menggelengkan kepala dan berkata dengan suara yang
serak jika Mamak baik-baik saja. Mamak tak sedikitpun menoleh
ke arahku, sama sekali tidak. Apa Mamak masih marah
kepadaku? Hanya itu kesimpulan yang bisa aku dapat sejak tiga
jam sedari keda- tangan Mamak tak menganggap keberadaanku.
“Mak, tadi waktu nyari rongsok Gun bertemu dengan kawan
Gun di utara jembatan,” ucapku pelan berusaha mengajak
Mamak berbincang. Mamak hanya diam saja, tanpa menoleh,
tanpa sa- hutan, dan tanpa memberi komentar apapun.
“Lalu mereka berkata kalau seumpamanya Gun bisa punya
sepeda bagus yang sama milik mereka, mereka tidak akan meng-
ejek Gun lagi,” ucapku lagi dengan suara terbata-bata, mengamati
punggung Mamak yang tidak juga bergerak.
“Lalu maumu apa?” jawab Lan memberi komentar, menatap-
ku lekat-lekat tanpa sekat.
“Bagaimana kalau selepas sekolah Gun mencopet saja lalu
uangnya digunakan untuk membeli sepeda dan makanan,”
ucapku ringan tanpa beban. Plakk, hantaman telapak tangan
yang lebar itu mendarat di pipi tanganku. Darahku mendesir-
desir tak karuan. Mataku tiba-tiba saja berkaca-kaca, semuanya
terlihat buram. Da- daku sesak. Masih bercampur rasanya antara
kaget, tercengang, kesakitan, dan menahan tangis. Aku tak mau
mendongak mencari tahu milik siapa tangan lebar itu? Aku tak
mau melihat dua bola mata melotot yang hampir keluar ketika
menatapku. Aku hanya bisa menutup bekas tamparan itu,
menahan napas, menyembunyi- kan isakan ketika satu dua
tetasan air jernih bening merembes di lengan bajuku. Ini sakit,
pipiku sakit. Perih, panas, juga daging

180 Burung-Burung Kertas


pipiku seperti masih bergetar ketakutan. Lan segera mengelus ram-
butku pelan, berbisik padaku kalau semuanya akan baik-baik
saja. “Biarkan saja Lan, buat apa anak macam dia dikasihani?
Dia
itu lebih bangga punya Mamak pencopet kaya dari pada tukang
rongsok yang miskin? Hei anak tak tau diri, apa kau tak pernah
dapat pelajaran agama di sekolah. Apa kau tak pernah diberi
tahu sama guru kau kalau mencopet itu sama saja dengan menjual
harga diri,” ucap Mamak dengan suara menggelegar tanpa
kendali. “Pak guru cuma bilang kalau berbuat yang buruk demi
kebaik-
an itu tidak apa-apa Mak,” ucapku membela diri. Melupakan seje-
nak rasa sakit yang masih menimpali wajahku. Rasanya kian
mene- bal, rasanya pipiku kian membesar.
“Harga diri kau dimana? Mencuri itu sama saja merendahkan
derajatmu sebagai manusia. Memang kau kira Mamak tak bisa
kasih kau makan dengan menjadi tukang rongsok?”
“Tapi Mamak juga tak bisa membelikan Gun sepeda hanya
dengan menjadi tukang rongsok Mak,” jawabku semakin berani.
Plak, tamparan itu mendarat lagi di pipiku, bukan di sebelah
kanan. Tapi kini mendarat di sebelah kiri. Sakitnya lebih dahsyat.
Perihnya menjalar-jalar lebih cekat. Pening kepalaku rasanya.
Tamparan yang ini membuatku terpental setengah meter dari
tempat duduk- ku, aku hanya mengusapnya pelan. Tak lagi bisa
menahan air mata- ku yang jatuh tidak hanya satu-satu. Tapi
banyak, mengalir deras seperti hujan yang akan menjadikan kali
Sunter banjir berminggu- minggu. Mulutku bergetar merasakan
sesuatu, ku usap cairan di tepian mulutku. Darah. Dai kemudian
merengkuhku, merangkulku pelan dan membopongku ke sudut
gubuk. Mamak seraya keluar rumah. Membelah tirai-tirai hujan
deras dan pergi entah ke mana. Entah ke mana. Kepergian yang
membuatku amat sangat rindu.
“Mamak yang jahat, Mamak jahat. Mamak sama sekali tak
kasihan liat Gun diejek teman-teman,” ucapku dengan tangis
yang semakin menjadi-jadi. Dai pelan sesekali mengelap darah di
mulutku dengan punggung tangannya.
“Apa kau tahu bagaimana rasanya dikasihani? Kau tak tahu
kalau Mamak itu amat sangat sekali menyayangi kita,” ucap Ram
yang tiba-tiba datang membawa segelas air putih.
***
Burung-Burung Kertas 165

182 Burung-Burung Kertas


Kau benar, namaku Gun. Tepatnya Guntur. Guntur yang kata
Pak guru adalah nama sinar yang menyambar-nyambar ketika
hu- jan deras turun merembes jelas-jelas. Sinar yang suaranya
meme- kikkan gendang telinga pemilik setiap jantung yang
berdetak cepat acap kali mendengarnya. Sinar yang merekah bak
bilahan percikan- percikan api di perapian. Seperti tangan-tangan
Tuhan yang me- rembet-rembet seperti ingin memeluk
makhluknya. Bagaikan potret kamera Tuhan yang ingin merekam
setiap kejadian perilaku tindakan yang dilaksanakan makhluknya.
Dan tentu seperti tangan- tanganku yang meminta kasih Mamak
lebih dari kasih yang di dapat Dai, Lan, dan Ram. Aku memang
paling kecil di antara me- reka, tapi rupa wajahku teramat tua
bagi seusia anak pada umum- nya. Membuat nyaliku menciut
tanpa skala, mencabik keberanian dalam jiwa tanpa sela. Aku
ingin Mamak memberiku lebih dari itu. Aku juga ingin Mamak
melihat sinarku yang menjalar-jalar merengkuh tubuhnya. Melihat
betapa besarnya perasaku pada Ba- pak yang tak kunjung datang
sambil mengibas-ibaskan tangannya seperti sayap yang hendak
terbang ketika melihatku. Aku juga ingin menjadi seperti mereka,
seperti teman-teman Gun yang bisa minum susu ketika hendak
berangkat ke sekolah.
“Bang Dai, kau pernah bertemu Bapak?” tanyaku pada Dai
yang saat itu sedang sibuk membereskan tumpukan kardus yang
hendak dijual ke kabupaten.
“Wajah Bapak lebih mirip siapa? Kenapa tidak kita cari? Ba-
rangkali Bapak itu pemilik gedung-gedung tinggi di kota Bang,”
jawabku sekali lagi, tanpa memikirkan apa-apa lagi selain obsesi
untuk bertemu Bapak.
“Memangnya kau kira Bapak itu mau bertemu dengan kau
yang kumuh seperti itu,” jawabnya sambil melempar-lemparkan
kardus ke sampingku.
“Jangan-jangan Bapak sudah meninggal Bang, kata Pak Guru
di sekolah itu seorang Bapak tidak mungkin bisa makan dengan
tenang karena selalu mengingat anak-anaknya,” jawabku lagi se-
makin antusias, memperagakan setiap perkataan yang diucapkan
Pak Guru ketika di sekolah.

166 Burung-Burung Kertas


“Angkat kardusnya cepat, jangan banyak bicara nanti Mamak
marah melihat kita malas-malas,” bentak Dai tiba-tiba.
Membuatku terbelalak lekas menjadi bergumam dan lantas berlari
keluar gubuk sambil membawa tumpukan kardus karena
ketakutan.
Dan masih di tempat Dai duduk, dia merunduk dalam
sesekali memperhatikanku dari ke jauhan, mengusap sesuatu dari
matanya, tapi tak jelas dilihat dari kejauhan.
***
Gun terkagum-kagum melihat benda sebesar gubuknya
berki- lat-kilat tertimpa teriknya siang di parkirkan gagah di
beranda rumahnya. Berdecak beberapa waktu lalu melambai-
lambaikan tangan, berlari dengan cepat sejak dia melihat Lan sudah
melebar- kan tawanya dari kejauhan. Sepertinya ada yang
istimewa, batin Gun sambil berlari sekencang-kencangnya.
“Mamak dari mana saja?” tanya Gun cepat sambil memeluk
Mamak erat-erat, tak perduli meskipun dia tau kalau Mamaknya
akan marah lagi.
“Gun kangen Mak, kata Dai, Mamak kerja di kabupaten, ya
Mak? Kalau Mamak marah sama Gun karena Gun minta sepeda,
Gun janji tidak akan minta apa-apa lagi. Mamak jangan pergi lagi
ya, Gun kangen dibentak-bentak sama Mamak,” ucap Gun tanpa
spasi, membuat beberapa pasang mata di sekitarnya berkaca-kaca.
“Mamak kan ke kabupaten membelikan Gun sepeda,” jawab
Mamak pelan. Wajahnya terlihat pucat sekali. Wajah dan
bibirnya berwarna agak putih. Tubuhnya lemah sekali sebab
pelukan Gun yang amat sangat erat hanya dibalas dengan
tepukan di pundak
Gun dua kali.
“Oh ini yang namanya Gun,” ucap wanita tinggi putih dengan
rambut panjang yang menjalar menutupi sebagian wajahnya.
Gun hanya mengangguk, tak berani menjawab sebab ia masih
ingat nasihat Mamak untuk tidak mudah percaya dengan orang
yang tidak dikenal. Kenapa wanita ini seperti kerabat dekat?
Batin Gun sambil menjulurkan tangannya, lalu mencium
punggung tangan wanita itu sebentar.
“Gun pengen beli mobil yang besarnya seperti rumah Gun.
Burung-Burung Kertas 167
Pergi ke kabupaten bersama Mamak, Dan, Ram, Lan, dan …”,

168 Burung-Burung Kertas


Dan siapa? Kenapa Gun berharap sekali bisa menemukan dia
yang tidak pernah ada. Tiba-tiba saja Mamak merunduk dan
entah se- dang memikirkan apa. Ingatannya sedang melenggang
di laci kenangan sebelah mana.
****
Gun masih bersiul-siul sepanjang jalan, mengais-ais rongsok
dengan penuh semangat. Memilahnya satu persatu sebelum me-
masukkan ke dalam keranjang besar yang sudah diikat kuat di
bagian belakang sepedanya. Sepeda baru yang dibelikan Mamak
dua minggu yang lalu. Ah, Mamak itu sebenarnya baik. Batin Gun
sebelum meluncurkan sepedanya ke tepian jalanan yang lainnya.
“Gun Gun …” teriak seseorang sekitar delapan meter dari
arah Gun. Sepeda Gun berhenti, dengan cepat menoleh ke
sumber
suara.
“Titip ini buat Mamak kamu ya, bilang saja kalo harus di mi-
num tiga kali sehari,” ucapnya singkat, lalu berjalan cepat
mening- galkan Gun yang masih terpeku di situ. Melihat butiran
kapsul besar berwarna-warni yang di bungkus rapi.
***
“Gun sudah dewasa Lan, kau tak kasihan liat awak hampir
mati merindu Mamak, dua puluh tahun membenci Mamak. Kau
bilang Mamak pergi ke kota bertemu Bapak dan tak mau pulang.
Lantas pria berjenggot lebat yang mengaku mantan penghuni pen-
jara itu siapa? Dia Bapak?” ucapku tanpa henti, mengenang dua
puluh tahun yang lalu sebelum aku diadopsi orang.
“Mamak mencintai kau meski sama sekali tak pernah kau la-
buhkan kepedulian sama Mamak. Dia tenang melihat kau
tertawa. Pria berjenggot itu bapak kita meski bukan bapakmu.
Dia mening- galkan kita karena kau… Kau tak sebapak.”
Dan seketika perasaanku yang sudah terlanjur melabuhkan
kerinduan pada Mamak, seperti bergetar meranggas tanpa
tepian, membiarkan percikan tetes bening dari panca indraku
mengalun bagaikan dentangan lagu. Sendu menyelimut seperti
selimut, rasa- nya menyesakkan. Dan mataku tak berkedip dalam
beberapa menit menatap nama Mamak yang tertulis di bebatuan
yang tegak berdiri di hadapanku.
Burung-Burung Kertas 169
Dia malaikat yang sampai saat ini masih tetap
menyanyangiku meski terkadang aku membuatnya kesal naik
pitam. Merangkul bahuku ketika aku ragu dan mendekapku
hangat ketika aku keta- kutan. Dia yang menungguiku ketika dua
minggu aku terkapar di rumah sakit. Melihat garis biru di sekitar
pelupuk matanya, mem- buatku terasa terkutuk dalam geming,
menyadarkanku akan ke- setiaannya yang tak lebih menggelegar
dari semburat halilintar, selayaknya payung yang melindungiku
dari terik, hujan, salju atau reruntuhan bangunan. Dia satu-
satunya wanita yang aku cintai, tak ada yang melebihi. Raut
wajahnya yang selalu membuatku ingin lekas pulang lalu
memeluknya saat di perantauan. Aku ingin membuatnya bangga,
membuatnya tersenyum sepanjang hari hing- ga hanya ajal yang
bisa menghentikan keberadaan namun masih tetap hidup
jiwanya di sini, di dada ini. Dia memberiku nama Guntur agar
kelak aku bisa menyinari setiap orang yang berada dalam
kegelapan; suaranya terdengar gagah seperti perawakan
tubuhku yang bisa membuat perasaan gadis mana pun seketika
terjatuh. Aku masih amat sangat ingat bagaimana pedihnya
ketika harus menjadi dua sosok sekaligus dalam keluarga. Buih-
buih be- ning merembet dari pelupuk mataku sekejap setelah
mataku berka- ca-kaca seperti sutra. Aku tergidik tak
tertahankan, seperti ingin membunuh laki-laki yang
menyakitinya hidup-hidup.

Biodata Penulis
Wahyu Sekar Sari tinggal di Butuh RT 02, RW 06, Pulutan, Wonosari,
Gunungkidul, DIY, 55851. Saat ini Wahyu kuliah di Universitas Negeri
Yogyakarta. Hobinya adalah menulis, membaca, dan mendengarkan musik.
Jika ingin berkorespondensi dengan Wahyu dapat menghubungi: HP
08972598923, email: wahyunjededeg@yahoo.com, FB: Wahyu Sekar Sari,
twitter: @wahyu_njededeg.

170 Burung-Burung Kertas


PEMUDA YANG BERDOA
SEPANJANG MALAM
Achmad Muchtar

Pemuda itu masih saja berdoa di masjid. Sudah tiga jam berse-
lang setelah salat isya berjamaah, tetapi pemuda itu masih saja
duduk bersimpuh menengadahkan tangan. Kepalanya sedikit di-
condongkan ke atas. Pandangannya menerawang jauh ke ukiran
kaligrafi yang terhias pada dinding. Mulutnya komat-kamit me-
nyerukan doa dalam bisik.
Tidak seperti biasanya lampu masjid masih menyala pada jam-
jam orang tidur. Biasanya sehabis isya, semua lampu kecuali
lampu luar masjid selalu dipadamkan. Kali ini pemandangan tak
biasa itu membuat penjaga masjid merasa aneh. Pemuda tadi masih
saja berdoa. Begitu seterusnya hingga menjelang subuh. Penjaga
masjid pun tak kuasa untuk mengusirnya. Ia tidak mempunyai
hak untuk mengganggu seseorang yang datang ke rumah Tuhan
sekalipun ialah yang bertanggungjawab atas lingkungan masjid.
Lalu penjaga masjid itu menceritakan pemandangan aneh itu
kepada imam masjid. Lalu imam masjid menceritakan hal itu
kepada jamaah-jamaahnya yang jumlahnya sedikit. Lama-
kelamaan hampir seluruh jamaah masjid itu tahu, pemuda itu
selalu berdoa lama sekali sepanjang malam. Dari habis isya
sampai subuh. Begitu seterusnya setiap hari.
Semua jamaah merasa penasaran dengan sosok pemuda
yang diceritakan itu. Mereka ingin mengetahui secara langsung
siapa pemuda itu. Maka jamaah yang biasanya tidak datang saat
isya pun mulai datang untuk ikut salat isya berjamaah. Benar saja
setelah semua selesai, yang tersisa hanyalah pemuda itu.
Mereka membicarakannya di serambi masjid hingga kelamaan
menunggu
Burung-Burung Kertas 171
membuat mereka pulang. Tak ada kesempatan bagi mereka
untuk berbicara dengan pemuda itu. Dalam berdoa, pemuda itu
tidak pernah berhenti. Ia terus saja berdoa. Pemuda itu tiba-tiba
meng- hilang begitu subuh usai.
Penjaga masjid, imam, hingga para jamaah salat subuh selalu
kehilangan jejaknya. Tiap sehabis salam kedua, pemuda itu
berge- gas pergi. Tanpa jejak. Sudah ditanya kepada orang-orang
yang terjaga saat subuh tetapi mereka tidak merasa melihat
pemuda itu lewat. Pernah juga seorang jamaah sengaja cepat-cepat
menye- lesaikan salat dengan salam lebih cepat dan segera
menghampiri pemuda itu tetapi selalu saja gagal. Mulai dari
kesandung karpet masjid sampai lupa menaruh sandal dimana.
Ada saja halangan yang membuat pemuda itu lolos dan pergi
entah ke mana sebelum datang lagi waktu isya.
Pemuda itu terus berdoa. Pemuda itu dengan khidmat
berdoa, mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit secara
cepat. Para jamaah yang mendengarnya tidak tahu doa apa yang
ia ucapkan. Pemuda itu terus berkomat-kamit sambil suaranya
berkecap tanpa ada yang tahu doa apa yang ia ucapkan. Cepat
sekali. Bahkan mereka menyodorkan mikrofon ke mulutnya
mereka tetap tidak tahu doa apa yang diucapkan pemuda itu.
Mereka mengira pemu- da itu kafir karena imam masjid itu tidak
tahu doa apa yang di- ucapkan pemuda itu.
Pernah masalah ini dicoba untuk dimusyawarahkan oleh
takmir masjid. Maka mereka menepuk bahu pemuda itu saat
berdoa. Namun pemuda itu tidak bereaksi sedikit pun. Ia tidak
menggubris orang-orang mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Pemuda itu tetap khidmat berdoa. Tetapi anggapan mereka bahwa
pemuda itu kafir seketika buyar setelah mereka mendengar kata
Tuhan dalam doanya.
Pemuda itu terus saja datang dan pergi. Setiap hari dan di
setiap harinya ada beberapa jamaah yang kelelahan karena terlalu
lama menunggu pemuda itu selesai berdoa. Pernah ada jamaah
yang mengajaknya bicara, tetapi pemuda itu malah mengeraskan
ucapan doanya seolah-olah tidak mau diganggu. Mereka
menung- gu sampai ada kesempatan untuk berbicara dengan
pemuda itu
172 Burung-Burung Kertas
tetapi mereka malah tertidur lelap karena kelelahan. Tidak pernah
ada jeda dalam doanya. Ia terus berkomat-kamit tanpa henti sepan-
jang malam. Sudah berhari-hari dan sudah berganti-ganti jamaah
yang mengawasinya tetapi tetap saja pemuda itu khidmat berdoa
tanpa jeda sepanjang malam.
Sudah berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bu-
lan pemuda itu terus saja berdoa sepanjang malam setiap
harinya. Hingga para jamaah prihatin pada pemuda itu. Mereka
merasa kasihan dengan masalah apa yang dihadapi pemuda itu
hingga ia rajin berdoa sepanjang malam setiap harinya. Mereka
bertanya- tanya dalam hati, sebenarnya siapakah pemuda ini dan
apa masalah yang sedang ia hadapi? Apakah masalahnya sangat
besar hingga tak ada yang mampu membuatnya tidur
semalaman?
Mereka hanya bisa menonton pemuda itu berdoa dan terus
berdoa. Kadang-kadang mereka melihat air matanya berlinang.
Mereka yakin pemuda itu sedang dirundung masalah yang
sangat berat sampai tidak ada yang lebih berat daripada
masalahnya. Mereka yakin pemuda itu telah melakukan dosa
yang berakibat ia menyesal seumur hidupnya. Para jamaah pun
akhirnya sepakat untuk tidak mengganggunya lagi. Mereka
hanya bisa menonton pemuda itu berdoa dan terus berdoa.
Lama-kelamaan kabar ini tercium sampai seisi kampung.
Me- reka yang mendengar cerita tentang pemuda itu pun
akhirnya penasaran. Mereka ingin menyaksikan secara langsung
apakah be- nar di dunia ini masih ada pemuda yang mau berdoa
sepanjang malam. Mereka yang dulu tidak pernah lewat di
masjid pun akhir- nya menyempatkan untuk lewat masjid untuk
sekadar menengok. Mereka yang dulu meremehkan dan
menganggap bahwa cerita tentang pemuda yang berdoa
sepanjang malam itu bohongan pun ikut penasaran. Mereka yang
telah membuktikan bahwa memang benar ada pemuda yang
berdoa sepanjang malam pun akhirnya ikut prihatin.
Mereka satu persatu menyaksikan sendiri. Malahan ada pe-
muda-pemudi yang menyesali perbuatannya hingga ikut berdoa
sepanjang malam menemani pemuda itu. Satu persatu yang
penasa- ran dan belum menyaksikan sendiri pun mulai berdatangan
Burung-Burung Kertas 173
ke mas-

174 Burung-Burung Kertas


jid. Mereka mengawasi dan mengamati pemuda yang berdoa
sepanjang malam itu. Mereka yang telah membuktikannya
dengan menontonnya sendiri pun merasa kasihan dan
menceritakannya ke- pada orang lain hingga orang-orang luar
kampung mengetahuinya. Lambat laun mulai berdatangan satu-
dua jamaah baru di masjid. Mereka mula-mula datang karena
penasaran lama-kela- maan menjadi jamaah baru di masjid.
Lalu jamaah-jamaah baru pun semakin hari semakin
bertambah. Mereka juga sama, ingin membuktikan dengan mata
kepalanya sendiri bahwa masih ada pemuda yang mau berdoa
dan menyesali perbuatannya. Para ja- maah yang baru ini
awalnya malu jika ke masjid tak mengenakan pakaian ibadah.
Mereka pun akhirnya memakai pakaian ibadah untuk
mengetahui lebih dekat pemuda yang berdoa sepanjang
malam lalu menjadi jamaah baru. Begitu seterusnya.
Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan ber-
selang, masjid yang dulunya sepi pun kini ramai. Makin banyak
orang yang berdatangan ke masjid. Saking ramainya bahkan di
pinggir-pinggir masjid itu didirikan angkringan. Orang-orang
mu- lai berdatangan, baik dari kampong tempat masjid itu berdiri
mau- pun luar kampung. Sekitaran masjid pun menjelma menjadi
pasar dadakan ketika malam.
Banyak sekali jamaah yang mengawasi pemuda itu hingga
subuh. Tak sedikit dari mereka menginap di masjid. Mereka tidur
di masjid. Bahkan anak sekolah pun belajar di masjid. Mereka
lambat laun mulai menganggap masjid itu menjadi rumah kedua
mereka. Maka setiap hari mereka membersihkan masjid. Karpet-
karpet yang dulunya bau apek dan penuh kotoran cicak, kini
sudah bersih dan wangi. Debu-debu yang dulu menebal di
jendela kaca, kini sudah hilang. Lalu atap yang dulu hampir
roboh, kini telah diperbaiki. Cat dinding yang dulu mengelupas
dan kotor, kini sudah dicat dengan warna baru. Pokoknya masjid
itu menjadi keli- hatan baru. Tak hanya itu, para jamaah pria tak
henti-hentinya berebut ingin mengumandangkan adzan. Para
jamaah juga berebut untuk berada di saf2 paling depan.
2
Saf adalah barisan salat.

Burung-Burung Kertas 175


Hingga tiba suatu saat dimana masjid itu terkenal dengan
jamaahnya yang memenuhi masjid hingga halaman depannya
dan sekitaran masjid menjadi pasar malam dan hutan di depan
masjid itu dipangkas karena saking membludaknya jamaah yang
datang dari berbagai pelosok negeri, pemuda yang berdoa
sepanjang ma- lam tak kunjung datang. Padahal sebelumnya
pemuda itu setiap hari datang. Entah dari mana. Ia selalu muncul
saat salat isya berja- maah. Lalu berdoa sepanjang malam hingga
subuh. Lalu ikut salat subuh kemudian pergi entah ke mana.
Namun saat jamaah mem- bludak dan stasiun televisi berebut
untuk meliputnya, pemuda yang berdoa sepanjang malam itu
tak kunjung datang.
Lalu muncul pertanyaan di benak imam masjid itu, apakah
jamaah-jamaahku kelak akan berkurang satu persatu?
Hingga berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan,
bah- kan bertahun-tahun kemudian pemuda yang berdoa
sepanjang malam itu tak kunjung datang.

Bantul, 1 Ramadan 1434 H

Biodata Penulis
Achmad Muchtar tinggal di Sobayan, Bangunharjo, Sewon, Bantul,
Yogyakarta. Saat ini Achmad kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca buku dan menonton film. Jika
ingin berkorespondensi dengan Ahmad dapat menghubungi: HP
087838567818, email: achmadmuchtar@gmail.com, twitter:
@achmadmuchtar.

176 Burung-Burung Kertas


PENARI JALANAN
Dyah Inase Sobri

Jika kau pernah berkunjung ke kota tua ini maka kau akan
menemukan sesuatu yang tidak pernah kau temui di kota mana
pun di dunia ini. Kota di mana kau bisa menjumpai kenyamanan
serta kemudahan yang ditawarkan oleh modernitas bersatu
padu dengan arkaisme budaya yang masih mengakar kuat di
setiap jengkal tanah yang kau pijak. Kau bisa melihat di setiap
sudut kota; penjaja kaos yang sedang berjuang dalam perang
tawar-me- nawar dengan seorang pelancong yang hendak
membeli barang dagangannya seharga sepersepuluh harga jersey
impor yang ia kenakan. Pengamen bersuara fals yang
melantunkan tembang tentang beratnya perjuangan hidup. Kau
juga bisa menyaksikan pengemis renta yang setiap pagi diantar
oleh wanita berbadan gemuk ke tempat ia biasa meminta belas
kasihan orang yang lalu lalang. Semua potret kehidupan kota ini
dapat kau jumpai dalam naungan gedung-gedung kuno
peninggalan zaman penjajahan.
Jika hari telah beranjak senja, dan sekitar mulai bertambah
ramai, dan wanita gemuk tadi telah datang kembali untuk men-
jemput si pengemis renta, kau bisa menjumpai sisi lain dari kota
ini. Di sana, di sudut lain kota ini, di tengah kerumunan itu
tampak sesosok penari yang berlenggak-lenggok lincah
mengikuti irama gending yang mengalun sembari memamerkan
pinggul yang aduhai. Ia membawakan tari Sekar Ganjen, kalau
tidak salah. Se- sekali ia melempar kerlingan genit pada penikmat
pertunjukannya yang sebagian besar kaum adam. Tariannya yang
begitu centil membuat para pria itu beberapa kali bersorak
sembari menyawer uang seribu rupiah.
Burung-Burung Kertas 177
Di sini, di warung lesehan yang terletak tak jauh dari keru-
munan itu, aku duduk mengawasi si Penari dari balik kacamata
minusku. Sesekali aku menyeruput kopi pahit yang masih
menge- pul untuk mengusir dingin yang menusuk kulit.
Tak mau mengambil risiko tertangkap basah memandangi si
Penari, aku segera mengalihkan perhatian dan segala
konsentrasi pada deretan tulisan dalam buku yang aku pegang
tatkala gending yang mengiringi tariannya berhenti dan orang-
orang mulai me- ninggalkannya.
Sesaat kemudian, kurasakan kehadiran seseorang di
dekatku. Bukan pelayan warung ini tentunya. Bau minyak wangi
murahan yang menyengat memenuhi udara sekitar saat ia
datang dan du- duk tepat di hadapanku. Si Penari rupanya. Ia
kemudian memesan segelas kopi dan satu porsi bebek bakar
pada wanita paruh baya pemilik warung yang sedari tadi
mondar-mandir melayani pe- ngunjung.
“Kapan kau datang?” Ia memecah kebisuan di antara kami.
“Tadi pagi,” jawabku singkat tanpa mengalihkan pandangan
dari halaman buku.
Lalu kami larut dalam kebisuan hingga wanita paruh baya
tadi datang membawa segelas kopi panas dan sepiring bebek go-
reng yang aromanya merangsang liur untuk menetes. Tanpa me-
nunggu aba-aba, si Penari kelaparan itu segera melahap bebek
bakar yang telah tersaji di hadapannya. Melihat caranya makan,
aku menjadi terbuai keasyikan menebak-nebak sudah berapa lama
ia tidak makan enak seperti itu.
Dari balik buku bisa kulihat samar-samar rupa lelaki yang
berdandan menyerupai wanita ini. Layaknya topeng, riasan tebal
menutupi wajahnya yang dulu selalu menampakkan senyum
hangat padaku. Lipstik merah menyala menghiasi bibirnya yang
tipis. Sanggul besar yang ia kenakan seakan terlalu berat di ke-
palanya sehingga ia hanya bisa duduk terbatas, tegak seperti sin-
den. Kebaya yang membalut tubuhnya memperlihatkan betapa
kerasnya hidup yang ia jalani selama ini telah membuatnya
menjadi kurus kering.

178 Burung-Burung Kertas


“Apa kau puas dengan apa yang kau punya?,” tanyaku dengan
suara datar.
“Tentu,” jawabnya singkat namun mantap.
“Apa kau bahagia dengan semua ini?”
“Tentu.”
“Tidak kah kau menginginkan sesuatu yang lebih dari apa
yang kau miliki saat ini?”
“Tentu tidak.”
Seusai percakapan singkat itu, untuk kesekian kalinya kami
larut dalam pikiran masing-masing, larut dalam keheningan
malam.
“Dengarkanlah, aku punya cerita menarik,” kataku.
“Aku bukan pendengar yang baik, tapi akan kucoba mende-
ngarkan,” sahut si Penari yang masih asyik dengan bebek ba-
karnya.
“Dulu, aku memiliki seorang kakak laki-laki. Ia adalah pria
tercerdas yang pernah kukenal.”
“Kau pasti adalah seorang adik yang sangat beruntung.”
“Ya! Aku adalah adik yang paling beruntung di dunia!”
seruku
bangga. “Namanya Lius. Ia dulu adalah kakak yang baik, anak
yang baik, murid yang baik. Sejak kecil aku selalu berharap bisa
menjadi seperti dirinya,” kenangku.
“Aku tidak suka cerita melankolis.”
“Ini bukan cerita melankolis,” sanggahku sambil menghela
napas. “Seperti yang telah kukatakan, ia adalah anak yang cerdas.
Ia selalu mendapat peringkat pertama di sekolahnya. Prestasinya
sudah tak terhitung banyaknya. Bahkan bisa dibilang tidak ada
ruang lagi di rumah kami untuk menampung pialanya lagi.”
“Kau pasti melebih-lebihkan.”
“Tunggulah, aku belum selesai bicara. Bapakku sangat
bangga padanya, melebihi rasa bangganya padaku. Sampai suatu
saat, ia melanjutkan studinya di perguruan tinggi negeri yang
terbaik di negeri ini. Di jurusan kedokteran umum pula! Bisa kau
bayangkan betapa bangganya bapakku saat itu.”
“Lanjutkanlah!”

Burung-Burung Kertas 179


“Tapi, di balik semua kelebihan yang ia miliki, ia hanyalah
manusia biasa. Ia juga memiliki kekurangan, sama seperti manusia
lainnya. Meski pembawaannya tenang, ia sebenarnya adalah
manusia yang berpikiran pendek dan temperamental. Ia juga me-
miliki hobi yang sedikit menyimpang. Ia sangat suka menari.”
“Tunggu. Menari bukanlah hal yang menyimpang.”
“Kau benar! Menari memang bukan hal yang menyimpang.
Tapi jika kau adalah seorang pria dan kau selalu membawakan
tarian yang seharusnya dibawakan oleh wanita maka kau benar-
benar menyimpang.”
“Itu membuktikan bahwa tidak ada manusia yang
sempurna.” “Biarkan aku menyelesaikan ceritaku! Bapakku
sangat tidak suka dengan hobi kakak itu. Berulang kali ia
melarang kakak untuk menari atau pun sekadar pergi ke sanggar
dan menyuruhnya fokus belajar menjadi seorang dokter. Hal itu
menimbulkan sedikit per- cekcokan di antara mereka berdua.
Hingga suatu hari, bapak benar- benar melarang kakak untuk
menari. Kurasa hari itu adalah puncak dari konflik di antara
mereka. Pada hari itu juga terjadi perteng- karan hebat antara
bapak dan kakak. Pertengkaran itu adalah
pertengkaran terhebat yang pernah aku saksikan.”
“Sudah aku katakan, aku tidak suka cerita melankolis.”
“Berhentilah menyela pembicaraanku! Setelah pertengkaran
hebat itu, kakak memutuskan untuk pergi dari rumah. Waktu itu
aku masih duduk di bangku SMA. Aku ingat, saat itu aku sempat
memohon-mohon sambil menangis padanya agar tidak pergi,
tapi ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia pergi meninggalkanku,
me- ninggalkan kami, meninggalkan studinya untuk selamanya.
Aku merasa sangat kesepian sejak kepergiannya itu.”
Lagi-lagi keheningan syahdu menyusup di antara kami ber-
dua. Si Penari mengeluarkan pemantik api dan sekotak sigaret
dari dalam tas lusuhnya.
“Sigaret?” tawarnya.
“Tidak. Aku tidak ingin mati muda,” jawabku sinis.
Ia menyalakan pemantik apinya, menyalakan sebatang
sigaret, dan mulai menghisapnya. Asap putih dari sigaret
membumbung
180 Burung-Burung Kertas
di udara, bercampur dengan bau minyak wangi murahan
mengha- silkan bau yang tidak enak.
“Pulanglah,” pintaku.
“Pulang ke mana? Kota ini adalah rumahku. Di sinilah aku
tinggal.”
“Ini bukan kotamu. Bukan pula rumahmu. Bukan tempat kau
menghabiskan masa kecilmu. Tempatmu bukan di sini tapi di
rumah, bersama aku dan bapak.”
“Kau benar. Kota ini memang bukan rumahku. Tapi kota ini
selalu menyambutku dengan hangat, layaknya keluarga. Di sini,
aku bisa melakukan apa pun yang aku sukai. Aku bisa menjadi
siapa pun yang aku inginkan. Sesuatu yang tidak pernah aku
dapat- kan di rumah.”
“Pulanglah. Kau bisa memulai semuanya dari awal lagi.
Bapak sudah memaafkanmu. Kau boleh memilih memulai lagi
studimu atau bekerja, asal kau mau meninggalkan kehidupan
jalananmu ini. Meninggalkan hobi menyimpangmu ini.”
“Tidak! Aku tidak akan berhenti menari meski aku harus me-
nari dan hidup di jalanan,” si Penari itu tetap kukuh pada pendi-
riannya.
“Bapak sakit, Mas,” bisikku lirih. “Ia ingin sekali bertemu de-
nganmu.”
“Bapak. Amarahnya adalah angkara murka. Perintahnya ada-
lah kunfayakun. Tak pernah mau mengerti apa yang kita
inginkan.”
“Bapak hanya ingin kita menjadi orang sukses, Mas.”
“Aku sudah menjadi orang sukses, Dik.”
“Menjadi penari jalanan dan memakai pakaian wanita
seperti yang kau lakukan saat ini kau sebut sukses?”
“Aku bukan penari jalanan! Aku seniman! Budayawan!”
sergahnya. “Paling tidak aku telah mengikuti kata hatiku. Aku
menikmati apa yang kulakukan. Aku menikmati menjadi diriku
apa adanya. Sekarang jawablah pertanyaanku, Dik. Apakah kau
bahagia?”
“Tentu, Mas.”
“Apakah harta, materi, dan pekerjaan yang kau miliki seka-
rang membuatmu bahagia?”
Burung-Burung Kertas 181
“Tentu.”
“Apakah melepas impianmu menjadi seorang penulis demi
ambisi Bapak membuatmu bahagia? Apa kau menikmati
pekerjaan- mu sekarang sebesar kau menikmati waktu yang kau
luangkan untuk menulis?”
Kali ini aku terdiam tak bisa menanggapi rentetan
pertanyaan yang keluar dari mulut si Penari. Aku termenung.
Tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Kalau kau pikir bahwa kebahagiaan dan kesuksesan sese-
orang hanya diukur dengan seberapa banyak harta yang ia
punyai, seberapa tinggi jabatan atau pekerjaan yang ia miliki
maka kau salah,” katanya.
“Lalu apa arti sebuah kesuksesan bagimu?”
Ia terdiam sejenak. Matanya menerawang jauh menembus ke-
gelapan malam.
“Bagiku, kesuksesan hanya dapat diperoleh dari besarnya
per- juangan serta pengorbanan untuk mewujudkan impian.”
Aku diam membisu.
“Jika Bapak ingin melihatku sukses, aku bisa mewujudkan
keinginannya. Tapi dengan caraku sendiri,” lanjut si Penari
sembari memadamkan puntung rokok dan berlalu, menghilang
ke balik malam.
***
Itulah terakhir kalinya aku bertemu dan bercakap dengan si
Penari yang tak lain adalah kakakku. Singkat memang. Tapi sung-
guh berkesan. Ia meninggalkan beberapa hal yang patut untuk
direnungkan.
Memang, ia tidak kembali pulang. Tidak pernah. Tapi ia me-
nepati janji yang ia katakan sesaat sebelum ia pergi;
mewujudkan keinginan Bapak untuk melihatnya menjadi orang
sukses.
Kini, di tanganku ini terdapat sebuah bukti. Bukti bahwa si
Penari itu telah menjadi orang sukses; sebuah amplop coklat
yang baru saja kuterima pagi ini berisi beberapa tiket pentas seni
in- ternasional di kota Leiden hingga kota Vienna. Dan, di
semua

182 Burung-Burung Kertas


tiket itu terpampang jelas nama salah satu seniman yang akan me-
nunjukkan bakatnya; Lius, kakakku, si Penari.

Biodata Penulis
Dyah Inase Sobri tinggal di Bejen, RT 03, Bantul, Yogyakarta 55711. Saat ini
Dyah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hobinya adalah
menulis, Public Speaking. Moto hidup “Study Hard, Play Hard”. Jika ingin
berkorespondensi dengan Dyah dapat menghubungi: HP 085743773660,
email: dynaz.inase@yahoo.com, twitter: @dyah inase, FB: DYAH INASE
SOBRI.

Burung-Burung Kertas 183


PETA LUKA BERBINGKAI
Eni Puji Utami

Kemuliaan bagimu adalah impian kekal yang menyerang setiap


lorong kesengsaraan. Pun kesengsaraan bagimu adalah hal yang
kekal tanpa diimpikan meski kemuliaan sedang berkumandang.
***
Jalan terlampau panjang. Tak pernah kau dapat membiarkan
matamu meraih ujung dari setiap tikungan. Pandanganmu nanar
melihat setiap tikungan jalan. Penuh kisah, sedikit kasih,
menyim- pan luka, pun banyak ilusi yang menelanjangi imajimu.
Sering kau berhenti di sebuah tikungan. Sebentar ingin
mengikutinya. Namun kadang kau berpikir lain. Kau harus tetap
mengikuti jalan dan hanya akan singgah pada tikungan terakhir,
sebuah tikungan menuju ujung yang akan memberimu
kemuliaan kekal.
Di bawah gemerlap sinar kau berlenggang. Jemari lentikmu
bisa dibilang sangat cantik untuk memukau setiap wanita yang
datang. Iringan gendhing jawa mampu membuat setiap gerak tu-
buhmu memiliki makna kedamaian. Kau mampu membuat para
wanita ikut berdebar. Entah berdebar karena senang atau
trenyuh dengan pertunjukkan yang tengah kau bawakan.
Pun kau, Sri, sebagai penari senior di panggung ini, semakin
lincah diiringi laras slendro. Tubuhmu semakin gemulai dengan
laras pelog.Kau menguasai keduanya. Bahkan kau sering memba-
wakan dua karakter tokoh dalam tubuh yang hanya satu itu. Kau
berperan ganda sebagai tokoh jahat juga baik. Sungguh, kau
nam- pak seperti penari sempurna.
Semua nampak indah di atas panggung. Dekorasi dan
penam- pilan yang disajikan akan semakin menambah kesan
184 Burung-Burung Kertas
sempurna.

Burung-Burung Kertas 185


Tapi, sebenarnya kau jauh dari kesempurnaan itu. Menjadi seorang
penari bukan lahir dari nalurimu. Kau hanya ingin bercerita
kepada orang-orang, bahwa hidup layaknya dua topeng yang kau
pakai saat menari. Manusia tak luput dari bayak sifat yang
digariskan oleh Tuhan. Pun kau hanya dapat berucap lewat
setiap gerakan yang kau bawakan.Kau bukanlah orang yang
pandai bercakap. Ketidakmampuan mendengar membuatmu
juga tak mampu ber- main lisan. Entahlah, tak ada yang tahu
bagaimana kau dapat menghayati setiap irama dari gendhing
pengiring tarimu.
Kau sadar bahwa hidupmu juga penuh topeng. Kau hampir
menipu semua wanita yang datang untuk menonton aksimu, juga
dengan sesama teman penari. Ya, meski kau tak ada niat untuk
menipu mereka. Hidupmu hampir seperti topeng, Sri. Kau
nampak seperti wanita. Kulitmu halus, sikapmu juga
menunjukkan seorang wanita jawa yang andhap asor dan penuh
unggah-ungguh. Kau cantik benar ketika bersolek. Keanggunanmu
saat menari selalu memu- kau wanita yang menonton.
Sri, tahukah kau bahwa panggung yang menjadi ladang
peng- hasilanmu itu adalah panggung milik wanita? Mereka
datang bukan sekadar untuk melihat pertunjukkan tari, tapi ingin
merengkuh lebih banyak lagi dari sang penari. Pun kau adalah
salah satu ha- rapan mereka.
Namun kau pernah sekali tempo berbicara dengan seorang
kawan. Kau menjelaskan dengan kata isyarat dan lisan yang ter-
batas bahwa wanita adalah seni. Kelembutannya tersirat dari setiap
gerakan tari yang memukau penontonnya. Menjadi wanita bukan
sebatas pemuas nafsu lelaki, tetapi merengkuh kesederhanann dari
yang tersimpan di dalam jiwa. Entahlah, apakah kawan yang kau
ajak bicara paham dengan ucapmu? Dia hanya tersenyum dan se-
sekali mengernyitkan dahi. Ya, bercakap denganmu memang
butuh waktu lama supaya bisa paham.
Atas prestasimu kau semakin disegani. Mereka tidak
memper- masalahkan identitasmu. Setiap minggu kau disambut
oleh riuh ramai penonton di depan panggung. Penampilanmu
semakin men- jadi. Aura sumringah semakin membuat penonton
terpana.
186 Burung-Burung Kertas
Pernah pula kau bercakap dengan seorang kawan yang lain.
Keindahan bagimu hanya ada dalam tarian. Sungguh kau tak
mera- sakan indahnya hidup. Lepas dari panggung pertunjukkan
itu, kau tak tahu siapa dirimu dan kepada siapa kau harus
mengadu. Mungkin, pasukan semut yang berbaris di sudut-sudut
tembok itu lebih beruntung. Mereka tidak mempersoalkan laki-
laki dan perempuan. Kau juga sempat berpikir kalau pasukan
semut itu tidak pernah pusing memikirkan legalitas yang
digerakkan oleh Sang ratu. Mereka bebas untuk melakukan
apapun setelah semua tanggungjawab dikerjakan dengan tuntas.
Tidak seperti kau yang kini masih hidup dalam sekat.
Senyummu menyimpan duka, tapi duka tak pernah kau
umbar. Biarlah setiap tapak kakimu yang akan melihat peta luka
itu. Kau berlaga seakan-akan menjadi wanita dan penari di atas
panggung. Kau juga nampak layaknya wanita muslim saat
menuntut hak mu sebagai salah satu warga negara dalam
mengenyam pendidikan. Sekilas, kau nampak seperti penghianat
Tuhanmu.
“Ah... demi mendapatkan hak untuk belajar dan mengenyam
pendidikan, mereka merampas hak kebebasan menganut keper-
cayaan” sebentar-sebentar kau berucap demikian di balik pang-
gung, ketika kau ingat kejadian yang kau alami sehari-hari, lepas
dari panggung pertunjukkan.
Kau memang jarang berinteraksi dengan sesama penari
atau- pun penonton usai pertunjukan. Percuma, karena mereka
juga tak paham dengan cakapmu. Kau lebih suka bercakap
sendiri. Waktu- mu kau habiskan untuk merenung di salah satu
sudut ruang ganti. Di depan kaca, sambil menghapus bekas-
bekas pentas yang mem- percantik wajahmu itu, kau melihat
dirimu dengan saksama. Kau perhatikan benar setiap detail
bagian wajah yang kau miliki.
“Tuhan, aku tidak cantik, tapi aku suka dengan pemberian-
Mu ini... Tuhan, berkahilah setiap jalan yang akan hamba lalui
hari ini dan nanti.”
Senyummu merekah di depan kaca, tapi tak bertahan lama.
Kau selalu ingat waktu jilbab dan jubah harus menyambangimu,
setiap pagi hingga sore.
Burung-Burung Kertas 187
“Tapi Tuhan, sungguh hamba mohon kearifan-Mu untuk
memaafkan hamba. Mungkin hanya ini jalan satu-satunya supaya
hamba dapat sekolah, mencari dan mengembangkan ilmu yang
akan bermanfaat untuk sesama kelak. Tuhan, imanku padamu,
bukan pada jilbab dan jubah itu.”
***
Kau pun jadi teringat masa-masa mencari suaka sekolah. Tak
ada satu pun sekolah yang mau menerimamu. Itu semua karena
keterbatasanmu. Beberapa jurusan pada sekolah negeri enggan
menerimamu karena orientasi gender yang dianggap tidak legal.
Pun beberapa sekolah lain menganggap keterbatasan mendengar
dan bercakapmu akan menghambat pembelajaran. Hingga ada
satu sekolah yang menerimamu. Itu pun karena sebuah kelalaian.
Me- reka sadar akan difabilitasmu tapi tidak melihat orientasi
gender yang kau miliki. Mereka baru sadar ketika bertatapan
langsung dalam sebuah ajang orientasi mahasiswa baru.
Kau sempat gembira. Sebentar lagi kau akan duduk di depan
meja dosen dan mendengarnya bertuah banyak. Namun tidak
semudah itu. Kau harus menaati semua aturan mainnya. Kau
harus sadar bahwa kau akan bersekolah di sebuah universitas
Islam. Lantas kau harus berjilbab dan mempelajari tuntunannya?
Ya, Sri! Kau harus lakukan itu.
Kau tak pernah mengeluh, karena tak bisa berbagi keluh.
Kau menjalani semua itu. enyahlah, Sri. Apakah kau bahagia atau
tidak. Kau menganggap mempelajari tuntunan mereka sebagai
ilmu baru yang tidak harus diamalkan. Kau tetap tegak berdiri di
atas ke- percayaan yang kau imani sebelumnya. Ini hanya media,
dan ini satu-satunya jalan supaya kamu dapat belajar lebih tinggi
lagi. kau tak bisa menyalahkan siapapun. Kau tak punya kuasa
dan kapasitas. Kau hanya makhluk kecil ciptaan Tuhan yang harus
patuh pada kuasa negerimu.
***
Kau masih di depan kaca pada salah satu sudut ruang rias.
Wajahmu mulai bersih meski gincu dan bedak masih sedikit tersisa.
Gerimis turun tipis di luar sana. Titik-titik air tak berhenti menerpa
kaca jendela. Matamu pedih, kau mulai menangis. Di luar begitu

188 Burung-Burung Kertas


gelap. Kau tak melihat ujung. Kau tak melihat lagi tikungan.
Lampu penerang jalan hanya nampak samar.
“Tuhan selalu menerangi hati kita dengan rasa. Sama seperti
kita meyakininya. Dia tidak mempermasalahkan jilbab, salib,
atau pergi ke pura. Tuhan hanya melihat kebersihan hati umat-
Nya,” gumammu lirih
Tiba-tiba kau terhenyak oleh seorang wanita yang menepuk
pundakmu. Wanita yang lebih muda darimu itu adalah kawan
penari yang baru saja pentas dan bersiap pulang.
“Kau tak pulang, Sri?” dia berucap pelan sambil
memeragakan isyarat tangan agar kau mengerti.
“Di luar masih hujan. Kau pulang saja duluan. Hati-hati, Ya!”
kau bercakap pelan dengan bahasa isyarat dan selalu melempar
senyum.
Kau memiliki banyak teman di panggung pertunjukkan ini.
Sesama penari, penonton, penata rias, bahkan kaum-kaum yang
dianggap tidak normal oleh sebagian besar masyarakat di negeri
ini pun selalu ramah dan berkawan denganmu. Kau sangat me-
rasakan perbedaan yang sangat kentara antara di sekolah
dengan di panggung. Kau juga heran dengan orang-orang di
sekolah yang konon adalah orang terdidik dan terpelajar. Kau tak
ingin dihar- gai. Kau juga tak ingin disanjung-sanjung bak
menteri yang konon sudah melakukan banyak hal untuk negeri.
Kau hanya ingin ber- kawan dengan mereka.
Namun kau tak memaksakan itu. Kau sadar benar siapa diri-
mu. Mungkin hanya orang-orang seperti inilah yang bisa
berkawan denganmu. Dan di tempat inilah kau mendapat bingkai
dari semua peta luka yang masih kau tapaki hingga ujung sudah
terlihat dan kemuliaan kekal menjemput.
Sri, berjalanlah sampai kau menemukan ujung yang benar-
benar ujung. Kukuhkanlah langkahmu meski duri menambah
luka di sela-sela jemari kakimu. Lorong ini milikmu. Tapak
kakimu akan merekam semua peta luka kesengsaraan ini. Pun
kemuliaan akan menjadi bingkai yang kekal, meski saat ini kau
hanya bisa menjamahnya dalam angan.

Burung-Burung Kertas 189


Panggung pertunjukkan ini adalah panggung perjalananmu.
Luka, duka, dan suka kau ceritakan melalui setiap gerakan tari.
Meski bibir tak mampu berucap, namun hati dan pikiranmu bisa
bercerita. Meski telinga tak dapat mendengar, tapi senyumu
adalah pertanda bahwa kau dapat merasakan dan mengerti. Pun
meski kau bukan perempuan, tapi kau memiliki kelembutan hati
yang tidak dimiliki oleh perempuan lainnya.
***
Kemuliaan bagimu adalah impian kekal yang menyerang
setiap lorong kesengsaraan. Pun kesengsaraan bagimu adalah hal
yang kekal tanpa diimpikan meski kemuliaan sedang
berkumandang.
***
Belajar dari semangat hidup seorang transgender tuna rungu, Chaca.
Tembi, 2013

Biodata Penulis
Eni Puji Utami tinggal di Kepuh RT 05, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul.
Saat ini Eni kuliah di Ilmu Komunikasi UIN, Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Hobinya adalah membaca karya sastra dan buku-buku kesastraan dan
kebudayaan, membuat film dokumenter. Jika ingin berkorespondensi
dengan Eni dapat menghubungi: HP 087839420097, email: enisimatupang
15@gmail.com, twitter: @Enisimatupang.

190 Burung-Burung Kertas


PINDAHNYA ORION
Ambar Fidianingsih

Orion, canis major dan canis minor adalah konstelasi yang akan
selalu bersama di langit. Sebuah kesalahan apabila mereka terpi-
sah. Sebuah kesalahan juga jika aku meninggalkan tempat ini,
mungkin.
***
Angin berhembus pelan menerbangkan pasir-pasir lembut di
pinggir pantai. Suara pasir-pasir putih yang saling bergesekan itu
berdesir. Sepasang sepatu berwarna hijau menginjakkan kakiknya
dengan dalam dan membuat puluhan butir pasir tertahan, tak
mam- pu terbang.
Pemakai sepatu hijau meringkuk rendah dan meletakkan se-
ekor kura-kura kecil di atas pasir. Ia tersenyum. Kura-kura itu
berjalan pelan dengan bingung membuat pemakai sepatu hijau me-
nujukkan ekspresi tak tega.
“Hei Sirius! Aku akan membawa Procyon bersamaku,” seru
gadis pemakai sepatu hijau itu dengan pelan pada kura-kura di
atas pasir. Gadis itu membuka genggaman tangan lainnya yang
berisi seekor kura-kura lain.
“Nah, Procyon. Sampaikan salam perpisahanmu pada Sirius,”
ujar gadis itu sembari mendekatkan kura-kura di tangannya
pada kura-kura yang berada di pasir. Seakan tak bisa menerima
perpi- sahan yang mendadak, kedua kura-kura itu
menyembunyikan ke- pala mereka ke dalam tempurung masing-
masing.
“Elayna! Bergegaslah!” seru seseorang dari kejauhan. Gadis
bersepatu hijau menoleh ke belakang dengan terkejut.

Burung-Burung Kertas 191


“Ah sayang sekali. Salam perpisahan telah berakhir. Hati-hati
Sirius! Semua akan baik-baik saja. Sampai bertemu lagi!” bisik
Elay, si gadis bersepatu hijau lalu bergegas menuju sebuah kapal
pesiar yang akan membawanya menuju pulau di seberang.
Sirius menyembulkan kepalanya dengan sedih. Ia
menggerak- kan kepalaya ke kanan-kiri seolah tak rela benda
raksasa di depan- nya akan membawa pergi Procyon dan juga ...
orion. Tiba-tiba sebuah bayangan teduh menyelimuti Sirius.
***
Orion, sang pemburu yang gagah berpose di langit malam. Ia
mengamati sebuah kapal yang tengah berlayar di laut malam.
Dua ekor anjing dengan setia mengikutinya di belakang. Seekor
anjing besar bernama canis major dan seekor anjing kecil
bernama canis minor. Mereka mengawasi majikan mereka dengan
baik. Sementara itu, bayang-bayang seekor kelinci bernama Lepus
dan unicorn ber- nama Monoceros mengikuti Orion secara diam-
diam.
“Tapi aku menyukai rumah yang lama. Aku menyukai
sekolah yang lama. Aku tidak suka dengan sekolah baru. Semua
murid baru pasti akan di singkirkan,” seru Elayna keras kepada
ibunya. Ibu menatap Elayna dengan tatapan siapa-yang-berkata-
begitu.
“Kau bahkan belum melihat sekolahmu. Kau tak boleh
begitu. Sekeras apapun kau menolak pindah, kau sudah ada di
tengah jalan. Jika kau memang ingin tinggal dan sekolah di
tempat lama, turunlah dan berenanglah ke rumah yang lama,”
ujar ibu dengan sedikit emosi membuat Elayna tertunduk. Ibu
bergegas duduk di tempat duduk penumpang meninggalkan
Elayna yang beraura biru.
Bunyi air yang berhempasan dengan badan kapal membuat
Elayna tergoda untuk melihatnya. Ia melongok ke bawah. Buih-
buih air putih terlihat menggoda untuk di sentuh. Seketika ia ter-
ingat ucapan ibu.
“Jika kau memang ingin tinggal dan sekolah di tempat lama,
turunlah dan berenanglah ke rumah yang lama...”
Berenang. Elayna bisa saja berenang saat ini, jika ia mau. Akan
tetapi ia tak mau. Rumah Elayna yang lama sudah sangat jauh
192 Burung-Burung Kertas
sekarang. Berenang saja tidaklah cukup. Ia juga harus menyelam.

Burung-Burung Kertas 193


Menyelam berarti menahan napas dalam air. Sebenarnya Elayna
bisa saja saja melakukannya, jika ia mau. Akan tetapi ia tak mau
dengan alasan kraken. Alasan itu adalah kraken.
Kraken. Menurut Elayna, cumi-cumi raksasa yang mendiami
lautan di wilayah Irlandia dan Norwegia itu mungkin saja merasa
bosan dan akhirnya berjalan-jalan sampai ke Indonesia. Mungkin
saja kraken lewat di bawah kapal ini dan mengira bahwa kapal
ini merupakan paus penyembur yang menjadi musuhnya. Lalu
kraken akan menyembul dan membuat riak air yang
menenggelamkan kapal ini. Akan sangat bahaya apabila Elayna
telah menyelam lalu kraken datang menyerang kapal dimana ibu
Elayna tengah tidur terlelap.
“Haaaah,” Elayna menguap. Semua pikiran yang ada di kepa-
lanya membuat Elayna kehilangan banyak energi. Elayna me-
ngerjapkan matanya berulang kali karena terpaan angin. Angin
malam yang bertiup dengan lembut seakan tengah membisikkan
kata jahat...jahat...jahat...
***
Jahat. Sekolah baru ini pasti jahat. Murid-murid jahat, guru-
guru jahat, bahkan bangunannya pun terlihat jahat. Pintu
gerbang lebar yang terbuat dari besi seakan berkamuflase dari
bentuk asli- nya yang berupa gigi-gigi dan taring penghisap
darah. Kacau. Sangat kacau.
Atap sekolah yang berwarna merah bata berjejer di atas ba-
ngunan menutupi semua dari sinar matahari, hujan, dan
mungkin dari meteor jatuh. Sebagian dinding sekolah seolah
sedang melakukan mimikri seperti yang dilakukan oleh bunglon.
Nuansa polkadot warna pastel dengan indah tertempel pada
dinding, akan tetapi polkadot-polkadot ini akan sirna dan
berubah menjadi lubang-lubang mengerikan yang membuat
kulit bergidik.
Guru-guru cantik dengan mata seindah berlian akan
berkuasa. Rambutnya yang panjang terurai berubah menjadi
ular-ular men- desis saat pelajaran berlangsung di dalam kelas.
Medusa. Guru- guru itu adalah medusa yang datang dari buku
dongeng Yunani. Sekali kau tak menurut dan membuatnya tak
senang, kau akan
194 Burung-Burung Kertas
mendapat sebuah tatapan maut darinya dan membeku menjadi
batu.
Teman-teman di sekolah baru, jumlahnya hampir sama dengan
jumlah nyamuk di saat musim hujan. Nyamuk. Penghisap darah.
Teman-teman baru akan menghisap darah.
Pelajaran-pelajaran di sekolah baru juga tak kalah mengerikan.
Layaknya ular yang melesat di pasir dengan cepat, ia tak akan
mudah di tangkap. Matematika, biologi, fisika, kimia, dan semua-
nya. Pelajaran-pelajaran yang ia kandung seperti hidra, drakon
atau ular yang memiliki sembilan kepala. Jika satu kepala
dipotong, maka satu atau dua kepala akan tumbuh kembali. Saat
pelajaran sulit telah dimengerti, maka pelajaran sulit lainnya
akan muncul. Betapa jahatnya.
***
“Adik kecil, bangunlah. Kau tertidur di tepi kapal. Itu menge-
rikan,” sebuah suara membuat Elayna terbangun. Elayna bangkit
dari duduknya lalu mengikuti tuntunan seorang pemuda untuk
duduk di bangku penumpang.
“Jangan coba-coba berada di sana lagi jika kau mengantuk,”
seru pemuda itu. Elayna mengangguk meskipun ia tak begitu
sadar dengan apa yang pemuda itu katakan. Elayna melongok ke
arah ibunya yang tertidur di bangku lain.
“Ah, ibumu?” tebak pemuda itu setelah mengikuti arah ta-
tapan Elayna. Elayna kembali mengangguk untuk mengiyakan te-
bakan pemuda yang mungkin berusia 20 tahunan itu.
“Kalau begitu pergilah ke tempat ibumu,” perintah pemuda
tersebut. Elayna menggelengkan kepalanya.
“Aku sedang perang dingin dengan ibu,” ujar Elayna dengan
nada datar membuat pemuda tadi mengernyitkan dahinya.
Semenit kemudian, seakan berada di kursi pendetektor
kebohongan, Elay- na menceritakan semua sampah yang
mengganjal pada otaknya. “Semester baru ini aku pindah sekolah
karena ayah pindah tugas. Aku tak suka. Aku suka sekolah
yang lama. Sekolah yang baru sangat mengerikan,” ujar Elayna
dengan nada kesal. Ia bahkan
mengepalkan tangannya seakan ingin meninju angin.

Burung-Burung Kertas 195


“Mengerikan seperti apa?” tanya pemuda tadi. Elayna
terdiam. Ia tak mungkin bercerita soal gedung jahat, guru
medusa, lalu murid-murid penghisap darah kepada pemuda ini.
Pemuda ini mungkin akan tertawa terbahak-bahak mendengar
cerita yang sebenarnya akan Elayna ceritakan pada ibu untuk
mencegah me- reka pindah. Kata ayah, ibu suka sekali dongeng
saat kecil, mung- kin saja ibu akan percaya, begitu pikir Elayna
sebelumnya. Namun, Elayna tak sempat menceritakan cerita
karangannya ini pada ibunya.
“Aku sering berpindah-pindah sekolah dulu. Dan itu menye-
nangkan,” ujar pemuda itu tiba-tiba membuat Elayna mendongak
penasaran.
“Apanya yang menyenangkan? Anak baru pasti sering di-
bully,” timpal Elayna.
“Siapa yang bilang?” tanya pemuda itu.
“Aaa...teman sebangku,” jawab Elayna ragu. Pemuda itu
menahan tawanya.
“Teman sebangku ya? Sebenarnya itu tak sepenuhnya salah
sih. Memang ada kemungkinan siswa baru itu di-bully, tapi
semua tergantung siswa baru itu sendiri,” jelas pemuda tadi.
“Tergantung?” Elayna berusaha meminta penjelasan.
“I...ya...” pemuda itu sedikit ragu tatkala melihat ekspresi
Elayna yang seperti hendak menepuk kawanan nyamuk.
“Apa maksudnya?” tanya Elayna.
“Begini. Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja. Saat kau
berpindah-pindah sekolah di daerah yang berbeda, kau akan
mendapat lebih banyak teman, lebih banyak pengetahuan, dan
ya... banyak pengalaman dibandingkan orang yang jarang... ber-
pindah tempat,” jelas pemuda itu.
“Berpindah tempat? Tapi semua orang pasti berpindah tempat.
Aku baru saja berpindah dari situ,” ujar Elayna sembari
menunjuk tepi kapal.
“Ya seperti itu perumpamaannya. Saat kau berada di tepi
kapal itu, bagaimana rasanya?” tanya pemuda itu bersemangat.
“Dingin, gelap,” jawab Elayna.
“Nah, lalu di sini?” tanya pemuda itu lagi.

196 Burung-Burung Kertas


“Sama saja,” jawab Elayna datar.
“Iya... tetapi pasti ada bedanya, meskipun sedikit. Di sana
dingin, di sini juga dingin. Ah, di sana gelap, tapi di sini lebih
terang. Seperti itu. Kau yang baru saja tidur di sana dengan
ibumu yang hanya duduk di bangku pengetahuan tentang kapal
ini akan berbeda. Kau tahu kalau tidur di tepi kapal rasanya
dingin, se- dangkan ibumu tidak tahu bagaimana rasanya,” jelas
pemuda itu dengan panjang lebar.
“Menurutku, meskipun tak tidur di situ, semua orang tahu
kalau di situ dingin,” ujar Elayna lagi dengan datar.
“Tapi kau merasakannya, dan mereka tidak. Itu
kelebihanmu. Aku beri contoh lagi. Di daerah baru itu, kau
mempelajari bahasa daerah baru. Meskipun orang-orang di luar
bisa belajar bahasa itu juga, tetapi kau mempelajarinya secara
langsung. Itu kele- bihannya. Orang yang sering berpindah-
pindah tempat itu punya banyak pengalaman,” jelas pemuda itu.
Elayna sedang termenung memikirkan penjelasan pemuda
tadi sampai tas peliharaannya bergerak. Elayna segera teringat
akan Procyon, kura-kura miliknya. Sedetik kemudian ia teringat
pada Sirius yang ia tinggalkan di pantai. Rasa penyesalan
menjalar ke tubuh Elay seperti aliran listrik.
“Orion?” pemuda itu membaca tulisan pada tas milik Elayna.
“Oh, itu aku. Aku yang membuat nama panggilan itu sendiri,”
ujar Elayna pelan. Di benaknya masih terbayang-banyang
cangkang
milik Sirius yang mungil.
“Namamu? Itu nama rasi bintang, seorang pemburu,”
“Memang.” ujar Elayna datar. Sekujur tubuhnya bergetar me-
rasa bersalah telah meninggalkan Sirius sendirian dan
bertengkar bersama ibu.
“Oh kura-kura?” seru pemuda itu ketika Procyon menyembul
dari tas Elayna.
“Aku meninggalkan saudaranya di pantai,” ujar Elayna sedih.
Pemuda itu mengerutkan dahinya bingung. Saudara kura-kura?
Pemuda itu kemudian pergi entah ke mana lalu kembali lagi de-
ngan sebuah tempurung hijau tua di tangannya.

Burung-Burung Kertas 197


“Maksudmu ini?” tanya pemuda itu menunjukkan sesuatu
yang tampak seperti batu hijau. Elayna membelalakkan matanya
senang.
“Sirius! Serius ini Sirius! Terimakasih,” seru Elayna senang.
Elayna mengambil kura-kura di tangan pemuda itu dengan
senang. “Aku menemukannya di dekat kapal sebelum berangkat.
Ta- dinya aku berniat menjualnya, tapi karena itu milikmu, aku
akan mengembalikannya,” ujar pemuda itu. Elayna
menganggukkan
kepalanya mengerti.
“Kau tak boleh menjualnya. Sirius, Procyon, dan Orion tidak
boleh berpisah,” ujar Elayna sembari memasukkan Sirius ke dalam
tas peliharaannya.
“Kau bahkan menamai kura-kura dengan nama bintang.
Sirius dan Procyon itu adalah anjing, bukan kura-kura,”
komentar pe- muda itu. Elayna hanya tersenyum.
Di bawah langit malam yang berhiaskan titik-titik berkelip,
Elayna tertidur. Ia memikirkan sesuatu. Setelah ini saat ibunya
terbangun ia akan meminta maaf. Sekolah baru pasti tidaklah
buruk. Rumah baru pasti tidak buruk. Semua yang menurutnya
kacau pasti akan baik-baik saja. Dan yang paling penting, Orion,
Sirius, dan Procyon telah berkumpul lagi seperti orion, canis major,
dan canis minor yang kini menghiasi langit di atas Elayna.
***
Elayna melangkahkan kakinya ke dalam kelas baru dengan
jantung yang berdegup. Guru-guru medusa, teman-teman nya-
muk, pelajaran drakon, dinding-dinding penyebab tryopobhia,
apakah mereka ada di sini?
“Perkenalkan. Aku Elayna. Aku adalah siswa baru. Salam ke-
nal,” ujar Elayna di depan kelas. Elayna melirik ke samping, guru.
Tak ada ular-ular di rambutnya, matanya pun tak membuatnya
membeku, matanya menunjukkan keramahan.
“Yes! Akhirnya aku punya teman sebangku!” seru seorang
siswi yang duduk sendirian. Elayna menoleh dan tersenyum. Dia
bukan nyamuk yang menghisap darah.

198 Burung-Burung Kertas


“Namaku Putri. Selamat datang di sekolah kita. Selamat
da- tang di kelas IX E. Selamat datang di sekolah kita,” bisik
teman sebangku Elayna ketika Elayna telah duduk dengan
nyaman. Elayna tersenyum dan mengangguk senang.
“Terimakasih, aku Elayna. Panggil saja Orion,” balas Elayna.
Putri mengernyitkan dahinya, tetapi tersenyum dan mengacung-
kan ibu jarinya.
***
Di sebuah akuarium, dua kura-kura terdiam berdampingan.
Sirius, Procyon, si pendamping pemburu itu telah kembali pada
posisi yang benar, mereka bersama-sama. Elayna mengetuk
akua- rium itu pelan, lalu Sirius dan Procyon menyembulkan
kepalanya pelan seolah bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Hey, Sirius! Procyon! Jika aku berkata semua akan baik-baik
saja, maka semua akan baik-baik saja. Jika aku berkata semuanya
kacau, maka anggap saja aku sedang mengigau,” ujar Elayna sem-
bari menempelkan wajahnya ke kaca.

Biodata Penulis
Ambar Fidianingsih tinggal di Sungapan, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogya-
karta, 55752. Saat ini Ambar kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Hobinya adalah membaca
karya fiksi dan membuat desain cover. Jika ingin berkorespondensi dengan
Ambar dapat menghubungi: HP 082137334739, email: ambar.fidia
@yahoo.com, FB: ambar.fidia, twitter: @Archie Fidia.

Burung-Burung Kertas 199


LASKAR DILEM
Fajar Wijanarko

Geliat mentari tak mampu mengusik rona sang candra.


Derap deru angin menggelepar menyambar daun kelapa. Kala
malam semakin merasuk dan menusuk, dan pedukuhan masih
membisu. Malam bukanlah rantai, dingin angin pun bukanlah
gembok yang keduanya mengunci mata untuk tetap terlelap.
Keduanya adalah awal dari peluh yang menjadi candu, yang
menjejaki mimpi satu demi satu.
*****
Mentari pagi belum sempat menampakkan sinarnya, ketika
dapur rumahku yang sempit dan penuh sesak telah terdengar
kegaduhan. Seperti biasa, ibuku bangun di pangkal pagi, atau
bah- kan tengah malam untuk mempersiapkan dagangan yang
akan dititipkannya di pasar. Dagangan kue basah yang tidak
mewah, tetapi untuk membuatnya membutuhkan waktu lama.
Tak jarang semalaman ibuku tidak tidur sama sekali. Namun apa
boleh buat, hanya itu yang bisa ibuku lakukan untuk membantu
bapakku men- cari nafkah. Apalagi bapakku hanya seorang buruh
kasar yang bekerjanya tidak tetap. Terkadang, sebulan bapak
tidak bekerja sama sekali, hanya di rumah dan mengurus kebun
singkong ke- luarga. Kebun singkong yang tidak cukup lebar,
tetapi singkong- nya cukup untuk makan kami sekeluarga. Maka
tidaklah jarang singkong menjadi santapan kami untuk
menggantikan mewahnya nasi dikala ekonomi benar-benar
krisis.
Inilah kisahku, kisah bocah singkong yang hidup di Dusun
Karangpoh. Terdengar asing dan sadikit menggelitik, tetapi me-
mang itulah nama dusun tempat aku tinggal. Dusun yang
200 Burung-Burung Kertas
menjadi

Burung-Burung Kertas 201


anak dari Desa Semin. Desa yang letaknya paling utara dari Ka-
bupaten Gunungkidul. Dahulu air adalah barang langka bagi
kami, tetapi kini air telah melimpah. Meskipun gubuk reyot dari
anyam- an bambu masih tetap menghiasi pedukuhan. Gubuk
yang dari celah-celahnya sinar matahari dapat masuk mengintip.
Bahkan jalan terjal yang setengah gelap akibat lampu neon yang
byar-pet pun masih kerap dijumpai di sini. Beginilah bingkai dari
pedukuhan yang sederhana namun tetap nyaman dengan
suasana seadanya. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara
pasangan Sumi- nem dan Paryanto. Dua nama yang aromanya
telah mencerminkan aroma orang desa, tetapi itulah nama ibu
dan bapakku. Sedangkan aku bernama Haryanto dan kakakku
bernama Priyono. Kami ber- dua masih duduk di bangku
sekolah dasar, aku kelas tiga dan kakakku kelas enam. Namun,
entah apa yang menjadi sebabnya, kini kakakku tak mau
melanjutkan sekolahnya lagi. Bapak sudah membujuk agar mas
Pri mau sekolah lagi, tetapi bujukan bapak berbuah mentah.
Setiap pagi kegiatannya hanya menyapu halaman dari daun-daun
kuning yang mati dan berterbangan. Tak jarang garis-garis
goresan sapu lidinya menimbulkan debu dan menyi-
sakannya di setiap lebar daun singkong.
*****
“Har, tangi mamak diewangi” perintah mamak memotong tidur
lelapku ketika subuh saja belum sempat terdengar.
“Aku wis tangi mak, tak raup sik” jawabku sekenanya dengan
mata yang masih erat menempel dan kaki yang berat dipaksa
berjalan menuju arah dapur.
Inilah rutinitasku di pangkal pagi, membantu mamak (sebutan
untuk ibuku) yang telah lebih dahulu bangun. Bahkan rembulan
pun masih jelas bersinar, dan tak jarang pula adzan subuh belum
berkumandang. Akan tetapi beginilah keadaannya, setiap hari
mamak tidak kenal lelah mengais rejeki untuk mencukupi
kebutuhan keluarga. Rutinitasnya dimulai sejak sore dengan
mempersiapkan potongan daun pisang kluthuk dan olahan nasi
yang dikaru, dibum- bui santan lengkap oseng tempe sebagai
lauknya. Hingga saat pagi buta, dengan sigap olahan nasi tadi di-
kepel-nya dengan isian oseng tempe di tengahnya. Kemudian
202 Burung-Burung Kertas
dengan telaten setiap kepelan

Burung-Burung Kertas 203


dibungkus dengan daun pisang dan didang hingga matang.
Bahkan mamak juga menjual gorengan, mulai dari tahu bacem,
tempe bacem, hingga gembus bacem yang semuanya dimasak
sendiri. Tak terba- yang bukan kelelahan yang menumpuk
dibenaknya. Itulah upaya beliau untuk tetap menyambung biaya
sekolahku. Meskipun hanya di sekolah yang sangat biasa, bahkan
cenderung buruk menurutku. Tapi tak apa, ilmu dapat dicari
dimana pun ketika kita mau untuk mencarinya, dan tentu saja
sungguh-sungguh sebagai modalnya.
****
“Har, ora turu mengko kecipratan lenga” celetuk mamak ketika
mataku mulai rapat menempel akibat kantuk disaat menggoreng
tahu bacem.
“Ora mak, aku ora turu kok,” sahutku terkaget.
Memang, kami adalah orang dusun yang jauh dari peradaban
atau kemajuan zaman. Geografislah yang menjadi jarak
gemerlapan kota dengan byar-petnya lampu pedukuhan. Maka tak
heran ketika bahasa Indonesia pun susah dikuasai ibuku. Di
rumah, hanya aku dan kakakku yang bisa berbahasa Indonesia.
Bahkan banyak penduduk Dusun Karangpoh yang masih
kesulitan menguasainya, terkecuali bagi mereka yang merantau
atau mereka yang berpen- didikan. Memang terlihat miris, tetapi
inilah potret sungguh dari daerah Gunungkidul. Potret kesatuan
dari nusantara yang sesung- guhnya tak benar-benar satu.
“Le, wis rampung gorenge? Ndang diwadhahke baskom banjur
sholat subuh” perintah mamak kepadaku ketika mengetahui
gorengannya hampir selesai.
“Iyo mak” sahutku singkat sambil mengerjakan perintah
mamak. Selesailah tugas rutin pagiku, saatnya sholat, mandi, dan
be- rangkat ke sekolah. Memang aku terbiasa untuk berangkat
pukul enam kurang seperempat. Jangan dibayangkan sekolahku
seperti sekolahan di kota yang dekat atau sekolahan yang dekat
dengan dusun tempat aku tinggal. Sekolahku adalah sekolahan
di dusun tetangga yang jarak tempuhnya cukup jauh, terlebih jika
ditempuh dengan jalan kaki yang hanya beralaskan sepatu
dengan jahitan di pinggirnya yang sudah terlepas dan sedikit
sobek. Memang demikian, aku harus ke dusun tetangga untuk
204 Burung-Burung Kertas
menempuh pendi-

Burung-Burung Kertas 205


dikan. Bukan karena tidak diterima di sekolah yang lebih dekat,
tetapi ibuku memilih sekolah yang lebih murah.
Sekolahku bernama SD Dilem, sekolah yang terletak di
Dusun Dilem, dusun setelah Dusun Karangpoh, yang letaknya
paling timur dari semua dusun di Desa Semin. Agak sedikit
menyayat hati ketika mengetahui kondisi sekolahku. Letaknya
berada di dataran tinggi, sehingga butuh tenaga ekstra untuk
mendaki ketika akan masuk sekolah. Bahkan kondisinya semakin
diperburuk de- ngan jumlah siswanya yang tidak banyak. Dalam
satu kelasku saja hanya berisi sembilan siswa. Kondisi mereka pun
beraneka ragam. Namun beginilah potret yang harus dijalani,
potret masyarakat pinggiran dari pusat pemerintahan. Potrat
masyarakat yang adoh ratu, cedhak watu dengan segala
keterbatasan untuk tetap meng- gapai asa.
*****
“Har, bawa apa kamu pagi ini?” tanya Gadut teman
sekelasku. “Biasa, gorengan panas” jawabku sambil
menunjukkan da-
ganganku.
Gadut adalah teman sekelas sekaligus semeja denganku. Ia
sering membeli gorengan yang aku bawa, maklum ibunya jarang
masak karena pagi-pagi buta harus sudah berjualan di pasar Semin.
Sedangkan bapaknya merantau ke Purwokerto untuk mencari
pe- kerjaan.
“Gorenganmu tidak seperti biasa? Agak sedikit gosong,” tim-
pal si Gadut setelah memakan dua buah gorengan yang dia ambil
dari baskomku.
“Tenane?” jawabku sedikit terkaget
“Mungkin karena semalam aku sedikit mengantuk saat
meng- gorengnya,” timpalku kembali untuk membela diri
sebelum Gadut berbicara lagi.
Terdengar aneh bukan? Memang demikian percakapan kami
ketika dilakukan dengan bahasa Indonesia. Bahasa yang sedikit
asing ditelinga para sesepuh dusun. Terlebih lagi bagi mereka
yang tidak sempat merasakan bangku pendidikan. Maka tak
jarang ke- tika dalam bercakap-cakap terdapat alih kode dalam
bahasa yang digunakan. Mulanya bahasa Indonesia, seiring
206 Burung-Burung Kertas
pembicaraan ber-

Burung-Burung Kertas 207


langsung berubah menjadi bahasa Jawa. Tetapi memang
beginilah adanya, potret masyarakat yang butuh untuk
dimaklumi. Terma- suk pula kami yang berada di dalamnya.
*****
Suatu ketika, ujian kelulusan sudah berada di depan mata.
Aku sebagai siswa rantau dari dusun seberang tak mau kalah
dengan siswa pribumi. Ibuku pun demikian, sehingga beliau me-
relakan aku untuk belajar tanpa membantu pekerjaannya sedikit
pun. Pengorbanan ibu pun tak ku sia-siakan. Setiap pangkal pagi
aku bangun untuk mengulang pelajaran yang ku peroleh di kelas
tadi. Hingga pada suatu pagi buta terdengar suara batuk yang
cukup sering. Tak lain, suara itu bersumber dari suara batuk ibu
yang semakin hari semakin memburuk. Maklum, ibu belum
memi- liki kompor gas, kami hanya menggunakan kompor
minyak dan kayu bakar untuk memasak. Jadi bukan menjadi
sesuatu hal yang mengherankan ketika asap menjadi konsumsi
ibu setiap hari. Na- mun, batuk pagi ini sangat berbeda, suaranya
terdengar berat. Aku mulai khawatir dengan kondisi ibu.
“Mak, mamak rapapa?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Rapapa Har, diteruske wae sinaune!” jawab mamak sembari
me-
merintahku untuk melanjutkan belajar.
Yah, ibu tahu kalau hari ini adalah hari ujian terakhirku. Aku
yakin, ibu tidak ingin merusak waktu belajarku dengan
merisaukan keadaannya. Setiap ia batuk, ditenggaknya segelas teh
tubruk pahit dan kental yang sudah agak menghitam akibat
terlalu lama diren- dam air panas. Tapi, bagaimana pun juga aku
tetap khawatir. Wa- laupun demikian, semangat ibu lah yang
senantiasa menjadi se- mangatku untuk terus maju. Meskipun,
terkadang aku tak habis pikir, apa yang ada dibenaknya ketika
kelelahan mendera dan rasa sakit menghampiri.
*****
Selang satu bulan, waktu pengumuman hasil ujian pun
datang juga. Aku tak sabar melihat bagaimana hasil kerja
kerasku. Hingga pada Senin pagi ada seorang guru datang ke
gubuk bambu reyot kami, gubuk yang menjadi tempat tinggal aku
dan keluarga. Beliau ternyata Pak Wahono, kepala sekolah SD
208 Burung-Burung Kertas
Dilem. Dengan sepucuk

Burung-Burung Kertas 209


surat digenggaman, beliau memberikannya padaku. Waktu itu,
bapak dan mamak masih di pasar. Aku hanya tinggal berdua di
rumah dengan kakakku. Kami berdua hanya terheran-heran
men- dapat surat tersebut. Karena tak menjumpai bapak ataupun
mamak, Pak Wahono pun bergegas beranjak dari rumah kami
setelah me- mastikan surat tersebut kuterima.
Belum sempat kubuka surat itu, waktu sudah menunjukkan
pukul setengah tujuh. Aku tidak ingin terlambat dihari yang pen-
ting ini. Hari pengumuman kelulusan SD Dilem. Sesaat sebelum
berangkat, ibuku pulang dengan raut wajah yang pucat. Tak
kulihat bapak mendampingi ibu. Aku pun tak banyak berpikir,
yang ada dibenakku mungkin ibu kecapaian, sehingga hanya
butuh istirahat. Karena dengan istirahat cukup aku yakin
nantinya ibu akan segar kembali.
“Mak, aku pamit. Aku kesusu budhal sekolah, wis kawanen,”
pamitku kepada ibuku yang baru saja pulang dari pasar.
“Ngati-ati Har, surate Pak Wahono mau apa isine?” tanya ibu
kepa- daku sebelum aku berangkat sekolah.
“Durung tak buka, mak. Mengko mulih sekolah tak wacakke,” jawab-
ku kepada ibu sambil berlari menuju sekolah karena takut ter-
lambat.
Ternyata sewaktu pulang dari pasar ibu berpapasan dengan
Pak Wahono, sehingga beliau tahu kalau aku mendapat surat
dari sekolah. Seakan mengacuhkan ibu, dengan tergesa-gesa aku
berlari menuju sekolahan tanpa sempat membacakan isi surat itu
un- tuknya.
Sampai di sekolah, kulihat, semua murid sudah berkumpul,
berbaris di lapangan. Terlihat pula, barisan kelas enam berada di
paling barat dengan siswa yang hanya berjumlah sembilan. Setelah
melihat posisi barisan kelasku, lekas kubergabung tanpa
meletak- kan tasku terlebih dahulu di kelas. Aku berdiri di
barisan paling belakang. Terdengar sayup-sayup Pak Wahono
memanggil nama- ku dan memintaku untuk maju di tengah
lapangan. Tak tahu apa yang dikehendakinya, aku pun hanya
dapat menurut dan berjalan menuju tengah lapangan.

210 Burung-Burung Kertas


“Sudahkah kau buka surat dari bapak tadi, Har?” tanya Pak
Wahono dibantu dengan pengeras suara karena pada saat itu se-
dang dalam kondisi upacara bendera.
“Belum, Pak,” jawabku dengan sedikit malu dan wajah yang
tertunduk.
Dengan segera Pak Wahono membetulkan posisi mikrofon
yang dirasanya kurang tinggi dan mengumumkan kepada
seluruh siswa isi surat yang kuterima tadi pagi. Mendadak aku
kaget. Sontak aku tak dapat berkata-kata. Bahkan seluruh warga
sekolah pun terheran-heran. Tak kusangka isi surat tersebut
menjelaskan bahwa aku menjadi lulusan terbaik dari SD Dilem.
Bahkan terdapat kalimat tambahan yang menjelaskan bahwa aku
juga menjadi lu- lusan terbaik, siswa tingkat sekolah dasar se-
Gunungkidul. Sung- guh mengejutkan, tetapi ini hal yang nyata.
Kulihat senyum simpul tersungging dari seluruh siswa dan guru,
serta karyawan SD Di- lem. Gemuruh tepuk tangan pun
menghujani. Ucapan selamat pun tak henti-hentinya ku terima.
Kulihat seluruh rona ceria dan bangga terlukis di wajah bapak ibu
guru. Aku yakin, di dalam hati mereka aku adalah siswa yang
dapat dibanggakan.
Tak selang beberapa lama setelah pengumuman tersebut,
ku- lihat di pintu gerbang bapakku datang. Beliau terlihat
tersengal- sengal, seperti orang yang baru saja berlari
menempuh jarak yang jauh. Segera kuberlari menghapiri bapak.
Demikian pula Pak Wa- hono yang ikut berlari setelah melihatku
berlari.
“Pak, ana apa?” tanyaku gugup dengan suara bergetar dan
sedikit khawatir.
“Har, kowe isa mulih saiki ra?” tanya bapak kepadaku.
“Ana apa, Pak?” jawabku sekenanya dengan nada yang
benar- benar panik.
“Mamak pengen ketemu kowe saiki,” jawab bapakku singkat,
tetapi cukup mengisyaratkan sesuatu hal buruk sedang terjadi.
Tak kupikir panjang. Segera kuturuni bukit sekolah yang terjal
dengan berlari. Tak peduli setinggi apa, aku tetap berlari. Bahkan
rasa lelah pun bukan menjadi penghalang untukku dapat
berjumpa dengan ibu segera. Namun apa daya, kakiku
Burung-Burung Kertas 211
mendadak lemas.

212 Burung-Burung Kertas


Peluh yang membasahi sekujur tubuhku pun seakan melepaskan
seluruh tulang ini dari kulitnya. Dengan napas yang tersengal-
sengal, aku berjalan menuju rumah yang sudah dikerumuni
banyak orang. Bendera kuning pun sudah dikibarkan. Kulihat, di
tengah rumah, sudah terbaring kaku mamak dengan kain putih
yang me- nyelimutinya. Tak kusangka, permohonan izin tadi pagi
menjadi pamitan terakhirku kepada ibuku. Bahkan bodohnya,
mengapa su- rat dari Pak Wahono tidak aku tinggal di rumah saja,
tetapi justru aku bawa ke sekolah, padahal ketika kutinggal surat
tersebut, Mas Pri pasti bisa membacakannya untuk ibu.
Otakku seketika itu beku. Pikiran dan mulut terkunci.
Badanku lunglai, langkah gontai, dan jatuh di depan jenazah mamak
dengan disertai air mata yang terus mengalir. Napas yang
awalnya terse- ngal-sengal akibat kelelahan berlari, berubah
sesegukan karena tak sanggup menerima kenyataan ini. Seratus
delapan puluh dera- jat, saat ini berada di depan mata. Sungguh,
seharusnya hari ini menjadi hari yang benar-benar bulat, tetapi
runtuh seketika. Tak dapat kuterima, bahwa bulat tak berarti
utuh.

Biodata Penulis
Fajar Wijanarko tinggal di Timuran Mg III/09, RT 01, RW 01, Yogyakarta.
Saat ini Fajar kuliah di Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah menari dan menulis. Moto
hidupnya adalah “Berlarilah ketika orang lain berjalan”. Jika ingin
berkorespondensi dengan Fajar dapat menghubungi: HP 08975802008,
email: Widjanarko.fajar@gmail.com, FB: Fajar Widjanarko, twitter:
@widjanarkof.

Burung-Burung Kertas 213


KABAR KEMATIAN
Arlina Hapsari

Tangan yang gemetaran menari-nari di atas kertas putih.


Me- nuliskan huruf demi huruf. Merangkai kata menjadi kalimat.
Menyusun paragraf demi paragraf yang mengharu biru.
Tertuang- lah sebuah curahan hati yang ditetesi berbutir-butir air
mata. Seke- lebatan ingatan mimpi yang timbul-tenggelam
terangkai jelas dalam tulisan. Mimpi yang mencekam, mencekik,
dan menusuk hingga ke rusuk. Mimpi yang membuat Sari
membenamkan kepa- lanya pada lembaran-lembaran buku
hariannya, dan menangis. Menangis sekencang-kencang yang
dapat dilakukannya di tengah malam yang temaram.
Sari, gadis delapan belas tahun itu, memang istimewa. Bukan
karena ia keturunan ningrat atau karena ia sangat pandai,
melain- kan karena ia memiliki kemampuan mengetahui
datangnya ajal seseorang. Melalui mimpinya, ia dapat
mengetahui kapan teman atau keluarga dekatnya akan menemui
ajalnya. Dalam mimpinya itu, ia didatangi seseorang berjubah
putih yang bersuara berat. Sari menangkapnya sebagai suara
seorang laki-laki dewasa. Pria bersuara berat nun syahdu itulah
yang menyampaikan kepada Sari tentang datangnya kematian.
Keistimewaan itu datang pada Sari tepat di malam ulang
tahun- nya yang kedelapan belas, satu bulan lalu. Malam itu
malam Jumat Kliwon. Bunga-bunga mimpi yang halus
membawanya terbang ke taman yang indah, entah taman apa.
Rumput-rumputnya hijau, burung-burung berkicauan merdu,
dan angin yang berhembus se- poi-sepoi membawa bau menyan
yang begitu menusuk. Dari bela- kang, ia dikagetkan oleh
sesosok tinggi besar berjubah putih. Ju-
214 Burung-Burung Kertas
bahnya begitu besar hingga Sari tak dapat menerka bentuk
tubuh ataupun lekuk rupanya. Hanya telapak tangan dengan jari-
jemari yang ramping dan kuku yang panjang saja yang nampak.
Kontan Sari ingin berteriak, tapi suaranya tak dapat keluar. Di
alam itu pita suaranya seolah telah hilang dimakan angin. Dan
kaki yang ingin berayun kencang meninggalkan tempatnya
berpijak tak ingin bergerak meski rasa takut menjadi motor
penggerak yang kuat. Diam. Stagnan. Seperti dilem dengan
perekat yang maha lengket. Membiarkan keinginan kuatnya
untuk berlari menjadi basi diitari lalat dan digerogoti belatung.
Sang pria kemudian berucap, mengabarkan kematian yang
akan menimpa bibi Sari yang berada di Sulawesi. Setelah kabar
itu selesai diucapkan, sang pria berjalan membelakangi Sari.
Pergi menjauh entah ke mana dengan membawa kitab yang
begitu tebal di tangan kirinya. Dua detik kemudian pria itu benar-
benar meng- hilang dari pandangan mata Sari. Hilang
diterbangkan angin di- ngin yang berhembus dengan
kencangnya. Saripun terbangun dari tidurnya yang panjang.
Tidak seperti mimpi-mimpi sebelumnya yang begitu mudahnya
dilupakan oleh Sari begitu ia terbangun, mimpi bertemu sang pria
misterius dan suara pesan yang disampai- kan kepadanya itu
masih saja terngiang-ngiang di kepalanya. Sari mencoba untuk
tenang. Ia tak ingin percaya pada mimpi. Mimpi adalah omong
kosong belaka.
Dua hari kemudian, sampailah kabar ke telinga Sari bahwa
bibinya yang tinggal di Sulawesi meninggal dunia. Kata-kata sang
pria yang berusaha keras ia lupakan terngiang kembali,
terngiang dengan jelas seperti baru saja ia dengarkan, tetapi Sari
tetap bersi- kukuh bahwa ini adalah kebetulan. Kebetulan semata
yang tak berarti apa-apa. Tiga bulan kemudian, sang pria
berjubah putih menyambangi mimpi Sari lagi. Ia kembali
mewartakan bahwa sahabat karib Sari akan meninggal. Dan, apa
yang dikatakan oleh sang pria benar terjadi. Empat hari
kemudian, persis seperti apa yang dikatakan oleh pria bunga
mimpi, sahabat karib Sari me- ninggal. Sari menangis, menjerit
sekuat-kuatnya. Bukan hanya kare- na kehilangan sahabat
karibnya, tetapi terlebih karena ia takut, sangat takut pada
Burung-Burung Kertas 215
mimpinya. Mimpi yang meminta nyawa sebagai

216 Burung-Burung Kertas


tumbalnya. Mimpi yang haus darah manusia. Mimpi yang seperti
drakula.
Tidur. Aktivitas itu kini menjadi aktivitas yang paling
ditakuti Sari. Ia ingin tidak tidur, tapi ia manusia normal yang
dapat merasa ngantuk. Sekeras apapun ia mencoba, bahkan
dengan meminum bergelas-gelas kopi hitam panas yang kental
seperti bubur sekali- pun, rasa lelah yang mengundang kantuk
luar biasa itu tak dapat ditahan. Dan, badannyapun akan ambruk.
Tergeletak di kasurnya yang empuk. Sejenak iapun istirahat
dengan keterpaksaan, melepas lelah yang telah lapuk menumpuk.
Ketika mentari pagi memba- ngunkannya, tubuhnya gemetaran.
Beberapa tetes air mata akan mengalir membasahi pipinya. Tak
lama kemudian, bibir tipisnya pun akan bergumam
menyenandungkan rasa syukur karena tak bertemu dengan si
pria berjubah putih. Semoga besok-besokpun demikian. Semoga
pria itu tak datang lagi padanya. Begitulah ha- rapan yang selalu
ia nyanyikan melalui bibirnya yang kering dan pucat.
Sudah dua bulan mimpi terkutuk itu tak datang pada Sari. Ia
sangat bersyukur karenanya meskipun setiap akan tidur ia selalu
merasa ketakutan, dan kalau ia bisa memilih, ia rela menjadi ma-
nusia abnormal yang tidak pernah tidur di sepanjang hidupnya.
Menginjak dua hari lebihnya dari dua bulan, tak terduga pria itu
datang. Dari kejauhan sosoknya yang kecil membesar,
membesar, dan sosoknya menjadi jelas di depan mata Sari. Ia
berdiri di hadap- an Sari tanpa rasa bersalah, tanpa muka yang
seharusnya dipenuhi dengan dosa. Ia duduk di kursi coklat tepat
di hadapan Sari. Entah sejak kapan dan dari mana kursi itu
berasal. Tak langsung meng- ucap sepatah kata, pria itu
membuka kitab yang selalu ia tenteng di tangan kirinya. Ia
menulis, entah menuliskan apa, dengan bulu ayam yang juga
entah ia dapatkan dari mana. Lama, lama sekali rasanya ia
menulis seperti tak menyadari bahwa ada yang tengah
menunggunya. Ia menuliskan sesuatu yang sangat panjang dan
rumit dalam kitabnya yang tak bisa dibilang sekelumit. Siapa pria
itu? Kitab apa yang ada di genggaman tangannya itu?
Mungkinkah itu kitab garis hidup Sari? Ada gejolak rasa ingin
tahu yang dalam pada diri Sari. Ingin rasanya ia merebut kitab itu
Burung-Burung Kertas 217
dan membacanya.

218 Burung-Burung Kertas


Tapi, tak mungkin. Pria itu adalah pria yang sakti, dan kalaupun
ia bersedia bernegosiasi untuk memberikan kitab itu pada Sari,
ia pasti akan meminta imbalan yang besar. Kemungkinan ia akan
meminta hal yang sama seperti yang diminta Batara Guru kepada
Batara Kresna ketika Batara Kresna meminta Jitapsara, Kembang
Wijayakusuma. Sari mengumpat dalam kebisuannya. Jelas
kentara ia tak mungkin mendapatkan kembang ajaib itu.
Setelah sekian lama beradu dengan pena dan setumpuk jilidan
kertas putih, pria berjubah putih itu mengakhiri kesibukannya.
Dengan suara yang tenang iapun mulai mengeluarkan suaranya.
Suara yang sama sekali tidak ingin Sari dengar. Tapi serapat-ra-
patnya Sari menutup daun telinganya, suara yang membawa
warta kematian itu akan tetap terdengar dengan jernih dan jelas
seperti tak terhalang suatu apapun.
Ketika apa yang diwartakan oleh si pria berjubah putih itu
benar terjadi, bulu kuduk Sari sontak berdiri. Ia ingin menerima-
nya sebagai suatu kebetulan belaka tapi, apakah ini masih dapat
disebut sebagai kebetulan? Sesuatu yang dengan jelas ia ketahui
dan tanpa meleset sedikitpun benar terjadi? Ia menutup telinga
dan memejamkan mata dengan rapat. Ia melawan kenyataan itu.
Sekuat tenaga, ia menyangkal segalanya. Kabar kematian itu
baru ia dengar dari tetangganya pagi ini, bukan tiga hari yang
lalu. Ia menusukkan semua kenyataan palsu itu pada ingatannya,
tapi ingatannya melawan, menusuk balik pada kesadarannya.
Saripun terjatuh di pekarangan depan rumahnya. Kesadarannya
melayang. Pingsan.
“Sar, Sari,” suara panggilan yang disertai dengan bau minyak
kayu putih yang menyengat membuka kedua kelopak mata Sari.
Di sekelilingnya ia dapati para tetangga yang semua
pandangannya terarah padanya. Mereka menatap dengan cemas,
tapi Sari me- nangkapnya sebagai mimik wajah yang meminta
jawaban yang jawabnya mengerikan. Pertanyaan-pertanyaan
“Sari, kamu kena- pa?” dalam liang-liang pendengaran Sari
diterjemahkan menjadi “Sari, apa waktuku tiba?”
Seorang ibu berambut putih di yang duduk di samping
tempat tidur Sari ikut mengajukan pertanyaan, “Sari, sudah
merasa baik-
Burung-Burung Kertas 219
an?” tapi Sari mendengarnya sebagai “Sari, apakah waktu tiba
sekarang?” Napas Sari tersengkal-sengkal merasakan ketakutan
luar biasa yang menjalari seluruh tubuhnya. Keringat dingin pun
menetes tiada henti. Dan jantung, ikut berdetak dengan kencang
seolah tak ingin kalah aksi. Sari menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya, dan dengan teriakannya yang keras, ia
meng- usir semua tetangga yang menolongnya. Memaki-maki
mereka dengan kata-kata yang Sari sendiripun tak tahu apa.
“Sar, Sari, kamu kenapa, Nak?” seorang wanita tengah baya
yang berlinangan air mata tetap tinggal. Ia tak sampai hati mening-
galkan putrinya seorang diri menghadapi kekacauan dan
ketakutan batin yang entah dari mana asalnya itu.
“Pergi. Jangan tanya. Jangan bertanya kepadaku!” teriak Sari
seraya menangis dan menuding-nudingkan telunjuknya tepat di
depan mata wanita yang telah membesarkannya.
Sang ibu menangis sejadi-jadinya di samping Sari yang terus-
menerus berteriak. Memandang putrinya yang akhir-akhir ini
mu- lai berperilaku aneh membuat hatinya tercabik-cabik. Putri
semata wayangnya itu kerap murung, berbicara seorang diri, dan
jarang tidur. Kesehatannyapun menurun drastis. Sari kerap
demam dan badannya yang gemuk menjadi kurus kering. Yang
paling menya- kitkan, Sari tak lagi memanggil dirinya dengan
sebutan ibu. Sari seakan lupa bahwa wanita berlesung pipi itu
adalah orang yang telah mengandungnya selama sembilan bulan
dan membesarkan- nya hingga saat ini. Masih beruntunglah Kunti
Talibrata yang tetap diakui ibu, dicintai, dan dihormati oleh
Adipati Karna meski ia tak pernah mengasuh dan
membesarkannya.
Satu minggu kemudian pria berjubah putih kembali datang.
Di mata Sari, jubah putih itu tak lagi berwarna putih bersih yang
berkilauan, melainkan telah berubah warna menjadi merah
mem- bara laksana iblis yang licik dan jahat. Suasana sekitar yang
tadinya terasa sejuk, setelah kedatangan tamu mengerikan itu, kini
menjadi panas luar biasa. Mendidih Sari dibuatnya, tapi pria itu
tak mau ambil pusing. Setelah membuka sejenak kitab coklat
tuanya, ia pun langsung menyampaikannya kepada Sari kabar
kematian yang seperti biasa kontan membuat Sari terbangun
220 Burung-Burung Kertas
dari tidurnya.

Burung-Burung Kertas 221


Kini ketika mata Sari mulai terbuka, ruang gelap yang
pengap dengan suara tangisan yang menyayat hatilah yang
menyambut- nya. Dengan tangannya, ia ingin mendorong tubuh
wanita tua yang jeritan tangisnya seperti raungan serigala, tapi ia
tak sanggup karena kedua tangannya diborgol dengan besi. Ia
ingin menen- dang wanita tua itu agar tidak dekat-dekat
dengannya, tapi ia tak sanggup karena kakinya diikat dengan
rotan. Sari meraung- raung ingin melepaskan semua ikatan yang
melilitnya. Ingin memu- kuli siapa saja yang ada di sekitarnya,
tapi ia tak sanggup. Ia hanya mampu meronta dan meronta.
Menyakiti dirinya sendiri, dan juga sang ibu yang selalu setia
merawatnya.
Malam yang gelap, bintang yang gemerlap, dan bulan yang
bopeng hanya mempu menemani dan menyaksikan. Mereka tak
ingin melakukan hal yang lebih dari itu. Dan mimpi yang menye-
ramkan dengan pria berjubah putih tetap hadir di kala ia harus
menyampaikan kabar kematian. Ia tak peduli betapa kedua
wanita itu sangat menderita karenanya. Datang dan terus datang
karena kematian pasti akan datang kepada setiap mereka yang
hidup, dan esok petang pria berjubah putih akan membawakan
warta yang penting, tentang kabar kematian sang Ibu...

Biodata Penulis
Arlina Hapsari tinggal di Jalan Ringroad Utara, Gandok, Condongcatur
No.10, Depok, Sleman, Yogyakarta. Saat ini Arlina kuliah di Jurusan
Akuntasi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.
Hobinya adalah membaca, menulis, bercerita. Jika ingin berkorespondensi
dengan Arlina dapat menghubungi: HP 085640635505, 0274-540545,
email: arlinahapsari@hotmail.com, hapsariarlina@gmail.com.

222 Burung-Burung Kertas


CERITA BAHAGIA SELEPAS HUJAN
Suci Nurani Wulandari

Pada suatu ketika, keindahan setelah hujan selalu menjadi


ce- rita bahagia bagi yang percaya. Mengenai bianglala yang
memiliki berbagai warna atau tanah basah penyubur pohon pepaya
di depan rumah. Aku adalah salah satu yang percaya, namun
bukan lagi tentang bianglala atau tanah basah.
Hujan baru saja berhenti, lalu cerita bahagia mengalir bersama
dengan ketabahan yang dipupuk cukup lama, darimu. Cerita itu,
kini akan aku kisahkan kepada para pemberani yang hampir me-
nyerah. Sambil minum kopi atau mungkin teh, di sisi kaca jendela
yang masih berbekas bulir-bulir air hujan.
***
Tawa kami menggema di sepanjang lorong. Betapa hidup te-
rasa sangat menyenangkan ketika banyak hal bisa dijadikan
lelucon dan ditertawakan bersama-sama. Banyak hal itu, apa
saja, asal kesedihan hati tidak terasa terlalu dalam. Juga supaya
awet muda, kata orang, maka banyak-banyaklah tertawa.
Namun, banyak hal bukan berarti semua hal. Ada juga yang
pantang untuk ditertawakan. Bencana alam adalah salah satu
yang masuk di daftar teratas. Orang-orang tolol menjadikan
bencana sebagai lelucon. Bencana yang bahkan hanya mereka
tonton dari televisi atau internet.
“Ada temanku yang cerita begini. Dia lari-lari keluar rumah
tanpa baju ketika gempa. Tanpa baju sama sekali. Coba
bayangkan! Kalau lihat secara langsung pasti aku ketawanya bisa
sampai se- harian. Hahahaha,” ujar seorang teman dari Bandung
suatu hari.

Burung-Burung Kertas 223


Semua yang kebetulan ada di situ tertawa serempak kecuali
aku. Mereka tidak menyadari bahwa aku tidak ikut tertawa dan
mukaku berubah pucat. Aku menundukkan kepala hingga ada
yang menanyakan keadaanku.
“Kamu sakit?”
Aku menggeleng. Sesaat kemudian aku mengangkat kepala
sambil menunjukkan mata merah menahan tangis juga marah.
Semua yang awalnya tertawa tiba-tiba diam, kebingungan.
“Kalian tidak akan bisa tertawa seperti tadi kalau Mei 2006
kemarin kalian ada di sini. Kalau saja kalian tahu rasanya kehi-
langan hampir separuh keluarga kalian hanya dalam hitungan
me- nit, kalian pasti tidak akan bisa tertawa seperti tadi,” kataku
geme- taran sambil tetap menahan tangis.
Mereka meminta maaf. Aku hanya mengangguk sambil per-
misi pulang karena teringat pesanmu bahwa sebaik-baiknya pene-
rimaan adalah menyimpan kesedihan agar tidak tertular ke
orang lain. Biarlah kesedihan tentang kehilanganmu menetap
sebagai pengingat ketika aku tertawa terlalu keras. Agar
kebahagian yang tercipta tidak tumpah-tumpah lalu menjadikan
sedih bagi orang lain. Sebab, sesuatu yang berlebihan tidak
pernah baik.
***
Hujan.
Aku pernah berpikir bahwa kemungkinan adalah lelucon fa-
vorit Tuhan. Ia seringkali menjebak hamba-hambanya, entah
yang taat atau yang tidak, ke dalam lubang laknat kemungkinan.
Mung- kin hujan akan berhenti hari ini, mungkin juga tidak.
Mungkin aku akan lulus tahun depan, mungkin juga tidak. Hari
itu, kemung- kinan milikmu adalah sembuh atau tidak.
“Hujannya deras.”
Aku yang sedang asyik membaca majalah menengok ke arah-
mu. Kamu sedang memperhatikan hujan melalui kaca jendela.
Aku kembali fokus pada bacaanku.
“Dek, cuma kamu yang bisa membantuku meyakinkan Bapak
sama Ibu. Tolonglah. Hanya sekali ini aku minta padamu. Aku
tidak akan hidup lama. Sebentar lagi…”

224 Burung-Burung Kertas


Ucapanmu tidak selesai karena terkejut mendengar majalah
yang sedari tadi kupegang dibanting ke lantai.
“Bisa berhenti bicara soal kematian? Tuhan yang lebih tahu,”
kataku dingin.
Kamu menghela napas panjang lalu kembali menatap hujan
melaui kaca jendela. “Cuma ini yang aku minta. Sungguh.”
Aku menggigit bibir kuat-kuat supaya tidak berteriak keras
di hadapanmu. Ada banyak sekali kata yang tidak pernah tersam-
paikan. Bukan karena tidak mampu, tapi tidak mau. Aku juga
begitu ketakutan terhadap kemungkinan yang ada. Mungkin saja
kamu sembuh, mungkin saja kamu mati. Mungkin saja kamu
tetap hidup tapi terus menerus sakit. Mungkin saja kamu
sembuh. Mungkin saja…
***
Masih pagi. Langit bahkan tidak menunjukkan raut muram
sama sekali. Mendadak seluruh perangkat komunikasi yang ada
sulit digunakan. Kepanikan berubah wujud mirip gelombang
bunyi sehingga bisa merambat melalui udara, air, batu, pohon,
dan apa saja. Situasi tidak tekendali. Banyak manusia yang
memperlihatkan wujud aslinya sebagai binatang. Memanfaatkan
keadaan yang ada untuk mencuri, mengintimidasi, bahkan
menyingkirkan sesa- manya.
Informasi muncul mendadak dan serempak. Dari sisi selatan
ada tsunami yang sedang datang. Dari arah utara ada Gunung
Merapi yang siap meletus hebat. Semua orang berlarian ke berbagai
arah menyelamatkan diri sendiri.
Beberapa jam kemudian, keadaan sudah sedikit lebih tenang
meskipun kami masih gelisah. Doa bersama digelar mendadak.
Sore tiba meski terasa lebih lama dari biasanya. Bantuan tenaga
medis, tenda, makanan, dan pakaian bersih telah datang. Melalui
para sukarelawan inilah kami tahu bahwa pagi tadi ada gempa
berkekuatan 5,9 skala Richter melanda kota ini. Yogyakarta dan
kabupaten lain retak, kecuali Bantul. Kabupaten itu hancur,
hampir seluruh rumah rata dengan tanah.

Burung-Burung Kertas 225


Dari informasi inilah kepanikan kembali muncul meski
hanya pada kami. Sejak seminggu yang lalu, kamu berada di
Bantul bersa- ma beberapa saudara lain yang seumuran
denganmu. Kalian meng- inap di rumah eyang. Hingga berjam-
jam kemudian, hidup seolah hanya berisi kecemasan. Tetap tak
ada kabar. Alat komunikasi belum bisa digunakan. Akhirnya
bapak nekat menyusul ke rumah eyang.
“Mbakmu selamat, tapi cuma dia yang selamat dari rumah
eyang,” kata bapak ketika pulang ke tenda pengungsian hampir
tengah malam. Ibu yang sedari tadi menangis kini memelukku
sambil gemetaran.
Aku mengucap syukur. Pada hari itu, semua orang mengira
bahwa kamu selamat. Sayangnya, maut lebih lihai daripada akal
manusia. Dia tidak bisa ditebak apalagi diperkirakan. Lalu, maut
menyusup melalui ketidaksiagaan pertolongan pertama. Maut
mengincarmu secara saksama.
***
Mei berlalu. Sisa-sisa ketakutan dan keterkejutan akan gun-
cangan gempa masih menghinggapi warga Yogyakarta. Namun,
hidup harus tetap berjalan. Kamu yang selamat dari reruntuhan
bangunan memasuki masa gelap. Gelap gulita.
“Nanti HD jam 3 kamu yang anter ya, Dek,” katamu.
Aku mengangguk. Biasanya juga selalu aku yang mengantar-
mu, tapi kamu masih saja meminta seolah aku tidak mau melaku-
kannya. Sudah hampir tiga bulan kamu dinyatakan menderita ga-
gal ginjal. Hampir mustahil diterima akal terutama bagi kami
yang kurang mengerti medis. Dokter sudah menjelaskan panjang
lebar namun masih terasa sulit diterima.
Menurut dokter, kamu mengalami gagal ginjal. Korban
rerun- tuhan bangunan atau tanah yang selamat berisiko tinggi
terhadap komplikasi, terutama gagal ginjal. “Risiko semakin
tinggi karena pertolongan pertama salah,” papar dokter.
Seharusnya, kamu men- dapatkan cairan NaCl khusus sebelum
reruntuhan diangkat. Bah- kan, cairan yang entah seperti apa itu
wujudnya, harus diberikan banyak-banyak hingga dirasa cukup.

226 Burung-Burung Kertas


Kamu mendengarkan penjelasan dokter yang cukup rumit
de- ngan memasang wajah datar, bahkan seperti tidak
mendengarkan. Malamnya, aku menangis diam-diam di kamar.
Betapa hidup begi- tu rumit dan terasa tidak adil. Bebanmu
sungguh terlalu berat.
Setelah itu, kamu mulai melakukan hemodialisa atau yang
se- ring disebut HD secara rutin. Awalnya sebulan sekali, lalu dua
minggu sekali. Pada bulan ketiga, hemodialisa berjalan seminggu
sekali di awal, hingga akhirnya seminggu dua kali. Meski begitu,
kamu tidak terlihat terpuruk. Agak aneh memang.
“Pulangnya mampir toko buku, ya,” katamu membuyarkan
lamunanku.
“Siap. Asal jangan lama-lama,” ujarku.
Kamu pernah berkata bahwa kamu masuk ke dalam kege-
lapan. Tidak mati, namun untuk sekadar hidup saja harus
berusaha keras. Semenjak itu, seluruh waktumu seperti terbagi
menjadi dua. Beribadah dan membaca.
“Kamu takut?” tanyaku.
Kamu balik bertanya, “Takut
apa?” “Gelap.”
Kamu menggeleng sambil tersenyum. “Kenapa tanya
begitu?” Aku mengangkat bahu sambil mengerutkan kening.
“Entah, cuma penasaran. Tenang saja, pasti kegelapan yang
kamu sebut- sebut itu bisa digantikan cahaya terang asal kamu
percaya. Hehe,”
aku terkekeh sendiri karena ucapanku.
“Kamu tahu kenapa aku rajin membaca dan beribadah setiap
hari?”
Aku menggeleng.
“Coba tebak,” katamu.
“Mmmm.. supaya ada cahaya terang dalam kegelapan
melalui iman dan pengetahuan?” jawabku sok pintar.
Kamu tertawa cukup keras sambil mencubit lenganku.
“Bukan. Jawabanmu mengerikan sekali. Aku rajin beribadah agar
terbiasa dalam gelap. Dulu kan sudah biasa di tempat terang
penuh cahaya, sekarang mau mencoba bertahan di tempat gelap.
Jadi, kalau kamu tiba-tiba kehilangan cahaya, tidak perlu panik.
Burung-Burung Kertas 227
Ada aku. Aku akan membimbingku dalam gelap. Hehe,” jelasmu
panjang lebar.

228 Burung-Burung Kertas


Ganti aku yang mencubit lenganmu. Jawaban yang kamu
beri- kan tidak kalah aneh dari milikku.
“Kamu tahu etiolasi?” tanyamu. Aku menggeleng sambil
curiga.
“Etiolasi itu pertumbuhan tumbuhan yang sangat cepat di
tempat gelap. Namun, pertumbuhan batang juga daunnya kurang
kokoh. Kondisi tumbuhan yang mengalami etiolasi sangatlah le-
mah. Aku seperti mengalami etiolasi dalam hidupku. Tumbuh
cepat dalam gelap. Namun aku kokoh dan kuat karena ada kamu,
Bapak, dan Ibu yang selalu ada,” jelasmu.
Hampir saja aku menangis karena terharu. Benar, kamu meng-
alami etiolasi. Lebih luar biasa lagi, kamu mampu memisahkan
proses yang tidak diperlukan sehingga tidak tumbuh lemah mau-
pun kurang kokoh.
“Eh, lalu kenapa rajin sekali membaca buku? Etiolasi juga?”
tanyaku memecah hening.
“Bukan. Hanya sedang berkeliling dunia dengan cara murah
dan mudah. Hehe.”
***
Kamis minggu kedua bulan Maret.
Berbahagialah. Keinginanmu terpenuhi. Aku sudah
membujuk Bapak dan Ibu memenuhi keinginanmu. Meskipun
mereka selalu menolak, tapi pada akhirnya apa yang sungguh-
sungguh kamu inginkan terwujud.
Hari ini, aku menemui banyak sekali pejuang-pejuang
seperti- mu. Lalu aku menceritakan kisahmu sebagai salah satu
kampanye pada Hari Ginjal Sedunia. Kisahmu, kisah yang dulu
kamu cerita- kan padaku, lalu kuceritakan pada bapak dan ibu.
Keluarga penerima donor organmu sering mengunjungi
kami. Bahkan, banyak yang ikut kampanye Keep Healthy Kidney dan
men- jadi donator. Laki-laki yang menerima korneamu kini
menjadi ke- kasihku. Sungguh, tidak ada yang sia-sia.
Keinginanmu terpenuhi. Jadi, berbahagialah.
***

Burung-Burung Kertas 229


Hujan baru saja berhenti. Kamu sudah pergi. Namun, cerita
bahagia setelahnya baru akan dimulai. Semangatmu untuk ber-
manfaat bagi yang lain seperti energi. Kekal. Tak bisa
dihilangkan. Meski bisa ditambah atau dikurangi, energi harus
muncul di tempat lain dengan daya yang sama meskipun berbeda
bentuk. Energi tidak bisa dihilangkan, sama dengan semangatmu
untuk berman- faat bagi yang lain. Kekal.
“Kenapa kamu begitu ngotot ingin mendonorkan semua
organmu yang masih bisa difungsikan? Yakin mau didonorkan
semua setelah mati? Kornea, hati, jantung, sendi? Astaga.”
Kamu mencubit bahuku seperti biasa.
“Kamu tahu kan kalau aku suka hujan?” kamu tidak
menjawab pertanyaanku dan malah menanyakan pertanyaan
lain.
“Ya. Sangat suka. Jawab pertanyaanku!” pintaku sedikit me-
maksa.
“Tapi aku lebih suka ketika hujan berhenti. Sesudahnya
muncul banyak sekali laron. Mereka muncul dari sarangnya, lalu
terbang mengerubungi cahaya demi bertahan hidup. Biasanya,
laron-laron yang terbang dimakan burung atau ditangkap
manusia untuk digoreng. Begitulah cara mereka bermanfaat bagi
yang lain,” ujarmu panjang lebar.
“Tapi mereka tetap mempertahankan diri supaya tidak di-
mangsa. Semua makhluk hidup begitu. Hei, jawab
pertanyaanku!” kataku galak.
Kamu tersenyum. “Salah. Laron tidak mempertahankan diri.
Setelah keluar dari sarangnya mereka hanya bisa bertahan hidup
sebentar. Ketika sayap-sayap laron lepas dari tubuhnya, mereka
tidak akan bertahan hidup lama kecuali kawin. Tapi, ya… jarang
sekali yang bisa kawin. Aku ingin seperti laron. Meski hidup se-
bentar namun tetap bermanfaat bagi yang lain.” Aku
memelukmu. Merekam semua yang kamu ucapkan melalui dekap
agar bisa ku- sampaikan pada yang lain.
Hujan baru saja berhenti. Masih ada bekas bulir-bulir air hujan
di kaca jendela. Laron muncul secara bergerombol. Aku
membawa

230 Burung-Burung Kertas


kantong plastik untuk menangkap mereka dan setelahnya digo-
reng. Ah, nikmat sekali rasanya, berprotein tinggi, dan selalu bisa
mengurangi rinduku padamu.

Biodata Penulis
Suci Nurani Wulandari tinggal di Plaosan RT 07/RW 18, Tlogodadi, Mlati,
Sleman. Saat ini Suci kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah menulis, membaca buku
cerita. Jika ingin berkorespondensi dengan Suci Nurani Wulandari dapat
menghubungi: HP 085643338861, email: uc_13@yahoo.com, FB: Ucig
Wulandari, twitter: @ucig.

Burung-Burung Kertas 231


PAKDHE
Anita Meilani

Undangan itu baru sampai di telinga Bu Yun dua minggu


yang lalu. Terkesan tidak semestinya karena si empunya hajat
adalah kakak satu-satunya dari Bu Yun sendiri. Apalagi hajatan
ini cukup besar, pernikahan putri pertama sang kakak. Apakah
mungkin karena Bu Yun tinggal jauh di Semarang, sementara
sang kakak di Jogja, Bu Yun tidak tahu juga. Tetapi di zaman
modern ini, jarak bukan lagi menjadi hal yang memperlambat
datangnya infor- masi. Jelek-jelek, setidaknya Bu Yun juga
mempunyai telepon geng- gam. Dan toh datangnya undangan dua
minggu yang lalu itu juga hanya dari telepon sang kakak, bukan
undangan secara langsung tatap muka.
Maka dari itu Bu Yun sedikit gusar. Suaminya tersinggung
atas sikap kakaknya yang menurut sang suami kurang ilok.
“Sama adik sendiri kok mengundangnya seperti itu, mbokya jangan
hanya lewat telepon, lebih-lebih mendadak lagi,” kata suaminya.
Kalau sudah begitu Bu Yun hanya diam saja, toh ucapan
suaminya ada benarnya juga.
Tapi meskipun terkesan sering marah, suaminya sebentar-
sebentar lunak juga. Seperti hari ini, dua hari sebelum
pernikahan keponakannya itu, Bu Yun dan dua anaknya yang
masih kecil- kecil, sulung kelas empat SD, bungsu TK nol kecil,
sudah bersiap- siap akan berangkat ke Jogja. Malam sebelumnya
Bu Yun sudah berdiskusi dengan suaminya tentang sumbangan
yang akan dibe- rikan kepada kakaknya. Masalahnya, undangan
hajatan yang tiba- tiba itu membuat mereka tidak siap dengan
pengeluaran tambahan yang tidak sedikit untuk biaya ke Jogja.
Akhirnya mereka memu-
232 Burung-Burung Kertas
tuskan menggunakan dulu uang yang akan dipakai untuk
memba- yar kontrakan rumah yang sebenarnya sudah jatuh tempo
minggu lalu.
“Kan Pakdhe itu kangmas-ku satu-satunya to, Pak. Jarang
ber- temu dan hajatan ini baru pertama kali. Jadi pakai uang
kontrakan ini dulu semuanya, sekali-kali ini,” kata Bu Yun.
Suaminya manggut-manggut. “Ya sudah, nanti pinjam lagi saja
ke koperasinya Pak Harto buat bayar rumah. Tapi sayanggak usah
ikut ke Jogja. Soalnya kalau saya ikut, libur kerja, rugi to. Siapa
yang cari uang?”
Begitulah. Bu Yun lalu menyiapkan amplop untuk kakaknya.
Membeli baju baru untuk anak-anaknya agar terlihat pantas di
resepsi pernikahan besok. Uang yang seharusnya untuk membayar
kontrakan itu kini tinggal sisa-sisanya. Ya tidak apa-apa, toh uang
bisa dicari lagi.
***
Di dalam bus ekonomi yang mengantarnya ke Jogja, Bu Yun
merenung banyak sepanjang perjalanan.
Selama ini, menurut Bu Yun hubungannya dan kakaknya
baik- baik saja. Apalagi Bu Yun jarang bertemu dengan kakaknya,
kecil kemungkinan ada kata-katanya yang pernah menyinggung
pera- saan sang kakak dan keluarganya. Bu Yun pun tak habis
pikir, kenapa kakaknya seolah berubah beberapa tahun terakhir
ini. Ke- harmonisan hubungan mereka semakin lama semakin
merenggang, entah kenapa. Dulu, kakaknya sangat perhatian
pada dia, adik satu-satunya. Ditambah lagi kondisi ekonomi Bu
Yun yang, kasar- nya, berada di bawah garis kemiskinan, maka
setiap lebaran kakak- nya malah yang selalu mengunjunginya, dan
sekadar memberi THR pada Bu Yun. Kebetulan waktu itu usaha
warung bakso sang kakak sudah mulai mengalami kemajuan dan
memberikan peng- hasilan yang layak meskipun masih pas-
pasan. Sedangkan Bu Yun, jauh-jauh merantau ke Semarang toh
juga hanya jadi buruh cuci, dan suaminya buruh di tempat
pencucian mobil dan motor. Tapi belum juga Bu Yun mendapat
kehidupan yang lebih baik, kakaknya sudah tidak pernah lagi
memberi tunjangan kepadanya.

Burung-Burung Kertas 233


Sekarang, kakaknya sudah jadi orang kaya. Anaknya sudah
jadi perawat. Mereka hidup makmur jauh di atas garis
kemiskinan. Beberapa tahun terakhir perkembangan usaha
warung baksonya semakin meningkat, dan kakaknya pun
panggilannya sudah jadi juragan bakso. Mobilnya lima, yang
empat diusahakan untuk jasa sewa mobil, yang satu dipakai
sendiri. Bu Yun seringkali mengira- ngira berapa untung yang
didapat kakaknya dari dua usahanya itu dalam sehari. Mungkin
sama seperti gaji Bu Yun dalam sebulan yang hanya sebatas
UMR. Entahlah.
***
“Bu, aku lapar,” rengek bungsu Bu Yun saat mereka berjalan
di depan warung-warung makanan di terminal Giwangan.
“Sebentar lagi sampai di rumah Pakdhe, kok. Makan disana
saja, ya,” kata Bu Yun menenangkan anaknya.
“Mbak Nopi nikah ya, Bu. Nanti makanannya enak-enak?”
tanya si bungsu lagi.
“Iya-iya. Makanya sekarang cari bus lagi dulu ya, buat ke
rumah Pakdhe.”
Tigapuluh menit kemudian Bu Yun dan anak-anaknya sudah
sampai di depan muka rumah kakaknya. Tidak terlalu ramai ka-
rena tempat resepsi bukan di rumah tetapi menyewa sebuah ge-
dung pernikahan. Pakdhe sedang berbincang-bincang dengan
para tetangga yang datang. Saat melihat Bu Yun datang,
kakaknya itu lantas menghampiri.
“Kok baru datang to, Yun?” tanya sang kakak setelah Bu Yun
dan anak-anaknya menyalaminya.
“Liburnya kan, tidak bisa lama-lama, Mas. Anak-anak masih
sekolah,” kata Bu Yun.
“Ya sudah sana ke belakang dulu sana ketemu mbakyu-mu.
Istirahat dulu,” ujar kakaknya.
Bu Yun masuk ke dalam rumah dan menemui istri kakaknya
yang tengah berada di dapur bersama para tetangga juga.
“Oalah Yun, Yun. Hanya dari situ kok, baru datang,” ujar
Budhe sama seperti kalimat suaminya. “Sini-sini, barang-
barangmu ditaruh di sini saja,” kata Budhe lagi sambil
menunjukkan kamar di dekat dapur.
234 Burung-Burung Kertas
Bu Yun dan anak-anakanya menurut saja. Bu Yun tengah
mengganti pakaian si bungsu ketika anaknya itu berujar,
“Katanya mau makan, Bu.”
Bu Yun kaget juga. Sudah beberapa waktu disitu tapi Budhe
belum juga menawarinya makan. Bahkan minum sekalipun. Ken-
dati di rumah kakaknya sendiri, canggung juga rasanya jika tiba-
tiba ia minta makan untuk anak-anaknya. Apalagi sambutan sang
kakak kepada mereka hanya biasa-biasa saja. Seakan-akan mereka
bukan adik yang hanya satu-satunya.
Namun karena tidak tega melihat anak-anaknya lapar, Bu
Yun keluar juga dari kamar menuju meja makan. Mengambil
piring dan nasi untuk anaknya.
“Wah, ya itu Yun, ambil saja. Masakannya baru matang kok.
Tapi ya, hanya seperti itu,” kata Budhe saat melihat Bu Yun
meng- ambil makanan.
Entah kenapa, Bu Yun merasa seperti tersengat listrik
mende- ngar kata-kata istri kakaknya. Ia memandangi lauk-pauk
yang tak hanya sekadar tahu dan tempe di hadapannya. Lalu
menoleh me- mandang istri kakaknya. Budhe sedang tersenyum
menatap Bu Yun.
***
Hari pernikahan tiba. Semua orang sibuk bersiap-siap.
Apalagi suami-istri kakak Bu Yun, mereka terlalu sibuk bahkan
untuk me- nyapa anak-anak Bu Yun. Di depan rumah berjajartiga
mobil dan sebuah bus untuk mengantar ke tempat resepsi
pernikahan. Tiga mobil itu milik Pakdhe sendiri. Anak-anak Bu
Yun langsung me- rengek minta ikut mobil itu. Bu Yun
menenangkan mereka karena rombongan belum akan berangkat.
Tiba-tiba Pakdhe menghampiri Bu Yun.
“Yun, nanti kamu ikut busnya saja, ya. Mobilnya penuh buat
Pak RT sama yang lain,” kata Pakdhe.
Bu Yun diam saja. Sampai akhirnya ia pun ikut duduk
bersama para tetangga di dalam bus. Sebenarnya Bu Yun
tersinggung, dia, satu-satunya keluarga, ditempatkan bersama
para tetangga. Tapi yang membuat Bu Yun paling sedih, karena
anaknya menangis ingin naik mobil, bukan bus yang sudah biasa
mereka tumpangi.
***
Burung-Burung Kertas 221
Resepsi sudah selesai digelar. Bu Yun pamitan. Besok anak-
anaknya sekolah dan dia sendiri juga bekerja. Di luar, ia men-
dengar kakaknya berbisik kepada istrinya.
“Nanti anaknya Yun disangoni limapuluh-limapuluh,” suara
Pakdhe.
“Ya,” jawab Budhe singkat.
Beberapa saat kemudian Bu Yun sudah siap untuk pulang. Ia
dan anak-anaknya akan diantar orang suruhan Pakdhe ke terminal.
Sebelum mobil yang mengantar mereka berangkat, Budhe me-
nyelipkan sesuatu di genggaman anak-anak Bu Yun.
“Ini ya, Le. Buat sangu sekolah ya,” kata Budhe.
Sekilas Bu Yun melihat uang yang diselipkan di tangan anak-
anaknya. Duapuluh ribu…
***
Sampai di rumah, suami Bu Yun langsung menyambut
dengan gusar.
“Kenapa, Pak?” tanya Bu Yun was-was.
“Bu, cincinmu yang hanya dua setengah gram itu digadaikan
saja,” kata suaminya sambil menunjuk cincin satu-satunya yang
melingkar di jari Bu Yun.
“Lho, kenapa Pak?” Bu Yun ikut gusar.
“Pak Edi tadi datang, mengingatkan uang kontrakan yang
belum kita kirim-kirim. Kita harusnya malu to Bu, Pak Edi itu
sudah banyak membantu dengan kasih harga kontrakan murah
dan tidak naik-naik tiap tahun. Masa ya, kita tetap nunggak
terus.”
“Katanya mau pinjam di koperasinya Pak Harto dulu?”
“Lupa, bunga dan denda tunggakan kita disana kan, masih
banyak. Saya nggak mau pinjam disana lagi. Lebih baik
pegadaian saja to.”
“Waduh, Pak...” Bu Yun refleks mengusap-usap cincin di
jarinya.
“Tidak apa-apa, Bu. Nanti beli imitasi dulu buat sementara,
kayak kalung sama subangmu itu,” ujar suami Bu Yun mafhum.
Bu Yun masih menimbang-nimbang usulan suaminya saat
telepon genggam keluaran China miliknya bergetar tanda SMS
masuk. Bu Yun bergegas membaca. Dari istri kakaknya.
222 Burung-Burung Kertas
“Yun, makasih ya, sumbanganmu memang banyak. Tapi utangmu
yang buat bayar kontrakan rumahmu dua tahun lalu itu belum lunas to.
Perhitungannya beda sama sumbanganmu ini, lho ya. Jangan digabung-
gabungkan.”
Selesai membaca itu, Bu Yun langsung membayangkan
dirinya dengan tempelan-tempelan perhiasan yang semuanya
imitasi, seperti senyum kakaknya yang ternyata juga tinggal
imitasi.

Biodata Penulis
Anita Meilani tinggal di Celep, Srigading, Sanden, Bantul. Saat ini Anita
kuliah di FPBS, Universitas Negeri Yogyakarta. Hobinya adalah membaca.
Jika ingin berkorespon dengan Anita dapat menghubungi: HP
085743802244, email: meilanitta@yahoo.com.

Burung-Burung Kertas 223


TIGA BUNGKUS KERUPUK PASIR
DI PENGHUJUNG SENJA
Nopa Triana

Senja datang bersama guguran daun diterpa angin kemarau.


Sesekali hembusannya kencang berpilin membentuk leysus kecil,
menerbangkan sampah-sampaj plastik, daun, maupun patahan
ran- ting. Sudah dua bulan akhir musim penghujan berlalu.
Sekarang sudah memasuki musim kemarau yang panas bersama
angiin pan- carobanya yang begitu kuat. Aku berjalan menyisir
trotoar ber- debu yang sepi.
Sinar matahari sore ini berawan jingga. Menerpaku, membuat-
ku terpesona sehingga lambat-lambat kunikmati perjalanan pulang
selepas sekolah. Seperti biasanya, aku pulang berjalan kaki. Seko-
lahku tak begitu jauh, sekitar 2 kilometer dari rumah. Memang
awalnya terasa berat berjalan kaki sejauh itu. Tapi setelah tiga
tahun aku biasa menempuhnya, sekarang perjalanan ini terasa de-
kat sekali.
“Va, kok baru pulang?” panggil seseorang. Aku berpaling.
Kulihat seorang sahabat masa kecilku mengayuh sepedanya
men- dekat. Namanya Dewi. Kami satu sekolah hingga kelas 6 SD.
Tapi semenjak berpisah di SMP, kami jarang bersama lagi.
“Oh, kamu, Dew,” balasku, “sekolahku memang selalu pulang
jam segini, apalagi kalau ada ekskul dan pelajaran tambahan.
Bisa lebih sore lagi. Kamu sendiri mau ke mana?”
Dewi mengerem sepedanya tepat di sampingku.
“Mau beli gula sama telur di warung Bu Yam. Aku boncengin,
yuk.”

224 Burung-Burung Kertas


“Makasih, Dew, duluan aja,” tolakku. Arah warung Bu Yam
berseberangan dengan kampungku. Selain itu, aku ingin lebih
lama menikmati perjalanan sore ini.
Sejenak punggung Dewi berlalu bersama kayuhan
sepedanya. Aku pun meneruskan langkahku yang pendek-
pendek, tidak ter- gesa. Hingga aku tiba di persimpangan, tepat
di bawah pohon beringin besar yang memisahkan kampungku
dan kampung yang dituju Dewi tadi, arah warung Bu Yam. Lantas
aku berhenti, bukan karena capek. Tapi karena kulihat seorang
Nenek duduk terpekur di bawah rindangnya pohon itu.
Si Nenek berambut putih, rambut digelung asal dengan me-
nyisakan helaian awut-awutan di sana-sini. Pakaiannya kusut
dan kumal. Sandal yang dipakainya sudah keropos, bahkan
bolong cu- kup besar tepat ditumitnya. Nenek itu duduk
bersandar dahan beringin yang kokoh, sehingga tampak kontras
sekali dengan pera- wakannya yang begitu kecil dan rapuh.
Tangan si Nenek merangkul plastik besar dagangan
sederhananya. Beberapa bungkus kerupuk nampak menyembul.
Melihat penuhnya plastik itu, sepertinya hari ini dagangan Nenek
belum banyak laku. Muncul rasa iba dalam hatiku.
Perlahan kuteruskan jalannku, berharap langkah kakiku
tidak mengganggu istirahat Nenek. Tapi Nenek terbangun juga,
matanya terbuka dan melihat ke arahku.
“Ndherek langkung, Nek,” sapaku sesopan mungkin.
Nenek itu menjawab sapaku dengan senyum. Pastilah Nenek
itu cantik sekali dimasa mudanya, sudah serenta ini, wajahnya
masih cerah seperti matahari dengan senyum itu, pikirku. Nenek
itu tentu tidak tahu kalau bekalku sudah habis dan aku tidak
mem- bawa sedikitpun uang sekarang. Makanya dia masih repot-
repot menawarkan dagangannya padaku. Tangannya merogoh
plastik, mengeluarkan sebungkus plastik berwarna coklat tidak
menarik dan memaksakan ke tanganku.
Tidak seperti kerupuk udang yang lezat, kerupuk gemplang
khas Kalimantan, maupun kerupuk favorit teman-temanku, maicih
yang mahal itu. Kerupuk dagangan Nenek itu disebut kerupuk
pasir, atau sering pula dinamakan kerupuk miskin. Sebab, alih-

Burung-Burung Kertas 225


alih dimasak menggunakan minyak goreng nonkolesterol yang
mahal itu, kerupuk ini cuma perlu dimasak dengan pasir. Cukup
sesuai dengan kondisi rakyat miskin yang semakin keberatan mem-
beli segala jenis minyak, baik BBM maupun minyak goreng. Ah,
apa sih aku ini, kok jadi melantur gini.
“Maaf, Nek. Saya nggak punya uang,” jawabku.
Walaupun ingin sekali aku membeli kerupuk itu sebanyak-
banyaknya, namun sama sekali tidak membantu kan kalau aku
membelinya berhutang.
“Ya sudah, dibawa aja dulu, Nak, tidak apa-apa,” kata Nenek
itu memaksakan sebungkus ke tanganku.
Aku menolak, dan seketika wajah Nenek itu murung, kelabu
datangnya mendung yang tiba-tiba. Aku ingin segalanya berjalan
sederhana, menerima kerupuk itu, lalu membayar uangnya pada
Nenek itu. Tapi semua menjadi rumit karena aku tidak punya
uang sama sekali. Menjelaskan pada Nenek juga pecuma, karena
bagi Nenek itu, kerupuk yang terbeli adalah berkah. Walaupun
sese- orang membelinya dengan berhutang dulu. Selain itu, bagi
bebe- rapa orang yang tidak memiliki apapun untuk dapat
diberikan pada orang lain, berhutangkan dagangan yang
dimilikinya pada orang yang membutuhkan, seremeh apapun itu,
menjadi luar biasa membahagiakan hati. Dan barang kali, di mata
Nenek ini, aku adalah anak malang yang begitu capek dan
kelaparan tanpa uang, yang perlu ditolongnya melalui sebungkus
kerupuk ini. Entahlah. Lantas... saat aku menerimanya,
kegembiraan Nenek itu nampak kembali.
Jangan tanya darimana aku mengetahuinya? Jangan kau pikir
aku sok tahu atau mengada-ada! Nenek itu tidak perlu mengata-
kan perasaanya padaku. Sorot matanya yang berbinar sudah men-
jelaskan lebih dari kata-kata, ketika Nenek itu memaksakan se-
bungkus kerupuk dagangannya padaku, membiarkan aku berhu-
tang ketika tahu aku tak punya uang. Badannya yang nampak
rapuh untuk sedetik terlihat bersemangat lagi. Begitu hidup. Ber-
buat baik, sesederhana apapun dan dengan apapun yang dimiliki
merupakan kelebihan sebagian orang miskin. Keikhlasan dan ke-

226 Burung-Burung Kertas


kayaan hati sebagian kaum miskin seperti Nenek itu jauh melam-
paui orang-orang kaya.
Aku, walaupun tidak menggemari kerupuk itu sehingga akan
rela berhutang untuk bisa memakannya, toh tidak mampu
menolak kerupuk Nenek. Kuterima juga kerupuk itu.
Kumasukkan ke dalam tas dan entah kapan aku akan
memakannya. Alasanku hanya satu, ingin membiarkan binar
kebahagiaan’karena telah membantu orang lain’ itu tetap
bersinar di mata Nenek. Maka aku pun pulang dengan hati tak
menentu. Sebungkus kerupuk hutang di dalam tasku, yang
beratnya tak lebih dari 1 ons, terasa seperti gunung. Bukan
sembarang hutang, melainkan hutang kepada Nenek miskin renta
yang kaya hati itu.
Tidak lama, aku sampai juga di rumah. Menaruh tas dan se-
patu sekenanya di dalam kamar. Melewatkan hidangan tahu-
tempe dan sayur orak-arik yang dibuat Ibu. Lalu bergegas
memecah ce- lengan kendi ukuran tanggung milikku. Rencananya
celengan itu baru akan kubuka saat tiba hari kelulusan nanti.
Untuk membeli seragam atau alat tulis baru. Tapi keperluan
sekarang kurasa jauh lebih penting dari semua itu.
Recehan beterbangan dan jatuh berantakan di lantai kamar.
Ibu dan keluargaku yang lain rupanya tidak mendengar
segelegar pecahnya celenganku sehingga aku leluasa
mengumpulkan recehan- recehan itu dan puing pecahan kendi
celenganku tanpa harus menjelaskan apapun pada siapapun.
Kuhitung jumlahnya tak lebih dari enam puluh ribu rupiah.
Jumlahnya yang sedikit untuk ukuran tabungan selama 3 tahun
tidak mengejutkanku, toh aku sadar betul kalau selama ini aku
memang jarang menabung. Bukan karena aku boros atau tidak
ulet. Tapi karena aku jarang punya uang sisa. Ayah selalu
memberiku bekal amat ‘secukupnya’, yang selalu habis untuk
membeli seplastik es atau 2 gorengan saja. Kadang- kadang aku
bahkan tidak bisa jajan apabila di kelas sedang diada- kan iuran
entah apa. Tanpa membuang waktu, aku segera mem- bawa
separuh uang itu, berlari sekencang-kencangnya menuju Ne- nek
tadi. Berharap dia masih menungguku di bawah besar di per-
simpangan kampung. Lantas terbebaslah aku dari beban hutang
Burung-Burung Kertas 227
‘bukan sembarang hutang’ ini.

228 Burung-Burung Kertas


Belum sampai tujuan, kudengar tangis kecil sesenggukan.
Nampak sepeda yang kukenal teronggok di pinggir jalan.
Kudapati Dewi meringkuk di semak-semak, dengan wajah
sembab dan air mata berlinang.
“Dewi, kamu kenapa menangis seprti ini?” tanyaku khawatir.
Yang kutanya tidak kunjung menjawab, hanya melihatku se-
pintas dan kembali menangis. Aku yang mulai tak sabar karena
takut akan ketinggalan Nenek tadi, kembali menanyainya.
“Jawab-
lah kenapa, Dew. Nangis aja?”
Telunjuk gadis itu mengarahkan pandanganku pada plastik
hitam di ujung stang sepedanya yang ambruk. “Masya Allah”,
kataku, “masa udah segede gini jatuh dari sepeda aja nangis.”
Mendengar gerutuku, tangis Dewi semakin menjadi.
“Aku menangis bukan karena jatuh,” protesnya, “tapi karena
telur Ibuku 2 kilo pecah semua. Padahal itu untuk pesanan katering
nanti malam. Aku nggak berani pulang.”
Benar saja, plastik itu memang berisi pecahan telur. Baunya
amis dan mulai mengundang lalat. Kasihan sekali Dewi, apalagi
telur-telur itu pastilah amat penting bagi dia dan Ibunya. Dewi
sudah tidak punya ayah sehingga penghidupan mereka hanya
mengandalkan usaha katering sederhana Ibu Dewi. Memecahkan
telur-telur itu tentunya membuat Dewi sangat takut dan sedih.
Jadi kuberikan uangku secukupnya untuk membeli 2 kg telur
yang baru.
***
Uangku habis untuk Dewi membeli telur yang baru, terpaksa
aku pulang lagi. Sekuat tenaga berlari ke rumah. Langsung
menuju ke kamar dan mengambil sisa uang celenganku. Suara
tangis adikku di ruang tengah sesaat mengalihkan perhatianku,
untuk sejenak menghentikan langkahku menuju pintu keluar.
Sepintas kulihat adikku sedang menangis meraung-raung. Ibu
berusaha membu- jukknya. Hingga tidak sempat menanyaiku
sedang apa atau hendak ke mana. Ah, apa gerangan yang
menyebabkan tangis pilu adikku itu. Tidak banyak waktu yang
kumiliki untuk dapat sekadar men- cari tahu. Aku takut,
terlambat semenit saja aku akan kehilangan kesempatan
Burung-Burung Kertas 229
menemui Nenek penjual kerupuk.

230 Burung-Burung Kertas


Tidak kupedulikan pedihnya kakiku yang suah berjalan
bolak- balik berkilo-kilo meter sejak pulang sekolah tadi, tidak juga
sosok Dewi yang sudah ceria mengayuh sepedanya kembali
setelah mem- beli telur yang baru. Yang kupikirkan hanya Nenek
kerupuk, apa- kah dia masih beristirahat di bawah pohon itu?
“Nenek, Nenek, tunggu aku sebentar,” mohonku lirih, berha-
rap sepoi angin di penghabisan sore akan menyampaikan
pintaku padanya.
“Ssssshhh,” demikian jawab semilir angin, sambil meniup
ram- butku yang berkibas-kibas seiring kencangnya lariku.
Hatiku begitu girang saat kudapati Nenek itu berjalan
tertatih, tidak terlalu jauh dari beringin tempatnya beristirahat
tadi. Lang- kahnya begitu pelan, kecil, dan lemah. Tak bisa
kubayangkan pukul berapa dia akan sampai rumahnya. Seketika
semakin kukencang- kan lariku, seperti atlit sprinter yang telah
melihat garis finish.
“Nek.....Nek!” panggilku.
Nenek itu berhenti, lalu menoleh ke arahku. Akupun lega.
“Nek, untung Nenek masih di sini,” kataku hampir memeluk
Nenek itu saking senangnya.
Nenek itu nampak keheranan. Sepertinya beliau sudah lupa
padaku, orang yang belum lebih sejam diberinya hutangan ke-
rupuk.
“Nak ini siapa? Nak mau beli kerupuk, Nenek,” tanya Nenek
itu penuh harap.
Ternyata beliau memang pangling melihat aku yang sudah
ti- dak lagi memakai seragam.
“Nek, saya Nova, saya yang tadi berhutang kerupuk sama
Nenek”, jawabku. “Ini nek, saya sudah punya uangnya. Berapa
Nek, harga sebungkus kerupuk tadi?”
“Oalah, Nak to? Memangnya nak sudah punya uang, kenapa
terburu-buru sekali membayar kerupuknya? Nenek tidak minta
dibayar buru-buru. Besok juga tidak apa, Nak, kan masih ketemu
Nenek lagi.”
Memang, aku sering bertemu Nenek kerupuk saat pulang se-
kolah.
“Makasih, Nek, saya sudah ada uang, kok.”
Burung-Burung Kertas 231
“Ya sudah, lima ribu sebungkusnya, Nak,” jawab Nenek itu.
Aku mengumpulkan recehan dan beberapa lembar ribuan
hingga terkumpul lima ribu rupiah. Kuserahkan pada Nenek itu,
dan legalah hatiku. Nenek memasukkan uang ke bundhelan ujung
selendangnya. Nenek itu tersenyum dan kembali meneruskan per-
jalanan pulangnya. Kuikuti sosoknya, dan sesuatu menyuruhku
untuk mengejar Nenek itu lagi. Tak tega melihatnya membawa
lima Ibu rupiah saja sebagai hasil jualan satu-satunya hari ini.
“Nek, kerupuknya kurang. Saya beli 2 lagi, ya,” kataku ter-
bata.
Nenek itu nampak sumringah, sambil mengucap beribu
syukur pada Tuhan, Nenek itu memberikan 2 bungkus kerupuk
padaku. “Nak, suka sekali kerupuk Nenek, ya? Matur nuwun ya,
Nak.
Tadi Nenek sudah sedih dagangan Nenek belum laku satupun
hari ini,” jelas Nenek kerupuk, tepat seperti yang sudah kuduga.
Kubayarkan sepuluh ribu lagi padanya. Lalu aku pulang mem-
bawa 2 bungkus kerupuk miskin sambil menggenggam sisa
recehan yang tidak lebih dari lima belas ribu rupiah, uang
tabunganku
selama 3 tahun yang masih tersisa.
Kilau jingga sinar matahari senja menerobos masuk melalui
pintu yang kubuka. Adikku si Bungsu masih merengek di
pangkuan Ibu. Nafasnya tersengal saking sedih. Ayah belum
pulang. Beliau selalu pulang malam sebagai pengayuh becak yang
mangkal di stasiun, menunggu rezeki dari para penumpang yang
kelamaan tidak mendapat kendaraan.
“Adik kenapa menangis, Bu?”
“Sepatunya rusak. Dia diejek teman-temannya lagi di
sekolah. Makanya, yang biasanya si Bungsu nurut sama Ibu,
sekarang sudah tidak bisa dibujuk gini. Adikmu minta dibelikan
sepatu malam ini juga,” jelas Ibu padaku dengan isyarat tanpa
suara, tak ingin me- mancing ledak tangis adik lagi.
Seketika hatiku luruh, hancur berkeping. Celengan yang tadi
kupecah seharusnya lebih dari cukup untuk membelikan sepatu
Adik. Namun, kudapati kesadaranku kembali, uang yang tersisa
di tangan tak lebih dari lima belas ribu rupiah... tentu saja, baru
232 Burung-Burung Kertas
akan cukup untuk membelikan sepatu untuk adik kalau kutam-
bahkan 3 bungkus kerupuk pasir yang telah kubeli di
penghujung senja ini.

Biodata Penulis
Nopa Triana tinggal di Tambak Boyo, RT 21/61 Condongcatur, Depok,
Sleman. Saat ini Triana bersekolah di SMA N 1 Depok, Sleman. Hobinya
adalah bersepeda, mendengarkan musik, dan menulis. Jika ingin
berkorespondensi dengan Nopa Triana dapat menghubungi: HP
08999518245, email: Nopa_354@yahoo.com.

Burung-Burung Kertas 233


PULANG
Annisa Nur Harwiningtyas

Angin musim gugur bergumul cepat, membuat bulu-bulu


roma yang merasakannya akan meriang. Daun-daun berwarna
merah marun masih bergelantungan pelan di dahan-dahan
pohon, sedang lainnya terbang tak terkira mengikuti alur angin.
Rumput-rumput yang biasanya berwarna hijau segar, kini
bagaikan beludru. Langit sore Kota Paris mulai merendah,
memperlihatkan kesejukan di tiap sudut kotanya.
Saya, sebagai seekor tupai yang tidak terlalu dihiraukan ke-
beradaannya, selalu menyukai suasana sore hari di Kota Mode
ini. Ketika senja mulai beringsut di balik pencakar yang manusia
sebut dengan Menara Eiffel dan membiaskan tiap sinar lembutnya,
men- ciptakan langit dengan warna jingganya, serta membuat tiap
awan merona kemerah mudaan. Lampu-lampu kota yang tidak
pernah tidur pun terkadang mempermanis kota ini.
Angin musim gugur tahun ini terasa lebih dingin dari tahun
lalu. Kami para tupai lebih banyak berselimut di dalam sarang
dibandingkan mencari makan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan, para Parisian1 dan turis selalu menggunakan jaket tebal
untuk bejalan-jalan atau keluar rumah, sama seperti saat musim
dingin. Anak-anak sekolah yang di tahun-tahun sebelumnya se-
nang bermain tumpukan daun kini jarang saya temui, hanya tiga
atau lima orang saja dalam sehari. Bahkan terkadang mereka tidak
hadir. Lainnya, mungkin, menonton televisi ditemani camilan
dan

1
Parisians: Sebutan bagi penduduk Paris.

234 Burung-Burung Kertas


minuman panas kesukaan mereka. Musim tahun ini tidak pernah
sama dengan sebelum-sebelumnya.
Matahari mulai tergelincir ke balik Menara Eiffel. Angin pun
semakin kencang mengibaskan dirinya, menghamburkan
dedaun- an yang masih mencoba bertahan di rengkuhan induk
pohonnya, layaknya seorang anak yang baru bertemu ibunya
setelah sekian lama. Seekor dari kami pun mulai memasukkan
biji kenari yang baru saja ditemukannya ke dalam sarang.
Setelah itu, terdengar beberapa kali suara cicitan-cicitan halus
dari dalam sarang, lalu hening, hanya suara hunusan angin yang
terdengar semakin pilu. Berselang beberapa detik, saya melihat
seorang gadis beram-
but kain satin sedang duduk termenung di bangku taman. Ta-
tapannya menerawang ke arah kaki langit yang semakin terbias.
Berkas-berkas kelelahan nampak sekali di tiap lekuk wajahnya
yang tegas. Matanya terlihat sayu, dan pipinya yang merona
akibat kedinginan terlihat sedikit tirus dengan bibir tipis yang
pucat ke- ring. Tubuh mungilnya terlihat sedikit menggigil,
walaupun sudah dilapisi sweater putih dan jaket tebal berwarna
cokelat. Jari-jarinya yang lentik memenuhi satu sama lain,
mencoba menghangatkan satu dengan lainnya.
Gadis itu terlihat mendesah pelan, lalu membungkam wajah-
nya dengan kedua telapak tangannya. Dia sedikit menundukkan
wajahnya. Lelah, mungkin.
Tiba-tiba, seseorang terlihat mendekat. Seorang lelaki. Ba-
dannya agak membungkuk dan rambutnya sedikit putih, tersisir
rapi. Kedua tangannya membawa sapu lidi panjang. Si tukang
pembersih rupanya sudah datang. Lelaki itu mulai menyapu de-
daunan yang mereduksi jalan. Menggerusnya dan
mengumpulkan- nya menjadi satu tumpukan. Satu-satu dan
pelan. Dia berpindah- pindah dari satu sisi ke sisi lainya.
Daun-daun maple kembali jatuh untuk kesekian kalinya hari
itu. Cicitan anak-anak angin juga mulai kembali terdengar. Hari
itu, hampir dua pertiga pohon habis dipangkas oleh mereka.
“Suhu udara hari ini begitu dingin, ya.” Tiba-tiba si tukang
pembersih berseru. Matanya sempat melirik sekilas ke arah
gadis
Burung-Burung Kertas 235
itu. “Apa yang Anda lakukan di tengah suhu yang seperti ini?”
tanyanya.
Gadis itu kaget. Sempat gelagapan. Lalu menjawab,
“Mencoba melepaskan diri sejenak dari keributan pekerjaan tidak
disalahkan bukan?”
Lelaki itu manggut-manggut.”Pasti Anda begitu sibuk?”
ucap- nya, sedikit menoleh ke arah gadis itu.
“Iya,” ucapnya, terdengar sedikit parau.
“Pekerjaan memang menyita banyak waktu. Tapi, mau bagai-
mana lagi, tanpa bekerja kita juga tidak bisa hidup, kan. Hidup
memang terkadang terasa serba salah.”
Gadis itu tersenyum kecil mendengar ucapan si tukang pem-
bersih. Senyum yang menggambarkan bahwa dia mengakui
kebe- naran dari ucapan si tukang pembersih.
“Memangnya, apa pekerjaan Anda?”
“Saya seorang editor majalah mode.”
“Majalah yang terkenal itu?”
Gadis itu mengangguk.
“Pasti Anda sangat senang bekerja di sana.”
“Begitulah. Itu merupakan cita-cita saya dari kecil. Dan saya
pikir hal itu merupakan pencapaian terbesar saya, karena kerja
keras saya selama ini tidak sia-sia. Tapi..,” ucapan gadis itu ter-
henti. Dia sepertinya ragu untuk melanjutkan ucapannya.
Dahi si tukang pembersih berkernyit, menunggu kelanjutan
ucapan dari mulut gadis itu.
“Tapi, tiba-tiba saja, sekarang, saya menjadi bingung, tidak
tahu. Saya seperti berada pada titik terjenuh dalam hidup saya.
Saya merasa saya hilang arah. Saya melek tapi seperti tidak
melek. Saya bergerak tetapi otot-otot saya serasa mati rasa. Saya
merasa bahwa saya tidak berada di tubuh yang benar. Saya
seperti robot yang rusak, usang dan mati.”
“Tidak pernah terpikir untuk pulang?”
“Pulang?” ulang gadis itu. Sedikit
heran.
“Iya. Apa Anda tidak mendamba untuk bertemu keluarga
Anda? Walaupun hanya berbincang ringan ditemani secangkir
teh atau minumam hangat lainnya, tapi paling tidak, itu sudah
236 Burung-Burung Kertas
meng-

Burung-Burung Kertas 237


angkat beberapa beban yang Anda panggul.” Lelaki itu menghen-
tikan pekerjaannya sejenak, menatap gadis itu.
“Semua orang pada akhirnya harus pulang bukan?”
“Tapi, saya tidak tahu harus pulang ke mana. Saya tinggal di
negara ini sendirian. Semua keluarga saya ada di negara lain,”
ungkap gadis itu. Nada suaranya terdengar bergetar ketika
meng- ucapkan sederet kalimat itu. “Saya tiba-tiba merasa seperti
seorang tawanan.”
“Seorang tawanan pun pada akhirnya menemukan keluarga
barunya di dalam sel penjara. Bahkan terkadang, mungkin, dia
rindu dengan suasana di dalam sel ketika dia sudah bebas. Sel
seperti rumah kedua yang mempertemukan dia dengan keluarga
barunya.” Si tukang pembersih mengambil saput tangan yang
ada di saku jaketnya. Dia mengelap peluhnya, lalu melipatnya
dan memasukkan lagi ke dalam saku jaketnya.
“Pulang itu tidak berarti harus pulang. Anda berkunjung ke
tempat yang Anda suka dan nyaman bagi diri Anda itu juga
sudah pulang.”
Gadis itu terdiam. Sepertinya, sedang mencerna kalimat ter-
akhir lelaki ini.
Lelaki itu beranjak, hendak pindah seperti kebiasaannya ke
sisi lain taman ini.
“Saya pindah dulu, ya. Mau kerja lagi,” ucapnya, sembari ter-
senyum ke arah gadis itu. Lelaki itu melangkah agak jauh. Suara
gemerisiknya sapunya sayup-sayup masih terdengar.
Gadis itu pun masih terduduk di kursi taman dalam diam.
*
Sore ini merupakan sore ke sepuluh si tukang pembersih mem-
bersihkan taman semenjak sore berangin itu, dan gadis itu belum
pernah terlihat lagi. Mungkin dia sudah menemukan apa yang
dimaksud pulang oleh si tukang pembersih. Atau mungkin, dia
sedang disibukkan dengan pekerjaan sebagai editor dan memilih
melupakan kegalauannya mengenai teori pulang yang digagas
oleh si tukang pembersih. Entahlah. Saya tidak seharusnya ikut
campur.
*

238 Burung-Burung Kertas


Musim gugur sudah akan berakhir. Suhu udara semakin ren-
dah saja dan pohon-pohon semakin meranggas. Malam juga
sema- kin cepat menggerogoti hari—seakan berpacu dengan
angin yang semakin hari semakin sering datang. Hiruk pikuk
Kota Paris pun juga semakin terlihat sepi dari hari ke hari. Hanya
lelaki pembersih itu yang masih sering saya lihat sedang
membersihkan tempat ini. Tapi sore ini saya belum mendengar
suara gesekan sapunya. Padahal, biasanya, dia sudah akan ada di
sini saat matahari sudah mulai mendekati kaki langit.
Seseorang datang. Tetapi bukan si lelaki pembersih. Dia se-
orang wanita. Dan sepertinya saya mengenali wajah yang
tertutup slayer itu, serta cara berjalannya yang terlihat sedikit
kikuk. Gadis itu datang lagi rupanya. Dia membawa sebuah
bingkisan yang dimasukkan ke dalam tas kertas. Entah untuk apa
atau siapa bing- kisan tersebut. Yang pasti isi bingkisan itu
cukup besar.
Gadis itu kembali duduk di kursi yang sama, di waktu yang
sama dan suasana yang sama. Hanya suhu udara saja yang
semakin dingin.
Gadis itu meletakkan bingkisan yang dia bawa di pangkuan-
nya. Dia seperti sedang mencari seseorang. Sedari tadi kedua
bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri seirama dengan
gerakan kepalanya. Beberapa kali ia sempat mengecek jam
tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya, lalu dia
kembali mencari. Suara gesekan sapu yang bertemu dengan
tanah penuh de- daunan kembali terdengar. Seketika kami—
saya dan gadis itu—
menoleh ke arah sumber suara.
Si tukang pembersih.
Gadis itu segera mendatanginya sembari membawa
bingkisan yang dia pangku sedari tadi. Dengan senyum ceria dia
mendatangi lelaki tua itu. Menjabat tangannya dan
mengangsurkan bingkisan yang dia bawa. Si tukang pembersih
menolak.
“Tidak usah repot-repot,” ucapnya, kembali menyodorkan
bingkisan yang diberi oleh sang gadis.
Gadis itu memaksa. Itu merupakan ungkapan terima kasih
Burung-Burung Kertas 239
darinya atas teori pulang yang diberikan lelaki tua itu
kepadanya.

240 Burung-Burung Kertas


Dia akhirnya dapat menemukan rumah barunya di kota ini.
Sebuah panti asuhan kecil di pinggiran kota.
“Oya, pasti kamu sangat senang,” kata lelaki tukang pember-
sih itu dengan riang, seolah-olah telah terpengaruh keceriaan gadis
itu.
“Di sana tinggal berpuluh-puluh anak, rata-rata balita dan
menjelang remaja. Sebagian besar dari mereka tidak pernah
kenal siapa orang tuanya. Pengelola panti dan pengasuh-
pengasuh di sana juga sangat ramah terhadap saya. Saya seperti
menemukan pengganti keluarga saya di sana. Saya kembali
menemukan rumah saya yang telah lama hilang.” Gadis itu
terlihat sangat bahagia. Matanya terlihat berkaca saat
menceritakan semua hal itu. “Sekali lagi terima kasih, karena
tanpa Anda mungkin sampai sekarang saya masih akan tetap
menjadi orang dingin yang sebenarnya ting- gal di sebuah kotak
yang hangat.”
“Terima kasih pula atas bingkisan yang telah Anda beri.”
Lelaki tua itu mengangkat bingkisan yang diberikan kepadanya.
Gadis itu tersenyum hangat. “Saya pamit. Masih ada
pekerjaan yang harus saya kerjakan di kantor.”
Lalu, dia pergi meninggalkan lelaki tukang pembersih itu
sen- dirian. Jelas terlihat tatapan mata lelaki pembersih itu
mengikuti langkah gadis itu yang makin menjauh.
Senja sudah semakin mengetuk kaki langit. Sepertinya saya
juga harus pulang. Keluarga saya sudah menunggu di rumah.

Yogyakarta, 17 Juli 2013

Biodata Penulis
Annisa Nur Harwiningtyas tinggal di (…) Saat ini Annisa bersekolah di SMA
9 Yogyakarta, kelas X. Hobinya adalah membaca buku-buku karya sastra
dan menulis karya sastra. Annisa dapat dihubungi melalui email:
nisa_nurh@yahoo.co.id, jejaring facebook: Annisa Nur Harwiningtyas.

Burung-Burung Kertas 241


238 Burung-Burung Kertas
CATATAN
DEWAN JURI

Burung-Burung Kertas 239


240 Burung-Burung Kertas
Esai

Mengamati dan menilai naskah esai yang ikut serta dalam


Lomba Penulisan Esai bagi Remaja DIY tahun 2013, kami mencatat
beberapa hal penting yang ditemui dalam isi naskah-naskah esai
tersebut. Sebanyak 77 naskah esai yang masuk ke meja juri menyu-
guhkan beragam tema sebagai jabaran dari sebagian ranah kebaha-
saan, kesastraan, dan kebudayaan. Walaupun begitu, tulisan-
tulisan esai remaja DIY yang berumur antara 13—21 tahun tersebut
mampu menyuguhkan kekhasan sudut pandang “remaja”.
Dari 77 naskah esai, kami memilih 10 nomine berdasarkan
atas tiga aspek, yakni (1) topik (gagasan, pengalaman, data) yang
sudah memadai untuk dikembangkan sebagai sebuah karangan
yang utuh; (2) penalaran yang jernih, lurus, dengan argumentasi
yang relatif kuat; dan, tentu saja, (3) aspek kebahasaan dan tata
tulis yang bisa dikategorikan baik atau lumayan.
Dari seluruh naskah yang masuk dan dinilai juri
memperoleh beberapa persoalan yang perlu disampaikan
sebagai catatan. Persoalan tersebut antara lain, kurangnya data
pendukung tema yang diajukan, penjabaran pola pikir yang
kurang terbaca, tiadanya tawaran atau solusi konkret atas
permasalahan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari esai peserta lomba
ialah lemahnya permasalahan yang dikaji dalam naskah esai, antara
lain mengenai bahasa alay, penulisan esai remaja, cara
menumbuhkan minat baca, cara mencipta tokoh fiktif dalam
karya sastra, aplikasi pintar tebaku, budaya sebagai asset
pembangunan. Kajian itu diungkapkan dengan kekhasan
penulisan remaja. Secara umum Ide-ide yang dikemukakan para
remaja tersebut cukup inovatif dan segar sisi penulisan
semiilmiahnya.
Penulisan semi ilmiah naskah esai perlu memperhatikan
Burung-Burung Kertas 241
pembatasan pengutipan dari sumber-sumber internet. Terbaca oleh

242
dewan juri bahwa masih banyak tulisan yang sifatnya kopi paste
dari internet, blog atau twiter sebagai rujukan. Kedua, diabaikan-
nya kelayakan pengutipan atau perujukan. Sedangkan yang lain,
penulis idealnya tidak terlalu mempercayai tulisannya pada
tulisan-tulisan umum atau blog karena alas an validitas. Penulis
disarankan untuk merujuk pada buku elektronik atau ebook jika
berkehendak mengambil referensi dari internet.
Perihal lain berkenaan dengan tema dan tinjauan pustaka.
Tema idealnya mengangkat permasalahan baru. Kalaupun tidak,
sudut pandang atau pembahasan harus memperhatikan kebaruan.
Dalam kaitannya dengan tinjauan pustaka, esai hendaknya ber-
tolak dari kajian yang sudah ada. Selain memudahkan
pembahasan, langkah itu sesuai dengan pengertian esai sebagai
karya semiilmiah yang harus menghindari plagiarism. Dengan
langkah-langkah itu, esai akan mengungkap hal-hal baru, baik
perihal tema, cara pemahaman, maupun solusi.
Terakhir, adalah masalah bahasa dan gramatika. Sebuah tulis-
an akan mudah dicerna atau dibaca jika cermat dalam menerapkan
tata bahasa maupun ejaan. Tata bahasa berkenaan dengan bagai-
mana menyusun paragraph/kalimat/diksi. Ejaan berkenaan
dengan bagaimana esais menuliskan semua gagasannya.
Demikian sekelumit catatan kami, semoga mampu memberikan
gabaran untuk penulis supaya dapat “menulis” dengan lebih
baik. Salam.

(Edi Setiyanto, Octo Lampito, Suroso )

242 Burung-Burung Kertas


Cerpen

Ketika kami (dewan juri) melihat tumpukan cerpen (sebanyak


200-an judul) yang disodorkan oleh panitia “Lomba Penulisan
Cerpen bagi Remaja DIY 2013”, terpetik pikiran mengenai beraneka
tema dan gambaran kehidupan remaja (13-21tahun) yang sarat
dengan modernitas dan pengolahan pikiran yang dilandasi
realita sosial dengan tren metropolis akan tampak dalam cerpen-
cerpen tersebut. Beberapa pikiran “nakal” yang muncul dalam
cerpen- cerpen tersebut bukan tanpa alasan, karena mainstream
dunia remaja di Indonesia saat ini memang tak jauh dari
modernitas, seperti glamor tren-tren impor budaya asing, Korea,
Jepang, Amerika, Inggris, dan lain sebagainya. Namun, ketika satu
demi satu naskah kami baca, pelan-pelan pencitraan terhadap
dunia remaja yang kami bayangkan menghiasi naskah-naskah
cerpen remaja DIY sirna. Bahkan, ketika kami bertiga harus
menentukan 20 nomine, ternyata cerpen-cerpen itu mempunyai
beragam tema realisme-idealisme sosial-budaya-seni yang
digambarkan melalui kacamata remaja.
Keduapuluh naskah tersebut dikemukakan para remaja dan
disajikan dalam alur cerita yang begitu dekat dan lekat, bahkan
sangat bersinggungan dengan keseharian kita. Meskipun cerpen
adalah sebuah fiksi, tetapi para remaja tersebut mengangkatnya
dalam rangkaian cerita yang mampu menggugah simpat dan
empati pembaca secara lebih realis. Di dalam catatan kami sebagai
dewan juri, pengalaman hidup para remaja penulis cerpen
benar- benar diletakkan sebagai fundamen imaji kreatif mereka.
Olahan- olahan kreatif sastrawi para remaja memang masih perlu
mendapat beberapa catatan yang kami rasa akan lebih
meningkatkan daya dorong kepenulisan kreatif mereka.
Pengayaan data yang kurang masih dijumpai dalam beberapa
cerpen. Selain itu, alur cerita dalam
Burung-Burung Kertas 243
beberapa cerpen juga kurang mampu memberikan alur dan
penokohan yang “logis” berkaitan dengan ending yang jelas (happy
end, sad end, atau floating plot), sehingga kami perlu mengkon-
firmasikan dan memberikan masukan kepada penulis demi
keutuhan alur cerita. Terminologi-terminologi yang tidak baku
juga banyak diadopsi dari internet dan bacaan-bacaan online,
sehing- ga memunculkan kata-kata atau ungkapan yang kurang
komuni- katif dan tidak mampu dicerna oleh pembaca dengan
mudah. Walaupun dalam argumen, penulis beranggapan bahwa
kata-kata tidak baku tersebut menjadi “tren”, tetapi kami
menyarankan untuk memilih kata-kata yang lebih mampu
dipahami dan berterima di kalangan pembaca.
Semoga, catatan dan perbaikan yang telah dilakukan mampu
memberikan karakter bagi keduapuluh cerpen yang dimuat di
dalam antologi ini. Terus maju. Salam sastra.

(Herry Mardianto, Naomi Srikandi, Ikun Sri Kuncoro)

244 Burung-Burung Kertas

Anda mungkin juga menyukai