Anda di halaman 1dari 176

COVER

PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DI SD
Muhammad Asip
Try Annisa Lestari
Maisura
Juliati
Lika Apreasta
Dwi Setyaningsih
Eka Rihan K.
Rina Devianty
Juliana
Indah Mutia
Raysyah Putri Sitanggang

Editor:
Maisarah

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020
PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DI SD

Muhammad Asip
Try Annisa Lestari
Maisura
Juliati
Lika Apreasta
Dwi Setyaningsih
Eka Rihan K.
Rina Devianty
Juliana
Indah Mutia
Raysyah Putri Sitanggang
Editor :
Maisarah
Tata Letak :
Linda Setia K Zendrato
Desain Cover :
Syahrul Nugraha
Ukuran :
A5 Unesco: 15,5 x 23 cm
Halaman :
iv, 187
ISBN :
978-623-362-775-7
Terbit Pada :
November 2022

Hak Cipta 2022 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan,


memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA


(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.medsan.co.id
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................ii
1 HAKIKAT BAHASA
DAN PEMBELAJARAN BAHASA ..............................1
Pengertian Bahasa ..................................................1
Perkembangan Bahasa Indonesia ...........................2
Makna dan Bentuk Bahasa Indonesia ....................3
Fungsi Bahasa Indonesia ........................................5
Konsep Belajar ........................................................6
Belajar Bahasa .......................................................7
Keterampilan Bahasa ..............................................8
Model Pembelajaran Bahasa ...................................9
2 HAKEKAT SASTRA DAN KARYA SASTRA ..............17
Konsep Sastra.......................................................17
Karya Sastra .........................................................19
Pemilihan Sastra untuk Anak ...............................19
Apresiasi Karya Sastra Anak .................................21
3 MATERI BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR ............................................27
Materi Bahasa Indonesia SD
Berdasarkan Kurikulum 2013 .............................27
Aspek-Aspek Pembelajaran
Bahasa Indonesia SD ............................................32
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Terpadu di SD.......................................................40

ii
4 KETERAMPILAN DALAM BERBAHASA..................45
Pengertian dan Manfaat
Keterampilan Berbahasa .......................................45
Keterampilan Menyimak
(Permulaan dan Lanjutan) ....................................46
Keterampilan Berbicara
(Permulaan dan Lanjutan) ....................................49
Keterampilan Membaca
(Permulaan dan Lanjutan) ....................................54
Keterampilan Menulis
(Permulaan dan Lanjutan) ....................................56
Keterampilan Antar Aspek
Keterampilan Berbahasa .......................................60
5 KEGIATAN PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA ......................65
Teori Belajar Bahasa .............................................65
Pendekatan Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar.................66
Model Pembelajaran Reseptif-Produktif
dalam Bahasa dan Sastra Indonesia
di Sekolah Dasar...................................................77
6 MEDIA PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SD ............83
Pengertian Media Pembelajaran ............................83
Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran .............84
Media Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SD ......................86
Media Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Era Digital ..........90

iii
7 PENILAIAN PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA ......................95
Hakikat Penilaian Pembelajaran ...........................95
Penilaian Keterampilan Berbahasa Lisan ............102
Penilaian Keterampilan Berbahasa Tulisan .........107
8 PELAFALAN DAN PENULISAN
LAMBANG BAHASA YANG BENAR ......................113
Fonologi Bahasa Indonesia .................................113
Lambang Tulis Bunyi Bahasa ............................. 118
Morfologi Bahasa Indonesia ................................ 122
9 PENGGUNAAN TATA BAHASA YANG BENAR ......135
Pendahuluan ......................................................135
Pengertian Tata Bahasa Indonesia ......................136
Bidang dalam Tata Bahasa Indonesia .................137
Model Tata Bahasa Indonesia ............................. 141
Penggunaan Tata Bahasa di Sekolah ..................143
10 MATERI CERITA DAN DRAMA
UNTUK ANAK-ANAK ...........................................149
Hakikat Cerita Anak-Anak ..................................149
Unsur-Unsur Pembangun dan Struktur Cerita ...152
Analisis Cerita Anak-Anak ..................................163
11 MATERI PUISI UNTUK ANAK-ANAK ....................169
Pengertian Puisi ..................................................169

iv
1
HAKIKAT BAHASA
DAN PEMBELAJARAN BAHASA

Muhammad Asip, S.Pd., M.Pd.


Universitas Negeri Yogyakarta

Pengertian Bahasa

Dunia mempunyai banyak ragam bahasa. Setiap bahasa


dengan khas tersendiri yang membedakan antara bahasa
yang satu dengan bahasa yang lainnya. Bahasa adalah
alat komunikasi utama dan selalu terjadi dalam konteks
sosial (Kuiper & Allan, 2017). Bahasa secara ekslusif
hanya dimiliki manusia terdapat perbedaan yang jelas
dari sesi lingustik dan non-lingustik serta memiliki makna
(Burridge & Stebbins, 2019). Richards and Webber,
menyebutkan bahasa adalah sistem komunikasi manusia
yang dinyatakan melalui suara atau ungkapan tulis yang
terstruktur untuk membentuk satuan yang lebih besar
seperti morfem, kata dan kalimat. Sedangkan menurut
Sapir, bahasa sebagai suatu naluriah yang dimiliki
manusia untuk mengkomunikasikan ide-ide, emosi dan
keinginan yang menggunakan simbol yang dibuat untuk
tujuan tertentu (Wiratno & Santosa, 2014). Bahasa adalah
alat komunikasi, bersifat arbitrer, konvensional dan
merupakan lambang bunyi (Suhandra, 2019). Bahasa
adalah alat komunikasi yang bermakna (Noermanzah,
2019). Bahasa dalam pengertian kamus besar Bahasa
Indonesia adalah sistem lambang bunyi berartikulasi yang
bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai
sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan
pikiran (Sugono, D., 2008).

1
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukan diatas maka
dapat ditarik sebuah kesimpulan pengertian bahasa yaitu
sikap alamiah manusia untuk berkomunikasi dengan
manusia lainnya dengan menggunakan simbol, bunyi dan
melibatkan panca indra dalam memberikan stimulus dan
respon terhadap lawan berkomunikasi, sehingga maksud
dan tujuan simbol, bunyi dan lambang dapat dipahami
dan dimengerti.

Perkembangan Bahasa Indonesia

Awal mula terbentuknya Bahasa Indonesia merupakan


Bahasa Melayu. Ketersebaran Bahasa Melayu dikawasan
Asia Tenggara menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa
perantara (lingua franca) atau bahasa pergaulan (Sujinah
et al., 2018). Bahasa Melayu terbagi menjadi dua jenis
yaitu Bahasa Melayu Tinggi dan Bahasa Melayu Pasar.
Bahasa Melayu Tinggi bersifat sulit, halus, penuh sindiran
dan kurang ekspresif, sedangkan Bahasa Melayu Pasar
bersifat sangat lentur, mudah dimengerti, dan ekspresif.
Bahasa Melayu Pasar inilah yang akan menjadi cikal
bakal Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang
(Waraulia, A.M., 2018). Ada banyak bukti sejarah yang
mengungkapkan bagaimana ketersebaran Bahasa
Melayu, salah satunya dari peninggalan kerajaan
Sriwijaya abad ke-7 masehi bahwa Bahasa Melayu Kuno
digunakan sebagai bahasa kenegaraan. Bukti
penggunaan Bahasa Melayu Kuno terdapat dalam empat
prasasti yang ditemukan di Pulau Sumatera yaitu; 1)
prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 683 M
(Palembang), 2) prasasti Talang Tuo berangka tahun 684
M (Palembang), 3) prasasti Kota Kapur berangka tahun
686 M (Bangka Barat), 4) prasasti Karang Brahi berangka
tahun 688 M (Jambi), (Putrayasa, 2018). Semua prasasti
bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna
dengan campuran Bahasa Sanskerta. Sedangkan di Pulau
Jawa ditemukannya prasasti di Jawa Tengah berangka
abad ke-9 M dan prasasti Bogor berangka abad ke-10 M.
Bukti lainnya penemuan keping tembaga Laguna di dekat
Manila (Pulau Luzon) tahun 900 M yang merupakan milik
kerajaan Sriwijaya.

2
Ejaan resmi Bahasa Melayu pertama kali disusun Ch. A.
Van Ophuijsen dengan bantuan Moehammad Taib Soetan
Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer dalam kitab Logat
Melayu tahun 1801 (Putrayasa, 2018). Sebelum tahun
1928 telah melakukan pergerakan-pergerakan
kebangsaan yang dikenal dengan sebutan Indonesia.
Seiring berjalannya waktu maka tanggal 28 Oktober 1928
terjadi peristiwa yang melibat putra dan putri Indonesia
atau lebih dikenal dengan sebutan “sumpah pemuda”,
secara resmi dan diakui bahwa Bahasa Indonesia adalah
bahasa persatuan Indonesia. Beberapa alasan yang
menguatkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia
yaitu; 1) Bahasa Melayu merupakan lingua franca, 2)
penyebaran Bahasa Melayu lebih luas dibandingkan
Bahasa Jawa, Sunda, Madura dan lainnya, 3) Bahasa
Melayu berkrabat dengan bahasa-bahasa di nusantara, 4)
Bahasa melayu memiliki sistem sederhana sehingga
mudah dipelajari, 5) Adanya kerelaan dan keinsafan
secara sadar dari selain Bahasa Melayu dan menerima
Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, dan 6) Bahasa
Melayu dapat dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam
arti luas (Sujinah et al., 2018).

Makna dan Bentuk Bahasa Indonesia

Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa untuk


memberikan maksud dan tujuan yang ingin disampaikan
pada lawan berkomunikasi. Berbahasa yang baik adalah
berbahasa yang mempunyai makna. Sebenarnya makna
itu sendiri apa? Jika diberikan pertanyaan seperti ini
tentu akan dijawab dengan penjelasan yang berupa kata-
kata dan kalimat. Makna adalah sistem lambang atau
sistem tanda yang diwujudkan dalam satuan-satuan
bahasa seperti leksem, frasa, kalimat dan lain sebagainya
(Chaer & Muliastuti, 2014). Jika dikaji lebih jauh terkait
makna bahasa akan memberikan ulasan arti makna
berbahasa. Makna bahasa mengacu pada yang kita
artikan atau apa yang kita maksudkan (Amelia, F.,
Anggraeni, 2017). Berkomunikasi menjadi bermakna jika
yang dimaksudkan tersampaikan dan direspon lawan
komunikasi.

3
Makna yang disampaikan dalam bentuk pesan sering
terjadi salah pengertian atau terjadi tangkapan informasi
yang keliru. Kesalahan dalam memahami bahasa dapat
diminimalisir dengan mempelajari semantik atau ilmu
yang mengkaji makna bahasa (Amelia, F., Anggraeni,
2017). Pemaknaan kata-kata yang dipahami seseorang
disebabkan lingkungan sekitar individu itu sendiri.
Pengaruh bahan bacaan, intraksi sosial, gambar, video,
suara dan lain sebagainya. Beberapa alasan yang
menyebabkan makna sesuatu mengalami perbedan
seperti melihat dan mendengar dari media masa,
mendengar dari masyarakat, kebiasaan sehari-hari dan
melihat makna (kata) dalam kamus besar Bahasa
Indonesia atau KBBI (Ramadan & Mulyati, 2020).
Pemaknaan didasari dengan penamaan sesuatu objek
atau sesuatu yang lainnya. Ada faktor yang menyebabkan
penamaan direspon secara berbeda oleh lawan
komunikasi kita. Faktor penamaan bunyi, penyebutan
sifat khas, penyebutan bagian, penemu atau pembuat
pertama kali, tempat asal, bahan, keserupaan dan
pemendekan (Amelia, F., Anggraeni, 2017). Selain makna
bahasa juga memiliki tataran bentuk. Bentuk bahasa
merujuk pada wujud audio atau wujud visual suatu
bahasa, wujud audio dapat kita ketahui dari bunyi-bunyi
yang kita dengarkan sedangkan wujud visual dapat
diketahui dari lambang-lambang yang tampak jika
dituliskan (Mustakim, 2014). Bentuk bahasa yang kita
pahami terkait dengan bentuk kata, bentuk kalimat dan
bentuk-bentuk lainnya. Secara morfologis bentuk kata
dibedakan berdasarkan kelas kata. Adapun kelas kata
terbagi menjadi kata kerja atau verba, kata sifat atau
adjektiva, kata keterangan atau adverbial, kata benda
atau nomina, kata ganti atau pronominal, kata bilangan
atau numeralia, dan kata tugas (Pancabudi, 2018). Makna
dan bentuk bahasa mempunyai hubungan yang erat.
Relasi makna dan bentuk berkaitan dengan kesamaan
makna atau sinonim, kebalikan makna atau antonim,
perbedaan makna atau homonim, kegandaan makna atau
polisemi, ketercakupan makna atau hiponim, dan
kelebihan makna atau redudansi (Wahyudin, 2019).

4
Fungsi Bahasa Indonesia

Bahasa yang digunakan diwilayah Republik Indonesia


adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
kenegaraan. Landasan dasar Bahasa Indonesia tertuang
dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 24
tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara
dan lagu kebangsaan. Secara spesifik fungsi Bahasa
Indonesia termuat dalam bab III tentang bahasa negara
pasal 25 ayat 2 yang berbunyi, “Bahasa Indonesia
berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional,
sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana
komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah”
(Undang-Undang, 2009). Bahasa Indonesia diera
globalisasi menghadapi berbagai tantang seperti teknologi
canggih, kurangnya rasa bangga untuk menggunakan
Bahasa Indonesia serta derasnya arus bahasa asing.
Kedisiplinan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar akan mempertahankan eksistensi Bahasa
Indonesia. Diperlukan sebuah kesadaran dari masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat sebagai pengguna
Bahasa Indonesia dalam menggunakan Bahasa Indonesia
(Murti, 2015). Selain faktor kesadaran yang disiplin untuk
menggunakan Bahasa Indonesia. Pola pembiasaan
menggunakan Bahasa Indonesia diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari (Nimas Permata Putri, 2017).
Bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa Indonesia
sebagaimana semangat sumpah pemuda 1928 dalam
mengakui Bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia
benar-benar harus memahami bahwa Bahasa Indonesia
adalah alat pemersatu. Fungsi Bahasa Indonesia sebagai
pemersatu bangsa sangatlah penting (Inda Puspita Sari,
2015). Untuk mempertahankan Bahasa Indonesia sebagai
pemersatu terkhusus ditingkat perguruan tinggi maka
dosen bahasa dan sastra dapat mengambil peran di era
globalisasi sekarang, seperti; 1) menjadi model Bahasa
Indonesia baik lisan maupun tulisan, 2) menciptakan
pembalajaran yang kreatif dan berpikir kritis, 3)
memberikan kesempatan pengembangan industri
dibidang kebahasaan dan kesastraan, 4) menjadi
fasilitator komunitas ilmiah bahasa dan kesastraan, 5)

5
memberikan peluang publikasi ilmiah dan pertukaran
mahasiswa (Noermanzah, 2015). Bahasa Indonesia
hendaknya selalu dilakukan monitoring yang
berkelanjutan dari berbahasa dasar sampai berbahasa
tingkat lanjutan. Kegiatan membina bahasa Indonesia
harus dilakukan secara berkelanjutan agar Bahasa
Indonesia tetap menjadi prioritas utama dalam pemakaian
Bahasa Indonesia dan menumbuhkan sikap positif
terhadap bahasa Indonesia (Aziz, 2016).

Konsep Belajar

Konsep merupakan abstraksi pemikiran yang merinci


atau langkah-lakanh yang akan diambil saat melakukan
aktivitas. Konsep adalah sesuatu yang dikandung dalam
pikiran: prinsip, ide, pemikiran umum atau abstrak atau
gagasan (Safdar et al., 2012). Belajar merupakan suatu
keharusan yang mesti dilakukan insan agar tercipta
perubahan yang lebih baik, bermanfaat untuk diri sendiri
dan lingkungan sekitar. Konsep belajar yang baik adalah
belajar yang dilakukan dengan kesadaran, karena
kebutuhan akan ilmu untuk memecahkan semua
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan. Belajar
selayaknya terus dilakukan selagi masih bernafas dan
jiwa masih bersama raga. Menjalani kehidupan tanpa
ilmu akan mengalami banyak tantangan. Jika ingin
memperoleh kebahagian dunia dan akhirat hendaklah
berilmu, sejatinya ilmu didapatkan dengan proses belajar.
Belajar bukan lagi aktivitas internal individualistik untuk
mencari solusi permanen (Behlol, 2010). Belajar dapat
dilakukan dimana saja dan belajar juga bisa dilakukan
bersama siapa saja. Belajar tidak selalu berada diruang
kelas, menggunakan buku, pena dan komputer. Alam
semesta baik benda mati dan makhluk hidup merupakan
sumber belajar bagi semua orang. Kita tidak boleh
menganggap belajar sebagai gagasan sederhana tentang
intraksi sehari-hari antara guru dan siswa di sekolah
(Outcomes & Terms, 2007). Belajar menjadikan
perubahan sikap yang membawa pada perkembangan
keterampilan yang belum pernah dimiliki sebelumnya.

6
Belajar berprogres dalam kebaikan dan perubahan.
Belajar adalah tentang perubahan; perubahan yang
dibawah dengan mengembangkan keterampilan baru,
memahami hukum ilmiah dan mengubah sikap (Sequeira,
2018).

Belajar Bahasa

Berbahasa tidak datang tiba-tiba, selalu ada proses


didalamnya apapun bahasanya. Ada proses
mendengarkan, menirukan, melafalkan, pengulangan dan
lain sebagainya. Berbahasa terbagi menjadi dua aspek
besar yakni kompetensi berbahasa dan praktis berbahasa.
Belajar berbahasa dalam rangka melakukan kegiatan
berbahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa tertentu.
Komunikasi terkategori dalam tataran praktis berbahasa.
Berkomunikasi yang baik dengan orang lain atau
lingkungan masyarakat sudah pasti butuh belajar agar
tidak ada miskomunikasi atau kesalahan memahami
stimulus yang diberikan. Dalam belajar bahasa
menggunakan pendekatan komunikatif menekankan
pada tujuan pembelajaran yang mengutamakan
penggunaan bahasa secara baik dan benar oleh peserta
didik di lingkungan pendidikan ataupun lingkungan
sosial (Mulyaningsih, 2017). Belajar bahasa dapat dikaji
dengan mendalam menggunakan teori Noam Chomsky.
“Chomsky’s UG is a significant theory in the field of
linguistics” (Md. Enamul, 2020). Berbahasa untuk
berkomunikasi yang bermakna. Perkembangan bahasa
seseorang melalui proses yang dipengaruhi berbagai hal,
misalnya perkembangan usia, lingkungan sekitar dan lain
sebagainya. Perkembangan bahasa terus berlangsung
sepanjang hayat dan dipengaruhi berbagai faktor seperti
biologis, kognitif dan sosial-emosional (Arnianti, 2019).
Belajar bahasa bukan hanya sekedar struktur berbahasa.
Namun, belajar berbahasa terkait dengan moral, norma,
nilai dan budaya. Bahasa sebagai sarana penghubung
dengan lingkungan yang lebih luas, maka muncul istilah
bahasa nasional dan bahasa internasional. Semakin
banyak bahasa yang dikuasai sesorang akan
memudahkan untuk berkomunikasi dan sarana

7
pergaulan yang luas. Manusia tidak dapat dipisahkan
dengan bahasa, maka belajar bahasa sepanjang usia
menjadi suatu kebutuhan.

Keterampilan Bahasa

Kemampuan berbahasa yang dimiliki seseorang akan


menentukan kualitas komunikasi orang itu sendiri.
Kemampuan berbahasa melibatkan telinga, lidah,
pemikiran dan mempraktikan dalam karya tulisan.
Didunia ini mempunyai beragam bahasa, namun secara
umum keterampilan berbahasa hanya empat saja.
Keterampilan berbahasa terdiri dari menyimak, berbicara,
membaca dan menulis (Husain, 2015). Namun, jika
terkait keterampilan Bahasa Indonesia berdasarkan
kurkikulum merdeka terdiri dari menyimak, membaca
dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan, serta
menulis. Keterampilan berbahasa saling terikat dan tidak
bisa berdiri sendiri. Keterampilan berbahasa ada yang
bersifat pasif dan ada yang sifat aktif. Menyimak dan
membaca terkategori keterampilan berbahasa pasif,
sedangakan menulis dan berbicara berkategori
keterampilan berbahasa aktif. Berbicara dan menulis
adalah keterampilan produktif karena saat menggunakan
keterampilan ini pelajar tidak hanya aktif tetapi juga
menghasilkan suara dalam berbicara dan simbol dalam
menulis, sedangkan mendengarkan dan membaca adalah
keterampilan reseptif karena pelajar umumnya pasif baik
melalui mendengarkan maupun membaca (Husain, 2015).
Jika keterampilan berbahasa dihubungkan dengan
kegiatan belajar dan mengajar maka akan menuntut
kemampuan siswa dan guru dalam menggunakan bahasa
yang baik dan benar dalam belajar. Keterampilan
bertanya yang dilakukan siswa merupakan wujud nyata
keterampilan berbahasa. Semakin beragam keterampilan
bahasa yang dikuasai siswa, maka semakin lengkap
keterampilan berbahasa yang dimiliki siswa (Santosa et
al., 2019). Untuk mencapai keberhasilan dalam mengasah
keterampilan berbahasa perlu menggunakan materi atau
mata pelajaran lain sebagai pendukung keterampilan
belajar berbahasa.

8
Perkambangan dalam pengajaran empat keterampilan
berbahasa hanya dapat dicapai di dalam kelas melalui
pemusatan perhatian pada aspek pembelajaran lain
(Paran, 2012).

Model Pembelajaran Bahasa

Model pembelajaran tentu sudah tidak asing dalam


kegiatan belajar dan mengajar. Model pelajaran sebagai
cara yang dipilih guru untuk memudahkan pencapaian
tujuan pembelajaran. Model pelajaran disesuaikan
dengan situasi dan kondisi, misalnya; kategori mata
pelajaran, cakupan materi, usia, level sekolah lingkungan
sekitar dan lain-lain. Namun, jika salah memilih model
pembelajaran akan menjadi tidak oftimal atau tidak
berfungsi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual dan
operasional pembelajaran yang memiliki nama, ciri,
urutan logis, pengaturan dan budaya (Kemendikbud,
2014). Model pembelajaran berperan untuk membentuk
pola pembelajaran berpusat pada siswa. Model
pembelajaran merupakan prosedur sistematis dalam
mengelola kegiatan belajar mengajar untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Setiap pembelajaran akan
menggunaka model pembelajaran yang sesuai situasi,
kondisi dan kebutuhan siswa. Bahasa Indonesia sebagai
bidang ilmu yang dipelajari di semua level pendidikan
Indonesia mulai dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Empat keterampilan berbahasa yakni membaca,
menulis, berbicara dan menyimak. Model pembelajaran
membaca dapat dilakukan dengan pendekatan proses
menggunakan strategi anticipation guide, strategi DRTA
(directed, reading, thinking activity), strategi KWLA (know,
want, learned, affect), strategi directed inquiry activity,
strategi OH RATS (overview, headings, read, answer, test-
study), strategi SQ3R (survey, question, read, recite, and
review), strategi ECOLA (extending, concept, throught,
language, activity). Sementara model menulis dengan
pendekatan proses dapat dilakukan dengan strategi
sentence collection, sedangkan pembelajaran sastra
menggunakan model strata, induktif, analisis, sinektik,

9
bermain peran, sosiodrama dan simulasi (Syamsi, 2010).
Pada kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka ada tiga
model pembelajaran yang ditekankan untuk digunakan
dalam proses pembelajaran yakni; 1) Problem based
learning/PBL, 2) Project based learning/PjBL, dan 3)
Discovery learning/DL. Adapun sintak model
pembelajarannya sebagai berikut:
No Model Sintaks
1 Problem based 1. Merumuskan masalah
learning/PBL 2. Menganalisis masalah
3. Merumuskan hipotesis
4. Mengumpulkan data
5. Pengujian hipotesis
6. Memberikan rekomendasi
2 Project based 1. Menentukan topik
learning/PjBL 2. Mengkaji informasi awal
3. Menentukan pertanyaan
mendasar
4. Mendesain perencanaan
proyek
5. Menyusun jadwal
6. Memonitor kemajuan proyek
7. Menguji hasil
8. Mengevaluasi pengalaman
3 Discovery 1. Pemeberian
learning/DL rangsangan/stimulasi
2. Identifikasi masalah
3. Pengumpulan data
4. Pengolahan data
5. Pembuktian
6. Menarik kesimpulan

Sumber: (Permendiknas, 2014)


Model-model pembelajaran selalu berkembang
menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Para ahli dan
akademisi selalu berusaha untuk mengembangkan model
pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran untuk
menciptakan kondisi belajar yang bermakna dan siswa
dapat mengaplikasikan pengetahuannya dalam
kehidupan nyata. Adapun model-model pembelajaran
yang popular dalam kondisi wabah diantaranya; 1) model
ASIIK, 2) model SOLE, 3) model Flipped Classroom, 4)
model Blended Learning, 5) Model Descovery-Inquiry, 6)
Model Game

10
Daftar Pustaka
Amelia, F., Anggraeni, A. W. (2017). Semantik; Konsep dan
Contoh Analisis. Madani, 203.
http://repository.unmuhjember.ac.id/3043/1/07250
68501_berkas buku lengkap.pdf
Arnianti. (2019). Teori Perkembangan Bahasa. PENSA :
Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 1(1), 139–152.
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pensa
Aziz. (2016). Pembinaan Bahasa Indonesia. In N. Ayesha
(Ed.), Pena Indis (1st ed.).
http://eprints.unm.ac.id/15240/1/Pembinaan
Bahasa Indonesia_2016_buku_Azis.pdf
Behlol, M. G. (2010). Concept of Learning. 2(Desember),
231–239. https://doi.org/10.5539/ijps.v2n2p231
Burridge, K., & Stebbins, T. N. (2019). What is language?
For the Love of Language, 3–21.
https://doi.org/10.1017/cbo9781107445307.004
Chaer, A., & Muliastuti, L. (2014). Makna dan Semantik:
Semantik Bahasa Indonesia. Universitas Terbuka, 1–
39.
Husain, N. (2015). What is Language ? English Language
Language as Skill. Language and Language Skills,
March, 1–11.
https://www.researchgate.net/publication/2743109
52
Inda Puspita Sari. (2015). Pentingnya Pemahaman
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai
Pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa
UNIB, 143–148.
https://doi.org/10.1515/9783112372760-019
Kemendikbud. (2014). Permendikbud Nomor 103 Tahun
2014 Tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar
dan Pendidikan Menengah. Permendikbud No.103
Tahun 2014. http://pgsd.uad.ac.id/wp-
content/uploads/lampiran-permendikbud-no-104-
tahun-2014.pdf

11
Kuiper, K., & Allan, W. S. (2017). Introduction: What is a
Language? An Introduction to English Language, 1–24.
https://doi.org/10.1057/978-1-137-49688-1_1
Md. Enamul, H. (2020). Noam Chomsky ’ s Contribution
to Second Language Acquisition : A Reflection on the
Universal Grammar Theory The EDRC Journal of
Learning and Teaching. The EDRC Journal of Learning
and Teaching, 6(3), 1–10.
Mulyaningsih, I. (2017). Teori belajar bahasa. IAIN Syekh
Nurjati Cirebon, 1–45.
Murti, S. (2015). Eksistensi Penggunaan Bahasa
Indonesia di Era Globalisasi. Prosiding Seminar
Nasional Bulan Bahasa UNIB, 1(2), 177–184.
http://repository.unib.ac.id/11123/1/18-Sri
Murti.pdf
Mustakim. (2014). Bentuk dan Pilihan Kata. Pusat
Pembinaan Dan Pemasyarakatan Badan
Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan, 53(9), 1689–1699.
Nimas Permata Putri. (2017). Eksistensi Bahasa Indonesia
Pada Genarasi Millenial. Wisyasastra, 05(juni), 61–67.
https://doi.org/10.1515/9783112372760-010
Noermanzah. (2015). Peran Dosen Bahasa dan Sastra
Indonesia dalam Mempertahankan Bahasa Indonesia
sebagai Alat Pemersatu Negara Kesatuan Republik
Indonesia Pada Era Globalilasi. Prosiding Seminar
Nasional Bulan Bahasa UNIB, 95–102.
https://doi.org/10.1515/9783112372760-013
Noermanzah. (2019). Bahasa sebagai alat komunikasi,
citra pikiran dan kepribadian. 306–319.
https://ejournal.unib.ac.id/index.php/semiba
Outcomes, L., & Terms, K. E. Y. (2007). What is learning?
Pancabudi. (2018). Mengelompokkan Kata, Bentuk Kata,
Ungkapan, dan Kalimat Berdasarkan Kelas Kata dan
Makna Kata A. Kelas Kata. Anonim, 13.
http://pancabudi.sch.id

12
Paran, A. (2012). Language skills: Questions for teaching
and learning. ELT Journal, 66(4), 450–458.
https://doi.org/10.1093/elt/ccs045
Permendiknas. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun
2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan. Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 956, 1–3910.
https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud
Nomor 59 Tahun 2014.pdf
Putrayasa, I. G. N. K. (2018). sejarah bahasa indonesia -
Universitas Udayana. Sejarah Bahasa Indonesia, 7–8.
https://simdos.unud.ac.id
Ramadan, S., & Mulyati, Y. (2020). Makna Kata dalam
Bahasa Indonesia (Salah Kaprah dan Upaya
Perbaikannya). Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(1), 90.
https://doi.org/10.26499/rnh.v9i1.1036
Safdar, M., Hussain, A., Shah, I., & Rifat, Q. (2012).
Concept Maps : An Instructional Tool to Facilitate
Meaningful Learning. 3(1), 55–64.
https://doi.org/10.12973/eu-jer.1.1.55
Santosa, T., Saputro, D., Sabardila, A., Markhamah, M., &
Ngalim, A. (2019). Language Skills in Bahasa
Indonesia Learning Textbook Class X Curriculum of
2013 Revised Edition. Education and Humanities
Research, 338(Prasasti), 298–302.
https://doi.org/10.2991/prasasti-19.2019.51
Sequeira, A. H. (2018). Introduction to Concepts of Teaching
and Learning. July.
https://doi.org/10.2139/ssrn.2150166
Sugono, D., dkk. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Pusat
Bahasa. ttps://oldi.lipi.go.id
Suhandra, I. R. (2019). Hubungan bahasa, sastra dan
ideologi (pp. 172–182). Cordova Jurnal.
https://journal.uinmataram.ac.id

13
Sujinah, Fatin, I., & Rachmawati, D. K. (2018). Buku Ajar
Bahasa Indonesia Edisi Revisi. In UM Surabaya
Publishing.
Syamsi, K. (2010). Inovasi Model pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia. FBS UNY, 1.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131873960/pendi
dikan/Inovasi+Model+Pembelajaran+Bahasa+Indones
ia.pdf
Undang-Undang. (2009). UU No. 24 2009. JDIH.
https://jdih.mkri.id/mg58ufsc89hrsg/193fa997c831
9d8606f1747565e49cf2de73ddebe.pdf
Wahyudin, A. (2019). Modul belajar mandiri calon guru.
Kemendikbud, 37–64.
Waraulia, A.M., S. A. . (2018). Bahasa Indonesia: Untuk
Mahasiswa dan Umum. UNIPMA Prees, 1(November),
i–16. http://eprint.unipma.ac.id
Wiratno, T., & Santosa, R. (2014). Bahasa, Fungsi Bahasa,
dan Konteks Sosial. Modul Pengantar Linguistik
Umum, 1–19. http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-
content/uploads/pdfmk/BING4214-M1.pdf

14
2
HAKEKAT SASTRA
DAN KARYA SASTRA

Try Annisa Lestari, M.Pd.


Universitas Mikroskil

Konsep Sastra

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta


yaitu shaastra, yang mempunyai arti teks mengandung
instruksi atau pedoman. Sastra anak adalah sastra yang
mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak
melalui pandangan anak-anak. Saxby (1991:4)
berpendapat bahwa sastra adalah citra kehidupan dan
gambaran kehidupan (image of life). Sehingga pada sastra
anak perlu digambarkan konteks anak-anak sesuai tahap
perkembangannya. Pemahaman tentang tahap
perkembangan anak sangat penting untuk memilih karya
sastra yang sesuai. Pilihan bacaan anak untuk usia
sekolah dasar sangatlah melimpah. Sastra terbagi ke
dalam tiga jenis, yaitu: puisi, drama dan prosa.
Sedangkan karya sastra anak terbagi menjadi tujuh jenis,
yaitu: buku bergambar, fiksi realistik, fiksi sejarah, fiksi
ilmu, cerita fantasi, biografi, dan puisi.
Sastra termasuk ke dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah dasar. Fokus tujuan dari mata
pelajaran tersebut yaitu: kompetensi siswa dalam
berbahasa (lisan maupun tertulis), dan sikap
mengapresiasi sastra. Dengan demikian, pembelajaran
sastra dan pembelajaran bahasa Indonesia dilakukan
secara terintegrasi dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah dasar.

17
Namun tujuan pengajaran sastra pada tingkat sekolah
dasar yaitu: meningkatkan kemampuan siswa dalam
menikmati, menghayati, memahami, dan menghargai
karya sastra. Sehingga sastra yang dibahas hanya konsep
umum atau sekadar pengetahuan pendukung kegiatan
apresiasi sastra.
Sastra memberikan banyak manfaat dalam kehidupan
anak. Tarigan (2011) mengemukakan enam manfaat
sastra, yaitu:
1. Memberikan kesenangan, kegembiraan, dan
kenikmatan kepada anak-anak.
2. Mengembangkan imajinasi anak-anak dan membantu
mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam,
insan, pengalaman, atau gagasan dengan berbagai
cara.
3. Memberikan pengalaman-pengalaman aneh yang
seolah-olah dialami sendiri oleh para anak.
4. Mengembangkan wawasan para anak menjadi
perilaku insani.
5. Menyajikan serta memperkenalkan kesemestaan
pengalaman kepada para anak.
6. Merupakan sumber utama bagi penerusan warisan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian, pembelajaran sastra tidak hanya
membahas materi dan kompetensi di dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar, tetapi
memberikan pengaruh yang besar terhadap
keberlangsungan kehidupan anak. Dari enam manfaat
membelajarkan sastra pada diri anak sekolah dasar akan
membudayakan anak untuk membaca, mendukung
literasi, meningkatkan perkembangan intelektual,
memperhatikan psikologis anak sesuai usia tumbuh
kembang anak, meningkatkan daya imajinasi anak, dapat
mengenalkan budaya, dan bahkan dapat membina
karakter pada diri anak.

18
Karya Sastra

Menghasilkan karya sastra merupakan salah satu


kegiatan yang mendukung Gerakan Literasi Sekolah
(GLS). GLS diwujudkan melalui kegiatan wajib membaca
15 menit setiap hari. Kemudian siswa diminta untuk
menceritakan isi dan makna dari bahan yang ia baca, baik
secara lisan maupun tulisan. Sehingga siswa tidak hanya
membaca tetapi melek huruf dan memaknai semua teks
yang ia baca. Siswa sekolah dasar pada umumnya lebih
menyukai buku bergambar (picture book).
Rothkei dan Mainbach (dalam Krissandi dkk, 2018)
membedakan buku bergambar ke dalam lima jenis, yaitu:
buku abjad, buku mainan, buku konsep, buku bergambar
tanpa kata, dan buku cerita bergambar. Dari lima jenis
buku bergambar, siswa lebih menyukai buku cerita
bergambar karena di dalamnya memuat teks tertulis yang
berbentuk cerita, terdapat ilustrasi yang menggambarkan
makna teks tertulis. Sehingga pembaca dari buku cerita
bergambar akan berimajinasi terkait cerita yang
disampaikan, dan bahkan terdapat anak yang akan
menebak alur dan bagian akhir dari cerita sebelum
mereka membaca hingga selesai. Penggunaan buku cerita
bergambar mendukung kegiatan apresiasi sastra pada diri
anak, dan mengembangkan berbagai kompetensi bahasa
seperti komunikasi lisan, proses berpikir kognitif,
ungkapan perasaan melalui kata-kata dan ilustrasi cerita,
serta meningkatkan kepekaan seni dan sastra pada diri
anak. Setiap karya sastra mempunyai unsur atau
struktur pembangun setiap jenis sastra. Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2005) mengemukakan bahwa struktur
karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, seluruh
bahan dan bagian yang menjadi komponen pembentuk
sebuah keutuhan yang indah.

Pemilihan Sastra untuk Anak

Pada subab sebelumnya telah dibahas manfaat sastra


pada diri anak. Manfaat tersebut dapat dicapai dengan
maksimal jika guru merencanakan dan melakukan proses
pembelajaran dengan optimal. Hal dasar yang perlu

19
dilakukan guru ketika akan membelajaran sastra pada
anak yaitu dengan memilih kriteria sastra yang sesuai
dengan tahapan usia anak. Memaparkan bahwa terdapat
lima kriteria pemilihan sastra anak, yakni:
1. Kata-kata (diksi)
Di dalam karya sastra terdapat amanat atau pesan
yang ingin disampaikan pada pembaca (anak). Anak
usia sekolah dasar mempunyai kemampuan bahasa
yang masih sederhana. Oleh karena iu, pemilihan
kata-kata (diksi) harus dilakukan oleh guru agar
amanat di dalam sastra akan mudah dipahami anak.
Disarankan kepada guru untuk memilih kata yang
sederhana, tidak memberikan makna ganda atau
ambigu, serta memberikan cerita yang relate atau
berkaitan dengan kehidupan anak.
2. Susunan kalimat dan narasi
Kalimat terdiri dari deretan beberapa kata yang
terstrukur dan mempunyai makna. Paragraf terdiri
dari beberapa kalimat yang saling berhubungan dan
menciptakan sebuah makna. Kalimat sebaiknya
disusun dengan baik agar dapat memberikan makna.
Oleh karena itu, disarankan kepada guru untuk
menyusun kalimat yang cenderung pendek,
menggunakan kata yang mudah dipahami, dan antar
kalimat saling berkesinambungan. Pada susunan
kalimat diharapkan agar sastra tidak menggunakan
kalimat yang panjang sehingga siswa akan
kebingungan mengambil makna ataupun pesan
penting di dalam sastra tersebut. Penyusunan kalimat
berkaitan dengan penyusunan narasi di dalam karya
sastra. Narasi adalah gaya penceritaan. Sama halnya
dengan penyusunan kalimat, pada narasi juga
sebaiknya menggunakan alur yang pendek sehingga
mudah bagi siswa untuk memahami narasi yang
disampaikan.
3. Plot
Plot adalah alur cerita. Pada sastra anak sebaiknya
diterapkan cerita beralur progresif, karena pola pikir

20
anak usia sekolah dasar masih bersifat linear.
Berpikir linear adalah berpikir dengan pusat pada
satu fokus. Oleh karena itu, disarankan kepada guru
untuk menentukan plot cerita satu arah dari kegiatan
lampau menuju kegiatan terkini, dan tidak
dianjurkan untuk menggunakan cerita beralur
flashback.
4. Penokohan
Penokohan merupakan sarana yang paling mudah
untuk memasukan sebuah ideologi ke dalam cerita
karena melalui tokoh akan disampaikan nilai penting
yang harus dipahami anak. Dengan memanfaatkan
karakter tokoh yang menarik dan sederhana akan
berdampak positif terhadap minat dan daya tarik
anak terhadap sastra. Penokohan juga harus
memanfaatkan plot cerita yang menggunakan
rangkaian peristiwa sederhana, sehingga akan
terbentuk kesatuan narasi cerita.
5. Penutupan cerita dan solusi yang disampaikan
Solusi cerita hampir sama dengan pengakhiran cerita.
Pengakhiran cerita menekankan pada kesimpulan
cerita, sedangkan solusi cerita berkompeten pada
nasihat-nasihat untuk menanggapi kesimpulan
cerita. Nasihat cerita adalah nilai kehidupan yang
disampaikan penulis secara tersirat di dalam cerita
atau karya sastranya. Guru diharapkan dapat
memilih karya sastra yang mempunyai penutupan
cerita dan solusi yang baik, sehingga anak akan
mudah untuk mengambil amanat atau pesan yang
mau disampaikan.

Apresiasi Karya Sastra Anak

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang


berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Sehingga
apresiasi karya sastra anak dapat diartikan sebagai sikap
menghargai karya sastra yang telah dihasilkan anak.
Apresiasi sastra terbagi menjadi dua jenis, yaitu apresiasi
sastra reseptif dan apresiasi sastra ekspresif.

21
Apresiasi sastra anak secara reseptif yaitu penghargaan,
penilaian, dan penghayatan terhadap karya sastra anak-
anak, baik yang berbentuk puisi, prosa, maupun drama
yang dapat dilakukan dengan cara membaca,
mendengarkan, dan menyaksikan pementasan drama.
Pada tahap apresiasi ini, kemampuan pembaca karya
sastra berada pada tahap membaca karya sastra,
menyerap, dan menggali makna yang disampaikan pada
karya sastra. Umunya, siswa pada tahap apresiasi sastra
secara reseptif belum dapat menghasilkan produk dalam
kegiatan apresiasi kecuali ungkapan rasa menghargai dan
takjub melalui kata-kata. Apresiasi sastra
ekspresif/produktif merupakan kegiatan mengapresiasi
karya sastra yang menekankan pada proses kreatif dan
penciptaan. Apresiasi sastra secara ekspresif/produktif
tidak mungkin terwujud tanpa diberikan pengajaran
menulis, khususnya menulis kreatif di sekolah dasar
(Isova dan Hartati, 2016). Dalam kegiatan bersastra
secara ekspresif/produktif, metode yang sesuai untuk
digunakan dalam mengapresiasi sastra adalah metode
produktif. Metode ini diarahkan pada aktivitas berbicara
dan menulis. Siswa harus banyak berbicara atau menulis
untuk menuangkan gagasan-gagasannya.
Kegiatan apresiasi sastra yang diterapkan guru akan
membentuk kompetensi apresiasi karya sastra pada diri
anak. Kompetensi yang dimaksud yaitu: kemampuan
anak menikmati dan menghargai karya sastra yang
dihasilkannya sendiri maupun dihasilkan oleh orang lain.
Dalam hal ini, siswa diajak untuk melakukan literasi
berupa membaca, memahami, menganalisis, dan
menikmati karya sastra secara langsung. Siswa tidak
harus menghafal sastra dari judul, sinopsis dan ataupun
menghafal kalimat demi kalimat dari sastra, akan tetapi
siswa diminta untuk langsung berhadapan dengan karya
sastranya. (Siswanto, 2008)
Kegiatan apresiasi karya sastra akan membentuk
pengalaman pada diri anak terkait karya sastra, dan aka
menimbulkan perubahan serta penguatan tingkah laku
akan pentingnya saling menghargai dan indahnya karya
sastra.

22
Hal tersebut disebabkan oleh ketika anak mengapresiasi
karya sastra maka ia akan melakukan berbagai kegiatan
seperti: memaknai, memperhatikan, meminati, bersikap,
membiasakan diri, dan menerampilkan diri berkenaan
dengan sastra sehingga bukan hanya kognitif anak yang
terkonstruksi tetapi juga keterampilan dan sikap mereka.
Susanti (2015) mengklasifikasikan kegiatan apresiasi
sastra berdasarkan tujuan apresiasi ke dalam tiga bagian
berikut: (1) ketepatan apresiasi, yaitu menimbulkan
kepekaan psikis, mendengarkan, membaca sendiri,
membaca bersama, intpretasi auditif-musikal dan visual,
memantaskan, mengundang pelaku seni, memahami
serta melatih ketrampilan mempergunakan pengertian
teknis; (2) kedalaman apresiasi, yaitu dalam hal ini guru
berupaya agar siswa mengalami proses kegiatan
intelektual, emosional, dan imajinatif yang seimbang
dengan proses yang pernah dialami oleh pengarang
(sastrawan) dalam menciptakan karyanya; dan (3)
keluasan apresiasi; guru mendorong dan mengarahkan
perhatian pada hubungan antara sastra dengan
kehidupan dengan segala masalahnya. Para siswa juga
harus menggunkan pengetahuan lain. Dari kegiatan ini
diharapkan siswa akan peka terhadap nilai ekstrinsik dan
menyadari kedudukan sastra di dalam lembaga
masyarakat.

23
Daftar Pustaka

Isova, M., Hartati, Tatat. Pengaruh Media Film Animasi


untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak dan
Berbicara Siswa Sekolah Dasar, JPSD, Vol. 2 (1) 2016
Krissandi, Apri Damai Sagita., Febriyanto, Benedictus.,
Cahya, Kelik Agung., Radityo, Diaz. 2018. Sastra
Anak: Media Pembelajaran Bahasa Anak. Yogyakarta:
Bakul Buku Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar
Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Saxby, Maurice dan Gordon Winch (eds). 1991. Give Them
Wings, The Experience of Children’s Literature.
Melbourne: The Mac- millan Company.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra.
Bandung: Grasindo.
Susanti, Rini Dwi. Pembelajaran Apresiasi Sastra di
Sekolah Dasar. Elementary, Vol. 3 (1) Januari-Juni
2015.
Tarigan, H. Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Penerbit Angkasa

24
3
MATERI BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR

Maisura, M.Pd.
Universitas Almuslim

Materi Bahasa Indonesia SD Berdasarkan


Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 sebagai penyempurnaan dari kurikulum
2006 (KTSP/Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan),
tentunya memiliki perubahan ke arah yang lebih baik.
Pada kurikulum 2006, pembelajaran Bahasa Indonesia
mengedepankan keterampilan berbahasa dan bersastra,
hal ini dapat di lihat dari tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia, yaitu agar peserta didik memilki beberapa
kemampuan, antara lain (1) berkomunikasi secara efektif
dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara
lisan maupun tulisan, (2) Menghargai dan bangga
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu dan bahasa Negara, (3) Memahami Bahasa
Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan, (4) Menggunakan Bahasa
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial, (5) Menikmati
dan memanfaatkan karya sastra untuk memperhalus
budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa, dan (6) Menghargai dan
membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia. sementara itu
pada Kurikulum 2013 sekolah dasar, pembelajaran
Bahasa Indonesia berperan sebagai penghela, sebagai alat

27
atau sarana untuk mengembangkan kemampuan dan
keterampilan dalam menalar dan memahami esensi
kandungan materi dari semua mata pelajaran lain yang
dijadikan sebagai konteks dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia.
Pembelajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya
membelajarkan keterampilan berbahasa Indonesia yang
baik dan benar sesuai tujuannya kepada peserta didik
untuk mencapai tujuan pelaksanaan kurikulum 2013. Di
dalam Standar Isi (2006) disebutkan bahwa tujuan mata
pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan (1) Berkomunikasi secara efektif
dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara
lisan maupun tulis; (2) Menghargai dan bangga
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara; (3) Memahami bahasa
Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial (5) Menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa; (6) Menghargai dan
membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia. Adapun
tujuan pelaksanaan kurikulum 2013 seperti disebutkan
dalam Permendikbud No 67 tahun 2013 adalah untuk
mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki
kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang
beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta
mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia tersebut akan di
capai oleh siswa dengan mempelajari ruang lingkup
Bahasa Indonesia yang mencakup komponen
kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra
dengan empat aspek, yaitu mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis dalam pelaksanaan kurikulum
2013.

28
Pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013
disajikan dengan menggunakan pendekatan berbasis
teks, agar belajar bahasa Indonesia tidak sekadar
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi,
tetapi harus dapat mengetahui makna atau memilih kata
yang tepat sesuai dengan tatanan budaya masyarakat.
Pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 di
SD dilaksanakan dengan pendekatan tematik-terpadu
dari Kelas I sampai Kelas VI, kecuali untuk pembelajaran
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Pembelajaran
tematik terpadu merupakan pendekatan pembelajaran
yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai
mata pelajaran (mata pelajaran pendidikan pancasila dan
kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matermatika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, seni budaya
dan prakarya, dan pendidikan jasmani, olahraga, dan
kesehatan) ke dalam berbagai tema. Adapun pendekatan
yang digunakan untuk mengintegrasikan Kompetensi
Dasar dari berbagai mata pelajaran tersebut adalah
intradisipliner, interdisipliner, multidisipliner, dan
transdisipliner.
Kurikulum 2013 menguatkan peran Bahasa Indonesia
sebagai penghela dilakukan secara utuh melalui
penggabungan Kompetensi Dasar (KD) Ilmu Pengetahuan
Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial ke dalam Bahasa
Indonesia. Kedua ilmu pengetahuan tersebut
menyebabkan Bahasa Indonesia di SD menjadi
kontekstual, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia
menjadi lebih menarik di kelas I sampa kelas VI SD.
Bahasa Indonesia memiliki empat kompetensi Inti (KI) di
kelas I sampai kelas VI SD. Adapun KI nya dapat di lihat
pada tabel berikut.
Tabel I
Kompetensi Inti
Kelas
No. Kompetensi Inti (KI) Tujuan KI
1 2 3 4 5 6
Menerima,
Sikap
1 menjalankan, dan      
keagamaan
menghargai ajaran

29
agama yang
dianutnya.
Memiliki perilaku
jujur, disiplin,
tanggung jawab,
santun, peduli, dan
2 Sikap Sosial    
percaya diri dalam
berinteraksi dengan
keluarga, teman, dan
guru.
Menunjukkan
perilaku jujur,
disiplin, tanggung
jawab, santun,
peduli, dan percaya
3 diri dalam Sikap Sosial  
berinteraksi dengan
keluarga, teman,
guru, dan
tetangganya serta
cinta tanah air.
Memahami
pengetahuan faktual
dengan cara
mengamati
[mendengar, melihat,
membaca] dan
menanya
berdasarkan rasa
4 Pengetahuan   
ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan
benda-benda yang
dijumpainya di
rumah dan di
sekolah.
Memahami
pengetahuan faktual
dengan cara
mengamati dan
menanya
berdasarkan rasa
5 Pengetahuan   
ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan
benda-benda yang
dijumpainya di

30
rumah, di sekolah
dan tempat bermain.
Menyajikan
pengetahuan faktual
dalam bahasa yang
jelas dan logis, dalam
karya yang estetis,
dalam gerakan yang
Penerapan
6 mencerminkan anak  
Pengetahuan
sehat, dan dalam
tindakan yang
mencerminkan
perilaku anak
beriman dan
berakhlak mulia.
Menyajikan
pengetahuan faktual
dalam bahasa yang
jelas, sistematis dan
logis, dalam karya
yang estetis, dalam
gerakan yang Penerapan
7 
mencerminkan anak Pengetahuan
sehat, dan dalam
tindakan yang
mencerminkan
perilaku anak
beriman dan
berakhlak mulia.
Memahami
pengetahuan faktual
dengan cara
mengamati dan
menanya
berdasarkan rasa
ingin tahu tentang
dirinya, makhluk Penerapan
8 ciptaan Tuhan dan Pengetahuan   
kegiatannya, dan
benda-benda yang
dijumpainya di
rumah, di sekolah
dan tempat bermain.

Berdasarkan KI tersebut, dikembangkanlah KD dengan


memperhatikan karakteristik dan kemampuan siswa SD.
KD dirumuskan untuk mencapai Kompetensi Inti (KI).
Pencapaian kompetensi-kompetensi tersebut berkaitan
erat dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan

31
dengan menggunakan pendekatan saintifik. Dengan
memahami adanya keterkaitan masing-masing
kompetensi dalam pembelajaran akan mampu
mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara
kreatif dan kritis, sehingga embelajaran bahasa Indonesia
akan berperan sebagai penghela dan pengintegrasi ilmu
lain sebagaimana mestinya.

Aspek-Aspek Pembelajaran Bahasa Indonesia SD

Depdiknas No. 22 Tahun 2006 menyebutkan ruang


lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup
komponen berbahasa dan kemampuan bersastra, yang
meliputi aspek-aspek mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis. Ke empat kompetensi tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan satu
sama lainnya, dan digunakan dalam komunikasi sehari-
hari. Kemampuan berbahasa dapat dilakukan dengan
mendengar cerita, membaca petunjuk atau perintah,
berdialog atau melakukan percakapan, yang disertai
dengan adanya respon secara tepat. Sedangkan
kemampuan bersastra seperti mengapresiasikan
dongeng, membaca puisi, menonton drama, dan kegiatan
lainnya yang memerlukan penghayatan dalam
melakukannya.
1. Mendengarkan atau menyimak
Mendengarkan merupakan keterampilan untuk
memahami bahasa lisan yang bersifat reseptif, karena
merupakan keterampilan untuk menangkap makna
dari bahasa yang disampaikan. Keterampilan
mendengarkan berbeda dengan kegiatan mendengar,
meskipun ke duanya menggunakan alat indra
pendengaran. Pada kegiatan mendengar tidak ada
unsur kesengajaan, konsentrasi, dan tidak
membutuhkan pemahaman terhadap apa yang di
dengar. Sementara pada keterampilan mendengarkan
membutuhkan kesengajaan untuk fokus dan
konsentrasi agar memperoleh pemahaman dari
bahasa yang didengarkan. Mendengarkan sering
disebut juga menyimak.

32
Menyimak adalah suatu proses kegiatan yang dimulai dari
mendengarkan sampai dengan memahami informasi atau
pesan yang terkandung dalam bahasa lisan. Menyimak
bukan hanya kegiatan mendengar, tetapi juga mencakup
kegiatan memahami isi pembicaraan yang disampaikan.
Menyimak juga memerlukan proses selektif sesuatu yang
paling cocok dngan maksud dan tujuan kita terhadap
sekian banyak rangsangan di sekitar kita. Proses selektif
ini termasuk juga menerima sebagian atau seperangkat
rangsangan tertentu yang diberikan ke pusat persepsi
penyimak. Penyimak biasanya memusatkan perhatian
pada beberapa rangsangan karena sifatnya yang menarik
perhatian, atau memiliki perbedaan cara penyampaian.
Menurut Anderson dalam Ramadhani (2021) kemampuan
menyimak siswa sekolah dasar di bagi sebagai berikut:
Tabel 2
Kemampuan Menyimak
Kelas Kemampuan Menyimak
1 a. Menyimak untuk menjelaskan atau menjernihkan pikiran atau
untuk mendapatkan jawaban-jawaban bagi pertanyaan-
pertanyaan.
b. Dapat mengulangi secara tepat sesuatu yang telah
didengarnya.
c. Menyimak bunyi-bunyi tertentu pada kata-kata dan
lingkungan.
2 a. Menyimak dengan kemampuan memilih yang meningkat.
b. Membuat saran-saran, usul-usul, dan mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengecek pengertiannya.
c. Sadar akan situasi, kapan sebaiknya menyimak, kapan pula
sebaiknya tidak usah menyimak.
3 dan a. Sungguh-sungguh sadar akan nilai menyimak sebagai suatu
4 sumber informasi dan sumber kesenangan.
b. Menyimak pada laporan orang lain, pita rekaman laporan
mereka sendiri, dan siaran-siaran radio dengan maksud
tertentu serta dapat menjawab pertanyaa-pertanyaan yang
bersangkutan dengan hal itu.
c. Memperlihatkan keangkuhan dengan kata-kata atau ekspresi-
ekspresi yang tidak mereka pahami maknanya.
5 dan a. Menyimak secara kritis terhadap kekeliruan-kekeliruan,
6 kesalahan-kesalahan, propaganda-propaganda, dan petunjuk-
petunjuk yang keliru.
b. Menyimak pada aneka ragam cerita, puisi, rima kata-kata, dan
memperoleh kesenangan dalam menemui tipe-tipe baru

33
Mendengarkan/menyimak memegang peranan
penting dalam pemerolehan bahasa siswa, karena
melalui proses mendengarkanlah siswa dapat
mengenal konsep segala informasi baik berupa ilmu
pengetahuan maupun hal-hal lain yang belum
dikenalnya sebelumnya.
2. Berbicara
Berbicara merupakan keterampilan menyampaikan
ide, gagasan, dan perasaan secara lisan sebagai
proses komunikasi dengan cara yang menarik kepada
orang lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dan biasa dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Seseorang akan mengalami proses
berpikir untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan
perasaannya secara luas. Proses berbicara ini sangat
berkaitan dengan faktor pengembangan berpikir
berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari
membaca, menyimak, atau pengamatan lingkungan
sekitar. Berbicara juga merupakan kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi atau mengekspresikan
kata-kata untuk menyampikan gagasan, pikiran,
maupun perasaan berbentuk pesan yang
disampaikan secara lisan kepada orang lain.
Adapun materi berbicara yang diajarkan di jenjang SD
adalah berbentuk kegiatan berbicara, bukan tentang
teori-teori berbicara. Menurut Saddhono dan Slamet
(2012) materi untuk pembelajaran berbicara yang
tertera dalam kurikulum berupa kegiatan (1)
berceramah, (2) berdebat, (3) bercakap-cakap, (4)
berkhotbah, (5) bertelepon, (6) bercerita, (7) berpidato,
(8) bertukar pikiran, (9) bertanya, (10) bermain peran,
(11) berwawancara, (12) berdiskusi, (13)
berkampanye, (14) menyampaikan sambutan,
selamat, pesan, (15) melaporkan, (16) menanggapi,
(17) menyanggah pendapat, (18) menolak permintaan,
tawaran, ajakan, (19) menjawab pertanyaan, (20)
menyatakan sikap, (21) menginformasikan, (22)
membahasa, (23) melisankan isi drama, (24)
menguraikan cara membuat sesuatu, (25)
menawarkan sesuatu, (26) meminta maaf, (27)

34
member petunjuk, (28) memperkenalkan diri, (29)
menyapa, (30) mengajak, (31) mengundang, (32)
memperingatkan, (33) mengoreksi, dan (34) tanya-
jawab.
Materi untuk kegiatan tersebut dapat diajarkan di
kelas rendah dengan menggunakan beberapa metode,
yaitu metode ulang ucap, metode lihat ucap, metode
memerincikan, metode menjawab pertanyaan, metode
bertanya, metode pertanyaan menggali, dan metode
melanjutkan. Sedangkan untuk kelas tinggi
menggunakan metode menceritakan kembali, metode
percakapan atau bermain peran, metode parafrase,
merode reka cerita gambar, metode memberi
petunjuk, metode pelaporan, metode wawancara,
metode diskusi, metode bertelepon, dan metode
dramatisasi.
3. Membaca
Membaca merupakan usaha yang dilakukan untuk
menemukan informasi dari suatu teks, yang
kemudian dikombinasikan dengan pengetahuan yang
telah dimiliki menjadi satu bentuk pengetahuan baru.
Sementara keterampilan membaca merupakan
keterampilan dalam memahami bacaan yang ada
pada setiap kata, kalimat, dan paragraf yang ada pada
bacaan. Menurut Farida (2007) ada tiga istilah dari
komponen dasar dari proses membaca, yaitu
recording, decoding, dan meaning. Recording merujuk
pada kata-kata dan kalimat, yang kemudian
diasosiasikan denga bunyi-bunyinya sesuai dengan
sistem tulisan yang digunakan. Decoding merujuk
pada proses penerjemahan rangkaian grafis ke dalam
kata-kata. Meaning merujuk pada proses memahami
makna yang berlangsung dari tingkat pemahaman.
Recording, dan decoding berlangsung pada kelas
rendah, yang ditekankan pada proses perseptual
(pengenalan korespondensi rangkaian huruf dengan
bunyi-bunyi bahasa), sementara meaning
berlangsung di kelas tinggi.

35
Membaca di kelas rendah dapat menggunakan
beberapa metode. Menurut Mulyati (2014) ada
beberapa metode yang dapat digunakan dalam
mengajarkan membaca di kelas rendah atau
membaca permulaan, yaitu
a. Metode Eja/Abjad
Metode eja/abjad merupakan metode yang
menekankan pada pengenalan kata melalui
proses mendengarkan dan menyebutkan bunyi
huruf, yang di mulai dari mengeja huruf demi
huruf. Metode ini mengenalkan siswa lambang-
lambang huruf terlebih dahulu, yang dimulai dari
huruf A sampai dengan huruf Z. selanjutknya
mengenalkan bunyi huruf atau fonem, dengan
melafalkan bunyi huruf vocal dan bunyi huruf
konsonan. Kemudian dikenalkan bunyi huruf-
huruf yang dirangkai menjadi suku kata, dan
menjadi kata. Selanjutnya siswa dilatih untuk
membaca berbagai kombinasi suku kata dan kata
tersebut menjadi kalimat-kalimat yang telah
disusun dari kata-kata sebelumnya. Contoh : /b/,
/a/, /t/, /a/, dieja /be-a/ /ba/, /te-a//ta/,
dibaca /ba-ta/
b. Metode bunyi
Metode bunyi merupakan pengenalan huruf
dengan menyuarakan huruf konsonan dengan
bantuan bunyi vocal tengah atau vocal depan
sedang yang dilambangkan dengan huruf e.
pengenalan huruf dengan metode bunyi ini di
mulai dengan mengenalkan bunyi huruf A sampai
dengan bunyi huruf Z. selanjutnya mengenalkan
suku kata, yang dirangkai menjadi kata, dan
selanjutkan kata-kata tersebut dirangkai menjadi
kalimat. Contoh : /b/, /a/, /k/, /u/ dieja be.a
dibaca ba, ka.u dibaca ku, jadi /b/ /a/ /k/ /u/
dibaca baku.

36
c. Metode suku kata atau kata lembaga
Metode suku kata merupakan cara mengenalkan
kata, dengan menguraikan kata menjadi suku
kata, suku kata menjadi huruf, kemudian huruf
digabungkan menjadi suku kata, dan suku kata
menjadi kata. Contoh : makan, menjadi ma-kan,
menjadi m-a-k-a-n, dan selanjutnya menjadi ma-
kan, dan terakhir menjadi m a k a n.
d. Metode kata atau kupas rangkai suku kata
Metode kata merupakan metode yang tidak
menekankan pada bunyi yang dihasilkan. Siswa
telebih dahulu dikenalkan suku kata, kemudian
merangkai menjadi kata, yang dilanjutkan
dirangkai menjadi kalimat sederhana. Dari
kalimat sederhana siswa merangkai dan
mengupas kembali kalimat menjadi kata, kata
menjadi suku kata. Contoh : ba-ca, menjadi baca,
kemudian b-a-c-a, selanjutnya ba-ca, dan menjadi
baca.
e. Metode global atau kalimat
Metode global merupakan metode yang diawali
dengna penyajian beberapa kalimat secara global,
biasanya dibantu dengan gambar. Menggunakan
metode ini, siswa terlebih dahulu dikenalkan
beberapa kalimat untuk dibaca, kemudian setelah
siswa dapat membaca kalimat tersebut, kalimat
dipisahkan menjadi kata, suku kata, dan huruf-
huruf. Dan terakhir setelah siswa dapat membaca
huruf yang telah dipisahkan, kemudian huruf
tersebut dirangkaikan kembali menjadi kalimat.
f. Metode SAS
Metode SAS merupakan metode yang diawali
dengan penyajian kalimat utuh yang kemudian
diurai menjadi kata, kata menjadi suku kata, dan
suku kata menjadi huruf, kemudia digabungkan
kembali huruf menjaadi suku kata, suku kata
menjadi kata, dan kata menjadi kalimat. Struktur
kalimat yang digunakan merupakan hasil dari

37
pengalaman berbahasa siswa, contohnya
menggunakan gambar, benda nyata, atau
pengalaman siswa itu sendiri. SAS merupakan
kepanjangan dari Struktural, Analitik, dan
Sintetik. Struktural merupakan struktur bahasa
yang terdiri dari kalimat, dan kalimat mempunyai
bagian yang di sebut unsur bahasa, yaitu kata,
suku kata, dan bunyi atau huruf. Analitik berarti
memisahkan, menguraikan struktur kalimat
dianalisis untuk dipisahkan dari strukturnya
sehingga mudah dipelajari. Dan sintetik berarti
menyatukan, menggabungkan. Pada tahap
sistetik ini, siswa diarahkan untuk mengenal
kembali bentuk struktur pada bagia structural
dan analitik sebelumnya.
Menurut Tarigan dalam Churiyah
(http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-
MODES/PENDIDIKAN_BAHASA_DAN_SASTRA_I
NDONESIA_DI_SEKOLAH_DASAR_KELAS_REND
AH/BBM_8.pdf) membaca di kelas rendah masih
bersifat mekanis, maka aktivitas membacanya
dilakukan dengan membaca nyaring atau
bersuara, sedangkan membaca di kelas tinggi
untuk melatih siswa dalam keterampilan yang
bersifat pemahaman, dan akivitas membacanya
dilakukan dengan membaca dalam hati. Adapun
jenis membaca di kelas tinggi adalah seperti pada
tabel pembagian membaca berikut.
Tabel 3
Pembagian membaca
Membaca nyaring
Membaca survei
Membaca
Membaca sekilas
ekstensif
Membaca dangkal
Membaca teliti
Membaca Membaca Membaca
Membaca
dalam hati pemahaman
Membaca telaah isi
Membaca kritis
intensif
Membaca ide-ide
Membaca Membaca bahasa
telaah bahasa Membaca sastra

Dari jenis-jenis membaca di atas, jenis membaca


kelas tinggi sangatlah kompleks, yang mencakup

38
membaca bersuara dan membaca dalam hati.
Membaca bersuara adalah membaca untuk orang
lain, yang membutuhkan teknik membaca yang
tepat, agar orang yang mendengarkan dapat
memahami apa yang dibaca. Membaca bersuara
ini seperti membacakan teks, membaca dongeng,
membacakan puisi, membaca pengumuman, dan
membaca teks sambutan.
4. Menulis
Menulis merupakan keterampilan yang bersifat aktif
produktif, karena aktivitas menulis bukan hanya
menyalin kata-kata dan kalimat, tetapi juga
menuangkan dan mengembangkan pikiran, gagasan,
atau ide dalam suatu struktur tulisan yang teratur,
logis, sistematis, sehingga mudah dipahami oleh
pembaca. Menulis sebagai suatu bentuk komunikasi
berbahasa yang menggunakan simbol-simbol tulis
sebagai medianyaa.
Menulis di kelas rendah identik dengan melukis
gambar. Pada taha ini, penulis tidak menuangkan
idea tau gagasan, melainkan hanya sekedar menyalin
gambar atau lambing bunyi bahasa ke dalam wujud
lambang tertulis. Sedangkan menulis di kelas tinggi
merupakan kegiatan mencurahkan ide, gagasan yang
dinyatakan secara tertulis melalui bahasa tulis.
Kemampuan menulis tidak dapat diperoleh secara
alamiah, tetapi harus melalui proses belajar. Siswa
harus berlatih mulai dari cara memegang alat tulis,
menggerakkan tangan dengan memperhatikan apa
yang harus ditulis, siswa harus mengamati lambang
bunyi dengan memahami setiap huruf sebagai
lambang bunyi tertentu sampai dapat menuliskan
secar benar.
Menulis di kelas rendah lebih didominasi oleh hal-hal
yang bersifat mekanis, seperti sikap duduk yang baik
dalam menulis, cara memegang alat tulis, cara
meletakkan dan memegang buku, cara menggerakkan
tangan, dan cara melemaskan jari-jari melaui
kegiatan menggambar.

39
Pembelajaran Bahasa Indonesia Terpadu di SD

Pengalaman siswa sebelum memasuki bangku sekolah


jenjang SD, memandang dan mempelajari segala peristiwa
yang di alami dan terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai
suatu kesatuan yang utuh (holistik). Alasan inilah yang
menjadi salah satu dari penyebab pembelajaran di jenjang
SD harus dilaksanakan secara terpadu dengan
memperhatikan karakteristik siswa sebagai pembelajar
yang akan menghayati pengalaman belajar sebagai satu
kesatuan yang utuh. Pengemasan pembelajaran terpadu
harus di susun secara tepat, karena akan berpengaruh
terhadap kebermaknaan pengalaman belajar siswa, yang
menunjukkann kaitan unsur-unsur konseptual dalam
mata pelajaran dan antar mata pelajaran bagi terjadinya
pembelajaran lebih bermakna.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara terpadu
merupakan suatu pendekatan dalam belajar dan cara
berpikir, yang memandang beragam mata pelajaran
sebagai suatu kesatuan. Khususnya mata pelajaran
bahasa Indonesia dipandang sebagai bagian integral
dalam belajar mata pelajaran lainnya. Mata pelajaran
bahasa Indonesia di jenjang SD tidak dipelajari sebagai
mata pelajaran yang terpisah, melainkan dipelajari secara
terpadu dalam mempelajari mata pelajaran lainnya.
Aspek-aspek keterampilan berbahasa dikembangkan
secara langsung atau dipadukan melalui kegiatan belajar
semua mata pelajaran lainnya. Agar terjadi keterpaduan
antara mata pelajaran bahasa Indonesia dengan mata
pelajaran lainnya, maka digunakanlah pendekatan
pembelajaran terpadu, untuk memberikan makna belajar
bagi siswa.
Pembelajaran terpadu merupakan salah satu pendekatan
pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran
untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna
bagi siswa, berorientasi pada praktik pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan anak untuk membangun konsep yang
saling berkaitan. Sehingga pembelajaran memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memahami berbagai
permasalahan di lingkungannya secara utuh, dengan

40
kemampuannya dalam mengidentifikasi, mengumpulkan,
menilai, dan menggunakan informasi di sekitarnya secara
bermakna. Pengetahuan diperoleh siswa tidak hanya
melalui pemberian pengetahuan baru oleh guru, tetapi
pengetahuan bisa juga diperoleh siswa melalui
kesempatan memantapkan dan menerapkan
pengetahuan lama dalam berbagai situasi baru yang
beragam.
Ada dua keterpaduan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, yaitu
1. Keterpaduan intra mata pelajaran, yaitu keterpaduan
dalam mata pelajaran bahasa Indonesia sendiri.
Keterpaduan ini dilaksanakan dengan
mengembangkan aspek keterampilan membaca,
menulis, berbicara, dan menyimak dalam satu tema.
2. Keterpaduan antar mata pelajaran, yaitu keterpaduan
mata pelajaran bahasa Indonesia dengan mata
pelajaran lain. Siswa menggunakan aspek
keterampilan bahasa untuk memberikan informasi,
memberi tanggapan, memecahkan masalah, dan
untuk mencapai kemampuan lainnya.
Pembelajaran bahasa Indonesia di jenjang SD harus
dilaksanakan secara terpadu antara ke empat aspek
keterampilan berbahasa (aspek menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis), dan aspek kebahasaan/sastra.
Contohnya pembelajaran struktur kalimat dipadukan
dengan wacana, yang dilakukan dengan mengarahkan
siswa untuk memahami struktur kalimat bahasa
Indonesia dengan menemukan sendiri dalam wacana yang
ditentukan oleh guru. Dalam melatih keterampilan
berbahasa, guru dapat memilih untuk memfokuskan
salah satu dari empat aspek keterampilan bahasa
Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia juga dapat
dipadukan dengan mata pelajaran lainnya yang berkaitan
dengan kehidupan dan kebutuhan nyata siswa, sehingga
pembelajaran menjadi sesuatu yang bermakna dan
menyenangkan bagi siswa.

41
Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono. 2010. Pendidikan Bagi Anak


Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Atmazaki. 2009. Mengungkap Masa Depan: Inovasi
Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks
Pengembangan Karakter Cerdas. Jurnal Artikulasi.8
(2).
Depdiknas. 2006. Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Untuk SD. Jakarta. Puskur Balitbang.
Farida Rahim. 2007, Pengajaran Membaca Di Sekolah
Dasar Jakarta: PT Bumi Aksara.
Khair, Ummul. 2018. Pembelajaran Bahasa Indonesia
(BASASTRA) di SD dan MI. AR-RIAYAH : Jurnal
Pendidikan Dasar. 2(1).
Lubis, Renni Ramadhani. 2021. Kajian literature tentang
kemampuan menyimak siswa dengan menggunakan
Metode Cerita di Kelas Rendah. Jurnal Sintaksis :
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, IPA, IPS, dan bahasa
Inggris. 3 (2).
Saddhono, Kundharu dan St. Y. Slamet. 2012.
Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Indonesia
(Teori dan Aplikasi). Bandung: Karya Putra Darwati.
Tambunan, Pandapotan. 2018. Pembelajaran
Keterampilan Berbicara di Sekolah
Dasar.http://www.portaluniversitasquality.ac.id:538
8/ojssystem/index.php/CURERE/article/download/
109/87
Vuri, Devita. 2016. Penerapan Pendekatan Pengalaman
Berbahasa dalam Pembelajaran Bahasa di Sekolah
Dasar Kelas Rendah. Jurnal Ilmiah Guru “COPE”.
Wulan, Neneng Sri. 2014. Perkembangan Mutakhir
Pendidikan Bahasa Indonesia : Kurikulum 2013
Sekolah Dasar. Mimbar Sekolah Dasar. 1 (2).

42
4
KETERAMPILAN
DALAM BERBAHASA

Juliati, S.Pd., M.Pd


Universitas Samudra

Pengertian dan Manfaat Keterampilan Berbahasa

1. Pengertian Keterampilan Berbahasa


Keterampilan berbahasa ialah suatu kemampuan
menggunakan bahasa dalam berkomunikasi baik itu
menyimak, berbicara, membaca maupun menulis.
Penerima pesan aktif memilih pesan lalu
memformulasikannya dalam bentuk lambang yang
berupa bunyi atau tulisan dengan kata lain di sebut
encoding. Kemudian lambang tersebut disampaikan
kepada yang menerima pesan dan penerima pesan
mengartikan lambang tersebut menjadi suatu makna
sehingga pesan tersebut dapat diterima secara utuh
atau disebut dengan decoding.
2. Manfaat Keterampilan Berbahasa
Adapun manfaat keterampilan berbahasa yaitu
a. Dapat mengungkapkan isi pikiran
b. Dapat mengekspresikan isi perasaan
c. Dapat menyatakan suatu kehendak
d. Dapat melakukan suatu interaksi dalam
berkomuniksi

45
Keterampilan berbahasa terdiri atas 4 aspek, yaitu
keterampilan menyimak, keterampilan berbicara,
keterampilan membaca, keterampilan menulis.
Keterampilan berbahasa juga bersifat reseptif dan
bersifat produktif. Bagian yang termasuk dari reseptif
adalah keterampilan mendengarkan dan keterampilan
membaca, sedangkan bagian yang termasuk produktif
adalah keterampilan berbicara dan keterampilan
menulis. Tarigan (2008:2) mengungkapkan bahwa
keterampilan berbahasa dalam kurikulum sekolah
biasanya mencakup empat aspek, diantaranya yaitu:
a. Keterampilan Menyimak
b. Keterampilan Berbicara
c. Keterampilan Membaca
d. Keterampilan Menulis
Pada dasarnya keempat keterampilan tersebut erat
sekali hubungannya dan tidak dapat di pisahkan satu
dengan yang lainnya. Dalam memperoleh
keterampilan berbahasa biasanya dilalui dengan
belajar menyimak, kemudian dilanjutkan dengan
berbicara setelah itu belajar membaca dan menulis.
Keterampilan menyimak dan berbicara sudah mulai
kita pelajari sebelum duduk dibangku sekolah.
Keempat keterampilan berbahasa pada dasarnya
merupakan suatu keterampilan yang sangat erat
hubungannya dengan proses berfikir yang mendasari
bahasa.

Keterampilan Menyimak (Permulaan dan Lanjutan)

1. Keterampilan Menyimak Permulaan


Keterampilan Menyimak Permulaan adalah proses
mendengarkan dengan penuh pemahaman, apresiasi
dan evaluasi. Dalam proses menyimak, diawali
dengan kegiatan mendengarkan bahan simakan oleh
penyimak, selanjutnya bahan simakan dipahami
berdasarkan tingkat pemahaman peserta didik yang
dimaksud, kemudian dalam proses pemahaman

46
tersebut terjadi proses evaluasi menghubungkan
antara topik yang disimak dengan pengalaman atau
pengetahuan yang dimiliki peserta didik
2. Metode Keterampilan Menyimak permulaan
a. Metode Simak terka
b. Metode simak cerita
c. Metode Bisik berantai
3. Keterampilan Menyimak Lanjutan
Keterampilan Menyimak Lanjutan adalah suatu
bentuk keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif
dan melibatkan pemahaman pesan atau lambang-
lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman
apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh
informasi, menangkap isi atau pesan, serta
memahami makna komunikasi yang telah
disampaikan pembicara melalui ujaran atau bahasa
lisan (Meta:2020)
4. Jenis-Jenis Keterampilan Menyimak Lanjutan
Keterampilan menyimak lanjutan dapat di golongkan
ke dalam 3 jenis menyimak yaitu sebagai berikut:
a. Menyimak kritis
Menyimak kritis adalah kegitan menyimak yang
dilakukan dengan sunguh-sunguh untuk
memberikan penilaian secara objektif,
menentukan keaslian, kebeneran, dan kelebihan,
serta kekurangan-kekurangan bahan simakan
b. Menyimak kreatif
Menyimak kreatif yaitu kegiatan menyimak yang
bertujuan mengembangkan daya imajinasi dan
kreativitas peserta didik. Kreativitas menyimak
dapat dilakukan dengan cara meniru bunyi
bahasa asing atau bahasa daerah.
c. Menyimak eksploratif
Menyimak eksploratif adalah kegiatan menyimak
yang dilakukan dengan penuh perhatian untuk

47
mendapatkan informasi baru. Seorang penyimak
eksploratif akan menemukan gagasan baru,
informasi baru dan informasi tambahan dari
bidang tertentu, serta menentkan unsur-unsur
berbahasa yang bersifat baru.
5. Metode Keterampilan Menyimak Lanjutan
Berikut ini metode-metode yang tepat digunakan
dalam keterampilan menyimak:
a. Metode Simak Tulis
b. Metode Identifikasi kata kunci
c. Metode Identifikasi kalimat topic
d. Metode Merangkum
e. Metode parafrase
f. Metode menjawab pertayaan
6. Fungsi Keterampilan Menyimak Lanjutan
Fungsi menyimak lanjutan yaitu:
a. Menentukan tujuan penutur sebagai informasi
untuk bisa mengingatnya
b. Menyaring suatu sebagai pendeteksi
c. Mendengarkan penutur atau pembaca sebagai
suatu kesenangan
7. Tujuan Menyimak permulaan
Tujuan utama menyimak adalah untuk menangkap
dan memahami pesan, ide serta gagasan yang
terdapat pada materi atau bahasa simakan. Dengan
demikian tujuan menyimak dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Menyimak memperoleh fakta atau mendapatkan
fakta
b. Untuk menganalisis fakta
c. Untuk mengevaluasi fakta
d. Untuk mendapatkan inspirasi

48
e. Untuk mendapatkan hiburan atau menghibur
diri.

Keterampilan Berbicara (Permulaan dan Lanjutan)

1. Keterampilan Berbicara Permulaan


Keterampilan berbicara permulaan adalah salah satu
keterampilan berbahasa sebagai kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata
untuk mengekspresikan, menyatakan serta
mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan
kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik
lisan berhadapan ataupun dengan jarak jauh
(Abbas:2006).
2. Jenis-jenis Keterampilan Berbicara Permulaan
a. Berdialog
b. Menyampaikan pengumuman
c. Menyampaikan argumentasi
d. Bercerita
3. Metode Keterampilan Berbicara Permulaan
a. Metode ulang ucap
Kegiatan ini dapat dimulai dari kegiatan
sederhana terutama untuk kelas awal SD yaitu
dengan menugaskan peserta didik mengulang
kata yang diucapkan oleh guru.
b. Metode Lihat Ucap
Peserta didik ditugaskan untuk mengucapkan
sesuatu kata atau kalimat yang berhubungan
dengan benda yang diperlihatkan oleh guru

49
c. Metode Memberikan Deskripsi
Peserta didik diberikan tugas untuk
mendeskripsikan suatu benda yang diperlihatkan
oleh guru. Keterampilan yang dilatih selain
kemampuan pokok yaitu mengungkapkan
pendapat adalah megamati benda, memilih dan
mencocokkan sehingga sangat cocok diterapkan
pada siswa kelas awal sampai menengah di
Sekolah Dasar.
d. Metode Menjawab Pertanyaan
Metode ini sudah sangat umum sehingga dapat
diterapkan pada kondisi dan jenis sembarang
bahan ajar. Pertanyaan dapat dikondisikan
sedemkian rupa oleh guru untuk merangsang
kreatifitas berfikir dan menyampaikan tanggapan
terhadap suatu masalah yang diajukan.
e. Metode Bertanya
Metode bertanya juga sangat layak digunakan
pada sembarang bahan ajar. Dengan menyajikan
bahan ajar telebih dahulu kemudian peserta didik
ditugaskan untuk membuat pertanyaan tentang
sesuatu yang tidak dipahami oleh peserta dididk
atau bahkan dalam tataran menguji materi ajar
itu sendiri. Dengan bertanya mereka akan
mendapat jawaban dan tanggapan tersebut.
f. Metode Pertanyaan Menggali
Metode ini sangat baik digunakan jika kondisi
siswa yang stagnan dan dengan rata-rata tingkat
pemahaman bahkan IQ biasa-biasa saja. Karna
untuk mengantarkan mereka kepada suatu
pemahaman yang menjadi tujuan pembelajaran
diperlukan langkah langkah yang menggiring
siswa sehingga sampai pada suatu keadaan
paham kepada tema atau permasalahan yang
ingin kita sampaikan. Terkadang usaha ini agak
sulit dan membuat kita jengkel karna harus
berputar-putar mencari pengandaian dan logika
lain, akan tetapi disinilah letak seni kita sebagai

50
guru. Akhirnya siswa akan dapat berbicara untuk
menyampaikan gagasan, ide dan pendapat
mereka.
g. Metode Melanjutkan
Pada kegiatan ini siswa secara bergilir ditugaskan
untuk membuat ide cerita dan siswa yang lainnya
melanjutkan cerita tersebut. Dalam keadaan
tertentu dapat dikondisikan suatu bentuk
permainan dalam kegiatan ini.
4. Keterampilan Berbicara Lanjutan
Keterampilan berbicara lanjutan adalah kemampuan
seseorang dalam menyampaikan pikiran, gagasan,
dan perasaan dengan menggunakan bahasa lisan.
(Unsa: 2022)
5. Jenis-jenis Keterampilan Berbicara lanjutan
a. Musyawarah
b. Diskusi
c. Pidato
d. Ceramah
6. Metode keterampilan berbicara di kelas lanjutan
a. Menceritakan kembali
Kegiatan ini sudah sangat umum dilaksanakan
terutama dalam pembelajaran yang menggunakan
bahan ajar cerita baik fiksi maupun non fiksi. Di
mana siswa ditugaskan untuk membaca atau
mendengar cerita untuk kemudian menceritakan
kembali isi cerita tersebut secara lisan di depan
teman-teman mereka yang berperan sebagai
audien. Dengan kegiatan ini maka siswa akan
tertantang untuk berlomba memahami cerita yang
sudah pernah mereka dengar atau basa.
b. Metode Percakapan atau Bermain Peran
Kegiatan ini sangat baik dilaksanakan untuk
pemahaman tingkat lanjut tentang suatu cerita di
mana dengan memerankan siswa akan lebih

51
memahami bukan hanya kepada alur cerita akan
tetapi akan lebih kepada penjiwaan karakter
masing-masing tokoh. Dalam keadaan ini
pemahaman siswa terhadap cerita akan utuh
karna dengan berbicara mengucapkan naskah
cerita atau drama, mereka akan sangat
menghayati setiap adegan dan untaian kata
percakapan yang diucapkan.
c. Metode Parafrase
Metode ini dapat dilaksanakan dalam kegiatan
belajar menggunakan bahan ajar puisi yang
selanjutnya diubah menjadi prossa yang
kemudian siswa ditugaskan menceritakan secara
lisan hasil paraprase tersebut.
d. Metode Reka Cerita Gambar
Metode ini sangat kreatif dan layak untuk dicoba
karna dengan menyajikan gambar acak siswa
akan mereka kembali dengan susunan yang benar
urutan gambar tersebut. Dalam kegiatan tersebut
dengan sudah sangat pasti mereka akan berbicara
setelah guru bertanya,
e. Metode Memberi Petunjuk
Metode ini layak juga untuk dicoba terutama
untuk mempelajari bahan ajar tentang denah,
petunjuk penggunaan obat dan alat tertentu.
Dengan penugasan untuk menyampaikan hal
tersebut siswa akan tertantang untuk berbicara
dan menyampaikan penjelasan berdasarkan ide
dan pendapat masing-masing melalui bahasa
sederhana dan sesederhanapun penyampaian
layak mendapat penghargaan.
f. Metode Pelaporan
Melalui pengamatan terhadap obyek pada
kegiatan tertentu siswa kemudian melaporkan
hasil pengamatan dengan penyampaian lisan yang
didahului oleh konsep tulisan. Dalam hal ini
terjadi proses mirip dengan proses pada metode

52
identifikasi akan tetapi memiliki tingkat
kerumitan yang lebih tinggi. Sehingga
sesederhana apapun penyampaian siswa layak
dihargai karna sebagai awal mula yang baik untuk
proses penelitian dan pelaporan
g. Metode Wawancara
Kegiatan ini adalah kegiatan tingkat tinggi dari
bertanya hingga menganalisa jawaban audiens
kemudian mengajukan pertanyaan berikutnya
yang diikuti oleh proses pelaporan layaknya
seorang wartawan. Proses berbicara dari kegiatan
ini adalah awal dari membentuk pribadi yang
kritis dan santun
h. Metode Diskusi
Kegiatan ini adalah proses interaksi tingkat
tertinggi yang merangsang daya fikir, logika, kritis
dan santun. Dalam kegiatan ini sejelek apapun
pendapat, sanggahan dan klarifikasi siswa adalah
hal yang maha baik dalam memulai suatu sikap
peka terhadap lingkungan dan isu-isu tertentu
dalam mencari jalan keluar. Dimana sudah
barang tentu merupakan kreatifitas yang sangat
layak mendapat penghargaan.
i. Metode Bertelpon
Seiring dengan teknologi informasi yang kian maju
maka keterampilan bertelpon sangat penting
dalam membentuk sikap cepat, efektif dan sopan
dalam berkomunikasi. Karna berbicara melalaui
telpon tanpa hadirnya lawan bicara secara
langsung memerlukan tingkat kepekaan yang
tinggi dalam tata cara pergaulan sehari-hari
dalam kegiatan bertelpon
j. Metode Dramatisasi
Metode ini adalah kelanjutan dari kegiatan
bermain peran yang dilengkapi dengan tema,
seting, perwatakan, seting dan naskah drama
yang ditampilkan secara utuh.

53
Kegiatan ini penuh dengan kegiatan berbicara
sesuai dengan tuntunan naskah yang runtut.

Keterampilan Membaca (Permulaan dan Lanjutan)

1. Keterampilan Membaca Permulaan


Membaca permulaan merupakan tahapan proses
belajar membaca bagi murid sekolah dasar kelas
awla (kelas I dan kelas II). Ada beberapa pendapat
yang mendefinisikan membaca permulaan, di
antaranya menurut Jamaris (2015) Membaca
permulaan secara umum dimulai pada kelas awal
sekolah dasar, akan tetapi ada anak yang sudah
melakukannya di taman kanak- kanak dan paling
lambat pada waktu anak duduk di kelas II sekolah
dasar. Pada masa ini, anak mulai mempelajari kosa
kata dan dalam waktu yang bersamaan ia belajar
membaca dan menuliskan kosa kata tersebut.
Menurut Rahmawati (2017) bahwa tujuan
pembelajaran membaca di Sekolah Dasar adalah
“agar siswa dapat mengenal dan menguasai sistem
tulisan sehingga mereka dapat membaca dengan
menggunakan sistem tersebut”.
Jadi tujuan membaca permulaan peserta didik dapat
merubah dan melafalkan huruf-huruf menjadi bunyi
yang bermakna, dan menangkap isi bacaan dengan
baik dan benar. Dalam membaca juga ikut terjadi
kegiatan kognitif bagi peserta didik.
2. Tujuan Membaca Permulaan
Menurut Meta tujuan membaca permulaan
a. Untuk memperkenalkan huruf dengan bunyi.
b. Untuk mengajarkan membaca kata-kata dan
kalimat sederhana.
c. Untuk menemukan ide pokok dan kata kunci
d. Untuk menceritakan kembali isi bacaan pendek

54
3. Metode membaca permulaan
a) Metode abjad
b) Metode eja
c) Metode suku kata
d) Metode kata
e) Metode kalimat/global
f) Metode SAS
4. Keterampilan Membaca Lanjutan
Keterampilan membaca lanjutan merupakan
pembelajaran membaca yang lebih menekankan
kepada pemahaman membaca siswa. Beda dengan
membaca permulaan, siswa hanya dituntut untuk
menyuarakan isi bacaannya.
Membaca lanjutan merupakan tingkatan proses
penguasaan membaca untuk memperoleh isi pesan
yang terkandung dalam tulisan, membaca lanjutan
sudah menekankan pemahaman peserta didik dalam
membaca walaupun terbatas. Tingkatan membaca
lanjutan ini disebut dengan membaca untuk belajar
(reading to learn).
Membaca lanjutan merupakan tahapan membaca
setelah membaca permulaan, jadi seorang anak yang
sudah mencapai pada tahapan membaca lanjutan
tidak hanya sekedar membaca saja, tetapi
dituntut untuk memahami isi bacaan yang
terkandung dalam buku.
5. Tujuan Membaca Lanjutan
a. Mampu membaca dengan lancer dan dapat
menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri.
b. Mampu membaca dengan lancer dan memahami
isinya.
c. Mampu mencari kata-kata yang sukar dengan
menggunakan kamus atau sumber lainnya.

55
d. Mampu memahami dan menyerap cerita, puisi
dan drama yang berkesan serta dapat memberi
tanggapan.
e. Mampu membaca teks bacaan dan menyimpulkan
isinya dengan kata-kata sendiri.
f. Mampu membaca teks bacaan secara cepat dan
dapat mencatat gagasan-gagasan utama.
g. Mampu membaca teks bacaan serta dapat
mengutarakan pendapat dan tanggapan mengenai
isinya
h. Mampu membaca sekaligus suatu teks bacaan
dan menemukan garis besar isinya
6. Jenis-Jenis Membaca Lanjutan
a. Membaca pemahaman
b. Membaca memindai
c. Membaca sekilas
d. Membaca intensif
e. Membaca nyaring
f. Membaca dalam hati

Keterampilan Menulis (Permulaan dan Lanjutan)

1. Keterampilan menulis permulaan


Keterampilan menulis permulaan adalah suatu
kegiatan melukis atau menyalin gambar atau
lambang-lambang bunyi bahasa ke dalam wujud
lambang-lambang tertulis yang dapat dikenali secara
konkrit sesuai dengan tata cara menulis yang baik
dalam proses belajar menulis bagi peserta didik
sekolah di kelas awal.
2. Tujuan Menulis Permulaan
Setiap penulis pasti ada tujuan untuk menuangkan
ide, pikiran dan gagasan serta perasaan melalui
bahasa tulis, bai bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain.

56
Adapun tujuan menulis permulaan adalah:
a. Dapat memproduksikan tulisan eja seperti
e,d,f,k,j
b. Dapat berupa suku kata seperti su-ka kedalam
suatu bentuk kalimat.
c. Agar dapat memahami cara menulis permulaan
dengan ejaan yang benar dan
mengkomunikasikan ide/pesan secara tertulis
3. Tahap-Tahap Menulis Permulaan
Menulis permulaan dimulai dengan pengenalan
terhadap cara memegang pensil yang benar. Tingkat
permulaan, kegiatan menulis lebih didominasi oleh
hal-hal yang bersifat mekanis.
Kegiatan mekanis yang dimaksud dapat berupa:
a. Sikap duduk yang baik dalam menulis.
b. Cara memegang pensil/alat tulis.
c. Cara memegang buku.
d. Melemaskan tangan dengan cara menulis di
udara.
Pengenalan huruf dengan menulis di kelas rendah
dapat dilakukan dengan beberapa tahap sesuai
dengan perkembangan siswa, yaitu:
a. Menulis permulaan dengan huruf kecil
b. Menulis tegak bersambung
c. Menulis permulaan dengan huruf capital pada
huruf awal kata permulaan kalimat.
4. Metode keterampilan menulis permulaan
a. Metode eja
Metode eja pada dasarnya menggunakan
pendekatan harfiah, artinya belajar membaca dan
menulis dimulai dari huruf-huruf yang dirangkai
menjadi suku kata.

57
b. Metode kata lembaga
Metode kata lembaga di mulai dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Memperkenalkan kata
2) Menggabungkan kata antar suku kata
3) Menguraikan suku kata atas huruf-hurufnya
4) Menggabungkan huruf menjadi kata
c. Metode global
Metode global mengembangkan kalimat dengan
kata-kata dan mengembangkan kata-kata
menjadi suku kata.
d. Metode sas
Metode SAS merupakan metode yang dimulai
dengan pendeekatan bercerita yang disertai
dengan gambar yang di dalamnya menggandung
dialog.
5. Keterampilan Menulis Lanjutan
Keterampilan menulis lanjutan adalah menulis
merupakan pemindahan pikiran atau perasaan
dengan menggunakan tulisan, struktur bahasa, dan
kosakata dengan menggunakan simbol-simbol
sehingga dapat dibaca.
Untuk mencapai tujuan dalam keterampilan menulis
di sekolah dasar harus dimulai dari tahap yang paling
sederhana, lalu dilanjutkan pada hal yang sederhana
menuju hal yang biasa, hingga pada hal yang paling
sukar. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang
menulis.
6. Metode Keterampilan Menulis Lanjutan
a. Metode Langsung
Metode langsung dirancang secara khusus untuk
mengembangkan belajar peserta didik tentang
pengetahuan prosedural dan pengetahuan

58
deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat
dipelajari selangkah demi selangkah. Dalam
metode langsung, terdapat lima fase yang penting:
fase persiapan dan motivasi, fase demonstrasi,
fase pembimbingan, fase pengecekan, dan fase
pelatihan lanjutan. Sebagai contoh: guru
menunjukkan gambar banjir yang melanda suatu
sebuah desa atau melihat langsung peristiwa
banjir di sebuah desa. Dari gambar tersebut,
peserta didik dapat membuat tulisan secara
runtut dan logis berdasarkan gambar.
b. Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan metode komunkatif harus
mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap
tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran.
Setiap pembelajaran dispesifikasikan ke dalam
tujuan kongkret yang merupakan produk akhir.
Sebagai contoh: metode komunikatif dapat
dilakukan dengan teknik menulis dialog. Peserta
didik menulis dialog tentang yang mereka lakukan
dalam sebuah akivitas. Kegiatan ini dapat
dilaksanakan perseorangan ataupun kelompok.
c. Metode Integratif
Integratif berarti menyatukan beberapa aspek ke
dalam satu proses. Integrtif terbagi menjadi dua
bagian: interbidang studi dan antar bidang studi.
Interbidang studi artinya beberapa aspek dalam
satu bidang studi diintegrasikan. Sebagai contoh:
menulis diintegrasikan dengan berbicara dan
membaca. Adapun antarbidang studi artinya
pengintegrasian bahan dari beberapa bidang
studi. Sebagai contoh: antara bahasa Indonesia
dengan matematika atau dengan bidang studi
lain.
d. Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen materi
pembelajaran diintegrasikan ke dalam tema yang
sama dalam satu unit pertemuan. Tema yang

59
telah ditentukan harus diolah sesuai dengan
perkembangan dan lingkungan peserta didik.
e. Metode Konstruktivistik
Asumsi sentral metode konstruktivistik adalah
belajar itu menemukan. Artinya, meskipun guru
menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka
melakukan proses mental atau kerja otak atas
informasi itu agar informasi tersebut masuk ke
dalam pemahaman mereka. Konstruktivistik
dimulai dari masalah yang sering muncul dari
peserta didik sendiri dan selanjutnya membantu
peserta didik menyelesaikan dan menemukan
langkah-langkah pemecahan masalah tersebut.
f. Metode Kontekstual
Pembelajaran dengan menggunakan metode ini
akan mempermudah dalam pembelajaran
menulis, yakni konsepsi pembelajaran yang
membantu guru menghubungkan mata pelajaran
dengan situasi dunia nyata dengan kehidupan
pembelajaran yang memotivasi peserta didik agar
menghubungkan pengetahuan dan penerapannya
dengan kehidupan sehari-hari.

Keterampilan Antar Aspek Keterampilan Berbahasa

1. Hubungan Berbicara dengan Menyimak


Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang
berbeda namun berkaitan erat dan tak terpisahkan.
Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbia.
Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi
dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam
bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab,
interviu, dan sebagainya.
Contohnya, anak kecil akan meniru atau berbicara
menggunakan bahasa yang didengarnya. Untuk itu
orang tua ataupun guru diharuskan menjadi model
berbahasa yang baik, supaya anak-anak tidak

60
menirukan pembicaraan yang salah atau tidak baik
didengar.
Berbicara dan menyimak merupakan keterampilan
yang saling melengkapi, keduanya saling bergantung.
Keduanya fungsional bagi komunikasi dan tidak
dapat dipisahkan. Ibarat mata uang, sisi depan
ditempati kegiatan berbicara dan sisi belakang
ditempati kegiatan menyimak. Mata uang tidak akan
laku bila salah satu sisinya tidak terisi. Maka
komunikasi lisan pun tidak dapat berjalan bila kedua
kegiatan tidak berlansung saling melengkapi.
2. Hubungan Menyimak dengan Membaca
Menyimak dan membaca sama-sama merupakan
keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif.
Menyimak berkaitan dengan penggunaan bahasa
ragam lisan, sedangkan membaca merupakan
aktivitas berbahasa ragam tulis. Pada saat menyimak
fokus perhatian berupa suara (bunyi-bunyi),
sedangkan pada saat membaca fokus perhatian
adalah lambang tulisan. Kemudian, baik penyimak
maupun pembaca melakukan aktivitas
pengidentifikasian terhadap unsur-unsur bahasa
yang berupa suara (dalam menyimak) maupun berupa
tulisan (dalam membaca), yang selanjutnya diikuti
dengan proses decoding (proses menafsirkan suatu
pesan dalam bahasa/proses pengubahan suatu kode
menjadi makna) guna memperoleh pesan yang berupa
konsep, ide atau informasi sebagaimana yang
dimaksudkan oleh si penyampainya. Aktivitas
membaca dapat membantu seseorang memperoleh
kosakata yang berguna bagi pengembangan
kemampuan menyimak pada tahap berikutnya.
3. Hubungan Berbicara dengan Membaca
Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana,
dan fungsi. Berbicara bersifat produktif, ekspresif
melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai
penyebar informasi. Membaca bersifat reseptif
melalui sarana bahasa tulis dan berfungsi sebagai
penerima informasi.

61
Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui
kegiatan membaca. Semakin sering orang membaca
semakin banyak informasi yang diperolehnya. Hal ini
merupakan pendorong bagi yang bersangkutan
untuk mengekspresikan kembali informasi yang
diperolehnya antara lain melalui berbicara.
4. Hubungan Berbicara dengan Menulis
Berbicara dan menulis bersifat produktif-ekspresif.
Keduanya berfungsi sebagai penyampai informasi.
Penyampaian informasi melalui kegiatan berbicara
disalurkan melalui bahasa lisan, sedangkan
penyampaian informasi dalam kegiatan menulis
disalurkan melalui bahasa tulis.
Informasi yang digunakan dalam berbicara dan
menulis diperoleh melalui kegiatan menyimak
ataupun membaca. Keterampilan menggunakan
kaidah kebahasaan dalam kegiatan berbicara
menunjang keterampilan menulis. Keterampilan
menggunakan kaidah kebahasaan menunjang
keterampilan berbicara
Kemampuan berbicara tidak hanya mempunyai
hubungan timbal balik dengan kemampuan
mendengarkan, tetapi juga berhubungan dengan
kemampuan menulis dan membaca. Seorang
pembicara yang baik, umumnya mempunyai
persiapan tertulis. Sebaliknya pendengar yang baik
juga merasa perlu membuat catatan-catatan tertentu,
terutama kalau dia ingin mengemukakan tanggapan
terhadap pokok pembicaraan tersebut.

62
Daftar Pustaka

Abbas, Saleh. 2006. “Pembelajaran Bahasa Indonesia


Yang Efektif Di Sekolah Dasar.” Jakarta: Dikti.
Afrillia Fahrina, Afrillia Fahrina, Karla Amelia dan Cut Rita
Zahara, Minda. 2020. Guru Indonesia Pandemic
Corona, Disrup Pendidikan dan Kreatif Guru, Banda
Aceh: Syiah Kuala Univercity press, cetakan pertama.
Martini Jamaris.2015 Kesulitan BelajarPerspektif,
Asesmen, dan Penanggualangannya,, Bogor: Ghalia
Indonesia.
Meta Br Ginting, 2020, Buku Aja Bahasa Indonesia
Sekolah Dasar Kelas Rendah, jateng: penerbit
Lakeisha.
Maulana, Unsa dan Kustiono. 2022. Terampil
Berkomunikasi Lisan dan Tulisan. Jawa Barat: Tata
Akbar.
Rahmawati, “Strategi Pembelajaran Membaca dan
Menulis Permulaan Melalui Media Kartu Kata
Bergambar”, Jurnal SAP, Vol. 1, No. 3 (April, 2017),60.
Suhrianati, “Peningkatan Aktivitas dan Kemampuan
Membaca Permulaan Melalui Pembelajaran Kartu
Bergambar Siswa Kelas Satu”, Jurnal Sagacious,
Vol. 3, No. 1, (Juli- Desember, 2016),
Sujinan,2017, Menjadi Pembicara Terampil, Yogyakarta:
CV Budi Utama

63
5
KEGIATAN PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Lika Apreasta, M.Pd.


Universitas Dharmas Indonesia

Teori Belajar Bahasa

Bahasa merupakan keterampilan masing-masing


personal untuk mengutarakan sesuatu guna dalam
menyampaikan informasi. Harras & Bachari (2009)
mengemukakan bahwa bahasa merupakan suatu cara
dalam berkomunikasi dengan menggunakan teknik yang
arbiter dan lazim. Pembelajaran bahasa juga terdapat
teori-teori beajar bahasa diantaranya (Hastuti and
Neviyarni, 2021):
1. Pendekatan Pengondisian
Pendekatan pengondisian dalam pembelajaran
bahasa membuat pedoman bahwasanya prinsip-
prinsip dasar pengondisian merupakan cara untuk
mempelajari bahasa. Artinya pengimplementasian
pemahaman pembelajaran bahasa diperoleh dari pilar
pengondisian yang diturunkan sejak studi organisme
tingkat rendah. B. F. Skinner merupakan satu
diantara psikolog awal yang mengusulkan menggali
secara mendalam tentang perilaku bahasa dari
perspektif pengondisian. Penguatan respons verbal
yang sesuai dapat menghasilkan perilaku oral dan
perilaku lainnya. Skinner menyatakan bahwasanya
ada tdua macam penguatan diantaranya penguatan
positive, penguatan negative dan hukuman (Santrock,

65
2001). Dengan demikian dapat disimpulkan pendapat
skinner bahwa perilaku oral sama dengan lainnya
sesuai dengan yang dibahas penguatan respon yang
benar.
2. Pendekatan Psikolinguistik
a. Pengertian Pendekatan Psikolinguistik
Manusia memiliki ciri-ciri yang unik sehingga
mampu menangkap sebuah bahasa melalui
pengembangan dengan ketentuan yang abstrak.
Bahasa merupakan pembelajaran yang tidak
terlepas dari apa yang diutarakan para linguistik.
Anggapan orang tentang bahasa yaitu
berhubungan dengan kebiasaan seperti interaksi
dilingkungan sosial dapat memakai teknik
pembelajaran yang original dengan strategi
komunikatif dan sosiolinguistik (Saepudin 2018).
Sedangkan (Saputra Tanjung and Lubis, 2019)
menyatakan psikolinguistik merupakan suguhan
bahasa yang dipelajari sejak dini dapat memenuhi
kebutuhan tingkatan cara berekpresi dan
berkomunikasi dengan benda-benda yang ada di
sekitar. Selanjutnya (Kadir, 2017) menjelaskan
psikolinguistik yaitu Pembelajaran tentang cara
berfikir dengan bahasa yang digunakan.
b. Ciri-Ciri Pendekatan Psikolinguistik
(Kadir, 2017) menyatakan:
1. bersifat aksiomatik
2. Tercipta dari beberapa ide/gagasan
3. pendekatan dapat melahirkan metode

Pendekatan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia


di Sekolah Dasar
1. Pendekatan Whole language
Pendekatan whole language adalah teknik yang
bertujuan dalam menyamakan persepsi mengenai
pembelajaran bahasa, kemudian juga mengenai

66
manusia yang ikut serta lingkungan tersebut
(Hidayah, 2014). Pendekatan whole language
merupakan pendekatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Indonesia
di sekolah dasar, hal tersebut tentu didukung dengan
pembelajaran yang holistik dan padat dalam
mengajarkan keempat aspek pada kemampuan
bahasa, yang terdiri dari menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis secara bersamaan (Sari,
Kristanti and Nurjannah, 2020). Whole Language
merupakan pendekatan yang cocok untuk
pembelajaran bahasa yang mengajarkan secara
komplet dan menyeluruh yang berhubungan dengan
keterampilan bahasa (Yunita, 2017).
Adapun komponen-komponen pendekatan Whole
Language yang dijelaskan (Hidayah, 2014) yaitu:
a. Reading aloud adalah guru dan peserta didik
melakukan aktivitas membaca. Guru dituntut
untuk membaca dengan lantang dan jelas dengan
artikulasi dan indonasi yang baik sehingga
peserta didik dapat mendengar dan memahami
bacaan guru. Manfaat Reading aloud yaitu
membimbing peserta didik dalam keterampilan
menyimak, memperbanyak kosakata,
membangkitkan minat dan pemahaman peserta
didik. Tujuan reading aloud yaitu untuk
membawa peserta didik belajar dalam waktu
sekitar sepuluh menit.
b. Jurnal writing atau menulis jurnal adalah teknik
yang cocok untuk menulis sesuai dengan apa
yang ada dalam hati dan pikiran menceritakan
apa saja yang sudah dilalui, lingkungan sekitar,
dan hal-hal lainnya dalam penerapan bahasa
dalam bentuk tulisan. Kegunaan menulis jurnal
yaitu dapat meningkatkan (1) keterampilan
menulis; (2) keterampilan membaca; (3)
keberanian mengambil atau menghadapi resiko;
(4) keinginan peserta didik untuk refleksi; (5)
merasakan perasaan dan pengalaman pribadi; (6)
tempat yang nyaman untuk menulis difasilitasi;

67
(7) keterampilan berpikir; (8) kesadaraan akan
peraturan menulis; (9) mempermudadah dan
pengevaluasian (10) tercatat sebagai dokumen
tertulis
c. Sustained Silent Reading, adalah peserta didik
melakukan aktivitas membaca dalam hati. Buku
bacaan atau materi dapat dipilih sendiri oleh
peserta didik. Pesan ya g didapat dari kegiatan ini
yaitu (1) membaca bisa menjadi aktivitas yang
disenangi (2) siapapun bisa melakukan aktivitas
membaca (3) terjadinya kumunikasi dengan
penulis buku atau teks yang dibaca dengan cara
membaca (4) peserta didik dapat berkonsentrasi
dalam membaca cukup lama pada bacaan. (5)
guru percaya akan pemahaman peserta didik
dalam membaca teks. 6) Setelah Sustained Silent
Reading berakhir peserta didik dapat berbagi
pengetahuan.
d. Shared Reading, merupakan guru dan peserta
didik mempunyai buku yang dibaca, kemudian
melakukan aktivitas membaca bersama. Kegiatan
ini dapat dilakukan di sekolah dasar sampai saat
belajar diperkuliahan. Tujuan aktivitas ini yaitu
(1) peserta didik memperhatikan guru membaca
sebagai model sambil melihat tulisan peserta
didik; (2) peserta didik diberikan kesempat dalam
menyampaikan apa yang sudah dibacanya (3)
Guru berperan sebagai model dapat memberikan
contoh cara membaca yang benar kepada peserta
didiknya.
Pendekatan Whole Language memiliki beberapa ciri-
ciri menurut (Hidayah, 2014) yaitu:
a. Kelas yang mengimplementasikan whole language
dipenuhi dengan hasil karya berupa barang. Hasil
karya tersebut dapat dipajang di dinding kelas,
pintu kelas dan lain-lain.
b. Kelas yang menerapkan whole language peserta
didik belajar melalui guru. Pendidik sebagai model

68
yang ideal dalam berbahasa, contoh saat aktivitas
berbicara, menulis, serta membaca.
c. Kelas yang menerapkan whole language peserta
didik baraktivitas dan mempelajari materi sesuai
dengan daya tangkap peserta didik.
d. Kelas yang menerapkan whole language peserta
didik dapat membagi tugas dalam pembelajaran.
e. Kelas yang menerapkan whole language peserta
didik ikut berperan sehingga pembelajaran
menjadi bermakna.
f. Kelas yang menerapkan whole language peserta
didik mampu trjun langsung berperan dan bebas
mencoba hal-hal baru.
g. Kelas yang menerapkan whole language peserta
didik memperoleh umpan balik yang positif dari
pendidik serta dari peserta didik lainnya.
2. Pendekatan Komunikatif
a. Pengertian pendekatan komunikatif
Pendekatan komunikatif yaitu pendekatan saat
pengimplementasiannya membutuhkan tahap-
tahap supaya cara penyampaiannya bisa
berlangsung seadanya (Nurhaliza and Anwar,
2019). Pendekatan komunikatif ialah kemampuan
menggunakan bahasa dalam berkomunikasi
merupakan tujuan yang harus dicapai dalam
pembelajaran bahasa yang berlandaskan kepada
pemikiran(Djuanda, 2008). Pendekatan
merupakan komunikatif Pendekatan yang
mengutamakan interaksi peserta didik dengan
peserta didik dan memposisikan diri sebagai
pokok pembicaraan, juga setiap peserta didik
diwajibkan untuk berpartisipasi (Wahyuningsi,
2019).
b. Komponen-Komponen Pendekatan Komunikatif
Ada empat komponen Pendekatan Komunikatif
(Wahyuningsi, 2019):

69
1) Kemampuan gramatikal merupakan bagian
kemampuan komunikatif meliputi
pengetahuan tentang aspek leksikal dan
aturan fonologi, semantik kalimat tata
bahasa, sintaksis, dan morfologi.
2) Kemampuan wacana merupakan
penyempurnaan dari kemampuan gramatikal.
Kompetensi wacana yaitu kompetensi
menghubungkan suatu kalimat dalam
wacana dan kompetensi memahami suatu
wacana. Jika kemampuan gramatikal meliputi
tata bahasa pada suatu kalimat, maka
kemampuan wacana meliputi hubungan
antar kalimat
3) Kemampuan sosiolinguistik merupakan ilmu
mengenai aturan sosial budaya wacana dan
bahasa. Kemampuan ini memfokuskan
mengenai konteks bermasyarakat meliputi
informasi yang dibicarakan, fungsi interaksi,
peran para partisipan.
4) Kemampuan strategis, suatu ilmu yang paling
kompleks. Kemampuan strategis sebagai
strategi komunikasi lisan dan tertulis yang
bisa digunakan untuk menyepadankan
komunikasi karena kemampuan tidak sesuai.
c. Langkah-langkah pendekatan komunikatif
Langkah-langkah pendekatan komunikatif
menurut (Nurhaliza and Anwar, 2019) yaitu:
Menetapkan tujuan yang efektif; (2) pembuatan
materi sesuai dengan peraturan yang dipakai (3)
latihan berbahasa atau practice (4) alih
pengetahuan atau transfer.
d. Ciri-ciri pendekatan komunikatif
Ciri-ciri pendekatan komunikatif menurut
(Wahyuningsi, 2019) adalah sebagai berikut:

70
1) Realitas akan mendorong peserta didik untuk
peserta didik atau aktivitas yang
menunjukkan komunikasi sebenarnya
2) melaksanakan tugas-tugas yang bermakna
akan membuat peserta didik untuk belajar
merupakan tujuan aktivitas berbahasa
3) Mempersiapkan materi silabus komunikasi
sesuai dengan analisis kebutuhan.
4) Kegiatan di kelas berpusat kepada peserta
didik.
5) Guru berperan secara holistik, menganalisis
kebutuhan peserta didik, dan mengatur
kelompok.
6) Kegunaan alat mengajar adalah untuk
membangkitkan komunikasi peserta didik
yang intens.
e. Kelebihan Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif memiliki kelebihan yaitu:
(Nurhaliza and Anwar, 2019)
1) Peserta didik lebih semangat belajar karena
hari pertama belajar, langsung menggunakan
bahasa asing/ disesuaikan dengan bahasa
asing yang dipakai disekolah tersebut.
2) Peserta didik pasih berinteraksi, maksudnya
memahami kemampuan gramatikal, strategis,
sosiologi dan wacana.
3) Kondisi kelas menyenangkan dengan kegiatan
interaksi antar peserta didik dengan
bermacam model komunikasi dan gaya
bahasa yang lumayan tinggi, menjadi sangat
menyenangkan.
f. Prinsip-prinsip Pendekatan Komunikatif
Menurut (Yunita and Rafael, 2022) ada tiga
prinsip pendekatan komunikatif antara lain:

71
1) Materi ajar berpedoman pada bahasa sebagai
alat berinteraksi atau berkomunikasi.
2) Konstruksi materi ajar terfokuskan pada
proses pembelajaran bukan topik yang
diajarkan
3) Matari pembelajaran dapat mendorong
peserta didik untuk berinteraksi serta
berkomunikasi secara natural.
3. Pendekatan Kontekstual
a. Pengertian Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual yaitu teori belajar
mengajar yang memudahkan guru
menautkan antara materi yang akan
disampaikan dengan lingkungan peserta didik
dan membawa peserta didik mengaitkan
materi pelajaran yang diketahui peserta didik
dengan lingkungan sekitarnya (Tusdia and
Rosyana, 2021). Sejalan dengan pendapat
(Parhan and Sukaenah, 2020) pendekatan
kontektual adalah menghubungkan antara
materi yang akan diajarkan dengan
pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik
sesuai dengan keadaan dan lingkungan
peserta didik. Selanjutnya (Nuryana, 2021)
juga menyatakan Pendekatan kontekstual
merupakan pendekatan yang memudahkan
guru dalam menghubungkan materi pelajaran
dengan tempat tinggal peserta didik dan
meminta peserta didik untuk mengaitkan apa
yang peserta didik pelajari dengan lingkungan
nyata.
b. Karakteristik Pendekatan Kontektual
Adapun karakteristik pendekatan kontektual
menurut (Nuryana, 2021) yaitu:
1) Terciptanya kolaborasi sesama peserta
didik

72
2) berkolaborasi dalam mencapai tujuan
pembelajaran
3) Kegiatan belajar mengajar akan sangat
menyenangkan
4) Kegiatan pembelajaran lebih terukur dan
terpadu
5) Mamakai banyak rujukan teori dalam
membuat materi ajar
6) Peserta didik aktif dan berpatisispasi
dalam pembelajaran
7) Peserta didik mampu bertukar pikiran
dengan temannya
8) Rasa ingin tahu peserta didik meningkat
sehingga guru dituntut untuk seslalu
kreatif.
9) Ruang kelas seperti dinding dipenuhi
dengan hasil kerja peserta didik seperti
madding, peta, gambar hasil karja peserta
didik dan lain-lain.
10) Setiap karya peserta didik, laporan hasil
pratikum, nilai, dan lain-lain dilaporkan
kepada wali murid.
Selanjutnya karakteristik pendekatan
kontekstual juga dijelaskan (Jusran, 2018):
1) Pembelajaran dalam pendekatan
kontekstual adalah merangsang
pengetahuan sebelumnya dapat juga
diartikan materi yang akan dipelajari
tidak terlepas dari pengetahuan yang
dipelajari sebelumnya, jadi pengetahuan
yang akan didapatkan peserta didik
adalah adanya keterkaitan antar
pengetahuan.
2) Pembelajaran pada pendekatan
kontekstual yaitu pembelajaran yang
selalu memberikan pengetahuan baru

73
kapada peserta didik. Pengetahuan baru
tersebut didapatkan dengan cara
menyeluruh atau deduktif.
3) Ilmu pengetahuan yang didapat tidak
untuk dihafal tapi untuk diyakini dan
dipahami, contohnya meminta respon dari
peserta didik mengenai pengetahuan yang
didpatkannya dan berdasarkan respon
tersebut setelah itu dikembangkan
4) Mempraktekkan pengalaman dan
pengetahuan tersebut. Pengalaman dan
pengetahuan didapat bisa diterapkan di
kehidupan peserta didik, sehingga terlihat
perubahan perilaku peserta didik.
5) Malaksanakan refleksi penggunaan
strategi pengembangan pengetahuan.
Manfaatnya adalah untuk
penyempurnaan strategi untuk
perbaikan.
c. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan kontekstual ada tujuh langkah
pembelajaran menurut (Jusran, 2018) yaitu:
1) Merangsang pola pikir peserta didik agar
proses pembelajaran lebih berarti baik
dengan cara kerja mandiri, mencari
sendiri, dan menemukan sendiri ilmu
pengetahuan dan memiliki keterampilan
baru.
2) Semua topik yang diajarkan sebisa
mungkin diusahakan kegiatan inquiry.
3) Menumbuhkan rasa ingin tahu peserta
didik sehingga peserta didik tertarik
untuk bertanya
4) Memunculkan kelompok belajar, sehingga
peserta didik mampu berdiskusi, Tanya
jawab, dan lain-lain.

74
5) Memunculkan model sebagai contoh
pembelajaran, melalui gambaran, bisa
juga dengan media kongkret.
6) Setiap pembelajaran yang telah dilakukan
selalu adakan refleksi.
7) Melakukan penilaian yang sebenarnya
sesuai kemampuan peserta didik.
d. Unsur-unsur Pendekatan Kontekstual
Ada enam unsur pendekatan kontektual
menurut (Anggraini, 2010) yaitu:
1) Pembelajaran bermakna
Relevansi, pemahaman, dan penghargaan
individu peserta didik bahwa peserta didik
terlibat langsung terhadap materi yang
dipelajarinya. Pembelajaran harus sesuai
dengan kehidupan peserta didik.
2) Penerapan pengetahuan
Keterampilan dalam menentukan apa
yang akan dipelajari dilakukan sesuai
dengan masa kini dan yang akan datang
3) Berkpikir tingkat lebih tinggi
Peserta didik dididik untuk berfikir kreatif
dan kritis dalam mendapatkan informasi,
mengerti situasi terkini sehingga mampu
memcahkan suatu maslah
4) Kurikulum yang dikembangkan
berdasarkan standar
Materi ajar berkaitan dengan bermacan
standar asosiasi, local, industri dan
Negara bagian
5) Responsif terhadap budaya
Pendidik dapat menghargai dan
memahami keyakinan, nilai-nilai dan
kebiasaan peserta didik, teman-teman
pendidik dan mayarakat lingkungan

75
mendidik. Krelasi antar kebiasaan, dapat
berpengaruh terhadap cara mengajar
pendidik. Ada empat pandangan yang
harus dipertimbangkan yaitu kelompok
peserta didik (seperti tim atau
keseluruhan kelas), : individu peserta
didik, dan tatanan masyarakat yang lebih
besar, tatanan sekolah.
6) Penilaian autentik
Penerapan bermacam strategi penilaian
yang sesuai memperlihatkan hasil belajar
yang otentik yang diingi kan dari peserta
didik. Strategi ini meliputi penilaian atas
penggunaan portofolio, proyek dan
kegiatan peserta didik, rubric, panduan
pengamatan, dan ceklis. Selain mengajak
peserta didik untuk aktif dalam
pembelajaran dan menilai sendiri hasil
kerja mereka dan berfungsi untuk melatih
mereka untuk menulis.
Selanjutnya (Jusran, 2018) menyatakan
bahwa ada empat unsur pendekatan
kontekstual yaitu:
1) Menetapkan fokus serta tujuan akhir dan
target yang harus dicapai, dengan
menyesuaikan kebutuhan masyarakat.
2) Memilih pendekatan yang paling tepat
untuk mencapai target.
3) Mengidentifikasi langkah-langkah yang
akan dilalui dari awal sampai dengan
target yang ingin dicapai.
4) Mengidentifikasi kriteria dan tolak ukur
untuk menilai tingkat keberhasilan
usaha.

76
Model Pembelajaran Reseptif-Produktif dalam Bahasa
dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar
Mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah nama
mata pelajaran bahas Indonesia. Karena prinsipnya, dua
unsur yaitu bahasa dan sastra yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan manusia (Susanti, 2015).
Dalam menerapkan bahasa, keterampilan bahasa terdiri
dari empat keterampilan, yaitu keterampilan
mendengarkan, keterampilan berbicara, keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis. Berdasarkan
sifatnya, empat keterampilan berbahasa tersebut
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu reseptif dan
produktif. Bahasa reseptif merupakan keterampilan
berbahasa dengan cara membaca dan mendengarkan
informasi (Astuti and Amri, 2021). aspek reseptif yaitu
kemampuan bahasa yang bersifat memperoleh atau
menerima bahasa (Irmayani, 2020). Keterampilan reseptif
pada setiap anak tidak sama, dapat mempengaruhi pada
keterampilan saat ia bersosialisasi, saat memperoleh
pengetahuan dan untuk menyampaikan atau
mengungapkan apa yang dipikirkan (Luthfiyah, 2015).
Sedangkan keterampilan berbahasa produktif yaitu suatu
kemampuan berbahasa yang sifatnya menghasilkan atau
mengeluarkan bahasa (Irmayani, 2020). Pemerolehan
bahasa tulis produktif berpusat pada percakapan/diskusi
yang berarti, kesuksesan pemerolehan bahasa melalui
proses mealkukan aktivitatas, materi ajar berdasarkan
pada minat dan ide peserta didik, kegiatan berfokus pada
peserta didik, sudah menjadi hal biasa kalau ada
kesalahan, tingkatannya termasuk kepada saran yang
dapat dimengerti peserta didik (Musfiroh, 2012). Apresiasi
sastra produktif adalah aktivitas memberikan
penghargaan karya sastra yang menitikberatkan pada
kreativitas dan karya. Apresiasi sastra dengan
ekspresif/produktif tidak akan tercipta tanpa ada
pelatihan menulis, terkusus menulis kreatif di sekolah
dasar (Hartati, 2016).

77
Model pembelajaran produktif memiliki empat tahapan
yaitu tahap orientasi, tahap eksplorasi, tahap interpretasi,
dan tahap re-kreasi. Aktivitas Orientasi, aktivitas
ekplorasi, dan aktivitas interprtasi adalah kegiatan yang
berhubungan dengan bentuk dan komponen karya
sedangkan aktivitas re-kreasi adalah kegiatan
menghasilkan karya baru sebagai bentuk kreativitas dari
sisiwa yang produktif (Wijaya, 2020).
Model pembelajaran yang produktif secara orisinil
memberikan tawaran artian pembelajaran diantaranya
(Wijaya, 2020):
1. Investasi terhadap penafsiran konsep, nilai atau
sebuah permasalahan pada saat pembelajaran.
2. Menakar keterampilan peserta didik saat
mengimplementasikan konsep pembelajaran sehingga
diinginkan dapat mendapatkan jalan keluar produktif.
3. Keterampilan peserta didik dalam berproduksi serta
berkreasi jadi dapat membentuk watak yang
mempunyai nilai intelektual serta.

78
Daftar Pustaka

Anggraini, D. (2010) ‘Penerapan pembelajaran kontekstual


pada pendidikan anak usia dini’, pp. 39–46.
Astuti, S. and Amri, N. (2021) ‘MENINGKATKAN
KEMAMPUAN RESEPTIF ANAK MELALUI’, 6.
Djuanda, D. (2008) ‘Studi Tentang Penerapan Pendekatan
Komunikatif dan Pendekatan Terpadu Dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas VI SD Negeri
Sukamaju Kabupaten Sumedang’, Jurnal Pendidikan
Dasar, 10(1), pp. 1–10.
Hartati, T. (2016) ‘Pembelajaran 4 Apresiasi dan Kreasi
Sastra Anak’, Modul Pendidikan Profesi Guru PGSD
(PPG PGSD) Modul 1 Bahasa Indonesia., pp. 161–190.
Hastuti, S. and Neviyarni, N. (2021) ‘Teori Belajar Bahasa’,
Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(1), pp. 8–13.
Available at:
https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i1.179.
Hidayah, N. (2014) ‘Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Whole Language’, Terampil Jurnal Pendidikan Dan
Pembelajaran Dasar, 1(2), pp. 292–305.
Irmayani, N. (2020) ‘Keterampilan Aktif Reseptif Dan
Pemahaman Kaidah Bahasa Indonesia Para Guru Sd
Sekota Pontianak’, Tuahtalino, 14(2), p. 195. Available
at: https://doi.org/10.26499/tt.v14i2.2147.
Jusran, J. (2018) ‘Penerapan Pendekatan Kontekstual
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Ipa Pada Siswa
Kelas V Sd Negeri Cot Kuta Kecamatan Suka …’, Bina
Gogik: Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru …, 2(1).
Available at:
http://ejournal.stkipbbm.ac.id/index.php/pgsd/artic
le/view/83.
Kadir, H. (2017) ‘Peran Pendekatan Psikolinguistik dalam
Membangun Pola Interaksi Pembelajaran Bahasa di
Kelas’, Wahana Didaktita, 15(2), pp. 1–11.

79
Luthfiyah, N. (2015) ‘BAHASA ANAK KELOMPOK B TK
DENGAN BERBAGAI METODE YANG’, 2, pp. 137–145.
Musfiroh, T. (2012) ‘Pemerolehan Bahasa Tulis Produktif
Anak Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak’,
Humaniora, 21(3), pp. 259–273. Available at:
https://doi.org/10.22146/jh.v21i3.1331.
Nurhaliza, N. and Anwar, M. (2019) ‘Efektivitas
Pendekatan Komunikatif Terhadap Keterampilan
Berbicara Bahasa Jerman Siswa’, Eralingua: Jurnal
Pendidikan Bahasa Asing dan Sastra, 3(1), pp. 53–57.
Available at:
https://doi.org/10.26858/eralingua.v3i1.8765.
Nuryana, A. (2021) ‘PENDEKATAN TRADISIONAL DAN
PENERAPANNYA DI KELAS ( Analisis Pendekatan
Pembelajaran PAI )’, pp. 39–49.
Parhan, M. and Sukaenah (2020) ‘Pendekatan Kontekstual
Dalam Meningkatkan Pembelajaran a Contextual
Approach To Improving Pancasila and Civic
Education’, Jurnal Ilmiah Pendidian Pancasila dan
Kewarganegaraan, 5(2), pp. 360–368.
Saputra Tanjung, A. and Lubis, S. (2019) ‘Kajian
Psikolinguistik Terhadap Bentuk Dan Fungsi Lingual
Latah: Studi Kasus Warga Medan Psycholinguistics
Study on Hyperekplexia of Form and Function: Case
Study on Medan Citizens’, XVII(2), pp. 144–156.
Sari, A.M., Kristanti, D. and Nurjannah (2020) ‘Penerapan
Pendekatan Whole Languange Untuk Pada Pelajaran
Bahasa Indonesia Kelas V Sd Negeri Peureumeue’,
Bina Gogik, 7(2), pp. 24–33. Available at:
https://www.ejournal.stkipbbm.ac.id/index.php/pgs
d/article/view/527/468.
Susanti, R. dwi (2015) ‘Pembelajaran apresisasi sastra di
sekolah dasar’, Jurnal Elementary, 3(1), pp. 136–155.

80
Tusdia, H. and Rosyana, T. (2021) ‘Penerapan Pendekatan
Kontekstual sebagai Upaya Meningkatkan Hasil
Belajar Matematika Siswa SMP Kelas VII pada Materi
Aritmetika Sosial’, Pembelajaran Matematika Inovatif,
4(5), pp. 1347–1356. Available at:
https://doi.org/10.22460/jpmi.v4i5.1347-1356.
Wahyuningsi, E. (2019) ‘Pendekatan Komunikatif Dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia’, Lingua Franca:
Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 03(02),
pp. 1–13.
Wijaya, D. (2020) ‘SEBAGAI PEMBENTUKAN KARAKTER
SISWA Poetry Learning Model that is Creative and
Productive as The Formation of Student Character’.
Yunita (2017) ‘Pengaruh Pendekatan Whole Language
Berbasis Lingkungan Terhadap Keterampilan
Menulis’, Jurnal Penelitian dan Penalaran, 4(2), pp.
766–777.

81
6
MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DI SD

Dwi Setyaningsih, S.Pd., M.M.


STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau

Pengertian Media Pembelajaran

Komunikasi merupakan aktivitas penyampaian informasi


atau pesan yang dilakukan antara dua belah pihak atau
lebih. Komunikasi itu sendiri bisa dilakukan secara satu
arah maupun dua arah tergantung pada kegiatan yang
dilakukan pada saat itu. Agar komunikasi bisa
berlangsung lebih efektif dan efisien, maka diperlukan
media agar proses penyampaian informasi bisa lebih jelas
dan dapat dimengerti. Hampir seluruh lini kehidupan
telah memanfaatkan media dalam menyampaikan
informasi atau pesan, begitu juga dalam bidang
pendidikan. Dalam dunia pendidikan, sebagai seorang
pengajar kita dituntut untuk bisa melakukan
penyampaian informasi kepada peserta didik. Peserta
didik adalah pihak yang nantinya akan menerima
informasi dari pengajar dalam bentuk ilmu, keterampilan
dan sikap. Dalam setiap RPP atau Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran, guru atau pengajar lainnya harus dapat
menentukan media apa yang akan digunakan pada setiap
kompetensi yang ingin diajarkan, inilah yang dinamakan
dengan media pembelajaran.
Media pembelajaran merupakan suatu perangkat atau
alat yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran agar
materi yang disampaikan tidak hanya sekedar
komunikasi verbal tapi juga memiliki gerak ataupun suara

83
dan gambar sehingga peserta didik mampu menerima
informasi atau pelajaran dengan jelas. Informasi atau
pelajaran yang diolah, dikemas dan disampaikan dengan
menarik akan memberikan dampak positif kepada peserta
didik. Peserta didik akan mampu berimajinasi dan
berpikir tentang materi yang diajarkan dan akan mampu
meningkatkan kreativitasnya (Indonesia, Mekkah and
Siswa, 2018).
Media pembelajaran terdiri dari dua buah kata yaitu
media dan pembelajaran, media berasal dari kata medium
yang berarti perantara atau segala sesuatu yang dapat
menyalurkan pesan dari pengirim kepada penerimanya.
Pembelajaran berarti peristiwa yang terencana dan
berorientasi untuk mencapai hasil belajar. Indikator dari
media pembelajaran itu sendiri adalah cara menggunakan
suatu benda dan peristiwa untuk memfasilitasi proses
pembelajaran.
Media pembelajaran merupakan suatu perantara yang
digunakan untuk menyampaikan informasi atau
pelajaran yang bertujuan merangsang peserta didik untuk
belajar (Hayati, 2021). Media pembelajaran menjadi suatu
kebutuhan bagi pengajar dalam mempersiapkan proses
pembelajaran. Karena kehadirannya dianggap penting,
maka tidak sedikit guru atau pengajar lainnya kesulitan
dalam menentukan media pembelajaran. Oleh karena itu,
menjadi seorang pengajar juga dituntut memiliki jiwa
kreativitas untuk memberikan informasi atau pelajaran
dan memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk
memahami materi yang disampaikan. Kehadiran media
pembelajaran menjadi penting karena dapat memberi
kemudahan bagi peserta didik dalam memahami materi
pelajaran (Riyanti and Setyami, 2017).

Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran

Menurut Ramli (2012) menjelaskan bahwa fungsi media


pembelajaran dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Membantu guru dalam bidang tugasnya

84
Setiap individu dalam menjalankan bidang tugasnya
pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Apabila
seorang guru atau pengajar mampu menggunakan
media pembelajaran dengan tepat, maka hal ini
mampu menutupi kekurangan dan kelemahan yang
dimiliki. Berdasarkan analisis teknologi pembelajaran
bahwa penggunaan media dalam pembelajaran dapat:
a. Meningkatkan produktivitas dari materi-materi
yang disampaikan, waktu menjadi semakin efektif
dan mengurangi beban kerja guru yang
bersangkutan.
b. Membantu peserta didik dalam mengembangkan
analisis penalaran terhadap materi yang
disampaikan.
c. Meningkatkan kreativitas peserta didik dalam
mengembangkan materi pelajaran.
2. Membantu peserta didik
Penggunaan media pembelajaran yang tepat dapat
membantu peserta didik dalam hal:
a. Lebih meningkatkan daya pemahaman terhadap
materi pembelajaran
b. Mempercepat daya tangkap peserta didik
terhadap materi yang diajarkan
c. Merangsang cara berpikir peserta didik
d. Meningkatkan aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik peserta didik dari materi yang
diajarkan.
3. Memperbaiki proses pembelajaran
Penggunaan media pembelajaran yang tepat dapat
membantu memperbaiki pembelajaran dalam hal
sebagai berikut:
a. Jika dalam pelaksanaan pembelajaran tidak
mendapatkan hasil yang diharapkan, maka guru
berkewajiban mengulang kembali materi yang
disampaikan. Disinilah peran media dalam

85
meningkatkan kualitas dan kuantitas
pembelajaran.
b. Guru dapat menggunakan media lebih dari satu
guna mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Suwardi (dalam Novery, 2021:8) fungsi
media pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Media sebagai sumber belajar
Maksud dari media sebagai sumber belajar adalah
media yang digunakan oleh pengajar dapat
berfungsi sebagai tempat dimana bahan
pembelajaran tersebut berada. Wujud media
pembelajaran sebagai sumber belajar adalah
dapat berupa manusia, benda, peristiwa yang
memungkinkan peserta didik memperoleh bahan
pembelajarannya.
b. Media sebagai alat bantu
Media sebagai alat bantu merupakan fungsi media
dalam membantu tenaga pengajar dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Dengan bantuan
media pembelajaran yang dikemas secara
menarik, peserta didik akan lebih memahami
materi pembelajaran.

Media Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD


1. Media Cerita Bergambar
Salah satu kelemahan dalam proses pembelajaran
adalah kurangnya kreativitas guru dalam memilih
media pembelajaran yang tepat. Padahal media
pembelajaran merupakan sarana pendukung guna
keberhasilan dan tercapainya tujuan pembelajaran.
Termasuk dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, guru harus memiliki ide kreatif agar
pembelajaran ini menjadi menarik dan tidak
membosankan.

86
Salah satu media yang bisa dikembangkan adalah
dengan menggunakan media cerita bergambar pada
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Cerita
bergambar merupakan suatu rangkaian kegiatan/
cerita yang disajikan secara berurutan kemudian
siswa dilatih untuk menceritakan adegan demi adegan
dan kegiatan tersebut yang apabila dirangkaikan akan
menjadi suatu cerita. Cerita bergambar yang disajikan
tentunya memiliki makna dan diadaptasi dari
kehidupan sehari-hari siswa. Penggunaan media
cerita bergambar yang tepat akan mampu
merangsang atau menstimulasi kemampuan siswa
dalam membaca nyaring dan meningkatkan
keterampilan siswa dalam berbicara di depan kelas.
Selain itu, informasi yang ingin disampaikan oleh
guru kepada siswa akan semakin jelas dan mudah
diingat karena didukung dengan media cerita
bergambar yang bersifat visual yang disajikan secara
menarik. Hal ini tentunya akan mengurangi rasa
kebosanan pada siswa saat belajar pada mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (Munawarah
and Dkk, 2021).
2. Media Boneka Tangan
Media boneka tangan adalah media yang terbuat dari
potongan kain flannel, katun, kaos tangan/kaos kaki
dan sebagainya yang dibentuk seperti boneka
kemudian dihias sesuai kreativitas sehingga
membentuk karakter atau benda yang ingin dijadikan
beragam tokoh dan karakter masing-masing. Media
boneka tangan ini digunakan dengan memasukkan
tangan ke dalam boneka sehingga bisa digerak-
gerakkan dan menggunakan intonasi suara yang
berbeda-beda sesuai dengan karakter yang ingin
diperankan. Media boneka tangan ini sangat cocok
diaplikasikan didalam kelas pada mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia karena mampu
mendorong kemampuan imajinasi siswa dan
kemampuan berbicara dalam memerankan berbagai
tokoh, selain itu dapat melatih mengungkapkan ide
dan gagasan melalui tokoh yang diperankan.

87
Media boneka tangan juga bisa diperagakan langsung
oleh siswa sehingga siswa dapat merasakan
bagaimana menggunakan media boneka tangan
untuk pembelajaran (Munawarah and Dkk, 2021).
3. Media Monotun (Monopoli Pantun)
Mempelajari Bahasa Indonesia tidaklah lepas dari
pembelajaran sastra Indonesia. Pantun merupakan
bagian dari sastra Indonesia yang masih dipelajari
dan dilestarikan sampai sekarang. Beragam cara guru
untuk menyampaikan informasi mengenai pantun
dengan menggunakan media yang juga beragam.
Salah satu media yang bisa diaplikasikan untuk
pembelajaran pantun adalah dengan media monotun
(monopoli pantun).
Banyak keuntungan yang didapat bila guru dapat
mengaplikasikan media ini di dalam kelas. Siswa juga
dapat dilibatkan secara langsung untuk bermain dan
memenangkan permainan. Proses pemakaian media
ini tidak jauh berbeda dengan permainan monopoli
pada umumnya, yang membedakannya adalah media
monotun tidak menggunakan properti seperti yang
ada dalam permainan monopoli. Media monotun
menggunakan materi-materi pantun seperti
pengertian pantun, jenis-jenis pantun, struktur
pantun, dan contoh-contoh pantun. Berikut ini
petunjuk pembelajaran dengan menggunakan media
monotun:
a. Mempersiapkan dan mengatur monopoli pantun
sebelum digunakan;
b. Tentukan urutan pemain dalam permainan;
c. Guru mengawasi siswa dalam bermain monotun;
d. Permainan dimulai dengan melempar dadu;
e. Pemain mengambil langkah sesuai dengan angka
yang tertera pada dadu;
f. Jika pemain berhenti tepat pada kotak materi,
maka mereka harus membaca materi dengan
keras;

88
g. Jika pemain berhenti pada kotak kuis, maka
mereka harus menjawab pertanyaan pada
lembaran kuis;
h. Setiap berhenti dalam satu kotak, pemain akan
menerima satu bintang;
i. Permainan dianggap selesai setelah semua
pemain mencapai kotak finish;
j. Kartu bintang yang diperoleh pemain dapat
ditukarkan dengan hadiah (Munawarah and Dkk,
2021).
Sudah saatnya dizaman yang semakin maju ini guru
dituntut untuk lebih kreatif dalam menggunakan
media pembelajaran. Media pembelajaran monotun
ini akan sangat bermanfaat bagi siswa bila guru dapat
mengaplikasikannya dengan tepat.
4. Media Pembacaan Dongeng
Guru di era 4.0 dituntut untuk memiliki inovasi dalam
menciptakan media pembelajaran yang mampu
meningkatkan gairah siswa dalam menerima
pembelajaran. Salah satu media yang efektif dalam
meningkatkan proses pembelajaran Bahasa Indonesia
adalah dengan menggunakan media pembacaan
dongeng. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia
(KBBI) dongeng adalah suatu cerita yang tidak benar
terjadi (terutama tentang kejadian dulu yang aneh).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zulfitria dkk
budaya mendongeng saat ini sudah jarang dilakukan
dan dianggap kuno. Padahal pembacaan dongeng
merupakan sarana untuk menyampaikan nilai-nilai
kehidupan (moral, social, dll) sehingga dapat
berpengaruh terhadap tumbuh kembang karakter
anak. melalui pembacaan dongeng yang diterapkan
dalam pembelajaran baik di sekolah ataupun di
rumah sangat berperan penting dalam membentuk
karakter anak (Zulfitria, Dewi and Khanza, 2020).
Berikut ini Langkah-langkah yang bisa dilakukan
dalam menggunakan media pembacaan dongeng:

89
a. Guru memilih dongeng yang akan diajarkan
kepada siswa yang sesuai dengan tema. Guru juga
bisa membuat memodifikasi dongeng (misalnya
dengan mengganti tokoh) sesuai dengan
kreativitas yang dimiliki guru.
b. Guru membagi siswa ke dalam kelompok sesuai
dengan kebutuhan dan isi dongeng.
c. Guru memberi contoh terlebih dahulu mengenai
cara pembacaan dongeng dan cara pementasan
dongeng serta membagi naskah dan tokoh yang
akan diperankan oleh siswa.
d. Siswa diminta mempraktikkan sesuai dengan
arahan guru.
e. Guru mengakhiri sesi pembacaan dongeng dan
mengambil serta mempelajari nilai-nilai yang
terkandung di dalam dongeng.
f. Guru menjelaskan keterkaitan dongeng dengan
tema kompetensi dasar dan dalam kehidupan
sehari-hari.
g. Guru meminta pesan dan kesan terkait dongeng
yang telah dipelajari.
h. Guru bersama siswa dapat menyimpulkan
pembelajaran dan mengakhiri kelas (Munawarah
and Dkk, 2021).

Media Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di


Era Digital
Media pembelajaran merupakan suatu sarana prasarana
Pendidikan yang digunakan oleh pendidik dan juga
peserta didik yang bertujuan untuk mempermudah
mempelajari atau memahami suatu ilmu pengetahuan.
Penggunaan media pembelajaran ini tentunya mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Pada era digital
seperti sekarang ini, penggunaan media pembelajaran
menjadi lebih meluas lagi dan merambah pada kancah
kecanggihan teknologi.

90
Kecanggihan teknologi sekarang ini telah melahirkan
inovasi-inovasi baru seperti aplikasi-aplikasi
pembelajaran yang bisa digunakan oleh pendidik dan juga
peserta didik untuk lebih bisa memahami suatu
pelajaran. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aplikasi
yang bisa digunakan untuk pembelajaran terkhusus
pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia (Setiana et al.,
2021):
1. Aplikasi Poetry
Merupakan aplikasi media pembelajaran yang berisi
fitur-fitur untuk memudahkan peserta didik dalam
memahami puisi. Materi puisi pada aplikasi ini
dikelompokkan secara rinci dan bisa sekaligus
menjawab soal-soal latihan secara digital.
2. Aplikasi Messi
Lebih kompleks lagi, aplikasi ini berisikan materi
unsur-unsur pembangun puisi yang dilengkapi
dengan rangkuman, Latihan soal beserta kunci
jawaban, dan disertai juga dengan cara melakukan
analisis terhadap puisi.
3. Aplikasi Teprodiwa
Aplikasi ini berisikan materi tentang teks eksplanasi
yang dijelaskan secara rinci, mulai dari ciri-ciri,
struktur teks dan kaidah kebahasaan serta cara
Menyusun teks eksplanasi.
4. Aplikasi Marbel Teksi
Aplikasi ini bertujuan untuk memudahkan peserta
didik dalam memahami teks deskripsi. Aplikasi ini
berisikan materi-materi teks deskripsi secara lengkap
hingga kepada Latihan soal sebagai bentuk
evaluasinya.
Secara keseluruhan, aplikasi ini diciptakan untuk
memudahkan peserta didik dalam mengakses ilmu
pengetahuan seputar Bahasa dan sastra Indonesia.
Dengan adanya aplikasi-aplikasi ini, dapat dipahami
bahwa dunia teknologi tidak hanya bergelut dalam satu
bidang saja tetapi kehadirannya ternyata sangat

91
dirasakan manfaatnya dalam berbagai bidang, terkhusus
dalam mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia.
Untuk itu, sebagai seorang pendidik diharapkan kita
mampu untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi
yang ada, mempelajari hal-hal baru, sehingga kita mampu
dan siap bersanding dengan tantangan dunia digital
seperti sekarang ini.

92
Daftar Pustaka

Hayati, N. A. J. H. & E. (2021) Media Pembelajaran Bahasa


dan Sastra Indonesia dan Teknologi Informasi,
Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–
952.
Indonesia, B., Mekkah, U. S. and Siswa, P. K. (2018)
‘Inovasi Media Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia dalam Peningkatan Kreatifitas Siswa SMP
Islam Banda Aceh’, V(2), pp. 7–12.
Munawarah, F. H. and Dkk (2021) ‘Model dan Media
Pembelajaran Bahasa Indonesia SD’, p. 153. Available
at: https://id.id1lib.org/book/19085128/99ed68.
Riyanti, A. and Setyami, I. (2017) ‘Penggunaan Media
Pembelajaran Sastra Bagi Guru Bahasa Indonesia’,
RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya, 10(2), p. 106. doi:
10.26858/retorika.v10i2.4881.
Setiana, L. N. et al. (2021) ‘Inovasi Media Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Pendidikan Abad
21’, Prosiding Seminar …, pp. 364–367.
Zulfitria, Dewi, H. I. and Khanza, M. (2020) ‘Karakter
Siswa Putr.Pdf’, Instruksional, 2(1), pp. 56–63.

93
7
PENILAIAN PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Eka Rihan K., M.Pd.


STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau

Hakikat Penilaian Pembelajaran

A. Pengertian Penilaian
Penilaian menurut bahasa yaitu proses menentukan
nilai suatu objek dan untuk menentukan nilai atau
harga suatu objek diperlukan adanya ukuran atau
kriteria. Misalnya untuk mengatakan baik, sedang,
kurang, diperlukan adanya ketentuan atau ukuran
yang jelas bagaimana yang baik, yang sedang dan
yang kurang. Ukuran itu dinamakan kriteria. Ciri
penilaian yaitu adanya objek atau program yang
dinilai dan adanya kriteria sebagai dasar untuk
membandingkan antara kenyataan atau apa adanya
dengan kriteria atau apa harusnya. Perbandingan
dapat bersifat mutlak, dapat pula bersifat relatif.
Perbandingan bersifat mutlak artinya hasil
perbandingan tersebut menggambarkan posisi objek
yang dinilai ditinjau dari kriteria yang berlaku.
Sedangkan perbandingan bersifat relatif artinya hasil
perbandingan lebih menggambarkan posisi suatu
objek yang dinilai terhadap objek lainnya dengan
bersumber pada kriteria yang sama.
Inti penilaian adalah proses memberikan atau
menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan
suatu kriteria tertentu.

95
Proses pemberian nilai tersebut berlangsung dalam
bentuk interpretasi yang diakhiri dengan judgment.
Interpretasi dan judgment merupakan tema penilaian
yang mengimplikasikan adanya suatu perbandingan
antara kriteria dan kenyataan dalam konteks situasi
tertentu. Atas dasar itu maka dalam kegiatan
penilaian selalu ada objek atau program, ada kriteria,
dan ada interpretasi atau judgment. Penilaian
pembelajaran adalah proses pemberian nilai terhadap
proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan
kriteria tertentu. Sedangkan penilaian hasil belajar
adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil
belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu.
Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya
adalah hasil belajar siswa, begitu juga halnya dengan
penilaian pembelajaran pada hakikatnya yang
menjadi objek yang dinilai adalah proses
pembelajaran. Hasil belajar siswa pada hakikatnya
adalah perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah
laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas
mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotoris.
Oleh sebab itu, dalam penilaian hasil belajar, peranan
tujuan pembelajaran yang berisi rumusan
kemampuan dan tingkah laku yang diinginkan
dikuasai siswa menjadi unsur penting sebagai dasar
dan acuan penilaian.
Penilaian pembelajaran atau penilaian proses
pembelajaran adalah upaya memberi nilai terhadap
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa
dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran.
Proses penilaian ini dilihat sejauh mana keefektifan
dan efisiennya dalam mencapai tujuan pengajaran
atau perubahan tingkah laku siswa. Oleh sebab itu,
penilaian hasil dan proses belajar mengajar saling
berkaitan satu sama lain sebab hasil merupakan
akibat dari proses.
B. Jenis Penilaian
Jenis penilaian berdasarkan fungsinya, yaitu
penilaian formatif, penilaian sumatif, penilaian
diagnostik, penilaian selektif, dan penilaian

96
penempatan. Penilaian formatif adalah penilaian yang
dilaksanakan pada akhir program belajar mengajar
untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar
mengajar itu sendiri. Dengan demikian, penilaian
formatif berorientasi kepada proses belajar mengajar
dan diharapkan guru dapat memperbaiki program
pengajaran serta strategi pelaksanaannya.
Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan
pada akhir unit program, yaitu akhir semester dan
akhir tahun. Tujuannya untuk melihat hasil yang
dicapai para siswa, yakni seberapa jauh tujuan-
tujuan kurikuler dikuasai oleh para siswa. Penilaian
ini berorientasi kepada produk, bukan kepada proses.
Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan
untuk melihat kelemahan-kelemahan siswa serta
faktor penyebabnya. Penilaian ini dilaksanakan untuk
keperluan bimbingan belajar, pengajaran remedial,
menemukan kasus-kasus, dan lain-lain. Soal-soal
tentunya disusun agar dapat ditemukan jenis
kesulitan belajar yang dihadapi oleh para siswa.
Penilaian selektif adalah penilaian yang bertujuan
untuk keperluan seleksi, misalnya ujian saringan
masuk ke lembaga pendidikan tertentu. Penilaian
penempatan adalah penilaian yang ditujukan untuk
mengetahui keterampilan prasyarat yang diperlukan
bagi suatu program belajar dan penguasaan belajar
seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan
belajar untuk program itu. Penilaian ini berorientasi
pada kesiapan siswa untuk menghadapi program
baru dan kecocokan program belajar dengan
kemampuan siswa.
Penilaian hasil belajar dari segi alatnya dapat
dibedakan menjadi tes dan bukan tes (nontes). Tes ini
ada yang diberikan secara lisan (menuntut jawaban
secara lisan), ada tes tulisan (menuntut jawaban
secara tulisan), dan ada tes tindakan (menuntut
jawaban dalam bentuk perbuatan). Soal-soal tes ada
yang disusun dalam bentuk objektif, ada juga yang
bentuk esai atau uraian.

97
Sedangkan bukan tes sebagai alat penilaian
mencakup observasi, kuesioner, wawancara, skala,
sosiometri, studi kasus, dll.
Tes hasil belajar ada yang sudah dibakukan
(standardized tests), ada pula yang dibuat guru, yakni
tes yang tidak baku. Pada umumnya penilaian hasil
belajar di sekolah menggunakan tes buatan guru
untuk semua bidang studi. Tes baku, sekalipun lebih
baik daripada tes buatan guru masih sangat langka
sebab membuat tes baku memerlukan beberapa kali
percobaan dan analisis dari segi reliabilitas dan
validitasnya. Di samping itu tes sebagai alat penilaian
hasil belajar ada yang sifatnya speed test
(mengutamakan kecepatan), dan ada pula yang
sifatnya power test (mengutamakan kekuatannya).
Tes objektif pada umumnya termasuk ke dalam speed
test, sedangkan tes esai termasuk ke dalam power
test. Dilihat dari objek yang dinilai atau penyajiannya
ada tes yang bersifat individual dan tes yang bersifat
kelompok.
Alat penilaian berupa tes dapat dibagi menjadi: Tes
Lisan berupa tes lisan individual dan tes lisan
kelompok, tes tulisan berupa tes esai berstruktur,
bebas dan terbatas. Kemudian tes tulisan berupa tes
objektif benar-salah, menjodohkan, isian pendek dan
pilihan berganda. Tes tindakan berupa tes tindakan
individual dan tes tindakan kelompok.
Alat penilaian berupa nontes dapat berupa observasi
langsung, observasi tidak langsung, observasi
partisipasi, kuesioner atau wawancara berstruktur
dan tidak berstruktur, skala penilaian, skala sikap,
skala minat, sosiometri, studi kasus, checklist.
C. Sistem Penilaian
Cara yang digunakan dalam menentukan derajat
keberhasilan hasil penilaian sehingga kedudukan
siswa dapat diketahui apakah telah menguasai tujuan
pembelajaran atau belum disebut dengan sistem
penilaian. Beberapa cara dapat dilakukan dalam
penilaian hasil dan proses belajar.

98
Cara pertama menggunakan sistem huruf, yakni A, B,
C, D dan G (Gagal). Biasanya ukuran yang digunakan
adalah A paling tinggi, paling baik, atau sempurna; B
baik; C sedang atau cukup; dan D kurang. Cara kedua
ialah dengan sistem angka yang menggunakan
beberapa standar. Dalam standar empat, angka 4
setara dengan A, angka 3 setara dengan B, angka 2
setara dengan C, dan angka 1 setara dengan D. ada
juga standar 10, yakni menggunakan rentangan
angka dari 1-10. Bahkan ada juga yang menggunakan
rentangan 1-100. Cara mana yang dipakai tidak jadi
masalah asal konsisten dalam pemakaiannya.
Sistem penilaian hasil belajar pada umumnya
dibedakan dua sistem, yakni penilaian acuan norma
(PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP). Penilaian
Acuan Norma (PAN) adalah penilaian yang diacukan
kepada rata-rata kelompoknya. Dengan demikian
dapat diketahui posisi kemampuan siswa di dalam
kelompoknya. Untuk itu norma atau kriteria
digunakan dalam menentukan derajat prestasi
seorang siswa, dibandingkan dengan nilai rata-rata
kelasnya. Atas dasar itu akan diperoleh tiga kategori
prestasi siswa, yakni di atas rata-rata kelas, sekitar
rata-rata kelas, dan di bawah rata-rata kelas. Dengan
kata lain, prestasi yang dicapai seseorang posisinya
sangat bergantung pada prestasi kelompoknya.
Keuntungan sistem ini adalah dapat diketahui
prestasi kelompok atau kelas sehingga sekaligus
dapat diketahui keberhasilan pengajaran bagi semua
siswa. Kelemahannya adalah kurang meningkatkan
kualitas hasil belajar. Jika nilai rata-rata kelompok
atau kelasnya rendah, misalnya skor 40 dari seratus,
maka siswa yang memperoleh nilai 45 (di atas rata-
rata) sudah dikatakan baik, atau dinyatakan lulus,
sebab berada di atas rata-rata kelas, padahal skor 45
dari maksimum skor 100 termasuk rendah.
Kelemahanya yang lain ialah kurang praktis sebab
harus dihitung dahulu nilai rata-rata kelas, apalagi
jika jumlah siswanya banyak. Sistem ini kurang
menggambarkan tercapainya tujuan pembelajaran
sehingga tidak dapat dijadikan ukuran dalam menilai

99
keberhasilan pengajaran. Demikian juga kriteria
keberhasilan tidak tetap dan tidak pasti, bergantung
pada rata-rata kelas. Dalam konteks yang lebih luas
penggunaan sistem ini tidak dapat digunakan untuk
menarik generalisasi prestasi siswa sebab rata-rata
kelompok untuk kelas yang satu berbeda dengan
kelas yang lain, sekolah yang satu akan berbeda
dengan sekolah yang lain. Dengan demikian, angka 7
untuk siswa di kelas tertentu bisa berbeda maknanya
dengan angka 7 di kelas yang lain. Oleh sebab itu,
sistem penilaian ini tepat digunakan dalam penilaian
formatif, bukan untuk penilaian sumatif. Sistem
penilaian acuan norma disebut standar relatif.
Penilaian acuan patokan (PAP) adalah penilaian yang
diacukan pada tujuan pembelajaran yang harus
dikuasai oleh siswa. Dengan demikian, derajat
keberhasilan siswa dibandingkan dengan tujuan yang
seharusnya dicapai, bukan dibandingkan dengan
rata-rata kelompoknya. Biasanya keberhasilan siswa
ditentukan kriterianya, yakni berkisar antara 75-80
persen. Artinya, siswa dikatakan berhasil apabila ia
menguaai atau dapat mencapai sekitar 75-80 persen
dari tujuan atau nilai yang seharusnya dicapai.
Kurang dari kriteria tersebut dinyatakan belum
berhasil. Misalnya diberikan soal atau pertanyaan
sebanyak 50 pertanyaan. Setiap pertanyaan yang
dijawab benar diberikan angka atau skor satu
sehingga maksimal skor yang dicapai adalah 50.
Kriteria keberhasilannya 80 persen artinya harus
mencapai skor 40. Siswa yang mendapat skor 40 ke
atas dinyatakan berhasil dan yang kurang dari 40
dinyatakan gagal. Sistem penilaian ini mengacu
kepada konsep belajar tuntas atau mastery learning.
Sudah barang tentu makin tinggi kriteria yang
digunakan, makin tinggi pula derajat penguasaan
belajar yang dituntut dari para siswa sehingga makin
tinggi kualitas hasil belajar yang diharapkan. Dalam
sistem ini guru tidak perlu menghitung rata-rata kelas
sebab kriterianya sudah pasti. Sistem penilaian ini
tepat digunakan untuk penilaian sumatif dan
dipandang merupakan usaha peningkatan kualitas

100
pendidikan. Dalam sistem ini bisa terjadi semua siswa
gagal atau tidak lulus karena tidak ada seorang pun
siswa yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Situasi ini tidak mungkin ditentukan pada sistem
penilaian acuan norma. Sistem penilaian acuan
patokan disebut standar mutlak.
D. Fungsi Penilaian
Penilaian berfungsi sebagai: (a) alat untuk mengetahui
tercapai tidaknya tujuan pembelajaran, maka
penilaian harus mengacu kepada rumusan-rumusan
tujuan pembelajaran, (b) umpan balik bagi perbaikan
proses belajar mengajar. Perbaikan ini dilakukan
dalam hal tujuan pembelajaran, kegiatan belajar
siswa, strategi mengajar guru, dan lain-lain, (c) dasar
dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa
kepada orang tuanya. Kemampuan dan kecakapan
belajar siswa dalam berbagai bidang studi dalam
bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya
dikemukakan dalam laporan tersebut.
Tujuan penilaian adalah untuk: (a) mendeskripsikan
kecakapan belajar para siswa sehingga dapat
diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam
berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang
ditempuhnya. Kemudian dengan pendeskripsian
kecakapan tersebut dapat diketahui pula posisi
kemampuan siswa dibandingkan dengan siswa
lainnya. (b) mengetahui keberhasilan proses
pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni seberapa
jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku
para siswa ke arah tujuan pendidikan yang
diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pengajaran
penting artinya mengingat peranannya sebagai upaya
memanusiakan atau membudayakan manusia, dalam
hal ini para siswa agar menjadi manusia yang
berkualitas dalam aspek intelektual, sosial,
emosional, moral dan keterampilan. (c) menentukan
tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan
perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program
Pendidikan dan pengajaran serta strategi
pelaksanaannya.

101
Kegagalan para siswa dalam hasil belajar yang
dicapainya hendaknya tidak dipandang sebagai
kekurangan pada diri siswa semata-mata, tetapi juga
bisa disebabkan oleh program pengajaran yang
diberikan kepadanya atau oleh kesalahan strategi
dalam melaksanakan program tersebut. Misalnya
kekurangtepatan dalam memilih dan menggunakan
metode mengajar dan alat bantu pengajaran. (d)
memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari
pihak sekolah kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Pihak yang dimaksud meliputi
pemerintah, masyarakat, dan para orang tua siswa,
dalam mempertanggungjawabkan hasil-hasil yang
telah dicapainya, sekolah memberikan laporan
berbagai kekuatan dan kelemahan pelaksanaan
sistem pendidikan dan pengajaran serta kendala yang
dihadapinya. Laporan disampaikan kepada pihak
yang berkepentingan, misalnya Kanwil Depdikbud,
melalui petugas yang menanganinya. Sedangkan
pertanggungjawaban kepada masyarakat dan orang
tua disampaikan melalui laporan kemajuan belajar
siswa (raport) pada setiap akhir program semester.

Penilaian Keterampilan Berbahasa Lisan

Penilaian keterampilan berbahasa lisan ini dilakukan


salah satunya dalam bentuk guru mengajukan
pertanyaan secara lisan dan siswa pun memberikan
jawaban lisan. Kebaikan tes lisan antara lain (1) dapat
digunakan untuk mengukur kompetensi dasar yang
berkaitan dengan aspek berbicara, baik dalam
kemampuan berbahasa maupun dalam kemampuan
bersastra, seperti berdongeng, berpantun, menceritakan
pengalaman, dan sebagainya, (2) dapat digunakan untuk
mengetahui kemampuan berbahasa siswa dalam hal lafal,
tekanan dan intonasi. Hasil tes lisan dapat dijadikan
sebagai umpan balik untuk menyempurnakan cara
mengajarkan materi tertentu sesuai dengan aspek
berbahasa, dan (3) dapat digunakan untuk mengukur
kemampuan berbahasa siswa secara spontan atau secara

102
ekstemporan. Artinya, dengan menyiapkan garis besar
siswa dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Disampimg kebaikannya, tes lisan memiliki kelemahan.
Kelemahan tersebut antara lain (1) memerlukan banyak
waktu. Tes ini dilakukan secara perorangan. Oleh karena
itu memerlukan waktu yang relatif lebih banyak, (2) guru
memerlukan banyak soal karena setiap siswa akan
diberikan soal yang berbeda atau variasi kalimat yang
berbeda. Untuk mengurangi kelemahan tes lisan yakni (1)
pertanyaan dapat diulang dengan kata-kata lain bila
diperlukan, misalnya siswa kurang memahami
pertanyaan dengan kalimat tertentu, (2) guru dapat
memanfaatkan tes lisan untuk memperoleh informasi
psikologis yang penting, meskipun tujuan utama tes
tersebut untuk memperoleh data tentang kompetensi
belajar, (3) guru dapat memanfaatkan tes lisan kepada
siswa yang mengalami kesulitan membaca, (4) usahakan
memiliki kata kunci dan jawaban yang diinginkan, (5) tes
lisan kurang efektif dilakukan untuk siswa yang
mengalami kesulitan di dalam berbicara.
Pelaksanaan tes lisan melibatkan dua pihak, yakni pihak
yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang menjawab
pertanyaan. Untuk kepentingan evaluasi, pihak yang
mengajukan pertanyaan adalah guru dan pihak yang
menjawab pertanyaan adalah siswa. Komunikasi lisan
antara guru dengan siswa dapat berlangsung dengan
akrab dan dapat pula menegangkan. Biasanya, situasi
ujian akan menimbulkan ketegangan di dalam diri siswa.
Oleh sebab itu, tidak tertutup kemungkinan siswa tidak
dapat menjawab pertanyaan guru akibat situasi ujian,
tidak karena kompetensi siswa. Untuk mengatasi
ketegangan siswa dalam ujian atau tes lisan guru
diharapkan dapat menciptakan suasana tenang.
Ketenangan dapat dimulai dengan sikap keakraban dari
guru. Mulailah dengan pertanyaan yang sifatnya belum
mengarah pada soal ujian, misalnya menanyakan
kesehatannya. Setelah guru merasakan bahwa siswa
sudah siap dengan situasi ujian, guru mulai mengajukan
pertanyaan ujian.

103
Soal-soal yang diajukan dimulai dengan soal mudah
menuju soal yang sedang, dan baru meningkat
mengajukan pertanyaan yang sukar.
Jenis tes menyimak dapat digunakan juga untuk
keterampilan bahasa lisan. Tujuan tes menyimak (1)
memberikan petunjuk kelemahan atau ketelitian siswa
dalam mengungkapkan bahasa lisan, (2) memberikan
petunjuk kesulitan siswa dalam menangkap materi
pelajaran yang dilisankan. Kebaikan tes menyimak (1)
dapat digunakan untuk menguji kemampuan siswa dalam
mengucapkan, melakukan atau menulis bahasa yang
disimakkan, (2) tidak memerlukan waktu banyak, (3) tidak
banyak menggunakan alat dan biaya, (4) dapat dilakukan
secara praktis dan efisien sebab dapat digunakan untuk
menguji bunyi bahasa, tata bahasa, kosa kata, atau
penerapan ejaan yang tepat, (5) mendorong siswa
membiasakan diri menangkap dan melakukan yang
dikatakan orang secara tepat. Bentuk tes menyimak ini
misalnya menguji penangkapan bahasa yang mirip
bunyinya tetapi berbeda maknanya. Hal ini akan lebih
tepat jika diterapkan dalam kalimat. Bentuk lain berupa:
perangkat kata yang berdiri sendiri, kata dalam hubungan
dengan pemakaiannya dalam kalimat, memparafrasekan
puisi yang dilisankan, paragraf yang dibacakan,
mengidentifikasi kalimat topik suatu paragraf,
merangkum, dan lain-lain. Jenis tes ini perlu disesuaikan
dengan tujuan pengajaran yang dicanangkan dan materi
pelajaran, serta usia anak didik atau jenjang sekolah.
Komponen keterampilan berbicara meliputi (1)
penggunaan bahasa lisan, yang berfungsi sebagai media
pembicaraan, meliputi kosakata, struktur bahasa, lafal
dan intonasi, ragam bahasa, dan sebagainya, (2)
penggunaan isi pembicaraan, yang tergantung pada apa
yang menjadi topik pembicaraan, (3) penguasaan teknik
dan penampilan berbicara, yang disesuaikan dengan
situasi dan jenis pembicaraan, seperti bercakap-cakap,
berpidato, bercerita, dan sebagainya. Penguasaan teknik
dan penampilan ini penting sekali pada jenis-jenis
berbicara formal, seperti berpidato, berceramah, atau
berdiskusi.

104
Ujian berbicara adalah metode evaluasi sekaligus teknik
pengukuran yang utama untuk mengumpulkan informasi
mengenai kemampuan seseorang (siswa) dalam
keterampilan berbicara. Informasi ini kemudian dipakai
untuk menentukan nilai keterampilan berbicara siswa.
Berdasarkan nilai itu diambillah keputusan yang
diperlukan. Pada umumnya (Sebagian besar) ujian
berbicara bukan hanya ujian lisan melainkan juga ujian
penampilan, yakni ujian lisan atau perbuatan atau
penampilan lisan. Ini berarti bahwa yang dinilai bukan
hanya hasil tetapi juga perbuatan berbicara, yakni
pembicaraan itu. Untuk itu teknik ujian ini dibantu oleh
teknik observasi: penguji mengamati (bukan hanya
mendengarkan) bagaimana teruji (testee) berbicara. Ini
berlaku pada ujian berbicara yang dilakukan secara
langsung (direct oral performance testing).
Sebagai ujian keterampilan terpadu, ujian berbicara
memadukan sejumlah komponen untuk dijadikan
sasaran ujian, yakni: (1) bahasa lisan yang digunakan,
meliputi lafal dan intonasi, kosa kata dan pilihan kata,
struktur bahasa, gaya bahasa dan pragmatik, (2) isi
pembicaraan meliputi hubungan topik dan pembicaraan
dengan isi, struktur isi, kualitas isi, kuantitas isi (ini
berlaku pada pembicaraan tertentu di bidang ilmu
misalnya), (3) teknik dan penampilan antara lain meliputi:
tata cara sesuai dengan jenis berbicaranya, gerak-gerik
dan mimik, volume suara (ini berlaku pada beberapa jenis
berbicara seperti berpidato). Komponen-komponen
tersebut tidak sama pada setiap jenis ujian berbicara. Ada
yang ditambah dan ada yang dikurangi. Banyak sekali
teknik (cara) pelaksanaan ujian berbicara ini dari berbagai
segi.
Berbicara dari segi jenis berbicara yang digunakan, ujian
keterampilan berbicara dilaksanakan dengan
menggunakan teknik berbicara, teknik tanya jawab,
teknik wawancara, teknik diskusi, teknik debat, teknik
bermain peran, teknik berbicara, teknik berpidato, teknik
berceramah, teknik laporan (eksposisi), teknik
membacakan (membaca nyaring). Berbicara dari segi
kontak pembicara-pendengar, berbicara dilaksanakan

105
dengan teknik satu arah (pendengar tidak ikut berbicara),
teknik dua arah atau multi arah (seperti pada tanya jawab
dan diskusi). Berbicara dari segi kontak pembicara-
penguji, berbicara dengan teknik langsung atau teknik
tidak langsung (direkam). Berbicara dari segi kesiapan
pembicara maka berbicara dilakukan dengan teknik
bicara spontan dan teknik bicara dengan persiapan
dengan cara tidak membacakan dan dengan cara
membacakan.
Praktik penilaian teknik ujian berbicara yang biasa
digunakan didasarkan pada jenis keterampilan berbicara
yang digunakan atau diujikan kemudian selanjutnya
dilengkapi dengan klasifikasi lain, misalnya ujian
berbicara teknik berpidato satu arah, langsung dan
spontan. Contoh ujian berbicara pada kesempatan ini
dengan menggunakan teknik berpidato satu arah,
langsung, spontan atau tanpa teks. Prosedur ujian terdiri
dari persiapan, dimaksudkan untuk menyusun rencana
dan membuat instrumen, pelaksanaan dan skoring, yang
berlangsung secara simultan. Artinya siswa berpidato dan
guru mencatat skornya yang berlangsung pada waktu
bersamaan. Hal ini tidak berlaku untuk teknik tidak
langsung (direkam). Pada gilirannya nanti, skor-skor itu
diolah menjadi nilai dan diambillah keputusan,
penyusunan instrumen ujian (tahap persiapan), yang perlu
dipersiapkan untuk ujian ini antara lain lembaran soal
(tugas), pedoman skoring dan penilaian, deskripsi kriteria.
Contoh skala penilaian pada uji keterampilan berbicara
jenis pidato dapat dilihat pada tabel berikut.

106
SKALA PENILAIAN
UJI KETERAMPILAN BERBICARA JENIS PIDATO
No. Peserta/Nama Siswa: _____________________
Komponen yang dinilai Skala Penilaian Bobot Skor
Bahasa pidato: 5 4 3 2 1
Lafal dan Intonasi 2
Pilihan Kata 1
Struktur Kata 3
Gaya Bahasa dan 1
Pragmatik
Isi pidato:
Hubungan Isi-Topik 3
Struktur Isi 1
Kuantitas Isi 1
Kualitas Isi 1
Penampilan:
Gerak-gerik & Mimik 1
Hubungan dengan 2
pendengar 1
Volume suara 2
Jalannya pidato

Penilaian Keterampilan Berbahasa Tulisan

Pada prinsipnya ujian mengarang/menulis merupakan


tes yang dilakukan dengan cara pengikut ujian
berkesempatan menyusun dan mengemukakan pendapat,
pandangan, perasaaan, pengetahuannya dalam rangka
menjawab masalah yang diajukan oleh penguji. Ada dua
metode yang sering dipergunakan untuk mengetahui
keterampilan menulis atau mengarang para siswa.
Pertama, metode langsung atau ujian mengarang bentuk
esai (uraian/bebas). Kedua, metode tidak langsung atau
ujian mengarang bentuk objektif.
Ujian mengarang bentuk esai atau metode langsung
dilaksanakan dengan cara penguji langsung menyuruh
siswa atau peserta tes menulis atau menyusun karangan
dengan menggunakan kata-kata sendiri secara bebas
sesuai dengan ide atau perasaannya sejalan dengan topik
atau judul karangan tertentu. Topik atau judul ini ada
yang dibimbing dengan beberapa persyaratan tertentu

107
dan ada pula yang hanya ditentukan tema karangannya
saja.
Keunggulan tes menulis dengan metode langsung: (1)
dapat mengukur kemampuan tertentu, misalnya
kemampuan menyusun, menghubungkan, serta
menggunakan bahan yang diperlukan dalam mengarang
secara lebih efektif, (2) pengikut ujian berusaha
Menyusun karangannya sebaik-baiknya sesuai dengan
ide dan perasaaan yang dimilikinya, (3) mudah dan cepat
menyusun soal. Kelemahan metode langsung: (1) pengikut
dapat menghindarkan diri dari kekurangannya, misalnya
kekurangan atas penguasaan pola-pola bahasa atau
penguasaan kosa kata yang dirasakan sukar. Oleh karena
itu, metode langsung tidak dapat menggali kemampuan
menulis yang sebenarnya, (2) soal ujian kurang terpercaya
sebab isi/jawaban berbeda-beda, (3) penskoran
memerlukan waktu yang banyak dan hasilnya bersifat
subjektif.
Penskoran dan penilaian metode langsung dapat
mengkuti pedoman penskoran dari International
Association for Evaluation of Educational Achievement
Study of Achievement in Written Composition: Manual and
Scoring Guide. Uraian pedoman penilaiannya berupa: (1)
kualitas dari ruang lingkup gagasan, yaitu dimensi yang
difokuskan pada kesan terhadap isi karangan yang harus
diungkapkan oleh siswa, (2) organisasi dan penyajian isi,
yaitu bagaimana seorang siswa menyusun bahan
karangan, baik secara keseluruhan maupun perparagraf,
(3) gaya nada, yaitu penilaian tentang penggunaan kata,
frase, struktur kalimat, dan unit yang lebih luas, dan
kesan apakah siswa tersebut telah menggunakan
bahasanya secara efektif sesuai dengan tujuan dan
konteks dari tugas yang harus dikerjakannya, (4)
gramatikal, yaitu termasuk ciri-ciri kata dan tata kalimat
yang menyatakan penguasaan siswa terhadap kaidah
(bahasa yang benar), (5) ejaan dan aturan penulisan, yaitu
termasuk penggunaan tanda-tanda baca yang dapat
dilihat dan yang dikuasai siswa, (6) tulisan tangan dan
kerapian, yaitu untuk menyatakan kesan terhadap
bentuk karangan secara fisik dengan mengingat

108
terbatasnya waktu dalam menulis, (7) respons penilai,
yaitu memberi kesempatan untuk menyatakan minat
terhadap karya siswa tersebut.
Tes menulis dengan metode tidak langsung atau ujian
mengarang bentuk objektif adalah cara mengukur
keterampilan menulis atau mengarang dengan
menggunakan tes bentuk objektif, misalnya bentuk
pilihan berganda. Hasilnya dipergunakan untuk
memperkirakan keterampilan menulis yang sebenarnya.
Tes demikian disebut juga tes dasar menulis (writing
ability). Tes bentuk ini menguji unsur-unsur dasar dalam
mengarang. Keunggulan tes mengarang dengan metode
tidak langsung: (1) soal ujian lebih terpercaya, (2) pengikut
ujian tidak bisa menghindarkan diri dari kelemahan yang
ada padanya, (3) penilaian lebih objektif sebab semua
jawaban peserta ujian tinggal disamakan saja dengan
kunci jawaban.
Bentuk ujian metode tidak langsung misalnya: (1) ujian
tata bahasa dan gaya bahasa meliputi kesesuaian subjek
dengan bentuk kata kerja dalam kalimat, kesejajaran
bentuk kata dalam kalimat yang panjang, penggunaan
kata sifat dalam kalimat, pemakaian kata ganti,
penggunaan kata tugas, memperbaiki kesalahan bahasa,
melengkapi kalimat, membetulkan kalimat yang salah, (2)
ujian kemampuan menyusun isi karangan, menyusun
kalimat menjadi paragraf yang tepat atau yang padu, (3)
ujian ejaan dan tanda-tanda baca, misalnya ujian
kemampuan menggunakan ejaan dan tanda baca, ujian
kemampuan penulisan kata sesuai dengan ejaan yang
berlaku.

109
Daftar Pustaka

Djumingin, Sulastriningsih. (2017). Penilaian


Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Teori dan
Penerapannya. Makassar: Badan Penerbit Universitas
Negeri Makassar.
Hidayat, Kosadi. (1994). Evaluasi Pendidikan dan
Penerapannya dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.
Bandung: Alfabeta.
Magdalina, Ina. (2021). Evaluasi Pembelajaran Bahasa
Indonesia secara Daring Materi Menulis Karangan
Narasi Kelas V SDN Karangharja 1. BINTANG : Jurnal
Pendidikan dan Sains, 3(1), 164-176
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/bintang
Putria, H., Maula, L. H., & Uswatun, D. A. (2020). Analisis
Proses Pembelajaran dalam Jaringan (DARING) Masa
Pandemi Covid- 19 Pada Guru Sekolah Dasar. Jurnal
Basicedu, 4(4), 861–870.
https://doi.org/10.31004/basicedu.v4i4.460
Sinaga, Mangatur. (2006). Evaluasi Pengajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia. Pekanbaru: Unri Press.
Sudjana, Nana. (2008). Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

110
8
PELAFALAN DAN PENULISAN
LAMBANG BAHASA YANG BENAR

Rina Devianty, S.S., M.Pd.


Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Fonologi Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar yang


digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari baik lisan
maupun tulisan. Penggunaan bahasa Indonesia tersebut
digunakan dalam situasi berbahasa, baik formal maupun
nonformal. Untuk penggunaan bahasa Indonesia yang
formal, ada kaidah atau aturan yang harus diperhatikan,
seperti penggunaan huruf, tanda baca, penulisan kata
yang harus sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (PUEBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Untuk penggunaan bahasa Indonesia nonformal,
kaidah-kaidah tersebut tidak begitu diterapkan. Dalam
komunikasi nonformal, jika komunikasi bisa dipahami
oleh pembicara dan pendengar, maka dianggap sudah
komunikasi yang baik.
Bahasa bukan hanya digunakan dalam bahasa lisan,
melainkan juga digunakan dalam bahasa tulisan.
Menurut Daeng, dkk (2017:4), bahasa tulisan merupakan
keterampilan berbahasa aktif yang digunakan untuk
menyampaikan suatu informasi secara tidak langsung
kepada pembacanya. Bahasa tulisan bisa direalisasikan
dengan kegiatan menulis sehingga Tarigan (2008:3) juga
mengungkapkan ”menulis adalah salah satu keterampilan
berbahasa yang produktif dan ekspresif yang
dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak

113
langsung dan tidak secara tatap muka dengan pihak lain”.
Bahasa tulis memiliki hubungan atau keterkaitan satu
sama lain dari segi penyampaian makna dalam suatu
karya tulis. Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan
benar bukan hanya dari penggunaan kata-katanya yang
baku atau sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia
melainkan lafal atau pengucapannya juga baku. Lafal
yang baku adalah lafal yang tidak terpengaruh dengan
lafal bahasa daerah, seperti bahasa Batak, Sunda,
Ambon, dan lain-lain serta bahasa asing, seperti bahasa
Inggris, Arab, Cina, dan lain-lain.
Dalam berkomunikasi lisan, penggunaan bahasa
Indonesia masih sering tidak sesuai pengucapannya. Hal
ini terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari masih
banyak masyarakat pengguna bahasa yang
berkomunikasi lisan menggunakan bahasa Indonesia
tetapi dengan aksen atau logat bahasa daerahnya. Hal ini
disebabkan sebagian besar bangsa Indonesia
memosisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua
sedangkan bahasa pertamanya adalah bahasa ibu atau
daerahnya masing-masing. Bahasa Indonesia hanya
digunakan dalam komunikasi tertentu saja, seperti
pertemuan ilmiah, kegiatan belajar mengajar, surat
menyurat, dan sebagainya.
Dalam cabang ilmu bahasa, ilmu yang membahas tentang
bunyi bahasa, termasuk cara melafalkan huruf atau
fonem dengan bahasa Indonesia dengan benar adalah
fonologi. Asal kata fonologi, terdiri dari gabungan
kata fon yang berarti bunyi dan logi yang berarti
ilmu. Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah fonologi
merupakan turunan kata dari bahasa Belanda,
yaitu fonologie. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim
diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang
mempelajari, membahas, membicarakan, dan
menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh
alat-alat ucap manusia. Namun, bunyi yang dipelajari
dalam fonologi adalah bunyi bahasa yang dapat
membedakan arti dalam bahasa lisan ataupun tulisan
yang digunakan oleh manusia. Bunyi yang dipelajari
dalam fonologi disebut dengan istilah fonem.

114
Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan bunyi atau
fonem bahasa dan distribusinya. Fonologi diartikan
sebagai kajian bahasa yang mempelajari tentang bunyi-
bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia.
Bidang kajian fonologi adalah bunyi bahasa sebagai
satuan terkecil dari ujaran dengan gabungan bunyi yang
membentuk suku kata.
1. Pengertian Fonologi Menurut Para Ahli
Menurut Abdul Chaer (2003:102), istilah fonologi
secara etimologi dibentuk dari kata fon yang
bermakna bunyi dan logi yang berarti ilmu. Jadi,
fonologi merupakan ilmu yang mempelajari bunyi-
bunyi bahasa pada umumnya. Lalu Kridalaksana
(2002), dalam Kamus Linguistik menyatakan fonologi
adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Kemudian
Verhaar (1984:36) mengatakan bahwa fonologi
merupakan bidang khusus dalam linguistik yang
mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai
dengan fungsinya untuk membedakan makna
leksikal dalam suatu bahasa. Menurut Keraf
(1984:30), fonologi ialah bagian dari tata bahasa yang
memperlajari bunyi-bunyi bahasa. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa fonologi adalah bagian tata
bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis
bunyi-bunyi bahasa sesuai dengan fungsi bahasa
secara umum.
2. Cabang Ilmu Fonologi
a. Fonetik
Fonetik yaitu ilmu bahasa yang membahas bunyi-
bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur dan
bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap.
Menurut Samsuri (1994), fonetik adalah studi
tentang bunyi-bunyi ujar. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1997), fonetik diartikan bidang
linguistik tentang pengucapan (penghasilan)
bunyi ujar atau fonetik adalah sistem bunyi suatu
bahasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa fonetik adalah ilmu bahasa yang

115
membahas bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan
alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu
dihasilkan.
Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya
bunyi bahasa itu menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:
(1) Fonetik Artikulatoris
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik
organis atau fonetik fisiologis adalah ilmu
yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-
alat bicara manusia bekerja dalam
menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana
bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
Pembahasannya antara lain meliputi masalah
alat-alat ucap yang digunakan dalam
memproduksi dalam bahasa itu, mekanisme
arus udara yang digunakan dalam
memproduksi bunyi bahasa, bagaimana
bunyi bahasa itu dibuat, mengenai klasifikasi
bahasa yang dihasilkan serta apa kriteria
yang digunakan, mengenai silabel, dan juga
mengenai unsur-unsur atau ciri-ciri
supresegmental, seperti tekanan, jeda, durasi
dan nada.
(2) Fonetik Akustik
Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa
sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam.
Objeknya adalah bunyi bahasa ketika
merambat di udara, antara lain
membicarakan: gelombang bunyi beserta
frekuensi dan kecepatannya ketika merambat
di udara, spektrum, tekanan, dan intensitas
bunyi. Juga mengenai skala desibel,
resonansi, akustik produksi bunyi, serta
pengukuran akustik itu. Kajian fonetik
akustik lebih mengarah kepada kajian fisika
daripada kajian linguistik, meskipun
linguistik memiliki kepentingan didalamnya.

116
(3) Fonetik Auditoris
Fonetik auditoris mempelajari bagaimana
bunyi-bunyi bahasa itu diterima oleh telinga,
sehingga bunyi-bunyi itu didengar dan dapat
dipahami.
Dalam hal ini tentunya pambahasan
mengenai struktur dan fungsi alat dengar,
yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana
mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu,
sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu,
kajian fonetik auditoris lebih berkenaan
dengan ilmu kedokteran, termasuk kajian
neurologi.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut, yang paling
berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik
artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan
dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa
itu dihasilkan atau diucapkan manusia.
Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan
dengan bidang fisika yang dilakukan setelah
bunyi-bunyi itu dihasilkan dan sedang merambat
di udara. Kajian mengenai frekuensi dan
kecepatan gelombang bunyi adalah kajian bidang
fisika bukan bidang linguistik. Fonetik auditoris
berkenaan dengan bidang kedokteran daripada
linguistik. Kajian mengenai struktur dan fungsi
telinga jelas merupakan bidang kedokteran.
b. Fonemik
Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas
bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi sebagai
pembeda makna. Terkait dengan pengertian
tersebut, fonemik dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997) diartikan: (1) bidang linguistik
tentang sistem fonem, (2) sistem fonem suatu
bahasa, (3) prosedur untuk menentukan fonem
suatu bahasa. Jika dalam fonetik mempelajari
berbagai macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh
alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu
dilaksanakan, maka dalam fonemik mempelajari

117
dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan,
bunyi ujaran yang manakah yang dapat
mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
Menurut Chaer (2007), fonemik mengkaji bunyi
bahasa yang berfungsi membedakan makna kata.
Misalnya, kata baru dengan fonem [b], [a], [r] dan
[u] dan kata batu dengan fonem [b], [a], [t] dan [u].
Jika dibandingkan, perbedaannya hanya pada
bunyi yang ketiga, yaitu bunyi [r] dan bunyi [t].
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda
dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /r/ dan
fonem /t/. Sebagai bidang yang berkosentrasi
dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar,
hasil kerja fonologi berguna bahkan sering
dimanfaatkan oleh cabang-cabang lingusitik yang
lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.

Lambang Tulis Bunyi Bahasa

Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap


manusia atau bunyi yang diartikan kemudian membentuk
gelombang bunyi sehingga dapat diterima oleh telinga
manusia. Karena bunyi bahasa dihasilkan oleh alat ucap
manusia, maka setiap bunyi bahasa yang bukan keluar
dari alat ucap manusia berarti bukan bunyi bahasa.
Bunyi bahasa merupakan sarana komunikasi melalui
bahasa dengan cara lisan.
1. Huruf abjad
Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia
terdiri atas huruf berikut (Kemendikbud, 2016).
Huruf Nama
Kapital Kecil
A a a
B b be
C c ce
D d de
E e e
F f ef
G g ge
H h ha

118
I i i
J j je
K k ka
L l el
M m em
N n en
O o o
P p pe
Q q ki
R r er
S s es
T t te
U u u
V v ve
W w we
X x eks
Y y ye
Z z zet

2. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam
bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, e, i, o,
dan u.
Huruf Vokal Contoh Pemakaian dalam Kata
Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir
a api padi lusa
*e enak petak sore
emas kena tipe
i itu simpan murni
o oleh kota radio
u ulang bumi ibu

Keterangan:
Untuk keperluan pelafalan kata yang benar,
tanda aksen ( ‘ ) dapat digunakan jika
ejaan kata menimbulkan keraguan.
Misalnya:
Anak-anak bermain di teras (téras).
Upacara itu dihadiri pejabat teras.
Kami menonton film seri (séri).
Pertandingan itu berakhir seri.

119
Di mana kécap itu dibuat?
Coba kecap dulu makanan itu.
3. Huruf Konsonan
Huruf yang melambangkan konsonan dalam
bahasa Indonesia terdiri atas huruf-huruf b, c,
d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y,
dan z.
Huruf Contoh Pemakaian dalam Kata
Konsonan Posisi Posisi Posisi
awal tengah Akhir
b bahasa sebut adab
c cakap kaca -
d dua ada abad
f fakir kafan maaf
g guna tiga gudeg
h hari saham tuah
j jalan manja mikraj
k kami paksa politik
- rakyat* bapak*
l lekas alas akal
m maka kami diam
n nama tanah daun
p pasang apa siap
q** quran status-quo taufiq
r raih bara putar
s sampai asli tangkas
t tali mata rapat
v varia lava -
w wanita hawa -
x** xerox - sinar-x

120
y yakin payung -
z zeni lazim juz

Keterangan:
* Huruf k melambangkan bunyi hamzah
**Huruf q dan x khusus dipakai untuk nama diri
seperti (Taufiq dan Xerox) dan
keperluan ilmu seperti status quo dan sinar-x.
4. Huruf Diftong
Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong
yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi.
Huruf Contoh Pemakaian dalam Kata
Diftong Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir
ai ain malaikat pandai
au aula atau harimau
oi - boikot amboi
5. Gabungan Huruf Konsonan
Gabungan huruf konsonan kh, ng, ny, dan
sy masing-masing melambangkan satu
bunyi konsonan.
Gabungan Contoh Pemakaian dalam Kata
Huruf Posisi Awal Posisi Posisi Akhir
Konsonan Tengah
kh khusus akhir tarikh
ng ngilu bangun senang
ny nyata banyak -
sy syarat isyarat arasy
Catatan:
Nama orang, badan hukum, dan nama diri
yang lain ditulis sesuai dengan Ejaan bahasa
Indonesia yang Disempurnakan, kecuali jika
ada pertimbangan khusus.

121
Morfologi Bahasa Indonesia

Morfologi merupakan bagian dari ilmu bahasa atau


linguistik. Ilmu bahasa secara singkat dapat dijekaskan
sebagai ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa secara
scientific atau ilmiah. Ilmu bahasa dapat juga dibedakan
berdasarkan struktur internnya, Berdasarkan hal
tersebut, ilmu bahasa dapat dibedakan menjadi fonetik,
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonetik
mempelajari bunyi bahasa terlepas dari fungsi bahasa
sebagai pembeda arti. Fonologi mempelajari bunyi bahasa
sebagai pembeda arti.
Morfologi mempelajari seluk-beluk struktur kata.
Sintaksis mempelajari seluk-beluk struktur frase,
kalimat, dan wacana. Semantik mempelajari seluk beluk
arti kata.
1. Pengertian Morfologi Menurut Para Ahli
Kata morfologi berasal dari Bahasa Yunani
morphologie. Kata morphologi terdiri dari dua kata.
yaitu morphe yang berarti bentuk dan logos yang
berarti ilmu. Jadi, secara harfiah kata morfologi
berarti ilmu mengenai bentuk. Di dalam kajian
linguistik, morfologi berarti cabang ilmu bahasa yang
seluk-beluk bentuk kata dan perubahannya serta
dampak dari perubahan itu terhadap arti (makna) dan
kelas kata.
Morfologi disebut juga dengan ilmu bahasa yang
mempelajari seluk beluk kata. Ada beberapa pendapat
para ahli terkait definisi morfologi. Menurut Verhaar
(1984:52), morfologi adalah bidang linguistik yang
mempelajari susunan bagian kata secara gramatikal.
Kemudian Kridalaksana (1984:129)
mengemukakakan bahwa morfologi, yaitu (1) bidang
linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-
kombinasinya, (2) bagian dari struktur bahasa yang
mencakup kata dan bagian-bagian, yaitu morfem.
Menurut Mulyana (2007:5), istilah morfologi
diturunkan dari bahasa Inggris morphologi, artinya
cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang

122
susunan atau bagian kata secara gramatikal. Dari
beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa morfologi adalah cabang ilmu linguistik yang
mempelajari hubungan antara morfem satu dengan
morfem lainnya dalam membentuk kata.
Dalam morfologi ada istilah morfem. Morfem adalah
bentuk bahasa terkecil yang tidak dapat lagi dibentuk
menjadi bagian yang lebih kecil. Misalnya, kata lepas
dibagi menjadi le dan pas. Bagian-bagian tersebut
tidak bisa lagi disebut morfem karena tidak memiliki
makna, baik makna leksikal maupun makna
gramatikal.
Demikian juga dengan me- dan -kan tidak dapat dibagi
menjadi bagian yang lebih kecil (Badudu, 1985:66).
Jadi, morfem adalah satuan bahasa yang paling kecil
yang tidak bisa dibagi lagi dan memiliki makna
gramatikal dan makan leksikal.
2. Proses Morfologi
Kesalahan berbahasa pada bidang morfologi biasanya
terdapat pada bahasa tulis. Namun, terdapat
berkaitan dengan bahasa lisan karena jika terdapat
kesalahan dalam bahasa tulis dan dilisankan akan
lebih terlihat kesalahannya (Aulia, 2020).
Proses morfologi merupakan proses pembentukan
kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk
dasarnya. Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga
proses morfologi, yaitu a) proses pembubuhan afiks
atau afiksasi, b) proses pengulangan atau reduplikasi,
dan c) proses pemajemukan. Selain tiga proses
morfologik tersebut, dalam bahasa Indonesia juga
terdapat satu proses lagi yang disebut zero. Proses ini
hanya meliputi sejumlah kata tertentu, seperti kata-
kata makan, minum, minta, dan mohon yang
semuanya termasuk golongan kata verbal yang
transitif.
a. Proses Pembubuhan atau Afiksasi
1) Prefiks (Awalan)

123
Prefiks ber-
Prefiks ber- memiliki beberapa variasi. Ber-
bisa berubah menjadi be- dan bel-. Ber-
berubah menjadi be- jika (a) kata yang
dilekatinya diawali dengan huruf r dan (b)
suku kata pertama diakhiri dengan er yang di
depannya konsonan.
Contoh:
ber- + renang  berenang
ber- + kerja  bekerja
Prefiks meN-
Prefiks meN- mempunyai beberapa variasi,
yaitu yaitu mem-, men-, meny-, meng-, menge-
, dan me-. Prefiks meN- berubah menjadi
mem- jika bergabung dengan kata yang
diawali huruf /b/, /f/, /p/, dan /v/.
Contoh:
meN- + buat  membuat
meN- + fitnah  menfitnah
meN- + pasang  memasang
meN- + vaksin  memvaksin
Prefiks meN- berubah menjadi men- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /d/, /t/, /j/, dan /c/.
Contoh:
meN- + dorong  mendorong
meN- + tulis  menulis
meN- + jaga  menjaga
meN- + cabut  mencabut
Prefiks meN- berubah menjadi meny- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /s/.

124
Contoh:
meN- + sapu  menyapu
Prefiks meN- berubah menjadi meng- jika
bergabung dengan kata yang diawali dengan
huruf /k/ dan /g/
Contoh:
meN- + kira  mengira
meN- + gotong  menggotong
Prefiks meN- berubah menjadi menge- jika
bergabung dengan kata yang terdiri dari satu
suku kata.
Contoh:
meN- + pel  mengepel
meN- + tik  mengetik
meN- + las  mengelas
Prefiks pe(R)-
Prefiks pe(R)- merupakan nominalisasi dari
prefiks be(R).
Contoh:
berawat  perawat
bekerja  pekerja
Prefiks pe(R)- mempunyai dua variasi, yakni
pe- dan pel-. Prefiks pe(R)- berubah menjadi
pe- jika bergabung dengan kata yang diawali
huruf r dan kata yang suku katanya
berakhiran er.
Contoh:
pe(R)- + rawat  perawat
pe(R)- + kerja  pekerja
Prefiks pe(R)- berubah menjadi pel- jika
bergabung dengan kata ajar.

125
Contoh:
pe(R)- + ajar  pelajar.
Prefiks peN-
Prefiks peN- mempunyai beberapa variasi.
Prefiks peN- sejajar dengan prefiks meN.
Variasi peN- memiliki variasi pem-, pen-,
peny-, peng-, pe-, dan penge-.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /t/, /d/, /c/, dan /j/.
Contoh:
peN- + tuduh  penuduh
peN- + donor  pendonor
peN- + cabut  pencabut
peN- + jahat  penjahat
Prefiks peN- berubah menjadi pem- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /b/ dan /p/.
Contoh:
peN- + bawa  pembawa
peN- + pikir  pemikir
Prefiks peN- berubah menjadi peny- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /s/.
Contoh:
PeN- + sapu  penyapu
Prefiks peN- berubah menjadi peng- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /g/ dan /k/.
Contoh:
peN- + gulung  penggulung

126
peN- + korek  pengorek
Prefiks peN- berubah menjadi penge- jika
bergabung dengan kata yang terdiri atas satu
suku kata,
Contoh:
peN- + tik  pengetik
peN- + las  pengelas
peN- + pel  pengepel
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pe- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /m/, /l/, dan /r/.
Contoh:
peN- + mikir  pemikir
peN- + lupa  pelupa
peN- + rasa  perasa
Prefiks te(R)-
Prefiks te(R)- mempunyai beberapa variasi,
yaitu ter- dan tel-
Contoh: terbaca, ternilai, tertinggi, dan
telanjur.
2) Infiks (Sisipan)
Infiks termasuk afiks yang penggunaannya
kurang produktif. Infiks dalam bahasa
Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-,
dan –er-.
Infiks -el-.
Contoh: geletar, gelembung
Infiks -er-.
Contoh: gerigi, seruling
Infiks -em-.
Contoh: gemuruh, gemetar

127
3) Sufiks (Akhiran)
Sufiks dalam bahasa Indonesia
mendapatkan serapan asing seperti - wan,
- wati, - man. Adapun akhiran yang asli
terdiri dari -an, -kan, dan –i.
Sufiks -an
Contoh: asongan, mainan, terusan.
Sufiks -kan
Contoh: turunkan, berikan, jauhkan
Sufiks -i
Contoh: turuti, jauhi, marahi
4) Konfiks (Gabungan)
Menurut Keraf (1984:115), konfiks adalah
gabungan afiks yang berupa prefiks (awalan)
dan sufiks (akhiran) yang merupakan satu
afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks
gabungan itu muncul secara serempak pada
morfem dasar dan bersama-sama membentuk
satu makna gramatikal pada kata bentukan
itu.
Contoh:
Konfiks pe(R)-an
Contoh: persatuan, perjalanan
Konfiks pe(N)-an
Contoh: pencitraan, pencurian
Konfiks ke-an
Contoh: keterampilan, kesatuan
Konfiks be(R)-an
Contoh: bersalaman
b. Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses pengulangan kata
dasar, baik keseluruhan maupun sebagian.

128
Dalam bahasaIndonesia, reduplikasi dapat dibagi
sebagai berikut:
Pengulangan seluruh.
Dalam bahasa Indonesia perulangan seluruh
adalah perulangan bentuk dasar tanpa
perubahan fonem dan tidak dengan proses afiks.
Contoh:
orang  orang-orang
marah  marah-marah
Pengulangan sebagian
Pengulangan sebagian adalah pengulangan
sebagian morfem dasar, baik bagian awal maupun
bagian akhir morfem.
Contoh:
tamu  tetamu
laki  lelaki
berapa  beberapa
Pengulangan dengan perubahan fonem
Pengulangan dengan perubahan fonem adalah
morfem dasar yang diulang mengalami perubahan
fonem.
Contoh:
sayur  sayur-mayur
warna  warna-warni
Pengulangan berimbuhan.
Pengulangan berimbuhan adalah pengulangan
bentuk dasar diulang secara keseluruhan dan
mengalami proses pembubuhan afiks. Afiks yang
dibubuhkan bisa berupa prefiks, sufiks, atau
konfiks.
Contoh:
kacang  kacang-kacangan

129
barat  kebarat-baratan
tolong  tolong-menolong
c. Proses Pemajemukan
Dalam bahasa Indonesia, sering dijumpai
gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata
baru. Kata yang terjadi dari gabungan dua kata
itu lazim disebut kata majemuk (Ramlan,
2003:69). Misalnya, kata rumah sakit, meja
makan, mata pelajaran, panjang tangan, mata
kaki, dan masih banyak lagi.
Menurut Tantawi (2019:13), kata majemuk
(komposium) ialah gabungan dua kata atau lebih
yang menimbulkan makna baru.
Kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua
kata sebagai unsurnya. Di samping itu, ada juga
kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan satu
pokok kata sebagai unsurnya. Misalnya, daya
tahan, daya juang, ruang baca, tenaga kerja,
kolam renang, dan masih banyak lagi.
Adapun ciri-ciri dari kata majemuk adalah sebagai
berikut.
1) Salah satu atau semua unsurnya berupa
pokok kata.
Pokok kata ialah satuan gramatik yang tidak
dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa dan
secara gramatikal tidak memiliki sifat bebas
yang dapat dijadikan bentuk dasar bagi
sesuatu kata. Misalnya: juang, temu, alir,
lomba, jual, dan lain-lain. Kata majemuk yang
terdiri dari pokok kata semua, misalnya
terima kasih, lomba lari, jual beli, tanggung
jawab, dan lain-lain.
2) Unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan
atau tidak mungkin diubah strukturnya.
Satuan kaki tangan berbeda dengan meja
kursi meskipun unsur-unsurnya sama, yakni
semuanya berupa kata kata nominal.
130
Di antara meja dan kursi dalam meja kursi
dapat disisipkan kata dan menjadi meja dan
kursi. Sebaliknya, di antara kaki dan tangan
dalam kaki tangan tidak dapat disisipkan kata
dan. Kalau disisipkan kata dan, artinya akan
berbeda.
Contoh:
Ia menjadi kaki tangan musuh (kata
majemuk)
Ia menjadi kaki dan tangan musuh (frase).
Kaki dan tangannya sudah tidak ada (frase).

131
Daftar Pustaka

Aulia, Nurlaely dan Nori Anggraini. (2020). “Analisis


Kesalahan Morfologi dalam Artikel Pendidikan Surat
Kabar Online di Era New Normal 2020”. Dalam Jurnal
Sasindo Unpam, 8 (2), 56-69.
Chaer, Abdul. (2002). Psikolinguistik. Jakarta : Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. (2008). Morfologi Bahasa Indonesia:
Pendekatan Proses. Jakarta:Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. (2001). Kamus Linguistik. Edisi
Ketiga. Jakarta: Gramedia.
Nurjamal, Daeng, dkk. (2017). Terampil Berbahasa.
Bandung: Alfabeta.
Ramlan, M. (2003). Morfologi: Suatu Tinjauan Deskripsi.
Yogyakarta: Karyono.
Suparman, Tatang. (2018). Makalah “Proses Morfologis
dalam Bahasa Indonesia: Analisis Karya Samsuri) “.
Bandung: Universitas Padjajaran Bandung.
Tantawi, Isma. (2019). Terampil Berbahasa Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia. (2016).
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Indonesia.

132
9
PENGGUNAAN
TATA BAHASA YANG BENAR

Juliana, S.Pd., M.Pd.


Universitas Katolik Santo Thomas

Pendahuluan

Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam


kehidupan yaitu sebagai alat untuk berinteraksi dengan
manusia atau dalam kehidupan sosial manusia guna
menyampaikan maksud yang ada dalam hati dan pikiran
seseorang. Jadi, dapat kita pertegas bahwa bahasa
merupakan salah satu bagian pokok yang terutama dalam
kehidupan manusia.
Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa yang
digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa
Indonesia yang berlaku. Rahayu (2015) mendefenisikan
bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang
digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan
berlaku. Contoh : dalam situasi santai ketika berada di
café atau warung kopi, suasana di pasar, lapangan bola
bahwa penggunaan bahasa Indonesia tidak terlalu terikat
pada kaidah bahasa. Namun pada situasi formal pada
saat berpidato, melaksanakan seminar, mengadakan
rapat hendaklah menggunakan bahasa yang resmi dan
memperhatikan norma bahasa.
Pada umumnya kita mungkin menggunakan bahasa yang
baik artinya tepat, tetapi tidak termasuk bahasa yang
benar. Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang benar
yang tidak baik penerapannya karena suasananya

135
mensyaratkan ragam bahasa yang lain. Maka anjuran
agar kita “berbahasa Indonesia dengan baik dan benar”
dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi
dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti
kaidah bahasa yang betul. Ungkapan “bahasa Indonesia
yang baik dan benar”, sebaliknya mengacu kepada ragam
yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan
kebenaran.

Pengertian Tata Bahasa Indonesia

Tata bahasa merupakan kumpulan dari ketetapan umum


berdasarkan struktur bahasa.
Tata bahasa adalah cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan
bahasa (Junidiarta, 2017:7). Tata bahasa dikatakan
mendasari semua tingkah laku manusia karena tata
bahasa adalah struktur bahasa dan prosedur untuk
mengungkapkan dan memahami bahasa. Tata bahasa
menurut Djiwandono (2011:130) merupakan sebagai
bagian dari paparan tentang bahasa yang berkaitan
dengan kata pada tataran morfologi, dan tentang kalimat
pada tataran sintaksis.
Tata bahasa merupakan sistem dari aturan-aturan yang
mempengaruhi susunan dan hubungan kata-kata dari
suatu kalimat. Mempelajari tata bahasa berarti
mengetahui cara bagaimana kata-kata terbentuk dan
kata-kata tersebut akan mengubah arti sesuai dengan
bentuk yang dipakai. Tata bahasa juga merupakan suatu
himpunan dari patokan-patokan dalam struktur bahasa.
Struktur bahasa itu meliputi tata bunyi, tata bentuk, tata
kata, tata kalimat dan tata makna. dengan kata lain, tata
bahasa meliputi bidang-bidang fonologi, morfologi, dan
sintaksis.
Secara umum tata bahasa bersifat normatif (umum) yaitu
tata bahasa tersebut disusun berdasarkan gejala-gejala
bahasa yang umum dipakai dalam suatu masyarakat.
Suatu tata bahasa normatif memberikan uraian atas
struktur umum dari suatu bahasa. Tetapi mengingat
bahwa bahasa selalu berkembang setiap saat, maka selalu

136
ada perubahan yang terjadi atas struktur bahasa, oleh
karena itu tata bahasa normatif harus tetap mengikuti
perkembangan itu. dengan kata lain tata bahasa normatif
harus tetap bersifat deskriptif.

Bidang dalam Tata Bahasa Indonesia

Menurut Verhaar (2008:9) bidang dalam tata bahasa


terdiri dari morfologi dan sintaksis.
1. Morfologi
Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang
membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk
bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan
bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Satuan
terkecil yang diselidiki dalam morfologi adalah morfem
sedangkan yang paling besar adalah kata. Dalam
bahasa Indonesia ada 2 jenis morfem yaitu :
a. Morfem dasar atau morfem bebas, yakni morfem
yang berdiri sendiri dari segi makna tanpa harus
dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua
kata dasar tergolong morfem bebas contoh:
bangun, tidur, kerja, sakit, dll.
b. Morfem terikat yaitu morfem yang tidak dapat
berdiri sendiri dari segi makna. Morfem terikat
memiliki fungsi bermacam-macam antara lain
sebagai berikut (Santosa, 2011:4.16)
1) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata
kerja, yaitu: me-, ber-, per, -kan,-i, dan ber-
an. Hal ini dapat dilihat pada katakata
berikut: membantu, berjalan, perbanyak,
siapkan, datangi, bergantian.
2) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata
benda, yaitu: pe-, ke-, -an, ke-an, per-an, -
man, -wan, -wati. Contoh penggunaannya:
penyayang, kekasih, pemberian, kebaikan,
seniman, bangsawan, biarawati.

137
3) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata
sifat, yaitu: ter-, -i, -wi, -iah. Misalnya pada
kata: terpandai, hewani, manusiawi, ilmiah.
4) Imbuhan yang berfungsi membenntuk kata
bilangan, yaitu: ke-, se-. Misalnya : kedua,
sehelai.
5) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata
tugas, yaitu: se-, dan se-nya. Misal pada kata
: selamanya, sebenarnya.
Morfologi tidak hanya berkaitan dengan imbuhan,
morfologi juga mencangkup kata majemuk. Kata
mejemuk adalah gabungan dua kata atau lebih
yang menimbulkan pengertian baru. Contoh dari
kata majemuk adalah rumah sakit, kursi malas,
duta besar, meja makan, dan lain sebagainya.
2. Sintaksis
Merupakan bagian dari tata bahasa yang mempelajari
dasar-dasar dan proses pembentukan kalimat dalam
suatu bahasa. Sintaksis terbagi menjadi 4 kategori
utama yaitu : (1) kata kerja/ verba, (2) Kata benda/
nomina, (3) kata sifat/adjektiva, (4) kata
keterangan/adverbial. Adapun fungsi dari sintaksis
yaitu sebagai predikat, subjek, objek, pelengkap, dan
keterangan. Berdasarkan jumlah klausa
sintaksis/kalimat terdiri dari kalimat tunggal dan
kalimat majemuk.
a. Kalimat Tunggal
Yaitu kalimat yang terdiri dari satu subjek dan
satu predikat.
Contoh : Ayahnya pegawai di bank
Dia mengajar di SD Negeri
b. Kalimat Majemuk
Adalah kalimat yang mengandung dua pola
kalimat atau lebih. Kalimat ini merupakan sebuah
kalimat yang memiliki lebih dari satu subjek,

138
predikat, objek, ataupun pelengkap (Alwi, dkk.
2010:39).
Contoh : Ayah membaca Koran, Ibu memasak kue
bola.
Kakak membaca buku, adik bermain boneka.
Kalimat majemuk dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk
bertingkat. Kalimat majemuk setara adalah suatu
kalimat luas di mana antara pola kalimatnya
mempunyai kedudukan yang sama. Kalimat majemuk
setara dibentuk dengan menggabungkan kalimat
tunggal. Kalimat ini biasanya ditandai dengan kata
penghubung dan, lagi, atau, tetapi, melainkan,
sedangkan, bahkan, dan malahan.
Contoh : Ibu Pergi ke pasar dan Ayah berangkat ke
kantor.
Kakak membersihkan halaman, tetapi adik tidak mau
membantu.
Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat yang
salah satu unsurnya diperluas sehingga membentuk
pola baru. Salah satu klausa atau anak kalimat tidak
dapat berdiri sendiri atau jika dipisahkan tidak
memiliki makna. Kalimat ini biasanya ditandai
dengan kata penghubung jika, ketika, walaupun,
bagaikan, bahwa, sebab, dan sehingga.
Contoh : Jika saya lulus ujian, ibu akan memberi
hadiah.
Walaupun Andi orang kaya, dia tetap rendah hati.
3. Fonetik
Fonetik adalah bagian dari tata bahasa yang
mempelajari proses ujaran. Fonetik ini akan
berhubungan dengan anatomi, khususnya organ-
organ tubuh yang terlibat dalam proses penghasilan
ujaran. Fonetik akan berupaya untuk menerangkan
bagaimana bunyi-bunyi tertentu dihasilkan baik
kuantitasnya maupun kualitasnya. Studi fonetik ini
umumnya terdiri atas tiga bagian, yakni (1) fonetik
139
akustik, (2) fonetik auditoris, dan (3) fonetik
artikulasi. Fonetik akustik berupaya menjelaskan
bunyi-bunyi ujaran sebagai suatu proses fisik. Untuk
itu dibutuhkan alat spektograf yang dapat
memperlihatkan gelombang bunyi udara. Alat ini
mampu menggambarkan intensitas dan volume
ujaran sehingga para linguis dapat menggambarkan
bunyi-bunyi secara fisik. Fonetik auditoris adalah
studi fonetik yang mempelajari proses penerimaan
bunyi- bunyi bahasa oleh telinga. Cabang ini lebih
merupakan kajian kedokteran dibandingkan
linguistik. Fonetik artikulasi merupakan studi fonetik
yang mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa
dihasilkan oleh alat manusia. Fonetik artikulasi inilah
yang lebih banyak memberikan sumbangan bagi
linguistik dibandingkan fonetik aktistik dan atiditoris.
Dalam cabang ini, bunyi-bunyi bahasa dianalisis
secara mendetail. Contoh bagaimana bunyi [p] dan [b]
dihasilkan oleh alat ucap manusia.
4. Fonologi
Fonologi adalah bidang linguistik yang dibedakan dari
fonetik. Fonologi bertugas mempelajari fungsi bunyi
untuk membedakan atau mengidentifikasi kata-kata
tertentu. Ada pakar linguistik yang menyebutkan
fonologi di sini sebagai fonemik. Namun, dalam modul
ini, kita mengacu pada linguis Eropa yang lebih sering
menyebut fonologi untuk bidang yang membicarakan
fungsi bunyi untuk membedakan makna. Objek
penelitian fonologi adalah fonem, yakni bunyi bahasa
yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.
Jika pada fonetik, bunyi-bunyi dianalisis berdasarkan
cara membunyikannya. Maka dalam fonologi, bunyi-
bunyi tersebut dianalisis pada suatu konteks ujaran
(kata). Misalnya pada kata bunyi dengan sunyi
apakah bunyi [b] dan [s] pada kata-kata tersebut
membedakan makna? Jika ya, maka bunyi itu disebut
fonem.

140
5. Semantik
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari
makna bahasa. Para linguis struktural sebenarnya
tidak begitu peduli dengan masalah makna karena
dianggap merupakan bagian yang tak dapat diamati
secara empiris. Berbeda dengan fonem, morfem, dan
kalimat yang menjadi kajian cabang fonologi,
morfologi, dan sintaksis, makna dianggap hal yang
paling sulit untuk dikaji. Studi semantik mulai
berkembang ketika Chomsky pada tahun 1957
menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu
komponen dari tata bahasa. Hal-hal yang dibicarakan
dalam semantik adalah hakikat makna, jenis makna,
relasi makna, perubahan makna, dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan makna bahasa.

Model Tata Bahasa Indonesia

Model tata bahasa Indonesia terbagi atas 4 model yaitu


1. Tata bahasa tradisional
2. Tata bahasa struktural
3. Tata bahasa transformasional
4. Tata bahasa fungsional
Hubungannya dengan kepentingan tujuan pengajaran
bahasa Indonesia juga dikenal model tata bahasa
pendidikan atau tata bahasa pedagogis. Ditinjau dari segi
tata bahasa tradisional terdiri dari ilmu tata bentuk kata
(morfologi) dan ilmu tata kalimat (sintaksis).
Berikut adalah cakupan analisis aspek kebahasaan
berdasarkan tata bahasa tradisional:

141
Tabel Model Tata Bahasa Tradisional
No Morfologi Sintaksis
1 Morfem Hubungan kata dalam kalimat
2 Kata Dasar Frasa
3 Kata Klausa
bersusun
4 Kata Ulang Kalimat tunggal-kalimat
majemuk
5 Kalimat Kalimat majemuk bertingkat-
majemuk kalimat majemuk setara
6 Jenis kata Kalimat majemuk rapatan
Kalimat berpredikat verba-
predika tanverba
Kalimat berdasarkan isi:
pernyataan, pertanyaan,
perintah, seru.
Ditinjau dari segi tata bahasa struktural terdiri dari 3
aspek yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Berikut
adalah cakupan analisis aspek kebahasaan berdasarkan
tata bahasa struktural:
Tabel Model Tata Bahasa Struktural
Fonologi Morfologi Sintaksis
Pelafalan baku Fungsi kata Frasa
Ejaan leksis Klausa
Intonasi Penggolongan Macam
kata: Nomina, kalimat:Tanya,
adjektif, partikel majemuk
setara,
bertingkat.
Bentuk kata: kata Fungsi kalimat
asal, kata Wacana
kompleks, kata
imbuhan, kata
majemuk
Bentuk tata bahasa transformasi terdiri dari 3 komponen
yaitu: sintaksis, semantik, dan fonologi. Berikut adalah
cakupan analisis aspek kebahasaan berdasarkan tata
bahasa struktural:

142
Tabel Model Tata Bahasa Struktural
Fonologi Sintaksis Semantik
Interpretasi fonologi Kaidah, Penafsiran
kategori, arti deretan
leksikon, unsur pada
transformasi komponen
dasar
Kalimat dasar: Makna
sederhana, deretan
aktif, morfem
pernyataan
Kalimat
transformasi :
majemuk,
pasif,
pernyataan
Bentuk tata bahasa fungsional terdiri dari 3 komponen
yaitu : semantik, sintaksis, dan pragmatik. Berikut
adalah cakupan analisis aspek kebahasaan berdasarkan
tata bahasa fungsional:
Model Tata Bahasa Fungsional
Sintaksis Semantik Pragmatik
Klausa : Fungsi semantik Fungsi pragmatis
subjek-predikat : pelaku, : tema, topik,
sasaran, fokus
penerima, Metafungsi
pemeroleh klausa:
eksperensial,
interpersonal,
tekstual.

Penggunaan Tata Bahasa di Sekolah

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar


merupakan awal dalam peningkatan kemampuan
berbahasa yang baik dan benar. Pada umumnya
problematika dalam pembelajaran bahasa Indonesia di
kelas antara lain yaitu kegiatan belajar mengajar yang
mementingkan struktur bahasa sehingga metode ceramah

143
dan penugasan menjadi pilihan guru. Kegiatan belajar
mengajar dengan metode ceramah dan penugasan
menjadikan siswa kurang aktif, kaku, dan membosankan.
Dalam menerapkan kurikulum 2013 banyak guru yang
bingung mengajarkan tata bahasa karena buku paket
atau buku pegangan guru tidak memiliki petunjuk
tentang tata bahasa Indonesia yang berisi wacana atau
teks.
Dalam kurikulum 2013 tujuan pembelajaran bahasa di
sekolah dasar bagi siswa adalah untuk mengembangkan
keterampilan berbahasa Indonesia. Tujuan pembelajaran
berbahasa Indonesia sesuai dengan keterampilan
kebutuhan dan minatnya, sedangkan bagi guru adalah
untuk mengembangkan potensi bahasa Indonesia siswa
serta lebih mandiri dalam menentukan bahan ajar
kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah
dan kemampuan siswa. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan dalam berbahasa agar komunikasi menjadi
efektif yaitu: memilih kata dan menyusunya dengan baik
dan benar, menggunakan ejaan dengan benar dan
menggunkan imbuhan yang beraturan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari sering kita mendengar
atau kita bahkan menggunakan imbuhan “in” dalam
konteks formal sekalipun. Misalnya, “ngapain”,
“dikemanain”, “dimatiin”, “dinyalain”, “diduluin” dan
sebagainya. Sebagai bahasa baku dalam percakapan
sehari-hari memang dapat diterima. Tetapi dalam bahasa
tulisan (yang formal) sebaiknya penambahan imbuhan
disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Di sekolah dasar sebaiknya
menggunakan bahasa baku, karena kemampuan
berbahasa Indonesia adalah salah satu syarat yang harus
dipenuhi masyarakat Indonesia, tidak terkecuali murid
sekolah dasar. Bahasa baku diambil dari bahasa yang
biasanya digunakan oleh kalangan orang berpendididkan,
karena bahasa inilah yang memiliki kaidah-kaidah pada
pembelajaran. Secara umum muncul pada tata bahasa,
gaya bahasa dan tutur kata yang digunakan seorang guru
dalam memberikan pelajaran. Sehingga pemahaman
seorang anak dalam mencerna materi cukup dipengaruhi

144
bahasa yang dipergunakan guru, terlebih bagi guru yang
mengunakan metode ceramah untuk menjelaskan suatu
pokok bahasan. Para guru senantiasa dituntut
menjadikan siswa menjadi manusia yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan
bahasa yang baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia yang benar pula. jika hal ini bisa tercapai maka
para siswa tidak akan diragukan lagi dalam hal
menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana yang
diharapkan.
Penggunaan bahasa yang baik dan benar memiliki empat
fungsi, yaitu :
1. Fungsi pemersatu yang mengikat kebinekaan rumpun
dan mengatasi batas-batas kedaerahan.
2. Fungsi penanda kepribadian yang menyatakan
identitas bangsa dalam pergaulan dengan bangsa lain.
3. Fungsi pembawa kewibawaan karena kaitannya
dengan orang yang berpendidikan dan terpelajar.
4. Fungsi sebagai kerangka acuan tentang tepat
tidaknya pemakaian bahasa.
Contoh menggunakan bahasa yang baik dan benar :
1) Apakah kamu sudah makan ?
2) Di sini tempat pembuangan sampah.
3) Bagaimana cara membuat ayam penyet sambal
terasi ?
4) Kami mahasiswa PGSD UNIKA menjunjung tinggi
persaudaraan.
5) Saya sedang mengerjakan tugas yang diberikan
dosen.
6) Saya selalu berdoa sebelum tidur.
7) Adik dapat mengerjakan soal ujian dengan baik
karena sudah belajar terlebih dahulu.
Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan
memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan
komunikasi.

145
Pemilihan ini bertalian dengan topik apa yang
dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak
berbicara (kalau lisan) atau orang yang akan membaca
(kalau tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa
yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita
gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat
kita.

146
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, dkk. (2010). Tata Bahasa Baku Bahasa


Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka
Djiwandono, Soenardi. (2011). Tes Bahasa Pegangan bagi
Pengajar Bahasa. Jakarta: PT Indeks.
Juniardianta I Nyoman. (2017). Peningkatan Kemampuan
Berbahasa Indonesia Melalui Metode Drama pada
Siswa Kelas VII C SMP Dharma Praja. Jurnal Ilmu
Bahasa, Vol. 3, No. 1, 47-6.
Rahayu, Arum Putri. (2015). Menumbuhkan Bahasa
Indonesia yang Baik dan Benar dalam Pendidikan dan
Pengajaran. Jurnal Paradigma, 2 (1), 37-45.
Santosa, Pria. (2011). Materi dan Pembelajaran Bahasa
Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Verharr, J. W.M. (2008). Pengantar Linguistik Yogyakarta:
Gajah Mada University.

147
10
MATERI CERITA DAN DRAMA
UNTUK ANAK-ANAK

Indah Mutia, S.Pd


SD NEGERI 055986 KWARASAN

Hakikat Cerita Anak-Anak

Cerita anak merupakan salah satu karya sastra anak.


Dimana sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak
“dengan bimbingan dan pengarahan anggota dewasa
suatu masyarakat, sedang dalam penulisannya juga
dilakukan oleh orang dewasa” (Davis 1967 dalam
Sarumpaet 1976:23). Cerita anak adalah karya sastra
yang ditulis sebagai bacaan anak dengan karakteristik
berbagai ragam, tema, dan format sesuai tingkat
perkembangan intelektual serta emosi anak. Cerita anak
juga merupakan karya sastra yang dikhususkan untuk
anak yang memiliki kontribusi besar bagi perkembangan
anak dalam proses menuju kedewasaan. Menurut
Nurgiyanto (2005:217) cerita anak merupakan karya
sastra anak berupa prosa mengisahkan peristiwa atau
pengalaman yang berdasarkan urutan waktu benar
dialami seseorang ataupun dapat berupa imajinasi
mengisahkan dunia anak-anak. Sedangkan menurut
Rampan dalam Subyantoro (2007:10), cerita anak
merupakan cerita sederhana namun kompleks.
Kesederhanaan tersebut ditandai dengan syarat wacana
baku serta kualitas yang tinggi, akan tetapi tidak rumit
atau ruwet, sehingga lebih komunikatif. Cerita anak
adalah cerita yang harus menceritakan tentang
kehidupan anak-anak dengan semua aspek yang

149
mempengaruhi. Sugihastuti (1996:70) menyatakan bahwa
cerita anak-anak adalah media seni, yang mempunyai
ciri-ciri tersendiri sesuai dengan selera penikmatnya.
Tidak seorang pengarang cerita anak-anak pun yang
sanggup berkarya dengan mengabaikan dunia anak-anak.
Meskipun cerita anak-anak diciptakan oleh orang dewasa,
tetapi merupakan ekspresi diri anak-anak lewat idiom-
idiom bahasa anak-anak. Cerita anak memiliki sifat khas
dibandingkan dengan cerita fiksi remaja maupun dewasa.
Ciri khas tersebut antara lain adanya sejumlah
pantangan, penyajian dengan gaya langsung, dan adanya
fungsi terapan (Sarumpaet dalam Azizah 2011:22).
Sarumpaet menjabarkan ciri khas tersebut sebagai
berikut (1) unsur pantangan, unsur ini khusus pada tema
dan amanat cerita. Tema-tema yang lazim disajikan untuk
pembaca dewasa belum tentu tepat disajikan untuk
pembaca anak-anak, dan sebaliknya; (2) penyajian
dengan gaya langsung, singkat dan jelas. Deskripsi yang
sesingkat mungkin dan menuju sasaran langsung,
mengetengahkan aksi (action) yang jelas penyebabnya; (3)
unsur terapan, adanya hal-hal yang informatif, oleh
adanya elemen-elemen yang bermanfaat, baik
pengetahuan umum atau keterampilan, maupun
pertumbuhan anak-anak. Fungsi terapan dalam bacaan
anak-anak ditunjukkan antara lain adanya unsur-unsur
yang dapat menambah pengetahuan umum. Melalui
sajian cerita anak diharapkan menjadi sarana dalam
menanam, memupuk, mengembangkan, dan bahkan
melestarikan nilai-nilai moral yang baik dan sangat
berharga oleh masyarakat, keluarga, dan bangsa. Melalui
cerita anak, anak juga dapat memperoleh berbagai
informasi yang diperlakukan dalam kehidupan.
Kehidupan yang menggambarkan dan menjelaskan
bagaimana hubungan dengan orang tua, teman, saudara,
atau masyarakat dengan fungsinya.
Dilihat dari ragam bacaan anak yang sangat banyak,
sebanyak itulah ragam masalah kehidupan itu sendiri,
dimana isi bacaan cerita anak berkaitan dengan berbagai
macam hal kehidupan yang terjadi seperti tentang budi
pekerti, lingkungan, kebudayaan, pendidikan,
pengajaran, dan lainnya.

150
Menurut Almaghribi (2012) jenis cerita anak dapat
dibedakan berdasarkan isi dan usia anak. Pembagian
tersebut bertujuan agar memudahkan dalam mencari
cerita yang cocok untuk anak.
1. Untuk anak usia 5 (lima) tahun ke bawah. Anak diusia
ini biasanya belum mengetahui dengan baik tentang
isi cerita. Untuk kelompok usia ini cerita yang cocok
adalah cerita yang berhubungan dengan binatang.
Misalnya tentang kodok, cicak, bebek dan lain
sebagainya. Selain binatang, cerita bisa juga yang
berhubungan dengan tumbuhan, misalnya cerita
tentang melati, mawar, durian, apel dan lain
sebagainya.
2. Untuk usia anak 6-9 tahun. Anak pada usia ini sudah
mulai kritis terhadap cerita yang didapat. Anak-anak
akan menyukai cerita yang menyenangkan. Pada usia
ini anak sudah bisa untuk melihat sisi baik dan sisi
buruk dari cerita. Untuk konsep cerita bisa
mengambil kisah-kisah rakyat seperti legenda Malin
Kundang, Si Kancil, Bawang Merah dan Bawang
Putih.
3. Untuk kelompok usia 9-12 tahun. Anak dalam
kelompok usia ini diperlukan pendekatan yang
berbeda daripada kelompok-kelompok usia di atas.
Pada usia ini, anak akan dapat membaca cerita
dengan baik dan akan bersifat kritis terhadap cerita
yang telah dibaca. Untuk kelompok usia ini biasanya
lebih tertarik dengan cerita-cerita fiksi. Contohnya
adalah tentang cerita petualangan, detektif cilik,
manusia super dan lain sebagainya.
Menurut Marion Van Horne (dalam Hardjana 2006:32)
menyatakan jenis cerita anak dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : (1) Fantasi atau karangan khayal, dalam
cerita ini semuanya benar-benar dongeng khayal yang
tidak berdasar kenyataan. Dongeng, fabel, legenda, dan
mitos termasuk dalam cerita fantasi; (2) Realistic fiction,
fiksi atau cerita khayal tetapi mengandung unsur
kenyataan; (3) Biografi atau riwayat hidup adalah riwayat
hidup orang terkenal yang dibuat menjadi cerita untuk

151
diperkenalkan kepada anak-anak, dengan bahasa yang
sederhana dan isinya sebagaimana adanya, mudah
dimengerti, sebagai suri tuladan; (4) Flokstales atau cerita
rakyat yaitu cerita yang berhubungan dengan cerita yang
terjadi di masyarakat; (5) Religius atau cerita-cerita
keagamaan, contoh : cerita tentang nabi, orang-orang suci
atau ajaran keagamaan yang diubah dalam bentuk cerita
yang menarik, memotivasi anak untuk membentuk budi
pekerti luhur.

Unsur-Unsur Pembangun dan Struktur Cerita

Cerita anak-anak biasanya bersifat edukatif, artinya ada


nilai pendidikan yang ingin disampaikan pengarang
kepada para pembaca (Nurgiyantoro 2005:222). Cerita
anak terdiri dari unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik sendiri merupakan unsur cerita yang ada
di dalam cerita secara langsung, menjadi bagian, serta
ikut membentuk eksistensi dari cerita seperti tokoh,
sudut pandang, dan latar belakang cerita. Adapun unsur
intrinsik dalam cerita anak akan dijelaskan sebagai
berikut.
1. Tema
Tema menurut Lukens (dalam Nurgiyantoro 2005:80)
adalah gagasan (ide) utama atau makna utama dari
sebuah tulisan. Nurgiyantoro (2005:80) berpendapat
bahwa tema dalam sebuah cerita dapat dipahami
sebagai sebuah makna, makna yang mangikat
keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir
sebagai sebuah kesatuan yang padu. Sementara itu,
Stanton (dalam Kurniawan 2009:75) mengatakan
bahwa tema dalam sebuah cerita berhubungan
dengan makna pengalaman hidup. Tema untuk anak
haruslah yang memang perlu, baik serta cocok bagi
mereka. Tema janganlah mengalahkan alur dan
tokoh-tokoh cerita. Itu karena anak membaca cerita
untuk kenikmatan, bukan untuk pencerahan. Jika
nilai moral hendak disampaikan pada anak, maka ia
haruslah terjahit pada bahan cerita yang kuat.
Dengan demikian, anak dapat membangun pengertian

152
baik atau buruk tanpa merasa diindoktrinasi. Stanton
(dalam Kurniawan 2009:77) mengemukakan bahwa
dalam menafsirkan tema dalam sebuah cerita,
haruslah didasarkan pada hal-hal berikut ini.
a. Penafsiran terhadap tema cerita harus benar-
benar memperhatikan setiap uraian yang
menonjol dalam cerita.
b. Penafsiran terhadap tema sebaiknya tidak
bertentangan dengan setiap uraian cerita.
c. Penafsiran tema sebaiknya tidak tergantung pada
keterangan yang benar-benar ada atau tersirat
dalam cerita.
d. Penafsiran tema harus didasarkan secara
langsung pada cerita.
2. Plot atau Alur
Lukens (dalam Nurgiyantoro 2005:68) mengatakan
bahwa dalam sebuah cerita alur merupakan urutan
kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh
dalam aksinya. Nurgiyantoro (2005:68)
menambahkan bahwa di dalam sebuah alur cerita
terkandung unsur apa yang dikisahkan (isi cerita) dan
bagaimana urutan pengisahan. Dalam arti luas, alur
juga dapat diartikan keseluruhan bagian peristiwa-
peristiwa yang terdapat dalam cerita, yaitu rangkaian
peristiwa yang terbentuk karena proses sebab akibat
(kausal) dari peristiwa-peristiwa lainnya (Stanton
dalam Kurniawan 2009:71). Menurut Stanton (dalam
Kurniawan 2009:71) alur memiliki tiga bagian, yaitu.
a. Bagian Awal
Bagian awal biasanya mengandung eksposisi dan
elemen instabilitas. Selain eksposisi dan
instabilitas, pada bagian awal juga akan muncul
perkenalan konflik yang akan terjadi.
b. Bagian tengah
Bagian tengah merupakan bagian yang
menghadirkan konflik dan klimaks. Konflik
merupakan tahap krusial dalam cerita karena

153
adanya keinginan antar tokoh yang saling
berbenturan sehingga menciptakan ketegangan.
Ketegangan tersebut akan sampai pada klimaks,
yaitu suatu momen dalam cerita saat konflik
memuncak dan mengakibatkan terjadinya
penyelesaian yang tidak dapat dihindari.
c. Bagian akhir
Bagian akhir terdiri dari segala sesuatu yang
berasal dari klimaks menuju ke pemecahan atau
hasil cerita.
Alur merupakan aspek utama yang harus
dipertimbangkan karena aspek inilah yang
menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki
kekuatan untuk mengajak anak secara total untuk
mengikuti cerita. Alur memberikan cerita,
menghadirkan cerita, dan cerita itulah yang dicari
untuk dinikmati oleh pembaca. Alur juga mengatur
berbagai peristiwa dan tokoh itu tampil dalam urutan
yang menarik tetapi juga terjaga kelogisan dan
kelancaran ceritanya.
3. Tokoh dan Penokohan
Menurut Nurgiyantoro (2005:222) tokoh cerita
dimaksudkan sebagai pelaku yang dikisahkan
perjalanan hidupnya dalam cerita lewat alur baik
sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa
yang diceritakan. Dalam cerita anak tokoh cerita tidak
harus berwujud, seperti anak-anak atau orang
dewasa yang lengkap dengan nama dan karakternya
melainkan juga dapat berupa binatang atau suatu
objek yang lain yang biasanya merupakan bentuk
personifikasi manusia. Menurut Sarumpaet (dalam
Titik W.S. dkk. 2012:89) tokoh merupakan pemain
dalam sebuah cerita. Tokoh yang digambarkan secara
baik dapat menjadi teman, tokoh identifikasi, atau
bahkan menjadi orang tua sementara bagi pembaca.
Pembedaan tokoh-tokoh dapat dibedakan sebagai
berikut.

154
a. Berdasarkan keterlibatannya dalam keseluruhan
cerita
1) Tokoh utama
2) Tokoh tambahan
b. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh
1) Tokoh protagonis
2) Tokoh antagonis
c. Berdasarkan watak atau karakteristiknya
1) Tokoh sederhana
2) Tokoh bulat
d. Berdasarkan berkembang atau tidaknya
perwatakan
1) Tokoh berkembang
2) Tokoh statis
e. Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh
cerita terhadap sekelompok manusia dari
kehidupan nyata
1) Tokoh tipikal
2) Tokoh netral
Walaupun peristiwa yang sangat menarik sangat
diminati anak, tokoh-tokoh yang bergerak dalam
peristiwa itu haruslah penting bagi anak bila tokoh-
tokoh yang digambarkan di dalamnya tidak mereka
gandrungi. Bagaimana tokoh digambarkan, dan
bagaimana mereka berkembang dalam cerita,
sangatlah penting bagi anak. Tokoh adalah pelaku
yang ditampilkan dalam sebuah cerita anak harus
tampak hidup dan nyata hingga anak merasakan
kehadirannya sehingga dapat mencerminkan kualitas
sikap dan perilaku tokoh tersebut.
Ada dua aspek yang perlu diingat dalam memahami
tokoh, yakni penokohan dan perkembangan tokoh.
Penokohan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita,
baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat

155
berupa pandangan hidup, sikap, keyakinan, adat
istiadat, dan sebagainya. Istilah penokohan dapat
menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh. Ada tiga
cara untuk melukiskan watak tokoh yakni sebagai
berikut.
a. Analitik adalah pengarang langsung
menceritakan watak tokoh.
Contoh : Siapa yang tidak kenal Pak Jamal yang
ramah, periang, dan pintar. Meskipun agak
pendek justru melengkapi sosoknya sebagai guru
yang diidolakan siswa. Dia juga lucu dan
penyayang.
b. Dramatik adalah pengarang melukiskan watak
tokoh dengan tidak langsung. Bisa melalui tempat
tinggal, lingkungan, percakapan/dialog
antartokoh, perbuatan, fisik dan tingkah laku,
komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu,
jalan pikiran tokoh.
Contoh : Begitu memasuki kamarnya, Rudi siswa
kelas 6 SD itu langsung melempar tasnya ke
tempat tidur dan membaringkan dirinya tanpa
mengganti pakaiannya terlebih dahulu. (tingkah
laku tokoh)
c. Campuran adalah gabungan analitik dan
dramatik. Pelaku dalam cerita dapat berupa
manusia, binatang, atau benda-benda mati yang
diinsankan
4. Latar atau Setting
Menurut Nurgiyantoro (2005:249) latar (setting) dapat
dipahami sebagai landas tumpu berlangsungnya
berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam
cerita. Latar menunjuk pada tempat, yaitu lokasi
dimana cerita itu terjadi, waktu, kapan cerita itu
terjadi, dan lingkungan sosial budaya, keadaan hidup
bermasyarakat tempat tokoh dan peristiwa terjadi.
Kejelasan deskripsi latar penting karena ia
dipergunakan sebagai pijakan pembaca untuk ikut
masuk mengikuti alur cerita dan sekaligus

156
mengembangkan imajinasi. Dalam latar inilah segala
peristiwa yang menyangkut hubungan antar tokoh
terjadi. Sebuah cerita fiksi yang hadir dengan
menampilkan tokoh dan alur memerlukan kejelasan
tempat di mana cerita itu terjadi, kapan waktu
kejadian, dan latar belakang kehidupan social budaya
masyarakat tempat para tokoh berinteraksi dengan
sesama. Tanpa kejelasan hal-hal tersebut cerita yang
dihadirkan akan terasa kurang realistis yang
berakibat kurang dapat dipahaminya cerita yang
ditampilkan. Menurut Kurniawan (2009:75)
mengatakan bahwa latar dalam cerita biasanya akan
menyangkut tiga hal. Tiga hal tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut.
a. Latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dan
menunjuk lokasi tertentu secara geografis,
misalnya di rumah, sekolah, nama desa, kota, dan
sebagainya.
b. Latar waktu, yaitu latar yang berhubungan
dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam cerita.
c. Latar sosial, yaitu latar yang merujuk pada kodisi
sosial masyarakat sebagai tempat cerita. Kondisi
sosial masyarakat ini mencakup kebiasaan
masyarakat dan adat istiadat yang dijadikan
sebagai latar cerita.
Dalam cerita anak hampir semua peristiwa
dikisahkan membutuhkan kejelasan tempat dan
waktu kejadiannya, dan karenanya membutuhkan
deskripsi latar secara lebih detail. Kejelasan cerita
tentang latar dalam banyak hal akan membantu anak
untuk memahami alur cerita. Dalam cerita anak, latar
fisik lebih dirasakan kehadirannya oleh anak, dan
karenanya ia dapat dianggap menjadi lebih penting.
Maka, dalam cerita fiksi anak, jenis latar itu lazimnya
diceritakan secara lebih jelas dan rinci.

157
5. Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang atau point of view adalah adalah cara
pengarang memandang siapa yang bercerita di dalam
cerita itu atau sudut pandang yang diambi pengarang
untuk melihat suatu kejadian cerita. Menurut Abrams
dalam Nurgiyantoro (2005:248) mengemukakan
bahwa sudut pandang merupakan cara atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana menampilkan tokoh, tindakan latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah teks cerita kepada pembaca. Jadi sudut
pandang hakikatnya adalah sebuah cara, strategi
atau siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk
mengungkapkan cerita dan gagasannya. Pemilihan
sudut pandang dalam sebuah cerita dalam banyak hal
akan mempengaruhi kebebasan, ketajaman, dan
keobjektifan dalam bercerita. Dalam menceritakan
kembali cerita anak, sudut pandang yang baik adalah
deskripsi yang mampu menceritakan tokoh dalam
cerita secara jelas sehingga dapat menjelaskan
kedudukan pengarang dalam cerita tersebut. Stanton
(dalam Kurniawan 2009:79) membagi sudut pandang
dalam cerita menjadi empat tipe utama yaitu sebagai
berikut.
a. Aku sebagai tokoh utama (first-person-central)
yaitu tokoh tamanya mengisahkan cerita dalam
kata-katanya sendiri.
b. Aku sebagai tokoh bawahan (firt-person-
peripheral) yaitu tokoh bawahannya mengisahkan
ceritanya.
c. Ia sebagai pencerita terbatas (third-person-limited)
yaitu pengarang mengacu semua tokoh dalam
bentuk orang ketiga(dia atau mereka), tetapi
hanya menceritakan apa yang dapa dilihat,
didengar, atau dipikirkan oleh seorang tokoh.
d. Ia sebagai pencerita yang serba tahu (third-person
omniscient) yaitu pengarang mengacu pada setiap
tokoh dalam bentuk orang ketiga (dia atau
mereka), dan menceritakan apa yang didengar,

158
dilihat, dan dipikirkan oleh beberapa tokoh,
seakan-akan menceritakan peristiwa tanpa
kehadiran tokoh.
Suharianto (2005:25) menyebut sudut pandang
dengan istilah pusat pengisahan, yang mempunyai
arti siapa yang bercerita dalam sebuah peristiwa. Ada
beberapa pusat pengisahan (point of view) yang dapat
dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu: (1)
pengarang sebagai pelaku utama cerita, kategori ini
ditandai dengan penyebutan “aku” oleh pengarang, (2)
pengarang ikut berperan atau sebagai tokoh, namun
bukan tokoh utama, (3) pengarang serba hadir. Dalam
hal ini pengarang tidak berperan sebagai apa-apa.
Pertanda yang paling jelas dalam jenis ini adalah
dengan penyebutan nama tokoh atau dengan
menyebut “dia” sebagai tokoh dalam cerita, (4)
pengarang peninjau, dalam pusat pengisahan ini
pengarang seakan-akan tidak tahu apa yang akan
dilakukan pelaku cerita atau yang ada dalam
pikirannya.
6. Moral
Menurut Nurgiyantoro (2015:429), moral merupakan
sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca, yang merupakan makna yang
terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna
yang disarankan lewat cerita.. Moral mempunyai
kaitan dengan masalah baik maupun buruk. Dalam
cerita anak moral bisa dikatakan sebagai
mengajarkan sesuatu. Adanya moral di dalam cerita
bisa dilihat sebagai saran pada suatu perilaku moral
secara praktis namun bukan petunjuk untuk
bertingkah laku.
a. Penggolongan wujud nilai moral
1) Nilai moral yang tercermin dari sikap manusia
terhadap Tuhan.
2) Nilai moral yang tercermin dari sikap manusia
terhadap sesama.

159
3) Nilai moral yang tercermin dari sikap manusia
terhadap diri sendiri.
4) Nilai moral yang tercermin dari sikap manusia
terhadap lingkungan.
b. Pesan moral yang berwujud religius dan kritik
sosial
Pesan moral yang berwujud moral religius
didalamnya bersifat keagamaan dan kritik sosial
banyak ditemukan dalam karya sastra. Hal itu
disebabkan banyaknya masalah kehidupan yang
tidak sesuai dengan harapan.
c. Teknik penyampaian moral
1) Teknik penyampaian bersifat langsung, teknik
ini dilakukan melalui pelukisan watak tokoh
yang bersifat uraian. Pengarang
menyampaikan nilai moral secara langsung
dan eksplisit. Teknik secara langsung ini
bersifat mengganti pembaca. Karena
pengarang secara langsung memberikan
petuahnya kepada pembaca.
2) Teknik penyampaian secara tak langsung,
teknik secara tidak langsung ini dapat
dilakukan melalui sikap dan tingkah laku
tokoh dalam menghadapi peistiwa konflik,
baik yang terlibat dalam tingkah laku verbal
maupun terjadi dalam pikiran dan perasaan.
Dalam teknik ini pembaca berusaha untuk
menemukan, merenungkan dan menghayati
nilai moral yang terkandung dalam karya
sastra.
7. Gaya Bahasa
Gaya bahasa juga menjadi perhatian dalam cerita
anak. Cerita anak mungkin saja isinya berpotensi
menarik, tetapi kalau bahasanya buruk, cerita
tersebut tidak akan pernah sampai dan mengena pada
diri anak. Sebelum mengetahui bahasa dalam cerita
anak, terlebih dahulu harus paham tentang bahasa

160
anak. Pada dasarnya bahasa anak dipengaruhi oleh
perkembangan kognitif anak. Bahasa anak antara lain
dapat diukur sesuai dengan perkembangan
kognitifnya (Sumardi 2012:103) seperti yang
dikemukakan oleh ahli psikologi perkembangan Swis,
Jean Piaget yaitu :
a. Tahap Motorik (Usia 0-2 tahun)
1) Mulai meniru, mengingat, dan berpikir.
2) Mulai mengenal obyek yang tampak.
3) Berkembang dari gerak reflek ke gerak yang
bertujuan.
b. Tahap Berpikir Sederhana (Usia 2-7 tahun)
1) Bahasanya mulai berkembang dan mampu
berpikir secara simbolik.
2) Mulai dapat berpikir logis dalam satu arah.
3) Sulit melihat masalah dengan sudut pandang
orang/anak lain.
c. Tahap Berpikir Konkret (Usia 7-11 tahun)
1) Mampu memecahkan masalah dengan
penalaran sederhana.
2) Memahami hukum persamaan, penggolongan
dan pertautan sederhana.
3) Memahami suatu kebalikan.
d. Tahap Berpikir Formal (Usia 11-15 tahun)
1) Mampu memecahkan masalah yang abstrak
secara logis.
2) Mampu berpikir secara lebih ilmiah.
3) Perhatian ke masalah sosial dan identitas
mulai berkembang.
Sejalan dengan tahap perkembangan kognitif tersebut,
dapat dipahami mengapa anak SD mengalami kesulitan
memahami kata-kata abstrak seperti hukum dan
ekonomi.

161
Mereka memahami pernyataan-pernyataan secara
tersurat dan sering salah paham memahami ungkapan.
Selain perkembangan kognitif, cerita anak hendaknya
juga memperhatikan konteks bahasa, sosial, budaya, atau
kehidupan anak dalam mengolah bahasa cerita anak.
Keempat hal tersebut sangat penting agar cerita anak
yang dikembangkan dapat menjadi milik anak-anak,
relevan, fungsional, menantang, dan menarik.
Menurut Sugihastuti (1996:70) bahasa cerita anak
merupakan wujud dari sebuah proses dialektik yang
bertolak dari idiom dunia berpikirnya dalam usaha dan
perjalanannya menjadi orang dewasa. Seiring
perkembangan ciri-ciri bahasa anak, seorang pengarang
cerita anak harus mau menciptakan karya mereka dalam
semangat bahasa anak-anak. Dengan demikian, bahasa
yang digunakan dalam cerita anak harus disesuaikan
dengan perkembangan bahasa anak. Sebaiknya bahasa
yang digunakan menggunakan kata-kata yang sederhana
dan konkret, kalimatnya disusun pendek agar mudah
dicerna oleh anak-anak. Aspek yang digunakan untuk
menelaah gaya dalam sebuah cerita anak adalah pilihan
kata. Apakah panjang atau pendek, biasa atau tidak,
membosankan atau menggairahkan. Kata-kata yang
digunakan haruslah tepat dengan cerita itu. Karena kita
tahu bahwa pilihan kata akan menimbulkan efek tertentu.
Bahasa bacaan cerita anak haruslah sederhana, tidak
terlalu kompleks. Bahasa dalam cerita anak hendaknya
lebih sederhana, komunikatif, tidak menggunakan istilah-
istilah yang sulit/asing didengar oleh anak, serta memilih
kata-kata yang positif/halus dan sering didengar oleh
anak.
Unsur ekstrinsik dalam cerita anak merupakan unsur
yang berasal dari luar cerita dimana unsur ekstrinsik
adalah jati diri dari pengarang yang memiliki pandangan
hidup bangsa, ideologi, sosial-budaya masyarakat sendiri
yang dijadikan sebagai latar dari cerita. Wallek dan
Warren (Rokhmansyah, 2014: 33) mengemukakan bahwa
unsur ekstrinsik karya sastra meliputi unsur biografi;
unsur psikologis; keadaan lingkungan; dan pandangan
hidup pengarang. Sedangkan Menurut Kosasih (2012: 72)

162
unsur ekstrinsik karya sastra yaitu: (1) latar belakang
pengarang (2) kondisi sosial budaya (3) tempat novel
dikarang. Hal senada disampaikan oleh Nurgiyantoro
(2005: 24) unsur ekstrinsik meliputi: (1) keadaan
subjektivitas pengarang (2) biografi pengarang (3) keadaan
psikologi (4) keadaan lingkungan pengarang.

Analisis Cerita Anak-Anak

Menganalisis cerita anak-anak cukup dengan memahami


unsur-unsur cerita yang digunakan pengarang dalam
bercerita. Pada hakikatnya unsur-unsur cerita tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Tidak ada
salah satu unsur cerita yang lebih penting dari unsur yang
lainnya. Semuanya saling mendukung untuk mencapai
keutuhan sebuah cerita yang layak untuk dihadirkan di
tengah-tengah masyarakat khususnya anak-anak.
Cerita anak-anak merupakan bagian dari karya sastra
anak. Sastra adalah media penghibur bagi masyarakat
karena karya sastra yang memiliki nilai estetika. Sastra
memiliki alur yang dapat memacu rasa keingitahuan
untuk menggali lebih dalam isi dari karya sastra tersebut.
Selain sebagai penghibur, sastra berfungsi sebagai media
penyampaian pesan-pesan dari pengarang kepada
pembaca. Menurut Nurgiyanto (2015:321), sebuah karya
sastra ditulis oleh pengarang untuk, antar lain
menawarkan model kehidupan yang diidealkannya.
Sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan
tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya
tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku
tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil
hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang
diamanatkan. Berasumsikan mengenai hal tersebut,
maka sastra merupakan media yang tepat sebagai
pembelajaran mengenai nilai-nilai kehidupan. Dengan
menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
terdapat pada cerita anak, maka karya sastra berupa
cerita anak sangat cocok bila diajarkan kepada anak-anak
karena menghadirkan sebagai media pembentukan
karakter anak dan juga memberikan banyak manfaat
kepada anak seperti berikut.

163
1. Melatih kemampuan bahasa anak
Cerita anak dapat membantu meningkatkan dan
melatih kemampuan bahasa anak. Anak yang terbiasa
mendengar, menyimak, atau membaca sendiri sebuah
cerita, mereka akan mengkin mendapatkan kosakata
yang baru. Apalagi jika cerita tersebut berbahasa
asing seperti Bahasa Inggris, tentu dapat
meningkatkan kemampuan dari bahasa asing anak-
anak yang sering membaca cerita anak tersebut.
2. Menstimulasi kreativitas
Anak yang dibiasakan mendengar dan membaca
cerita anak sejak kecil, akan terstimulasi untuk
berperilaku atau bersikap secara kreatif. Hal ini
dikarenakan anak terlatih dengan berpikir dan
mengaktifkan daya imajinatifnya mengenai jalan
cerita tersebut. Contohnya penggambaran dari
karakter, latar hingga konflik di dalam cerita. Dengan
menanamkan banyak ide pada anak tentu akan
menambah kreativitas mereka. Dan dari imajinatif
yang menumpuk di dalam pikiran ini juga yang dapat
membentuk sikap dan perilaku yang kreatif pada
anak-anak.
3. Meningkatkan kecerdasan dan membangun berpikir
kritis
Rasa ingin tahu tinggi yang timbul setelah membaca
atau mendengarkan cerita, anak akan mampu untuk
mengolah alur cerita dalam pikiran mereka. Biarkan
anak untuk memahami berbagai pesan yang ada di
dalam cerita setelah selesai membaca atau mendengar
ceritanya. Hal ini berguna untuk mengajarkan kepada
mereka untuk berbuat baik dan melatih bagaimana
mereka agar berpikir secara kritis.

164
Daftar Pustaka

Almaghribi. (2012). Menulis Dongeng Berdasarkan Usia


Anak.
http://www.almaghribicendekia.com/2012/09/memil
ih-dongeng-berdasarkan-usiaanak.html. Diunduh
pada tanggal 15 Mei 2022, pukul 07.45 WIB
Azizah, Nur Umiyatun. (2011). Pengembangan Bahan Ajar
Mengapresiasi Cerita Berbasis Cerita Anak Anti
Korupsi (Cantik) bagi Siswa SD Kelas Tinggi. Skripsi.
Unnes.
Hardjana. (2006). Cara Mudah Mengarang Cerita Anak-
Anak. Jakarta; PT Grasindo.
Kosasih, E. (2012). Dasar-dasar Keterampilan Bersastra.
Bandung: Yrama Widya.
Kurniawan, Heru. (2009). Sastra Anak dalam Kajian
Strukturalisme, Sosiologi, Semiotik, hingga Penulisan
Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nugiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak: Pengantar
Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
__________, Burhan. (2015). Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rokhmansyah.A., (2014). Studidan Pengkajian Sastra:
Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Sarumpaet, Riris K. Toha (2010). Penelitian Sastra Anak :
Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Siswantoro. (2010). Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Subyantoro. (2007). Model Bercerita Untuk Meningkatkan
Kecerdasan Emosional Anak. Semarang: Rumah Kita.
Sugihatuti. (1996). Serba-serbi Cerita anak. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suharianto, S. (2005). Dasar-Dasar Teori Sastra.
Semarang: Rumah Indonesia.

165
Sumardi. (2012). Kreatif Menulis Cerita Anak, Bagaimana
Menciptakan Cerita Anak yang Unggul. Bandung;
Nuansa Cendekia.
W. S., Titik, Riris K. Toha Sarumpaet, Korrie Layun
Rampan, dkk. (2012). Kreatif Menulis Cerita Anak.
Bandung: NUANSA.

166
11
MATERI PUISI
UNTUK ANAK-ANAK

Raysyah Putri Sitanggang, S.Pd., M.Pd.


UMSU

Pengertian Puisi

Karya sastra terdiri atas dua jenis sastra (genre), yaitu


prosa dan puisi. Biasanya prosa disebut disebut sebagai
karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan
terikat. Prosa itu karangan bebas berarti bahwa prosa
tidak terikat oleh aturan-aturan ketat. Puisi itu karangan
terikat berarti puisi itu terikat oleh aturan-aturan ketat.
Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair berusaha
melepaskan diri dari aturan yang ketat itu. Dengan
demikian, terjadilah kemudian apa yang disebut dengan
sajak bebas. Akan tetapi, sungguhkah sajak itu bebas.
Sajak tetap tidak bebas, tetapi yang mengikat adalah
hakikatnya sendiri, bukan aturan yang ditentukan oleh
sesuatu di luar dirinya. Aturan di luar diri puisi itu
ditentukan oleh penyair yang membuat dahulu ataupun
oleh masyarakat. Hal ini tampak pada puisi lama yang
harus mengikuti aturan-aturan yang tidak boleh
dilanggar, yaitu aturan bait, baris, jumlah kata, dan pola
sajak, terutama sajak akhir. Akan tetapi, sebelum
membicarakan pengertian puisi lebih lanjut, lebih dahulu
kita bicarakan peristilahan puisi.
1. Peristilahan
Dalam kesusastraan Indonesia ada 2 istilah, yaitu
sajak dan puisi. Kedua istilah itu sering

169
dicampuradukkan penggunaannya. Misalnya sajak
Chairil Anwar disebut juga puisi Chairil Anwar; sajak
Aku disebut juga puisi Aku. Mengapa demikian? Hal
ini disebabkan oleh masuknya istilah puisi dari
bahasa asing ke dalam sastra Indonesia. Istilah ini
berasal dari bahasa Belanda poezie. Dalam bahasa
belanda ada istilah lain gedicht yang berarti sajak,
tetapi istilah gedicht tidak diambil ke dalam bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Indonesia (Melayu) dahulu
hanya dikenal satu istilah sajak yang berarti poezie
ataupun gedicht. Poezie (puisi) adalah jenis sastra
(genre) yang berpasangan dengan istilah prosa.
Gedicht adalah indifidu karya sastra, dalam bahasa
Indonesia sajak, misalnya sajak Aku.
Jadi, dalam bahasa Indonesia hanya ada istilah sajak,
baik untuk poezie maupun untuk gedicht. Dalam
bahasa Inggris ada istilah poetry sebagai istilah jenis
sastra: puisi, dan poem sebagai indifidunya. Oleh
karena itu, istilah puisi itu sebaiknya dipergunakan
sebagai jenis sastra: poetry, sedangkan sajak untuk
indifidu puisi: poem.
Dengan demikian, penggunaan istilah puisi dan sajak
tidak dikacaukan. Misalnya, antologi puisi, puisi
Chairil Anwar untuk menunjuk jenis sastranya,
sedangkan untuk indifidu sajak Aku, sajak Pahlawan
Tak Dikenal. Telah dikemukakan di depan bahwa
puisi selalu berkembang dari periode ke periode.Oleh
karena itu, pengertian mengenai puisi pun turut
berubah.
Sebagai contoh, kita lihat jajaran sajak dari puisi lama
dan pusi baru: Angkatan Pujangga Baru, Angkatan
45, dan periode 1970 1990.
Contoh syair: Puteri menangis/seraya berkata,
Kakanda, Wai,/apa bicara kita,
Sakit perut/rasanya beta,
Berdebar lenyap/di dalam cita.
Masygul baginda/tiada terkira,

170
Hilanglah budi/lenyap bicara,
Berkata dengan/perlahan suara,
Kalau tuan/hendak berputera. (Ali sjahbana, 1996:
49)
Contoh sajak Pujangga Baru : Bukan Beta
Bijak Berperi
Bukan beta/bijak berperi,
pandai menggubah/madahan syair;
Bukan beta/budak negeri,
musti menurut/undangan mair.
Sarat saraf/saya mungkiri;
Untaian rangkaian/seloka lama,
beta buang/beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma. (Effendi, 1953: 28).
Dalam kedua sajak itu tampak adanya keteraturan
yang simetris, baitbait, baris-barisnya, bagian
barisnya (periodus), dan ada pola sajak akhir (/: garis
miring dari penulis untuk penjelas).
2. Puisi menurut Pengertian Lama
Dalam buku pelajaran kesusastraan untuk SMU,
masih tampak adanya pengertian puisi menurut
pandangan lama, salah satunya dalam buku
Wirjosoedarmo (1984: 51) sebagai berikut. Puisi itu
karangan yang terikat, terikat oleh (a) banyak baris
dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan); (b)
banyak kata dalam tiap baris; (c) banyak suku kata
dalam tiap baris; (d) rima; dan (e) irama.
Kalau Anda perhatikan contoh syair dan sajak
Rustam Effendi, penyair Pujangga Baru, tampaklah
bahwa kedua sajak itu sesuai dengan pengertian atau
definisi yang dikemukakan Wirjosoedarmo. Coba,
perhatikan contoh sajak penyair Pujangga Baru
berikut.

171
a. Gembala
Perasaan siapa/tidakkan nyala
Melihat anak/berlagu dendang
Seorang sahaja/di tengah padang
Tiada berbaju/buka kepala
Beginilah nasib/anak gembala
Berteduh di bawah/ kayu nan rindang,
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah/ di senja-kala. (Yamin, dalam
Jassin, 1987: 323)
Garis miring (/) dari penulis untuk memperjelas.
Sajak M. Yamin itu sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Wirjosoedarmo. Sajak itu
terikat oleh jumlah periodus, yaitu ada dua
periodus tiap baris. Periodus adalah bagian
pembentuk baris sajak. Satu periodus terdiri atas
dua kata. Pada umumnya, baris terdiri atas empat
kata. Tiap-tiap baris tampak adanya jumlah suku
kata yang sama atau hampir sama, antara 9 10
suku kata. Dalam sajak itu tampak adanya pola
sajak akhir yang tetap, yaitu a-b-b-a tiap baitnya.
Dengan adanya susunan teratur, jumlah kata dan
suku kata tetap dan pola sajak tetap maka
tampak adanya irama yang tetap atau ajeg.
Tampak dalam sajak contoh itu bahwa ikatan
formal; bentuk yang dapat dilihat mata. Bentuk-
bentuk formal itu adalah alat-alat atau sarana-
sarana kepuitisan untuk mendapatkan nilai
estetis atau nilai seni dengan bentuk formal yang
ajeg atau tetap dan simetris (Seimbang).
Akan tetapi, ikatan bentuk tetap itu tidak tampak
dalam sajak Chairil Anwar, lebih-lebih dalam
sajak Sutardji dan Damono. Jadi, ada perbedaan
pengertian mengenai puisi menurut pandangan
lama dan menurut pandangan baru. Hal ini
tampak dalam wujud sajaknya seperti dalam

172
contoh-contoh itu. Slametmuljana (1956: 112)
mengutip definisi A.W. de Groot mengenai puisi,
diantaranya sebagai berikut.
Di dalam sajak itu ada korespondensi dari corak
tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan
tertentu pula, meliputi seluruh sajak dari awal
sampai akhir. Maksud dari korespondensi (Slamet
muljana, 1956: 113) adalah segala ulangan
susunan baris sajak yang tampak di baris lain
dengan tujuan menambah kebagusan sajak.
Kebanyakan tiap baris sajak terdiri atas
bagianbagian yang susunannya serupa. Bagian
itu disebut periodus, jadi kumpulan jumlah
periodus itu merupakan bagian sajak.
Dengan kata lain, periodus itu adalah pembentuk
baris sajak menurut sistem. Adapun periodisitas
adalah sistem susunan bagian baris sajak atau
sistem periodus. Untuk menjelaskan
korespondensi dan periodisitas, mari perhatikan
kutipan sajak berikut. Sebagai pemisah periodus
digunakan garis miring (/).
b. Dibawa Gelombang
Alun membawa/bidukku perlahan
Dalam kesunyian/malam waktu,
Tidak berpawang,/tidak berkawan,
Entah ke mana/aku tak tahu.
Jauh di atas/bintang kemilau,
Seperti sudah/berabad-abad.
Dengan damai/mereka meninjau
Kehidupan bumi,/yang kecil amat.
ku bernyanyi/dengan suara
Seperti bisikan/angin didaun;
Suaraku hilang/dalam udara,
Dalam laut/yang beralun-alun.

173
Alun membawa/bidukku perlahan
Dalam kesunyian/malam waktu,
Tidak berpawang,/tidak berkawan,
Entah ke mana/aku tak tahu. (Sanusi Pane,
dalam Jassin, 1987: 250)
Dalam sajak ini tampak bait-bait yang jumlah
barisnya sama dan susunannya sama. Jadi, tiap
bait itu berkorespondensi dari bait pertama ke
bait keempat. Korespondensi itu berupa ulangan
bait, ulangan susunan barisbaris yang selalu
sama, dengan tujuan untuk menambah
kebagusan sajak. Kebagusan dalam sajak itu
berupa susunan yang simetris atau seimbang
hingga menimbulkan irama yang teratur (ajeg).
Susunan baris sajak itu menurut sistem, yaitu
tiap baris sajak terdiri atas dua bagian yang
simetris. Tiap bagian pembentuk baris sajak itu
terdiri atas dua kata; Alun membawa/bidukku
perlahan. Bagian pembentuk baris menurut
sistem tertentu itulah yang disebut periodus. Tiap
baris terdiri atas dua periodus. Sistem baris terdiri
atas dua periodus itu berlangsung dari awal sajak
(baris pertama bait pertama): Alun
membawa/bidukku perlahan, sampai baris
terakhir: Entah ke mana/aku tak tahu. Sistem
periodus itulah yang disebut periodisitas. Jadi,
periodisitasnya: tiap baris terdiri atas dua
periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata, dari
awal baris ke akhir baris tidak berubah (sama).
Hal seperti itu, korespondensi dan periodisitas
berlaku bagi sajak lama dan puisi Pujangga Baru.
Akan tetapi, hal itu tidak berlaku lagi bagi puisi
sesudah Pujangga Baru pada umumnya
meskipun masih ada juga sajak yang menyerupai
puisi Pujangga Baru. Kalau Anda lihat contoh
sajak Chairil Anwar, Sutardji, dan Damono tidak
ada korespondensi dan periodisitas mulai dari
awal sampai akhir.

174
Jadi, puisi modern mempunyai pengertian sendiri,
yang berbeda dengan puisi lama.
3. Puisi menurut Pengertian Baru
Para penyair baru (modern) menulis puisi tanpa
mempedulikan ikatanikatan formal seperti puisi lama.
Akan tetapi, mengapa tulisannya atau hasil karyanya
masih disebut sebagai puisi?
Hal ini disebabkan oleh pemahaman bahwa bentuk-
bentuk formal itu hanya merupakan sarana-sarana
kepuitisan saja, bukan hakikat puisi. Penyair dapat
menulis dan mengombinasikan sarana-sarana
kepuitisan yang disukainya. Sarana kepuisian dipilih
dengan tujuan untuk dapat mengekspresikan
pengalaman jiwanya.
Para penyair Angkatan 45 memilih sarana kepuitisan
yang berupa diksi atau pilihan kata secara tepat,
pilihan kata yang dapat memberikan makna
seintensitas mungkin, yang dapat merontgen ke putih
tulang belulang, kata Chairil Anwar (Jassin, 1978:
136).
Sarana kepuitisan yang berupa sajak akhir masih
dipergunakan juga demi intensitas arti atau
maknanya. Akan tetapi, sajak akhir itu harus berupa
pola bunyi yang teratur dan tetap. Contohnya, seperti
sajak Asrul Sani berikut.
a. Anak Laut
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
dan bermimpi tengah hari
Akan negeri jauhan
Pasir dan air seakan
Bercampur. Awan
Tiada menutup
mata dan hatinya rindu

175
melihat laut biru.
“Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan daku.”
“Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya.”
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan. (Jassin, 1969: 87)
Coba Anda lihat adakah korespondensi dan
periodisitas dari awal ke akhir sajak Asrul Sani itu
? Tunjukkan kalau ada Sajak itu mempergunakan
sarana kepuitisan berupa sajak akhir, tetapi tidak
berdasar pola yang tetap, tampak dalam bait
pertama, kedua, dan ketiga. Sajak akhir itu terjadi
secara spontan, tidak direkayasa, seperti tampak
dalam bait ketiga.
Sajak Sapardi Djoko Damono di bawah ini sama
sekali tidak menunjukkan sajak (puisi) menurut
pengertian puisi lama. Sengaja ditulisnya seperti
prosa. Air Selokan “Air yang di selokan itu
mengalir dari rumah sakit”, katamu pada suatu
hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan
bersama istrimu yang sedang mengandung-ia
hampir muntah karena bau sengit itu. Dulu di
selokan itu mengalir pula air yang digunakan
untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur
darah dan amis baunya.

176
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan
mayat di kamar mati. * Senja ini ketika dua orang
anak sedang bergerak di tepi selokan itu, salah
seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
“Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu –
alangkah indahnya!” Tetapi kau tak mungkin lagi
menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di
permukaan air yang anyir baunya itu, sayang
sekali, (Damono, 1983: 18)
Sajak Air Selokan itu dapat disimpulkan gagasan
pokoknya atau temanya sebagai berikut. Rumah
sakit malah menyebar penyakit ke tengah
masyarakat dengan membuang limbah ke
selokan. Hal itu sudah berjalan lama sekali. Paling
sedikit sejak engkau lahir sampai beristri dan
istrinya mengandung. Nah, ini pastilah ironi, yaitu
menyindir secara tidak langsung dengan
mengemukakan kontradiksi: Rumah sakit, tetapi
menyebar penyakit! Jadi, teranglah bahwa
pengertian puisi menurut pandangan puisi
modern itu berdasarkan hakikatnya, bukan
berdasarkan bentuk formalnya.
Puisi modern memang terikat juga, tetapi terikat
oleh hakikatnya sendiri. Dapat dikatakan, sampai
sekarang, belum ada rumusan pengertian puisi
menurut pandangan puisi modern yang
berdasarkan hakikat puisi itu. Akan tetapi,
berdasarkan contoh-contoh itu dapat
disimpulkan bahwa puisi itu adalah ucapan atau
ekspresitidak langsung. Di samping itu juga, puisi
itu ucapan ke inti pasti masalah, peristiwa
ataupun narasi (cerita, penceritaan).
4. Ciri-Ciri Puisi
Secara singkat dapat disebutkan bahwa ciri-ciri puisi
adalah bentuknya padat, bahasanya bermakna
konotatif, dan tipografinya khas. Puisi itu bentuknya
padat. Puisi ditulis dengan jumlah kata yang terbatas.
Namun demikian, maknanya luas, membias, atau
tidak tertentu. Oleh karena itu, bisa jadi puisi yang

177
baik adalah puisi yang maknanya ambigu. Yang jelas,
puisi lebih singkat daripada prosa. Walaupun ada
prosa yang bentuknya padat dan ada puisi yang
bentnya seperti prosa, tetapi tetap saja kita dapat
membedakan antara puisi dan prosa, karena puisi
bentuknya padat.
Bahasa puisi pada umumnya bermakna konotatif,
bermakna lambang. Karena puisi menyatakan
sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre
ketidaklangsungan itu, terjadi karena terjadi
penggantian arti, penciptaan arti, dan penyimpangan
arti. Dalam bahasa sehari-hari terate itu artinya
'bunga terate'. Akan tetapi, dalam puisi terate bisa
berarti 'pahlawan pendidikan'. Inilah yang dimaksud
dengan penggantian arti, arti yang lama digantikan
dengan arti yang baru.
Selain penggantian arti, dalam puisi juga terjadi
penyimpangan arti. Dalam penyimpangan arti, arti
yang lama disimpangkan, diselewengkan,
dimencongkan. Dalam puisi penyimpangan arti
biasanya dilakukan dengan cara menciptakan
ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas
berarti makna ganda, kontradiksi adalah suasana
bertentangan atau berlawanan, sedangkan nonsense
adalah bentuk-bentuk bahasa yang di dalam
komunikasi biasa tidak berarti tetapi dalam puisi
sangat bermakna. Dalam komunkasi biasa kata
“winka” dan “sihka” tidak berarti.
Demikian juga kata “tralala” dan “trilili”. Dalam puisi
Sutardji kata “winka“ dan “sihka” sangat berarti.
Penciptaan arti biasanya dilakukan penyair dengan
menciptakan model pembaitan, persajakan,
enjambement, tipografi, dan homologues. Dalam puisi
bentuk-bentuk bait memiliki makna tersendiri.
Bentuk bait berkaitan dengan isinya. Dalam puisi
bentuk persajakan juga memiliki makna tersendiri.
Untuk menggambarkan suasana gelap penyair
banyak menggunakan model aliterasi.

178
Sementara itu, untuk menggambarkan suasana
terang, senang dan gembira banyak digunakan
asonansi. Enjambement, tipografi, dan homologues
juga seringkali digunakan penyair untuk menciptakan
arti.
Enjambement adalah bagian baris puisi yang terdapat
pada baris lain. Bagian ini bisa berupa kata dan bisa
juga berupa frasa. Bait I puisi Nia Nur Adiya yang
berjudul Narkoba tertulis begini: //Kau telah
mencemari/banyak orang/Kau telah mencemari
negeri ini/banyak pemuda-pemudi kau/racuni//.
Baris kedua yang berbunyi /banyak orang/
sebenarnya merupakan bagian dari baris pertama
yang berbunyi /Kau telah mencemari/. Demikian juga
baris keenam yang berbunyi /racuni/, sebenarnya
merupakan bagian dari baris kelima yang berbunyi
/banyak pemuda-pemudi kau/. Jadi baris kedua dan
keenam dalam bait tersebut merupakan contoh
bentuk enjambement.
Tipografi sering disebut dengan ukiran bentuk. Dalam
prosa, tipografi berupa paragraf atau alinea. Dalam
puisi kehadiran tipografi untuk menandai pergantian
bait. Pergantian pokok pikiran.
Sementara itu, homologus adalah bentuk-bentuk
persamaan dalam puisi. Puisi yang jumlah baris
dalam setiap baitnya sama, misalnya dua baris atau
tiga bagis disebut puisi yang berhomologus. Pantun
misalnya, merupakan contoh puisi yang
berhomologus. Puisi yang terdapat di dalamnya
bentuk-bentuk paralelisme, disebut berhomologus.
Ciri lain karya sastra bentuk puisi adalah tipografinya
khas puisi. Tipografi berarti ukiran bentuk atau tata
wajah. Dilihat dari tipografinya, puisi berbeda dengan
prosa. Tipografi puisi penyair yang satu berbeda
dengan tipografi penyair lainnya. Bahkan, puisi yang
satu tupografinya berbeda dengan puisi yang lain
walaupun penyairnya sama. Itulah ciri-ciri puisi
menurut salah satu sumber.

179
Pendapat lain tentang ciri-ciri puisi dikemukakan
Waluyo (2003: 2-13). Guru besar ilmu sastra
Universitas Sebelas Maret ini berpendapat bahwa
dilihat dari sisi bahasanya puisi memiliki ciri (1)
bahasanya padat, (2) kata-katanya bermakna
konotatif, (3) memiliki kata konkret, (4) mengandung
pengimajian, (5) adanya rima, dan (6) tata wajahnya
khas. Tentang bahasanya yang padat, kata-katanya
bermakna konotatif, dan tata wajahnya yang khas
telah dibicarakan di muka. Tetang kata konkret,
pengimajian, dan rima akan dibahas dalam
unsurunsur pembangum puisi.
5. Menemukan Tema Puisi
Tema adalah ide dasar yang mendasari sebuah
tulisan, termasuk puisi. Tema puisi menjadi inti dari
makna atau pesan yang ingin disampaikan penyair
dalam puisinya. Meskipun bahasa yang digunakan
dalam puisi cenderung bermakna konotatif, tetapi
tema puisi salah satunya dapat dirunut dengan
menggunakan katakata kunci dalam puisi tersebut.
Tema puisi akan sangat menentukan penyair dalam
memiih kata-kata yang digunakan dalam puisinya.
Dalam puisi Aku Ingin karya sapardi Djoko Damono
di atas tema puisinya adalah tentang cinta. Tema ini
dapat dengan mudah ditemukan karena pengulangan
kalimat “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana’
sebanyak dua kali. Sementara itu, tema puisi ‘Sajak
Anak Muda’, adalah pendidikan. Tema ini dapat
ditemukan dari penggunaan katakata yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan seperti ilmu hukum,
filsafat, logika, serta istilah pendidikan seperti
pendidikan, pengetahuan, sekolah dan ujian.
6. Menemukan Makna Puisi
Mari kita renungkan dan diskusikan mendiskusikan
maksud yang ingin disampaikan oleh penyair, W.S.
Rendra dalam puisi “Sajak Anak Muda”. Pesan yang
ingin disampaikan oleh penyair itulah yang dimaksud
makna. Tentu saja, pesan itu boleh lebih dari satu.

180
Berikut adalah contoh analisis makna puisi “Sajak
Anak Muda”
No Makna Larik Puisi
1. Pendidikan di Indonesia Dasar pendidikan kita adalah
lebih banyak ditujukan kepatuhan. Bukan pertukaran
pada hafalan teori, bukan pikiran. Ilmu sekolah adalah ilmu
pemahaman atas suatu hafalan, dan bukan ilmu latihan
konsep, bukan menguraikan.
penguasaan konsep dan
ketrampilan.
2. Pemberian ijazah di Seseorang berhak diberi ijazah
Indonesia, misalnya dokter, dianggap sebagai orang
kepada dokter, tidak terpelajar, tanpa diuji
menyertakan kalayakan pengetahuannya akan keadilan.
perilaku penerima Dan bila ada tirani merajalela, ia
ijazahnya. Akibatnya, diam tidak bicara, kerjanya cuma
seorang dokter hanya menyuntik saja.
akan mengobati
pasiennya tanpa pernah
peduli pada ketidakadilan
yang terjadi di sekitarnya.
3. Penyair ingin memprotes Mahasiswa-mahasiswa ilmu
kepada para ulama yang hukum dianggap sebagi bendera-
memiliki kewenangan bendera upacara, sementara
memberikan label halal. hukum dikhianati erulang kali.
Mengapa rokok yang jelas Mahasiswamahasiswa ilmu
jelas mengandung lebih ekonomi dianggap bunga plastik,
banyak racun dan lebih sementara ada kebangkrutan dan
berbahaya baik bagi banyak korupsi.
perokok maupun orang
orang di dekat perokok
masih boleh dikonsusmi?
Padahal babi dan khamr
(arak) yang mempunyai
kandungan racun lebih
sedikit saja diharamkan.

7. Membaca Puisi
Beberapa hal yang harus dipahami ketika akan
membacakan puisi, yaitu mengetahui cara
membacanya. Berikut adalah hal-hal yang harus
diperhatikan. Rima dan irama, artinya dalam
membaca puisi tidak terlalu cepat ataupun terlalu
lambat. Membaca puisi berbeda dengan membaca
sebuah teks biasa karena puisi terikat oleh rima dan
irama sehingga dalam membaca puisi tidak terlalu
cepat ataupun juga terlalu lambat. Selain hal-hal di

181
atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika
akan membacakan puisi yaitu sebagai berikut.
a. Vokal
Suara yang dihasilkan harus benar. Salah satu
unsur dalam vokal ialah artikulasi (kejelasan
pengucapan). Kejelasan artikulasi dalam
mendemonstrasikan puisi sangat perlu. Bunyi
vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ai/, /au/,
dan sebagainya harus jelas terdengar. Demikian
pula dengan bunyi-bunyi konsonan.
b. Ekspresi
Ekspresi ialah pengungkapan atau proses
menyatakan yang memperlihatkan atau
menyatakan maksud, gagasan, dan perasaan.
Ekspresi mimik atau perubahan raut muka harus
ada, namun harus proporsional, sesuai dengan
kebutuhan menampilkan gagasan puisi secara
tepat.
c. Intonasi (tekanan dinamik dan tekanan tempo)
Intonasi ialah ketepatan penyajian dalam
menentukan keras dan lemah pengucapan suatu
kata. Intonasi terbagi menjadi dua yaitu tekanan
dinamik (tekanan pada kata-kata yang dianggap
penting) dan tekanan tempo (cepat lambat
pengucapan suku kata atau kata).
Setelah kalian memahami langkah-langkah di
atas dalam mendemonstrasikan puisi, dan untuk
mendukung cara pembacaaannya, kita dapat
menggunakan teknikteknik sebagai berikut.
1) Membaca dalam hati puisi tersebut berulang-
ulang.
2) Memberikan ciri pada bagian-bagian tertentu,
misalnya tanda jeda. Jeda pendek dengan
tanda (/) dan jeda panjang dengan tanda (//).
Penjedaan panjang diberikan pada frasa,
sedang penjedaan panjang diberikan pada
akhir klausa atau kalimat.

182
3) Memahami suasana dan menghayati tema,
dan makna puisinya.
4) Menghayati suasana, tema, dan makna puisi
untuk mengekspresikan puisi yang kita baca.
Puisi Anak-Anak
Sudah disebutkan bahwa sastra anak-anak adalah sastra
yang dibaca anak-anak “dengan bimbingan dan
pengawasan orang dewasa, sedang penulisannya juga
bisa dilakukan oleh orang dewasa. Nurgiyantoro (2005:
30-33) mengusulkan genre sastra anak-anak itu menjadi
lima, yaitu fiksi, nonfiksi, puisi, sastra tradisional, dan
komik. Di sini, tampak jelas bahwa puisi anak-anak
menjadi bagian dari sastra anak-anak.
Berdasarkan hal itu, yang dimaksud dengan puisi anak-
anak adalah puisi yang sengaja ditulis untuk terutama
dibaca anakanak dengan bimbingan dan pengawasan
orang dewasa. Karena puisi anak-anak pembacaannya
dengan bimbingan orang dewasa, orang dewasa pun bisa
menulis puisi anak-anak. Dengan seperti itu, orang
dewasa dapat merencanakan puisi yang ditulisnya.
1. Ciri-Ciri Puisi Anak-anak
Menurut Sumartinah (1992) puisi yang diberikan
kepada anak-anak sebagai bahan pembelajaran
apresiasi sastra puisi anak-anak hendaknya memiliki
dua ciri, yaitu memenuhi aspek keterbacaan dan
kesesuaian. Puisi akan mememenuhi ciri keterbacaan
apa bila dua hal. Pertama, bahasa yang digunakan
sebagaisarana penulisannya dapat dipahami anak-
anak. Artinya, kosa kata yang digunakan dikenal oleh
mereka, susunan kalimatnya sederhana sehingga
dapat dipahami oleh anak-anak. Kedua, pesan yang
terkandung dalam puisi anak-anak dapat dibaca dan
dipahami anak-anak, karena tidak bersifat diaphan
(tersembunyi), melainkan transparan.
Yang dimaksud dengan kesesuaian di sini adalah
kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan
kejiwaan anak-anak. Anak SD, misalnya, pada
umumnya lebih menyukai kisah-kisah kehidupan

183
mereka sehari-hari, seperti cerita petualangan,
kehidupan keluarga, dan kejadian-kejadian di
lingkungan sekolah.
2. Macam Puisi Anak-Anak
Huck et. al. (1987: 406- 12) membedakan puisi anak-
anak atas empat macam, yaitu balada (ballads), puisi
naratif (narrative poems), vese bebas (free verse), dan
puisi konkret (concrete poetry).
Menurut Huck et. al. (1987: 406) balada adalah puisi
yang berisi cerita yang sengaja ditulis untuk
dinyanyikan atau digubah dalam bentuk nyanyian.
Karena ditulis dalam bentuk cerita, puisi ini
mempunyai tokoh, latar, alur, dan materi yang
diceritakan. Puisi dalam bentuk balada tidak melulu
berupa puisi anak-anak, melainkan puisi-puisi lain
pada umumnya.
Menurut Mitchell (2003: 147) puisi naratif adalah
puisi yang berisi cerita. Wujud puisi naratif bisa
berupa puisi lirik, soneta, atau syair.Namun, satu hal
yang pasti adalah bahwa puisi ini berisi cerita. Salah
satu contoh puisi naratif adalah “Putri Bangau” karya
Leon Agusta.
Puisi bebas disebut juga puisi modern, yaitu puisi
yang bentuk dan isinya bebas. Bentuknya dikatakan
bebas karena sudah tidak ada lagi ikatan-ikatan
seperti yang terdapat pada puisi lama serupa pantun
dan syair. Isinya dikatakan bebas karena apa pun bisa
diungkapkan dalam bentuk puisi, termasuk
ungkapan perasaan pribadi penyairnya. Alisjahbana
menyebut puisi bebas sebagai puisi baru, yang
merupakan bentuk perlawanan dari puisi lama
layaknya pantun dan syair itu.
Puisi konkret adalah puisi yang bentuknya gambar,
misalnya gambar kucing, kambing, gambar segi tiga,
segi empat, lingkaran, dan sebagainya. Karena
bentuknya gambar, penikmatannya bukan dibaca,
melainkan dilihat seperti layaknya menikmati gambar
atau lukisan. Puisi lirik adalah puisi yang

184
menggambarkan suasana hati, jiwa, perasaan, dan
pikiran penyairnya. Mitchell (2003: 148) menyebut
puisi lirik s ebaga i puisi yang membangkitkan emosi,
perasaan, atau mood tertentu. Dalam puisi lirik,
emosi, perasaan, dan pikiran yang menjiwai puisi ini
diekspresikan sedemikian rupa dengan cara-cara
yang intensif dan ekspresif. Di antara puisi-puisi anak
jenis lain, puisi lirik terbukti paling banyak dijumpai,
karena memang paling banyak disukai oleh
penyairnya. Sementara itu, Mitchell (dalam
Nurgiyantoro, 2005) membedakan puisi anak-anak
menjadi lima, puisi naratif (narrative poems), puisi
lirik (lyrical poems), puisi dengan bentuk khusus
(poems with specific forms), verse bebas (free verse),
dan puisi konkret (concrete poetry).

185
Daftar Pustaka

Alisyahbana, S. Takdir. (1996). Puisi lama. Jakarta:


Anwar, Chairil. (1959). Deru Campur Debu. Jakarta:
Yayasan Pembangunan.
Dian Rakyat. Andangdjaya, Hartoyo. (1973). Buku Puisi.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Efendi, Rustam. (1953). Percikan Permenungan. Jakarta:
FASCO.
Hamzah, Amir. (1959). Buah Rindu. Jakarta: Pustaka
Rakyat
Handiyani, Seni, dkk. 2016. Buku Siswa Bahasa dan
Sastra Indonesia Sarana Interaksi dan Berekspresi
untuk SMA/ MA Kelas X Peminatan Ilmu-Ilmu Bahasa
dan Budaya. Jakarta: Grafindo Media Pratama.
Herfanda, Ahmadun Yusi. (1996). Sembahyang
Rumputan. Yogyakarta: Bentang.
Kosasih, Engkos. 2017. Cerdas Berbahasa dan Bersastra
Indonesia untuk SMA/MA Kelas X kelompok
Peminatan Bahasa dan Budaya. Jakarta: Erlangga.
Marahimin, Ismail. 2003. “Pembekalan, pada Bengkel
Penulisan Cerita Anak” dalam Titik W.S. et al. Teknik
Menulis Cerita Anak. Jakarta: Pink Book.
Maulana, Sofi Farid. (1984). Bunga Kecubung. Tasik
Malaya: Gotong Royong Sastra.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar
Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Pane, Sanusi. (1957). Madah Kelana. Jakarta: Balai
Pustaka.
Soejarwo. (1993). Bunga-bunga Puisi dan Taman Sastra
Kita. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
Sumartinah, Sri.1992. “Trio Tifa Bacaan Anak-anak Seri
Petualangan: Analisis terhadap Tokoh dan Alur.”
Jakarta: Skripsi Fakultas Sastra UI.
Waluyo, Herman J. 2003. Teori dan Apresiasi Puisi.
Jakarta: Erlangga.

186

Anda mungkin juga menyukai