Anda di halaman 1dari 258

Burung-Burung Kertas i

ii Burung-Burung Kertas
Antologi Esai dan Cerpen
Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen
bagi Remaja Tahun 2013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Burung-Burung Kertas iii


BURUNG-BURUNG KERTAS
Antologi Esai dan Cerpen
Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun 2013

Penyunting
Yohanes Adhi Satiyoko
Aji Prasetyo

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh:


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34
Yogyakarta 55224
Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667
Laman www.balaibahasa.org

Cetakan Pertama
Desember 2013

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


BURUNG-BURUNG KERTAS; Antologi Esai dan Cerpen Pemenang
Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2013, Yohanes Adhi Satiyoko,
Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013
(xii, 244 hlm.; 21cm)
ISBN 978-602-777-785-9

iv Burung-Burung Kertas
KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga


hari ini, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Un-
dang Nomor 24 Tahun 2009, yang dipertegas lagi dalam Permen-
dikbud Nomor 21 Tahun 2012, mengemban tugas sebagai lembaga
pembina dan pengembang bahasa dan sastra Indonesia dan Dae-
rah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu,
Balai Bahasa Provinsi DIY selalu menyelenggarakan kegiatan yang
berkenaan dengan pembinaan kebahasaan dan kesastraan. Lomba
penulisan kebahasaan dan kesastraan yang diejawantahkan dalam
lomba menulis esai dan cerpen bagi remaja DIY diselenggarakan
Balai Bahasa Provinsi DIY sebagai bentuk penjaringan dan pembi-
naan generasi muda yang bertalenta menulis karya kebahasaan
dan kesastraan.
Sasaran kegiatan pembinaan proses kreatif yang dilakukan
pada tahun ini tertuju pada remaja, khususnya mereka yang ber-
usia 13—19 tahun. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
generasi mudalah yang kelak diharapkan menjadi generasi yang
kreatif, inovatif, dan mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasio-
nal, maupun internasional. Generasi mudalah yang di masa datang
juga akan menjadi pemegang kendali kekuatan dan kesejahteraan
bangsa; dan oleh karenanya, sejak dini mereka harus dibekali de-
ngan kepekaan yang tinggi, wawasan yang tajam, dan sikap yang
kritis sehingga kelak mampu menghadapi segala tantangan dan
hambatan. Dan kita yakin, bekal semacam itu, niscaya dapat diper-
oleh dari belajar berproses kreatif menulis, di antaranya menulis
esai dan cerpen.

Burung-Burung Kertas v
Sejumlah karya “terbaik’ hasil nominasi esai dan cerpen buku
antologi ini adalah bukti bahwa remaja di DIY, mampu “mencipta”
sesuatu (karangan) melalui proses kreatif (perenungan dan
pemikiran); dan di dalamnya mereka menunjukkan bahwa mereka
memiliki ketajaman penglihatan dan kepekaan menangkap
problem-problem sosial dan kemanusiaan yang dihadapinya.
Untuk itu, kegiatan kreatif-kompetitif ini perlu terus dipertahankan
dan dikembangkan untuk menghasilkan generasi yang aktif-
kreatif-kompetitif sebagai generasi yang “pilih tanding” bagi
negara dan bangsa Indonesia.

Yogyakarta, September 2013

Drs. Tirto Suwondo, M.Hum.

vi Burung-Burung Kertas
MENGUNGGAH DIRI

Menulis karya sastra adalah menggambar kehidupan dalam


remasan jari. Rupa remasan itu menyimpan ribuan bahkan jutaan
cerita yang siap dihadirkan untuk dinikmati. Karya sastra menjadi
sebuah cermin mini yang bisa membiaskan catatan kehidupan
manusia, walau tidak secara utuh. Jarak estetik antara realita dan
cerita fiksi menjadi ruang kreatif yang menghadirkan gambaran
kehidupan secara estetik. Ruang kreatif itulah yang menjadi bagian
dari pengarang untuk meramu gambaran kehidupan yang dia
tangkap. Di dalam ruang kreatif, yang selalu ada dan disediakan
oleh lembaga atau komunitas peduli perkembangan sastra, penulis
diajak untuk selalu mengembangkan diri dan mengolah kepekaan
imaji ketika menghadapi dan mengalami fenomena kemanusiaan.
Balai Bahasa Provinsi DIY selalu menyediakan diri untuk memberi
ruang kreatif pembinaan penulisan kreatif karya sastra dan bahasa.
Lomba menulis kebahasaan dan kesastraan yang diejawantahkan
dalam “Lomba Menulis Esai dan Cerpen bagi Remaja DIY, pada
tahun 2013 ini, bertujuan untuk “mengunggah” potensi-potensi
muda kreatif DIY supaya lebih mendewasa dalam khazanah keba-
hasaan dan kesastraan di tingkat daerah. Maka, hasil-hasil karya
esai (10 judul) dan cerpen (20 judul) terbaik tersebut dimuat dalam
Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan
Cerpen bagi Remaja Tahun 2013 dengan judul BURUNG-BURUNG
KERTAS. Tidak lain dan tidak bukan, penerbitan antologi
BURUNG-BURUNG KERTAS mewujud dalam rangka mengapresiasi
kreativitas potensi-potensi remaja penulis di DIY.

Burung-Burung Kertas vii


Penerbitan buku ini bukanlah sebuah akhir perjalanan remaja-
remaja penulis tersebut, tetapi inilah satu batu pijakan yang perlu
dilalui mereka untuk mengunggah diri dalam usaha melebarkan
sayap kepenulisan mereka. Maka, harapan kami adalah melihat
remaja-remaja potensial ini untuk semakin berkembang, kritis, dan
konstruktif dalam menggambarkan kehidupan manusia dalam
imaji mereka. “Teruslah melihat dunia dalam kacamatamu, catat,
dan tuangkan melalui tintamu. Biarlah dunia berkaca melalui hasil
karya kebahasaan dan kesastraanmu. Terus maju dan pantang
menyerah.”

Yogyakarta, September 2013

Y. Adhi Satiyoko

viii Burung-Burung Kertas


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY ............................... v
MENGUNGGAH DIRI ................................................................. vii
DAFTAR ISI ...................................................................................... ix

ESAI

MINAT BACA RENDAH: PENYEBAB MARAKNYA


BAHASA ALAY
Imas Indra Hapsari .......................................................................... 3
SENI ALA KADARNYA
Anggalih Bayu Muh. Kamim ........................................................ 13
ESAI BAGI REMAJA: KEBUTUHAN ATAU
KETERTARIKAN?
Anita Meilani ................................................................................. 23
AKU GUNCANGKAN DUNIA DENGAN MEMBACA
Surya Jatmika ................................................................................. 32
MENCIPTA TOKOH FIKTIF DALAM KARYA SASTRA
Ratu Pandan Wangi ...................................................................... 41
APLIKASI PINTAR TEBAKU UNTUK MENINGKATKAN
MINAT BERBAHASA DAN BERSASTRA PADA
REMAJA
Sangga Hadi Pratama .................................................................... 52
PERSPEKTIF: KEBUDAYAAN SEBAGAI ASET
PEMBANGUNAN
Sri Mulyani ................................................................................... 61

Burung-Burung Kertas ix
FIKSI MINI: KREATIVITAS SASTRA YANG TIDAK BIASA
Muhammad Ikhwan Anas .............................................................. 69
EKSPANSI BUDAYA: LUNTURNYA KEBUDAYAAN ASLI
INDONESIA
Alfiani Dyah Kurnia Sari .............................................................. 77
BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL
PEMBANGUN KARAKTER ANAK
Dian Andri Ani ............................................................................. 87

CERPEN

BERMULA DARI SUARA


Deliana Poetriayu Siregar .............................................................. 99
BINTANG HARAPAN
Akbar Yoga Pratama .................................................................... 108
BURUNG-BURUNG KERTAS
Beladiena Herdiani ....................................................................... 119
CERITA DI RADIO
Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati ........................................ 126
HIKAYAT BATU-BATU
Nur Cholifah ................................................................................ 130
KEGELAPAN YANG MENGINTAI
Ratu Pandan Wangi .................................................................... 135
KISAH PAGI DAN KAU YANG KUPANGGIL TUAN
Galih Pangestu Jati ...................................................................... 142
KUPU-KUPU SEGERA TERBANG
Primadita Herdiani ...................................................................... 148
LAMBANG KEBEBASAN
Nisrina Salsabila .......................................................................... 155
MAMAK GUNTUR
Wahyu Sekar Sari ......................................................................... 162

x Burung-Burung Kertas
PEMUDA YANG BERDOA SEPANJANG MALAM
Achmad Muchtar ......................................................................... 170
PENARI JALANAN
Dyah Inase Sobri .......................................................................... 175
PETA LUKA BERBINGKAI
Eni Puji Utami ............................................................................ 182
PINDAHNYA ORION
Ambar Fidianingsih ..................................................................... 188
LASKAR DILEM
Fajar Wijanarko ............................................................................ 196
KABAR KEMATIAN
Arlina Hapsari ............................................................................. 204
CERITA BAHAGIA SELEPAS HUJAN
Suci Nurani Wulandari ............................................................... 210
PAKDHE
Anita Meilani ............................................................................... 218
TIGA BUNGKUS KERUPUK PASIR DI PENGHUJUNG
SENJA
Nopa Triana ................................................................................. 224
PULANG
Annisa Nur Harwiningtyas ........................................................ 232

CATATAN DEWAN JURI

ESAI .................................................................................................. 241


CERPEN ........................................................................................... 243

Burung-Burung Kertas xi
xii Burung-Burung Kertas
ESAI

Burung-Burung Kertas 1
2 Burung-Burung Kertas
MINAT BACA RENDAH:
PENYEBAB MARAKNYA BAHASA ALAY
Imas Indra Hapsari

Pada Juni yang lalu, penikmat musik Indonesia sempat dika-


getkan oleh kicauan musisi internasional Owl City. Lewat akun
twitter resminya, ia berkicau, ‘jomblo h4h4h4 lu k3n4 v12u5 4l4y
y4? K37ul424n cy4ph4 wkwkwk -____-’ (Jomblo hahaha lu kena
virus alay ya? Ketularan siapa?). Owl City memang dikenal sangat
menyukai Indonesia, bahkan ia sudah menganggap Indonesia seba-
gai rumah keduanya. Namun, berkicau dengan bahasa yang awam-
nya diketahui sebagai bahasa alay sangat di luar dugaan. Bayangkan
saja, Owl City memiliki pengikut sebanyak 800 ribu. Bukan tidak
mungkin kalau bahasa alay yang mereka pakai sesekali itu, mereka
pakai kembali di kalangan muda sehari-hari.
Bahasa alay bermula dari munculnya iklan operator seluler
Esia yang menawarkan tarif Rp1 untuk satu karakter pesan singkat.
Muncullah bahasa alay yang bertujuan untuk mempersingkat karak-
ter pesan singkat, misalnya, kata tidak bisa ditulis dengan berbagai
cara seperti, g, gx, nggk dan lainnya. Kata aku bisa ditulis Q, aq, w
dan masih banyak lagi.
Setelah lima tahun berlalu, kesadaran menggunakan bahasa
yang baik sudah mulai muncul. Tulisan huruf bercampur angka
dan tanda baca sudah jarang dijumpai walaupun masih ada bebe-
rapa yang menggunakannya. Zaman berlanjut ke zaman singkatan,
tidak jauh berbeda dengan bahasa alay, bahasa ini dipopulerkan
lewat sosial media twitter. Twitter sendiri juga membatasi penulisan
hanya 140 karakter saja. Dari situlah muncul istilah-istilah mager
(males gerak), cukstaw (cukup tahu), gengges (ganggu), kamseupay
(kampungan sekali udik payah), dan lain sebagainya. Iklan opera-

Burung-Burung Kertas 3
tor seluler 3 juga menyumbang istilah eksmud yang artinya ‘eksekutif
muda’. Makin luas saja penggunaan istilah-istilah singkatan ini di
kalangan muda.
Sepertinya betul juga hipotesis mahasiswa bersama Berthold
Damshauser dalam majalah Tempo, 30 Juni 2013. Dalam diskusi
dengan mahasiswanya, Damshauser dihadapkan pada dugaan
bahwa bahasa dan manusia Indonesia sedang dalam proses evo-
lusi. Bukan tidak mungkin evolusi yang dimaksudkan mahasiswa
Damshauer menyangkut bagaimana kepedulian manusia Indonesia
terhadap bahasanya sendiri karena suatu evolusi tidak akan dikenal
sebagai evolusi ketika proses tersebut belum usai. Sekarang mau-
kah kita membiarkan bahasa kita berevolusi menjadi bahasa yang
tidak pada tempatnya?

Mengenal Pembelajaran Bahasa Indonesia di Tingkat Dasar


Saat itu, saya dan rekan-rekan diberikan kesempatan untuk
menjadi pemateri dalam pelatihan menulis. Pada tanggal 18—25
Juni 2013, saya sebagai anggota Komunitas Ruang bekerja sama
dengan Save The Children menjadi pemateri untuk 14 SD di wilayah
rawan bencana di Kabupaten Magelang. Pelatihan menulis ini di-
ikuti oleh 340 orang siswa kelas IV. Kesempatan tersebut saya
gunakan untuk melihat sejauh mana siswa-siswi ini memahami
penggunakaan bahasa Indonesia secara aplikatif.
Pada awal sesi pelatihan, kami meminta siswa-siswi ini untuk
menulis perjalanan mereka dari rumah sampai sekolah. Hasil tu-
lisan mereka ini menjadi dasar penilaian awal (pre-test) seberapa
mereka menguasai dasar-dasar penulisan dan seberapa mereka
peka terhadap lingkungan sekitar. Dasar-dasar penulisan yang
dinilai adalah susunan kalimat, tanda baca, kalimat efektif, logika
tulisan, dan pemilihan kata. Dari seluruh hasil penilaian awal di-
dapatkan 52% atau sebanyak 176 siswa tidak memahami, 37% atau
125 siswa cukup memahami, dan 11% atau 39% siswa memahami
dasar penulisan yang baik dan benar.
Setelah tulisan awal mereka dikumpulkan, barulah tim mem-
berikan materi mengenai kepenulisan dasar. Materi dasar ini me-

4 Burung-Burung Kertas
liputi penulisan paragraf yang menjorok, huruf kapital di awal
kalimat, tanda baca titik di akhir kalimat, dan jumlah kata dan
satu kalimat supaya menjadi kalimat efektif. Pemateri juga menje-
laskan bagaimana membuat kalimat sesuai dengan logika kalimat
supaya kalimat yang dibuat tidak berbelit-belit. Tidak lupa, pema-
teri menyelipkan permainan kereta kata, yaitu sebuah permainan
menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat yang memiliki cerita.
Mirip dengan soal yang biasanya ada di lembar kerja siswa. Per-
mainan ni menguji seberapa anak memahami struktur kalimat.
Selanjutnya, pelatihan dilanjutkan dengan latihan wawancara.
Siswa-siswi ini diajari untuk berani bertanya dan mendapat infor-
masi. Mereka mewawancarai guru, tim dari Save The Children, atau
tim pemateri sendiri. Mereka juga diminta untuk mengamati ling-
kungan sekitar mereka dan mengkolaborasikannya dalam sebuah
tulisan. Penilaian akhir ditujukan untuk menilai seberapa siswa-
siswi menyerap apa yang telah disampaikan oleh para pemateri.
Hasil penilaian akhir meliputi aspek yang sama adalah 38%
atau 127 siswa tidak memahami, 168 siswa atau 50% siswa cukup
memahami, dan sebanyak 12% atau 42 siswa memahami kepenulis-
an dasar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Peningkatan ini
cukup baik walaupun tidak sesignifikan seperti yang diharapkan.
Dalam praktiknya, pelajaran bahasa Indonesia belum menjadi
perhatian serius bagi siswa. Ini terlihat dari bagaimana cara mereka
menulis kalimat. Ketika pemateri meminta mereka menulis para-
graf, banyak di antara mereka menulis dengan awalan nomor.
Seolah mereka menjawab soal. Mereka masih menulis dengan huruf
besar dan kecil, seperti yang digunakan pada bahasa alay. Mereka
belum mengindahkan peraturan bahwa hanya huruf di awal kali-
mat dan nama yang berawalan huruf kapital. Mereka masih ba-
nyak pula menulis tanpa tanda titik di akhir kalimat.
Hampir setiap tulisan yang kami baca mengandung pengulang-
an kata yang berlebihan. Ini berarti kosakata anak-anak di sini
sangatlah terbatas. Hal ini diperkuat dengan banyak anak-anak
yang menyisipkan kata-kata berbahasa daerah. Banyak anak meng-
gunakan kata ngarit, njegur, mbajak, dan sebagainya.

Burung-Burung Kertas 5
Di SD Wonolelo 3, pemateri banyak menemui siswa yang sa-
ma sekali tidak mengerti arti dari kalimat tertentu. Parahnya ketika
mereka diminta menulis kalimat, tulisan yang muncul hanyalah
frasa-frasa, contohnya, bangun tidur, makan, berangkat sekolah, ber-
main, pulang, dan seterusnya.
Di SD N 1 Srumbung, kami juga menemukan anak yang ber-
seru, “Satu paragraf doang ya!” memprotes arahan para pemateri.
Setelah itu, kami menyadari penggunaan ekspresi “doang” yang
menunjukkan bahwa peran media sangat besar terhadap anak-
anak ini.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Kekuatan Media Sosial


Peran media sosial, seperti televisi, radio, dan internet sangat
berpengaruh terhadap cara menulis seseorang. Banyak media so-
sial menggunakan media tulis untuk berkomunikasi. Ini mengapa
kebutuhan membaca dan menulis sering berbanding terbalik de-
ngan kemampuan. Komunikasi tertulis sering mengalami penyim-
pangan-penyimpangan dari aturan awalnya, sedangkan komuni-
kasi lisan juga menentukan komunikasi tertulis kita. Apa yang
kita ucapkan akan tertulis demikian pula sebaliknya.
Lambat laun kita menyadari bahwa semakin canggih media
komunikasi, semakin berkurang pula makna komunikasi itu sen-
diri. Ketika tahun 1980-an, masyarakat lebih mengenal media ko-
munikasi surat. Surat dianggap media yang murah, tetapi sampai-
nya pesan kepada orang yang dimaksud memerlukan waktu yang
tidak sebentar sehingga komunikasi tersebut justru bermakna.
Selain itu, ada alternatif lain selain surat, yaitu telegraf. Alternatif
ini menguntungkan karena sampainya pesan lebih cepat, tetapi
tetap saja telegraf tidak bisa diakses bebas begitu saja. Hal ini
menyebabkan komunikasi yang disampaikan memang memiliki
tujuan yang jelas sehingga maknanya ada.
Berbeda dengan komunikasi saat ini, komunikasi dengan mu-
dahnya terjalin menyebabkan kita tidak menghargai makna komu-
nikasi. Dengan biaya dan mudahnya media komunikasi diakses,
semakin banyak orang bisa berbagi pesan dengan mudah. Akan

6 Burung-Burung Kertas
tetapi, pesannya sendiri kurang bermakna, contohnya, pesan-pe-
san yang disebar karena ada gratis sms, atau pesan-pesan di media
sosial yang kurang penting isinya.
Rata-rata pengguna internet di Amerika Serikat menghabiskan
waktu 121 milyar menit pada Juli 2012 untuk media sosial. Jumlah
ini meningkat 37% dari jumlah pada Juni 2012, yaitu 88 miliar menit.
Dengan waktu selama itu, mereka dapat mengamati tren-tren
yang terjadi di media sosial. Dengan jumlah pengguna yang ba-
nyak, akses informasi yang mudah dan cepat membuat suatu hal
yang baru dapat dinikmati dengan mudahnya sehingga bukan se-
kali-dua kali muncul celetukan atau kosakata khas anak muda yang
diikuti oleh banyak orang. Sesuai dengan teori konformitas, peng-
guna media sosial secara tidak sadar akan menyesuaikan diri de-
ngan kebiasan dan tren yang terjadi. Jika hal ini tidak ditanggapi
secara dewasa, hal itu akan muncul kata-kata yang melenceng dari
makna sebenarnya.
Contoh paling baru adalah fenomena vickiisme yang terjadi akhir-
akhir ini. Gejala vickiisme sebenarnya bukan gejala baru, bahkan
sejak lepas dari penjajahan. Sebagian masyarakat kita sudah ter-
kena virus “ngintelektual” itu. Sebuah penyakit yang umum terjadi
ketika modernisme atau zaman rasional masuk ke dalam komunitas
atau negeri yang sebelumnya dikenal sangat tradisional.
Memang untuk sebagian orang gaya bahasa Vicky terlihat sa-
ngat intelektual. Akan tetapi bagi orang lain, gaya bahasa Vicky
hanya menjadi hiburan yang mengocok perut. Hal yang patut
diwaspadai di sini ialah bagaimana anak-anak dengan usia yang
masih berkembang disuguhi berbagai tayangan yang mengeskpos
vickiisme. Ditambah lagi, pengaruh komunitas yang sering meng-
gunakan gaya bahasa Vicky untuk bahan lelucon. Bukan hal yang
berlebihan, kita mengkhawatirkan anak-anak yang masih dalam
masa meniru ini menggunakan bahasa Vicky. Apalagi dengan data
yang ada, masih banyak anak sekolah dasar yang belum mema-
hami bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengingat berapa
usia Vicky dan bagaimana dia berkomunikasi dengan bahasanya,
kita tidak bisa menutup mata pada kemungkinan bahwa anak-
anak bisa juga mengikuti kiblat Vicky.

Burung-Burung Kertas 7
Contoh lain adalah fenomena merebaknya ciyus dan miapah
di pertengahan bulan Oktober tahun lalu. Kata-kata ini sebenarnya
muncul dari pemakaian sosial media. Ada beberapa anak pengguna
sosial media berpura-pura cadel. Alhasil, kata-kata ini dianggap
sebagai sesuatu yang lucu sehingga banyak digunakan oleh ka-
langan muda saat itu. Akan tetapi, fenomena kata-kata tersebut
hanyalah bersifat musiman. Alasannya, masyarakat lambat laun
akan menganggap kata-kata tersebut biasa atau ada kata lainnya
yang lebih menarik.
Kembali mengingatkan, fenomena ragam bahasa sebenarnya
bukan setahun dua tahun saja mulai terjadi. Banyak kata yang
diadopsi dari artis-artis televisi. Cetar membahana, sesuatu, dan alham-
dulillah ya sering kita dengar dari penyanyi Syahrini. Entah apa
maksudnya, kata-kata ini juga menjadi tren di kalangan muda.
Sebelumnya, Titi D.J. sempat membuat tren ember (memang begitu);
Titi Kamal dengan jablai (jarang dibelai) dan seruan khas ala pela-
wak Sule, prikitiew.
Dengan timbul-tenggelamnya fenomena ragam bahasa, kita
patut mengingat bahwa sebenarnya bahasa senantiasa berkem-
bang. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh budaya yang juga
selalu berkembang. Sebagai manusia evolusioner, manusia Indo-
nesia pasti juga mengevolusikan bahasanya. Tipe kalimat “diam-
bilnya buku ini” semakin jarang terdengar. Kini orang cenderung
mengatakan “ia mengambil buku”. Dulu perbuatan yang difokus-
kan, kini individulah yang ditonjolkan dan dijadikan fokus kalimat,
tak lagi hanya menjadi imbuhan. Selain itu, kata ganti orang seperti
hamba tidak lagi dipakai.
Ini sebuah fenomena yang wajar jika kita melihat bahasa dalam
konteks budaya. Apalagi dengan perkembangan komunikasi yang
begitu cepat. Akan tetapi di balik itu semua, tentu saja ada urgensi
untuk melindungi bahasa Indonesia dari degradasi makna dan
salah pemakaian. Di lihat dari sisi historis, kita semua mengerti
bahwa bahasa Indonesia menjadi komponen penting terhadap per-
satuan bangsa. Bahasa juga merupakan salah satu dari tujuh unsur
budaya universal. Ini artinya bahasa Indonesia akan menjadi pe-

8 Burung-Burung Kertas
nanda peradaban manusia Indonesia. Jangan sampai muncul, orang
Indonesia kehilangan kemampuannya berbahasa Indonesia.
Akan tetapi di sisi lain, perlindungan terhadap bahasa Indo-
nesia sangatlah dilematis. Bahasa Indonesia menghadapi berbagai
“ancaman” dan “gangguan”, mulai dari kebutuhan bahasa asing
yang lebih memiliki pamor, pencanangan penggunaan bahasa dae-
rah, hingga bahasa nonformal yang sering dipakai di media sosial.
Perlindungan bahasa Indonesia sendiri tampak menjadi sangat
klise. Apa yang patut dilindungi?
Fenomena ragam bahasa memang sangatlah wajar. Akan tetapi,
ragam bahasa akan menjadi berbahaya apabila anak-anak, khusus-
nya, mulai tidak peduli dengan aturan berbahasa yang baik dan
benar. Hal inilah yang patut kita waspadai. Jangan sampai penggu-
naan bahasa yang salah ini kita biarkan begitu saja sehingga terjadi
pemakluman-pemakluman yang fatal. Implikasinya adalah anak-
anak tidak lagi bisa berbahasa dengan baik dan benar.

Arti Sesungguhnya Perlindungan Bahasa Indonesia


Keterampilan berbahasa Indonesia tidak dapat dikuasai secara
instan. Kemampuan berbahasa seseorang ditentukan oleh seberapa
biasa orang tersebut mengaplikasikan bahasanya. Pada level dasar
keterampilan berbahasa anak-anak bisa dilatih melalui minat mem-
baca. Sayangnya, lagi-lagi indeks minat baca masyarakat Indonesia
sangatlah rendah, yaitu 0,001. Ini berarti dari seribu penduduk
hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi, sedangkan
Indonesia masih berada di urutan 69 dari 127 negara menurut
indeks pembangunan pendidikan UNESCO.
Anak-anak sekolah dasar wajib dibangun keingintahuannya
lewat buku. Bukan dipaksa membaca, melainkan mereka dimo-
tivasi untuk bisa membaca. Pada awalnya, ini bisa dilakukan de-
ngan membacakan anak-anak cerita. Keingintahuan anak-anak
yang tinggi akan membuat mereka terus-menerus minta dibacakan
cerita. Pada titik inilah, kita mengajari anak-anak untuk membaca.
Pola yang salah di Indonesia adalah menjadikan kemampuan mem-
baca salah satu indikator untuk masuk sekolah dasar. Jika anak-

Burung-Burung Kertas 9
anak harus bisa membaca untuk masuk sekolah dasar, semasa ta-
man kanak-kanak atau PAUD mereka akan dipaksa untuk belajar
membaca. Jika mereka dipaksa untuk membaca, ke depan, mereka
akan membenci membaca. Rata-rata yang dibaca anak Indonesia
adalah 27 halaman per tahun, jauh dari rata-rata Finlandia yang
membaca 300 halaman dalam 5 hari.
Membaca menjadi sangat penting untuk menjadi fondasi ber-
bahasa anak-anak. Dengan membaca, anak-anak belajar kosakata
baru. Mereka belajar menyusun kalimat dan menggunakan ber-
bagai variasi kosakata dalam kalimatnya. Hampir seluruh sekolah-
sekolah yang saya kunjungi di Magelang menutup perpustakaan-
nya. Ini merupakan jawaban mengapa selama ini anak-anak tidak
gemar membaca.
Meningkatkan minat baca akan sama dengan melindungi ba-
hasa Indonesia. Kebijakan dinas pendidikan selama ini mewajibkan
siswa-siswi untuk membaca minimal 15 buku dalam waktu 3 tahun
ketika di bangku sekolah menengah atas. Pada dasarnya, kebijakan
ini memang dimaksudkan untuk meningkatkan minat baca siswa,
tetapi saya kira pemberian tugas semacam itu sudah sangat ter-
lambat untuk siswa menengah atas. Berdasarkan pengalaman saya
ketika di bangku sekolah, banyak anak-anak yang mengeluh ketika
mengerjakan tersebut. Bagi mereka, tugas tersebut tidak begitu
penting dibandingkan dengan materi yang harus dikejar untuk
masuk perguruan tinggi. Ini menunjukkan indikasi bahwa sejak
kecil mereka tidak dibiasakan untuk membaca buku selain buku
pelajaran.
Jika memang dinas pendidikan menghendaki tugas sedemi-
kian rupa, praktiknya harus dilakukan berjenjang. Pada tingkat
taman kanak-kanak, minat baca dilatih bukan dari paksaan. Pada
usia bermain, mereka justru harus banyak dibacakan cerita-cerita
sehingga ada ketertarikan bagi mereka untuk mengenal buku.
Di tingkat sekolah dasar, anak-anak mulai belajar membaca.
Di sini, setiap minggunya mereka wajib membaca sebuah buku
cerita yang menurut mereka menarik. Setelah membaca buku ter-
sebut, mereka satu per satu akan menceritakan apa yang telah

10 Burung-Burung Kertas
mereka baca di depan kelas. Dengan bercerita, mereka akan mem-
budayakan kebiasaan membaca. Mereka juga akan tertarik untuk
membaca buku-buku yang lain.
Di tingkat sekolah menengah pertama, siswa-siswi diarahkan
untuk membaca buku dengan jumlah halaman dan tema tertentu.
Mereka diarahkan untuk bisa menuangkan apa yang telah mereka
baca lewat tulisan atau membuat resensi. Metode ini juga diguna-
kan untuk sekolah menengah atas dengan ketentuan yang lebih
kompleks.
Ritme pembelajaran seperti ini memang sudah diterapkan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi menurut
pengalaman saya, membaca buku menjadi standar kompetensi ta-
hunan belaka. Pada setiap penugasannya, masih ada juga siswa-
siswi yang bingung dalam mengerjakan tugas dan akhirnya meng-
ambil jalan pintas. Untuk membentuk kebiasaan membaca, pola
pembelajaran di atas bisa dilakukan dalam skala waktu dua
mingguan.

Penutup
Terlepas dari normal atau tidaknya evolusi bahasa Indonesia,
sebagai masyarakat Indonesia, kita harus melindungi bahasa persa-
tuan kita. Kebanggaan berbahasa Indonesia harus dipupuk sejak
dini. Peningkatan minat baca sebagai salah satu solusi melindungi
bahasa Indonesia yang baik dan benar juga harus dipertimbang-
kan. Ibarat sambil menyelam minum air, solusi ini tidak saja akan
membiasakan anak-anak untuk berbahasa yang baik dan benar,
tetapi anak-anak juga belajar ilmu pengetahuan secara luas.

Daftar Bacaan
Damshauer, Berthold. “Evolusi Bahasa dan Manusia Indonesia”.
Dalam Majalah Tempo, 24--30 Juni 2013, hlm. 130.

Burung-Burung Kertas 11
Biodata
Imas Indra Hapsari. Tinggal di Tempel RT 004, Lumbungrejo, Tempel, Sleman.
Saat ini Imas Indra Hapsari kuliah di Fakultas ISIPOL, Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Gadjah Mada. Jika ingin berkorespondensi dengan
Imas Indra Hapsari dapat menghubungi HP: 085747519933 dan pos-el:
imasindrahapsari@gmail.com.

12 Burung-Burung Kertas
SENI ALA KADARNYA
Anggalih Bayu Muh. Kamim

Latar Belakang Masalah


Demoralisasi dan defisit nasionalisme yang tengah menghan-
tui masyarakat saat ini tampaknya tak terlepas dari pengaruh
tontonan yang tidak sehat. Tayangan televisi yang diharapkan
dapat menjadi media pendidikan dan pengenalan kebudayaan,
kini justru disalahgunakan. Produk pertelevisisan yang ada saat
ini hanya mementingkan permintaan pasar, bukannya mengede-
pankan aspek edukatif. Hal ini menyebabkan terjadinya perge-
seran nilai dalam masyarakat akibat adanya tayangan yang tidak
sehat. Contoh konkret dari bentuk tontonan yang tidak sehat terse-
but adalah dimunculkannya adegan-adegan kekerasan yang terlalu
berlebihan. Peran orang tua dalam menyikapi permasalahan ini
sangatlah penting karena anak-anak belum mampu menyaring ma-
na yang merupakan adegan-adegan yang tidak baik dan adegan
yang pantas ditonton. Selain maraknya kemunculan adegan keke-
rasan yang berlebihan, tayangan televisi, khususnya sinetron, pada
saat ini lebih sering menceritakan kisah percintaan. Ditambah lagi,
dengan seringnya diperlihatkan adegan-adegan yang tidak sero-
nok, seperti adegan berciuman, berpelukan antarpasangan, dan
bahkan saat melakukan hubungan seksual. Akibat dari terlalu se-
ringnya penayangan kisah percintaan, hal itu menyebabkan ta-
yangan sinetron terkesan membosankan.

Burung-Burung Kertas 13
Rumusan Masalah
a. Dampak negatif apa sajakah yang ditimbulkan dari sinetron
religi?
b. Bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan dari sinetron
religi dapat terjadi?

Tujuan Kajian
a. Esai ini bertujuan untuk menelisik jabaran dampak negatif
dari sinetron religi.
b. Esai ini bertujuan untuk menelisik proses munculnya dampak
negatif dari sinetron religi.

Dampak Negatif dari Sinetron Religi


Terdapat banyak dampak negatif dari sinetron religi yang
dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu aspek sosiokultural, psikologi
anak, dan kesehatan anak. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai
berikut.

1. Dampak Sosiokultural dari Sinetron Religi


Saat ini dunia pertelevisian Indonesia tengah dibanjiri dengan
sinetron-sinetron religi yang tidak mendidik. Sinetron religi yang
ada saat ini juga hanya mengedepankan permintaan pasar dari
pada mengedepankan aspek-aspek edukatif. Sinetron religi terke-
san semakin tidak mendidik karena adanya penambahan unsur-
unsur komedi dalam penulisan cerita. Hal ini menyebabkan tujuan
dari pembuatan sinetron religi tersebut menjadi kabur, yang awal-
nya ingin menyampaikan pesan-pesan islami pada para pemirsa,
tetapi tujuan tersebut menjadi melenceng dari tujuan sebenarnya.
Akibatnya, unsur-unsur islami yang ingin disampaikan menjadi
tidak tersampaikan akibat dari adanya dominasi unsur komedi.
Dengan demikian, seakan-akan agama Islam disepelekan de-
ngan menjadikannya sebagai bahan komedi dan tak jarang dalam
sinetron religi bertema komedi tersebut terdapat keterlibatan pe-
main seorang ustaz. Ustaz dalam sinetron religi tersebut sering
digunakan sebagai seorang penengah konflik dan juga pemberi

14 Burung-Burung Kertas
dakwah kepada para pemain yang terlibat dalam suatu konflik.
Namun, tak jarang pemain ustaz tersebut justru dijadikan bahan
lelucon oleh pemain lain yang berfungsi agar sinetron terkesan
lucu. Hal ini justru dapat merendahkan peran ustaz sebagai pen-
dakwah. Selain itu, dalam suatu sinetron religi seorang ustaz lebih
terlihat sebagai seorang aktor dari pada seorang pendakwah.
Akibatnya, seakan-akan ustaz tersebut hanyalah mengejar suatu
popularitas, bukannya menjalankan perannya sebagai pendakwah.
Selain itu, dalam sinetron religi yang bertemakan hidayah se-
ring diperlihatkan adegan-adegan yang memuat unsur pornografi,
contohnya saja, adegan lelaki hidung belang yang main di kafe
dengan selingkuhannya dengan diperlihatkan kehidupan para pe-
kerja seks komersial secara konkret. Tujuan penyampaian cerita
tersebut sebenarnya sangat mulia, yaitu ingin menggambarkan
bahwa dalam kehidupan itu ada yang namanya azab dan kemu-
liaan. Namun, jika cara penyampaiannya salah, hal itu justru akan
menyebabkan masalah tersendiri. Menurut Syaikh bin Baz Rahima-
hullah, tidak boleh seorang laki-laki menyaksikan wanita telan-
jang, setengah telanjang, atau yang membuka wajahnya, begitu
pula seorang wanita tidak boleh menyaksikan laki-laki yang mem-
buka pahanya, baik di televisi atau video, film, maupun visual
lainnya, seseorang berkewajiban untuk menahan pandangan atau
berpaling sebab hal itu merupakan sumber fitnah dan salah satu
penyebab rusaknya hati dan menyimpangnya dari kebenaran. Pen-
dapat beliau didukung oleh ayat Alquran Surah An Nur: 30--31
yang artinya Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara
kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguh-
nya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya.
Hal ini tentunya sangat ironis, sinetron religi yang seharusnya
dapat digunakan sebagai sarana dakwah, tetapi jika cara penyajian-
nya salah, justru dapat berakibat fatal. Selain itu, dengan dimuat-
nya unsur-unsur pornografi justru dapat mencoreng nama baik
agama Islam. Belum lagi sinetron religi saat ini tidak hanya diton-
ton oleh dewasa, tetapi juga anak-anak. Oleh karena itu, kunci

Burung-Burung Kertas 15
utamanya adalah perlu diperhatikan cara pengemasan sinetron
religi tersebut. Dalam sinetron religi, saat ini juga sering muncul
jargon-jargon atau kata-kata yang tidak mendidik. Contohnya saja
dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji terdapat tokoh-tokoh yang
sering mengucapkan kata-kata kotor seperti dasar pe ak lu, ah dasar
tukang ngibul, dan masih banyak lagi. Kata-kata yang tidak men-
didik ini tentunya juga dapat mencoreng agama Islam karena meng-
gambarkan seolah-olah umat agama Islam itu suka bertutur kata
yang tidak sopan dan suka mencela orang lain. Hal ini tentunya
menambah poin keburukan sinetron religi saat ini.
Tak jarang sering muncul kata-kata yang bersifat menghina
dan terlalu merendahkan derajat orang lain. Contoh nyata adalah
dalam sinetron Islam KTP, dalam sinetron tersebut terdapat tokoh
orang kaya yang selalu menghina orang miskin yang ditemuinya.
Tokoh tersebut bahkan menghina orang miskin yang bertemu de-
ngannya dengan kata-kata di luar batas kemanusiaan, seperti Ah,
dasar Kaum melarat, Kaum Marjinal, Merakbal dan masih banyak lagi.
Hal itu justru dapat menggambarkan bahwa agama Islam itu adalah
yang tidak menghargai dan mengasihi orang-orang berperekono-
mian rendah. Dengan begitu, hal ini tentunya sangatlah disa-
yangkan.
Sineas senior, Deddy Mizwar, menilai bahwa banyak karya
berupa film ataupun sinetron yang belum mampu menyampaikan
pesan secara islami. Soalnya yang memproduksi karya-karya terse-
but bukan orang Islam, tetapi tontonan yang dijualnya diklaim
tontonan islami. Itu artinya tontonan semacam itu hanya sebagai
barang dagangan saja. Hal itu artinya yang dikejar hanyalah per-
mintaan pasar sehingga yang dikejar hanyalah popularitas dan
semakin membuktikan karya tersebut tidak sesuai dengan tujuan
pembuatannya. Akibatnya, yang pada mulanya ingin digunakan
sebagai sarana penyebaran agama Islam, akhirnya justru menco-
reng agama Islam itu sendiri, sedangkan Allah pernah berfirman
dalam Surah Al Maidah: 57—58 yang artinya Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang
membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang

16 Burung-Burung Kertas
kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-
betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka)
untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan
dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum
yang tidak mau mempergunakan akal.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya orang-orang
yang menjelekan agama Islam itu adalah orang-orang yang tidak
mau mempergunakan akal, sedangkan Allah telah memberikan
suatu anugerah yang luar biasa pada manusia, yaitu berupa akal
dan pikiran, tetapi jika akal tidak digunakan dapat mencerminkan
bahwa orang tersebut tidak lebih berharga dari seekor binatang.
Mengapa dapat digambarkan seperti binatang? Karena mereka
hanya mengedepankan hawa nafsu mereka, yaitu keinginan me-
ngejar suatu popularitas tanpa memikirkan dampak buruk dari
hasil perbuatan mereka tersebut.
Satu hal lagi yang dapat menunjukan keburukan dari sinetron
religi zaman sekarang ini adalah adanya tokoh sentral dalam cerita
berupa seorang ustaz atau haji yang mempunyai tabiat buruk. Hal
ini tentunya sangat bertentangan dengan realitas sebenarnya yang
ada di dalam masyarakat. Haji dan para mubalig yang dalam kehi-
dupan bermasyarakat sangat disegani, dihormati, dan bahkan di-
jadikan panutan dan teladan. Namun, justru dalam kebanyakan
sinetron religi digambarkan sebagai orang yang bengis dan ber-
tabiat buruk. Tentunya hal ini mencoreng nama baik para pendak-
wah Islam. Contoh nyata adalah dalam sinetron Tukang Bubur Naik
Haji. Di dalam sinetron tersebut terdapat tokoh bernama Haji Mu-
hidin yang sombong dengan memberi gelar pada dirinya “haji
tiga kali”. Haji Muhidin juga digambarkan sebagai orang yang
selalu iri terhadap rezeki yang selalu diterima keluarga Haji Sulam.
Pelukisan tokoh yang demikian dapat memberikan gambaran
yang salah pada masyarakat tentang seorang haji. Masyarakat men-
jadi selalu mengidentikkan seorang haji sebagai seorang yang sa-
ngat sombong dan bertabiat buruk. Hal ini tentunya juga dapat
mengubah cara pandang masyarakat terhadap para pendakwah.
Masyarakat akan menaruh kecurigaan terhadap para pendakwah
dan terjadilah saling ketidakpercayaan. Para pendakwah yang

Burung-Burung Kertas 17
dahulu selalu disegani, dihormati, bahkan dijadikan tauladan, aki-
bat dari perubahan cara pandang ini, menyebabkan masyarakat
tidak percaya pada dakwah mereka yang menyebabkan masyara-
kat menjadi terjerumus ke jurang kesesatan. Hal ini juga memper-
lihatkan bahwa sinetron religi yang ada bukannya menyampaikan
nilai-nilai islami, tetapi justru menjerumuskan masyarakat.
Sinetron religi saat ini juga terlalu merendahkan harkat dan
martabat seorang wanita. Ini terlihat dari adanya pengidentikan
wanita dengan seorang pekerja seks komersial, istri selingkuhan,
dan penipu. Dalam sinetron religi bertema hidayah, wanita sering
digambarkan sebagai seorang penghasut para pria, bahkan juga
tak jarang wanita diidentikkan dengan pemeras harta para pria
melalui perannya sebagai istri selingkuhan dan juga wanita yang
berperan sebagai seorang istri yang sah dalam sinetron religi terse-
but sering digambarkan sebagai seorang yang tidak mempunyai
harga diri. Hal ini terlihat dari adegan lelaki hidung belang yang
selalu memukuli istrinya yang sah.
Alquran telah menjelaskan larangan untuk merendahkan para
wanita. Hal ini sesuai dengan ayat Alquran dalam Surah Hujuraat:
11 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang diter-
tawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perem-
puan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu
lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memang-
gil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Selain hal di atas, dampak sosiologis lain yang muncul adalah
mulai berkurangnya rasa hormat masyarakat terhadap ustaz, haji,
dan mubalig. Para pendakwah yang dahulu disegani, dihormati,
dan bahkan dijadikan seorang tauladan, justru kini mulai dilupakan.
Ini sebagai akibat dari terlalu seringnya penggambaran tokoh haji
sebagai tokoh antagonis. Contoh konkret adalah dalam sinetron
Haji Medit, Islam KTP, Tukang Bubur Naik Haji, Mak Ijah Pengen
Naik Haji, Anak-anak Manusia, dan masih banyak lagi. Seorang haji
selalu digambarkan sebagai orang kaya yang agamis, tetapi jika

18 Burung-Burung Kertas
bertemu orang miskin, orang miskin tersebut selalu dihina dan
diremehkan oleh tokoh haji tersebut, sedangkan realitas yang
ada dalam masyarakat tidak seperti itu. Akibat adegan tersebut
sering ditonton oleh masyarakat, hal ini menyebabkan cara pan-
dang masyarakat terhadap para pemuka agama menjadi berubah.
Masyarakat akan cenderung mengidentikkan para pemuka agama
di masyarakat tersebut sama dengan yang ada dalam sinetron
yang mereka tonton sehingga muncullah kecurigaan masyarakat
terhadap pemuka agama mereka sendiri. Akibatnya, pemuka aga-
ma selalu digosipkan dengan hal-hal yang tidak baik, bahkan mulai
muncul desas-desus yang dapat menganggu pribadi pemuka aga-
ma tersebut.
Yang semakin memprihatinkan masyarakat saat ini lebih suka
main hakim sendiri. Mereka dengan seenaknya menuduh dan mem-
fitnah seorang pemuka agama telah mengajarkan ajaran yang me-
nyesatkan, bahkan sering kali mereka menangkap dan mengusir
pemuka agama yang dituduh tersebut. Tentunya ini merupakan
suatu tindakan di luar batas kemanusiaan. Hal ini juga menambah
poin negatif dari sinetron religi saat ini. Padahal secara jelas Islam
telah melarang umatnya untuk merendahkan harkat dan martabat
para pendakwah dan pemuka agama, hal ini tertuang dalam
Alquran Surah At Taubah: 65 yang artinya Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka (tanggapan apa yang mereka lakuka itu), tentulah mereka
akan menjawab, ‘sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau dan ber-
main-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan nama Allah, ayat-ayat-
Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?
Ayat lain yang memperkuat ayat ini adalah dalam Surah Fathir
ayat: 28 yang artinya Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun.”. Hal ini membuktikan bahwasanya kita
tidak boleh merendahkan para pemuka agama sehingga diperlukan
suatu pengemasan cerita yang lebih santun dan tidak menyesatkan.

2. Dampak Psikologis bagi Anak dari Adanya Sinetron Religi


Menurut Astrid W. E. N, M.Psi, Psikolog anak dan remaja
KANCIL, Jakarta Selatan, adegan-adegan yang diperankan artis

Burung-Burung Kertas 19
dalam tayangan sinetron akan banyak memberikan pengaruh bu-
ruk kepada anak. Anak yang masih polos dan belum bisa membe-
dakan hidup nyata dan akting dengan mudah meniru apa yang
ada di sinetron, misalnya adegan kekerasan. Jika anak tidak di-
dampingi orang tua, bisa saja anak meniru adegan kekerasan dalam
sinetron, seperti berantem, memukul hingga menjambak rambut
temannya. Contoh lainnya ialah adegan antagonis yang selalu ada
di setiap sinetron juga dengan mudah ditiru anak-anak. Untuk
itu, jangan heran jika anak yang sering nonton sinetron, dia lebih
cepat marah jika keinginannya tak dipenuhi. “Anak itu rasa ingin
tahunya besar. Dan, anak suka meniru apa yang dilihatnya. Jika
yang dilihatnya memberi contoh buruk, bisa saja anak pun berperi-
laku buruk seperti apa. yang dilihatnya,” terang Astrid saat ditemui
di sela-sela seminar yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta
belum lama ini.
Senada dengan Astrid, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi. Psi-
kolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI dan Klinik Raditya Me-
dical Center Depok, Jawa Barat, juga mengatakan anak belum bisa
membedakan informasi yang diterimanya antara kisah nyata atau
fiksi (khayalan). “Sinetron saat ini masih banyak menyajikan ke-
bencian, kebohongan, tipu muslihat, dan hal-hal tidak realistis lain-
nya. Ini sangat buruk jika ditonton dan ditiru anak-anak, tambah
Vera.
Tak jarang dalam sinetron religi bertema hidayah sering mun-
cul tayangan berbau seksualitas. Tayangan adegan bertema sek-
sualitas yang sering muncul dapat merangsang anak. Anak menjadi
cepat mengalami tahap kedewasaan karena hormon seksualnya
telah dirangsang oleh tayangan tersebut. Akibatnya, anak yang
belum paham mengenai hal-hal seksualitas menjadi terjebak ke
jurang kegelapan sehingga tak heran jika saat ini sering terjadi
kasus pemerkosaan dan pencabulan anak di bawah umur, bahkan
pada pertengahan tahun 2013 di salah satu wilayah di Kecamatan
Depok, Kabupaten Sleman, telah terjadi kasus pencabulan anak
sekolah dasar, yang ternyata pelakunya adalah teman laki-lakinya
sendiri.

20 Burung-Burung Kertas
Tentunya hal ini sangatlah menyedihkan. Belum lagi, dalam
sinetron juga sering didengar kata-kata berbau seksualitas yang
pada akhirnya juga berdampak buruk pada anak. Anak yang masih
belum mengerti arti kata itu sebenarnya, karena terlalu sering
menonton sinetron tersebut, menyebabkan anak memiliki kebiasa-
an dengan kata-kata yang berhubungan dengan hal seksualitas
tersebut.

Solusi
Karena dampak negatif sinetron religi menyebabkan efek yang
berbahaya, perlu dicari solusi untuk penyelesaian masalah ini. Cara
yang pertama adalah membatasi waktu anak untuk menonton te-
levisi. Kemudian, pilih tontonan yang sesuai dengan usia anak.
Sedapat mungkin orang tua atau orang dewasa di rumah menahan
sementara waktu tidak dulu menonton sinetron sebelum anak-
anak tidur. Jika pun anak meminta nonton sinetron, orang tua
tetap harus mendampingi anaknya meskipun saat nonton sinetron
anak-anak ataupun sinetron religi yang saat ini marak. Peran orang
tua sesungguhnya adalah mendampingi anak menonton untuk
mengajarkan bahwa apa yang ditontonnya tidak semuanya patut
ditirunya.
Namun, yang paling tepat adalah mengarahkan anak melaku-
kan aktivitas lain bersama anggota keluarga, mengerjakan tugas
sekolah, atau hanya berkumpul dan bercanda bersama keluarga.
Sebaiknya, orang tua mengalihkan ke tontonan lain, seperti film
edukasi anak atau film kartun yang banyak menampilkan gambar
warna, ukuran, dan jalan cerita sesuai dengan umur anak- anak,
juga lebih baik yang bisa melatih kemampuan pola pikir anak.
Selain itu, orang tua juga bisa mengajak anak melakukan aktivitas
yang lebih bermanfaat, seperti main ludo, atau permainan edukasi
lainnya. Cara kedua kita sebagai masyarakat harus bisa memfilter
tontonan yang layak ditonton sehingga kita bisa menjadi masya-
rakat yang waspada sekaligus kritis.

Burung-Burung Kertas 21
Simpulan
Agar sinetron religi berkualitas dan layak tonton, sebaiknya
dalam pengemasan sinetron tersebut tidak meninggalkan tujuan
utama pembuatan sinetron tersebut dan adegan yang kurang
mendidik sebaiknya dikurangi. Dengan demikian, akan tercipta
karya seni yang benar-benar berkualitas.

Biodata Penulis
Anggalih Bayu Muh. Kamim. Tinggal di Topanrejo, Maguwoharjo, Depok,
Sleman. Saat ini Anggalih Bayu Muh. Kamim sekolah di SMA Negeri 2 Ngaglik,
Sleman. Jika ingin berkorespondensi dengan Anggalih Bayu Muh. Kamim
dapat menghubungi HP: 085293198545.

22 Burung-Burung Kertas
ESAI BAGI REMAJA:
KEBUTUHAN ATAU KETERTARIKAN?
Anita Meilani

Pendahuluan
Pengadaaan lomba atau sayembara menulis untuk kalangan
remaja dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta sudah
sering kita dengar, baik menulis cerpen, puisi, esai, maupun karya
ilmiah. Hadiah yang diberikan pun sangat menarik minat. Bedanya
adalah, ketertarikan remaja terhadap jenis tulisan yang dilomba-
kan. Sadar atau tidak, acuh atau tidak, peminat cerpen lebih ba-
nyak dibandingkan dengan esai. Sebagai tulisan yang sama-sama
berbentuk prosa, esai ternyata tidak begitu menarik perhatian re-
maja. Padahal, pembelajaran menulis esai ada dalam kurikulum
sekolah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ke-
terampilan menulis esai diberikan pada kelas XII semester 2. Secara
normatif, siswa seharusnya sudah mengerti prinsip-prinsip penu-
lisan esai.
Pada kenyataannya, cerpen yang sifatnya lebih imajinatif tetap
mengambil banyak minat dari remaja. Padahal banyak tulisan yang
menyoroti kurangnya minat siswa atau remaja terhadap sastra.
Kelihatannya sastra yang dimaksudkan adalah karya-karya yang
bersifat fiksi seperti novel sastra dan bukan karangan nonfiksi.
Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar karena terbukti pe-
serta lomba-lomba menulis cerpen tidak sedikit jumlahnya. Itu
berarti remaja sudah menunjukkan apresiasi yang cukup tinggi
terhadap sastra. Jika sastra yang dianggap kurang diminati saja
kini sudah semakin menarik bagi remaja, lalu bagaimana dengan
esai sendiri?

Burung-Burung Kertas 23
Banyak yang menganggap bahwa menulis adalah suatu bakat,
minat atau ketertarikan. Dalam hal ini termasuk pula menulis esai.
Ketika dihadapkan pada dua pilihan misalnya, diperintahkan me-
nulis esai atau cerpen, remaja cenderung memilih menulis cerpen.
Buktinya, setiap tahun peserta sayembara penulisan cerpen di Balai
Bahasa Yogyakarta lebih banyak menarik perhatian remaja diban-
dingkan dengan peserta sayembara penulisan esai, dengan per-
bandingan peserta mencapai 1:8 pada tahun 2012.
Esai adalah kebutuhan setiap remaja dalam dunia pendidikan
formal. Esai merupakan dasar bagi penulisan yang bersifat aka-
demik pada jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu,
pelajaran menulis esai diberikan di sekolah pada jenjang kelas XII.
Namun, mengapa esai hanyalah dianggap sebuah ketertarikan?

Esai sebagai Literasi Madani


Esai adalah tulisan pendek yang menyoroti topik dari sudut
pandang penulisnya (Wiedarti: 2006:63). Karena didasari oleh su-
dut pandang pribadi, maka esai sangat bersifat subjektif. Ada yang
menggolongkan esai sebagai karangan fiksi, namun ada juga yang
menyebutnya sebagai karangan semi-populer. Dalam suatu esai
terdapat argumen atau kritikan penulis terhadap suatu pokok ma-
salah, sehingga isinya tergantung pada pengalaman dan pendapat
penulis itu sendiri.
Esai adalah ekspresi tulis opini penulisnya. Opini adalah suatu
gagasan dalam pikiran seseorang. Secara berurutan dapat dijabar-
kan bahwa dari sebuah topik, memunculkan opini penulis dan
kemudian jika dituliskan dapat menghasilkan sebuah esai. Namun,
tidak semua opini bisa menjadi argumen esai. Opini yang bisa
menjadi argumen adalah opini yang logis, kuat dan bisa dipertang-
gungjawabkan. Meskipun sama-sama memiliki argumen penulis
di dalamnya, esai berbeda dengan artikel dan feature.
Karakter esai yang paling menonjol adalah subjektivitas penu-
lis, yang digambarkan melalui argumen, pernyataan, kritikan ber-
dasarkan studi pustaka, pemikiran, pengamatan dan refleksi penu-
lis. Wardhana (via Pujiono, 2013:57) menjabarkan komposisi ka-

24 Burung-Burung Kertas
rangan esai sendiri meliputi judul, pendahuluan, pokok bahasan
(isi), dan kesimpulan. Dengan karakteristik seperti itu, esai sebe-
narnya menjadi kebutuhan penting dalam dunia pendidikan
formal.
Esai sebagai karangan semi-ilmiah yang tidak terlalu panjang
dapat menjadi bekal dasar dalam kegiatan penulisan ilmiah. Pada
tingkatan pendidikan formal, esai digunakan sebagai penugasan
untuk mengetahui tingkat pemahaman dan apresiasi siswa/maha-
siswa terhadap materi ajar yang diberikan. Dalam pembelajaran
penulisan esai di SMA, biasanya siswa diperintahkan membuat
esai pendek yang di dalamnya telah mencakup unsur organisasi
esai yaitu pernyataan tesis (pendahuluan), isi gagasan, dan kesim-
pulan. Berdasarkan esai pendek yang kurang lebih hanya lima
paragraf ini diharapkan siswa mampu mengembangkan tulisannya
menjadi argumen panjang berdasarkan studi pustaka.
Selain sebagai bekal dasar penulisan karya ilmiah, esai juga
dianggap sebagai bekal menuju literasi madani. Literasi madani
sendiri adalah “kemampuan masyarakat untuk membaca agar
mampu memberi keputusan sosial yang bertanggung jawab dan
kemampuan menulis secara kritis untuk mengaktualisasi peran
sosialnya dalam masyarakat” (Alwasilah, via Wiedarti, 2006:65).
Artinya dengan literasi madani kita bisa menjadi bangsa yang cer-
das yang mencerminkan keterampilan hidup berdemokrasi.
Dalam konteks masyarakat madani, literasi (keterampilan
membaca dan menulis) diarahkan pada membaca madani dan me-
nulis madani. Perwujudan literasi madani dapat dilihat dalam arti-
kel-artikel, tajuk, opini, kritik, dan resensi yang termuat dalam
surat-surat kabar. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai ma-
syarakat kita sudah mampu menyuarakan pikiran sebagai kontrol
terhadap pemerintah, yang merupakan ciri dari bangsa yang meng-
anut sistem demokratis. Madani sendiri dapat diartikan sebagai
“seimbang”.
Hal-hal yang berbau politik, ilmiah, dan lain sebagainya, sebe-
narnya bukan tugas guru bahasa Indonesia saja untuk mengajarkan
esai kepada anak didik atau remaja. Guru mata pelajaran lain se-
harusnya juga menguasai teknik penulisan esai. Esai tidak hanya

Burung-Burung Kertas 25
dipergunakan dalam karangan sastra saja, tetapi juga pada bidang-
bidang yang lain. Esai merupakan dasar dari penulisan ilmiah,
tidak terbatas pada sastra. Materi pada bidang studi lain dapat
dikaji dalam bentuk esai.

Penguasaan Guru dalam Penulisan Esai


Wiedarti (2006:70) mengungkapkan bahwa ternyata hanya ter-
dapat 15% (dari 70 guru bidang studi) yang menguasai penulisan
esai lima paragraf secara benar, sedangkan 85% lainnya tidak me-
ngetahui organisasi penulisan esai, terutama tentang pentingnya
pernyataan tesis yang membatasi pokok bahasan. Guru-guru yang
dijadikan sampel adalah guru-guru berbagai bidang studi dari
SMA yang diambil dari masing-masing kota di Kaltim, Sumatera
Selatan, dan Jawa Barat.
Dengan kemampuan yang sedemikian itu, guru tidak dapat
membimbing siswanya dalam penulisan esai yang kemudian diha-
rapkan mampu berpikir kritis. Mungkin karena merasa tidak mam-
pu menulis esai, guru tidak mau mengajarkan penulisan esai kepada
siswanya. Inilah salah satu faktor siswa tidak tertarik dengan pe-
nulisan esai.
Kenyataannya, dengan sampel beberapa SMA di Yogyakarta
menggunakan sampel masing-masing alumni sekolah tersebut, ter-
nyata penulisan esai malah sama sekali tidak diajarkan. Alasannya
adalah materi penulisan esai yang ada di kurikulum kelas XII se-
mester 2 digeser oleh persiapan ujian nasional yang dianggap lebih
penting.
Ada beberapa alasan mengapa pembelajaran esai diberikan
di kelas XII semester 2. Dalam Wiedarti (2006:64), alasannya adalah
pembekalan penulisan esai memerlukan keterampilan dasar berupa
keterampilan membaca dan menulis pada kelas X, XI, dan XII di
semester 1 (membaca: cepat, memindai, intensif; menulis paragraf:
deskriptif, naratif, ekspositoris, persuasif, dan argumentatif; me-
lengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan kaki; meng-
ungkapkan informasi melalui penulisan resensi; menulis rangkum-
an atau ringkasan isi buku; menulis karya ilmiah (hasil pengamatan
dan penelitian); dan menulis karangan berdasarkan topik tertentu

26 Burung-Burung Kertas
dengan pola pengembangan deduktif dan induktif) yang kesemua-
nya diasumsikan mampu mendukung pemelajaran penulisan esai.
Itulah mengapa esai tidak diberikan di kelas X atau XI, bahkan di
kelas XII semester 1.

Aturan yang Menjadi Alasan


Hyland (via Pujiono, 2013:55), mendasarkan dalam teori esai
argumentatif kriteria penulisan esai yang baik harus mengandung
tesis, masalah, argumen, dan kesimpulan. Ada tahapan-tahapan
tertentu yang secara teoritis membatasi siswa dalam menulis esai.
Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat membatasi topik yang
mereka tulis dan uraiannya tidak keluar dari masalah.
Namun, “kerapian” dalam menulis esai tersebut menyebabkan
siswa kurang tertarik menulis esai jika bukan tuntutan dari tugas
sekolah. Bentuk esai dapat digolongkan menjadi dua, yaitu esai
formal dan esai informal (Payne, via Pujiono, 2013:53). Esai formal
dipergunakan oleh pelajar, mahasiswa dan para peneliti untuk me-
ngerjakan tugas-tugasnya. Esai bernada formal sebaiknya peng-
gunaan pronomina pertama dihindari, sudut pandang harus logis
berdasarkan fakta, serius, dan lebih panjang dibandingkan dengan
esai informal. Esai informal sendiri lebih mudah ditulis karena
lebih bersifat personal, jenaka, dengan bentuk struktur tidak ter-
lalu formal (bertutur) sehingga bukanlah suatu alasan yang tepat
jika remaja malas menulis esai hanya karena masalah sistematika
penulisan yang diharuskan runtut. Untuk itu, pemikiran yang se-
perti itu harus diluruskan dari mental remaja Indonesia. Jika terus-
menerus esai dianggap terlalu berat untuk ditulis sebagai tulisan
sehari-hari, bukan tidak mungkin esai tetap tidak seeksis cerpen.
Sesungguhnya jika permasalahan ini ditangani dan diberi
perhatian lebih, penulisan esai akan mampu dikuasai siswa setelah
lulus dan memasuki perguruan tinggi. Dengan demikian, maha-
siswa baru tidak akan kesulitan mengerjakan tugas-tugas kuliah
yang kebanyakan berupa esai atau makalah. Jika mahasiswa me-
nguasai penulisan esai dengan baik, mereka akan mampu menulis
makalah yang lebih kompleks dan lebih panjang dengan baik pula.

Burung-Burung Kertas 27
Esai Sastra
Perkembangan esai di Indonesia dipopulerkan oleh H.B. Jassin.
Karya Jassin yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam
Kritik dan Esei (1985) merupakan rujukan penulis esai di Indonesia.
Esai-esai yang ditulis sebagian besar adalah esai sastra. Menurut
Jassin, esai adalah uraian yang mebicarakan berbagai macam ra-
gam, tidak tersusun secara teratur, tetapi seperti dipetik dari ber-
bagai macam jalan pikiran (via Pujiono, 2013:53). Esais-esais
Indonesia yang terkenal hingga sekarang antara lain adalah Iwan
Simatupang, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Sitor Situmorang.
Esai sastra sendiri merupakan pandangan atau pendapat
pribadi penulisnya mengenai suatu masalah kesastraan. Ternyata
sejak dulu, eksistensi esai telah dipermasalahkan. Hal tersebut
pernah diungkapkan oleh Nugroho Notosusanto dalam “Persada”
lampiran majalah “Kisah” November 2006. Nugroho mengeluh
bahwa genre esai merupakan genre yang dianaktirikan dalam
dunia sastra kita. Di dalamnya juga terdapat pernyataan dari S.M.
Ardan bahwa hasil sastra terbaru lebih banyak cipta daripada be-
rupa esai atau kritik atau resensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bukan hal yang mengherankan jika kini pun remaja lebih menyukai
cerpen sebagai hasil cipta sastra dibandingkan esai, baik esai sastra
maupun esai yang membahas masalah lain.
Contoh dari esai sastra adalah tulisan Jakob Soemardjo terha-
dap cerpen “Mangga Arumanis” karya Muh Rustandi Kartakusuma
dengan ciri-ciri subjektivitas penulis berdasarkan pengalaman dan
pengetahuannya.
Mangga Arumanis adalah simbol Rustandi untuk menyatakan
kehidupan (keluarga) masyarakat dan bangsa yang otentik, jujur,
sesuai tuntutan hati nurani, bermoral dan teguh iman. Mangga
Arumanis juga berarti pengorbanan kepentingan diri sendiri.
Meskipun sebuah keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah bangsa
itu miskin, asal hidup bermoral dan beriman, akan menjadikan
hidup ini akan menjadi manis dijalani dan dinikmat dihayati. Keka-
yaan itu baru berharga, baru manis, kalau diperoleh pula secara
otentik, jujur, bermoral, dan beriman. Tokoh Hendra adalah pah-

28 Burung-Burung Kertas
lawan bagi pengarangnya, Rustandi Kartakusuma. Pahlawan itu
dengan gagah berani menyumbangkan buah-buah mangga yang
tidak halal itu kepada mereka yang membutuhkan makanan. Ha-
nya dengan berbuat demikian, ia dapat kembali bermesraan de-
ngan istrinya, Yanti. Meskipun Yanti berasal dari keluarga kaya,
ia mau hidup dalam kemiskinan mendampingi Pahlawannya, Hen-
dra, yang bersikukuh mempertahankan sikap bermoral dan ber-
iman, penuh pengorbanan, dan pengabdian kepada sesama.”
Pengetahuan penulis tentang mangga arumanis, pandangan
positifnya terhadap tokoh di dalam cerpen yang diulas sangat
memperlihatkan betapa pribadinya sebuah esai. Inilah yang me-
nyangkal pernyataan bahwa esai terlalu ilmiah yang berindikasi
terlalu “serius”, karena esai sendiri malah sangat subjektif. Pan-
dangan yang seperti itu di kalangan remaja harus segera dilu-
ruskan.
Sebenarnya tanggapan terhadap karya sastra yang ada tidak
hanya dapat diapresiasi melalui esai, namun juga kritik dan resensi.
Walaupun sama-sama memuat argumen, ketiga jenis tulisan terse-
but memiliki perbedaan pada tujuannya. Dapat dipahami bahwa
sastrawan kita pun memiliki kegelisahan tentang nasib genre esai
pada masa ini. Meskipun telah dimasukkan ke dalam kurikulum
sekolah, pada kenyataannya pembelajaran esai belum juga mak-
simal.

Penutup
Tampaknya remaja belum menyadari pentingnya esai dalam
kegiatan akademis. Tentu saja hal ini juga merupakan akibat dari
pembelajaran oleh guru yang tidak menekankan dan menyampai-
kan pentingnya esai untuk mereka, sehingga remaja kurang mema-
hami hal tersebut. Setidaknya ada dua alasan mengapa esai kurang
berkembang di kalangan remaja.
Pertama, adanya persepsi bahwa esai terlalu bersifat ilmiah,
harus mengikuti kaidah atau aturan penulisan tertentu, sehingga
menyebabkan adanya asumsi bahwa terlalu banyak batasan yang
diberikan dalam penulisan esai, sehingga remaja yang merasa ingin

Burung-Burung Kertas 29
bebas berekspresi tertekan batasan-batasan tersebut. Aturan penu-
lisan esai yang memang bersifat semi-ilmiah menghambat kemauan
remaja yang cenderung labil dan belum memahami fungsi esai.
Secara psikologis usia remaja memang menyebabkan mereka lebih
senang dengan hal-hal bersifat imajinatif, karena mereka sendiri
pun suka berimajinasi. Itulah yang mengakibatkan dalam dunia
sastra hasil cipta lebih banyak dibanding ulasannya seperti yang
diungkapkan oleh S.M. Ardan.
Kedua, kurangnya perhatian guru terhadap perkembangan
kemampuan siswanya dalam menulis esai yang mengakibatkan
kurangnya pemahaman siswa terhadap fungsi esai. Seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa banyak guru yang malah be-
lum menguasai esai dengan benar, maka bagaimana siswa dapat
menguasai esai dengan baik pula? Padahal dalam tingkat univer-
sitas, mahasiswa diasumsikan sudah mampu menulis esai dengan
baik dan benar sehingga banyak dosen mata kuliah menguji pema-
haman mahasiswanya dengan tugas menulis esai.
Sosialisasi terhadap guru semua bidang studi tentang penting-
nya penulisan esai sebagai bekal dasar penulisan karya ilmiah dapat
menjadi solusi. Tidak hanya sosialisasi, akan tetapi juga pelatihan
penulisan esai yang kemudian diharapkan mampu ditularkan kepa-
da siswa-siswanya. Tentu saja, sosialisasi dan pelatihan tersebut
tidak hanya diberikan kepada para guru, tetapi juga kepada para
mahasiswa calon guru.
Dalam sudut pandang lain, jika memang pada dasarnya remaja
banyak yang mencintai sastra, bukan tidak mungkin pengembang-
an awal kecintaan untuk menulis esai adalah dengan menulis esai
sastra. Dengan ketertarikan yang condong ke sastra, esai akan
menjadi lebih menyenangkan jika yang diulas adalah sebuah topik
yang mereka sukai dan kuasai. Lama-lama remaja akan menyadari
bahwa penting sekali mempelajari esai. Antara lain melatih peka
dalam lingkungan sekitar, menangkap dengan cepat masalah yang
ada, berpikir kritis, dan mengungkapkan data dengan argumen
yang kuat, yang menjadikan bekal untuk menyusun kerangka ber-

30 Burung-Burung Kertas
pikir ilmiah. Menulis bukan hanya masalah tertarik atau tidak ter-
tarik, menulis juga sebagai kebutuhan, apapun jenisnya. Dalam
menulis esai dapat dimulai pula dari penulisan esai informal, yang
kemudian berlanjut ke tahapan esai formal yang mengharuskan
adanya data-data dari studi pustaka.
Pada akhirnya, seperti wahyu Tuhan yang disampaikan
pertama kali kepada Nabi Muhammad saw., iqro’ ‘bacalah’. Bacalah
kemudian menulislah. Jika ingin menaklukkan dunia, silakan Anda
membacalah. Jika ingin dikenal dunia, silakan Anda menulislah.
Cogito ergo sum. Aku berpikir karena itu aku ada. Scribo ergo sum.
Aku menulis karena itu aku ada, maka mari mulailah berpikir untuk
menulis agar segera dikenal dunia.

Daftar Bacaan
Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Pujiono, Setyawan. 2013. Terampil Menulis: Cara Mudah dan Praktis
dalam Menulis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wiedarti, Pangesti. 2006. “Menulis Karya Ilmiah dan
Pengajarannya”. Diktat FBS, Universitas Negeri Yogyakarta.

Biodata
Anita Meilani. Tinggal di Celep, Srigading, Sanden, Bantul. Saat ini Anita
Meilani kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Jika ingin berkorespondensi
dengan Anita Meilani dapat menghubungi HP: 085743802244 dan pos-el:
meilanitta@yahoo.com.

Burung-Burung Kertas 31
AKU GUNCANGKAN DUNIA
DENGAN MEMBACA
Surya Jatmika

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari
akarnya. Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan
dunia.”(Bung Karno)

Pendahuluan
Tentu kita pernah mendengar salah satu pekik retorik yang
digaungkan Sang maha mentor abadi, Bung Karno, di atas. Kata
mutiara di atas telah menunjukan betapa besarnya harapan beliau
terhadap kaum muda. Beliau telah menyadari sepenuhnya akan
arti pentingnya kaum muda untuk membawa bangsa ini menuju
keperadaban yang lebih baik.
Satu pemuda bukanlah sembarang pemuda. Pemuda yang
diharapkan Bung Karno adalah pemuda yang cerdas, kritis dan
pintar dalam setiap hal. Apalah gunanya satu pemuda, seratus,
sejuta, bahkan semilyar, jika mereka bodoh, tentu keadaan stagnasi
atau tidak bergerak yang ada. Oleh karena itu, jika lebih diper-
dalam, makna tersirat Bung Karno dalam kata mutiaranya adalah
harapan satu orang pemuda yang cerdas, kritis dan pintar.
Satu kunci untuk menjadi pemuda cerdas, kritis dan pintar,
yaitu dengan membaca segala buku bermutu, yang mencerdaskan
dan mencerahkan pikiran, serta menjadikan hidup lebih berkuali-
tas. Membaca buku sampah (buku porno, buku makna kosong)
hanya membuat pikiran miring atau melenceng dalam ketidakseim-
bangan, menjadikan kita sebagai pribadi tak berkarakter dan terke-
san liar, menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan setiap
persoalan.

32 Burung-Burung Kertas
Akan tetapi, di negeri ini tampaknya membaca buku bermutu
belum menjadi budaya. Masyarakat terutama pemuda belum me-
mahami arti penting membaca bagi kehidupan, padahal membaca
adalah kunci segala kesuksesan. Tidak ada orang di muka bumi
ini sukses tanpa membaca. Seorang Thomas Alfa Edison tidak akan
menemukan bola lampu jika tidak membaca. Oleh karena itu, reali-
ta ini menjadi dasar penulis mengemukakan gagasannya.

Fakta Membaca Pemuda Indonesia


Seperti yang dijelaskan sebelumnya membaca buku bermutu
merupakan kunci kesuksesan atas segalanya. Membaca akan
membawa pelakunya menjadi pribadi dengan kualitas tinggi. Insan
berkualitas mampu membawa bangsanya menuju kedudukan per-
adaban yang lebih baik. Oleh karena itu, tidak salah jika para ahli,
baik skala lokal maupun internasional, menjadikan membaca seba-
gai parameter kemajuan suatu bangsa.
Membaca dan petumbuhan kemajuan negara merupakan suatu
hukum perbandingan lurus. Semakin tinggi minat baca penduduk
suatu negara, semakin tinggi pertumbuhan kemajuan negara,dan
sebaliknya. Hukum ini tentu menjadi sebuah jawaban atas apa
yang terjadi di Indonesia yang tidak kunjung maju. Ini terjadi kare-
na minat baca penduduknya terutama pemuda kita sangatlah
rendah.
Menurut penelitian berskala nasional bahkan internasional di-
katakan minat baca buku penduduk kita tergolong rendah, ter-
utama pemuda kita. Berikut beberapa buktinya.
1. Berdasarkan data CSM pada anak SMA di 13 negara, termasuk
Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca
sebanyak 32 buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang
22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei
7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0
buku.
2. Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),

Burung-Burung Kertas 33
Ella Yulaelawati, mengatakan bahwa skor rata-rata kemampu-
an membaca remaja Indonesia adalah 402, di bawah skor rata-
rata negara yang masuk Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) dan Indonesia menempati urutan 57
dari 62 negara.
3. Laporan Bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesia from
Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia
kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih
skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singa-
pura (74,0).

Data dan fakta di atas merupakan sebuah jawaban atas keada-


an kita yang tidak kunjung maju sekaligus potret betapa mempri-
hatinkan minat baca buku bermutu penduduk kita terutama pe-
muda. Pemuda merupakan generasi penerus, di mana masa depan
bangsa dan peradabannya berada di genggaman tangan mereka.
Namun, mereka malah memiliki minat baca yang rendah terhadap
buku berkulitas.
Keadaan terpuruknya minat baca buku bermutu pemuda saat
ini masih dipandang masalah sepele bagi pemerintah dan masya-
rakat. Padahal keadaan tersebut merupakan akar segala bencana
kemanusiaan di negeri ini (korupsi, kemiskinan dan kriminalitas).
Selain itu, rendahnya minat baca buku bermutu pada pemuda me-
rupakan suatu pertanda hancurnya peradaban bangsa dimasa de-
pan. Oleh karena itu, ‘bencana’ rendahnya minat baca pemuda
Indonesia harus disikapi dengan segera. Jika tidak, niscaya Indone-
sia akan tenggelam, karena kekalahan dalam persaingan global
lantaran kebodohan generasi penerusnya sendiri.

Pemuda Kita
Pemuda Indonesia memang rendah dalam hal minat membaca
buku bermutu, tetapi tidak untuk minat membaca pada dunia maya
(internet). Mereka sudah menjadikan internet sebagai kebutuhan
pokok dalam hidup mereka. Tanpa adanya internet, hidup mereka
bagaikan sayur tanpa garam yang hambar rasanya.

34 Burung-Burung Kertas
Saat ini internet mereka gunakan sebagai sumber informasi
pertama dan utama akan setiap hal, seperti tugas, teori makalah,
kajian dan berbagai karya. Pemanfaatan internet yang besar seba-
gai sumber informan utama daripada buku, didasari alasan mudah,
ringkas dan tidak menjenuhkan sehingga keadaan tersebut menye-
babkan Indonesia menduduki peringkat lima dunia sebagai peng-
guna internet terbanyak di dunia.
Fakta mengenai prestasi penggunaan internet pada masyarakat
bagaikan dua sisi perasaan kehidupan, antara kebanggaan dan
keprihatinanan. Kebanggan yang dirasakan adalah penduduk In-
donesia terutama pemuda ternyata memiliki wawasan IPTEK (Il-
mu pengetahuan dan teknologi) yang tinggi. Keprihatinnanya, ma-
syarakat kita, terutama pemuda, masih menjadikan bacaan di inter-
net sebagai sumber informasi pertama dan utama dalam menger-
jakan setiap karya mereka.
Penggunaan internet sebagai sumber informasi merupakan
jalan yang salah. Kevalidan, keakuratan, mutu, dan kebenaran tu-
lisan di dalam internet masih menjadi keraguan bagi para pakar.
Ini disebabkan penulisannya yang masih dibelenggu oleh emosi
sesaat penulis sehingga tanggung jawab dan makna tulisan kabur.
Oleh sebab itu, para ahli menempatkan internet sebagai pustaka
kelas terbawah dan disarankan agar tidak dipakai dalam setiap
penulisan ilmiah dan yang penulisan karya yang lain.
Pustaka kelas teratas tentu adalah tulisan-tulisan bermutu hasil
pemikiran dan penelitian para ahli yang ditulis dengan makna
dan tanggung jawab yang penuh sehingga validasi dan keakurat-
annya tidak menjadi keraguan. Akan tetapi, dengan alasan mudah,
ringkas, dan tidak menjenuhkan, tetap saja menjadikan internet
sebagai primadona pemuda kita sebagai bacaan dan acuan.
Keadaan ini tentu bukanlah hal yang sepele. Pembacaan bacaan
yang tidak bermutu tentu akan melencengkan pikiran, merusak
moral dan mengubah pola perilaku kita menjadi tidak terkendali.
Selain itu, penggunaan bacaan tidak bermutu sebagai penunjang
gagasan akan melahirkan dan menyuguhkan tulisan sampah yang
dapat meracuni pikiran pembacanya.

Burung-Burung Kertas 35
Ketika pikiran rusak, moral pun menjadi rusak dan tentu me-
rembet pada perilaku pembacanya yang menjadi tidak terkendali.
Keadaan yang terjadi adalah carut marut dan hidup di bawah
bayang-bayang ketakutan. Itulah gambaran yang terjadi ketika
kita mengabaikan hal sepele, yaitu rendahnya minat membaca baca-
an bermutu pada masyarakat kita, terutama pemuda (generasi
penerus bangsa).

Bagaimana Kita Menyikapinya?


Tingginya angka minat membaca masyarakat terutama pemu-
da akan bacaan di internet memang suatu keprihatinan. Akan
tetapi, hal itu dapat dijadikan sarana atau jembatan emas untuk
meningkatkan minat baca buku bermutu. Dengan jalan penerbitan
buku e-book lalu di upload di internet dan pelayanan download secara
mudah dan gratis, hal itu tentu akan meningkatkan minat baca
pemuda kita akan buku bermutu.
Buku elektonik ini tentu menjawab kelemahan yang dimiliki
buku cetakan, seperti pada umumnya, yaitu rumit, tidak ringkas,
dan menjenuhkan. Kevalidan, keakuratan, dan tanggung jawabnya
pun tidak menjadi keraguan karena buku elektronik sama saja
dengan buku cetakan hanya saja wujudnya yang berbeda dari hard
file (cetakan) menjadi soft file (elektronik) sehingga solusi ini dapat
dijadikan senjata untuk mengatasi masalah membaca negeri ini.
Solusi selanjutnya adalah perbaikan kondisi perpustakaan di
negeri kita. Dengan melihat pemuda kita yang “gila” teknologi,
perpustakaan sebaiknya mengikuti keadaan dan kondisi demiki-
an. Pengadaan fasilitas pendukung, seperti internet, ruang baca
nyaman, buku baru berkualitas, akses mudah dan sebagainya, ten-
tu akan meningkatkan minat membaca pemuda di perpustakaan.
Perlu kita ketahui bahwa kurangnya peran perpustakaan di
lingkungan kita lantaran kondisinya yang sebatas sebagai ruang
baca dan gudang buku, tanpa adanya fasilitas lain yang diharapkan
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan pengelola perpusta-
kaan sebaiknya memberikan anggaran guna membentuk perpusta-
kaan yang modern sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat

36 Burung-Burung Kertas
terutama pemuda sehingga minat baca penduduk di perpustakaan
semakin tinggi.
Solusi terakhir yang penulis tawarkan adalah sistem wajib
membaca satu semester bagi siswa. Sistem ini mengajak guru (pen-
didik) untuk mewajibkan siswanya (baik dari tingkat SD (sekolah
dasar) maupun perguruan tinggi) untuk membaca beberapa buku
setiap satu semesternya (buku yang bermutu). Pemberian
kewajiban ini harus didasari kemampuan anak dalam hal membaca,
sebagai contoh untuk SD 1 buku, SMP 3 buku, SMA 4 buku, dan
mahasiswa 5 buku.
Setelah selesai membaca, guru diharapkan mengajak siswanya
untuk meresensi atau meringkas setiap bacaan mereka, kemudian
memberikan pertanyaan mengenai buku yang mereka baca. Hal
ini tentu menekan angka kecurangan yang dilakukan siswa se-
hingga mereka sungguh-sungguh melakukan kegiatan membaca.
Penulis melihat sistem ini belum diterapkan oleh pemerintah
kita. Padahal jika kita menengok negeri tetangga (Malaysia) dan
negara-negara maju (Amerika Serikat dan negara-negara Eropa),
sistem ini adalah suatu kewajiban bagi setiap peserta didik. Oleh
karena itu, tidak salah kita mengadopsinya demi mencetak ma-
nusia berkualitas dan Indonesia yang maju.
Dengan solusi yang penulis tawarkan di atas diharapkan mam-
pu menggerakkan hati masyarakat kita terutama pemuda untuk
meningkatkan minat baca mereka terhadap buku bermutu. Dengan
demikian, akan terbentuklah manusia berkualitas dan terbentuklah
Indonesia yang jaya. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana
membaca dapat membuat hidup kita lebih berkualitas dan mampu
memajukan bangsa?

Ketika Membaca Mengguncang Dunia


Mayoritas penduduk negeri kita masih beranggapan bahwa
kemajuan bangsa didasari oleh pertumbuhan ekonomi yang baik.
Pemikiran ini adalah salah besar. Fondasi utama dalam kemajuan
bangsa adalah bermula dari kualitas hidup penduduknya yang
dimulai dari minat baca mereka terhadap buku-buku bermutu.

Burung-Burung Kertas 37
Akan tetapi, mereka masih belum menyadari sepenuhnya akan
hal tersebut karena belum mengetahui arti penting membaca buku
bermutu.
Membaca buku bermutu adalah kegiatan yang tidak ada rugi-
nya. Menurut Sri Harjanto Sahid, membaca sama halnya menyerap
pengetahuan dari buku sama artinya dengan menimbun investasi
untuk membangun masa depan, berarti memperkaya dan memper-
kuat kerajaan pikiran, sekaligus meluaskan dan memenuhkan gu-
dang kerajaan sunyi kalbu dengan mutiara-mutiara kebijaksanaan
hidup sehingga terciptalah manusia berkualitas dan beretika.
Dengan terciptanya manusia berkualitas dan beretika, hal itu
akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Ini
dikarenakan manusia berkualitas akan mendorong terlahirnya tin-
dakan-tindakan nyata yang memajukan peradaban. Berbeda de-
ngan manusia tidak berkualitas, mereka hanya akan memperkeruh
keadaan dan menyebabkan hancurnya peradaban dengan omong
kosong mereka.
Kemudian, bukti selanjutnya yang menguatkan argumen pe-
nulis membaca buku bermutu mampu mengguncang dunia telah
terpampang nyata di muka bumi ini. Keadaan itu dapat kita lihat
perbedaan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
Indonesia dan Amerika Serikat adalah negara yang sama, yaitu
sama tergolong lima besar penduduk terbanyak di dunia (Amerika
ke-3 dan Indonesia ke-4). Namun, yang membedakan, Amerika
adalah negara adidaya penguasa dunia di balik keterbatasan sum-
ber daya alam, sedangkan Indonesia adalah negara miskin di balik
keterlimpahan sumber daya alamnya. Tentu ini merupakan fakta
yang sangat ironi bagi kita (orang Indonesia).
Terjadinya keadaan tersebut lantaran kualitas penduduk ke-
dua negara sangatlah berbeda. Perbedaan kualitas hidup disebab-
kan budaya membacanya. Dari fakta yang telah dijelaskan sebe-
lumnya menyatakan bahwa jumlah buku yang wajib dibaca pemuda
Amerika adalah 32 buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Nah, dari
bukti yang telah ada, kita dapat melihat dampak besar di kemudian
hari orang yang membaca buku bermutu dibanding dengan yang
tidak.

38 Burung-Burung Kertas
Amerika, negara dengan penduduk terbesar ketiga dunia de-
ngan keterbatasan sumber daya alam, mampu menjadi penguasa
dunia lantaran kualitas penduduknya yang sangat tinggi. Hal itu
hanya diperoleh dengan cara membudayakan membaca bacaan
bermutu dari usia dini hingga seterusnya. Mengapa kita tidak
bisa?
Kita, Indonesia, janganlah kalah dengan Amerika. Kelebihan
yang kita miliki dari Amerika sangatlah berpotensi besar untuk
menjadikan negeri ini menjadi penguasa dunia selanjutnya yang
bahkan mampu mengalahkan Amerika dengan jalan meningkatkan
minat baca buku bermutu sebagai jalan keluarnya. Masa depan
bangsa ini ada digenggaman tangan kita. Oleh karena itu, mari
pemuda bawa bangsa kita menjadi macan dunia melalui membaca
buku bermutu.

Penutup
Rendahnya minat baca buku bermutu pemuda kita menjadi
suatu keprihatinan bagi kita. Ditambah lagi kesenangan mereka
membaca bacaan di dunia maya yang kualitasnya jauh dari kata
berkualitas membuat kita menjadi lebih prihatin. Bacaan-bacaan
tidak bermutu mampu merusak moral pembaca yang merembet
rusaknya tingkah laku kita. Ketika tingkah laku kita menjadi tidak
terkendali membuat kondisi menjadi tidak kondusif.
Situasi tidak kondusif menyebabkan terhambatnya segala
sistem yang bekerja sehingga menyebabkan terhambatnya negara
memperoleh kemajuan dalam segala aspek. Itulah sedikit gam-
baran jika kita masih menyepelekan masalah minat membaca buku
bermutu di kalangan masyarakat terutama pemuda sebagai pene-
rus bangsa.
Oleh karena itu, penulis berharap pihak-pihak terkait mampu
merealisasikan solusi yang penulis gagas dalam esai ini. jika telah
terealisasi meningkatlah minat membaca buku bermutu masyarakat
terutama pemuda kita. Ketika kita memiliki pemuda berkualitas
karena minat baca buku bermutu yang tinggi, terbentuklah negara
makmur dan bukan tidak mungkin lagi Indonesia mampu meng-

Burung-Burung Kertas 39
ungguli Amerika “Sang Penguasa” dunia melalui membaca buku
bermutu.

Biodata
Surya Jatmika. Tinggal di Pulutan, Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Saat ini
Surya Jatmika kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Jika ingin berkores-
pondensi dengan Surya Jatmika dapat menghubungi HP: 085643951994.

40 Burung-Burung Kertas
MENCIPTA TOKOH FIKTIF
DALAM KARYA SASTRA
Ratu Pandan Wangi

Dewasa ini, sastra makin digemari. Berbagai karya sastra di-


terbitkan, diulas, dan diperbincangkan. Sastra dijadikan topik da-
lam seminar dan forum diskusi. Pelajaran sekolah pun tak lepas
darinya. Sastra tampak di mana pun dengan disisipkan dalam ber-
bagai buku, majalah, koran, hingga bacaan anak-anak.
Karya sastra itu sendiri merupakan sesuatu yang rumit, tak
bisa begitu saja dipahami. Tak semua orang bisa menangkap mak-
sudnya sebab inti dalam karya sastra dipoles sedemikian rupa
dengan berbagai metafora dan tipografi. Tujuannya bukan untuk
menyesatkan, melainkan untuk memaksimalkan daya khayal pem-
baca. Satu karya sastra bisa diterjemahkan menjadi macam-macam.
Kita harus jeli menangkap makna setiap kata, setiap kalimat, setiap
paragraf, hingga keseluruhan karya tersebut.
Membaca karya sastra adalah suatu proses yang panjang dan
lama. Oleh karena itu, tulisan mesti dibuat semenarik mungkin
supaya pembaca tidak bosan. Banyak cara yang bisa dilakukan,
misalnya, pandai-pandai menentukan tema, mengembangkan kon-
flik, memilih sudut pandang, serta yang tak kalah penting, yaitu
menciptakan tokoh fiktif yang memukau.
Sebagai contoh, novel legendaris Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya
Robert Louis Stevenson mempunyai tokoh berkepribadian ganda
yang sangat unik. Kepribadian yang bernama Dr. Jekyll digambar-
kan sebagai seorang lelaki bertubuh tegap dan bagus. Wajahnya
tampan, penampilannya bersih dan rapi, pembawaannya ramah,
sedangkan kepribadian yang bernama Mr. Hyde sangatlah bertolak
belakang. Wajahnya begitu buruk dan memancarkan hawa dingin

Burung-Burung Kertas 41
yang menyeramkan. Dua kepribadian tersebut bersatu menjadi
tokoh yang menyedot perhatian pembaca sampai akhir cerita.
Sebelum mencipta tokoh fiktif, tentukan jenis karya sastra
yang hendak ditulis sebab penokohan berbeda-beda untuk setiap
jenis cerita. Apabila ingin menulis tentang sejarah ataupun budaya,
kita dapat menampilkan tokoh yang sekaligus mencerminkannya.
Apabila ingin menulis tentang misteri, kita jangan membuat tokoh
yang memperumit isi cerita. Buat saja tokoh yang sederhana, tetapi
berbeda halnya apabila ingin menulis cerita mengenai pencarian
jati diri. Dalam jenis tulisan ini, penokohan mesti kita buat secara
utuh.
Salah satu cerita tentang pencarian jati diri adalah Sybil karya
Flora Rheta Schreiber. Novel yang berdasarkan kisah nyata dan
menggoncang dunia psikologi ini mengisahkan seorang perempu-
an bernama Sybil yang mempunyai 16 kepribadian. Dikisahkan
pada awalnya, Sybil tak menyadari kemunculan kepribadian-ke-
pribadian itu. Lalu, ia mulai mengunjungi psikolog. Dalam perte-
muan-pertemuan mereka terkuaklah penyebab Sybil menjadi
demikian. Ia melakukan penyembuhan dan akhirnya berhasil.
Keenam belas kepribadian itu menyatu. Pembaca pun mendapat
penuturan mendetail dari kejadian awal sampai akhir, dari sebab
sampai akibat.
Biasanya pembaca mudah menyukai tokoh yang mirip dirinya
sendiri. Kemiripan itu bisa di permukaan, misalnya, remaja lebih
menyukai karya sastra yang tokohnya sesama remaja daripada
tokohnya orang tua. Bisa juga kemiripan yang lebih dalam, seperti
sifat dan kebiasaan. Namun, kemiripan-kemiripan itu pada akhir-
nya dapat membuat bosan sehingga ciptakan juga tokoh yang
membuat pembaca penasaran.
Sumber ide untuk mencipta tokoh fiktif bisa berasal dari mana
saja. Perhatikan orang-orang yang sudah dikenal baik. Kita tentu
hafal penampilan, kepribadian, dan latar belakang mereka. Coba
tulis deskripsi mengenainya secara terperinci, atau kita bisa pergi
ke beberapa tempat, misalnya, taman kota, kedai minuman, se-
kolah kejuruan, tempat ibadah, dan lain-lain. Lalu, kita cermati
orang-orang yang berada di sana. Apakah lebih banyak anak muda

42 Burung-Burung Kertas
atau orang tua? Apakah mereka berkelompok atau terpisah? Apa
saja topik pembicaraannya? Kita coba menebak-nebak yang sedang
mereka pikirkan.
Kita juga bisa melakukan pengembaraan ke dalam diri sendiri.
Pikirkan hal-hal yang kita sukai dan yang tidak, bagaimana me-
nyikapi suatu kejadian, apa saja mimpi kita. Mari bercakap-cakap
dengan diri sendiri. Korek berbagai kenangan sebab kenangan
merupakan sumber ide lainnya. Barangkali kita mempunyai ke-
nangan yang sangat berharga. Daripada membiarkannya terlupa-
kan, coba diabadikan dalam bentuk tulisan, atau sebaliknya kita
mempunyai kenangan pahit dan menyakitkan yang selama ini ter-
bayang-bayang. Mungkin jika dituangkan menjadi kata-kata, kita
bisa memaafkan dan melupakan kenangan tersebut. Selain kenang-
an mengenai peristiwa yang telah terjadi, kita bisa menciptakan
kenangan baru. Caranya adalah pergi ke tempat-tempat yang be-
lum pernah dikunjungi. Lain kali saat pergi ke restoran, pesan
menu yang kelihatannya tak ingin kita pesan, atau bicara dengan
orang-orang asing. Semakin banyak kenangan yang dimiliki, se-
makin banyak pula peluang untuk memperoleh ide.
Ide adalah sesuatu yang murah dan ada di mana pun asalkan
kita kreatif. Buka pikiran dan pandangan lebar-lebar. Biarkan ide
mengalir deras. Namun, jangan loloskan ide tanpa disaring karena
bisa saja ide yang ditemukan sangat klise. Peras pikiran kita dan
barangkali ide pertama, kedua, dan ketiga kita klise. Oleh karena
itu, kita sebaiknya berpikir dari berbagai sudut pandang. Cari
referensi dari buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain. Bisa juga
kita mengikuti seminar dan diskusi. Tanyakan pendapat orang
lain mengenai ide kita. Mari terus berpikir dan berpikir sampai
mendapat ide yang luar biasa.
Kita dapat memilih ide yang unik dan tak ada duanya, atau
sudut pandangnya dibuat lain sehingga pembaca tak berpikir yang
itu-itu saja. Sebagai contoh, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta sudah
begitu sering dibahas hingga daya tariknya berkurang. Namun,
cerpen berjudul Kunang-kunang di Langit Jakarta oleh Agus Noor—
salah satu pemenang 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas 1992—
2012—menghadirkan sesuatu yang berbeda. Cerpen ini melukis-

Burung-Burung Kertas 43
kan realitas tragedi dengan cara romantis. Para perempuan yang
diperkosa dalam kerusuhan itu disimbolkan sebagai kunang-ku-
nang dan roh penasaran. Mereka beterbangan bebas di gedung-
gedung kosong, sederhana, tetapi menggugah.
Setelah mendapat ide, sebaiknya kita segera merealisasikan-
nya. Jangan tunggu terlalu lama sebab bisa-bisa lupa atau ide itu
kehilangan momentumnya. Ciptakan tokoh-tokoh fiktif yang men-
dukung ide tersebut. Tempatkan mereka di posisi yang tepat.
Berdasarkan kepentingannya, tokoh dibagi menjadi tiga, yaitu fi-
guran, tokoh sampingan, dan tokoh utama. Figuran ialah tokoh
yang hanya berada di latar belakang, keberadaannya untuk mela-
kukan fungsi sederhana lalu hilang dan dilupakan, sedangkan to-
koh sampingan berperan lebih banyak, bisa mempengaruhi cerita,
tetapi hanya muncul sebentar.
Tokoh utama adalah fokus pembaca sehingga mesti dibuat
memukau agar pembaca ingin terus mengikuti kisahnya. Penam-
pilannya bisa dibuat menarik, seperti cantik, tampan, rupawan,
anggun, eksotis, karismatik. Namun yang penting, ia menarik sim-
pati pembaca. Beri peran protagonis sebagai korban atau penye-
lamat, penyembuh, pencinta kedamaian, dan sebagainya. Namun,
jangan ciptakan tokoh yang terlalu sempurna. Bukannya bersim-
pati, bisa-bisa pembaca merasa bosan. Untuk itu, sisipkan keku-
rangan atau keburukan pada sang tokoh.
Dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tokoh
utamanya dijuluki Ikal. Ia lelaki yang penampilannya biasa saja,
tidak kaya dan tidak digilai perempuan, cerdas, tetapi akhirnya
menjadi pengangguran. Karakter seperti ini terasa akrab dengan
pembaca sehingga mendapat banyak simpati. Ikal adalah orang
yang pantang menyerah. Ia bercita-cita menempuh pendidikan di
Perancis walaupun keadaannya tak memungkinkan. Berkat usaha
keras, dukungan orang-orang terdekat, dan campur tangan Tuhan,
akhirnya Ikal bisa mewujudkan keinginannya. Karakter dan plot
ceritanya sangat sesuai bagi pembaca untuk menganggap Ikal orang
yang dekat dengan mereka. Pembaca ikut menangis saat Ikal me-
nangis, tertawa saat Ikal tertawa, dan bangga bukan main saat ia
akhirnya berhasil.

44 Burung-Burung Kertas
Tokoh utama juga bisa dijadikan antagonis asalkan memikat.
Contohnya adalah tokoh utama dalam novel Out karya Natsuo
Kirino yang memenangkan Japan’s Grand Prix for Crime Fiction, na-
manya Yayoi, buruh pabrik yang tidak sengaja membunuh suami-
nya. Sebelum kejadian tersebut, ia adalah orang yang biasa-biasa
saja. Namun, karena harus menyingkirkan mayat itu dengan cara
memutilasi, kepribadian Yayoi perlahan-lahan berubah. Ia men-
jadi psikopat. Namun, kekejamannya justru memperindah cerita.
Baik antagonis maupun protagonis, pastikan tokoh utama
sering muncul agar pembaca akrab dengannya. Tonjolkan ia, le-
mahkan tokoh lainnya. Kita bisa juga menggunakan sudut pandang
tokoh utama itu agar pembaca lebih bersimpati. Dalam bercerita
ada sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang keti-
ga. Sudut pandang orang pertama sering dipilih penulis pemula
sebab sederhana dan terasa alami. Sudut pandang ini digunakan
apabila penutur ingin menjadi tokoh yang terlibat dalam cerita,
kecuali kita sedang menceritakan diri sendiri, jadikan si penutur
orang yang berbeda dari kita. Beri ia kepribadian sendiri. Pastikan
gaya bertuturnya mencerminkan kepribadian itu, juga pendidikan
dan status sosialnya. Tokoh yang dijadikan penutur mesti hadir
di adegan-adegan penting dan minimalkan adegan yang kurang
penting baginya.
Sudut pandang orang ketiga dibagi jadi dua, yaitu serba tahu
dan terbatas. Orang ketiga serba tahu, seperti sebutannya, menge-
tahui segala sesuatu. Ia seolah berada di mana pun dan kapan
pun. Ia tahu pikiran dan keinginan para tokoh, juga masa lalu dan
masa depan, sedangkan orang ketiga terbatas hanya melihat dari
sudut pandang salah satu tokoh. Penuturannya tergantung pada
yang dilihat orang itu dan hanya bisa menduga-duga.
Tokoh yang dijadikan sudut pandang bisa diganti-ganti, con-
tohnya, Traveler’s Tale karya Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman
Hidajat, dan Ninit Yunita. Ada empat tokoh utama dalam novel
itu. Tiap bab menggunakan sudut pandang orang yang berbeda.
Terdapat ciri yang jelas dalam pergantiannya walaupun semua
bab menggunakan sudut pandang orang pertama sebab dalam
bercerita Francis menyebut dirinya “aku”, Retno menyebut dirinya

Burung-Burung Kertas 45
“saya”, sedangkan Farah “gue” dan Jusuf “gua”. Dengan demikian,
pembaca tidak merasa bingung.
Manakah sudut pandang yang sebaiknya dipilih? Tergantung
keinginan kita. Apabila ingin pembaca mendalami tokoh-tokoh
dalam cerita, pilih sudut pandang orang ketiga terbatas. Namun,
jika ingin bermain dengan bahasa, pilih sudut pandang orang ketiga
serba tahu atau orang pertama. Sebaiknya kita berhati-hati agar
permainan bahasa itu tidak mengaburkan ceritanya.
Kita bisa melakukan penjajakan pendapat mengenai karakter
tokoh fiktif yang diharapkan orang-orang. Hasilnya bisa sangat
berguna, sebagai contoh, kita hendak menulis karya sastra yang
sasaran pembacanya para ibu. Kita mesti mengetahui tokoh seperti
apa yang mereka inginkan. Apakah tokoh ibu bersifat kuat yang
bisa mengangkat isu persamaan gender, tokoh ibu yang lemah
dan tidak berdaya, tokoh ibu yang bebas dan modern, atau justru
tokoh lelaki yang memesona? Data-data mengenai hal ini akan
membantu pemasaran karya kita.
Sastra bisa menghubungkan kita dengan banyak orang. Selain
menjadikan orang lain sebagai inspirasi penciptaan tokoh fiktif,
ada banyak penggemar sastra yang bisa dimanfaatkan. Mari ber-
hubungan dengan mereka supaya memperoleh berbagai informasi,
misalnya, mengetahui macam-macam penafsiran dari suatu karya
sastra. Bisa juga saling bertanya, atau ikuti komunitas sastra, ada
banyak kegiatan yang bisa dilakukan, seperti diskusi, talk show
dengan penulis terkenal, bahkan menerbitkan buku antologi
anggota.
Sastra memang seolah tak mengenal batas. Kita bisa berhu-
bungan dengan pencinta sastra dari seluruh dunia. Pengetahuan
kita akan makin melimpah. Persediaan tokoh-tokoh fiktif juga
makin kaya. Dengan orang Perancis, misalnya, kita bisa mendis-
kusikan novel Les Misérables karya Victor Hugo. Novel fenomenal
ini menggambarkan dan mengutuk ketidakadilan sosial Perancis
pada abad ke-19. Kita bisa bertanya lebih jauh mengenai sejarah
dan budaya di novel itu dari penduduk aslinya. Bisa juga mendis-
kusikan novel Musashi karya Eiji Yoshikawa dengan orang Jepang,
novel legendaris yang membahas situasi Jepang abad 16—17 yang

46 Burung-Burung Kertas
mengandung idealisasi Jepang mengenai harga diri. Tokoh utama-
nya memilih jalan hidup yang sangat menarik, yaitu jalan pedang.
Ia melenyapkan segala nafsunya akan segala sesuatu kecuali nafsu
akan pertempuran.
Namun, tak salah juga kita memilih menikmati sastra seorang
diri sebab sastra bisa menjadi sesuatu yang sangat universal sekali-
gus sangat pribadi. Kita bisa membaca karya sastra di suatu tempat
sunyi, kemudian bercakap-cakap dengan diri sendiri dan mencari
penafsiran yang paling tepat, tak terbebani pendapat-pendapat
orang lain. Sastra bisa menjadi milik pribadi, bisa menjadi pelarian
dari hidup yang serba rumit, bisa pula sebagai terapi. Membaca
karya sastra merupakan proses berkenalan lebih jauh dengan ke-
pribadian, hasrat, dan sisi lain dari diri kita.
Alangkah baiknya apabila dalam membaca karya sastra, kita
mempunyai pembimbing sebab kegiatan membaca sebaiknya ter-
arah sejak awal dan harus ada pegangan yang bersifat luwes. Tak
semua buku layak dibaca. Oleh karena itu, kita mesti selektif. Tak
perlu membaca buku yang hanya memberi kesenangan semu, cari
buku yang menambahkan sesuatu pada diri kita, baik berupa
tambahan wawasan, kecerdasan emosi, maupun spiritualitas. Pilih
karya-karya yang memenangkan penghargaan, seperti Nobel
Sastra, Pulitzer, dan sebagainya. Apabila masih bingung dalam
memilih, kita minta saja bantuan orang yang berpengalaman, seperti
orang tua, atau guru. Dengan catatan, mereka tidak memberi pak-
saan-paksaan atau larangan yang justru membuat orang malas
membaca.
Sastra membuat kita lebih peka pada berbagai macam emosi,
seperti keriangan, kepahitan, kegundahan, keluguan, dan sebagai-
nya. Kita menjadi lebih memperhatikan keindahan maupun
keburukan sebab kedua hal itu tumpang tindih dalam sastra, bah-
kan melebur. Yang tampak indah bisa saja sebenarnya buruk, be-
gitu pula sebaliknya. Untuk mengasah kepekaan ini, kita mesti
membaca tak hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati dan
pikiran.
Membaca erat kaitannya dengan menulis. Aktivitas membaca
yang intens berarti belajar menulis secara alami. Lama-lama kita

Burung-Burung Kertas 47
akan hafal porsi untuk pembuka, isi dan penutup supaya tulisan
menarik. Kita mengetahui cara memilih sudut pandang. Bagaimana
supaya kalimat ringkas dan padat, atau sebaliknya—penuh meta-
fora? Bagaimana membuat orang berdebar-debar membaca sampai
akhir? Bagaimana mencipta tokoh fiktif yang membekas di benak
pembaca?
Segala pengetahuan mengenai tulis-menulis tak ada gunanya
apabila tidak dipraktikkan. Oleh karena itu, terlintas ide untuk
mencipta tokoh fiktif, sebaiknya kita segera mengajukan pertanya-
an bertubi-tubi mengenai dirinya. Apa jenis kelamin tokoh itu,
laki-laki atau perempuan? Bagaimana penampilannya? Tubuhnya
tinggi atau pendek? Memakai kacamata tidak? Bagaimana caranya
berdiri dan berjalan? Seperti apa sifatnya? Apakah ia pemarah,
pemurung, periang, atau pendengki? Seperti apa teman-temannya?
Ia memiliki berapa anggota keluarga? Apa saja hobinya? Dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendetail dan menjawabnya,
kita akan mendapat gambaran utuh mengenai sang tokoh. Kita
juga mesti memikirkan kebiasaan, bakat, dan seleranya.
Pastikan kepribadian tokoh tampak dalam dialognya. Beri ia
ciri khas dalam berbicara. Tak perlu membuat dialog yang tak
ada gunanya. Dialog mesti ikut berperan mengembangkan cerita.
Pesan moral juga bisa disisipkan dalam dialog supaya kesannya
pembaca tidak digurui.
Yang tidak kalah penting adalah menamai sang tokoh. Nama
adalah sesuatu yang mewakili seseorang, maka mesti dipilih
dengan tepat. Apabila tokoh kita bersifat kejam, kita berikan juga
nama yang berkesan kejam supaya pembaca mudah mengidentifi-
kasinya. Bisa juga memberi julukan-julukan. Sebaiknya jangan beri
nama yang mirip untuk tokoh-tokoh yang berdekatan. Sebagai
contoh, apabila tokoh kakak bernama Maria, jangan namai si adik
Mirna atau Melisa. Beri nama dengan huruf depan yang berbeda,
misalnya Cintia.
Beberapa penulis sengaja meniadakan nama tokoh-tokohnya.
Salah satu contoh adalah novel berjudul Blindness karya Jose
Saramago. Novel ini berkisah mengenai wabah kebutaan yang
menjangkit suatu negara. Hampir semua orang menjadi buta.

48 Burung-Burung Kertas
Karena tidak bisa melihat, para tokoh tidak bisa saling mengidenti-
fikasi penampilan. Oleh karena itu, nama menjadi sesuatu yang
tak penting. Sang penulis hanya menjuluki tokohnya lelaki buta
pertama, istri lelaki buta pertama, gadis berkacamata hitam, lelaki
bertampal mata, dan sebagainya. Ketiadaan nama ini tidak meng-
ganggu pembaca, justru menjadikannya istimewa. Buktinya, novel
ini menjadi pemenang Penghargaan Nobel Sastra tahun 1998.
Setelah berhasil mencipta tokoh-tokoh fiktif, sebaiknya kita
segera menulis. Hambatan utama memulainya adalah rasa takut
kalau hasil tulisan kita buruk, padahal itu wajar bagi orang yang
baru belajar menulis. Cobalah kita menulis setiap hari. Bisa berupa
buku harian atau jurnal singkat mengenai hal-hal yang terjadi hari
ini. Kita jadikan menulis sebagai suatu kebiasaan, jangan merasa
terbebani. Apabila kegiatan menulis mulai terasa tak menyenang-
kan, kita sebaiknya berhenti sejenak, lalu mulai lagi. Kita bisa me-
nulis tentang apa saja. Apabila masih terasa sulit, kita cari tempat
menulis yang nyaman. Menulis memang bisa dilakukan di mana
saja, tetapi gairah menulis bisa lebih tersulut apabila berada di
tempat favorit. Mungkin tempat yang udaranya segar dan suasana-
nya sunyi, atau justru tempat yang riuh rendah, sebab banyak
objek yang bisa dijadikan ide tulisan.
Apabila masih juga sulit untuk mencipta tokoh fiktif, kita bisa
menulis fan fiction. Itu adalah fiksi yang ditulis oleh fan ‘penggemar’
dari novel, komik, serial televisi, dan sebagainya. Karya-karya
tersebut sudah mempunyai berbagai tokoh dengan segala latar
belakangnya. Kita tinggal mengubah jalan cerita. Sebagai contoh,
kita adalah penggemar dari Harry Potter karya J. K. Rowling. Tokoh
utamanya adalah Harry, penyihir yang berusaha menyelamatkan
dunia sihir dari Pangeran Kegelapan. Kita bisa menggunakan tokoh
itu. Namun ubah ceritanya, mungkin Harry justru berperan sebagai
antagonis dan membantu sang Pangeran Kegelapan untuk me-
nguasai dunia sihir. Hal itu tentu akan menarik. Dengan mengem-
bangkan tokoh milik orang lain, lama-lama kita bisa menciptakan
tokoh sendiri. Namun, perlu diingat bahwa fan fiction tidak di-
maksudkan untuk mengambil keuntungan berupa materi. Hanya
untuk bersenang-senang dan mengembangkan imajinasi.

Burung-Burung Kertas 49
Sebaiknya berhati-hati dan konsisten dalam menceritakan to-
koh-tokoh kita. Apabila di awal cerita seorang tokoh adalah anak
tunggal, di tengah cerita kita jangan membuat adegan ia mengun-
jungi kakaknya. Hal demikian terjadi apabila proses penulisan
berjeda lama sebab kita bisa lupa. Setelah menyelesaikan suatu
tulisan, kita baca tulisan itu berkali-kali dengan cermat. Pastikan
tak ada kesalahan penokohan. Bisa juga minta tolong pada orang
lain untuk memeriksanya.
Mari kita terus menulis. Pada awalnya tak perlu takut pada
kualitas. Jangan mencoba menjadi perfeksionis sebab sifat itu ber-
bahaya pada awal-awal pembelajaran. Apabila ingin semuanya
sempurna, kita menulis akan sangat berhati-hati dan takut meng-
ambil risiko. Mutu tulisan mungkin akan menjadi lebih bagus, tetapi
produktivitas kurang. Dalam sebulan, barangkali kita hanya akan
menghasilkan satu karya. Namun, apabila menulis tanpa takut-
takut, kita bisa menghasilkan tujuh karya dalam sebulan, bahkan
lebih. Hal itu menjadi lebih baik sebab sesungguhnya kualitas bu-
kan ditentukan oleh kehati-hatian, melainkan ditentukan oleh se-
berapa banyak kita menulis.
Biasanya apabila penulis berusaha mengesankan pembaca,
karyanya justru terasa datar sebab kosakata indah dihambur-ham-
burkan sampai inti dari tulisan itu sendiri terkubur. Bisa juga kita
menggunakan teknik menulis terlalu banyak sehingga karya tidak
alami. Padahal yang terpenting dari suatu karya sastra adalah emo-
sinya. Lepaskan segala emosi kita saat menulis, niscaya hasilnya
akan terasa nyata dan hidup. Pembaca seolah-olah masuk ke dalam
dunia yang kita ciptakan.
Dalam menulis, upayakan jangan beri celah yang bisa dikritik
orang lain. Namun apabila mendapat kritik, kita terima saja
dengan lapang dada sebab seperti kata Putu Wijaya, “Tanpa kritik,
kesenian akan berpacu tanpa cemeti.” Kritik sebenarnya sangat
berguna sebab membuat karya sastra menjadi lebih sederhana dan
lebih jelas bagi pembaca. Karya sastra dibedah sedemikian rupa,
dibagi-bagi ke dalam fungsi yang mudah dipahami, lantas diberi
komentar positif dan negatif. Tak hanya pembaca yang lebih ter-

50 Burung-Burung Kertas
buka pandangannya, sang penulis pun juga. Namun sebaiknya,
kita berhati-hati karena kritik adalah pedang bermata dua. Ada
sebagian orang yang mencoba menjatuhkan penulis dengan kritik
yang bukan-bukan sehinga tak perlu pedulikan kritik semacam
itu.
Kita bisa menjadi kritikus untuk karya kita sendiri. Baca
dengan keyakinan bahwa kita orang lain. Usahakan seobjektif
mungkin. Barangkali ada cerita yang menghibur bagi sekelompok
orang, tetapi menyinggung kelompok lainnya.
Ada kesulitan dan kemudahan dalam segala sesuatu, begitu
pula dalam menulis dan mencipta tokoh fiktif. Pada awalnya kita
memang sulit, tetapi jangan cepat menyerah! Sesungguhnya, satu-
satunya batasan yang ada ialah batasan yang dibuat sendiri se-
hingga dorong batas kemampuan kita lebih jauh, jangan bersikap
tak sabaran ataupun tamak. Sesuatu berhasil dilakukan apabila
kita fokus dan menjalaninya selangkah demi selangkah.
Dalam menulis karya sastra, kita mesti menciptakan tokoh
fiktif yang menarik agar orang-orang betah membacanya. Kita
dapat mengawali dengan mencari ide. Ide bisa ditemukan kapan
pun dan di mana pun, terutama dalam proses membaca. Sebaiknya
kita membaca karya sastra yang bermutu dan menyerap segala
pengetahuan darinya. Selanjutnya, kita praktikkan menulis. Realisa-
sikan tokoh fiktif kita ke dalam cerita.

Biodata Penulis
Ratu Pandan Wangi. Tinggal lahir di di Jalan Lowanu Gang Dahlia UH VI /
686D Sorosutan, Yogyakarta. Saat ini Ratu Pandan Wangi kuliah di
Universitas Gadjah Mada, Jurusan Sastra Perancis. Hobinya membaca,
menulis dan melukis. Jika ingin berkorespondensi dengan Ratu Pandan
Wangi dapat menghubungi HP: 085743655818.

Burung-Burung Kertas 51
APLIKASI PINTAR TEBAKU
UNTUK MENINGKATKAN MINAT
BERBAHASA DAN BERSASTRA PADA
R E MAJA
Sangga Hadi Pratama

Latar Belakang
Minat sastra dan bahasa di kalangan remaja masih sangat ren-
dah. Fakta ini didukung oleh beberapa survai yang dilakukan
lembaga kredibel dan pandangan dari beberapa ahli. Hal ini juga
disadari oleh objek yang bersangkutan, yaitu remaja itu sendiri.
Mereka merasa enggan untuk mendalami bahasa dan sastra. Se-
bagian dari mereka mungkin merasa prihatin dan sangat ingin
mengatasi masalah ini, karena mereka sendirilah yang mengerti
akan apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Disadari atau tidak,
sesungguhnya banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk me-
ningkatkan minat bahasa dan sastra bagi remaja.
Kenyataannya, remaja di Indonesia saat ini lebih menggan-
drungi barang-barang elektronik impor yang dapat melakukan
banyak hal, seperti gadget, smartphone, maupun pc tablet. Namun di
antara produk gadget tersebut, smartphone-lah yang paling jamak
digunakan. Di era globalisasi yang serba dekat seperti sekarang,
alat-alat seperti di atas sudah umum dimiliki remaja di Indonesia
dan cukup ampuh untuk membuat ketagihan. Di dalam gadget ter-
dapat ribuan hiburan, pengetahuan, dan permainan yang dikemas
secara menarik sehingga membuat mereka tidak dapat lepas dari-
nya. Selanjunya, apakah premis “ketagihan gadget” dapat diubah
menjadi “ketagihan sastra dan bahasa”?
Di sinilah penulis ingin menggabungkan keduanya menjadi
inovasi yang mutakhir, atau bahkan belum ada dalam sejarah keba-
hasaan dan kesastraan di Indonesia. Sebuah aplikasi pintar yang

52 Burung-Burung Kertas
berisi materi-materi menarik tentang kebahasaan dan kesastraan,
tetapi tetap mendidik dan mampu memikat minat muda-mudi
Indonesia agar mencintai bahasa dan sastra bangsanya sendiri.
Selanjutnya, bagaimanakah rancangannya? Hal tersebutlah yang
akan penulis kupas di bagian selanjutnya.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang tersebut di atas, penulis menyebut-
kan beberapa masalah yang akan dibahas pada bagian pembahasan,
seperti bagaimana membuat remaja agar tertarik dengan dunia
bahasa dan sastra; aplikasi pintar seperti apa yang mampu me-
ningkatkan minat berbahasa dan bersastra remaja Indonesia; dan
fasilitas seperti apa yang akan ditanamkan pada aplikasi tersebut
untuk menarik minat bahasa dan sastra di kalangan remaja.

Tujuan
Dengan dibuatnya karya tulis ini, penulis bertujuan meningkat-
kan minat berbahasa dan bersastra melalui cara yang disukai oleh
remaja Indonesia, kemudian menjadikan Balai Bahasa Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pelopor dalam hal menjaring
segmen remaja untuk peduli terhadap hal-hal yang terkait dengan
kebahasaan dan kesusastraan. Yang terakhir adalah menjawab tan-
tangan global akan kemudahan dalam mengakses informasi, ter-
lebih yang berhubungan dengan kebahasaan dan kesusastraan
Indonesia yang sangat kaya dan beragam.

Analisis dan Solusi


Indonesia memiliki kualitas dan kuantitas pelajar yang terbi-
lang baik dan melimpah. Banyak prestasi yang telah ditorehkan
remaja-remaja Indonesia. Prestasi yang ditorehkan ada di banyak
bidang studi, seperti matematika, sains, olahraga, dan inovasi ling-
kungan. Lingkup prestasinya pun beragam, dari tingkat kota/ka-
bupaten hingga tingkat mancanegara. Banyak negara-negara di
dunia sudah mengakui kehebatan remaja ibu pertiwi sehingga me-
reka akan mempertimbangkan keberadaan Indonesia.

Burung-Burung Kertas 53
Lalu di manakah letak prestasi bahasa dan sastra? Ternyata
prestasi di bidang ini masih dipandang sebelah mata oleh banyak
pihak, padahal untuk berprestasi di bidang ini bukanlah perkara
mudah. Prestasi tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam
dan holistik. Sebut saja prestasi di bidang pembuatan esai, kita
membutuhkan wawasan serta kemampuan tata bahasa yang mum-
puni. Jika tidak memiliki kelebihan, kita keluar sebagai juara mung-
kin hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Sebuah pertanyaan akan muncul ke permukaan. Bagaimana
merangkul pemuda agar gemar mendalami bahasa dan sastra
Indonesia demi prestasi yang lebih cemerlang di masa yang akan
datang? Jawaban dari pertanyaan di atas telah dijawab oleh perta-
nyaan itu sendiri. Jika ingin membuat kawula muda memiliki minat
yang tinggi, kita harus “merangkul” mereka dengan cara yang
mereka sukai. Bagaimanakah cara yang mereka sukai? Tentu saja
dengan masuk ke dunia mereka dengan mengikuti “tren” per-
gaulan mereka. Bergaul di sini berbeda dengan makna bergaul
dalam arti yang sebenarnya. Bergaul di sini berarti mengenal du-
nianya dan mau menerima kebiasaannya.
Pergaulan remaja pada beberapa tahun ini telah bergeser ke
pergaulan “awan” yang berbeda dengan satu dekade sebelumnya
yang lebih condong pada pergaulan “nongkrong”. Pergaulan awan
membuat remaja bisa tetap bersosialisasi dengan sesamanya mes-
kipun dengan jarak yang jauh dan mengurangi risiko yang ada
pada pergaulan “nongkrong”, seperti narkoba, perkelahian remaja,
dan maksiat. Hal inilah yang menjadi dasar penulis berusaha untuk
menjadikan pergaulan awan sebagai sarana mempromosikan kesa-
daran minat berbahasa dan sastra. Selanjutnya, bagaimana caranya
memanfaatkan tren ini? Apakah mungkin Balai Bahasa Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta atau instansi yang terkait dengan
kebahasaan dan kesastraan “turun gunung” menjadikan momen
ini sebagai titik balik di tengah kekeringan sastra dan bahasa di
kalangan remaja?
Survei yang dilansir Growth for Knowledge (GfK) pada tahun
2012 menunjukkan bahwa pengguna smartphone di Indonesia me-
nembus angka 13 juta orang dan diprediksi akan terus tumbuh di

54 Burung-Burung Kertas
angka 20--50% setiap tahunnya sehingga pada akhir tahun 2013
jumlah pengguna smartphone akan menembus 20 juta orang dan
dari jumlah tersebut 38% penggunanya ternyata masih berusia di
antara 14--24 tahun.
Ini merupakan salah satu celah untuk merangkul mereka. Me-
manfaatkan banyaknya pengguna smartphone di usia belia dengan
membuat sebuah aplikasi yang dapat diunduh secara gratis, me-
narik, dan memiliki banyak manfaat. Selanjutnya, apa nilai lebihnya
jika kita menggunakan aplikasi pintar pada smartphone dibanding-
kan dengan menggunakan media promosi lain?
Aplikasi di smartphone dapat diunduh secara gratis. Sesuatu
yang gratis, pada umumnya, dapat memikat khalayak ramai untuk
memilikinya. Inilah tujuannya, dengan aplikasi yang gratis, diha-
rapkan makin banyak pula remaja yang tertarik mengunduh dan
menggunakannya secara optimal. Aplikasi pintar yang gratis ini
penulis harapkan dapat menyasar semua kalangan, termasuk ke-
pada mereka yang tidak memiliki perangkat yang memadai. Cara-
nya adalah dengan memasukkannya ke pembelajaran mata pelajar-
an terkait, yaitu Bahasa Indonesia. Peran guru pembimbing diper-
lukan di sini dengan mengikutsertakan aplikasi ini pada pem-
belajaran sehari-hari.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat aplikasi pintar
ini juga terbilang sangat murah dan waktu pembuatannya tidak
terlalu lama. Cukup dengan membuat sebuah tim IT yang kompe-
ten di bidangnya masing-masing dan ditambah dengan sedikit
modal teknis, jadilah aplikasi impian ini dalam waktu lebih kurang
satu tahun. Namun, penulis berharap, dengan ide dan konsep dasar
yang sudah dituliskan dalam karya tulis ini, waktu pembuatannya
bisa dipercepat. Belum ditambah dengan peluang iklan yang dapat
disematkan pada aplikasi ini sehingga dapat menjadi pemasukan
secara kontinu bagi keberlangsungan aplikasi dan tentunya untuk
pengembang serta lembaga di belakangnya. Selain itu, pembuatan
aplikasi pintar lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan
banyak kertas. Penulis juga bersedia terjun langsung ke dalam
proyek ini jika memungkinkan.

Burung-Burung Kertas 55
Selanjutnya, aplikasi pintar seperti apa yang dapat membuat
kawula muda tertarik dengan dunia sastra dan bahasa? Pertama,
aplikasi ini harus memberi kesan awal yang menarik dan pengguna
tidak menyadari bahwa sebenarnya ini adalah sebuah aplikasi
edukasi. Oleh karena itu, nama aplikasi pintar ini harus unik dan
menggoda sehingga dapat membimbing mereka untuk mengun-
duh dan mencobanya. Penulis pun menamai aplikasi pintar ini
dengan nama tebaku.
Tebaku adalah akronim dari tebak baku. Tebak baku adalah konten
andalan dari aplikasi ini. Inspirasinya ialah guru mata pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah penulis yang melakukan kuis kata
baku dan tidak baku di kelas. Sayangnya, penulis dan teman-teman
mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Dari kejadian di atas,
kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan remaja tentang
kebahasaan dan kesastraan di Yogyakarta, khususnya, masih cukup
rendah sehingga sebuah permainan edukasi mendesak untuk
diwujudkan.
Tebaku harus memiliki identitas. Mengapa identitas? Tentu
agar aplikasi pintar ini memiliki sesuatu yang dapat diingat para
penggunanya, misalnya saja, tebaku memiliki sebuah maskot yang
menarik dan berjiwa muda, tetapi yang dimaksud identitas di
sini tidak hanya sebatas pada pembuatan maskot. Identitas berarti
ciri khas yang membuat aplikasi ini berbeda dengan aplikasi lain-
nya di smartphone yang umumnya hanya menyajikan permainan,
hiburan, berita, wawasan, dan pengetahuan secara terpisah. Hal
itu akan menjadi sangat hebat jika tebaku mampu menyajikan semua
elemen tersebut menjadi satu aplikasi yang luar biasa. Itulah yang
menyebabkan penulis selalu menyebutkan Tebaku adalah sebuah
aplikasi pintar, bukan aplikasi biasa.
Tebak baku sebagai konten andalan dari aplikasi tebaku, harus
memiliki konsep yang kuat, mencakup bagaimana isi materinya,
teknisnya, dan lain sebagainya. Di sini, penulis akan membahasnya
secara detail ditambah dengan beberapa konten pendukung lain
yang tak kalah penting, seperti pencarian kata baku, info unik
bahasa dan sastra Indonesia, e-book downloader, pedoman penulisan
baku, dan forum diskusi. Tebak baku merupakan sebuah permain-

56 Burung-Burung Kertas
an yang menyerupai kuis berperingkat. Teknis permainannya sa-
ngat sederhana. Pengguna akan dihadapkan pada beberapa pilihan
kata, bisa dua, tiga, atau lebih, yang salah satunya adalah kata
baku sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kita tentu
menyadari bahwa hingga sekarang masyarakat awam, terutama
remaja, masih bimbang tentang mana kata yang baku dan mana
yang tidak baku. Tentu dengan permainan sederhana ini, mereka
merasa tertantang untuk menguji sejauh mana kemampuan mereka.
Setelah memilih kata yang mereka anggap benar, pengguna diha-
ruskan menekan tombol OK untuk mengetahui apakah jawaban
mereka benar atau salah. Jika benar, pengguna dapat melanjutkan
permainan ke babak berikutnya. Namun, jika salah, pengguna
tidak dapat melanjutkan permainan ke babak berikutnya.
Sesuai dengan tujuan penulis, aplikasi pintar tebaku tidak boleh
hanya sekadar mengedepankan sisi hiburan. Di mana letak aspek
edukasinya? Setelah pengguna yang gagal melanjutkan permainan
ke babak berikutnya, maskot tebaku, sebut saja dengan nama Ku-
baku (singkatan dari Aku Bangga Berbahasa Baku) akan memberi-
kan penjelasan, mengapa jawaban yang dipilih pengguna salah,
dan mengapa jawaban yang benar adalah jawaban yang lain
dengan menyertakan analisisnya.
Sedikit “obat candu” diperlukan agar aplikasi ini semakin ba-
nyak diminati. Karena permainan ini bertemakan kuis berpering-
kat, peringkat para penggunanya wajib disajikan. Dengan mendaf-
tar sebagai member tebaku, pengguna akan terdaftar dan tercatat
pada server. Server akan mencatat bagaimana perkembangan level
dan skor dari para pengguna. Semakin tinggi level dan skor peng-
guna tersebut, makin tinggi pula peringkatnya. Perlu penulis
informasikan pula bahwa kriteria skor adalah seberapa banyak
pengguna mampu menjawab soal tebaku dengan benar, sedangkan
level ditentukan berdasarkan seberapa cepat pengguna mampu
menyelesaikan kuis tebaku. Semakin cepat pengguna menyelesaikan-
nya, semakin tinggi pula levelnya.
Dengan adanya sistem ranking ini, penulis memprediksi akan
terjadi persaingan untuk memperebutkan peringkat tebaku secara
paralel. Akibatnya, pengguna setia tebaku akan terus mengasah

Burung-Burung Kertas 57
dirinya untuk lebih banyak mengenal kata-kata baku. Sistem
ranking seperti ini tentunya akan menjadikan para penghuni pe-
ringkat teratas memiliki tingkat ketenaran yang tinggi. Ketenaran
merupakan satu dari beberapa hal yang ingin dimiliki remaja
Indonesia.
Setelah ranking ditentukan, perlu rasanya memberikan apre-
siasi kepada jawara tebaku setiap periodenya. Apresiasinya dapat
berupa apa saja, tetapi penulis merekomendasikan untuk tidak
memberikan hadiah berupa uang. Akan lebih baik, hadiah tersebut
berupa buku pembelajaran yang mendukung program peningkatan
kemampuan berbahasa dan sastra.
Konten berikutnya dari aplikasi pintar tebaku masih berhu-
bungan dengan kata baku dan tidak baku. Konten ini cukup mirip
dengan search engine terkemuka di dunia, google.com. Akan tetapi,
konten ini dikhususkan untuk mengetahui kata mana yang baku
dan tidak baku, misalnya saja, pengguna aplikasi pintar tebaku ingin
mengetahui apakah kata “jaman” merupakan kata baku atau bu-
kan, pengguna tersebut cukup mengetikkan kata “jaman” di dalam
tempat yang disediakan. Setelah selesai, server akan mengeluarkan
jawaban bahwa kata yang ia masukkan adalah tidak baku disertai
dengan penjelasannya. Secara umum, konten yang satu ini lebih
mirip dengan kamus elektronik dan sejenis dengan games tebak
baku, hanya saja sisi permainannya dihilangkan. Oleh karena itu,
penulis memberikan nama cari baku untuk konten ini.
Tampaknya konten aplikasi tebaku masih terlalu sedikit. Oleh
karena itu, penulis masih memiliki beberapa konten lainnya, seperti
infoku. Infoku adalah sebuah media dalam tebaku yang menyajikan
info-info unik dari dunia kebahasaan dan kesastraan, baik di Indo-
nesia maupun mancanegara, misalnya saja, penelitian-penelitian
di dunia tentang kebahasaan yang membuktikan bahwa bahasa
Indonesia adalah bahasa yang paling mudah untuk dipelajari ka-
rena di dalamnya tidak mengandung kata kerja bentuk aktual,
lampau, dan sebagainya. Dapat pula berupa kisah berwawasan,
cerita inspiratif, motivasi, ataupun sejarah kebahasaan dan kesas-
traan yang ada di Indonesia, seperti tokoh Taufiq Ismail merupa-
kan seorang penyair dua era, yaitu angkatan 66 dan reformasi.

58 Burung-Burung Kertas
Setelah infoku, masih ada e-book downloader. E-book downloader
adalah fasilitas bagi para pengguna setia tebaku berupa kumpulan
buku elektronik gratis yang dapat diunduh. Untuk menambah
tantangan disediakan buku-buku elektronik baru yang berkualitas.
Namun, untuk mengunduhnya, pengguna diharuskan menjawab
pertanyaan atau kuis yang berkaitan dengan wawasan bahasa dan
sastra. Pengguna yang hendak membaca buku elektronik tersebut
lantas akan mencari tahu jawabannya. Akibatnya, pengetahuan
dan wawasan pengguna tebaku pun akan bertambah.
Untuk menyelesaikan masalah rendahnya pengetahuan akan
bahasa dan sastra yang benar, pedoman penulisan karya tulis atau
sastra wajib dimasukkan. Hal ini dilakukan karena referensi yang
ada di setiap buku berbeda-beda. Akan lebih indah, panduan ber-
bahasa dan bersastra di Indonesia dapat lebih terperinci melalui
aplikasi tebaku ini sehingga ke depannya kesalahan dalam penulisan
karya tulis dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan.
Konten terakhir, agar pengguna tebaku tidak kehilangan wak-
tunya untuk bersosialisasi, perlu rasanya kita memberikan sebuah
forum diskusi. Forum ini tidak hanya bermanfaat dalam berdiskusi
tentang bahasa dan sastra, tetapi juga tentang topik pelajaran lain
yang ada di sekolah ataupun kampus. Penulis berharap bahwa
tebaku dapat dijadikan sebagai “jujukan” aplikasi berkualitas dan
mendidik karena memiliki fasilitas edukasi yang lengkap.

Penutup
Sebagai penutup, penulis akan menggarisbawahi hal-hal yang
menjadi jawaban dari rumusan masalah bahwa untuk membang-
kitkan minat remaja Indonesia untuk bahasa dan sastra tidak cukup
hanya dengan cara konvensional. Cara luar biasa dan modern ha-
rus dilakukan, yaitu dengan cara merebut hati mereka dan mema-
suki dunia mereka. Langkah ini dapat dilakukan dengan aplikasi
pintar yang telah penulis kemukakan di bagian analisis. Fasilitasnya
pun dibuat sedemikian rupa agar lebih menarik karena kami re-
maja Indonesia yang aktif, dinamis, kreatif, dan penuh energi.
Kami akan menyambut dengan baik kehadiran aplikasi pintar ini
karena tebaku sesuai dengan jiwa muda kami.

Burung-Burung Kertas 59
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih memiliki
banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun
akan sangat bermanfaat bagi penulis ke depannya. Adapun sebagai
saran, penulis berharap pihak-pihak terkait dapat membantu
terwujudnya aplikasi edukasi ini. Semoga karya tulis ini dapat
diteliti lebih lanjut agar ke depannya dapat menjadi lebih sempurna.
Jika nantinya aplikasi pintar ini dapat terwujud, kekurangan
penulis-penulis lain dalam menyusun karya tulis dapat dikurangi.

Biodata Penulis
Sangga Hadi Pratama. Tinggal di Jalan Sidokabul No. 32 031/008, Sorosutan,
Umbulharjo, Yogyakarta. Saat ini Sangga Hadi Pratama sekolah di SMA Negeri
2 Yogyakarta. Jika ingin berkorespondensi dengan Sangga Hadi Pratama
dapat menghubungi HP: 083840053737, pos-el: sanggapratama@gmail.com.

60 Burung-Burung Kertas
PERSPEKTIF: KEBUDAYAAN SEBAGAI ASET
PE MB ANGUNAN
Sri Mulyani

Wajah Pembangunan Indonesia, Sebuah Siluet


Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa ada-
lah kebesaran, keluasan, dan kemajemukaannya. Berbentuk negara
kepulauan dengan bentang alam dari Sabang sampai Merauke,
serta topografi alam lengkap meliputi laut, pegunungan, dan da-
taran rendah menjadikan Indonesia kaya sumber daya alam. Indo-
nesia juga terdiri atas bermacam wilayah dengan berbagai adat
dan kebiasaan, Indonesia kaya dengan budaya. Keberagaman
alam, sosial dan budaya tersebut menjadi peluang sekaligus tan-
tangan bagi pembangunan nasional. Hal ini sudah disadari sepe-
nuhnya oleh para pendiri bangsa.
Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tesebut
dengan melahirkan sejumlah konsepsi kebangsaan dan kenegara-
an, yaitu Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Dasar
Republik Indonesia 1945 sebagai konstitusi negara, Negara Kesa-
tuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara, dan Bhinneka
Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Keempat konsepsi tersebut
ditujukan sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan untuk me-
wujudkan kesejahteraan rakyat, sebuah tugas besar dan berat.
Rakyat Indonesia sangat majemuk dengan kondisi tempat ting-
gal dan budaya yang berbeda. Hal ini menyebabkan kebutuhan
dan sumber daya yang dimiliki untuk pembangunan pun berbeda.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pilihan yang te-
pat untuk mewadahi kemajemukan bangsa, sedangkan Bhinneka
Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu.

Burung-Burung Kertas 61
Perbedaan tidak menjadi alasan alasan untuk tidak bersatu, karena
bersatu bukan berarti sama.
Menyesuaikan karakteristik yang beragam, sifat pemerintahan
Indonesia yang semula sentralistik kini menjadi desentralistik.
Desentralisasi ini, selain hak untuk mengelola daerahnya sendiri,
juga diikuti oleh desentralisasi fiskal dari pusat ke daerah. Daerah
memiliki hak otonom. Pelaksanaan otonomi daerah, sejak Januari
2001, sejalan dengan pembangunan nasional melalui pembangunan
daerah untuk meningkatkan kemandirian daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945, baik
secara konstitusional maupun legal, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pe-
layanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dalam pen-
jelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
ditegaskan bahwa melalui otonomi luas daerah diharapkan mam-
pu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip de-
mokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan,
serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai potensi alam, sosial, budaya di daerah diharapkan
dapat dikelola secara maksimal dengan adanya hak otonomi ter-
sebut. Akan tetapi, sebagian besar daerah di Indonesia relatif masih
bergantung pada dana perimbangan dari pemerintah pusat. Hal
ini dapat dilihat dari komponen pemasukan APBD. Artinya, dae-
rah belum optimal melakukan pembangunan daerah. Penyebab
pertama ialah daerah belum menemukan potensinya untuk dike-
lola. Kedua, daerah tidak mengetahui cara mengelola potensinya.
Perdagangan, pertanian, peternakan, dan pertambangan me-
rupakan potensi fisik-alam yang mudah terlihat. Namun, belum
banyak daerah yang memperhatikan potensi budaya daerahnya
dan mengelolanya menjadi manuver ampuh untuk pembangunan
daerah. Beberapa daerah memang telah memberikan wadah bagi
budayanya, tetapi belum tahu cara memberikan nilai terhadap bu-
dayanya tersebut untuk “dijual”.

62 Burung-Burung Kertas
Kebudayaan: Hilang atau Termarjinalkan?
Kebudayaan memiliki arti luas yang terdiri atas hal-hal yang
bersifat tangible dan intangible. Definisi kebudayaan paling tua
dikemukakan oleh Taylor, yaitu bahwa kebudayaan adalah kese-
luruhan aktivitas-aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, keper-
cayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan lain.
Koentjaraningrat menyebutkan tiga macam perwujudan kebudaya-
an, yaitu 1) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, nor-
ma dan peraturan; 2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivi-
tas kelakuan berpola manusia dan masyarakat; dan 3) benda-benda
sebagai karya manusia. Dengan demikian, pada dasarnya kebuda-
yaan melekat pada diri manusia. Eksistensi kebudayaan akan
selalu ada seiring dengan berlangsungnya kehidupan manusia.
Kebudayaan menjadi simbol dan tingkat peradaban umat manu-
sia yang akan berubah dan berkembang seiring perubahan zaman.
Namun demikian, pengertian kebudayaan berbeda dalam
masyarakat yang masih awam kebudayaan. Pertama, ketika men-
dengar “budaya” atau “kebudayaan” apa yang terlintas dipikiran
adalah seni pertunjukan, hiburan tradisonal, dan barang-barang
kuno. Kebudayaan didudukkan sebagai tontonan dilihat sebagai
sarana relaksasi dari penat dan lelah. Kebudayaan seolah-olah ha-
nya memiliki nilai seni dan estetika walaupun beberapa pihak
terkadang berupaya menggali dan mempertahankan nilai filosofis
dari kebudayaan.
Diakui ataupun tidak, kebudayaan merupakan bidang nomor
sekian dalam pembangunan. Pembangunan dan pengembangan
kebudayaan tetap ada, tetapi belum menjadi prioritas. Bukan salah
satu pihak atau pihak lain, kondisi perekonomian dan perpolitikan
Indonesia masih rentan, demikian juga dengan pendidikan. Akan
tetapi, kesedihan sebenarnya ialah tidak sedikit pihak apatis ter-
hadap keberadaan budaya Indonesia. Kebudayaan belum dipan-
dang sebagai jalan. Dalam sepeda, mungkin kebudayaan adalah
satu dari sekian banyak sekrup, keberadaannya tidak terlihat, ke-
tiadaannya dalam jangka pendek tidak terasa. Akan tetapi, dengan
sekrup itulah sebenarnya roda dapat terbaut dengan kuat, sepeda

Burung-Burung Kertas 63
akan lebih tangguh dan cepat menapaki, bahkan jalan terjal dan
curam.
Ketiga, yang paling tragis adalah ketika kebudayaan itu hilang,
tidak diketahui, dan dilupakan. Permasalahan mendasar kebudaya-
an di Indonesia adalah keberadaan budaya yang mulai terancam
keberlangsungannya. Insentif yang relatif rendah dan pandangan
miring bagi pelaku budaya menjadikan keengganan tersendiri un-
tuk terjun dalam bidang kebudayaan. Pelestari budaya dan buda-
yawan yang tertinggal hanyalah orang-orang yang benar-benar
peduli dan cinta dengan kebudayaannya. Hal ini diperparah de-
ngan semakin kerasnya tuntutan hidup di era globalisasi dan kema-
juan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua hal tersebut cukup
hebat mengalihkan perhatian sebagian besar masyarakat terhadap
kebudayaan.
Singkat kata, kebudayaan belum dipandang sebagai sesuatu
yang penting. Jika itu tanaman, kebudayaan belum memiliki tempat
pasti untuk tumbuh sehingga tak akan berbuah. Yang harus dila-
kukan adalah menentukan quo vadis kebudayaan sebelum kebuda-
yaan benar-benar tak dikenal.

Quo Vadis Kebudayaan oleh Soekarno


“Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-
tiap bangsa mempunyai cara berjoangnya sendiri, mempunyai ka-
rakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai
individu mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang ter-
wujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam pereko-
nomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.”
Pada 1958 silam, Soekarno dengan lantangnya meneriakkan
kepercayaan diri bangsa untuk menjadi diri sendiri. Cara berjuang
dalam pelaksanaan pembangunan adalah berdasarkan kepribadian
bangsa. Kemajemukan adalah kepribadian bangsa Indonesia se-
hinga di atas kemajemukanlah seharusnya pembangunan berjalan.
Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita,
yang sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia.
Kemajemukan dalam konteks kebudayaan jelas menjadi aset dan

64 Burung-Burung Kertas
sumber daya perekonomian. Kekayaan budaya Indonesia beragam
dan berlimpah, mulai dari budaya Aceh sampai budaya Papua,
dan apabila didaftar akan mencapai ratusan budaya.
Tidak perlu bermuluk-muluk untuk menjadikan kebudayaan
sebagai golden manuver bagi pembangunan nasional, tetapi setidak-
nya tahu cara mengelola kebudayaan, lebih lagi mengelola kebuda-
yaan agar menjadi aset dalam pembangunan. Jangan sampai kedua
kalinya Indonesia mengalami Dutch Disease.
Dutch Disease merupakan sintesis yang polpuler untuk meng-
gambarkan paradoks pertumbuhan yang lamban di negara yang
kaya sumber daya alam. Kelambanan ini disebabkan negara tidak
mampu mengelola sumber daya alamnya. Sumber daya alam Indo-
nesia yang melimpah belum bisa mendatangkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat. Sebagian besar kekayaan alam Indonesia dinikmati
oleh negara lain yang baru disadari ketika sumber daya alam ter-
sebut hampir habis.
Di tengah kebingungan menipisnya sumber daya alam, sudah
saatnya untuk menggali, mengelola, dan mengembangkan sumber
daya budaya di Indonesia. Jangan sampai kebudayaan Indonesia
yang banyak dan beragam baru disadari kebermanfaatnya setelah
hampir hilang. Kebudayaan potensial sebagai aset dalam pemba-
ngunan. Terlebih dunia internasional telah cukup mengenal dan
‘memandang’ kebudayaan dan kesenian Indonesia. Sebagai aset
pembangunan kebudayaan memiliki peran pendukung pengem-
bangan pariwisata daerah dan nasional. Kebudayaan berperan
sebagai daya tarik wisata. Apabila dipadukan dengan keeksotisan
bentang alam dan sosial Indonesia akan tercipta wisata terpadu
di Indonesia dalam skala daerah maupun nasional.
Hal senada pun diungkapkan oleh Gita Wirjawan, Menteri
Perdagangan Indonesia, “Indonesia memiliki banyak desainer, se-
niman, arsitek, artis panggung, musisi, produser, dan sutradara
berkelas internasional. Berbagai produk khas Indonesia, seperti
batik, songket Palembang, patung Bali, produk unik dari Papua,
berbagai kreasi seni Jawa Barat, dan mebel Jepara bahkan telah
diakui mancanegara.” Hal tersebut memberikan optimisme bahwa
seni dan budaya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang

Burung-Burung Kertas 65
strategis untuk menjawab permasalahan dasar jangka pendek dan
menengah antara lain tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan,
dan daya saing industri di Indonesia.
Pengelolaan kebudayaan nasional-daerah untuk mendongkrak
pembangunan akan sejalan dengan upaya pemerintah mengem-
bangkan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif merupakan bagian inte-
gratif dari pengetahuan yang bersifat inovatif, pemanfaatan tekno-
logi secara kreatif, dan budaya. Pertama adalah pengembangan
ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya, meliputi perfilman, seni
rupa, industri musik, dan seni pertunjukkan. Kedua ekonomi
kreatif bebasis media, desain dan iptek yang meliputi media, de-
sain, arsitektur, dan fashion. Pengembangan ekonomi kreatif ini
ditujukan untuk pengelolaan kebudayaan nasional-daerah untuk
mendongkrak pembangunan akan sejalan dengan upaya pemerin-
tah mengembangkan ekonomi kreatif.
Pemberdayaan kebudayaan sebagai daya dukung dalam ke-
rangka pembangunan nasional, tahap yang pertama kali perlu dila-
kukan adalah inventarisasi kebudayaan nasional/daerah. Cassier
membagi kebudayaan dalam lima aspek, yaitu: 1) kehidupan spi-
ritual, 2) bahasa dan kesustraan, 3) kesenian, 4) sejarah, dan 5)
ilmu pengetahuan. Pendataan ini akan lebih efisien jika dilakukan
dalam tingkat daerah. Dalam inventarisasi, kebudayaan diklasifi-
kasikan berdasarkan kelima kategori tersebut di atas. Data nanti-
nya akan dikompilasi secara nasional. Meskipun demikian, daerah
tetap memiliki arsip potensi budayanya sendiri demi kepentingan
perencanaan pembangunan daerah.
Tahap kedua adalah pemilihan skala prioritas. Prinsip pengem-
bangan kebudayaan tersebut adalah kedaerahan, dengan tujuan
untuk menciptakan icon daerah sebagai sarana promosi pariwisata
daerah. Akan tetapi, dimungkinkan pemilihan aspek kebudayaan
untuk dikembangkan dalam skala nasional. Penetapan skala priori-
tas aspek kebudayaan mana yang akan dikembangkan diselaraskan
dengan 1) rencana pembangunan daerah jangka panjang dan atau
menengah (RPJPD/RPJMD). 2) Masterplan pengembangan daerah,
3) analisis SWOT, dan 4) analisis biaya manfaat.

66 Burung-Burung Kertas
Tahap ketiga adalah rehabilitasi dan revitalisasi aspek budaya
yang telah dipilih untuk menjadi prioritas pengembangan. Proses
ini disertai koordinasi pengembangan kebudayaan dengan bidang
lain yang juga akan dikembangkan daerah, misalnya ekonomi,
pariwisata, dan pendidikan. Tahap terakhir adalah finishing, aspek
kebudayaan yang telah berhasil direhabilitasi dan direvitalisasi
kemudian dikembangkan dengan dipadukan dengan wisata lain,
misalnya wisata alam dan kuliner. Upaya ini dilalukan untuk men-
dukung terwujudnya wisata terpadu. Apabila sudah mapan, dapat
dikembangkan aspek kebudayaan yang lain.
Pengelolaan kebudayaan oleh daerah pada dasarnya menye-
suaikan sistem pemerintahan Indonesia yang desentralistik. Dalam
otonomi daerah tata kelola otonomi secara makro menghendaki
interaksi atau kompatibilitas diantara pemerintah (public), swasta
(private) dan masyarakat (community). Dengan demikian, pengelo-
laan kebudayaan di daerah harus bersifat pemberdayaan dengan
masyarakat dan komunitas berperan sebagai subjek, sedangkan
pemerintah berperan sebagai fasilitator. Kebudayaan digali dari
masyarakat, oleh masyarakat sendiri, dan dikelola masyarakat
sehingga hasilnya pun akan dinikmati oleh masyarakat.

Simpulan
Indonesia sebagai bangsa yang besar, luas, dan majemuk me-
rupakan negara yang kaya sumber daya alam untuk pembangunan.
Akan tetapi, disadari oleh pendiri bangsa, potensi besar yang dimi-
liki Indonesia juga merupakan tantangan yang juga bisa menjadi
ancaman. Ductch disease yang pernah dialami Indonesia tidak perlu
terulang. Kekayaan alam yang melimpah di Indonesia hampir hi-
lang tanpa banyak rakyat Indonesia yang menikmatinya. Ketidak-
mampuan mengelola menjadikan sumber daya alam seolah tidak
berguna bagi pembangunan nasional.
Selain keanekaragaman alam dan sumber dayanya, Indonesia
memiliki keberagaman kebudayaan. Di tengah menipisnya sumber
daya alam Indonesia, sudah saatnya kebudayaan diberdayakan
sebagai aset pembangunan. Pemberdayaan ini akan sejalan dengan

Burung-Burung Kertas 67
upaya pemerintah mengembangkan ekonomi kreatif sebagai
pendukung pengembangan pariwisata.
Tahap pertama yang perlu dilakukan adalah inventarisasi
kebudayaan nasional/daerah dan mengategorikan dalam lima
aspek, yaitu: 1) kehidupan spiritual, 2) bahasa dan sastra, 3) kese-
nian, 4) sejarah, dan 5) ilmu pengetahuan. Tahap kedua adalah
pemilihan skala prioritas dengan mempertimbangkan 1) rencana
pembangunan daerah jangka panjang dan atau menengah (RPJPD/
RPJMD). 2) Masterplan pengembangan daerah, 3) analisis SWOT,
dan 4) analisis biaya manfaat. Tahap ketiga adalah rehabilitasi
dan revitalisasi aspek budaya yang telah dipilih untuk menjadi
prioritas pengembangan.
Pengelolaan kebudayaan ini dilakukan dengan prinsip pem-
berdayaan masyarakat dengan melibatkan pemerintah (public),
swasta (private) dan masyarakat (community). Swasta berperan
sebagai generator, masyarakat sebagai aktor, sedangkan pemerin-
tah sebagai fasilitator. Kebudayaan digali dari masyarakat, oleh
masyarakat, diolah masyarakat, dan akhirnya kembali ke ma-
syarakat untuk peningkatan kesejahteraan. Kebudayaan selalu ada
mengiringi kehidupan masyarakat sehingga sebagai aset bagi pem-
bangunan nasional, kebudayaan adalah sumber daya yang tidak
akan pernah habis.

Biodata
Sri Mulyani tinggal di Manukan RT 03, Sendangsari, Pajangan, Bantul. Saat
ini Sri Mulyani kuliah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah
Mada. Jika ingin berkorespondensi dengan Sri Mulyani dapat menghubungi
pos-el: mulyanisri729@gmail.com, atau sri.mulyani.tw@mail.ugm.ac.id

68 Burung-Burung Kertas
FIKSI MINI:
KREATIVITAS SASTRA YANG TIDAK BIASA
Muhammad Ikhwan Anas

Pendahuluan
Fiksi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti:
bagian dari sastra yang berupa cerita rekaan atau tidak berdasar-
kan kenyataan, sedangkan mini memiliki arti: kecil, sedikit. Apabila
kedua kata tersebut digabung, pengertian baru akan terbentuk,
yaitu fiksi mini. Fiksi mini adalah kisah fiksi yang hanya terdiri
beberapa kalimat saja, tidak lebih dari satu paragraf, tetapi sudah
memiliki isi cerita.
Fiksi mini memiliki sejarah sangat panjang. Sejauh yang telah
diketahui, dimulai oleh kisah fabel yang ditulis oleh Aesop (620--
560 SM) yang berbentuk cerita mini, tetapi sudah mampu bercerita
dalam kependekannya. Timur Tengah, terutama kisah-kisah sufi
memiliki cerita mini yang tak kalah populer, berbentuk anekdot-
anekdot, seperti Narsuddin ataupun Abunawas. Tiongkok me-
miliki fiksi mini Zen yang sering dianggap lebih menggugah dari-
pada tuturan panjang yang sudah ada. Pada tahun 1920, seorang
penulis Amerika, Ernest Hemingway menantang temannya bahwa
dia bisa menulis cerita utuh hanya dalam enam kata, dan dia me-
nyatakan bahwa tulisan tersebut adalah karya terbaiknya.
Fiksi mini berkembang di semua negara, dalam bahasa Inggris
kita mengenalnya sebagai flash fiction, sudden fiction ataupun micro
fiction, bahkan Sean Borgstrom melontarkan istilah lainnya, yaitu
nanofiction. Dalam bahasa Perancis dikenal sebagai nouvelles, orang
Jepang menyebutnya “cerita telapak tangan” hal ini tidak lain dise-
babkan karena fiksi mini cukup apabila dituliskan pada telapak

Burung-Burung Kertas 69
tangan kita. Ada juga istilah lain seperti postcard fiction karena
kisah ini cukup untuk dituliskan di selembar kartu pos.
Fiksi mini bisa dibilang layaknya kalimat iklan: padat, singkat
dan memiliki “efek” yang seringkali melebihi karya sastra yang
lebih panjang. Seperti dikutip dari Cortazar, perbandingan novel,
cerpen, dan fiksi mini bisa diumpamakan: novel seperti pertan-
dingan tinju dua belas ronde, cerpen seperti pertandingan tinju
dengan jumlah ronde lebih sedikit dan berakhir KO atau TKO,
sedangkan fiksi mini bisa digambarkan sebagai pukulan telak yang
langsung menyebabkan lawan KO pada kesempatan pertama.
Sebegitu hebatkah fiksi mini? Apakah fiksi mini bisa disebut
sebagai kisah fiksi? Apakah fiksi mini bisa diaplikasikan di sekolah?
Berapa batasan fiksi mini? Adakah wadah untuk penulis fiksi mini
di Indonesia? Bersumber dari pertanyaan-pertanyaan tersebut,
esai ini akan menguraikan “fiksi mini” lebih jelas.

A. Fiksi Mini sebagai Kisah Fiksi


Fiksi mini memang hanya terdiri atas beberapa kalimat,
bahkan tidak sedikit yang cukup terdiri dari beberapa kata. Lalu,
apakah fiksi mini bisa dikategorikan sebagai kisah fiksi?
Anggapan yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat
selama ini berpendapat bahwa yang disebut kisah fiksi adalah
selalu berbentuk cerpen maupun novel yang hal tersebut terdiri
atas satu halaman atau lebih. Padahal secara dasar, kisah fiksi tidak
pernah dibatasi oleh berapa jumlah kata, asalkan memenuhi syarat
memiliki ide serta penyampaian yang jelas.
Dalam berbagai kesempatan, seperti halnya pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah dan juga dunia penerbitan, selalu ditekankan
bahwa tulisan dengan panjang sekitar 1000 kata disebut cerpen,
sekitar 7500 kata disebut novelet, kemudian lebih dari 50000 kata
disebut novel.
Pakem tersebut sudah ditanamkan semenjak siswa duduk di
bangku pendidikan dasar, bahkan diulang kembali di pendidikan
menengah pertama dan menengah atas. Melengkapi dasar di atas,
ditambah pula syarat bahwa sebuah cerita fiksi lengkap memiliki

70 Burung-Burung Kertas
awal, tengah dan akhir dengan berbagai unsur seperti plot, tokoh,
penokohan, suasana, konflik, dan penyelesaian.
Ernest Hemingway yang disebut sebagai pembangkit fiksi
mini modern pernah mengungkapkan, “Cerita fiksi itu cuma enam
kata. Selebihnya hanya imajinasi.” Hemingway menyatakan bahwa
hal itu tidak lain karena didasarkan pada karyanya yang lahir
berkat sikapnya menantang temannya bahwa dia bisa menciptakan
sebuah karya fiksi utuh hanya dengan beberapa kata saja. Mari
kita simak fiksi mini yang dimaksud:
FOR SALE: Baby shoes, never worn.
(DIJUAL: sepatu bayi, tidak pernah dipakai)

Fiksi mini di atas yang ditulis pada tahun 1920 menunjukkan


tulisan yang sangat singkat, tetapi memberi gambaran dan me-
maksa pembacanya untuk memikirkan apa kelanjutan dari cerita
tersebut, penulis memberikan ruang sangat terbuka karena meng-
izinkan pembaca untuk melontarkan imajinasi mereka tanpa ditun-
tun olehnya. Kenyataannya, Julius Caesar juga pernah melontarkan
sebuah kalimat yang juga bisa kita sebut sebagai sebuah fiksi mini
meskipun dahulu tidak dimaksudkan untuk itu. Kita pasti mengenal
kalimat ini:
Vini, Vidi, Vici.
(Aku datang, aku lihat, aku menang.)

Sekali lagi, contoh di atas memang hanya berupa tiga kata


yang sangat singkat, meskipun begitu, kalimat ini memiliki ide
dan penyampaian yang jelas sehingga mampu menggambarkan
sesuatu sehingga bisa disebut sebagai sebuah fiksi mini.

B. Fiksi Mini sebagai Sastra Kritik


Jika kita sering membaca fiksi mini, tentunya tidak akan jauh
dari satu topik paling khas, yaitu kritikan. Meskipun ada yang
tidak dimaksudkan untuk mengritik, fiksi mini pada akhirnya akan
berujung pada kritik untuk suatu hal. Dengan kesederhanaan

Burung-Burung Kertas 71
kalimatnya, fiksi mini menjadi salah satu sastra yang juga sangat
efektif berperan sebagai sebuah media penyampai pesan.
Mari kita simak dua fiksi mini yang di-tweet oleh akun twitter
@sandiskanok dan @rkzvberikut ini:
UDIN
“Bu, si Udin mau dikubur kapan?”
“Setelah UN-nya selesai, Pak Haji.” Oleh @sandiskanok

DI KANTOR POLISI
“Saya mau lapor kehilangan, Pak.”
“Kehilangan apa, Mas?”
“Kepercayaan!” Oleh @rkzv

Apa yang dirasakan setelah membaca fiksi mini berbentuk


dialog sederhana di atas? Tersindir? Miris? Sedih? Setuju? Berma-
cam-macam emosi bisa terbentuk sesaat setelah membaca per-
cakapan di atas. Coba kita kupas kemungkinan maksud dari fiksi
mini tersebut.
Fiksi mini pertama merupakan sindiran pada masyarakat luas
bahwa masalah UN pun masih menjadi momok yang menakutkan
bagi sebagian kalangan sehingga urusan pemakaman jenazah pun
kalah penting dibanding UN.
Fiksi mini kedua menyinggung masalah sensitif yang saat ini
sangat sering dibicarakan, yaitu kepercayaan. Digambarkan, be-
tapa sangat susahnya mencari rasa kepercayaan pada banyak hal,
sampai-sampai masalah ini pun perlu dilaporkan sebagai sebuah
berita kehilangan. Akun twitter@rkzv memilih menanggapi berbagai
berita negatif yang setiap hari dilihat ataupun didengar di ling-
kungan atau media massa dengan menulis sebuah dialog lugu di
atas.
Sebenarnya, bentuk sastra kritik bisa berupa novel atau cer-
pen, bahkan puisi. Namun, tidak semua orang bisa kerasan duduk
lebih lama untuk membaca beberapa halaman penuh tulisan.
Dengan membaca fiksi mini yang hanya tersusun dari beberapa
kalimat, orang bisa merasakan sensasi yang sama seperti yang
mereka baca berlembar-lembar cerita dengan inti yang serupa.

72 Burung-Burung Kertas
Lalu, tema apa yang sering dituliskan? Masalah kritik kepe-
mimpinan dan ketidakadilan sampai sekarang masih menjadi salah
satu topik terlaris untuk ditulis dalam bentuk fiksi mini. Berikut
ini beberapa fiksi mini yang menggunakan tema tersebut:
MALAM DITIADAKAN
“Supaya presiden kalian cepat ketemu,” kata Tuhan.
Oleh: @sepertihidup_

MENCARI PRESIDEN DALAM TUMPUKAN JERAMI


“Ketemu?” “Tidak. Ini, hanya ada janji-janjinya saja.”
Oleh: @penenun_kata

BIAYA SEKOLAH NAIK,


BENDERA TURUN SETENGAH TIANG
“Satu lagi teman kita yang harus putus sekolah,” kata ketua
kelasku.
Oleh: @puspabr

MENGINAP DI RUMAH TEMAN


“Keren, di langit-langit kamarnya ada bulan dan bintang.”
Oleh: @sibangor

C. Membaca Fiksi Mini sebagai Sastra Digital


Dalam perkembangannya dewasa ini, fiksi
mini lebih dikenal masyarakat luas bukan dari
teks cetak, melainkan berkat adanya media
online, seperti blog, twitter, ataupun forum dan
jejaring sosial. Oleh karena itu, muncul istilah
baru untuk menyebut fiksi mini, yaitu sebagai
Gambar 1 Logo sastra digital, terlebih ketika twitter mulai naik
Fiksimini Indonesia
daun.
Kenapa twitter? Hal ini tidak lain disebabkan karena situs ini
memiliki batasan 140 karakter untuk setiap tweet yang dibuat, maka
dari itu, fiksi mini sangat sesuai jika ditulis di jejaring ini.
Fiksi mini di Indonesia pun berkembang dengan pesat berkat
adanya media twitter ini, yaitu munculnya akun @fiksimini dibuat

Burung-Burung Kertas 73
pada17 Maret 2010 oleh Agus Noor (sastrawan dari Yogyakarta)
bersama Eka Kurniawan dan Clara Ng yang bertindak sebagai
moderator.
Salah satu pencapaian terbesar @fiksimini adalah berhasil
menggaet lebih dari 132 ribu followers, di mana jumlah fantastis
tersebut termasuk sangat jarang dimiliki akun yang berfokus pada
sastra. Fiksi mini di Indonesia ini rutin melempar topik baru untuk
kemudian ditanggapi pengikutnya dengan menggunakan tweet ber-
isi fiksi mini. Contoh kicauan tentang usulan topik sebagai berikut.
@fiksimini: Hai fiksiminier, presidennya sudah ditemukan?
Mungkin dia ada di balik imajinasimu. Ayo temukan.

Mengapa fiksi mini dewasa ini mudah sekali berkembang di


Indonesia khususnya di dunia maya?
Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari fenomena di atas.
Pertama, jumlah pengguna twitter di Indonesia termasuk dalam
lima besar negara yang teraktif berkicau. Alasan kedua, disadari
ataupun tidak, Indonesia sudah sangat condong pada era digitali-
sasi yang masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu membaca
artikel di internet daripada di media cetak. Ketiga, untuk berparti-
sipasi dalam @fiksimini tidak mengenal latar belakang, semua
pengguna bisa mengirimkan fiksi mini mereka bahkan hanya seba-
gai pembaca alias tidak ikut memberi kicauan pun bisa. Hal ini
kian meneguhkan bahwa fiksi mini pantas disebut sebagai sastra
digital. “Ternyata booming, sampai sekarang dan ternyata selain
para penulis banyak banget orang biasa yang bisa nulis, juga ikutan
gabung dan menulis juga di @fiksimini,” jelas Oddie.
Akun ini juga rajin mengadakan temu anggota (gathering) dan
juga telah menghasilkan beberapa buku fiksi mini. Salah satunya
adalah buku Dunia dalam Mata (2013).

74 Burung-Burung Kertas
Gambar 2 dan 3. Gathering @fiksimini

Penutup
Sebagai bagian dari sastra dan juga memiliki fungsi media
penyampai pesan, fiksi mini berhasil bertahan dan semakin ber-
kembang. Fiksi mini bisa ditulis dan dinikmati siapa saja, apa pun
latar belakang sosial, profesi, ataupun umurnya. “Hampir di semua
kota-kota besar ada komunitas fiksiminiers, termasuk di Bandung.
Tak hanya yang aktif mengirim tulisan ke @fiksimini saja, tetapi
penikmat (yang hanya sekadar membaca timeline fiksimini-red) saja
juga bisa ikutan,” ujar Michan, salah satu anggota aktif @FmersBdg.
Selain keaktifan di dunia maya, fiksi mini juga telah banyak
merambah dunia cetak. Ini tentu saja memberi napas segar bagi
sastra Indonesia dan dunia karena bisa lebih mengenalkan pada
masyarakat yang belum terbiasa dengan bentuk sastra yang satu
ini sehingga khalayak luas mengetahui bahwa bentuk sastra po-
puler yang ada tidak hanya puisi, novel, dan cerpen, tetapi fiksi
mini juga dapat mengambil peran. Di sekolah pun, guru bisa ber-
inisiatif memasukkan fiksi mini ke dalam materi pelajaran.
Tidak semua orang mampu menulis panjang dan menyelesai-
kan naskah cerita, tetapi semua orang bisa menulis fiksi mini. Pen-
dapat ini sejalan dengan Agus Noor, pencetus @fiksimini yang per-
nah menuliskan 14+1 Diktum Fiksimini pada tahun 2010:
Diktum Fiksimini 1: Menceritakan seluas mungkin dunia,
dengan seminim mungkin kata. Diktum Fiksimini 2: Ibarat
dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan yang telak dan
menohok. Diktum Fiksimini 3: Kisahnya ibarat lubang kun-
ci, yang justru membuat kita bisa “mengintip” dunia secara
berbeda. Diktum Fiksimini 4: Bila novel membangun du-

Burung-Burung Kertas 75
nia. Cerpen menata kepingan dunia. Fiksimini mengganggu-
nya. Diktum Fiksimini 5: Fiksimini yang kuat ibarat granat
yang meledak dalam kepala kita. Diktum Fiksimini 6: Ia
bisa berupa kisah sederhana, diceritakan dengan sederhana,
tetapi selalu terasa ada yang tidak sederhana di dalamnya.
Diktum Fiksimini 7: Alurnya seperti bayangan berkelebat,
tetapi membuat kita terus teringat. Diktum Fiksimini 8:
Serupa permata mungil yang membiaskan banyak cahaya,
kita terus terpesona setiap kali membacanya. Diktum Fiksi-
mini 9: Seperti sebuah ciuman, fiksimini jangan terlalu se-
ring diulang-ulang. Diktum Fiksimini 10: Bila puisi meng-
olah bahasa, fiksimini menyuling cerita, menyuling dunia.
Diktum Fiksimini 11: Ia tak semata membuat tawa. Karena
ia adalah gema tawanya. Diktum Fiksimini 12: Kau kira
fiksimini ialah kolam kecil, tapi kau tak pernah mampu men-
duga kedalamannya. Diktum Fiksimini 13: Di ujung kisah-
nya: kita seperti mendapati teka-teki abadi yang tak bertepi.
Diktum Fiksimini 14: Pelan-pelan kau menyadari, ia sebu-
tir debu yang mampu meledakkan semesta. Diktum Fiksi-
mini Terakhir: Lupakan semua diktum itu. Mulailah menulis
fiksimini!

Daftar Bacaan
Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Biodata Penulis
Muhammad Ikhwan Anas. Tinggal di Dhuri, RT 05/20, Tirtomartani, Kalasan,
Sleman. Saat ini Muhammad Ikhwan Anas kuliah di Universitas Gadjah
Mada, Jurusan Ilmu Komunikasi. Jika ingin berkorespondensi dengan
Muhammad Ikhwan Anas dapat menghubungi HP: 081904008875.-

76 Burung-Burung Kertas
EKSPANSI BUDAYA: LUNTURNYA
KEBUDAYAAN ASLI INDONESIA
Alfiani Dyah Kurnia Sari

Kebudayaan itu ibarat sebuah lensa yang seperti halnya saat


kita menggunakan lensa, untuk meneropong sesuatu kita harus
memilih suatu objek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Be-
berapa orang awam mengartikan kebudayaan merupakan sebuah
seni. Padahal sebenarnya kebudayaan itu bukan hanya sekadar
seni. Kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan
meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antar manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekspansi adalah perluasan
wilayah suatu negara dengan menduduki sebagian/seluruhnya
wilayah negara lain, hal ini berarti ekspansi budaya adalah perluasan
budaya ke negara lain.
Anda pasti pernah mendengar kata ini “Annyong haseyo!”. Ya,
beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab
dengan kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!”
dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata
itu sejak mereka nonton film-film drama Korea yang diputar di
televisi. Banyak juga tambahan kosakata baru seperti “Kamsaham-
nida,” (terima kasih), “Sarang haeyo,” (I love you), dan sebagainya.
Teman-teman saya (terutama yang perempuan) sering sibuk mem-
bahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng,
menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keran-
jingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masak-
an, pakaian, bahasa, dan sebagainya.
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses me-
masok produk-produk budayanya ke pasar global. Gelombang
kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak

Burung-Burung Kertas 77
tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan
lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan
sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di tele-
visi nasional dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat In-
donesia dan sejak saat itu pulalah kebudayaan asli Indonesia mulai
memudar. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia
juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang,
Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Berbagai tanggapan pun
muncul menanggapi terjangan budaya asing di negara Indonesia.
Selama ini, kita sering kali mengulang-ulang seruan waspada
terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. Contohnya, “Ha-
ti-hati terhadap bahaya westernisasi!”, “Lindungi generasi muda
dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada
dasarnya tidak salah karena salah satu usaha untuk memperta-
hankan budaya dan identitas bangsa kita.
Sosiolog, Ibnu Khaldun, menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa
yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup
bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya
arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat ke-
biasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia
ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta
kebudayaan global. Ya, Indonesia sedang kalah saat ini, tetapi
resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri
juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena suka atau tidak
suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Bagaimanapun
juga globalisasi akan sulit dicegah dengan apa pun caranya karena
globalisasi bisa dikatakan perubahan global yang mempengaruhi
seluruh sudut dunia. Mengenai pengaruh positif dan negatifnya,
kita harus bisa menanganinya dengan segala konsekuensi bukan
dengan menyuarakan seruan yang sesungguhnya tidak dapat men-
cegah masuknya budaya globalisasi yang sebenarnya. Ketakutan
yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin
menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi
objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Oleh
karena itu, strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan men-
jadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri.

78 Burung-Burung Kertas
Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmo-
dernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop
awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika),
ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri
budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan
film-film Amerika di seluruh dunia. Namun, kondisi ini pun tidak
selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, bu-
daya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana
pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas
yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media
massa yang semakin canggih dalam menyebarkan informasi men-
jadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antarbudaya
yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat
beragam. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempenga-
ruhi atau dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari
pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Sudah
saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya
dan turut membawa kebudayaan negara Indonesia kepada dunia.
Yang harus kita tentukan pertama kali adalah definisi kebuda-
yaan asli negara kita sendiri. Apa itu budaya asli Indonesia? Batik,
angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyub-
an, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi
maupun kontemporer, baik budaya konkret maupun abstrak. Sebe-
lum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya
kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah
hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya.
Budayawan Jepang, Yamada Shoji, mengatakan bahwa ada
dua hal yang bertentangan dalam budaya, yakni perilaku “memi-
liki” sekaligus “menyebarkan”. Pernyataan ini kita temukan tatkala
terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang negara kita
alami akhir-akhir ini dengan negara Malaysia. Ini menjadi satu
kesulitan tersendiri karena di satu sisi kita semestinya bangga
terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tetapi di sisi lain kita
merasa hak milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nya-
tanya sangat banyak yang merupakan pengaruh kebudayaan asing.
Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi

Burung-Burung Kertas 79
dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India
mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Oleh
karena itu, inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita pen-
ting untuk dilakukan, tetapi dengan tetap meniscayakan asimilasi
dan akulturasi. Berbagai undang-undang perlindungan budaya
yang telah ada selayaknya harus dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, kita
perlu mempercepat industrialisasi budaya. Industrialisasi budaya
adalah usaha menggalakkan industri budaya di suatu negara. Ha-
nya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, kebudayaan
kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan
kemampuan survival-nya, menjadi pengaruh positif bagi kesejah-
teraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya
besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong eks-
pansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar
yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang
yang berminat terhadap budaya tersebut. Kesuksesan industri bu-
daya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap
kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, ia juga telah me-
lakukan ekspansi budaya. Adapun ekspansi budaya membutuhkan
produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi
atau berkualitas ekspor yang mampu membawa nama negara Indo-
nesia ke seluruh penjuru dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan me-
tode penyebaran yang tepat. Meskipun kita telah melakukan in-
dustrialisasi batik, permintaan batik di luar negeri tidak akan serta
merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan
produk batik. Lalu, bagaimana kita akan mempromosikan begitu
banyak budaya asli negara kita kepada pasar luar negeri? Bahkan
untuk memperkenalkan budayanya saja sudah sulit. Budaya pop
dan media massa memiliki hubungan simbiotik yang keduanya
saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Ke-
populeran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh
media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media
massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang
dan akan populer. Oleh karena itu, kita harus memprioritaskan

80 Burung-Burung Kertas
terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan
komunikasi massa.
Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi bu-
daya secara serius. Indonesia terhadap perfilman nasional? Pada
umumnya, masyarakat akan menjawab sinis untuk pertanyaan
tersebut karena ada beberapa faktor. Pertama, kesuksesan sebuah
film berimbas pada berlomba-lombanya sineas film untuk membuat
film yang sejenis. Kondisi ini jelas akan membuat jenuh penikmat
film nasional. Kasus ini terjadi ketika film “Jelangkung” banyak
mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Kemudian muncul film-
film horor yang dalam perkembangannya bergeser pada genre
film horor “nakal”. Kedua, film bagus adalah film dengan visual
effect yang bagus. Sebuah pemahaman keliru bagi penonton awam
yang menuntut mutu. The Artist merupakan contoh konkret. Film
bisu dan hitam putih yang menjadi film terbaik Academy Award
ke-84 tahun 2012 mengalahkan delapan film pesaingnya. Ini me-
nunjukkan bahwa tidak selamanya film bagus mesti menampilkan
kecanggihan teknologi dalam setiap adegannya. Maklum, melihat
masyarakat kita yang mudah terpukau terhadap sebuah kecang-
gihan. Ketiga, hanya mengejar profit tanpa disertai kualitas. For-
mat audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian
lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur
cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap mak-
sud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga
mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari
seperti iklan dan propaganda.
Film merupakan whole package karena mampu mengakomoda-
sikan unsur-unsur budaya seperti bahasa, musik, pakaian, adat,
kebiasaan, nilai-nilai sikap positif, dan sebagainya. Contohnya
suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat
Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia,
menyantap masakan seluruh daerah Indonesia, memamerkan alam
seluruh daerah Indonesia, menampilkan hasil budaya seluruh
daerah Indonesia. Mengapa harus seluruh daerah Indonesia? Ya,
hal ini dikarenakan agar tidak menimbulkan suatu perasaan iri di
berbagai daerah jika hanya satu budaya Indonesia yang ditam-

Burung-Burung Kertas 81
pilkan. Bagi negara-negara yang sama sekali tidak tahu atau me-
ngenal dengan Negara Indonesia, film akan menjadi ajang perke-
nalan sekaligus promosi budaya, sedangkan perbedaan bahasa
dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini
adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan
karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat
setia, yaitu penggemar atau sering juga disebut dengan fans. Selain
sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, merekalah
yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita
di samping media massa, seperti televisi, radio, majalah, dan inter-
net. Saya ingin mengambil contoh, di sebuah kampus terdapat
sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka
awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Je-
pang, seperti komik, anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka
mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya
Jepang, seperti festivalnya, masakannya, permainannya, kebiasaan-
nya, sampai hantunya dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh
pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Oleh karena itu,
potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari
seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian
mengarahkannya pada produk lain. Film sebagai media ekspansi
yang memiliki pengaruh positif yang besar karena kesuksesannya
akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkan-
dung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bang-
kit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya
kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di
negara-negara tujuan, hal itu diharapkan akan membuka pintu
bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah di-
tuntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lo-
binya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita
di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu men-
jangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hing-
ga dunia Barat.
Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh per-
filman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat ter-
hadap budaya Indonesia di manca negara, tugas berikutnya adalah

82 Burung-Burung Kertas
memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi
menjadi suatu gelombang budaya negara Indonesia yang deras.
Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik,
sastra, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan
mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kuat lagi. Jika
kelompok-kelompok fans telah terbentuk di mancanegara, maka
para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go inter-
national. Tren-tren yang berlaku di Indonesia akan turut digemari
pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita.
Ini dapat diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain se-
perti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup
Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju kegemilangan
budaya Indonesia. Jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat
budaya Indonesia berkibar di mana-mana.
Avanpeursen mengatakan kebudayaan merupakan gejala ma-
nusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, dan ilmu), komuni-
kasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan teknologi), dan
kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.

Sejumlah Resiko
Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang mem-
bingungkan. Sifat industri yang cenderung berorientasi pasar di-
khawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena me-
nyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu baik.
Hal ini bisa kita perhatikan, misalnya, pada dunia sinetron negara
kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang ada sifatnya
membodohi bahkan merusak budaya asli negara Indonesia, seperti
ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia
harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk
budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus
strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Jangan sampai sine-
tron dan film-film sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi
dari peningkatan kualitas produk, pemerintah pun wajib menge-
luarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita.
Beban pajak yang tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk

Burung-Burung Kertas 83
dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau pengalokasiannya
ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri.
Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang
dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk
membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat
menanti dukungan dan peran aktif pemerintah.
Selanjutnya, ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya me-
ngenai kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan eks-
pansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam perkem-
bangan kebudayaan kita selama beberapa 10 tahun terakhir. Ke-
bijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta
sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di Indonesia yang
memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa itu
film nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu surat kabar nasional?
Apa itu televisi nasional? Semuanya itu bohong sebab yang ada
hanyalah film-film dan artis-artis Jakarta, serta surat-surat kabar
dan televisi-televisi Jakarta. Apakah itu Monas? Monumen nasio-
nal? Itu juga bohong. Itu adalah monumen yang ada di emblem
Pemda DKI Jakarta.
Seharusnya kita memang perlu mengingat kembali makna ke-
budayaan nasional. Dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang
Dasar 1945 sudah diterangkan bahwa kebudayaan bangsa ialah
kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai pun-
cak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia,
terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak
menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sen-
diri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Para penyusun undang-undang ini telah menyadari bahwa
seluruh masyarakat kita sejak dulu telah memiliki banyak kebu-
dayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita terlihat unik
karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang
berbeda-beda ke dalam satu identitas baru, yaitu Indonesia. Harus
diakui bahwa konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh

84 Burung-Burung Kertas
penjajah. Itu menjelaskan penyebab masyarakat Riau harus berbeda
bangsa dengan masyarakat Johor meskipun mereka berbudaya
yang sama di masa lalu, juga penyebab masyarakat Timor Timur
dan Timor Barat harus berbeda bangsa meskipun sesama anak
Timor. Begitu juga, putra-putri Dayak, Papua, dan lain-lain yang
terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat para penjajah
dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-
states) modern seperti yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipa-
hami secara bijak. Nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran
nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu
bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan maupun
sebagai pendorong untuk membangun dirinya, lingkungan masya-
rakat, bangsa, dan negaranya. Kita, sebagai warga negara Indo-
nesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan ne-
gara Indonesia. Hal ini senada dengan pandangan Prof. Sartono
Kartodirdjo yang mengungkapkan bahwa nasionalisme merupakan
pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan
negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.
Bangsa Indonesia terdiri atas suku yang berbeda-beda yang
dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah
penjajah yang sama. Nasionalisme kita bertujuan memerdekakan
seluruh negeri dari penjajahan sehingga sangat tidak pantas jika
Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan
baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk
mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung
dalam rumah bangsa Indonesia.
Era reformasi saat ini menjadi tantangan masyarakat Indonesia
untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional.
Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya sangat berharap di
masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan
berlangsung lebih adil dan lebih kokoh. Kita membutuhkan lebih
banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di Indonesia, bukan hanya
di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar berita tentang
peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik

Burung-Burung Kertas 85
mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut
karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu
bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan
kebudayaan nasional secara dinamis yang didorong oleh desen-
tralisasi menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih
integratif dan representatif. Apabila putra-putri Indonesia telah
mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke,
kita akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebuda-
yaan asli kita ke mancanegara.

Biodata Penulis
Alfiani Dyah Kurnia Sari. Tinggal di Rogocolo RT 09, Tirtonirmolo, Kasihan,
Bantul. Saat ini Alfiani Dyah Kurnia Sari sekolah di SMA Negeri 1 Sewon,
Bantul. Jika ingin berkorespondensi dengan Alfiani Dyah Kurnia Sari dapat
menghubungi HP: 083869995570.

86 Burung-Burung Kertas
BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL
PEMBANGUN KARAKTER ANAK
Dian Andri Ani

Pendahuluan
Budaya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
pikiran, akal budi, atau adat istiadat. Indonesia memiliki banyak
ragam budaya tradisional, yaitu dalam kesenian dan permainan.
Di Indonesia hampir di setiap daerah memiliki budaya tradisional
sendiri-sendiri. Budaya di setiap daerah berbeda-beda dan budaya
tersebut telah menyatu dengan kebiasaan masyarakat setempat.
Sangat beragamnya budaya Indonesia membuat masyarakat
sulit untuk mengenalnya semua, bahkan ada yang tidak mengenal
satu pun budaya di negeri sendiri. Betapa ironisnya negeri ini
bila warganya tidak mengenal kebudayaan sendiri. Oleh karena
itu, budaya yang dimiliki negeri ini perlu diperkenalkan pada ge-
nerasi muda.
Budaya dapat diperkenalkan melalui keluarga dan lingkungan
sekitar. Di dalam keluarga, budaya dapat diperkenalkan melalui
penggunaan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Melalui
lingkungan sekitar budaya dapat diperkenalkan melalui tontonan
tradisional dan teman sepermainan sang anak. Tontonan tradisional
biasanya didapati di lingkunga sekitar atau di daerah tersebut.
Saat bersama teman sepermainan biasanya anak akan bermain, di
situlah budaya bangsa ini dapat diperkenalkan, yaitu permainan
tradisional.
Tontonan tradisional dan permainan tradisional sangat mem-
bantu dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, budaya ter-
sebut harus diperkenalkan kepada anak guna membangun karak-

Burung-Burung Kertas 87
ter sang anak. Karakter anak sangat penting bagi bangsa karena
karakter penting dalam pembangunan karakter bangsa.
Saat ini banyak pejabat negara yang tidak memiliki karakter
bangsa, contohnya mereka mengambil hak rakyat, mengambil
uang negara atau korupsi. Betapa menyedihkan nasib bangsa ini
yang seharusnya memiliki tanggung jawab malah menyalahguna-
kan kedudukannya. Keadaan yang seperti itu akan membuat bang-
sa Indonesia ini terpuruk. Mungkin bangsa ini tidak hanya terpu-
ruk, tetapi kehilangan karakter bangsa dan budaya. Para penjahat
seperti itu melakukan tindak kejahatan yang seolah-olah tidak me-
miliki rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan, serta peduli
sosial.
Karakter seseorang mulai dibentuk saat mereka masih balita,
masa kanak-kanak hingga remaja. Di masa era globalisai ini, ka-
rakter anak tidak terbentuk dengan baik, bahkan ada yang tidak
memiliki karakter. Di era globalisasi yang modern disertai tekno-
logi yang canggih membuat hilangnya karakter anak. Alat-alat
yang canggih seperti komputer, smartphone, laptop, atau yang lain-
nya membuat anak malas, kebanyakan anak bila mereka sudah di
depan komputer untuk ngegame pasti mereka akan lupa untuk bel-
ajar, bahkan makan pun lupa. Komputer dan laptop tidak hanya
untuk ngegame saja, tetapi dapat mengakses internet. Situs di inter-
net dapat membahayakan bagi anak, contohnya, mereka dapat
membuka situs dewasa atau melihat kekerasan-kekerasan orang
dewasa. Hal seperti itu dapat mengganggu pembentukan karakter
anak.
Fasilitas anak di masa era globalisasi yang modern seperti
saat ini juga membuat anak kurang untuk bersosialisasi dan tidak
peduli akan lingkungan sekitar. Jika anak tidak peduli akan ling-
kungan di sekitarnya lalu apa yang akan terjadi pada bangsa ini
untuk kedepannya. Hilangnya kepedulian pada lingkungan sekitar
akan membuat hilangnya rasa untuk memajukan bangsa ini.

88 Burung-Burung Kertas
Isi
Dihentikannya liberalisme oleh UUD 1945 yang kembali di
tengah-tengah kita, kreativitas dalam kebudayaan mendapat ke-
sempatan untuk tumbuh sepesat-pesatnya. Kreativitas tidak lagi
dihalang-halangi oleh dominasi. Dalam abad ke-20, Pancasila men-
jadi suatu filsafat kebudayaan.
Budaya yang sangat beragam di bangsa ini sangat sayang bila
tidak diperkenalkan dan dilestarikan pada generasi muda. Budaya
bukan hanya sekadar budaya saja, melainkan dapat membangun
karakter anak guna membangun karakter bangsa ini. Karakter
anak sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa ini agar menjadi
bangsa yang aman, damai, dan maju.
Budaya dapat dijadikan sebagai senjata untuk membangun
bangsa ini menuju bangsa yang gemilang. Budaya Indonesia harus
di lestarikan dan diterapkan dan mewujudkan nilai-nilai karakter
yang telah dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seba-
gai berikut.
1. Religius
Religius adalah karakter yang berhubungan dengan kepercaya-
an atau agama. Kebudayaan Indonesia banyak yang mengajarkan
tentang keagamaan atau disebut juga religius. Contoh kebudayaan
yang mengandung religius, yaitu kesenian wayang. Kesenian wa-
yang merupakan budaya yang berbentuk tontonan. Di dalam cerita
wayang tersebut terdapat nilai-nilai religius yang mengenai sifat
manusia, yaitu baik dan buruk. Dalam kisah pewayangan digam-
barkan dengan seseorang yang melakukan kesalahan dia akan me-
lakukan semedi. Semedi adalah cara wayang untuk memohon am-
punan pada Tuhan.
2. Jujur
Jujur adalah apa adanya tidak ada kepalsuan disertai dengan
fakta yang benar-benar terjadi. Kejujuran sangat penting dalam
berkehidupan. Kejujuran dapat ditanamkan melalui permainan tra-
disional. Contoh permainan tradisional yang menanamkan sifat
jujur, yaitu permainan dakon, kelereng, dan bekelan.

Burung-Burung Kertas 89
Dalam permainan dakon, kelereng,dan bekelan anak dilatih
untuk berbuat jujur. Jika anak tersebut tidak jujur, saat ia bermain
tidak mengakui kekalahannya dan akan bermain terus.
3. Toleransi
Toleransi adalah sikap seseorang yang tidak menyimpang dari
aturan dan seseorang tersebut menghargai atau menghormati tin-
dakan yang dilakukan oleh orang lain. Di dalam budaya dapat
diartikan sikap dan perbuatan yang tidak melarang atau mendes-
kriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.
Permainan tradisonal yang mempunyai nilai karakter toleransi
salah satunya ialah permainan pak tepong. Permainan pak tepong
dilakukan oleh beberapa orang. Caranya dibuat garis sebagai batas
pelempar dan beberapa meter di depannya dibuat lingkaran.
Penata pecahan genteng harus menutup mata dan teman-temannya
lari untuk bersembunyi jika melihat temannya sang penjaga harus
memegang tumpukan pecahan genteng dan mengucapkan Pak
Tepong. Namun, teman yang bersembunyi harus merobohkan tum-
pukan genteng tersebut. Pada saat itulah toleransi ditumbuhkan,
yaitu genteng boleh dirobohkan dengan cara mereka sendiri asal
masih di dalam lingkaran.
4. Disiplin
Disiplin adalah patuh, taat, dan hormat pada suatu ketentuan
atau peraturan yang berlaku. Disiplin sangat penting dalam meraih
kesuksesan dan memajukan bangsa ini. Kedisiplinan pada anak
dapat dibentuk melalui permainan tradisional. Permainan tradi-
sional yang membantu anak untuk disiplin salah satunya ialah per-
mainan kasti. Permainan kasti dapat membentuk kedisiplinan me-
lalui aturan atau kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua kelom-
pok. Anggota dari kelompok harus menaati kesepakatan-kesepa-
katan tersebut. Bila tidak menaati, orang tersebut akan mendapat-
kan sebuah hukuman.
5. Kerja Keras
Kerja keras adalah bekerja dengan sungguh-sungguh atau se-
mangat untuk mencapai apa yang diinginkannya. Kerja keras sa-
ngat penting untuk mencapai suatu keberhasilan. Permainan tra-

90 Burung-Burung Kertas
disional yang menggambarkan kerja keras salah satunnya adalah
permainan gobak sodor.
Permainan gobak sodor dilakukan oleh dua kelompok. Pemain
harus bisa melewati garis tanpa tersentuh oleh lawan. Oleh karena
itu, pemain harus berusaha keras agar bisa melewati lawan tanpa
tersentuh lawan. Hal tersebut melatih seseorang untuk bekerja
keras.
6. Kreatif
Kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan atau mengha-
silkan sesuatu yang baru. Kreativitas sangat diperlukan dalam era
globalisasi yang modern seperti saat ini untuk mengembangkan
potensi pada dirinya.
Kreatif dapat dibentuk melalui permainan tradisional, seperti
mobil-mobilan kulit jeruk. Mobil-mobilan kulit jeruk biasanya
menggunakan kulit jeruk gulung atau jeruk bali. Kulit jeruk yang
sedemikian rupa harus dibentuk mobil-mobilan, di situlah kreativi-
tas harus dikembangkan untuk membentuk mobil-mobilan. Proses
kreativitas seperti itu melatih seseorang mengembangkan potensi
untuk menemukan hal yang baru.
7. Mandiri
Mandiri adalah keadaan seseorang yang dapat berdiri sendiri,
tidak bergantung pada orang lain sehingga bebas dari ketergan-
tungan. Mandiri merupakan keadaan dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung pada orang lain.
Kemandirian dapat dilatihkan kepada anak melalui permainan
tradisional. Permainan tradisional yang melatih kemandirian ada-
lah permainan egrang. Egrang merupakan permainan yang meng-
gunakan dua bambu. Bambu tersebut diberi panjatan sehingga
bisa untuk dinaiki dengan satu bambu dipegang tangan kanan
dan satu bambu bambu dipegang tangan kiri. Dengan posisi seperti
itulah, kita dapat melatih kemandirian. Kita bisa berdiri sendiri
tanpa bergantung pada orang lain.
8. Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu merupakan suatu dorongan untuk mengetahui
hal-hal baru. Rasa ingin tahu membuat seseorang aktif dan dapat
mendorong seseorang untuk kreatif.

Burung-Burung Kertas 91
Permainan tradisional yang dapat menumbuhkan karakter
rasa ingin tahu ialah jamuran. Permainan jamuran dilakukan mi-
nimal empat orang. Jamuran adalah permainan yang menyebutkan
nama-nama tumbuhan. Jadi, pemain harus mengetahui jenis-jenis
tumbuhan. Dari situlah membuat pemain mempunyai rasa ingin
mengetahui berbagai macam atau jenis pada tumbuhan.
9. Semangat Kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah perasaan atau keturunan, se-
nasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah air. Semangat kebangsaan
seperti ini diperlukan dalam persatuan dan kesatuan dalam bangsa
Indonesia ini.
Budaya yang dapat membuat tumbuhnya rasa kebangsaan
ialah kesenian kethoprak. Kethoprak merupakan kesenian yang
menceritakan peperangan antara kedua kerajaan yang mempere-
butkan daerah kekuasaan. Peperangan yang dilakukan oleh kedua
kerajaan tersebut merupakan gambaran saat Indonesia pada saat
penjajahan dan ingin merdeka.
10. Cinta Tanah Air
Cinta tanah air merupakan perasaan cinta terhadap bangsa
dan negaranya sendiri. Dalam rasa cinta tanah air terdapat nilai-
nilai rela berkorban untuk bangsa dan negara. Cinta tanah air
dapat ditanamkan pada generasi muda melalui kebudayaan salah
satunya melalui bahasa daerah. Bahasa daerah digunakan dalam
bahasa sehari-hari. Bahasa daerah dapat digunakan untuk melatih
rasa cinta tanah air karena salah satu wujud cinta tanah air adalah
bangga dengan bahasa sendiri.
11. Menghargai Prestasi
Menghargai prestasi merupakan suatu sikap atau tindakan
yang mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. Di
dalam sebuah permainan, pasti akan ada yang mengalami keme-
nangan dan kekalahan. Jika menang, kita jangan merasa sombong.
Sebaliknya, bila kita kalah, kita harus menghargai keberhasilan
atau kemenangan mereka. Menghargai kemenangan dapat dilaku-
kan melalui ucapan selamat dan berjabat tangan.

92 Burung-Burung Kertas
12. Bersahabat/Komunikatif
Yang dimaksud bersahabat komunikatif adalah suatu tindakan
yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain. Bersahabat dan komunikatif dapat dita-
namkan dalam permainan tradisional salah satunya adalah bermain
kelereng. Dari permainan tersebut, anak akan menjalin pertemanan
dengan teman lainnya. Permainan kelereng juga melatih anak untuk
belajar bekerja sama dan mengomunikasikan keinginan dan pi-
kirannya.
13. Cinta Damai
Cinta damai merupakan sebuah perbuatan yang menciptakan
harmoni dalam kehidupan. Cinta damai menghindari pertikaian
dan peperangan. Karakter cinta damai dapat ditanamkan melalui
kebudayaan atau dalam sebuah permainan tradisional. Salah satu
permainan tradisional tersebut adalah hom pi pah. Hom pi pah adalah
permainan yang dimainkan minimal tiga orang. Dalam permainan
tersebut, jika tangan mereka beda, dia akan kalah. Dari kekalahan
tersebut anak dididik untuk tidak marah dan menjalin hubungan
yang harmonis dengan temannya.
14. Gemar Membaca
Yang dimaksud gemar membaca adalah suka membaca buku
atau informasi. Kata pepatah “membaca adalah jendela dunia”
karena dengan membaca kita bisa mengetahui semu hal yang be-
lum pernah kita tahu.
Nilai karakter gemar membaca bisa diterapkan kepada anak
melalui permainan ABCD. Permainan ABCD adalah permainan
yang menggunakan jari dengan suatu topik misal hewan dan buah.
Permainannya adalah mengucapkan huruf abjad sampai urutan
yang terakhir, nah saat huruf terakhirlah yang menentukan huruf
awal dari nama hewan dan buah tersebut. Melalui permainan
tersebut memacu anak untuk banyak membaca agar mengetahui
nama-nama buah dan hewan.
15. Peduli Lingkungan
Peduli lingkungan merupakan sikap seseorang terhadap ling-
kungan untuk menjaganya. Lingkungan sekitar perlu untuk kita
jaga agar tidak terjadi banyaknya bencana. Peduli lingkungan dapat

Burung-Burung Kertas 93
diterapkan melalui permainan tradisional. Permainan tersebut
adalah pasaran. Pasaran biasanya dilakukan di luar rumah dengan
membuat rumah-rumahan. Di situlah penanaman peduli lingkung-
an, rumah-rumahan yang dibuat harus dijaga dengan baik agar
tidak rusak.
16. Peduli Sosial
Peduli sosial merupakan perilaku seseorang yang berbuat baik
terhadap sesama, yaitu berbagi dan membantu. Nilai karakter pe-
duli sosial sangat diperlukan dalam kehidupan di bangsa ini agar
warga negara tidak sengsara seperti saat ini karena banyaknya
korupsi di badan legislatif.
Permainan tradisional yang mengandung nilai karakter peduli
sosial, yaitu uding (berkelompok). Uding adalah permainan yang
menggunakan tali yang tersusun dari karet. Permainan tersebut
membantu menanamkan nilai peduli sosial. Nilai karakter tersebut
dilakukan melalui cara saling membantu antarteman.
17. Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah keadaan yang wajib menanggung
segala sesuatu atas perbuatannya. Tanggung jawab sangat dibutuh-
kan dalam pekerjaan ataupun yang lainnya. Tanggung jawab dapat
ditanamkan kepada anak melalui permainan tradisional ibu-ibuan.
Permainan yang berperan sebagai ibu harus melindungi anak-anak.
Peran ibu harus bertanggung jawab dan menjaga anak-anaknya
agar tidak diambil musuhnya. Dari situlah nilai tanggung jawab
ditanamkan kepada anak.
18. Demokratis
Demokratis adalah memutuskan suatu masalah berdasarkan
kesepakatan bersama. Setiap orang berhak untuk memberikan pen-
dapatnya. Karakter demokratis dapat ditanamkan melalui per-
mainan tradisional, contohnya adalah permainan boi-boinan.
Sebelum permainan dimulai, kesepakatan-kesepakatan dan aturan-
aturan dalam permainan di musyawarahkan bersama. Di saat
membuat kesepakatan itulah yang melatih untuk demokratis.

94 Burung-Burung Kertas
Penutup
Dalam pembentukan karakter yang dibuat oleh kementrian
pendidikan dan kebudayaan terdapat delapan belas nilai, yaitu
religius, jujur, toleransi, disiplin kerja keras, kreatif, mandiri, de-
mokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Karakter seperti itu sangat dibutuhkan dalam kemajuan bangsa
ini. Untuk itu, karakter anak harus dibangun agar pembangunan
di bangsa ini terlaksana dengan baik.
Betapa pentingnya kebudayaan yang kita miliki dan banyak
manfaat yang kita peroleh dari kebudayaan tersebut. Jangan sam-
pai kebudayaan yang kita miliki direbut oleh bangsa lain. Kebu-
dayaan juga perlu dikembangkan agar seluruh warga bangsa Indo-
nesia mengenalnya.
Manfaat kebudayaan bangsa ini salah satunya, yaitu memba-
ngun karakter yang dimiliki dalam bangsa ini. Karakter itu sangat
penting bagi suatu bangsa karena karakter bangsa menunjukan
bagaimana bangsa tersebut.
Oleh karena itu, kita sebagai orang tua dan generasi muda
diharapkan untuk dapat memperkenalkan kebudayaan bangsa ke-
pada anak-anak dan generasi yang selanjutnya. Selain kita meles-
tarikan budaya bangsa ini, anak kita juga dapat membangun karak-
ter kepada generasi muda untuk memajukan bangsa dan menunjuk-
kan karakter bangsa ini.

Biodata Penulis
Dian Andri Ani. Tinggal di Pendul RT 50, Argorejo, Sedayu, Bantul. Saat ini
Dian Andri Ani sekolah di SMA Negeri 1 Sedayu. Jika ingin berkorespondensi
dengan Dian Andri Ani dapat menghubungi HP: 087738706117.

Burung-Burung Kertas 95
96 Burung-Burung Kertas
CERPEN

Burung-Burung Kertas 97
98 Burung-Burung Kertas
BERMULA DARI SUARA
Deliana Poetriayu Siregar

Hari ini senja kembali menyapa. Sama dengan sapaan akrabnya


di hari-hari lalu, ia selalu menimbulkan suasana yang sama. Sama
juga dengan rasa yang selalu aku rasakan kala senja. Rasa yang
sama saja dengan secangkir seduhan kopi Gayo tanpa campuran
gula di dalamnya. Pahit tapi masih dapat dinikmati. Rasa ini teracik
dengan sempurna. Takarannya pas, tidak kurang dan tidak lebih.
Kali ini aku duduk sendiri dan masih menunggu kehadiran
Ben. Tak seperti biasanya, ia kali ini datang terlambat. Ia tak kun-
jung menyapa diriku. Hari-hari lalu, Ben selalu datang tak berse-
lang lama setelah Jen pergi. Tapi kali ini, sepertinya ia ingin menguji
kesabaranku.
“Sudah berapa batang Djarum kau habiskan hari ini?”
“Belum sebatang pun,” jawabku menimpali suara Ben yang
lembut penuh kasih sayang.
“Kau tidak bertanya mengapa aku datang terlambat?”
Ya, Ben masih saja berlaku seperti sepuluh tahun yang lalu. Ia
begitu lembut, penuh perhatian, dan selalu menaruh kekhawatiran
dari rasa sakit yang aku rasakan. Meski kelembutan dari suaranya
penuh perhatian, masih dapat kukenali ketegasan dari tiap pernya-
taan yang ia lontarkan.
“Mengapa engkau datang terlambat?”
“Aku menunggu emosimu mereda. Mengapa engkau begitu
gusar tadi?” suara Ben masih begitu tenang.
“Jen yang memancingku,” jawabku dengan mimik kesal.
“Apa yang ia pancing dari dirimu?”

Burung-Burung Kertas 99
“Untaian memori itu. Satu babak memori mengenang Sam.
Padahal aku tak menyukai itu.”
“Kau harus biasakan untuk terlepas dari memori tentang Sam.”
“Aku sudah berusaha. Tapi kali ini ceritanya begitu emo-
sional.”
“Kau harus coba lebih kuat. Terlebih, Sam sudah sepuluh ta-
hun menghilang. Sepuluh tahun juga ia tidak menyapa kehidupan-
mu lagi,” papar Ben mencoba menguatkan perasaanku.
Ia menyampaikan dengan suara yang lebih empuk dan penuh
optimisme. Seharusnya hanya engkau yang muncul saat itu, Ben.
Aku tak merasa seteduh saat bersamamu kala aku bercengkerama
dengan Sam sepuluh tahun lalu. Sesungguhnya ia adalah kekacauan
yang berbalut romantisme senja. Ia adalah Sam yang dengan se-
enaknya mengambil bagian dalam hidupku dan merenggut keba-
hagiaanku. Ia adalah Sam sosok Bengis yang berkedok cinta tanpa
batas. Ia adalah Sam yang tega-teganya membuat kelam satu babak
perjalanan ini sepuluh tahun lalu. Ia adalah Sam yang berganti
dengan sosok Ben yang begitu aku kagumi.
“Apa yang paling engkau benci dari babak itu?” tanya Ben
kemudian.
Aku hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaan, Ben.
Sepuluh tahun lalu, semua begitu menyiksa. Ibuku menganggapku
aib dan ini semua hanya karena Sam. Sam yang muncul dalam
hidupku, semula membawa pelangi yang begitu nyata dan indah.
Sayang semua berakhir dengan luka yang mendalam. Bagaikan
sayatan dalam yang sakitnya begitu dalam dan tak kunjung pudar.
Hanya sebab keberadaan Sam, aku dikucilkan dari lingkunganku.
Aku pun pada akhirnya harus menerima perpisahan dengan
Maurin. Semua karena Sam sampai aku harus lama mendekam di
balik jeruji besi. Semua terasa sakit hingga entah apa yang aku
harus katakan pada Ben.
“Tak perlu kau nyatakan bila memang engkau tak mengingin-
kannya,” ujar Ben kemudian.
Peluh air mata membasahi pipi. Ia sepertinya tak terbendung
kembali. Jemari mungilku kupakai untuk menyeka tetesannya. Aku

100 Burung-Burung Kertas


merasa malu terlihat lemah kembali di hadapan Ben. Aku tak seha-
rusnya menjadi demikian.
“Sam bukan penyebab dari masalah sepuluh tahun itu!”
“Jen?” ujarku terperanjat.
“Tidak ada Jen di sini. Ia sedang tertidur. Hanya ada aku
dan kau di sini,” ujar Ben coba menata emosiku kembali.
“Aku baru saja mendengar suara Jen,” kataku mencoba meya-
kinkan Ben tentang suara yang aku dengar.
“Jen tidak ada di sini. Ia sedang tertidur. Ia akan menjumpaimu
malam nanti.”
“Aku tidak ingin bertemu Jen nanti malam. Aku masih marah
padanya. Panggil saja Nad atau Mel untuk menemaniku berbin-
cang.”
“Kau belum bisa meredam amarah pada Jen?”
“Belum bisa. Aku yakin ini karena Jen masih bersahabat baik
dengan Sam. Ya, ia pasti masih bersahabat dengan Sam di belakang-
ku,” ujarku dengan penuh kecurigaan.
“Jangan berburuk sangka! Praduga seperti itu yang menjerat-
mu kembali terperosok ke dalam lembah kelam dalam kehidupan-
mu sendiri.”
“Tapi ini semua sulit. Ini begitu berat bagiku.”
“Jangan engkau menganggap semua kesulitan di masa itu ha-
nya milikmu sendiri. Jen, Nad, dan Mel juga merasakannya. Aku
minta engkau menyadari hikmahnya. Toh setelah kejadian itu,
aku justru bisa muncul dalam kehidupanmu. Peristiwa itu yang
membuat aku mengenalmu lebih baik. Jen, Nad, dan Mel sudah
cukup tersiksa dengan rasa-rasa pahit yang engkau bubuhkan tiap
senja.”
“Apa engkau juga mulai merasa jenuh berteman denganku,
Ben?”
“Engkau lagi-lagi mulai menaruh curiga. Coba engkau pejam-
kan mata dan tanyakan lagi pada hatimu. Jangan dengarkan suara-
ku, Jen, Nad, atau juga Mel. Ingat saja rasa lain yang engkau cicip
kala senja bersamaku. Itulah sejujurnya juga yang aku rasakan saat
bersamamu.”
“Aku menyukai rasa yang ini, Ben.”

Burung-Burung Kertas 101


“Kalau begitu, coba miliki rasa itu sepenuhnya. Gunakan rasa
itu untuk memerangi rasa yang Sam tabur dalam lubuk hatimu.
Aku yakin engkau pasti bisa menaklukkannya.”
“Aku sudah katakan begitu padanya, Ben,” tiba-tiba Jen me-
nyambung pembicaraan.
“Mengapa engkau bisa kembali lagi, Jen?” tanyaku keheranan.
“Aku didesak oleh Mel dan Nad untuk mendatangimu lagi.
Mereka membujukku untuk datang berbaikan dengan dirimu.”
“Tapi engkau tak seharusnya menyapa saat aku sedang ber-
sama Ben. Lagi pula ini waktu bagi Mel untuk menemaniku.”
“Ben dan Mel yang memberiku kesempatan untuk menyapa-
mu. Aku hanya sebentar sekadar meminta maaf.”
“Aku memaafkanmu. Aku juga baru sadar tentang rasa pahit
yang juga engkau rasakan, Jen. Aku juga meminta maaf.”
“Aku rasa ini semua kesalahan kita semua. Aku akan mening-
galkanmu untuk berbincang dengan Ben kembali,” ujar Jen meng-
akhiri.
Tak berapa lama Jen pun pergi. Ben kembali hadir. Kali ini
suaranya lebih ringan. Sepertinya ia tahu bahwa Jen baru saja da-
tang dan telah berbaikan dengan diriku.
“Lebih lega?”
“Iya. Aku merasakan rasa yang aku cintai lagi, Ben.”
“Itu sebabnya aku datang sebagai pengganti Sam. Aku ingin
menghadirkan kembali rasa yang engkau cintai.”
Ben memang begitu perhatian. Ia adalah sosok yang aku cintai.
Ia sangat ideal untuk dicintai. Ia memberikan rasa sayang yang
pas. Tidak sengaja ia buat sebagai penenang saja. Ia begitu menyita
perhatianku. Merenggut porsi yang lebih besar daripada Jen, Mel,
dan Nad. Ia hadir hanya di saat yang tepat. Seperti yang ia katakan,
ia adalah hikmah dari peristiwa itu.
“Ben, ini sudah pukul tujuh. Aku sudah membuat janji bertemu
dengan Karin,” ujarku mencoba menutup sesi obrol santai bersama
dengan Ben.
“Baiklah, aku akan melepas kepergianmu. Aku rasa pertemuan-
mu dengan Karin telah memberikan kebaikan kepada kehidupan-
mu,” ujar Ben kemudian.

102 Burung-Burung Kertas


“Apa contohnya, Ben?”
“Gampang saja, engkau sudah beberapa hari tidak bergantung
pada rokok kebanggaanmu itu. Dan aku rasa itu baik untuk me-
nambah pergaulanmu,” jelas Ben seraya tersenyum manis meng-
akhiri.
Aku hanya berpikir ringan. Mengangguk pertanda setuju
dengan ucapan Ben. Aku pun kemudian tersenyum mengakhiri
perbincangan senja itu. Rasa pahit itu pun perlahan memudar.
Setidaknya hari ini Ben sukses memudarkannya.
Aku memutuskan bergegas menemui Karin sebelum akhirnya
Mel mendesak untuk bertemu denganku. Meski aku sudah ber-
kopromi dengan Mel, aku takut kalau-kalau Mel jenuh tiba-tiba
dan memaksa untuk bertemu denganku. Akhirnya aku putuskan
untuk segera berjalan menuju rumah Karin. Rumah Karin tak
seberapa jauh dari taman. Ia sempat mengirim pesan singkat tentang
jadwal bertemu hari ini. Ia mengingatkan aku mengenai buku ca-
tatan yang menjadi milikku, Ben, Jen, Mel, dan Nad. Ia memasti-
kan kami masih rajin mengisinya.
Rumah Karin sangat megah. Aku sangat menyukai arsitektur
bangunan rumah Karin. Konsepnya elegan tapi bersentuhan dengan
alam. Setiap Karin menjanjikan aku untuk bertemu di rumahnya,
aku merasa sangat bahagia. Rumahnya sangat nyaman untuk seka-
dar berbagi cerita.
Tak berapa lama aku menunggu di ruang tamu, sosok Karin
yang anggun datang menghampiriku. Karin saat itu terlihat sangat
manis. Ia mengenakan pakaian merah muda bermotif bunga kecil
berwarna keunguan. Ia tersenyum dan mempersilakan aku berdiri.
“Ayo kita masuk ke ruanganku saja!” ajak Karin padaku.
Aku berjalan di belakang Karin. Karin dan aku tengah berjalan
menuju sebuah ruangan yang lebih tenang. Ruangan Karin ini me-
mang menjadi saksi bisu persahabatan aku dan Karin. Hari ini,
ruangan ini begitu lekat di pikiranku. Kenampakan pertamakali
aku memasuki ruangan ini begitu berbeda dengan kenampakannya
sekarang. Aku merasakan begitu bersahabat dengannya saat ini.
Cukup berbeda dengan keadaan lima tahun silam.

Burung-Burung Kertas 103


“Tak terasa sudah lima tahun. Apa engkau sudah dapat ber-
adaptasi dengan kondisi ini?”
“Iya, Rin. Aku merasa sangat tertolong setelah kehadiranmu.”
Aku merasa Karin adalah salah satu karakter yang Tuhan
ciptakan untuk mengangkatku dari keterpurukan. Ia yang
menguatkan aku. Ia adalah Karin yang mengenalkan aku pada
Ben, Jen, Mel, dan Nad. Karin juga adalah orang yang pada akhir-
nya menciptakan media komunikasi efektif antara aku dengan Ben,
Jen, Mel, dan Nad. Ia yang membungkus aib menjadi sebuah ke-
kuatan, keunikan, atau bahkan sekadar kelebihan sederhana.
“Aku ingin memulai obrolan hari ini dengan mengingat peris-
tiwa sepuluh tahun lalu. Aku ingin menguji caramu menguasai
emosimu. Aku ingin engkau memikirkan semua peristiwa sepuluh
tahun lalu dengan sempurna,” pinta Karin kemudian dengan di-
sertai sentuhan tangan yang menguatkanku.
Sepuluh tahun silam, aku seolah menjadi orang gila. Perka-
winanku dengan Jonathan seolah tak bisa berjalan sempurna.
Jonathan kerap menyiksaku. Ia mudah merajuk bila aku tidak
membuatkan secangkir kopi Gayo favoritnya sepulang dari kerja.
Bila aku tidak segera sadar, ia akan menyiramkan air panas sehabis
aku jerang. Lebih dari sekadar menyiksa fisikku, Jo juga telah
memiliki dua orang perempuan simpanan. Oleh karena aku tidak
tahan dengan kelakuan Jo, aku mencoba lari ke keluargaku. Ibuku
menolakku mati-matian dan akhirnya kerap menyalahkan aku atas
segala perilaku Jo. Ibu selalu melihat aku sebagai anak yang tidak
pernah tumbuh dewasa dalam menyelesaikan masalah dalam ru-
mah tanggaku. Aku pun pada akhirnya dikembalikan dalam sua-
sana mencekam bersama Jo.
Penolakan dari sumber-sumber keselamatan tersebut mem-
buat aku menjadi depresi berat. Aku sempat ditemukan beberapa
kali berusaha melukai diriku sendiri. Tapi usaha bunuh diriku ter-
sebut juga berkali-kali gagal karena aku yang diselamatkan oleh
Maurin, putri kecilku yang dulu berusia enam tahun. Berkali-kali
aku tak menjumpai orang yang tepat untuk berbagi cerita atau
sekadar meminta pertolongan kecil, aku pun pada akhirnya mene-
mukan Sam. Pada mulanya, Sam tidak pernah menampilkan diri

104 Burung-Burung Kertas


baik pada Jo maupun Maurin. Ia lebih senang hanya berdiskusi
dengan diriku. Ia muncul sebagai penguat mentalku. Ia meng-
ajariku mengenai keberanian. Ia bahkan sesekali memaksaku untuk
melawan kekerasan yang dilakukan Jo. Tapi aku berkali-kali me-
nolak melakukannya karena rasa takut pada Jo yang sangat besar.
Tak berapa lama aku mengenal Sam, muncul karakter Jen. Ia
adalah sahabatku dan juga Sam disaat yang bersamaan. Jen tidak
senang mengobrol denganku. Ia lebih sering mengingatkanku
dengan suara-suara yang menggema di otakku. Jen lebih sering
mengobrol dengan Sam saat itu. Mereka banyak berdiskusi. Ter-
kadang Jen membuatku cemburu. Saat itu aku mencintai Sam yang
juga memberikan perhatian sama besarnya untukku dan juga Jen.
Sam saat itu begitu perhatian dan kuanggap sebagai pahlawan
dalam masa penyiksaanku. Tapi semua itu berakhir ketika rasa
cemburuku terlampaui jumlahnya. Aku mulai mengabaikan saran-
saran bijak Jen. Aku menekan pengaruh Jen kuat-kuat.
Akhirnya, Sam mulai mengambil peran yang cukup dominan
dalam kehidupanku. Ia mulai memonopoli tubuhku. Ia membalas-
kan rasa sakitku pada Jo secara terus menerus. Hingga suatu kali,
Sam menggunakan tubuhku untuk membunuh Jo. Sejak saat itu
pula aku dicap sebagai pembunuh. Aku dipenjara dan Sam entah
ke mana perginya. Karena peristiwa pahit itu, aku dijauhi masya-
rakat, dituntut mati oleh keluarga Jo, dibenci seumur hidup oleh
Ibu dan harus dipisahkan dengan Maurin. Maurin dianggap perlu
diadopsi oleh orang lain yang sangat jauh untuk menjauhkan dari
pengaruh burukku atau juga pengaruh buruk Sam.
Aku mendekam lima tahun dalam bui dengan rasa malu yang
begitu luar biasa. Selain rasa malu, rasa berdosa juga menghantui
diriku. Rasa jijik pada Sam juga muncul. Aku tinggal dengan rasa
yang penuh dengan penyesalan. Aku hanya ditemani oleh pan-
dangan aneh teman satu sel yang menyebut aku gila. Aku terba-
ngun sebagai aku selama dua atau tiga hari sekali dan menjadi
lupa ingatan untuk beberapa hari lain. Yang hanya dapat aku defi-
nisikan adalah aku dapat mendengarkan suara-suara dari Jen, Mel,
Nad, dan Ben. Saat itu, aku belum mampu berkenalan dengan

Burung-Burung Kertas 105


mereka. Aku hanya memiliki perspektif tentang mereka. Hanya
suara Ben yang sejak awal telah terdengar teduh dan bijaksana.
Setelah lima tahun mengakrabi bui, aku dibebaskan bersyarat
oleh Karin. Ia adalah seorang ahli kejiwaan yang mau menjaminku.
Ia melakukan penjaminan dan perawatan instensif untuk sekadar
menyelamatkan aku. Sejak lima tahun lalu, Karin mencoba meme-
diasi kehidupan Ben, Mel, Nad, dan Jen denganku. Sesekali aku
yang datang berkunjung menemui Karin. Sesekali bila diminta,
Ben, Jen, Mel, atau Nad yang datang mengunjungi Karin. Terka-
dang Karin yang meminta demikian agar Ben, Jen, Mel, dan Nad
bisa bercerita mengenai permasalahanku dari sudut pandang yang
lain. Dahulunya Mel, Ben, Jen, dan Nad tidak bisa berbincang
denganku. Mereka hanya mengambil peran sebagai suara-suara
di otakku. Kadang mereka adalah karakter yang mengambil peran
tubuhku saat aku tertidur. Mereka kerap melakukannya tanpa per-
misi kepadaku. Mereka melakukan seenaknya hingga kadang mem-
buatku lelah saat terbangun. Tapi untung saja mereka tidak seperti
Sam yang menggunakan tubuhku untuk bertindak kriminal.
Karin bilang, aku adalah seorang penderita alter ego. Lebih
dari suara-suara, Ben, Jen, Mel, Nad, dan bahkan Sam adalah ka-
rakter yang telah hidup dalam diriku. Ia mengambil peran dan
posisi tertentu dalam hidupku. Aku adalah karakter dominan yang
menguasai tubuhku sendiri. Ben dan Jen adalah karakter dominan
lainnya. Tapi frekuensi kemunculan mereka saat ini bisa aku atur.
Terlebih Mel dan Nad. Mereka karakter yang lemah yang jarang
muncul. Mel hanya muncul saat aku sedang terancam bahaya. Ia
tidak pernah meminjam tubuhku untuk menjalani kehidupannya.
Nad muncul saat aku perlu bersosialisasi dengan orang lain. Nad
paling ahli berkomunikasi dengan orang lain. Ia menguasai ke-
mampuan bercakap-cakap dengan baik. Ia cukup pandai menyim-
pan rahasia bila tengah bergaul dengan orang lain. Sama dengan
Mel, Nad tidak memiliki kehidupan sendiri.
“Sudah minum obat, Ca?”
“Sudah, Rin. Apa aku bisa sembuh?”
“Tentu saja bisa. Kesembuhanmu akan bergantung kepada
caramu beradaptasi dengan semua karaktermu yang lain. Aku lihat

106 Burung-Burung Kertas


dari buku catatan kalian, kalian sudah belajar banyak sejauh ini.
Kalian bisa bekerja sama dan menekan kemunculan Sam,” jelas
Karin.
Aku masih harus berusaha untuk menguatkan diriku sendiri,
Ica Meidina. Ica masih harus berusaha bersahabat dengan dirinya
sendiri. Tidak hanya bersahabat dengan karakter lainnya, aku juga
harus bersahabat dengan masa laluku. Aku juga harus belajar ber-
sahabat dengan Sam. Aku harus bersahabat dengan seluruh kehi-
dupanku.

Biodata Penulis
Deliani Poetriayu Siregar tinggal di Jalan Kaliurang km.14, Sleman. Saat ini
Poetri kuliah di Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah
menulis, “berbicara”, jalan-jalan, dan mendesain. Jika ingin berkores-
pondensi dengan Poetri dapat menghubungi: HP 087834859655, email:
delianipsiregar@yahoo.com, twitter: @anggsiregar, FB: Anggi Siregar.

Burung-Burung Kertas 107


BINTANG HARAPAN
Akbar Yoga Pratama

Aku selalu berpikir hidup itu seperti garis lurus. Tak ada yang menarik
untuk didefinisikan tentang garis-garis yang saling beraturan. Sekalipun
mereka berkooordinasi membentuk suatu bidang asimetri, itu sama sekali
tak bisa disebut seni. Menurutku, hidup tak pernah punya cerita. Setidaknya
sampai aku bertemu denganmu, teman kecil yang bicara dalam kebisuan,
yang bertindak dalam kebungkaman.
“Kelompok tiga, Sofi, Igo, Eka, Miko, Bagus…!” seruku.
“Hahahaha…!” tiba-tiba seisi kelas meledak oleh tawa.
Aku yang dipercaya membuka undian kelompok, berdiri me-
matung menatap sekitar. Pandanganku terhenti di mata Sofi, dia
nampak kecewa dan masih tak percaya dengan hasil undian. Dan
aku tahu apa sebabnya. Aku memberanikan diri menatapnya de-
ngan tatapan ala Tom Hanks dalam film di mana ia terdampar di
suatu pulau sepi, tidak bertemu manusia selama tujuh belas bulan,
dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Alih-alih menenang-
kan hatinya, itu justru membuat orang merasa mual dan ingin
muntah.
Sambil beranjak duduk, aku melihat beberapa teman menu-
ding Sofi sambil terbahak-bahak. Wajahnya memerah. Kulirik so-
sok bernama Bagus yang duduk sendirian di depan. Dia bergeming
layaknya sebuah tiang seolah tak merespon lingkungan sekitar.
Sungguh, dia adalah orang paling tolol dan kolotan yang pernah
kukenal. Untungnya aku tidak sekolompok dengannya. Sofi dan
teman sekelompoknya, kecuali Bagus sampai menggerutu habis-

108 Burung-Burung Kertas


habisan padaku saat jam istirahat. Padahal aku hanya ditugasi Bu
Hindun untuk membuka undian.
“Dosa apa aku harus bekerja sekelompok dengan dia selama
tiga minggu ke depan?”
“Huss! Jangan gitu, Sof! Gimana juga, dia itu teman sekelas
kita.”
“Tapi, kenapa mesti aku yang sekelompok coba!”
“Mungkin kaliaaaann.....” aku sedikit ingin menggoda.
“Heh, Ram! Sembarangan!” balasnya. Aku terbahak men-
dengarnya.
Aku sendiri mengakui Bagus seorang pemuda yang aneh.
Sangat aneh. Tubuhnya tinggi kurus. Wajahnya tirus. Matanya
berkantung, seperti orang yang tak pernah tidur. Rambutnya tipis
dan kemerahan, disisir dengan belahan yang tak proporsional.
Dia punya kening lebar yang ditumbuhi jerawat. Alisnya juga tebal
sekali sementara dagunya mundur ke belakang. Jika disaksikan
dengan saksama, keseluruhan tubuhnya mirip dengan pohon jati
kurus yang sedang meranggas.
Pertama kali bertatap muka—dua tahun lalu—dia membuat
kami semua ternganga. Ia memakai celana SMP lawas sepanjang
lutut yang menampakkan betisnya yang seperti tongkat bersekrup.
Kakinya terbungkus sepatu futsal yang ukurannya tiga nomor di
atas ukuran kakinya. Bagian paling menakjubkan adalah, kaos
kakinya bermotif belang-belang merah muda!
Dia selalu datang terlambat ke kelas, dengan nafas terengah-
engah dan peluh bercucuran membasahi tubuhnya yang hitam le-
gam, seperti Usain Bolt yang baru saja menyelesaikan sprint 1000
meternya. Begitu masuk, hal pertama yang dia lakukan adalah
menampilkan senyum lebarnya dan ber-”hehe” kepada guru yang
sedang mengajar. Lalu dia akan duduk di sana, di bangku depan
dengan seluruh pakaian dan peralatannya yang usang, diam sepan-
jang hari seperti seonggok benda uzur di sudut ruangan.
Bagus. Kupikir, namanya sama sekali tak pernah seperti wu-
judnya.
Tapi, ada satu hal yang harus kuakui juga. Dia seperti mutiara
yang terbungkus debu tebal. Di balik perangainya yang tolol dan

Burung-Burung Kertas 109


membuat jengkel, dia memiliki otak yang ajaib. Tak dinyana oleh-
ku, bahkan oleh oknum-oknum pengejeknya, dia adalah anggota
tetap rangking tujuh besar di kelas! Maka dari itu, aku tak pernah
berani ikut-ikutan mencelanya. Tanggung jawabku sebagai ketua
OSIS membuatku harus bergaul dengan segala kalangan warga
sekolah tanpa pandang bulu. Dan salah satu tanggung jawabnya,
adalah menjadi teladan bagi teman-teman. Entahlah, aku hanya
berusaha menjadi baik.
“Menurut kamu, yang salah itu Bagus atau teman-teman,
Ram?” tanya Sofi.
Aku bungkam seribu bahasa. Aku bukanlah bi ahkaamil
haakimiin yang mampu dengan jelas dan pasti menunjuk seseorang
atau sekelompok orang sebagai tersangka. Aku sama sekali tak
mampu memahami Bagus atau teman-teman yang lain. Yang satu
seperti merasa tidak membutuhkan orang lain dan sangat menjeng-
kelkan jika diajak bicara. Yang satunya lagi menilai bahwa Bagus
adalah sebentuk produk yang gagal melewati seleksi alam, dan
mereka jengah juga karena Bagus tidak pernah bisa diajak berko-
munikasi yang baik. Aku sendiri menyadari kedua hal itu.
“Gak tau, Sof.” jawabku demi membuatnya diam.
***
Aku melirik ke kelompok Sofi,
“Bagaimana kalau kita mengadakan penelitian tentang peman-
faatan biogas? Yang mudah saja, karena dekat rumah kita ada
ternak sapi yang lumayan besar,” usul Sofi.
Semua teman mengangguk kecuali Bagus.
“Aku tidak sependapat!” katanya tiba-tiba. Mereka, bahkan
seisi kelas menatapnya.
“Kenapa?”
“Eh,” dia tampak tergagap. “Hehe tidak apa-apa. Emm, hanya
saja… ya kalau kalian setuju, aku tidak apa-apa,”
“Aku ingin mendengar alasanmu tidak sependapat denganku.
Barangkali kamu punya ide yang lebih cemerlang?”
“Tidak, tidak. Aku ngikut saja… Hehe, iya aku ngikut saja,”
“Dasar orang aneh!” gerutu Sofi.

110 Burung-Burung Kertas


Satu hal yang paling dibenci dari bekerja satu kelompok dengan
Bagus adalah, Bagus selalu menjadi sasaran bullying teman-teman.
Ketika selesai presentasi, teman-teman akan berlomba-lomba
mengacungkan tangan untuk memberi pertanyaan atau tanggapan.
Dan biasanya mereka mengatakan, “saya ingin bertanya pada Mas
Bagus…” atau “saya ingin menanggapi pernyataan Profesor
Bagus…”
Tampaknya, mereka lupa dengan prestasi Bagus. Mereka me-
manggilnya dengan julukan-julukan yang menggelikan. Aku tak
tahu siapa yang sebenarnya lebih tolol. Bagus memang tak pernah
bisa menguraikan jawaban secara sempurna. Tapi teman-teman?
Mereka menanyakan dan menyatakan hal-hal kritis sekadar untuk
menerima tanggapan bodoh. Mereka menikmati ekspresi Bagus
yang selalu tampak seperti badut sirkus yang lupa pada atraksi
selanjutnya. Terkadang, Sofi sendiri merasa iba. Dan perasaannya
mendorongnya untuk mencegah mereka melakukan mental abuse
yang lebih parah terhadapnya. Dan kau tahu apa tanggapan me-
reka?
“Hahaha… sudah kita duga. Kalau tiga kali berturut-turut
kamu sekelompok sama dia… itu artinya kalian jodoh! Sekarang
mulai kelihatan kan chemistry-nya? Hahaha!” kata Uli yang paling
semangat mewakili dua puluh empat siswa lainnya.
***
Sekarang bulan Juni. Aku senang sebentar lagi kami naik kelas.
Aku sangat berharap tidak sekelas dengan orang-orang aneh ma-
cam Bagus, atau macam teman-temanku yang lain. Tapi, ada kabar
mengejutkan. Suatu pagi, guru kami mengkonfirmasi ketidakhadir-
an Bagus selama beberapa hari belakangan. Rupanya, dia keluar
dari sekolah. Gumam-gumam keheranan pun bermunculan.
“Apakah gara-gara dia selalu terlambat dan menjadi bulan-
bulanan kita?” Igo heran.
“Tanpa mengikuti ujian kenaikan kelas terlebih dahulu?” Rani
menimpali.
“Sepertinya dia memang berniat tidak melanjutkan sekolah,”
giliran Uli bicara.

Burung-Burung Kertas 111


“Oh… anak malang,” gumam yang lain dengan nada meng-
hina.
“Dia bahkan tidak meninggalkan apapun untuk kita…”
“Kalian salah!” tiba-tiba wali kelas kami, Bu Hindun menyela,
“dia meninggalkan ini…,” perempuan itu mengacung-acungkan
sepucuk surat. “Tapi di sini tulisannya untuk Sofia.”
“Haaaaaa!” seisi kelas langsung menuding Sofi. Aku tak ter-
kejut karena pagi ini, sebelum jam masuk, kepala sekolah dan Bu
Hindun mengajakku berbicara di ruang guru. Mereka bercerita
banyak tentang Bagus. Aku diam memahami dan mencari solusi.
“Kubilang juga apa? Diam-diam mereka saling cinta! Hahaha!”
Uli makin menggila.
Sofi maju ke depan mengambil surat itu dengan wajah merah
padam. “Sialan kalian semuaaa!” geramnya pelan. Dia buka surat
itu sambil memaki-maki pada diri sendiri. Kalau Bagus di sini,
dia yang akan dimaki! Sofi membuka surat itu dan mulai mem-
bacanya.
Halo Sof,
Aku cuma mau minta maaf karena aku selalu membuatmu marah.
Aku tau kamu membenciku karena banyak hal, terutama karena aku bodoh,
tidak pernah ikut mengerjakan tugas kelompok, dan mempermalukan kalian
saat presentasi.
Biar kujelaskan, aku selalu terlambat karena aku harus mengurusi
dua adikku.
Aku sudah tidak punya orangtua.
Lalu aku tidak bisa ikut kerja kelompok siang hari karena aku harus
bekerja. Aku harus membantu pamanku di pasar, demi menghidupi mereka.
Sementara kalau malam, aku sudah terlalu lelah untuk melakukan
hal lain. Aku tidak senang membagi kisah hidupku yang tidak menye-
nangkan. Tapi, aku tidak ingin kamu salah paham.
Itu saja.
Bagus.
Selesai membaca itu, aku menemukan tatapan teman-teman
yang seperti sudah siap menerkam dengan ejekan.

112 Burung-Burung Kertas


“Kalian harus membaca ini!” Sofi berseru sambil melambaikan
surat itu pada mereka, suaranya sudah cukup membuat semua
homo sapiens tolol di kelas tafakur mendengarnya. Sudah nampak
butir-butir embun yang siap menetes dari mata cantik Sofi.
Seisi kelas membaca surat itu secara bergantian, aku sendiri
tak terlalu tertarik, aku hanya pura-pura bertanya pada Sofi apa
isi surat itu.
“Apa isi suratnya, Sof?”
“Baca sendiri! Ram, besok temenin aku ke rumah Bagus ya!
Kita cari alamatnya di ruang tata usaha!”
“Oke siaap! Tapi kita ke pasar dulu cari dia,” kataku. Sofi
mengangguk.
“Apa sih yang enggak untukmu, Sof?” batinku melanjutkan.
Tiba-tiba sekelas memalingkan muka ke arahku dan Sofi.
“Ram, Sof, gak nyangka ya, Bagus itu...”
“Makanya kamu jangan ejek dia terus!” Sofi tidak terima,
kucoba menenangkannya.
“Kalo kamu mau, besok pulang sekolah ikut aku sama Sofi ke
rumah Bagus. Kita minta maaf, kita ajak dia sekolah lagi,” kataku
mencairkan suasana.
“Hmm.. Gimana yaa, aku takut Ram. Lagian besok aku ada
acara. Titip salam aja, ya,” kata Uli.
Sebenarnya aku ingin langsung menghajar si pengecut ini demi
mendengar kata-katanya tadi. Pandanganku tajam ke arah mata-
nya, lalu aku memalingkan mata ke luar, seolah tak peduli tentang
yang kurasakan.
“Pengecut!” batinku.
Aku memandangnya lagi dengan sengit. Aku tahu, dia hanya
gengsi. Sosok seperti itulah yang harusnya dijauhi.
***
Esoknya, sesuai janji kemarin, sepulang sekolah kami ke pasar.
Sayangnya, di pasar kami sama sekali tak melihat pemuda itu.
Kami putuskan untuk ke rumahnya.
“Assalamualaikum! Bagus!” Sofi memanggilnya. Hening.
“Gus, Bagus! Ini Sofi, Gus!” masih memanggilnya. Lagi, tanpa
jawaban.

Burung-Burung Kertas 113


Aku yang menunggunya sambil duduk di sebuah lincak mera-
tapi keadaan rumahnya. Interiornya yang sangat sederhana, lantai
tanah yang kotor, tembok dan atap dari gedhek, kontras dengan
keadaan rumahku.
“Tapi, dari sinilah profesor itu lahir,” batinku. Aku mencoba
mengaitkannya dengan isi surat kemarin. Ternyata aku mengagumi
sosoknya.
Aku melihat ke atas, kutemukan puluhan bintang dari kertas
karton lusuh yang digantung dengan rafia seadanya, bertuliskan
beberapa mimpi, harapan, dan cita-citanya. Beberapa yang mem-
buatku terenyuh adalah yang bertuliskan “JADI DOKTER!”,
“MENDIRIKAN RUMAH SAKIT DI PEDALAMAN”, “NAIK
HAJI!”, dan masih banyak lagi. Beberapa sudah ada yang terjatuh
di lantai, diantaranya bertuliskan, “BAHAGIAKAN ORANG TUA
SELAGI SEMPAT!”, “NAIK HAJI BARENG ORANG TUA”, dan
sepertinya bintang-bintang yang bertuliskan hal-hal tentang orang
tua—entah disengaja atau tidak—telah jatuh sendiri ke tanah—
merefleksikan keadaanya yang sudah tidak punya orang tua. Ba-
gus, rumah ini, dan kertas karton lusuh berbentuk bintang beserta
tulisannya, dengan berbagai cara mencoba mengiris batinku. Perih,
pedih.
“Pemimpin macam apa aku ini!” aku mengutuki diri sendiri.
“Ram, pulang, yuk! Kayaknya Bagus nggak ada di rumah,”
Sofi nampak lelah.
“Sof, lihat ini,” aku menunjuk ke langit-langit teras dan meng-
ayunkan telunjukku ke lantai.
Dia memandangnaya. Sofi juga terenyuh hatinya. Tiba-tiba,
embun di matanya mulai membanjir. Ia merasa ada yang menusuk-
nusuk kalbunya, mungkin ia sedang berpikir, “Apa pemuda ini
harus kehilangan mimpinya karena aku?”
Tiba-tiba dia berkata sambil terisak, “Aku yang salah, Ram.”
“Maksudnya? Nggak, nggak ada yang pantas disalahkan di
sini.”
“Tapi, dia terus-terusan diejek di sekolah karena aku, Ram!”

114 Burung-Burung Kertas


“Bukan, Sof! Bukan! Percaya aku! Ini soal teman-teman aja
yang belum mengerti Bagus,” kataku lembut, mencoba menjadi
dewa penyelamat batinnya.
“Kak, lagi apa di sini, Kak? Cari siapa?” tiba-tiba suara anak
laki-laki kecil berseragam putih merah nan lusuh datang sembari
menggandeng seorang anak perempuan yang juga berpakaian sa-
ma, hanya saja sepertinya lebih kecil. Kami kaget tak alang ke-
palang.
“Astaga! Kita cari Kak Bagus, Dek. Kak Bagusnya di mana
ya? Tadi sudah dicari di pasar nggak ketemu” tanyaku.
“Kalau jam segini, Mas Bagus lagi di bawah jembatan layang
Lempuyangan, Kak!”
“Oh, ngapain dia di sana?” Sofi dengan suara lembutnya mulai
bicara.
“Lihat aja sendiri, Kak. Cepet! Nanti keburu Mas Bagus pu-
lang!”
“Oke, Dek. Makasih ya!” aku langsung buru-buru menuju mo-
tor, Sofi dengan semangat mengisi jok belakang motorku. Tangan-
nya menepuk pundakku, sebuah sengatan semangat menyelamat-
kan mimpi seorang pemuda menyambar tubuhku.
“Oiya, Dek. Ini kakak ada permen. Buat Adik nih,” kata Sofi
sambil memberi dua anak itu permen Yupi. Permen manis yang
empuk, seempuk hatinya. Mungkin.
“Sama-sama, Mas Ganteng! Makasih Mba cantik! Kakak ber-
dua cocok!” suara si anak perempuan yang nampaknya sekitar
kelas 3 SD membuatku terhenyak.
“Amiin amiin ya, Dek. Makasih ya!” jawabku mengamini sam-
bil tertawa. Kedua anak itu hanya tersenyum. Sofi malah bereks-
presi datar. Aku langsung memacu motorku.
“Tuh, Sof. Anak kecil aja tahu! Hehe,” kataku bercanda saat
di jalan.
“Apaan sih, bukan waktunya bercanda ah!” balasnya sambil
mencubit pelan lenganku.
“Duh! Hehe.. Iya iya,” jawabku.
“Anak kecil nggak pernah bohong lho, Sof,” batinku sambil
tersenyum.

Burung-Burung Kertas 115


Sesampainya di bawah fly-over Lempunyangan, kami mencari
sosok Bagus.
“Ram... itu Bagus!” Sofi tercekat dan menunjuk ke utara, meli-
hat sosok Bagus. Aku mengangguk, ikut tercekat.
Sedang apa dia di sana? Sungguh, hati kami seperti tertusuk
belati saat melihat seorang Bagus. Dia yang selalu seperti sampah
di kelas, ternyata adalah malaikat penolong bagi para anak-anak
jalanan lainnya. Ternyata dia sedang mengajari anak-anak jalan
itu membaca, berhitung, menulis, bahkan melukis! Dan dia... sendi-
rian! Ah, pemuda ini.
“Baguuuss!! Gus, Bagus!” seru Sofi sambil setengah berlari.
Aku hanya berjalan pelan mengikutinya dari belakang.
“Gus, ternyata kamu...”
Belum selesai Sofi bicara, Bagus memotong, “Ayo ke tempat
lain dulu, ada yang harus aku omongin ke kalian! Adik-adik tunggu
sebentar yaa!”
Anak-anak jalanan yang menjelma menjadi pelajar itu meng-
iyakan. Kami menuju ke selatan, agak jauh dari kerumunan jelmaan
pelajar jalanan.
“Sof, Ram, aku minta maaf ya, selama ini aku selalu tertutup
begini,” Bagus memulai.
“Nggak, Gus! Kamu nggak salah, yang salah itu kita. Kita nggak
pernah jadi teman yang baik selama dua tahun ini. Maafin kita,
Gus!” mata Sofi mulai berkaca-kaca.
“Gus, kembalilah ke sekolah. Kelas hampa tanpa kamu, Gus.
Aku, Sofi, semua teman-teman butuh kamu. Bukan sebagai sampah
lagi, tapi sebagai pahlawan. Kamu pahlawan Gus, bagi mimpi-
mimpimu! Bagi kami! Bagi anak-anak itu,” aku mencoba menyema-
ngatinya.
“Aku nggak bisa. Ini dunia yang pantas untuk aku. Aku bukan
apa-apa di sekolah.”
“Bukan apa-apa gimana? Tujuh besar setiap ambil rapot! Itu
yang kamu sebut bukan apa-apa, Iya!” nada bicara Sofi meninggi.
“Gus, tentang bintang-bintang harapan di rumahmu? Apa
sekarang itu jadi sia-sia begitu aja?” kataku. Bagus yang sedari
tadi menunduk mulai berani menatap kami.

116 Burung-Burung Kertas


“Bintang harapan? Kalian ke rumah? Kalian lihat semuanya?”
Bagus tercekat.
“Jadi dokter, mendirikan rumah sakit di pedalaman, naik haji!
Itu semua apaan, Gus? Mimpi di siang bolong? Bukan kan?! Kejar,
Gus! Sekolahlah tempatmu!” kataku menegaskan.
“Kami butuh untuk mengenal kamu lebih dalam, Gus. Pastikan
bintang harapan itu menjadi kenyataan kelak!” ujar Sofi penuh
emosi.
“Kembalilah ke sekolah, Gus! Jika mengingat prestasimu sela-
ma dua tahun ini, kamu pantas mendapat beasiswa. Aku yakin
itu! Aku akan mengusulkan itu ke sekolah. Atas nama mimpi, atas
nama sahabat!” aku jadi ikutan emosi.
“Tuh, Gus! Ketua OSIS yang bilang, aku percaya, sekolah pasti
mau!” Sofi menimpali. Kami bertiga bungkam selama beberapa
detik.
Sejurus kemudian, Bagus berkata penuh makna, “Atas nama
kebesaran bintang-bintang harapanku. Aku putuskan kembali!”
Kami gembira. Sofi tersenyum manis. Aku memasang wajah
Tom Hanks-ku padanya, walau aku tahu ini bukan situasi yang
tepat. Tak kusangka, mataku juga mulai berair menatap cakrawala.
Sang senja bersayap menyoroti wajah kami, yang duduk di tembok
atas tepian jembatan layang Lempuyangan yang di kolongnya sa-
rat akan cerita. Aku percaya, senja dan mimpi mengubah rupa
Tom Hanks-ku sejenak menjadi seperti Leonardo Di Caprio, se-
mentara Sofi adalah Kate Winslet-nya sore itu. Bagus, ia yang
akan menjadi bintang di malam ini, juga malam-malam selanjutnya.
Bintang yang penuh harapan. Bagaimanapun juga, pemuda penuh
mimpi ini tetap tak bisa terdefinisikan rupanya. Ia masih jenaka
bak jati kurus yang meranggas.
Mulai hari itu, setiap selasa, jumat, dan minggu sore, kami
bertiga rutin mengajar anak-anak jalanan di kolong jembatan la-
yang bermakna itu. Bagus telah kembali ke sekolah dan menemukan
kepercayaan dirinya. Tahun ketiga, kami bertiga tetap sekelas dan
formasi teman-teman yang lain pun tak berubah. Mereka mulai
memandang Bagus dengan sepenuh hati, mengajaknya duduk se-
bangku, dan bahkan mulai ada yang berebut untuk sekelompok

Burung-Burung Kertas 117


dengannya. Aku senang dengan pemandangan ini. Setidaknya di
akhir masa kepemimpinanku di OSIS, aku turut andil dalam me-
nyelamatkan mimpi seorang pemuda hebat yang hampir sirna.
Aku sudah dan masih butuh banyak belajar dari Bagus, Sofi, dan
yang lainnya.
Aku mulai memahami Cicero dengan teori Rehumanize-nya,
“Manusia mendapatkan sesuatu dari manusia lain. Manusia
melepaskan sesuatu dari manusia lain. Manusia menjadi manusia karena
manusia lain, atau mungkin ada juga manusia yang menjadi manusia
kembali karena manusia lain. Bagi umat manusia, manusia itu suci.”

Biodata Penulis
Akbar Yoga Pratama tinggal di Jalan Menjangan 19, Wirobrajan, Yogya-
karta. Saat ini Yoga bersekolah di SMA N 7, Yogyakarta. Hobinya adalah
menulis, bermain futsal, dan meracik kopi. Jika ingin berkorespondensi
dengan Yoga dapat menghubungi: HP 087838519163, email:
akbar_yogapratama@yahoo.com, FB: Akbar Yoga Pratama, twitter:
@yogakbaar.

118 Burung-Burung Kertas


BURUNG-BURUNG KERTAS
Beladiena Herdiani

Jam di sudut kamar, terus berdetak. Aku menghitung usia,


hening mengingat dosa-dosa. Jarum jam di pojok kamar terus ber-
gerak. Waktu meruncing menghunjam harapan. Segala yang da-
tang dan pergi sebentar lagi akan menjadi kenangan. Mungkin
tak lama lagi aku pun tinggal masalalu. Lalu datang sebuah tanya
dari sudut hati, apa yang akan dilakukan jika usia tinggal sebulan
lagi? Tak ada jawaban. Hanya jam di sudut kamar yang terus ber-
detak, seakan sedang mengakrabi kematian. Diam-diam aku bicara
pada mati. Wahai maut kapankah kau menjemput?
Aku menebar pandang ke sekeliling ruang, dinding putih dan
lantai yang bersih. Perabot tertata rapi. Sepertinya kamar yang
menyenangkan bukan? Tapi tidak untukku. Sudah lama aku terku-
rung di sini. Terikat pada selang infus yang menggantung di sam-
ping tempat tidurku. Hari ke hari semakin lemah tak berdaya.
Tubuhku tak kuat lagi menanggung penyakit walau hasratku un-
tuk hidup tak pernah melemah.
Ingin rasanya berlarian menantang angin diluar sana. Bermain
pasir, lumpur, dan lumut di sungai. Rindu terik mentari dan sejuk
sinar rembulan. Aku ingin berkegiatan langsung di bawah langit
seperti dulu. Namun kini langit hanyalah kotak kecil dalam bingkai
jendela, yang selalu membuatku takut karena aku merasa ada suara-
suara lembut semayup yang memanggili namaku dari sana.
Sungguh aku bukanlah anak lembek yang tak bisa apa-apa
seperti ini. Dulu aku lincah ceria, aku senang bergerak dan berkeri-
ngat. Diam adalah kesia-siaan bagiku. Aku sangat menikmati men-
jadi bagian dalam tim basket sekolah. Bersama timku aku pernah

Burung-Burung Kertas 119


mempersembahkan piala kejuaraan nasional untuk sekolah. Aku
bangga dengan prestasiku. Mungkin kebanggaan itu akan terus
kumiliki andai dokter tak mendiagnosa leukimia dan memvonis
usiaku tak kan lama lagi.
Ada sesal yang mengganjal hari itu, saat aku mendengar vonis
dokter. Sebenarnya aku sudah sering merasa pusing, lemas saat
berlari. Tapi aku diam saja. Tak memberi tahu siapa pun. Sebab
aku menyukai basket lebih dari apa saja, dan tak mau berhenti
hanya karena kepalaku tak mau bekerja sama. Aku ingin memper-
sembahkan lebih banyak lagi prestasi untuk ayah, ibu, dan seko-
lahku.
Aku sedang begitu semangat mendribel bola dan bersiap me-
lompat untuk melakukan slam dunk ketika pusing itu datang tiba-
tiba. Bagai gunting tajam tak terlihat memotong benang rapuh di
kepala. Bola terhenti diujung jari. Lalu rontok jatuh bersama tubuh-
ku. Aku pingsan diantara sorak sorai teman-teman dan para guru
yang menunggu sebuah angka dari bola yang akan kumasukkan.
Pertandingan terhenti di tengah jalan. Lenyap sudah angka keme-
nangan. Tak ada lagi piala kejuaraan. Aku bahkan tak mampu
menyelesaikan pertandingan terakhirku. Andai aku mampu berta-
han sedetik lagi, sudah pasti kemenangan di pihak kami.
Ketika sadar, aku merasa tubuhku begitu lemas. Tapi aku
menggeleng ketika dokter bertanya, masih pusing? Aku berusaha
bangun, tapi tak bisa, rasanya seperti ada setumpuk batu menindih
seluruh tubuhku. Kemarin kaki ini kuat berlari keliling lapangan
kini bahkan tak bisa menyingkirkan selembar selimut dari tubuhku.
Hanya mampu bergerak lemah dan menyingkap sedikit ujung seli-
mut di bawah lutut. Saat itulah dokter melihat bercak lebam kebiru-
biruan di betisku. Aku mengaku karena jatuh saat berlatih. Karena
ingin cepat pulang, aku berbohong. Sebab aku tak mau sakit. Aku
mau bertanding basket lagi.
Tapi dokter itu orang pintar, tak mudah dibodohi. Ia meminta
izin pada ayah ibu untuk memeriksa darahku. Lalu jadilah aku
seperti ini. Teronggok lemas bagai seikat sayuran layu. Aku putus
asa.
***

120 Burung-Burung Kertas


Di luar jendela, ada bayang kecil yang memandang dengan
sepasang mata hitam. Kukira itu adalah sepasang mata kematian.
Tapi di bawah hitamnya mata itu ada sesuatu sebentuk bulan sabit
yang bersinar lembut. Aku menyebutnya senyum rembulan. Ingin
kusambut senyum itu dengan senyum juga, tapi aku sudah lupa
bagaimana cara tersenyum. Aku tak sanggup tersenyum dalam
himpitan kematian. Aku bahkan telah lama lupa warna bulan.
“Semangat pagi, Ivan!” sapa gadis dengan sepasang mata hi-
tam dan senyum rembulan. Jelas bukan malaikat maut yang datang
tapi seorang bidadari yang selalu ingin menghiburku. Tapi tak
pernah berhasil karena aku selalu dipenuhi ketegangan dan keta-
kutan pada kematian. Seperti biasa aku hanya diam.
“Turunlah dari tempat tidur, ayo kita jalan-jalan,” ia menyo-
rongkan kursi roda ke samping tempat tidur.
“Nggak mau, aku bosan dengan taman rumah sakit,” tapi ia
memaksaku. Menegakkan tubuhku dan menurunkan kedua kakiku.
“Siapa bilang ke taman, ayo kita cari suasana baru,” ujarnya
dengan wajah bersemangat. Tangannya kuat menyokong tubuhku.
Ia telah tumbuh besar kini. Bukan gadis kecil yang lemah lagi.
Sekarang ia lebih kuat dariku berkali lipat.
Wajah kecilnya menyeruak dalam ingatan yang terpotong-
potong. Dahulu ia gadis kecil yang selalu menangis ketika bermain
denganku. Ia yang selalu berjingkat berburu cahaya pagi di bawah
pohon-pohon yang jatuhkan buahnya, memunguti pecahan sawo
yang disisakan kelelawar. “Menjijikkan!” kataku waktu itu. Tapi
ia meyakinkanku bahwa buah yang termanis adalah yang dipilih-
kan kelelawar. Lalu aku akan mentertawakannya hingga ia me-
nangis.
“Mau kamu bawa ke mana aku?” tanyaku kebingungan saat
melintasi lorong-lorong rumah sakit yang asing. Aku tak pernah
sampai ke bagian ini. Jalan-jalan hanya seputar area bangsal pera-
watanku saja, paling jauh di taman depan bangsal.
“Berkunjung pada seseorang!” Ia membelokkan kursi roda
ke bangsal anak-anak. Di depan sebuah kamar kami berhenti. Ia
mengetuk pintu sebelum membukanya. Aku mengintip dari celah
pintu yang belum terbuka benar. Ada seorang anak lelaki. Dalam

Burung-Burung Kertas 121


selimut ia meringkuk, persis sepertiku. Apakah ia juga ingin abadi
dalam sekarat yang sama, atau hanya ingin bergantung semam-
punya sebelum ranting kehidupan yang terus merapuh ini patah?
“Haloo... Kak Nadia datang, bangun dong, lihat Kakak bawa
teman,” lagi-lagi ia dengan senyum rembulan dan sepasang mata
hitamnya menebar semangat. Anak lelaki itu seperti tersengat. Ia
membuang selimutnya dan tertawa. Aneh! Sudut bibirku seperti
ditarik oleh kekuatan ajaib. Aku pun ikut tertawa. Kegembiraan
anak lelaki itu seperti virus yang menular seketika. Aku tertawa!
Di saat aku tak punya rasa percaya diri, bahkan untuk bisa terse-
nyum kecil saja.
“Kenalin, ini Kak Ivan, sahabat Kak Nadia sejak kecil. Waktu
seumur kamu keluarga Kakak pindah ke depan rumahnya, jadi
deh kami bertetangga. Main bareng, sekolah bareng, ngapain aja
bareng.”
Anak lelaki kecil itu menyalamiku sambil menyebut namanya
keras-keras, “Aku Hanan, umur lima tahun. Sakit thalasemia, Kak
Ivan sakit apa?”
Ah! Ia anak yang berani. Tak takut menyebut nama penyakit-
nya, seakan penyakit itu sudah menjadi bagian dari identitasnya.
Terbata aku menjawabnya, “Leukimia.”
Aku tak pernah menyebutkannya. Bagiku, nama penyakitku
adalah nama iblis yang menyeramkan. Ia mengintai dari suatu
tempat yang tak diketahui untuk tiba-tiba datang dan mengambil
nyawaku. Kata orang menyebut nama setan itu sama saja dengan
memanggilnya. Tentu saja aku tak mau didatangi mahluk yang
paling menakutkan itu. Aku tak mau cepat mati. Tidak seperti
vonis dokter!
“Oh masih saudaraan tuh. Mia-mia juga kan?” Hanan terkekeh.
Begitu juga Nadia.
“Eh tahu nggak, Kak Ivan ini juara basket lho!” Nadia menje-
laskan pada Hanan.
“Wah keren dong, aku belum pernah main basket, nggak boleh
capek-capek sama ibu, tapi aku sering nonton di tivi. Kalau sudah
besar, aku mau jadi juara basket juga,” Hanan menatapku kagum.

122 Burung-Burung Kertas


Aku merasa malu, kami sedang berada di gerbong yang sama.
Kereta kematian yang sama. Tapi ia tak sedikit pun terlihat takut.
“Kamu kok santai saja sih, Dek? Kamu nggak takut sama...eh
penyakitmu?” tanyaku hati-hati.
“Kok nanya begitu sih, Kak? Kakak takut mati ya? Emang
mati itu kayak apa? Kata ibu, semua juga akan mati kok. Kalau
aku mati duluan, aku nunggu ibu di surga. Kalau ibu dulu, berarti
ibu yang nunggu aku di sana. Nanti kita akan berkumpul lagi di
tempat yang abadi. Yang nggak ada sakit, apalagi mati.”
Aku terkesiap mendengarnya. Ah, ia memang pemberani.
“Lalu apa yang kamu lakukan sambil menunggu waktu itu
datang?” aku bertanya lagi.
“Ya macam-macam, menggambar, mewarnai, mendengarkan
dongeng Kak Nadia. Suka-suka aja lah. Emangnya mau ngapain
lagi, yang penting berdoa saja.”
Hanan benar, apalagi yang bisa dilakukan manusia bila tahu
waktunya di dunia akan segera berakhir? Tak ada selain mende-
katkan diri pada Yang Kuasa.
“Eh Kak Ivan mau ikutan dengar dongeng Kak Nadia nggak?
Tentang kisah bangau emas.”
Aku mengangguk, menyanggupi ajakan Hanan walau aku
telah mengetahui dongeng dari Jepang itu. Di negeri matahari
terbit itu bangau emas adalah makhluk mistis yang dipercaya ber-
umur panjang. Jika kita mempersembahkan senbazuru, untaian
seribu origami burung kertas padanya, sang bangau emas akan
menganugerahi umur panjang. Nadia membawakan dongeng itu
dengan indah sehingga Hanan terbuai, begitu juga aku.
“Aku ingin buat seribu burung kertas. Ajarin bikinnya dong,
Kak, “ pinta Hanan pada Nadia. Aku terharu mendengarnya. Anak
itu menghadapi kematian yang sama sepertiku, tapi ia tak putus
harapan. Serius mengikuti petunjuk Nadia membuat origami
dengan kertas lipat warna-warni. Ia terus berusaha.
Saat malam yang lelap, seorang ibu akan terbangun jika men-
dengar anaknya menangis, dan seorang ibu akan lebih menangis
jika mengetahui anaknya tak bangun lagi. Hanan meninggal dunia
karena terinfeksi virus hepatitis yang menular dari tranfusi darah

Burung-Burung Kertas 123


orang yang tak dikenal. Ia baru menyelesaikan duaratus burung-
burung kertas. Ibu Hanan menyerahkan keduaratus origami itu
pada Nadia sebab begitulah pesan Hanan sebelum meninggal. Na-
dia memberikannya padaku. Aku pun menerimanya sebagai wa-
risan semangat. Kugantung untaian burung-burung kertas itu di
jendela. Agar ia bisa melihatnya dari langit sana. Keduaratus bu-
rung-burung yang telah mengantarkannya ke surga.
“Sebenarnya, aku ingin menceritakan sebuah kisah lagi pada
Hanan,” Nadia berucap sendu.
“Ceritakan padaku, akan kusampaikan padanya kelak di alam
sana,” Nadia memandangku haru. Matanya berkilatan embun,
yang tak lama kemudian menetes menjadi airmata.
“Kisah Sadako dan seribu burung-burung kertas,” lagi-lagi
sebuah kisah dari negeri amaterasu. Sebuah kisah nyata yang terjadi
setelah pemboman di Hiroshima. Kisah seorang gadis kecil berna-
ma Sadako Sasaki yang terpapar radiasi bom atom. Ia menderita
leukima. Sadako membuat origami seribu burung-burung kertas
namun keburu meninggal sebelum sempat menyelesaikannya. Lalu
sahabatnya menyelesaikan hingga seribu buah. Kemudian keseribu
origami burung bangau itu ikut dimakamkan bersamanya. Kini
patung Sadako menjadi simbol perdamaian di Jepang.
“Dia pun tak putus asa ya, berusaha terus sampai akhir hayat-
nya,” aku termenung sesaat, berpikir mencari hikmah di balik kisah
itu.
“Bawakan aku kertas lipat. Akan kulanjutkan burung-burung
lipat Hanan hingga seribu buah,” pintaku pada Nadia yang segera
disanggupinya.
Hari-hariku tak membosankan lagi. Kemotherapy, pengobatan
kanker yang menyakitkan menjadi teringankan. Rambutku yang
rontok, kulitku yang menghitam tak kupedulikan. Pikiranku terus
pada burung-burung itu. Bila kehabisan kertas lipat, aku akan me-
makai kertas seadanya yang bisa kudapat di rumah sakit. Kadang
dengan kertas koran atau bungkus obat yang kuminta dari suster.

124 Burung-Burung Kertas


Untaian burung-burung kertas memenuhi kamarku. Jumlah-
nya hampir seribu. Tak terasa waktu tiga bulan terlalui. Usiaku
melebihi vonis dokter. Dan aku menyadari sesuatu, bahwa untuk
melakukan hal-hal baik tak perlu khawatir akan batas usia. Yang
diperlukan hanya kemauan saja. Lakukan segera tanpa ditunda-
tunda. Dan biarkan Tuhan menentukan akhir dari segala.
Pada lipatan burung keseribu, samar kudengar kepak sayap
yang makin mendekat. Mungkin itu kepak sayap burung bangau
emas yang membawa buntalan nyawa baru. Atau kepak sepasang
sayap malaikat yang akan menjemputku.

Biodata Penulis
Beladiena Herdiani tinggal di Pogung Dalangan Sia XVI/VII No. 178. Saat ini
Bela bersekolah di MAN Maguwoharjo. Hobinya adalah memasak, menulis,
mendengarkan musik, memancing, dan membaca. Jika ingin
berkorespondensi dengan Beladiena Herdiani dapat menghubungi: HP
083867631160, twitter: @Beladieena dee, FB: Beladiena Herdiani.

Burung-Burung Kertas 125


CERITA DI RADIO
Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati

Aku melemparkan tas dan jaketku ke kasur. 14 jam di luar


rumah melakukan banyak hal tanpa berhenti berhasil membuatku
gila. Kini saatnya istirahat dan demi apapun juga aku tak mau
melakukan hal lain, selain tidur sambil mendengarkan radio.
Bantal dan radio sudah siap.
“Ternyata kita sudah punya penelepon ketiga, nih.” kata si
penyiar perempuan. Ternyata aku sudah ketinggalan. Penelepon
ketiga biasanya menjadi penelepon terakhir. Acara ini adalah acara
favoritku sejak aku SMP. Di acara ini, orang bebas bercerita tentang
apa saja. Sebagian penelepon adalah perempuan dan sebagian besar
yang mereka ceritakan adalah cerita yang menyedihkan. Mungkin
karena masalah mereka terlalu berat, jadi satu-satunya jalan adalah
bercerita.
“Langsung saja kita sapa penelepon ketiga. Halo? Halo?”
“Halo...” jawab si penelepon. Betul dugaanku. Dari suaranya
sudah terdengar jelas kalau penelepon ketiga ini adalah perem-
puan.
“Halo, mau cerita apa hari ini?”
“Besok sore itu aku menikah, Mbak.”
“Wow, senang donk? Terus apa ada masalah?”
“Sebenarnya aku masih ada yang kurang, Mbak. Aku dulu
pernah suka sama teman SD. Tapi, sampai sekarang aku belum
sempat bilang.”
“Nah, memang sampai sekarang masih ingin bilang ke teman
SD-mu itu?”

126 Burung-Burung Kertas


Aku membesarkan volume radioku. Aku juga teringat dengan
masa-masa ketika aku masih di Sekolah Dasar.
“Iya, Mbak. Itu keinginanku dari dulu. Aku ingin dia tahu
kalau aku dulu pernah suka sama dia. Cuma itu, selanjutnya ter-
serah.”
“Kenapa kamu sampai punya keinginan sekuat itu?”
“Ya karena dulu aku malu-malu. Aku baru sadar setelah SMP
kalau aku benar-benar sayang sama dia. Karena sampai saat itu,
aku masih sering kangen.”
“Oh begitu. Omong-omong, apa kalian satu kelas?”
“Kami beda kelas, tapi kelas kami berseberangan. Kami sering
duduk di dekat jendela. Jadi, kami masih bisa saling lihat dari
kelas kami masing-masing, Mbak.”
“Wah, masih SD sudah romantis ya?” si penyiar dan si penele-
pon tertawa.
“Kira-kira, menurut kamu, apa dia juga sayang sama kamu?”
“Aku rasa iya, Mbak. Waktu itu, awal kelas 6, teman sekelas-
nya bilang sama aku kalau si dia suka aku. Mulai dari itu, aku jadi
sering lihat dia dan akhirnya aku malah suka dia.”
“Awalnya malah dari dia rupanya. Terus, apa sih yang berkesan
dari dia?”
“Dia itu bandel, Mbak. Sebelum kelas 6, aku belum begitu
memperhatikan dia karena dia masuk di daftar anak-anak nakal.
Tapi, setelah aku punya sedikit rasa sayang ke dia, aku tahu kalau
dia sebenarnya anak yang baik.”
“Baik? Baik dalam hal apa?”
“Aku jadi melihat sisi lain dari dia. Kalau berangkat sekolah,
biasanya diantar ibu atau bapaknya. Dia nggak pernah lupa cium
tangan. Dia juga punya banyak teman. Sampai sekarang, aku masih
sering lihat dia, Mbak. Banyak orang mencarinya karena dia adalah
pemain biola yang tidak main-main. Aku yakin dia sudah menjadi
laki-laki hebat.”
“Kamu pasti bangga, ya. Oya, pacar kamu tahu tentang ini?”
“Tahu. Tapi untungnya pacarku juga baik sama aku. Aku cerita
semuanya ke pacarku. Tapi, kalau yang detail banget, aku nggak
cerita.”

Burung-Burung Kertas 127


“Memang detail yang mana?”
“Aku sering curi-curi pandang kalau kebetulan lihat dia di suatu
tempat. Aku pernah titip salam buat dia lewat temannya, tapi aku
nggak tahu apa salam itu sampai ke dia. Aku sering tanya ke teman-
temannya tentang dia. Aku tahu semua tentang dia, Mbak, tapi
karena teman-temannya, bukan karena dia sendiri yang cerita.”
“Separah itukah? Kamu sampai cari-cari informasi tentang dia?
Sebenarnya kenapa kamu sampai seperti itu? Apa kamu masih
kangen? Sekarang ini, perasaanmu ke dia itu seperti apa?”
Si penelepon itu terdiam beberapa saat. Aku merasa harus
mengetahui kelanjutan ceritanya. Aku tidak mengantuk lagi kare-
na aku berusaha terus terjaga supaya aku bisa mendengarkan ceri-
tanya sampai selesai.
“Halo? Halo? Masih di sanakah?”
“Halo, Mbak. Maaf, tadi ada masalah sedikit.”
“Tidak apa-apa. Balik ke pertanyaan tadi. Sekarang ini, pera-
saanmu ke dia itu seperti apa?”
“Aku merasa kecewa, Mbak.”
“Kenapa bisa kecewa?”
“Dulu kelas kami pernah dijadikan satu karena kalau nggak
salah ingat, ada sosialisai dari salah satu SMP. Dia kebetulan duduk
di belakangku persis. Kami sempat cerita-cerita bareng teman yang
lain. Dia tanya, ‘Mau lanjut ke SMP mana?’ Langsung aku jawab.
Terus aku tanya ke dia juga. Ternyata, SMP impian kami beda,
Mbak. Tiba-tiba, dia tanya lagi apa aku udah punya pacar.”
“Dan? Kamu jawab apa?”
“Aku bilang aku sudah punya pacar. Aku kecewa banget, ba-
nget, banget. Duduk di dekat dia memang buat aku gemetaran,
tapi jawabanku itu benar-benar membuatku kecewa sampai seka-
rang. Dia langsung diam, Mbak. Mungkin dia merasa sedih dan
kecewa, tapi aku lebih kecewa lagi.”
“Kalau boleh menyimpulkan, jadi kekecewaanmu itu bisa
diobati setelah kamu ketemu dan bilang ke dia kalau kamu pernah
suka sama dia. Begitu?”

128 Burung-Burung Kertas


“Iya, Mbak.”
“Kamu tadi bilang kalau besok sore kamu mau menikah?”
“Iya, Mbak. Besok aku menikah, tapi aku masih punya sesuatu
yang belum sempat aku lakukan.”
“Ya semoga ada keajaiban. Barangkali si dia lagi mendengar-
kan acara ini juga. Ada yang ingin disampaikan atau ditanyakan
kepada pendengar?”
“Ada. Boleh aku sebut nama?”
“Mmm... Boleh, tapi nama panggilan, ya.”
“...Krisna, semoga kamu mendengarkan acara ini. Masih ingat
aku? Aku Puspa. Kalau memang ada keajaiban, semoga kita masih
bisa bertemu.”
“Sudah?”
“Sudah, Mbak. Terimakasih.”
***
Aku tak lagi menghiraukan celoteh si penyiar setelah si pene-
lepon itu, maksudku Puspa, menutup teleponnya. Aku langsung
beranjak berdiri dan mengambil kunci motor.
“Krisna, mau ke mana lagi?”
“Mau ke rumah Puspa, bu.”

Biodata Penulis
Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati tinggal di Minggiran MJ II/IIIb,
Yogyakarta. Saat ini Ajeng kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Hobinya adalah menulis, membaca, travelling, bersepeda. Jika ingin
berkorespondensi dengan Ajeng dapat menghubungi: HP 085643524774,
email: gabrielle_benice@yahoo.com, FB: Gabriela Ajeng.

Burung-Burung Kertas 129


HIKAYAT BATU-BATU
Nur Cholifah

Tahukah kau kawanku, batu-batu itu tak pernah berharap


menjadi gugusan bintang yang kerlipnya tiba di matamu setelah
melewati ratusan ribu tahun cahaya. Ia mungkin pernah bergolak
di dasar gunung, juga beku di bibir kawah. Ia juga pernah jatuh
dan terbelah. Namun apapun yang terjadi batu tetaplah batu.
Batu itu kawanku, tetap berdiam di dasar arus, di antara peng-
huni sungai yang tak pernah diam. Tegak di lautan yang tak pernah
tidur. Tegar terpanggang panas kering di padang pasir yang tak
kenal hujan.
Ia diam, sabar ,dan pasrah. Selalu tenang dimana pun berada.
Tak pernah mengeluh pada segala kejadian dan tetap menerima
takdirnya sebagai batu-batu. Tak marah meski orang-orang mena-
makannya benda mati. Tak apa dipandang sebelah mata, atau pun
disebut tak berguna. Karena banyaknya, mudah ditemukan di ma-
na-mana, ia tak istimewa, keberadaan batu-batu di segala tempat
terlalu dianggap biasa. Tak luar biasa menemukannya di puncak
gunung. Tak aneh menggeletak di pantai. Namun adakah yang
berpikir bagaimana batu-batu mencapai tempatnya?
Kau boleh menyebutnya keras, tapi bukan berarti ia tak bisa
dibentuk. Lihatlah susunan batu abadi yang kau sebut sebagai
candi. Tangan-tangan indah membentuknya dengan setia. Cobalah
kau gali dasar rumahmu, maka akan kau temukan setumpuk batu
yang menjadi pondasi kehidupanmu. Batu-batu itu kawanku, tak
pernah menunjukkan dirinya. Tanpa kau minta ia akan selalu ada.
Disetiap jalanmu, di balik aspal, di kaki jembatan. Di mana saja
kau butuh penopang.

130 Burung-Burung Kertas


Batu-batu itu tak pernah berontak, walau kau menggunakan-
nya sebagai alas penajam besi. Tak mengaduh walau pisaumu me-
lukai. Ia terus mendukungmu dengan kekuatan batu-batu. Tak
lekang oleh angin dan cuaca. Kalau pun air bisa melubangi itu
butuh waktu berabad-abad. Batu-batu itu kawanku, teguh dalam
pilihannya walau ribuan arus terus menggerus.
***
Aku ingin jadi batu-batu. Namun kekerasan hatiku dianggap
kenakalan. Orang-orang menyebut kepalaku sekeras batu. Tak
mau menerima saran siapa pun meski itu orangtuaku. Ibuku marah-
marah tak setuju. Sedang ayah selalu menganggapku salah. Tapi
aku tak mau kalah. Aku bertahan seperti batu-batu!
“Mama maunya kamu masuk fakultas kedokteran, jadi dokter
itu hebat,” lagi-lagi mama berkata begitu. Lalu mencontohkan
kakak mama yang jadi dokter, kaya raya dan dihormati di mana-
mana.
“Atau fakultas ekonomi, nanti jadi dosen seperti papa. Kamu
kan anak papa, seharusnya jadi penerus papa,” buah jatuh tak kan
jauh dari pohonnya, begitu prinsip papa. Di mana-mana yang nama-
nya burung pasti beranak burung, ikan beranak ikan. Tak mungkin
kan buaya beranak cicak? Papa panjang lebar dengan analoginya.
“Tapi aku kan manusia Pa, bukan binatang. Kalau aku tak
jadi dosen seperti papa, aku kan juga tetap manusia. Apa aku jadi
anak monyet kalau aku tak jadi dosen? Kalau aku monyet, papa
juga monyet dong,” tentangku pada papa.
“Kok malah bilang papamu monyet sih!” suara mama mening-
gi. Mamaku orang yang sangat keras. Apa saja perintahnya harus
dilaksanakan. Tak ada seorang pun di rumah ini berani menen-
tangnya.
“Habis papa juga bilang aku cicak!” kemarahan mama seperti
membentur batu, aku mebalasnya lebih keras. Buah jatuh tak jauh
dari pohonnya kali ini terbukti. Aku sekeras mama.
“Kapan papa bilang begitu?” papa membela diri. “Mana mung-
kin menjelekkan anak sendiri. Kamu ini tak paham nasihat papa!”
lama-lama semakin ruwet, tak jelas ujung pangkal. Kutinggalkan
papa-mama begitu saja dengan tak sopan. Sungguh bukan maksud-

Burung-Burung Kertas 131


ku untuk kurang ajar. Tapi aku tak tahan, mama papa tak mau
mengerti aku.
Aku kelas tiga kini, sebentar lagi kelulusan. Mama ingin aku
masuk fakultas kedokteran, papa ingin aku masuk fakultas eko-
nomi, tapi aku punya pilihan sendiri. Aku ingin jadi seniman. Ku-
rencanakan untuk melanjutkan ke institut seni.
“Dasar kepala batu!” kudengar mama masih melanjutkan
omelan. Aku tak tahan! Diam-diam di tengah malam rumah ku-
tinggalkan. Mencari ketenangan.
***
Tahukah kau kawanku, kisah ikan, kera, dan pohon pisang?
Sebuah kisah sejuk yang menenangkan jiwa. Membuatmu jadi bijak-
sana. Bila kau resapi dengan saksama kau akan tahu bahwa dunia
tak hanya terdiri dari batu-batu.
Pernah ada sebuah kolam yang sejuk bening airnya, begitu
hening tanpa riak dan gejolak, sangat jernih hingga bisa kau lihat
batu-batu diam dan ikan-ikan berenang tenang. Sebatang pohon
pisang menaungi kolam dengan bentangan daun-daunnya. Mem-
berikan keteduhan pada air, ikan juga batu.
Namun suatu hari ketenangan itu tergangu oleh kehadiran
seekor kera yang segera memanjat pohon pisang dengan kasarnya.
Membuat batang pohon pisang terguncang keras. Dahan patah-
patah dan daunnya compang-camping. Penghuni kolam yang lain
tak tega melihat pohon pisang dikoyak seperti itu. Buahnya yang
kuning ranum dicabik-cabik sedemikian rupa hingga tinggal kulit
saja.
Seekor ikan emas mengeluarkan mulutnya di permukaan air,
berteriak sekencang mungkin, “Hentikan, hentikan!”
Kera mendengar teriakan itu. Ia berhenti mengoyak pohon
pisang. Memandang ke kolam, lalu menjerit panik, “Akan kusela-
matkan kau!”
Ikan emas tak mengerti bahasa kera, kera pun tak paham mak-
sud ikan. Mereka saling berteriak, sedang batu-batu di dasar kolam
tetap diam.

132 Burung-Burung Kertas


“Apa yang kau lakukan?” pohon pisang bertanya pada kera
yang mengangkat ikan dari air dan meletakkannya di atas dahan
pohon pisang.
“Kuselamatkan ia agar tak mati tenggelam,” jawab kera.
“Dan kau ikan kecil, apa yang ingin kau hentikan?” pohon
pisang bertanya pada ikan kecil yang mulai megap-megap.
“Aku ingin kera berhenti menyakitimu,” jawab ikan.
Pohon pisang menurunkan dua makhluk itu, kera ke tanah,
ikan ke air. “Tahukah kalian apa yang bagi seseorang merupakan
makanan, bagi yang lain menjadi racun? Udara adalah neraka bagi
ikan. Air adalah celaka bagi kera.”
Begitulah kawanku, apa yang menjadi napas tiap orang berbe-
da. Bahkan, matahari yang membuat elang perkasa melihat jelas,
membutakan mata seekor burung hantu. Sementara kegelapan
yang membuat dunia lelap adalah terang untuk kelelawar. Belajar-
lah dari pohon pisang yang tak merasa terkoyak oleh cabikan kera.
Sebab, ia tahu harus ada yang memakan buahnya supaya bisa ber-
guna. Pohon pisang yang bijaksana, tak kan mati sebelum menum-
buhkan tunasnya. Sementara batu-batu, ia begitu diam di dasar
kolam.
***
“Mama, papa, maafkan aku,” kucium punggung lengan mama,
papa menepuk bahuku. Kami saling memafkan kini. Telah terjalin
pengertian yang amat dalam di antara kami. Tak lagi saling ber-
keras dengan pendapat masing-masing.
“Papa tak setuju dengan cita-citamu jadi seniman sebab papa
tak suka melihat tampang seniman, gondrong, kumal, bau, mirip
orang gila. Papa ingin kamu bersih, rapi, berdasi, seperti papa
sehari-hari. Papa hanya tak mau melihat anak papa yang ganteng
menjadi jelek,” aku mengerti kemarahan papa adalah perwujudan
kasih sayang padaku.
“Sekarang zaman sudah berbeda, seniman tak lagi seperti itu.
Mereka bisa bergaya juga. Memakai jas, berdasi dengan paduan
celana jeans dan sepatu ket. Memang tak senecis papa. Tapi begi-
tulah gaya seniman yang selalu ingin tampil beda,” papa meng-
angguk. Ia menganggapnya sebagai sebuah kompromi.

Burung-Burung Kertas 133


“Mama ingin kamu jadi dokter karena mama ingin kamu
bahagia hidup sejahtera, punya nama supaya mama yakin kehi-
dupanmu kelak terjamin. Jadi mama tenang meninggalkanmu di
dunia kelak. Jangan jadi seniman, nanti tak bisa kaya,” Mama
tersedu. Jarang kudengar suara mama selembut ini. Biasanya hanya
marah dan teriak-teriak. Sungguh aku tersentuh.
“Jadi dokter zaman sekarang sama saja Ma, dokter bukan
lagi priyayi. Seniman akan punya nama jika ia terus berkarya. Tak
beda dengan dokter yang rajin bekerja. Soal miskin-kaya, itu tinggal
bagaimana kita berusaha.” Kurasakan kesejukan ayunan lembut
daun-daun pohon pisang di tepi kolam merasuki jiwaku. Aku
sejernih permukaan kolam. Mampu melihat ikan dan batu-batu.
“Baiklah, papa setuju, kau boleh jadi seniman. Silakan masuk
institut seni, tapi kau harus jadi seniman sungguh-sungguh. Jangan
cuma gaya atau tampang seniman, tapi karya tak ada.”
Aku merasa lega. Hilang sudah batu-batu yang menghimpit
punggungku. Sekarang langkah terasa ringan. Setelah kelulusan
aku tak ragu untuk mendaftar ke institut seni.
“Terimakasih, Mama, Papa,” aku bersimpuh, mengucap syukur
luar biasa. Mama-papa menerima pilihanku untuk tak menjadi pi-
lihan mereka. Aku bisa jadi diri sendiri, bebas dari bayang-bayang
orangtua.
Tahukah kau kawanku? Aku adalah aku, bukan batu-batu.

Biodata Penulis
Nur Cholifah tinggal di Jalan Kemuning No. 140 B, Sanggrahan, Condong-
catur, Depok, Sleman. Saat ini Olif bersekolah di MAN Maguwoharjo, Sleman.
Hobinya adalah membuat kolase, membaca, menulis, travelling,
mendengarkan musik, fashion photography, menyanyi, dan bermain basket.
Jika ingin berkorespondensi dengan Olif dapat menghubungi: HP
089647950078, twitter: @olivianast. FB: oliv on oiiv II.

134 Burung-Burung Kertas


KEGELAPAN YANG MENGINTAI
Ratu Pandan Wangi

Kalau seorang malaikat jatuh dari langit, tentu dia berwujud


lelaki baik hati, berpenampilan rapi, berambut hitam halus dan
berusia dua puluh tahun. Lebih spesifik lagi, tentu namanya Pandu.
Teman dekatku itu memang perangainya pantas disandingkan
dengan malaikat. Namun hari ini tak ada kedamaian pada dirinya.
Sudah setengah jam dia mengaduk-aduk teh dengan gelisah dan
bungkam seribu bahasa. Ketika akhirnya dia membuka mulut, ter-
ucaplah sesuatu yang absurd, “Ajari aku jadi orang jahat seper-
timu.”
Aku terperangah. Pandu dan kejahatan sama sekali tak bisa
dihubungkan. Selama sepuluh tahun berteman dengannya, aku
mengenal dia sebagai orang baik-baik. Keluarganya tak kaya. Na-
mun dia dirawat dan dididik dengan telaten oleh orang tuanya.
Tak heran Pandu menjadi anak yang sopan. Dia juga kerap meraih
juara kelas. Namun anak itu tak lantas menjadi sombong. Dia mau
mengajari anak-anak lain yang tak sepandai dirinya. Katanya, ilmu
tak berguna apabila tak dibagi dengan orang lain.
Sekarang Pandu kuliah di jurusan bisnis. Kemampuannya da-
lam bidang itu memang menonjol. Dia juga aktif dalam organisasi
dan sering dipercaya sebagai pemimpin. Dengan segala kelebihan
itu, tak heran Pandu disukai para gadis walaupun wajahnya tak
terlalu menarik—matanya terlampau sipit dan dahinya menonjol,
sedang alisnya tumbuh jarang-jarang. Namun keunikan itu justru
memesona Linda, gadis yang dijodohkan dengannya.
Hal yang paling mencolok dari Pandu adalah jiwa sosialnya.
Dia peka pada keadaan sekitar, bahkan cenderung melankolis.

Burung-Burung Kertas 135


Seringkali dia berempati dan menanggung penderitaan yang bukan
miliknya. Dia pun kerap menjadi sukarelawan. Terkadang aku
melihatnya di posko gawat darurat sedang menyalurkan bantuan,
atau di panti werda sedang menyuapi manula. Dia juga perhatian
pada teman, tetangga, bahkan orang-orang yang baru ditemuinya.
Singkatnya Pandu bagaikan malaikat yang menebar kebaikan di
mana-mana.
Lantas mengapa dia minta kuajari jadi orang jahat? Ketika
kulontarkan pertanyaan itu padanya, dia menghela napas berat.
Baru kusadari wajahnya pucat dan matanya memerah karena ku-
rang tidur. Air mukanya pun segelap awan di luar sana. Tampaknya
hujan akan turun, tetapi kami aman di kedai minum ini.
Pandu berkata lirih, “Noel, maaf karena telah menyebutmu
orang jahat. Tapi aku tak tahu sebutan yang lebih pantas dari itu.
Kau kaget kan kenapa tiba-tiba aku jadi lancang? Sebetulnya dari
dulu aku sudah begini, tapi hanya kusimpan dalam hati. Sekarang
aku berbaik hati membaginya pada orang-orang. Kau yang per-
tama...”
Aku tak keberatan disebutnya orang jahat. Kenyataannya
memang begitu.
“Selama ini bagaimana pendapatmu tentangku, Noel?” tanya-
nya. Aku menjawab bahwa dia orang paling baik yang pernah
kutemui dan bahwa hidupnya sempurna. Namun lelaki itu malah
tertawa. Katanya, “Ya, hidupku memang sempurna... tapi hanya
di permukaan. Aku sudah capek berpura-pura.”
Pandu pun mulai bercerita.
“Kau ingat Linda, bukan?” tanya Pandu. “Dia tetanggaku sejak
dulu. Orang tua kami bersahabat dan menjodohkan kami saat
kecil.”
Aku beberapa kali bertemu dengannya. Linda adalah gadis
mungil berwajah manis. Namun sifatnya agak galak. Dia juga se-
olah tak bisa berhenti bicara. Namun Pandu sangat sabar mengha-
dapinya. Saat kecil, dia mau saja diseret Linda untuk main masak-
masakan. Saat remaja, kelihatannya dia sampai tuli karena mende-
ngarkan gadis itu bergosip tentang segala sesuatu. Sekarang pun
Pandu masih direpotkan oleh Linda. Dia sering mengantar dan

136 Burung-Burung Kertas


menjemputnya ke mana-mana, membantunya mengerjakan tugas
kuliah dan sebagainya. Namun dia melakukannya dengan senang
hati.
Kelihatannya Pandu sangat menyayangi Linda. Aku tak tahu
bagaimana dengan Linda, mungkin dia juga mempunyai perasaan
yang sama. Namun mereka berdua tak pernah berpacaran. Hanya
terus-menerus bersama tanpa ikatan. Bagaimana jika Linda direbut
lelaki lain? Aku pernah menanyakan itu pada Pandu, tetapi dia
hanya tersenyum. Katanya dia tak khawatir sebab dia percaya
pada Linda.
Sekarang Linda kuliah di jurusan kecantikan kulit. Dia memang
menyukai segala sesuatu tentang kecantikan. Gadis itu pun bercita-
cita mempunyai salon sendiri. Pandu setuju, katanya dia akan mem-
bantu pemasaran dan pengelolaan keuangannya. Mereka akan
menjadi sepasang suami istri yang saling mendukung. Kedengaran-
nya sungguh sempurna.
“Hubunganku dengan Linda sama sekali tak sempurna,” kata
Pandu menyela lamunanku. Dia terlihat sedih sekaligus geram.
“Apa yang terjadi?”
Pandu menghela napas panjang. Dia bercerita bahwa sebelum-
nya dia hendak melamar Linda setelah mereka lulus kuliah. Berarti
dua tahun lagi. Pandu pun menyiapkan diri untuk hidup berkeluar-
ga, terutama dalam hal keuangan. Kelak dia harus bisa menafkahi
keluarganya. Maka Pandu mencari peluang-peluang bisnis. Kebe-
tulan teman satu jurusannya, Joni, juga hendak memulai usaha.
Mereka pun bekerja sama menjadi distributor makanan. Namun
hanya makanan-makanan unik seperti keripik rumput laut, permen
pedas dan sebagainya. Mereka membeli makanan-makanan itu
dalam jumlah besar lalu menjualnya di kampus. Cukup banyak
yang tertarik.
“Bisnis kami makin lama makin berkembang,” komentar Pan-
du. “Aku dan Joni bekerja makin keras. Kami pun menjadi teman
dekat.”
Aku pernah bertemu sekali dengan Joni. Dia bertubuh jang-
kung, gerak-geriknya luwes dan seulas senyum selalu tersungging
di wajahnya yang tampan. Katanya dia seorang pekerja yang efi-

Burung-Burung Kertas 137


sien. Begitu tercetus ide untuk melakukan sesuatu, dia akan lang-
sung melakukannya, dan seringkali tindakannya tepat. Dia tak
suka terlalu banyak berpikir seperti Pandu. Namun perbedaan
itu justru makin mengakrabkan mereka berdua.
Suatu hari Pandu mengenalkan Joni pada Linda. Mereka lang-
sung akrab. Pembawaan Joni yang cerdas bisa mengimbangi kece-
rewetan Linda. Pandu pun senang karena dua orang yang disa-
yanginya ternyata cocok.
“Tapi mereka terlalu cocok,” kata Pandu muram. “Mereka
jadi sering bertemu tanpa aku. Linda pun jarang mengobrol
denganku lagi. Dia bahkan seolah lupa padaku... Begitu juga Joni,
dia berlagak tak tahu bahwa Linda sudah dijodohkan denganku.
Aku berusaha menghalangi-halangi mereka, tapi tak bisa... Dan
akhirnya, yah, kau pasti bisa menebak.”
Aku melihat amarah perlahan-lahan merasuki Pandu. Wajah
dan telinganya merah padam. Urat-urat lehernya menegang. Ke-
dua tangannya terkepal dan gemetaran.
“Pandu,” panggilku pelan, “kau baik-baik saja?”
“Aku tak baik-baik saja!!” teriak Pandu. Beberapa pengunjung
kedai menoleh ke arah kami. Namun Pandu tak peduli, amarah
telah membutakannya. Selama ini dia hampir tak pernah marah,
tetapi begitu terjadi...
BAM! Kepalan tangan Pandu memukul meja kami, membuat
teh tumpah dari cangkir-cangkir. Dengan desisan mengerikan dia
bicara, “Linda mengkhianatiku, Noel. Setelah semua yang kulaku-
kan untuknya! Kata dia, aku membosankan karena tak pernah
menyulut masalah dalam hubungan kami. Dasar gadis aneh! Joni
juga, tega-teganya dia melakukan itu padaku...”
Dari dulu aku memang curiga pada Joni. Tingkah lakunya
terlalu hati-hati dan tertata, seolah penuh kepalsuan. Sedangkan
Linda, sebenarnya aku pun tak suka pada dia. Sebab matanya
seringkali jelalatan kalau melihat lelaki lain. Barangkali diam-diam
dia menjalin hubungan dengan mereka. Namun tentu saja Pandu
tak menyadari kekurangan Linda dan Joni, sebab dia terlalu me-
nyayangi keduanya. Setelah dikhianati seperti itu pun pasti dia
memaafkan mereka.

138 Burung-Burung Kertas


“Jadi apa yang akan kau lakukan?” tanyaku, sekadar memas-
tikan.
“Sebetulnya aku sudah melakukan banyak hal,” kata Pandu.
Tiba-tiba aku melihat emosi yang tak pernah ada di wajahnya:
kelicikan.
“Kau tahu kenapa aku berteman denganmu, Noel, padahal
kita begitu berbeda?” bisik Pandu. “Kau begitu suka berbuat onar
dan berkecimpung di dunia hitam. Tapi aku memercayaimu. En-
tahlah, aku merasa bahwa sebenarnya kau orang baik. Buktinya
kau selalu memberiku nasihat supaya berhenti jadi orang naif.
Aku tak pernah mematuhinya, bukan?”
Kelicikan di wajah Pandu makin lama makin nyata. Dia pun
berbisik makin pelan, “Kau pasti tak percaya, tapi akhirnya aku
mematuhi nasihatmu baru-baru ini.”
Rupanya Pandu melancarkan aksi balas dendam! Rasa benci-
nya pada Linda dan Joni membesar seiring berjalannya waktu.
Begitu dia memutuskan untuk balas dendam, alangkah dahsyat
rasa benci yang membludak dari hatinya.
“Aku mulai dengan Joni,” kata Pandu lirih.
Kebetulan Pandu memiliki teman seorang ahli komputer. Disu-
ruhnya masuk ke sistem komputer kampus secara ilegal. Lantas
mengubah sana-sini dan membuat bukti palsu bahwa Joni curang
dalam ujiannya. Bukti itu demikian meyakinkan hingga para dosen
percaya. Joni pun diberi sanksi keras. Bahkan izinnya untuk berbis-
nis di kampus dicabut.
“Menyenangkan sekali membuat Joni menderita,” kata Pandu
sambil terkekeh. Namun aku melihat tangannya agak gemetar.
Diam-diam mungkin Pandu merasakan sakit yang sama dengan
Joni, setelah melukainya seperti itu.
“Masih ada Linda,” ujarku, “apa yang kau lakukan padanya?”
Sisi gelap Pandu kembali bangkit. Matanya menyorotkan
kebencian yang amat sangat. Dia berkata bahwa Linda menyakiti
hatinya lebih parah daripada Joni. Pandu memang tampaknya
sangat mencintai gadis itu.
Salah satu hal yang disukai Pandu dari Linda adalah kecan-
tikannya. Gadis itu memang gemar berdandan. Dia kerap merawat

Burung-Burung Kertas 139


wajah, rambut dan tubuhnya dengan berbagai produk kecantikan.
Pandu pun memanfaatkan kebiasaan itu.
Kiriman produk kecantikan untuk Linda diakali. Dengan
bantuan seorang kenalan, Pandu berhasil memperoleh bahan kimia
keras yang wujudnya tak mencolok. Dicurinya paket masker wajah
untuk Linda. Dicampur dengan bahan kimia tadi lalu dikembali-
kan. Linda tak menyadarinya. Dia mengoleskan bahan kimia itu
di wajahnya. Selang beberapa jam, kulitnya menjadi sangat panas
seolah terbakar. Wajahnya pun memerah, melepuh, bahkan kulit-
nya terkelupas sana-sini.
“Dia sekarang tak cantik lagi!” seru Pandu sambil terbahak.
“Kudengar kerusakan wajahnya parah. Bahkan mungkin tak bisa
diperbaiki dengan operasi plastik. Rasakan itu, Linda! Sekarang
tak akan ada lelaki yang mau denganmu!”
Aku tak percaya kalau orang di depanku ini Pandu. Dulu dia
begitu memuja Linda dan memperlakukannya dengan hati-hati.
Dia kerap memuji betapa indahnya rambut gadis itu kalau digerai,
betapa halus dan putih kulitnya. Namun sekarang dia merusak
keindahan Linda dengan tangannya sendiri.
Pandu masih terbahak. Serunya, “Rasakan itu! Salah sendiri
kalian mengkhianatiku, Linda, Joni... Kalian pikir aku tak bisa
marah, tapi ternyata bisa kan...”
Aku hanya mengangguk.
“Noel, aku muak jadi orang baik!” kata Pandu. “Selama ini
aku mengira, kalau aku berbuat baik maka orang-orang akan
begitu juga padaku, tapi...”
“Kau salah besar.”
“Ya!” timpal Pandu geram. “Karena itu ajarilah aku jadi orang
jahat, Noel! Aku ingin membalas dendam lebih banyak lagi pada
Linda dan Joni.”
“Kau serius, Pandu?”
“Tentu saja,” jawabnya. Namun ada keraguan dalam suaranya.
“Dan aku... Aku tak akan memercayai siapapun lagi...” Pandu terus
berbicara, namun kata-katanya makin lirih. Akhirnya berhenti
sama sekali.

140 Burung-Burung Kertas


Temanku itu menunduk. Kedua tangannya menutupi wajah.
Tubuhnya bergoncang-goncang dan isakan keras pun terdengar.
Suaranya seperti rintihan hewan buas yang terluka. Entah rasa
sakit macam apa yang merobek hatinya. Pandu pun menangis,
menangis, dan terus menangis. Mungkin menangis karena di-
khianati. Mungkin menangis karena menyesal. Mungkin menangis
karena... entahlah.
Beberapa lama kemudian Pandu mencari saputangan di saku-
nya. Disekanya air mata dengan saputangan itu. Lalu menoleh
padaku dan berkata, “Maaf, aku permisi sebentar ke kamar kecil.”
Aku pun sendirian. Kuminum tehku yang telah lama dingin.
Lalu terlihat olehku dompet Pandu di atas meja. Dia mengeluar-
kannya saat mencari saputangan, tetapi lupa menyimpannya lagi.
Aku pun meraihnya. Ada uang beberapa ratus ribu rupiah di sana.
Kuambil semua uang itu, lalu cepat-cepat keluar kedai. Aku sedang
butuh uang.

Biodata Penulis
Ratu Pandan Wangi tinggal di Jalan Lowano, Gang Dahlia UH VI/686 D,
Sorosutan, Yogyakarta. Saat ini Pandan kuliah di Jurusan Sastra Prancis,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca,
melukis, bermain teater, dan bermain musik. Jika ingin berkorespondensi
dengan Pandan dapat menghubungi: HP 085743655818, email:
ratupandanw@gmail.com, FB: Ratu Pandan Wangi, twitter: @pandanw.

Burung-Burung Kertas 141


KISAH PAGI DAN
KAU YANG KUPANGGIL TUAN
Galih Pangestu Jati

Tuan, harapanku telah berpendar. Menyebar bersama helaan


nafas yang penuh dengan cemas dan rindu. Aku tak punya lagi
yang namanya harapan. Bukannya aku tak percaya, ataupun aku
telah putus asa, tapi kenyataan memang demikian. Waktu mela-
rangku untuk menaruh beberapa potong harapan padamu seperti
setiap pagi aku menaruh sepotong panekuk pada piringmu. Atau
menuangkan harapan padamu seperti aku menuangkan kopi pada
cangkirmu.
***
“Tok… Tok… Tok…” Pagi ini embun belum sempat turun.
Udara dingin masih menyelinap pada celah-celah dinding rumah,
lalu dengan halus dan sangat pelan menusuk dengan bengisnya
pada setiap pori tubuhku. Tapi tiga ketukan pintu telah terdengar.
Setan! Aku tak bergegas. Masih bertahan dengan tidur yang ha-
nyalah sebuah kepura-puraan untuk menutupi kemalasan.
Setelahnya, tidak ada suara. Hanya ada derit pintu pelan dan
langkah yang nyaris tanpa terdengar. Rasa penasaranku menye-
ruak, mengalahkan dingin yang sudah mulai pudar. Aku melang-
kahkan kaki menuruni ranjang menuju ruang makan. Kulihat Ibu
sedang berkasih-kasihan dengan seseorang, bukan Ayah, tapi kau,
Tuan. Matanya penuh dengan binar yang tak pernah kutemukan
ketika berbincang denganku, atau dengan Ayah. Begitu teduh,
tapi nampak liar dan nakal.
“Kamu sudah bangun?” Ucap Ibu dengan segala kegagapan
ketika sudah menyadari aku berdiri di sampingnya. Aku hanya
diam dengan penuh keheranan.

142 Burung-Burung Kertas


Saat itulah aku pertama kali melihatmu, Tuan. Dan terlibat
dalam satu pertemuan dimana kata orang adalah hal yang selalu
dinantikan, yang tanpa dirasa mengandung berbagai harapan,
meski nanti pasti tahu akan berakhir pedih dalam perpisahan. Kau
mengulurkan tangan padaku dengan senyum yang hangat dan
mengembang. Sungguh begitu menawan, Tuan. Menenangkan.
“Siapa namamu, Nak?”
“Rukmini”
Kau tersenyum mendengar namaku, Tuan. Dan aku merasa
kesal. Kau pasti menertawakan namaku yang tidak semodern Jean,
Kate, Montana atau apalah itu. Aku menunduk, tapi kau malah
mengangkat daguku pelan sambil menyunggingkan senyum itu
lagi.
“Kamu tahu, siapa Rukmini?” tanyamu Tuan. Dan aku hanya
bisa menggeleng pelan. Kau berkata Rukmini itu putri Raja Bisma-
ka dari Kerajaan Widarba. Ia adalah penjelmaan dari Dewi Laksmi,
dewi Kemakmuran dan Kekayaan. Dia adalah istri Kresna, jelmaan
dari Dewa Wisnu. Seketika aku merasa bangga oleh namaku karena
ceritamu itu, Tuan. Tapi itu hanya sebuah dongeng, dipaidho keneng1.
Setelahnya kau berusaha mengakrabkan diri denganku tanpa
kutahu apa motifmu di balik itu. Kau bercerita apa saja tentangmu.
Tidak berlebihan, dan tidak membual. Tidak seperti Ayah yang
kerap membanggakan diri sebagai pemburu dengan menunjukkan
berlembar-lembar foto hasil buruannya yang entah asli, entah di-
ambil dari internet karena aku sendiri tak pernah melihat Ayah
pulang dengan membawa seekor pun hewan yang ada pada foto
yang dipamerkannya.
Tak terasa matahari sudah mulai naik. Hangat kopimu bahkan
telah menguap. Aku menawarkan lagi untukmu satu cangkir kopi
panas baru. Tapi kau kelihatan sudah tiada berselera lagi untuk
mencoba meneguknya. Kau malah mengecup keningku pelan. Mem-
buatku merasa limbung, Tuan. Tapi aku tidak jatuh. Jatuh hanya
akan menumbuhkan keangkuhan pada benakmu karena merasa
berhasil bisa melakukan penaklukan. Dan aku tak mau itu.

1
Bisa disangkal

Burung-Burung Kertas 143


“Aku hanyalah secercah embun, Nak. Datang sesaat sebelum
kerontang menguapkan aku. Kalau aku mampu, aku ingin meng-
hentikan waktu, agar aku bisa lebih lama datang padamu. Tapi
sayang, aku harus segera pergi, sekarang.” Dengan sunggingan
senyum yang masih menempel pada bibirmu, kau berbalik menuju
Ibu, Tuan. Kemudian kau kecup kening Ibuku dengan khidmat
dan pergi menuju pintu.
***
Setelah pagi itu, pagi-pagi seterusnya aku selalu menunggu
Tuan untuk datang bertandang. Setiap pagi sebelum azan subuh
berkumandang--bahkan sebelum Ibu bangun--aku telah berke-
cimpung di dapur membuat beberapa buah panekuk untuk Tuan.
Entah rasanya seperti apa, tapi kau tetap berusaha menikmati dan
melahapnya, Tuan.
“Ketika aku memakan panekukmu, aku seperti merasakan
panekuk dari The Original Pancake House. Apa kau terbang ke sana
dan mencuri beberapa potong panekuk semalam buatku? Atau
lebih parahnya kamu mencuri resep di sana mengendap-endap
seperti plankton yang berusaha mencuri resep di Krusty Krab?”
Pujimu dalam lelucon yang kau keluarkan dari mulutmu yang tetap
mengulum senyum, Tuan.
“Tuan pandai membuatku besar kepala,” jawabku singkat
dengan rasa senang yang begitu merekah. Merasa bangga bisa
menyenangkanmu hanya dengan adonan berisi terigu, susu, telur,
baking powder, vanili, dan gula yang di panggang di atas wajan
ceper lalu disajikan dengan madu.
Lalu setelah menikmati panekuk buatanku, kau harus memba-
yar dengan mendongengkanku sampai waktumu habis, dan berla-
lu. Beberapa dongeng yang belum pernah aku dengar kau bawakan
dengan rangkaian kata dan nada yang tepat, kadang turun kadang
naik, kau begitu mampu membuat emosiku turun naik mengikuti
alur dongenganmu. Dan itu yang selalu aku rindukan darimu,
Tuan. Itu yang membuatku selalu ingin menahanmu ketika kau
harus segera pergi. Tapi kau selalu menenangkanku dengan janji-
janji akan kembali esok nanti.

144 Burung-Burung Kertas


Tapi sering pula kau membuatku kecewa. Tidak semua pagi
kau datang. Beberapa pagi kau mangkir dari janjimu, Tuan. Entah
karena pagi tak mengizinkanmu atau alasan lain yang selalu kau
sembunyikan dan tak mau membaginya padaku.
“Tidak semua yang terjadi bisa dijelaskan dengan kata-kata,
Nak. Nanti dulu, biarkan saja itu menjadi sebuah pertanyaan hingga
waktu bersedia menjelaskannya padamu.” Jelasmu, Tuan.
Ada beberapa pagi yang bukan kau, tapi Ayah yang datang
ke rumah. Ia datang setelah beberapa hari bahkan kadang bebe-
rapa minggu tidak pulang, Tuan. Entah ke mana aku pun tak tahu.
Seperti yang selalu dibanggakannya, katanya Ayah berburu dan
banyak menghabiskan hari-harinya di hutan bersama hewan dan
kawan-kawannya. Ketika pulang, dia hanya tidur seharian. Tak
ada dan tak mau bercengkrama denganku ataupun Ibu, apalagi
mendongeng seperti yang selalu kau lakukan padaku. Dia begitu
dingin. Aku merasakan kesepian. Ibu pun begitu, ada raut sedih
yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata pada raut mukanya.
Aku juga kerap merasa iri ketika melihat teman sepermainanku
bercengkrama dengan Ayahnya masing-masing. Mereka kerap
dijemput di gerbang sekolah dengan raut muka bahagia. Lalu me-
reka akan dibelikan eskrim atau mainan yang mereka inginkan.
Sedangkan aku?
Pernah sekali aku protes pada Ayah kenapa dia lebih suka
tidak berada di rumah dan menghabiskan waktu bersama yang
katanya binatang di hutan daripada dengan anak istrinya sendiri.
Dia malah memasang wajah yang geram dan langsung mendarat-
kan tamparan pada pipiku. Begitu sakit dan perih, Tuan. Mulai
saat itu aku membencinya. Ketika dia pulang aku tak pernah lagi
bicara padanya, Ayah pun juga tak pernah ada niat berbicara
denganku.
***
Lama-lama aku merasa ada rasa yang tak bisa diberi nama.
Bagaimana sesuatu yang secara sadar dirasakan memang ada yang
salah, dinikmati dan begitu menggiurkan, lalu menimbulkan rasa
nyaman. Bodohnya aku masih terlalu polos dan mudah terlarut
di dalamnya. Aku membiarkan sebuah dosa lesap bersama do-

Burung-Burung Kertas 145


ngeng-dongengmu yang selalu aku tunggu dan bersama pagi yang
selalu mampu mengobati rasa sepi. Dan itu tidak hanya sekali
dua kali, tapi berulang kali ketika kau datang ke mari, Tuan. Pa-
dahal seharusnya dari awal aku harus curiga tentangmu, tentang
Ibu dan tentang pagi. Di balik semua itu tanpa kusadari ada sebuah
khianat yang dengan sengaja diendapkan. Sebetulnya aku tak bo-
leh diam, tapi ternyata dendam lebih keparat. Ia mampu mem-
bungkamku dari semua ini. Tak berlangsung lama, hingga pada
suatu pagi ketika hari masih nampak gelap, semua itu terungkap
meski pekat masih berusaha mengaburkannya.
Pagi itu kau telah datang, Tuan. Kau hendak pergi, seperti
biasa sedang mengecup kening Ibu mesra. Lalu pintu terbuka,
udara dingin seketika masuk menusuk setiap pori dan menggelitik
lubang hidungku. Sesosok bayangan berdiri di ambang pintu. Dari
potongan tubuhnya aku sudah hafal, Ayah. Lalu dia berjalan meng-
hampirimu dan Ibu. Aku masih duduk di meja makan dengan
mulut yang tak sadar telah menganga menyaksikan gerak-gerik-
nya. Ibu tampak terperanjat dan mulai menampakkan muka yang
pucat. Tidak ada suara, sunyi.
“Plakk…!!!”
Terdengar tamparan keras. Aku melihat tamparan keras men-
darat di wajah Ibu. Ia pun tersungkur di lantai.
“Biadab! Aku suruh kau menjaga istri dan anakku, bukan aku
suruh kau untuk menikmatinya!” suara Ayah keras kepadamu,
Tuan. Kalian terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran dua orang
laki-laki dewasa.
“Tolong! Tolong!” teriak Ibu dengan tangis yang menjadi-
jadi. Seketika para tetangga berbondong-bondong datang ke ru-
mah. Mereka berkerumun berusaha melerai pertengkaranmu de-
ngan Ayah, lalu membawa Ayah keluar entah ke mana. Aku meng-
hampirimu dengan segala keberanian yang berusaha aku kum-
pulkan. Kulihat kau telah jatuh tersungkur dengan leleran darah
yang mengalir pada kepala yang telah retak. Matamu telah tertutup,
dan napasmu satu-satu.
“Tuan!!” rintihku pelan.
***

146 Burung-Burung Kertas


Ini pertama kali dan mungkin terakhir kali aku datang ke
rumahmu, Tuan. Di sini aku tidak akan memaksamu memakan
panekuk buatanku, atau menyiksamu untuk terus memutar otak
memberikan dongeng-dongeng baru untukku. Tapi sangat seder-
hana. Aku hanya ingin melihat tubuhmu untuk terakhir kalinya
sebelum tanah menyentuhmu dan kemudian menenggelamkanmu
dengan semena-mena.
Kini kulihat tubuhmu telah kaku dengan kepala yang retak
dan beberapa lebam biru pada wajah, ujung mulut, dan pada bebe-
rapa bagian tubuhmu. Bau anyir darah sudah tak tercium lagi.
Aku ingin mendekat, mengecup tanganmu yang dulu sempat kuta-
ruh beberapa lembar harap, tapi tak bisa. Perempuan dan beberapa
tuyul-tuyul kecil di sekelilingmu yang sedang meraung-raung itu,
mungkin tak akan pernah mengizinkannya.
Aku mulai paham, khianat memang nikmat namun kuyakin,
itu hanya untuk sesaat, bukan? Sekarang, kesepian telah menunggu-
ku lagi sepulang dari sini. Dia akan menungguku seperti dahulu
aku menunggumu datang ketika pagi belum terang.
“Rukmini!”

Biodata Penulis
Galih Pangestu Jati tinggal di Cenangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Saat
ini Galih kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya
adalah membaca, menulis, dan nonton film. Jika ingin berkorespondensi
dengan Galih dapat menghubungi: HP 081390028378, email:
gpangestujati@gmail.com, twitter:@pangestujati.

Burung-Burung Kertas 147


KUPU-KUPU SEGERA TERBANG
Primadita Herdiani

Apa salahku padamu? Aku lahir dan tumbuh di dunia yang


sama denganmu. Tidak makan kembang atau batu. Bernapas
dengan oksigen sepertimu. Kulitku, rambutku, serupa denganmu.
Aku juga anak Adam dan Hawa, sari pati tanah surga. Lahir dari
buah cinta yang sama. Tak ada beda. Tapi mengapa kau menyi-
kapiku lain, hanya karena aku tak sesempurna dirimu?
Tahukah kau? Bagiku, sempurna adalah kata yang menyakit-
kan, seperti tombak yang menusuk di ulu hati. Selalu menjadi
alasan untuk memandang rendah padaku. Bagaimana bila di balik,
sempurna adalah aku dan cacat adalah kau, akankah kau tetap
memandangku begitu? Dengan wajah sinis, karena mengira aku
tak mampu. Atau dengan tatap kasihan, karena berpikir aku patut
dikasihani. Sesungguhnya, aku pun punya kemampuan yang sama
denganmu, hanya saja kemampuanku masih terkungkung dalam
penjara kata-kata. Yang terus-menerus kuberjuang untuk menem-
busnya.
Kuakui kadang aku frustrasi. Sulit untuk membuat orang me-
ngerti isi hati. Ibu yang melahirkanku pun pernah kubuat mena-
ngis karena marahku yang berlebihan. Aku mengamuk memecah-
kan barang-barang. Tangan ibu sampai berdarah, terluka oleh pe-
cahan kaca. Aku menyesal melihatnya, tapi saat itu hatiku pun
sedang berdarah-darah. Terluka oleh keadaan diriku sendiri.
Aku tak bermaksud melukai ibu atau merusak apa-apa. Hanya
saja rasanya sangat menjengkelkan bila tak ada seorang pun bisa
mengerti apa yang dimaksud. Padahal aku hanya menginginkan
sesuatu yang sederhana saja. “Ibu aku ingin makan apel” tapi ibu

148 Burung-Burung Kertas


memberiku jeruk. “Ibu aku mau pakai baju merah” tapi ibu me-
makaikanku baju biru. Kekurangan itu membuatku tak bisa me-
nyampaikan pikiran, keinginan, juga perasaan. Belum sekalipun
kukatakan, “aku mencintaimu ibu”, sebab tak kutahu cara menyam-
paikannya. Aku pun tak ingin selalu marah, sebab marah hanya
membuat semakin lemah.
Tapi beginilah keadaanku, terlahir sebagai tunarungu. Dunia
membisu padaku. Sedikit pun tak kudengar bunyi-bunyi. Bumi
sunyi sepi. Tak pernah ada suara desau angin, gelegar petir, rintik
hujan menerpa jendela, juga nyanyian jengkerik. Angin hanyalah
sesuatu yang bertiup menggoyang rambutku. Petir, kilatan sinar
di langit yang menyilaukan mata. Hujan adalah air yang jatuh
dari langit. Dan jengkerik, aku bahkan belum pernah melihatnya
secara nyata. Ia selalu sembunyi, dalam lubang tanah atau di balik
rerumputan. Indraku yang tak lengkap tak mampu menemukan
sarangnya, walau ibu bilang banyak di halaman.
Kau selalu menertawakanku, menjadikanku bulan-bulanan
ejekan yang tak bisa kudengar namun sangat tajam kurasakan.
Begitu menusuk! Kau menganggapku bodoh dan tak bosan mem-
permainkan. Bertubi-tubi memancing kemarahanku dengan
sesuatu yang tak kupahami.
“Nana budeg...Nana budeg...” mulutmu bergerak-gerak, li-
dahmu menjulur-julur, wajahmu sangat tak menyenangkan. Kau
berjalan mengikutiku dengan kaleng rombeng yang dipukul-pukul
tepat di depan mukaku. Membuatku risih, terhalangi pandangan.
Kau sangat mengganggu. Kalau aku berlari kau pun berlari, kalau
aku sembunyi kau akan mencari. Aku seperti tikus kecil buruan
yang hidup tak aman karena kejaran kucing pengejek sepertimu.
Lain waktu kau membawa plastik gembung penuh udara yang
kau tiup dengan mulutmu. Lalu saat aku lengah kau akan meng-
endap dari belakang dan meledakkannya tepat di samping teli-
ngaku. Aku menangis, bukan karena terkejut tapi lagi-lagi karena
wajahmu yang begitu mengejek. Kau selalu saja tertawa di atas
tangisku.
“Dasar budeg!” lalu kau berlalu. Kembali ke rumahmu. Mung-
kin bagimu aku hanyalah mainan kesukaan yang selalu kau per-

Burung-Burung Kertas 149


mainkan sepulang sekolah. Bertahun semua dera hina darimu
kutahan sendiri. Sampai suatu hari ibu pulang kerja lebih pagi.
Menemukanku sedang dalam bulan-bulananmu. Ibu mengusirmu
pergi dengan gagang sapu di tangannya. Kau tak pernah datang
kembali. Tapi aku telanjur menjadi tikus kecil yang gemetar dan
tak sanggup keluar dari liang persembunyiannya.
Aku tak berani. Kehilangan percaya diri. Kupilih meringkuk
dalam gelap kamarku. Kadang dari kegelapanku kulihat ibu me-
nangis. Lagi-lagi aku membuat satu-satunya orang yang kucintai
itu menangis. Ia pasti sedih sekali, andai ada ayah pasti tak sesulit
ini. Sayang, ayah dipanggil Tuhan lebih dulu dari kami. Aku me-
rasa sangat bersalah. Menyesal, kenapa aku harus dilahirkan? Un-
tuk apa? Hanya untuk menyusahkan ibu atau dihina olehmu? Tuhan
adakah Kau dekat? Aku pun menangis, dalam sunyiku yang sema-
kin gelap.
Dalam keremangan hari-hari, aku sering berkhayal, seandai-
nya semua orang di dunia sepertiku. Kamilah yang normal, kau
dengan segala kesombonganmu adalah kecacatan. Apa yang akan
terjadi? Kau berteriak-teriak sendiri. Tak ada yang mendengarmu,
kau akan dianggap aneh sebab mulutmu mengeluarkan suara-suara
yang tak dimengerti siapa pun. Aku akan habis-habisan menerta-
wakanmu. Memperlakukanmu sama seperti kau memperlaku-
kanku. Sebab kau berkelakuan aneh. Suka bicara sendiri, dengan
bahasa yang tak perlu. Sebab di duniaku, kami punya bahasa sen-
diri yang tak tertangkap oleh telinga. Kami bicara dengan bahasa
hati. Penuh kasih dan pengertian.
Setiap malam aku bangun diam-diam, berdoa sepenuh hati
agar duniaku terwujud. Aku memohon agar kau mengalami derita
yang sama atau bahkan lebih dariku. Sungguh aku sangat mem-
bencimu. Kau adalah makhluk yang paling kubenci di dunia ini!
***
“Nana, hari ini ibu akan pulang lebih malam, kunci pintu agar
Igo, anak nakal itu tidak masuk rumah dan mengganggumu lagi.”
kubaca gerak bibir ibu, aku mengerti. Ini hari Minggu, biasanya
ibu libur. Namun demi tambahan biaya sekolah, ibu harus lembur.
Aku masuk sekolah luar biasa, yang biayanya tak biasa. Ibu ingin

150 Burung-Burung Kertas


menjadikan tikus kecil yang tak percaya diri ini menjadi manusia
luar biasa.
Hanya tirai ruang depan yang kubuka, sekadar untuk mema-
sukkan cahaya. Pemandangan di luar jendela sama seperti biasa.
Halaman kecil yang rimbun aneka tanaman hias, lalu beberapa
ekor kupu-kupu datang, terbang mengitari bunga-bunga. Ah, beta-
pa indahnya! Kuambil buku catatan kecilku dan sebuah pena dari
tas sekolah. Aku menuliskan perasaanku yang dipenuhi kekagum-
an di sana.
Mulanya ia hanya ulat yang menggeliat dalam kepompong
bisu. Tak seorang pun peduli sebelum ia mampu mengembangkan
sayapnya. Sebelum mampu mencecap madu. Ia harus memakan
daun tanpa henti. Menjadi pertapa puasa dalam pupa. Lalu ber-
juang keluar dari kungkungan kepompong kering untuk mengem-
bangkan sayap basahnya. Lalu terbang menyongsong matahari.
Menghiasi dunia dengan sayap indahnya.
Sebelum mampu merasakan manisnya dunia, ia harus lahap
menelan pahit pucuk-pucuk ilmu. Lalu bersabar dalam puasa batin
yang panjang. Memupuk keberanian untuk menghadapi dunia
dengan sayap-sayap kemenangan. Aku ingin berubah dari ulat
perusak tanaman menjadi kupu-kupu penghias taman. Kutuliskan
semuanya dalam buku kecilku. Lalu aku memejamkan mata me-
mohon. Aku ingin jadi kupu-kupu untuk ibu.
Setelah berdoa kulihat kau memanjat pohon jambu tetangga
depan rumah. Kau memang sungguh nakal. Tuhan memberimu
kesempurnaan tapi kau mempergunakannya untuk kejahatan.
Penghuni rumah depan sedang pergi. Rumah itu kosong beberapa
hari ini. Kau berniat mencuri! Aku tak habis pikir, untuk memper-
oleh sebiji jambu kau harus begitu. Bapak ibu depan rumah adalah
orang-orang yang ramah. Tanpa kau minta mereka akan memberi.
Beberapa hari lalu aku diberi tanpa meminta. Mereka memang
orang-orang baik. Kuperhatikan saja gerak-gerikmu dari balik jen-
dela. Kalau aku bisa teriak akan kuteriaki kau, maling!
Kau mengendap, tengok kiri kanan dengan culasnya. Melom-
pati pagar lalu memanjat pohon jambu diam-diam. Tanganmu ra-
kus memetik buah-buah matang. Menjejalkan ke saku kiri, lalu

Burung-Burung Kertas 151


kanan. Ke balik bajumu. Penuh kedua tanganmu menggenggam
hingga kau lupa berpegangan. Kau jatuh! Untuk sesaat aku terkejut,
lalu tertawa, akhirnya tiba giliranku untuk menertawakanmu. Puas
rasanya. Aku terus tertawa hingga kusadari kau tak bangkit lagi.
beberapa lama aku menunggu untuk melihat kepalamu muncul
dari balik pagar. Tapi kau tak kunjung berdiri. Aku mulai mendu-
ga-duga apa yang terjadi padamu?
Aku masih di balik jendela, tegang memandang ke seberang.
Ini sudah terlalu lama. Aku merasakan ada yang tak beres. Jangan-
jangan kau celaka. Jatuhmu cukup tinggi. Aku bisa saja datang
menolong seandainya kau benar terluka. Namun aku bimbang,
bukankah aku adalah orang yang paling ingin kau celaka. Lalu
kenapa sekarang aku mengkhawatirkanmu? Dalam kebimbangan-
ku masih tak kulihat dirimu. Tapi bagaimana seandainya kau tak
apa-apa justru sedang asyik menikmati jambu curian di balik pagar?
Kalau aku menghampirimu, bisa-bisa kau habis melempariku,
dengan jambu-jambu itu!
Lalu aku menghitung dalam hati, kalau dalam hitungan kese-
puluh kau tak muncul aku akan menyeberang untuk melihat ke-
adaanmu. Tak peduli dengan resiko kau akan menyakitiku. Aku
mulai menghitung. Hitungan awal, hanya daun-daun jambu yang
terlihat berguguran. Setengah hitungan, masih saja tak terlihat
perkembangan. Sebelum hitungan kesembilan aku membuka pintu
rumah. Seekor kupu-kupu hinggap di bahuku, seakan hendak me-
nemani dan memberi keberanian.
Dari celah pagar kulihat tubuhmu tak bergerak. Kakimu terte-
kuk badanmu telungkup. Aku terkejut! Lagi-lagi gemetar. Ah, ke-
napa harus gemetar setiap kali melihatmu? Kupanjat pagar, ku-
hampiri kau yang masih diam. Kuambil sembarang ranting jatuh.
Aku takut kau tiba-tiba berbalik lalu menyerang setelah aku men-
capai tubuhmu. Dengan ranting kusentuh ujung kakimu, kau tak
bereaksi. Kau pingsan dan darah tampak berlumuran ketika kubalik
tubuhmu.
***
“Terima kasih,” berkali-kali kau ucapkan padaku. Aku meng-
angguk saja. Ibu tampak masih bicara dengan kedua orangtuamu.

152 Burung-Burung Kertas


Sebentar lagi kau pulang setelah dua minggu di rumah sakit. Kata
yang sama diucapkan pula oleh kedua orangtuamu. Tapi aku tak
merasa luar biasa. Aku lebih bahagia dengan yang ibu katakan
padaku.
“Ibu sangat bangga padamu Nana.”
Menurut ibu, menolong orang yang selalu menyakiti, itu luar
biasa. Butuh kebesaran hati dan kesucian pikiran.
“Kau lebih dari sempurna,” ibu memelukku lama sekali.
“Maafkan aku Nana,” kau berusaha meraih tanganku. Pasti
sakit sekali bergerak dengan luka-luka seperti itu. Kakimu terbalut
gips. Lenganmu terbungkus perban di beberapa tempat.
“Sama-sama,” jawabku dengan bahasa isyarat yang tak kau
mengerti. Ibu menerjemahkannya padamu.
“Nana bilang, ya sama-sama. Semoga Igo tidak nakal lagi,”
aku tersenyum. Ibu menambahkan sendiri, tapi lucu rasanya meli-
hat wajahmu memerah malu.
“Tuh dengar kata Nana, perbaiki sikapmu sebelum Tuhan
sendiri yang menghukummu. Kapok tidak?” ayahmu tampak jeng-
kel. Sering kulihat ia begitu marah padamu. Menjewer, bahkan
memukulmu, tapi segala tindak hukuman yang diberikan orang-
tuamu tak sedikit pun membuatmu jera.
“Jangan pernah lupa, Nana adalah penyelamatmu. Kalau dia
tidak datang menolong, tak tahu apa yang akan terjadi. Belum
tentu bisa bernafas sampai hari ini,” tambah lelaki itu.
Kalau kau tidak sedang dalam keadaan sakit, tangannya pasti
sudah meraih daun telingamu. Sayang sekali, kau menyediakan
telinga sempurnamu hanya untuk dijewer! Kau telah menyia-nyia-
kan telingamu. Betapa bodohnya kau! Andai kau terlahir sepertiku.
Kau akan tahu betapa berharganya telinga itu.
“Belajar banyak juga dari Nana, keberaniannya luar biasa.
Yang namanya berani itu bukan sok jago, pukul sana, tonjok sini.
Keberanian terbesar adalah berani menolong dan memaafkan,”
ibumu ikut bicara. Sudah lama ia tertekan dengan kenakalanmu.
Setiap kau berulah, ialah yang repot minta maaf ke sana ke mari
sembari ganti rugi.

Burung-Burung Kertas 153


“Igo harus minta maaf pada ayah-ibunya juga,” kataku dengan
kata-kata yang kususun dengan jari-jemari. Ibu kembali menerje-
mahkan. Matamu berkaca-kaca setelah paham. Airmata segera ber-
kumpul lalu jatuh meluncur melewati dagu.
“Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku, Ibu,” kau ucapkan terbata-
bata. Tampak sangat sulit di mulutmu, padahal kau tak bisu. Ayah-
ibumu tampak haru. Mereka memelukmu. Aku pun memujimu
kini, kau sungguh punya nyali. Sebab, meminta maaf adalah sikap
penuh berani.
“Mulai hari ini aku adalah temanmu,” katamu padaku. “Apa
kau mengerti apa yang kukatakan?”
Tentu aku mengerti, aku sudah keluar dari kepompongku.
Sayapku sudah mengembang, siap untuk terbang. Aku sudah me-
nembus penjara kata yang membuatku terkungkung kebisuan. Aku
sudah belajar membaca gerak bibir, menggetarkan pita suara juga
menggerakkan lidah agar mengeluarkan kata yang sama de-
nganmu.
“Jangan khawatir temanku, aku mengerti bahasamu,” kataku
dengan isyarat jari-jari yang belum kau mengerti. Mungkin perte-
manan kita akan lebih baik jika kau mau belajar bahasaku juga.
Banyak hal di duniaku yang perlu kau tahu. Ada banyak kegiatan
seru yang menarik. Aku menguasai keterampilan yang tak kau
pelajari. Kalau kakimu sudah sembuh aku akan mengajakmu me-
nari hip-hop dan main musik beatbox. Lihatlah kelincahan tubuh
juga decak mulutku!
“Ajari aku bahasamu,” pintamu sebelum aku dan ibuku pamit
pulang. Aku mengangguk mantap. Segala kebencian dan permu-
suhan pun tanggal. Aku adalah kupu-kupu yang segera terbang.

Biodata Penulis
Primadita Herdiani tinggal di Sanggrahan, RT 04/RW 036, Wedomartani,
Depok, Sleman. Saat ini Dita kuliah di Universitas Diponegoro, Semarang.
Hobinya dalah membaca, mendengarkan musik, dan memancing. Jika ingin
berkorespondensi dengannya, dapat menghubungi HP 089669550379, email:
primadita_3005@yahoo.co.id, twitter: @primdiitt.

154 Burung-Burung Kertas


LAMBANG KEBEBASAN
Nisrina Salsabila

Aku selalu mengingat perkataan teman kecilku dulu. ‘Ikuti


kata hatimu’, begitu katanya. Sebuah kalimat, tiga kata, delapan
suku kata, dan lima belas huruf itulah yang membuatku berhasil
kini. Merubah hidupku dan membuatnya menjadi lebih baik.
Aku ini anak yang sangat penurut, dulunya. Semua kemauan
Ibu dan Ayah selalu kuturuti, sekalipun aku tidak menyukainya.
Aku hanya ingin menjadi anak yang patuh dan berbakti pada
mereka. Hingga, aku bertemu dengan Randu ...
***
Lembah Permai adalah tempat paling indah yang pernah ku-
jumpai. Rerumputan berbunga terhampar sepanjang lembah. Po-
hon-pohon besar berdiri berjajar di tengah lembah. Tapi hanya
satu pohon yang sering kudatangi. Pohon yang tampak berbeda
dari pohon-pohon lain yang berada di Lembah Permai; pohon
randu. Tempat teman kecilku tinggal bersama domba-dombanya.
“Aku menyukai perbedaan,” jawabnya, ketika kutanya me-
ngapa ia memilih tinggal di bawah pohon randu. “Selain itu, nama-
ku memang diambil dari nama pohon ini,” tambahnya.
“Kenapa tidak pohon mangga atau pohon buah lainnya? Po-
hon randu tidak memiliki buah yang bisa dimakan,” tanyaku suatu
hari.
Teman kecilku terkekeh. “Aku akan dipenuhi semut jika tinggal
di bawah pohon mangga.”
Yang kutahu dari teman kecilku ini hanya sedikit. Ia gadis
kecil pengelana yang tangguh. Kutahu dari cerita-ceritanya yang

Burung-Burung Kertas 155


sering diceritakan untukku ketika hari sedang bagus, dan angin
bertiup sepoi-sepoi.
“Aku hanya seorang gadis kecil pengelana dengan lima puluh
domba,” tuturnya ketika pertama kali bertemu dengannya.
Aku tertawa mendengar penuturannya. “Memang kau pernah
hitung jumlah domba-dombamu itu?”
Dengan wajah polosnya, ia menggeleng. “Terakhir kali kuhi-
tung domba-dombaku tahun lalu. Dan saat itu, jumlahnya lima
puluh ekor.”
Teman kecilku pernah bercerita tentang mimpinya, impiannya.
Mimpinya sangatlah sederhana. Sangat sederhana untuk seorang
gadis kecil yang masih punya banyak peluang.
“Aku hanya ingin menjadi seperti layang-layang lepas,” ujar-
nya sambil memejamkan mata dan merentangkan kedua tangan-
nya. Lantas meliuk–liukkan dirinya, seperti sebuah layang-layang
lepas.
Saat itu, aku sedikit heran mendengar impiannya. Yang ku-
tahu, gadis-gadis tidak menyukai layang-layang, apalagi ingin
menjadi layang-layang lepas. Tapi Randu berbeda. Ucapannya ka-
dang seperti orang dewasa.
Alisku bertaut. “Kenapa layang-layang lepas?”
“Layang-layang lepas itu lambang kebebasan. Freedom! Ia sebe-
narnya bisa menentukan takdirnya, tapi ia hanya pasrah pada angin
yang membawanya. Beruntung jika ia jatuh di atas permukaan
laut. Ia bisa menyapa ikan-ikan dan para penghuni laut lainnya.
Tapi takdir buruk bisa saja sudah menantinya. Ya, itulah hidup,”
jelasnya, masih tetap memejamkan mata dan membayangkan diri-
nya menjadi layang-layang lepas.
Penuturannya tentang ‘lambang kebebasan’ menggugah sema-
ngatku. Aku bisa menjadi apa saja yang kuimpikan, tanpa harus
berdebat tiga puluh menit dengan Ayah dan Ibu. Layang-layang
lepas, lambang kebebasan!
Suatu malam, aku membawa payungku dan berlari di tengah
hujan menuju rumah teman kecilku. Aku tahu, mungkin tidur nye-
nyak tak akan kudapatkan malam ini. Tapi inilah gambaranku ten-

156 Burung-Burung Kertas


tang kebebasan yang dimaksud Randu. Dengan kata lain, aku ka-
bur dari rumah malam ini.
“Kau sedang apa? Bermain hujan-hujanan seperti anak kecil?”
komentar Randu begitu aku sampai di rumahnya. “Rumahku jadi
becek karenamu!” marahnya.
Aku meletakkan payungku dan duduk di lantai rumahnya.
“Maaf. Malam ini, aku ingin bermalam di sini. Boleh?”
Teman kecilku berkacak pinggang. “Kabur karena kalah debat
dengan orangtua, pengecut sekali!”
Ada tanda tanya besar di otakku saat itu. “Darimana kau
tahu?”
Randu tersenyum penuh rahasia. “Menurutku itu tidak pen-
ting. Yang jelas, aku tidak mengizinkanmu menginap di rumahku.
Sekarang, pulanglah!”
Melihatku yang masih diam di tempat, Randu mengambil
mantel hujannya. Ia mendorongku sampai ke depan pintu rumah
kayunya, dan memberiku mantel hujan kepunyaannya. “Pulanglah!
Apa perlu aku mengantarmu?”
Begitulah. Malam itu, akhirnya Randu mengantarku pulang.
Tapi aku memintanya untuk tidak ikut masuk ke pekarangan ru-
mahku. Aku tidak mau ia terkena masalah dan akhirnya debat
berkepanjangan dengan orangtuaku.
Aku berbalik dan hendak mengucapkan terimakasih pada te-
man kecilku itu. “Terimakasih ...” Tapi sosoknya sudah hilang di
tengah hujan lebat.
***
Sudah kubilang sebelumnya, teman kecilku itu gadis kecil pe-
ngelana. Dari cerita-ceritanya, pernah kusimpulkan bahwa ia se-
nang bertualang. Tapi kenyataannya lain dari yang kupikirkan.
“Aku diusir dari rumah. Tapi tak apa, dengan usiran itu, akhir-
nya aku bisa berkelana. Mendatangi tempat-tempat yang belum
pernah kutemui,” katanya suatu hari.
“Termasuk Lembah Permai ini?” tanyaku.
Randu tersenyum. “Tentu saja!” ujarnya. “Sudah banyak tem-
pat yang kudatangi, tapi Lembah Permai yang paling lama ku-
tinggali.”

Burung-Burung Kertas 157


“Menyenangkankah tinggal di Lembah Permai?”
Teman kecilku itu hanya mengangguk. “Ya ... pemandangan
di sini sungguh luar biasa! Domba-dombaku juga sepertinya se-
nang tinggal di sini.”
Teman kecilku sudah banyak memberiku pelajaran tentang
kebebasan. Kini, giliranku untuk mengajarinya hal-hal yang kubisa.
Suatu hari, aku membawa peralatan lukisku menuju pohon
randu di tengah Lembah Permai. Hari ini, aku akan mengajarkan
hal baru pada Randu; melukis pemandangan! Menyenangkan sekali
jika teman kecilku itu akhirnya bisa melukis Lembah Permai. Tem-
pat yang menurutnya luar biasa indah.
“Kau bawa apa?” Randu menyambutku dengan senyum khas-
nya. Ia memindahkan beberapa buah mangga dari rumah kayunya
ke keranjang buah besar.
“Peralatan melukis,” jawabku pendek. Aku terus mengamati
kegiatannya. “Akan kau ke manakan buah-buah mangga itu?”
Ia menyeka peluh di dahinya, “Aku hendak ke pasar. Aku
akan menjual buah-buah ini, sekaligus salah satu dombaku. Kema-
rin, ada saudagar kaya yang memesannya, dan bilang akan mene-
muiku di pasar.”
Aku sedikit kecewa mendengar penuturannya. “Berarti kau
tak bisa melukis bersamaku hari ini?”
Randu tertawa kecil. “Tentu bisa! Aku bisa menunda kebe-
rangkatanku ke pasar. Saudagar kaya itu pasti bisa menunggu
sebentar.”
Aku bernapas lega mendengar jawabannya, “Baiklah. Kau
mau melukis di mana?”
Randu tampak berpikir, “Di balik semak berbunga itu! Kau
tidak keberatan, bukan?” Ia menunjuk semak berbunga di dekat
pohon randu-nya.
“Hm, tidak.” Aku menggeleng ragu. Sebenarnya, aku sedikit
alergi dengan bunga-bunga itu. Tapi demi mengajarinya melukis,
aku tidak keberatan.
Kami melukis di balik semak berbunga itu. Biarpun aku tak
jarang bersin-bersin, tapi kegiatan melukis bersama Randu ini
sangat mengasyikkan. Berbeda dengan lukisanku yang didominasi

158 Burung-Burung Kertas


warna hijau rerumputan lembah. Lukisan Randu berpusat pada
satu benda; layang-layang lepas. Kebetulan, ada layang-layang
lepas terbang tertiup angin di langit lembah yang cerah ini. Tak
kusangka, teman kecilku ini pandai juga melukis.
Setelah lukisannya selesai, ia menunjukkannya padaku.
“Bagus?”
Aku melihat lukisannya yang sudah selesai. “Hm, yah ... apa
judulnya?”
“Menurutmu?” Randu balik bertanya.
Aku menerka-nerka judulnya. Sekilas, mungkin judulnya
layang-layang lepas. Tapi kupikir, teman kecilku pasti memberi
judul yang berbeda dari pikiran orang-orang. Maka kujawab,
“Lambang kebebasan, bukan?”
Teman kecilku bertepuk tangan riuh, “Hebat sekali kau bisa
menebak judul lukisanku!” serunya di tengah senyum manisnya.
“Sepertinya aku harus segera ke pasar. Kau bisa bawa pulang lu-
kisanku dan simpan baik-baik?”
Aku mengangguk pasti sambil terus memandangi sosok Randu
yang makin menjauh.
***
Tak selamanya aku dan Randu akur. Ada kalanya kami berde-
bat. Dan satu kali perdebatan itu yang membuat semuanya menjadi
hancur. Aku akui, itu memang kesalahanku.
Pagi itu, Randu berlari-lari kecil menuju rumahku. Aku yang
kebetulan sedang menyirami bunga di pekarangan melihatnya,
dan segera menemuinya.
“Ada apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
Teman kecilku tersenyum kecil, memperlihatkan satu giginya
yang tanggal. “Kau ke sini bukan untuk memperlihatkan gigimu
yang tanggal itu, kan?”
Randu manyun, “Tentu bukan! Aku ingin mengambil
lukisanku. Bolehkah?”
“Hm, tidak!”
Raut wajah Randu berubah, “Kenapa tidak boleh? Itu milikku,
bukan?”

Burung-Burung Kertas 159


Aku menjelaskan pada teman kecilku bahwa lukisannya sudah
tidak ada lagi di rumahku. Aku hanya bilang lukisannya hilang,
padahal diam-diam aku mengirimnya untuk dipamerkan di balai
kesenian kota, yang letaknya jauh dari Lembah Permai.
Tidak seperti dugaanku, wajah Randu memerah. Ia meng-
hentak-hentakkan kakinya dengan kesal, “Kenapa bisa hilang? Aku
sudah berpesan agar kau menjaganya dengan baik!”
“Maaf,” hanya satu kata dengan empat huruf itu yang kuucap-
kan sebelum akhirnya Randu berlari pulang ke rumahnya dengan
perasaan marah. Satu hal yang tidak kuketahui, teman kecilku itu
pulang ke rumahnya dengan berlinang air mata. Saat itu, aku mera-
sa aku adalah orang terbodoh di dunia.
Esoknya, aku berniat meminta maaf pada Randu, sekaligus
mengucapkan perpisahan padanya. Lusa, aku akan tinggal di ru-
mah nenekku. Ini permintaan ayah dan ibu agar aku tidak selalu
bermain bersama Randu. Rupanya, mereka sudah mengetahui
identitas teman kecilku itu.
Aku benar-benar terkejut begitu sampai di Lembah Permai.
Lebih tepatnya, di depan rumah teman kecilku. Rumahnya porak-
poranda. Entah apa yang terjadi pada rumahnya. Tanpa pikir pan-
jang, aku memasuki rumah Randu.
Tak kutemukan sosok teman kecilku itu di dalam rumahnya.
Semua berantakan dan rumah itu kosong. Hanya ada secarik kertas
yang membuatku tertarik.
Jika kau tidak menemukanku di rumah, yakinlah, aku sudah memaaf-
kanmu. Aku pergi tanpa membawa domba-dombaku ke rumah saudagar
kaya itu. Ia akan mengangkatku menjadi anaknya. Ah iya, aku sudah
dengar tentang kepindahanmu. Jadi kuperbolehkan kau menjual domba-
dombaku agar tidak merepotkanmu dan keluargamu.
Menurutku, kau tidak harus menuruti kata-kata orangtuamu. Aku
tahu kau lebih suka tinggal di Lembah Permai ketimbang di rumah
nenekmu. Tapi semua keputusan ada di tanganmu sekarang.
‘Ikuti kata hatimu.’
Randu,
pengelana layang-layang lepas.

160 Burung-Burung Kertas


Aku hampir tidak percaya membaca suratnya. Teman kecilku
sekarang sudah tidak ada lagi di Lembah Permai. Entah aku akan
bertemu dengannya lagi atau tidak. Jujur, aku ingin mengucapkan
beribu-ribu maaf tentang lukisannya dan mengabarkan kalau
lukisannya paling banyak diminati dalam pameran tersebut.
***
Bertahun-tahun setelah kepergian Randu, aku menjadi pelukis
hebat. Sekarang aku menjadi ilustrator di majalah paling laris di
negeri ini dan digaji cukup banyak. Aku akan terus mengingat
sosok teman kecilku itu. Aku berharap, suatu saat, layang-layang
lepas akan menuntunku untuk bertemu kembali dengannya.
“Kau benar-benar ingin bertemu denganku?”
Aku terus memandangi jendela kamarku yang menghadap
Lembah Permai, dan tak sadar menjawab pertanyaannya, “Ya.”
“Kalau begitu, berbaliklah!”
Sesaat aku tersadar. Aku berbalik dan menemukan sosoknya
di belakangku. Sosok teman kecilku yang selalu kurindukan. Tak
salah lagi, itu—
“Randu?!”

Biodata Penulis
Nisrina Salsabila tinggal di PMA No.86, Jamblangan, Margomulyo, Seyegan,
Sleman. Saat ini Nisrina bersekolah di SMP N 1 Godean, Sleman. Hobinya
adalah membaca buku dan menulis cerita. Jika ingin berkorespondensi
dengan Nisrina dapat menghubungi: HP 087843193363, email:
nis_salsabila57@yahoo.co.id, FB: Nisrina Salsabila, twitter:
@Nisrina_Chacca.

Burung-Burung Kertas 161


MAMAK GUNTUR
Wahyu Sekar Sari

“Aku emoh sekolah,” bentakku kepada Mamak ketika berulang


kali memaksaku mengenakan seragam.
“Kenapa Gun, kakak-kakakmu kabeh sekolah. Tak malu kau
tak berpendidikan tinggi seperti kakak kau?” sahut Mamak dengan
wajah tua, coklat, keriput, lengkap dengan peluh menetes sebutir-
butir.
“Gun tak punya kawan Mak, dikucilkan. Mamak tak kasian
lihat Gun selalu diejek kawan anak tukang rongsok, Gun si gimbal
kali Sunter, Gun jelek kumuh juragan sampah. Gun malu Mak,
Gun malu,” jawabku membela diri. Aku memang tidak kuat lagi,
diejek dua tahun sejak aku bersekolah mengenakan seragam merah
putih yang warnanya tidak putih lagi.
“Jadi kau malu punya Mamak tukang rongsok? Apa yang ada
di otak kau? Apa kau mau jadi pencopet saja biar lekas kaya? Apa
kau mau Mamak mengajari kau cara merampok? Kau ini anak ma-
cam apa? Kau lebih malu jadi anak tukang rongsok apa jadi anak
pencopet kaya? hah?” jawab Mamak keras, mendetumkan gen-
dang telingaku beberapa saat. Rasanya hampir mual lihat Mamak
marah seperti ini.
“Kenapa Gun bisa lahir dari Mamak yang miskin?” sahutku
tanpa memperdulikan aturan tatanan masyarakat tentang bagai-
mana cara berbicara pada Mamak.
“Memang kau kira Mamak kau ini tak malu punya anak macam
kau? Tak usah sekolah saja, bantu Mamak cari rongsok,” tungkas
Mamak seraya memalingkan wajah. Aku tau butir-butir putih be-
ning menetes pelan di wajah Mamak. Aku merasa berdosa semarah

162 Burung-Burung Kertas


ini sama Mamak. Ah, apa gunanya marah? Toh Mamak juga tak
bisa memberiku uang banyak dan membeli sepeda seperti kawan
di sekolah. Bagusnya menuruti ucapan Mamak dulu saja lebih baik.
Aku segera beranjak mengambil keranjang sampah, berlari me-
ngejar Mamak yang sudah berjalan jauh sekitar dua puluh lima
meter di depanku.
“Kita mau cari rongsok dimana Mak,” tanyaku pelan, takut
kalau Mamak marah lagi.
“Jauh-jauh dari Mamak saja, katanya kau malu jadi tukang
rongsok,” ucap Mamak pelan tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
Aku tahu, ya aku tahu. Butiran bening itu masih menetes satu dua
ketika Mamak berjalan cepat tanpa memperdulikan aku mengekor
dibelakangnya.
“Mamak marah?” tanyaku hati-hati.
“Punya hak apa Mamak marah sama kau? Kau cuma titipan
Tuhan, kau tak salah kalau malu punya Mamak miskin seperti ini;
yang salah kenapa dulu memilih Bapak kau sebagai suami,” Mamak
berjalan amat sangat cepat hingga aku tak bisa menyamakan lang-
kah dan menyusulnya. Ah tak usah dipikirkan? Paling nanti pulang
cari rongsok Mamak juga tidak marah lagi. Langkahku menyusuri
trotoar kota, berusaha mencari rongsok sebanyak-banyaknya.
****
Sinar matahari yang tadinya menyilau penguras dahaga lekas
meredub. Remang cahaya yang masuk dari cela kecil kardus yang
menjadi dinding gubuk kami hilang satu-satu. Aku sudah duduk
di sudut gubuk dengan tangan menyangga dagu. Hujan sepertinya
akan turun sore ini. Kakakku sudah duduk bersandar membela-
kangiku. Mereka kakakku, Dai, Lan, dan Ram. Dai yang sudah
duduk di bangku enam, Kakak laki-laki tertua yang memiliki tahi
lalat di dagu persis sepertiku. Lan yang sedang duduk di bangku
lima, Kakak tukang masak di gubuk. Ram si pendiam yang duduk
di bangku empat. Dan aku yang duduk di bangku dua. Aku pernah
bertanya kepada Mamak mengapa kami berempat tidak pernah
tahu siapa Bapak kami? Tapi kata Mamak, Kita itu punya Mamak
yang bisa jadi Mamak dan bisa jadi Bapak. Katanya, kita bisa ber-
untung tidak pernah bertemu Bapak. Dan ketika akalku semakin

Burung-Burung Kertas 163


mengejar jawab Mamak mengapa kita tidak mencari Bapak saja?
Mamak tidak akan segan-segan menghukumku tidur di luar gubuk
dan tidak diizinkan makan hingga hari berganti. Mamak jahat,
jeritku setiap kali Mamak memarahiku perihal keingintahuan ten-
tang keberadaan Bapak.
Mamak datang dengan batuk-batuk yang tidak pelan lagi.
Menutupi mulut dengan kedua telapak tangannya setiap kali Lan
bertanya apakah Mamak sudah minum obat. Mamak dengan cepat
menggelengkan kepala dan berkata dengan suara yang serak jika
Mamak baik-baik saja. Mamak tak sedikitpun menoleh ke arahku,
sama sekali tidak. Apa Mamak masih marah kepadaku? Hanya
itu kesimpulan yang bisa aku dapat sejak tiga jam sedari keda-
tangan Mamak tak menganggap keberadaanku.
“Mak, tadi waktu nyari rongsok Gun bertemu dengan kawan
Gun di utara jembatan,” ucapku pelan berusaha mengajak Mamak
berbincang. Mamak hanya diam saja, tanpa menoleh, tanpa sa-
hutan, dan tanpa memberi komentar apapun.
“Lalu mereka berkata kalau seumpamanya Gun bisa punya
sepeda bagus yang sama milik mereka, mereka tidak akan meng-
ejek Gun lagi,” ucapku lagi dengan suara terbata-bata, mengamati
punggung Mamak yang tidak juga bergerak.
“Lalu maumu apa?” jawab Lan memberi komentar, menatap-
ku lekat-lekat tanpa sekat.
“Bagaimana kalau selepas sekolah Gun mencopet saja lalu
uangnya digunakan untuk membeli sepeda dan makanan,” ucapku
ringan tanpa beban. Plakk, hantaman telapak tangan yang lebar
itu mendarat di pipi tanganku. Darahku mendesir-desir tak karuan.
Mataku tiba-tiba saja berkaca-kaca, semuanya terlihat buram. Da-
daku sesak. Masih bercampur rasanya antara kaget, tercengang,
kesakitan, dan menahan tangis. Aku tak mau mendongak mencari
tahu milik siapa tangan lebar itu? Aku tak mau melihat dua bola
mata melotot yang hampir keluar ketika menatapku. Aku hanya
bisa menutup bekas tamparan itu, menahan napas, menyembunyi-
kan isakan ketika satu dua tetasan air jernih bening merembes di
lengan bajuku. Ini sakit, pipiku sakit. Perih, panas, juga daging

164 Burung-Burung Kertas


pipiku seperti masih bergetar ketakutan. Lan segera mengelus ram-
butku pelan, berbisik padaku kalau semuanya akan baik-baik saja.
“Biarkan saja Lan, buat apa anak macam dia dikasihani? Dia
itu lebih bangga punya Mamak pencopet kaya dari pada tukang
rongsok yang miskin? Hei anak tak tau diri, apa kau tak pernah
dapat pelajaran agama di sekolah. Apa kau tak pernah diberi
tahu sama guru kau kalau mencopet itu sama saja dengan menjual
harga diri,” ucap Mamak dengan suara menggelegar tanpa kendali.
“Pak guru cuma bilang kalau berbuat yang buruk demi kebaik-
an itu tidak apa-apa Mak,” ucapku membela diri. Melupakan seje-
nak rasa sakit yang masih menimpali wajahku. Rasanya kian mene-
bal, rasanya pipiku kian membesar.
“Harga diri kau dimana? Mencuri itu sama saja merendahkan
derajatmu sebagai manusia. Memang kau kira Mamak tak bisa
kasih kau makan dengan menjadi tukang rongsok?”
“Tapi Mamak juga tak bisa membelikan Gun sepeda hanya
dengan menjadi tukang rongsok Mak,” jawabku semakin berani.
Plak, tamparan itu mendarat lagi di pipiku, bukan di sebelah kanan.
Tapi kini mendarat di sebelah kiri. Sakitnya lebih dahsyat. Perihnya
menjalar-jalar lebih cekat. Pening kepalaku rasanya. Tamparan
yang ini membuatku terpental setengah meter dari tempat duduk-
ku, aku hanya mengusapnya pelan. Tak lagi bisa menahan air mata-
ku yang jatuh tidak hanya satu-satu. Tapi banyak, mengalir deras
seperti hujan yang akan menjadikan kali Sunter banjir berminggu-
minggu. Mulutku bergetar merasakan sesuatu, ku usap cairan di
tepian mulutku. Darah. Dai kemudian merengkuhku, merangkulku
pelan dan membopongku ke sudut gubuk. Mamak seraya keluar
rumah. Membelah tirai-tirai hujan deras dan pergi entah ke mana.
Entah ke mana. Kepergian yang membuatku amat sangat rindu.
“Mamak yang jahat, Mamak jahat. Mamak sama sekali tak
kasihan liat Gun diejek teman-teman,” ucapku dengan tangis yang
semakin menjadi-jadi. Dai pelan sesekali mengelap darah di
mulutku dengan punggung tangannya.
“Apa kau tahu bagaimana rasanya dikasihani? Kau tak tahu
kalau Mamak itu amat sangat sekali menyayangi kita,” ucap Ram
yang tiba-tiba datang membawa segelas air putih.
***
Burung-Burung Kertas 165
Kau benar, namaku Gun. Tepatnya Guntur. Guntur yang kata
Pak guru adalah nama sinar yang menyambar-nyambar ketika hu-
jan deras turun merembes jelas-jelas. Sinar yang suaranya meme-
kikkan gendang telinga pemilik setiap jantung yang berdetak cepat
acap kali mendengarnya. Sinar yang merekah bak bilahan percikan-
percikan api di perapian. Seperti tangan-tangan Tuhan yang me-
rembet-rembet seperti ingin memeluk makhluknya. Bagaikan
potret kamera Tuhan yang ingin merekam setiap kejadian perilaku
tindakan yang dilaksanakan makhluknya. Dan tentu seperti tangan-
tanganku yang meminta kasih Mamak lebih dari kasih yang di
dapat Dai, Lan, dan Ram. Aku memang paling kecil di antara me-
reka, tapi rupa wajahku teramat tua bagi seusia anak pada umum-
nya. Membuat nyaliku menciut tanpa skala, mencabik keberanian
dalam jiwa tanpa sela. Aku ingin Mamak memberiku lebih dari
itu. Aku juga ingin Mamak melihat sinarku yang menjalar-jalar
merengkuh tubuhnya. Melihat betapa besarnya perasaku pada Ba-
pak yang tak kunjung datang sambil mengibas-ibaskan tangannya
seperti sayap yang hendak terbang ketika melihatku. Aku juga
ingin menjadi seperti mereka, seperti teman-teman Gun yang bisa
minum susu ketika hendak berangkat ke sekolah.
“Bang Dai, kau pernah bertemu Bapak?” tanyaku pada Dai
yang saat itu sedang sibuk membereskan tumpukan kardus yang
hendak dijual ke kabupaten.
“Wajah Bapak lebih mirip siapa? Kenapa tidak kita cari? Ba-
rangkali Bapak itu pemilik gedung-gedung tinggi di kota Bang,”
jawabku sekali lagi, tanpa memikirkan apa-apa lagi selain obsesi
untuk bertemu Bapak.
“Memangnya kau kira Bapak itu mau bertemu dengan kau
yang kumuh seperti itu,” jawabnya sambil melempar-lemparkan
kardus ke sampingku.
“Jangan-jangan Bapak sudah meninggal Bang, kata Pak Guru
di sekolah itu seorang Bapak tidak mungkin bisa makan dengan
tenang karena selalu mengingat anak-anaknya,” jawabku lagi se-
makin antusias, memperagakan setiap perkataan yang diucapkan
Pak Guru ketika di sekolah.

166 Burung-Burung Kertas


“Angkat kardusnya cepat, jangan banyak bicara nanti Mamak
marah melihat kita malas-malas,” bentak Dai tiba-tiba. Membuatku
terbelalak lekas menjadi bergumam dan lantas berlari keluar gubuk
sambil membawa tumpukan kardus karena ketakutan.
Dan masih di tempat Dai duduk, dia merunduk dalam sesekali
memperhatikanku dari ke jauhan, mengusap sesuatu dari matanya,
tapi tak jelas dilihat dari kejauhan.
***
Gun terkagum-kagum melihat benda sebesar gubuknya berki-
lat-kilat tertimpa teriknya siang di parkirkan gagah di beranda
rumahnya. Berdecak beberapa waktu lalu melambai-lambaikan
tangan, berlari dengan cepat sejak dia melihat Lan sudah melebar-
kan tawanya dari kejauhan. Sepertinya ada yang istimewa, batin
Gun sambil berlari sekencang-kencangnya.
“Mamak dari mana saja?” tanya Gun cepat sambil memeluk
Mamak erat-erat, tak perduli meskipun dia tau kalau Mamaknya
akan marah lagi.
“Gun kangen Mak, kata Dai, Mamak kerja di kabupaten, ya
Mak? Kalau Mamak marah sama Gun karena Gun minta sepeda,
Gun janji tidak akan minta apa-apa lagi. Mamak jangan pergi lagi
ya, Gun kangen dibentak-bentak sama Mamak,” ucap Gun tanpa
spasi, membuat beberapa pasang mata di sekitarnya berkaca-kaca.
“Mamak kan ke kabupaten membelikan Gun sepeda,” jawab
Mamak pelan. Wajahnya terlihat pucat sekali. Wajah dan bibirnya
berwarna agak putih. Tubuhnya lemah sekali sebab pelukan Gun
yang amat sangat erat hanya dibalas dengan tepukan di pundak
Gun dua kali.
“Oh ini yang namanya Gun,” ucap wanita tinggi putih dengan
rambut panjang yang menjalar menutupi sebagian wajahnya. Gun
hanya mengangguk, tak berani menjawab sebab ia masih ingat
nasihat Mamak untuk tidak mudah percaya dengan orang yang
tidak dikenal. Kenapa wanita ini seperti kerabat dekat? Batin Gun
sambil menjulurkan tangannya, lalu mencium punggung tangan
wanita itu sebentar.
“Gun pengen beli mobil yang besarnya seperti rumah Gun.
Pergi ke kabupaten bersama Mamak, Dan, Ram, Lan, dan …”,

Burung-Burung Kertas 167


Dan siapa? Kenapa Gun berharap sekali bisa menemukan dia yang
tidak pernah ada. Tiba-tiba saja Mamak merunduk dan entah se-
dang memikirkan apa. Ingatannya sedang melenggang di laci
kenangan sebelah mana.
****
Gun masih bersiul-siul sepanjang jalan, mengais-ais rongsok
dengan penuh semangat. Memilahnya satu persatu sebelum me-
masukkan ke dalam keranjang besar yang sudah diikat kuat di
bagian belakang sepedanya. Sepeda baru yang dibelikan Mamak
dua minggu yang lalu. Ah, Mamak itu sebenarnya baik. Batin Gun
sebelum meluncurkan sepedanya ke tepian jalanan yang lainnya.
“Gun Gun …” teriak seseorang sekitar delapan meter dari
arah Gun. Sepeda Gun berhenti, dengan cepat menoleh ke sumber
suara.
“Titip ini buat Mamak kamu ya, bilang saja kalo harus di mi-
num tiga kali sehari,” ucapnya singkat, lalu berjalan cepat mening-
galkan Gun yang masih terpeku di situ. Melihat butiran kapsul
besar berwarna-warni yang di bungkus rapi.
***
“Gun sudah dewasa Lan, kau tak kasihan liat awak hampir
mati merindu Mamak, dua puluh tahun membenci Mamak. Kau
bilang Mamak pergi ke kota bertemu Bapak dan tak mau pulang.
Lantas pria berjenggot lebat yang mengaku mantan penghuni pen-
jara itu siapa? Dia Bapak?” ucapku tanpa henti, mengenang dua
puluh tahun yang lalu sebelum aku diadopsi orang.
“Mamak mencintai kau meski sama sekali tak pernah kau la-
buhkan kepedulian sama Mamak. Dia tenang melihat kau tertawa.
Pria berjenggot itu bapak kita meski bukan bapakmu. Dia mening-
galkan kita karena kau… Kau tak sebapak.”
Dan seketika perasaanku yang sudah terlanjur melabuhkan
kerinduan pada Mamak, seperti bergetar meranggas tanpa tepian,
membiarkan percikan tetes bening dari panca indraku mengalun
bagaikan dentangan lagu. Sendu menyelimut seperti selimut, rasa-
nya menyesakkan. Dan mataku tak berkedip dalam beberapa menit
menatap nama Mamak yang tertulis di bebatuan yang tegak berdiri
di hadapanku.

168 Burung-Burung Kertas


Dia malaikat yang sampai saat ini masih tetap menyanyangiku
meski terkadang aku membuatnya kesal naik pitam. Merangkul
bahuku ketika aku ragu dan mendekapku hangat ketika aku keta-
kutan. Dia yang menungguiku ketika dua minggu aku terkapar di
rumah sakit. Melihat garis biru di sekitar pelupuk matanya, mem-
buatku terasa terkutuk dalam geming, menyadarkanku akan ke-
setiaannya yang tak lebih menggelegar dari semburat halilintar,
selayaknya payung yang melindungiku dari terik, hujan, salju atau
reruntuhan bangunan. Dia satu-satunya wanita yang aku cintai,
tak ada yang melebihi. Raut wajahnya yang selalu membuatku
ingin lekas pulang lalu memeluknya saat di perantauan. Aku ingin
membuatnya bangga, membuatnya tersenyum sepanjang hari hing-
ga hanya ajal yang bisa menghentikan keberadaan namun masih
tetap hidup jiwanya di sini, di dada ini. Dia memberiku nama
Guntur agar kelak aku bisa menyinari setiap orang yang berada
dalam kegelapan; suaranya terdengar gagah seperti perawakan
tubuhku yang bisa membuat perasaan gadis mana pun seketika
terjatuh. Aku masih amat sangat ingat bagaimana pedihnya ketika
harus menjadi dua sosok sekaligus dalam keluarga. Buih-buih be-
ning merembet dari pelupuk mataku sekejap setelah mataku berka-
ca-kaca seperti sutra. Aku tergidik tak tertahankan, seperti ingin
membunuh laki-laki yang menyakitinya hidup-hidup.

Biodata Penulis
Wahyu Sekar Sari tinggal di Butuh RT 02, RW 06, Pulutan, Wonosari,
Gunungkidul, DIY, 55851. Saat ini Wahyu kuliah di Universitas Negeri
Yogyakarta. Hobinya adalah menulis, membaca, dan mendengarkan musik.
Jika ingin berkorespondensi dengan Wahyu dapat menghubungi: HP
08972598923, email: wahyunjededeg@yahoo.com, FB: Wahyu Sekar Sari,
twitter: @wahyu_njededeg.

Burung-Burung Kertas 169


PEMUDA YANG BERDOA
SEPANJANG MALAM
Achmad Muchtar

Pemuda itu masih saja berdoa di masjid. Sudah tiga jam berse-
lang setelah salat isya berjamaah, tetapi pemuda itu masih saja
duduk bersimpuh menengadahkan tangan. Kepalanya sedikit di-
condongkan ke atas. Pandangannya menerawang jauh ke ukiran
kaligrafi yang terhias pada dinding. Mulutnya komat-kamit me-
nyerukan doa dalam bisik.
Tidak seperti biasanya lampu masjid masih menyala pada jam-
jam orang tidur. Biasanya sehabis isya, semua lampu kecuali lampu
luar masjid selalu dipadamkan. Kali ini pemandangan tak biasa
itu membuat penjaga masjid merasa aneh. Pemuda tadi masih saja
berdoa. Begitu seterusnya hingga menjelang subuh. Penjaga masjid
pun tak kuasa untuk mengusirnya. Ia tidak mempunyai hak untuk
mengganggu seseorang yang datang ke rumah Tuhan sekalipun
ialah yang bertanggungjawab atas lingkungan masjid.
Lalu penjaga masjid itu menceritakan pemandangan aneh itu
kepada imam masjid. Lalu imam masjid menceritakan hal itu
kepada jamaah-jamaahnya yang jumlahnya sedikit. Lama-kelamaan
hampir seluruh jamaah masjid itu tahu, pemuda itu selalu berdoa
lama sekali sepanjang malam. Dari habis isya sampai subuh. Begitu
seterusnya setiap hari.
Semua jamaah merasa penasaran dengan sosok pemuda yang
diceritakan itu. Mereka ingin mengetahui secara langsung siapa
pemuda itu. Maka jamaah yang biasanya tidak datang saat isya
pun mulai datang untuk ikut salat isya berjamaah. Benar saja setelah
semua selesai, yang tersisa hanyalah pemuda itu. Mereka
membicarakannya di serambi masjid hingga kelamaan menunggu

170 Burung-Burung Kertas


membuat mereka pulang. Tak ada kesempatan bagi mereka untuk
berbicara dengan pemuda itu. Dalam berdoa, pemuda itu tidak
pernah berhenti. Ia terus saja berdoa. Pemuda itu tiba-tiba meng-
hilang begitu subuh usai.
Penjaga masjid, imam, hingga para jamaah salat subuh selalu
kehilangan jejaknya. Tiap sehabis salam kedua, pemuda itu berge-
gas pergi. Tanpa jejak. Sudah ditanya kepada orang-orang yang
terjaga saat subuh tetapi mereka tidak merasa melihat pemuda
itu lewat. Pernah juga seorang jamaah sengaja cepat-cepat menye-
lesaikan salat dengan salam lebih cepat dan segera menghampiri
pemuda itu tetapi selalu saja gagal. Mulai dari kesandung karpet
masjid sampai lupa menaruh sandal dimana. Ada saja halangan
yang membuat pemuda itu lolos dan pergi entah ke mana sebelum
datang lagi waktu isya.
Pemuda itu terus berdoa. Pemuda itu dengan khidmat berdoa,
mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit secara cepat. Para
jamaah yang mendengarnya tidak tahu doa apa yang ia ucapkan.
Pemuda itu terus berkomat-kamit sambil suaranya berkecap tanpa
ada yang tahu doa apa yang ia ucapkan. Cepat sekali. Bahkan
mereka menyodorkan mikrofon ke mulutnya mereka tetap tidak
tahu doa apa yang diucapkan pemuda itu. Mereka mengira pemu-
da itu kafir karena imam masjid itu tidak tahu doa apa yang di-
ucapkan pemuda itu.
Pernah masalah ini dicoba untuk dimusyawarahkan oleh
takmir masjid. Maka mereka menepuk bahu pemuda itu saat
berdoa. Namun pemuda itu tidak bereaksi sedikit pun. Ia tidak
menggubris orang-orang mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Pemuda itu tetap khidmat berdoa. Tetapi anggapan mereka bahwa
pemuda itu kafir seketika buyar setelah mereka mendengar kata
Tuhan dalam doanya.
Pemuda itu terus saja datang dan pergi. Setiap hari dan di
setiap harinya ada beberapa jamaah yang kelelahan karena terlalu
lama menunggu pemuda itu selesai berdoa. Pernah ada jamaah
yang mengajaknya bicara, tetapi pemuda itu malah mengeraskan
ucapan doanya seolah-olah tidak mau diganggu. Mereka menung-
gu sampai ada kesempatan untuk berbicara dengan pemuda itu

Burung-Burung Kertas 171


tetapi mereka malah tertidur lelap karena kelelahan. Tidak pernah
ada jeda dalam doanya. Ia terus berkomat-kamit tanpa henti sepan-
jang malam. Sudah berhari-hari dan sudah berganti-ganti jamaah
yang mengawasinya tetapi tetap saja pemuda itu khidmat berdoa
tanpa jeda sepanjang malam.
Sudah berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bu-
lan pemuda itu terus saja berdoa sepanjang malam setiap harinya.
Hingga para jamaah prihatin pada pemuda itu. Mereka merasa
kasihan dengan masalah apa yang dihadapi pemuda itu hingga ia
rajin berdoa sepanjang malam setiap harinya. Mereka bertanya-
tanya dalam hati, sebenarnya siapakah pemuda ini dan apa masalah
yang sedang ia hadapi? Apakah masalahnya sangat besar hingga
tak ada yang mampu membuatnya tidur semalaman?
Mereka hanya bisa menonton pemuda itu berdoa dan terus
berdoa. Kadang-kadang mereka melihat air matanya berlinang.
Mereka yakin pemuda itu sedang dirundung masalah yang sangat
berat sampai tidak ada yang lebih berat daripada masalahnya.
Mereka yakin pemuda itu telah melakukan dosa yang berakibat
ia menyesal seumur hidupnya. Para jamaah pun akhirnya sepakat
untuk tidak mengganggunya lagi. Mereka hanya bisa menonton
pemuda itu berdoa dan terus berdoa.
Lama-kelamaan kabar ini tercium sampai seisi kampung. Me-
reka yang mendengar cerita tentang pemuda itu pun akhirnya
penasaran. Mereka ingin menyaksikan secara langsung apakah be-
nar di dunia ini masih ada pemuda yang mau berdoa sepanjang
malam. Mereka yang dulu tidak pernah lewat di masjid pun akhir-
nya menyempatkan untuk lewat masjid untuk sekadar menengok.
Mereka yang dulu meremehkan dan menganggap bahwa cerita
tentang pemuda yang berdoa sepanjang malam itu bohongan pun
ikut penasaran. Mereka yang telah membuktikan bahwa memang
benar ada pemuda yang berdoa sepanjang malam pun akhirnya
ikut prihatin.
Mereka satu persatu menyaksikan sendiri. Malahan ada pe-
muda-pemudi yang menyesali perbuatannya hingga ikut berdoa
sepanjang malam menemani pemuda itu. Satu persatu yang penasa-
ran dan belum menyaksikan sendiri pun mulai berdatangan ke mas-

172 Burung-Burung Kertas


jid. Mereka mengawasi dan mengamati pemuda yang berdoa
sepanjang malam itu. Mereka yang telah membuktikannya dengan
menontonnya sendiri pun merasa kasihan dan menceritakannya ke-
pada orang lain hingga orang-orang luar kampung mengetahuinya.
Lambat laun mulai berdatangan satu-dua jamaah baru di
masjid. Mereka mula-mula datang karena penasaran lama-kela-
maan menjadi jamaah baru di masjid. Lalu jamaah-jamaah baru
pun semakin hari semakin bertambah. Mereka juga sama, ingin
membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa masih ada
pemuda yang mau berdoa dan menyesali perbuatannya. Para ja-
maah yang baru ini awalnya malu jika ke masjid tak mengenakan
pakaian ibadah. Mereka pun akhirnya memakai pakaian ibadah
untuk mengetahui lebih dekat pemuda yang berdoa sepanjang
malam lalu menjadi jamaah baru. Begitu seterusnya.
Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan ber-
selang, masjid yang dulunya sepi pun kini ramai. Makin banyak
orang yang berdatangan ke masjid. Saking ramainya bahkan di
pinggir-pinggir masjid itu didirikan angkringan. Orang-orang mu-
lai berdatangan, baik dari kampong tempat masjid itu berdiri mau-
pun luar kampung. Sekitaran masjid pun menjelma menjadi pasar
dadakan ketika malam.
Banyak sekali jamaah yang mengawasi pemuda itu hingga
subuh. Tak sedikit dari mereka menginap di masjid. Mereka tidur
di masjid. Bahkan anak sekolah pun belajar di masjid. Mereka
lambat laun mulai menganggap masjid itu menjadi rumah kedua
mereka. Maka setiap hari mereka membersihkan masjid. Karpet-
karpet yang dulunya bau apek dan penuh kotoran cicak, kini sudah
bersih dan wangi. Debu-debu yang dulu menebal di jendela kaca,
kini sudah hilang. Lalu atap yang dulu hampir roboh, kini telah
diperbaiki. Cat dinding yang dulu mengelupas dan kotor, kini
sudah dicat dengan warna baru. Pokoknya masjid itu menjadi keli-
hatan baru. Tak hanya itu, para jamaah pria tak henti-hentinya
berebut ingin mengumandangkan adzan. Para jamaah juga berebut
untuk berada di saf2 paling depan.

2
Saf adalah barisan salat.

Burung-Burung Kertas 173


Hingga tiba suatu saat dimana masjid itu terkenal dengan
jamaahnya yang memenuhi masjid hingga halaman depannya dan
sekitaran masjid menjadi pasar malam dan hutan di depan masjid
itu dipangkas karena saking membludaknya jamaah yang datang
dari berbagai pelosok negeri, pemuda yang berdoa sepanjang ma-
lam tak kunjung datang. Padahal sebelumnya pemuda itu setiap
hari datang. Entah dari mana. Ia selalu muncul saat salat isya berja-
maah. Lalu berdoa sepanjang malam hingga subuh. Lalu ikut salat
subuh kemudian pergi entah ke mana. Namun saat jamaah mem-
bludak dan stasiun televisi berebut untuk meliputnya, pemuda
yang berdoa sepanjang malam itu tak kunjung datang.
Lalu muncul pertanyaan di benak imam masjid itu, apakah
jamaah-jamaahku kelak akan berkurang satu persatu?
Hingga berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bah-
kan bertahun-tahun kemudian pemuda yang berdoa sepanjang
malam itu tak kunjung datang.

Bantul, 1 Ramadan 1434 H

Biodata Penulis
Achmad Muchtar tinggal di Sobayan, Bangunharjo, Sewon, Bantul,
Yogyakarta. Saat ini Achmad kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca buku dan menonton film. Jika ingin
berkorespondensi dengan Ahmad dapat menghubungi: HP 087838567818,
email: achmadmuchtar@gmail.com, twitter: @achmadmuchtar.

174 Burung-Burung Kertas


PENARI JALANAN
Dyah Inase Sobri

Jika kau pernah berkunjung ke kota tua ini maka kau akan
menemukan sesuatu yang tidak pernah kau temui di kota mana
pun di dunia ini. Kota di mana kau bisa menjumpai kenyamanan
serta kemudahan yang ditawarkan oleh modernitas bersatu padu
dengan arkaisme budaya yang masih mengakar kuat di setiap
jengkal tanah yang kau pijak. Kau bisa melihat di setiap sudut
kota; penjaja kaos yang sedang berjuang dalam perang tawar-me-
nawar dengan seorang pelancong yang hendak membeli barang
dagangannya seharga sepersepuluh harga jersey impor yang ia
kenakan. Pengamen bersuara fals yang melantunkan tembang
tentang beratnya perjuangan hidup. Kau juga bisa menyaksikan
pengemis renta yang setiap pagi diantar oleh wanita berbadan
gemuk ke tempat ia biasa meminta belas kasihan orang yang lalu
lalang. Semua potret kehidupan kota ini dapat kau jumpai dalam
naungan gedung-gedung kuno peninggalan zaman penjajahan.
Jika hari telah beranjak senja, dan sekitar mulai bertambah
ramai, dan wanita gemuk tadi telah datang kembali untuk men-
jemput si pengemis renta, kau bisa menjumpai sisi lain dari kota
ini. Di sana, di sudut lain kota ini, di tengah kerumunan itu tampak
sesosok penari yang berlenggak-lenggok lincah mengikuti irama
gending yang mengalun sembari memamerkan pinggul yang
aduhai. Ia membawakan tari Sekar Ganjen, kalau tidak salah. Se-
sekali ia melempar kerlingan genit pada penikmat pertunjukannya
yang sebagian besar kaum adam. Tariannya yang begitu centil
membuat para pria itu beberapa kali bersorak sembari menyawer
uang seribu rupiah.

Burung-Burung Kertas 175


Di sini, di warung lesehan yang terletak tak jauh dari keru-
munan itu, aku duduk mengawasi si Penari dari balik kacamata
minusku. Sesekali aku menyeruput kopi pahit yang masih menge-
pul untuk mengusir dingin yang menusuk kulit.
Tak mau mengambil risiko tertangkap basah memandangi si
Penari, aku segera mengalihkan perhatian dan segala konsentrasi
pada deretan tulisan dalam buku yang aku pegang tatkala gending
yang mengiringi tariannya berhenti dan orang-orang mulai me-
ninggalkannya.
Sesaat kemudian, kurasakan kehadiran seseorang di dekatku.
Bukan pelayan warung ini tentunya. Bau minyak wangi murahan
yang menyengat memenuhi udara sekitar saat ia datang dan du-
duk tepat di hadapanku. Si Penari rupanya. Ia kemudian memesan
segelas kopi dan satu porsi bebek bakar pada wanita paruh baya
pemilik warung yang sedari tadi mondar-mandir melayani pe-
ngunjung.
“Kapan kau datang?” Ia memecah kebisuan di antara kami.
“Tadi pagi,” jawabku singkat tanpa mengalihkan pandangan
dari halaman buku.
Lalu kami larut dalam kebisuan hingga wanita paruh baya
tadi datang membawa segelas kopi panas dan sepiring bebek go-
reng yang aromanya merangsang liur untuk menetes. Tanpa me-
nunggu aba-aba, si Penari kelaparan itu segera melahap bebek
bakar yang telah tersaji di hadapannya. Melihat caranya makan,
aku menjadi terbuai keasyikan menebak-nebak sudah berapa lama
ia tidak makan enak seperti itu.
Dari balik buku bisa kulihat samar-samar rupa lelaki yang
berdandan menyerupai wanita ini. Layaknya topeng, riasan tebal
menutupi wajahnya yang dulu selalu menampakkan senyum
hangat padaku. Lipstik merah menyala menghiasi bibirnya yang
tipis. Sanggul besar yang ia kenakan seakan terlalu berat di ke-
palanya sehingga ia hanya bisa duduk terbatas, tegak seperti sin-
den. Kebaya yang membalut tubuhnya memperlihatkan betapa
kerasnya hidup yang ia jalani selama ini telah membuatnya menjadi
kurus kering.

176 Burung-Burung Kertas


“Apa kau puas dengan apa yang kau punya?,” tanyaku dengan
suara datar.
“Tentu,” jawabnya singkat namun mantap.
“Apa kau bahagia dengan semua ini?”
“Tentu.”
“Tidak kah kau menginginkan sesuatu yang lebih dari apa
yang kau miliki saat ini?”
“Tentu tidak.”
Seusai percakapan singkat itu, untuk kesekian kalinya kami
larut dalam pikiran masing-masing, larut dalam keheningan
malam.
“Dengarkanlah, aku punya cerita menarik,” kataku.
“Aku bukan pendengar yang baik, tapi akan kucoba mende-
ngarkan,” sahut si Penari yang masih asyik dengan bebek ba-
karnya.
“Dulu, aku memiliki seorang kakak laki-laki. Ia adalah pria
tercerdas yang pernah kukenal.”
“Kau pasti adalah seorang adik yang sangat beruntung.”
“Ya! Aku adalah adik yang paling beruntung di dunia!” seruku
bangga. “Namanya Lius. Ia dulu adalah kakak yang baik, anak
yang baik, murid yang baik. Sejak kecil aku selalu berharap bisa
menjadi seperti dirinya,” kenangku.
“Aku tidak suka cerita melankolis.”
“Ini bukan cerita melankolis,” sanggahku sambil menghela
napas. “Seperti yang telah kukatakan, ia adalah anak yang cerdas.
Ia selalu mendapat peringkat pertama di sekolahnya. Prestasinya
sudah tak terhitung banyaknya. Bahkan bisa dibilang tidak ada
ruang lagi di rumah kami untuk menampung pialanya lagi.”
“Kau pasti melebih-lebihkan.”
“Tunggulah, aku belum selesai bicara. Bapakku sangat bangga
padanya, melebihi rasa bangganya padaku. Sampai suatu saat, ia
melanjutkan studinya di perguruan tinggi negeri yang terbaik di
negeri ini. Di jurusan kedokteran umum pula! Bisa kau bayangkan
betapa bangganya bapakku saat itu.”
“Lanjutkanlah!”

Burung-Burung Kertas 177


“Tapi, di balik semua kelebihan yang ia miliki, ia hanyalah
manusia biasa. Ia juga memiliki kekurangan, sama seperti manusia
lainnya. Meski pembawaannya tenang, ia sebenarnya adalah
manusia yang berpikiran pendek dan temperamental. Ia juga me-
miliki hobi yang sedikit menyimpang. Ia sangat suka menari.”
“Tunggu. Menari bukanlah hal yang menyimpang.”
“Kau benar! Menari memang bukan hal yang menyimpang.
Tapi jika kau adalah seorang pria dan kau selalu membawakan
tarian yang seharusnya dibawakan oleh wanita maka kau benar-
benar menyimpang.”
“Itu membuktikan bahwa tidak ada manusia yang sempurna.”
“Biarkan aku menyelesaikan ceritaku! Bapakku sangat tidak
suka dengan hobi kakak itu. Berulang kali ia melarang kakak untuk
menari atau pun sekadar pergi ke sanggar dan menyuruhnya fokus
belajar menjadi seorang dokter. Hal itu menimbulkan sedikit per-
cekcokan di antara mereka berdua. Hingga suatu hari, bapak benar-
benar melarang kakak untuk menari. Kurasa hari itu adalah puncak
dari konflik di antara mereka. Pada hari itu juga terjadi perteng-
karan hebat antara bapak dan kakak. Pertengkaran itu adalah
pertengkaran terhebat yang pernah aku saksikan.”
“Sudah aku katakan, aku tidak suka cerita melankolis.”
“Berhentilah menyela pembicaraanku! Setelah pertengkaran
hebat itu, kakak memutuskan untuk pergi dari rumah. Waktu itu
aku masih duduk di bangku SMA. Aku ingat, saat itu aku sempat
memohon-mohon sambil menangis padanya agar tidak pergi, tapi
ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia pergi meninggalkanku, me-
ninggalkan kami, meninggalkan studinya untuk selamanya. Aku
merasa sangat kesepian sejak kepergiannya itu.”
Lagi-lagi keheningan syahdu menyusup di antara kami ber-
dua. Si Penari mengeluarkan pemantik api dan sekotak sigaret
dari dalam tas lusuhnya.
“Sigaret?” tawarnya.
“Tidak. Aku tidak ingin mati muda,” jawabku sinis.
Ia menyalakan pemantik apinya, menyalakan sebatang sigaret,
dan mulai menghisapnya. Asap putih dari sigaret membumbung

178 Burung-Burung Kertas


di udara, bercampur dengan bau minyak wangi murahan mengha-
silkan bau yang tidak enak.
“Pulanglah,” pintaku.
“Pulang ke mana? Kota ini adalah rumahku. Di sinilah aku
tinggal.”
“Ini bukan kotamu. Bukan pula rumahmu. Bukan tempat kau
menghabiskan masa kecilmu. Tempatmu bukan di sini tapi di
rumah, bersama aku dan bapak.”
“Kau benar. Kota ini memang bukan rumahku. Tapi kota ini
selalu menyambutku dengan hangat, layaknya keluarga. Di sini,
aku bisa melakukan apa pun yang aku sukai. Aku bisa menjadi
siapa pun yang aku inginkan. Sesuatu yang tidak pernah aku dapat-
kan di rumah.”
“Pulanglah. Kau bisa memulai semuanya dari awal lagi. Bapak
sudah memaafkanmu. Kau boleh memilih memulai lagi studimu
atau bekerja, asal kau mau meninggalkan kehidupan jalananmu
ini. Meninggalkan hobi menyimpangmu ini.”
“Tidak! Aku tidak akan berhenti menari meski aku harus me-
nari dan hidup di jalanan,” si Penari itu tetap kukuh pada pendi-
riannya.
“Bapak sakit, Mas,” bisikku lirih. “Ia ingin sekali bertemu de-
nganmu.”
“Bapak. Amarahnya adalah angkara murka. Perintahnya ada-
lah kunfayakun. Tak pernah mau mengerti apa yang kita inginkan.”
“Bapak hanya ingin kita menjadi orang sukses, Mas.”
“Aku sudah menjadi orang sukses, Dik.”
“Menjadi penari jalanan dan memakai pakaian wanita seperti
yang kau lakukan saat ini kau sebut sukses?”
“Aku bukan penari jalanan! Aku seniman! Budayawan!”
sergahnya. “Paling tidak aku telah mengikuti kata hatiku. Aku
menikmati apa yang kulakukan. Aku menikmati menjadi diriku
apa adanya. Sekarang jawablah pertanyaanku, Dik. Apakah kau
bahagia?”
“Tentu, Mas.”
“Apakah harta, materi, dan pekerjaan yang kau miliki seka-
rang membuatmu bahagia?”

Burung-Burung Kertas 179


“Tentu.”
“Apakah melepas impianmu menjadi seorang penulis demi
ambisi Bapak membuatmu bahagia? Apa kau menikmati pekerjaan-
mu sekarang sebesar kau menikmati waktu yang kau luangkan
untuk menulis?”
Kali ini aku terdiam tak bisa menanggapi rentetan pertanyaan
yang keluar dari mulut si Penari. Aku termenung. Tak sanggup
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Kalau kau pikir bahwa kebahagiaan dan kesuksesan sese-
orang hanya diukur dengan seberapa banyak harta yang ia punyai,
seberapa tinggi jabatan atau pekerjaan yang ia miliki maka kau
salah,” katanya.
“Lalu apa arti sebuah kesuksesan bagimu?”
Ia terdiam sejenak. Matanya menerawang jauh menembus ke-
gelapan malam.
“Bagiku, kesuksesan hanya dapat diperoleh dari besarnya per-
juangan serta pengorbanan untuk mewujudkan impian.”
Aku diam membisu.
“Jika Bapak ingin melihatku sukses, aku bisa mewujudkan
keinginannya. Tapi dengan caraku sendiri,” lanjut si Penari sembari
memadamkan puntung rokok dan berlalu, menghilang ke balik
malam.
***
Itulah terakhir kalinya aku bertemu dan bercakap dengan si
Penari yang tak lain adalah kakakku. Singkat memang. Tapi sung-
guh berkesan. Ia meninggalkan beberapa hal yang patut untuk
direnungkan.
Memang, ia tidak kembali pulang. Tidak pernah. Tapi ia me-
nepati janji yang ia katakan sesaat sebelum ia pergi; mewujudkan
keinginan Bapak untuk melihatnya menjadi orang sukses.
Kini, di tanganku ini terdapat sebuah bukti. Bukti bahwa si
Penari itu telah menjadi orang sukses; sebuah amplop coklat yang
baru saja kuterima pagi ini berisi beberapa tiket pentas seni in-
ternasional di kota Leiden hingga kota Vienna. Dan, di semua

180 Burung-Burung Kertas


tiket itu terpampang jelas nama salah satu seniman yang akan me-
nunjukkan bakatnya; Lius, kakakku, si Penari.

Biodata Penulis
Dyah Inase Sobri tinggal di Bejen, RT 03, Bantul, Yogyakarta 55711. Saat ini
Dyah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hobinya adalah
menulis, Public Speaking. Moto hidup “Study Hard, Play Hard”. Jika ingin
berkorespondensi dengan Dyah dapat menghubungi: HP 085743773660,
email: dynaz.inase@yahoo.com, twitter: @dyah inase, FB: DYAH INASE SOBRI.

Burung-Burung Kertas 181


PETA LUKA BERBINGKAI
Eni Puji Utami

Kemuliaan bagimu adalah impian kekal yang menyerang setiap


lorong kesengsaraan. Pun kesengsaraan bagimu adalah hal yang
kekal tanpa diimpikan meski kemuliaan sedang berkumandang.
***
Jalan terlampau panjang. Tak pernah kau dapat membiarkan
matamu meraih ujung dari setiap tikungan. Pandanganmu nanar
melihat setiap tikungan jalan. Penuh kisah, sedikit kasih, menyim-
pan luka, pun banyak ilusi yang menelanjangi imajimu. Sering
kau berhenti di sebuah tikungan. Sebentar ingin mengikutinya.
Namun kadang kau berpikir lain. Kau harus tetap mengikuti jalan
dan hanya akan singgah pada tikungan terakhir, sebuah tikungan
menuju ujung yang akan memberimu kemuliaan kekal.
Di bawah gemerlap sinar kau berlenggang. Jemari lentikmu
bisa dibilang sangat cantik untuk memukau setiap wanita yang
datang. Iringan gendhing jawa mampu membuat setiap gerak tu-
buhmu memiliki makna kedamaian. Kau mampu membuat para
wanita ikut berdebar. Entah berdebar karena senang atau trenyuh
dengan pertunjukkan yang tengah kau bawakan.
Pun kau, Sri, sebagai penari senior di panggung ini, semakin
lincah diiringi laras slendro. Tubuhmu semakin gemulai dengan
laras pelog.Kau menguasai keduanya. Bahkan kau sering memba-
wakan dua karakter tokoh dalam tubuh yang hanya satu itu. Kau
berperan ganda sebagai tokoh jahat juga baik. Sungguh, kau nam-
pak seperti penari sempurna.
Semua nampak indah di atas panggung. Dekorasi dan penam-
pilan yang disajikan akan semakin menambah kesan sempurna.

182 Burung-Burung Kertas


Tapi, sebenarnya kau jauh dari kesempurnaan itu. Menjadi seorang
penari bukan lahir dari nalurimu. Kau hanya ingin bercerita kepada
orang-orang, bahwa hidup layaknya dua topeng yang kau pakai
saat menari. Manusia tak luput dari bayak sifat yang digariskan
oleh Tuhan. Pun kau hanya dapat berucap lewat setiap gerakan
yang kau bawakan.Kau bukanlah orang yang pandai bercakap.
Ketidakmampuan mendengar membuatmu juga tak mampu ber-
main lisan. Entahlah, tak ada yang tahu bagaimana kau dapat
menghayati setiap irama dari gendhing pengiring tarimu.
Kau sadar bahwa hidupmu juga penuh topeng. Kau hampir
menipu semua wanita yang datang untuk menonton aksimu, juga
dengan sesama teman penari. Ya, meski kau tak ada niat untuk
menipu mereka. Hidupmu hampir seperti topeng, Sri. Kau nampak
seperti wanita. Kulitmu halus, sikapmu juga menunjukkan seorang
wanita jawa yang andhap asor dan penuh unggah-ungguh. Kau cantik
benar ketika bersolek. Keanggunanmu saat menari selalu memu-
kau wanita yang menonton.
Sri, tahukah kau bahwa panggung yang menjadi ladang peng-
hasilanmu itu adalah panggung milik wanita? Mereka datang bukan
sekadar untuk melihat pertunjukkan tari, tapi ingin merengkuh
lebih banyak lagi dari sang penari. Pun kau adalah salah satu ha-
rapan mereka.
Namun kau pernah sekali tempo berbicara dengan seorang
kawan. Kau menjelaskan dengan kata isyarat dan lisan yang ter-
batas bahwa wanita adalah seni. Kelembutannya tersirat dari setiap
gerakan tari yang memukau penontonnya. Menjadi wanita bukan
sebatas pemuas nafsu lelaki, tetapi merengkuh kesederhanann dari
yang tersimpan di dalam jiwa. Entahlah, apakah kawan yang kau
ajak bicara paham dengan ucapmu? Dia hanya tersenyum dan se-
sekali mengernyitkan dahi. Ya, bercakap denganmu memang butuh
waktu lama supaya bisa paham.
Atas prestasimu kau semakin disegani. Mereka tidak memper-
masalahkan identitasmu. Setiap minggu kau disambut oleh riuh
ramai penonton di depan panggung. Penampilanmu semakin men-
jadi. Aura sumringah semakin membuat penonton terpana.

Burung-Burung Kertas 183


Pernah pula kau bercakap dengan seorang kawan yang lain.
Keindahan bagimu hanya ada dalam tarian. Sungguh kau tak mera-
sakan indahnya hidup. Lepas dari panggung pertunjukkan itu,
kau tak tahu siapa dirimu dan kepada siapa kau harus mengadu.
Mungkin, pasukan semut yang berbaris di sudut-sudut tembok
itu lebih beruntung. Mereka tidak mempersoalkan laki-laki dan
perempuan. Kau juga sempat berpikir kalau pasukan semut itu
tidak pernah pusing memikirkan legalitas yang digerakkan oleh
Sang ratu. Mereka bebas untuk melakukan apapun setelah semua
tanggungjawab dikerjakan dengan tuntas. Tidak seperti kau yang
kini masih hidup dalam sekat.
Senyummu menyimpan duka, tapi duka tak pernah kau umbar.
Biarlah setiap tapak kakimu yang akan melihat peta luka itu. Kau
berlaga seakan-akan menjadi wanita dan penari di atas panggung.
Kau juga nampak layaknya wanita muslim saat menuntut hak mu
sebagai salah satu warga negara dalam mengenyam pendidikan.
Sekilas, kau nampak seperti penghianat Tuhanmu.
“Ah... demi mendapatkan hak untuk belajar dan mengenyam
pendidikan, mereka merampas hak kebebasan menganut keper-
cayaan” sebentar-sebentar kau berucap demikian di balik pang-
gung, ketika kau ingat kejadian yang kau alami sehari-hari, lepas
dari panggung pertunjukkan.
Kau memang jarang berinteraksi dengan sesama penari atau-
pun penonton usai pertunjukan. Percuma, karena mereka juga tak
paham dengan cakapmu. Kau lebih suka bercakap sendiri. Waktu-
mu kau habiskan untuk merenung di salah satu sudut ruang ganti.
Di depan kaca, sambil menghapus bekas-bekas pentas yang mem-
percantik wajahmu itu, kau melihat dirimu dengan saksama. Kau
perhatikan benar setiap detail bagian wajah yang kau miliki.
“Tuhan, aku tidak cantik, tapi aku suka dengan pemberian-
Mu ini... Tuhan, berkahilah setiap jalan yang akan hamba lalui
hari ini dan nanti.”
Senyummu merekah di depan kaca, tapi tak bertahan lama.
Kau selalu ingat waktu jilbab dan jubah harus menyambangimu,
setiap pagi hingga sore.

184 Burung-Burung Kertas


“Tapi Tuhan, sungguh hamba mohon kearifan-Mu untuk
memaafkan hamba. Mungkin hanya ini jalan satu-satunya supaya
hamba dapat sekolah, mencari dan mengembangkan ilmu yang
akan bermanfaat untuk sesama kelak. Tuhan, imanku padamu,
bukan pada jilbab dan jubah itu.”
***
Kau pun jadi teringat masa-masa mencari suaka sekolah. Tak
ada satu pun sekolah yang mau menerimamu. Itu semua karena
keterbatasanmu. Beberapa jurusan pada sekolah negeri enggan
menerimamu karena orientasi gender yang dianggap tidak legal.
Pun beberapa sekolah lain menganggap keterbatasan mendengar
dan bercakapmu akan menghambat pembelajaran. Hingga ada satu
sekolah yang menerimamu. Itu pun karena sebuah kelalaian. Me-
reka sadar akan difabilitasmu tapi tidak melihat orientasi gender
yang kau miliki. Mereka baru sadar ketika bertatapan langsung
dalam sebuah ajang orientasi mahasiswa baru.
Kau sempat gembira. Sebentar lagi kau akan duduk di depan
meja dosen dan mendengarnya bertuah banyak. Namun tidak
semudah itu. Kau harus menaati semua aturan mainnya. Kau harus
sadar bahwa kau akan bersekolah di sebuah universitas Islam.
Lantas kau harus berjilbab dan mempelajari tuntunannya? Ya, Sri!
Kau harus lakukan itu.
Kau tak pernah mengeluh, karena tak bisa berbagi keluh. Kau
menjalani semua itu. enyahlah, Sri. Apakah kau bahagia atau tidak.
Kau menganggap mempelajari tuntunan mereka sebagai ilmu baru
yang tidak harus diamalkan. Kau tetap tegak berdiri di atas ke-
percayaan yang kau imani sebelumnya. Ini hanya media, dan ini
satu-satunya jalan supaya kamu dapat belajar lebih tinggi lagi.
kau tak bisa menyalahkan siapapun. Kau tak punya kuasa dan
kapasitas. Kau hanya makhluk kecil ciptaan Tuhan yang harus patuh
pada kuasa negerimu.
***
Kau masih di depan kaca pada salah satu sudut ruang rias.
Wajahmu mulai bersih meski gincu dan bedak masih sedikit tersisa.
Gerimis turun tipis di luar sana. Titik-titik air tak berhenti menerpa
kaca jendela. Matamu pedih, kau mulai menangis. Di luar begitu

Burung-Burung Kertas 185


gelap. Kau tak melihat ujung. Kau tak melihat lagi tikungan. Lampu
penerang jalan hanya nampak samar.
“Tuhan selalu menerangi hati kita dengan rasa. Sama seperti
kita meyakininya. Dia tidak mempermasalahkan jilbab, salib, atau
pergi ke pura. Tuhan hanya melihat kebersihan hati umat-Nya,”
gumammu lirih
Tiba-tiba kau terhenyak oleh seorang wanita yang menepuk
pundakmu. Wanita yang lebih muda darimu itu adalah kawan
penari yang baru saja pentas dan bersiap pulang.
“Kau tak pulang, Sri?” dia berucap pelan sambil memeragakan
isyarat tangan agar kau mengerti.
“Di luar masih hujan. Kau pulang saja duluan. Hati-hati, Ya!”
kau bercakap pelan dengan bahasa isyarat dan selalu melempar
senyum.
Kau memiliki banyak teman di panggung pertunjukkan ini.
Sesama penari, penonton, penata rias, bahkan kaum-kaum yang
dianggap tidak normal oleh sebagian besar masyarakat di negeri
ini pun selalu ramah dan berkawan denganmu. Kau sangat me-
rasakan perbedaan yang sangat kentara antara di sekolah dengan
di panggung. Kau juga heran dengan orang-orang di sekolah yang
konon adalah orang terdidik dan terpelajar. Kau tak ingin dihar-
gai. Kau juga tak ingin disanjung-sanjung bak menteri yang konon
sudah melakukan banyak hal untuk negeri. Kau hanya ingin ber-
kawan dengan mereka.
Namun kau tak memaksakan itu. Kau sadar benar siapa diri-
mu. Mungkin hanya orang-orang seperti inilah yang bisa berkawan
denganmu. Dan di tempat inilah kau mendapat bingkai dari semua
peta luka yang masih kau tapaki hingga ujung sudah terlihat dan
kemuliaan kekal menjemput.
Sri, berjalanlah sampai kau menemukan ujung yang benar-
benar ujung. Kukuhkanlah langkahmu meski duri menambah luka
di sela-sela jemari kakimu. Lorong ini milikmu. Tapak kakimu
akan merekam semua peta luka kesengsaraan ini. Pun kemuliaan
akan menjadi bingkai yang kekal, meski saat ini kau hanya bisa
menjamahnya dalam angan.

186 Burung-Burung Kertas


Panggung pertunjukkan ini adalah panggung perjalananmu.
Luka, duka, dan suka kau ceritakan melalui setiap gerakan tari.
Meski bibir tak mampu berucap, namun hati dan pikiranmu bisa
bercerita. Meski telinga tak dapat mendengar, tapi senyumu adalah
pertanda bahwa kau dapat merasakan dan mengerti. Pun meski
kau bukan perempuan, tapi kau memiliki kelembutan hati yang
tidak dimiliki oleh perempuan lainnya.
***
Kemuliaan bagimu adalah impian kekal yang menyerang setiap
lorong kesengsaraan. Pun kesengsaraan bagimu adalah hal yang
kekal tanpa diimpikan meski kemuliaan sedang berkumandang.
***
Belajar dari semangat hidup seorang transgender tuna rungu, Chaca.
Tembi, 2013

Biodata Penulis
Eni Puji Utami tinggal di Kepuh RT 05, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul.
Saat ini Eni kuliah di Ilmu Komunikasi UIN, Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Hobinya adalah membaca karya sastra dan buku-buku kesastraan dan
kebudayaan, membuat film dokumenter. Jika ingin berkorespondensi dengan
Eni dapat menghubungi: HP 087839420097, email: enisimatupang
15@gmail.com, twitter: @Enisimatupang.

Burung-Burung Kertas 187


PINDAHNYA ORION
Ambar Fidianingsih

Orion, canis major dan canis minor adalah konstelasi yang akan
selalu bersama di langit. Sebuah kesalahan apabila mereka terpi-
sah. Sebuah kesalahan juga jika aku meninggalkan tempat ini,
mungkin.
***
Angin berhembus pelan menerbangkan pasir-pasir lembut di
pinggir pantai. Suara pasir-pasir putih yang saling bergesekan itu
berdesir. Sepasang sepatu berwarna hijau menginjakkan kakiknya
dengan dalam dan membuat puluhan butir pasir tertahan, tak mam-
pu terbang.
Pemakai sepatu hijau meringkuk rendah dan meletakkan se-
ekor kura-kura kecil di atas pasir. Ia tersenyum. Kura-kura itu
berjalan pelan dengan bingung membuat pemakai sepatu hijau me-
nujukkan ekspresi tak tega.
“Hei Sirius! Aku akan membawa Procyon bersamaku,” seru
gadis pemakai sepatu hijau itu dengan pelan pada kura-kura di
atas pasir. Gadis itu membuka genggaman tangan lainnya yang
berisi seekor kura-kura lain.
“Nah, Procyon. Sampaikan salam perpisahanmu pada Sirius,”
ujar gadis itu sembari mendekatkan kura-kura di tangannya pada
kura-kura yang berada di pasir. Seakan tak bisa menerima perpi-
sahan yang mendadak, kedua kura-kura itu menyembunyikan ke-
pala mereka ke dalam tempurung masing-masing.
“Elayna! Bergegaslah!” seru seseorang dari kejauhan. Gadis
bersepatu hijau menoleh ke belakang dengan terkejut.

188 Burung-Burung Kertas


“Ah sayang sekali. Salam perpisahan telah berakhir. Hati-hati
Sirius! Semua akan baik-baik saja. Sampai bertemu lagi!” bisik Elay,
si gadis bersepatu hijau lalu bergegas menuju sebuah kapal pesiar
yang akan membawanya menuju pulau di seberang.
Sirius menyembulkan kepalanya dengan sedih. Ia menggerak-
kan kepalaya ke kanan-kiri seolah tak rela benda raksasa di depan-
nya akan membawa pergi Procyon dan juga ... orion. Tiba-tiba
sebuah bayangan teduh menyelimuti Sirius.
***
Orion, sang pemburu yang gagah berpose di langit malam. Ia
mengamati sebuah kapal yang tengah berlayar di laut malam. Dua
ekor anjing dengan setia mengikutinya di belakang. Seekor anjing
besar bernama canis major dan seekor anjing kecil bernama canis
minor. Mereka mengawasi majikan mereka dengan baik. Sementara
itu, bayang-bayang seekor kelinci bernama Lepus dan unicorn ber-
nama Monoceros mengikuti Orion secara diam-diam.
“Tapi aku menyukai rumah yang lama. Aku menyukai sekolah
yang lama. Aku tidak suka dengan sekolah baru. Semua murid
baru pasti akan di singkirkan,” seru Elayna keras kepada ibunya.
Ibu menatap Elayna dengan tatapan siapa-yang-berkata-begitu.
“Kau bahkan belum melihat sekolahmu. Kau tak boleh begitu.
Sekeras apapun kau menolak pindah, kau sudah ada di tengah
jalan. Jika kau memang ingin tinggal dan sekolah di tempat lama,
turunlah dan berenanglah ke rumah yang lama,” ujar ibu dengan
sedikit emosi membuat Elayna tertunduk. Ibu bergegas duduk di
tempat duduk penumpang meninggalkan Elayna yang beraura
biru.
Bunyi air yang berhempasan dengan badan kapal membuat
Elayna tergoda untuk melihatnya. Ia melongok ke bawah. Buih-
buih air putih terlihat menggoda untuk di sentuh. Seketika ia ter-
ingat ucapan ibu.
“Jika kau memang ingin tinggal dan sekolah di tempat lama,
turunlah dan berenanglah ke rumah yang lama...”
Berenang. Elayna bisa saja berenang saat ini, jika ia mau. Akan
tetapi ia tak mau. Rumah Elayna yang lama sudah sangat jauh
sekarang. Berenang saja tidaklah cukup. Ia juga harus menyelam.

Burung-Burung Kertas 189


Menyelam berarti menahan napas dalam air. Sebenarnya Elayna
bisa saja saja melakukannya, jika ia mau. Akan tetapi ia tak mau
dengan alasan kraken. Alasan itu adalah kraken.
Kraken. Menurut Elayna, cumi-cumi raksasa yang mendiami
lautan di wilayah Irlandia dan Norwegia itu mungkin saja merasa
bosan dan akhirnya berjalan-jalan sampai ke Indonesia. Mungkin
saja kraken lewat di bawah kapal ini dan mengira bahwa kapal ini
merupakan paus penyembur yang menjadi musuhnya. Lalu kraken
akan menyembul dan membuat riak air yang menenggelamkan
kapal ini. Akan sangat bahaya apabila Elayna telah menyelam lalu
kraken datang menyerang kapal dimana ibu Elayna tengah tidur
terlelap.
“Haaaah,” Elayna menguap. Semua pikiran yang ada di kepa-
lanya membuat Elayna kehilangan banyak energi. Elayna me-
ngerjapkan matanya berulang kali karena terpaan angin. Angin
malam yang bertiup dengan lembut seakan tengah membisikkan
kata jahat...jahat...jahat...
***
Jahat. Sekolah baru ini pasti jahat. Murid-murid jahat, guru-
guru jahat, bahkan bangunannya pun terlihat jahat. Pintu gerbang
lebar yang terbuat dari besi seakan berkamuflase dari bentuk asli-
nya yang berupa gigi-gigi dan taring penghisap darah. Kacau.
Sangat kacau.
Atap sekolah yang berwarna merah bata berjejer di atas ba-
ngunan menutupi semua dari sinar matahari, hujan, dan mungkin
dari meteor jatuh. Sebagian dinding sekolah seolah sedang
melakukan mimikri seperti yang dilakukan oleh bunglon. Nuansa
polkadot warna pastel dengan indah tertempel pada dinding, akan
tetapi polkadot-polkadot ini akan sirna dan berubah menjadi
lubang-lubang mengerikan yang membuat kulit bergidik.
Guru-guru cantik dengan mata seindah berlian akan berkuasa.
Rambutnya yang panjang terurai berubah menjadi ular-ular men-
desis saat pelajaran berlangsung di dalam kelas. Medusa. Guru-
guru itu adalah medusa yang datang dari buku dongeng Yunani.
Sekali kau tak menurut dan membuatnya tak senang, kau akan

190 Burung-Burung Kertas


mendapat sebuah tatapan maut darinya dan membeku menjadi
batu.
Teman-teman di sekolah baru, jumlahnya hampir sama dengan
jumlah nyamuk di saat musim hujan. Nyamuk. Penghisap darah.
Teman-teman baru akan menghisap darah.
Pelajaran-pelajaran di sekolah baru juga tak kalah mengerikan.
Layaknya ular yang melesat di pasir dengan cepat, ia tak akan
mudah di tangkap. Matematika, biologi, fisika, kimia, dan semua-
nya. Pelajaran-pelajaran yang ia kandung seperti hidra, drakon
atau ular yang memiliki sembilan kepala. Jika satu kepala dipotong,
maka satu atau dua kepala akan tumbuh kembali. Saat pelajaran
sulit telah dimengerti, maka pelajaran sulit lainnya akan muncul.
Betapa jahatnya.
***
“Adik kecil, bangunlah. Kau tertidur di tepi kapal. Itu menge-
rikan,” sebuah suara membuat Elayna terbangun. Elayna bangkit
dari duduknya lalu mengikuti tuntunan seorang pemuda untuk
duduk di bangku penumpang.
“Jangan coba-coba berada di sana lagi jika kau mengantuk,”
seru pemuda itu. Elayna mengangguk meskipun ia tak begitu sadar
dengan apa yang pemuda itu katakan. Elayna melongok ke arah
ibunya yang tertidur di bangku lain.
“Ah, ibumu?” tebak pemuda itu setelah mengikuti arah ta-
tapan Elayna. Elayna kembali mengangguk untuk mengiyakan te-
bakan pemuda yang mungkin berusia 20 tahunan itu.
“Kalau begitu pergilah ke tempat ibumu,” perintah pemuda
tersebut. Elayna menggelengkan kepalanya.
“Aku sedang perang dingin dengan ibu,” ujar Elayna dengan
nada datar membuat pemuda tadi mengernyitkan dahinya. Semenit
kemudian, seakan berada di kursi pendetektor kebohongan, Elay-
na menceritakan semua sampah yang mengganjal pada otaknya.
“Semester baru ini aku pindah sekolah karena ayah pindah
tugas. Aku tak suka. Aku suka sekolah yang lama. Sekolah yang
baru sangat mengerikan,” ujar Elayna dengan nada kesal. Ia bahkan
mengepalkan tangannya seakan ingin meninju angin.

Burung-Burung Kertas 191


“Mengerikan seperti apa?” tanya pemuda tadi. Elayna terdiam.
Ia tak mungkin bercerita soal gedung jahat, guru medusa, lalu
murid-murid penghisap darah kepada pemuda ini. Pemuda ini
mungkin akan tertawa terbahak-bahak mendengar cerita yang
sebenarnya akan Elayna ceritakan pada ibu untuk mencegah me-
reka pindah. Kata ayah, ibu suka sekali dongeng saat kecil, mung-
kin saja ibu akan percaya, begitu pikir Elayna sebelumnya. Namun,
Elayna tak sempat menceritakan cerita karangannya ini pada
ibunya.
“Aku sering berpindah-pindah sekolah dulu. Dan itu menye-
nangkan,” ujar pemuda itu tiba-tiba membuat Elayna mendongak
penasaran.
“Apanya yang menyenangkan? Anak baru pasti sering di-
bully,” timpal Elayna.
“Siapa yang bilang?” tanya pemuda itu.
“Aaa...teman sebangku,” jawab Elayna ragu. Pemuda itu
menahan tawanya.
“Teman sebangku ya? Sebenarnya itu tak sepenuhnya salah
sih. Memang ada kemungkinan siswa baru itu di-bully, tapi semua
tergantung siswa baru itu sendiri,” jelas pemuda tadi.
“Tergantung?” Elayna berusaha meminta penjelasan.
“I...ya...” pemuda itu sedikit ragu tatkala melihat ekspresi
Elayna yang seperti hendak menepuk kawanan nyamuk.
“Apa maksudnya?” tanya Elayna.
“Begini. Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja. Saat kau
berpindah-pindah sekolah di daerah yang berbeda, kau akan
mendapat lebih banyak teman, lebih banyak pengetahuan, dan
ya... banyak pengalaman dibandingkan orang yang jarang... ber-
pindah tempat,” jelas pemuda itu.
“Berpindah tempat? Tapi semua orang pasti berpindah tempat.
Aku baru saja berpindah dari situ,” ujar Elayna sembari menunjuk
tepi kapal.
“Ya seperti itu perumpamaannya. Saat kau berada di tepi kapal
itu, bagaimana rasanya?” tanya pemuda itu bersemangat.
“Dingin, gelap,” jawab Elayna.
“Nah, lalu di sini?” tanya pemuda itu lagi.

192 Burung-Burung Kertas


“Sama saja,” jawab Elayna datar.
“Iya... tetapi pasti ada bedanya, meskipun sedikit. Di sana
dingin, di sini juga dingin. Ah, di sana gelap, tapi di sini lebih
terang. Seperti itu. Kau yang baru saja tidur di sana dengan ibumu
yang hanya duduk di bangku pengetahuan tentang kapal ini akan
berbeda. Kau tahu kalau tidur di tepi kapal rasanya dingin, se-
dangkan ibumu tidak tahu bagaimana rasanya,” jelas pemuda itu
dengan panjang lebar.
“Menurutku, meskipun tak tidur di situ, semua orang tahu
kalau di situ dingin,” ujar Elayna lagi dengan datar.
“Tapi kau merasakannya, dan mereka tidak. Itu kelebihanmu.
Aku beri contoh lagi. Di daerah baru itu, kau mempelajari bahasa
daerah baru. Meskipun orang-orang di luar bisa belajar bahasa
itu juga, tetapi kau mempelajarinya secara langsung. Itu kele-
bihannya. Orang yang sering berpindah-pindah tempat itu punya
banyak pengalaman,” jelas pemuda itu.
Elayna sedang termenung memikirkan penjelasan pemuda tadi
sampai tas peliharaannya bergerak. Elayna segera teringat akan
Procyon, kura-kura miliknya. Sedetik kemudian ia teringat pada
Sirius yang ia tinggalkan di pantai. Rasa penyesalan menjalar ke
tubuh Elay seperti aliran listrik.
“Orion?” pemuda itu membaca tulisan pada tas milik Elayna.
“Oh, itu aku. Aku yang membuat nama panggilan itu sendiri,”
ujar Elayna pelan. Di benaknya masih terbayang-banyang cangkang
milik Sirius yang mungil.
“Namamu? Itu nama rasi bintang, seorang pemburu,”
“Memang.” ujar Elayna datar. Sekujur tubuhnya bergetar me-
rasa bersalah telah meninggalkan Sirius sendirian dan bertengkar
bersama ibu.
“Oh kura-kura?” seru pemuda itu ketika Procyon menyembul
dari tas Elayna.
“Aku meninggalkan saudaranya di pantai,” ujar Elayna sedih.
Pemuda itu mengerutkan dahinya bingung. Saudara kura-kura?
Pemuda itu kemudian pergi entah ke mana lalu kembali lagi de-
ngan sebuah tempurung hijau tua di tangannya.

Burung-Burung Kertas 193


“Maksudmu ini?” tanya pemuda itu menunjukkan sesuatu
yang tampak seperti batu hijau. Elayna membelalakkan matanya
senang.
“Sirius! Serius ini Sirius! Terimakasih,” seru Elayna senang.
Elayna mengambil kura-kura di tangan pemuda itu dengan senang.
“Aku menemukannya di dekat kapal sebelum berangkat. Ta-
dinya aku berniat menjualnya, tapi karena itu milikmu, aku akan
mengembalikannya,” ujar pemuda itu. Elayna menganggukkan
kepalanya mengerti.
“Kau tak boleh menjualnya. Sirius, Procyon, dan Orion tidak
boleh berpisah,” ujar Elayna sembari memasukkan Sirius ke dalam
tas peliharaannya.
“Kau bahkan menamai kura-kura dengan nama bintang. Sirius
dan Procyon itu adalah anjing, bukan kura-kura,” komentar pe-
muda itu. Elayna hanya tersenyum.
Di bawah langit malam yang berhiaskan titik-titik berkelip,
Elayna tertidur. Ia memikirkan sesuatu. Setelah ini saat ibunya
terbangun ia akan meminta maaf. Sekolah baru pasti tidaklah
buruk. Rumah baru pasti tidak buruk. Semua yang menurutnya
kacau pasti akan baik-baik saja. Dan yang paling penting, Orion,
Sirius, dan Procyon telah berkumpul lagi seperti orion, canis major,
dan canis minor yang kini menghiasi langit di atas Elayna.
***
Elayna melangkahkan kakinya ke dalam kelas baru dengan
jantung yang berdegup. Guru-guru medusa, teman-teman nya-
muk, pelajaran drakon, dinding-dinding penyebab tryopobhia,
apakah mereka ada di sini?
“Perkenalkan. Aku Elayna. Aku adalah siswa baru. Salam ke-
nal,” ujar Elayna di depan kelas. Elayna melirik ke samping, guru.
Tak ada ular-ular di rambutnya, matanya pun tak membuatnya
membeku, matanya menunjukkan keramahan.
“Yes! Akhirnya aku punya teman sebangku!” seru seorang
siswi yang duduk sendirian. Elayna menoleh dan tersenyum. Dia
bukan nyamuk yang menghisap darah.

194 Burung-Burung Kertas


“Namaku Putri. Selamat datang di sekolah kita. Selamat da-
tang di kelas IX E. Selamat datang di sekolah kita,” bisik teman
sebangku Elayna ketika Elayna telah duduk dengan nyaman.
Elayna tersenyum dan mengangguk senang.
“Terimakasih, aku Elayna. Panggil saja Orion,” balas Elayna.
Putri mengernyitkan dahinya, tetapi tersenyum dan mengacung-
kan ibu jarinya.
***
Di sebuah akuarium, dua kura-kura terdiam berdampingan.
Sirius, Procyon, si pendamping pemburu itu telah kembali pada
posisi yang benar, mereka bersama-sama. Elayna mengetuk akua-
rium itu pelan, lalu Sirius dan Procyon menyembulkan kepalanya
pelan seolah bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Hey, Sirius! Procyon! Jika aku berkata semua akan baik-baik
saja, maka semua akan baik-baik saja. Jika aku berkata semuanya
kacau, maka anggap saja aku sedang mengigau,” ujar Elayna sem-
bari menempelkan wajahnya ke kaca.

Biodata Penulis
Ambar Fidianingsih tinggal di Sungapan, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogya-
karta, 55752. Saat ini Ambar kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Hobinya adalah membaca
karya fiksi dan membuat desain cover. Jika ingin berkorespondensi dengan
Ambar dapat menghubungi: HP 082137334739, email: ambar.fidia
@yahoo.com, FB: ambar.fidia, twitter: @Archie Fidia.

Burung-Burung Kertas 195


LASKAR DILEM
Fajar Wijanarko

Geliat mentari tak mampu mengusik rona sang candra. Derap


deru angin menggelepar menyambar daun kelapa. Kala malam
semakin merasuk dan menusuk, dan pedukuhan masih membisu.
Malam bukanlah rantai, dingin angin pun bukanlah gembok yang
keduanya mengunci mata untuk tetap terlelap. Keduanya adalah
awal dari peluh yang menjadi candu, yang menjejaki mimpi satu
demi satu.
*****
Mentari pagi belum sempat menampakkan sinarnya, ketika
dapur rumahku yang sempit dan penuh sesak telah terdengar
kegaduhan. Seperti biasa, ibuku bangun di pangkal pagi, atau bah-
kan tengah malam untuk mempersiapkan dagangan yang akan
dititipkannya di pasar. Dagangan kue basah yang tidak mewah,
tetapi untuk membuatnya membutuhkan waktu lama. Tak jarang
semalaman ibuku tidak tidur sama sekali. Namun apa boleh buat,
hanya itu yang bisa ibuku lakukan untuk membantu bapakku men-
cari nafkah. Apalagi bapakku hanya seorang buruh kasar yang
bekerjanya tidak tetap. Terkadang, sebulan bapak tidak bekerja
sama sekali, hanya di rumah dan mengurus kebun singkong ke-
luarga. Kebun singkong yang tidak cukup lebar, tetapi singkong-
nya cukup untuk makan kami sekeluarga. Maka tidaklah jarang
singkong menjadi santapan kami untuk menggantikan mewahnya
nasi dikala ekonomi benar-benar krisis.
Inilah kisahku, kisah bocah singkong yang hidup di Dusun
Karangpoh. Terdengar asing dan sadikit menggelitik, tetapi me-
mang itulah nama dusun tempat aku tinggal. Dusun yang menjadi

196 Burung-Burung Kertas


anak dari Desa Semin. Desa yang letaknya paling utara dari Ka-
bupaten Gunungkidul. Dahulu air adalah barang langka bagi kami,
tetapi kini air telah melimpah. Meskipun gubuk reyot dari anyam-
an bambu masih tetap menghiasi pedukuhan. Gubuk yang dari
celah-celahnya sinar matahari dapat masuk mengintip. Bahkan
jalan terjal yang setengah gelap akibat lampu neon yang byar-pet
pun masih kerap dijumpai di sini. Beginilah bingkai dari pedukuhan
yang sederhana namun tetap nyaman dengan suasana seadanya.
Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara pasangan Sumi-
nem dan Paryanto. Dua nama yang aromanya telah mencerminkan
aroma orang desa, tetapi itulah nama ibu dan bapakku. Sedangkan
aku bernama Haryanto dan kakakku bernama Priyono. Kami ber-
dua masih duduk di bangku sekolah dasar, aku kelas tiga dan
kakakku kelas enam. Namun, entah apa yang menjadi sebabnya,
kini kakakku tak mau melanjutkan sekolahnya lagi. Bapak sudah
membujuk agar mas Pri mau sekolah lagi, tetapi bujukan bapak
berbuah mentah. Setiap pagi kegiatannya hanya menyapu halaman
dari daun-daun kuning yang mati dan berterbangan. Tak jarang
garis-garis goresan sapu lidinya menimbulkan debu dan menyi-
sakannya di setiap lebar daun singkong.
*****
“Har, tangi mamak diewangi” perintah mamak memotong tidur
lelapku ketika subuh saja belum sempat terdengar.
“Aku wis tangi mak, tak raup sik” jawabku sekenanya dengan
mata yang masih erat menempel dan kaki yang berat dipaksa
berjalan menuju arah dapur.
Inilah rutinitasku di pangkal pagi, membantu mamak (sebutan
untuk ibuku) yang telah lebih dahulu bangun. Bahkan rembulan
pun masih jelas bersinar, dan tak jarang pula adzan subuh belum
berkumandang. Akan tetapi beginilah keadaannya, setiap hari
mamak tidak kenal lelah mengais rejeki untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Rutinitasnya dimulai sejak sore dengan mempersiapkan
potongan daun pisang kluthuk dan olahan nasi yang dikaru, dibum-
bui santan lengkap oseng tempe sebagai lauknya. Hingga saat pagi
buta, dengan sigap olahan nasi tadi di-kepel-nya dengan isian oseng
tempe di tengahnya. Kemudian dengan telaten setiap kepelan

Burung-Burung Kertas 197


dibungkus dengan daun pisang dan didang hingga matang. Bahkan
mamak juga menjual gorengan, mulai dari tahu bacem, tempe bacem,
hingga gembus bacem yang semuanya dimasak sendiri. Tak terba-
yang bukan kelelahan yang menumpuk dibenaknya. Itulah upaya
beliau untuk tetap menyambung biaya sekolahku. Meskipun hanya
di sekolah yang sangat biasa, bahkan cenderung buruk menurutku.
Tapi tak apa, ilmu dapat dicari dimana pun ketika kita mau untuk
mencarinya, dan tentu saja sungguh-sungguh sebagai modalnya.
****
“Har, ora turu mengko kecipratan lenga” celetuk mamak ketika
mataku mulai rapat menempel akibat kantuk disaat menggoreng
tahu bacem.
“Ora mak, aku ora turu kok,” sahutku terkaget.
Memang, kami adalah orang dusun yang jauh dari peradaban
atau kemajuan zaman. Geografislah yang menjadi jarak gemerlapan
kota dengan byar-petnya lampu pedukuhan. Maka tak heran ketika
bahasa Indonesia pun susah dikuasai ibuku. Di rumah, hanya aku
dan kakakku yang bisa berbahasa Indonesia. Bahkan banyak
penduduk Dusun Karangpoh yang masih kesulitan menguasainya,
terkecuali bagi mereka yang merantau atau mereka yang berpen-
didikan. Memang terlihat miris, tetapi inilah potret sungguh dari
daerah Gunungkidul. Potret kesatuan dari nusantara yang sesung-
guhnya tak benar-benar satu.
“Le, wis rampung gorenge? Ndang diwadhahke baskom banjur sholat
subuh” perintah mamak kepadaku ketika mengetahui gorengannya
hampir selesai.
“Iyo mak” sahutku singkat sambil mengerjakan perintah mamak.
Selesailah tugas rutin pagiku, saatnya sholat, mandi, dan be-
rangkat ke sekolah. Memang aku terbiasa untuk berangkat pukul
enam kurang seperempat. Jangan dibayangkan sekolahku seperti
sekolahan di kota yang dekat atau sekolahan yang dekat dengan
dusun tempat aku tinggal. Sekolahku adalah sekolahan di dusun
tetangga yang jarak tempuhnya cukup jauh, terlebih jika ditempuh
dengan jalan kaki yang hanya beralaskan sepatu dengan jahitan
di pinggirnya yang sudah terlepas dan sedikit sobek. Memang
demikian, aku harus ke dusun tetangga untuk menempuh pendi-

198 Burung-Burung Kertas


dikan. Bukan karena tidak diterima di sekolah yang lebih dekat,
tetapi ibuku memilih sekolah yang lebih murah.
Sekolahku bernama SD Dilem, sekolah yang terletak di Dusun
Dilem, dusun setelah Dusun Karangpoh, yang letaknya paling
timur dari semua dusun di Desa Semin. Agak sedikit menyayat
hati ketika mengetahui kondisi sekolahku. Letaknya berada di
dataran tinggi, sehingga butuh tenaga ekstra untuk mendaki ketika
akan masuk sekolah. Bahkan kondisinya semakin diperburuk de-
ngan jumlah siswanya yang tidak banyak. Dalam satu kelasku saja
hanya berisi sembilan siswa. Kondisi mereka pun beraneka ragam.
Namun beginilah potret yang harus dijalani, potret masyarakat
pinggiran dari pusat pemerintahan. Potrat masyarakat yang adoh
ratu, cedhak watu dengan segala keterbatasan untuk tetap meng-
gapai asa.
*****
“Har, bawa apa kamu pagi ini?” tanya Gadut teman sekelasku.
“Biasa, gorengan panas” jawabku sambil menunjukkan da-
ganganku.
Gadut adalah teman sekelas sekaligus semeja denganku. Ia
sering membeli gorengan yang aku bawa, maklum ibunya jarang
masak karena pagi-pagi buta harus sudah berjualan di pasar Semin.
Sedangkan bapaknya merantau ke Purwokerto untuk mencari pe-
kerjaan.
“Gorenganmu tidak seperti biasa? Agak sedikit gosong,” tim-
pal si Gadut setelah memakan dua buah gorengan yang dia ambil
dari baskomku.
“Tenane?” jawabku sedikit terkaget
“Mungkin karena semalam aku sedikit mengantuk saat meng-
gorengnya,” timpalku kembali untuk membela diri sebelum Gadut
berbicara lagi.
Terdengar aneh bukan? Memang demikian percakapan kami
ketika dilakukan dengan bahasa Indonesia. Bahasa yang sedikit
asing ditelinga para sesepuh dusun. Terlebih lagi bagi mereka yang
tidak sempat merasakan bangku pendidikan. Maka tak jarang ke-
tika dalam bercakap-cakap terdapat alih kode dalam bahasa yang
digunakan. Mulanya bahasa Indonesia, seiring pembicaraan ber-

Burung-Burung Kertas 199


langsung berubah menjadi bahasa Jawa. Tetapi memang beginilah
adanya, potret masyarakat yang butuh untuk dimaklumi. Terma-
suk pula kami yang berada di dalamnya.
*****
Suatu ketika, ujian kelulusan sudah berada di depan mata.
Aku sebagai siswa rantau dari dusun seberang tak mau kalah
dengan siswa pribumi. Ibuku pun demikian, sehingga beliau me-
relakan aku untuk belajar tanpa membantu pekerjaannya sedikit
pun. Pengorbanan ibu pun tak ku sia-siakan. Setiap pangkal pagi
aku bangun untuk mengulang pelajaran yang ku peroleh di kelas
tadi. Hingga pada suatu pagi buta terdengar suara batuk yang
cukup sering. Tak lain, suara itu bersumber dari suara batuk ibu
yang semakin hari semakin memburuk. Maklum, ibu belum memi-
liki kompor gas, kami hanya menggunakan kompor minyak dan
kayu bakar untuk memasak. Jadi bukan menjadi sesuatu hal yang
mengherankan ketika asap menjadi konsumsi ibu setiap hari. Na-
mun, batuk pagi ini sangat berbeda, suaranya terdengar berat.
Aku mulai khawatir dengan kondisi ibu.
“Mak, mamak rapapa?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Rapapa Har, diteruske wae sinaune!” jawab mamak sembari me-
merintahku untuk melanjutkan belajar.
Yah, ibu tahu kalau hari ini adalah hari ujian terakhirku. Aku
yakin, ibu tidak ingin merusak waktu belajarku dengan merisaukan
keadaannya. Setiap ia batuk, ditenggaknya segelas teh tubruk pahit
dan kental yang sudah agak menghitam akibat terlalu lama diren-
dam air panas. Tapi, bagaimana pun juga aku tetap khawatir. Wa-
laupun demikian, semangat ibu lah yang senantiasa menjadi se-
mangatku untuk terus maju. Meskipun, terkadang aku tak habis
pikir, apa yang ada dibenaknya ketika kelelahan mendera dan
rasa sakit menghampiri.
*****
Selang satu bulan, waktu pengumuman hasil ujian pun datang
juga. Aku tak sabar melihat bagaimana hasil kerja kerasku. Hingga
pada Senin pagi ada seorang guru datang ke gubuk bambu reyot
kami, gubuk yang menjadi tempat tinggal aku dan keluarga. Beliau
ternyata Pak Wahono, kepala sekolah SD Dilem. Dengan sepucuk

200 Burung-Burung Kertas


surat digenggaman, beliau memberikannya padaku. Waktu itu,
bapak dan mamak masih di pasar. Aku hanya tinggal berdua di
rumah dengan kakakku. Kami berdua hanya terheran-heran men-
dapat surat tersebut. Karena tak menjumpai bapak ataupun mamak,
Pak Wahono pun bergegas beranjak dari rumah kami setelah me-
mastikan surat tersebut kuterima.
Belum sempat kubuka surat itu, waktu sudah menunjukkan
pukul setengah tujuh. Aku tidak ingin terlambat dihari yang pen-
ting ini. Hari pengumuman kelulusan SD Dilem. Sesaat sebelum
berangkat, ibuku pulang dengan raut wajah yang pucat. Tak kulihat
bapak mendampingi ibu. Aku pun tak banyak berpikir, yang ada
dibenakku mungkin ibu kecapaian, sehingga hanya butuh istirahat.
Karena dengan istirahat cukup aku yakin nantinya ibu akan segar
kembali.
“Mak, aku pamit. Aku kesusu budhal sekolah, wis kawanen,” pamitku
kepada ibuku yang baru saja pulang dari pasar.
“Ngati-ati Har, surate Pak Wahono mau apa isine?” tanya ibu kepa-
daku sebelum aku berangkat sekolah.
“Durung tak buka, mak. Mengko mulih sekolah tak wacakke,” jawab-
ku kepada ibu sambil berlari menuju sekolah karena takut ter-
lambat.
Ternyata sewaktu pulang dari pasar ibu berpapasan dengan
Pak Wahono, sehingga beliau tahu kalau aku mendapat surat dari
sekolah. Seakan mengacuhkan ibu, dengan tergesa-gesa aku berlari
menuju sekolahan tanpa sempat membacakan isi surat itu un-
tuknya.
Sampai di sekolah, kulihat, semua murid sudah berkumpul,
berbaris di lapangan. Terlihat pula, barisan kelas enam berada di
paling barat dengan siswa yang hanya berjumlah sembilan. Setelah
melihat posisi barisan kelasku, lekas kubergabung tanpa meletak-
kan tasku terlebih dahulu di kelas. Aku berdiri di barisan paling
belakang. Terdengar sayup-sayup Pak Wahono memanggil nama-
ku dan memintaku untuk maju di tengah lapangan. Tak tahu apa
yang dikehendakinya, aku pun hanya dapat menurut dan berjalan
menuju tengah lapangan.

Burung-Burung Kertas 201


“Sudahkah kau buka surat dari bapak tadi, Har?” tanya Pak
Wahono dibantu dengan pengeras suara karena pada saat itu se-
dang dalam kondisi upacara bendera.
“Belum, Pak,” jawabku dengan sedikit malu dan wajah yang
tertunduk.
Dengan segera Pak Wahono membetulkan posisi mikrofon
yang dirasanya kurang tinggi dan mengumumkan kepada seluruh
siswa isi surat yang kuterima tadi pagi. Mendadak aku kaget.
Sontak aku tak dapat berkata-kata. Bahkan seluruh warga sekolah
pun terheran-heran. Tak kusangka isi surat tersebut menjelaskan
bahwa aku menjadi lulusan terbaik dari SD Dilem. Bahkan terdapat
kalimat tambahan yang menjelaskan bahwa aku juga menjadi lu-
lusan terbaik, siswa tingkat sekolah dasar se-Gunungkidul. Sung-
guh mengejutkan, tetapi ini hal yang nyata. Kulihat senyum simpul
tersungging dari seluruh siswa dan guru, serta karyawan SD Di-
lem. Gemuruh tepuk tangan pun menghujani. Ucapan selamat pun
tak henti-hentinya ku terima. Kulihat seluruh rona ceria dan bangga
terlukis di wajah bapak ibu guru. Aku yakin, di dalam hati mereka
aku adalah siswa yang dapat dibanggakan.
Tak selang beberapa lama setelah pengumuman tersebut, ku-
lihat di pintu gerbang bapakku datang. Beliau terlihat tersengal-
sengal, seperti orang yang baru saja berlari menempuh jarak yang
jauh. Segera kuberlari menghapiri bapak. Demikian pula Pak Wa-
hono yang ikut berlari setelah melihatku berlari.
“Pak, ana apa?” tanyaku gugup dengan suara bergetar dan
sedikit khawatir.
“Har, kowe isa mulih saiki ra?” tanya bapak kepadaku.
“Ana apa, Pak?” jawabku sekenanya dengan nada yang benar-
benar panik.
“Mamak pengen ketemu kowe saiki,” jawab bapakku singkat,
tetapi cukup mengisyaratkan sesuatu hal buruk sedang terjadi.
Tak kupikir panjang. Segera kuturuni bukit sekolah yang terjal
dengan berlari. Tak peduli setinggi apa, aku tetap berlari. Bahkan
rasa lelah pun bukan menjadi penghalang untukku dapat berjumpa
dengan ibu segera. Namun apa daya, kakiku mendadak lemas.

202 Burung-Burung Kertas


Peluh yang membasahi sekujur tubuhku pun seakan melepaskan
seluruh tulang ini dari kulitnya. Dengan napas yang tersengal-
sengal, aku berjalan menuju rumah yang sudah dikerumuni banyak
orang. Bendera kuning pun sudah dikibarkan. Kulihat, di tengah
rumah, sudah terbaring kaku mamak dengan kain putih yang me-
nyelimutinya. Tak kusangka, permohonan izin tadi pagi menjadi
pamitan terakhirku kepada ibuku. Bahkan bodohnya, mengapa su-
rat dari Pak Wahono tidak aku tinggal di rumah saja, tetapi justru
aku bawa ke sekolah, padahal ketika kutinggal surat tersebut,
Mas Pri pasti bisa membacakannya untuk ibu.
Otakku seketika itu beku. Pikiran dan mulut terkunci. Badanku
lunglai, langkah gontai, dan jatuh di depan jenazah mamak dengan
disertai air mata yang terus mengalir. Napas yang awalnya terse-
ngal-sengal akibat kelelahan berlari, berubah sesegukan karena
tak sanggup menerima kenyataan ini. Seratus delapan puluh dera-
jat, saat ini berada di depan mata. Sungguh, seharusnya hari ini
menjadi hari yang benar-benar bulat, tetapi runtuh seketika. Tak
dapat kuterima, bahwa bulat tak berarti utuh.

Biodata Penulis
Fajar Wijanarko tinggal di Timuran Mg III/09, RT 01, RW 01, Yogyakarta.
Saat ini Fajar kuliah di Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah menari dan menulis. Moto
hidupnya adalah “Berlarilah ketika orang lain berjalan”. Jika ingin
berkorespondensi dengan Fajar dapat menghubungi: HP 08975802008,
email: Widjanarko.fajar@gmail.com, FB: Fajar Widjanarko, twitter:
@widjanarkof.

Burung-Burung Kertas 203


KABAR KEMATIAN
Arlina Hapsari

Tangan yang gemetaran menari-nari di atas kertas putih. Me-


nuliskan huruf demi huruf. Merangkai kata menjadi kalimat.
Menyusun paragraf demi paragraf yang mengharu biru. Tertuang-
lah sebuah curahan hati yang ditetesi berbutir-butir air mata. Seke-
lebatan ingatan mimpi yang timbul-tenggelam terangkai jelas
dalam tulisan. Mimpi yang mencekam, mencekik, dan menusuk
hingga ke rusuk. Mimpi yang membuat Sari membenamkan kepa-
lanya pada lembaran-lembaran buku hariannya, dan menangis.
Menangis sekencang-kencang yang dapat dilakukannya di tengah
malam yang temaram.
Sari, gadis delapan belas tahun itu, memang istimewa. Bukan
karena ia keturunan ningrat atau karena ia sangat pandai, melain-
kan karena ia memiliki kemampuan mengetahui datangnya ajal
seseorang. Melalui mimpinya, ia dapat mengetahui kapan teman
atau keluarga dekatnya akan menemui ajalnya. Dalam mimpinya
itu, ia didatangi seseorang berjubah putih yang bersuara berat.
Sari menangkapnya sebagai suara seorang laki-laki dewasa. Pria
bersuara berat nun syahdu itulah yang menyampaikan kepada
Sari tentang datangnya kematian.
Keistimewaan itu datang pada Sari tepat di malam ulang tahun-
nya yang kedelapan belas, satu bulan lalu. Malam itu malam Jumat
Kliwon. Bunga-bunga mimpi yang halus membawanya terbang
ke taman yang indah, entah taman apa. Rumput-rumputnya hijau,
burung-burung berkicauan merdu, dan angin yang berhembus se-
poi-sepoi membawa bau menyan yang begitu menusuk. Dari bela-
kang, ia dikagetkan oleh sesosok tinggi besar berjubah putih. Ju-

204 Burung-Burung Kertas


bahnya begitu besar hingga Sari tak dapat menerka bentuk tubuh
ataupun lekuk rupanya. Hanya telapak tangan dengan jari-jemari
yang ramping dan kuku yang panjang saja yang nampak. Kontan
Sari ingin berteriak, tapi suaranya tak dapat keluar. Di alam itu
pita suaranya seolah telah hilang dimakan angin. Dan kaki yang
ingin berayun kencang meninggalkan tempatnya berpijak tak ingin
bergerak meski rasa takut menjadi motor penggerak yang kuat.
Diam. Stagnan. Seperti dilem dengan perekat yang maha lengket.
Membiarkan keinginan kuatnya untuk berlari menjadi basi diitari
lalat dan digerogoti belatung.
Sang pria kemudian berucap, mengabarkan kematian yang
akan menimpa bibi Sari yang berada di Sulawesi. Setelah kabar
itu selesai diucapkan, sang pria berjalan membelakangi Sari. Pergi
menjauh entah ke mana dengan membawa kitab yang begitu tebal
di tangan kirinya. Dua detik kemudian pria itu benar-benar meng-
hilang dari pandangan mata Sari. Hilang diterbangkan angin di-
ngin yang berhembus dengan kencangnya. Saripun terbangun dari
tidurnya yang panjang. Tidak seperti mimpi-mimpi sebelumnya
yang begitu mudahnya dilupakan oleh Sari begitu ia terbangun,
mimpi bertemu sang pria misterius dan suara pesan yang disampai-
kan kepadanya itu masih saja terngiang-ngiang di kepalanya. Sari
mencoba untuk tenang. Ia tak ingin percaya pada mimpi. Mimpi
adalah omong kosong belaka.
Dua hari kemudian, sampailah kabar ke telinga Sari bahwa
bibinya yang tinggal di Sulawesi meninggal dunia. Kata-kata sang
pria yang berusaha keras ia lupakan terngiang kembali, terngiang
dengan jelas seperti baru saja ia dengarkan, tetapi Sari tetap bersi-
kukuh bahwa ini adalah kebetulan. Kebetulan semata yang tak
berarti apa-apa. Tiga bulan kemudian, sang pria berjubah putih
menyambangi mimpi Sari lagi. Ia kembali mewartakan bahwa
sahabat karib Sari akan meninggal. Dan, apa yang dikatakan oleh
sang pria benar terjadi. Empat hari kemudian, persis seperti apa
yang dikatakan oleh pria bunga mimpi, sahabat karib Sari me-
ninggal. Sari menangis, menjerit sekuat-kuatnya. Bukan hanya kare-
na kehilangan sahabat karibnya, tetapi terlebih karena ia takut,
sangat takut pada mimpinya. Mimpi yang meminta nyawa sebagai

Burung-Burung Kertas 205


tumbalnya. Mimpi yang haus darah manusia. Mimpi yang seperti
drakula.
Tidur. Aktivitas itu kini menjadi aktivitas yang paling ditakuti
Sari. Ia ingin tidak tidur, tapi ia manusia normal yang dapat merasa
ngantuk. Sekeras apapun ia mencoba, bahkan dengan meminum
bergelas-gelas kopi hitam panas yang kental seperti bubur sekali-
pun, rasa lelah yang mengundang kantuk luar biasa itu tak dapat
ditahan. Dan, badannyapun akan ambruk. Tergeletak di kasurnya
yang empuk. Sejenak iapun istirahat dengan keterpaksaan, melepas
lelah yang telah lapuk menumpuk. Ketika mentari pagi memba-
ngunkannya, tubuhnya gemetaran. Beberapa tetes air mata akan
mengalir membasahi pipinya. Tak lama kemudian, bibir tipisnya
pun akan bergumam menyenandungkan rasa syukur karena tak
bertemu dengan si pria berjubah putih. Semoga besok-besokpun
demikian. Semoga pria itu tak datang lagi padanya. Begitulah ha-
rapan yang selalu ia nyanyikan melalui bibirnya yang kering dan
pucat.
Sudah dua bulan mimpi terkutuk itu tak datang pada Sari. Ia
sangat bersyukur karenanya meskipun setiap akan tidur ia selalu
merasa ketakutan, dan kalau ia bisa memilih, ia rela menjadi ma-
nusia abnormal yang tidak pernah tidur di sepanjang hidupnya.
Menginjak dua hari lebihnya dari dua bulan, tak terduga pria itu
datang. Dari kejauhan sosoknya yang kecil membesar, membesar,
dan sosoknya menjadi jelas di depan mata Sari. Ia berdiri di hadap-
an Sari tanpa rasa bersalah, tanpa muka yang seharusnya dipenuhi
dengan dosa. Ia duduk di kursi coklat tepat di hadapan Sari. Entah
sejak kapan dan dari mana kursi itu berasal. Tak langsung meng-
ucap sepatah kata, pria itu membuka kitab yang selalu ia tenteng
di tangan kirinya. Ia menulis, entah menuliskan apa, dengan bulu
ayam yang juga entah ia dapatkan dari mana. Lama, lama sekali
rasanya ia menulis seperti tak menyadari bahwa ada yang tengah
menunggunya. Ia menuliskan sesuatu yang sangat panjang dan
rumit dalam kitabnya yang tak bisa dibilang sekelumit. Siapa pria
itu? Kitab apa yang ada di genggaman tangannya itu? Mungkinkah
itu kitab garis hidup Sari? Ada gejolak rasa ingin tahu yang dalam
pada diri Sari. Ingin rasanya ia merebut kitab itu dan membacanya.

206 Burung-Burung Kertas


Tapi, tak mungkin. Pria itu adalah pria yang sakti, dan kalaupun
ia bersedia bernegosiasi untuk memberikan kitab itu pada Sari, ia
pasti akan meminta imbalan yang besar. Kemungkinan ia akan
meminta hal yang sama seperti yang diminta Batara Guru kepada
Batara Kresna ketika Batara Kresna meminta Jitapsara, Kembang
Wijayakusuma. Sari mengumpat dalam kebisuannya. Jelas kentara
ia tak mungkin mendapatkan kembang ajaib itu.
Setelah sekian lama beradu dengan pena dan setumpuk jilidan
kertas putih, pria berjubah putih itu mengakhiri kesibukannya.
Dengan suara yang tenang iapun mulai mengeluarkan suaranya.
Suara yang sama sekali tidak ingin Sari dengar. Tapi serapat-ra-
patnya Sari menutup daun telinganya, suara yang membawa warta
kematian itu akan tetap terdengar dengan jernih dan jelas seperti
tak terhalang suatu apapun.
Ketika apa yang diwartakan oleh si pria berjubah putih itu
benar terjadi, bulu kuduk Sari sontak berdiri. Ia ingin menerima-
nya sebagai suatu kebetulan belaka tapi, apakah ini masih dapat
disebut sebagai kebetulan? Sesuatu yang dengan jelas ia ketahui
dan tanpa meleset sedikitpun benar terjadi? Ia menutup telinga
dan memejamkan mata dengan rapat. Ia melawan kenyataan itu.
Sekuat tenaga, ia menyangkal segalanya. Kabar kematian itu baru
ia dengar dari tetangganya pagi ini, bukan tiga hari yang lalu. Ia
menusukkan semua kenyataan palsu itu pada ingatannya, tapi
ingatannya melawan, menusuk balik pada kesadarannya. Saripun
terjatuh di pekarangan depan rumahnya. Kesadarannya melayang.
Pingsan.
“Sar, Sari,” suara panggilan yang disertai dengan bau minyak
kayu putih yang menyengat membuka kedua kelopak mata Sari.
Di sekelilingnya ia dapati para tetangga yang semua pandangannya
terarah padanya. Mereka menatap dengan cemas, tapi Sari me-
nangkapnya sebagai mimik wajah yang meminta jawaban yang
jawabnya mengerikan. Pertanyaan-pertanyaan “Sari, kamu kena-
pa?” dalam liang-liang pendengaran Sari diterjemahkan menjadi
“Sari, apa waktuku tiba?”
Seorang ibu berambut putih di yang duduk di samping tempat
tidur Sari ikut mengajukan pertanyaan, “Sari, sudah merasa baik-

Burung-Burung Kertas 207


an?” tapi Sari mendengarnya sebagai “Sari, apakah waktu tiba
sekarang?” Napas Sari tersengkal-sengkal merasakan ketakutan
luar biasa yang menjalari seluruh tubuhnya. Keringat dingin pun
menetes tiada henti. Dan jantung, ikut berdetak dengan kencang
seolah tak ingin kalah aksi. Sari menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya, dan dengan teriakannya yang keras, ia meng-
usir semua tetangga yang menolongnya. Memaki-maki mereka
dengan kata-kata yang Sari sendiripun tak tahu apa.
“Sar, Sari, kamu kenapa, Nak?” seorang wanita tengah baya
yang berlinangan air mata tetap tinggal. Ia tak sampai hati mening-
galkan putrinya seorang diri menghadapi kekacauan dan ketakutan
batin yang entah dari mana asalnya itu.
“Pergi. Jangan tanya. Jangan bertanya kepadaku!” teriak Sari
seraya menangis dan menuding-nudingkan telunjuknya tepat di
depan mata wanita yang telah membesarkannya.
Sang ibu menangis sejadi-jadinya di samping Sari yang terus-
menerus berteriak. Memandang putrinya yang akhir-akhir ini mu-
lai berperilaku aneh membuat hatinya tercabik-cabik. Putri semata
wayangnya itu kerap murung, berbicara seorang diri, dan jarang
tidur. Kesehatannyapun menurun drastis. Sari kerap demam dan
badannya yang gemuk menjadi kurus kering. Yang paling menya-
kitkan, Sari tak lagi memanggil dirinya dengan sebutan ibu. Sari
seakan lupa bahwa wanita berlesung pipi itu adalah orang yang
telah mengandungnya selama sembilan bulan dan membesarkan-
nya hingga saat ini. Masih beruntunglah Kunti Talibrata yang tetap
diakui ibu, dicintai, dan dihormati oleh Adipati Karna meski ia
tak pernah mengasuh dan membesarkannya.
Satu minggu kemudian pria berjubah putih kembali datang.
Di mata Sari, jubah putih itu tak lagi berwarna putih bersih yang
berkilauan, melainkan telah berubah warna menjadi merah mem-
bara laksana iblis yang licik dan jahat. Suasana sekitar yang tadinya
terasa sejuk, setelah kedatangan tamu mengerikan itu, kini menjadi
panas luar biasa. Mendidih Sari dibuatnya, tapi pria itu tak mau
ambil pusing. Setelah membuka sejenak kitab coklat tuanya, ia
pun langsung menyampaikannya kepada Sari kabar kematian yang
seperti biasa kontan membuat Sari terbangun dari tidurnya.

208 Burung-Burung Kertas


Kini ketika mata Sari mulai terbuka, ruang gelap yang pengap
dengan suara tangisan yang menyayat hatilah yang menyambut-
nya. Dengan tangannya, ia ingin mendorong tubuh wanita tua
yang jeritan tangisnya seperti raungan serigala, tapi ia tak sanggup
karena kedua tangannya diborgol dengan besi. Ia ingin menen-
dang wanita tua itu agar tidak dekat-dekat dengannya, tapi ia
tak sanggup karena kakinya diikat dengan rotan. Sari meraung-
raung ingin melepaskan semua ikatan yang melilitnya. Ingin memu-
kuli siapa saja yang ada di sekitarnya, tapi ia tak sanggup. Ia hanya
mampu meronta dan meronta. Menyakiti dirinya sendiri, dan juga
sang ibu yang selalu setia merawatnya.
Malam yang gelap, bintang yang gemerlap, dan bulan yang
bopeng hanya mempu menemani dan menyaksikan. Mereka tak
ingin melakukan hal yang lebih dari itu. Dan mimpi yang menye-
ramkan dengan pria berjubah putih tetap hadir di kala ia harus
menyampaikan kabar kematian. Ia tak peduli betapa kedua wanita
itu sangat menderita karenanya. Datang dan terus datang karena
kematian pasti akan datang kepada setiap mereka yang hidup,
dan esok petang pria berjubah putih akan membawakan warta
yang penting, tentang kabar kematian sang Ibu...

Biodata Penulis
Arlina Hapsari tinggal di Jalan Ringroad Utara, Gandok, Condongcatur No.10,
Depok, Sleman, Yogyakarta. Saat ini Arlina kuliah di Jurusan Akuntasi,
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah
membaca, menulis, bercerita. Jika ingin berkorespondensi dengan Arlina
dapat menghubungi: HP 085640635505, 0274-540545, email:
arlinahapsari@hotmail.com, hapsariarlina@gmail.com.

Burung-Burung Kertas 209


CERITA BAHAGIA SELEPAS HUJAN
Suci Nurani Wulandari

Pada suatu ketika, keindahan setelah hujan selalu menjadi ce-


rita bahagia bagi yang percaya. Mengenai bianglala yang memiliki
berbagai warna atau tanah basah penyubur pohon pepaya di depan
rumah. Aku adalah salah satu yang percaya, namun bukan lagi
tentang bianglala atau tanah basah.
Hujan baru saja berhenti, lalu cerita bahagia mengalir bersama
dengan ketabahan yang dipupuk cukup lama, darimu. Cerita itu,
kini akan aku kisahkan kepada para pemberani yang hampir me-
nyerah. Sambil minum kopi atau mungkin teh, di sisi kaca jendela
yang masih berbekas bulir-bulir air hujan.
***
Tawa kami menggema di sepanjang lorong. Betapa hidup te-
rasa sangat menyenangkan ketika banyak hal bisa dijadikan
lelucon dan ditertawakan bersama-sama. Banyak hal itu, apa saja,
asal kesedihan hati tidak terasa terlalu dalam. Juga supaya awet
muda, kata orang, maka banyak-banyaklah tertawa.
Namun, banyak hal bukan berarti semua hal. Ada juga yang
pantang untuk ditertawakan. Bencana alam adalah salah satu yang
masuk di daftar teratas. Orang-orang tolol menjadikan bencana
sebagai lelucon. Bencana yang bahkan hanya mereka tonton dari
televisi atau internet.
“Ada temanku yang cerita begini. Dia lari-lari keluar rumah
tanpa baju ketika gempa. Tanpa baju sama sekali. Coba bayangkan!
Kalau lihat secara langsung pasti aku ketawanya bisa sampai se-
harian. Hahahaha,” ujar seorang teman dari Bandung suatu hari.

210 Burung-Burung Kertas


Semua yang kebetulan ada di situ tertawa serempak kecuali
aku. Mereka tidak menyadari bahwa aku tidak ikut tertawa dan
mukaku berubah pucat. Aku menundukkan kepala hingga ada
yang menanyakan keadaanku.
“Kamu sakit?”
Aku menggeleng. Sesaat kemudian aku mengangkat kepala
sambil menunjukkan mata merah menahan tangis juga marah.
Semua yang awalnya tertawa tiba-tiba diam, kebingungan.
“Kalian tidak akan bisa tertawa seperti tadi kalau Mei 2006
kemarin kalian ada di sini. Kalau saja kalian tahu rasanya kehi-
langan hampir separuh keluarga kalian hanya dalam hitungan me-
nit, kalian pasti tidak akan bisa tertawa seperti tadi,” kataku geme-
taran sambil tetap menahan tangis.
Mereka meminta maaf. Aku hanya mengangguk sambil per-
misi pulang karena teringat pesanmu bahwa sebaik-baiknya pene-
rimaan adalah menyimpan kesedihan agar tidak tertular ke orang
lain. Biarlah kesedihan tentang kehilanganmu menetap sebagai
pengingat ketika aku tertawa terlalu keras. Agar kebahagian yang
tercipta tidak tumpah-tumpah lalu menjadikan sedih bagi orang
lain. Sebab, sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik.
***
Hujan.
Aku pernah berpikir bahwa kemungkinan adalah lelucon fa-
vorit Tuhan. Ia seringkali menjebak hamba-hambanya, entah yang
taat atau yang tidak, ke dalam lubang laknat kemungkinan. Mung-
kin hujan akan berhenti hari ini, mungkin juga tidak. Mungkin
aku akan lulus tahun depan, mungkin juga tidak. Hari itu, kemung-
kinan milikmu adalah sembuh atau tidak.
“Hujannya deras.”
Aku yang sedang asyik membaca majalah menengok ke arah-
mu. Kamu sedang memperhatikan hujan melalui kaca jendela.
Aku kembali fokus pada bacaanku.
“Dek, cuma kamu yang bisa membantuku meyakinkan Bapak
sama Ibu. Tolonglah. Hanya sekali ini aku minta padamu. Aku
tidak akan hidup lama. Sebentar lagi…”

Burung-Burung Kertas 211


Ucapanmu tidak selesai karena terkejut mendengar majalah
yang sedari tadi kupegang dibanting ke lantai.
“Bisa berhenti bicara soal kematian? Tuhan yang lebih tahu,”
kataku dingin.
Kamu menghela napas panjang lalu kembali menatap hujan
melaui kaca jendela. “Cuma ini yang aku minta. Sungguh.”
Aku menggigit bibir kuat-kuat supaya tidak berteriak keras
di hadapanmu. Ada banyak sekali kata yang tidak pernah tersam-
paikan. Bukan karena tidak mampu, tapi tidak mau. Aku juga begitu
ketakutan terhadap kemungkinan yang ada. Mungkin saja kamu
sembuh, mungkin saja kamu mati. Mungkin saja kamu tetap hidup
tapi terus menerus sakit. Mungkin saja kamu sembuh. Mungkin
saja…
***
Masih pagi. Langit bahkan tidak menunjukkan raut muram
sama sekali. Mendadak seluruh perangkat komunikasi yang ada
sulit digunakan. Kepanikan berubah wujud mirip gelombang bunyi
sehingga bisa merambat melalui udara, air, batu, pohon, dan apa
saja. Situasi tidak tekendali. Banyak manusia yang memperlihatkan
wujud aslinya sebagai binatang. Memanfaatkan keadaan yang ada
untuk mencuri, mengintimidasi, bahkan menyingkirkan sesa-
manya.
Informasi muncul mendadak dan serempak. Dari sisi selatan
ada tsunami yang sedang datang. Dari arah utara ada Gunung
Merapi yang siap meletus hebat. Semua orang berlarian ke berbagai
arah menyelamatkan diri sendiri.
Beberapa jam kemudian, keadaan sudah sedikit lebih tenang
meskipun kami masih gelisah. Doa bersama digelar mendadak.
Sore tiba meski terasa lebih lama dari biasanya. Bantuan tenaga
medis, tenda, makanan, dan pakaian bersih telah datang. Melalui
para sukarelawan inilah kami tahu bahwa pagi tadi ada gempa
berkekuatan 5,9 skala Richter melanda kota ini. Yogyakarta dan
kabupaten lain retak, kecuali Bantul. Kabupaten itu hancur, hampir
seluruh rumah rata dengan tanah.

212 Burung-Burung Kertas


Dari informasi inilah kepanikan kembali muncul meski hanya
pada kami. Sejak seminggu yang lalu, kamu berada di Bantul bersa-
ma beberapa saudara lain yang seumuran denganmu. Kalian meng-
inap di rumah eyang. Hingga berjam-jam kemudian, hidup seolah
hanya berisi kecemasan. Tetap tak ada kabar. Alat komunikasi
belum bisa digunakan. Akhirnya bapak nekat menyusul ke rumah
eyang.
“Mbakmu selamat, tapi cuma dia yang selamat dari rumah
eyang,” kata bapak ketika pulang ke tenda pengungsian hampir
tengah malam. Ibu yang sedari tadi menangis kini memelukku
sambil gemetaran.
Aku mengucap syukur. Pada hari itu, semua orang mengira
bahwa kamu selamat. Sayangnya, maut lebih lihai daripada akal
manusia. Dia tidak bisa ditebak apalagi diperkirakan. Lalu, maut
menyusup melalui ketidaksiagaan pertolongan pertama. Maut
mengincarmu secara saksama.
***
Mei berlalu. Sisa-sisa ketakutan dan keterkejutan akan gun-
cangan gempa masih menghinggapi warga Yogyakarta. Namun,
hidup harus tetap berjalan. Kamu yang selamat dari reruntuhan
bangunan memasuki masa gelap. Gelap gulita.
“Nanti HD jam 3 kamu yang anter ya, Dek,” katamu.
Aku mengangguk. Biasanya juga selalu aku yang mengantar-
mu, tapi kamu masih saja meminta seolah aku tidak mau melaku-
kannya. Sudah hampir tiga bulan kamu dinyatakan menderita ga-
gal ginjal. Hampir mustahil diterima akal terutama bagi kami yang
kurang mengerti medis. Dokter sudah menjelaskan panjang lebar
namun masih terasa sulit diterima.
Menurut dokter, kamu mengalami gagal ginjal. Korban rerun-
tuhan bangunan atau tanah yang selamat berisiko tinggi terhadap
komplikasi, terutama gagal ginjal. “Risiko semakin tinggi karena
pertolongan pertama salah,” papar dokter. Seharusnya, kamu men-
dapatkan cairan NaCl khusus sebelum reruntuhan diangkat. Bah-
kan, cairan yang entah seperti apa itu wujudnya, harus diberikan
banyak-banyak hingga dirasa cukup.

Burung-Burung Kertas 213


Kamu mendengarkan penjelasan dokter yang cukup rumit de-
ngan memasang wajah datar, bahkan seperti tidak mendengarkan.
Malamnya, aku menangis diam-diam di kamar. Betapa hidup begi-
tu rumit dan terasa tidak adil. Bebanmu sungguh terlalu berat.
Setelah itu, kamu mulai melakukan hemodialisa atau yang se-
ring disebut HD secara rutin. Awalnya sebulan sekali, lalu dua
minggu sekali. Pada bulan ketiga, hemodialisa berjalan seminggu
sekali di awal, hingga akhirnya seminggu dua kali. Meski begitu,
kamu tidak terlihat terpuruk. Agak aneh memang.
“Pulangnya mampir toko buku, ya,” katamu membuyarkan
lamunanku.
“Siap. Asal jangan lama-lama,” ujarku.
Kamu pernah berkata bahwa kamu masuk ke dalam kege-
lapan. Tidak mati, namun untuk sekadar hidup saja harus berusaha
keras. Semenjak itu, seluruh waktumu seperti terbagi menjadi dua.
Beribadah dan membaca.
“Kamu takut?” tanyaku.
Kamu balik bertanya, “Takut apa?”
“Gelap.”
Kamu menggeleng sambil tersenyum. “Kenapa tanya begitu?”
Aku mengangkat bahu sambil mengerutkan kening. “Entah,
cuma penasaran. Tenang saja, pasti kegelapan yang kamu sebut-
sebut itu bisa digantikan cahaya terang asal kamu percaya. Hehe,”
aku terkekeh sendiri karena ucapanku.
“Kamu tahu kenapa aku rajin membaca dan beribadah setiap
hari?”
Aku menggeleng.
“Coba tebak,” katamu.
“Mmmm.. supaya ada cahaya terang dalam kegelapan melalui
iman dan pengetahuan?” jawabku sok pintar.
Kamu tertawa cukup keras sambil mencubit lenganku. “Bukan.
Jawabanmu mengerikan sekali. Aku rajin beribadah agar terbiasa
dalam gelap. Dulu kan sudah biasa di tempat terang penuh cahaya,
sekarang mau mencoba bertahan di tempat gelap. Jadi, kalau kamu
tiba-tiba kehilangan cahaya, tidak perlu panik. Ada aku. Aku akan
membimbingku dalam gelap. Hehe,” jelasmu panjang lebar.

214 Burung-Burung Kertas


Ganti aku yang mencubit lenganmu. Jawaban yang kamu beri-
kan tidak kalah aneh dari milikku.
“Kamu tahu etiolasi?” tanyamu. Aku menggeleng sambil
curiga.
“Etiolasi itu pertumbuhan tumbuhan yang sangat cepat di
tempat gelap. Namun, pertumbuhan batang juga daunnya kurang
kokoh. Kondisi tumbuhan yang mengalami etiolasi sangatlah le-
mah. Aku seperti mengalami etiolasi dalam hidupku. Tumbuh cepat
dalam gelap. Namun aku kokoh dan kuat karena ada kamu, Bapak,
dan Ibu yang selalu ada,” jelasmu.
Hampir saja aku menangis karena terharu. Benar, kamu meng-
alami etiolasi. Lebih luar biasa lagi, kamu mampu memisahkan
proses yang tidak diperlukan sehingga tidak tumbuh lemah mau-
pun kurang kokoh.
“Eh, lalu kenapa rajin sekali membaca buku? Etiolasi juga?”
tanyaku memecah hening.
“Bukan. Hanya sedang berkeliling dunia dengan cara murah
dan mudah. Hehe.”
***
Kamis minggu kedua bulan Maret.
Berbahagialah. Keinginanmu terpenuhi. Aku sudah membujuk
Bapak dan Ibu memenuhi keinginanmu. Meskipun mereka selalu
menolak, tapi pada akhirnya apa yang sungguh-sungguh kamu
inginkan terwujud.
Hari ini, aku menemui banyak sekali pejuang-pejuang seperti-
mu. Lalu aku menceritakan kisahmu sebagai salah satu kampanye
pada Hari Ginjal Sedunia. Kisahmu, kisah yang dulu kamu cerita-
kan padaku, lalu kuceritakan pada bapak dan ibu.
Keluarga penerima donor organmu sering mengunjungi kami.
Bahkan, banyak yang ikut kampanye Keep Healthy Kidney dan men-
jadi donator. Laki-laki yang menerima korneamu kini menjadi ke-
kasihku. Sungguh, tidak ada yang sia-sia. Keinginanmu terpenuhi.
Jadi, berbahagialah.
***

Burung-Burung Kertas 215


Hujan baru saja berhenti. Kamu sudah pergi. Namun, cerita
bahagia setelahnya baru akan dimulai. Semangatmu untuk ber-
manfaat bagi yang lain seperti energi. Kekal. Tak bisa dihilangkan.
Meski bisa ditambah atau dikurangi, energi harus muncul di tempat
lain dengan daya yang sama meskipun berbeda bentuk. Energi
tidak bisa dihilangkan, sama dengan semangatmu untuk berman-
faat bagi yang lain. Kekal.
“Kenapa kamu begitu ngotot ingin mendonorkan semua
organmu yang masih bisa difungsikan? Yakin mau didonorkan
semua setelah mati? Kornea, hati, jantung, sendi? Astaga.”
Kamu mencubit bahuku seperti biasa.
“Kamu tahu kan kalau aku suka hujan?” kamu tidak menjawab
pertanyaanku dan malah menanyakan pertanyaan lain.
“Ya. Sangat suka. Jawab pertanyaanku!” pintaku sedikit me-
maksa.
“Tapi aku lebih suka ketika hujan berhenti. Sesudahnya muncul
banyak sekali laron. Mereka muncul dari sarangnya, lalu terbang
mengerubungi cahaya demi bertahan hidup. Biasanya, laron-laron
yang terbang dimakan burung atau ditangkap manusia untuk
digoreng. Begitulah cara mereka bermanfaat bagi yang lain,”
ujarmu panjang lebar.
“Tapi mereka tetap mempertahankan diri supaya tidak di-
mangsa. Semua makhluk hidup begitu. Hei, jawab pertanyaanku!”
kataku galak.
Kamu tersenyum. “Salah. Laron tidak mempertahankan diri.
Setelah keluar dari sarangnya mereka hanya bisa bertahan hidup
sebentar. Ketika sayap-sayap laron lepas dari tubuhnya, mereka
tidak akan bertahan hidup lama kecuali kawin. Tapi, ya… jarang
sekali yang bisa kawin. Aku ingin seperti laron. Meski hidup se-
bentar namun tetap bermanfaat bagi yang lain.” Aku memelukmu.
Merekam semua yang kamu ucapkan melalui dekap agar bisa ku-
sampaikan pada yang lain.
Hujan baru saja berhenti. Masih ada bekas bulir-bulir air hujan
di kaca jendela. Laron muncul secara bergerombol. Aku membawa

216 Burung-Burung Kertas


kantong plastik untuk menangkap mereka dan setelahnya digo-
reng. Ah, nikmat sekali rasanya, berprotein tinggi, dan selalu bisa
mengurangi rinduku padamu.

Biodata Penulis
Suci Nurani Wulandari tinggal di Plaosan RT 07/RW 18, Tlogodadi, Mlati,
Sleman. Saat ini Suci kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah menulis, membaca buku
cerita. Jika ingin berkorespondensi dengan Suci Nurani Wulandari dapat
menghubungi: HP 085643338861, email: uc_13@yahoo.com, FB: Ucig
Wulandari, twitter: @ucig.

Burung-Burung Kertas 217


PAKDH E
Anita Meilani

Undangan itu baru sampai di telinga Bu Yun dua minggu yang


lalu. Terkesan tidak semestinya karena si empunya hajat adalah
kakak satu-satunya dari Bu Yun sendiri. Apalagi hajatan ini cukup
besar, pernikahan putri pertama sang kakak. Apakah mungkin
karena Bu Yun tinggal jauh di Semarang, sementara sang kakak
di Jogja, Bu Yun tidak tahu juga. Tetapi di zaman modern ini,
jarak bukan lagi menjadi hal yang memperlambat datangnya infor-
masi. Jelek-jelek, setidaknya Bu Yun juga mempunyai telepon geng-
gam. Dan toh datangnya undangan dua minggu yang lalu itu juga
hanya dari telepon sang kakak, bukan undangan secara langsung
tatap muka.
Maka dari itu Bu Yun sedikit gusar. Suaminya tersinggung
atas sikap kakaknya yang menurut sang suami kurang ilok. “Sama
adik sendiri kok mengundangnya seperti itu, mbokya jangan hanya
lewat telepon, lebih-lebih mendadak lagi,” kata suaminya. Kalau
sudah begitu Bu Yun hanya diam saja, toh ucapan suaminya ada
benarnya juga.
Tapi meskipun terkesan sering marah, suaminya sebentar-
sebentar lunak juga. Seperti hari ini, dua hari sebelum pernikahan
keponakannya itu, Bu Yun dan dua anaknya yang masih kecil-
kecil, sulung kelas empat SD, bungsu TK nol kecil, sudah bersiap-
siap akan berangkat ke Jogja. Malam sebelumnya Bu Yun sudah
berdiskusi dengan suaminya tentang sumbangan yang akan dibe-
rikan kepada kakaknya. Masalahnya, undangan hajatan yang tiba-
tiba itu membuat mereka tidak siap dengan pengeluaran tambahan
yang tidak sedikit untuk biaya ke Jogja. Akhirnya mereka memu-

218 Burung-Burung Kertas


tuskan menggunakan dulu uang yang akan dipakai untuk memba-
yar kontrakan rumah yang sebenarnya sudah jatuh tempo minggu
lalu.
“Kan Pakdhe itu kangmas-ku satu-satunya to, Pak. Jarang ber-
temu dan hajatan ini baru pertama kali. Jadi pakai uang kontrakan
ini dulu semuanya, sekali-kali ini,” kata Bu Yun.
Suaminya manggut-manggut. “Ya sudah, nanti pinjam lagi saja
ke koperasinya Pak Harto buat bayar rumah. Tapi sayanggak usah
ikut ke Jogja. Soalnya kalau saya ikut, libur kerja, rugi to. Siapa
yang cari uang?”
Begitulah. Bu Yun lalu menyiapkan amplop untuk kakaknya.
Membeli baju baru untuk anak-anaknya agar terlihat pantas di
resepsi pernikahan besok. Uang yang seharusnya untuk membayar
kontrakan itu kini tinggal sisa-sisanya. Ya tidak apa-apa, toh uang
bisa dicari lagi.
***
Di dalam bus ekonomi yang mengantarnya ke Jogja, Bu Yun
merenung banyak sepanjang perjalanan.
Selama ini, menurut Bu Yun hubungannya dan kakaknya baik-
baik saja. Apalagi Bu Yun jarang bertemu dengan kakaknya, kecil
kemungkinan ada kata-katanya yang pernah menyinggung pera-
saan sang kakak dan keluarganya. Bu Yun pun tak habis pikir,
kenapa kakaknya seolah berubah beberapa tahun terakhir ini. Ke-
harmonisan hubungan mereka semakin lama semakin merenggang,
entah kenapa. Dulu, kakaknya sangat perhatian pada dia, adik
satu-satunya. Ditambah lagi kondisi ekonomi Bu Yun yang, kasar-
nya, berada di bawah garis kemiskinan, maka setiap lebaran kakak-
nya malah yang selalu mengunjunginya, dan sekadar memberi
THR pada Bu Yun. Kebetulan waktu itu usaha warung bakso sang
kakak sudah mulai mengalami kemajuan dan memberikan peng-
hasilan yang layak meskipun masih pas-pasan. Sedangkan Bu Yun,
jauh-jauh merantau ke Semarang toh juga hanya jadi buruh cuci,
dan suaminya buruh di tempat pencucian mobil dan motor. Tapi
belum juga Bu Yun mendapat kehidupan yang lebih baik, kakaknya
sudah tidak pernah lagi memberi tunjangan kepadanya.

Burung-Burung Kertas 219


Sekarang, kakaknya sudah jadi orang kaya. Anaknya sudah
jadi perawat. Mereka hidup makmur jauh di atas garis kemiskinan.
Beberapa tahun terakhir perkembangan usaha warung baksonya
semakin meningkat, dan kakaknya pun panggilannya sudah jadi
juragan bakso. Mobilnya lima, yang empat diusahakan untuk jasa
sewa mobil, yang satu dipakai sendiri. Bu Yun seringkali mengira-
ngira berapa untung yang didapat kakaknya dari dua usahanya
itu dalam sehari. Mungkin sama seperti gaji Bu Yun dalam sebulan
yang hanya sebatas UMR. Entahlah.
***
“Bu, aku lapar,” rengek bungsu Bu Yun saat mereka berjalan
di depan warung-warung makanan di terminal Giwangan.
“Sebentar lagi sampai di rumah Pakdhe, kok. Makan disana
saja, ya,” kata Bu Yun menenangkan anaknya.
“Mbak Nopi nikah ya, Bu. Nanti makanannya enak-enak?”
tanya si bungsu lagi.
“Iya-iya. Makanya sekarang cari bus lagi dulu ya, buat ke
rumah Pakdhe.”
Tigapuluh menit kemudian Bu Yun dan anak-anaknya sudah
sampai di depan muka rumah kakaknya. Tidak terlalu ramai ka-
rena tempat resepsi bukan di rumah tetapi menyewa sebuah ge-
dung pernikahan. Pakdhe sedang berbincang-bincang dengan para
tetangga yang datang. Saat melihat Bu Yun datang, kakaknya itu
lantas menghampiri.
“Kok baru datang to, Yun?” tanya sang kakak setelah Bu Yun
dan anak-anaknya menyalaminya.
“Liburnya kan, tidak bisa lama-lama, Mas. Anak-anak masih
sekolah,” kata Bu Yun.
“Ya sudah sana ke belakang dulu sana ketemu mbakyu-mu.
Istirahat dulu,” ujar kakaknya.
Bu Yun masuk ke dalam rumah dan menemui istri kakaknya
yang tengah berada di dapur bersama para tetangga juga.
“Oalah Yun, Yun. Hanya dari situ kok, baru datang,” ujar
Budhe sama seperti kalimat suaminya. “Sini-sini, barang-barangmu
ditaruh di sini saja,” kata Budhe lagi sambil menunjukkan kamar
di dekat dapur.

220 Burung-Burung Kertas


Bu Yun dan anak-anakanya menurut saja. Bu Yun tengah
mengganti pakaian si bungsu ketika anaknya itu berujar, “Katanya
mau makan, Bu.”
Bu Yun kaget juga. Sudah beberapa waktu disitu tapi Budhe
belum juga menawarinya makan. Bahkan minum sekalipun. Ken-
dati di rumah kakaknya sendiri, canggung juga rasanya jika tiba-
tiba ia minta makan untuk anak-anaknya. Apalagi sambutan sang
kakak kepada mereka hanya biasa-biasa saja. Seakan-akan mereka
bukan adik yang hanya satu-satunya.
Namun karena tidak tega melihat anak-anaknya lapar, Bu Yun
keluar juga dari kamar menuju meja makan. Mengambil piring
dan nasi untuk anaknya.
“Wah, ya itu Yun, ambil saja. Masakannya baru matang kok.
Tapi ya, hanya seperti itu,” kata Budhe saat melihat Bu Yun meng-
ambil makanan.
Entah kenapa, Bu Yun merasa seperti tersengat listrik mende-
ngar kata-kata istri kakaknya. Ia memandangi lauk-pauk yang tak
hanya sekadar tahu dan tempe di hadapannya. Lalu menoleh me-
mandang istri kakaknya. Budhe sedang tersenyum menatap Bu
Yun.
***
Hari pernikahan tiba. Semua orang sibuk bersiap-siap. Apalagi
suami-istri kakak Bu Yun, mereka terlalu sibuk bahkan untuk me-
nyapa anak-anak Bu Yun. Di depan rumah berjajartiga mobil dan
sebuah bus untuk mengantar ke tempat resepsi pernikahan. Tiga
mobil itu milik Pakdhe sendiri. Anak-anak Bu Yun langsung me-
rengek minta ikut mobil itu. Bu Yun menenangkan mereka karena
rombongan belum akan berangkat. Tiba-tiba Pakdhe menghampiri
Bu Yun.
“Yun, nanti kamu ikut busnya saja, ya. Mobilnya penuh buat
Pak RT sama yang lain,” kata Pakdhe.
Bu Yun diam saja. Sampai akhirnya ia pun ikut duduk bersama
para tetangga di dalam bus. Sebenarnya Bu Yun tersinggung, dia,
satu-satunya keluarga, ditempatkan bersama para tetangga. Tapi
yang membuat Bu Yun paling sedih, karena anaknya menangis
ingin naik mobil, bukan bus yang sudah biasa mereka tumpangi.
***
Burung-Burung Kertas 221
Resepsi sudah selesai digelar. Bu Yun pamitan. Besok anak-
anaknya sekolah dan dia sendiri juga bekerja. Di luar, ia men-
dengar kakaknya berbisik kepada istrinya.
“Nanti anaknya Yun disangoni limapuluh-limapuluh,” suara
Pakdhe.
“Ya,” jawab Budhe singkat.
Beberapa saat kemudian Bu Yun sudah siap untuk pulang. Ia
dan anak-anaknya akan diantar orang suruhan Pakdhe ke terminal.
Sebelum mobil yang mengantar mereka berangkat, Budhe me-
nyelipkan sesuatu di genggaman anak-anak Bu Yun.
“Ini ya, Le. Buat sangu sekolah ya,” kata Budhe.
Sekilas Bu Yun melihat uang yang diselipkan di tangan anak-
anaknya. Duapuluh ribu…
***
Sampai di rumah, suami Bu Yun langsung menyambut dengan
gusar.
“Kenapa, Pak?” tanya Bu Yun was-was.
“Bu, cincinmu yang hanya dua setengah gram itu digadaikan
saja,” kata suaminya sambil menunjuk cincin satu-satunya yang
melingkar di jari Bu Yun.
“Lho, kenapa Pak?” Bu Yun ikut gusar.
“Pak Edi tadi datang, mengingatkan uang kontrakan yang
belum kita kirim-kirim. Kita harusnya malu to Bu, Pak Edi itu
sudah banyak membantu dengan kasih harga kontrakan murah
dan tidak naik-naik tiap tahun. Masa ya, kita tetap nunggak terus.”
“Katanya mau pinjam di koperasinya Pak Harto dulu?”
“Lupa, bunga dan denda tunggakan kita disana kan, masih
banyak. Saya nggak mau pinjam disana lagi. Lebih baik pegadaian
saja to.”
“Waduh, Pak...” Bu Yun refleks mengusap-usap cincin di
jarinya.
“Tidak apa-apa, Bu. Nanti beli imitasi dulu buat sementara,
kayak kalung sama subangmu itu,” ujar suami Bu Yun mafhum.
Bu Yun masih menimbang-nimbang usulan suaminya saat
telepon genggam keluaran China miliknya bergetar tanda SMS
masuk. Bu Yun bergegas membaca. Dari istri kakaknya.

222 Burung-Burung Kertas


“Yun, makasih ya, sumbanganmu memang banyak. Tapi utangmu
yang buat bayar kontrakan rumahmu dua tahun lalu itu belum lunas to.
Perhitungannya beda sama sumbanganmu ini, lho ya. Jangan digabung-
gabungkan.”
Selesai membaca itu, Bu Yun langsung membayangkan dirinya
dengan tempelan-tempelan perhiasan yang semuanya imitasi,
seperti senyum kakaknya yang ternyata juga tinggal imitasi.

Biodata Penulis
Anita Meilani tinggal di Celep, Srigading, Sanden, Bantul. Saat ini Anita
kuliah di FPBS, Universitas Negeri Yogyakarta. Hobinya adalah membaca.
Jika ingin berkorespon dengan Anita dapat menghubungi: HP 085743802244,
email: meilanitta@yahoo.com.

Burung-Burung Kertas 223


TIGA BUNGKUS KERUPUK PASIR
DI PENGHUJUNG SENJA
Nopa Triana

Senja datang bersama guguran daun diterpa angin kemarau.


Sesekali hembusannya kencang berpilin membentuk leysus kecil,
menerbangkan sampah-sampaj plastik, daun, maupun patahan ran-
ting. Sudah dua bulan akhir musim penghujan berlalu. Sekarang
sudah memasuki musim kemarau yang panas bersama angiin pan-
carobanya yang begitu kuat. Aku berjalan menyisir trotoar ber-
debu yang sepi.
Sinar matahari sore ini berawan jingga. Menerpaku, membuat-
ku terpesona sehingga lambat-lambat kunikmati perjalanan pulang
selepas sekolah. Seperti biasanya, aku pulang berjalan kaki. Seko-
lahku tak begitu jauh, sekitar 2 kilometer dari rumah. Memang
awalnya terasa berat berjalan kaki sejauh itu. Tapi setelah tiga
tahun aku biasa menempuhnya, sekarang perjalanan ini terasa de-
kat sekali.
“Va, kok baru pulang?” panggil seseorang. Aku berpaling.
Kulihat seorang sahabat masa kecilku mengayuh sepedanya men-
dekat. Namanya Dewi. Kami satu sekolah hingga kelas 6 SD. Tapi
semenjak berpisah di SMP, kami jarang bersama lagi.
“Oh, kamu, Dew,” balasku, “sekolahku memang selalu pulang
jam segini, apalagi kalau ada ekskul dan pelajaran tambahan. Bisa
lebih sore lagi. Kamu sendiri mau ke mana?”
Dewi mengerem sepedanya tepat di sampingku.
“Mau beli gula sama telur di warung Bu Yam. Aku boncengin,
yuk.”

224 Burung-Burung Kertas


“Makasih, Dew, duluan aja,” tolakku. Arah warung Bu Yam
berseberangan dengan kampungku. Selain itu, aku ingin lebih lama
menikmati perjalanan sore ini.
Sejenak punggung Dewi berlalu bersama kayuhan sepedanya.
Aku pun meneruskan langkahku yang pendek-pendek, tidak ter-
gesa. Hingga aku tiba di persimpangan, tepat di bawah pohon
beringin besar yang memisahkan kampungku dan kampung yang
dituju Dewi tadi, arah warung Bu Yam. Lantas aku berhenti, bukan
karena capek. Tapi karena kulihat seorang Nenek duduk terpekur
di bawah rindangnya pohon itu.
Si Nenek berambut putih, rambut digelung asal dengan me-
nyisakan helaian awut-awutan di sana-sini. Pakaiannya kusut dan
kumal. Sandal yang dipakainya sudah keropos, bahkan bolong cu-
kup besar tepat ditumitnya. Nenek itu duduk bersandar dahan
beringin yang kokoh, sehingga tampak kontras sekali dengan pera-
wakannya yang begitu kecil dan rapuh. Tangan si Nenek merangkul
plastik besar dagangan sederhananya. Beberapa bungkus kerupuk
nampak menyembul. Melihat penuhnya plastik itu, sepertinya hari
ini dagangan Nenek belum banyak laku. Muncul rasa iba dalam
hatiku.
Perlahan kuteruskan jalannku, berharap langkah kakiku tidak
mengganggu istirahat Nenek. Tapi Nenek terbangun juga, matanya
terbuka dan melihat ke arahku.
“Ndherek langkung, Nek,” sapaku sesopan mungkin.
Nenek itu menjawab sapaku dengan senyum. Pastilah Nenek
itu cantik sekali dimasa mudanya, sudah serenta ini, wajahnya
masih cerah seperti matahari dengan senyum itu, pikirku. Nenek
itu tentu tidak tahu kalau bekalku sudah habis dan aku tidak mem-
bawa sedikitpun uang sekarang. Makanya dia masih repot-repot
menawarkan dagangannya padaku. Tangannya merogoh plastik,
mengeluarkan sebungkus plastik berwarna coklat tidak menarik
dan memaksakan ke tanganku.
Tidak seperti kerupuk udang yang lezat, kerupuk gemplang
khas Kalimantan, maupun kerupuk favorit teman-temanku, maicih
yang mahal itu. Kerupuk dagangan Nenek itu disebut kerupuk
pasir, atau sering pula dinamakan kerupuk miskin. Sebab, alih-

Burung-Burung Kertas 225


alih dimasak menggunakan minyak goreng nonkolesterol yang
mahal itu, kerupuk ini cuma perlu dimasak dengan pasir. Cukup
sesuai dengan kondisi rakyat miskin yang semakin keberatan mem-
beli segala jenis minyak, baik BBM maupun minyak goreng. Ah,
apa sih aku ini, kok jadi melantur gini.
“Maaf, Nek. Saya nggak punya uang,” jawabku.
Walaupun ingin sekali aku membeli kerupuk itu sebanyak-
banyaknya, namun sama sekali tidak membantu kan kalau aku
membelinya berhutang.
“Ya sudah, dibawa aja dulu, Nak, tidak apa-apa,” kata Nenek
itu memaksakan sebungkus ke tanganku.
Aku menolak, dan seketika wajah Nenek itu murung, kelabu
datangnya mendung yang tiba-tiba. Aku ingin segalanya berjalan
sederhana, menerima kerupuk itu, lalu membayar uangnya pada
Nenek itu. Tapi semua menjadi rumit karena aku tidak punya uang
sama sekali. Menjelaskan pada Nenek juga pecuma, karena bagi
Nenek itu, kerupuk yang terbeli adalah berkah. Walaupun sese-
orang membelinya dengan berhutang dulu. Selain itu, bagi bebe-
rapa orang yang tidak memiliki apapun untuk dapat diberikan
pada orang lain, berhutangkan dagangan yang dimilikinya pada
orang yang membutuhkan, seremeh apapun itu, menjadi luar biasa
membahagiakan hati. Dan barang kali, di mata Nenek ini, aku
adalah anak malang yang begitu capek dan kelaparan tanpa uang,
yang perlu ditolongnya melalui sebungkus kerupuk ini. Entahlah.
Lantas... saat aku menerimanya, kegembiraan Nenek itu nampak
kembali.
Jangan tanya darimana aku mengetahuinya? Jangan kau pikir
aku sok tahu atau mengada-ada! Nenek itu tidak perlu mengata-
kan perasaanya padaku. Sorot matanya yang berbinar sudah men-
jelaskan lebih dari kata-kata, ketika Nenek itu memaksakan se-
bungkus kerupuk dagangannya padaku, membiarkan aku berhu-
tang ketika tahu aku tak punya uang. Badannya yang nampak
rapuh untuk sedetik terlihat bersemangat lagi. Begitu hidup. Ber-
buat baik, sesederhana apapun dan dengan apapun yang dimiliki
merupakan kelebihan sebagian orang miskin. Keikhlasan dan ke-

226 Burung-Burung Kertas


kayaan hati sebagian kaum miskin seperti Nenek itu jauh melam-
paui orang-orang kaya.
Aku, walaupun tidak menggemari kerupuk itu sehingga akan
rela berhutang untuk bisa memakannya, toh tidak mampu menolak
kerupuk Nenek. Kuterima juga kerupuk itu. Kumasukkan ke dalam
tas dan entah kapan aku akan memakannya. Alasanku hanya satu,
ingin membiarkan binar kebahagiaan’karena telah membantu
orang lain’ itu tetap bersinar di mata Nenek. Maka aku pun pulang
dengan hati tak menentu. Sebungkus kerupuk hutang di dalam
tasku, yang beratnya tak lebih dari 1 ons, terasa seperti gunung.
Bukan sembarang hutang, melainkan hutang kepada Nenek miskin
renta yang kaya hati itu.
Tidak lama, aku sampai juga di rumah. Menaruh tas dan se-
patu sekenanya di dalam kamar. Melewatkan hidangan tahu-tempe
dan sayur orak-arik yang dibuat Ibu. Lalu bergegas memecah ce-
lengan kendi ukuran tanggung milikku. Rencananya celengan itu
baru akan kubuka saat tiba hari kelulusan nanti. Untuk membeli
seragam atau alat tulis baru. Tapi keperluan sekarang kurasa jauh
lebih penting dari semua itu.
Recehan beterbangan dan jatuh berantakan di lantai kamar.
Ibu dan keluargaku yang lain rupanya tidak mendengar segelegar
pecahnya celenganku sehingga aku leluasa mengumpulkan recehan-
recehan itu dan puing pecahan kendi celenganku tanpa harus
menjelaskan apapun pada siapapun. Kuhitung jumlahnya tak lebih
dari enam puluh ribu rupiah. Jumlahnya yang sedikit untuk ukuran
tabungan selama 3 tahun tidak mengejutkanku, toh aku sadar betul
kalau selama ini aku memang jarang menabung. Bukan karena
aku boros atau tidak ulet. Tapi karena aku jarang punya uang
sisa. Ayah selalu memberiku bekal amat ‘secukupnya’, yang selalu
habis untuk membeli seplastik es atau 2 gorengan saja. Kadang-
kadang aku bahkan tidak bisa jajan apabila di kelas sedang diada-
kan iuran entah apa. Tanpa membuang waktu, aku segera mem-
bawa separuh uang itu, berlari sekencang-kencangnya menuju Ne-
nek tadi. Berharap dia masih menungguku di bawah besar di per-
simpangan kampung. Lantas terbebaslah aku dari beban hutang
‘bukan sembarang hutang’ ini.

Burung-Burung Kertas 227


Belum sampai tujuan, kudengar tangis kecil sesenggukan.
Nampak sepeda yang kukenal teronggok di pinggir jalan. Kudapati
Dewi meringkuk di semak-semak, dengan wajah sembab dan air
mata berlinang.
“Dewi, kamu kenapa menangis seprti ini?” tanyaku khawatir.
Yang kutanya tidak kunjung menjawab, hanya melihatku se-
pintas dan kembali menangis. Aku yang mulai tak sabar karena
takut akan ketinggalan Nenek tadi, kembali menanyainya. “Jawab-
lah kenapa, Dew. Nangis aja?”
Telunjuk gadis itu mengarahkan pandanganku pada plastik
hitam di ujung stang sepedanya yang ambruk. “Masya Allah”,
kataku, “masa udah segede gini jatuh dari sepeda aja nangis.”
Mendengar gerutuku, tangis Dewi semakin menjadi.
“Aku menangis bukan karena jatuh,” protesnya, “tapi karena
telur Ibuku 2 kilo pecah semua. Padahal itu untuk pesanan katering
nanti malam. Aku nggak berani pulang.”
Benar saja, plastik itu memang berisi pecahan telur. Baunya
amis dan mulai mengundang lalat. Kasihan sekali Dewi, apalagi
telur-telur itu pastilah amat penting bagi dia dan Ibunya. Dewi
sudah tidak punya ayah sehingga penghidupan mereka hanya
mengandalkan usaha katering sederhana Ibu Dewi. Memecahkan
telur-telur itu tentunya membuat Dewi sangat takut dan sedih.
Jadi kuberikan uangku secukupnya untuk membeli 2 kg telur yang
baru.
***
Uangku habis untuk Dewi membeli telur yang baru, terpaksa
aku pulang lagi. Sekuat tenaga berlari ke rumah. Langsung menuju
ke kamar dan mengambil sisa uang celenganku. Suara tangis adikku
di ruang tengah sesaat mengalihkan perhatianku, untuk sejenak
menghentikan langkahku menuju pintu keluar. Sepintas kulihat
adikku sedang menangis meraung-raung. Ibu berusaha membu-
jukknya. Hingga tidak sempat menanyaiku sedang apa atau hendak
ke mana. Ah, apa gerangan yang menyebabkan tangis pilu adikku
itu. Tidak banyak waktu yang kumiliki untuk dapat sekadar men-
cari tahu. Aku takut, terlambat semenit saja aku akan kehilangan
kesempatan menemui Nenek penjual kerupuk.

228 Burung-Burung Kertas


Tidak kupedulikan pedihnya kakiku yang suah berjalan bolak-
balik berkilo-kilo meter sejak pulang sekolah tadi, tidak juga sosok
Dewi yang sudah ceria mengayuh sepedanya kembali setelah mem-
beli telur yang baru. Yang kupikirkan hanya Nenek kerupuk, apa-
kah dia masih beristirahat di bawah pohon itu?
“Nenek, Nenek, tunggu aku sebentar,” mohonku lirih, berha-
rap sepoi angin di penghabisan sore akan menyampaikan pintaku
padanya.
“Ssssshhh,” demikian jawab semilir angin, sambil meniup ram-
butku yang berkibas-kibas seiring kencangnya lariku.
Hatiku begitu girang saat kudapati Nenek itu berjalan tertatih,
tidak terlalu jauh dari beringin tempatnya beristirahat tadi. Lang-
kahnya begitu pelan, kecil, dan lemah. Tak bisa kubayangkan pukul
berapa dia akan sampai rumahnya. Seketika semakin kukencang-
kan lariku, seperti atlit sprinter yang telah melihat garis finish.
“Nek.....Nek!” panggilku.
Nenek itu berhenti, lalu menoleh ke arahku. Akupun lega.
“Nek, untung Nenek masih di sini,” kataku hampir memeluk
Nenek itu saking senangnya.
Nenek itu nampak keheranan. Sepertinya beliau sudah lupa
padaku, orang yang belum lebih sejam diberinya hutangan ke-
rupuk.
“Nak ini siapa? Nak mau beli kerupuk, Nenek,” tanya Nenek
itu penuh harap.
Ternyata beliau memang pangling melihat aku yang sudah ti-
dak lagi memakai seragam.
“Nek, saya Nova, saya yang tadi berhutang kerupuk sama
Nenek”, jawabku. “Ini nek, saya sudah punya uangnya. Berapa
Nek, harga sebungkus kerupuk tadi?”
“Oalah, Nak to? Memangnya nak sudah punya uang, kenapa
terburu-buru sekali membayar kerupuknya? Nenek tidak minta
dibayar buru-buru. Besok juga tidak apa, Nak, kan masih ketemu
Nenek lagi.”
Memang, aku sering bertemu Nenek kerupuk saat pulang se-
kolah.
“Makasih, Nek, saya sudah ada uang, kok.”

Burung-Burung Kertas 229


“Ya sudah, lima ribu sebungkusnya, Nak,” jawab Nenek itu.
Aku mengumpulkan recehan dan beberapa lembar ribuan
hingga terkumpul lima ribu rupiah. Kuserahkan pada Nenek itu,
dan legalah hatiku. Nenek memasukkan uang ke bundhelan ujung
selendangnya. Nenek itu tersenyum dan kembali meneruskan per-
jalanan pulangnya. Kuikuti sosoknya, dan sesuatu menyuruhku
untuk mengejar Nenek itu lagi. Tak tega melihatnya membawa
lima Ibu rupiah saja sebagai hasil jualan satu-satunya hari ini.
“Nek, kerupuknya kurang. Saya beli 2 lagi, ya,” kataku ter-
bata.
Nenek itu nampak sumringah, sambil mengucap beribu syukur
pada Tuhan, Nenek itu memberikan 2 bungkus kerupuk padaku.
“Nak, suka sekali kerupuk Nenek, ya? Matur nuwun ya, Nak.
Tadi Nenek sudah sedih dagangan Nenek belum laku satupun
hari ini,” jelas Nenek kerupuk, tepat seperti yang sudah kuduga.
Kubayarkan sepuluh ribu lagi padanya. Lalu aku pulang mem-
bawa 2 bungkus kerupuk miskin sambil menggenggam sisa recehan
yang tidak lebih dari lima belas ribu rupiah, uang tabunganku
selama 3 tahun yang masih tersisa.
Kilau jingga sinar matahari senja menerobos masuk melalui
pintu yang kubuka. Adikku si Bungsu masih merengek di pangkuan
Ibu. Nafasnya tersengal saking sedih. Ayah belum pulang. Beliau
selalu pulang malam sebagai pengayuh becak yang mangkal di
stasiun, menunggu rezeki dari para penumpang yang kelamaan
tidak mendapat kendaraan.
“Adik kenapa menangis, Bu?”
“Sepatunya rusak. Dia diejek teman-temannya lagi di sekolah.
Makanya, yang biasanya si Bungsu nurut sama Ibu, sekarang sudah
tidak bisa dibujuk gini. Adikmu minta dibelikan sepatu malam ini
juga,” jelas Ibu padaku dengan isyarat tanpa suara, tak ingin me-
mancing ledak tangis adik lagi.
Seketika hatiku luruh, hancur berkeping. Celengan yang tadi
kupecah seharusnya lebih dari cukup untuk membelikan sepatu
Adik. Namun, kudapati kesadaranku kembali, uang yang tersisa
di tangan tak lebih dari lima belas ribu rupiah... tentu saja, baru

230 Burung-Burung Kertas


akan cukup untuk membelikan sepatu untuk adik kalau kutam-
bahkan 3 bungkus kerupuk pasir yang telah kubeli di penghujung
senja ini.

Biodata Penulis
Nopa Triana tinggal di Tambak Boyo, RT 21/61 Condongcatur, Depok, Sleman.
Saat ini Triana bersekolah di SMA N 1 Depok, Sleman. Hobinya adalah
bersepeda, mendengarkan musik, dan menulis. Jika ingin berkorespondensi
dengan Nopa Triana dapat menghubungi: HP 08999518245, email:
Nopa_354@yahoo.com.

Burung-Burung Kertas 231


P ULANG
Annisa Nur Harwiningtyas

Angin musim gugur bergumul cepat, membuat bulu-bulu roma


yang merasakannya akan meriang. Daun-daun berwarna merah
marun masih bergelantungan pelan di dahan-dahan pohon, sedang
lainnya terbang tak terkira mengikuti alur angin. Rumput-rumput
yang biasanya berwarna hijau segar, kini bagaikan beludru. Langit
sore Kota Paris mulai merendah, memperlihatkan kesejukan di
tiap sudut kotanya.
Saya, sebagai seekor tupai yang tidak terlalu dihiraukan ke-
beradaannya, selalu menyukai suasana sore hari di Kota Mode ini.
Ketika senja mulai beringsut di balik pencakar yang manusia sebut
dengan Menara Eiffel dan membiaskan tiap sinar lembutnya, men-
ciptakan langit dengan warna jingganya, serta membuat tiap awan
merona kemerah mudaan. Lampu-lampu kota yang tidak pernah
tidur pun terkadang mempermanis kota ini.
Angin musim gugur tahun ini terasa lebih dingin dari tahun
lalu. Kami para tupai lebih banyak berselimut di dalam sarang
dibandingkan mencari makan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan, para Parisian1 dan turis selalu menggunakan jaket tebal
untuk bejalan-jalan atau keluar rumah, sama seperti saat musim
dingin. Anak-anak sekolah yang di tahun-tahun sebelumnya se-
nang bermain tumpukan daun kini jarang saya temui, hanya tiga
atau lima orang saja dalam sehari. Bahkan terkadang mereka tidak
hadir. Lainnya, mungkin, menonton televisi ditemani camilan dan

1
Parisians: Sebutan bagi penduduk Paris.

232 Burung-Burung Kertas


minuman panas kesukaan mereka. Musim tahun ini tidak pernah
sama dengan sebelum-sebelumnya.
Matahari mulai tergelincir ke balik Menara Eiffel. Angin pun
semakin kencang mengibaskan dirinya, menghamburkan dedaun-
an yang masih mencoba bertahan di rengkuhan induk pohonnya,
layaknya seorang anak yang baru bertemu ibunya setelah sekian
lama. Seekor dari kami pun mulai memasukkan biji kenari yang
baru saja ditemukannya ke dalam sarang. Setelah itu, terdengar
beberapa kali suara cicitan-cicitan halus dari dalam sarang, lalu
hening, hanya suara hunusan angin yang terdengar semakin pilu.
Berselang beberapa detik, saya melihat seorang gadis beram-
but kain satin sedang duduk termenung di bangku taman. Ta-
tapannya menerawang ke arah kaki langit yang semakin terbias.
Berkas-berkas kelelahan nampak sekali di tiap lekuk wajahnya
yang tegas. Matanya terlihat sayu, dan pipinya yang merona akibat
kedinginan terlihat sedikit tirus dengan bibir tipis yang pucat ke-
ring. Tubuh mungilnya terlihat sedikit menggigil, walaupun sudah
dilapisi sweater putih dan jaket tebal berwarna cokelat. Jari-jarinya
yang lentik memenuhi satu sama lain, mencoba menghangatkan
satu dengan lainnya.
Gadis itu terlihat mendesah pelan, lalu membungkam wajah-
nya dengan kedua telapak tangannya. Dia sedikit menundukkan
wajahnya. Lelah, mungkin.
Tiba-tiba, seseorang terlihat mendekat. Seorang lelaki. Ba-
dannya agak membungkuk dan rambutnya sedikit putih, tersisir
rapi. Kedua tangannya membawa sapu lidi panjang. Si tukang
pembersih rupanya sudah datang. Lelaki itu mulai menyapu de-
daunan yang mereduksi jalan. Menggerusnya dan mengumpulkan-
nya menjadi satu tumpukan. Satu-satu dan pelan. Dia berpindah-
pindah dari satu sisi ke sisi lainya.
Daun-daun maple kembali jatuh untuk kesekian kalinya hari
itu. Cicitan anak-anak angin juga mulai kembali terdengar. Hari
itu, hampir dua pertiga pohon habis dipangkas oleh mereka.
“Suhu udara hari ini begitu dingin, ya.” Tiba-tiba si tukang
pembersih berseru. Matanya sempat melirik sekilas ke arah gadis

Burung-Burung Kertas 233


itu. “Apa yang Anda lakukan di tengah suhu yang seperti ini?”
tanyanya.
Gadis itu kaget. Sempat gelagapan. Lalu menjawab, “Mencoba
melepaskan diri sejenak dari keributan pekerjaan tidak disalahkan
bukan?”
Lelaki itu manggut-manggut.”Pasti Anda begitu sibuk?” ucap-
nya, sedikit menoleh ke arah gadis itu.
“Iya,” ucapnya, terdengar sedikit parau.
“Pekerjaan memang menyita banyak waktu. Tapi, mau bagai-
mana lagi, tanpa bekerja kita juga tidak bisa hidup, kan. Hidup
memang terkadang terasa serba salah.”
Gadis itu tersenyum kecil mendengar ucapan si tukang pem-
bersih. Senyum yang menggambarkan bahwa dia mengakui kebe-
naran dari ucapan si tukang pembersih.
“Memangnya, apa pekerjaan Anda?”
“Saya seorang editor majalah mode.”
“Majalah yang terkenal itu?”
Gadis itu mengangguk.
“Pasti Anda sangat senang bekerja di sana.”
“Begitulah. Itu merupakan cita-cita saya dari kecil. Dan saya
pikir hal itu merupakan pencapaian terbesar saya, karena kerja
keras saya selama ini tidak sia-sia. Tapi..,” ucapan gadis itu ter-
henti. Dia sepertinya ragu untuk melanjutkan ucapannya.
Dahi si tukang pembersih berkernyit, menunggu kelanjutan
ucapan dari mulut gadis itu.
“Tapi, tiba-tiba saja, sekarang, saya menjadi bingung, tidak
tahu. Saya seperti berada pada titik terjenuh dalam hidup saya.
Saya merasa saya hilang arah. Saya melek tapi seperti tidak melek.
Saya bergerak tetapi otot-otot saya serasa mati rasa. Saya merasa
bahwa saya tidak berada di tubuh yang benar. Saya seperti robot
yang rusak, usang dan mati.”
“Tidak pernah terpikir untuk pulang?”
“Pulang?” ulang gadis itu. Sedikit heran.
“Iya. Apa Anda tidak mendamba untuk bertemu keluarga
Anda? Walaupun hanya berbincang ringan ditemani secangkir teh
atau minumam hangat lainnya, tapi paling tidak, itu sudah meng-

234 Burung-Burung Kertas


angkat beberapa beban yang Anda panggul.” Lelaki itu menghen-
tikan pekerjaannya sejenak, menatap gadis itu.
“Semua orang pada akhirnya harus pulang bukan?”
“Tapi, saya tidak tahu harus pulang ke mana. Saya tinggal di
negara ini sendirian. Semua keluarga saya ada di negara lain,”
ungkap gadis itu. Nada suaranya terdengar bergetar ketika meng-
ucapkan sederet kalimat itu. “Saya tiba-tiba merasa seperti seorang
tawanan.”
“Seorang tawanan pun pada akhirnya menemukan keluarga
barunya di dalam sel penjara. Bahkan terkadang, mungkin, dia
rindu dengan suasana di dalam sel ketika dia sudah bebas. Sel
seperti rumah kedua yang mempertemukan dia dengan keluarga
barunya.” Si tukang pembersih mengambil saput tangan yang ada
di saku jaketnya. Dia mengelap peluhnya, lalu melipatnya dan
memasukkan lagi ke dalam saku jaketnya.
“Pulang itu tidak berarti harus pulang. Anda berkunjung ke
tempat yang Anda suka dan nyaman bagi diri Anda itu juga sudah
pulang.”
Gadis itu terdiam. Sepertinya, sedang mencerna kalimat ter-
akhir lelaki ini.
Lelaki itu beranjak, hendak pindah seperti kebiasaannya ke
sisi lain taman ini.
“Saya pindah dulu, ya. Mau kerja lagi,” ucapnya, sembari ter-
senyum ke arah gadis itu. Lelaki itu melangkah agak jauh. Suara
gemerisiknya sapunya sayup-sayup masih terdengar.
Gadis itu pun masih terduduk di kursi taman dalam diam.
*
Sore ini merupakan sore ke sepuluh si tukang pembersih mem-
bersihkan taman semenjak sore berangin itu, dan gadis itu belum
pernah terlihat lagi. Mungkin dia sudah menemukan apa yang
dimaksud pulang oleh si tukang pembersih. Atau mungkin, dia
sedang disibukkan dengan pekerjaan sebagai editor dan memilih
melupakan kegalauannya mengenai teori pulang yang digagas
oleh si tukang pembersih. Entahlah. Saya tidak seharusnya ikut
campur.
*

Burung-Burung Kertas 235


Musim gugur sudah akan berakhir. Suhu udara semakin ren-
dah saja dan pohon-pohon semakin meranggas. Malam juga sema-
kin cepat menggerogoti hari—seakan berpacu dengan angin yang
semakin hari semakin sering datang. Hiruk pikuk Kota Paris pun
juga semakin terlihat sepi dari hari ke hari. Hanya lelaki pembersih
itu yang masih sering saya lihat sedang membersihkan tempat
ini. Tapi sore ini saya belum mendengar suara gesekan sapunya.
Padahal, biasanya, dia sudah akan ada di sini saat matahari sudah
mulai mendekati kaki langit.
Seseorang datang. Tetapi bukan si lelaki pembersih. Dia se-
orang wanita. Dan sepertinya saya mengenali wajah yang tertutup
slayer itu, serta cara berjalannya yang terlihat sedikit kikuk. Gadis
itu datang lagi rupanya. Dia membawa sebuah bingkisan yang
dimasukkan ke dalam tas kertas. Entah untuk apa atau siapa bing-
kisan tersebut. Yang pasti isi bingkisan itu cukup besar.
Gadis itu kembali duduk di kursi yang sama, di waktu yang
sama dan suasana yang sama. Hanya suhu udara saja yang semakin
dingin.
Gadis itu meletakkan bingkisan yang dia bawa di pangkuan-
nya. Dia seperti sedang mencari seseorang. Sedari tadi kedua bola
matanya bergerak ke kanan dan ke kiri seirama dengan gerakan
kepalanya. Beberapa kali ia sempat mengecek jam tangan yang
melingkari pergelangan tangan kirinya, lalu dia kembali mencari.
Suara gesekan sapu yang bertemu dengan tanah penuh de-
daunan kembali terdengar. Seketika kami—saya dan gadis itu—
menoleh ke arah sumber suara.
Si tukang pembersih.
Gadis itu segera mendatanginya sembari membawa bingkisan
yang dia pangku sedari tadi. Dengan senyum ceria dia mendatangi
lelaki tua itu. Menjabat tangannya dan mengangsurkan bingkisan
yang dia bawa. Si tukang pembersih menolak.
“Tidak usah repot-repot,” ucapnya, kembali menyodorkan
bingkisan yang diberi oleh sang gadis.
Gadis itu memaksa. Itu merupakan ungkapan terima kasih
darinya atas teori pulang yang diberikan lelaki tua itu kepadanya.

236 Burung-Burung Kertas


Dia akhirnya dapat menemukan rumah barunya di kota ini. Sebuah
panti asuhan kecil di pinggiran kota.
“Oya, pasti kamu sangat senang,” kata lelaki tukang pember-
sih itu dengan riang, seolah-olah telah terpengaruh keceriaan gadis
itu.
“Di sana tinggal berpuluh-puluh anak, rata-rata balita dan
menjelang remaja. Sebagian besar dari mereka tidak pernah kenal
siapa orang tuanya. Pengelola panti dan pengasuh-pengasuh di
sana juga sangat ramah terhadap saya. Saya seperti menemukan
pengganti keluarga saya di sana. Saya kembali menemukan rumah
saya yang telah lama hilang.” Gadis itu terlihat sangat bahagia.
Matanya terlihat berkaca saat menceritakan semua hal itu. “Sekali
lagi terima kasih, karena tanpa Anda mungkin sampai sekarang
saya masih akan tetap menjadi orang dingin yang sebenarnya ting-
gal di sebuah kotak yang hangat.”
“Terima kasih pula atas bingkisan yang telah Anda beri.” Lelaki
tua itu mengangkat bingkisan yang diberikan kepadanya.
Gadis itu tersenyum hangat. “Saya pamit. Masih ada pekerjaan
yang harus saya kerjakan di kantor.”
Lalu, dia pergi meninggalkan lelaki tukang pembersih itu sen-
dirian. Jelas terlihat tatapan mata lelaki pembersih itu mengikuti
langkah gadis itu yang makin menjauh.
Senja sudah semakin mengetuk kaki langit. Sepertinya saya
juga harus pulang. Keluarga saya sudah menunggu di rumah.

Yogyakarta, 17 Juli 2013

Biodata Penulis
Annisa Nur Harwiningtyas tinggal di (…) Saat ini Annisa bersekolah di SMA
9 Yogyakarta, kelas X. Hobinya adalah membaca buku-buku karya sastra
dan menulis karya sastra. Annisa dapat dihubungi melalui email:
nisa_nurh@yahoo.co.id, jejaring facebook: Annisa Nur Harwiningtyas.

Burung-Burung Kertas 237


238 Burung-Burung Kertas
CATATAN
DEWAN JURI

Burung-Burung Kertas 239


240 Burung-Burung Kertas
Esai

Mengamati dan menilai naskah esai yang ikut serta dalam


Lomba Penulisan Esai bagi Remaja DIY tahun 2013, kami mencatat
beberapa hal penting yang ditemui dalam isi naskah-naskah esai
tersebut. Sebanyak 77 naskah esai yang masuk ke meja juri menyu-
guhkan beragam tema sebagai jabaran dari sebagian ranah kebaha-
saan, kesastraan, dan kebudayaan. Walaupun begitu, tulisan-
tulisan esai remaja DIY yang berumur antara 13—21 tahun tersebut
mampu menyuguhkan kekhasan sudut pandang “remaja”.
Dari 77 naskah esai, kami memilih 10 nomine berdasarkan
atas tiga aspek, yakni (1) topik (gagasan, pengalaman, data) yang
sudah memadai untuk dikembangkan sebagai sebuah karangan
yang utuh; (2) penalaran yang jernih, lurus, dengan argumentasi
yang relatif kuat; dan, tentu saja, (3) aspek kebahasaan dan tata
tulis yang bisa dikategorikan baik atau lumayan.
Dari seluruh naskah yang masuk dan dinilai juri memperoleh
beberapa persoalan yang perlu disampaikan sebagai catatan.
Persoalan tersebut antara lain, kurangnya data pendukung tema
yang diajukan, penjabaran pola pikir yang kurang terbaca, tiadanya
tawaran atau solusi konkret atas permasalahan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari esai peserta lomba ialah
lemahnya permasalahan yang dikaji dalam naskah esai, antara lain
mengenai bahasa alay, penulisan esai remaja, cara menumbuhkan
minat baca, cara mencipta tokoh fiktif dalam karya sastra, aplikasi
pintar tebaku, budaya sebagai asset pembangunan. Kajian itu
diungkapkan dengan kekhasan penulisan remaja. Secara umum
Ide-ide yang dikemukakan para remaja tersebut cukup inovatif
dan segar sisi penulisan semiilmiahnya.
Penulisan semi ilmiah naskah esai perlu memperhatikan
pembatasan pengutipan dari sumber-sumber internet. Terbaca oleh

Burung-Burung Kertas 241


dewan juri bahwa masih banyak tulisan yang sifatnya kopi paste
dari internet, blog atau twiter sebagai rujukan. Kedua, diabaikan-
nya kelayakan pengutipan atau perujukan. Sedangkan yang lain,
penulis idealnya tidak terlalu mempercayai tulisannya pada
tulisan-tulisan umum atau blog karena alas an validitas. Penulis
disarankan untuk merujuk pada buku elektronik atau ebook jika
berkehendak mengambil referensi dari internet.
Perihal lain berkenaan dengan tema dan tinjauan pustaka.
Tema idealnya mengangkat permasalahan baru. Kalaupun tidak,
sudut pandang atau pembahasan harus memperhatikan kebaruan.
Dalam kaitannya dengan tinjauan pustaka, esai hendaknya ber-
tolak dari kajian yang sudah ada. Selain memudahkan pembahasan,
langkah itu sesuai dengan pengertian esai sebagai karya semiilmiah
yang harus menghindari plagiarism. Dengan langkah-langkah itu,
esai akan mengungkap hal-hal baru, baik perihal tema, cara
pemahaman, maupun solusi.
Terakhir, adalah masalah bahasa dan gramatika. Sebuah tulis-
an akan mudah dicerna atau dibaca jika cermat dalam menerapkan
tata bahasa maupun ejaan. Tata bahasa berkenaan dengan bagai-
mana menyusun paragraph/kalimat/diksi. Ejaan berkenaan
dengan bagaimana esais menuliskan semua gagasannya. Demikian
sekelumit catatan kami, semoga mampu memberikan gabaran
untuk penulis supaya dapat “menulis” dengan lebih baik. Salam.

(Edi Setiyanto, Octo Lampito, Suroso )

242 Burung-Burung Kertas


Cer pen

Ketika kami (dewan juri) melihat tumpukan cerpen (sebanyak


200-an judul) yang disodorkan oleh panitia “Lomba Penulisan
Cerpen bagi Remaja DIY 2013”, terpetik pikiran mengenai beraneka
tema dan gambaran kehidupan remaja (13-21tahun) yang sarat
dengan modernitas dan pengolahan pikiran yang dilandasi realita
sosial dengan tren metropolis akan tampak dalam cerpen-cerpen
tersebut. Beberapa pikiran “nakal” yang muncul dalam cerpen-
cerpen tersebut bukan tanpa alasan, karena mainstream dunia
remaja di Indonesia saat ini memang tak jauh dari modernitas,
seperti glamor tren-tren impor budaya asing, Korea, Jepang,
Amerika, Inggris, dan lain sebagainya. Namun, ketika satu demi
satu naskah kami baca, pelan-pelan pencitraan terhadap dunia
remaja yang kami bayangkan menghiasi naskah-naskah cerpen
remaja DIY sirna. Bahkan, ketika kami bertiga harus menentukan
20 nomine, ternyata cerpen-cerpen itu mempunyai beragam tema
realisme-idealisme sosial-budaya-seni yang digambarkan melalui
kacamata remaja.
Keduapuluh naskah tersebut dikemukakan para remaja dan
disajikan dalam alur cerita yang begitu dekat dan lekat, bahkan
sangat bersinggungan dengan keseharian kita. Meskipun cerpen
adalah sebuah fiksi, tetapi para remaja tersebut mengangkatnya
dalam rangkaian cerita yang mampu menggugah simpat dan
empati pembaca secara lebih realis. Di dalam catatan kami sebagai
dewan juri, pengalaman hidup para remaja penulis cerpen benar-
benar diletakkan sebagai fundamen imaji kreatif mereka. Olahan-
olahan kreatif sastrawi para remaja memang masih perlu mendapat
beberapa catatan yang kami rasa akan lebih meningkatkan daya
dorong kepenulisan kreatif mereka. Pengayaan data yang kurang
masih dijumpai dalam beberapa cerpen. Selain itu, alur cerita dalam

Burung-Burung Kertas 243


beberapa cerpen juga kurang mampu memberikan alur dan
penokohan yang “logis” berkaitan dengan ending yang jelas (happy
end, sad end, atau floating plot), sehingga kami perlu mengkon-
firmasikan dan memberikan masukan kepada penulis demi
keutuhan alur cerita. Terminologi-terminologi yang tidak baku
juga banyak diadopsi dari internet dan bacaan-bacaan online, sehing-
ga memunculkan kata-kata atau ungkapan yang kurang komuni-
katif dan tidak mampu dicerna oleh pembaca dengan mudah.
Walaupun dalam argumen, penulis beranggapan bahwa kata-kata
tidak baku tersebut menjadi “tren”, tetapi kami menyarankan
untuk memilih kata-kata yang lebih mampu dipahami dan berterima
di kalangan pembaca.
Semoga, catatan dan perbaikan yang telah dilakukan mampu
memberikan karakter bagi keduapuluh cerpen yang dimuat di
dalam antologi ini. Terus maju. Salam sastra.

(Herry Mardianto, Naomi Srikandi, Ikun Sri Kuncoro)

244 Burung-Burung Kertas

Anda mungkin juga menyukai