i
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Editor:
Herry Mardianto
Penulis:
Y.B. Margantoro
Tirto Suwondo
P. Ari Subagyo
Indra Tranggono
Agus Noor
Sri Harjanto Sahid
Imam Budi Utomo
B. Rahmanto
Hamdy Salad
Landung R. Simatupang
Agus Prasetiya
Bambang J. Prasetya
Nur Iswantara
Cetakan Pertama:
November 2012
ii
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Pengantar Editor
iii
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Herry Mardianto
iv
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Salah satu visi Balai Bahasa Provinsi DIY adalah menjadi pusat
informasi yang lengkap dan menjadi pelayan prima di bidang
kebahasaan dan kesastraan di Daerah Istimewa Yogyakarta
khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu,
salah satu misi yang dilakukan adalah mengembangkan bahan
informasi kebahasaan dan kesastraan baik Indonesia maupun dae-
rah (Jawa). Dengan visi dan misi yang demikian, Balai Bahasa
Provinsi DIY beharap agar bahan informasi kebahasaan dan kesas-
traan itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka
pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra
di Indonesia seperti yang diamanatkan di dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009.
Berkenaan dengan hal itulah, seperti dilakukan pula pada
tahun-tahun sebelumnya, Balai Bahasa Provinsi DIY tahun ini
(2012) kembali menerbitkan sejumlah buku kebahasaan dan kesas-
traan. Buku-buku yang diterbitkan itu antara lain ada yang berisi
kajian atau ulasan ilmiah di bidang kebahasaan dan kesastraan,
ada yang berisi esai tentang cara bagaimana proses kreatif berba-
hasa dan bersastra, dan ada pula yang berisi karya-karya kreatif
(puisi atau cerpen). Buku berjudul Proses Kreatif Penulisan dan Pe-
manggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi) ini, salah satu di
antaranya, berisi petunjuk praktis penulisan karya ilmiah populer
dan fiksi serta pemanggungan karya sastra. Sekali lagi, Balai
Bahasa berharap agar buku ini dapat dijadikan pegangan dan
v
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
vi
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
DAFTAR ISI
viii
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
BAHASA JURNALISTIK
Y.B. Margantoro
1
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sional akan nilai yang ada di balik objek-objek itu. Logika kita
bisa berjalan untuk menghubung-hubungkan semua itu tanpa
bantuan bahasa, tetapi pada saat kita ingin mengungkapkan se-
mua hal itu, perangkat bahasa siap untuk menyalurkannya. Dan,
karena bahasa sudah dipelajari dan dikuasai sejak kecil, semua
penginderaan, perasaan, dan hasil penalaran selalu mempergu-
nakan bahasa sebagai alat pengungkapnya.
Karena emosi menyangkut sesuatu yang intern dalam tiap
manusia dan kemampuan penalaran juga merupakan warisan
utama bagi setipa manusia, maka yang paling penting di sini
ialah kemampuan seorang penulis/wartawan mempertajam daya
penginderaannya terhadap apa yang ada di sekitarnya. Keta-
jaman penginderaan ini bisa dilatih, antara lain dengan meng-
ungkapkan melalui bahasa.
Bahasa yang dipergunakan harus efektif, artinya harus
mampu menyampaikan secara tepat apa yang dipikirkan, dan
bahasa yang digunakan harus mampu “menggerakan” orang-
orang yang membaca/mendengar amanatnya sehingga tercipta
suatu pengertian yang sama dengan apa yang dipikirkan penulis.
Ini sebenarnya, dasar komunikasi.
Perhatikan contoh berikut, karena susunan bahasanya tidak
baik, maka fakta yang hendak dan perlu dikemukakan menjadi
tidak jelas:
1. Terbungkus rapi setebal kira-kira duapuluh sentimeter,
Laksamana Sudomo menyebutkan berkas perkara tersebut
baru merupakan hasil pemeriksaan intelijen.
2. Ketika berusia 5 tahun, ayahnya, Wonorejo, meninggal
dunia.
3. Di Tasikmalaya ada 60 orang korban meninggal, tetapi tidak
melapor.
Contoh lain yang menyangkut soal generalisasi, sebagai
berikut:
1. Daniel orang Timtim sehari-hari makan jagung.
2. Peter orang Timtim sehari-hari makan jagung.
2
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Tiga Aspek
Bahasa jurnalistik, termasuk di dalamnya kalimat jurnaliastik
mencakup tiga aspek, yaitu penguasaan materi (isi) yang dike-
mukakan, kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar,
dan teknik penyajian. Ketiga aspek ini tidak bisa dipisahkan satu
dengan lainnya (LP3Y, 1990).
Dalam kehidupan sehari-hari terasa ada dua perangkat nor-
ma bahasa yang bertumpang tindih, yaitu berupa norma yang
dikodifikasi dalam bentuk tata bahasa di sekolah, dan norma
berdasarkan kebiasaan pemakaian. Norma yang terkhir ini belum
dikodifikasi secara resmi, antara lain, yang dianut oleh kalangan
media massa (wartawan) dan sastrawan muda, terutama dalam
pers.
Selain itu, diakui adanya posisi yang berbeda dari ling-
kungan guru di satu pihak, dengan lingkungan wartawan dan
sastrawan di pihak lain, yang menghasilkan dua parangkat nor-
3
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
4
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
5
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
6
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
7
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Bahasa komunikatif:
- Tulisan popular bisa tercipta kalau bahasa yang dipakai juga
bahasa populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat
dalam media massa.
- Bahasa popular tidak mementingkan kata-kata yang indah
dan kalimat yang mengharukan, tetapi yang komunikatif
(bebas dari kata pemanis dan basa-basi, serta cepat dapat
ditangkap maksudnya). Caranya dengan menyederhanakan
susunannya/persoalan yang dikemukakan.
- Ringkas, tetapi jelas.
- Lengkap dan teliti (misalnya, bisa menjawab pertanyaan
“berapa”, dan teliti memilih/menyusun kata/kalimat).
- Kata kecil dan kalimat pendek.
8
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
9
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
10
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
11
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kiat Menulis
Kiat menulis di media massa secara ringkas sebagai berikut:
1. Mempunyai rancangan gagasan yang jelas tentang fenome-
na tertentu: menyangkut bidang-bidang tertentu dan atau
isu yang sedang hangat.
2. Kita memiliki data dan fakta yang cukup untuk mendukung
opini kita. Dengan kata lain, ada pendapat harus ada argu-
mentasinya. Di sini diperlukan kemampuan memilih data
dan fakta yang pas bagi tulisan kita.
3. Memiliki kemampuan menulis yang bisa dibaca atau di-
mengerti orang lain.
4. Mengetahui selera media massa yang akan kita kirimi karya
tulis. Media macam apa dia, beredar di mana, pembacanya
siapa saja, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita menge-
tahui secara persis medan yang akan kita serang.
5. Sebelum itu semua, kita harus memiliki kejelian. Jeli meng-
ikuti perkembangan dan jeli menangkap satu fenomena un-
tuk diangkat sebagai karya tulis. Kalau layak muat dipenuhi,
tepat waktu, dan bernasib baik maka muncullah karya tulis
itu di media massa.
12
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
13
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
14
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PROSES KREATIF
PENULISAN ESAI DAN FEATURE
Tirto Suwondo
ESAI
Esai bukanlah merupakan karangan ilmiah, bukan pula ka-
rangan sastra. Pada karangan ilmiah, subjek cenderung (bahkan
harus) diabaikan dan objek diutamakan. Sebaliknya, pada ka-
rangan sastra, objek cenderung diabaikan dan subjek diutama-
kan. Sementara itu, pada karangan esai, subjek dan objek sama-
sama hadir menjadi hal penting dan tidak boleh diabaikan.
Karangan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi) ditulis
berdasarkan kaidah penulisan ilmiah, demikian juga karangan
sastra ditulis berdasarkan kaidah penulisan sastra (novel, cerpen,
puisi, drama). Sementara itu, karangan esai justru ditulis tanpa
kaidah apa-apa. Esai dapat ditulis dengan mengabaikan kaidah
atau aturan penulisan yang baku. Itu berarti esai ya dan tidak
objektif dan subjektif. Kalau karangan ilmiah bersifat positivistik,
karangan sastra bersifat idealistik, sedangkan karangan esai
bersifat fenomenologik.
Dalam penulisan esai, penalaran yang digunakan adalah
penalaran lateral, sebuah penalaran yang merupakan alternatif
bagi penalaran vertikal yang logis. Dengan penalaran lateral,
seseorang (penulis) dapat bermain-main dengan gagasan, objek,
data, eksperimen, dan sebagainya. Penalaran lateral justru akrab
dengan logika anekdot dan membuka ruang yang cukup lebar
15
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
16
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
17
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dimuat di KR. Hal ini juga sekaligus berarti kita memahami bagai-
mana selera redaksi. Mengapa hal ini harus dilakukan? Sebab,
selera setiap media massa berbeda-beda.
Hanya saja, yang sering menjadi kendala adalah ketika kita
sudah duduk di depan mesin ketik atau komputer. Ide di kepala
sudah mendesak-desak minta ditulis, tetapi lead pada paragraf
pertama terus-menerus gagal ditulis. Karena itu, buatlah ke-
rangka (outline). Tentang judul, boleh ditulis di awal atau di
akhir; namun yang paling baik adalah ditulis di awal baru ke-
mudian direvisi di akhir. Sebab, judul akan mengendalikan arah
dan fokus. Tetapi, terkadang, ketika sedang menulis, ide-ide
pelengkap muncul mendadak, sehingga judul seringkali harus
diubah atau diganti.
Setelah menentukan judul (sementara), kerangka yang kita
susun mula-mula berupa gagasan-gagasan besar yang mendu-
kung judul. Gagasan-gagasan itu kita tuangkan dalam bentuk
kalimat-kalimat. Jika perlu kalimat-kalimat yang berisi gagasan-
gagasan besar itu kita pecah lagi menjadi beberapa gagasan yang
lebih kecil, dan seterusnya, sampai kita merasa sudah cukup
lengkap dan kuat untuk menyampaikan/mendukung ide tulisan.
Bagi penulis yang sudah jadi, kerangka tetap penting artinya,
walaupun seringkali mereka tidak menuangkannya dalam ben-
tuk kalimat-kalimat, tetapi tertata dalam pikiran.
Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah, setelah
jadi, tulisan jangan langsung dikirim ke media sesuai keinginan
kita, tetapi bacalah dulu atau bahkan simpan dulu (masa inku-
basi) baru dibaca lagi besok atau lusa. Pada saat membaca tulisan
itu, janganlah kita merasa bertindak sebagai penulis, tetapi se-
bagai pembaca (tulisan orang lain). Baca dan kritiklah tulisan
itu. Dengan cara begitu kita akan dapat melihat celah-celah di
mana kekurangan dan kelemahannya. Lalu, edit-lah, revisi-lah,
dan kalau perlu tulis ulang. Dan akan lebih baik kalau tulisan
hasil revisian itu disodorkan kepada orang lain untuk dibaca
dan dikritik.
18
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
FEATURE
Pengertian
Karangan lengkap nonfiksi (bukan berita) dalam media
massa yang tidak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup
sebagai pengungkapan daya kreativitas, kadang-kadang dengan
sentuhan subjektivitas penulis terhadap peristiwa, situasi, aspek
kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat menusiawi (human
interest) untuk mencapai tujuan memberi informasi, menghibur,
mendidik, dan meyakinkan pembaca.
Teknik Penulisan Feature
1. Gaya Tuturan Cerita
Kalau penulisan berita (harus taat asas pada aturan 5W +
1H dalam teras berita atau lead), penulisan feature tidak demikian.
Penulis feature dapat bertindak bebas, dapat menulis seperti me-
nulis cerita, yang terpenting feature yang ditulis menarik perhatian
dan memberikan sesuatu (nilai lebih) pada pembaca. Penulis
feature adalah penutur cerita yang mampu menggunakan imaji-
nasi dan kreativitasnya untuk membangkitkan rasa ingin tahu
pembaca, untuk mencengangkan, untuk menjawab keragu-ragu-
an, atau untuk membuat pembaca haru, tertawa, bahkan mena-
ngis.
2. Sebelum Menulis
Sebelum menulis, penulis feature hendaknya memperhatikan
keadaan sekeliling (di mana dan kapan pun), mengetahui apakah
ada sesuatu yang lain, yang lucu, yang unik, yang tidak biasa,
yang dramatis, yang layak diketahui pembaca. Salah satu cara
untuk memperoleh bahan karangan, selain observasi langsung,
bisa dilakukan dengan wawancara (wawancara pribadi, wawan-
19
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
20
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Teras Feature
Teras (sebagai jiwa-raga karangan) terwujud dalam paragraf
pertama. Paragraf pertama ini mengemban fungsi sebagai
gagasan sentral. Fungsi gagasan sentral adalah untuk me-
ngendalikan isi tulisan dan mewajibkan penulis membatasi
tulisannya.
Harus menarik perhatian. Beberapa unsur yang menarik
perhatian dan diinginkan pembaca biasanya berkaitan de-
ngan kebaruan, kedekatan, cuatan, keanehan, dan lain-lain.
Bentuk teras ada bermacam-macam, misalnya ringkasan,
narasi, deskripsi, kutipan, pertanyaan, sapaan akrab, dan
lain-lain.
Tubuh Feature
Kalau teras diibaratkan sebagai jiwa-raga karangan, tubuh
diibaratkan “stelan baju dan aksesori” yang memantulkan
keadaan sang jiwa-raga. Stelan harus pas dengan raga,
warna disesuaikan dengan keadaan jiwa. Pas dengan raga
dan sesuai dengan jiwa berarti hubungan antara teras dan
tubuh ibarat rupa dan bayang-bayang. Jelasnya, setelah te-
ras dirumuskan sesuai dengan pokok cerita/tema yang di-
inginkan, tubuh ditulis sejalan dengan arahan yang tersirat
dalam teras. Setiap keterangan/informasi mengenai pokok
cerita ditulis seperti menyusun batu bata menjadi tembok.
Beberapa pola paragraf yang dapat digunakan untuk men-
jaga ketertiban susunan karangan adalah tematik (setiap
paragraf memberikan penegasan kembali kepada apa yang
21
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penutup Feature
Setidaknya ada empat jenis penutup, yakni ringkasan
(mengacu kembali ke teras), klimaks (menimbulkan kejutan, ke-
nangan, kengerian, dll), tanpa akhir (mengajukan pertanyaan
tanpa jawaban), dan penyengat (pernyataan yang di luar dugaan
pembaca).
Purnatulis
Setelah feature selesai ditulis, penulis harus mengecek kem-
bali dengan beberapa pertanyaan berikut.
Apakah peristiwa, pendapat, dan masalah itu menarik un-
tuk dibaca?
Apakah karangan sudah terfokus pada pokok tulisan dan
tidak menyimpang jauh?
Apakah aturan 5W + 1H sudah terpenuhi?
Apakah penulisan nama orang, jabatan, kedudukan, dll su-
dah tepat?
Apakah rincian sudah memadai?
Apakah kata-kata yang digunakan mudah dipahami?
Apakah ungkapan mampu memberikan sentuhan emo-
sional?
22
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
23
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
24
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
MENULIS ESAI,
EASY OR NOT EASY?
P. Ari Subagyo
Pendahuluan
“Mengarang itu gampang!” tulis Arswendo Atmowiloto.
Ungkapan itu pula yang menjadi judul bukunya — sampai sebelas
tahun lalu sudah sepuluh kali cetak ulang — Menulis itu Gampang
(Gramedia Pustaka Utama, 2001). Secara umum, buku ini me-
mandu pembacanya untuk menjadi penulis, khususnya penulis
sastra. Bagi seorang penulis profesional kelas kakap seperti
Arswendo, boleh jadi menulis memang gampang. Pekerjaan me-
nulis segampang bernafas dan semudah mengunyah.
Mengarang memang bisa dilakukan oleh siapa pun: anak-
anak, remaja, orang muda, orang tua, bahkan pensiunan; pria
maupun wanita. Menurut Arswendo, menulis seperti naik sepeda
atau berenang, sekali menguasai akan bisa seterusnya. Tak akan
lupa atau menjadi tidak bisa. Yang diperlukan hanyalah mengenal
unsur-unsur dalam mengarang: ide atau ilham, cara menyusun,
menggambarkan tokoh. Selebihnya latihan. Rasanya, asal bukan
buta huruf total, semua orang bisa mengarang. Bagi Arswendo
yang sudah puluhan tahun menjadi penulis, mengarang memang
sungguh gampang.
Namun, pada kenyataannya, mengarang tidak selalu gam-
pang, terutama bagi para pemula. Masalahnya, bagaimana agar
mengarang itu gampang? Artikel ini secara singkat memberikan
25
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Hakikat Menulis
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan
berbahasa di samping berbicara, menyimak, dan membaca. Me-
nulis termasuk keterampilan berbahasa yang bersifat aktif-
produktif, tertulis, dan tidak langsung. Menulis dan tiga
keterampilan berbahasa lainnya itu saling berkaitan.
Keterampilan yang satu dapat memengaruhi keterampilan yang
lain. Suparno dan Mohamad Yunus (Keterampilan Dasar Menulis,
2011:1.6) menggambarkan saling hubungan empat keterampilan
berbahasa tersebut dalam tabel berikut ini:
26
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
27
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
28
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
29
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
30
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
31
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
32
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Tahap Pascapenulisan
Titik terakhir bukanlah tanda penulisan esai berakhir. Masih
ada tahap pasca-penulisan. Ada dua kegiatan yang disarankan
pada tahap ini.
33
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
34
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Penutup
Pada akhirnya, menulis esai itu gampang atau sulit? Menulis
esai is easy or not easy? Jawabnya tergantung kita masing-masing.
Memahami secara teoretis bagaimana menulis esai sangat
penting dilakukan. Namun, pengetahuan teoretis saja tidaklah
cukup. Kita perlu banyak latihan, latihan, dan latihan. Tidak
kalah penting tentu saja semangat dan gairah sehingga latihan
terus-menerus tidak membuat kita mudah lelah dan putus asa.
Menulis esai dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk kita.
35
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
36
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
37
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
38
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
39
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
40
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
41
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
42
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
yang sama bisa ditulis dalam tiga bentuk yang berbeda. Misalnya,
topik “Pers Sekolah” seperti buletin, koran selembar, atau majalah
dinding dapat ditulis dalam bentuk fakta, opini, maupun fiksi.
Tinggal bagaimana awal dan pengembangannya. Dengan me-
nulis fakta, jelas harus melakukan pengamatan tentang
keberadaan pers kampus setempat, lalu melakukan wawancara
dengan narasumber yang berwenang dan pas untuk topik itu,
melakukan riset pustaka, dan menuliskannya dengan rumus
“MENJERIT” yakni menarik, jelas, ringkas, dan tertib.
Untuk tulisan opini atau artikel harus membaca referensi
atau bahan pustaka dulu, kemudian menganalisis, dan menulis-
kannya secara baik, benar, dan menarik. Sedangkan untuk tulisan
fiksi, tinggal bagaimana kekuatan imajinasi kita dalam mengolah
ide dan kemudian menuliskannya.
Dengan kemauan, kemampuan, dan kebiasaan menulis
artikel atau opini, kita akan terbantu sisi kekayaan pengetahuan,
wawasan, sikap kritis, kepekaan sosial terhadap masalah-ma-
salah di sekitar kita atau yang lebih luas lagi. Manfaat lainnya
adalah kita belajar sabar kalau tulisan kita belum dimuat, selalu
rendah hati untuk terus belajar, tidak sombong kalau kita sema-
kin dikenal, memperoleh honorarium atau penghasilan tambah-
an, semakin gemar membaca, semakin banyak teman, dan seba-
gainya.
43
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
44
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Jadi, kalau Anda mau berbagi ide dengan orang lain, mau
belajar mengolah gagasan secara tertulis, mau dikenal banyak
orang, mau terima honor uang, mau berbuat sesuatu demi kema-
juan kita bersama: menulislah!
Sebuah pepatah mengatakan : Kalau ingin mengenal dunia
membacalah, kalau ingin dikenal dunia menulislah. Maka menu-
lislah mulai sekarang, jangan ditunda lagi!
45
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
46
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
47
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
48
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
rapan Bangsa yang malas, suka pacaran, gemar inex dan sabu-
sabu, ingin sukses tetapi tak mau kerja keras, dan seterusnya.
Ketiga, menentukan persoalan. Persoalan apa yang bisa berpo-
tensi menimbulkan konflik. Misalnya saja, keinginan Pak Brono
untuk menyuap Kamil agar mau membocorkan soal-soal ujian
matematika dengan imbalan uang sepuluh juta rupiah demi
kenaikan kelas anaknya (Cindy).
Keempat, membuat sinopsis sebagai acuan penceritaan.
Namun, dalam praktiknya, tidak selalu sinopsis itu menjadi pa-
tokan cerita. Bisa saja, cerita berkembang dalam penulisan.
Misalnya, sinopsis itu berbunyi begini:
49
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
jujur? Tentu saja, bicara begitu Pak Joni ada maunya. Ia minta bagian
separoh.
Jawaban Pak Joni membuat hati Kamil makin risau. Bagaimana
mungkin, Pak Joni yang dulu dikenal sebagai orang jujur kini berubah?
Tapi, di sisi lain, mengingat kebutuhan keluarganya yang tinggi, Kamil
pun punya pikiran lain: menerima tawaran Pak Brono.
Pada waktu yang dijanjikan, Pak Brono datang menagih kesang-
gupan Kamil. Kamil cemas. Bingung. Juga tergoda melihat segepok
uang yang dibawa Pak Bronto. Terjadi pertarungan batin dalam diri
Kamil, antara menolak dan menerima tawaran yang sangat meng-
giurkan itu. Berulang kali, istrinya memanggil Kamil ke dalam kamar,
dan mendesak agar Kamil menerima tawaran itu. Di benaknya, muncul
pula wajah Pak Joni yang “mendukung” Kamil untuk “menjual” soal.
Dalam pertarungan itu Kamil akhirnya memutuskan: menolak
tawaran Pak Brono. Ini membikin Pak Brono marah dan merasa dire-
mehkan. Namun, Kamil hanya punya satu jawaban: “saya tidak bisa!”.
Istri Kamil pun marah dan menganggap Kamil bodoh. Namun, Kamil
tetap dalam pendiriannya.
50
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
ADEGAN 2:
Setelah Cindy pergi, Kamil keluar ruangan. Di ruang guru,
Kamil berpapasan dengan Pak Joni. Pak Joni mengungkapkan
kebanggaannya atas semangat pengabdian Kamil. Kamil pun
pamit pulang.
ADEGAN 3:
Di rumah, sore hari, Kamil sedang sibuk membaca koran.
Ratri, istrinya datang membawa kopi panas. Kamil langsung
minum kopi itu. Ia merasakan kopi itu pahit. Istrinya bilang tidak
hanya gula yang habis, tapi juga beras, susu, minyak goreng,
dan lain-lain. Malah pemilik rumah menagih uang kontrakan.
Sri, Atun, Arum (anak-anak Kamil) harus bayar sekolah, dan
seterusnya. Kamil panik.
Di tengah kepanikan itu, muncul Pak Brono yang turun dari
BMW seri 7. Perkenalan berlangsung hangat. Pak Brono membe-
rikan oleh-oleh sekaleng biskuit dan beberapa kaleng susu. Bu-
kan main gembiranya hati Ratri.
Pak Brono memohonkan maaf atas kelalaian Cindy yang
tidak pernah menggarap PR. Ia meminta banyak permakluman
Kamil atas diri Cindy. Misalnya, Cindy terlalu sibuk di luar jam
sekolah karena mengikuti berbagai kursus (piano, renang, mo-
delling, dan lain-lain), yang sesungguhnya merupakan alasan
yang dicari-cari Pak Brono untuk membela anaknya. Mendengar
anaknya yang tidak masuk akal itu, Kamil menganjurkan Pak
Brono untuk memindah Cindy ke sekolah yang lebih tepat. Na-
mun, hal ini buru-buru ditukas Pak Brono bahwa anaknya tetap
ingin lulus dari SMU Harapan Bangsa, sebuah sekolah favorit.
Tanpa ragu dan malu (orang materialistis dan egois biasanya
tidak tahu malu), Pak Brono menawarkan kerja sama. Ia minta
Kamil membocorkan soal-soal ujian matematika dengan imbalan
Rp10 juta. Kamil panik. Berbagai godaan muncul namun disusul
dengan kebimbangan untuk menerima tawaran menggiurkan
itu. Kamil tak bisa memutuskan.
51
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ADEGAN 4:
Di ruang kepala sekolah, siang, seusai bubaran sekolah, Kamil
menemui Pak Joni untuk konsultasi. Di luar dugaan, ternyata
Pak Joni justru “menganjurkan” Kamil untuk menerima tawaran
Pak Joni. Dengan catatan ia minta separoh bagian. Pak Joni ber-
alasan bahwa sudah lama orang macam dia dan Kamil selalu
jujur, namun nasibnya tak pernah ada enaknya. Kamil bimbang.
Ia pun pulang.
ADEGAN 5:
Di rumah Kamil, kembali berlangsung pertemuan antara Pak
Brono dan Kamil. Pak Brono minta ketegasan Kamil mengenai
“jual-beli” soal matematika. Terjadi ketegangan pada diri Kamil.
Di satu sisi ia ingin menolak tawaran itu. Tindakan itu tak hanya
menciderai komitmen/dedikasi sebagai guru, namun juga me-
langgar nilai, etika, moral, dan hukum (tentu saja kalimat konsep
dan gagah ini tidak dihadirkan begitu saja dan mentah, melain-
kan dihadirkan lewat simbol-simbol atau peristiwa).
Namun, kemudian, kebimbangan kembali menyergap Ka-
mil: untuk apa mempertahankan moral jika hidup sengsara? Ba-
yangan wajah istrinya, wajah Pak Joni, wajah-wajah anak-anak-
nya yang butuh uang untuk membayar sekolah, berkelebat dalam
benak Kamil, susul-menyusul mendesak Kamil untuk menerima
tawaran itu. Kepala Kamil terasa berat. Dada Kamil terasa sesak.
Kamil mendadak pingsan. Pak Brono dan Ratri, istri Kamil, ce-
mas, bingung, dan memberikan pertolongan sebiasanya. Bebe-
rapa menit kemudian, Kamil sadar dan mengucap bahwa ia me-
nolak tawaran Pak Brono untuk membocorkan soal.
52
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
53
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
54
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
55
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
56
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
57
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Bagian tengah:
Karena tak tahan dengan itu semua, Ani memutuskan untuk bolos.
Ia membenci kawan-kawannya itu. Ia benci pada papanya. Di rumah, ia
menangis, mengurung diri dalam kamar. Tak dipedulikan ibunya yang
mencoba membujuk. ia tiba-tiba membenci semua yang dimilikinya.
Selama ini dia bangga sebagai anak orang kaya. Tapi kini, kekayaan
itu malah menjadi beban baginya. Ia robek-robek foto Anton, yang diam-
diam disimpannya. Berhari-hari ia tak mau sekolah. Ia merasa semua
kawannya sudah tak menghargainya, tak ada yang mau lagi berteman
dengannya.
Bagian akhir:
Di puncak rasa putus asanya, suatu sore, Ani tiba-tiba dikejutkan
oleh kedatangan Cristin, kawan sekelasnya. Bagaimana ia tak kaget,
karena selama ini ia begitu membenci Cristin. Ia senang meledeknya
sebagai gadis udik yang miskin. Itu karena potongan rambutnya yang
panjang dan dikepang, ih, sungguh kuno. Apalagi Cristin satu-satunya
siswa di SMU mereka yang kalau ke sekolah naik sepeda. Padahal ia
selalu diantar BMW. Ia selalu menertawakan Cristin, sengaja membuat
gadis itu bahan olok-olokan, pokoknya Ani paling senang kalau ia bisa
mengejek Cristin habis-habisan. Eh, bagaimana mungkin gadis itu kini
58
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
59
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
61
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
lu” untuk mendukung struktur cerita. Ada baiknya kini kita men-
coba melihat satu cerpen untuk kita pelajari. Setidaknya kita
bisa melihat “sejauh mana” teoritisasi yang telah kita pahami
“tampak” dalam satu cerpen. Juga, mempelajari cerpen orang
lain/cerpen yang “sudah jadi” sangat diperlukan untuk mengem-
bangkan “naluri bercerita” kita. Sebagaimana yang sudah dite-
kankan, membaca karya yang sudah ada, hukumnya wajib bagi
seorang penulis.
Untuk keperluan itu kita pilih cerpen “Lurah Mungka-
ruddin” karya Harris Effendi Thahar (Kompas, Minggu, 14
September 1997). Cerpen ini, kalau kita bagi menjadi tiga bagian
(awal, tengah, akhir), bisa kita urai seperti ini:
Adegan awal diceritakan tokoh “Saya” yang duduk di teras,
membaca-baca bahan yang akan ia ceramahkan di masjid. Saat
itulah muncul Samsu, tergopoh-gopoh, mengabarkan bahwa acara
pengajian dibatalkan oleh Pak Lurah, tanpa alasan yang jelas.
Dari bagian awal ini kita sudah mulai merasa adanya konflik
antara “warga desa” dengan Pak Lurah. Itu berkaitan dengan
ketidaksukaan para warga pada tabiat Pak Lurah yang, kata-
kanlah, korup.
Di bagian tengah, “saya” mengalami konflik batin. Terlebih-
lebih ketika ia mendapat surat dari Pak Lurah, diminta meng-
hadap. Ayahnya menasehati untuk hati-hati. “Saya” memutuskan
menemui Pak Lurah, dan ia menyerahkan diri pada Tuhan, ber-
doa menghadapi itu semua. Setelah sholat subuh, ‘saya” diantar
oleh orang suruhan Pak Lurah naik mobil carry.
Kemudian di bagian akhir, “saya” bertemu Pak Lurah. Sete-
lah basa-basi, Pak Lurah langsung ke pokok persoalan, yang
ternyata menyangkut masalah ganti rugi. Pak Lurah bermaksud
meminta bayaran pada “saya” soal pembangunan jalan yang be-
lum juga dibayar oleh ayah “saya”. Jelas itu hanyalah “omong
kosong” Pak Lurah, yang membuat “saya” jadi menahan geram.
Sampai ketika tak bisa menahan kesabaran lagi, “saya” akhirnya
pergi meninggalkan rumah Lurah Mungkaruddin.
62
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Dari dialog itu, tergambar watak tokoh Pak Lurah. Secara teknis
bercerita, itu memperlihatkan, betapa watak atau sosok satu
tokoh bisa digambarkan melalui narasi (atau diceritakan secara
langsung—seakan menghadirkan tokoh itu agar dikenal pem-
baca) atau dilukiskan melalui percakapan (atau penggambaran
tidak langsung—yang dengan sendirinya, pembaca juga akan
tahu). Atau karakter itu tidak usah diceritakan secara eksplisit,
tetapi cukup melalui pilihan adegan dan pelukisan suasana hati.
Seperti tokoh Samsu, yang disebut sebagai guru ngaji itu, atau
tokoh “saya” sendiri.
63
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
64
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
65
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
66
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
67
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pentingnya Keaktoran
Hal pertama yang harus disadari, sebuah pembacaan cerpen
di depan publik merupakan peristiwa teater. Nuansanya tentu
saja berbeda dengan pertunjukkan drama. Tepatnya, pembacaan
cerpen adalah peristiwa teater yang bernuansa sastra. Jadi,
nuansa sastra inilah yang harus tetap dipertahankan keberadaan-
nya, bukannya disingkirkan atau dikorbankan demi suksesnya
pertunjukan semata-mata. Seorang pembaca cerpen tidak boleh
menggagahi cerpen yang sedang dibacakannya, sehingga hanya
penampilan dirinyalah yang menarik, sebaliknya makna cerpen
menjadi kabur. Akting memang sangat diperlukan tapi pembaca-
an cerpen bukanlah pertunjukkan akting. Sehebat apa pun akting
yang dilakukan, semata-mata tujuannya hanyalah untuk
mendukung sampainya makna cerpen, bukan untuk mengejar
munculnya efek-efek teateral yang tak ada kaitannya dengan
makna cerpen. Semua unsur pendukung itu digunakan hanya
secukupnya saja, jangan berlebihan dan jangan berkekurangan.
Jika berlebihan akan menenggelamkan makna cerpen. Jika berke-
kurangan, pertunjukan jadi kurang daya tariknya dan makna
cerpen otomatis kurang terkomunikasikan.
Pembacaan cerpen bisa dilakukan secara sendirian atau ber-
kelompok. Wawasan mengenai seni panggung mutlak diperlu-
kan mengingat pembacaan cerpen sudah menjadi peristiwa pang-
gung. Tentu saja wawasan panggung semata tidak cukup jika
tidak dilengkapi dengan wawasan sastra yang memadai. Tidak
semua orang panggung yang hebat bisa memanggungkan cerpen
dengan baik dan tidak semua cerpenis handal bisa mengangkat
cerpennya ke panggung dengan baik. Orang panggung memerlu-
68
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Memilih Cerpen
Tidak semua cerpen yang bagus sebagai karya sastra akan
menjadi enak jika dibacakan di atas panggung. Bahkan tidak
69
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
70
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
71
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
72
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
73
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
74
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
75
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
76
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
77
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
78
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
KIAT SEDERHANA
MENULIS CERITA ANAK
Pengantar
Secara etimologis, kata fiksi yang dalam bahasa Inggris dise-
but fiction diturunkan dari bahasa Latin fictio yang berarti “mem-
bentuk; membuat; mengadakan; menciptakan” (Tarigan,
1993:20). Dengan demikian, cerita fiksi adalah cerita yang diben-
tuk, dibuat, diadakan, atau diciptakan (oleh pengarang atau sas-
trawan). Lawan dari fiksi adalah nonfiksi. Jika fiksi merupakan
realitas, nonfiksi bersifat aktualitas. Aktualitas adalah apa-apa
yang benar terjadi, sedangkan realitas adalah apa-apa yang dapat
atau mungkin terjadi dan belum tentu terjadi (Tarigan, 1993:122).
Karena fiksi “diciptakan” oleh pengarang, hal itu berarti
bahwa fiksi merupakan suatu karya batin. Artinya, seorang
penulis fiksi dalam menjalankan aktivitasnya lebih banyak meng-
gunakan kekuatan dan kemampuan mental-spiritual. Sebagai
karya batin, tulisan fiksi hendaknya tetap setia kepada tugasnya
untuk memberi manfaat kepada umat manusia, yakni memba-
ngun, memperbaiki, dan menyempurnakan dengan memasukkan
unsur informasi, edukasi, dan rekreasi (hiburan) sebagai satu
kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, para penulis fiksi hidup
dalam dunia olah batin yang senantiasa aktif, selalu memperkaya
pengetahuan dan pengalaman, menjernihkan rohani agar dapat
79
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
80
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
b. Tokoh/Penokohan
Tokoh/penokohan adalah gambaran fisik, watak, kebia-
saan, dan sifat para tokoh cerita. Watak tokoh dapat dilukiskan
dengan berbagai cara, antara lain (1) menyebut langsung watak
atau kebiasaan tokoh cerita, (2) melukiskan suasana kehidupan
si tokoh, atau (3) memberi gambaran watak si tokoh melalui
tokoh-tokoh lain.
81
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
c. Plot/Alur
Plot atau alur adalah jalinan peristiwa yang memperlihatkan
kepaduan (koherensi) yang diwujudkan oleh sebab-akibat atau
kausalitas. Perhatikan contoh berikut.
Pak X meninggal dunia. Seminggu kemudian Bu X juga me-
ninggal dunia.
Contoh di atas merupakan cerita, tetapi tidak ada plot atau
alurnya. Agar menjadi sebuah alur cerita (ada hubungan kausa-
litasnya), pernyataan tersebut dapat dibuat seperti berikut.
Pak X meninggal dunia. Seminggu kemudian Bu X juga mening-
gal dunia karena sakit-sakitan akibat memikirkan almarhum
suaminya.
Pada prinsipnya sebuah cerita harus bergerak dari suatu
permulaan melalui pertengahan menuju suatu akhir, seperti tam-
pak pada pola berikut:
1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan).
2. Generating circumstances (peristiwa mulai bertaut dan ber-
gerak).
3. Rising action (keadaan atau suasana mulai memuncak/
tegang).
4. Climax (peristiwa mencapai puncak ketegangan).
5. Denoument (peristiwa mereda, pengarang memberi solusi
pemecahannya).
Bagi pengarang modern (terutama prosa remaja dan de-
wasa), urutan alur yang runtut itu dianggap tidak menarik. Pe-
ngarang cerita anak pun dapat saja membuka cerita dengan se-
buah peristiwa perkelahian di halaman sekolah atau seorang
anak yang berteriak-teriak di dalam kelas. Setelah itu, pengarang
baru menarik ke belakang berupa sorot balik (flash back) mengapa
peristiwa tersebut dapat terjadi, dan seterusnya.
82
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
d. Latar/Setting
Latar atau setting adalah waktu dan tempat terjadinya pe-
ristiwa di dalam sebuah cerita. Berkaitan dengan pemilihan latar
tertentu, pengarang harus jeli dalam membuat suatu cerita. Misal-
nya, peristiwa yang mengambil latar di suatu kantor polsek (ke-
polisian sektor) di kecamatan terpencil, tidak mungkin sang ka-
polsek berpangkat kompol.
e. Gaya
Gaya atau style adalah cara khas seorang pengarang dalam
menyajikan cerita. Setiap pengarang memiliki cara khas atau gaya
sendiri, meskipun ada pula pengarang (pemula) yang meniru
gaya orang lain. Namun, jika sang pengarang tersebut sudah
sering mengarang, secara tidak sadar ia akan dapat menemukan
ciri khasnya.
Biasanya, anak-anak lebih tertarik dengan isi cerita daripada
masalah gaya. Oleh karena itu, pengarang cerita anak sebaiknya
menggunakan gaya yang tidak terlalu menggurui dan kalimat-
nya mudah dimengerti.
83
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
SANG PEJUANG
Imam Budi Utomo
84
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
85
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
86
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
“Ini Kek ada dua potong roti. Kita bagi berdua, ya?”
“Terima kasih, Nak. Makanlah sendiri. Kakek sudah kenyang.”
“Ayolah, Kek. Kata Pak Guru, tidak baik menolak pemberian
orang.”
“Baiklah, Nak. Sungguh sangat baik budi bahasamu,” jawab
Kakek sambil menerima pemberian kue dari Fitri. Sang Kakek tidak
tega menolak kepolosan yang terpancar dari wajah Fitri. Mereka berdua
makan kue dengan nikmatnya. Fitri juga memesan dan membayar
dua teh botol dingin. Mereka berdua tampak akrab menikmati
segarnya teh botol dingin di siang hari yang panas.
“Maaf, Kek. Kenapa sih Kakek tadi menangis?” tanya Fitri setelah
keduanya selesai makan roti dan minum teh.
“Kakek hanya terkenang masa lalu Kakek di jalan ini. Ketika
Kakek bersama teman-teman bertempur melawan penjajah.”
“Wah, ceritanya tentu seru dong, Kek. Boleh Fitri mendengar cerita
Kakek?” tanya Fitri dengan bersemangat.
“Dengan senang hati, Nak. Dulu, di tempat ini terjadi pertempur-
an yang sangat sengit. Pertempuran antara tentara penjajah melawan
kami, para pejuang. Banyak teman-teman Kakek yang gugur. Ahmad
Jazuli, Sabirin, Dewa Nyoman Oka, Sunaryo, Sajiyono, Supadi, Serma
Taruna Ramli, dan lain-lain. Ya, mereka semua telah rela gugur sebagai
syuhada’ untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Alham-
dulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan usia panjang
kepada Kakek. Hanya saja, Kakek harus kehilangan sebelah kaki
kanan ini yang terkena tembakan lawan,” kata kakek tua dengan mata
berkaca-kaca.
Fitri mendengarkan dengan sungguh-sungguh cerita kakek tua.
Meskipun masih kecil dan belum mengerti tentang arti pertempuran
atau kemerdekaan, ia ikut merasa terharu dengan cerita kakek tua.
Tanpa sengaja Fitri melihat kaki kakek yang buntung sebelah.
“Tapi Kakek merasa berbahagia, Nak. Kakek mendapat ke-
sempatan untuk ikut membela Ibu Pertiwi. Kakek juga bangga melihat
Masjid Syuhada’ ini yang dibangun dengan megah untuk
menghormati teman-teman seperjuangan Kakek yang telah gugur
mendahului kita,” kata kakek tua sambil memandang kubah Masjid
Syuhada’.
87
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
88
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Daftar Bacaan
Hardjana HP. 2006. Cara Mudah Mengarang Cerita Anak-Anak.
Jakarta: Grasindo.
Sumardi. 2003. “Bagaimana Menciptakan Cerita Anak yang
Unggul?” Dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Jakarta:
Pinkbooks.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsi Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.
Titik WS. 2003. “Menulis”. Dalam Teknik Menulis Cerita Anak.
Jakarta: Pinkbooks.
Zaidan, Abdul Rozak dkk. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
89
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
90
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Pengantar
Lewat tulisan ini akan dipaparkan secara komprehensif
pokok-pokok di sekitar apakah puisi itu, bagaimana proses
kreatif kelahiran suatu puisi, unsur pokok yang membangun
puisi, dan bagaimana mengapresiasikan puisi itu. Oleh karena
fokus pemberian materi bengkel sastra ini lebih dititikberatkan
pada lebih banyak memperkenalkan cipta sastra yang berbentuk
puisi itu sendiri, dan bagaimana mengekspresikannya baik secara
lisan/pemanggungan dan tulisan, serta bagaimana mengapre-
siasikannya, maka konsep-konsep akademis teoretis secara
eksplisist akan dihindari. Rujukan-rujukan konsepsional hanya
akan dihadirkan pada bagian buku acuan, sehingga bagi peserta
yang berminat dapat melacaknya sendiri.
Puisi
Apakah puisi itu? Pertanyaan sederhana ini sebenarnya
dapat dijawab dengan sangat gampang, tetapi menjadi sede-
mikian sulitnya apabila menghendaki suatu jawaban yang tuntas.
Apalagi, puisi bukanlah sejenis kursi (artinya bernuansa benda),
tetapi lebih bersifat verba, alias kata-kata. Menjawab apakah
kursi saja sudah susah, apalagi mengartikan apakah kata-kata
itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ada sementara
91
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ahli yang berucap, “Saya tahu apa itu puisi jika Anda tidak ber-
tanya apa itu puisi, tetapi jika Anda bertanya apa itu puisi, saya
tidak mengetahuinya.”
Ini bukan jawaban putar lidah, tetapi memang benar-benar
seperti itulah jawabnya apabila Anda ingin melacak arti puisi
sejak Plato, sampai sekarang ini. Pengertian apa itu puisi selalu
berkembang, bergeser, dan cenderung siapa yang menjawab,
dalam kurun waktu kapan, serta apa ideologi alias keyakinan
orang yang mencoba mengartikannya. Maka, marilah kita ke-
sampingkan terlebih dahulu apa definisi puisi itu, dan mencoba
melacak apa itu puisi lewat cipta sastra yang berbentuk puisi itu
sendiri. Oleh karena puisi yang akan kita ‘gauli’ dari minggu ke
minggu ini adalah puisi dalam sastra Indonesia, maka berikut
akan dikutipkan bagaimana para penyair kita sejak bahasa Indo-
nesia mulai dikenal, mencoba mencari jawab apakah puisi itu.
Pertama-tama marilah kita tengok bagaimana penyair Sa-
nusi Pane menuliskan apakah sajak atau puisi itu. O, ya, ada
banyak bapak/ibu guru (siapa tahu juga Anda) yang tidak jera-
jeranya mengoreksi para siswa-siswinya kurang lebih demikian:
jika yang dimaksud itu genre puisi maka harus diucapkan saNjak,
bukan sajak. Sajak itu bukan jenis puisi, sajak itu artinya persa-
maan bunyi. Oleh karena itu, yang benar adalah membaca sanjak
bukan membaca sajak. Baiklah, pendapat Guru Anda tidaklah
salah. Guru Anda ini memakai acuan lama. Kata sajak berasal
dari bahasa Arab saj’ yang artinya bunyi-bunyi yang seragam
pada setiap akhir ayat atau suku ayatnya. Dari sinilah berawal
mengapa sajak diartikan sebagai persamaan bunyi.
Sementara itu dalam perkembangan berikutnya, kata sajak
dan sanjak terus bersaing, dan kata sajak-lah yang kerap muncul,
dan menenggelamkan kata sanjak itu, sehingga kita sekarang
berkecenderungan mengucapkan membaca sajak-sajak dan bukan
membacakan sanjak-sanjak. Melihat hal semacam itu, komisi isti-
lah mencarikan jalan keluar dengan alih kata rima untuk persa-
maan bunyi atau sajak itu. Dengan demikian istilah sajak bersi-
92
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
nonim dengan sanjak, alias juga benar jika itu dimaksudkan se-
bagai mebaca sanjak-sanjak.
Marilah kita kembali pada apakah puisi atau sajak itu me-
nurut Sanusi Pane dengan menyimak karyanya seperti berikut
ini.
SAJAK
93
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kalau begitu, sajak itu lalu seperti apa? Katanya, ‘sajak itu
seperti matahari yang mencintai bumi, yang memberikan sinar
pada bumi selama-lamanya, dan tidak memintanya kembali’.
Benar-benar metafor alias suatu perbandingan yang pas. Men-
cintai dengan legowo, tanpa pamrih. Itulah puisi. Dan dalam
sajaknya yang lain, yang juga diberinya tajuk “Sajak”, Sanusi
melanjutkan pendapatnya tentang sajak seperti di bawah ini.
SAJAK
94
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Sajak 2
95
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Proses Kreatif
Setelah kita mengetahui apakah puisi itu, ada baiknya kita
mengetahui pula bagaimana proses kelahiran puisi itu, alias ba-
gaimana proses kreatif seorang penyair dalam melahirkan puisi-
puisinya. Sebagai langkah awal akan dikutipkan sebuah sajak
karya J.E. Tatengkeng yang men-share-kan pengalamannya
berpuisi seperti ini.
PERASAAN SENI
96
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Tentu, tak segawat ini proses kreatif itu. Akan tetapi, bagi
Tatengkeng yang terkenal sebagai penyair romantik, jelas sah-
sah saja mengatakan bahwa perasaan seni ini datangnya tak
terpikirkan, tidak diperkirakan atau direkayasakan, tetapi ...
wus-wus-wus begitu saja, bagaikan air bah atau topan yang me-
landa dahsyat, yang mengalir-menimbun-mendesak-menge-
pung-menawan tubuh.
Bagi Tatengkeng, penyair Pujangga Baru yang lahir di Sa-
ngihe sembilan puluh empat tahun yang lalu, dan mulai berkiprah
sebagai penyair pada tahun 1930-an; perasaan seni itu bisa datang
‘sekuat raksasa’; atau ‘menjelma secantik juita’; atau dapat juga
senyaman ‘sejuknya embun’ dan ‘semerdu dersiknya (desir, bunyi
suara yang semilir) angin’. Dan luar biasanya, bagi Tatengkeng,
rasa seni dirasakannya sebagai ‘berkuasa dalam tubuh’ dan ‘ber-
takhta dalam dada’. Jika sudah begitu, tak ada kata lain kecuali
‘kusedia hati akan berbakti’. Itulah perasaan seni pabila sedang
mengobsesi seorang penyair.
Khusus tentang proses kreatif ini ada sebuah buku antologi
berjudul The Creative Process yang disusun oleh Prof. Brewster
Ghiselin yang memuat bagaimana proses kreatif seni berlang-
sung. Berikut akan disarikan beberapa di antaranya yang ada
kaitannya dengan proses penciptaan karya seni, khususnya puisi.
97
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
98
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
99
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
100
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
SOLITUDE
101
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
102
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
DERAI-DERAI CEMARA
103
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
BILUNG GRUNDELAN
SAJAK TRANSMIGRAN II
104
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Diksi
Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan penyair de-
ngan secermat-cermatnya untuk menyampaikan perasaan dan
isi pikirannya dengan setepat-tepatnya agar terjelma ekspresi
jiwanya seperti yang dikehendakinya secara maksimal sehingga
pembaca pun akan merasakan hal yang sama. Oleh karena itu
ada banyak penyair yang mengubah, mengganti berulang kali
kata yang dipilihnya sampai dirasakan pas betul untuk menda-
105
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
106
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
.................................................
kayak rayap orang-orang london ngerubung liang-liang
subway
pating kruntel madhumani, mombasa, guillermo, sontoloyo
dan mereka terus juga nyeloteh: yes sir
bla bla!
no sir
bla bla!
orang-orang london terus juga gemrenggeng
rambut-rambut pirang, kepala-kepala botak, kribo-kribo
sari, sweater, jacket, jumper
berdesak-desakan
bla bla!
terus juga mereka merayapi
pintu-pintu, escalator-escalator, tangga-tangga
dengan sepatu booty, levin, bally, cardin
bla bla!
..............................................................
(Dikutip dari Ki Blakasuta Bla Bla, 13)
Citraan
Citraan (imagery) alias gambaran angan-angan/pikiran;
sedangkan citra (image) adalah sebuah efek dalam gambaran
angan atau pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang
107
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
.....................................
Ngalor ngidul harus pakai seragam
.....................................
Hem batik kathok famatek, lumayan
......................................
Pakaian seragam kecemplung comberan
.......................................
Dasar sial, nyengklak sepeda kejeglong
......................................
108
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
AIR SELOKAN
109
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Kata-kata Konkret
Kita mengenal istilah kata umum, kata khusus, denotasi,
dan konotasi. Kata ‘membawa’ misalnya, jelas bernilai rasa umum.
Akan tetapi, ‘menggendong si upik’; ‘menggenggam uang’; ’menggo-
tong mayat’; atau ‘menggandeng pacar’, jelas juga berarti memba-
wa. Bedanya, yang belakangan itu lebih dapat dicitrakan, diba-
yangkan dengan jelas oleh pembaca, sedangkan ‘membawa’ sa-
ngat sulit untuk dicitrakan dengan tepat. Demikian juga kata
‘sunyi’ secara denotatif berarti (1) tidak ada bunyi atau suara
apa pun; (2) tidak ada orang, kosong; (3) tidak banyak transaksi,
tidak banyak pembeli; (4) bebas, lepas, terhindar dari kesalahan.
Nah, bagi seorang penyair dia harus menentukan kata sunyi
dalam arti yang mana, itu artinya secara denotatif berarti sunyi,
tetapi secara konotatif mungkin dimaksudkan sebagai yang no-
mor (1) penyair dapat menggunakan kata hening atau senyap,
misalnya dalam larik ‘berdiri aku di senja senyap’.
Penyair-penyair tertentu, misalnya Rendra, Sitor Situmo-
rang, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calcoum Bahri,
Afrizal Malna, atau Dorothea Rosa Herliany sangat piawai dalam
memilih kata-kata yang secara denotatif (berarti arti yang ditun-
juk atau arti yang terdapat dalam kamus) sekaligus memancarkan
asosiasi-asosiasi yang muncul dari arti denotatifnya (konotasi-
nya), seperti misalnya
110
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Bahasa Kias/Majas/Simbol
Sampai di sini sebenarnya kita bisa melihat betapa “serakah-
nya” penyair itu. Untuk mengungkapkan sesuatu dengan tepat
dan dirasakan pas dengan apa yang dimaksud ia harus berusaha
dengan sangat keras untuk memilih kata (diksi) setepat-tepatnya
dengan mempertimbangkan pula segi citraannya, kata khusus/
konkret lengkap dengan denotasi-konotasinya. Dan apabila de-
ngan pilihan semacam itu masih dirasakan belum cukup, penyair
masih berusaha pula dengan memilih kata yang mengandung
perbandingan/kias/majas atau simbol tertentu dan ditambah
lagi yang disusun dalam rima dan irama tertentu pula. Luar
biasa “serakahnya”. Atau luar biasa njlimet-nya? Lihat penggalan
beberapa bait sajak-sajak berikut ini.
HAMPA
kepada Sri
111
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
..............................................
112
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srenta dilihat muka majikan cafe jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap ke surga.
.........................
113
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
..........................................
Maka dengan blingsatan/ ia bertingkah bagai gorilla/ Gorrila
tua yang bongkok/meraung-raung/ Sembari jari-jari galak di
gitarnya/ mencakar dan mencakar/menggaruki rasa gatal di
sukmanya/Bagaikan ikan hitam/ia menggelepar dalam jala/
Jumpalitan/dan sia-sia.
......................................
114
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
.....................................
Orang-orang berhenti bicara
Dalam cafe tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela
..................................................
115
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
(1) MEDITASI
(2) SUNYI
(3) TUAN
116
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Dari ketiga contoh sajak pendek tersebut di atas, sajak (1) karya
Abdul Hadi W.M. paling mudah dilacak apa makna sajak itu,
apa pula tema, dan amanatnya. Bukan hanya Abdul Hadi W.M.
kita pun sering berbuat hal yang sama: dalam meditasi atau ber-
doa dalam kekhusukan, kita biasanya cenderung lebih banyak
mengadukan kesusahan-kerepotan-kemalangan yang kita ha-
dapi; sementara itu, dalam hal yang sebaliknya, masihkah kita
ingat pada Tuhan? Maka, lewat tema bahwa kita berkecende-
rungan hanya ingat Tuhan jika sedang menderita, amanatnya
sangat jelas: sindiran atau gugatan pada kita semua agar selalu
ingat bahwa dalam situasi apapun kita harus selalu ingat dan
bersujud kepada-Nya.
Sajak (2) lebih mudah dilacak apa pokok persoalan/tema
dan amanat puisi itu. Kesunyian yang tampil dalam sajak itu
bukan hanya kesunyian dalam ruang dan waktu tetapi juga ke-
sunyian dalam rasa. Bahwa kesunyian yang amat sangat secara
alami tampak pada prasa “katak kecil” alias precil yang secara
wadhak bukan main kecilnya itu “melompat dalam kolam tua”
dan berbunyi “plup!” sampai terdengar ... apalagi jika bukan
kesunyian yang benar-benar sepi.
Sedangkan sajak (3) yang berjudul “Tuan” karya Sapardi
Djoko Damono, mirip dengan sajak (1) juga menyindir pada kita,
bahwa kita sebagai manusia kadang tahu bahwa; Tuan, Tuhan,
bukan?, tetapi tunggu sebentar/ saya sedang ke luar//. Kita mendengar
suara adzan pukul enam sore misalnya, atau bunyi lonceng ge-
reja pukul enam pagi, kadang tidak kita perhatikan karena kita
sedang sibuk (sedang ke luar), dan kita tahu bahwa suara itu adalah
ajakan untuk bersembahyang, tetapi tidak jarang kita berkilah
tunggu sebentar saya sedang repot, dan seterusnya.
Dengan demikian, hampir dapat dikatakan bahwa tak ada
sajak yang tidak mengandung tema dan pesan, betapa pun sing-
katnya sajak itu. Tema, pesan, rasa, dan nada sebuah sajak tidak
lain adalah unsur dalam alias rokhnya puisi. Kita dapat terkesiap
menangkap pesan sajak-sajak Chairil Anwar misalnya dalam
117
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Apresiasi Puisi
Terlebih dahulu perlu dipertegas kembali apa arti apresiasi
itu. Jika kita membuka kamus Webster’s New World Dictionary
(1991: 67), akan dijumpai kata appreciate, appreciated (v) yang ber-
asal dari kata appretiatus (Latin), dan kata appreciation (n). Kata
appreciate , ternyata sangat luas artinya (ada 5 arti). Satu di an-
taranya berkaitan dengan seni, kata itu diartikan sebagai to think
well of; understand and enjoy. Kata appreciate bersinonim dengan
value, dan prize. Appreciate menunjukkan bahwa seseorang dapat
menilai sesuatu atau menikmati sesuatu, seperti misalnya He
appreciates good music, Ia menghargai/menikmati musik yang baik.
Sedangkan kata benda appreciation , juga mengandung banyak
arti. Dua di antaranya berbunyi (1) the act of appreciating, specifi-
cally proper estimation or enjoyment of art; (2) a judgment or evaluation.
“Proper estimation of art” alias penghargaan dengan tepat ter-
hadap karya seni. Dengan demikian “apresiasi puisi” dapat di-
artikan sebagai cara melakukan penghargaan/penilaian yang te-
pat terhadap puisi. Cara yang tidak dapat ditawar lagi agar kita
dapat menghayati dan memahami puisi dengan tepat, apalagi
jika bukan melakukan kontak langsung dengan puisi (alias mem-
baca puisi itu sendiri).
Ada banyak cara untuk memahami, menghayati, dan meng-
hargai puisi. Berikut akan dipaparkan cara memahami, mengha-
yati, dan menghargai puisi yang sudah umum dilakukan, yaitu
dengan cara membaca puisi itu secara langsung dan berulang-
ulang. Dalam membaca puisi, perlu diperhatikan pemenggalan
baris-barisnya, dan perlu diketahui pula bahwa dalam setiap
puisi, antara judul, baris-barisnya/larik-lariknya yang mebentuk
bait, dan bait-bait yang mengumpul dalam sebuah puisi, terdapat
kesatuan/pertalian makna yang utuh dan kompak.
118
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
119
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penutup
Demikianlah seluruh proses yang harus dilalui jika kita ingin
memahami, menikmati, dan menghayati puisi. Memang seperti
yang tertera dalam bagaimana mengapresiasikan sebuah puisi,
langkah awal dan terpenting adalah langsung menggeluti puisi,
langsung membaca puisi secara benar dan berulang-ulang agar
pada akhirnya memperoleh titik terang ke arah pemahaman dan
penghayatan karya sastra yang berbentuk puisi. Tentu saja, pada
saat kita membaca puisi tertentu secara berulang-ulang, disadari
atau tidak, ada banyak unsur yang berulang dan menggoda un-
tuk dilacak bagi pembaca yang mulai merasakan sentuhan rasa
dan nadanya lewat pilihan kata, citraan yang tergambar di
angan, perbandingan/metafora, rima dan irama yang diulang-
ulang dan berkesan indah dibaca dan didengar.
Itulah sebabnya makalah yang sangat global ini mencoba
mengajak bagaimana memahami, menikmati, dan menghayati
puisi lewat mengenal apakah puisi itu, bagaimana proses kreatif-
nya, unsur apa saja yang mebangunnya, dan bagaimana menga-
presiasikannya. Mereka yang berminat untuk mendalaminya
lebih lanjut, berikut disertakan daftar bacaan, baik yang berupa
120
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Daftar Bacaan
Anindyah, Wara. 2001. Melukis Mengolah Sukma. Yogyakarta:
Seruni.
Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
————— . 1978. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus.
Jakarta: Dian Rakyat.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar
Harapan.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Perahu Kertas. Jakarta: Balai
Pustaka.
————— .1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Darmanto, Jt. 1980. Ki Blaka Suta Bla Bla. Semarang: Karya Aksara.
Effendi, S. 1973. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende: Nusa Indah.
Ghiselin, Brewster (ed). 1961.The Creative Process. New York: The
New American Library.
Jassin, HB. 1963. Pudjangga Baru Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung
Agung.
Moeliono, Anton (penyelia). 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Neufeldt, Victoria & David B. Guralnik.(ed). 1986. Webster’s New
World Dictionary of American English. New York: Prentice
Hall General Reference.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rahardi, F. 1983. Soempah WTS. Jakarta: Penerbit Puisi Indonesia.
Rendra, W.S. 1976. Blues untuk Bonnie. Jakarta: Pustaka Jaya.
Richards, I.A. 1970. Principles of Literary Criticism. London: Cox
& Wyman Ltd.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and
London: Indiana University Press.
121
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
122
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
123
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
124
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
125
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
126
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
127
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
128
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
129
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
130
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
131
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
132
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
133
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
134
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
135
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
136
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
tak terpisahkan. Dalam saat yang sangat pendek itu orang tadi
tercekam, tidak berpikir apa-apa, bahkan juga tidak merasakan
apa-apa. Saat itu memang sangat pendek. Orang itu segera
“terjaga” kembali, cepat-cepat makan lalu cepat berangkat karena
tidak ingin terlambat sampai di tempat kerja. Ia sudah kembali
kepada cerapan dan tanggapan-tanggapan praktis fungsionalnya.
Akan tetapi ada satu hal yang sangat penting: orang itu dapat
merefleksi, merekonstruksi, memanggil kembali gema suasana
pengalaman ketertegunan melihat cembungan sendok yang ber-
kilap dengan gambar sebagian wajahnya terpantul di sana. Ke-
mampuan inilah yang memungkinkan orang mencipta dengan
bertitik tolak pada momen-momen puitik.
Momen puitik dengan cerapan inderawi itulah yang menjadi
bagian inti yang sering disebut “inspirasi” atau “ilham”. Selain
itu ia menjadi kekayaan dalam perbendaharaan “ungkapan
puitik”, misalnya dalam puisi Rendra: //… kuciumi wajahmu wa-
ngi kopi/tapi juga kuinjaki sambil pergi/sebab wajah bunda adalah bumi/
cinta dan korban tak bisa dibagi //. Seseorang yang tidak pernah
tertegun, takjub oleh aroma kopi sebagai aroma itu sendiri—
artinya: bau itu tidak hanya ditangkap sebagai isyarat ‘nah itu
lezat, yuk kita minum, cagak lek ngoreksi ulangan umum murid-
murid’ –muskil sampai pada ungkapan puitis di atas. Kita ambil
contoh sajak Rendra lainnya, bagaimana mungkin penyair itu
sampai mengatakan // … terbuka luka kelopak-kelopak angsoka …//
kalau tidak pernah tertegun, “terkesima” oleh pengalaman inde-
rawi menatap bunga angsoka dan luka terbuka? Paderi muda
di mimbar, dalam sajak Rendra yang lain, bermata // … bersih
seperti mata kelinci …/ dan tangannya //…putih halus bagai leli …//.
Selain itu, jika seseorang tidak pernah tercekam oleh momen
puitik yang terhantarkan dalam cerapan indera pendengar, yakni
bunyi dan irama, muskil kiranya ia menulis puisi atau menemukan
puisi. Unsur bunyi seperti tinggi-rendah, keras-lirih, dan “warna”
(timbre) memegang peranan sangat besar dalam puisi. Demikian
juga alunan dan iramanya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
137
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
138
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
139
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
140
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Teknik Bermain
Bermain drama atau berperan di atas pentas, pada dasarnya
adalah memberi bentuk lahir pada watak dan emosi aktor, baik
dengan laku atau dengan ucapan. Ada tiga bagian watak yang
harus muncul dan terlihat oleh penonton, yakni watak tubuh,
watak pikiran, watak emosi. Menciptakan sebuah peran berarti
menciptakan hidup sukma manusia diatas pentas. Untuk itulah
latihan dasar bermain perlu diadakan.
Teknik bermain merupakan unsur penting yang perlu
dilakukan oleh seorang aktor/calon aktor. Ada beberapa teknik
dasar yang dapat dilatih sebagai pegangan bagi seorang calon
aktor, antara lain: teknik muncul, teknik memberi isi, teknik
timing, dan teknik takaran dalam pentas.
Teknik muncul adalah teknik bagaimana seorang aktor/
pemeran muncul pada saat pertama kali di atas panggung pada
saat layar dibuka atau pada saat ia muncul ketika para pemeran
lain telah berada di atas panggung, atau muncul pada bagian
akhir membutuhkan suatu teknik tertentu. Teknik muncul ini
141
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Ekspresi Lisan
Setelah ekspresi tubuh dan mimik (muka) yang juga tidak
kalah penting perlu dipelajari adalah ekspresi lesan/ucapan/
suara. Suara selain digunakan utuk menyampaikan kata-kata se-
bagai satu cara untuk berkomunikasi atau menyampaikan infor-
masi merupakan bagian utama dari mekanisme ekspresi. Tanpa
kita sadari sejak manusia lahir telah memiliki kemampuan meng-
ekspresikan keinginan dengan suara tangisan, ekspresi suara
adalah sikap naluri.
142
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
143
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
144
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
145
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
146
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
147
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
3. Memperluas Wawasan
Seorang aktor harus bisa menguasai intelgensinya sendiri,
dan juga bisa menjadi intelgensia peran yang akan diperankan.
Ia bisa menjadi seoarng yang bodoh atau pintar, menjadi
orang gila atau seorang genius. Untuk itulah maka sorang
aktor harus memiliki wawasan tentang kesenian dan kebuda-
yaan secara umum, serta pengetahuan umum yang memadai.
Ia harus mengenal tokoh-tokoh dunia teater baik dari dalam
maupun luar negeri, mengerti tentang kesusastraan dan to-
koh-tokohnya, mengerti tentang dunia seni rupa serta aliran-
alirannya, belajar tentang filsafat, psikologi, Fisionomi, bio-
logi, anatomi, hukum, ilmu komunikasi, tentang musik, seni
tari, dan lain-lain.
Ingatan Emosi
Aktor harus bisa mengingat segala ingatan emosi yang ter-
pendam didalam file-file kehidupannya yang telah silam. Semua-
nya akan berguna dalam/untuk menolong aktingnya, dan nanti-
nya akan bisa berkembang sesuai dengan kematangan hidupnya.
Laku Dramatis
Jika sudah bisa menggali emosi barulah kita wujudklan da-
lam Laku dramatis. Yaitu perbuatan yang sifatnya ekspresif dari
emosi. Ini merupakan instrumen dalam teater, seperti warna
dalam lukisan, bentuk dalam patung, dan nada dalam musik.
Pembangunan Watak
Aktor harus mengenal betul gambaran peran yang akan
dimainkannya. Untuk itu ia harus :
a. Menelaah struktur peran (bagaimana intelgensinya, karak-
ternya, masa silamnya, dan lain sebagainya).
b. Memberi identifikasi peran. Menyelidiki setiap detail peran
secara teliti, kemudian memberi tanda, cap, atau simbol
yang harus bisa ditangkap oleh penonton.
148
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Observasi/Pengamatan
Seorang aktor adalah seorang observator kehidupan. Ia
harus selalu memperhatikan kehidupan orang-orang di sekitar-
nya, bagaimana kebiasaannya, bagaimana orang itu melakukan
aktivitasnya, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, hobinya, ciri-
ciri fisik, psikisnya, serta lain sebagainya.
Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, seorang aktor
harus memperkaya dirinya dengan meningkatkan intelgensinya
dengan belajar ilmu-ilmu lain seperti : Ilmu Antropologi, Sosio-
logi, Biologi, Filsafat, Budaya, Agama, Politik, Ekonomi, dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Daftar Bacaan
Harymawan, RMA. (1993), Dramaturgi, Cetakan ke-2, PT.
Rosdakarya, Bandung.
Purwaraharja, Lephen. ed. (2000), Ideologi Teater Modern Kita,
Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
Sahid, Nur. (2004), Semiotika Teater, Lembaga Penelitian Institut
Seni Indonesia Yogyakarta.
Sitorus, Eka D. (2002), The Art of Acting Seni Peran untuk Teater,
Film & TV, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sumardjo, Jakob. (1992), Perkembangan Teater Modern dan Sastra
Drama Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
149
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Sumjati, As. ed. (2001), Manusia dan dinamika Budaya dari Kekerasan
sampai Baratayuda, Fakultas Sastra UGM bekerjasama dengan
BIGRAF Publishing, Yogyakarta.
Yudiaryani. (2002), Panggung Teater Dunia Perkembangan dan
Perubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
150
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Pengantar
Dalam suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto terhadap beberapa
orang guru SD di Purwokerto, diperoleh hasil yang cukup menge-
jutkan. Betapa tidak, dari kuesioner yang telah diisi oleh 42 orang
guru SD berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia,
materi sastra khususnya materi drama, 17 orang (39%) menyata-
kan tidak menyukai mengajar materi drama; 18 orang (42%)
belum atau tidak mengajarkan materi drama; dan hanya 7 orang
(19%) mengaku senang mengajar drama. Celakanya, dari 7 orang
(19%) yang sudah mau mengajarkan materi drama itu, mengaku
mengajarkan drama dengan cara seadanya, dengan alasan tidak
menguasai teknik bermain drama. Masya Allah, apa jadinya jika
situasi seperti ini juga melanda sekolah menengah umum di
Daerah Istimewa Yogyakarta?
Oleh karena itu, kegiatan rutin Bengkel Sastra Indonesia
2003 yang kali ini dikhususkan pada materi drama, bukan hanya
patut didukung tetapi juga tepat. Diduga, apabila dilakukan
penelitian yang sama terhadap guru-guru SMU di DIY, hasilnya
kurang lebih sama. Akan tetapi, dapat dikemukakan terlebih
dahulu bahwa kegiatan bengkel sastra tidak menekankan perha-
151
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
152
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
153
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Naskah Drama
Adalah bahan pokok pementasan. Bisa ditulis sendiri, atau
dipilih dari karangan pengarang drama yang sudah dikenal, mi-
salnya karya Asrul Sani (Mahkamah), Rendra (Orang-Orang di Ti-
kungan Jalan), Kirdjomuljo (Penggali Intan), Putu Wijaya (Aduh),
Mottinggo Boesye (Malam Jahanam), Utuy Tatang Sontani (Bunga
Rumah Makan), Arifin C. Noer (Mega-Mega), Iwan Simatupang
(Petang di Taman), B. Sularto (Domba-Domba Revolusi), dan masih
banyak lagi. Secara garis besar naskah drama dapat berbentuk
tragedi (tentang kesedihan dan kemalangan, misalnya Domba-
Domba Revolusi karya B. Sularto) dan komedi (tentang lelucon
dan tingkah laku konyol, misalnya Demit karya Heru Kesawa
Murti), serta disajikan secara realis (mendekati kenyataan sebe-
narnya dalam pementasan, baik dalam bahasa, pakaian, dan tata
panggungnya, misalnya Penggali Intan karya Kirdjomuljo atau
Citra karya Usmar Ismail), dan secara simbolik (dalam pemen-
tasannya tidak perlu mirip apa yang sebenarnya terjadi dalam
realita, biasanya dibuat puitis, dibumbui musik-koor-tarian, dan
panggung kosong tanpa hiasan yang melukiskan suatu realitas,
misalnya drama karya Putu Wijaya seperti Aduh, Bila Malam Ber-
tambah Malam dan karya Arifin C. Noer seperti Mega-Mega, Kapai-
Kapai, Sumur Tanpa Dasar, dan sebagainya). Naskah yang telah
154
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Sutradara
Setelah naskah, faktor sutradara memegang peranan yang
penting. Sutradara inilah yang bertugas mengkoordinasikan lalu
lintas pementasan agar pementasannya berhasil. Ia bertugas
membuat/mencari naskah drama, mencari pemeran, kerabat
kerja, penyandang dana (produser), dan dapat menyikapi calon
penonton. Untuk menjadi seorang sutradara, secara teoretis
(Padmadarmaya, 1980) sutradara diharapkan memiliki pengeta-
huan di bidang (1) kultural (pengetahuan luas di seputar permasa-
lahan kebudayaan); (2) artistik (cita rasa, peka, terbuka, dan
kreatif); (3) teatral (pengetahuan tentang pementasan); (4) literer
(pengetahuan tentang sastra dan drama pada khususnya); (5)
pedagogi (ilmu pendidikan); dan (6) kepemimpinan dan kepribadian
(mampu memimpin, sehat jasmani dan rohani).
Apabila keenam pengetahuan yang harus dimiliki oleh
seorang sutradara belum terpenuhi, tampaknya untuk belajar
menjadi sutradara yang akan menyutradarai pementasan dra-
ma, dapat mengikuti saran Prof. Munandar (Semiawan, 1984)
di sekitar bagaimana memupuk iklim kreatif seperti: (1) bersi-
kaplah terbuka terhadap minat dan gagasan orang lain atau te-
man; (2) berilah waktu kepada mereka untuk memikirkan dan
mengembangkan gagasan kreatif; (3) ciptakanlah suasana saling
menghargai, saling menerima, sehingga memungkinkan untuk
dapat bekerja sama dengan baik; (4) doronglah kegiatan berpikir
divergen, artinya menekankan keterbukaan dengan alternatif,
dan menjadi narasumber yang dapat mengarahkan; (5) ciptakan
suasana hangat dan berikan kebebasan berpikir yang bersifat
eksploratif, penyelidikan; (6) berilah kesempatan kepada mereka
untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan; (7) usahakan
155
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pemeran
Ini faktor selanjutnya yang mendukung pementasan. Peme-
ran inilah yang harus menafsirkan perwatakan tokoh yang
diperankannya. Memang sutradara yang menentukan, tetapi tan-
pa kepiawaian dalam mewujudkan pemeranannya, konsep peran
yang telah digariskan sutradara berdasarkan naskah, hasilnya
akan sia-sia belaka. Oleh karena itu, pemeran juga dituntut untuk
(1) menguasai teknik berperan; (2) menguasai peran tokoh yang
akan dibawakan; (3) akrab dengan panggung pementasan; (4)
dapat menjalin hubungan akrab dengan pemeran lain dan tidak
canggung dengan segala macam peralatan panggung seperti: set,
kostum, lampu, musik, dan sebagainya; serta (5) sehat jasmani
dan rohani (Padmadarmaya, 1980).
Panggung
Ada berbagai macam variasi panggung, seperti panggung
sandiwara Yunani, panggung Inggris abad Pertengahan, pang-
gung Elizabethan, panggung modern yang diperlengkapi dengan
video, tv, dan film. Secara garis besar variasi panggung dapat
dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, panggung yang di-
pergunakan sebagai pertunjukan sepenuhnya, sehingga semua
penonton dapat mengamati pementasan secara keseluruhan dari
luar panggung. Kedua, panggung berbentuk arena, sehingga me-
mungkinkan pemain berada di sekitar penonton.
156
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Cahaya
Cahaya (lighting) diperlukan untuk memperjelas penglihatan
penonton terhadap mimik pemeran sehingga tercapai atau dapat
mendukung penciptaan suasana sedih, murung, atau gembira, dan
dapat mendukung keartistikan set yang dibangun di panggung.
Pakaian/Kostum (Costume)
Merupakan pakaian yang dikenakan pemain untuk mem-
bantu pemeran dalam menampilkan perwatakan tokoh yang di-
perankannya. Dengan melihat kostum yang dikenakan, para pe-
nonton secara langsung dapat menerka profesi tokoh yang
ditampilkan di panggung (dokter, perawat, tentara, petani, dan
sebagainya); kedudukannya (rakyat jelata, punggawa, atau raja);
dan sifat sang tokoh (trendi, ceroboh, atau teliti dan cermat).
Rias
Berkat rias yang baik, seorang gadis berumur 18 tahun da-
pat berubah wajah seakan-akan menjadi seorang nenek-nenek.
Dapat juga wajah tampan “dipermak” menjadi tokoh yang tam-
pak kejam dan jelek. Semua itu diusahakan untuk lebih membantu
para pemeran dalam membawakan perwatakan tokoh sesuai
dengan yang diinginkan naskah dan tafsiran sutradara.
Penonton
Dalam setiap pementasan, faktor penonton perlu dipikirkan
juga. Jika drama yang dipentaskan untuk para siswa sekolah
sendiri, faktor penonton tidak begitu merisaukan. Apabila terjadi
157
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
158
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
159
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
160
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
161
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penutup
Demikianlah pokok-pokok di sekitar drama dan bermain
drama. Tentu saja masih banyak teknik bermain yang perlu di-
pelajari (seperti teknik muncul, teknik memberi isi, teknik pe-
ngembangan, teknik membina puncak-puncak, dan takaran da-
lam pemeranan) apabila ingin bermain drama dengan baik. Akan
tetapi, dengan mempelajari beberapa teknik bermain seperti
yang sudah disebutkan di atas, jika hal-hal tersebut ditekuni
dengan benar, maka kita akan dapat mementaskan drama dengan
baik.
Daftar Bacaan
Arifin, Max. 1980. Teater, sebuah Perkenalan Dasar. Ende: Nusa
Indah.
Boleslavsky, Richards. 1960. Enam Pelajaran Pertama bagi Calon
Aktor (terj. Asrul Sani). Jakarta: Jaya Sakti.
Dewan Kesenian Jakarta. 1980. Pertemuan Teater 1980. Jakarta:
DKJ.
Neufeldt, Victoria & David B. Guralnik. 1989. Webster’s New World
Dictionary of American English. New York: Prentice Hall
General Reference.
162
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
163
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
164
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PROSES PRODUKSI
PEMENTASAN LAKON
Bambang J. Prasetya
Persiapan Naskah
Dalam mempersiapkan naskah yang akan dipentaskan,
kelompok biasanya memilih naskah karya orang lain atau me-
nulis naskah sendiri. Apabila harus memilih naskah oang lain,
harus dipertimbangkan hal-hal berikut: (1) naskah aktual untuk
dipentaskan, minimal mempersoalkan masalah yang dekat
dengan masyarakat; (2) naskah mampu dipentaskan oleh ke-
lompok, baik menyangkut materi pemain maupun persoalan non
artistik lainnya; dan (3) bentuk (form) yang kemungkinan bisa
dicapai dari naskah tersebut.
Ketiga pertimbangan tersebut merupakan dasar untuk me-
nentukan naskah yang akan dipentaskan. Berbeda bila naskah
ditulis sendiri atau bersama-sama rekan yang lain. Proses pemi-
lihan naskah biasanya berdasarkan pada moment yang menarik
pada saat naskah tersebut dipentaskan. Setiap naskah yang ditu-
lis merupakan refleksi dari peristiwa yang terjadi di masyarakat,
maka pementasan naskahnya disesuaikan dengan persoalan yang
sedang hangat di masyarakat. Terkecuali dalam rencana pemen-
tasan tersebut belum ada fenomena masyarakat yang perlu diso-
dorkan sehingga masih memungkinkan naskah lama.
165
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pengenalan
Naskah yang telah selesai dibuat bersama tersebut akan
dipelajari oleh sutradara. Selain sutradara, beberapa anggota
yang sanggup untuk terlibat pementasan, mulai masuk dalam
proses pengenalan ini. Pada dasarnya pengenalan ini merupakan
tahapan penyatuan motivasi dari masing-masing anggota,
sehingga pengenalan tersebut mampu menyatukan suatu sema-
ngat kreativitas. Bagi sutradara, penyatuan semangat kreatif ini
sangat besar pengaruhnya terhadap kelancaran pengembangan
ide-ide yang dimiliki.
Kebersamaan yang dicapai dalam proses pengenalan terse-
but bermanfaat sebagai media untuk memahami masing-masing
individu. Dengan mengetahui latar belakang anggota yang ter-
libat dalam pementasan, sutradara menjadi mudah menyampai-
kan gagasannya agar diterima oleh anggota. Untuk itu perlu
diadakan pendekatan-pendekatan yang sifatnya pribadi. Upaya
pendekatan pribadi tersebut dilakukan dengan banyak cara, ter-
gantung dari latar belakang, minat, dan kegemaran dari masing-
masing anggota.
Selain untuk mengakrabkan hubungan antara sutradara dan
pendukung, pendekatan pribadi juga merupakan upaya penja-
jagan kemampuan dasar anggota. Apa bila anggota mempunyai
166
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Analisis Naskah
Analisis naskah yang dilakukan berkaitan dengan usaha
mengembangkan tokoh-tokoh naskah ke dalam wujud visual.
Jadi, dalam analisis naskah, sutradara mencoba mencari kemung-
kinan lain dari tokoh-tokoh yang hidup lewat dialog supaya
menjadi hidup secara nyata. Untuk itu, perlu diciptakan karakter
yang bisa mengembangkan karakter yang semula tersirat dalam
naskah.
Untuk mengembangkan karakter tokoh, harus dipahami
terlebih dahulu mengenai tokohnya. Tokoh dapat dipahami le-
wat (1) status sosial apakah tokoh tersebut seorang camat, lurah,
petani, penganggur, dan sebagainya, (2) usia, (3) konflik, yaitu
mengenai persoalan-persoalan yang terjadi antartokoh, dan (4)
fisik, apakah tokoh yang bersangkutan mempunyai kelainan tu-
buh atau tidak. Dari keempat hal tersebut, sutradara kemudian
mengembangkannya menjadi lebih spesifik. Seperti halnya ka-
rakter umum seorang raja yang harus berwibawa dan gagah,
belum menjamin tokoh tersebut mempunyai saat “dimainkan”
memiliki kekuatan dalam panggung sehingga perlu dikembang-
kan menjadi tokoh yang mempunyai ciri khas tertentu.
Analisis naskah yang menekankan pada segi pengembangan
tokoh ini hanya untuk naskah-naskah karya bersama. Setiap
orang yang sudah bersedia mendukung pementasan, sejak awal
sudah mengetahui seluk-beluk naskah yang akan dimainkan,
seperti persoalan-persoalan yang akan diungkap, latar belakang
167
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pemilihan Pemain
Pemilihan pemain (casting) merupakan tahapan penyesuaian
antara tokoh naskah dengan pemeran. Dalam penyesuaian ter-
sebut seorang sutradara dituntut mampu menyesuaikan antara
168
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
169
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Reading Play
Membaca naskah (reading play) lakon perlu dilakukan karena
untuk mengetahui cerita tersebut sudah terangkat atau belum.
Apabila naskah belum terangkat secara audio akan lebih mudah
memperbaiki terlebih dahulu; dibandingkan apabila memper-
baikinya setelah memasuki tahapan lainnya. Oleh karena itu,
beberapa target yang harus tercapai dalam latihan membaca
naskah lakon adalah:
1) Tahapan Struktur Bahasa, yaitu target yang harus dicapai
oleh pemain dalam menghidupkan teks lakon menjadi
dialog yang hidup. Kalimat-kalimat yang ada pada teks la-
kon terlebih dahulu diucapkan secara tepat dengan peng-
gunaan tanda baca yang benar.
2) Tahapan Watak, merupakan tahap kelanjutan dari tahapan
struktur bahasa. Pada tahapan ini pemain mulai diarahkan
untuk menghidupkan karakter tokoh, yang secara detail
telah dijelaskan pada awal latihan naskah. Untuk membantu
memunculkan watak dalam dialog, selain analisis naskah,
didukung pula dengan proses eksplorasi.
3) Tahapan Suasana Dramatik, diusahakan muncul di setiap
adegan yang ada dalam naskah. Untuk mencapai suasana
dramatik tersebut, antarpemain harus mampu menjalin
suatu dialog yang wajar, sehingga dapat menghasilkan
suatu suasana kehidupan. Tentu saja tahapan ini mudah di-
wujudkan apabila dua tahap sebelumnya sudah terbentuk,
dengan demikian sutradara tinggal membuat variasi dialog,
seperti jeda, besar-kecil volume suara dan tempo pengucap-
an dialog.
4) Tahapan Keterlibatan Emosi, adalah tahap terakhir reading
play. Pada tahap ini pemain harus terlibat emosinya untuk
170
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Penciptaan Pengadeganan
Penciptaan pengadeganan merupakan transformasi naskah
ke dalam bentuk visual. Penciptaan tersebut akan melewati bebe-
rapa tahapan kerja, antara lain penciptaan awal (introduction),
penentuan iringan, penentuan posisi/komposisi/pola gerak/pe-
rencanaan artistik. Keempat bagian ini penggunaannya lebih
banyak disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi personal pen-
dukung yang ada, sehingga kelancaran sistem kerja yang telah
dibuat juga dipengaruhi oleh rekan kerja (seluruh pendukung).
Agar jelas tahapan penciptaan pengadeganan, di bawah ini
diuraikan mengenai bagan-bagan sesuai pola kerja.
Penciptaan Awal
Menonton pertunjukan teater memerlukan konsentrasi yang
khusus agar dapat memahami cerita yang disampaikan lewat
laku pemain. Untuk menciptakan suasana yang dapat membantu
konsentrasi penonton, perlu dibuat suatu adegan khusus sehing-
ga bisa menggiring perhatian penonton pada pertunjukan yang
sedang berlangsung. Hal ini perlu dilakukan mengingat setiap
penonton yang memasuki gedung pertunjukan belum siap untuk
menikmati pertunjukan.
171
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penentuan Iringan
Pada tahapan ini yang dilakukan adalah menyesuaikan
konsep musik yang dipakai sebagai iringan. Dalam penentuan
tersebut, sutradara lebih banyak memberikan kebebasan kepada
penata iringan untuk membuat warna musik yang akan dipakai.
Penekanan adegan yang perlu diisi dengan musik diberikan
kepada penata iringan, selebihnya pengembangan musik tersebut
terserah ilustrator.
172
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
173
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
174
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
175
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
176
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
177
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
178
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
179
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
180
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
181
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
182
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
SUTRADARA
DAN PENYUTRADARAAN
Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya
Sutradara
Pertunjukan teater merupakan satu kesatuan yang dicipta-
kan oleh pemain (aktor), pengarang (naskah/cerita), sutradara
(dibantu tim artistik dan tim produksi), tempat pertunjukan dan
penonton. Menghadapi sebuah naskah drama seorang sutradara
akan berpikir bagaimana memainkannya di atas panggung agar
hidup dan terjadi komunikasi dengan penotonnya. Usaha untuk
menghidupkan sebuah naskah drama berarti suatu usaha yang
mengacu pada bentuk yang artistiK. Nilai artistik sebuah pe-
mentasan drama dapat diukur dan dinilai dari sejauh mana pe-
mentasan itu mampu menampilkan atau mewujudkan bentuknya.
Pengertian sutradara adalah orang yang bekerja berdasar-
kan konsep dan mampu mengorganisasi produksi, juga dapat
menjalin kerjasama dan komunikasi yang baik dalam hubungan-
nya dengan sekelompok aktor. perancang artistiK, dan juga
teknisi untuk menghasilkan sebuah pementasan drama. Untuk
menjadi sutradara sebaiknya lebih dulu menguasai teknik-teknik
acting atau menjadi seorang pemeran. Seorang sutradara dituntut
mengetahui tentang:
1. Aspek kultural, mengetahui masalah-masalah yang ber-
hubungan dengan kebudayaan, juga pengetahuan umum.
183
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penyutradaraan
Pementasan teater di atas panggung pertunjukan merupa-
kan hasil kerja sutradara dalam proses transformasi dari struktur
naskah menjadi tekstur panggung. Di sinilah sutradara mencipta,
mengatur dan menyatukan komposisi visual, irama, tempo, serta
tata bunyi.
Menurut Kernoddle melalui Yudiaryani (2002:354-355), ada
tiga langkah perancangan produksi teater yaitu klasifikasi, ana-
lisis, dan kualitas teknik dan materi pementasan. Berikut ini pe-
rancangan perencanaan produksi teater:
184
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
185
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Unsur-Unsur Plot:
1. Ketegangan (suspense), plot yang baik akan menimbulkan
ketegangan pada diri pembaca atau penonton melalui ke-
mampuannya untuk menumbuhkan dan memelihara rasa
ingin tahu dan kepenasaran penonton dari awal sampai
akhir.
2. Dadakan (surprise), dalam membaca atau menonton cerita
yang baik, pembaca atau penonton akan selalu menduga-
duga mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Pengarang
yang baik akan menyusun ceritanya sedemikian rupa hingga
dugaan-dugaan pembaca atau penontonnya selalu keliru
dan peritiwa membelok ke arah lain yang tidak disangka-
sangka dan bahkan mengagetkan.
3. Ironi dramatik (dramatic irony), dapat berbentuk pernyataan-
pernyataan atau perbuatan-perbuatan tokoh cerita yang
seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi kemudian.
Sudah barang tentu ironi dramatik diciptakan begitu rupa
oleh pengarang agar tidak mengganggu ketegangan dan
hilangnya unsur dadakan. Sebaliknya ironi dramatik justru
untuk mendukung kedua unsur tersebut.
186
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
187
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Penokohan
Tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan
mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-
peristiwa yang digambarkan dalam plot atau alur cerita. Sifat
dan kedudukan tokoh cerita di dalam naskah drama beraneka
ragam. Ada yang bersifat penting dan digolongkan kepada to-
koh penting atau mayor dan ada pula yang tidak terlalu penting
dan digolongkan kepada tokoh pembantu atau minor. Ada yang
berkedudukan sebagai protagonis, yaitu tokoh yang pertama-ta-
ma berprakarsa dan dengan demikian berperan sebagai peng-
gerak cerita. Karena perannya itu protagonis adalah tokoh yang
pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesu-
karan-kesukaran. Biasanya kepadanya pula pembaca atau
penonton berempati. Yang dimaksud berempati ialah menempat-
kan diri pada kedudukan seseorang, hingga dapat memikirkan
masalah-masalah orang itu dan mengalami perasan-perasaannya.
Lawan protagonis adalah antagonis, merupakan tokoh pengha-
lang bagi tokoh protagonis. Tokoh lain yang kedudukannya pen-
ting pula dalam cerita adalah kepercayaan (confidant). Tokoh ini
menjadi kepercayaan protagonis dan atau antagonis. Kepada
tokoh ini protagonis dan antagonis dapat mengungkapkan isi
hatinya di pentas, oleh karena itu memberi peluang besar kepada
pembaca atau penonton untuk mengenal watak dan niat tokoh-
tokoh dengan lebih baik.
Watak para tokoh bukan saja merupakan pendorong terja-
dinya peristiwa akan tetapi juga merupakan unsur yang menye-
babkan gawatan masalah yang timbul dalam cerita. Dapat dika-
takan watak seorang tokoh biasanya menjadi penggerak cerita.
Bahasa
Unsur drama yang lain dan sangat penting adalah bahasa.
Percakapan yang dilakukan tokoh-tokoh dalam cerita mengguna-
kan bahasa. Dengan bahasa pula untuk menjelaskan bagian-ba-
gian plot yang tidak dipertunjukan di atas pentas. Bahasa juga
188
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
189
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
c. Tata Rias
Pengertian tata rias dalam seni teater yakni merubah yang
alamiah (nature) menjadi yang berbudaya (culture) dengan
maksud mendapatkan daya guna yang tepat (Harymawan,
1993:135). Tata rias dalam sebuah pementasan teater biasa-
nya dihadirkan untuk memperjelas karakter peran dan
memperkuat watak toloh. Pada karya ini tata rias yang di-
tampilkan adalah rias semi fantasi yakni gabungan antara
rias tradisi, rias modern dan rias karakter yang disesuaikan.
d. Tata Lampu
Esensi tata lampu atau pencahayaan dalam teater untuk
akting adalah menerangi seluruh wajah. Tubuh aktor dan
lingkungan sekitar panggung harus mendapat pencahayaan
secara efektif, hal ini agar wajah aktor dengan jarak pe-
nonton tetap terlihat. Rancangan tata lampu untuk teater
dibedakan menjadi 3 tipe area yaitu: (1) acting areas (area
akting yang dimaksud di mana akting penting ditempatkan
atau di mana aktor membuat garis), (2) traffic areas (area
lalu lintas, di mana aktor bergerak antara area akting, tetapi
bukan saat melakukan akting atau dialog penting), (3) sce-
nery areas (area skeneri, tempat yang tidak pernah dimasuki
aktor tetapi pencahayaan diperlukan agar penonton dapat
melihat skeneri, furniture, property, dan lain sebagainya
(Bunn, 1993:30-34).
e. Tata Bunyi
Seni teater bersifat auditif visual artinya bisa didengar dan
bisa dilihat (Harymawan, 1993:159). Bunyi atau suara dalam
seni teater merupakan bunyi yang dihasilkan dari suara pe-
meran (pengucapan dialog), efek bunyi yang dihasilkan da-
ri benda-benda (seperti; bunyi pintu, bunyi detak jam din-
ding, bunyi kapal terbang, dan lain sebagainya), dan musik.
f. Properti
Properti atau perlengkapan pentas adalah segala macam
peralatan yang digunakan di atas panggung yang kehadir-
190
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
191
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Babak
Dalam naskah drama adalah bagian dari naskah drama yang
merangkum semua peristiwa yang terjadi di suatu tempat pada
urutan waktu tertentu. Sering kita jumpai dalam naskah drama
terdapat lebih dari satu babak. Dan suatu babak biasanya dibagi-
bagi lagi di dalam adegan-adegan. Suatu adegan ialah bagian
dari babak yang batasannya ditentukan oleh perubahan peristi-
wa berhubung datangnya atau perginya seorang atau lebih to-
koh cerita ke atas pentas.
Dialog
Bagian lain dalam naskah yang harus dipahami oleh seorang
sutradara adalah dialog. Dari dialog yang diucapkan oleh tokoh-
tokoh maka akan tersirat makna dan maksud yang ingin disam-
paikan oleh seorang pengarang tau penulis naskah drama.
Prolog
Bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal. Pada
dasarnya prolog merupakan pengantar naskah yang dapat berisi
satu atau beberapa keterangan tentang cerita yang akan disam-
paikan. Keterangan yang dimaksud mengenai masalah, gagasan,
pesan pengarang, jalan cerita atau alur (plot), latar belakang ce-
rita, tokoh, dan lain-lain, kesemuanya itu diharapkan dapat me-
nolong pembaca atau penonton dalam menghayati dan mema-
hami cerita yang disajikan. Namun perlu diketahui tidak semua
naskah drama memiliki prolog, karena kedudukannya agak ku-
rang penting dibandingkan dengan dialog dan petunjuk penga-
rang. Walaupun begitu ditangan pengarang-pengarang yang baik
prolog bisa menjadi salah satu sarana penyampai yang berdaya
guna. Oleh karena itu pengetahuan yang memadai mengenai
prolog perlu dimiliki oleh mereka yang berhasrat menghayati
dan menikmati karya-karya sastra drama, baik sebagai sastra
maupun sebagai pementasan.
192
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Dialog
Merupakan bagian dari naskah yang berupa percakapan antar
tokoh. Dialog inilah yang menunjukkan sebuah karya sastra dise-
but sebagai sastra drama. Dalam drama dialog memiliki fungsi;
(1) menyajikan informasi, mengungkap fakta, ide, dan emosi,
(2) harus mewujudkan karakter, (3) memberi tekanan pada mak-
na dan informasi, (4) menghidupkan tema naskah, (5) membantu
pembentukan nada yang mengidentifikasikan naskah tersebut
komedi, tragedi atau lawak, dan (6) meningkatkan tempo dan
irama permainan. Selain dialog, yang kadang-kadang hadir da-
lam naskah drama adalah petunjuk pengarang (biasanya ditulis
dalam kurung) yang memberikan penjelasan mengenai keadaan,
suasana, peristiwa, perbuatan dan sifat tokoh cerita kepada para
pembaca, atau awak pementasan misalnya; sutradara, pemeran,
dan penata artistik.
Epilog
Ditempatkan pengarang di bagian belakang. Epilog biasanya
berisi kesimpulan pengarang mengenai cerita, yang kadang-
kadang disertai nasehat atau pesan. Ada pula epilog yang disertai
ucapan terimakasih pengarang dan para pemain kepada penon-
ton yang dengan sabar telah menyaksikan pertunjukan.
193
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Daftar Bacaan
Bunn, Rex. (1993), Practical Stage Lighting, Currency Press Ltd
PO Box 452 Paddington NSW 2021, Australia.
Djelantik, A.A.M. (2001), Estetika Sebuah Pengantar, MSPI
bekerjasama dengan kuBuku, Bandung.
Harymawan, RMA. (1993), Dramaturgi, Cetakan ke-2, PT.
Rosdakarya, Bandung.
Padmodarmaya, Pramana. (1983), Tata dan Teknik Pentas, P&K,
Jakarta.
Purwaraharja, Lephen. ed. (2000), Ideologi Teater Modern Kita,
Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
Sahid, Nur. (2004), Semiotika Teater, Lembaga Penelitian Institut
Seni Indonesia Yogyakarta.
Sumardjo, Jakob. (1992), Perkembangan Teater Modern dan Sastra
Drama Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Yudiaryani. (2002), Panggung Teater Dunia Perkembangan dan
Perubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
194
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
MENUMBUHKEMBANGKAN
POTENSI DIRI UNTUK
BEREKSPRESI DRAMATIK
Nur Iswantara
Prolog
Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik sudah
selayaknya tetap memakai bahasa Indonesia sebagai sarana
berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis dalam kancah per-
gaulan nasional. Dengan berbahasa Indonesia semakin membe-
rikan arti keindonesiaan dalam wawasan kebudayaan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penggunaan bahasa Indo-
nesia dalam NKRI semestinya harus diperjuangkan secara terus-
menerus baik dalam lingkup berbangsa, bermasyarakat, keluar-
ga, maupun sekolah.
Ingat sebuah peribahasa, Bahasa Menunjukkan Bangsa adalah
peribahasa yang masih sangat relevan dengan situasi NKRI yang
tetap setia menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai alat ko-
munikasi keluarga bangsa ini. Sejak Sumpah Pemuda dikuman-
dangkan pada 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia ditempatkan
sebagai alat berbahasa yang satu bagi bangsa Indonesia. De-
mikian pula sejak UUD 1945 disepakati sebagai landasan ber-
negara, maka Bahasa Indonesia pun resmi sebagai bahasa nasio-
nal. Melalui asumsi-asumsi tersebut kiranya peribahasa yang in-
dah itu secara nyata dapat dipergunakan untuk memahami segala
aktivitas yang menyangkut bahasa Indonesia maupun bahasa-
bahasa yang lain dalam kebudayaan masyarakat Indonesia.
195
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
196
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
197
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Teori Drama
Hal dasar yang melekat pada siswa sebagai calon penulis
naskah drama berkaitan dengan sumber potensi utama. Siswa
sebagai sosok manusia memiliki sumber potensi, yakni pribadi
yang sehat (badaniah, jiwaiah, intelektual), pengalaman ekspresi
dramatik, imajinasi, memori, pengamatan kehidupan, menulis,
kepekaan panca indra, merupakan modal berkreasi yang dapat
dikembangkan demi mengaktualitasasikan potensinya secara
proporsional.
Harymawan dalam bukunya Dramaturgi (1993) mengete-
ngahkan bahwa ilmiah teater menciptakan dua daerah pokok
subyek, yaitu teatrologi dan dramatologi atau dramaturgi.
Teatrologi menyelidiki aspek-aspek pergelaran teater sehu-
bungan dengan aktor, pentas, dan penonton. Sedangkan drama-
turgi bidang penyelidikannya meliputi sebuah ketentuan yang
dapat digelarkan sebagai suatu hasil seni yang diperuntukkan
bagi pertunjukan teater. Dramaturgi merupakan ajaran tentang
masalah hukum dan konvensi drama. Formula dramaturgi meli-
put 4M: mengkhayalkan (M1); menuliskan (M2); memainkan M3),
dan menyaksikan (M4) merupakan formula yang sangat penting.
Untuk keperluan penulisan naskah drama maka yang ba-
nyak dibahas pada M1 berkaitan dengan pertama kali manusia/
pengarang mengkhayalkan kisah: ada inspirasi-inspirasi, ide-
ide (idea); M2 menempatkan pengarang saat menyusun kisah
yang sama (the same idea) untuk kedua kalinya, pengarang menulis
kisah (story). Secara teoritis dramaturgi pun menjadi bekal calon
penulis naskah drama. Ada dua sisi pembahasan yakni, Sisi I,
Drama dan Konflik Kemanusiaan. Pembahasan itu meliputi: Pertama,
Hukum Drama, drama adalah konflik kemanusiaan yang selalu
menguasai perhatian dan minat publik. Konflik adalah dasar
drama (the law of drama) menurut Ferdinand Brunetiere (via Hary-
198
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
199
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
200
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
201
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ting saja; (iii) unsur keharusan psikis, dalam fungsi psikis dalam
dramaturgi klasik biasa dikenali adanya: Protagonis, peran utama
(pahlawan, pria/wanita) yang menjadi pusat cerita, pembawa
ide prinsipiil; Antagonis, peran lawan, penentang pembawa ide
prinsipiil, sering menjadi musuh yang menyebabkan konflik; dan
Tritagonis, peran penengah, bertugas mendamaikan atau menjadi
pengantara protagonis dan antagonis; peran pembantu, peran
yang secara tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi diper-
lukan guna peneyelesaian cerita; (5) pemahaman drama modern—
drama modern mendobrak hukum-hukum Aristoteles. Drama
modern yang baik, menempatkan kegentingan (spanning) untuk
memikat penonton dalam waktu sesingkat mungkin. Ada dua
macam kegentingan: (i) kegentingan karena hasrat ingin tahu
bagaimana akhir cerita; dan (ii) kegentingan identifikasi karena
penonton mengidentifikasi-kan/mengintegrasikan diri secara
emosional dengan peran. Selebihnya, ada dua emosi yang mem-
bangkitkan kegentingan, yakni: (i) emosi pelengkap, berupa emosi
yang mengenakkan. Menempatkan kesenangan-kesenangan
yang kita peroleh waktu menonton, kegembiraan-kegembiraan
itu memperkaya hidup kita; (ii) emosi penyelamatan, emosi yang
tidak enak waktu menikmati hasil seni, misalnya penonton
mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang menderita, meski-
pun dia sendiri tidak ingin terlibat dalam penderitaan, paling-
paling hanya menyaksikan saja. (6) konstruksi cerita drama harus
diperhatikan secara teliti. Pada porsi ini komposisi tiga bahan
pokok untuk cerita drama harus dikuasai. Cerita drama digubah
dengan tiga bahan pokok: premise—karakter—plot. Bahan per-
tama, premise, ialah rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal
dalam menentukan arah tujuan cerita. Ditinjau dari pelaksanaan,
premise merupakan landasan pola bangunan lakon. Istilah lain
dari premise yang biasa digunakan adalah theme, thesis, root, idea,
central idea, goal, aim, dreiving, force, subject, purpuse, plan, basic
emotion, malahan ada yang menyebut plot. Istilah premise lebih
202
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
203
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
204
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
205
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
206
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
207
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
208
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
209
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
210
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
211
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
212
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
213
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
214
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
215
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pementasan Drama
Drama tidak sempurna jika tidak dipentaskan. Pada dasar-
nya, naskah drama adalah karya sastra. Sebagai karya sastra,
naskah drama adalah karya seni dengan media bahasa kata. Me-
mentaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memin-
dahkan karya seni dari media bahasa kata ke dalam media bahasa
panggung, tentu ini melalui tahapan-tahapan tertentu:
Pemilihan Naskah Drama. Memilih naskah drama bukan
soal yang gampang. Ada banyak contoh yang menunjukkan se-
buah naskah dipilih karena satu sekolah pernah mementaskan
naskah itu dengan sukses. Guru tergoda untuk melakukan hal
yang sama. Akan tetapi, jika ini merupakan landasan dalam pe-
milihan naskah, perlu diperhitungkan apakah sekolah itu memi-
liki kondisi yang sama dengan sekolah yang telah sukses me-
mentaskan naskah itu. Maksudnya, apakah sekolah itu mempu-
nyai potensi, misalnya pemain-pemain yang sama kuat, waktu
latihan yang tersedia, dukungan seluruh staf guru, kepala seko-
lah, tempat latihan, dan sebagainya yang sangat mempengaruhi
gairah siswa dalam berlatih. Dengan kata lain, sewaktu memilih
naskah tentulah sudah dapat dibayangkan kesulitan dalam me-
216
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
217
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
218
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
219
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
220
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
221
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
222
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Epilog
Pementasan drama yang dimainkan oleh generasi muda,
termasuk siswa SLTA, dewasa ini mulai menunjukkan gejala
menggembirakan. Maksudnya tentu bukan untuk menghina ke-
senian itu, tetapi satu usaha menyajikan tafsir baru terhadap
khazanah sastra drama dalam rangka lebih memberikan apresiasi
di tengah perubahan sosial dan nilai-nilai budaya. Suatu misi
yang terpuji. Demikianlah sesungguhnya seorang guru atau su-
tradara memiliki cukup kemerdekaan untuk berbuat terhadap
naskah drama. Hanya, jika sebuah pementasan sekolah ditujukan
untuk merangsang kreativitas, menempuh kebebasan tafsir se-
perti di atas, maka sebelum pementasan dimulai perlu adanya
penjelasan ala kadarnya sehingga penonton disiapkan terlebih
dahulu. Ini perlu untuk menanggulangi dugaan yang tidak di-
inginkan. Misalnya, menghindari tuduhan bahwa pementasan
drama sekadar untuk berbuat yang aneh-aneh.
223
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
224