Anda di halaman 1dari 234

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

i
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan


(Bergelut dengan Fakta dan Fiksi)

Editor:
Herry Mardianto

Penulis:
Y.B. Margantoro
Tirto Suwondo
P. Ari Subagyo
Indra Tranggono
Agus Noor
Sri Harjanto Sahid
Imam Budi Utomo
B. Rahmanto
Hamdy Salad
Landung R. Simatupang
Agus Prasetiya
Bambang J. Prasetya
Nur Iswantara

Cetakan Pertama:
November 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh:


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan (Bergelut dengan Fakta dan
Fiksi), Herry Mardianto (Editor), Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, 2012
(xii, 224 hlm.; 21cm)
ISBN 978-979-188-404-7

ii
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Pengantar Editor

BELAJAR DARI YANG “TERCECER”

Banyak tulisan yang menarik dan “tercecer” di Balai Bahasa


Yogyakarta, entah itu makalah yang termuat dalam antologi
Bengkel Sastra dan Bahasa (sudah dilakukan sejak tahun 1995,
setiap antologi memuat dua atau tiga makalah tutor di samping
puluhan karya siswa berupa karya sastra maupun esai) serta
tulisan berupa makalah yang semula dimanfaatkan dalam pro-
gram kegiatan Peningkatan Keterampilan Berbahasa dan Ber-
sastra. Tulisan-tulisan “tercecer” itu ditulis oleh praktisi bahasa
dan sastra sehingga jika dicermati kembali maka tulisan-tulisan
tersebut pada umumnya tidak terpusat pada dunia “keilmuan”,
justru lebih dekat kepada hal-hal praktis yang berkaitan dengan
proses kreatif penulisan esai/artikel, penulisan karya sastra, dan
pemanggungan karya sastra. Tulisan-tulisan seperti ini tentu me-
rupakan barang langka yang jarang bisa kita dapatkan di berba-
gai toko buku atau perpustakaan, terlebih buku ini hadir bagaikan
“gado-gado”, memuat sekaligus proses penulisan karya ilmiah
populer, karya sastra, dan proses pemanggungan karya sastra.
Penerbitan buku ini didasarkan pada keinginan memberi
motivasi sekaligus bimbingan kepada pembaca (guru, dosen,
siswa, mahasiswa maupun masyarakat umum) agar mengetahui
bagaimana langkah-langkah proses kreatif penulisan dan pe-
manggungan. Untuk mewujudkan harapan itu dipilihlah tulisan-

iii
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

tulisan sederhana berkaitan dengan bahasa jurnalistik, proses


penulisan esai, artikel, feature, cerita pendek, cerita anak, puisi,
naskah drama, pemanggungan puisi, pementasan cerpen, dasar-
dasar bermain drama, proses produksi pementasan lakon, serta
sutradara dan penyutradaraan. Tulisan-tulisan tersebut ditampil-
kan secara berurutan sehingga merupakan satu kesatuan yang
utuh dan dapat dipahami dengan mudah. Setelah membaca buku
ini--sebagai pegangan praktis penulisan dan pemanggungan--
diharapkan akan muncul generasi yang gemar menulis dan tidak
ada lagi keluhan bagaimana mementaskan atau membacakan kar-
ya sastra di depan publik.
Ucapan terima kasih sekaligus permohonan izin pemuatan
tulisan kami sampaikan kepada para penulis: Y.B. Margantoro,
Tirto Suwondo, P. Ari Subagyo, Indra Tranggono, Agus Noor,
Sri Harjanto Sahid, Imam Budi Utomo, B. Rahmanto, Hamdy
Salad, Landung R. Simatupang, Agus Prasetiya, Bambang J. Pra-
setya, dan Nur Iswantara yang selalu memberi inspirasi dalam
membimbing generasi muda untuk mencintai dunia kepenulisan
dan pemanggungan.

Herry Mardianto

iv
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA


PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

Salah satu visi Balai Bahasa Provinsi DIY adalah menjadi pusat
informasi yang lengkap dan menjadi pelayan prima di bidang
kebahasaan dan kesastraan di Daerah Istimewa Yogyakarta
khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu,
salah satu misi yang dilakukan adalah mengembangkan bahan
informasi kebahasaan dan kesastraan baik Indonesia maupun dae-
rah (Jawa). Dengan visi dan misi yang demikian, Balai Bahasa
Provinsi DIY beharap agar bahan informasi kebahasaan dan kesas-
traan itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka
pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra
di Indonesia seperti yang diamanatkan di dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009.
Berkenaan dengan hal itulah, seperti dilakukan pula pada
tahun-tahun sebelumnya, Balai Bahasa Provinsi DIY tahun ini
(2012) kembali menerbitkan sejumlah buku kebahasaan dan kesas-
traan. Buku-buku yang diterbitkan itu antara lain ada yang berisi
kajian atau ulasan ilmiah di bidang kebahasaan dan kesastraan,
ada yang berisi esai tentang cara bagaimana proses kreatif berba-
hasa dan bersastra, dan ada pula yang berisi karya-karya kreatif
(puisi atau cerpen). Buku berjudul Proses Kreatif Penulisan dan Pe-
manggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi) ini, salah satu di
antaranya, berisi petunjuk praktis penulisan karya ilmiah populer
dan fiksi serta pemanggungan karya sastra. Sekali lagi, Balai
Bahasa berharap agar buku ini dapat dijadikan pegangan dan

v
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

bermanfaat bagi guru, dosen, siswa, mahasiswa, maupun masya-


rakat umum yang ingin mengetahui dan mendalami proses pe-
nulisan dan pemanggungan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim
kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan
sehingga buku ini siap dipublikasikan dan dibaca oleh khalayak
(masyarakat). Harapan lainnya mudah-mudahan buku ini mengisi
ruang perpustakaan dan ruang pengetahuan serta pikiran kita.

Yogyakarta, November 2012

Drs. Tirto Suwondo, M. Hum.

vi
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

DAFTAR ISI

PENGANTAR EDITOR : BELAJAR DARI YANG


“TERCECER” ................................................................................. iii
PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ..................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................. vii

BAHASA JURNALISTIK .............................................................. 1


Y.B. Margantoro
PROSES KREATIF PENULISAN ESAI DAN FEATURE .... 15
Tirto Suwondo
MENULIS ESAI, EASY OR NOT EASY? ................................. 25
P. Ari Subagyo
MENULIS ESAI ATAU ARTIKEL DI MEDIA ....................... 37
Y.B. Margantoro
MENULIS CERITA PENDEK .................................................... 47
Indra Tranggono
USAHA MENYUSUN CERITA ................................................. 55
Agus Noor
SENI BACA CERPEN DI PENTAS ........................................... 67
Sri Harjanto Sahid
KIAT SEDERHANA MENULIS CERITA ANAK .................. 79
Imam Budi Utomo
PUISI, UNSUR PEMBANGUN, DAN APRESIASINYA ..... 91
B. Rahmanto
vii
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

PADA MULANYA, PUISI ADALAH KATA ........................ 123


Hamdy Salad
BEBERAPA HAL TENTANG PENCIPTAAN DAN
PEMANGGUNGAN PUISI ...................................................... 133
Landung R. Simatupang
DASAR BERMAIN DRAMA ................................................... 141
Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya
BERKENALAN DENGAN DRAMA DAN APRESIASINYA. 151
B. Rahmanto
PROSES PRODUKSI PEMENTASAN LAKON ................. 165
Bambang J. Prasetya
SUTRADARA DAN PENYUTRADARAAN ........................ 183
Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya
MENUMBUHKEMBANGKAN POTENSI DIRI UNTUK
BEREKSPRESI DRAMATIK .................................................... 195
Nur Iswantara

viii
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

BAHASA JURNALISTIK
Y.B. Margantoro

Bahasa sebagai perangkat kebiasaan dimiliki setiap orang


sebagai media komunikasi yang sangat kompleks. Ada kecen-
derungan setiap pemakai bahasa lebih sering mengikuti jalan
pikirannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada
di dalam bahasa (tata bahasa). Sebagai penutur yang selalu
mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada dalam tata bahasa,
berusaha menghasilkan konsep sesuai dengan struktur bahasa
yang dipelajari.
Bahasa pun kita kenal sebagai alat kesadaran. Apa yang
kita katakan kesadaran itu sekurang-kurangnya terdiri atas tiga
perangkat organ, yakni parangkat alat penginderaan, perangkat
alat emosional (afektif), dan perangkat penalaran (logika). Peng-
inderaan menangkap kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar
kita, memungkinkan manusia memperoleh pengalaman, perang-
kat emosional memungkinkan manusia memberi penilaian atas
semua yang dialaminya, sedangkan perangkat penalaran bertu-
gas menghubung-hubungkan bermacam hasil penginderaan
(pengalaman) dan tangkapan perangkat alat manusia. Semuanya
itu lalu diungkapkan dengan bahasa sebagai alat yang paling
utama.
Perangkat logika akan mulai bekerja bila seseorang peng-
amat sadar akan objek penginderaannya dan sadar secara emo-

1
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

sional akan nilai yang ada di balik objek-objek itu. Logika kita
bisa berjalan untuk menghubung-hubungkan semua itu tanpa
bantuan bahasa, tetapi pada saat kita ingin mengungkapkan se-
mua hal itu, perangkat bahasa siap untuk menyalurkannya. Dan,
karena bahasa sudah dipelajari dan dikuasai sejak kecil, semua
penginderaan, perasaan, dan hasil penalaran selalu mempergu-
nakan bahasa sebagai alat pengungkapnya.
Karena emosi menyangkut sesuatu yang intern dalam tiap
manusia dan kemampuan penalaran juga merupakan warisan
utama bagi setipa manusia, maka yang paling penting di sini
ialah kemampuan seorang penulis/wartawan mempertajam daya
penginderaannya terhadap apa yang ada di sekitarnya. Keta-
jaman penginderaan ini bisa dilatih, antara lain dengan meng-
ungkapkan melalui bahasa.
Bahasa yang dipergunakan harus efektif, artinya harus
mampu menyampaikan secara tepat apa yang dipikirkan, dan
bahasa yang digunakan harus mampu “menggerakan” orang-
orang yang membaca/mendengar amanatnya sehingga tercipta
suatu pengertian yang sama dengan apa yang dipikirkan penulis.
Ini sebenarnya, dasar komunikasi.
Perhatikan contoh berikut, karena susunan bahasanya tidak
baik, maka fakta yang hendak dan perlu dikemukakan menjadi
tidak jelas:
1. Terbungkus rapi setebal kira-kira duapuluh sentimeter,
Laksamana Sudomo menyebutkan berkas perkara tersebut
baru merupakan hasil pemeriksaan intelijen.
2. Ketika berusia 5 tahun, ayahnya, Wonorejo, meninggal
dunia.
3. Di Tasikmalaya ada 60 orang korban meninggal, tetapi tidak
melapor.
Contoh lain yang menyangkut soal generalisasi, sebagai
berikut:
1. Daniel orang Timtim sehari-hari makan jagung.
2. Peter orang Timtim sehari-hari makan jagung.

2
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

3. Da Costa orang Timtim sehari-hari makan jagung dan


beberapa orang lain di Timtim makan jagung.
Generalisasi: Orang-orang (masyarakat) Timtim makan
jagung.
Untuk generalisasi yang baik haruslah didukung oleh fakta
yang meyakinkan. Jika fakta (Daniel, Peter, Da Costa dan se-
bagainya) tidak mencerminkan orang Timtim, generalisasi tidak
bisa dibuat. Jika diperoleh kesan lebih banyak orang Timtim
yang makan jagung ketimbang makan nasi atau roti sehari-
harinya, dapat disimpulkan kebanyakan orang-orang Timtim
sehari-hari makan jagung.
Dalam jurnalistik, generalisasi harus dihindari. Penulis/
wartawan hanya menguraikan fakta. Jika pun ditemui fakta sama,
penulis hendaknya memerincinya, tidak menggeneralisasikan-
nya. Contoh generalisasi yang terlalu luas – sebagi akibat salah
nalar (disebut juga induksi yang salah) – orang Indonesia itu
malas, dan sebagainya.

Tiga Aspek
Bahasa jurnalistik, termasuk di dalamnya kalimat jurnaliastik
mencakup tiga aspek, yaitu penguasaan materi (isi) yang dike-
mukakan, kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar,
dan teknik penyajian. Ketiga aspek ini tidak bisa dipisahkan satu
dengan lainnya (LP3Y, 1990).
Dalam kehidupan sehari-hari terasa ada dua perangkat nor-
ma bahasa yang bertumpang tindih, yaitu berupa norma yang
dikodifikasi dalam bentuk tata bahasa di sekolah, dan norma
berdasarkan kebiasaan pemakaian. Norma yang terkhir ini belum
dikodifikasi secara resmi, antara lain, yang dianut oleh kalangan
media massa (wartawan) dan sastrawan muda, terutama dalam
pers.
Selain itu, diakui adanya posisi yang berbeda dari ling-
kungan guru di satu pihak, dengan lingkungan wartawan dan
sastrawan di pihak lain, yang menghasilkan dua parangkat nor-

3
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

ma bahasa. Kita sempat melihat adanya sifat konfrontatif antara


wartawan dan guru.
Guru berasumsi bahwa bahasa surat kabar, bahasa yang
digunakan surat kabar adalah bahasa kacau, sedangkan para
wartawan menganggap para guru tidak atau kurang mau me-
ngerti perkembangan bahasa, dan hanya terpaku pada kaidah-
kaidah bahasa yang sudah ketinggalan zaman. Perbedaan posisi
ini perlu disadari. Bahkan, guru pada posisinya menjadi sema-
cam “polisi” tata tertib lalu lintas bahasa, mengajarkan aturan-
aturan yang sudah baku. Bahasa yang tidak baku (bahasa surat
kabar) dianggap tidak baku, harus ditolak karena belum
tercantum dalam buku tata bahasa.
Berdasarkan posisinya, wartawan dan sastrawan sering
melakukan semacam “pelanggaran” tertib lalu lintas bahasa, dan
ini dilakukan menurut tuntutan situasi berbahasa. Meskipun
begitu, wartawan dan sastrawan tetap harus menguasai kaidah-
kaidah bahasa. Justru karena wartawan merasa adanya keter-
batasan yang tak memungkinkannya mengemukakan perasaan
dan pikiran secara efektif, wartawan terpaksa “melanggar” ke-
tentuan resmi tata bahasa baku. Kalau para wartawan/sastrawan
dianggap oleh para guru acuh tak acuh pada ketentuan tata ba-
hasa, seenaknya saja menulis, sebaliknya wartawan/sastrawan
(ada kalanya) menganggap tata bahasa terlalu mengekang daya
cipta.
Kelihatannya, diam-diam antara wartawan dan sastrawan
terbentuk semacam persekutuan karena bekerja di ladang yang
sama, yaitu dunia tulis-menulis. Namun bukan tidak ada perbe-
daan, antara bahasa sastrawan dan bahasa wartawan.

Bahasa yang “Menjerit”


Pada hakikatnya, Bahasa Indonesia Jurnalistik, sama saja
dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Hanya saja, pengem-
bangan bahasa pers lebih mengarah pada sikap publistik, mudah

4
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

dimengerti umum. Di sisi lain, prinsip bahasa Indonesia yang


baik dan benar tetap dipegang teguh.
Diklat Jurnalistik Bernas (1995) membagi empat unsur yang
harus diperhatikan dalam merangkai Bahasa Indonesia Jur-
nalistik. Unsur itu tergabung dalam akronim “Menjerit”, yaitu
menarik, jelas, ringkas, dan tertib. Untuk menarik pembaca, harus
dipancing dengan kata-kata, kalimat yang ekspresif. Kata yang
dipilih harus mencerminkan realitas. Pilihan kata akan sangat
mempengaruhi minat baca. Konsekuensinya, kata yang klise dan
sloganistis harus siap menghadapi kenyataan pahit, yaitu di-
tinggalkan pembacanya. Untuk hal ini, hindari kalimat gaya
roman yang bertele-tele dan gaya undang-undang yang kaku
dan kering. Kalimat jangan panjang-panjang.
Kejelasan kalimat menjadi sangat penting. Hindari penger-
tian ganda yang membingungkan, jangan lupa akurasi, ketepatan
ejaan nama, angka, jumlah, dan lainnya. Hindari kalimat maje-
muk. Usahakan hanya dengan sekali baca, pembaca sudah dapat
dengan cepat menangkap kesan dalam sebuah berita atau tulisan.
Pengolahan kalimat juga jangan terlalu panjang yang menjemukan
pembaca. Hindari kata abstrak, kata umum, dan kata-kata kono-
tatif. Saat ini arus informasi sudah begitu deras mengalir dari
berbagai penjuru dunia, maka pengasuh media massa harus me-
nampilkan berita dengan ringkas, tidak menolerir munculnya
kata atau kalimat mubazir (berlebih-lebihan). Prinsip ekonomi
kata berlaku di sini.
Tertib berbahasa diperlukan karena dalam prinsip ini me-
nuntut kita selalu cermat dan tepat menulis sesuatu dengan mene-
rapkan pedoman berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ka-
rena antara penulis (wartawan) dengan pembacanya tidak berse-
muka (face to face), bila terjadi salah informasi tidak mungkin
memberikan penjelasan. Di sinilah pentingnya kita menulis de-
ngan bahasa Indonesia yang “menjerit”.

5
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Pisau Aneka Fungsi


Editing atau penyuntingan pada dasarnya dapat diibarat-
kan sebagai pisau dengan aneka fungsi. Ketika harus mengiris
berita, tentu situasinya berbeda dengan ketika harus mengiris
feature, opini, atau fiksi.
1. Naskah fiksi (anak-anak, remaja, dewasa) tidak memiliki
sistematika bab, rumus-rumus, tabel-tabel, angka-angka
statistik dan nonstatistik, lampiran, daftar pustaka.
- Yang penting: kalimat ini enak atau tidak, apakah
naskah ini dimengerti oleh pembaca atau tidak.
- Lihat apakah mengandung SARA atau tidak, porno-
grafi, dan sebagainya.
2. Naskah sastra (masuk golongan fiksi, tapi tak semua fiksi
dapat dikategorikan naskah sastra), dibagi jadi: prosa (no-
vel, novelet, dan cerpen), puisi, dan drama.
- Hati-hati, sebab, sastra itu unik. Ada kata-kata yang
sengaja ditulis oleh penulisnya, misalnya kue, kuih,
kueh. Catetan Th 1946, dan bukan Catatan Th 1946.
3. Naskah buku sekolah
- Mengandung nilai pendidikan.
- Sesuai dengan kurikulum dan garis-garis besar pro-
gram pengajaran.
- Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah isi dan
materinya.
- Disajikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
4. Naskah perguruan tinggi
- Rambu-rambunya tidak sebanyak naskah buku sekolah.
- dosen mengacu pada silabus.
- Ada indeks.
5. Naskah musik
- Berisi not balok/not angka.
- Berisi not balok/not angka dan teks lagu.
- Berisi pelajaran teori musik.

6
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

6. Naskah matematika, fisika, dan kimia


- Banyak berisi angka-angka, rumus-rumus, dan tabel-
tabel.
7. Naskah biologi
- Mengandung istilah-istilah bahasa Latin.
8. Naskah kamus
- Layout berbeda dengan buku biasa.
- Entri kamus diberi diskripsi.
- Entri kamus dimulai dengan huruf kecil.
9. Naslah ilmiah
- Kajian dan penyajian secara ilmiah.
- Skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
10. Naskah ilmiah popular
- Naskah ilmiah yang disajikan secara popular.
- Penyunting harus peka terhadap kata-kata ilmiah dan
kata-kata popular.
11. Naskah terjemahan

Tips bagi penyunting:


- Penyunting naskah adalah pembantu penulis naskah, bukan
penulis itu sendiri.
- Penyunting haruslah rendah hati, meskipun lebih pintar.
- Ada 3 golongan penulis naskah, yakni penulis pemula, semi-
profesional, profesional.
- Dari segi watak: penulis yang gampang, sulit, dan sulit-
sulit gampang.
- Sebaiknya konsultasi dulu dengan penulis.
- tahu ciri khas naskah (pembacanya).
- Ejaan dan tata bahasa.
- Terus menerus ikuti perkembangan bahasa.
- Penyunting makin terampil menulis dan susun indeks.
- Selalu akan ada kesalahan: besar atau kecil.
- Hati-hati soal SARA.
- Kuasai bahasa asing.

7
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Menulis yang baik pada hakikatnya adalah menulis ulang


naskah yang belum baik, demikian saran penulis senior Slamet
Soeseno. Masalahnya, penulis pemula sering tidak dapat mene-
mukan kesalahan tulisannya atau menganggap tulisannya sudah
bagus.

Perbaikan daya tarik:


- Ada dua hal dalam persoalan ini, yakni bahan dan cara
penulisan.
- Berhenti melucu pada saatnya yang tepat adalah ciri khas
sebuah tulisan ilmiah popular. Misalnya, cerita tentang
burung kakaktua yang kadang “diselonongkan” “burung”
kakak saya.
- Tulisan humor perlu dirombak seluruh kalimat. Contoh
kalimat yang lucu: “Sebetulnya sudah lama ada desas-desus
bahwa kelapa bisa dibuat kopyor kalau pohonnya dipukuli
sampai setengah mati. Tapi, sangat boleh jadi orang yang
memukul itu yang setengah mati.”

Bahasa komunikatif:
- Tulisan popular bisa tercipta kalau bahasa yang dipakai juga
bahasa populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat
dalam media massa.
- Bahasa popular tidak mementingkan kata-kata yang indah
dan kalimat yang mengharukan, tetapi yang komunikatif
(bebas dari kata pemanis dan basa-basi, serta cepat dapat
ditangkap maksudnya). Caranya dengan menyederhanakan
susunannya/persoalan yang dikemukakan.
- Ringkas, tetapi jelas.
- Lengkap dan teliti (misalnya, bisa menjawab pertanyaan
“berapa”, dan teliti memilih/menyusun kata/kalimat).
- Kata kecil dan kalimat pendek.

Slamet Soeseno buka kartu: berdasarkan pengalaman me-


nulis selama tiga puluh tahun lebih, dia sampai pada tahap ke-

8
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

simpulan bahwa tulisan ilmiah agar bisa populer perlu diedit


enam kali baru tercipta hasil kreasi yang bagus.
“Tapi saya tidak terus menerus mengerjakannya di depan
meja. Naskah kasar itu sering saya bawa dengan tas kampluk
(semacam kantung) ke peron stasiun, lobi gedung, atau kamar
tunggu dokter gigi. Sambil menunggu giliran, naskah saya ko-
reksi dan corat-coret lagi. Kerap pula pengeditan saya lakukan
pagi hari sembari menunggu kopi sebelum mandi. Saat itulah
sering timbul keinginan berkelakar,” katanya tentang kebiasaan
yang satu ini, sebagaimana dikutip Intisari (Agustus, 1993). Maka
pada hampir semua tulisaanya ia selalu terlihat terampil menyi-
sipkan humor yang menggelitik, tanpa meninggalkan sisi ilmiah
tulisannya.
Menurut Slamet Soeseno (1993), ciri khas tulisan yang disu-
sun dengan metoda ilmiah adalah keobjektifan pandangan yang
dikemukakan dan kedalaman tuturan yang disajikan. Dua hal
inilah yang senantiasa diusahakan agar tulisan terasa ilmiah, wa-
laupun ditulis dalam bentuk feature.
Menulis feature ilmiah tidak akan menarik kalau tidak de-
ngan bahasa populer. Tulisan semacam ini dikenal sebagai tulisan
ilmiah populer. Istilah populer dipakai untuk menyatakan sesuatu
yang akrab, menyenangkan bagi populus (rakyat) atau disukai
orang kebanyakan karena menarik dan mudah dipahami. Tulisan
populer bisa tercipta jika bahasa yang dipakai adalah bahasa
populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat dalam media
massa. Bahasa media massa dulu sering dianggap sebagai bahasa
rusak yag menurunkan derajat bangsa Indonesia yang anggun.
Namun, agaknya ada kesalahpahaman dari masyarakat pencinta
bahasa Indonesia yang tidak mau membedakan bahasa pasar
untuk bercakap-cakap dan bahasa populer untuk tulisan. Kedua-
nya dianggap sama, padahal jelas berbeda.
Ada lima hal yang perlu mendapat perhatian dalam penulis-
an bahasa populer, yakni:

9
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

1. Bahasa populer cepat ditangkap.


Bahasa populer tidak mementingkan kata-kata yang indah
dan kalimat yang mengharu rasa, tapi yang komunikatif. Arti-
nya bahasa itu mudah menghubungkan pikiran penulis de-
ngan pikiran pembacanya secara lancar. Untuk itu, bahasa
komunikatif harus:
a. Bebas kata pemanis dan basa-basi yang biasa diucap-
kan orang dalam percakapan dan pidato. Bahasa ko-
munikatif harus straight to the point.
b. Cepat ditangkap maksudnya. Semua hal, fakta atau
poin dituturkan dengan kalimat yang hemat kata dan
penuh makna. Dengan kata lain, dilakukan dulu pe-
nyederhanaan persoalan.
2. Ringkas tapi jelas.
Membuang kata-kata tertentu yang terasa hanya sebagai
pemanis, berlebihan, tidak perlu, dan “sudah dengan sendi-
rinya” berarti begitu (hingga tidak perlu ditulis lagi). Meski-
pun menulis secara ringkas, tetap harap diingat, jangan sam-
pai mengorbankan kejelasan.
3. Lengkap dan teliti.
Lengkap di sini lebih berarti “dapat menjawab pertanyaan
pembaca lebih lanjut”, misanya, pertanyaan: berapa? (jum-
lah, ukuran, umur, dan sebagainya). Sedangkan teliti tidak
hanya menyangkut soal penuturan, tetapi juga soal penu-
lisan kata, nama orang, dan sebagainya.
4. Kata kecil dan kalimat pendek.
Banyak kata kecil yang sama baiknya dengan kata besar
kalau dipakai untuk mengungkapkan setiap pernyataan ber-
urutan secara tepat. Misalnya, tinggi (dari pada setinggi
gunung), dan sebagainya. Karena kalimat pendek yang ber-
lebihan dan kalimat panjang yang melimpah tidak diingin-
kan, maka alinea sebuah artikel sebaiknya tersusun atas
kalimat campuran pendek (8 kata), sedang (10 kata), dan
panjang (16 kata) sebagai variasi. Variasi panjang pendek-

10
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

nya kalimat akan menolong dalam memikat perhatian pem-


baca karena tidak monoton, tidak membuat pembaca me-
ngantuk.
5. Alinea beruntun yang semakin memikat.
Sebuah alinea dikatakan berhasil penulisannya kalau pem-
baca tergerak (gagasannya) dari alinea satu ke alinea berikut-
nya dengan perhatian yang semakin meningkat. Ini hanya
dapat dicapai kalau alinea ditulis secara berurutan, tidak
acak-acakan, dan beruntun berkaitan.
Mukayat D. Brotowidjojo (1993) berpendapat, ciri-ciri ka-
rangan ilmu pengetahuan populer dapat diringkas sebagai
berikut.
a. Menjanjikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan
aplikasi hukum alam dengan mengingat tingkat kecerdasan
masyarakat umum.
b. Menggunakan kata-kata sederhana, mudah diidentifikasi-
kan (menggunakan bahasa sehari-hari) secara tepat, susunan
kalimatnya memenuhi kaidah bahasa sehingga mudah di-
pahami oleh rata-rata pembacanya.
c. Gaya bahasanya tidak selalu formal dan bahasanya sendiri
selalu “personal” dan aktif objektif.
d. Pernyataan-pernyataan mudah dimengerti. Gagasan-ga-
gasan disusun secara konseptual dan prosedural.
e. Karangan pengetahuan populer tidak memuat hipotesis ka-
rena berkaitan dengan cara dan tingkat berpikir masyarakat
awam.
f. Tidak memancing pertanyaan-pertanyaan yang bernada
meragukan. Dalam karangan pengetahuan populer penulis
dapat sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang mendo-
rong pembacanya untuk berpikir tentang aplikasinya
dengan tetap membiarkan fakta berbicara sendiri.
g. Penyajian fakta objektif dibarengi dengan penyajian sejarah
kerja ilmuwan penemunya atau deskripsi proses pengamatan

11
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

secara sederhana, bahkan, seringkali fakta objektif itu


diselipkan dalam cerita fiktif.
h. Judul karangan pengetahuan populer harus informatif dan
mudah ditangkap maksudnya serta dengan cepat menim-
bulkan imajinasi pembacanya.
i. Penjelasan tentang suatu situasi didramatisasikan melalui
suatu cerita. Metode penjelasan biasanya tidak langsung,
terutama dalam karangan yang bukan tentang pengetahuan
alam.
j. Penulis selalu mengimbau perasaan pembacanya agar me-
reka seolah-olah melihat atau mengalami sendiri situasi
yang ditulisnya.

Kiat Menulis
Kiat menulis di media massa secara ringkas sebagai berikut:
1. Mempunyai rancangan gagasan yang jelas tentang fenome-
na tertentu: menyangkut bidang-bidang tertentu dan atau
isu yang sedang hangat.
2. Kita memiliki data dan fakta yang cukup untuk mendukung
opini kita. Dengan kata lain, ada pendapat harus ada argu-
mentasinya. Di sini diperlukan kemampuan memilih data
dan fakta yang pas bagi tulisan kita.
3. Memiliki kemampuan menulis yang bisa dibaca atau di-
mengerti orang lain.
4. Mengetahui selera media massa yang akan kita kirimi karya
tulis. Media macam apa dia, beredar di mana, pembacanya
siapa saja, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita menge-
tahui secara persis medan yang akan kita serang.
5. Sebelum itu semua, kita harus memiliki kejelian. Jeli meng-
ikuti perkembangan dan jeli menangkap satu fenomena un-
tuk diangkat sebagai karya tulis. Kalau layak muat dipenuhi,
tepat waktu, dan bernasib baik maka muncullah karya tulis
itu di media massa.

12
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Minat dan bakat menulis karya tulis populer tentu tidak


dengan sendirinya muncul pada diri, civitas akademika pergu-
ruan tinggi, atau komunitas tertentu. Ketekunan untuk berlatih
terus akan menumbuhkan minat bekerja keras untuk menulis.

13
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

14
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

PROSES KREATIF
PENULISAN ESAI DAN FEATURE
Tirto Suwondo

ESAI
Esai bukanlah merupakan karangan ilmiah, bukan pula ka-
rangan sastra. Pada karangan ilmiah, subjek cenderung (bahkan
harus) diabaikan dan objek diutamakan. Sebaliknya, pada ka-
rangan sastra, objek cenderung diabaikan dan subjek diutama-
kan. Sementara itu, pada karangan esai, subjek dan objek sama-
sama hadir menjadi hal penting dan tidak boleh diabaikan.
Karangan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi) ditulis
berdasarkan kaidah penulisan ilmiah, demikian juga karangan
sastra ditulis berdasarkan kaidah penulisan sastra (novel, cerpen,
puisi, drama). Sementara itu, karangan esai justru ditulis tanpa
kaidah apa-apa. Esai dapat ditulis dengan mengabaikan kaidah
atau aturan penulisan yang baku. Itu berarti esai ya dan tidak
objektif dan subjektif. Kalau karangan ilmiah bersifat positivistik,
karangan sastra bersifat idealistik, sedangkan karangan esai
bersifat fenomenologik.
Dalam penulisan esai, penalaran yang digunakan adalah
penalaran lateral, sebuah penalaran yang merupakan alternatif
bagi penalaran vertikal yang logis. Dengan penalaran lateral,
seseorang (penulis) dapat bermain-main dengan gagasan, objek,
data, eksperimen, dan sebagainya. Penalaran lateral justru akrab
dengan logika anekdot dan membuka ruang yang cukup lebar

15
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

bagi paradoks yang umumnya dihindari dalam karangan ilmiah


yang bertumpu pada penalaran vertikal.
Setiap esai pada hakikatnya berisi upaya untuk memberi
peyakinan tentang sesuatu. Oleh karena itu, jenis karangan yang
digunakan dalam esai adalah argumentatif-persuasif. Jenis ka-
rangan ini memang yang paling fleksibel dan dapat memanfaat-
kan jenis karangan lain untuk kepentingannya membuat peya-
kinan.
Kenyataan menunjukkan, ada esai yang tampak formal, ada
pula yang tampak tidak formal. Semua itu disebabkan oleh ke-
pribadian dan subjektivitas penulisnya. Kalau seorang penulis
yang dalam hidup sehari-harinya bersifat formal dan melihat
segala sesuatu dari seginya yang formal, ketika menulis esai
tentang sesuatu yang mestinya santai pun cenderung bersikap
formal. Sebaliknya, seorang yang santai dan kocak, dalam menu-
liskan persoalan serius pun akan cenderung santai dan kocak.
Contoh paling tepat untuk hal ini adalah Umar Kayam.
***
Pada prinsipnya, esai tidak berbeda dengan artikel, bahkan
tidak berbeda pula dengan feature. Selama ini para ahli gagal
memberikan batasan yang pasti tentang masing-masing jenis
karangan itu. Beberapa jenis karangan itu sering hanya disebut
sebagai tulisan lengkap dalam surat kabar atau majalah. Oleh
karena itu, sebagai (calon) penulis, kita tidak perlu memperde-
batkan masalah itu.
Hanya saja, kalau dicermati, dalam sebuah tulisan (esai,
artikel, feature) memang ada elemen-elemen tertentu yang di-
tonjolkan yang sekaligus mengacu pada jenis tertentu. Sebagai
misal, esai/artikel tentang tokoh-tokoh sukses disebut sketsa to-
koh; esai/artikel yang ditulis dalam bentuk tanya-jawab disebut
wawancara; esai/artikel yang diawali dengan paparan sebuah ki-
sah disebut naratif; esai/artikel yang berisi upaya membongkar
suatu peristiwa disebut penyingkapan; esai/artikel yang berisi
kisah nyata (true story) disebut pengakuan; esai/artikel yang me-

16
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

rupakan ekspresi personal disebut kolom; esai/artikel yang berisi


kritik disebut ulasan; dan lain-lain.
***
Bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan
tulisan/karangan (esai, artikel, dan lain-lain)? Dua hal ini tidak
boleh diabaikan, yakni “banyak membaca” dan “tekun berlatih”.
Membaca dalam hal ini tidak hanya membaca tulisan (majalah,
koran, buku, dan lain-lain), tetapi juga “membaca kehidupan”.
Artinya, kita senantiasa “membaca” apa yang dapat kita lihat,
dengar, raba, dan sebagainya di sekitar kita. Dengan cara ini
kita tentu akan tahu banyak hal, akan peka terhadap berbagai
peristiwa, akan dapat memahami berbagai kejadian, akan dapat
merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan sebagainya.
Karena ruang memori di otak/kepala kita terbatas, terbatas
pula ingatan kita. Oleh karena itu, agar memori terpancing keluar,
diperlukanlah alat bantu. Alat bantu paling sederhana dan baik
adalah catatan. Oleh sebab itu, (calon) penulis yang baik selalu
memiliki catatan (tentang sesuatu yang dianggap penting dan
menarik). Dan tentu saja catatan ini tidak boleh hilang, tetapi harus
disimpan/dirawat dengan baik. Mungkin dalam jangka waktu
tertentu (bulan, tahun) kita mencatat beberapa peristiwa yang
sama, atau minimal berkaitan, sehingga kita dapat mengait-kaitkan
peristiwa itu dan siap pula menyusun tulisan.
Kalau kita telah dapat memilih dan mengaitkan peristiwa-
peristiwa itu, dan dengan demikian berarti kita telah mempunyai
ide (gagasan) yang akan kita sampaikan kepada orang lain,
langkah berikutnya adalah menentukan tujuan (untuk apa, siapa)
dan memilih jenis bentuk karangan apa (artikel, esai, feature, atau
bahkan cerpen atau puisi). Kalau kita ingin menulis bentuk artikel
(opini) dan ingin artikel itu dimuat di KR, misalnya, hal yang
tidak boleh dilupakan adalah pelajari dan bacalah artikel-artikel
(opini) yang telah dimuat di KR. Dari situ kita dapat belajar dan
memahami bagaimana corak, gaya, panjang-pendek artikel-
artikel tersebut sehingga artikel yang kita tulis berpeluang untuk

17
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

dimuat di KR. Hal ini juga sekaligus berarti kita memahami bagai-
mana selera redaksi. Mengapa hal ini harus dilakukan? Sebab,
selera setiap media massa berbeda-beda.
Hanya saja, yang sering menjadi kendala adalah ketika kita
sudah duduk di depan mesin ketik atau komputer. Ide di kepala
sudah mendesak-desak minta ditulis, tetapi lead pada paragraf
pertama terus-menerus gagal ditulis. Karena itu, buatlah ke-
rangka (outline). Tentang judul, boleh ditulis di awal atau di
akhir; namun yang paling baik adalah ditulis di awal baru ke-
mudian direvisi di akhir. Sebab, judul akan mengendalikan arah
dan fokus. Tetapi, terkadang, ketika sedang menulis, ide-ide
pelengkap muncul mendadak, sehingga judul seringkali harus
diubah atau diganti.
Setelah menentukan judul (sementara), kerangka yang kita
susun mula-mula berupa gagasan-gagasan besar yang mendu-
kung judul. Gagasan-gagasan itu kita tuangkan dalam bentuk
kalimat-kalimat. Jika perlu kalimat-kalimat yang berisi gagasan-
gagasan besar itu kita pecah lagi menjadi beberapa gagasan yang
lebih kecil, dan seterusnya, sampai kita merasa sudah cukup
lengkap dan kuat untuk menyampaikan/mendukung ide tulisan.
Bagi penulis yang sudah jadi, kerangka tetap penting artinya,
walaupun seringkali mereka tidak menuangkannya dalam ben-
tuk kalimat-kalimat, tetapi tertata dalam pikiran.
Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah, setelah
jadi, tulisan jangan langsung dikirim ke media sesuai keinginan
kita, tetapi bacalah dulu atau bahkan simpan dulu (masa inku-
basi) baru dibaca lagi besok atau lusa. Pada saat membaca tulisan
itu, janganlah kita merasa bertindak sebagai penulis, tetapi se-
bagai pembaca (tulisan orang lain). Baca dan kritiklah tulisan
itu. Dengan cara begitu kita akan dapat melihat celah-celah di
mana kekurangan dan kelemahannya. Lalu, edit-lah, revisi-lah,
dan kalau perlu tulis ulang. Dan akan lebih baik kalau tulisan
hasil revisian itu disodorkan kepada orang lain untuk dibaca
dan dikritik.

18
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Nah, selamat berkarya (menulis artikel, esai, feature, kolom,


berita, advertorial, dan atau apa saja). Jangan bosan. Pembosan
sangat dibenci Tuhan.
——

FEATURE
Pengertian
Karangan lengkap nonfiksi (bukan berita) dalam media
massa yang tidak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup
sebagai pengungkapan daya kreativitas, kadang-kadang dengan
sentuhan subjektivitas penulis terhadap peristiwa, situasi, aspek
kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat menusiawi (human
interest) untuk mencapai tujuan memberi informasi, menghibur,
mendidik, dan meyakinkan pembaca.
Teknik Penulisan Feature
1. Gaya Tuturan Cerita
Kalau penulisan berita (harus taat asas pada aturan 5W +
1H dalam teras berita atau lead), penulisan feature tidak demikian.
Penulis feature dapat bertindak bebas, dapat menulis seperti me-
nulis cerita, yang terpenting feature yang ditulis menarik perhatian
dan memberikan sesuatu (nilai lebih) pada pembaca. Penulis
feature adalah penutur cerita yang mampu menggunakan imaji-
nasi dan kreativitasnya untuk membangkitkan rasa ingin tahu
pembaca, untuk mencengangkan, untuk menjawab keragu-ragu-
an, atau untuk membuat pembaca haru, tertawa, bahkan mena-
ngis.
2. Sebelum Menulis
Sebelum menulis, penulis feature hendaknya memperhatikan
keadaan sekeliling (di mana dan kapan pun), mengetahui apakah
ada sesuatu yang lain, yang lucu, yang unik, yang tidak biasa,
yang dramatis, yang layak diketahui pembaca. Salah satu cara
untuk memperoleh bahan karangan, selain observasi langsung,
bisa dilakukan dengan wawancara (wawancara pribadi, wawan-

19
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

cara berita, wawancara jalanan, wawancara telepon, wawancara


tertulis, dan lain-lain).
Langkah-langkah penting dalam berwawancara: (1) mem-
perkenalkan diri, menjelaskan maksud wawancara, (2)
mengetahui kegemaran/hobi untuk memulai pembicaraan menu-
ju wawancara, (3) tidak berdebat, tetapi berusaha memperoleh
informasi, (4) mencatat dengan cermat nama, jabatan, atribut,
dan pernyataan-pernyataannya, (5) cepat menyesuaikan diri ter-
hadap situasi baru yang berkembang jika yang terjadi lain dari
rencana semula, misalnya cepat menyusun pertanyaan baru di
luar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya, (6) menyata-
kan terima kasih, menanyakan apakah ada pesan, tambahan,
dll, dan (7) kalau perlu membacakan hasil wawancara dan me-
minta paraf persetujuan, lebih-lebih jika itu menyangkut masalah
yang peka yang akan berdampak luas jika diterbitkan.
Dalam wawancara, jangan lupa melontarkan pertanyaan pe-
luru yang jawabannya mungkin sangat berguna bagi lead berita
atau penutup feature.
Setelah bahan memadai, langkah berikutnya merumuskan
kalimat tema (pokok tuturan) sekaligus angle-(segi, sudut pan-
dang)-nya dan ini yang membatasi dan mengendalikan tulisan
agar tidak terlalu luas atau terlalu sempit. Misalnya: perawat
(terlalu luas), sedangkan perasaan perawat gadis di rumah sakit
bersalin (lebih pas). Dan karangan sudah baik jika memenuhi
syarat kesatuan, rincian, keaslian.
3. Saat Mulai Menulis
Saat inilah yang paling sulit. Bahan sudah terkumpul, kali-
mat tema sudah dirumuskan, tetapi terkadang sangat sulit me-
nulis paragraf awal (teras) yang mampu menarik perhatian pem-
baca. Sebab, teras haruslah mampu membangkitkan minat, per-
hatian, dan rasa ingin tahu pembaca, yang ditulis secara ringkas.
Setelah teras berhasil dirumuskan dan ditulis, disusul tubuh ka-
rangan yang berupa rincian yang dituturkan mengikuti alur atur-
an tuturan yang tertib, masuk akal, dengan gaya cerita menurut

20
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

selera (piramida terbalik, kronologis, dll), barulah ditutup de-


ngan penutup yang juga harus menarik.

Judul (Title) Feature


 Harus menggugah perhatian.
 Harus kreatif, original.

Teras Feature
 Teras (sebagai jiwa-raga karangan) terwujud dalam paragraf
pertama. Paragraf pertama ini mengemban fungsi sebagai
gagasan sentral. Fungsi gagasan sentral adalah untuk me-
ngendalikan isi tulisan dan mewajibkan penulis membatasi
tulisannya.
 Harus menarik perhatian. Beberapa unsur yang menarik
perhatian dan diinginkan pembaca biasanya berkaitan de-
ngan kebaruan, kedekatan, cuatan, keanehan, dan lain-lain.
 Bentuk teras ada bermacam-macam, misalnya ringkasan,
narasi, deskripsi, kutipan, pertanyaan, sapaan akrab, dan
lain-lain.

Tubuh Feature
 Kalau teras diibaratkan sebagai jiwa-raga karangan, tubuh
diibaratkan “stelan baju dan aksesori” yang memantulkan
keadaan sang jiwa-raga. Stelan harus pas dengan raga,
warna disesuaikan dengan keadaan jiwa. Pas dengan raga
dan sesuai dengan jiwa berarti hubungan antara teras dan
tubuh ibarat rupa dan bayang-bayang. Jelasnya, setelah te-
ras dirumuskan sesuai dengan pokok cerita/tema yang di-
inginkan, tubuh ditulis sejalan dengan arahan yang tersirat
dalam teras. Setiap keterangan/informasi mengenai pokok
cerita ditulis seperti menyusun batu bata menjadi tembok.
 Beberapa pola paragraf yang dapat digunakan untuk men-
jaga ketertiban susunan karangan adalah tematik (setiap
paragraf memberikan penegasan kembali kepada apa yang

21
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

telah diutarakan dalam teras), spiral (setiap paragraf me-


rinci apa yang ditulis dalam paragraf sebelumnya, ibarat
spiral menggulir ke bawah), dan blok (setiap paragraf berisi
bahan yang seolah berdiri sendiri, tetapi akhirnya menyu-
lam satu cerita yang bulat).
 Pola rinciannya ada dua, yakni kronologis (alamiah, berda-
sarkan urutan ruang dan waktu) dan logis (dari yang kurang
penting ke yang terpenting, dari yang umum ke khusus,
atau sebaliknya). Dalam hal ini ungkapan “peralihan” men-
jadi kunci perekat hubungan antarparagraf.

Penutup Feature
Setidaknya ada empat jenis penutup, yakni ringkasan
(mengacu kembali ke teras), klimaks (menimbulkan kejutan, ke-
nangan, kengerian, dll), tanpa akhir (mengajukan pertanyaan
tanpa jawaban), dan penyengat (pernyataan yang di luar dugaan
pembaca).

Purnatulis
Setelah feature selesai ditulis, penulis harus mengecek kem-
bali dengan beberapa pertanyaan berikut.
 Apakah peristiwa, pendapat, dan masalah itu menarik un-
tuk dibaca?
 Apakah karangan sudah terfokus pada pokok tulisan dan
tidak menyimpang jauh?
 Apakah aturan 5W + 1H sudah terpenuhi?
 Apakah penulisan nama orang, jabatan, kedudukan, dll su-
dah tepat?
 Apakah rincian sudah memadai?
 Apakah kata-kata yang digunakan mudah dipahami?
 Apakah ungkapan mampu memberikan sentuhan emo-
sional?

22
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

 Apakah fakta akurat?


 Apakah contoh yang diberikan konkret?
 Apakah daya pikat sudah diberi tekanan?
 Apakah teras, peralihan, tubuh, dan penutup sudah ter-
struktur dengan baik?

Catatan: tulisan ini disarikan dari berbagai buku sumber.

23
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

24
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

MENULIS ESAI,
EASY OR NOT EASY?
P. Ari Subagyo

Pendahuluan
“Mengarang itu gampang!” tulis Arswendo Atmowiloto.
Ungkapan itu pula yang menjadi judul bukunya — sampai sebelas
tahun lalu sudah sepuluh kali cetak ulang — Menulis itu Gampang
(Gramedia Pustaka Utama, 2001). Secara umum, buku ini me-
mandu pembacanya untuk menjadi penulis, khususnya penulis
sastra. Bagi seorang penulis profesional kelas kakap seperti
Arswendo, boleh jadi menulis memang gampang. Pekerjaan me-
nulis segampang bernafas dan semudah mengunyah.
Mengarang memang bisa dilakukan oleh siapa pun: anak-
anak, remaja, orang muda, orang tua, bahkan pensiunan; pria
maupun wanita. Menurut Arswendo, menulis seperti naik sepeda
atau berenang, sekali menguasai akan bisa seterusnya. Tak akan
lupa atau menjadi tidak bisa. Yang diperlukan hanyalah mengenal
unsur-unsur dalam mengarang: ide atau ilham, cara menyusun,
menggambarkan tokoh. Selebihnya latihan. Rasanya, asal bukan
buta huruf total, semua orang bisa mengarang. Bagi Arswendo
yang sudah puluhan tahun menjadi penulis, mengarang memang
sungguh gampang.
Namun, pada kenyataannya, mengarang tidak selalu gam-
pang, terutama bagi para pemula. Masalahnya, bagaimana agar
mengarang itu gampang? Artikel ini secara singkat memberikan

25
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

panduan, terutama untuk menulis esai. Pembahasan mencakup


perihal (1) hakikat menulis, (2) pentingnya latihan dan praktik,
(3) pengertian dan ciri-ciri esai, dan (4) tahap-tahap menulis.

Hakikat Menulis
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan
berbahasa di samping berbicara, menyimak, dan membaca. Me-
nulis termasuk keterampilan berbahasa yang bersifat aktif-
produktif, tertulis, dan tidak langsung. Menulis dan tiga
keterampilan berbahasa lainnya itu saling berkaitan.
Keterampilan yang satu dapat memengaruhi keterampilan yang
lain. Suparno dan Mohamad Yunus (Keterampilan Dasar Menulis,
2011:1.6) menggambarkan saling hubungan empat keterampilan
berbahasa tersebut dalam tabel berikut ini:

Keterampilan Berbahasa Lisan dan Langsung Tertulis dan Tidak Langsung


Aktif Reseptif Menyimak Membaca
(menerima pesan)
Aktif Produktif Berbicara Menulis
(menyampaikan pesan)

Menulis dikatakan aktif-produktif karena menulis bersifat


menyampaikan pesan. Adapun menulis dikatakan tertulis dan
tidak langsung karena komunikasi terjadi secara tertulis (dengan
tulisan) dan tidak langsung (penulis dan pembaca tidak berhadap-
hadapan langsung, tetapi terpisahkan oleh ruang dan waktu).
Menulis kait-mengait dengan tiga keterampilan berbahasa
yang lain. Menyimak dapat menopang keterampilan menulis,
misalnya ketika penulis memerlukan informasi dari sumber-sum-
ber lisan (tak tercetak), seperti radio, televisi, ceramah, pidato,
diskusi, debat, wawancara, ataupun obrolan. Menulis berkaitan
dengan membaca sebab seseorang yang membaca tidak hanya
memeroleh informasi dari sumber-sumber tertulis (buku, artikel,
makalah, dan sebagainya), tetapi ia juga bisa belajar memilih
topik, mengemukakan ide, menata gagasan, memilih dan meng-

26
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

gunakan gaya penulisan, dan sebagainya, dari tulisan-tulisan


yang dibacanya. Menulis berhubungan dengan berbicara sebab
keduanya sama-sama keterampilan aktif produktif. Keterampilan
menulis dan berbicara menuntut kemampuan memilih topik, me-
nentukan tujuan dan sasaran, mencari data dan informasi, me-
nerapkan cara penyampaian, dan memilih corak teks yang sesuai
(narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, atau persuasi).
Hal penting yang juga harus disadari adalah bahwa menulis
merupakan kegiatan mengemukakan pemikiran. Artinya, me-
nulis hanya dapat dilakukan dengan berpikir. Menulis adalah
berpikir. Otaklah yang lebih banyak bekerja daripada tangan
dan bagian tubuh lainnya. Tangan dan bagian tubuh yang lain
lebih mengerjakan hal-hal teknis, dan otaklah konseptor utama-
nya. Maka, menulis menuntut ketenangan, konsentrasi, dan mood
(perasaan tanpa beban) supaya otak dapat bekerja tanpa ganggu-
an. Tempat dan suasana menjadi faktor pendukung utama.
Namun, tempat dan suasana saja tidaklah cukup. Jika sese-
orang sedang tidak tenang, pikiran kacau, atau perasaan gerah
dan gundah, bisa dipastikan ia tidak mampu menulis. Tentu saja
minat, hasrat, atau gairah juga harus bernyala dalam diri sese-
orang. Tanpa adanya minat, hasrat, dan gairah, akan sia-sialah
gagasan atau pemikiran yang telah tumbuh dalam benak kita.
Tulisan pun tidak pernah akan terwujud.

Pentingnya Latihan dan Praktik


Arswendo menekankan pentingnya latihan. Agar terampil
menulis, kita memang harus banyak berlatih. Resep keberhasilan
menulis sebenarnya sederhana, yaitu 3L: latihan, latihan, dan
latihan. Semakin banyak minum “vitamin 3L”, semakin cepat
dan gampang kita menulis. Tidak ada cara lain. Di dalamnya
termasuk jatuh-bangun dan berkucur peluh karena proses trial
and error: terus-menerus mencoba dan mencoba demi mengatasi
kesalahan. Salah tidak apa-apa, sebab itu menjadi bagian yang
wajar dan tak terpisahkan dari proses belajar.

27
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Andrias Harefa, seorang penulis beken buku-buku motivasi,


juga menekankan pentingnya latihan dengan istilah praktik. Le-
wat buku Agar Menulis/Mengarang Bisa Gampang (Gramedia Pus-
taka Utama, 2002), ia menyebut perlunya keyakinan dan sikap
dasar (beliefs and basic attitude) bahwa bagi kita pun bisa menulis-
mengarang dengan gampang. Di atas bangunan keyakinan dan
sikap dasar itu, kita perlu menambahkan secara bertahap dan
kontinyu pengetahuan dan wawasan di seputar tulis-menulis
maupun ide-ide pokok sesuai dengan minat dan ambisi kita ma-
sing-masing. Selebihnya adalah praktik, praktik, dan praktik.
Menurut Andrias Harefa, belajar menulis harus didasari
“kesadaran atas suatu ketidakmampuan” (conscious-incompetent),
dalam hal ini kita sadar bahwa kita tidak mampu menulis. Keti-
dakmampuan wajib disadari dan diakui dengan jujur dan rendah
hati. Namun, dengan terus berpraktik, kita akan berkembang
menuju tahap “sadar bahwa kita mampu” (conscious-competent).
Ketidakmampuan kita ubah menjadi kemampuan. Jika tidak lelah
berpraktik, akhirnya kita akan mencapai tahap “tak sadar tapi
kompeten” (unconscious-competent). Pada tahap inilah kita akan
mengalami (bukan sekadar mengetahui) bahwa menulis dan me-
ngarang memang gampang. Inilah tahap seseorang menjadi pe-
nulis profesional: menulis dan mengarang segampang mengge-
rakkan kaki dan tangan.
Satu hal yang sangat tidak diharapkan oleh Andrias Harefa
adalah kita berada pada keadaan “tidak sadar bahwa kita tidak/
belum mampu” (unconscious-incompetent). Mengapa? Karena ke-
adaan itu membuat kita tidak bisa dan tidak pernah belajar.
Kita tidak tahu kelemahan atau keterbatasan diri sendiri. Atau
kita malas dan takut mengetahui kelemahan dan keterbatasan
itu sehingga kita tidak mampu mengembangkan diri dalam segi
apa pun, termasuk dalam menulis.

28
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Pengertian dan Ciri-ciri Esai


Esai merupakan naturalisasi (penulisan dengan tata tulis
bahasa Indonesia) kata bahasa Inggris essay. Pengertian esai me-
nurut Longman Dictionary of Contemporary English (2001:464)
adalah “a short piece of writing giving someone’s ideas about politics,
society, etc.”. Esai merupakan jenis tulisan untuk mengemukakan
gagasan tentang persoalan sosial, politik, dan sebagainya. Ada-
pun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:381), esai adalah
“karangan yang membahas suatu masalah secara sepintas-lalu
dari sudut pandang pribadi penulisnya”.
Esai memiliki tiga ciri. Pertama, esai berdasarkan masalah,
peristiwa, atau keadaan yang faktual dan aktual terjadi dalam
masyarakat. Jadi, esai bukan tulisan fiktif (rekaan). Esai memang
bisa berupa harapan imajinatif, tetapi tetap berdasarkan fakta
aktual yang secara eksplisit (tersurat) dikemukakan dalam esai.
Kedua, esai bercorak argumentatif. Maksudnya, esai ditulis
dengan tujuan untuk mengemukakan opini (pendapat, usulan,
rekomendasi, kritik, atau sikap verbal) secara argumentatif se-
hingga mampu memengaruhi pikiran dan sikap pembaca. Untuk
memperkuat argumentasi, diperlukan data, teori, pendapat ahli,
dan/atau analisis yang bernalar (logis). Ketiga, esai bersifat il-
miah popular. Di satu sisi, esai berciri ilmiah sehingga cara ber-
pikir dan penulisannya mematuhi kaidah-kaidah ilmiah. Di sisi
lain, esai ditujukan untuk pembaca umum, tidak terbatas pada
kalangan keilmuan tertentu. Oleh sebab itu, pembahasaannya
(pilihan kata, pengalimatan, dan sebagainya) diupayakan mudah
dipahami masyarakat umum (popular). Ciri terakhir ini berkaitan
dengan media pemuatan esai, yakni surat kabar umum (harian
atau majalah) atau buku popular.

Tahap-tahap Menulis Esai


Selain sebagai “kerja otak”, menulis — termasuk menulis
esai — pun merupakan sebuah proses. Sebagai sebuah proses,
menulis berisi serangkaian kegiatan yang dapat diibaratkan

29
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

sebagai membangun rumah. Membangun sebuah rumah memer-


lukan tahap-tahap yang tertata rapi. Misalnya, merancang
bangunan, memilih corak arsitekturnya, membeli bahan-bahan
yang sesuai, membuat pondasi, merangkai kerangka, menembok
dan menempatkan kusen, memasang atap, merangkai jaringan
listrik, menyemen tembok, memasang ubin lantai, mengecat, dan
sebagainya. Menulis perjalanan juga demikian. Ada tiga fase yang
perlu dilewati, yaitu tahap prapenulisan, penulisan, dan pasca-
penulisan.
 Tahap Prapenulisan
Tahap prapenulisan merupakan fase persiapan sebelum
seseorang menulis. Sebagaimana kegiatan lain apa pun juga,
menulis pun perlu persiapan. Persiapan yang baik menjamin 50%
keberhasilan. Persiapan yang mantap akan membuat tulisan yang
dihasilkan juga mantap. Tahap prapenulisan meliputi, pertama,
pemilihan/penentuan topik (pokok pembicaraan). Topik dika-
takan baik jika (i) problematis atau bermasalah, (ii) cakupannya
pas, dalam arti tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit, (iii)
feasible atau layak ditulis, baik dalam kaitannya dengan kepen-
tingan bersama maupun ketertiban umum (tidak bersifat SARA),
serta (iv) relatif dikuasai oleh penulis. Topik esai dapat dipilih/
ditentukan berdasarkan kalendarium rutin tahunan (1 Januari
sampai dengan 31 Desember, tingkat lokal, nasional, regional,
hingga internasional), agenda atau momen insidental (tingkat
lokal hingga internasional), dan isu-isu aktual yang sedang men-
jadi perhatian masyarakat.
Kedua, perumusan masalah. Esai hanya dapat ditulis karena
adanya masalah (problem based). Namun, tidak setiap masalah
layak untuk ditulis. Yang layak diangkat menjadi esai hanya
masalah-masalah yang menyangkut keperluan hidup orang ba-
nyak. Masyarakat perlu lebih memahami masalah itu agar tidak-
timbul kebingungan yang luas. Sangat mungkin, lewat esai, penu-
lis menawarkan kemungkinan jalan keluar atau solusi sehingga

30
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

masyarakat terbebas dari persoalan yang lebih besar. Sangat


mungkin, sebuah persoalan tidak pernah disadari oleh masyara-
kat atau khalayak umum, maka kejelian menemukan masalah
dan mengemukakannya kepada khalayak, apalagi disertai jalan
keluar atau solusi, seyogianya menjadi naluri seorang penulis
esai. Agar lebih jelas bagi pembaca maupun penulisnya sendiri,
masalah seyogianya dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya.
Jumlah masalah harus disesuaikan dengan panjang esai yang
akan dibuat.
Ketiga, penentuan tujuan. Menulis merupakan kegiatan yang
berorientasi pada tujuan (goal-oriented activity). Seorang penulis
memiliki tujuan tertentu sehingga ia menulis esai kepada masya-
rakat pembaca. Tujuan itu membentang dari mulai sekadar
mengulas atau mengurai suatu persoalan, menolak atau meng-
kritik sebuah kebijakan, hingga mengusulkan kebijakan atau jalan
keluar yang lebih baik. Berkaitan dengan tujuan ini, penulis esai
potensial berperan sebagai opinion leader. Ia mencerahkan, me-
mandu, dan memimpin masyarakat dengan pendapat-pendapat
yang ditulisnya. Bisa juga ia menyentil atau mengingatkan para
pejabat agar berbuat bijak bagi masyarakat.
Keempat, penyusunan rancangan atau kerangka karangan.
Langkah ini penting tidak hanya bagi penulis pemula, tetapi juga
penulis yang sudah profesional sekalipun. Pada prinsipnya,
rancangan/kerangka karangan merupakan sekumpulan pokok-
pokok pikiran yang terkait dengan topik dan permasalahan. Po-
kok-pokok pikiran itu tidak sekadar didaftar atau diinventaris,
tetapi diurutkan dari awal (bagian pembuka), tengah (bagian
pembahasan), hingga akhir (bagian penutup). Pokok-pokok itu
dapat ditulis dengan model kata/frasa pokok atau model kalimat
pokok. Rancangan/kerangka karangan memiliki fungsi praktis
bagi penulis, yaitu menjadi pola untuk dikembangkan menjadi
karangan utuh, ibarat kerangka bangunan yang diisi batu-bata
dan/atau bahan-bahan lain oleh para tukang.

31
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Kelima, pencarian bahan-bahan rujukan. “Rujukan” ialah


berbagai data, informasi, teori, pendapat ahli, dan sebagainya
untuk dasar atau penguat argumentasi. Selain itu, adanya rujukan
sekaligus juga menunjukkan ciri ilmiah sebuah esai. Namun,
karena esai tergolong karangan ilmiah popular, tata cara penu-
lisan rujukan tidak seketat dalam karangan ilmiah “murni”.
Sebagai contoh, esai tidak menuntut adanya daftar pustaka (bi-
bliografi) maka nama pengarang dan judul buku rujukan disatu-
kan dalam teks (seperti dalam artikel ini). Penulis tertentu yang
kapasitas kepakarannya telah diakui secara luas, misalnya se-
orang prosefor yang sudah lama diakui sebagai esais, kadang
tidak dituntut mencantumkan rujukan. Mengapa? Sebab penda-
pat/opininya dihargai setara dengan rujukan yang dikemukakan
ahli-ahli lain, atau pendapat/opini beserta analisis/kajian sang
profesor diakui sebagai rujukan itu sendiri.
 Tahap Penulisan
Tahap penulisan merupakan kelanjutan tahap prapenulisan.
Tiga kegiatan yang lazim dilakukan dalam tahap ini adalah,
pertama, pengembangan rancangan/kerangka karangan. Telah
dipaparkan dalam Tahap Prapenulisan (catatan keempat), ran-
cangan/kerangka karangan ibarat kerangka bangunan yang lalu
diisi dengan batu-bata dan/atau bahan-bahan lain. Pokok-pokok
pikiran dalam rancangan/kerangka karangan esai juga demikian,
yakni dikembangkan dengan “batu-bata” berwujud kalimat-ka-
limat yang variatif dan tertata dengan urutan yang tepat. Adapun
“bahan-bahan lain” berupa penghubung antar-kalimat serta kata-
kata yang dipilih dan ditempatkan secara cermat. Semua unsur
itu membentuk paragraf dan karangan utuh yang kohesif (padu
makna) dan koheren (padu bentuk).
Kedua, pencarian rujukan tambahan sesuai dengan keperlu-
an. Pada tahap pra-penulisan memang telah dilakukan pencarian
rujukan. Namun, bisa jadi rujukan itu masih kurang atau ada ru-
jukan baru yang lebih relevan, maka pada tahap penulisan masih
terbuka kemungkinan untuk menambahkan rujukan-rujukan yang

32
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

sesuai dengan keperluan. Langkah ini ditempuh untuk menambah


kekuatan argumentasi dan kadar keilmiahan sebuah esai. Rujukan
berupa data, informasi, teori, pendapat ahli, dan sebagainya yang
diperoleh dari sumber-sumber buku, artikel jurnal, artikel/berita
media massa, laporan penelitian, laporan resmi sebuah instansi,
makalah, hasil diskusi, dan opini masyarakat.
Ketiga, pemilihan gaya penulisan. Gaya penulisan ibarat
ornamen pada bangunan yang membuat bangunan indah dipan-
dang. Atau, kalau dalam tradisi kuliner, gaya penulisan ibarat
“bumbu” dan “cara penyajian” yang membuat masakan nikmat
dilihat dan disantap. Gaya penulisan setidaknya berupa pemi-
lihan kata, penciptaan variasi kalimat, penggunaan gaya bahasa,
dan pembentukan persesuaian bunyi (semacam persajakan) pada
bagian-bagian tertentu sehingga esai menjadi enak dibaca. Se-
buah esai dikatakan “enak dibaca” jika pembacanya tidak merasa
lelah saat membaca, tetapi justru dapat menikmati. Dengan de-
mikian, pembaca dapat menangkap isi/pesan dengan mudah dan
bahkan memeroleh kenikmatan dan hiburan. Pemilihan gaya pe-
nulisan membuat sebuah esai memenuhi kriteria dulce et utile
(menghibur dan memberi manfaat). Berikut ini contoh penulisan
yang mengabaikan dan yang menghiraukan gaya penulisan. Con-
toh yang menghiraukan gaya penulisan terasa lebih enak dibaca.

No. Mengabaikan Gaya Penulisan Menghiraukan Gaya Penulisan


1 Berawal dari hasutan kata-kata, lalu amarah massa Bermula dari hasutan kata-kata, lalu terbakarlah
terbakar. Nalar menjadi kacau, budi hilang. Yang amarah massa. Nalar menjadi pudar, budi
tinggal hanya kemarahan yang bernyala-nyala. tersungkur mati. Yang tinggal hanya gelegak emosi.
2 Komputer dan internet telah menyebabkan umat Komputer dan internet telah membawa umat
manusia memasuki cyberspace dan cyberculture. manusia memasuki cyberspace (jagat maya) beserta
Internet menimbulkan lifestyle baru, membuka karier cyberculture (budaya maya). Internet menetaskan
yang tidak terbayangkan sebelumnya, menuntut lifestyle baru, membuka karier baru, menuntut aturan
aturan-aturan yang belum ada sebelumnya, baru, menampilkan isu-isu baru, dan membentuk
menampilkan persoalan baru, dan menimbulkan dinamika kekuasaan baru.
perubahan dalam kekuasaan.

 Tahap Pascapenulisan
Titik terakhir bukanlah tanda penulisan esai berakhir. Masih
ada tahap pasca-penulisan. Ada dua kegiatan yang disarankan
pada tahap ini.
33
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Pertama, pembacaan ulang seluruh karangan. Pembacaan


ulang bermanfaat dalam memeriksa kembali tulisan untuk mene-
mukan kekurangan atau kesalahan yang perlu dibenahi. Dalam
fase ini, kita sebagai penulis menempatkan diri sebagai pembaca.
Kita seolah-olah membaca tulisan orang lain. Kita tidak boleh
berorientasi pada diri sendiri; atau asal gagasannya terungkap
sebagai karangan, tanpa peduli bagaimana orang lain gampang
atau sulit memahaminya. Penulis yang baik justru berorientasi
pada orang lain sehingga berusaha sedemikian rupa untuk mem-
buat orang lain tertarik dan mudah memahami karangannya.
Dengan membaca ulang, kita dapat menilai tulisan kita sendiri
secara objektif. Kita mengambil jarak dari tulisan kita, lalu me-
nimbangnya apa adanya.
Kedua, penyuntingan (editing) bagian-bagian yang perlu
diperbaiki atau belum pas. Langkah ini merupakan lanjutan se-
kaligus konsekuensi dari langkah membaca ulang. Kekurangan
dan kesalahan yang telah kita temukan perlu diperbaiki. Langkah
ini lazim disebut penyuntingan (editing). Kekurangan atau kesa-
lahan itu bisa berupa hanya kesalahan ketik pada satu atau dua
huruf sehingga editing-nya sekadar membetulkan sesuai huruf
yang semestinya. Namun, kesalahan dapat pula berupa kesalahan
konsep atau kesalahan susunan pikiran/gagasan. Jika demikian,
kita harus memikirkan kembali konsep yang benar dan menata
ulang pikiran/gagasan agar lebih bernalar. Penyuntingan juga
merupakan upaya penulis untuk berorientasi pada pembaca.
Apalagi jika esai yang kita tulis akan dikirim ke redaksi media
massa. Batasan jumlah kata atau halaman mau tidak mau mewa-
jibkan kita melakukan editing agar esai kita memenuhi ketentuan
yang berlaku di media massa yang akan kita tuju. Bagaimana
pun, redaksi surat kabar lebih memilih esai yang tidak banyak
kesalahan.

34
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Penutup
Pada akhirnya, menulis esai itu gampang atau sulit? Menulis
esai is easy or not easy? Jawabnya tergantung kita masing-masing.
Memahami secara teoretis bagaimana menulis esai sangat
penting dilakukan. Namun, pengetahuan teoretis saja tidaklah
cukup. Kita perlu banyak latihan, latihan, dan latihan. Tidak
kalah penting tentu saja semangat dan gairah sehingga latihan
terus-menerus tidak membuat kita mudah lelah dan putus asa.
Menulis esai dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk kita.

35
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

36
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

MENULIS ESAI ATAU ARTIKEL


DI MEDIA
Y.B. Margantoro

“Membaca (dan atau menulis) merupakan alat pokok untuk hidup


lebih baik.” – Mortimer J. Adler, dalam A. Widyamartaya
dan V. Sudiati (2004).

KOMUNIKASI ada sejak manusia ada. Artinya, sejak manu-


sia lahir di dunia, dia sudah berkomunikasi dengan lingkungan
terdekatnya. Salah satu “bentuk komunikasi” khas bayi adalah
menangis atau menggerak-gerakan bagian tubuhnya untuk me-
nyampaikan “pesan”. Karena hobinya menangis, maka untuk
mengekspresikan kegembiraan atau kesedihannya, boleh jadi
dia pilih menangis, selain tentu saja boleh juga tertawa.
Seiring dengan bertambahnya usia, lingkungan yang men-
dukung dan teknologi komu-nikasi yang tersedia, manusia mela-
kukan komunikasi kepada orang lain secara lebih baik. Komuni-
kasi antarindividu dalam bentangan ruang dan waktu yang jauh
sekalipun bisa dilakukan dengan baik berkat teknologi. Demikian
juga untuk komunikasi massa, ada dukungan sarana prasarana
yang memungkinkan untuk itu.
Untuk (ber)komunikasi massa, pada dasarnya dibutuhkan
adanya komunikator, komunikan, pesan, media, dan dampak.
Komunikator adalah orang yang menyampaikan pesan kepada
komunikan, komunikan adalah orang yang menerima pesan dari

37
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

komunikator, pesan adalah informasi yang diperoleh komunikan


dari komunikator, media adalah alat bantu untuk menyampaikan
pesan itu, yakni media massa, dan dampak adalah akibat dari
terjadinya komunikasi massa melalui media massa.
Berkomunikasi bisa secara lisan dan tertulis, disamping bisa
juga dalam bentuk yang lain. Komunikasi tertulis artinya me-
nyampaikan ide, gagasan, argumentasi secara tertulis. Tanpa
dimaksud mengecilkan arti komunikasi lisan, komunikasi tertulis
membutuhkan lebih banyak syarat agar komunikan dapat mema-
hami pesan yang disampaikan.
Sebuah pepatah mengatakan : “Segalanya akan musnah, kecuali
perkataan yang tertulis”. Meski secara teknologis sekarang ada
alat yang bisa merekam komunikasi lisan, namun komunikasi
tertulis tetap memiliki keunggulan. Kalau pepatah itu disepakati,
maka kalau pesan yang disampaikan kepada orang lain ingin
monumental, menulislah! Dan menulis di media massa, terutama
koran harian, akan sangat membantu tersebarnya secara luas
pesan atau ide yang kita sampaikan.
Sebelum “berani” menulis di media massa, berlatihlah me-
nulis di buku agenda, kemudian menulis di media sekolah/kam-
pus/internal/korporat/komunitas, menulis di lomba karya tulis,
sampai akhirnya dapat menulis di koran umum maupun buku.
Ada tiga rumpun tulisan di media, khususnya media cetak, yakni
fakta, opini dan fiksi. Pada kesempatan ini, penulis akan fokus
ke rumpun opini yang terdiri dari tajuk rencana, karikatur atau
kartun editorial, pojok, artikel, esai, kolom, news analysis, surat
pembaca, dan resensi buku.
Kecuali karikatur dan pojok, aneka tulisan dalam rumpun
opini memiliki unsur-unsur kesamaan, yakni adanya penyam-
paian fakta dan data, permasalahan, pembahasan serta simpulan
dan saran. Memang porsi dan cara penyampaiannya berbeda,
demikian pula orientasi penulisan dan “taste”-nya…. Tanpa ber-
maksud mengecilkan arti tulisan lain di rumpun opini, tulisan
esai sebenarnya memiliki “tingkat kesulitan” tersendiri karena

38
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

selain harus mampu memaparkan fakta dan data, permasalahan


dan pembahasan, cara penulisannya pun harus memiliki “taste”
yang berbeda dengan artikel. Analoginya, kalau artikel itu ibarat
“berita” di rumpun fakta, maka esai ibarat “feature” di rumpun
fakta.
Tidak ada “larangan” bagi siapa saja untuk langsung me-
nulis bentuk esai ketika memilih menyampaian gagasan dengan
dukungan referensi dan baru ke bentuk tulisan lain atau bahkan
tetap fokus ke esai. Namun disarankan lebih baik memulai dari
bentuk yang sederhana terlebih dulu, yakni surat pembaca. Sete-
lah itu meningkat ke artikel dan kemudian news analysis. Langkah
selanjutnya bolehlah “menjajal” esai dan kalau diberi kesempatan
oleh redaktur media dapat juga menulis kolom.
Bagaimana dengan tajuk rencana dan pojok? Kedua bentuk
tulisan ini merupakan “otoritas” pihak media, dalam hal ini karya
pemimpin redaksi, redaktur senior dan atau redaktur pelaksana.
Masyarakat umum dapat memanfaatkan tajuk dan pojok sebagai
bacaan lepas atau referensi untuk menulis artikel. Sebaliknya,
tajuk dan pojok juga dapat memperoleh inspirasi dari artikel
atau berita.
Sedangkan untuk resensi buku juga dapat dipilih sebagai
“alternatif lain” dari penulisan di rumpun opini. Penulis esai
khususnya dan artikel umumnya dianjurkan juga menulis resensi
buku (dan akhirnya akan mampu menulis buku) agar memperoleh
kesempatan untuk membaca (banyak) buku. Apalagi kalau buku
yang dibaca dan diresensi adalah buku fiksi, pengalaman empi-
ris, biografi, sejarah, kepemimpinan atau sosial kemasyarakatan,
karena akan cukup membantu dalam penulisan esai.
Widyamartaya dan V. Sudiati (2004) mengemukakan ber-
macam-macam jeniskarangan yang dapat ditulis, tetapi semua-
nya termasuk dalam satu di antara dua jenis tulisan, yakni prosa
atau puisi. Menurut apa yang menjadi pokok utama pembicaraan
atau maksud pokok penulisan, ada yang tergolong karangan
pengetahuan (berupa risalah, misalnya, kalau tidak terlalu pan-

39
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

jang), dan ada yang tergolong karangan kesastraan (berupa esai,


misalnya, termasuk sejarah, biografi, lukisan, ulasan, kisah, dan
ajakan).
Ada tiga macam esai yakni esai cerita, esai lukisan dan esai
ulasan. Dalam kesempatan ini lebih ditekankan kepada esai
ulasan. Esai itu apa? Secara mudahnya boleh dipandang sebagai
usaha untuk melahirkan pandangan mengenai suatu topik
dengan bentuk serta dengan cara penuturan yang sebaik-baik-
nya. Hal yang terpenting dalam esai bukan apa yang dibicarakan,
melainkan bagaimana cara membicarakannya.
Esai ulasan adalah esai yang hendak membentangkan,
menguraikan atau memantulkan pendapat dan perasaan tentang
suatu hal dalam bidang kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
politik, filsafat, dan sebagainya. Dalam bahasa Inggris, esai
ulasan disebut “reflective essay”. Secara singkat dapat dikatakan,
esai ulasan merupakan praktek memandang dan merenungkan
hal apa saja. Dengan menulis esai ulasan, kita diuji dalam hal
kemampuan berpikir dan melukiskan, menata gagasan-gagasan,
dan menimba dari pengalaman, imajinasi dan pengetahuan umum
kita.
Untuk memudahkan mengenal dunia tulis menulis di koran,
di sini dijelaskan secara sederhana dengan rumus berita: 5 W +
1 H, yakni apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana.

Artikel (dan Esai) itu Apa?


Artikel (dan esai) itu sebuah karya tulis opini atau penda-
pat. Dalam tulisan artikel ada muatan pemaparan permasalahan,
fakta dan data, kemudian dilakukan tanggapan atau pembahas-
an, dan diakhiri dengan simpulan dan saran. Kronologi sederha-
nanya adalah: pendahuluan, permasalahan, pembahasan, sim-
pulan dan saran. Apakah setiap artikel harus memakai urutan
seperti itu? Jelas tidak. Anda boleh berkreasi sendiri, menulis
dengan urutan yang lain. Hal yang penting, pembaca paham
atas ide atau gagasan Anda, paham atas permasalahan yang ada

40
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

atau sedang terjadi, dan syukur-syukur ada solusi atau jalan


keluar yang disampaikan.
AS Haris Sumadiria (2005) berpendapat, karakteristik artikel
adalah: ditulis dengan atas nama (by line story); mengandung
gagasan aktual atau kontroversial; menyangkut kepentingan se-
bagian besar khalayak pembaca; ditulis secara referensial dengan
visi intelektual; disajikan dalam bahasa sederhana, jelas, menarik,
hidup, segar, populer dan komunikatif; singkat dan tuntas;
orisinal.
Syarat artikel layak kirim adalah : (1) topik yang diangkat
aktual dan atau kontroversial, (2) tesis yang diajukan orisinal
serta mengandung gagasan baru dan segar, (3) materi yang di-
bahas menyangkut kepentingan masyarakat luas, (4) topik atau
pokok bahasan yang dikupas diyakini tidak bertentangan dengan
aspek etis, sosiologis, yuridis dan ideologis, (5) ditulis dengan
bahasa baku yang benar dan baik, lincah dan segar, mudah di-
cerna dan ringan dibaca (komunikatif), (6) mencerminkan visi
dan sikap penulis sebagai seorang intelektual atau cendekiawan,
(7) referensial, (8) singkat, utuh dan tuntas, (9) memenuhi kebu-
tuhan sekaligus bisa mengikuti selera dan kebijakan redaksional
media massa, dan (10) memenuhi kualifikasi teknis-administratif
media massa bersangkutan.
Cara mengirim artikel: naskah dimasukkan ke dalam
amplop, ditulis nama media yang dikirim dan si pengirim, pada
sudut kiri amplop ditulis “artikel opini”, dilengkapi surat
pengantar dan jati diri penulis (plus nomor rekening bank dan
nomor HP/telepon yang bisa dihubungi), dan atau dilengkapi
CD. Selain itu juga dapat dikirim melalui e-mail media tersebut.

Siapa yang Boleh Menulis Artikel (dan Esai)?


Siapa saja yang mau dan mampu! Artinya, kalau memang
memiliki ide dan gagasan, cukup bahan referensi atau pustaka
untuk mendukung ide itu, dan mampu menuliskannya secara
baik, benar, dan menarik, kenapa tidak dicoba?

41
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Unsur siapa yang lain di sini adalah secara teknik (menulis


artikel) menguasai, sikap mentalnya bagus (tidak mudah patah
semangat kalau tulisannya ditolak), memiliki kebiasaan mem-
baca, intelektual, atau pengamat sosial. Selain itu, unsur siapa
juga menyangkut media yang akan dikirimi tulisan, dan tentu
saja juga sasaran pembaca media tersebut.

Kapan Menulis Artikel (dan Esai)?


Soal waktu, memang bisa sekarang, kapan-kapan, pas punya
ide menarik, pas ingin sekali menulis, pas ada tulisan yang layak
ditanggapi (polemik), atau pas ada momentum (peristiwa) ter-
tentu. Namun pada dasarnya, menunda melakukan sesuatu —
termasuk menulis — sebenarnya kurang bagus. Sebaiknya, laku-
kanlah sesuatu (dalam hal ini menulis) dengan segera dan terus
menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Dengan sudah ter-
biasa menulis, maka akan lebih lancar, lebih baik, dan lebih
termotivasi.

Dimana Menulis Artikel (dan Esai)?


Di media massa, khususnya koran harian, adalah salah satu
media menulis yang baik. Maksudnya, baik dari segi profesional-
isme pengelolaan media, baik dari segi penyebaran informasinya,
dan boleh jadi baik juga dari segi honorariumnya. Mulailah me-
nulis di koran lokal, kemudian koran nasional, syukur-syukur
nantinya bisa menulis di koran internasional.
Untuk menulis di media massa, sebaiknya mulailah dari
hal-hal yang sederhana, kemudian meningkat ke bentuk tulisan
yang lebih sulit. Untuk karya artikel atau opini, mulailah menulis
surat pembaca. Kemudian meningkat ke artikel pendek, artikel
panjang, kolom, esai, resensi buku.

Mengapa Menulis Artikel (dan Esai)?


Ya mengapa harus menulis artikel kalau Anda lebih suka
menulis fiksi atau fakta misalnya? Pada dasarnya, setiap topik

42
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

yang sama bisa ditulis dalam tiga bentuk yang berbeda. Misalnya,
topik “Pers Sekolah” seperti buletin, koran selembar, atau majalah
dinding dapat ditulis dalam bentuk fakta, opini, maupun fiksi.
Tinggal bagaimana awal dan pengembangannya. Dengan me-
nulis fakta, jelas harus melakukan pengamatan tentang
keberadaan pers kampus setempat, lalu melakukan wawancara
dengan narasumber yang berwenang dan pas untuk topik itu,
melakukan riset pustaka, dan menuliskannya dengan rumus
“MENJERIT” yakni menarik, jelas, ringkas, dan tertib.
Untuk tulisan opini atau artikel harus membaca referensi
atau bahan pustaka dulu, kemudian menganalisis, dan menulis-
kannya secara baik, benar, dan menarik. Sedangkan untuk tulisan
fiksi, tinggal bagaimana kekuatan imajinasi kita dalam mengolah
ide dan kemudian menuliskannya.
Dengan kemauan, kemampuan, dan kebiasaan menulis
artikel atau opini, kita akan terbantu sisi kekayaan pengetahuan,
wawasan, sikap kritis, kepekaan sosial terhadap masalah-ma-
salah di sekitar kita atau yang lebih luas lagi. Manfaat lainnya
adalah kita belajar sabar kalau tulisan kita belum dimuat, selalu
rendah hati untuk terus belajar, tidak sombong kalau kita sema-
kin dikenal, memperoleh honorarium atau penghasilan tambah-
an, semakin gemar membaca, semakin banyak teman, dan seba-
gainya.

Bagaimana Menulis Artikel (dan Esai)?


Paling tidak ada tiga langkah untuk menulis artikel, yakni:
1) Mulailah dengan gemar membaca. Bacaan apa saja, asalkan
baik dan bermanfaat, bacalah! Pengertian membaca di sini
bukan hanya membaca teks buku, koran, majalah, dan se-
bagainya, tapi juga “membaca” fenomena atau trend di seki-
tar kita, atau di masyarakat luas. Dari sana akan muncul
ide untuk ditulis. Ide atau gagasan lain yang dapat kita
peroleh yakni melalui tulisan orang lain yang kemudian
kita tanggapi. Namanya polemik. Kemudian bisa juga mem-

43
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

bahas topik momentum, misalnya, Hari Pendidikan Na-


sional 2 Mei, Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Hari Pah-
lawan 10 November, dan sebagainya. Bisa juga melontarkan
ide atau gagasan baru.
2) Menulislah dengan kalimat yang pendek, mudah dimenger-
ti, dan menarik. Menulislah dengan awal dan akhir tulisan
yang menarik. Menulislah dengan fakta dan data kuat.
Menulislah dengan pembahasan yang baik, dan solusi yang
pas. Pilihlah kata dan kalimat yang menarik, serta paragraf
yang konsisten.
3) Ketiklah tulisan Anda dengan rapi, spasi ganda, mulai 1
halaman sampai 3,5 atau 4 halaman kuarto, dan kemudian
kirimkan ke media massa yang Anda pilih.

Mau strategi yang lain? Kita simak pendapat AS Haris Suma-


diria (2005) sebagai berikut:
a) Persiapan menulis artikel: Tahap persiapan, tahap pelaksa-
naan penulisan, tahap perbaikan materi penulisan (penyun-
tingan); cari ide yang menarik (sumber ide artikel, menye-
leksi dan menetapkan ide); tetapkan topik secara spesifik;
pilih judul provokatif (provokatif, singkat dan padat, rele-
van, fungsional, informal, representatif, merujuk pada ba-
hasa baku); rumuskan tesis secara ringkas (ringkas dan jelas,
mencerminkan topik, mengandung kebaruan); buatlah ke-
rangka sederhana; pilih referensi yang relevan.
b) Pelaksanaan menulis artikel: mengenal intro; mengembang-
kan bahasan artikel (penjelasan, contoh, perbandingan,
kutipan, statistik, penegasan); tiga prinsip komposisi artikel
(kesatuan, pertautan, titik berat); enam urutan organisasi
pesan (deduktif, induktif, kronologis, logis, spasial, topikal);
menutup artikel.

44
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Jadi, kalau Anda mau berbagi ide dengan orang lain, mau
belajar mengolah gagasan secara tertulis, mau dikenal banyak
orang, mau terima honor uang, mau berbuat sesuatu demi kema-
juan kita bersama: menulislah!
Sebuah pepatah mengatakan : Kalau ingin mengenal dunia
membacalah, kalau ingin dikenal dunia menulislah. Maka menu-
lislah mulai sekarang, jangan ditunda lagi!

45
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

46
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

MENULIS CERITA PENDEK


Indra Tranggono

Dalam workshop penulisan cerpen di Yogyakarta tahun 1980-


an, cerpenis Umar Kayam (alm.) cukup kesulitan menjawab per-
tanyaan tentang “bagaimana menulis cerpen”. Ia hanya menja-
wab, “Pokoknya terus nulis…nulis dan nulis”. Umar Kayam me-
nambahkan, “Seorang penulis cerpen yang baik harus memiliki
ingatan yang tajam tentang berbagai pengalaman yang berkaitan
dengan dirinya (pengalaman individual) dan pengalaman dengan
orang lain atau masyarakat (pengalaman sosial)”.
Sepotong dua potong ucapan Umar Kayam itu, sepitas me-
mang “terlalu sederhana, bahkan sepele”. Namun, jika dicermati,
ada keseriusan yang perlu direnungkan, yakni (1) tidak ada teori
yang baku atau standar dalam penulisan cerpen selain praktik
langsung, dan (2) seorang penulis cerpen pada dasarnya adalah
seorang pengamat lingkungan, pengamat sosial, atau pengamat
kehidupan yang baik. Artinya, dalam menulis cerpen, orang per-
lu melakukan apa yang disebut riset (penelitian), baik riset sosial
yang berkaitan dengan dunia pengalaman berinteraksi dengan
masyarakat maupun riset pustaka (membaca buku, media massa,
literatur, dan sebagainya).
Kenapa riset itu harus dilakukan? Karena tidak ada cerpen
yang lahir dari ruang kosong, artinya sekadar khayalan, meskipun
sifat cerpen adalah fiktif. Artinya, kehidupan ini sendiri meru-

47
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

pakan bahan baku yang bisa diolah untuk menciptakan cerpen.


Sebab, pada dasarnya, cerpen merupakan hasil penafsiran atas
nilai-nilai kehidupan yang diungkapkan lewat bahasa dan simbol
secara indah. Kata “indah” ini bukan berarti sesuatu yang diin-
dah-indahkan, melainkan “keindahan yang lahir dari pergulatan
tematik, pergulatan bahasa, dan pergulatan simbolik”.
Pergulatan tematik artinya penulis melakukan penjelajahan
ke jagat tema sehingga menemukan tema yang menarik dan
segar. Menarik artinya memberikan sudut pandang yang lain
dari yang biasa dikenali sehingga memberikan keunikan. Segar
maksudnya adalah cara penceritaan yang efektif dan efisien
dalam bahasa, tajam, dinamis, dan komunikatif.

Proses Penciptaan Cerpen


Setiap penulis cerpen memiliki caranya sendiri dalam proses
penulisan cerpen. Namun, yang saya kenali, proses penciptaan
cerpen menyangkut beberapa hal:
Pertama, menentukan tema dasar. Yang dimaksudkan tema
dasar adalah “gagasan awal” yang melandasi penulisan cerita.
Anda mau mengisahkan apa dalam cerpen Anda? Ide dasar itu
bisa kita rumuskan dalam sebuah kalimat. Misalnya saja, “Kemu-
liaan seorang guru miskin dalam menghadapi godaan korupsi”.
Kedua, personifikasi tema dasar atau mewujudkan tema dasar
ke dalam tokoh sekaligus karakternya yang hendak kita cerita-
kan. Tentu di sini harus ada tokoh sentral yang mengemban
tema, misalnya Kamil, seorang guru matematika yang dikenal
punya semangat pengabdian yang tinggi. Kemudian, agar cerita
mengalir, kita perlu juga menciptakan tokoh-tokoh lain yang
berpotensi menimbulkan konflik pada diri Kamil. Misalnya, Pak
Joni, kepala sekolah yang doyan suap, Pak Brono, konglomerat
sekaligus orang tua salah satu murid Kamil (Cindy) yang kaya,
memanjakan anak, gemar kolusi dan korupsi, dan seterusnya.
Ratri, istri Kamil yang gampang tergoda materi di tengah hidup-
nya yang miskin. Kemudian Cindy, siswa kelas dua SMU Ha-

48
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

rapan Bangsa yang malas, suka pacaran, gemar inex dan sabu-
sabu, ingin sukses tetapi tak mau kerja keras, dan seterusnya.
Ketiga, menentukan persoalan. Persoalan apa yang bisa berpo-
tensi menimbulkan konflik. Misalnya saja, keinginan Pak Brono
untuk menyuap Kamil agar mau membocorkan soal-soal ujian
matematika dengan imbalan uang sepuluh juta rupiah demi
kenaikan kelas anaknya (Cindy).
Keempat, membuat sinopsis sebagai acuan penceritaan.
Namun, dalam praktiknya, tidak selalu sinopsis itu menjadi pa-
tokan cerita. Bisa saja, cerita berkembang dalam penulisan.
Misalnya, sinopsis itu berbunyi begini:

Kamil, guru matematika dikenal jujur dan punya semangat


pengabdian yang tinggi. Menjelang ulangan umum kenaikan kelas, di
rumahnya, ia didatangi oleh Pak Brono yang bermaksud “membeli”
soal-soal ulangan matematika. Pak Brono mengajukan imbalan yang
sangat besar, misalnya Rp10 juta kepada Kamil secara tunai. Soal-soal
ujian itu dibeli untuk Cindy anaknya yang memang “pembenci mate-
matika”, agar bisa naik kelas. Kamil bimbang. Ia terombang-ambing
antara menerima atau menolak tawaran yang sangat menggiurkan itu.
Di tengah kebimbangan itu, Pak Brono justru mendesaknya dengan
berbagai rayuan. Kamil panik. Dan Kamil akhirnya tak bisa menentukan
sikapnya. Akhirnya ia minta waktu untuk “pikir-pikir”.
Sepulang Pak Brono, Ratri, istri Kamil, mengeluh soal keuangan
(bayar kontrakan rumah, bayar sekolah tiga anak, beli susu dan sembako
lainnya, dan seterusnya). Kamil pusing melihat istrinya yang marah
karena Kamil tidak tegas dalam menyikapi tawaran Pak Brono. Ratri
mendesak suaminya agar mau menerima tawaran itu. Tapi Kamil tak
memberikan jawaban pasti. Ia ingin konsultasi dengan Pak Joni, kepala
sekolah.
Di ruang kepala sekolah, dalam pertemuan berdua dengan Pak
Joni, Kamil mengalami kesulitan untuk mengatakan persoalan yang
sesungguhnya. Ia takut Pak Joni tersinggung dan marah. Namun
akhirnya ia nekad mengatakan persoalan yang sesungguhnya. Di luar
dugaan, bukannya Pak Joni marah, tapi malah “menganjurkan”. Menu-
rut Pak Joni, tak ada salahnya kita berbaik hati pada orang lain dengan
“membocorkan” soal ulangan. Bukankah kita ini sudah terlalu lama

49
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

jujur? Tentu saja, bicara begitu Pak Joni ada maunya. Ia minta bagian
separoh.
Jawaban Pak Joni membuat hati Kamil makin risau. Bagaimana
mungkin, Pak Joni yang dulu dikenal sebagai orang jujur kini berubah?
Tapi, di sisi lain, mengingat kebutuhan keluarganya yang tinggi, Kamil
pun punya pikiran lain: menerima tawaran Pak Brono.
Pada waktu yang dijanjikan, Pak Brono datang menagih kesang-
gupan Kamil. Kamil cemas. Bingung. Juga tergoda melihat segepok
uang yang dibawa Pak Bronto. Terjadi pertarungan batin dalam diri
Kamil, antara menolak dan menerima tawaran yang sangat meng-
giurkan itu. Berulang kali, istrinya memanggil Kamil ke dalam kamar,
dan mendesak agar Kamil menerima tawaran itu. Di benaknya, muncul
pula wajah Pak Joni yang “mendukung” Kamil untuk “menjual” soal.
Dalam pertarungan itu Kamil akhirnya memutuskan: menolak
tawaran Pak Brono. Ini membikin Pak Brono marah dan merasa dire-
mehkan. Namun, Kamil hanya punya satu jawaban: “saya tidak bisa!”.
Istri Kamil pun marah dan menganggap Kamil bodoh. Namun, Kamil
tetap dalam pendiriannya.

Kelima, membuat treatmen atau urutan adegan yang mem-


bentuk alur cerita. Adegan yang dimaksud adalah peristiwa yang
terjadi dalam setting waktu, setting tempat, setting persoalan, yang
melibatkan para tokoh.
Sinopsis—sebut saja judulnya Guru Kamil—bisa dibagi dalam
beberapa adegan.
ADEGAN 1:
Pertemuan antara Kamil dan Cindy di ruang kantor sekolah,
siang, sesudah jam pelajaran. Mendekati ulangan umum kenaikan
kelas, Cindy dipanggil Kamil karena ia tak pernah menggarap
PR matematika. Kamil akan memberikan sanksi kepada Cindy—
tidak boleh mengikuti pelajaran matematika—jika gadis manja
itu tidak mau menggarap PR. Cindy takut juga dan berjanji untuk
mengerjakan PR. Sebelum meninggalkan ruangan, Cindy ber-
tanya di mana rumah Kamil. Tanpa curiga Kamil memberikan
alamatnya.

50
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

ADEGAN 2:
Setelah Cindy pergi, Kamil keluar ruangan. Di ruang guru,
Kamil berpapasan dengan Pak Joni. Pak Joni mengungkapkan
kebanggaannya atas semangat pengabdian Kamil. Kamil pun
pamit pulang.

ADEGAN 3:
Di rumah, sore hari, Kamil sedang sibuk membaca koran.
Ratri, istrinya datang membawa kopi panas. Kamil langsung
minum kopi itu. Ia merasakan kopi itu pahit. Istrinya bilang tidak
hanya gula yang habis, tapi juga beras, susu, minyak goreng,
dan lain-lain. Malah pemilik rumah menagih uang kontrakan.
Sri, Atun, Arum (anak-anak Kamil) harus bayar sekolah, dan
seterusnya. Kamil panik.
Di tengah kepanikan itu, muncul Pak Brono yang turun dari
BMW seri 7. Perkenalan berlangsung hangat. Pak Brono membe-
rikan oleh-oleh sekaleng biskuit dan beberapa kaleng susu. Bu-
kan main gembiranya hati Ratri.
Pak Brono memohonkan maaf atas kelalaian Cindy yang
tidak pernah menggarap PR. Ia meminta banyak permakluman
Kamil atas diri Cindy. Misalnya, Cindy terlalu sibuk di luar jam
sekolah karena mengikuti berbagai kursus (piano, renang, mo-
delling, dan lain-lain), yang sesungguhnya merupakan alasan
yang dicari-cari Pak Brono untuk membela anaknya. Mendengar
anaknya yang tidak masuk akal itu, Kamil menganjurkan Pak
Brono untuk memindah Cindy ke sekolah yang lebih tepat. Na-
mun, hal ini buru-buru ditukas Pak Brono bahwa anaknya tetap
ingin lulus dari SMU Harapan Bangsa, sebuah sekolah favorit.
Tanpa ragu dan malu (orang materialistis dan egois biasanya
tidak tahu malu), Pak Brono menawarkan kerja sama. Ia minta
Kamil membocorkan soal-soal ujian matematika dengan imbalan
Rp10 juta. Kamil panik. Berbagai godaan muncul namun disusul
dengan kebimbangan untuk menerima tawaran menggiurkan
itu. Kamil tak bisa memutuskan.

51
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Pak Brono pamit, dengan meninggalkan seamplop uang di


meja. Namun, hal itu buru-buru ditolak Kamil. Ada percekcokan
setelah Pak Brono pulang. Istri Kamil marah-marah karena
suaminya menolak uang dan tidak tegas menerima tawaran
“kerja sama” Pak Brono.

ADEGAN 4:
Di ruang kepala sekolah, siang, seusai bubaran sekolah, Kamil
menemui Pak Joni untuk konsultasi. Di luar dugaan, ternyata
Pak Joni justru “menganjurkan” Kamil untuk menerima tawaran
Pak Joni. Dengan catatan ia minta separoh bagian. Pak Joni ber-
alasan bahwa sudah lama orang macam dia dan Kamil selalu
jujur, namun nasibnya tak pernah ada enaknya. Kamil bimbang.
Ia pun pulang.

ADEGAN 5:
Di rumah Kamil, kembali berlangsung pertemuan antara Pak
Brono dan Kamil. Pak Brono minta ketegasan Kamil mengenai
“jual-beli” soal matematika. Terjadi ketegangan pada diri Kamil.
Di satu sisi ia ingin menolak tawaran itu. Tindakan itu tak hanya
menciderai komitmen/dedikasi sebagai guru, namun juga me-
langgar nilai, etika, moral, dan hukum (tentu saja kalimat konsep
dan gagah ini tidak dihadirkan begitu saja dan mentah, melain-
kan dihadirkan lewat simbol-simbol atau peristiwa).
Namun, kemudian, kebimbangan kembali menyergap Ka-
mil: untuk apa mempertahankan moral jika hidup sengsara? Ba-
yangan wajah istrinya, wajah Pak Joni, wajah-wajah anak-anak-
nya yang butuh uang untuk membayar sekolah, berkelebat dalam
benak Kamil, susul-menyusul mendesak Kamil untuk menerima
tawaran itu. Kepala Kamil terasa berat. Dada Kamil terasa sesak.
Kamil mendadak pingsan. Pak Brono dan Ratri, istri Kamil, ce-
mas, bingung, dan memberikan pertolongan sebiasanya. Bebe-
rapa menit kemudian, Kamil sadar dan mengucap bahwa ia me-
nolak tawaran Pak Brono untuk membocorkan soal.

52
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Kerangka cerpen Guru Kamil di atas mengandung alur yang


linear, lurus. Jika kita menggambarkan struktur cerita itu, kita
akan menemukan empat bagian seperti berikut ini.
Bagian pertama (adegan 1-2) merupakan pemaparan persoalan.
Bagian kedua (adegan 3-4) merupakan penggentingan atau
penggawatan menuju konflik. Di sini persoalan semakin
kompleks.
Bagian ketiga (adegan 5) merupakan puncak konflik, sekaligus
peleraian atau penyelesaikan konflik.

Tentu saja, bentuk cerpen tidak harus alfabetis macam di


atas. Cara bercerita berurutan merupakan cara paling sederhana
yang bisa dilakukan, termasuk dalam belajar menulis cerpen.
Jika sudah terbiasa dan menguasai keterampilan teknik, seorang
penulis bisa saja “mengacak” urutan itu. Misalnya, ia menulis
dari tengah (adegan 3 dan 4) kemudian bergerak ke awal (ade-
gan 1 dan 2) dan menuju bagian akhir (adegan 5). Tentu saja,
untuk mencapai itu, seorang penulis harus mampu menggunakan
teknik penceritaan kilas balik, dari sudut pandang tokoh utama
sekaligus pusat penceritaan.
Selain itu, dalam mengungkap cerita, penulis bisa bertindak
sebagai narator, orang yang bercerita atau sebagai pelaku langsung
yang menjadi tokoh sentral yang lazim menggunakan tokoh “aku”
atau “saya”. Semua cara bisa diambil, tergantung dari pencapaian
estetik yang hendak diraih.

53
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

54
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

USAHA MENYUSUN CERITA


Agus Noor

APAKAH yang dimaksud dengan cerpen? Pertanyaan sema-


cam itu kadang sangat krusial dalam pengenalan maupun peng-
ajaran sastra. Meski dalam proses kreatif bersastra atau menulis
karya sastra, pertanyaan itu kadang diabaikan. Cerpen adalah
akronim dari cerita pendek. Dinamakan cerita pendek karena
sruktur cerita dan bentuk formal cerita itu memang (biasanya)
pendek. Kalau mau memakai format folio, rata-rata cerpen berki-
sar antara 6—8 halaman. Tentu bisa lebih pendek, bisa juga lebih
panjang. Banyak kritisi sastra mengatakan, cerita dengan panjang
seperti itu biasanya bisa dihabiskan “sekali duduk” ketika me-
nunggu bus atau menanti giliran di ruang tunggu dokter, misal-
nya. Karenanya, cerpen sering juga dikatakan sebagai cerita yang
habis dibaca sekali duduk. Tetapi, sesungguhnya bukan hanya pan-
jang-pendeknya halaman atau cepat-lamanya waktu membaca
yang menjadi penilaian apakah sebuah cerita dinamakan cerpen
atau bukan, tapi juga kompleksitas persoalan yang dijabarkan (atau
meminjam istilah Bakdi Soemanto: underan) dalam cerita itu.
Cerpen lebih cenderung berupa cerita dengan “kesan tunggal”
atau dalam istilah Eudora Welty: “Suatu yang berawal dan ber-
jalan terus lalu berakhir dalam satu garis kurva tunggal”. Jadi
meski cerita itu berformat panjang, menghabiskan berhalaman-

55
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

halaman folio, apabila stuktur cerita atau plot ceritanya terkesan


tunggal, maka cerita itu bisa kita katakan sebagai sebuah cerpen.
Begitulah, meski kita sudah teramat biasa menjumpai cer-
pen, membacanya, dan tahu namanya, tapi agak sulit merumus-
kannya secara pasti. Dan memang, rasanya kita tak perlu kepas-
tian definisi bentuk sastra, apabila kita mau langsung terjun ke
soal-soal teknis dan praktis penulisan. Meski, sekali lagi, bagi
kepentingan pengajaran dan ilmu sastra tentulah batasan amat
diperlukan agar wilayah kajian bisa dikenali dan diidentifikasi
dengan lebih pasti. Tapi rasanya, untuk keperluan Bengkel Sastra
ini, kita bisa sejenak atau terlebih dulu mengabaikan hal tersebut.
Karena yang lebih penting adalah bagaimana kita masuk ke da-
lam pengalaman bersastra, yaitu pengalaman mencipta karya
sastra, yang dalam hal ini adalah cerpen. Dan pengalaman sema-
cam itu, biasanya bersifat personal. Artinya, setiap orang, indi-
vidu pengarang, memiliki tahapan-tahapan tersendiri dalam me-
nulis cerpen, yang bisa jadi agak sulit dijelaskan. Inilah kenapa,
setiap mereka yang memang ingin belajar menulis sastra, meski
mencoba mengenali diri sendiri melalui proses latihan menulis
yang terus-menerus, sampai ia kemudian menyadari betapa ia
telah lancar menulis cerita. Seperi juga orang naik sepeda, pasti,
pertama ia akan kesulitan, terjatuh dan putus asa. Tetapi apabila
ia terus mencoba, maka dengan sendirinya ia jadi bisa. Setelah
bisa, maka ia akan “mempercanggih” teknik-teknik menjalankan
sepeda: bagaiman cara menikung, menyusup di sela-sela kenda-
raan, melintasi bebatuan terjal, dan lain-lain. Semakin berpeng-
alaman, semakin mahirlah ia. Begitu pun menulis cerpen.
Pertama, tentu kita memang punya niat (kuat dan besar)
untuk bisa menulis cerpen. Kedua, kita menjalaninya dengan sepe-
nuh hati, dengan perasaan cinta, tidak terpaksa. Ketiga, apabila
kita memang sudah mencintainya, mau memutuskan terjun ke
dunia tulis-menulis, maka kita mencoba mengakrabinya, menge-
nalnya lebih dalam. Dalam konteks penulisan cerpen, kita bisa
melakukannya melalui kegemaran membaca-baca apa saja (yang

56
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

bermutu tentu!), terlebih-lebih membaca cerpen-cerpen yang su-


dah ada. Keempat, bacalah cerpen-cerpen itu sekali lagi, kalau
perlu berkali-kali, sebagai cara kita belajar darinya. Kita pelajari
cara bercerita, cara menyusun dan menggambarkan adegan.
Dialog-dialognya, dan bagaimana cara cerita itu diselesaikan.
Kelima, yang paling penting, mulailah menulis. Bikin kerangka
cerita atau gambaran cerita yang akan kita tulis. Atau kalau pu-
nya imajinasi yang kuat, susunlah sebuah cerita, kita bayangkan
adegan, dialog, konflik dan persoalannya, kemudian cobalah
tulis!
Masih nggak bisa? Rasanya begitu sulit? Berkali-kali mencoba
menulis tetapi masih saja kecewa? Tentu, kalau sungguh-sungguh
berminat dan punya niat untuk jadi penulis, itu tak akan membuat
kita putus asa. Kuncinya, coba dan coba terus, sampai kita target
sendiri betapa sebuah cerita telah lahir dari tangan kita. Betapa!
Kalau kamu masih putus asa, kamu bisa meniru iklan di televisi
itu, tekadkan dalam hati-atau berteriaklah: “Ayo kamu pasti
bisa!!!”
Kalau masih saja merasa perlu sebuah jurus, ada baiknya kita
mencoba cara yang “berlaku umum” dalam hal menulis cerita.
Sekali lagi, ini adalah gambaran struktur cerpen pada umumnya.
Biasanya terdiri dari: (1) bagian awal/pembukaan, (2) bagian tengah/
konflik, (3) bagian akhir/penyelesaian konflik. Kita bisa merancang
sebuah cerita dalam tiga bagan itu. Bagaimana cerita akan kita
mulai? Atau bagaimanakah kita mesti memulai sebuah cerita?
Bagian awal, biasanya diperkenalkan tokoh, atau latar, per-
soalan yang dihadapi. Pada bagian awal ini biasanya juga sudah
membayang konflik atau persoalan yang hendak dipaparkan se-
lanjutnya. Karena itu, bagian awal diusahakan semenarik mung-
kin, tak usah bertele-tele. Dengan kata lain, ringkas padat, tapi
tak kehilangan daya tarik. Ini penting untuk merangsang keingin-
tahuan (curiosity) pembaca. Bagian tengah adalah pengembangan
konflik yang menggiring cerita menuju klimaks, sedang pada
bagian akhir adalah pemecahan atau penyelesaian dari konflik

57
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

tersebut. Kita bisa merancang cerita dengan bagan itu. Sebagai


contoh, misalkan kita mencoba membuat cerita tentang Ani yang
tertekan karena bapaknya ketahuan korupsi.
Bagian awal:
Di sekolah Ani merasa dikucilkan oleh kawan-kawanya. Tak seperti
biasanya, sohibnya seakan menjaga jarak. Padahal dulu mereka begitu
dekat. Ke kantin bersama atau pergi ke mall belanja sepulang sekolah.
Dan biasanya, Ani yang membayari mereka semua. Tapi kini mereka
mencibir. Itu karena berita di koran tentang bapaknya yang dituduh
melakukan tindak korupsi. Di kelas Ani begitu tertekan. Semua mata
seakan melirik dan menatap tajam padanya. Bahkan Anton, yang selama
ini lembut padanya, tatapan matanya begitu tajam menghujam. Padahal
selama ini Ani suka pada mata Anton yang lembut, hitam dan mem-
buatnya selalu merasa tenang bila bertatapan. Ya, Ani, diam-diam
memang memendam harapan pada cowok bermata elang itu. Tapi mata
itu, kini, terasa merobek jantungnya.

Bagian tengah:
Karena tak tahan dengan itu semua, Ani memutuskan untuk bolos.
Ia membenci kawan-kawannya itu. Ia benci pada papanya. Di rumah, ia
menangis, mengurung diri dalam kamar. Tak dipedulikan ibunya yang
mencoba membujuk. ia tiba-tiba membenci semua yang dimilikinya.
Selama ini dia bangga sebagai anak orang kaya. Tapi kini, kekayaan
itu malah menjadi beban baginya. Ia robek-robek foto Anton, yang diam-
diam disimpannya. Berhari-hari ia tak mau sekolah. Ia merasa semua
kawannya sudah tak menghargainya, tak ada yang mau lagi berteman
dengannya.

Bagian akhir:
Di puncak rasa putus asanya, suatu sore, Ani tiba-tiba dikejutkan
oleh kedatangan Cristin, kawan sekelasnya. Bagaimana ia tak kaget,
karena selama ini ia begitu membenci Cristin. Ia senang meledeknya
sebagai gadis udik yang miskin. Itu karena potongan rambutnya yang
panjang dan dikepang, ih, sungguh kuno. Apalagi Cristin satu-satunya
siswa di SMU mereka yang kalau ke sekolah naik sepeda. Padahal ia
selalu diantar BMW. Ia selalu menertawakan Cristin, sengaja membuat
gadis itu bahan olok-olokan, pokoknya Ani paling senang kalau ia bisa
mengejek Cristin habis-habisan. Eh, bagaimana mungkin gadis itu kini

58
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

datang ke rumahnya. Apalagi Ani tak mengalami kejadian yang


menimpa ayahnya, pasti ia akan menyuruh pergi Cristin. Mengusirnya.
Tapi, kini, ia tiba-tiba diliputi rasa haru, begitu menyesal telah berbuat
jahat pada Cristin. Apalagi begitu tahu, ternyata Cristin datang
membawa catatan pelajaran, dan mempersilahkan Ani meminjam
catatan itu untuk belajar karena akan diadakan ujian. Cristin seakan
tak pernah mempersoalkan semua kelakuan Ani di waktu lalu. Cristin
begitu tulus mengulurkan tangan persahabatan. Ani, ingin menangis,
begitu terharu, tapi hanya bisa menatap Cristin menuntun sepeda keluar
pagar halaman rumahnya yang besar dan mewah. Ani termangu
menyaksikan bayangan Cristin yang segera hilang dari pandangan,
tapi tak mungkin hilang dari dalam hatinya. Kini Ani tahu, Bagaimana
mesti menghargai seorang kawan, meski tadi keangkuhannya masih
juga membuatnya menahan diri untuk meminta maaf pada Cristin.
Tapi kini Ani tahu apa yang mesti dilakukannya. Besok ia akan masuk
sekolah, tegar menghadapi tatapan semua temannya, karena ia sudah
tau mana kawan sejati. Ia akan meminta maaf pada Cristin…

Jakob Sumardjo pernah membuat skema seperti, yang saya


kira ada baiknya juga kita kenali:
Bagian Awal Bagian Tengah Bagian Akhir
(5-10%) (80-90%) (5-10%)
1. perkenalan 1. perkembangan 1. pemecahan
2. munculnya konflik 2. suspens konflik
3. klimaks 2. suprise

Itu adalah contoh, bagaimana kita menyusun kerangka cerita


ke dalam tiga bagan. Tentu, bagan itu hanyalah satu cara memu-
dahkan kita mengembangkan cerita. Tak harus terlalu sesuai
skema yang kita buat. Karena bisa saja, ketika kita mulai menulis-
kannya, di tengah cerita tiba-tiba ada ide yang menyelusup ma-
suk dan memelencengkan struktur cerita yang telah kita buat.
Itu tak apa, selama memang membuat cerita lebih baik dan kuat.
Karena di situlah misterinya kita mengarang cerita: imajinasi
kita berkembang sampai pada hal-hal yang tak kita duga.

59
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Memilih Adegan atau Momen Kejadian


Setelah kita merancang kerangka cerita, kita bisa mulai
membayangkan detail adegan cerita tersebut. Adegan-adegan itu,
tentu kita seleksi, kita pilih, mana yang kira-kira mendukung
suasana dan juga dramatika cerita. Kita bisa coba satu contoh.
Misalkan kita mau bercerita soal Pak Karim. Seorang petani,
yang sedang gelisah, berkaitan dengan rencana pembuatan
lapangan golf yang akan menggusur sawahnya. Kita bisa
membuat skema seperti berikut.
Adegan: Setting: Suasana Konflik
Pak Karim duduk terme- Teras rumahnya: ada Sunyi, mengendap, Pak Karim tak bisa
nung di lincak, pikiran- amben dari bambu, tapi menggelisahkan menerima rencana
nya melayang dan melamun kursi yang reot, dan terutama hati Pak Ka- pembikinan lapangan
Istri Pak Karim, keluar malam yang sepi, rim, yang cemas akan golf itu. Warga desa
membawa kopi. keresik daun, suara nasib sawahnya. juga banyak yang
jangkrik, sayup-sa- menolak.
yup terdengar lenguh
lembu dll.

Dari “desain adegan” seperti itu, kita bisa menuliskan, misalkan


seperti ini:
Sudah jauh malam, tetapi Pak Karim masih saja duduk tercenung
di teras rumahnya. Menghisap kretek, menerawang, seakan hendak
menguak rahasia bentangan kegelapan. Sepotong bulan terapung. Sa-
yup-sayup terdengar lenguh lembu, seperti suara orang yang mengeluh.
Gelisah mengendap. Pelan Pak Karim menarik napas, seakan lenguh
lembu itu muncul dari kedalaman hatinya, menggema dalam dada.
“Bagaimana, Pak?” Istri Pak Karim, yang baru muncul membawa
secangkir kopi bertanya, megusik. Namun Pak Karim seakan tak men-
dengarnya. Ia terus memandang ke kejahuan. Ia lihat daun nangka
gugur, dan itu adalah nasibnya yang luruh tanpa daya. Rencana pem-
buatan lapangan golf itu sudah pasti. Tadi siang, Pak Lurah sudah
kembali mengingatkan hal itu dalam pertemuan di Balai Desa. Para
penduduk diminta menandatangani dan menerima ganti rugi. “Pem-
buatan lapangan golf itu untuk kepentingan desa kita juga, Bapak-
bapak. Ini untuk meningkatkan potensi wisata yang selama ini terbeng-
kalai. Desa kita akan didatangi orang kota, desa kita akan terkenal,
akan maju dengan pesat….” Kata-kata Pak Lurah itu kembali terngiang
dalam telinga Pak Karim. Kalau itu untuk kemajuan, kenapa ganti
ruginya begitu rendah? Itulah yang membuat Pak Karim tidak bisa
menerima…dan seterusnya…dan seterusnya…
60
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Itu hanyalah contoh. Hal yang penting dicatat sesungguh-


nya adalah bagaimana kita memilih adegan atau momentum
kejadian yang mendukung struktur cerita. Ini untuk menghindari
cerita yang bertele-tele, karena bagaimanapun cerpen mesti
“selektif” dalam mengungkap dan mengembangkan cerita. Un-
tuk menentukan adegan atau momentum itu, kita bisa bertanya
pada diri sendiri: Apakah adegan itu cukup atau relevan kuat
mendukung cerita? Apakah adegan itu begitu penting untuk
memperkuat struktur cerita?
Pemilihan atau penggambaran adegan biasanya juga
berfungsi untuk melukiskan setting sosial dan psikologi tokoh,
watak, karakter, sikap tokoh-tokoh yang diceritakan. Dengan
begitu, satu adegan atau momentum kejadian yang baik bisa
merangkum banyak nuansa—membuat cerpen bersifat prismatis:
meski pendek, bisa “menceritakan” (terbayang) keseluruhan ke-
jadian dan sejarah tokoh yang diceritakan.
Skema cerita, tentu hanyalah satu cara. Kita bisa saja me-
niadakan itu. Karena yang penting bukanlah skema itu, tetapi
bagaimana kita mengembangkan imajinasi. Jadi kita bisa saja
menuliskan semua imajinasi yang melintas di kepala. Kita tulis
semuanya, yang menarik untuk kita ceritakan. Baru setelah se-
lesai, dan kita membaca ulang, maka kita bisa menilai/mengo-
reksinya: mana yang kira-kira dibuang, mana yang mesti diper-
tahankan, mana yang dikembangkan lagi, dan mana yang kira-
kira kita perpadat adegannya atau mungkin narasinya. Jadi ja-
nganlah bosan-bosan menulis ulang cerita yang kita bikin. Proses
editing ini perlu, di samping untuk mengupayakan cerita kita
jadi lebih menarik, juga untuk mengasah “kepekaan” kita akan
dramatika cerita. Pada satu saat, bisa jadi, kita tak lagi merasa
perlu membuat “skema cerita”, karena skema itu telah tumbuh
dengan sendirinya pada diri kita: naluri bercerita kita tumbuh
dengan sendirinya.
Kita sudah punya skema cerita, sudah berusaha menyusun
cerita dan telah memilih adegan atau momen-momen yang “per-

61
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

lu” untuk mendukung struktur cerita. Ada baiknya kini kita men-
coba melihat satu cerpen untuk kita pelajari. Setidaknya kita
bisa melihat “sejauh mana” teoritisasi yang telah kita pahami
“tampak” dalam satu cerpen. Juga, mempelajari cerpen orang
lain/cerpen yang “sudah jadi” sangat diperlukan untuk mengem-
bangkan “naluri bercerita” kita. Sebagaimana yang sudah dite-
kankan, membaca karya yang sudah ada, hukumnya wajib bagi
seorang penulis.
Untuk keperluan itu kita pilih cerpen “Lurah Mungka-
ruddin” karya Harris Effendi Thahar (Kompas, Minggu, 14
September 1997). Cerpen ini, kalau kita bagi menjadi tiga bagian
(awal, tengah, akhir), bisa kita urai seperti ini:
Adegan awal diceritakan tokoh “Saya” yang duduk di teras,
membaca-baca bahan yang akan ia ceramahkan di masjid. Saat
itulah muncul Samsu, tergopoh-gopoh, mengabarkan bahwa acara
pengajian dibatalkan oleh Pak Lurah, tanpa alasan yang jelas.
Dari bagian awal ini kita sudah mulai merasa adanya konflik
antara “warga desa” dengan Pak Lurah. Itu berkaitan dengan
ketidaksukaan para warga pada tabiat Pak Lurah yang, kata-
kanlah, korup.
Di bagian tengah, “saya” mengalami konflik batin. Terlebih-
lebih ketika ia mendapat surat dari Pak Lurah, diminta meng-
hadap. Ayahnya menasehati untuk hati-hati. “Saya” memutuskan
menemui Pak Lurah, dan ia menyerahkan diri pada Tuhan, ber-
doa menghadapi itu semua. Setelah sholat subuh, ‘saya” diantar
oleh orang suruhan Pak Lurah naik mobil carry.
Kemudian di bagian akhir, “saya” bertemu Pak Lurah. Sete-
lah basa-basi, Pak Lurah langsung ke pokok persoalan, yang
ternyata menyangkut masalah ganti rugi. Pak Lurah bermaksud
meminta bayaran pada “saya” soal pembangunan jalan yang be-
lum juga dibayar oleh ayah “saya”. Jelas itu hanyalah “omong
kosong” Pak Lurah, yang membuat “saya” jadi menahan geram.
Sampai ketika tak bisa menahan kesabaran lagi, “saya” akhirnya
pergi meninggalkan rumah Lurah Mungkaruddin.

62
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Cerita sederhana, bukan? Apa yang membuatnya menarik?


Salah satunya terletak dalam penggambaran watak tokohnya
yang begitu hidup. Sosok pejabat, dalam hal ini Lurah, yang
suka mungkar, mengada-ada, pintar beralasan, menjadi “potret”
yang kuat. Kita seakan “disadarkan” betapa tokoh-tokoh seperti
Lurah Mungkaruddin, banyak terdapat di sekeliling kita.
Mari kita kutip bagaimana sosok Lurah Mungkaruddin
digambarkan:
“…Wajahnya yang bulat, berbadan tambun dan memakai safari cokelat,
berkopiah dan bercincin akik besar-besar di kedua belah jari
tangannya…..meski usianya sudah di atas enam puluhan, wajahnya
tampak lebih muda dan berwibawa.”

Sementara kelakuan Pak Lurah digambarkan melalui percakapan


“saya” dan Samsu, seperti ini:
“Siapa saja yang menjual tanahnya kepada pejabat-pejabat di kota,
Kades Mungkar yang menentukan harganya per meter. Belum lagi
kontribusi atau sumbangan untuk kas desa dua setengah persen,” cerita
Samsu.
“Kaya dia sekarang ya?”
“Tidak kaya lagi, sudah konglomerat. Tuan tanah. Kemana orang desa
ini akan menggadaikan kalau tidak ada dia? Satu kampung ini boleh
dikata dia yang puya,” lanjut Samsu dengan suara berbisik tapi keras
juga. Seakan-akan di setiap pojok kampung ada telinga Kades
Mungkaruddin.

Dari dialog itu, tergambar watak tokoh Pak Lurah. Secara teknis
bercerita, itu memperlihatkan, betapa watak atau sosok satu
tokoh bisa digambarkan melalui narasi (atau diceritakan secara
langsung—seakan menghadirkan tokoh itu agar dikenal pem-
baca) atau dilukiskan melalui percakapan (atau penggambaran
tidak langsung—yang dengan sendirinya, pembaca juga akan
tahu). Atau karakter itu tidak usah diceritakan secara eksplisit,
tetapi cukup melalui pilihan adegan dan pelukisan suasana hati.
Seperti tokoh Samsu, yang disebut sebagai guru ngaji itu, atau
tokoh “saya” sendiri.

63
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Kemudian, mari kita urai, setting tempat dalam cerpen itu.


Di pembukaan cerita, “saya” duduk di beranda, sudah siap un-
tuk memberikan ceramah agama sambil “membalik-balik buku
tafsir Al Qur’an, untuk sekadar menghafal terjemahan beberapa
potong ayat”. Saat itulah Samsu datang tergopoh-gopoh, menga-
barkan pembatalan pengajian. Setelah agak malam, keduanya
masuk ke ruang tengah, duduk sambil minum kopi di meja
makan. Ayah “saya” ikut bergabung. Mereka terus ngobrol soal
Pak Lurah, hingga “saya” yang sudah lama tak pulang kampung
jadi mengerti duduk perkaranya. Saai itulah, muncul “anak mu-
da” mengantar surat dari Pak Lurah yang meminta “saya” datang
besok pagi. Besoknya, di masjid, setelah selesai sholat subuh,
“saya” berangkat ke rumah Pak Lurah.
Ada baiknya, di sini kita cermati cara pelukisan rumah itu,
yang meski pun dalam satu paragraf tetapi efektif:
Rumahnya kelihatan jauh beda dibanding dua puluh tahun yang
lalu, jauh berubah megah. Di samping rumah itu berdiri pula sebuah
bangunan yang agaknya tempat penggilingan padi karena di depannya
terhampar jemuran padi dari semen yang cukup luas…
Di ruang tamu yang luas dan kursi yang bergaya modern…

Kalau kita coba buat skema, tempat dan suasananya kira-kira


seperti ini:
1. Di beranda kira-kira menjelang isya, beranda itu diterangi
lampu 20 watt.
2. Pembicaraan dilanjutkan di ruang tengah.
3. Menjelang tidur (bisa kita duga, berarti berlangsung di ka-
mar tidur “saya”) saya mencoba merenungkan semua cerita
yang didengarnya, sekaligus mengingat gambaran Pak
Lurah yang samar-samar dikenalnya.
4. Di Masjid, ketika sholat subuh.
5. Di rumah Pak Lurah.

64
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Lima poin di atas, dapat kita kembangkan lebih lanjut de-


ngan menggunakan skema adegan yang pernah kita pelajari.
Artinya, kita bisa kembangkan lebih jauh, menurut gaya bercerita
kita sendiri. Cara ini, sedikit banyak akan membantu kita untuk
melatih memilih dan membangun sebuah adegan yang efektif
mendukung struktur cerita. Sebagai cara belajar, mungkin, hal
semacam itu akan melatih “kepekaan bercerita” kita.

65
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

66
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

SENI BACA CERPEN DI PENTAS


Sri Harjanto Sahid

Seni pembacaan cerita pendek (cerpen) masih sangat muda


usianya. Belum begitu populer. Jauh kalah populer dibandingkan
dengan seni baca puisi. Meski begitu, jika sebuah pembacaan
cerpen dapat dilakukan dengan baik, bisa jadi akan jauh lebih
menarik dibandingkan sebuah pembacaan puisi. Hal itu terjadi
karena bahasa cerpen umumnya lebih cair, komunikatif, dan
gampang dipahami sehingga pembacanya pun lebih bebas ber-
ekspresi. Di sisi lain, pendengarnya pun dapat lebih santai tanpa
susah-susah memberikan penafsiran sebagaimana kalau mende-
ngarkan pembacaan puisi.
Alangkah sulitnya menuliskan sebuah uraian mengenai seni
pembacaan cerpen yang baik, jauh lebih sulit dari pada menulis
puluhan cerpen. Di mana referensinya bisa dicari? Sudah adakah
orang yang menuliskan tentang masalah ini dengan cukup layak
dan dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya? Betapa sukar
mendapatkan keterangan yang memadai dari berbagai pihak
untuk menyusun sebuah uraian yang cukup layak mengenai seni
pembacaan cerpen.
Akhirnya, lebih nyaman kalau saya hanya memaparkan
pengalaman saya sendiri selaku pembaca cerpen. Tentu saja pe-
ngalaman saya sangat terbatas sehingga apa yang saya uraikan
akan sangat banyak kekurangannya. Sifatnya pun sangat subjektif

67
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

dan mungkin kurang bisa dipercaya serta kurang bisa dipertang-


gungjawabkan secara ilmiah. Karena itu, paparan ini janganlah
dianggap sebagai sebuah metode, apalagi sebagai suatu rumusan.
Tulisan ini hanya sebagai masukan ringan saja, boleh dipercaya,
boleh tidak.

Pentingnya Keaktoran
Hal pertama yang harus disadari, sebuah pembacaan cerpen
di depan publik merupakan peristiwa teater. Nuansanya tentu
saja berbeda dengan pertunjukkan drama. Tepatnya, pembacaan
cerpen adalah peristiwa teater yang bernuansa sastra. Jadi,
nuansa sastra inilah yang harus tetap dipertahankan keberadaan-
nya, bukannya disingkirkan atau dikorbankan demi suksesnya
pertunjukan semata-mata. Seorang pembaca cerpen tidak boleh
menggagahi cerpen yang sedang dibacakannya, sehingga hanya
penampilan dirinyalah yang menarik, sebaliknya makna cerpen
menjadi kabur. Akting memang sangat diperlukan tapi pembaca-
an cerpen bukanlah pertunjukkan akting. Sehebat apa pun akting
yang dilakukan, semata-mata tujuannya hanyalah untuk
mendukung sampainya makna cerpen, bukan untuk mengejar
munculnya efek-efek teateral yang tak ada kaitannya dengan
makna cerpen. Semua unsur pendukung itu digunakan hanya
secukupnya saja, jangan berlebihan dan jangan berkekurangan.
Jika berlebihan akan menenggelamkan makna cerpen. Jika berke-
kurangan, pertunjukan jadi kurang daya tariknya dan makna
cerpen otomatis kurang terkomunikasikan.
Pembacaan cerpen bisa dilakukan secara sendirian atau ber-
kelompok. Wawasan mengenai seni panggung mutlak diperlu-
kan mengingat pembacaan cerpen sudah menjadi peristiwa pang-
gung. Tentu saja wawasan panggung semata tidak cukup jika
tidak dilengkapi dengan wawasan sastra yang memadai. Tidak
semua orang panggung yang hebat bisa memanggungkan cerpen
dengan baik dan tidak semua cerpenis handal bisa mengangkat
cerpennya ke panggung dengan baik. Orang panggung memerlu-

68
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

kan wawasan sastra dan cerpenis memerlukan wawasan seni


panggung. Kita ingat, ada banyak penyair yang mencoba beraksi
di atas panggung membacakan sajak-sajaknya, tapi penampilan-
nya memilukan hati dan pantas dikasihani. Dia tampak seperti
tengah menyembelih harga dirinya sendiri, tentu saja ini gara-
gara dia tidak melengkapi dirinya dengan wawasan seni pang-
gung sebelum beraksi di atas panggung. Perihal keaktoran tak
sedikit pun dipahami dan dimilikinya. Sebaliknya, sering terlihat
para aktor dan awak panggung menghina puisi di panggung
lewat aksinya yang megah dan gagah. Kalimat-kalimat puisi di-
sampaikannya tapi maknanya tidak dibunyikan. Puisi hanya
diperalat untuk melahirkan serentetan action.
Keaktoran sangat diperlukan oleh pembaca cerpen karena
keaktoran merupakan alat untuk memperagakan diri. Alat ko-
munikasi dan alat mengekspresikan segala sesuatu yang terkan-
dung di dalam cerpen. Dengan keaktoranlah seorang pembaca
cerpen “membunyikan” kalimat-kalimat yang sudah disusun
oleh pengarang cerpen menjadi bangunan cerita. Keaktoran meli-
puti penguasaan jasmani dan rohani, teknik pemeranan, memba-
ngun watak, totalitas penampilan diri dan sebagainya. Keaktoran
merupakan jembatan utama untuk menghubungkan penonton
dengan cerpen yang tengah diekspresikan oleh seorang pembaca
cerpen. Tanpa didukung keaktoran yang mencukupi, seorang
pembaca cerpen tidak akan didengarkan dan tidak akan “terli-
hat”. Keaktoranlah yang akan membuat sebuah acara pembacaan
cerpen (bahkan) enak dinikmati oleh orang tuli dan orang buta.
Orang tuli merasa sudah cukup melihat penampilan tubuh yang
ekspresif dan berdaya tarik kuat, sedangkan orang buta bisa
puas mendengarkan musikalitas, variasi dan ekspresi pengucap-
an kalimat yang enak penyampaiannya.

Memilih Cerpen
Tidak semua cerpen yang bagus sebagai karya sastra akan
menjadi enak jika dibacakan di atas panggung. Bahkan tidak

69
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

sedikit cerpen yang luar biasa bagusnya sebagai karya sastra


menjadi sangat menyebalkan manakala dipanggungkan: tidak
enak diucapkan oleh lidah pembaca cerpen dan tidak enak di-
dengarkan oleh telinga penonton. Cerpen tersebut hanya enak
dibaca saja secara diam-diam dalam hati dan bukan dibacakan
untuk didengarkan.
Sama halnya dengan puisi dan naskah drama. Banyak puisi
yang bagus sebagai puisi, tapi alangkah sukarnya dibacakan oleh
seorang pembaca puisi yang handal sekali pun. Puisi tersebut
bila nekat dibacakan akan menjadi porak-poranda nuansanya.
Iramanya dan ritmenya jadi patah-patah, maknanya tak mau
berbunyi sebagaimana adanya. Akhirnya sang pembaca hanya
mengucapkan sederetan kalimat kosong belaka, sedangkan
muatannya tak berhasil dimunculkan. Sebaliknya, ada puisi yang
sangat gagal sebagai puisi tapi ketika dibacakan di atas panggung
mendapat tepukan meriah dan enak dinikmati penonton. Apa-
kah puisi bagus yang tak enak dibacakan itu kurang komplit
sebagai puisi? Sama sekali tidak. Memang ada puisi yang bagus
sebagai karya sastra, enak dibaca dalam hati sekaligus enak di-
bacakan dan didengarkan. Meskipun begitu bukan berarti puisi
seperti ini yang paling berhasil sebagai puisi.
Naskah drama juga begitu. Banyak naskah drama yang
ditulis para pengarang Indonesia sebelum tahun 1960-an sangat
bagus sebagai karya sastra, akan tetapi benar-benar menyulitkan
para aktor dan sutradara untuk mengangkatnya ke atas pang-
gung. Hanya enak dibaca di dalam kamar saja. Ini lebih diakibat-
kan oleh tiadanya pemahaman yang memadai dari para penga-
rang terhadap karakter dasar seni panggung. Mereka lebih ber-
asyik-masyuk dengan pengolahan kesustraannya saja, tapi ke-
mungkinan pemanggungannya tidak dipikirkan.
Kalau dalam perpuisian ada istilah puisi kamar dan puisi
auditorium, maka dalam cerpen pun istilah itu layak pula diterap-
kan. Kata “kamar” menunjukkan bahwa karya tersebut hanya

70
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

enak dinikmati sendirian di dalam kamar atau lebih tepat dibaca


di dalam hati. Sedang kata “auditorium” menunjukkan bahwa
karya tersebut sangat enak dibacakan atau diperdengarkan di
depan publik, menjadi semakin lengkap dan semakin kaya akan
kemungkinan. Tentu saja “puisi kamar” masih mungkin dibaca-
kan di depan publik jika jumlahnya hanya satu-dua buah saja.
Pernah terjadi ada penyair goblok yang nekad membacakan ber-
puluh-puluh “puisi kamar” karyanya di depan publik; akibatnya
para penonton seperti disiksa habis-habisan, apalagi pada
dasarnya penyair tersebut kurang becus membacakan puisi di
atas panggung. Namun anehnya, dia tetap enjoy meski para pe-
nonton sudah seperti diguyur air panas. Lalu apakah “cerpen
kamar” masih mungkin dibacakan di atas panggung dengan
jumlah penonton yang besar? Mungkin saja jika cerpennya benar-
benar pendek, misalkan sepertiga halaman folio, dan tentunya
ini termasuk cerpen eksperimental. Jika “cerpen kamar” agak
panjang sebagaimana cerpen konvensional yang biasa dijumpai
di media massa, bisakah dibacakan di depan publik? Ya, tetap
boleh-boleh saja kalau tujuannya memang ingin membuat para
penonton terhina habis-habisan hati nuraninya.
Jadi, problem pertama seorang pembaca cerpen adalah me-
milih cerpen yang memungkinkannya bisa meraih sukses di atas
panggung. Cerpen yang dijadikan pilihan sebaiknya adalah
cerpen yang enak ditafsirkan, dihayati, diucapkan, dan enak
ditampilkan. Enak ditafsirkan artinya modal wawasan pembaca
memang cukup untuk mendekati dan memahami cerpen itu. Mes-
ki cerpennya kaliber kakap kualitasnya, tapi kalau jangkauan
pembaca belum cukup untuk menyentuh cerpen itu maka sia-
sialah upaya pendekatannya. Akhirnya tak mungkin melangkah
ke tahapan lebih lanjut, yaitu menghayati cerpen yang akan diba-
cakan. Oleh sebab itu, kesadaran untuk berkaca diri, mengukur
kemampuan diri sendiri, sangat layak dimiliki. Tak sedikit orang
panggung yang lebih terpukau oleh nama besar pengarangnya

71
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

dan mitos karyanya, lalu mengangkatnya ke panggung hanya


untuk gagah-gagahan. Padahal dia sesungguhnya kurang mampu
menafsirkan dengan baik karya tersebut.
Enak dihayati artinya setelah tahapan penafsirannya dibe-
reskan dengan baik, karya yang bersangkutan nyaman untuk
dirasa-rasakan, diimajinasikan dan dinalurikan, asyik “disetu-
buhi”, intensitas penghayatan mengalir lancar dan tidak terpu-
tus-putus. Ini bisa terjadi bila problem-problem di dalam cerpen
itu bersinggungan erat dengan pengalaman batin dan pengalam-
an berpikir pembacanya. Kalau pacaran atau sekadar jatuh cinta
saja belum pernah, lalu bagaimana bisa mengekspresikan kein-
dahan cinta yang terkandung dalam cerpen secara tepat? Paling-
paling ya ngawur, atau asal-asalan saja.
Enak diucapkan artinya kata dan kalimat yang dipilih dan
disusun pengarangnya terasa nyaman di lidah. Tidak membuat
lidah pembaca cerpen gampang keseleo atau cepat merasa kelu.
Susunan bunyi, ritme, irama dan tata bahasanya tidak rumit se-
hingga gampang diucapkan sekaligus memiliki kekuatan teateral,
lentur dan komunikatif bila diruangkan. Sekali diucapkan, pe-
nonton bisa langsung menangkap maksudnya. Pada tataran ini
perlu disadari bahwa mendengarkan berbeda dengan membaca.
Mendengarkan orang ngomong di panggung bila kurang jelas
maksudnya maka tidak mungkin penonton meminta mengu-
langinya. Berbeda kalau membaca sendirian, jika ada kalimat
yang agak sukar ditangkap maksudnya, masih dapat diulangi
berkali-kali secara perlahan. Kalimat yang tersusun indah bila
tidak memiliki daya komunikasi tinggi manakala diucapkan oleh
seorang aktor, maka kurang memenuhi syarat sebagai bahasa
panggung. Di sinilah kuncinya, bahasa karya untuk pementasan
sangat berbeda dengan bahasa buku bacaan. Bila bahasa yang
digunakan cerpenis punya karakter kuat sebagai bahasa pang-
gung, maka cerpen itu layak dipilih untuk dipentaskan. Memang,
yang paling enak bila seorang pembaca cerpen dapat menulis
cerpen sendiri.

72
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Enak ditampilkan artinya cerpen tersebut memberikan pe-


luang besar bagi pembaca cerpen untuk tampil sekreatif mung-
kin. Ada keleluasaan berakting dan berekspresi yang ditawar-
kan. Bangunannya sedemikian rupa sehingga pembaca cerpen
dapat mengembangkan permainan dan daya tarik artistiknya
dari detik ke detik. Makin lama makin menarik, makin berkem-
bang dan makin memancing rasa penasaran penonton untuk
mengikuti arus cerita menuju klimaks dan selesaian. Kemungkin-
an, daya tarik ini terdapat juga pada segi audio maupun visuali-
sasinya. Cerpen yang dibacakan kaya akan kemungkinan pang-
gung, inspiratif bagi pemanggung sekaligus bagi penonton. Bu-
kankah sebuah pertunjukan pada akhirnya merupakan sebuah
upacara bersama?
Ketepatan seorang pembaca cerpen memilih cerpen yang
akan dibacakan di atas panggung merupakan separuh dari ke-
berhasilannya. Kemelesetan memilih berarti kegagalan sudah
dikantongi sebelum pertunjukan dilakukan. Karenanya, kesadar-
an mengenai diri sendiri mutlak perlu. Sampai seberapa jauh
batas-batas kemampuan yang dimiliki. Di sudut-sudut mana saja
kekuatan dan kelemahan digenggam. Jika sudah diketahui letak-
nya, kekuatan yang dimiliki harus dieksploitir semaksimal mung-
kin untuk mencapai keutuhan penampilan. Sedangkan kele-
mahannya kalau bisa diolah menjadi kekuatan dan kalau tidak
bisa dicari cara bagaimana menyembunyikannya agar tidak men-
cuat ke permukaan.

Membacakan Cerpen yang Baik


Pengertian atas pembacaan cerpen yang baik sebenarnya
sederhana saja, yaitu membacakan cerpen dengan cara-cara ter-
tentu sehingga apa yang dibacakan bisa dipahami dan diyakini
oleh orang-orang yang mendengarkan dan menyaksikan. Komu-
nikasi antara publik dengan sang pembaca seyogianya terjalin
akrab dan penuh pengertian. Caranya? Ya, sekomunikatif mung-
kin dalam penampilan. Tujuannya agar mampu dimengerti dan

73
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

meyakinkan serta terdengar jelas tentunya. Untuk itu, pembaca


cerpen harus terlebih dulu memahami dan meyakini apa-apa
yang mau disampaikannya. Kalimat demi kalimat, alinea demi
alinea, lalu bangunan cerpen secara menyeluruh, baru kemudian
publiklah yang akan merasa mengerti dan meyakini. Sebesar
apa keyakinan pembaca cerpen maka sebesar itu pulalah keya-
kinan publik terhadap dirinya. Bila pembaca cerpen hanya ber-
pura-pura menyampaikan cerita maka publik pun hanya berpura-
pura menerima cerita.
Tentu saja untuk dapat menyampaikan cerpen dengan baik
dituntut adanya bermacam-macam persiapan. Agar mampu me-
mahami cerpen maka pikiran harus diasah dan diisi dengan wa-
wasan luas. Untuk bisa meyakini maka imajinasi, intuisi, emosi
dan naluri harus dipertajam kepekaannya melalui latihan olah
rasa dan olah jiwa yang disiplin. Supaya terdengar maka perna-
pasan dan vokal perlu digembleng kekuatannya meliputi volume,
nada, tempo, irama, intonasi, artikulasi, diksi dan sebagainya.
Dan agar bisa tampil menawan maka seluruh badan dan anggota
badan perlu dibina melalui sistem latihan olah tubuh tertentu
sehingga akan menjadi artistik setiap kemungkinan gerakannya.
Jadi, yang dilakukan lebih dahulu memahami dan meyakini, ke-
mudian barulah mengucapkan dan menyampaikan. Isi cerpen
dikuasai, berikutnya bentuk pengekspresiannya dicari. Pembaca
cerpen menyiapkan dulu “alat-alat dalam”-nya, kemudian “alat-
alat luar”-nya.
Penguasaan yang baik terhadap kedua alat-alat tersebut
akan mengantar pada peristiwa pembacaan cerpen yang baik.
Keseimbangan dalam penguasaan kedua alat itu harus dijaga.
Jika berat sebelah, hasilnya pasti timpang. Persoalan yang dimak-
sud dengan menguasai “alat-alat dalam” adalah kepintaran da-
lam menafsirkan dan menghayati cerpen. Artinya perangkat un-
tuk mengurai dan menganalisis cerpen telah dipegang dan dida-
yagunakan dengan baik. Sedang menguasai “alat-alat luar” ada-

74
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

lah menyangkut kecanggihan tubuh menyampaikan isi cerpen,


menyangkut penguasaan teknik pembacaan dan teknik akting.
Menguasai “alat-alat dalam” tanpa menguasai “alat-alat
luar” belum cukup untuk menjadi seorang pembaca cerpen.
Buktinya para kritikus yang hanya pintar mengurai dan menafsir-
nafsirkan isi cerpen belum tentu bisa membacakan cerpen dengan
baik. Sebaliknya menguasai “alat-alat luar” tanpa ditunjang pe-
nguasaan “alat-alat dalam” maka pembacaan cerpen yang
dilakukan hanyalah peragaan fisik semata tanpa ada aktivitas
rohani. Kosong tanpa isi, tanpa bobot, kering kerontang, tak
ada makna yang dihidupkan. Hanya baris-baris kalimat hampa
yang digaungkan. Mungkin ucapan-ucapan dan action-nya terasa
enak didengar dan dilihat karena disangga oleh teknik akting
yang prima, tapi semuanya hanyalah pertunjukan pucat-pasi tan-
pa jiwa, ibarat polah tingkah robot belaka. Sungguh tidak sulit
membuat sebuah pertunjukan yang sekadar memukau dan enak
dilihat tetapi membuat penonton menjadi dungu. Sekali lagi,
demonstrasi teknik tanpa penjiwaan yang hidup hanya akan
menampilkan permainan yang kering; tak bisa lagi disebut se-
bagai kerja kesenian, tapi cuma kerajinan tangan. Kesenian selalu
melibatkan nyawa atau roh, sedangkan kerajinan tangan hanya
mengandalkan ketrampilan, kerja rutin mengulang-ulang tanpa
kreativitas, dan keahlian fisik belaka. Sebaliknya, penjiwaan yang
dahsyat tanpa ditunjang teknik yang mapan hanya akan mengha-
silkan pertunjukan liar, tanpa kontrol dan tanpa kendali artistik
dalam usaha penciptaan. Akibatnya faktor kebetulan banyak ber-
bicara dalam penentuan hasil akhir. Untung-untungan sifatnya.
Bisakah ini disebut sebuah penciptaan seni yang ideal?
Kalau seorang cerpenis telah berjuang keras menyeleksi sisi-
sisi kehidupan, memeras makna dan direkam dalam sususnan
kalimat yang dipungutnya dari khazanah bahasa secara selektif,
maka apakah tugas pembaca cerpen? Tak lain membunyikan dan
menghidupkan apa-apa yang sudah dikerjakan cerpenis tersebut.

75
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Oleh sebab itu, alat-alat untuk kepentingan tersebut harus sudah


dijinakkan oleh pembaca cerpen. Dimiliki sepenuhnya untuk
dikemudikan sesuka hati, seperti apa yang diinginkan dan di-
maui. Teknik dan “alat-alat luar” senantiasa harus siap menerima
instruksi “alat-alat dalam” untuk memberikan bentuk sebagai-
mana yang diinspirasikan.
Dalam upayanya membunyikan dan menghidupkan cerpen
ke dalam kenyataan panggung, seorang cerpenis perlu memiliki
kemampuan menguraikan dan menghidupkan kalimat. Kata-kata
tertentu yang terkandung dalam kalimat dipilih untuk diberi
tekanan tertentu dalam pengucapannya. Pertimbangan pilihan-
nya berdasarkan penyelidikan atas jiwa kalimat. Dengan begini
akan tersadari betapa beragamnya kemungkinan yang terkan-
dung dalam sebuah kalimat. Sedangkan agar pengucapan men-
jadi hidup, menarik dan bernyawa, maka diperlukan keahlian
mengemudikan suara dalam menciptakan variasi-variasi. Bagai-
mana memainkan lemah-kerasnya suara, cepat-lambatnya dan
kendor-kencangnya pengucapan, tinggi-rendahnya nada, kese-
muanya itu dimainkan dengan titik tekan berbeda-beda secara
bergantian dan secara berkesinambungan. Ada pula yang disebut
teknik modulasi, yakni teknik mengubah-ubah volume suara un-
tuk penyesuaian dengan kondisi dan situasi di mana pembacaan
cerpen dilakukan. Akhirnya, penguasaan terhadap berbagai ma-
cam warna dan karakter suara, sebagaimana seorang dalang
wayang kulit, perlu dimiliki. Ini berkaitan dengan upaya meng-
hidupkan tokoh-tokoh. Sebab setiap tokoh menggenggam ke-
unikan sendiri-sendiri sehingga perlu dihidupkan dengan cara
sendiri-sendiri pula.
Berikutnya, yang sangat vital berkaitan dengan kekuatan
menghimpun konsentrasi sewaktu tampil dalam pembacaan
cerpen. Setelah segala masalah yang berkaitan dengan teknik
penampilan diketahui, dikenali dan dikuasai, pembaca cerpen
memfokuskan segenap perhatiannya untuk berkonsentrasi se-
penuh-penuhnya tampil di panggung. Derajat konsentrasinya

76
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

sebanding dengan derajat perhatian publik kepadanya. Jika kuat


konsentrasinya maka kuat pula perhatian publik kepadanya.
Begitu pula jika lemah konsentrasinya maka lemah pula perhatian
publik kepadanya. Penonton tak mungkin menjadi “greng”, ter-
haru, terpesona dan yakin apabila di dalam diri si pembaca
cerpen tak ada “greng”, keterharuan, daya pesona dan keyakinan
diri sangat diperlukan. Karena itu, “bermainlah” tapi jangan mem-
buat dirimu “bermain”. Beraktinglah tapi jangan membuat di-
rimu berakting. Bacakanlah cerpen tapi jangan membuat dirimu
seperti membacakan cerpen. Di dalam pembacaan cerpen atau
puisi, tak ada pola-pola tertentu yang harus dianut, baik dalam
gaya pengucapan maupun teknik tampilnya. Setiap karya me-
miliki jiwanya sendiri. Oleh sebab itu setiap karya menghendaki
pola pengucapan dan pola tampilannya sendiri-sendiri pula. Bila
pembaca cerpen, pembaca puisi, deklamator dan aktor sudah
mengurung dirinya di dalam satu pola penampilan yang disu-
kainya, maka berakhirlah riwayat kreativitasnya. Terkubur di
dalam lubang gelap yang digalinya sendiri.

77
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

78
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

KIAT SEDERHANA
MENULIS CERITA ANAK

Imam Budi Utomo

Pengantar
Secara etimologis, kata fiksi yang dalam bahasa Inggris dise-
but fiction diturunkan dari bahasa Latin fictio yang berarti “mem-
bentuk; membuat; mengadakan; menciptakan” (Tarigan,
1993:20). Dengan demikian, cerita fiksi adalah cerita yang diben-
tuk, dibuat, diadakan, atau diciptakan (oleh pengarang atau sas-
trawan). Lawan dari fiksi adalah nonfiksi. Jika fiksi merupakan
realitas, nonfiksi bersifat aktualitas. Aktualitas adalah apa-apa
yang benar terjadi, sedangkan realitas adalah apa-apa yang dapat
atau mungkin terjadi dan belum tentu terjadi (Tarigan, 1993:122).
Karena fiksi “diciptakan” oleh pengarang, hal itu berarti
bahwa fiksi merupakan suatu karya batin. Artinya, seorang
penulis fiksi dalam menjalankan aktivitasnya lebih banyak meng-
gunakan kekuatan dan kemampuan mental-spiritual. Sebagai
karya batin, tulisan fiksi hendaknya tetap setia kepada tugasnya
untuk memberi manfaat kepada umat manusia, yakni memba-
ngun, memperbaiki, dan menyempurnakan dengan memasukkan
unsur informasi, edukasi, dan rekreasi (hiburan) sebagai satu
kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, para penulis fiksi hidup
dalam dunia olah batin yang senantiasa aktif, selalu memperkaya
pengetahuan dan pengalaman, menjernihkan rohani agar dapat

79
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

menyampaikan kebenaran, dan mengasah kepekaan terhadap


setiap peristiwa di sekitarnya (Titik, 2003:22—24).
Dalam ilmu kesusastraan, salah satu jenis fiksi adalah prosa,
baik cerita pendek, novellet, maupun novel (roman). Jika di-
kaitkan dengan cerita anak, penulisan cerita anak dapat meng-
ambil salah satu dari ketiga bentuk prosa tersebut.

Pengertian dan Jenis Cerita Anak


Cerita anak adalah cerita yang ditujukan untuk anak-anak
(usia hingga 15 tahun), bukan cerita tentang anak (Hardjana,
2006:2). Ciri esensial cerita anak adalah penggunaan pandangan
anak atau kacamata anak dalam menghadirkan cerita atau dunia
imajiner (Anderson et al. dalam Sumardi, 2003:136). Dengan
demikian, dalam cerita anak bukan saja dunia atau kehidupan
anak-anak yang boleh diceritakan, melainkan juga dunia remaja
atau orang tua. Selain kehidupan manusia, kehidupan hewan
dan tumbuhan pun dapat dikisahkan dalam cerita anak. Adapun
syaratnya adalah cerita tersebut—baik dalam bentuk cerita pen-
dek maupun cerita panjang (novel)—disajikan dengan tolok ukur
dan kaca mata anak-anak. Di samping itu, dalam cerita anak
juga mengandung nilai personal dan pendidikan (Huck et al.
dalam Sumardi, 2003:137).
Menurut van Horne (dalam Sumardi, 2003:32), jenis cerita
anak terbagi dalam lima kelompok berikut.
1. Fantasi atau karangan khayal, yakni cerita yang benar-
benar dongeng khayal yang tidak berdasar kenyataan.
2. Fitsi realistis, yakni cerita khayal yang mengandung unsur
kenyataan.
3. Biografi atau riwayat hidup, yaitu cerita tentang orang-
orang terkenal untuk dijadikan sebagai suri teladan.
4. Cerita rakyat, yaitu cerita yang beredar secara lisan dalam
masyarakat yang menyangkut tradisi dan kepercayaan ma-
syarakat.

80
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

5. Cerita agama, yaitu cerita yang berkaitan dengan ajaran


keagamaan, termasuk cerita tentang nabi dan orang-orang
suci.

Unsur dalam Cerita (Fiksi)


Unsur pembangun cerita anak sesungguhnya tidak berbeda
dengan unsur pembangun prosa pada umumnya, yakni tema,
tokoh/penokohan, plot/alur, latar/ setting, dan gaya bahasa.
Unsur-unsur tersebut harus dipahami dengan baik oleh penga-
rang agar karangannya juga berhasil dengan baik. Berikut disaji-
kan secara singkat penjelasan unsur pembangun cerita anak (lihat
Hardjana, 2006:17—25).
a. Tema
Tema adalah pokok pikiran, gagasan, atau ide dasar yang
mendasari sebuah cerita. Beberapa tema yang dianggap tradisio-
nal yang sering ditampilkan untuk cerita anak, antara lain, adalah
kebaikan mengalahkan kejahatan, dalam keadaan susah manusia
baru mengingat Tuhan, dan cinta tanah air. Tema tersebut da-
pat dipecah menjadi topik-topik yang lebih kecil. Misalnya, Tema
cinta tanah air dapat diwujudkan dalam berbagai cara dan pe-
ristiwa: pahlawan yang rela gugur di medan perang, guru yang
ikhlas ditempatkan di daerah terpencil, dll.

b. Tokoh/Penokohan
Tokoh/penokohan adalah gambaran fisik, watak, kebia-
saan, dan sifat para tokoh cerita. Watak tokoh dapat dilukiskan
dengan berbagai cara, antara lain (1) menyebut langsung watak
atau kebiasaan tokoh cerita, (2) melukiskan suasana kehidupan
si tokoh, atau (3) memberi gambaran watak si tokoh melalui
tokoh-tokoh lain.

81
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

c. Plot/Alur
Plot atau alur adalah jalinan peristiwa yang memperlihatkan
kepaduan (koherensi) yang diwujudkan oleh sebab-akibat atau
kausalitas. Perhatikan contoh berikut.
Pak X meninggal dunia. Seminggu kemudian Bu X juga me-
ninggal dunia.
Contoh di atas merupakan cerita, tetapi tidak ada plot atau
alurnya. Agar menjadi sebuah alur cerita (ada hubungan kausa-
litasnya), pernyataan tersebut dapat dibuat seperti berikut.
Pak X meninggal dunia. Seminggu kemudian Bu X juga mening-
gal dunia karena sakit-sakitan akibat memikirkan almarhum
suaminya.
Pada prinsipnya sebuah cerita harus bergerak dari suatu
permulaan melalui pertengahan menuju suatu akhir, seperti tam-
pak pada pola berikut:
1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan).
2. Generating circumstances (peristiwa mulai bertaut dan ber-
gerak).
3. Rising action (keadaan atau suasana mulai memuncak/
tegang).
4. Climax (peristiwa mencapai puncak ketegangan).
5. Denoument (peristiwa mereda, pengarang memberi solusi
pemecahannya).
Bagi pengarang modern (terutama prosa remaja dan de-
wasa), urutan alur yang runtut itu dianggap tidak menarik. Pe-
ngarang cerita anak pun dapat saja membuka cerita dengan se-
buah peristiwa perkelahian di halaman sekolah atau seorang
anak yang berteriak-teriak di dalam kelas. Setelah itu, pengarang
baru menarik ke belakang berupa sorot balik (flash back) mengapa
peristiwa tersebut dapat terjadi, dan seterusnya.

82
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

d. Latar/Setting
Latar atau setting adalah waktu dan tempat terjadinya pe-
ristiwa di dalam sebuah cerita. Berkaitan dengan pemilihan latar
tertentu, pengarang harus jeli dalam membuat suatu cerita. Misal-
nya, peristiwa yang mengambil latar di suatu kantor polsek (ke-
polisian sektor) di kecamatan terpencil, tidak mungkin sang ka-
polsek berpangkat kompol.

e. Gaya
Gaya atau style adalah cara khas seorang pengarang dalam
menyajikan cerita. Setiap pengarang memiliki cara khas atau gaya
sendiri, meskipun ada pula pengarang (pemula) yang meniru
gaya orang lain. Namun, jika sang pengarang tersebut sudah
sering mengarang, secara tidak sadar ia akan dapat menemukan
ciri khasnya.
Biasanya, anak-anak lebih tertarik dengan isi cerita daripada
masalah gaya. Oleh karena itu, pengarang cerita anak sebaiknya
menggunakan gaya yang tidak terlalu menggurui dan kalimat-
nya mudah dimengerti.

Mencari Bahan dan Mengembangkan Cerita


Kita sering kesulitan mencari bahan sebuah cerita. Padahal,
bahan cerita itu sesungguhnya dapat dengan mudah ditemukan,
antara lain dari pengalaman hidup kita sendiri atau orang lain,
keadaan lingkungan sekitar, buku/koran, dan radio atau televisi.
Bahan yang sudah kita peroleh kalau kita tulis apa adanya
belumlah cukup untuk menjadi sebuah cerita fiksi. Bahan mentah
tersebut dapat dikatakan sebagai “titik api” yang harus diolah
(direka-reka, dimunculkan permasalahan, ditentukan tokoh-
tokohnya, dst.) dengan menggunakan daya imajinasi. Setelah
itu, akan tampak kerangka cerita yang kemudian disajikan men-
jadi sebuah cerita yang utuh.
Berikut adalah contoh tentang bagaimana kita dapat mene-
mukan bahan cerita secara tidak sengaja.

83
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Pada siang yang terik Anda sedang menunggu putri Anda


yang akan pulang sekolah. Kebetulan putri Anda bersekolah di
lingkungan Masjid Syuhada’. Pada saat menunggu, Anda meli-
hat seorang kakek renta yang cacat menuruni tangga masjid.
Sosok sang kakek tersebut sangat mengharukan Anda.
Nah, bahan cerita tersebut sesungguhnya baru merupakan
“titik api” atau rangsangan. Anda pun perlu mengolahnya lebih
lanjut dengan membuat kerangka cerita. Salah satu kerangka
cerita yang dapat dihasilkan adalah sebagai berikut.
1. Fitri, murid kelas 3 SD Masjid Syuhada’, sudah satu minggu
tampak murung, pendiam, dan terlihat menanti kedatangan
seseorang.
2. Beberapa temannya heran melihat perubahan pada diri Fitri
yang sebelumnya merupakan anak periang.
3. Teman-temannya akhirnya menanyakan kepada Fitri
tentang keadaan tersebut.
4. Fitri pun bercerita tentang kakek tua yang ternyata adalah
seorang pejuang. Kakek itu pun telah memberi Fitri kenang-
kenangan berupa kalung emas. Kini, kakek itu telah meng-
hilang entah ke mana.
5. Teman-temannya pun terharu mendengar cerita Fitri.
Setelah Anda membuat kerangka cerita tersebut (atau
mungkin yang lain), Anda dapat menuliskannya menjadi cerita
pendek yang lengkap. Ingat, dalam cerita tersebut harus me-
ngandung amanat yang memberi pesan atau ajaran yang berguna.
Untuk anak usia SMP, amanat boleh diimplisitkan. Adapun hasil
lengkapnya, antara lain, dapat dilihat pada contoh cerita berjudul
“Sang Pejuang” berikut.

SANG PEJUANG
Imam Budi Utomo

Sudah hampir satu minggu Fitri menjadi anak pendiam.


Tampaknya ada sesuatu yang membuatnya murung. Padahal, murid
kelas 3 SD Masjid Syuhada’ itu biasanya selalu bergembira bermain-

84
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

main bersama teman-temannya di taman sekolah. Rana, Ella, dan


Ova juga heran melihat perubahan pada diri Fitri.
Siang itu empat sahabat sedang menunggu jemputan pulang.
Rana, Ella, dan Ova asyik bermain ayunan dan plosotan. Sementara
itu, Fitri hanya duduk di pagar taman sekolah, tidak jauh dari teman-
temannya. Sesekali matanya yang indah mencari-cari seseorang di
sekitar halaman sekolah.
“Rana, lihatlah. Kenapa ya Fitri sekarang? Tampaknya ia lebih
suka melamun?” tanya Ova heran.
“Yaaa, mungkin saja ia sedang menunggu dijemput ayahnya,”
jawab Rana enteng.
“Aku yakin bukan itu sebabnya. Pasti ada sesuatu yang
menyebabkan Fitri menjadi pendiam seperti itu. Biasanya Fitri kan
yang paling lincah,” kata Ella.
“Bagaimana kalau kita tanya Fitri?” Usul Ova kepada teman-
temannya.
“Setuju.” Rana dan Ella menjawab berbarengan. Rana, Ella, dan
Ova berjalan mendekati Fitri.
“Eh, Fit,” kata Ella kepada Fitri, “kenapa sih kamu kok selalu
murung? Biasanya kamu ini yang paling lincah.”
“Kamu dimarahi Ibukmu, ya?” goda Rana.
“Bukan. Fitri pasti habis berkelahi sama kakak-kakaknya.” Ova
pun berusaha menggodanya.
Fitri hanya tersenyum mendengar omongan teman-temannya.
Tampak ia menarik nafas panjang. Terasa ada sesuatu yang
menyesakkan dadanya.
“Bukan itu masalahnya, teman-teman.”
“Kalau bukan itu, lalu apa? Ceritakanlah, Fit. Mungkin aku dan
teman-teman dapat membantumu.” Ella berkata sambil menggandeng
lengan Fitri.
“Begini teman-teman. Aku sebenarnya sedang menunggu kakek
tua.”
“Kakek tua? Siapakah dia?” Tanya teman-temannya hampir
bersamaan.
“Aku tidak tahu namanya. Tapi beliau adalah pejuang,” jawab
Fitri bersemangat.

85
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

“Pejuang? Pejuang apaan sih? Eh, Fit, tolong dong ceritakan


tentang kakek pejuang itu,” rengek Rana minta diceritakan tentang
kakek tua yang membuat Fitri murung.
“Iya, Fit. Pasti ceritamu seru, deh!” kata Ova. Ella hanya
mengangguk mengiyakan.
Ketiga temannya segera duduk di atas rumput. Mereka ingin
sekali mendengar cerita tentang kakek tua. Fitri tampak bersemangat
menceritakan pertemuannya dengan kakek tua.
Pada suatu siang ketika teman-temannya sudah dijemput, Fitri
masih menunggu jemputan ayahnya. Diperhatikannya kakek renta
berjalan tertatih-tatih menuruni tangga masjid. Sementara orang-orang
tidak ada yang memperhatikannya. Apalagi menegur dan bersalaman
dengannya. Agaknya, kakek tua itu selesai salat Zuhur. Kasihan,
kakek tua itu kaki kanannya buntung sebatas lutut. Ia berjalan
disangga tongkat butut. Kakek tua itu pun lantas duduk di trotoar di
pinggir jalan. Matanya jauh menerawang ke sudut-sudut jalan.
Butiran-butiran air mata tampak menetes di pipinya yang keriput.
Fitri heran dan kasihan melihat kakek tua yang sedang menangis.
Didekatinya kakek tua itu.
“Assalamu’alaikum, Kek.” Perlahan Fitri mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam.” Kakek tua menoleh dan membalas salam
Fitri.
“Eh, Kek, siapakah nama Kakek? Dan mengapa Kakek
menangis?”
“Eeee … ooo,” si Kakek gelagapan diberondong pertanyaan Fitri.
“Maaf, Kek, aku telah mengganggu Kakek,” kata Fitri pelan. Ia
menyesal telah mengganggu Kakek tua.
“O, tidak apa-apa, Nak. Kakek hanya sedikit terkejut. Eh,
Siapakah namamu, anak manis?” Kakek tua bertanya dengan
tersenyum ramah. Butiran air mata telah hilang diseka dengan baju
kumalnya.
“Nama saya Fitri, Kek. Fitri sedang menunggu dijemput Ayah.
Kalau boleh Fitri tahu, nama Kakek siapa?” Fitri mengulangi
pertanyaannya dengan sopan. Ia pun duduk di dekat kakek tua. Kakek
tua hanya diam saja. Fitri pun membuka tasnya. Bekal kue dari rumah
dikeluarkan dari dalam tas.

86
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

“Ini Kek ada dua potong roti. Kita bagi berdua, ya?”
“Terima kasih, Nak. Makanlah sendiri. Kakek sudah kenyang.”
“Ayolah, Kek. Kata Pak Guru, tidak baik menolak pemberian
orang.”
“Baiklah, Nak. Sungguh sangat baik budi bahasamu,” jawab
Kakek sambil menerima pemberian kue dari Fitri. Sang Kakek tidak
tega menolak kepolosan yang terpancar dari wajah Fitri. Mereka berdua
makan kue dengan nikmatnya. Fitri juga memesan dan membayar
dua teh botol dingin. Mereka berdua tampak akrab menikmati
segarnya teh botol dingin di siang hari yang panas.
“Maaf, Kek. Kenapa sih Kakek tadi menangis?” tanya Fitri setelah
keduanya selesai makan roti dan minum teh.
“Kakek hanya terkenang masa lalu Kakek di jalan ini. Ketika
Kakek bersama teman-teman bertempur melawan penjajah.”
“Wah, ceritanya tentu seru dong, Kek. Boleh Fitri mendengar cerita
Kakek?” tanya Fitri dengan bersemangat.
“Dengan senang hati, Nak. Dulu, di tempat ini terjadi pertempur-
an yang sangat sengit. Pertempuran antara tentara penjajah melawan
kami, para pejuang. Banyak teman-teman Kakek yang gugur. Ahmad
Jazuli, Sabirin, Dewa Nyoman Oka, Sunaryo, Sajiyono, Supadi, Serma
Taruna Ramli, dan lain-lain. Ya, mereka semua telah rela gugur sebagai
syuhada’ untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Alham-
dulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan usia panjang
kepada Kakek. Hanya saja, Kakek harus kehilangan sebelah kaki
kanan ini yang terkena tembakan lawan,” kata kakek tua dengan mata
berkaca-kaca.
Fitri mendengarkan dengan sungguh-sungguh cerita kakek tua.
Meskipun masih kecil dan belum mengerti tentang arti pertempuran
atau kemerdekaan, ia ikut merasa terharu dengan cerita kakek tua.
Tanpa sengaja Fitri melihat kaki kakek yang buntung sebelah.
“Tapi Kakek merasa berbahagia, Nak. Kakek mendapat ke-
sempatan untuk ikut membela Ibu Pertiwi. Kakek juga bangga melihat
Masjid Syuhada’ ini yang dibangun dengan megah untuk
menghormati teman-teman seperjuangan Kakek yang telah gugur
mendahului kita,” kata kakek tua sambil memandang kubah Masjid
Syuhada’.

87
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

“Kisah Kakek sungguh hebat. Berarti Kakek ini pahlawan, ya?”


tanya Fitri dengan polosnya. Ia ikut tersenyum ketika kakek tua itu
tersenyum.
“Pahlawan? Bukan, Kakek bukan pahlawan, Nak. Sebutan itu
terlalu tinggi buat Kakek. Kakek hanyalah sekadar melaksanakan
perintah agama kita, agama Islam, untuk mempertahankan bangsa
dan negara Indonesia. Kakek ikhlas lahir dan batin. Bukankah cinta
tanah air itu sebagian dari iman, Nak?”
“Betul, Kek. Pak Guru juga menerangkan seperti itu. Tapi, Kakek
kan telah berjuang. Berarti Kakek ini pejuang.”
“Terserah apa yang dikatakan orang, Nak. Kakek sudah cukup
puas dapat melihat kemajuan bangsa ini. Kakek bangga melihat anak-
anak seperti Nak Fitri. Anak-anak salihah yang mau menghargai jasa
para pahlawannya. Kakek bangga … Nak.”
Kakek tua kembali terdiam. Dipandanginya wajah Fitri dengan
lembut. Sambil tersenyum dikeluarkannya sesuatu dari balik saku
celananya. Seuntai kalung emas diberikan kepada Fitri.
“Ini sekadar kenang-kenangan dari Kakek. Pakailah, Nak.”
Kakek tua berkata sambil menyerahkan kalung itu kepada Fitri.
“Jangan, Kek. Kalung itu kan milik Kakek. Kakek nanti tidak punya
apa-apa lagi.”
“Tadi Nak Fitri yang bilang, tidak baik menolak pemberian orang.
Nah, terimalah ini, Nak.”
Dengan berat hati Fitri menerima pemberian kakek tua. Kalung
itu dikenakannya di lehernya yang kecil. Pas. Kakek tua tersenyum
melihat kalung emas telah melilit di leher Fitri. Ia merasa anak
perempuannya yang meninggal puluhan tahun silam kini kembali
tersenyum manis kepadanya.
“Terima kasih, Kek. Fitri tidak bisa memberi apa-apa kepada
Kakek. Eh, Kakek mau ke mana?” Fitri bertanya heran melihat kakek
tua itu berdiri perlahan-lahan.
“Kakek mau meneruskan perjalanan. Insya Allah kita dapat
berjumpa kembali, Nak. Pesan Kakek, belajarlah yang rajin sehingga
berguna bagi agama dan bangsa. Jangan pula lupa salat, berbakti
kepada orang tua dan gurumu.” Kakek tua banyak memberikan petuah
kepada Fitri.

88
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Dengan tertatih-tatih kakek tua berjalan ke selatan. Hilang di


balik tikungan. Fitri hanya dapat menatap haru kepergian kakek tua.
“Demikianlah teman-teman ceritaku tentang ... Kakek.” Fitri
berkata pelan dengan nada suara bergetar. Ia rindu untuk kembali
bertemu dengan kakek tua. Ia ingin kembali mendengar berbagai cerita
menarik dari kakek tua. Tapi, hingga kini kakek tua itu tidak kunjung
muncul.
Ella, Rana, dan Ova ikut terharu mendengar kisah Fitri. Bahkan
mata ketiga anak itu tampak pula berkaca-kaca.
“Siapakah nama kakek tua itu, Fit? Di manakah alamat
rumahnya? Apakah beliau mempunyai anak?” tanya Ella beruntun
sambil menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya.
“Aku tidak tahu. Aku lupa menanyakannya kembali. Yang aku
tahu, beliau adalah SANG PEJUANG,” kata Fitri sambil meraba kalung
yang melilit di lehernya.
Rana, Ella, dan Ova mengangguk mengiyakan. Meskipun masih
anak-anak, mereka sadar bahwa kemuliaan seseorang tidak dapat
diukur dari kekayaan dan ketampanan atau kecantikan.

Daftar Bacaan
Hardjana HP. 2006. Cara Mudah Mengarang Cerita Anak-Anak.
Jakarta: Grasindo.
Sumardi. 2003. “Bagaimana Menciptakan Cerita Anak yang
Unggul?” Dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Jakarta:
Pinkbooks.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsi Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.
Titik WS. 2003. “Menulis”. Dalam Teknik Menulis Cerita Anak.
Jakarta: Pinkbooks.
Zaidan, Abdul Rozak dkk. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

89
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

90
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

PUISI, UNSUR PEMBANGUN,


DAN APRESIASINYA
B. Rahmanto

Pengantar
Lewat tulisan ini akan dipaparkan secara komprehensif
pokok-pokok di sekitar apakah puisi itu, bagaimana proses
kreatif kelahiran suatu puisi, unsur pokok yang membangun
puisi, dan bagaimana mengapresiasikan puisi itu. Oleh karena
fokus pemberian materi bengkel sastra ini lebih dititikberatkan
pada lebih banyak memperkenalkan cipta sastra yang berbentuk
puisi itu sendiri, dan bagaimana mengekspresikannya baik secara
lisan/pemanggungan dan tulisan, serta bagaimana mengapre-
siasikannya, maka konsep-konsep akademis teoretis secara
eksplisist akan dihindari. Rujukan-rujukan konsepsional hanya
akan dihadirkan pada bagian buku acuan, sehingga bagi peserta
yang berminat dapat melacaknya sendiri.

Puisi
Apakah puisi itu? Pertanyaan sederhana ini sebenarnya
dapat dijawab dengan sangat gampang, tetapi menjadi sede-
mikian sulitnya apabila menghendaki suatu jawaban yang tuntas.
Apalagi, puisi bukanlah sejenis kursi (artinya bernuansa benda),
tetapi lebih bersifat verba, alias kata-kata. Menjawab apakah
kursi saja sudah susah, apalagi mengartikan apakah kata-kata
itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ada sementara

91
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

ahli yang berucap, “Saya tahu apa itu puisi jika Anda tidak ber-
tanya apa itu puisi, tetapi jika Anda bertanya apa itu puisi, saya
tidak mengetahuinya.”
Ini bukan jawaban putar lidah, tetapi memang benar-benar
seperti itulah jawabnya apabila Anda ingin melacak arti puisi
sejak Plato, sampai sekarang ini. Pengertian apa itu puisi selalu
berkembang, bergeser, dan cenderung siapa yang menjawab,
dalam kurun waktu kapan, serta apa ideologi alias keyakinan
orang yang mencoba mengartikannya. Maka, marilah kita ke-
sampingkan terlebih dahulu apa definisi puisi itu, dan mencoba
melacak apa itu puisi lewat cipta sastra yang berbentuk puisi itu
sendiri. Oleh karena puisi yang akan kita ‘gauli’ dari minggu ke
minggu ini adalah puisi dalam sastra Indonesia, maka berikut
akan dikutipkan bagaimana para penyair kita sejak bahasa Indo-
nesia mulai dikenal, mencoba mencari jawab apakah puisi itu.
Pertama-tama marilah kita tengok bagaimana penyair Sa-
nusi Pane menuliskan apakah sajak atau puisi itu. O, ya, ada
banyak bapak/ibu guru (siapa tahu juga Anda) yang tidak jera-
jeranya mengoreksi para siswa-siswinya kurang lebih demikian:
jika yang dimaksud itu genre puisi maka harus diucapkan saNjak,
bukan sajak. Sajak itu bukan jenis puisi, sajak itu artinya persa-
maan bunyi. Oleh karena itu, yang benar adalah membaca sanjak
bukan membaca sajak. Baiklah, pendapat Guru Anda tidaklah
salah. Guru Anda ini memakai acuan lama. Kata sajak berasal
dari bahasa Arab saj’ yang artinya bunyi-bunyi yang seragam
pada setiap akhir ayat atau suku ayatnya. Dari sinilah berawal
mengapa sajak diartikan sebagai persamaan bunyi.
Sementara itu dalam perkembangan berikutnya, kata sajak
dan sanjak terus bersaing, dan kata sajak-lah yang kerap muncul,
dan menenggelamkan kata sanjak itu, sehingga kita sekarang
berkecenderungan mengucapkan membaca sajak-sajak dan bukan
membacakan sanjak-sanjak. Melihat hal semacam itu, komisi isti-
lah mencarikan jalan keluar dengan alih kata rima untuk persa-
maan bunyi atau sajak itu. Dengan demikian istilah sajak bersi-

92
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

nonim dengan sanjak, alias juga benar jika itu dimaksudkan se-
bagai mebaca sanjak-sanjak.
Marilah kita kembali pada apakah puisi atau sajak itu me-
nurut Sanusi Pane dengan menyimak karyanya seperti berikut
ini.

SAJAK

O, bukannya dalam kata yang rancak,


Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca sepintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matahari mencintai bumi,


Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.
(Dari Madah Kelana)

Bagi Sanusi Pane, sajak atau katakanlah puisi itu, bukanlah


‘kata yang rancak’ artinya kata-katanya elok, bagus, dan indah.
Kata ‘rancak’ itu sendiri biasanya berpasangan dengan ‘di labuh’,
menjadi rancak di labuh yang artinya senang berpakaian yang
elok-elok tetapi kantongnya kosong (Moeliono, 1988: 725). De-
ngan kata lain Sanusi Pane ingin mengatakan bahwa puisi/sajak
itu bukanlah untaian kata-kata nan elok tapi kosong. Dan juga
bukan dalam kata-kata yang pelik, rumit. Rangkaian kata-kata
seperti itu hanya akan mempermainkan mata, dan dibaca sepin-
tas lalu. Maka Sanusi berkata garang: O, pujangga , buang segala
kata rancak dan pelik itu. Kata-kata semacam itu biasanya ‘tak
keluar dari sukmamu’.

93
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Kalau begitu, sajak itu lalu seperti apa? Katanya, ‘sajak itu
seperti matahari yang mencintai bumi, yang memberikan sinar
pada bumi selama-lamanya, dan tidak memintanya kembali’.
Benar-benar metafor alias suatu perbandingan yang pas. Men-
cintai dengan legowo, tanpa pamrih. Itulah puisi. Dan dalam
sajaknya yang lain, yang juga diberinya tajuk “Sajak”, Sanusi
melanjutkan pendapatnya tentang sajak seperti di bawah ini.

SAJAK

Di mana harga karangan sajak,


Bukan dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihnya.

Tanya pertama keluar di hati,


Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga makna tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa pujangga waktu menyusun,


Kata yang datang berduyun-duyun,
Dari dalam, bukan dicari.

Harus kembali dalam membaca,


Sebagai bayang di muka kaca,
Harus berguncang hati nurani.
(Dari Madah Kelana)

Pada bait pertama, kembali Sanusi Pane menegaskan bahwa


sajak bukanlah sekadar kata-kata nan rancak, dan juga bukan
sekadar ‘apa maksud isinya’. Bagi Sanusi Pane lahirnya sebuah
puisi bukanlah ‘dicari-cari’, tetapi ‘dari dalam’, artinya benar-
benar dari dalam lubuk hatinya. Kata-kata yang dirangkainya

94
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

menjadi sajak, bukan diburu-dicari-cari, tetapi berduyun-duyun


dari dalam menggejolak ingin muncrat, sehingga jika Anda mem-
baca sajak itu sama persis situasinya ‘sebagai bayang di muka
kaca’. Dan ... ‘harus dapat mengguncang hati nurani’. Itulah
sajak. Luar biasa bukan?!
Itulah arti sajak menurut penyair Sanusi Pane. Hal senada
juga didendangkan oleh penyair Roestam Effendi lewat sajak
berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi”. Katanya antara lain: Bukan
beta bijak berperi/ pandai menggubah madahan syair/ Bukan beta budak
Negeri/ mesti menurut undangan mair (mair = mati, maut)// Sarat
saraf saya mungkiri/ untaian rangkaian seloka lama/ Beta buang beta
singkiri/ sebab laguku menurut sukma// ....
Kembali pada pembicaraan awal dalam bagian ini, ada
sementara orang yang gemar memberikan ciri-ciri visual bahwa
sesuatu disebut puisi jika ditulis dengan aturan-aturan larik dan
bunyi (maksudnya banyaknya larik dalam setiap baitnya, ba-
nyaknya kata dalam setiap lariknya, juga banyaknya suku kata
dalam setiap lariknya, dan seterusnya). Pengertian seperti ini
pun kini menjadi tumbang jika kita membaca puisi-puisi penyair
masa kini seperti: karya-karya Afrizal Malna dan Sapardi Djoko
Damono. Berikut ini dikutipkan salah satu puisi karya Sapardi
Djoko Damono.

Sajak 2

Telaga dan sungai kulipat dan kusimpan kembali dalam


urat nadiku. Hutan pun gundul. Demikianlah maka
kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajak-
sajakku sebab kata-kata di dalamnya berwujud anak panah
yang dilepas oleh Rama.
Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi dalam
sarang di sela-sela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu
rapat tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang
pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak

95
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-


kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh
darahnya itu.
(Dari Mata Pisau, 50)

Dengan begitu menjadi tidak mudah untuk mengartikan


apakah puisi itu. Hal itu mengingat sebagai suatu karya seni
pada hakikatnya puisi selalu mengalami perubahan konsepsi
estetiknya dari zaman ke zaman. Namun tokh jika disikapi de-
ngan cukup serius, ada satu hal yang tinggal tetap dalam puisi,
yaitu menyatakan sesuatu secara tidak langsung (Riffaterre,
1978).

Proses Kreatif
Setelah kita mengetahui apakah puisi itu, ada baiknya kita
mengetahui pula bagaimana proses kelahiran puisi itu, alias ba-
gaimana proses kreatif seorang penyair dalam melahirkan puisi-
puisinya. Sebagai langkah awal akan dikutipkan sebuah sajak
karya J.E. Tatengkeng yang men-share-kan pengalamannya
berpuisi seperti ini.

PERASAAN SENI

Bagaikan banjir gulung-gemulung,


Bagaikan topan seru-menderu,
Demikian Rasa,
Datang semasa.
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh.

Serasa manis sejuknya embun,


Selagu merdu dersiknya angin,
Demikian Rasa,
Datang semasa,

96
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Membisik, mengajak aku berpantun,


Mendayung jiwa ke tempat diingin.

Jika Kau datang sekuat raksasa,


Atau Kau menjelma secantik juwita,
Kusedia hati,
Akan berbakti,
Dalam tubuh Kau berkuasa,
Dalam dada Kau bertakhta!
(Dari Rindu Dendam)

Tentu, tak segawat ini proses kreatif itu. Akan tetapi, bagi
Tatengkeng yang terkenal sebagai penyair romantik, jelas sah-
sah saja mengatakan bahwa perasaan seni ini datangnya tak
terpikirkan, tidak diperkirakan atau direkayasakan, tetapi ...
wus-wus-wus begitu saja, bagaikan air bah atau topan yang me-
landa dahsyat, yang mengalir-menimbun-mendesak-menge-
pung-menawan tubuh.
Bagi Tatengkeng, penyair Pujangga Baru yang lahir di Sa-
ngihe sembilan puluh empat tahun yang lalu, dan mulai berkiprah
sebagai penyair pada tahun 1930-an; perasaan seni itu bisa datang
‘sekuat raksasa’; atau ‘menjelma secantik juita’; atau dapat juga
senyaman ‘sejuknya embun’ dan ‘semerdu dersiknya (desir, bunyi
suara yang semilir) angin’. Dan luar biasanya, bagi Tatengkeng,
rasa seni dirasakannya sebagai ‘berkuasa dalam tubuh’ dan ‘ber-
takhta dalam dada’. Jika sudah begitu, tak ada kata lain kecuali
‘kusedia hati akan berbakti’. Itulah perasaan seni pabila sedang
mengobsesi seorang penyair.
Khusus tentang proses kreatif ini ada sebuah buku antologi
berjudul The Creative Process yang disusun oleh Prof. Brewster
Ghiselin yang memuat bagaimana proses kreatif seni berlang-
sung. Berikut akan disarikan beberapa di antaranya yang ada
kaitannya dengan proses penciptaan karya seni, khususnya puisi.

97
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Menurut pengakuan penyair-penyair besar di dunia (sebut


misalnya: Blake, William Wordsworth, Coleridge, Shelley, Keats,
T.S. Eliot, Tagore, Kahlil Gibran, dan sebagainya) keinginan sese-
orang untuk menjadi penyair, dan oleh karenanya lalu mempela-
jari habis-habisan teknik menulis puisi sampai hafal di luar kepala;
bukanlah jaminan. Diperlukan semacam panggilan dengan tan-
da-tanda kurang lebih seperti ini: merasa tertarik untuk membaca
puisi, terpesona terhadap puisi/sajak yang baik, hafal di luar
kepala, dan tidak “kebelet” untuk segera mempublikasikan sa-
jak-sajaknya di koran-koran dan menjadi populer.
Apabila Anda sudah merasa “tergila-gila” dengan puisi,
maka, pertama, teruslah membaca puisi karya penyair-penyair
besar (untuk penyair Indonesia misalnya karya-karya Amir
Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Taufiq Ismail,
Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bakhri, Sapardi Djoko
Damono, Subagio Sastrowardojo, Gunawan Mohammad, Afrizal
Malna, dan sebagainya); kedua, baca juga esai dan kritik puisi
terhadap karya-karya mereka itu; ketiga, ikut aktif mengikuti
acara lomba baca puisi atau pembacaan puisi para penyair ter-
tentu yang biasanya diikuti dengan berdiskusi; keempat, bila ada
kesempatan ikutilah loka karya atau kegiatan lain yang berkaitan
dengan puisi; dan kelima, bukalah mata-telinga pada kehidupan
di sekeliling Anda karena di sanalah terdapat sumber ilham yang
tidak kunjung kering.
Selain panggilan, orang kadang mempersoalkan dengan apa
yang disebut sebagai memiliki bakat menjadi penyair, alias me-
mang dari sononya telah dilahirkan sebagai penyair. Misalnya
(dengan contoh lain seperti pengakuan pelukis Wara Anindyah
terhadap putra pertamanya yang juga pelukis yang bernama Wi-
ku Pulangsih yang sekarang baru berumur 11 tahun lewat bu-
kunya berjudul Melukis Mengolah Sukma). Menurut pengakuan
ibunya, pada saat Wiku berumur 8 atau 10 bulan sering melihat
ibunya membuat sketsa dengan spidol. Melihat warna yang ter-
gores pada kertas, Wiku cilik itu senang sekali. Lalu dia meminta

98
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

spidol itu dan mencoret-coretkannya sendiri. Ibunya kaget. Wiku


seperti selalu berusaha membuat hal-hal baru dan tidak pernah
mengulang-ulang. Aneh. Coret-moret si buyung selalu dalam
komposisi yang seimbang dengan irama kuat, dan ada suatu
kekuatan yang muncul. Coretan Wiku kecil itu didokumentasikan
Sang Bapak sampai sejumlah lebih dari 15.000 lembar (hlm. 49-
50). Bukan main. Itulah bakat.
Lalu bagaimana dengan proses kreatif kepenyairan itu? Apa-
kah semua penyair berpengalaman seperti Tatengkeng? Bisa jadi
ya, bisa juga tidak. Hanya, menurut Prof. Brewester Ghiselin,
proses kreatif adalah peristiwa yang sepenuhnya disadari oleh
sang penyair. Dalam proses kreatif, sang penyair adalah subjek
yang melakukan pengendalian terhadap perbuatannya. Ini mu-
tlak diperlukan. Dengan pengendalian ini maka semua kegiatan
dan bahan yang dipergunakan dapat diarahkan pada tujuan yang
ingin dicapainya.
Bagi penyair, dibutuhkan kesabaran dan keterbukaan dalam
mengelola luapan tenaga kreativitas yang mengalir dari dalam
bawah sadarnya. Pada saat luapan bawah sadar tersebut meng-
gelegak, kesadaran sebagai subjek harus terus bekerja untuk
mengendalikan dan mengarahkan pada tujuan yang sudah dite-
tapkan. Nah dengan memimjam teori psiko-analisis Sigmund
Freud, kesadaran itu diwakili oleh rasio, sedangkan bawah sa-
dar/ketaksadaran terutama diwakili oleh emosi dan imajinasi.
Seorang penyair, tiba-tiba saja (kadang disebut sebagai il-
ham) merasakan gerakan emosi dan imajinasi yang muncul dari
alam bawah sadarnya yang belum berbentuk dan bermakna;
pada saat itulah rasio sang penyair akan mengendalikan emosi
dan imajinasinya dalam wujud kata-kata yang apabila ditulis
akan melahirkan sebuah tuturan yang bermakna (misalnya puisi).
Perlu ditambahkan, dalam mengendalikan emosi dan imajinasi
bukan berarti mengalahkannya, tetapi terbatas pada menyeim-
bangkannya, sehingga puisi yang lahir tak terlalu kering atau
sebaliknya terlalu sentimentalistis.

99
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Nah, bekerja keras untuk menyeimbangkan emosi dan pi-


kiran/rasio itulah hal yang penting dalam proses kreatif. Salah
satu wujud utamanya yang tampak adalah lewat proses revisi
demi revisi sampai sajak yang dibuatnya dirasakannya sudah
benar-benar pas. Konon, kelemahan seorang penyair muda ter-
letak dalam hal kurangnya menyeimbangkan antara rasio dengan
emosi+imajinasi ini. Salah satu akibatnya ialah dominannya aspek
emosi dan imajinasi dalam sajak-sajaknya sehingga terperosok
pada sentimentalitas yang berlebihan. Rasio pun dibutuhkan da-
lam penulisan sajak.
Tentu, rasio dalam penulisan sajak sangat berbeda dengan
yang biasa dilakukan dalam penulisan ilmiah, filsafat, atau dalam
penggunaan rasio dalam kehidupan sehari-hari. Rasio dalam
penulisan puisi terutama dimanfaatkan untuk memilih kata, me-
nyusun lambang/metafor, dan imaji yang tepat dan setepat-tepat-
nya, sehingga puisi tidak menjadi gelap dan kering seperti ini.

Seribu kunang-kunang merangkak di kegelapan


Diombang-ambingkan dari angin ke angin
.............................

Atau kutipan di bawah ini

Antara dua batang mawar


Antara dua jiwa
Yang hijau berkilauan dihanguskan rindu
Bulan lebur di dalamnya
Meriak danau. Begitu biru
.............................

Dua larik dari sajak yang pertama kedengarannya enak di-


baca: seribu kunang-kunang merangkak di kegelapan/ diombang-
ambingkan dari angin ke angin/. Kita akan tersenyum kok ada ku-

100
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

nang-kunang merangkak dan diombang-ambingkan angin. Lalu


apa manfaat sayap kunang-kunang itu? Dari larik itu kita bisa
melihat bahwa imaji pun membutuhkan logika.
Sementara itu, kutipan puisi kedua kayaknya ditulis remaja
yang sedang jatuh cinta. Antara dua batang mawar/antara dua
jiwa/yang hijau berkilauan dihanguskan rindu/. Baiklah, dua batang
mawar, bisa juga diterima, tetapi agaknya kata batang terlalu besar
untuk mawar yang perdu itu. Mengapa bukan tangkai misalnya.
Lalu ... dua batang mawar yang hijau berkilauan dihanguskan rindu/
Agak aneh juga imaji penyair kita ini. Mosok, sudah hangus, masih
hijau berkilauan! Betapapun hebatnya mawar jika hangus mesti-
nya warnanya tak lagi biru, apalagi masih berkilauan. Itulah yang
dimaksudkan bahwa rasio dapat dipergunakan sebagai penyeim-
bang dalam berpuisi.
Sebagai perbandingan perhatikan pencitraan dan perban-
dingan dalam sajak karya Sutardji Calcoum Bakhri seperti di
bawah ini.

SOLITUDE

yang paling mawar


yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekat

samping yang paling


Kau!
(Diambil dari kumpulan sajak O, hlm. 37)

101
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Unsur Pembangun Puisi


Apabila kita memasuki sebuah rumah, pada awalnya kita
akan melewati pintunya, menapaki lantainya, membuka jende-
lanya, melihat langit-langitnya, cat temboknya, meja-meja, kursi-
kursi, tempat tidur, lampu-lampu, hiasan dindingnya, genting,
dan sebagainya. Dengan begitu, adanya rumah sebenarnya ter-
diri dari unsur-unsur yang membangunnya seperti misalnya un-
sur-unsur: tembok, pintu, jendela, lantai, genting, dan isi yang
ada di dalamnya. Unsur-unsur seperti itu tidak dapat berdiri
sendiri untuk dapat disebut sebagai sebuah struktur yang berna-
ma rumah. Unsur-unsur tersebut saling membutuhkan, saling
berkaitan agar dapat membentuk bangunan yang disebut sebagai
rumah.
Begitu juga suatu karya sastra. Karya sastra yang berbentuk
prosa cerita, puisi, dan drama sebenarnya mirip seperti bangunan
sebuah rumah yang terdiri dari unsur-unsur pembangunnya
yang saling berelasi membentuk sebuah struktur yang terdiri
dari susunan unsur-unsur yang bersistem. Antara unsur-unsur-
nya terdapat hubungan timbal balik, dan saling menentukan.
Struktur sebuah karya sastra merupakan kesatuan yang
bulat, dan otonom. Maknanya ditentukan oleh hubungannya
dengan semua unsur-unsur lainnya yang terkandung dalam
struktur tersebut. Itu artinya, untuk menangkap makna sebuah
karya sastra, misalnya sebuah puisi, dibutuhkan suatu pembacaan
yang bulat, tidak hanya mencomot larik, bait, atau bagian-bagian
tertentu saja. Namun, harus dibaca secara keseluruhan agar kita
dapat menangkap maknanya secara utuh.
Nah, unsur-unsur apa sajakah yang membangun bangunan
struktur yang disebut puisi itu? Seperti halnya manusia, puisi
memiliki tubuh dan jiwa/roh. Hubungan tubuh dan jiwa ini ber-
sifat organik. Artinya, seperti halnya manusia, sebuah puisi yang
hanya terdiri dari tubuh saja, maka puisi itu akan “mati”; sebalik-
nya jika tanpa tubuh maka akan menjadi sulit untuk dilacak.

102
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Unsur tubuh dalam puisi adalah unsur yang kasat mata,


yang dapat dilihat secara visual; sedangkan unsur jiwa adalah
unsur yang tak kasat mata, tetapi dapat kita rasakan sebagai
ada. Dalam teori puisi, unsur tubuh (bentuk visualnya) dapat
dirinci menjadi: diksi, citraan, kata-kata konkret, majas/lam-
bang/kias/ rima dan irama. Unsur jiwa terdiri dari: rasa, nada,
amanat/tujuan, dan temanya.
Untuk mempertegas konsep bahwa setiap sajak sebenarnya
terdiri atas unsur tubuh yang secara garis besar diwakili dalam
bentuk bahasa, dan unsur jiwa dalam wujud tersirat, di bawah
ini dikutipkan 3 buah sajak yang berasal dari tiga generasi kepe-
nyairan Indonesia modern, masing-masing berjudul “Derai-De-
rai Cemara” karya Chairil Anwar; “Bilung Grundelan” karya
Linus Suryadi; dan “Sajak Transmigran II” karya F. Rahardi.

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh


terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan


sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini.

hidup hanya menunda kekalahan


tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Diambil dari Tonggak I , hlm. 303)

103
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

BILUNG GRUNDELAN

Wadhuh nasib awak dadi wong cilik


Dapat dhapukan apa pun tetap kojur
Ke sini digencet. Ke sana dipepet
Tak ada yang enak kecuali tidur

Ngalor ngidul harus pakai seragam


Alhamdulilah! Negeri pacak baris
Dasi kupu-kupu jatah pembagian
Warga Alengka ngantor serba necis

Tidak rapi di batin ya rapi di badan


Hem batik kathok famatek, lumayan
Pakaian seragam kecemplung comberan
Astaqfirullah! Togog congklang

Dasar sial, nyengklak sepeda kejeglong


Beras kupon 6 bulan di gudang tumpah
Lha bagaimana, ayam saja ogah nothol
Ini karyawan dapat bagian. Wah susah!

(Dikutip dari Tonggak III, hlm. 200)

SAJAK TRANSMIGRAN II

dia selalu singkong


dan terus-menerus singkong
hari ini singkong
tadi malam singkong
besok mungkin singkong
besoknya lagi juga singkong
di rumah sepotong singkong

104
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

di ladang seikat singkong


di pasar segerobak singkong
di rumah tetangga sepiring singkong
enam bulan lagi tetap singkong
setahun lagi tetap singkong
duapuluh tahun makin singkong
dan lima puluh tahun kemudian
transmigran beruban
sakit-sakitan
mati
lalu dikubur di ladang singkong

(Dikutip dari Soempah WTS, 15)

Dari ketiga sajak tersebut di atas, apabila kita baca dengan


teliti akan nyata adanya unsur tubuh dan jiwanya. Sajak (1) mi-
salnya, jika kita telusuri dari bagaimana Chairil Anwar memilih
kata, memilih kata yang menampilkan imaji (citraan tertentu),
memilih kata yang konkret, memilih kata kias/lambang, dan
bangunan rima serta irama yang dibangunnya sungguh tampak
jelas. Begitu juga sajak (2), dan sajak (3). Akan tetapi sebelum
kita menelusuri lebih lanjut unsur pembangun ketiga puisi ter-
sebut di atas, perlu dikenali terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan diksi; citraan; kata-kata konkret; bahasa kias/lambang;
rima dan irama itu.

Diksi
Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan penyair de-
ngan secermat-cermatnya untuk menyampaikan perasaan dan
isi pikirannya dengan setepat-tepatnya agar terjelma ekspresi
jiwanya seperti yang dikehendakinya secara maksimal sehingga
pembaca pun akan merasakan hal yang sama. Oleh karena itu
ada banyak penyair yang mengubah, mengganti berulang kali
kata yang dipilihnya sampai dirasakan pas betul untuk menda-

105
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

patkan kepadatan dan intensitas ekspresinya dengan memper-


timbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya. Salah satu con-
toh klasik adalah sajak “Derai-derai Cemara” tersebut di atas.
Larik yang berbunyi: Hidup hanya menunda kekalahan/tambah
terasing dari cinta sekolah rendah/ (dalam kumpulan sajak Kerikil
Tajam); tetapi diubah menjadi: hidup hanya menunda kekalahan/
tambah jauh dari cinta sekolah rendah/ (dalam kumpulan sajak
berjudul Deru Campur Debu) .
Pilihan kata terasing (berarti menunjukkan rasa keterpen-
cilan); sementara kata jauh menunjukkan adanya jarak. Larik
tambah jauh dari cinta sekolah rendah jelas lebih pas dalam kaitan
cita-cita sekolah rendah (cita-cita masa kanak-kanak yang biasa-
nya membayangkan kehidupan yang lebih gemilang di kelak
kemudian hari); ternyata kini dialami Chairil Anwar dewasa
pada kenyataannya tidaklah demikian. Itulah hebatnya diksi!
Dalam pada itu sajak “Bilung Grundelan” karya almarhum
Linus Suryadi menjadi menarik untuk didiskusikan dalam hal
diksinya. Mengapa Linus memasang kata dhapukan yang artinya
peran, terutama di dunia teater dan kata kojur yang artinya celaka
dalam “dapat dhapukan apa pun tetap kojur”. Begitu juga kata
ngalor ngidul (artinya ke utara dan ke selatan, ke sana ke mari)
dalam “Ngalor ngidul harus pakai seragam”; pacak baris (artinya
baris berbaris) dalam “... Negeri pacak baris”; kathok (yang arti-
nya celana) dalam “Hem batik kathok famatek, lumayan”; nyeng-
klak (yang artinya melompat naik), dan kejeglong ( artinya masuk
lubang) dalam “Dasar sial, nyengklak sepeda kejeglong”; serta
nothol (artinya mematuk) dalam larik “Lha bagaimana, ayam
saja ogah nothol”.
Barangkali guru bahasa Indonesia akan marah-marah mem-
baca sajak Linus itu karena menggunakan kata-kata yang jelas
sangat tidak baku! Kemarahan itu dapat dimaklumi sepanjang
sang guru belum banyak bacaannya di seputar puisi (maaf). Pe-
milihan kata Jawa dalam puisi tersebut memang disengaja pe-
nyairnya, sebab Linus ingin melukiskan dengan secermat dan

106
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

setepat-tepatnya dengan memanfaatkan bahasa dan budaya Jawa


untuk menyampaikan makna dan pengalaman orang Jawa di
Indonesia. Persoalannya memang apakah kata-kata Jawa dalam
sajak itu akan hilang bayangan maknanya jika diganti dengan
kata-kata dalam bahasa Indonesia. Hal semacam juga dapat
dilacak dalam puisi karya Darmanto Yatman berjudul “Bla Bla”
dalam kumpulan sajaknya yang bertajuk Ki Blakasuta Bla Bla yang
bahkan memasukkan kata-kata asing. Di bawah ini dikutipkan
bait pertama dari sajak tersebut.

.................................................
kayak rayap orang-orang london ngerubung liang-liang
subway
pating kruntel madhumani, mombasa, guillermo, sontoloyo
dan mereka terus juga nyeloteh: yes sir
bla bla!
no sir
bla bla!
orang-orang london terus juga gemrenggeng
rambut-rambut pirang, kepala-kepala botak, kribo-kribo
sari, sweater, jacket, jumper
berdesak-desakan
bla bla!
terus juga mereka merayapi
pintu-pintu, escalator-escalator, tangga-tangga
dengan sepatu booty, levin, bally, cardin
bla bla!
..............................................................
(Dikutip dari Ki Blakasuta Bla Bla, 13)

Citraan
Citraan (imagery) alias gambaran angan-angan/pikiran;
sedangkan citra (image) adalah sebuah efek dalam gambaran
angan atau pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang

107
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

dihasilkan oleh ungkapan penyair terhadap sebuah objek yang


dapat ditangkap oleh indra penglihatan, pendengaran, perabaan,
pencecapan, penciuman, bahkan juga pemikiran dan gerakan.
Perhatikan bagaimana Linus Suryadi membangun citraan dengan
imaji/citra penglihatan seperti ini:

.....................................
Ngalor ngidul harus pakai seragam
.....................................
Hem batik kathok famatek, lumayan
......................................
Pakaian seragam kecemplung comberan
.......................................
Dasar sial, nyengklak sepeda kejeglong
......................................

Atau juga bagaimana Chairil Anwar memanfaatkan seka-


ligus imaji lihat-dengar-pemikiran-dan gerak dalam sajak ber-
judul “Derai-Derai Cemara” seperti ini://cemara menderai sam-
pai jauh/terasa hari jadi akan malam/ada beberapa dahan di
tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam// ............. /
hidup hanya menunda kekalahan/tambah jauh dari cinta sekolah
rendah/dan tahu/ ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pa-
da akhirnya/ kita menyerah//. Relasi antara pemilihan kata-
citraan-kata konkret-rima-iramanya dalam larik cemara menderai
sampai jauh/terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan di tingkap
merapuh/ dipukul angin yang terpendam// sungguh mengagumkan.
Suku kata cemara menderai, dari sudut pemilihan kata dapat kita
pertanyakan mengapa Chairil memilih kata menderai (yang seka-
ligus mengandung citraan-lambang-dan rima) untuk direlasikan
dengan cemara? Jika kita membuka kamus, kata menderai diarti-
kan sebagai jatuh berguguran tak beraturan. Luar biasa. Lewat
larik pertama saja pembaca dapat mencitrakan/mengimajikan

108
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

sekaligus. Citra lihat-dengar yang begitu dominan dalam sajak


itu mampu menimbulkan suasana khusus yang mengharukan.
Hanya memang, citra membutuhkan konvensi agar dapat
ikut dibayangkan oleh pembaca pada saat ia membayangkan
apa yang menjadi gambaran si penyair pada saat ia menuliskan
puisinya, yaitu gambaran angan jangan berada di luar jangkauan
pengalaman kita sebagai manusia, seperti misalnya ‘hitam seperti
rongga tenggorokan serigala’.
Dalam jagat puisi Indonesia modern, penyair yang mem-
peroleh julukan sebagai penyair imagis, penyair yang secara sun-
tuk memanfaatkan citra lihat-dengar-cium-gerak secara serentak
adalah Sapardi Djoko Damono. Berikut dikutipkan contohnya.

AIR SELOKAN

“Air yang diselokan itu mengalir dari rumah sakit,”


katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau
berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung
– ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan
untuk memandikanmu waktu kau lahir; campur darah dan
amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat
di kamar mati.
*
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi
selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri menuding
sesuatu, “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu
– alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi
menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan
air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas, hlm. 18)

109
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Kata-kata Konkret
Kita mengenal istilah kata umum, kata khusus, denotasi,
dan konotasi. Kata ‘membawa’ misalnya, jelas bernilai rasa umum.
Akan tetapi, ‘menggendong si upik’; ‘menggenggam uang’; ’menggo-
tong mayat’; atau ‘menggandeng pacar’, jelas juga berarti memba-
wa. Bedanya, yang belakangan itu lebih dapat dicitrakan, diba-
yangkan dengan jelas oleh pembaca, sedangkan ‘membawa’ sa-
ngat sulit untuk dicitrakan dengan tepat. Demikian juga kata
‘sunyi’ secara denotatif berarti (1) tidak ada bunyi atau suara
apa pun; (2) tidak ada orang, kosong; (3) tidak banyak transaksi,
tidak banyak pembeli; (4) bebas, lepas, terhindar dari kesalahan.
Nah, bagi seorang penyair dia harus menentukan kata sunyi
dalam arti yang mana, itu artinya secara denotatif berarti sunyi,
tetapi secara konotatif mungkin dimaksudkan sebagai yang no-
mor (1) penyair dapat menggunakan kata hening atau senyap,
misalnya dalam larik ‘berdiri aku di senja senyap’.
Penyair-penyair tertentu, misalnya Rendra, Sitor Situmo-
rang, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calcoum Bahri,
Afrizal Malna, atau Dorothea Rosa Herliany sangat piawai dalam
memilih kata-kata yang secara denotatif (berarti arti yang ditun-
juk atau arti yang terdapat dalam kamus) sekaligus memancarkan
asosiasi-asosiasi yang muncul dari arti denotatifnya (konotasi-
nya), seperti misalnya

Ia makan nasi dan isi hati


pada mulut terkunyah duka
..........................................
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
.....................................
(Rendra, “Di Meja Makan” dalam Balada Orang-orang
Tercinta, 34)

110
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Atau larik Darmanto Yt yang berbunyi: /kayak rayap/ orang-


orang london ngerubung liang-liang subway/pating kruntel ma-
dhumani/, mombasa/, guillermo/, sontoloyo/; atau Chairil An-
war ketika berucap: /cemara menderai sampai jauh/terasa hari
akan jadi malam/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/di-
pukul angin yang terpendam. Juga dalam larik: /.... Sepi mene-
kan-mendesak/Lurus kaku pohonan/Tak bergerak/Sampai ke
puncak./ Sepi memagut/ Tak satu kuasa melepas-renggut/ ..../ Tam-
bah ini menanti jadi mencekik/ ........../ dan sebagainya.

Bahasa Kias/Majas/Simbol
Sampai di sini sebenarnya kita bisa melihat betapa “serakah-
nya” penyair itu. Untuk mengungkapkan sesuatu dengan tepat
dan dirasakan pas dengan apa yang dimaksud ia harus berusaha
dengan sangat keras untuk memilih kata (diksi) setepat-tepatnya
dengan mempertimbangkan pula segi citraannya, kata khusus/
konkret lengkap dengan denotasi-konotasinya. Dan apabila de-
ngan pilihan semacam itu masih dirasakan belum cukup, penyair
masih berusaha pula dengan memilih kata yang mengandung
perbandingan/kias/majas atau simbol tertentu dan ditambah
lagi yang disusun dalam rima dan irama tertentu pula. Luar
biasa “serakahnya”. Atau luar biasa njlimet-nya? Lihat penggalan
beberapa bait sajak-sajak berikut ini.

HAMPA
kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.


Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut

Tak satu kuasa melepas-renggut


Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi.

111
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Tambah ini menanti jadi mencekik


Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
(Chairil Anwar, Deru Campur Debu, hlm. 8)

BLUES UNTUK BONNIE

Kota Boston lusuh dan layu


kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu, seperti tungku-tungku
yang menjengkelkan.

..............................................

Orang-orang berhenti bicara


Dalam cafe tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya
Maka dengan blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.

112
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Gorrila tua yang bongkok


meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.

Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srenta dilihat muka majikan cafe jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap ke surga.
.........................

Bagaikan ikan hitam


ia menggelepar dalam jala.
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.
...........................................

(Rendra, Blues untuk Bonnie, hlm. 14-15)

Dari dua sajak tersebut di atas, menjadi sangat jelas betapa


kata dipilih oleh Chairil Anwar dan juga Rendra dengan pertim-
bangan sangat ketat dan suntuk dari segi diksi-citra-kata kon-
krit/denotasi/konotasi, dan pigura bahasa dalam bentuk majas

113
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

atau simbol. Pada sajak Rendra contoh di atas, misalnya: /Kota


Boston lusuh dan layu/kerna angin santer/udara jelek/dan ma-
lam larut yang celaka/.
Larik “Kota Boston lusuh dan layu”, benar-benar diperhi-
tungkan dari sudut diksi-citra-konotasi- dan majas personifikasi
kota Boston layu. Dalam bayangan kita sebagai pembaca, kota
Boston di AS itu bukan hanya lusuh, kumuh, tapi juga layu alias
tak bergairah lagi. Rendra masih merasa belum cukup. Ia juga
mendeskripsikan angin, udara, dan tengah malam yang celaka.
Malam yang celaka ini dilukiskan dengan sangat konkret lewat
suasana cafe yang sepi pengunjung, tapi penuh kepulan asap
rokok kelabu, seperti tungku-tungku yang menjengkelkan. Ha-
nya ada tujuh pasang tamu yang sedang tenggelam dalam dansa
dan dihibur oleh penyanyi Negro yang sudah tua.
Bagaimana penyanyi Negro itu beraksi dilukiskan oleh Ren-
dra dengan sangat pas lewat diksi-citra-konotasi-dan majas per-
bandingan dan metafora seperti di bawah ini.

..........................................
Maka dengan blingsatan/ ia bertingkah bagai gorilla/ Gorrila
tua yang bongkok/meraung-raung/ Sembari jari-jari galak di
gitarnya/ mencakar dan mencakar/menggaruki rasa gatal di
sukmanya/Bagaikan ikan hitam/ia menggelepar dalam jala/
Jumpalitan/dan sia-sia.
......................................

Rima dan Irama


Rima adalah persamaan bunyi, yang dapat berbentuk asso-
nansi, aliterasi, resonansi, rima berangkai, rima berselang, rima
sempurna/tak sempurna, dan sebagainya, seperti dalam sajak
Chairil Anwar dan Rendra yang berbunyi: menekan-mendesak/
tak bergerak/memagut/melepas renggut// segala menanti/me-
nanti/menanti/sepi//. Atau dalam larik-larik puisi Rendra yang
berbunyi:

114
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

.....................................
Orang-orang berhenti bicara
Dalam cafe tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela
..................................................

Sementara irama adalah tinggi rendahnya suara, panjang pen-


deknya suara, cepat lambatnya suara akan dibicarakan dalam
membaca sajak khususnya deklamasi.

Unsur Jiwa/Roh Puisi


Seperti telah disebutkan di depan unsur jiwa ini terdiri dari:
rasa (feeling), nada (tone), amanat/tujuan (intention), dan pokok
persoalan/tema (sense). Unsur rasa dan nada berkaitan erat. Sajak
“Bilung Grundelan” karya Linus Suryadi, dan “Sajak Transmi-
gran II” karya F. Rahardi, misalnya, sangat jelas rasa dan nada-
nya. Bagaimana Linus dan Rahardi menyikapi objek puisinya
sangatlah mirip. Kesebalan campur ketrenyuhan yang dirasakan
Linus terhadap “nasib” atau lebih tepat “dipernasib” oleh struk-
tur kekuasaan negara yang otoriter terhadap pegawai negeri
rendahan, menyebabkan nada sajak “Bilung Grundelan” menjadi
getir, mengenaskan campur menyebalkan. Begitu juga “Sajak
Transmigran II”, kesebalan-kejengkelan-sekaligus kemarahan
bisa jadi mengawali proses kelahiran sajak ini. Oleh karena itu,
nada yang sampai kepada pembaca pun (lebih-lebih apabila dide-
klamasikan) kata singkong yang diulang-ulang akan menyebabkan
kita tersentak dengan meninggalkan kesan kegetiran yang me-
ngiris.
Itulah hebatnya feeling dan tone yang benar-benar dimanfaat-
kan oleh penyair. Dari seorang penyair yang sama, misalnya
Chairil Anwar, lewat sajak berjudul “Derai-Derai Cemara” dan
sajak berjudul “Hampa”, nada yang sampai di telinga pendengar
dalam pembacaan puisi jelas berbeda. Lewat “Derai-Derai Ce-
mara” kita akan merasakan ketegaran, kedewasan sikap sese-

115
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

orang; sementara lewat “Hampa” pembaca akan merasakan nada


yang menyesakkan-memilukan di antara geliat seseorang yang
sedang stres berat. Itu semua jelas sebagai akibat dari rasa apa
yang dialami Chairil Anwar pada saat melahirkan kedua puisi
itu. Dengan demikian, salah satu unsur yang paling penting da-
lam membaca puisi adalah kepiawaian kita menangkap rasa dan
nada sajak yang sedang kita baca. Jika kita salah menangkap
rasa dan nadanya, maka akan berakibat fatal; sajak akan menjadi
rusak dan bahkan salah kita tangkap makna atau rokhnya.

Amanat dan Tema


Betapapun sederhana atau singkatnya sebuah puisi,
dipastikan mengandung unsur amanat dan tema. Berikut
dikutipkan tiga buah sajak pendek.

(1) MEDITASI

Tuhan, kau hanya kabar dari keluh.


(Abdul Hadi W.M., Meditasi, hlm. 29)

(2) SUNYI

Katak kecil melompat dalam kolam tua


Plup!
(Haiku dari Jepang)

(3) TUAN

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,


saya sedang ke luar.
(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas, hlm. 25)

116
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Dari ketiga contoh sajak pendek tersebut di atas, sajak (1) karya
Abdul Hadi W.M. paling mudah dilacak apa makna sajak itu,
apa pula tema, dan amanatnya. Bukan hanya Abdul Hadi W.M.
kita pun sering berbuat hal yang sama: dalam meditasi atau ber-
doa dalam kekhusukan, kita biasanya cenderung lebih banyak
mengadukan kesusahan-kerepotan-kemalangan yang kita ha-
dapi; sementara itu, dalam hal yang sebaliknya, masihkah kita
ingat pada Tuhan? Maka, lewat tema bahwa kita berkecende-
rungan hanya ingat Tuhan jika sedang menderita, amanatnya
sangat jelas: sindiran atau gugatan pada kita semua agar selalu
ingat bahwa dalam situasi apapun kita harus selalu ingat dan
bersujud kepada-Nya.
Sajak (2) lebih mudah dilacak apa pokok persoalan/tema
dan amanat puisi itu. Kesunyian yang tampil dalam sajak itu
bukan hanya kesunyian dalam ruang dan waktu tetapi juga ke-
sunyian dalam rasa. Bahwa kesunyian yang amat sangat secara
alami tampak pada prasa “katak kecil” alias precil yang secara
wadhak bukan main kecilnya itu “melompat dalam kolam tua”
dan berbunyi “plup!” sampai terdengar ... apalagi jika bukan
kesunyian yang benar-benar sepi.
Sedangkan sajak (3) yang berjudul “Tuan” karya Sapardi
Djoko Damono, mirip dengan sajak (1) juga menyindir pada kita,
bahwa kita sebagai manusia kadang tahu bahwa; Tuan, Tuhan,
bukan?, tetapi tunggu sebentar/ saya sedang ke luar//. Kita mendengar
suara adzan pukul enam sore misalnya, atau bunyi lonceng ge-
reja pukul enam pagi, kadang tidak kita perhatikan karena kita
sedang sibuk (sedang ke luar), dan kita tahu bahwa suara itu adalah
ajakan untuk bersembahyang, tetapi tidak jarang kita berkilah
tunggu sebentar saya sedang repot, dan seterusnya.
Dengan demikian, hampir dapat dikatakan bahwa tak ada
sajak yang tidak mengandung tema dan pesan, betapa pun sing-
katnya sajak itu. Tema, pesan, rasa, dan nada sebuah sajak tidak
lain adalah unsur dalam alias rokhnya puisi. Kita dapat terkesiap
menangkap pesan sajak-sajak Chairil Anwar misalnya dalam

117
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

sajak “Hampa”, “Aku”, “Selamat Tinggal”; tetapi juga dapat


menerima pesan kepasrahan pada sajak-sajaknya seperti: “Doa”,
“Senja di Pelabuhan Kecil”, dan “Derai-Derai Cemara”.

Apresiasi Puisi
Terlebih dahulu perlu dipertegas kembali apa arti apresiasi
itu. Jika kita membuka kamus Webster’s New World Dictionary
(1991: 67), akan dijumpai kata appreciate, appreciated (v) yang ber-
asal dari kata appretiatus (Latin), dan kata appreciation (n). Kata
appreciate , ternyata sangat luas artinya (ada 5 arti). Satu di an-
taranya berkaitan dengan seni, kata itu diartikan sebagai to think
well of; understand and enjoy. Kata appreciate bersinonim dengan
value, dan prize. Appreciate menunjukkan bahwa seseorang dapat
menilai sesuatu atau menikmati sesuatu, seperti misalnya He
appreciates good music, Ia menghargai/menikmati musik yang baik.
Sedangkan kata benda appreciation , juga mengandung banyak
arti. Dua di antaranya berbunyi (1) the act of appreciating, specifi-
cally proper estimation or enjoyment of art; (2) a judgment or evaluation.
“Proper estimation of art” alias penghargaan dengan tepat ter-
hadap karya seni. Dengan demikian “apresiasi puisi” dapat di-
artikan sebagai cara melakukan penghargaan/penilaian yang te-
pat terhadap puisi. Cara yang tidak dapat ditawar lagi agar kita
dapat menghayati dan memahami puisi dengan tepat, apalagi
jika bukan melakukan kontak langsung dengan puisi (alias mem-
baca puisi itu sendiri).
Ada banyak cara untuk memahami, menghayati, dan meng-
hargai puisi. Berikut akan dipaparkan cara memahami, mengha-
yati, dan menghargai puisi yang sudah umum dilakukan, yaitu
dengan cara membaca puisi itu secara langsung dan berulang-
ulang. Dalam membaca puisi, perlu diperhatikan pemenggalan
baris-barisnya, dan perlu diketahui pula bahwa dalam setiap
puisi, antara judul, baris-barisnya/larik-lariknya yang mebentuk
bait, dan bait-bait yang mengumpul dalam sebuah puisi, terdapat
kesatuan/pertalian makna yang utuh dan kompak.

118
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Lewat pembacaan yang setia pada pemenggalan yang benar,


jika di antara penggalan-penggalan itu disisipkan kata penghu-
bung yang tepat pula maka seluruh bait itu akan dapat dibaca,
istilahnya diparafrasekan sehingga arti lugas puisi itu dapat tam-
pil. Sebagai contoh berikut akan dikutipkan sajak karya Chairil
Anwar berjudul “Doa.”

Tuhanku/(meski) dalam termangu/ (tetapi) aku masih menyebut


nama-Mu/Biar susah sungguh mengingat Kau/ (yang ) penuh
seluruh/ caya-Mu (terasa) panas/(dan) suci/(yang kini dirasakan)
tinggal (seperti) kerdip lilin/ di kelam sunyi//
Tuhanku/ aku (merasa seperti) hilang bentuk/ (dan) remuk//
Tuhanku/ aku (merasa seperti) mengembara/ di negeri asing//
Tuhanku/ di pintu-Mu/ aku mengetuk/ aku/ tidak bisa berpaling//

Dengan pemenggalan larik seperti itu, secara denotatif da-


pat ditangkap apa kira-kira maksud Chairil Anwar. Untuk men-
cari apa kita-kira maknanya, dengan berbekal prinsip diksi,
citraan, denotasi-konotasi, metafora/pelambangan, dapat diurai
makna utuh sajak itu lewat mencoba mencari apa arti di balik
pilihan kata/frase yang digarisbawahi seperti tersebut di atas.
Si aku lirik dalam sajak itu berucap bahwa meskipun dalam
keadaan “termangu”, artinya dalam keadaan ragu-ragu, kasa-
rannya di antara percaya atau tidak, tetapi “masih menyebut na-
ma-Mu”, artinya masih kadang-kadang bersembahyang /berdoa.
Bukankah dalam berdoa kita pasti tidak lupa menyebut nama
Tuhan? Pengertian ‘kadang-kadang’ ternyata diperkuat lagi
dengan larik “biar susah sungguh”. Itu artinya keragu-raguan si
aku lirik benar-benar sudah “gawat”. Akan tetapi, si aku lirik
masih merasakan “caya-Mu” yang “panas” dan “suci”, meskipun
(lagi-lagi si aku lirik terus terang mengungkapkan bahwa caya
yang panas suci itu tinggal dirasakan sebagai kerdip lilin di kelam
sunyi). Hiiii.... apabila ada hembusan angin kecil saja ... apa jadinya!

119
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Dalam situasi yang seperti itu (tentu saja dalam keragu-


raguan itu), aku lirik merasa seperti tak lagi berwujud, tak bisa
berbuat apa-apa, bahkan terasa “remuk” dan seperti “mengemba-
ra di negeri asing”. Artinya: terpencil, sendiri, tak tahu arah, tak
tahu harus berbuat apa, tak bisa berkomunikasi dengan orang
lain (bukankah jika Anda berada di negeri asing dan tidak me-
nguasai bahasa mereka, Anda akan merasa dikucilkan, dan bi-
ngung?).
Beruntunglah si aku lirik akhirnya dengan jujur mengatakan:
Tuhanku/di pintu-Mu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling//.
Singkat kata, walaupun dalam keraguan yang luar biasa, si aku
lirik menyadari bahwa tak ada cara lain kecuali mengetuk “pintu”
Tuhan, sujud, menyembah pada-Nya (‘aku tak bisa berpaling’).

Penutup
Demikianlah seluruh proses yang harus dilalui jika kita ingin
memahami, menikmati, dan menghayati puisi. Memang seperti
yang tertera dalam bagaimana mengapresiasikan sebuah puisi,
langkah awal dan terpenting adalah langsung menggeluti puisi,
langsung membaca puisi secara benar dan berulang-ulang agar
pada akhirnya memperoleh titik terang ke arah pemahaman dan
penghayatan karya sastra yang berbentuk puisi. Tentu saja, pada
saat kita membaca puisi tertentu secara berulang-ulang, disadari
atau tidak, ada banyak unsur yang berulang dan menggoda un-
tuk dilacak bagi pembaca yang mulai merasakan sentuhan rasa
dan nadanya lewat pilihan kata, citraan yang tergambar di
angan, perbandingan/metafora, rima dan irama yang diulang-
ulang dan berkesan indah dibaca dan didengar.
Itulah sebabnya makalah yang sangat global ini mencoba
mengajak bagaimana memahami, menikmati, dan menghayati
puisi lewat mengenal apakah puisi itu, bagaimana proses kreatif-
nya, unsur apa saja yang mebangunnya, dan bagaimana menga-
presiasikannya. Mereka yang berminat untuk mendalaminya
lebih lanjut, berikut disertakan daftar bacaan, baik yang berupa

120
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

teori ataupun buku-buku puisi yang dapat dibaca dan diperguna-


kan sebagai sumber pemahaman lebih lanjut.

Daftar Bacaan
Anindyah, Wara. 2001. Melukis Mengolah Sukma. Yogyakarta:
Seruni.
Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
————— . 1978. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus.
Jakarta: Dian Rakyat.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar
Harapan.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Perahu Kertas. Jakarta: Balai
Pustaka.
————— .1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Darmanto, Jt. 1980. Ki Blaka Suta Bla Bla. Semarang: Karya Aksara.
Effendi, S. 1973. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende: Nusa Indah.
Ghiselin, Brewster (ed). 1961.The Creative Process. New York: The
New American Library.
Jassin, HB. 1963. Pudjangga Baru Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung
Agung.
Moeliono, Anton (penyelia). 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Neufeldt, Victoria & David B. Guralnik.(ed). 1986. Webster’s New
World Dictionary of American English. New York: Prentice
Hall General Reference.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rahardi, F. 1983. Soempah WTS. Jakarta: Penerbit Puisi Indonesia.
Rendra, W.S. 1976. Blues untuk Bonnie. Jakarta: Pustaka Jaya.
Richards, I.A. 1970. Principles of Literary Criticism. London: Cox
& Wyman Ltd.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and
London: Indiana University Press.

121
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Saini, KM. 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: Penerbit


ITB.
Suryadi, Linus.(ed). 1987. Tonggak I. Jakarta: Gramedia.
—————————— . 1988. Tonggak III. Jakarta: Gramedia.

122
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

PADA MULANYA, PUISI ADALAH KATA


Hamdy Salad

Pada mulanya, puisi adalah kata. Susunan kata-kata. Sejum-


lah baris kalimat yang di jajar ke bawah, dan dinyatakan oleh
penulisnya atau orang yang membacanya sebagai puisi. Dengan
begitu, kita boleh beranggapan bahwa puisi dapat ditulis oleh
semua orang. Setiap orang yang pernah sekolah atau terbebas
dari B-2 (buta huruf dan buta tulis) dapat menuang dan merang-
kai kata-kata, kemudian menyebutnya: puisi. Anto yang sedang
jatuh cinta, atau Ani yang sedang bersedih karena ditinggal ke-
kasih, dengan mudah dapat menulis atau menjajar kata-kata da-
lam buku diary, dan hasilnya boleh juga diberi nama puisi.
Akan tetapi, ketika kita mulai berpikir bahwa puisi merupa-
kan bentuk ekspresi seni yang diwujudkan melalui kata-kata,
dan dicipta berdasarkan konvensi, aturan, konsep atau kriteria-
kriteria tertentu, maka kita pun akan percaya, bahkan juga me-
yakini: tidak semua orang dapat menulis puisi dan tidak semua
orang yang mampu menulis puisi dapat dinamai penyair. Iwan
yang selalu berdandan seperti seniman yang mengerti tentang
apa dan bagaimana puisi itu mesti ditulis, mungkin saja telah
menghabiskan waktunya untuk melahirkan sejumlah puisi puluh-
an atau ratusan puisi sebagai ekspresi seni, namun tidak semua
orang seperti Iwan dapat disebut sebagai penyair. Sebagaimana
juga yang terjadi dalam bidang seni yang lain: tidak semua orang

123
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

yang bisa bernyanyi disebut penyanyi, dan tidak semua orang


yang bisa melukis disebut pelukis.
Melalui dua alinea di atas, setidaknya dapat diambil penger-
tian bahwa puisi adalah ekspresi seni yang terbentuk dari su-
sunan kata-kata. Tetapi, tidak semua susunan kata-kata dapat
disebut puisi. Begitu juga sebaliknya, tidak semua orang yang
dapat menulis puisi disebut penyair, dan tidak semua orang yang
disebut penyair selalu menulis puisi. Namun, ketika seseorang
telah diakui eksistensinya, dikenal dan dinobatkan oleh masya-
rakat luas sebagai penyair, maka status itu akan melekat dan
abadi pada dirinya, walau mungkin saja, ia sudah tidak lagi dapat
menulis puisi sampai ajal menjemputnya.
Karena itu, meskipun banyak teori dan buku, pelatihan dan
pendidikan yang mengajarkan metode, kiat dan cara-cara untuk
menciptakannya, puisi dan penyair masih saja menjadi misteri.
Menjadi bagian dari manifestasi budaya manusia yang tidak mu-
dah dikembangkan, dibentuk, dan diciptakan seperti yang terca-
tat dalam sejarah kesusastraan. Itulah sebabnya, dari generasi
ke generasi, masih saja ada yang berminat untuk dapat menulis
puisi, dan masih juga ada orang yang terus berjuang untuk men-
jadi penyair sampai mati.
Seperti garam di air laut, puisi dan penyair memang sulit
untuk dipisahkan. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-
hari dalam kenyataan budaya yang ada, puisi dan penyair telah
berubah menjadi dua dunia yang berbeda. Puisi dapat berkem-
bang menjadi pelajaran atau mata kuliah dan diakui sebagai ilmu
pengetahuan dengan berbagai teori yang melingkupi; sementara
penyair selalu berada dalam rumah atau di jalanan dan dianggap
sebagai menuai berandalan. Dengan demikian, makna puisi dan
proses-proses penciptaannya dapat dipelajari dan diajarkan oleh
siapa saja, sedangkan makna proses-proses kepenyairan tidak
mungkin dapat dipelajari dan diajarkan kecuali oleh penyair
sendiri.

124
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Sebagai ilmu pengetahuan, puisi memiliki definisi yang be-


ragam. Ada yang mengatakan bahwa puisi adalah susunan kata
yang indah dan bermakna. Ada juga yang berpendapat, puisi
adalah susunan kata-kata yang terikat oleh konvensi, oleh aturan
dan unsur-unsur bunyi. Sementara yang lain menganggap, puisi
merupakan susunan kata yang indah dan dirangkai dalam ben-
tuk yang indah. Puisi sering juga disebut sebagai pernyataan
jiwa, emosi dan pengalaman yang diungkapkan melalui kata-
kata terpilih padat dan singkat. Puisi juga berarti susunan kata
yang ke luar dari percampuran antara perasaan dan pikiran.
Namun ada juga yang mendefinisikan sebagai rekaman peristiwa
yang paling berkesan dalam kehidupan dan dinyatakan dalam
susunan kata yang hemat dan tepat.
Dari beragam definisi di atas, setidaknya dapat ditemukan
beberapa unsur pokok atau konvensi yang menyebabkan susunan
atau rangkaian kata-kata itu boleh disebut puisi. Yakni, unsur
penulisan (padat, singkat dan tepat), unsur keindahan (irama, bunyi
dan nada), unsur perasaan (emosi, kesan dan pengalaman), unsur
pikiran (logika, penggambaran atau penafsiran terhadap peris-
tiwa), serta unsur makna (arti, pesan atau amanat). Konvensi-
konvensi termaksud, meskipun belum sepenuhnya dapat men-
jangkau semua bentuk, aliran, gaya dan seluk beluk pemahaman
tentang puisi, namun kiranya sudah memenuhi syarat untuk
menyatakan bahwa, setiap susunan kata-kata atau baris kalimat
yang memiliki unsur-unsur tersebut dapat dianggap sebagai eks-
presi seni yang bernama puisi.
Dalam perkembangan sastra Indonesia terkini, puisi sering
juga disebut sajak atau syair. Ketiganya merupakan istilah yang
dapat dipakai secara bergantian, dan sama sekali tidak mengan-
dung perbedaan. Belum ada seorang pakar yang berusaha mem-
bedakan ketiga istilah tersebut, kecuali mengelompokkan seba-
gai salah satu jenis ekspresi seni dalam bidang kesusastraan,
disamping prosa (roman, novel, cerita pendek) dan sastra lakon
(naskah drama).

125
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Sebagai ekspresi seni, puisi dapat ditulis atau dicipta melalui


cara-cara tertentu. Cara-cara itu, biasanya disebut proses kreatif,
atau tahap-tahap yang mesti dilalui dalam penciptaan (penulisan)
puisi. Proses kreatif, dalam penciptaan puisi (juga kesenian yang
lain), pada dasarnya tidak mengikat. Artinya, proses kreatif itu
bisa berbeda antara orang (seniman) yang satu dengan orang
lainnya. Akan tetapi, sebagaimana yang sering diceritakan oleh
para penyair, proses penciptaan puisi secara umum dapat dike-
lompokkan menjadi empat tahap; yaitu pencerapan, pengendapan,
penulisan dan perbaikan.
Pertama, tahap pencerapan; menunjuk pada proses atau ke-
giatan sehari-hari untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya melalui membaca, melihat, merasakan terhadap ber-
bagai peristiwa, kejadian dan pengalaman yang bersifat indi-
vidual (dalam kehidupannya sendiri), sosial (di tengah masyara-
kat), maupun universal (kemanusiaan dan ketuhanan).
Kedua, tahap pengendapan; berarti memilih atau menyaring
informasi (masalah, tema, ide, gagasan) yang menarik dari tahap
pertama, kemudian memikirkan, merenungkan, dan menafsirkan
sesuai dengan konteks, tujuan dan pengetahuan yang dimiliki.
Dengan begitu, segala informasi yang diperoleh tidak langsung
diterima, tetapi harus diolah dan dikaitkan, dibentuk dan dikem-
bangkan seluas mungkin.
Ketiga, penulisan; merupakan proses yang paling genting
dan rumit. Pada tahap ini, seluruh energi kreatif (kemampuan
dan daya cipta), intuisi dan imajinasi (kepekaan rasa dan kecer-
dasan pikir), pengalaman dan pengetahuan, berbaur menjadi
satu untuk mencari dan menemukan kata-kata atau kalimat yang
tepat, singkat dan padat, indah dan mengesankan, dan dianggap
telah mewakili informasi dan hasil permenungan yang diperoleh
dari tahap/kegiatan sebelumnya. Sampai kaa-kata itu menjadi
tersusun dan bermakna, terbentuk dan terbaca sebagai puisi.
Keempat, perbaikan; tahap ini dapat juga disebut membaca
ulang terhadap puisi yang telah dilahirkan. Di sini, ketelitian

126
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

dan kejelian seseorang untuk mengoreksi seluruh rangkaian


kata, kalimat, baris dan bait, sangat dibutuhkan. Kemudian
mengubah, mengganti, atau menyusun kembali setiap kata atau
kalimat yang tidak/kurang tepat agar seluruh susunan kata-kata
saling terkait, saling berhubungan, saling mendukung dengan
membiaskan gaya bahasa, deskripsi atau penggambaran yang
bersifat unik (simbolik, metaforik), berkesan, utuh dan menda-
lam. Oleh karena itu, bisa jadi, proses revisi atau perbaikan me-
makan waktu yang lebih lama dari penulisannya. Jika puisi terse-
but telah dianggap “menjadi”; tidak lagi dapat diubah atau di-
perbaiki.
Tahap-tahap proses penciptaan puisi di atas, tidak mungkn
dapat dipahami secara sempurna, kecuali dengan berlatih dan
terus berlatih. Maka, jika engkau ingin mencipta puisi, ambillah
kertas dan pena; menulis dan menulislah! Sampai jarimu terluka!
Hingga pada suatu waktu, bukan engkau yang menulis puisi,
tetapi puisi itu sendirilah yang menulis dalam dirimu, melalui
jari-jarimu.
Dan ketika engkau mulai tergerak untuk membacakan puisi-
puisimu di depan kelas, di atas panggung, di radio; atau menem-
pelnya di Mading, mengirim ke koran dan majalah; atau cara-
cara lain yang memungkinkan orang banyak dapat membaca
puisi-puisimu, pada saat itulah engkau telah memulai proses kehi-
dupan baru: proses kepenyairan!

Apresiasi Puisi: Dari Deklamasi hingga Instalasi


Sebagaimana jenis kesenian yang lain, puisi dapat diapre-
siasikan atau dipahami dan dikembangkan sesuai dengan unsur-
unsur yang dimiliki. Salah satu unsur puisi yang tidak dapat
dilenyapkan ialah pembaca. Artinya, suatu ekspresi dapat dise-
but puisi jika ada oang lain yang membacanya. Seseorang yang
menyusun kata-kata dan kemudian disimpan dalam laci, adakah
orang lain yang tahu bahwa yang disimpan dalam laci itu ber-
nama puisi? Oleh karena itu, apa yang disebut puisi, haruslah

127
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

terwujud dalam bentuk teks (susunan kata-kata yang tertulis di


atas kertas atau media lainnya) dan dapat dibaca orang lain.
Dalam dunia modern, teks puisi dapat terwujud di atas lembaran
kertas, dalam buku, koran, internet, dan media lainnya yang
memungkinkan untuk menjalin hubungan dengan pembaca.
Namun demikian, dalam sejarah perkembangan seni dan
kebudayaan terkini, teks puisi dapat ditransformasi atau diolah
dan dibentuk unsur-unsur komunikasinya melalui media ma-
nusia (deklamasi dan pembacaan puisi; poetry reading), media
suara (pita kaset, radio dan compac disk), media bunyi (nada,
melodi, nyanyian, lagu; vokal group, akapela; musikalisasi puisi),
media tubuh (gerak dan tarian, pantomime), media campuran
atau audio-visual (film, opera, drama, happening art; teatrikalisasi
puisi), maupun melalui media benda-benda (instalasi).
Di Indonesia, transformasi teks puisi dari media kertas me-
nuju media manusia di atas pentas, yang pada awalnya disebut
“deklamasi”, telah dikenal sejak Kasim Mansyur dan Bahrun
Rangkuti membacakan karya-karya puisinya pada tahun 50-an.
Hal ini terus berlanjut ketika jurnal acara “Pertemuan Sastrawan
atau Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia I” berlang-
sung pada tahun 1964 dengan menyediakan tempat bagi para
penyair untuk berdeklamasi: WS. Rendra dan Dedy Sutomo ha-
dir membacakan karya-karya puisi mereka dengan cara yang
lebih fasih. Selanjutnya, ketika Rendra pulang dari Amerika, un-
sur-unsur deklamasi dikembangkan dan diubah istilahnya men-
jadi “poetry reading” atau “pembacaan puisi”. Dalam pertemuan-
pertemuan sastrawan Indonesia berikutnya (tahun 1970-an),
pertunjukan seni deklamasi dan poetry reading menjadi menu acara
yang selalu ditunggu. Di samping Rendra, munculah Sutardji
Caulzum Bachri yang membacakan puisi-puisinya dengan cara
unik dan menarik. Sementara Chairul Umam (sebagai aktor) dan
Hamsad Rangkuti (sebagai cerpenis) turut ambil bagian di da-
lamnya dengan mempertunjukkan kesungguhan dalam ikhtiar
“pembaca cerpen” (cerita pendek).

128
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Selama Orde Baru berkuasa, utamanya pada dekade 70-an


sampai awal 90-an, aksi-aksi pembacaan puisi dan cerpen menjadi
primadona dalam pertumbuhan kebudayaan modern di Indone-
sia. Dalam pertumbuhan itu, lahirlah suatu tradisi budaya yang
disebut “lomba baca puisi”.
Dalam perkembangannya terkini, deklamasi telah dianggap
sebagai bentuk kesenian yang mapan, memiliki konvensi, gaya
dan intonasi tersendiri dengan cara menghafal (menirukan cara
yang diwariskan oleh generasi sebelumnya). Sedangkan poetry
reading atau pembacaan puisi, merupakan jenis kesenian yang
bebas, tanpa terikat oleh konvensi, dan dapat dikembangkan
sesuai dengan keperluan.
Namun demikian, seni baca puisi tidak mungkin dapat di-
laksanakan secara memadai (memenuhi syarat-syarat pertun-
jukan) tanpa diimbangi dengan penguasaan terhadap teori, me-
tode, dan teknik yang mendasari. Teori berkaitan dengan sistem
pengetahuan dan apresiasi puisi; metode berkaitan dengan kon-
sep dasar seni pertunjukan, sedangkan teknik berkaitan dengan
cara-cara pembacaan dan penampilan di atas panggung.
Untuk mendekati dan memahami ketiga hal di atas, seorang
pembaca puisi (disebut deklamator, sering juga disebut aktor)
harus memiliki kesanggupan melakukan proses-proses kreatif
(pelatihan dan pendalaman) yang berhubungan dengan dunia
keaktoran (dasar-dasar seni teater). Proses kreatif itu dapat di-
tempuh melalui: Pendalaman P-4 (penafsiran, penghayatan, pem-
bacaan dan penampilan).
Penafsiran; merupakan proses kreatif untuk mendalami
teks puisi. Artinya, seorang pembaca puisi harus mempunyai
kemampuan untuk mengerti dan memahami ide dan gagasan
atau tema pokok dari sebuah teks puisi. Kemudian berusaha
menyimpulkan maknanya (isi, pesan, atau amanat). Kemampuan
menafsir ini dapat dilatih melalui kegiatan apresiasi puisi; mem-
baca buku-buku teori, sejarah, dan kritik sastra, maupun karya-
karya sastra pada umumnya, khususnya puisi.

129
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Penghayatan; merenungkan kembali hasil tafsir atau makna


yang diperoleh dari sebuah teks puisi dan menghayati secara
sungguh-sungguh, sehingga makna puisi tersebut betul-betul me-
rasuk ke dalam tubuh dan jiwa, seolah mengalami betul peristi-
wanya, merasakan kebahagiaan atau kesedihan, kesyahduan,
kebencian, dan lain sebagainya. Untuk menumbuhkan pengha-
yatan yang lebih tinggi, diperlukan latihan-latihan: olah imajinasi
(mengembangkan daya pikir dan daya khayal), olah panca indra
(mempertajam kepekaan alat-alat pengindraan), olah sukma
(mempertajam kepekaan rasa, intuisi dan kalbu), serta meditasi
(merenungkan berbagai masalah tentang kehidupan) dan kon-
sentrasi (memusatkan imajinasi dan pikiran pada tujuan atau
masalah pokok).
Pembacaan; adalah cara-cara melafalkan huruf dan kata-
kata melalui kakuatan lisan (ekspresi verbal), sehingga teks dan
makna puisi dapat didengar, dirasakan, dinikmati dan sekaligus
mampu menjalin hubungan yang akrab dengan audiens atau pe-
nonton. Untuk keperluan ini, seorang pembaca puisi dituntut
berlatih agar menguasai: pernafasan (memperoleh sumber energi
dalam tubuh) dan vokal (mengolah kekuatan pita suara untuk
menemukan nada dasar, tempo, irama, intonasi dan diksi, serta
efek-efek bunyi yang dapat dikeluarkan dari mulut), serta la-
tihan-latihan lain yang mendukung, seperti mengenali tanda baca
(tata bahasa), berbicara tanpa suara, berbisik, menangis, tertawa,
menirukan suara binatang, dan lain sebagainya.
Penampilan; merupakan ekspresi nonverbal (isyarat dan
gerak) yang membantu untuk menyampaikan makna puisi secara
afektif dan terukur. Penampilan sering disamakan dengan akting.
Akan tetapi, berbeda dengan akting dalam teater, penampilan
dalam pembacaan puisi tidak memerlukan properti atau alat-
alat pendukung. Agar penampilan dapat memikat dan enak dili-
hat, diperlukan latihan: pembebasan diri (menumbuhkan keper-
cayaan dalam diri sehingga tidak canggung, grogi, gemetar dan
lain-lain), olah tubuh (menguasai gerak-gerik anggota tubuh dari

130
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

rambut sampai ujung kaki dengan cara latihan gerak, senam,


pencak silat, tari, dan lain sebagainya), olah kreativitas (mencari
dan menemukan ide-ide baru), dan menguasai atau mengetahui
hal-hal yang berkaitan dengan panggung; seperti moving (cara
berjalan, berpindah dan bergerak), bloking (menempatkan po-
sisi), dan setting (penata benda-benda, hiasan atu alat-alat).
Di samping pendalaman P-4, seorang pembaca puisi atau
yang berkeinginan untuk menjadi pembaca puisi yang baik, di-
perlukan wawasan dan pengalaman-pengalaman dalam kesenian
atau keterlibatan dalam keikutsertaan dalam berbagai aktivitas
seni dan budaya yang memungkinkan dengan cara menonton,
mengamati, mengevaluasi pertunjukkan seni dan lain sebaghinya.
Aktivitas pembacaan puisi bukanlah sekedar kegiatan seremonial
dalam rangka perlombaan atau perpisahan, tetapi menjadi bagian
dari akspresi kesusastraan, menjadi keutamaan dari proses-pro-
ses kreatif untuk mengembangkan kesenian dan kebudayaan.

131
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

132
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

BEBERAPA HAL TENTANG


PENCIPTAAN DAN
PEMANGGUNGAN PUISI
Landung R. Simatupang

Pada tataran pertama, urusan saya ketika menulis sajak ada-


lah dengan diri saya sendiri. Saya dan diri saya sendiri berha-
dapan, “satu lawan satu”. Kalau toh ada pengalaman batin ter-
tentu yang hendak saya wujudkan (gagahnya: “saya abadikan”)
dalam sajak, itu pertama-tama adalah untuk saya sendiri. Saya
membuat, berbuat, untuk diri sendiri. Seperti kalau saya makan.
Tangan bekerja, bibir bekerja, rahang bawah bekerja, lidah be-
kerja, kelenjar liur bekerja, dan seterusnya. Memang bagi saya
makan dan menulis sajak sungguh sangat mirip: memberi masuk-
an dan menerima masukan sekaligus. Mengenyangkan dan dike-
nyangkan, menyehatkan dan disehatkan sekaligus, terhadap dan
oleh diri sendiri.
Terus terang, pada tataran pertamna, saya tidak peduli apa-
kah sajak saya dibaca orang lain apa tidak (ketika saya pertama
kali menulis “sajak-sajak” sekitar usia 12—13 tahun, sajak-sajak
itu sangat saya rahasiakan). Barangkali seperti seseorang yang
menulis buku harian, diary. Bahkan sampai sekarang pun saya
sama sekali tidak peduli apakah sajak saya akan dimuat di koran
atau majalah kalau dikirimkan, begitu juga apakah saya akan
disebut “penyair” atau tidak. Pada tataran berikutnya, saya
mungkin mempunyai hasrat selanjutnya. Saya merindukan hu-
bungan, saya pingin mengungkapkan keberadaan saya sebagai

133
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

bagian dalam kebersamaan manusia, masyarakat, maupun komu-


nitas. Saya berpikir dan merasa—entah secara jelas maupun sa-
mar-samar—bahwa pengalaman apa pun, pemikiran apa pun,
perasaan apa pun yang saya coba ungkapkan sebagai sajak pasti
ada kaitannya dengan manusia-manusia lain di luar diri saya.
Lalu saya berupaya mempublikasikan sajak-sajak itu lewat pem-
bacaan atau lewat media tulis/cetak.
Menurut pengalaman saya, benih proses penulisan sajak
adalah kegiatan berhadap-hadapan dengan diri sendiri, satu la-
wan satu, telanjang, dan dalam suasana jujur, didorong semangat
mengenyangkan dan sekaligus dikenyangkan. Dengan ungkapan
“suasana jujur” itu yang juga saya maksudkan ialah terkandung
kerelaan untuk “sampai ke mana-mana” dalam menanyai, me-
ngusut diri sendiri dengan segala pengalaman, pengetahuan, pera-
saan, kepicikan, kejahatan, harapan, impian-impian maupun se-
gala persoalan yang ada di dalamnya. Itulah sebabnya sajak dapat
menjadi sebentuk kesaksian mendalam tentang pengalaman hi-
dup seorang manusia. Pada taraf petama, kesaksian itu berman-
faat untuk diri si penyajak sendiri: dengan melahirkan pengalaman
batin itu sebenarnya si penyajak sedang menyosok dirinya sen-
diri, “mendefinisikan” keberadaannya dalam kaitan dengan suatu
pengalaman. Ia menegaskan kepada diri sendiri sikapnya ter-
hadap segi-segi kehidupan tertentu. Meskipun begitu puisi atau
sajak tidak terutama lahir karena dorongan upaya untuk me-
nyarikan pengalaman pikir dan rasa secara kering dan “berjarak”
dengan segi inderawi. Saya rasa begitu pula halnya dengan kar-
ya lukis, pahat, dan patung, tari, musik, dan lain-lain. Semuanya
adalah ungkapan yang dimaksudkan untuk menjadi setara dengan
pengalaman itu sebagai suatu kebulatan. Karya seni tidak hanya
berurusan dengan, misalnya, penyampaian informasi tentang
“buah pikiran” yang hanya berhubungan dengan pengertian yang
“kering”.
Unsur yang amat penting dalam kreasi puisi adalah usaha
“pengabadian” keseluruhan segi pengalaman, sehingga ketika

134
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

dihadapkan kepada “orang lain” (pada tataran pertama “orang


lain” itu adalah diri sendiri selaku pembaca tulisan sendiri) maka
ia mengandung kekuatan untuk menularkan suasana batin dan
mengimbau pengalaman inderawi. Sama dengan tujuan seniman-
seniman lain, penyair ingin membuat karya untuk dialami oleh
pembacanya yang pada tataran pertama diwakili oleh dirinya
sendiri. Ini membawa akibat berupa sikap dan strategi tertentu
dalam pemanfaatan bahasa sebagai sarana komunikasi dan
ekspresi. Selanjutnya kita kenal istilah “bahasa kesusastraan”
atau “bahasa puitis”, dan sebagainya. Dalam hubungan dengan
maksud untuk “menularkan” itu, jika dikontraskan dengan ba-
hasa dalam wacana ilmiah, lebih-lebih eksakta, bahasa dalam
puisi memberikan pementingan pada pengimbauan dan penu-
laran pengalaman inderawi yang merupakan bagian sangat
penting dari arti suatu gubahan puitis. Asosiasi rangsangan in-
derawi dan pengekspresian pengalaman inderawi itu demikian
menyatu dengan “buah pikiran” yang hendak disampaikan pe-
nyairnya. Dengan demikian, seseorang yang membaca puisi ter-
kadang merasa sedang bersentuhan dengan “pikiran yang mera-
sa” atau “perasaan yang berpikir”, “perasaan yang mengetahui”
dan “pengetahuan yang merasa”.
Untuk mulai mendekati proses penciptaan puisi, pertama
marilah kita segarkan kesadaran mengenai perangkat penginde-
raan. Kita segarkan kesadaran bahwa kegiatan indera-mengin-
dera: melihat, mendengar, meraba, mengecap, mencium, adalah
unsur sangat penting yang membentuk kehidupan. Meskipun
perangkat dan kegiatan penginderaan demikian penting, orang
mungkin sudah sangat terbiasa mengabstraksikan pengalaman
inderawinya sehingga sekadar menjadi pengetahuan yang kering.
Ia terbiasa membuat kesimpulan-kesimpulan serba rasional me-
ngenai “arti” benda-benda, tempat, orang, dan peristiwa. Ba-
rangkali ia telah begitu hanyut-larut dalam kerutinan kehidupan
sehari-hari sehingga cenderung berpikir serba praktis dan fung-
sional dalam menanggapi hal-hal yang oleh indera disampaikan

135
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

kepada otaknya. Melihat ayam kampung atau ikan air tawar,


misalnya, ia segera berpikir tentang kemungkinan beternak ayam
atau bertani sebagai usaha sambilan. Melihat bukit di pinggir
laut, ia langsung berpikir untuk membeli tanah di situ, mem-
bangun pondok penginapan: penghasilan bertambah, mungkin
bisa jadi kaya seperti tetangga sebelah. Warna-warni bulu ayam
yang mengkilap-kilap dalam cahaya matahari, yang disampaikan
oleh alat pengindera, seperti ia tolak begitu saja, disisihkan
sebagai sesuatu yang “tidak ada gunanya”.
Adapun momen puitik, titik awal dalam rangkaian proses
penulisan sajak—dan juga penciptaan lukisan, penggubahan kom-
posisi musik, cerita pendek, dan karya-karya seni lain—adalah
saat ketika tanggapan kita yang “hapalan” terhadap ihwal-ihwal
di sekitar tiba-tiba seperti disela dan digantikan oleh jenis tang-
gapan yang berbeda. Benda-benda yang paling sederhana, misal-
nya sendok dan garpu, yang dalam tanggapan sehari-hari biasa-
nya seperti tidak pernah diperhatikan, langsung saja diperguna-
kan sesuai dengan manfaat dan fungsi praktisnya, dapat saja
pada suatu pagi ditanggapi secara berbeda.
Bayangkan suatu pagi ketika seseorang terpaksa makan sa-
rapan seorang diri. Rumah sepi, tidak ada orang lain. Mengambil
sendok yang berkilapan, mengamatinya apakah si sendok sudah
bersih betul atau belum, orang itu melihat pantulan wajahnya
pada cembungan sendok. Untuk sesaat yang pendek, yang sangat
pendek, ia …tertegun (barangkali ada kata yang lebih tepat un-
tuk “tertegun” ini?). Momen semacam itu tidak terduga-duga
datangnya, muskil direkayasa, dan diselubungi misteri. Momen
puitik itu selalu padu, tak terpisahkan dengan pengalaman in-
derawi. Contoh yang disampaikan di atas berkaitan dengan in-
dera penglihatan. Tetapi telinga dengan segala suatu yang di-
tangkapnya, hidung dengan segala aroma yang terendus oleh-
nya, kulit dengan segala yang teraba dan terasa, lidah dengan
segala rasa yang terkecap, semuanya berpeluang untuk melahir-
kan momen puitik dan sekaligus menjadi bagiannya yang padu

136
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

tak terpisahkan. Dalam saat yang sangat pendek itu orang tadi
tercekam, tidak berpikir apa-apa, bahkan juga tidak merasakan
apa-apa. Saat itu memang sangat pendek. Orang itu segera
“terjaga” kembali, cepat-cepat makan lalu cepat berangkat karena
tidak ingin terlambat sampai di tempat kerja. Ia sudah kembali
kepada cerapan dan tanggapan-tanggapan praktis fungsionalnya.
Akan tetapi ada satu hal yang sangat penting: orang itu dapat
merefleksi, merekonstruksi, memanggil kembali gema suasana
pengalaman ketertegunan melihat cembungan sendok yang ber-
kilap dengan gambar sebagian wajahnya terpantul di sana. Ke-
mampuan inilah yang memungkinkan orang mencipta dengan
bertitik tolak pada momen-momen puitik.
Momen puitik dengan cerapan inderawi itulah yang menjadi
bagian inti yang sering disebut “inspirasi” atau “ilham”. Selain
itu ia menjadi kekayaan dalam perbendaharaan “ungkapan
puitik”, misalnya dalam puisi Rendra: //… kuciumi wajahmu wa-
ngi kopi/tapi juga kuinjaki sambil pergi/sebab wajah bunda adalah bumi/
cinta dan korban tak bisa dibagi //. Seseorang yang tidak pernah
tertegun, takjub oleh aroma kopi sebagai aroma itu sendiri—
artinya: bau itu tidak hanya ditangkap sebagai isyarat ‘nah itu
lezat, yuk kita minum, cagak lek ngoreksi ulangan umum murid-
murid’ –muskil sampai pada ungkapan puitis di atas. Kita ambil
contoh sajak Rendra lainnya, bagaimana mungkin penyair itu
sampai mengatakan // … terbuka luka kelopak-kelopak angsoka …//
kalau tidak pernah tertegun, “terkesima” oleh pengalaman inde-
rawi menatap bunga angsoka dan luka terbuka? Paderi muda
di mimbar, dalam sajak Rendra yang lain, bermata // … bersih
seperti mata kelinci …/ dan tangannya //…putih halus bagai leli …//.
Selain itu, jika seseorang tidak pernah tercekam oleh momen
puitik yang terhantarkan dalam cerapan indera pendengar, yakni
bunyi dan irama, muskil kiranya ia menulis puisi atau menemukan
puisi. Unsur bunyi seperti tinggi-rendah, keras-lirih, dan “warna”
(timbre) memegang peranan sangat besar dalam puisi. Demikian
juga alunan dan iramanya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa

137
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

“puisi” sebagai suatu “seni kata” ternyata menerobos hingga


jauh melampaui “kata” itu sendiri. Kata “ternyata” memang bu-
kan “hanya kata”, apalagi dalam pengertian arti harafiah yang
seolah beku dan baku dalam kamus. Kata ternyata adalah bunyi
dan suasana yang terhimbau oleh bunyi itu. Ia adalah gambar-
gambar dalam pikiran yang berkaitan dalam upaya memuncul-
kan gambar-gambar lain, sekaligus memanggil gambar-gambar
lainnya lagi. Selain itu, sebagai “pembawa gagasan atau arti”,
kata ternyata juta tidak “sejinak” kelihatannya. Arti “ibu” ter-
nyata selalu meluber hingga ke “ayah”, “anak”, “kakek”, “ne-
nek”, “cucu”, “laki-laki”, “perempuan”, “rumah”, “kantor”,
“dharma wanita”, “kota”, “desa”, “KB”, atau “kepadatan pendu-
duk”. Keterbukaan untuk merenungkan soal “keajaiban” kata
itu adalah unsur sangat penting dalam berpuisi. Pada akhirnya
gilirannya semua berkaitan dengan keterbukaan untuk memba-
ngun tradisi bertanya jawab dengan diri sendiri. Bertanya de-
ngan diri sendiri tersebut mengacu pada persoalan menyeleng-
garakan keheningan dan mengalamai bahwa keheningan itu ter-
nyata merupakan laporan yang bertumpuk-tumpuk sangat ba-
nyak. Keheningan ternyata juga dapat berisi keributan, maupun
kesemrawutan, tetapi juga harmoni maupun irama.
Keterbukaan dan kepekaan-kepekaan itulah yang terlibat
dalam seni pembacaan, penyuaraan, pemanggungan puisi, cer-
pen, maupun karya susastra lain. Dalam berolah sastra orang
mengacu pada tiga segi pokok, yakni tafsir, penjiwaan atau peng-
hayatan, dan teknik penyampaian. Ketiganya tidak saling ter-
pisah melainkan saling berhubungan dan saling menyiratkan.
Pada segi tafsir atau interpretasi, pembaca sajak atau deklamator
menggunakan segenap pengetahuan, kecerdasan, dan juga imaji-
nasi untuk mencerna dan memahami suatu sajak. Hanya setelah
seorang pembaca sajak “mengetahui” maksud, buah-buah pikir-
an, dan kandungan pengalaman batin yang ingin dikemukakan
(atau diimbaukan) oleh penyair barulah terbuka peluang baginya
untuk menyuarakan sajak dengan patut. Maka dapat diduga bah-

138
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

wa syarat awal untuk menjadi pembaca sajak yang baik, menca-


kup keluasan pengetahuan dan kegemaran untuk menggunakan
pikiran maupun kecerdasan. Keluasan pengetahuan dan ketajam-
an pikiran itu kemudian diarahkan dan diabdikan untuk menjalin
komunikasi dengan penyair melalui sajak yang ditulis si penyair.
Akan tetapi, sajak tidak hanya perlu ditafsir dan dipahami seperti
karya-karya seni lain (lukis, lari, musik, pementasan teater), puisi
adalah sesuatu untuk dialami dan dihayati secara pribadi. Tentu
saja penghayatan atau penjiwaan ini berkaitan erat dengan tafsir
tadi. Bagaimana kita bisa menghayati kalau kita tidak meng-
aktifkan otak untuk berusaha mencerap dunia pikiran penyair
yang tersirat dalam karyanya? Ungkapan lain yang biasa diguna-
kan adalah pembaca puisi harus menjiwai puisi yang dibacakan-
nya. Bahkan secara ekstrim: pembaca puisi harus mampu men-
ciptakan puisinya sendiri dari dan dalam sajak yang dibawakannya.
Dalam masalah penghayatan ini yang dituntut dari seorang
pembaca sajak adalah menangkap suasana suatu sajak secara utuh
dan tidak terpenggal-penggal. Selain itu, pembaca sajak mutlak
memiliki kerelaan untuk berbagi rasa dengan penyair yang menu-
lis sajak yang dibacakannya. Artinya, membaca sajak bukanlah
kegiatan memperalat suatu puisi untuk melampiaskan emosi-
emosi pembaca sajak sendiri. Dengan demikian, jelas bahwa
membaca puisi bukanlah pertama-tama adu keras suara, adu
ngotot, atau adu gaya aneh-aneh. Menyuarakan dan memang-
gungkan puisi sebenarnya adalah kerja menggunakan kecerdas-
an, kerja mengolah kepekaan batin, dan kerja pengakraban ter-
hadap pengalaman kemanusiaan kita sendiri yang diimbaukan
oleh karya sastra, khususnya puisi. Setelah ada “isi”, yaitu tafsir
dan penghayatan setelah kita berhasil “menciptakan puisi” kita
sendiri berdasarkan dan dalam sajak yang hendak kita bawakan,
barulah kita berhadapan dengan tugas penyampaian tafsir dan
penghayatan itu (“puisi kita sendiri”) kepada publik. Di sini baru-
lah kita hadapi soal-soal yang menyangkut teknik penyampaian.

139
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

140
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

DASAR BERMAIN DRAMA


Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya

Bakat seni seseorang tidak dapat diajarkan, ia lahir dan ada


merupakan sebuah fitrah. Tetapi teknik untuk mengutarakan diri
dapat dipelajari dan diajarkan.

Teknik Bermain
Bermain drama atau berperan di atas pentas, pada dasarnya
adalah memberi bentuk lahir pada watak dan emosi aktor, baik
dengan laku atau dengan ucapan. Ada tiga bagian watak yang
harus muncul dan terlihat oleh penonton, yakni watak tubuh,
watak pikiran, watak emosi. Menciptakan sebuah peran berarti
menciptakan hidup sukma manusia diatas pentas. Untuk itulah
latihan dasar bermain perlu diadakan.
Teknik bermain merupakan unsur penting yang perlu
dilakukan oleh seorang aktor/calon aktor. Ada beberapa teknik
dasar yang dapat dilatih sebagai pegangan bagi seorang calon
aktor, antara lain: teknik muncul, teknik memberi isi, teknik
timing, dan teknik takaran dalam pentas.
Teknik muncul adalah teknik bagaimana seorang aktor/
pemeran muncul pada saat pertama kali di atas panggung pada
saat layar dibuka atau pada saat ia muncul ketika para pemeran
lain telah berada di atas panggung, atau muncul pada bagian
akhir membutuhkan suatu teknik tertentu. Teknik muncul ini

141
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

sangatlah penting artinya sebab diperlukan untuk memberikan


kesan pertama pada penonton. Teknik umum yang dipakai adalah
teknik jedah yaitu memberi jedah beberapa kejap setelah ia mun-
cul pertama kali. Pada saat jedah itulah saatnya penonton menga-
mati dan mencerna karakternya.
Teknik memberi isi pada prinsipnya adalah memberi roh
pada kalimat-kalimat dalam suatu naskah sehingga hidup. Hal
ini berhubungan dengan tekanan dinamik, tekanan nada, dan
tekanan tempo.
Teknik timing artinya ketepatan hubungan antara gerakan
jasmani yang berlangsung dalam sekejap dengan kata yang di-
ucapkan; gerakan dilakukan sebelum mengucapkan dialog,
gerakan dilakukan bersamaan dengan ucapan dialog, gerakan
dilakukan setelah dialog diucapkan.
Teknik takaran dalam pentas adalah cara menafsirkan emosi
dan gerak yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam me-
mainkan drama tragedi tentu saja takaran emosi yang dihadir-
kan berbeda dengan ketika memainkan drama komedi. Bukan
hanya pada takaran emosi namun juga takaran volume suara/
vokal seorang aktor harus disesuaikan dengan situasi dan kon-
disinya. Bermain di atas panggung teater procenium berbeda
pula dengan teater arena, berbeda dengan bermain di televisi,
berbeda dengan di radio.

Ekspresi Lisan
Setelah ekspresi tubuh dan mimik (muka) yang juga tidak
kalah penting perlu dipelajari adalah ekspresi lesan/ucapan/
suara. Suara selain digunakan utuk menyampaikan kata-kata se-
bagai satu cara untuk berkomunikasi atau menyampaikan infor-
masi merupakan bagian utama dari mekanisme ekspresi. Tanpa
kita sadari sejak manusia lahir telah memiliki kemampuan meng-
ekspresikan keinginan dengan suara tangisan, ekspresi suara
adalah sikap naluri.

142
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Perasaan atau reaksi yang kita miliki menimbulkan energi


dari dalam diri yang selanjutnya mengalir keluar mencapai dunia
luar dalam bentuk yang bermacam-macam: kata-kata, bunyi,
gerak, postur, dan infleksi (perubahan nada suara). Kemampuan
mengartikulasikan kata-kata adalah kemampuan yang dipelajari.
Seringkali seorang aktor ketika berperan terlalu patuh terhadap
teks atau kata-kata secara verbal (mengucapkan kata-kata) yang
ditemuinya dalam naskah tanpa mau menambahkan sedikit
bunyi-bunyi nonverbal (bunyi-bunyi yang digunakan termasuk
infleksi dan penekanan yang mempengaruhi arti emosional dari
kata-kata yang diucapkan) yang dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Tentu saja hal ini sangat disayangkan, sebab bunyi
suara adalah salah satu tipe gestur penting yang paling dalam
mengekspresikan kepribadian dan sangat universal pengungkap-
annya. Hal ini nantinya berhubungan dengan kemampuan se-
orang aktor dalam ’membaca’ naskah karena penulis naskah
akan memberikan gestur-gestur verbal dalam bentuk kata-kata
dalam naskah. Di sinilah tugas aktor menyelidiki aspek-aspek
nonverbal dari gestur karakter yang dimainkannya, gestur fisik,
postur, infleksi, dan sebagainya.
Kata-kata yang diucapkan membawa informasi yang akan
disampaikan melalui nadanya. Nada orang marah tentu berbeda
dengan nada sindiran, berbeda pula dengan nada permohonan
dan seterusnya, masih banyak lagi contoh yang menunjukkkan
bagaimana suara mengkomunikasikan sikap. Sering tanpa kita
sadari bila berada dalam situasi di mana kita tidak dapat me-
nyampaikan maksud atau perasaan yang sebenarnya pada saat
itu secara sadar atau tidak mengekspresikannya melalui helaan
napas, mengambil napas. Bahkan pada orang-orang yang tem-
peramental masih ditambahkan dengan ekspresi fisik berupa
menepak meja, berkacak pinggang, menarik kerak baju lawan-
nya, dan sebagainya.
Stefanus Djawanai (2001:57) mengemukakan bahwa bila se-
seorang dalam keadaan marah maka yang dapat diamati adalah

143
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

ketika orang tersebut mengucapkan kata-kata dengan suara da-


pat dikategorikan berdasarkan titi nada, kualitas suara, volume
suara, kontur pengucapan, dan tempo. Selanjutnya dijabarkan
menjadi:
Titi nada : rendah atau tinggi
Kualitas suara : bisik atau lantang
Volume : lembut atau keras
Kontur : inti titi nada pada akhir atau inti titi nada pada
awal
Tempo : lambat atau cepat.

Dalam pementasan teater sekarang ini memang bisa saja


menggunakan alat-alat elektronik (microphone, dan sebagainya)
untuk membantu agar suara pemeran menjadi lebih keras se-
hingga sampai ke penonton yang duduk paling belakang, namun
tidak ada salahnya untuk menjadi seorang aktor teater perlu
juga latihan vokal yang akan mendukung kemampuan ekspresi-
nya. Dan tempat yang paling ideal untuk melatih vokal agar
suara kita terdengar bisa dilakukan di tanah lapang yang luas.
Beberapa latihan vokal:
1. Senam mulut
Caranya adalah dengan bersiul atau menggerak-gerakkan
bibir ke kanan dan ke kiri, atas bawah, buka tutup secara
berulang-ulang, hal ini berguna untuk melatih kelenturan
mulut kita. Bisa juga latihan berbicara dengan mengatupkan
gigi.
2. Latihan pernapasan
Latihan pernapasan ini dimaksudkan supaya napas kita
tidak tersendat-sendat dalam mengucapkan kalimat-kalimat
yang panjang. Tujuan dari belajar pernapasan adalah untuk
meningkatkan kesatuan organik antara aksi, emosi, napas,
dan suara.
Caranya adalah menarik napas sebanyak-banyaknya,
sedalam-dalamnya, simpan dalam perut kemudian ucapkan

144
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

sekeras-kerasnya abjad A sampai Z paling sedikit 2 kali


dengan jelas pengucapannya.
3. Melatih kejelasan ucapan (artikulasi) dan plastisitas suara
dengan membaca puisi, karena bahasa tertulis yang disam-
paikan naskah hanyalah representasi dari bahasa lisan yang
divisikan oleh oleh si penulis naskah.
4. Menjiwai ceritera dan mengungkapkannya secara menarik
dengan membaca puisi, membawakan peran berbagai ma-
cam tokoh (bisa dengan latihan monolog).
5. Latihan irama (kepekaan terhadap irama dramatik) dengan
cara menyanyi.
Agar sebuah lakon tetap memikat dari awal hingga akhir,
Permainan haruslah mempergunakan irama. Irama haruslah
dipahami sebagai suatu perubahan secara teratur dan ber-
alasan. Perubahan secara berturut-turut, merangsang per-
hatian penonton menuju tujuan akhir.
6. Latihan dinamika (intonasi) dan progresi (teknik pengem-
bangan suara) dengan cara berpidato, membaca puisi, me-
nyanyi seriosa, dan sebagainya.
Teknik dinamika suara (intonasi):
1. Tekanan dinamik: tekanan keras dalam pengucapan, mene-
kan kata yang dianggap paling penting lebih keras dari pada
kata-kata yang lain; menyebutkan sesuatu secara berturut-
turut dalam satu kalimat; mengucapkan dengan keras kata-
kata yang berlawanan.
2. Tekanan nada: tekanan tinggi redahnya nada dalam pengu-
capan satu kata dalam sebuah kalimat.
3. Tekanan tempo: tekanan lambat dan cepatnya mengucap-
kan sebuah kata dalam kalimat.

Teknik pengembangan suara (progresi):


1. Menaikkan volume suara (dari perlahan menjadi semakin
keras).

145
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

2. Menaikkan tinggi nada suara (dari nada rendah ke nada


tinggi).
3. Menaikkan kecepatan tempo suara (dari tempo lambat men-
jadi semakin cepat).
4. Menurunkan atau mengurangi volume, tinggi nada dan
kecepatan tempo suara.

Latihan dinamika dan progresi ini bisa dilakukan dengan


berpidato, menyanyi, membaca puisi, atau memainkan peran
dalam situasi konflik.
Tujuan studi tentang suara adalah untuk membuatnya men-
jadi instrumen yang lentur yang dapat merespon dengan segera
tuntutan karakter dan gaya naskah.

Gambar Alat Pendukung Vokal

Masih banyak lagi latihan-latihan yang dibutuhkan oleh


seorang calon aktor untuk meningkatkan kemampuan ekspresi-
nya seperti meditasi untuk keseimbangan tubuh, pikiran, dan
perasaan.

146
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Konsentrasi atau Pemusatan Pikiran


Aktor adalah seseorang yang “mematikan dirinya” untuk
kemudian menjadi orang lain, yaitu perannya. Untuk bisa me-
lupakan dirinya dan menjadi orang lain itulah pertama-tama ia
harus memusatkan pikiran dan mengkonsentrasikan diri pada
peran yang akan dimainkannya.
Dalam konsentrasi ia harus bisa menundukan dan meme-
rintah seluruh panca indra, urat syaraf, seluruh anggota tubuh
dan suara serta vokalnya.
Tiga bagian yang umum untuk dilatih :
1. Olah Tubuh
Untuk bisa menjadi aktor yang lentur dan luwes dalam pe-
nampilannya, indah gerakannya dan nikmat untuk dilihat
oleh penonton di atas panggung, maka diperlukan latihan
olah tubuh minimal satu setengah jam sehari selama dua
tahun. Latihan olah tubuh ini antara lain : Senam irama,
senam klasik, menari klasik (ballet), pencak silat, berbagi
latihan pernafasan, bernyanyi, baca puisi, pantomime, bersiul
dan sebagainya.
2. Latihan Sukma
Seorang aktor setidaknya adalah seorang yang telah me-
miliki beragam pengalaman tentang kehidupan, ia seharus-
nya telah mengalami dan mengarungi berbagai peristiwa
kehidupan, namun tentunya ini merupakan suatu yang mus-
tahil. Maka untuk bisa mengalami semuanya tadi meski
hanya dalam khayalan perlu melakukan berbagai latihan
sukma, yang antara lain : Penguasaan panca indra, penum-
buhan ingatan perasaan, latihan imajinasi, melatih emosi,
mensugesti diri, melakukan observasi secara visual, latihan
penciptaan berbagai peran watak dalam pengandaian, dll.
(biasanya latihan ini dilakukan pada persiapan latihan dasar
atau preparation.

147
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

3. Memperluas Wawasan
Seorang aktor harus bisa menguasai intelgensinya sendiri,
dan juga bisa menjadi intelgensia peran yang akan diperankan.
Ia bisa menjadi seoarng yang bodoh atau pintar, menjadi
orang gila atau seorang genius. Untuk itulah maka sorang
aktor harus memiliki wawasan tentang kesenian dan kebuda-
yaan secara umum, serta pengetahuan umum yang memadai.
Ia harus mengenal tokoh-tokoh dunia teater baik dari dalam
maupun luar negeri, mengerti tentang kesusastraan dan to-
koh-tokohnya, mengerti tentang dunia seni rupa serta aliran-
alirannya, belajar tentang filsafat, psikologi, Fisionomi, bio-
logi, anatomi, hukum, ilmu komunikasi, tentang musik, seni
tari, dan lain-lain.

Ingatan Emosi
Aktor harus bisa mengingat segala ingatan emosi yang ter-
pendam didalam file-file kehidupannya yang telah silam. Semua-
nya akan berguna dalam/untuk menolong aktingnya, dan nanti-
nya akan bisa berkembang sesuai dengan kematangan hidupnya.

Laku Dramatis
Jika sudah bisa menggali emosi barulah kita wujudklan da-
lam Laku dramatis. Yaitu perbuatan yang sifatnya ekspresif dari
emosi. Ini merupakan instrumen dalam teater, seperti warna
dalam lukisan, bentuk dalam patung, dan nada dalam musik.

Pembangunan Watak
Aktor harus mengenal betul gambaran peran yang akan
dimainkannya. Untuk itu ia harus :
a. Menelaah struktur peran (bagaimana intelgensinya, karak-
ternya, masa silamnya, dan lain sebagainya).
b. Memberi identifikasi peran. Menyelidiki setiap detail peran
secara teliti, kemudian memberi tanda, cap, atau simbol
yang harus bisa ditangkap oleh penonton.

148
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

c. Mencari hubungan emosi dengan peran itu. Bagaimana hu-


bungan naskah dengan emosinya, mengapa peran itu mela-
kukan tindakan itu, dan sebagainya.
d. Penguasaan teknik. Penguasaan teknik-teknik bermain dra-
ma, seperti teknik muncul, teknik memberi isi, teknik pe-
ngembangan, teknik membina puncak-puncak, teknik
timing, dan lain-lain.

Observasi/Pengamatan
Seorang aktor adalah seorang observator kehidupan. Ia
harus selalu memperhatikan kehidupan orang-orang di sekitar-
nya, bagaimana kebiasaannya, bagaimana orang itu melakukan
aktivitasnya, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, hobinya, ciri-
ciri fisik, psikisnya, serta lain sebagainya.
Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, seorang aktor
harus memperkaya dirinya dengan meningkatkan intelgensinya
dengan belajar ilmu-ilmu lain seperti : Ilmu Antropologi, Sosio-
logi, Biologi, Filsafat, Budaya, Agama, Politik, Ekonomi, dan
masih banyak lagi yang lainnya.

Daftar Bacaan
Harymawan, RMA. (1993), Dramaturgi, Cetakan ke-2, PT.
Rosdakarya, Bandung.
Purwaraharja, Lephen. ed. (2000), Ideologi Teater Modern Kita,
Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
Sahid, Nur. (2004), Semiotika Teater, Lembaga Penelitian Institut
Seni Indonesia Yogyakarta.
Sitorus, Eka D. (2002), The Art of Acting Seni Peran untuk Teater,
Film & TV, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sumardjo, Jakob. (1992), Perkembangan Teater Modern dan Sastra
Drama Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

149
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Sumjati, As. ed. (2001), Manusia dan dinamika Budaya dari Kekerasan
sampai Baratayuda, Fakultas Sastra UGM bekerjasama dengan
BIGRAF Publishing, Yogyakarta.
Yudiaryani. (2002), Panggung Teater Dunia Perkembangan dan
Perubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.

150
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

BERKENALAN DENGAN DRAMA


DAN APRESIASINYA
B. Rahmanto

Pengantar
Dalam suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto terhadap beberapa
orang guru SD di Purwokerto, diperoleh hasil yang cukup menge-
jutkan. Betapa tidak, dari kuesioner yang telah diisi oleh 42 orang
guru SD berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia,
materi sastra khususnya materi drama, 17 orang (39%) menyata-
kan tidak menyukai mengajar materi drama; 18 orang (42%)
belum atau tidak mengajarkan materi drama; dan hanya 7 orang
(19%) mengaku senang mengajar drama. Celakanya, dari 7 orang
(19%) yang sudah mau mengajarkan materi drama itu, mengaku
mengajarkan drama dengan cara seadanya, dengan alasan tidak
menguasai teknik bermain drama. Masya Allah, apa jadinya jika
situasi seperti ini juga melanda sekolah menengah umum di
Daerah Istimewa Yogyakarta?
Oleh karena itu, kegiatan rutin Bengkel Sastra Indonesia
2003 yang kali ini dikhususkan pada materi drama, bukan hanya
patut didukung tetapi juga tepat. Diduga, apabila dilakukan
penelitian yang sama terhadap guru-guru SMU di DIY, hasilnya
kurang lebih sama. Akan tetapi, dapat dikemukakan terlebih
dahulu bahwa kegiatan bengkel sastra tidak menekankan perha-

151
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

tian pada teori-teori drama sebagaimana diajarkan di sekolah-


sekolah, tetapi terlebih pada praktik atau pelatihan apresiasi dan
ekspresi drama, baik lisan maupun tulis (Suwondo, dkk., 2003:
3).
Lewat makalah ini penulis akan mengajak para peserta
pelatihan Bengkel Sastra Indonesia untuk mengenali terlebih
dulu dasar-dasar teori drama, jenis-jenis drama dan perkem-
bangan drama di Indonesia, dan teori apresiasi teks drama, se-
bagai dasar untuk penciptaan drama (ekspresi tulis), dan ekspresi
lisan bermain drama atau pementasannya.

Dasar-Dasar Teori Drama (Peristilahan: Drama dan Teater)


Kalau membuka kamus Webster’s New Dictionary (1989:413 dan
1386) kita akan menjumpai kata “drama” dan kata “theater”. Drama
diartikan sebagai a literary composition that tell a story, usually of
human conflict, by means of dialogue and action, to be performed by
actors atau ‘suatu karangan yang mengisahkan suatu cerita yang
mengandung konflik yang disajikan dalam bentuk dialog atau
laga, dan dipertunjukkan oleh para aktor di atas pentas’ ; sedang-
kan kata “theater”’ diartikan sebagai a place where plays, operas, films,
etc. are presented, atau ‘suatu tempat di mana drama, opera, film,
dan sebagainya dipertunjukkan’. Oleh karena itu, jika Anda diajak
teman untuk bermain teater, tunggu dulu ... pada awalnya ini
jelas kesalahkaprahan yang telah cukup lama kita lakukan. Walau-
pun dalam perkembangan selanjutnya istilah “teater” dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1988:909) memiliki dua macam arti: pertama,
‘gedung atau ruangan tempat pertunjukkan film, sandiwara’, dan
sebagainya; kedua, ‘pementasan drama sebagai suatu profesi; san-
diwara’. Jadi, kita bukan mengajak “bermain teater”, tetapi lebih
“bermain drama”, dan “menonton teater.”

Unsur-Unsur Teks Drama: Alur, Karakter, dan Dialog


Perlu dibedakan terlebih dulu antara cerita (story) dan alur
(plot). Sesuatu disebut cerita apabila hanya memerlukan kata

152
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

“dan” atau “lalu/kemudian” seperti: “Romeo bunuh diri dan/


lalu/kemudian Juliet melakukan hal yang sama”. Dalam drama
tentu ini tidak menarik. Drama membutuhkan adanya konflik,
baik fisik ataupun batin. Maka, dalam drama dibutuhkan plot
bukan sekadar story. Artinya, “Romeo bunuh diri karena mengira
bahwa Juliet telah meninggal”. Kata “karena” inilah yang meng-
hubungkan kedua peristiwa “Romeo bunuh diri” dan “mengira
bahwa Juliet telah meninggal.” Kata ‘karena’ menjelaskan bahwa
yang pertama disebabkan oleh peristiwa kedua. Faktor karena/
mengapa inilah yang sangat menghidupkan teks drama, baik
lewat konflik batin maupun fisik.
Dalam drama tradisional (khususnya Aristoteles), lakon
haruslah bergerak maju dari suatu beginning (permulaan), melalui
middle (pertengahan), dan menuju pada ending (akhir). Dalam
teks drama disebut sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi.
Eksposisi adalah bagian awal yang memberikan informasi ke-
pada penonton yang diperlukan tentang peristiwa sebelumnya
atau memperkenalkan siapa saja tokoh-tokohnya yang akan di-
kembangkan dalam bagian utama dari lakon, dan memberikan
suatu indikasi mengenai resolusi. Komplikasi berisi konflik-kon-
flik dan pengembangannya. Gangguan-gangguan, halangan-ha-
langan dalam mencapai tujuan, atau kekeliruan-kekeliruan yang
dialami tokoh utamanya. Dalam komplikasi inilah dapat dike-
tahui bagaimana watak tokoh utama (yang menyangkut prota-
gonis dan antagonisnya). Resolusi adalah bagian klimaks (turning
point) drama. Resolusi haruslah berlangsung secara logis dan
memiliki kaitan yang wajar dengan apa-apa yang terjadi sebelum-
nya. Akhir drama bisa happy-end atau unhappy-end.
Karakter merupakan sumber konflik dan percakapan antar-
tokoh. Dalam sebuah drama harus ada tokoh yang kontra de-
ngan tokoh lain. Jika dalam drama karakter tokohnya sama,
maka tidak akan terjadi lakuan. Drama baru akan muncul kalau
ada karakter yang saling berbenturan.

153
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Dalam setiap teks drama, dialog merupakan salah satu un-


sur vital. Oleh karena itu, ada dua syarat pokok yang tidak boleh
diabaikan, yaitu (1) dialog harus wajar, menarik, mencerminkan
pikiran dan perasaan tokoh yang ikut berperan; (2) dialog harus
jelas, terang, menuju sasaran, alamiah, dan tidak dibuat-buat.

Unsur-Unsur Pementasan dalam Bermain Drama


Dalam pentas drama ada banyak unsur yang perlu dikenal,
yaitu naskah drama, sutradara, pemeran, panggung, perlengkap-
an panggung (cahaya, bunyi atau sound effect, pakaian, rias), dan
penonton. Berikut secara ringkas akan dipaparkan satu-persatu.

Naskah Drama
Adalah bahan pokok pementasan. Bisa ditulis sendiri, atau
dipilih dari karangan pengarang drama yang sudah dikenal, mi-
salnya karya Asrul Sani (Mahkamah), Rendra (Orang-Orang di Ti-
kungan Jalan), Kirdjomuljo (Penggali Intan), Putu Wijaya (Aduh),
Mottinggo Boesye (Malam Jahanam), Utuy Tatang Sontani (Bunga
Rumah Makan), Arifin C. Noer (Mega-Mega), Iwan Simatupang
(Petang di Taman), B. Sularto (Domba-Domba Revolusi), dan masih
banyak lagi. Secara garis besar naskah drama dapat berbentuk
tragedi (tentang kesedihan dan kemalangan, misalnya Domba-
Domba Revolusi karya B. Sularto) dan komedi (tentang lelucon
dan tingkah laku konyol, misalnya Demit karya Heru Kesawa
Murti), serta disajikan secara realis (mendekati kenyataan sebe-
narnya dalam pementasan, baik dalam bahasa, pakaian, dan tata
panggungnya, misalnya Penggali Intan karya Kirdjomuljo atau
Citra karya Usmar Ismail), dan secara simbolik (dalam pemen-
tasannya tidak perlu mirip apa yang sebenarnya terjadi dalam
realita, biasanya dibuat puitis, dibumbui musik-koor-tarian, dan
panggung kosong tanpa hiasan yang melukiskan suatu realitas,
misalnya drama karya Putu Wijaya seperti Aduh, Bila Malam Ber-
tambah Malam dan karya Arifin C. Noer seperti Mega-Mega, Kapai-
Kapai, Sumur Tanpa Dasar, dan sebagainya). Naskah yang telah

154
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

dipilih harus dicerna atau diolah; bahkan mungkin diubah, di-


tambah atau dikurangi disinkronkan dengan tujuan pementasan,
tafsiran sutradara, situasi pentas, kerabat kerja, peralatan, dan
penonton yang dibayangkannya.

Sutradara
Setelah naskah, faktor sutradara memegang peranan yang
penting. Sutradara inilah yang bertugas mengkoordinasikan lalu
lintas pementasan agar pementasannya berhasil. Ia bertugas
membuat/mencari naskah drama, mencari pemeran, kerabat
kerja, penyandang dana (produser), dan dapat menyikapi calon
penonton. Untuk menjadi seorang sutradara, secara teoretis
(Padmadarmaya, 1980) sutradara diharapkan memiliki pengeta-
huan di bidang (1) kultural (pengetahuan luas di seputar permasa-
lahan kebudayaan); (2) artistik (cita rasa, peka, terbuka, dan
kreatif); (3) teatral (pengetahuan tentang pementasan); (4) literer
(pengetahuan tentang sastra dan drama pada khususnya); (5)
pedagogi (ilmu pendidikan); dan (6) kepemimpinan dan kepribadian
(mampu memimpin, sehat jasmani dan rohani).
Apabila keenam pengetahuan yang harus dimiliki oleh
seorang sutradara belum terpenuhi, tampaknya untuk belajar
menjadi sutradara yang akan menyutradarai pementasan dra-
ma, dapat mengikuti saran Prof. Munandar (Semiawan, 1984)
di sekitar bagaimana memupuk iklim kreatif seperti: (1) bersi-
kaplah terbuka terhadap minat dan gagasan orang lain atau te-
man; (2) berilah waktu kepada mereka untuk memikirkan dan
mengembangkan gagasan kreatif; (3) ciptakanlah suasana saling
menghargai, saling menerima, sehingga memungkinkan untuk
dapat bekerja sama dengan baik; (4) doronglah kegiatan berpikir
divergen, artinya menekankan keterbukaan dengan alternatif,
dan menjadi narasumber yang dapat mengarahkan; (5) ciptakan
suasana hangat dan berikan kebebasan berpikir yang bersifat
eksploratif, penyelidikan; (6) berilah kesempatan kepada mereka
untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan; (7) usahakan

155
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

agar semuanya terlibat, dukunglah gagasan pemecahan persoalan


yang datang dari mereka, jika masih belum tepat, usahakan
ketepatan pemecahan secara bersama-sama; dan (8) bersikap
positif terhadap kegagalan, bantulah mereka untuk menyadari
kesalahan/kelemahan, dan usahakan peningkatan upaya dalam
suasana yang menunjang dan mendukung. Kedelapan saran ini
jelas sangat erat kaitannya dalam bidang penyutradaraan.

Pemeran
Ini faktor selanjutnya yang mendukung pementasan. Peme-
ran inilah yang harus menafsirkan perwatakan tokoh yang
diperankannya. Memang sutradara yang menentukan, tetapi tan-
pa kepiawaian dalam mewujudkan pemeranannya, konsep peran
yang telah digariskan sutradara berdasarkan naskah, hasilnya
akan sia-sia belaka. Oleh karena itu, pemeran juga dituntut untuk
(1) menguasai teknik berperan; (2) menguasai peran tokoh yang
akan dibawakan; (3) akrab dengan panggung pementasan; (4)
dapat menjalin hubungan akrab dengan pemeran lain dan tidak
canggung dengan segala macam peralatan panggung seperti: set,
kostum, lampu, musik, dan sebagainya; serta (5) sehat jasmani
dan rohani (Padmadarmaya, 1980).

Panggung
Ada berbagai macam variasi panggung, seperti panggung
sandiwara Yunani, panggung Inggris abad Pertengahan, pang-
gung Elizabethan, panggung modern yang diperlengkapi dengan
video, tv, dan film. Secara garis besar variasi panggung dapat
dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, panggung yang di-
pergunakan sebagai pertunjukan sepenuhnya, sehingga semua
penonton dapat mengamati pementasan secara keseluruhan dari
luar panggung. Kedua, panggung berbentuk arena, sehingga me-
mungkinkan pemain berada di sekitar penonton.

156
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Cahaya
Cahaya (lighting) diperlukan untuk memperjelas penglihatan
penonton terhadap mimik pemeran sehingga tercapai atau dapat
mendukung penciptaan suasana sedih, murung, atau gembira, dan
dapat mendukung keartistikan set yang dibangun di panggung.

Bunyi (Sound Effect)


Bunyi ini memegang peran penting. Bunyi dapat diusahakan
secara langsung (orkestra, band, gamelan, dan sebagainya), tetapi
juga dapat lewat perekaman yang jauh hari sudah harus disiap-
kan oleh awak pentas yang bertanggung jawab mengurusinya.

Pakaian/Kostum (Costume)
Merupakan pakaian yang dikenakan pemain untuk mem-
bantu pemeran dalam menampilkan perwatakan tokoh yang di-
perankannya. Dengan melihat kostum yang dikenakan, para pe-
nonton secara langsung dapat menerka profesi tokoh yang
ditampilkan di panggung (dokter, perawat, tentara, petani, dan
sebagainya); kedudukannya (rakyat jelata, punggawa, atau raja);
dan sifat sang tokoh (trendi, ceroboh, atau teliti dan cermat).

Rias
Berkat rias yang baik, seorang gadis berumur 18 tahun da-
pat berubah wajah seakan-akan menjadi seorang nenek-nenek.
Dapat juga wajah tampan “dipermak” menjadi tokoh yang tam-
pak kejam dan jelek. Semua itu diusahakan untuk lebih membantu
para pemeran dalam membawakan perwatakan tokoh sesuai
dengan yang diinginkan naskah dan tafsiran sutradara.

Penonton
Dalam setiap pementasan, faktor penonton perlu dipikirkan
juga. Jika drama yang dipentaskan untuk para siswa sekolah
sendiri, faktor penonton tidak begitu merisaukan. Apabila terjadi

157
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

kekeliruan, mereka akan memaafkan, memaklumi, dan jika pun


mengkritik nadanya akan lebih bersahabat. Akan tetapi, dalam
pementasan untuk umum, hal seperti tersebut tidak akan terjadi.
Karena itu, jauh sebelum pementasan sutradara harus mengada-
kan survei perihal calon penonton. Jika penonton “ganas”, awak
pentas harus diberi tahu agar lebih siap dan tidak mengecewakan
penonton.

Apresiasi Bermain Drama


Apabila kita menonton drama dan diminta untuk membuat
apresiasinya, apa saja yang harus kita perhatikan? Seperti kita
ketahui istilah apresiasi dapat diartikan sebagai penghargaan
terhadap karya sastra (termasuk drama) yang didasarkan pada
penghayatan dan pemahaman. Cara yang tidak dapat ditawar
lagi agar kita dapat menghayati dan memahami karya sastra
dengan tepat, apalagi jika bukan melakukan kontak langsung
dengan karya sastra (alias membaca karya sastra itu sendiri).
Dalam hal drama, seorang apresiator dibutuhkan untuk mem-
baca teks drama dan menonton pementasannya. Berikut akan
dipaparkan apa saja yang harus diapresiasi jika kita menonton
pementasan drama.
Secara umum bermain peran atau bermain drama sebenar-
nya adalah usaha untuk “menciptakan kembali” kehidupan nyata
dengan memanfaatkan unsur bahasa, gerak, posisi, isyarat, dan
ekspresi wajah. Khusus dalam hal bahasa, bahasa drama mengan-
dung aneka macam pengucapan lisan yang penting, seperti: lagu
kalimat, lafal, volume suara, dan tekanan (Rahmanto, 2001:70).
Tujuan utama dalam bermain drama adalah untuk memahami
bagaimana suatu tokoh harus diperankan sebaik-baiknya dalam
suatu pementasan. Untuk mempelajari pementasan, memang ti-
daklah mudah, apalagi bagi mereka yang belum mengenal se-
luk-beluk pentas drama. Di bawah ini akan disarikan hal-hal
pokok yang perlu diapresiasi apabila kita menonton pementasan
drama.

158
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Teknik Ucapan. Ada kata-kata mutiara di Mesir kuno yang


terukir di sebuah makam, bunyinya “Belajarlah seni berbicara,
maka Anda akan menguasai keadaan!” Nah, bagi pemain drama,
teknik pengucapan yang jelas bukan hanya sangat penting dan
vital, tetapi sungguh merupakan unsur paling utama dalam hal
menyampaikan pesan drama yang diperankannya. Karena itu,
bagi para calon pemain, teknik ucapan inilah yang harus selalu
dilatihkan, karena ucapan ini yang akan diperhatikan penonton
yang serius (apresiator). Pendeknya, ucapan harus cukup jelas,
mengandung ekspresi perasaan, dapat menggambarkan isi
pikiran, dan dalam melantunkan suara harus bersikap bebas,
spontan, dan sejati.
Teknik Memberi Isi. Yang dimaksud adalah cara untuk
menonjolkan emosi dan pikiran di balik dialog-dialog yang di-
ucapkan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam ber-
main drama. Teknik menonjolkan perasaan dan pikiran ini dapat
dilakukan dengan pengucapan dan dengan menggerakkan badan
serta anggota badan. Teknik menonjolkan perasaan lewat ucapan
dilakukan dengan memberikan tekanan pada isi kalimat: pertama
tekanan dinamik, kedua tekanan nada, dan ketiga dengan tekan-
an tempo. Tekanan dinamik ialah tekanan keras dalam pengu-
capan (biasanya menekankan dengan lebih keras pada kata yang
dianggap penting). Tekanan dinamik sangat pas dipergunakan
untuk menonjolkan isi pikiran. Perhatikan contoh seperti berikut
ini.
“Saya pergi pada jam DELAPAN.” (artinya: bukan jam
sembilan).
“Saya PERGI pada jam delapan.” (artinya bukannya tinggal).
“SAYA pergi pada jam delapan.” (artinya, bukannya dia)
“Saya setuju pada pendapatmu, tetapi CARA mempraktik-
kannya yang saya tentang”.

159
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Tekanan nada adalah tekanan tinggi rendahnya nada dalam


pengucapan satu kata dalam sebuah kalimat. Misalnya, “Bajumu
bagus.” (bisa berarti bajunya memang bagus; bisa sekadar basa-
basi; tetapi juga bisa untuk menjilat alias memuji secara berle-
bihan). Atau contoh yang paling mudah kata, “Edan” (bisa
berarti pujian atau makian).
Tekanan tempo ialah tekanan lambat dan cepatnya kita
mengucapkan sebuah kata dalam kalimat, misalnya, “Saya MUAK
sekali mendengar kata-katanya.” Sedangkan teknik menonjolkan
lewat gerak ialah gerakan anggota badan seperti lambaian ta-
ngan, genggaman telapak tangan, tunjukkan jari, mengangkat
bahu, dan sebagainya. Misalnya, kata “Hallo”; “Hai”, dan seba-
gainya.
Teknik Timing. Teknik timing berarti teknik untuk menen-
tukan ketepatan hubungan antara gerakan jasmani yang ber-
langsung sekejap dengan kata atau kalimat yang diucapkan. Mi-
salnya contoh dialog “Aku cinta padamu.” Dialog “Aku cinta
padamu” bisa dilakukan dengan memeluk dulu baru “Aku cinta
padamu,” atau “Aku cinta padamu” baru memeluk; memeluk
sambil mengucapkan, “Aku cinta padamu.” Maka, ucapan aku
cinta padamu akan lebih memperoleh tekanan daripada kalimat
itu diucapkan tanpa dengan melakukan gerakan.
Demikian pula dialog “Aku tak sudi kau hina” (lalu meng-
gebrak meja). Akan tetapi, kalau timing ini dipakai berlebih-
lebihan, efeknya akan terlalu menekan emosi para pemain se-
hingga melelahkan untuk ditonton.
Tempo Permainan. Tempo adalah cepat dan lambatnya
permainan. Jika tempo permainannya lamban, pementasan akan
membosankan. Sebaliknya, tempo bermain yang terlalu cepat
akan berkesan kering dan tidak memberikan ruang imajinasi
dan perenungan. Maka, dibutuhkan teknik memberi jeda yang
tepat. Jeda dipergunakan untuk menekankan ucapan atau per-
buatan yang dapat mengesankan penonton. Akan tetapi, jangan

160
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

terlalu banyak jeda, artinya jangan terlalu banyak yang ingin


ditonjolkan, sebab akan menjadi sangat lamban yang ujung-
ujungnya juga membosankan.
Sikap Badan. Banyak pemain yang di luar pentas mampu
bergerak dengan sangat luwes, tetapi karena ditonton oleh orang
banyak, ia menjadi serba kikuk alias demam panggung. Dalam
keadaan serba kikuk itu, ia justru malah menjadi banyak tingkah:
menggaruk kepala, meraba dagu, membetulkan leher baju,
mengelus-elus salah satu punggung telapak tangannya, yang
kesemuanya itu tanpa alasan. Padahal, dalam setiap permainan,
semua gerakan harus ada alasannya. Di samping itu, pemain
harus memusatkan perhatian pada permainan perannya, meng-
hayati setiap ucapan, dan benar-benar mendengarkan serta me-
nanggapi ucapan yang sedang diucapkan oleh lawan mainnya.
Menanggapi dan Mendengar. Mendengar dan kemudian
menanggapi ucapan pemain lain dalam bermain drama kedu-
dukannya demikian penting, sehingga dari caranya seorang
pemain itu mendengarkan saja, akan dapat dibedakan apakah
ia seorang pemain sambilan ataukah pemain yang sudah profe-
sional. Seorang pemain sambilan akan kelihatan berhenti ber-
main apabila temannya sedang mengucapkan dialognya. Atau
ia akan kelihatan “terlalu” memperhatikan bahwa ia sedang
mendengarkan, sehingga setiap kata yang diucapkan pemain
lain, ia lalu mengangguk-anggukkan kepala atau sembari mulut-
nya memberi komentar … cek, cek, cek, cek.
Tanggapan yang wajar dan terasa tepat ialah tanggapan
yang “spontan” keluar dari penghayatan akan peran dan cerita.
Dalam teknik bermain drama ada tiga macam jenis tanggapan,
yaitu tanggapan pada cerita, lingkungan, dan temannya bermain.
Kunci agar pemain dapat memberi tanggapan dengan benar ialah
adanya penghayatan yang mendalam terhadap peran, cerita, dan
lingkungan cerita dipentaskan.

161
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Terlalu Banyak Penjelasan. Yang kadang sangat meng-


ganggu adalah apa yang disebut over-acting dan obvious-acting
alias berlebih-lebihan. Dalam permainannya terlalu banyak bum-
bu-bumbu tambahan. Sedikit bumbu, makanan bisa menjadi
sedap, tetapi terlalu banyak bumbu akan membuat orang ingin
muntah. Dalam permainan bumbu-bumbu yang dapat menye-
babkan over-acting misalnya: hiasan panggung yang berlebihan,
permainan yang penuh dengan pengulangan-pengulangan yang
bertujuan untuk lebih menjelaskan, ini akan berakibat membo-
sankan penonton.

Penutup
Demikianlah pokok-pokok di sekitar drama dan bermain
drama. Tentu saja masih banyak teknik bermain yang perlu di-
pelajari (seperti teknik muncul, teknik memberi isi, teknik pe-
ngembangan, teknik membina puncak-puncak, dan takaran da-
lam pemeranan) apabila ingin bermain drama dengan baik. Akan
tetapi, dengan mempelajari beberapa teknik bermain seperti
yang sudah disebutkan di atas, jika hal-hal tersebut ditekuni
dengan benar, maka kita akan dapat mementaskan drama dengan
baik.

Daftar Bacaan
Arifin, Max. 1980. Teater, sebuah Perkenalan Dasar. Ende: Nusa
Indah.
Boleslavsky, Richards. 1960. Enam Pelajaran Pertama bagi Calon
Aktor (terj. Asrul Sani). Jakarta: Jaya Sakti.
Dewan Kesenian Jakarta. 1980. Pertemuan Teater 1980. Jakarta:
DKJ.
Neufeldt, Victoria & David B. Guralnik. 1989. Webster’s New World
Dictionary of American English. New York: Prentice Hall
General Reference.

162
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Rahmanto, B. 2001. Metode Pengajaran Sastra (cetakan ke-7).


Yogyakarta: Kanisius.
Rendra. 1976. Tentang Bermain Drama: Catatan Elementer bagi Calon
Pemain. Jakarta: Pustaka Jaya.
Semiawan, Conny, dkk. 1984. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa
Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia.
Suwondo, Tirto, dkk. 2003. Desain/Pedoman Penyelenggaraan
Kegiatan Bengkel Sastra Indonesia 2003 (Drama). Yogyakarta:
Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah DIY.
Tambayong, Japi. 1981. Dasar-Dramatisasi. Bandung: Pustaka
Prima.

163
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

164
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

PROSES PRODUKSI
PEMENTASAN LAKON
Bambang J. Prasetya

Persiapan Naskah
Dalam mempersiapkan naskah yang akan dipentaskan,
kelompok biasanya memilih naskah karya orang lain atau me-
nulis naskah sendiri. Apabila harus memilih naskah oang lain,
harus dipertimbangkan hal-hal berikut: (1) naskah aktual untuk
dipentaskan, minimal mempersoalkan masalah yang dekat
dengan masyarakat; (2) naskah mampu dipentaskan oleh ke-
lompok, baik menyangkut materi pemain maupun persoalan non
artistik lainnya; dan (3) bentuk (form) yang kemungkinan bisa
dicapai dari naskah tersebut.
Ketiga pertimbangan tersebut merupakan dasar untuk me-
nentukan naskah yang akan dipentaskan. Berbeda bila naskah
ditulis sendiri atau bersama-sama rekan yang lain. Proses pemi-
lihan naskah biasanya berdasarkan pada moment yang menarik
pada saat naskah tersebut dipentaskan. Setiap naskah yang ditu-
lis merupakan refleksi dari peristiwa yang terjadi di masyarakat,
maka pementasan naskahnya disesuaikan dengan persoalan yang
sedang hangat di masyarakat. Terkecuali dalam rencana pemen-
tasan tersebut belum ada fenomena masyarakat yang perlu diso-
dorkan sehingga masih memungkinkan naskah lama.

165
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Kebersamaan merupakan unsur terpenting bagi proses pen-


ciptaan. Mulai persiapan naskah sudah dibangun kebersamaan
di kelompok, baik mengenai penentuan naskah yang akan dipen-
taskan maupun proses penulisannya. Dalam penulisan naskah
bersama, tata cara yang dilakukan adalah menentukan ide awal.
Ide tersebut bisa datang dari rekan-rekan yang akan terlibat
dalam penulisan naskah. Bila kesepakatan sudah diperoleh,
kemudian dilakukan diskusi untuk saling mengisi dalam mewu-
judkan naskah. Pada tahapan pemilihan naskah, pemain sudah
mulai diikutsertakan, setidaknya terlibat dalam proses pengem-
bangan ide pementasan nantinya.

Pengenalan
Naskah yang telah selesai dibuat bersama tersebut akan
dipelajari oleh sutradara. Selain sutradara, beberapa anggota
yang sanggup untuk terlibat pementasan, mulai masuk dalam
proses pengenalan ini. Pada dasarnya pengenalan ini merupakan
tahapan penyatuan motivasi dari masing-masing anggota,
sehingga pengenalan tersebut mampu menyatukan suatu sema-
ngat kreativitas. Bagi sutradara, penyatuan semangat kreatif ini
sangat besar pengaruhnya terhadap kelancaran pengembangan
ide-ide yang dimiliki.
Kebersamaan yang dicapai dalam proses pengenalan terse-
but bermanfaat sebagai media untuk memahami masing-masing
individu. Dengan mengetahui latar belakang anggota yang ter-
libat dalam pementasan, sutradara menjadi mudah menyampai-
kan gagasannya agar diterima oleh anggota. Untuk itu perlu
diadakan pendekatan-pendekatan yang sifatnya pribadi. Upaya
pendekatan pribadi tersebut dilakukan dengan banyak cara, ter-
gantung dari latar belakang, minat, dan kegemaran dari masing-
masing anggota.
Selain untuk mengakrabkan hubungan antara sutradara dan
pendukung, pendekatan pribadi juga merupakan upaya penja-
jagan kemampuan dasar anggota. Apa bila anggota mempunyai

166
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

kekurangan dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan pro-


ses pementasan, harus diberikan pengarahan untuk menutupi
kekurangan tersebut. Seperti misalnya salah satu anggota yang
kurang dalam olah vokal atau teknik bermain, maka kemampu-
annya akan terus ditingkatkan atau anggota tersebut diberi peran
bukan sebagai tokoh yang menonjol. Dengan demikian, pende-
katan pribadi ini sangat efektif untuk mengangkat kekurangan
para pemain.

Analisis Naskah
Analisis naskah yang dilakukan berkaitan dengan usaha
mengembangkan tokoh-tokoh naskah ke dalam wujud visual.
Jadi, dalam analisis naskah, sutradara mencoba mencari kemung-
kinan lain dari tokoh-tokoh yang hidup lewat dialog supaya
menjadi hidup secara nyata. Untuk itu, perlu diciptakan karakter
yang bisa mengembangkan karakter yang semula tersirat dalam
naskah.
Untuk mengembangkan karakter tokoh, harus dipahami
terlebih dahulu mengenai tokohnya. Tokoh dapat dipahami le-
wat (1) status sosial apakah tokoh tersebut seorang camat, lurah,
petani, penganggur, dan sebagainya, (2) usia, (3) konflik, yaitu
mengenai persoalan-persoalan yang terjadi antartokoh, dan (4)
fisik, apakah tokoh yang bersangkutan mempunyai kelainan tu-
buh atau tidak. Dari keempat hal tersebut, sutradara kemudian
mengembangkannya menjadi lebih spesifik. Seperti halnya ka-
rakter umum seorang raja yang harus berwibawa dan gagah,
belum menjamin tokoh tersebut mempunyai saat “dimainkan”
memiliki kekuatan dalam panggung sehingga perlu dikembang-
kan menjadi tokoh yang mempunyai ciri khas tertentu.
Analisis naskah yang menekankan pada segi pengembangan
tokoh ini hanya untuk naskah-naskah karya bersama. Setiap
orang yang sudah bersedia mendukung pementasan, sejak awal
sudah mengetahui seluk-beluk naskah yang akan dimainkan,
seperti persoalan-persoalan yang akan diungkap, latar belakang

167
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

cerita, dan tokoh-tokoh yang ada—secara garis besar sudah di-


ketahui pula. Oleh sebab itu, sutradara tidak perlu membuat
analisis secara mendetail, tetapi cukup pemahaman bersama sejak
awal pembuatan. Berbeda dengan analisis naskah karya orang
lain yang menuntut seorang sutradara harus memahami naskah
tersebut dengan lebih detail. Dalam proses pemahaman naskah
karya orang lain, dapat diidentifikasikan berbagai persoalan
lewat (1) momentum yang ada pada naskah, (2) tokoh-tokoh
dalam naskah, (3) latar belakang cerita, dan (4) gagasan atau
pesan yang ingin disampaikan penulis lewat naskahnya.

Membuat Program non-Artistik/Artistik


Tahapan ini merupakan proses persiapan penyutradaraan.
Diperlukan persiapan pemikiran dan tenaga tersendiri. Untuk
itu, seorang sutradara perlu menyiapkan pikiran dan tenaga agar
mampu menghasilkan karya teater yang maksimal. Karena ide
atau gagasan sering muncul kapan saja dan di mana saja, tidak
terbatas pada waktu dan tempat. Untuk itu, sutradara harus
siap apabila sewaktu-waktu ide tersebut muncul.
Program non-artistik merupakan usaha penyesuaian antara
kebutuhan berlatih dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Hal ini
perlu diprogramkan sedemikan rupa sehingga tidak saling meru-
gikan. Untuk itu, saat jadwal berlatih bersama merupakan waktu
yang penting artinya, walaupun di luar jam latihan setiap pen-
dukung berproses sendiri secara pribadi. Sedangkan program
artistik merupakan tahapan persiapan artistik yang telah dihasil-
kan secara pribadi. Persiapan artistik ini biasanya berupa ide
atau konsep-konsep garapan yang telah tersusun di luar jam
latihan dan akan diaplikasikan ketika sedang berlatih.

Pemilihan Pemain
Pemilihan pemain (casting) merupakan tahapan penyesuaian
antara tokoh naskah dengan pemeran. Dalam penyesuaian ter-
sebut seorang sutradara dituntut mampu menyesuaikan antara

168
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

pemain dengan tokoh. Casting pemain tidak lebih dari proses


pembagian peran kepada pemain yang ada, jadi agar pembagian
tersebut memenuhi target maksimal perlu diadakan pengamatan
terhadap kemampuan pemain. Pengamatan itu meliputi kemam-
puan artistik, teknis permainan, dan nonteknis. Dari tiga bagian
tersebut, dijabarkan dalam subbagian yang lebih detail, yaitu:
1) Mengamati kemampuan penempatan proporsi, yaitu
kemampuan seseorang atau pemain dalam menempatkan
dirinya sesuai proporsinya, sehingga dapat menciptakan
suatu keseimbangan. Kemampuan seperti ini bisa dilihat
dari cara berbicara, beradaptasi dengan lingkungan, dan
menguasai suatu suasana atau keadaan.
2) Mengamati kemampuan verbal, yaitu kemampuan dalam
menyampaikan sesuatu dengan pengucapan dan tata bahasa
yang baik, serta kapasitas daya pikirnya. Tahapan ini bisa
dilihat dengan mengamati seseorang dalam menjalin ko-
munikasi atau menyampaikan kemauannya dengan jelas,
serta daya ingat dan pikir pemain dalam memahami dialog.
3) Mengamati kemampuan eksplorasi, yaitu kemampaun
seorang pemain dalam mendekati tokoh yang diperankan.
Usaha tersebut bisa berupa percobaan-percobaan atau pen-
jajakan segala kemungkinan dari tokoh, sehingga karakter
tokoh mampu hidup dalam dirinya. Seorang pemain yang
tidak mempunyai daya eksplorasi akan kesulitan dalam me-
nemukan karakter tokoh yang diperankan, meskipun
pencarian karakter tokoh juga dibantu oleh sutradara.
4) Mengamati kemampuan ekspresi, yaitu kemampuan se-
orang pemain mengungkapkan emosi dan pikirannya lewat
tubuhnya.
Kemampuan-kemampuan tersebut bisa dilihat saat latihan dasar
pemeranan.
Dari kemampuan yang sudah diketahui tersebut dapat di-
buat casting yang minimal sesuai dengan tokoh yang ada dalam
naskah. Casting yang dilakukan bukan merupakan sesuatu yang

169
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

sudah pasti, karena apabila di tengah proses latihan salah satu


pemain ada yang kurang pas, dapat dilakukan perubahan pe-
main.

Reading Play
Membaca naskah (reading play) lakon perlu dilakukan karena
untuk mengetahui cerita tersebut sudah terangkat atau belum.
Apabila naskah belum terangkat secara audio akan lebih mudah
memperbaiki terlebih dahulu; dibandingkan apabila memper-
baikinya setelah memasuki tahapan lainnya. Oleh karena itu,
beberapa target yang harus tercapai dalam latihan membaca
naskah lakon adalah:
1) Tahapan Struktur Bahasa, yaitu target yang harus dicapai
oleh pemain dalam menghidupkan teks lakon menjadi
dialog yang hidup. Kalimat-kalimat yang ada pada teks la-
kon terlebih dahulu diucapkan secara tepat dengan peng-
gunaan tanda baca yang benar.
2) Tahapan Watak, merupakan tahap kelanjutan dari tahapan
struktur bahasa. Pada tahapan ini pemain mulai diarahkan
untuk menghidupkan karakter tokoh, yang secara detail
telah dijelaskan pada awal latihan naskah. Untuk membantu
memunculkan watak dalam dialog, selain analisis naskah,
didukung pula dengan proses eksplorasi.
3) Tahapan Suasana Dramatik, diusahakan muncul di setiap
adegan yang ada dalam naskah. Untuk mencapai suasana
dramatik tersebut, antarpemain harus mampu menjalin
suatu dialog yang wajar, sehingga dapat menghasilkan
suatu suasana kehidupan. Tentu saja tahapan ini mudah di-
wujudkan apabila dua tahap sebelumnya sudah terbentuk,
dengan demikian sutradara tinggal membuat variasi dialog,
seperti jeda, besar-kecil volume suara dan tempo pengucap-
an dialog.
4) Tahapan Keterlibatan Emosi, adalah tahap terakhir reading
play. Pada tahap ini pemain harus terlibat emosinya untuk

170
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

mengisi peranannya, sehingga tokoh naskah mempunyai


daya hidup dalam diri pemain, meskipun itu dilakukan
masih dalam tahapan reading play.
Keempat target tersebut tidak harus diterapkan secara
berurutan, tetapi lebih bersifat fungsional dengan menyesuaikan
kemampuan pemain yang ada. Hal ini mengingat setiap pemain
mempunyai kemampuan dasar yang berbeda-beda. Pada pemain
senior, target tersebut lebih longgar lagi karena biasanya emosi
dan pencapaian suasana dramatik akan muncul dengan sendiri-
nya setelah memasuki latihan. Berbeda dengan pemain baru,
keempat target tersebut harus ditekankan sejak awal.

Penciptaan Pengadeganan
Penciptaan pengadeganan merupakan transformasi naskah
ke dalam bentuk visual. Penciptaan tersebut akan melewati bebe-
rapa tahapan kerja, antara lain penciptaan awal (introduction),
penentuan iringan, penentuan posisi/komposisi/pola gerak/pe-
rencanaan artistik. Keempat bagian ini penggunaannya lebih
banyak disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi personal pen-
dukung yang ada, sehingga kelancaran sistem kerja yang telah
dibuat juga dipengaruhi oleh rekan kerja (seluruh pendukung).
Agar jelas tahapan penciptaan pengadeganan, di bawah ini
diuraikan mengenai bagan-bagan sesuai pola kerja.

Penciptaan Awal
Menonton pertunjukan teater memerlukan konsentrasi yang
khusus agar dapat memahami cerita yang disampaikan lewat
laku pemain. Untuk menciptakan suasana yang dapat membantu
konsentrasi penonton, perlu dibuat suatu adegan khusus sehing-
ga bisa menggiring perhatian penonton pada pertunjukan yang
sedang berlangsung. Hal ini perlu dilakukan mengingat setiap
penonton yang memasuki gedung pertunjukan belum siap untuk
menikmati pertunjukan.

171
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Suatu adegan atau suasana tertentu yang dapat membantu


menggiring konsentrasi penonton pada pertunjukkan disebut
tune awal atau introduction tune awal, bisa berupa adegan tambahan
yang tidak mempunyai kaitan dengan cerita yang akan dimainkan,
tetapi bisa juga bagian dari naskah. Selain adegan, tune awal bisa
dibangun dengan musik, bau-bauan, tata lampu, dan sebagainya,
yang mampu membantu penonton mempersiapkan diri untuk
menyaksikan pertunjukan yang sebenarnya.
Biasanya tune awal dipergunakan di awal pertunjukan, mes-
kipun bentuk dari tune awal tersebut berbeda-beda, karena
disesuaikan dengan naskah yang dimainkan. Sebagai contoh,
dalam pentas naskah Griya Prabhes (Rabindranath Tagore), di-
mainkan oleh kelompok keseratus, digunakan tune awal
(introduction) tarian India, yang tidak mempunyai kaitan dengan
naskah dan bisa disebut adegan pertunjukan yang lepas. Semen-
tara dalam pentas teater Dinasti, tune awal lebih banyak dicipta-
kan dengan musik yang menghentak, ditambah bau-bauan yang
bisa berupa kemenyan atau bunga.
Penciptaan tune awal ini, biasanya tergantung dari ide yang
ada dan kemampuan personal pendukung. Apabila ide dan per-
sonal telah siap, tune awal diciptakan sejak awal memasuki latihan
pengadegan. Tetapi jika personal pendukung belum siap, tune
awal dilatih setelah penciptaan adegan selesai, meskipun sebe-
lumnya seluruh pendukung sudah tahu konsep tune awal yang
akan dipakai.

Penentuan Iringan
Pada tahapan ini yang dilakukan adalah menyesuaikan
konsep musik yang dipakai sebagai iringan. Dalam penentuan
tersebut, sutradara lebih banyak memberikan kebebasan kepada
penata iringan untuk membuat warna musik yang akan dipakai.
Penekanan adegan yang perlu diisi dengan musik diberikan
kepada penata iringan, selebihnya pengembangan musik tersebut
terserah ilustrator.

172
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Dalam memberikan penekanan-penekanan pada adegan yang


harus diisi, selalu dipertimbangkan faktor fungsi yang bisa dicapai
musik. Fungsi iringan, apabila musik dibutuhkan untuk mengiringi
suatu adegan, supaya tercipta suatu keselarasan irama adegan
dengan irama musik. Pada adegan-adegan semacam ini, fungsi
musik menjadi penuh dengan segala instrumennya. Seperti dalam
pementasan Griya Prabhes, ketika musik berfungsi penuh mengiringi
penari, atau dalam pementasan Patung Kekasih, saat musik
mengiringi pemain masuk ke panggung. Pada adegan tersebut
bila tanpa diiringi musik adegan akan tampak kosong karena tidak
ada dialog dan acting yang mampu mengisi kekosongan.
Musik tidak hanya berfungsi pada adegan yang dirasa ko-
song, tetapi juga difungsikan untuk membangun suasana agar
lebih menyentuh emosi penonton maupun pemain. Bila ada keti-
dakcocokan (bagi pemain), berarti harus ada proses kerja sama
lagi yang bisa membangun suasana yang diinginkan. Semakin
pemain dapat menghayati perannya, maka penonton pasti akan
tersentuh emosinya. Pada situasi semacam ini, musik lebih ber-
peran sebagai ilustrasi, dengan tetap memberikan prioritas pada
pemain untuk melakukan segala aktivitas dalam membangun
suasana.
Selain berfungsi sebagi iringan dan ilustrasi, musik berguna
juga untuk memberikan surprise bagi penonton. Bila pertunjukan
yang dibangun sejak awal sudah terasa menjemukan, fungsi mu-
sik sangat tepat untuk menyegarkan suasana. Hal ini biasanya
diletakkan pada pergantian adegan, terutama pada adegan yang
mempunyai tenggang waktu cukup lama.
Fungsi-fungsi musik tersebut akan bisa dijalankan sesuai
porsinya apabila personal pendukung musik memungkinkan un-
tuk melakukan. Oleh karena itu, penata musik dibebaskan untuk
menentukan pendukungnya dan jenis musik yang akan dipakai.
Hal ini untuk menghindari proses kebersamaan yang lambat
yang bisa mengakibatkan macetnya kreativitas.

173
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Penentuan Posisi, Komposisi, Pola Gerak


Penentuan posisi, komposisi, dan pola gerak merupakan
bagian terpenting dari visualisasi naskah. Visualisasi tersebut
tidak hanya sekedar mentransformasikan dari teks menjadi se-
suatu yang nyata hidup tetapi juga harus memberikan daya hi-
dup pada bentuk visual. Dengan mengolah tiga hal tersebut,
diharapkan sutradara mampu menghasilkan suatu pengadeganan
yang menggambarkan kehidupan dengan wajar. Untuk itu, setiap
posisi harus diimbangi dengan komposisi dan pola gerak se-
hingga bisa tercipta keseimbangan antarpemain dan ruang.
Menentukan posisi, komposisi, dan pola gerak harus dida-
sarkan pada naskah. Setiap naskah sudah menggambarkan peng-
adeganan yang akan diciptakan sutradara. Hal ini bisa dilihat
dari alur cerita dan setiap bagian-bagian adegannya. Berangkat
dari keterangan naskah, sebuah visualisasi bisa diciptakan. Per-
hatikan misalnya adegan pertama naskah Griya Prabhes, yang
terjadi di ruang tengah antara ibu dan menantu, membicarakan
masalah ayah yang sedang sakit. Dari keterangan yang ada pada
naskah bisa diciptakan adegan yang sesuai suasana cerita. Su-
tradara hanya menentukan masuknya pemain yang kemudian
menempati posisi panggung tertentu, dengan pola gerak yang
disesuaikan emosi tokoh pada saat adegan itu berlangsung.
Emosi tokoh pada setiap adegan bisa berganti-ganti, meskipun
karakternya tidak berubah, seperti tokoh ibu dalam adegan per-
tama—ia sangat penyabar ketika menasihati menantunya, tetapi
kemudian emosi tersebut berubah pada adegan berikutnya. Hal
ini harus diperhatikan dalam menyusun pola gerak.
Penciptaan posisi, komposisi, dan pola gerak tidak bisa lepas
dari tata artistik. Hal ini menyangkut kesatuan ruang permainan
yang tersedia bagi pemain. Selain dekorasi, pilihan panggung
juga menjadi faktor penentu sebuah komposisi dan posisi. Saat
menggunakan panggung proscinium, misalnya, posisi dan kom-
posisi harus disesuaikan dengan pandangan penonton, sedang-

174
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

kan dalam panggung berbentuk arena terbuka lebih memberikan


keleluasaan karena penonton bisa menikmati dari segala arah.
Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan dalam penciptan pengadeganan di panggung,
meskipun pelaksanaannya disesuaikan dengan urutan. Pertama,
ditentukan posisi terlebih dahulu. Posisi ini merupakan kedu-
dukan pemain di dalam panggung. Apabila pemainnya sendiri,
penyesuaiannya lebih banyak pada kondisi panggung yang ada
dan momen pemain. Momen pemain sangat penting artinya ka-
rena akan mempermudah menentukan posisi. Bila pemain meru-
pakan pembawa cerita atau seseorang yang akan mengenalkan
sebuah kejadian pada penonton, seperti dalam Patung Kekasih,
pematung muda pada adegan pertama bertugas mengenalkan
kejadian. Posisi pemain tersebut harus kuat dan mampu menarik
perhatian penonton. Untuk itu, bisa ditempuh dengan menem-
patkan pemain pada posisi yang lebih dekat dengan penonton.
Kedua, setelah posisi pemain sesuai proporsinya, maka langkah
berikutnya adalah pengaturan komposisi. Pengaturan komposisi
dilakukan apa bila pemain lebih dari satu, sehingga perlu diatur
agar menciptakan keseimbangan ruang dan saling menguntung-
kan posisi antarpemain. Keseimbangan ruang adalah komposisi
pemain agar bisa mengisi area permainan yang tersedia di pang-
gung. Jika ruang permainan yang tersedia tidak begitu luas, maka
posisi pemain dalam membentuk suatu komposisi diusahakan
berdekatan. Demikian sebaliknya, apabila ruang yang tersedia
cukup luas (setting yang digunakan sedikit), maka posisi pemain
dalam menciptakan komposisi bisa dengan jarak yang lebar.
Komposisi pemain dengan ruang tersebut diciptakan tanpa
harus merugikan posisi antarpemain. Pemain yang berada di
panggung harus mampu menggambarkan adegan sesuai naskah,
semua pemain bisa terlihat oleh penonoton, tidak saling menu-
tupi. Oleh karena itu, dalam menciptakan komposisi antarpe-
main, sutradara lebih menyukai bentuk simetris, pemain satu
dengan lainnya bila sedang berdialog berada dalam satu garis

175
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

kiri dan kanan. Jarang sekali pemain yang sedang berdialog


berada pada posisi simetris depan belakang karena posisi se-
macam ini tidak menguntungkan pemain yang berada di bela-
kang, ia akan tertutup oleh pemain di depannya. Selain itu, posisi
semacam ini tidak memungkinkan pemain saling memperhati-
kan. Apabila posisi depan belakang harus diciptakan untuk
variasi, biasanya pemain ditempatkan dalam posisi diagonal de-
pan belakang, sehingga pemain depan bila ingin merespon lawan
bicaranya di belakang tidak seluruhnya membelakangi penonton
dan ekspresi wajah tetap terlihat.
Bila posisi dan komposisi suatu adegan sudah tercipta ben-
tuknya, tahapan selanjutnya adalah mengisi pola gerak. Pola ge-
rak yang dimaksudkan ialah bagaimana seorang pemain memberi
variasi pada posisinya dengan bergerak (movement). Halini
dilakukan agar pementasan tidak terlihat statis dan peran yang
dibawakan pelaku bisa hidup. Dalam membentuk pola gerak
ini biasanya sutradara memberi kebebasan pada pemain sesuai
dengan pemahaman peran yang dibawakan. Pengarahan-penga-
rahan diberikan sebatas komposisi dan area permainan. Area
permainan merupakan pembagian panggung sesuai dengan ade-
gan yang telah dibuat antara penata artistik dan sutradara. Jadi,
setiap adegan, pemain mempunyai batas area yang tidak boleh
dilewati karena dipersiapkan untuk adegan berikutnya.
Pola yang dilakukan pemain harus mencerminkan peran
dan suasana adegan. Peran dokter yang berusia tua tidak akan
mempunyai pola gerak yang dinamik dan cepat. Pada suasana
yang genting, pola gerak yang biasanya lamban dan tidak banyak
variasi, bisa berubah sesuai emosi tokohnya. Oleh karena itu,
dalam pembangunan pola gerak lebih banyak ditekankan pada
pembangunan peran. Sedangkan teknis bergerak lebih banyak
ditekankan pada motif dan tujuan movement yang dilakukan
pemain. Meskipun begitu, motif bisa saja dihilangkan jika pemain
bergerak bertujuan mengatur komposisi. Setiap pemain yang
sudah menemukan karakter tokoh yang akan dimainkan, pasti

176
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

menghasilkan pola gerak yang enak, baik dari segi komposisi


maupun posisinya.
Untuk mendapatkan suatu kesan yang wajar dan tidak
tampak dipaksakan, dalam posisi, komposisi, dan pola gerak
harus selalu diaplikasikan konsep garapannya sesuai dengan ke-
mampuan pemain. Artinya, setiap pemain bisa merasa tidak klop
dengan konsep yang diterapkan dalam pembentukan posisi,
komposisi, dan pola gerak. Apabila ada ketidakcocokan di antara
pemain dalam melakukan visualisasi adegan ini, alternatif
lainnya adalah mencari penggantinya. Apabila pemain merasa
terpaksa melakukan pengadeganan sesuai dengan komando su-
tradara, hal ini akan mematikan emosi pemain. Bila hal semacam
itu berlangsung pada setiap adegan, pertunjukan tersebut tidak
hidup dan hampa. Sutradara bisa mencipta apa yang diinginkan
tetapi pemain kehilangan daya hidup dan kreativitasnya.
Untuk menjadikan posisi, komposisi, dan pola gerak ter-
sebut mampu menggambarkan adegan seluruh naskah dengan
runtut, tidak terpotong-potong dalam pengadeganannya, serta
menjadi pertunjukan yang menarik maka harus diperhatikan ba-
gian-bagian lain yang bisa mendukung kerja penyutradaraan:
 Awal Kemunculan
Awal kemunculan (entrance) merupakan faktor yang sangat
penting karena merupakan kesan pertama yang bisa dilihat oleh
penonton. Apabila awal kemunculan tidak tepat, kesan pertama
penonton juga tidak enak. Oleh karena itu, harus selalu diper-
hatikan kemunculan awal supaya bisa tepat dengan waktu dan
suasana adegan. Apalagi untuk adegan pertama, sangat mem-
pengaruhi suasana penonton. Apabila entrance pertama kali pe-
main tidak bisa menyedot perhatian penonton, bisa dikatakan
adegan pertama tersebut gagal. Untuk itu, dibutuhkan emosi
yang lebih tinggi lagi untuk mengembalikan suasana yang di-
inginkan semula. Sebagai contoh bila tune awal yang diciptakan
sudah selesai, kemudian memasuki adegan pertama, pemain
yang pertama kali masuk panggung harus memperhitungkan

177
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

ketepatan waktu masuknya, tidak boleh mendahului musik yang


masih berbunyi atau terlalu lama sesudah musik berhenti, tetapi
harus tepat musik berhenti lalu masuk. Saat masuk pun harus
sudah membawa kesan yang ingin disampaikan, apakah sedih,
gelisah, atau tergesa-gesa. Jika ketepatan waktu dan kesan tidak
tercapai, bisa menjadi bahan tertawaan penonton.
Penekanan pada entrance ini tidak hanya pada pertama saja,
tetapi menyeluruh dari setiap kemunculan pemain, meskipun
setiap kemunculan awal tersebut mempunyai kadar kesan yang
berbeda. Kesan yang paling besar dirasakan penonton ada pada
kemunculan pemain pertama dan adegan pertama. Selebihnya
entrance tersebut, kadar kesan yang ditimbulkan lebih rendah
dibandingkan yang pertama tadi, meskipun pada adegan-ade-
gan tengah bisa menimbulkan kesan yang khusus pula. Hal ini
disebabkan kemunculan pertama di awal permainan yang meru-
pakan pemain yang pertama kali bisa dilihat penonton sudah
terbiasa dengan keluar masuknya pemain, kecuali untuk adegan
yang ingin ditonjolkan kesan awalnya.
Untuk menimbulkan kesan khusus pada entrance di adegan
tengah atau menonjolkan kesan khusus pada suatu kemunculan
awal, selalu diberikan sesuatu yang lain dari entrance awal terse-
but, mungkin dengan musik, cara pemain masuk panggung yang
berbeda dari lainnya, atau membantu kemunculan tersebut se-
hingga dapat menonjolkan dengan memberikan respon dari pe-
main lainnya.
Berkaitan dengan kemunculan (entrance), faktor keluar pe-
main (exit) juga merupakan suatu hal yang harus diperhatikan
pula. Keluarnya (exit) pemain juga sama hal dengan entrance,
harus mempunyai bobot kesan yang ditinggalkan. Selain itu ke-
luarnya pemain harus pula merupakan kebalikan dari pemun-
culan awal, tetapi dalam hal ini lebih banyak ditentukan oleh
konsep artistik dan sutradara yang mendasarinya. Maksudnya
apabila panggung kiri dianggap sebagai pintu masuk, kembalinya
harus lewat panggung kiri. Demikian pula bila panggung kanan

178
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

dianggap sebagai ruangan dalam, maka ketika seorang pemain


yang harus keluar dari dalam rumah harus lewat panggung sebe-
lah kanan. Apabila pemain tersebut ingin pergi dari rumah, de-
ngan sendirinya lewat panggung kiri.
 Progresi Dramatik
Adegan-adegan yang telah divisualkan harus mempunyai
progresi dramatik. Setiap naskah yang baik pasti mempunyai
pembagian adegan dan struktur dramatik, meskipun tidak secara
jelas tertulis. Oleh karena itu, seorang sutradara dituntut untuk
membuat penafsiran tentang progresi dramatik yang akan diga-
rap dalam visualisasi. Progresi dramatik inilah yang akan menen-
tukan berhasil dan tidaknya sebuah pertunjukan yang diminati
penonton. Dalam pengertian progresi dramatik sangat memban-
tu penonton dalam mengikuti alur cerita sebuah pertunjukan.
Penyusunan progresi dramatik dimulai dari setiap pengade-
ganan yang ada di dalam naskah. Penyusunan progresi pada
setiap adegan, pada akhirnya akan membentuk suatu progresi
dramatik keseluruhan naskah. Oleh karena itu, sebelum men-
ciptakan progresi dramatik per adegan, seorang sutradara harus
mengetahui terlebih dahulu struktur dramatik dari naskah yang
akan dimainkan, minimal mengenai bagian introduksi (pema-
paran), pengembangan (komplikasi), klimaks dan penyelesaian
(resolusi). Hal tersebut harus dipahami sejak awal ketika proses
analisis naskah. Apabila progresi dramatik naskah sudah dike-
tahui, akan memudahkan proses pembentukan progresi drama-
tik per adegan.
Sebagaimana telah ditulis dalam penciptaan posisi, kompo-
sisi, dan pola gerak, selalu dimulai dari adegan pertama, maka
dalam pengisian progresi dramatik ini juga berawal pada adegan
pertama, dan harus dikaitkan pada struktur naskahnya. Jadi,
adegan-adegan yang ada pada bagian introduksi (pemaparan)
progresi dramatiknya tidak boleh lebih tinggi dari adegan yang
berada di bagian tersebut, progresi dramatiknya diusahakan
tidak melebihi bagian klimaks. Untuk itu, bila penciptaan pro-

179
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

gresi dramatik pada pengadeganan awal, adegan selanjutnya


diusahakan lebih tinggi lagi, sampai maksimal pada adegan
klimaks.
Dalam penyusunan progresi dramatik adegan dan lakon
biasanya dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Hal ini disebabkan
progresi dramatik tersebut sering terjadi tidak berurutan, pada
adegan yang seharusnya rendah ternyata aplikasi pemainnya
justru menghasilkan yang tinggi. Untuk itu pegangan yang sering
dilakukan adalah melihat kemampuan pemain membangun
klimaksnya. Apabila sudah diketahui tinggi progresi dramatik
yang bisa dihasilkan pemain di bagian klimaks akan memudah-
kan penyusunan bagian lainnya, karena sudah mengetahui ke-
mampuan maksimal pemain. Selebihnya penyusunan progresi
dramatik tinggal menyesuaikan dengan kemampun maksimal
pemain sehingga adegan-adegan bisa menyusun progresi dra-
matik yag semakin naik sampai batas tertinggi di klimaks.
Setelah progresi dramatik seluruh lakon diketahui dan
ditentukan bagian-bagian strukturnya, selanjutnya adalah
pengisian progresi dramatik per adegan dengan lebih banyak
pengembangan dari penciptaan posisi, komposisi, pola gerak,
dan entrance. Hal tersebut akan mampu membangun progresi
dramatik karena dalam penyusunan tersebut mencakup pula pe-
ngembangan emosi pemain. Pengembangan yang sifatnya
membantu progresi dramatik tersebut, diperlukan detail-detail
penggarapan yang menekankan pada transisi adegan, momen-
tum adegan dan pengolahan tahapan dramatik.
Transisi adegan merupakan faktor yang menentukan pe-
mentasan menjadi satu kesatuan utuh. Agar adegan dalam lakon
mampu tervisualisasikan secara utuh, harus diatur berdasar pada
proses sebab-akibat. Dalam pengertian, adegan pertama selalu
berakibat pada adegan berikutnya, demikian seterusnya, sehing-
ga setiap adegan tersebut kait-mengait. Supaya kaitan per ade-
gan terdebut halus, klu atau kata-kata kunci dimanfaatkan secara
tepat temponya, sehingga pemain mampu mengarahkan pe-

180
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

nonton untuk memasuki adegan berikutnya. Untuk membantu


transisi agar berkesinambungan bisa dibantu dengan musik dan
pengaturan lampu.
Ada dua cara yang sering digunakan untuk mengatur tran-
sisi adegan. Pertama dengan pergantian adegan secara halus tan-
pa ada pemutusan adegan, sehingga pengadeganan tersebut tam-
pak berjalan terus, meskipun sudah ada pergantian suasana. Tran-
sisi ini sering disebut fade out/fade in. Biasanya transisi semacam
itu dipergunakan untuk pergantian adegan yang masih dalam
satu kurun waktu dan tempat kejadian. Kedua menggunakan cut
to cut (istilah film), yaitu pergantian adegan secara tiba-tiba,
dengan pemutusan adegan. Cara ini dipergunakan apabila per-
pindahan adegan tersebut berbeda tempat dan waktu kejadi-
annya.
Selain pengaturan transisi, penonjolan suatu momentum
dapat pula membantu terciptanya progresi dramatik yang lebih
detail. Hal ini disebabkan karena suatu adegan terkadang mem-
punyai beberapa momentum yang sangat mempengaruhi suatu
adegan. Sebagai contoh, sebuah kejadian pamit seorang suami
pada istrinya, adalah momen biasa yang tidak perlu ditonjolkan,
tetapi karena setelah pamit ada momentum lain yang mengha-
ruskan suami ketemu dengan orang lain, sehingga terjadi perde-
batan, maka momen pamit tadi perlu ditonjolkan agar membantu
progresi dramatik adegan dengan adanya pergantian suasana
yang kontras.
Tidak banyak berbeda dengan momentum adegan, pengo-
lahan tahapan dramatik juga merupakan usaha sutradara dalam
membangun detail progresi dramatik. Secara teknis sering dila-
kukan dengan memberikan penekanan pada jarak antarpemain.
Jauh dekat jarak pemain mempunyai kekuatan dramatik yang
berbeda dan menunjukkan keterkaitan emosi tokoh. Sebagai con-
toh, bila seseorang sedang pacaran dengan tempat duduk yang
berjauhan, berarti hubungan mereka belum begitu rekat atau
sedang renggang. Demikian juga apabila ada adegan perteng-

181
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

karan, semakin dekat jarak pemain akan menunjukkan tingginya


kadar emosi yang muncul, dengan demikian nilai dramatiknya
akan lebih besar. Agar progresi dramatik mampu tercipta de-
ngan baik, proses mendekatnya kedua pemain yang sedang kon-
flik tidak harus dengan tiba-tiba, tetapi melewati tahapan-ta-
hapan yang bisa menunjukkan naiknya kadar emosi pemain. Se-
bagai contoh lain, apabila ada dua orang yang sedang bertengkar
kemudian masuk pemain lain yang mengetahui peretengkaran,
pemain tersebut tidak langsung memisah dengan berada di te-
ngah-tengah kedua orang yang bertengkar, tetapi justru mende-
kati pelan-pelan, meskipun secara rasio harusnya pemain tersebut
langsung memisah. Hal ini untuk mencapai tahapan progresi
dramatik dan mempermainkan keinginan penonton untuk me-
ngetahui adegan selanjutnya.

182
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

SUTRADARA
DAN PENYUTRADARAAN
Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya

Sutradara
Pertunjukan teater merupakan satu kesatuan yang dicipta-
kan oleh pemain (aktor), pengarang (naskah/cerita), sutradara
(dibantu tim artistik dan tim produksi), tempat pertunjukan dan
penonton. Menghadapi sebuah naskah drama seorang sutradara
akan berpikir bagaimana memainkannya di atas panggung agar
hidup dan terjadi komunikasi dengan penotonnya. Usaha untuk
menghidupkan sebuah naskah drama berarti suatu usaha yang
mengacu pada bentuk yang artistiK. Nilai artistik sebuah pe-
mentasan drama dapat diukur dan dinilai dari sejauh mana pe-
mentasan itu mampu menampilkan atau mewujudkan bentuknya.
Pengertian sutradara adalah orang yang bekerja berdasar-
kan konsep dan mampu mengorganisasi produksi, juga dapat
menjalin kerjasama dan komunikasi yang baik dalam hubungan-
nya dengan sekelompok aktor. perancang artistiK, dan juga
teknisi untuk menghasilkan sebuah pementasan drama. Untuk
menjadi sutradara sebaiknya lebih dulu menguasai teknik-teknik
acting atau menjadi seorang pemeran. Seorang sutradara dituntut
mengetahui tentang:
1. Aspek kultural, mengetahui masalah-masalah yang ber-
hubungan dengan kebudayaan, juga pengetahuan umum.

183
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

2. Aspek artistik, menguasai masalah kesenian pada umum-


nya, mempunyai cita rasa, kepekaan, keterbukaan. Ia harus
bisa mengembangkan kreativitas dan originalitas dengan
cara; imajinasi, kemauan, dan perasaan.
3. Aspek literer, menguasai masalah kesusasteraan pada
umumnya dan pengetahuan tentang drama pada khu-
susnya.
4. Aspek teateral, yakni pengetahuan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pentas atau panggung.

Langkah yang harus dikerjakan oleh seorang sutradara


adalah membuat konsep sebagai penuangan ide atau gagasan
yang nantinya dipakai sebagai dasar dalam melakukan kegiatan-
nya sebagai sutradara.
Langkah-langkah tersebut antara lain:
1. Melakukan penafsiran terhadap naskah meliputi; tema, plot,
dan penokohan.
2. Memilih para pemain (casting).
3. Melakukan kerjasama dengan pengarang naskah, penata
pentas, dan lain-lain dalam merencanakan pementasan.
4. Melatih atau memimpin latihan para pemain.
5. Menjadi koordinator dalam keseluruhan pementasan.

Penyutradaraan
Pementasan teater di atas panggung pertunjukan merupa-
kan hasil kerja sutradara dalam proses transformasi dari struktur
naskah menjadi tekstur panggung. Di sinilah sutradara mencipta,
mengatur dan menyatukan komposisi visual, irama, tempo, serta
tata bunyi.
Menurut Kernoddle melalui Yudiaryani (2002:354-355), ada
tiga langkah perancangan produksi teater yaitu klasifikasi, ana-
lisis, dan kualitas teknik dan materi pementasan. Berikut ini pe-
rancangan perencanaan produksi teater:

184
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

(a) Klasifikasi panggung yang menjadi alat kontrol secara


menyeluruh meliputi jenis naskah, hubungan teater dan
penonton, konvensi, gaya.
(b) Analisis panggung yang membangun struktur dan tekstur
panggung; struktur meliputi plot, penokohan, tema, sedang
tekstur meliputi dialog, suasana, spektakel, dan
(c) Pemilihan materi dan teknik pemanggungan yang ditu-
jukan.

Pemilihan materi dan teknik pemanggungan meliputi:


(i) Bagi sutradara pada pilihan materi meliputi akting, ruang,
waktu, garis, warna, cahaya; pada pilihan teknik meliputi
komposisi, gambar atau sketsa, movement, dramatisasi pan-
tomimik, irama.
(ii) Bagi aktor pada pilihan materi meliputi tubuh, suara, pi-
kiran, perasaan; pada pilihan teknik meliputi membaca
dialog, movement, dramatisasi pantomimik, irama, gestur.
(iii) Bagi perancang artistik pada pilihan materi meliputi ruang,
garis, bentuk, warna, gerakan; pada pilihan teknik meliputi
dimulai dari realisme, bergerak ke arah akting, mendalami
kualitas suasana dan atmosfer, skeneri sebagai pencetus
gagasan.

Plot atau Alur


Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu
sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya
peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, pe-
ristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga, dan
demikian selanjutnya, hingga pada dasarnya peristiwa terakhir
ditentukan terjadinya oleh peristiwa pertama. Plot atau alur di
samping mempunyai fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran
pengarang dan menarik perhatian penonton atau pembaca juga
mengungkapkan dan mengembangkan watak-watak tokoh
cerita.

185
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Unsur-Unsur Plot:
1. Ketegangan (suspense), plot yang baik akan menimbulkan
ketegangan pada diri pembaca atau penonton melalui ke-
mampuannya untuk menumbuhkan dan memelihara rasa
ingin tahu dan kepenasaran penonton dari awal sampai
akhir.
2. Dadakan (surprise), dalam membaca atau menonton cerita
yang baik, pembaca atau penonton akan selalu menduga-
duga mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Pengarang
yang baik akan menyusun ceritanya sedemikian rupa hingga
dugaan-dugaan pembaca atau penontonnya selalu keliru
dan peritiwa membelok ke arah lain yang tidak disangka-
sangka dan bahkan mengagetkan.
3. Ironi dramatik (dramatic irony), dapat berbentuk pernyataan-
pernyataan atau perbuatan-perbuatan tokoh cerita yang
seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi kemudian.
Sudah barang tentu ironi dramatik diciptakan begitu rupa
oleh pengarang agar tidak mengganggu ketegangan dan
hilangnya unsur dadakan. Sebaliknya ironi dramatik justru
untuk mendukung kedua unsur tersebut.

Strutur Dramatik Aristoteles (384-322 SM)


Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang
dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles. Disebut
demikian, karena struktur dramatik ini disimpulkan Aristoteles
dari karya-karya Sophocles (495-406 SM).
Struktur adalah suatu kesatuan dari bagian-bagian yang
kalau satu diantara bagiannya diubah atau dirusak, akan berubah
atau rusaklah seluruh struktur itu. Struktur dramatik Aristoteles
terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling menunjang
dan oleh karena itu tidak dapat dipisah-pisahkan tanpa merusak
struktur itu secara keseluruhan. Adapun bagian-bagian itu ada-
lah eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.

186
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu


karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi ber-
faal sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau kete-
rangan mengenai berbagai hal yang diperlukan uantuk dapat me-
mahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-
keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang
timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi, dan sebagainya.
Komplikasi atau gawatan merupakan lanjutan dari ekspo-
sisi dan peningkatan dari padanya. Di dalam bagian ini salah
seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai
tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti.
Dengan demikian timbullah gawatan atau komplikasi. Pada ba-
gian ini konflik terjadi baik yang timbul dari diri tokoh sendiri
maupun dari seseorang di luar dirinya.
Klimaks, pada bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau
bertentangan, saling berhadapan untuk melakukan perhitungan
terakhir yang menentukan. Di sinilah nasib para tokoh cerita
ditentukan.
Resolusi, semua masalah yang ditimbulkan oleh tokoh-
tokoh cerita terpecahkan.
Konklusi, nasib tokoh-tokoh dalam cerita sudah pasti.

Berikut adalah Gambar Dramatik Action (A) Aristoteles (B)


Gustav Freytag

187
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Penokohan
Tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan
mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-
peristiwa yang digambarkan dalam plot atau alur cerita. Sifat
dan kedudukan tokoh cerita di dalam naskah drama beraneka
ragam. Ada yang bersifat penting dan digolongkan kepada to-
koh penting atau mayor dan ada pula yang tidak terlalu penting
dan digolongkan kepada tokoh pembantu atau minor. Ada yang
berkedudukan sebagai protagonis, yaitu tokoh yang pertama-ta-
ma berprakarsa dan dengan demikian berperan sebagai peng-
gerak cerita. Karena perannya itu protagonis adalah tokoh yang
pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesu-
karan-kesukaran. Biasanya kepadanya pula pembaca atau
penonton berempati. Yang dimaksud berempati ialah menempat-
kan diri pada kedudukan seseorang, hingga dapat memikirkan
masalah-masalah orang itu dan mengalami perasan-perasaannya.
Lawan protagonis adalah antagonis, merupakan tokoh pengha-
lang bagi tokoh protagonis. Tokoh lain yang kedudukannya pen-
ting pula dalam cerita adalah kepercayaan (confidant). Tokoh ini
menjadi kepercayaan protagonis dan atau antagonis. Kepada
tokoh ini protagonis dan antagonis dapat mengungkapkan isi
hatinya di pentas, oleh karena itu memberi peluang besar kepada
pembaca atau penonton untuk mengenal watak dan niat tokoh-
tokoh dengan lebih baik.
Watak para tokoh bukan saja merupakan pendorong terja-
dinya peristiwa akan tetapi juga merupakan unsur yang menye-
babkan gawatan masalah yang timbul dalam cerita. Dapat dika-
takan watak seorang tokoh biasanya menjadi penggerak cerita.

Bahasa
Unsur drama yang lain dan sangat penting adalah bahasa.
Percakapan yang dilakukan tokoh-tokoh dalam cerita mengguna-
kan bahasa. Dengan bahasa pula untuk menjelaskan bagian-ba-
gian plot yang tidak dipertunjukan di atas pentas. Bahasa juga

188
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

menjelaskan latar belakang dan suasana cerita. Melalui bahasa


yang diucapkan oleh para tokoh atau petunjuk pengarang maka
pembaca atau penonton mengetahui tentang tempat, waktu atau
zaman dan keadaan di mana cerita terjadi. Dengan melalui ba-
hasa maka dapat diketahui suatu cerita terjadi di Inggris, pada
abad pertengahan dalam masa perang.
Dari pilihan bahasa yang dilakukan seorang pengarang
dapat juga diketahui suasana murung, sedih, riang, bersemangat,
dan sebagainya. Juga dapat diketahui watak tokoh cerita itu
jahat, baik, kasar, dan sebagainya tau dapat pula diketahui latar
belakang sosial, pekerjaan, pangkat, dan dari lingkungan apa
dia datang dari dialog yang dipergunakannya.

Perancangan Elemen-elemen Pendukung Pentas


Elemen-elemen pendukung pentas antara lain skeneri, tata
busana, tata rias, tata lampu, tata bunyi, mise en scene atau spek-
takel, properti, dan tim produksi.
a. Skeneri
Skeneri merupakan segala anasir yang ada di atas panggung
dan memungkinkan memberikan perwatakan yang terdapat
dalam suatu lakon. Skeneri dimaksudkan untuk mendukung
gerak dan laku pemeran sehingga penonton diberikan
ruang seluasnya untuk menafsir menurut interpretasinya.
b. Tata Busana
Pengertian tata busana dalam teater yakni segala sandangan
dan perlengkapannya (accessories) yang dikenakan pemeran
di atas panggung, meliputi semua pakaian, sepatu, penutup
kepala, dan perlengkapannya baik yang kelihatan maupun
yang tidak oleh penonton (Harymawan, 1993:127). Dalam
merencanakan tata busana atau kostum harus disesuaikan
dan diselaraskan dengan skeneri, tata lampu, kesesuaian
atau pas di tubuh pemeran (tidak mengganggu gerak pe-
meran).

189
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

c. Tata Rias
Pengertian tata rias dalam seni teater yakni merubah yang
alamiah (nature) menjadi yang berbudaya (culture) dengan
maksud mendapatkan daya guna yang tepat (Harymawan,
1993:135). Tata rias dalam sebuah pementasan teater biasa-
nya dihadirkan untuk memperjelas karakter peran dan
memperkuat watak toloh. Pada karya ini tata rias yang di-
tampilkan adalah rias semi fantasi yakni gabungan antara
rias tradisi, rias modern dan rias karakter yang disesuaikan.
d. Tata Lampu
Esensi tata lampu atau pencahayaan dalam teater untuk
akting adalah menerangi seluruh wajah. Tubuh aktor dan
lingkungan sekitar panggung harus mendapat pencahayaan
secara efektif, hal ini agar wajah aktor dengan jarak pe-
nonton tetap terlihat. Rancangan tata lampu untuk teater
dibedakan menjadi 3 tipe area yaitu: (1) acting areas (area
akting yang dimaksud di mana akting penting ditempatkan
atau di mana aktor membuat garis), (2) traffic areas (area
lalu lintas, di mana aktor bergerak antara area akting, tetapi
bukan saat melakukan akting atau dialog penting), (3) sce-
nery areas (area skeneri, tempat yang tidak pernah dimasuki
aktor tetapi pencahayaan diperlukan agar penonton dapat
melihat skeneri, furniture, property, dan lain sebagainya
(Bunn, 1993:30-34).
e. Tata Bunyi
Seni teater bersifat auditif visual artinya bisa didengar dan
bisa dilihat (Harymawan, 1993:159). Bunyi atau suara dalam
seni teater merupakan bunyi yang dihasilkan dari suara pe-
meran (pengucapan dialog), efek bunyi yang dihasilkan da-
ri benda-benda (seperti; bunyi pintu, bunyi detak jam din-
ding, bunyi kapal terbang, dan lain sebagainya), dan musik.
f. Properti
Properti atau perlengkapan pentas adalah segala macam
peralatan yang digunakan di atas panggung yang kehadir-

190
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

annya sengaja diperlukan untuk melengkapi pentas dan


membatu gerak dan laku pemeran
g. Spektakel atau Mise en Scene
Mise en scene ialah segala perubahan yang terjadi pada
daerah permainan yang disebabkan oleh perpindahan pe-
main atau peralatan” (Harymawan,1993:68). Penyusunan
atau penempatan mise en scene yang tepat akan memberikan
sentuhan artistik secara total sebuah pertunjukan. “Spekta-
kel muncul melalui gabungan antara warna warni seting,
perubahan tata cahaya, dan gemerlap kostum” (Yudiaryani,
2002:368).
h. Tim produksi dan Tim Artistik
Hal yang tidak kalah penting perlu diperhatikan dalam
penggarapan seni pertunjukan adalah mengenai manajemen
produksi. Pembentukan tim produksi dimaksudkan untuk
pengelolaan tenaga, biaya, waktu dan gedung pertunjukan.
Maka setelah terbentuk susunan kepanitian produksi yang
dipimpin oleh seorang pimpinan produksi dibuatlah rencana
anggaran biaya. Pembiayaan atau dana produksi diperun-
tukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sebagai beri-
kut: (1) bidang produksi, untuk membiayai sewa gedung
pertunjukan, pengadaan dan penataan panggung, penam-
bahan sound dan lightings system, (2) bidang logistik, untuk
membiayai akomodasi, konsumsi, dan transportasi, (3)
bidang humas/publikasi, untuk keperluan realease media
(koran), poster, leaflet, flyer (selebaran), dan (4) bidang
sekretariat, untuk membiayai rapat-rapat, administrasi per-
suratan, perizinan, perjanjian, ID card, jasa komunikasi,
dokumentasi, penyusunan dan penerbitan laporan.

Beberapa Istilah Drama


Ada beberapa istilah drama perlu diketahui yang sering
kita jumpai dalam naskah drama, antara lain:

191
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Babak
Dalam naskah drama adalah bagian dari naskah drama yang
merangkum semua peristiwa yang terjadi di suatu tempat pada
urutan waktu tertentu. Sering kita jumpai dalam naskah drama
terdapat lebih dari satu babak. Dan suatu babak biasanya dibagi-
bagi lagi di dalam adegan-adegan. Suatu adegan ialah bagian
dari babak yang batasannya ditentukan oleh perubahan peristi-
wa berhubung datangnya atau perginya seorang atau lebih to-
koh cerita ke atas pentas.

Dialog
Bagian lain dalam naskah yang harus dipahami oleh seorang
sutradara adalah dialog. Dari dialog yang diucapkan oleh tokoh-
tokoh maka akan tersirat makna dan maksud yang ingin disam-
paikan oleh seorang pengarang tau penulis naskah drama.

Prolog
Bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal. Pada
dasarnya prolog merupakan pengantar naskah yang dapat berisi
satu atau beberapa keterangan tentang cerita yang akan disam-
paikan. Keterangan yang dimaksud mengenai masalah, gagasan,
pesan pengarang, jalan cerita atau alur (plot), latar belakang ce-
rita, tokoh, dan lain-lain, kesemuanya itu diharapkan dapat me-
nolong pembaca atau penonton dalam menghayati dan mema-
hami cerita yang disajikan. Namun perlu diketahui tidak semua
naskah drama memiliki prolog, karena kedudukannya agak ku-
rang penting dibandingkan dengan dialog dan petunjuk penga-
rang. Walaupun begitu ditangan pengarang-pengarang yang baik
prolog bisa menjadi salah satu sarana penyampai yang berdaya
guna. Oleh karena itu pengetahuan yang memadai mengenai
prolog perlu dimiliki oleh mereka yang berhasrat menghayati
dan menikmati karya-karya sastra drama, baik sebagai sastra
maupun sebagai pementasan.

192
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Dialog
Merupakan bagian dari naskah yang berupa percakapan antar
tokoh. Dialog inilah yang menunjukkan sebuah karya sastra dise-
but sebagai sastra drama. Dalam drama dialog memiliki fungsi;
(1) menyajikan informasi, mengungkap fakta, ide, dan emosi,
(2) harus mewujudkan karakter, (3) memberi tekanan pada mak-
na dan informasi, (4) menghidupkan tema naskah, (5) membantu
pembentukan nada yang mengidentifikasikan naskah tersebut
komedi, tragedi atau lawak, dan (6) meningkatkan tempo dan
irama permainan. Selain dialog, yang kadang-kadang hadir da-
lam naskah drama adalah petunjuk pengarang (biasanya ditulis
dalam kurung) yang memberikan penjelasan mengenai keadaan,
suasana, peristiwa, perbuatan dan sifat tokoh cerita kepada para
pembaca, atau awak pementasan misalnya; sutradara, pemeran,
dan penata artistik.

Epilog
Ditempatkan pengarang di bagian belakang. Epilog biasanya
berisi kesimpulan pengarang mengenai cerita, yang kadang-
kadang disertai nasehat atau pesan. Ada pula epilog yang disertai
ucapan terimakasih pengarang dan para pemain kepada penon-
ton yang dengan sabar telah menyaksikan pertunjukan.

Solilokui (konvensi pentas)


Merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seorang tokoh cerita
yang diucapkannya kepada dirinya sendiri, baik pada saat ada
tokoh lain maupun terutama pada saat ia seorang diri.

Aside (konvensi pentas)


Bagian naskah drama yang diucapkan salah seorang tokoh cerita
dan ditujukan langsung kepada penonton dengan pengertian
bahwa tokoh lain yang ada di pentas tidak mendengar. Kata
aside yang berarti ke samping, menyarankan bahwa kata-kata
tokoh itu diucapkan sambil memalingkan muka dari tokoh lain

193
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

yang ada di pentas dan secara langsung dimaksudkan agar dite-


rima langsung oleh penonton.

Daftar Bacaan
Bunn, Rex. (1993), Practical Stage Lighting, Currency Press Ltd
PO Box 452 Paddington NSW 2021, Australia.
Djelantik, A.A.M. (2001), Estetika Sebuah Pengantar, MSPI
bekerjasama dengan kuBuku, Bandung.
Harymawan, RMA. (1993), Dramaturgi, Cetakan ke-2, PT.
Rosdakarya, Bandung.
Padmodarmaya, Pramana. (1983), Tata dan Teknik Pentas, P&K,
Jakarta.
Purwaraharja, Lephen. ed. (2000), Ideologi Teater Modern Kita,
Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.
Sahid, Nur. (2004), Semiotika Teater, Lembaga Penelitian Institut
Seni Indonesia Yogyakarta.
Sumardjo, Jakob. (1992), Perkembangan Teater Modern dan Sastra
Drama Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Yudiaryani. (2002), Panggung Teater Dunia Perkembangan dan
Perubahan Konvensi, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.

194
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

MENUMBUHKEMBANGKAN
POTENSI DIRI UNTUK
BEREKSPRESI DRAMATIK
Nur Iswantara

Prolog
Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik sudah
selayaknya tetap memakai bahasa Indonesia sebagai sarana
berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis dalam kancah per-
gaulan nasional. Dengan berbahasa Indonesia semakin membe-
rikan arti keindonesiaan dalam wawasan kebudayaan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penggunaan bahasa Indo-
nesia dalam NKRI semestinya harus diperjuangkan secara terus-
menerus baik dalam lingkup berbangsa, bermasyarakat, keluar-
ga, maupun sekolah.
Ingat sebuah peribahasa, Bahasa Menunjukkan Bangsa adalah
peribahasa yang masih sangat relevan dengan situasi NKRI yang
tetap setia menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai alat ko-
munikasi keluarga bangsa ini. Sejak Sumpah Pemuda dikuman-
dangkan pada 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia ditempatkan
sebagai alat berbahasa yang satu bagi bangsa Indonesia. De-
mikian pula sejak UUD 1945 disepakati sebagai landasan ber-
negara, maka Bahasa Indonesia pun resmi sebagai bahasa nasio-
nal. Melalui asumsi-asumsi tersebut kiranya peribahasa yang in-
dah itu secara nyata dapat dipergunakan untuk memahami segala
aktivitas yang menyangkut bahasa Indonesia maupun bahasa-
bahasa yang lain dalam kebudayaan masyarakat Indonesia.

195
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Jika selama ini sudah ada ketetapan resmi sebagai bahasa


nasional, bahasa Indonesia tidak diragukan lagi keberadaannya
sebagai sarana komunikasi bagi bangsa Indonesia. Jika menya-
dari bahwa bangsa Indonesia memiliki kurang lebih 13.000 pulau
dengan sekitar 3000 bahasa daerah, kita akan mengalami kesu-
litan dalam berkomunikasi apabila tidak ada bahasa Indonesia.
Betapa susah orang Jawa berkomunikasi dengan orang Irian,
orang Sulawesi dengan orang Aceh, dan sebagainya. Mengha-
dapi berbagai gejala seperti itu, kiranya para “bapak bangsa”
pendiri negeri ini begitu tepat memposisikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi.
Ajakan berbahasa dengan keindonesiaan ini merupakan pema-
haman untuk memberikan wacana budaya dalam arti seluas-
luasnya. Pengalaman saya ketika dalam lingkup kecil bertemu
dengan kawan-kawan dari luar Jawa sering terjadi kesalahpa-
haman, yakni sewaktu berkomunikasi memakai bahasa daerah.
Suatu ketika dalam acara resmi, saya sedang ngobrol dengan
teman dari etnis Makassar memakai bahasa Indonesia, datanglah
teman lain yang sesama etnis Makassar. Keduanya pun ngobrol
sehingga saya tidak dapat memahami bahasa mereka. Secara
logika dan etika, emosi saya tersinggung, meskipun itu tak saya
tampakkan, hanya memandang mereka disertai senyum bersa-
habat.

Berbahasa Estetik dengan Drama


Selama ini pemahaman bahasa sering diartikan dengan
sempit, suatu contoh penggunaan bahasa Indonesia untuk suatu
penulisan harus dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Padahal dalam menulis dapat saja mengabaikan EYD, apalagi
kalau menulis karya fiksi. Untuk itu dimungkinkan dalam ber-
bahasa kita tumbuh bebas sesuai dengan kehendak berbudaya
si manusia itu.
Jika bahasa Indonesia dipahami dengan sempit maka akan
mengalami kemandegan secara estetik. Jika dalam situasi formal,

196
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

kita memang dituntut untuk berbahasa dengan baik dan benar


serta ber-EYD. Akan tetapi pada kancah seni budaya, kebebasan
berbahasa secara estetis menjadi kebutuhan yang tak dapat
ditolak lagi. Seni musik memiliki bahasa musikal, seni tari tidak
lepas dari bahasa gerak, seni pantomim penuh dengan bahasa
isyarat, seni lukis memiliki bahasa rupa, seni sastra lekat dengan
bahasa keindahan, seni drama memiliki kekhasan dramatik, seni
teater menampung bahasa teatral, bahkan dalam dunia senam
muncul bahasa tubuh dan lain sebagainya. Berbagai sebutan ba-
hasa sering muncul dalam aktivitas seni budaya.
Untuk itu pemahaman bahasa dalam memaknai seni budaya
dapat secara verbal dan non-verbal. Bahasa verbal meliputi
bahasa yang dipergunakan untuk dialog para tokoh (dapat ba-
hasa Indonesia atau yang lainnya). Sedangkan bahasa non-verbal
meliputi berbagai aspek memvisualkan yang bukan verbal.
Sebuah karya seni drama/teater memungkinkan berbagai aspek
seni ada di dalamnya demi pencapaian bahasa dramatik/teatral
yang dikehendaki. Seni drama/teater merupakan berbagai lu-
luhan seni (sintetic art), dengan demikian memang membutuhkan
kepiawaian dalam menciptanya. Artinya bagaimana si drama-
wan/teaterawan mampu berbahasa dramatik/teatral tergantung
pada kemampuannya memanfaatkan alat ucap yang dimiliki—
apakah sang dramawan/teaterawan memahami betul naskah la-
kon yang mau dipertunjukan, yang didalamnya ada nilai struk-
tur: tema, plot, karakter, setting. Kemudian apakah dia juga
memahami tekstur: dialog, mood, spectacel. Dimana struktur dan
tektur ini diolah oleh dramawan/tetaerawan menjadi pertunju-
kan seni drama/teater yang dapat diapresiasi penonton. Di sisi
lain, seorang penggarap teater atau sutradara harus mampu
mengkoordinasi personal-personal: aktor, skenografer, penata
artistik, penata cahaya, penata musik, penata rias, penata busana,
dan lain sebagainya. Dia bertanggung jawab terhadap terciptanya
karya seni drama/teater yang berkualitas. Di samping itu, ia
harus dapat bekerja sama dengan tim produksi yang akan

197
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

menghadirkan penonton demi keberhasilan pertunjukan itu


sendiri.

Teori Drama
Hal dasar yang melekat pada siswa sebagai calon penulis
naskah drama berkaitan dengan sumber potensi utama. Siswa
sebagai sosok manusia memiliki sumber potensi, yakni pribadi
yang sehat (badaniah, jiwaiah, intelektual), pengalaman ekspresi
dramatik, imajinasi, memori, pengamatan kehidupan, menulis,
kepekaan panca indra, merupakan modal berkreasi yang dapat
dikembangkan demi mengaktualitasasikan potensinya secara
proporsional.
Harymawan dalam bukunya Dramaturgi (1993) mengete-
ngahkan bahwa ilmiah teater menciptakan dua daerah pokok
subyek, yaitu teatrologi dan dramatologi atau dramaturgi.
Teatrologi menyelidiki aspek-aspek pergelaran teater sehu-
bungan dengan aktor, pentas, dan penonton. Sedangkan drama-
turgi bidang penyelidikannya meliputi sebuah ketentuan yang
dapat digelarkan sebagai suatu hasil seni yang diperuntukkan
bagi pertunjukan teater. Dramaturgi merupakan ajaran tentang
masalah hukum dan konvensi drama. Formula dramaturgi meli-
put 4M: mengkhayalkan (M1); menuliskan (M2); memainkan M3),
dan menyaksikan (M4) merupakan formula yang sangat penting.
Untuk keperluan penulisan naskah drama maka yang ba-
nyak dibahas pada M1 berkaitan dengan pertama kali manusia/
pengarang mengkhayalkan kisah: ada inspirasi-inspirasi, ide-
ide (idea); M2 menempatkan pengarang saat menyusun kisah
yang sama (the same idea) untuk kedua kalinya, pengarang menulis
kisah (story). Secara teoritis dramaturgi pun menjadi bekal calon
penulis naskah drama. Ada dua sisi pembahasan yakni, Sisi I,
Drama dan Konflik Kemanusiaan. Pembahasan itu meliputi: Pertama,
Hukum Drama, drama adalah konflik kemanusiaan yang selalu
menguasai perhatian dan minat publik. Konflik adalah dasar
drama (the law of drama) menurut Ferdinand Brunetiere (via Hary-

198
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

mawan, 1993:9) sehingga lakon harus menghidupkan pernyataan


kehendak manusia menghadapi dua kekuatan yang saling
beroposisi, yakni antara protagonis dan antagonis. Protagonis,
peran yang membawakan ide prinsipiil, sedangkan antagonis
merupakan peran yang melawan pembawa ide prinsipiil;
pertentangan keduanya melahirkan dramatic action.
Kedua, Tabiat manusia sebagai sumber penulisan drama. Tabiat
manusia harus dipelajari oleh pengarang, aktor-aktris, dan su-
tradara. Hal ini mengingatkan bahwa inti drama adalah masalah
kemanusiaan sehingga harus tetap memiliki dasar yang wajar.
Ketiga, Motif sebagai dasar action, pemahaman action menjadi
penting karena dalam ber-action harus ada alasan karena action
merupakan hasil akhir tabiat manusia. Adapun sumber-sumber
motif meliputi: human drives (elansitas, spirit, aktivitas); situasi
fisik dan sosial; interaksi sosial dan character pattern atau pola
watak: intelegensi; hubungan dengan dunia luar; hubungan sese-
orang dengan dirinya sendiri. Keempat, sumber motif saling
mempengaruhi dan terjalin menjadi satu motivational complex yang
berpengaruh pada setiap lagu dan aktivitas manusiaan. Dengan
demikian, terjadinya konflik protagonis dengan antagonis yang
melahirkan pertentangan secara oposisional sangat ditopang oleh
motif dalam melahirkan action. Untuk itu, drama memang dida-
sarkan atas human conflict.
Sisi II, Drama dan Pengarang. Sisi ini memiliki berbagai muat-
an: Kesatu, bahan-bahan seorang pengarang terdiri dari (1) subyek,
atau tema merupakan ide pokok drama atau lakon, (2) karakter,
berguna untuk mengembangkan konflik, penggarang meman-
faatkan watak manusia sebagai bahan. Perlu diingat bahwa kon-
flik hidup adalah hukum drama, (3) situasi, drama atau lakon
merupakan rentetan situasi. Situasi yang akan berkembang se-
lama action terjadi.
Kedua, alat pengarang berupa dialog. Dialog menggambarkan
watak-watak sehingga latar belakang perwatakan dapat diketa-
hui. Dialog lebih memberikan porsi yang besar dan bermakna

199
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

pada action (laku), sebab action lebih jelas-keras dibandingkan


kata-kata dialog sehingga ada pemahaman to see is to believe.
Ketiga, proses inspirasi merangsang daya cipta (M1 dan M2).
M1 sebagai proses mengkhayalkan, menempatkan inspirasi. Pro-
ses ini dapat timbul karena pikiran kita menemukan suatu ga-
gasan yang merangsang daya cipta; perhatian kita tertuju pada
suatu peristiwa, baik yang disaksikan sendiri maupun yang di-
dengar atau dibaca; perhatian kita terikat pada kehidupan sese-
orang. Hal ini berlanjut pada M2 dimana menuliskan sebagai
tanggung jawab pengarang maka daya cipta akan kita hidupkan
ke dalam sebuah cerita, maka terciptalah gambaran cerita yang
masih mentah belum teratur sehingga proses kristalisasi kita
harus berhasil merumuskan hakikat (intisari) cerita, dan kita
mendapat rumus intisari cerita (premise).
Keempat, proses mengarang dilakukan melalui tahapan (1)
seleksi, pengarang memilih situasi yang harus membangun
keseluruhan drama. Banyak drama (lakon, play) menempatkan
situasi menjadi kunci action (laku); (2) re-arrangement, pengarang
mengatur/menyusun kembali kekalutan hidup menjadi pola
yang bermakna; (3) intensifikasi, kisah diceritakan, kesan digam-
barkan, suasana hati diciptakan oleh pengarang demi menginten-
sifkan-meningkatkan komunikasi dalam proses kreatif pencipta-
an naskah drama dengan anasir-anasir artistik sesuai perenca-
nanya.
Kelima, memahami konstruksi dramatik, berawal dari ide
klasik Aristoteles yang terpapar dalam Poetics (Richard Levin,
1967) mengetengahkan perihal teori, analisis, hukum puisi dan
drama. Di sana diutarakan teori tentang komedi (suka cerita),
tragedi (duka cerita), hukum komposisi drama (terdiri dari awal,
tengah, dan akhir) dan pengetahuan trilogi Aristoteles (meliputi
kesatuan tempat, waktu, dan kejadian). Selain pengetahuan ter-
sebut, dalam menyusun drama perlu diperhatikan beberapa hal
berikut ini: (1) dramatic plot, minimal mengenali pola dramatik
plot klasik-Aristoteles: Protasis permulaan, dijelaskan peran

200
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

dan motif lakon; Epitasio  jalinan kejadian; Catastasis  puncak


laku, peristiwa mencapai titik kulminasi; Catastrophe penutupan.
Juga pola dramatik modern-Gustav Freytag: Exposition  pelu-
kisan; Complication  dengan munculnya kerumitan-komplikasi
diwujudkan jalinan kejadian; Climax  puncak laku, peristiwa
mencapai titik kulminasi; Resolution  penguraian, mulai tergam-
bar rahasia motif; Conclusion  kesimpulan; Catastrophe  ben-
cana; Denouement, penyelesaian yang baik (happy ending); dari
tahapan tersebut ditariklah sebuah kesimpulan dan habislah ceri-
tanya; (2) dramatic tension, menurut Brander Mathews (1852-1929)
garis action menunjukkan ketegangan (tension) jika digambarkan
dalam sebuah piramidal. Jika seorang penulis naskah drama
membuat cerita dalam tiga babak, maka kenaikan ketegangan
agak mendekati garis lurus dari piramida itu. Babak I penulis
dapat mengetengahkan exposition dan rising action dalam kurva
melengkung menaik. Pada babak II dimulai dari akhir babak I
yang diturunkan sedikit untuk menuju ketegangan pada babak
II dimana complication bergerak ke climax. Perlu dipahami penulis
bahwa setiap akhir babak penurunan dilakukan guna memberi
waktu (time) kepada penonton untuk mendapatkan kembali
orientasi atas lakon. Pada babak III kenaikan ketegangan menu-
run sebab resolution merambat turun menunju conclusion dari la-
kon itu. Akan tetapi dapat saja penulis tidak melakukan perubah-
an penurunan melainkan mengakhiri di titik puncak dan lakon
pun selesai; (3) trilogi Aristoteles yang meliputi: (i) kesatuan waktu,
peristiwa harus terjadi berturut-turut selama 24 jam tanpa suatu
selingan; (ii) kesatauan tempat, peristiwa seluruhnya terlaksana
dalam satu tempat saja; (iii) kesatuan kejadian, membatasi rentet-
an peristiwa yang berjalan erat, tidak menyimpang dari pokok-
nya, ini sering disebut kesatuan ide; (4) memahami tiga unsur
prinsip drama, yakni: (i) unsur kesatuan, penulis harus memper-
hatikan trilogy Aristoteles tentang kesatuan tempat, waktu, dan
kejadian; (ii) unsur penghematan, mengingat keterbatasan waktu,
harus diusahakan menuangkan problem-problem pokok dan pen-

201
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

ting saja; (iii) unsur keharusan psikis, dalam fungsi psikis dalam
dramaturgi klasik biasa dikenali adanya: Protagonis, peran utama
(pahlawan, pria/wanita) yang menjadi pusat cerita, pembawa
ide prinsipiil; Antagonis, peran lawan, penentang pembawa ide
prinsipiil, sering menjadi musuh yang menyebabkan konflik; dan
Tritagonis, peran penengah, bertugas mendamaikan atau menjadi
pengantara protagonis dan antagonis; peran pembantu, peran
yang secara tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi diper-
lukan guna peneyelesaian cerita; (5) pemahaman drama modern—
drama modern mendobrak hukum-hukum Aristoteles. Drama
modern yang baik, menempatkan kegentingan (spanning) untuk
memikat penonton dalam waktu sesingkat mungkin. Ada dua
macam kegentingan: (i) kegentingan karena hasrat ingin tahu
bagaimana akhir cerita; dan (ii) kegentingan identifikasi karena
penonton mengidentifikasi-kan/mengintegrasikan diri secara
emosional dengan peran. Selebihnya, ada dua emosi yang mem-
bangkitkan kegentingan, yakni: (i) emosi pelengkap, berupa emosi
yang mengenakkan. Menempatkan kesenangan-kesenangan
yang kita peroleh waktu menonton, kegembiraan-kegembiraan
itu memperkaya hidup kita; (ii) emosi penyelamatan, emosi yang
tidak enak waktu menikmati hasil seni, misalnya penonton
mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang menderita, meski-
pun dia sendiri tidak ingin terlibat dalam penderitaan, paling-
paling hanya menyaksikan saja. (6) konstruksi cerita drama harus
diperhatikan secara teliti. Pada porsi ini komposisi tiga bahan
pokok untuk cerita drama harus dikuasai. Cerita drama digubah
dengan tiga bahan pokok: premise—karakter—plot. Bahan per-
tama, premise, ialah rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal
dalam menentukan arah tujuan cerita. Ditinjau dari pelaksanaan,
premise merupakan landasan pola bangunan lakon. Istilah lain
dari premise yang biasa digunakan adalah theme, thesis, root, idea,
central idea, goal, aim, dreiving, force, subject, purpuse, plan, basic
emotion, malahan ada yang menyebut plot. Istilah premise lebih

202
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

memuat kompleksitas anasir-anasir yang telah disebut dalam


istilah lainnya.
Ada beberapa pernyataan pemahaman premise yang mema-
kai istilah tersebut secara berbeda. Brande Mattews berpendapat
a play needs to have theme; Ferdinand Brunetiere mengatakan a
goal in the play to start with; dan John Howard Lawson menyam-
paikan the root-idea is the beginning of the process. Dari beberapa
pernyataan tersebut maka premise sangat penting. Premise akan
menunjukkan Anda jalan, demikian pendapat Profesor George
Pierce Baker. Tidak ada cerita drama yang baik tanpa premise.
Beberapa contoh premise: nafsu angkara murka membinasakan
diri sendiri (dalam naskah drama Macbeth karya William Sha-
kespeare), siapa menggali lubang untuk orang lain akan terjerumus
ke dalamnya (dalam Tartuffe atau Akal Bulus Scapin karya Moliere),
tak ada keserasian dalam pernikahan mendorong perceraian (dalam
naskah drama A Doll’s House karya Henrik Ibsen), ambisi angkara
murka membinasakan diri sendiri (dalam naskah drama Api karya
Usmar Ismail), perjuangan mempertahankan martabat bangsa dan
membangkitkan semangat juang yang penuh sikap keperwiraan
diperlukan pengorbanan jiwa, raga dan cinta (dalam naskah drama
Genderang Bharatayuda karya Sri Murtono).
Dalam sebuah proses kreatif, premise dapat saja serupa de-
ngan cerita yang sudah ada, misalnya Rara Mendut Pranacitra,
Jayaprana Layonsari, Sampek Ingtai, Tristan Isolde, ceritanya memiliki
premise serupa dengan Rome Juliet-nya William Shakespeare.
Untuk itu, sebagai penulis tidak perlu takut dituduh plagiat jika
pilihan premise-nya serupa. Hal yang penting bagaimana mela-
kukan kreativitas berdasarkan ekpresi dramatik dengan arahan
premise tersebut.
Bahan kedua, charakter, biasa juga disebut tokoh, merupa-
kan bahan yang paling aktif dalam menggerakkan jalan cerita.
Charakter adalah tokoh yang hidup, bukan mati; ia adalah boneka
di tangan penulis. Character ini seakan berdarag-daging, berpri-
badi, berwatak, bahkan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga

203
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

dimensional. Sifat tiga dimensi itu meliputi dimensi fisiologis,


sosiologis, dan psikologis.
Dimensi fisiologis berupa ciri-ciri badani seperti: usia –
tingkat kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri
muka, dan lain sebagainya. Dimensi Sosiologis adalah latar
belakang kemasyarakatan tokoh, seperti: status sosial, pekerjaan,
jabatan, peranan dalam masyarakat; pendidikan; kehidupan pri-
badi; pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi; aktivitas
sosial, organisasi,hobi, bangsa, suku, keturunan. Dimensi psiko-
logis adalah latar belakang kejiwaan seperti: mentalitas, ukuran
moral/membedakan anatara yang baik dan tidak baik; tempera-
men, keinginan, perasaan pribadi, sikap dan kelakukan; intelli-
gence quotient (IQ), tingkat kecerdasan, kecakapan, keahlian khu-
sus dalam bidang tertentu. Andai ketiga dimensi tersebut diabai-
kan, maka sifat tokoh akan mengalami ketimpangan bahkan
cenderung menjadi tokoh yang tidak hidup.
Sebagai contoh dalam naskah drama Api karya Usmar Ismail
digambarkan tokoh Hendrapati sebagai berikut: Usianya 48 ta-
hun, tubuh tinggi kurus; ia seorang apoteker, pernah menge-
nyam pendidikan sekolah tinggi di Rotterdam tapi tidak lulus;
tingkat hidup kaya, kehidupan pribadi/keluarga penuh perten-
tangan, bukan keturunan bangsawan, beristri memiliki dua anak
yang sudah dewasa; watak dan standar moral rendah, rasa ren-
dah dirinya selalu dibawa dalam setiap tingkah laku; kepandaian-
nya tanggung, kecakapannya setengah-setengah, tetapi kemau-
annya keras. Ingin termasyur, terhormat, mau menang sendiri,
tak kenal kasihan dan materialistis.
Bahan ketiga berupa Plot, merupakan alur atau rangka ce-
rita, biasanya ada susunan empat bagian yang meliputi : Protasis:
permulaan, dijelaskan peran dan motif lakon; Epitasio: jalinan
kejadian; Catastasis: puncak laku, peristiwa mencapai titik kul-
minasi; Catastrophe: penutupan. Secara pokok dapat dipahami
dalam plot setidaknya tergambar persoalan : konflik  krisis
 klimaks  penyelesaian terjalin secara utuh.

204
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Seorang penulis naskah drama dituntut mengetahui naskah


dan lakon? Naskah (script) adalah bentuk atau rencana tertulis
dari cerita drama. Lakon (play) adalah hasil perwujudan dari
naskah yang dimainkan. Dalam tradisi musik, ada partitur, score
yang juga merupakan bentuk atau rencana tertulis dari musik.
Lantas partitur, score ini dimainkan sehingga terwujudlah nada-
nada yang sangat musikal dalam ruang dan waktu tertentu.
Naskah drama berjudul Romeo Juliet karya William Sha-
kespare tetap tidak berubah, aslinya hanya satu yang ditulis
pujangga Inggris itu. Sedang yang banyak beredar adalah copy-
annya saja. Kemudian lakon drama Rome Juliet hanya terwujud
pada saat dipertunjukkan di atas pentas. Sebelum dan sesudah
saat memainkannya tidak ada lakon Romeo Juliet yang ada adalah
naskah drama Romeo Juliet. Lakon Romeo Juliet yang berkali-kali
dimainkan selalu berubah-ubah kondsisi kualitas artsitiknya. Hal
itu tergantung pada siapa dan dimana memainkannya. Sedang-
kan yang namanya naskah drama Romeo Juliet tetap saja adanya.

Ekspresi Tulis (Penciptaan) Drama


Siswa sebagai sosok manusia memiliki sumber potensi, yakni
pribadi yang sehat (badaniah, jiwaiah, intelektual), pengalaman
ekspresi dramatik, imajinasi, memori, pengamatan kehidupan,
kemampuan menulis, kepekaan panca indra  dibongkar untuk
menemukan kejernihan pikiran dan ketajaman perasaan  untuk
melakukan pekerjaan kreatif (- pekerjaan yang dilakukan sekali
saja dalam momentum; - manusia yang menghidupi daya kreatif
seluruh tindak tanduknya memancarkan kepribadian yang kuat
guna menghasilkan karya seni; - keuntungan lahiriah dikesam-
pingkan dahulu)  naskah drama yang diidamkan.
Secara aplikatif dan teknis dirancang sebagai berikut: Perta-
ma, menemukan ide atau gagasan yang menarik untuk dijadikan
bahan mencipta drama. Kedua, menarik tema sesuai ide atau ga-
gasan sehingga ditemukan sebuah statemen lengkap untuk di-
kembangkan menjadi karya drama. Ketiga, mendiskripsikan

205
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

pengalaman ekspresi dramatik dalam bentuk peristiwa: (a)


mendiskripsikan peristiwa besar yang pernah dialami pada masa
lampau, baik peristiwa yang menyenangkan maupun menyedih-
kan; (b) mendiskripsikan peristiwa tersebut di atas dengan detail.
Dalam pendiskripsian ini diharapkan ada lima kenangan terpilih
yang setiap nomor dijabarkan menjadi satu rangkaian alinea.
Pada tahap awal ini, penulis (dalam bekerja) sudah membayang-
kan terciptanya naskah drama yang nantinya akan dipentaskan.
Untuk itu bayangan pementasan perlu diingat: ada kerja sutra-
dara, aktor, penata artistik. Artinya, kerja pementasan adalah
kerja kolektif, ini sudah terbayang dari awal oleh penulis naskah
drama.
Keempat, mencipta latar cerita (setting) satu lingkungan.
Penggambaran setting dengan memenuhi syarat (a) ringkas dan
esensial, dan (b) tepat dan bermakna. Dalam mencipta setting
perlu dilakukan penjelajahan lingkungan dengan pengamatan.
Dilaksanakan dengan mengamati sejumlah tempat, yakni tempat
yang bernuansa ramai – sibuk dan tempat yang bernuansa sepi.
Tahap ini memusatkan perhatian pada setting fisikal secara detail
kemudian memperbanyak latihan mencipta adegan-adegan.
Bahkan dalam mencipta latar cerita (setting) dapat dengan dua
lingkungan. Pada tahapan ini upaya penciptaan dan penggam-
baran dua lingkungan yang berbeda dalam sebuah pernyataan
setting dijalankan. Utamanya, setting masa kini dan setting mas-
sa lampau yang diingat. Penggambarannya dengan ringkas,
tajam, segar, hidup dan penuh suasana dramatik.
Kelima, mencipta tokoh. Suatu tantangan seorang calon pe-
nulis naskah drama, harus menciptakan tokoh-tokoh tiga dimen-
sional yang hidup. Calon penulis naskah drama harus mencipta
dan mendiskripsikan tokoh masa kini dan tokoh masa lampau
penuh daya hidup yang tumbuh dari penulisnya sendiri. Kemu-
dian menempatkan tokoh dalam setting. Dalam menempatkan
tokoh harus dilakukan secara putar balik, tokoh masa kini di-
tempatkan ke setting masa lampau dan tokoh masa lampau di-

206
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

tempatkan ke setting masa kini. Dengan cara ini didapatkan


pengalaman silang sehingga dalam menempatkan tokoh telah
memiliki pertimbangan bagaimana sang tokoh itu. Apakah tokoh
berkata dan berlaku yang pada akhirnya akan terlahirkan tokoh
secara wajar dalam penceritaan drama.
Keenam, mencipta dialog. Dialog sebagai wujud tampilan
peran yang berbicara di atas pentas sangat penting. Drama tidak
dapat ingkar dari dialog sebab elemen ini membedakan dengan
karya seni seperti puisi, cerpen, dan roman. Untuk itu, penulis
naskah drama melalui dialog antar-tokohnya menampilkan
karakter, tokoh harus dapat ber-kata dan ber-laku. Dalam dialog
minimal ada aspek: perbendaharaan kata, jenis kata, frasa, ka-
limat, irama, tekanan, jeda, dan tempo dalam sebuah pola vokal
para tokoh. Dialog seyogianya memuat hal-hal literer, filosofis,
dan estetis sehingga mempengaruhi struktur dan tekstur
keindahan naskah drama. Ketujuh, merangkai/membuat naskah
drama, dilakukan dengan membuat deskripsi naratif mulai
setting, tokoh, konflik-konflik dari adegan per adegan yang isi-
nya kejadian dramatik. Draf kasar naskah drama menjadi an-
cangan penting kemudian disempurnakan menjadi naskah drama
yang sempurna sesuai kehendak penulis. Sangat perlu dipahami
bahwa dalam mencipta naskah drama kali ini lebih mencipta
naskah drama pendek atau satu babak.
Pada pembelajaran mencipta karya seni drama ini diusaha-
kan masuk ke dalam proses kreatif yang menarik. Setidaknya
tutor/pembimbing sewaktu berhadapan langsung dengan siswa-
siswi, peserta didik yang sudah belajar di bangku sekolahan
cukup lama dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia diharap-
kan memiliki antusiasme yang tinggi dalam mengikuti pelatihan
mencipta drama. Hal ini membantu dalam membongkar potensi
para calon penulis drama.

207
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Ekspresi Lisan (Bermain) Drama


Bagaimana menyiapkan pentas? Pada galibnya sebuah
pementasan yang diselenggarakan oleh siswa SLTA tidak berdiri
sendiri. Pementasan itu merupakan bagian dari acara-acara lain
di bawah kegiatan yang biasanya disebut Pentas Seni. Pada Pen-
tas Seni biasanya dipentaskan juga band, folksong, tari tradisio-
nal, tari kreasi baru (modern), pantomim, di samping pidato
sambutan yang panjang lebar. Sudah barang tentu, untuk keper-
luan itu dibutuhkan panitia yang ditugasi mengurus Pentas Seni
itu. Pementasan drama, dengan sendirinya, hanya akan menda-
pat perhatian kecil saja dari panitia. Maka sebelum guru memutus-
kan untuk memasukkan pementasan drama sebagai salah satu
dari sekian banyak mata acara Pentas Seni, sebuah pertanyaan
perlu dijawab terlebih dahulu: Apakah pementasan drama akan
dimanfaatkankan sebagai kesempatan berlatih secara serius atau
tidak? Ataukah pementasan drama itu disiapkan karena Pentas
Seni tidak lengkap jika tidak ada pementasan drama?
Jawaban atas pertanyaan inilah yang nantinya akan me-
nentukan langkah-langkah kerja yang harus ditempuh. Jika ja-
wabannya memberi kesempatan siswa berlatih dengan serius
maka diperlukan panitia khusus untuk ini. Mengapa? Pada dasar-
nya, sebuah pementasan drama dapat dilihat sebagai kegiatan
kolektif. Kolektivitas ini dapat diamati minimal menjadi dua ba-
gian. Pertama, kelompok artistik seperti pemain, kelompok ini
tugasnya hanya bermain, memainkan peran di panggung. Tugas
ini cukup berat. Bukan saja mereka harus datang latihan pada
waktu-waktu yang sudah ditentukan tapi juga menghafalkan
dialog. Mereka itulah yang tampil, yang dilihat, dan secara tidak
langsung bahkan dinilai. Sukses mereka di panggung akan sangat
menentukan-kegiatan pentas berikutnya; kegagalan mereka sa-
ngat mungkin mematikan kegiatan pentas di sekolah.
Perlu disadari, jika guru bahasa Indonesia tidak atau kurang
tertarik kepada seni pentas, dan tidak ada guru-guru lainnya
yang tertarik kegiatan itu, maka sekolah biasanya mendatangkan

208
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

pelatih (guru honorer). Kegiatan pementasan drama yang


biasanya hanya berkedudukan ekstra kurikuler, dengan guru
honorer, posisinya sangat lemah. Ada kalanya, beberapa guru
bahkan memandang kegiatan itu dengan sinis: hanya membuang
waktu saja. Maka dapatlah dibayangkan, jika permainan drama
yang tidak berhasil akan membesarkan sinisme dan bahkan
antipati. Oleh karena itu, membebaskan pemain dan tugas-tugas
lainnya dalam kaitannya dengan Pentas Seni sangat penting.
Kedua adalah kelompok produksi yang ditugaskan menyiap-
kan keperluan pementasan, mengelola administrasi latihan dan
mendatangkan penonton. Bagian ini mengurusi peralatan pentas,
perlengkapan panggung (sett, dekor, artistik), perlengkapan
pemain (properti seperti buku, kaca mata, tongkat, arloji saku,
dan sebagainya), tata busana (kostum), dan tata rias. Dengan
dibentuknya kelompok kedua ini, pemain akan dibebaskan dari
tugas-tugas mencari ini dan itu, yang bisa membuang tenaga
dan mengalihkan perhatian. Sebaliknya, dengan adanya kelom-
pok kedua, mereka yang tergabung dalam kelompok ini dapat
lebih suntuk memusatkan perhatian belajar manajemen pemen-
tasan, yang pada satu sisi merupakan tulang punggung berhasil-
nya pementasan. Karena tugas mereka khusus untuk pementasan
drama, mereka dapat diminta datang pada saat latihan. Dengan
demikian mereka juga belajar memahami apa yang kelak terjadi
di pentas, sehingga kesigapan mereka dibangun sejak awal. De-
ngan dibentuknya dua kelompok ini, maka sejak awal dapat
dihindari kerja srabutan: seorang yang tugasnya lebih banyak,
tetapi sulit dilacak jika terjadi keteledoran. Untuk itu, situasi
saling menyalahkan dihindarkan jauh-jauh.
Untuk pemain perlu melakukan latihan dasar. Konon dalam
latihan dasar ada yang diberi nama begitu dahsyat, misalnya
olah sukma, olah jiwa, yang pelaksanaannya kurang begitu jelas.
Latihan-latihan dengan nama yang dahsyat itu pada dasarnya
untuk menyiapkan pemain agar selalu memiliki kesigapan dan
mudah disutradarai. Sejauh latihan dasar itu sesuai dengan

209
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

kondisi siswa dan sekolahnya, tidak ada jeleknya dilaksanakan.


Latihan dasar biasanya meliputi:
1. Pernapasan. Perlu disadari bahwa kegiatan bernapas adalah
proses menarik udara ke dalam paru-paru dan mengeluarkan-
nya. Proses ini memungkinkan pergantian oksigen, yakni
udara segar dan yang dari dalam darah. Darah menyerap
oksigen dari udara melalui kegiatan hemoglobin di dalam
sel-sel darah yang hidup dan membawanya ke seluruh tubuh
manusia. Sesudah kegiatan menyerap oksigen berhenti, da-
rah menyerap karbon dioksida yang dikeluarkan oleh ja-
ringan-jaringan dan membawanya ke paru-paru untuk dihem-
buskan ke luar. Penguasaan pernapasan ini akan menjaga
stabilnya suara, sekaligus memberikan kemungkinan kepada
pemain untuk membuat suaranya lentur, sesuai dengan tun-
tutan perannya. Pernapasan berkaitan erat dengan kesantai-
an. Biasanya, apabila siswa diminta berlatih pernapasan,
mereka segera menegangkan urat-urat leher dan bahu. Ini
akan mengganggu suara. Dengan latihan pemapasan teratur,
ketegangan dapat dihindari; pada gilirannya, akting yang
wajar dan bernas dapat dicapai. Untuk melatihnya, siswa
diminta tidur telentang dan membayangkan bahwa dia ber-
ada di atas awan, tempat tidur busa atau mandi dengan air
hangat. Mereka diminta menggerakkan anggota badan
pelan-pelan sehingga merasakan segalanya mengalir lembut.
Semakin kuat bayangan mereka sedang tidur diatas awan,
semakin terasa bahwa mereka mengalir dan mengambang
dan pengalaman santai-tenteram akan dialami.
2. Olah Vokal: Suara, Diksi dan Cakapan. Suara dan cakapan ada-
lah dua hal pokok yang harus digarap dengan suntuk, ka-
rena keduanya sangat menentukan suksesnya pementasan.
Apa yang harus dicapai dalam latihan suara dan cakapan
atau lazim disebut vokal adalah menyiapkan bagaimana
dialog ucap. Perlu diingat bahwa dalam pementasan, ber-
beda dengan naskah tertulis, apa yang sudah diucapkan

210
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

tidak dapat diulangi. Karena itu, vokal harus menarik dan


jelas, dijaga supaya tetap menarik dengan tujuan tetap me-
mikat penonton mengikuti jalannya cerita: dijaga ucapannya
yang jelas itu agar menarik dan juga dipahami. Pada dasar-
nya, bahasa Indonesia tidak mempunyai tekanan suku kata
yang dapat mengubah arti. Hanya untuk menciptakan ira-
ma, seperti dalam berdeklamasi yang dilakukan Sri Murto-
no (almarhum, seniman dan pendiri ASDRAFI) terkadang
suku pertama setiap kata mendapat tekanan yang lebih ke-
ras. Namun dalam dialog drama, terlebih drama realistik,
tekanan itu tidak tampak, setiap suku kata dalam setiap
kata mendapat tekanan yang sama. Siswa perlu dilatih
mengucapkan vokal a, i, u, e, o dengan mulut terbuka penuh.
Mungkin dalam percakapan sehari-hari ini tidak perlu; akan
tetapi dalam pentas, hal-hal ini perlu diproyeksikan karena
suara diharapkan dapat sampai pada penonton di deretan
tempat duduk paling belakang. Biasanya vokal yang mantap
juga berhubungan dengan rasa percaya diri pemain. Rasa
percaya diri ini tumbuh jika pemain yakin dengan apa yang
dilakukan. Keyakinan diri ini erat berkait dengan pema-
haman dan penghayatan perannya dan penguasaan seluruh
jalan kisah drama. Dengan kata lain, dia tidak hanya paham
betul dengan adegan dimana dia muncul, tetapi juga ade-
gan-adegan yang mengawali dan yang mengikuti, walaupun
di sana dia tidak hadir. Ada kalanya seorang pemain mam-
pu mengucapkan kata dengan jelas, atau “las-lasan”, tetapi
toh dialog yang diucapkan tidak merangsang pengertian.
Jika ini terjadi, maka persoalannya pada apa yang lazim
disebut phrasing teh-nique atau teknik mengucapkan dialog.
Kalimat atau dialog yang panjang harus dipenggal-penggal
lebih dahulu, sesuai dengan satuan-satuan pikiran yang di-
kandungnya. Satu hal lagi yang masih berhubungan dengan
latihan vokal ialah perlunya dipahami adanya nada ucapan.
Kata “gila” dapat berarti umpatan keras, pujian, kekaguman,

211
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

jika diucapkan dengan nada yang berbeda-beda. Ini artinya


nada ucapan tidak hanya berfungsi untuk menciptakan
dinamika, tetapi juga menciptakan makna. Pada saat pemain
mengucapkan dialog, kata-kata ternyata tidak diucapkan
datar, tetapi terkandung di dalamnya lagu kalimat. Lagu
kalimat itu menyarankan pertanyaan, perintah, kekaguman,
kemarahan, kebencian, kegembiraan, dan sebagainya. Di
samping itu, lagu kalimat juga menyarankan dialek terten-
tu, misalnya dialek Jawa seperti terdengar dari lagu kalimat
yang diucapkan pemeran dalam drama seri “Losmen”, Da-
lam film Naga Bonar terdengar lagu kalimat yang menya-
rankan dialek Batak. Film lainnya yang peristiwanya dilukis-
kan terjadi di Jakarta, dialognya diucapkan dengan lagu
kalimat yang menyarankan dialek Jakarta. Berbagai macam
lagu kalimat yang menyarankan dialek kedaerahan itu
kiranya perlu diajarkan dan dilatihkan untuk meluaskan
cakrawala pandangan siswa, sekaligus memperkaya peng-
hayatannya terhadap berbagai peran yang menunjukkan
asal tempat tokoh yang dimainkan dalam hubungannya de-
ngan perwatakan.
3. Olah Tubuh: Mimik, Plastisitas, dan Gerakan. Salah satu masalah
akting bagi pemula, seperti dikatakan oleh Arifin C. Noer
adalah problema tangan. Bowskill dalam bukunya Stage and
Stagecraft menyebutnya, “Apa yang akan kulakukan dengan
kedua tanganku?” Pertanyaan dapat dilanjutkan dengan,
“Apa yang harus aku lakukan dengan kakiku?” Tubuh dan
gerakannya dipersoalkan karena terkadang seorang pemain
berdiri, bahkan berjalan, dan bergerak dari kursi ke meja
tampak kaku. Tidak hanya itu, tubuh sebenarnya juga alat
bicara. Gerakan tertentu dapat menunjukkan kejemuan,
kegembiraan, duka, kejengkelan, dan lain sebagainya. Bah-
kan, gerakan tertentu menyarankan perwatakan; tua, peng-
gelisah, tidak sabar. Agar tubuh dan gerakannya tidak ha-
nya bermakna tetapi juga memikat, perlu disadari perlunya

212
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

irama. Bagaimana seorang gadis yang masuk ke panggung,


berhenti sedetik dan melihat ke kiri dan kanan, mengham-
piri meja, mengambil secarik kertas, membaca tulisan pada
kertas itu, lantas tersenyum. Dari contoh ini tampak bahwa
gerakan tubuh sebenarnya “frasa” atau bahkan “kalimat”.
Irama gerakan itu menegaskan makna dan membuatnya
indah dilihat penonton. Oleh karena itu, jika di panggung
disajikan adegan seorang lelaki mengetik, yang dilakukan
bukan asal mengetik. Ketukan ketikan yang menimbulkan
bunyi tik-tik-tik-trrrr, tik-tik-tik-tik-trrrr, dapat disiapkan
sehingga berirama. Hal yang sama juga dapat dikerjakan
untuk adegan seorang siswa yang tengah minum teh. Me-
ngangkat gelas, menempelkan ke bibir, meneguk, meletak-
kannya kembali di meja; mengangkat lagi, dan seterusnya.
4. Kepekaan dan Kesadaran Indera. Di depan sudah disebutkan,
sebuah perbuatan atau laku di panggung dapat bernas dan
berbobot jika dilandasi alasan. Persoalannya ialah bagaimana
menciptakan alasan itu. Rupanya, alasan ini tidak hanya
merupakan konsep atau apa yang dipikirkan, tetapi juga
sesuatu yang dialami, setidaknya secara batin. Pengalaman
itu dapat terjadi karena kita mengaktifkan indera kita: pen-
dengaran, penciuman, perabaan, pencecapan, dan pengli-
hatan. Karena kita mendengar seseorang mengatakan kurang
baik tentang kita atau sahabat kita, maka kita marah. Karena
para raksasa di hutan itu mencium bau manusia, maka ber-
munculanlah mereka dari persembunyiannya dan mencegat
Arjuna yang tengah berjalan menembus hutan menuju per-
tapaan Wukirretawu. Demikianlah seterusnya, indera me-
nangkap objek rangsangan dan melahirkan tanggapan.
Tanggapan yang muncul dari dalam diri itu menjadi alasan
suatu perbuatan. Sebelum tanggapan dalam perbuatan nyata
terwujud, reaksi batin terhadap rangsangan itu menjadi
pengalaman batin pemain. Pergolakan itu harus dihayatinya
sehingga menjadi dorongan yang kuat dan alasan yang man-

213
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

tap ketika Arjuna pada akhirnya melaksanakan perang


melawan raksasa. Karena di panggung ada benda, suara,
dan cahaya yang dapat dilihat, diraba, didengar, dibaui, dan
bahkan dicecap (misalnya makanan atau minuman), maka
rangsangan untuk menciptakan motif atau alasan itu tersedia
di panggung. Persoalannya: bagaimana rangsangan dari luar
yang ditangkap indera dapat merangsang tanggapan yang
kemudian menjadi alasan perbuatan dalam hubungannya
dengan alur drama itu? Pada dasarnya, seseorang memiliki
dalam dirinya harapan, kecemasan, dan ambisi. Ketiga hal
ini yang akan menafsirkan rangsangan dari luar itu. Jika kita
mendengar suara aum, maka bukan aumnya persis yang
menguasai benak kita, tetapi asosiasi yang muncul darinya:
singa, harimau, atau yang semacam itu. Jika kita pernah
mengalami ketakutan yang hebat karena melihat harimau
lepas dari kandangnya, di suatu sore di kebun binatang,
bayangan itu juga akan muncul. Akan tetapi, jika kita seorang
penjinak binatang buas, maka aum itu akan bermakna lain;
aum akan merangsang ambisinya untuk menjinakkan
binatang itu, menerbitkan harapannya untuk menunjukkan
kehebatannya sebagai penjinak binatang. Demikian jelas
bahwa rangsangan itu netral adanya; makna yang timbul
sebenarnya berupa hubungan antara rangsangan lewat
indera dan pengalaman orang sebelumnya.
Dalam hubungannya dengan tugas penyutradaraan, bunyi
aum harus dihubungkan dengan peran yang harus dibawa-
kan; demikian pula warna gelas, taplak meja, lampu, pakaian,
ledakan senjata api, lilin, dan lain sebagainya. Dalam hu-
bungannya dengan indera ini, gerakan tertentu mungkin
akan membuat seorang pemain—karena pada dasarnya ada
cacat—menjadi pusing, misalnya gerakan berputar yang
cepat, melompat, berdiri dengan cepat karena terperanjat
atau marah, dan lainnya lagi. Kesigapan batin memang pada
akhirnya harus pula didukung oleh physical fitness dalam

214
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

arti yang luas. Jika pengalaman batin telah terjadi dalam


diri dan bahkan mulai dirasakan menjadi alasan perbuatan
tertentu, tetapi fisik tidak mendukung untuk melakukannya,
maka gagallah permainannya. Namun demikian, ada baik-
nya guru waspada akan hal-hal yang bisa merugikan siswa
kelak. Untuk menajamkan indera penglihatan, siswa dapat
dilatih melihat kontur atau garis pinggir suatu benda.
Tuangkanlah air setetes ke taplak meja, maka akan tampak
ada kontur yang memberikan penegasan bagian yang basah
itu. Indera pendengaran dapat dilatih mendengarkan suara
paling lemah di tengah suara-suara keras. Ini memerlukan
konsentrasi. Mungkin dengan bantuan mata tertutup dan
pemusatan kepada suara terlemah itu, maka yang paling
sayup terdengar jelas. Indera pencecapan juga dapat dilatih
dengan mencecap makanan dengan mata tertutup, atau
menjilat kulit sendiri. Pada saat makan makanan itu, indera
pengimbuan juga diaktifkan, demikian pula indera peraba-
an, sehingga ketika menikmati makanan, bukan hanya rasa
asin, gurih, manis yang masuk ke dalam otak, tetapi juga
bau makanan dan juga kasar-halusnya, keras-lembutnya,
basah-keringnya, dan seterusnya.
5. Improvisasi. Istilah ini dikenal dan menjadi populer setelah
Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra mengenalkannya
sebagai salah satu metode latihan pada awal tahun 1970-
an. Pengertian improvisasi adalah, pertama, menciptakan,
memainkan, menyajikan sesuatu tanpa persiapan; kedua,
menampilkan sesuatu dengan mendadak; dan ketiga, me-
lakukan sesuatu dengan begitu saja (offhand). Tujuan latih-
kan improvisasi adalah merangsang spontanitas. Namun,
spontanitas itu harus serasi dengan tuntutan seluruh sajian
pementasan dan tetap dapat dipertanggungjawabkan. Tam-
pak sekarang bahwa sebagai metode latihan untuk merang-
sang spontanitas, dalam kaitannya dengan tindakan spon-
tan, tetap dapat dipertanggungjawabkan, improvisasi mem-

215
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

berikan kemungkinan menciptakan akting yang wajar dan


tidak dibuat-buat. Latihan-latihan dapat dikerjakan dengan
memberikan kesempatan siswa berdiri atau duduk di depan
cermin, dan meminta mereka menanggapi bayangan me-
reka sendiri di cermin itu. Bagaimana mereka menanggapi
dengan gerakan ketika mereka diminta menutup mata dan
meraba wajahnya sendiri. Jika latihan improvisasi berhasil,
maka siswa akan mampu menciptakan akting wajar, kuat
mengesankan. Mungkin ini akan menarik kaum pendidik
untuk mengembangkannya sebagai metode pengembangan
watak yang positif. Demikianlah lima masalah dasar yang
dapat dilatihkan guru kepada siswa dalam rangka menyiap-
kan pementasan sederhana.

Pementasan Drama
Drama tidak sempurna jika tidak dipentaskan. Pada dasar-
nya, naskah drama adalah karya sastra. Sebagai karya sastra,
naskah drama adalah karya seni dengan media bahasa kata. Me-
mentaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memin-
dahkan karya seni dari media bahasa kata ke dalam media bahasa
panggung, tentu ini melalui tahapan-tahapan tertentu:
Pemilihan Naskah Drama. Memilih naskah drama bukan
soal yang gampang. Ada banyak contoh yang menunjukkan se-
buah naskah dipilih karena satu sekolah pernah mementaskan
naskah itu dengan sukses. Guru tergoda untuk melakukan hal
yang sama. Akan tetapi, jika ini merupakan landasan dalam pe-
milihan naskah, perlu diperhitungkan apakah sekolah itu memi-
liki kondisi yang sama dengan sekolah yang telah sukses me-
mentaskan naskah itu. Maksudnya, apakah sekolah itu mempu-
nyai potensi, misalnya pemain-pemain yang sama kuat, waktu
latihan yang tersedia, dukungan seluruh staf guru, kepala seko-
lah, tempat latihan, dan sebagainya yang sangat mempengaruhi
gairah siswa dalam berlatih. Dengan kata lain, sewaktu memilih
naskah tentulah sudah dapat dibayangkan kesulitan dalam me-

216
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

nguasai naskah itu: mungkin dialognya panjang-panjang, per-


soalannya terlalu rumit, perwatakannya terlalu kompleks, per-
kembangan alurnya berbelit-belit, dan temanya kurang jelas bagi
ukuran pelajar SLTA. Semuanya ini relatif adanya dan sangat
tergantung dari kondisi sekolah. Karena itu perlu diperhitungkan
sejak awal untuk menghindari peribahasa besar pasak daripada tiang
atau gegedhen jagak kurang empyak.
Menentukan Pemain. Sesudah naskah ditentukan dengan
memperhitungkan kondisi tersebut di atas, tahapan mencari ca-
lon-calon pemain dapat dimulai. Ada baiknya dipasang poster
untuk merangsang calon-calon pemain berdatangan. Semakin
banyak calon, semakin banyak kemungkinan guru untuk memilih
pemain yang tepat. Biasanya, lebih-lebih jika memang belum
pernah punya pengalaman, siswa-siswa SLTA malu-malu. Rasa
malu itu biasanya tampak sekali pada waktu mereka diminta
membaca dialog dalam seleksi. Mulut mereka rasanya sulit di-
buka, walaupun timbre suaranya memadai untuk peran yang
akan dibawakan. Jika dengan berbagai rangsangan, seorang ca-
lon pemain sukar “membuka mulut”, walaupun cantik atau gan-
teng sekalipun, sebaiknya ditinggalkan dahulu dan dicari calon
yang lain. Soalnya, untuk melatihnya akan memerlukan tenaga
ekstra. Ini juga berkaitan dengan waktu latihan, kesibukan guru,
ada tidaknya ruang, dan kesediaan calon pemain itu sendiri.
Baru sesudah masalah suara ini cukup memuaskan, postur tubuh
dan wajah diperhitungkan. Jangan lupa, di panggung, kedua
hal ini dapat ditutup oleh permainan yang bagus, kecuali oleh
perwatakan secara eksplisit disebut. Sebagai contoh, dalam
dialog dikatakan bahwa Unang adalah pemuda jangkung; Evi
disebut tokoh lain sebagai gadis cantik; Didik dan Ochi dibica-
rakan sebagai berhidung mancung, ganteng, dan sebagainya.
Untuk itu, pemilihan pemain berdasarkan modal dasar: suara
dan pertimbangan fisik lainnya dalam rangka perannya. Masih
ada hal lain yang perlu dipertimbangkan: apakah calon pemain
itu sudah mempunyai kegiatan lain di luar pentas yang dapat

217
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

dibayangkan pada suatu waktu akan mengganggu latihan. Di


samping itu, apakah calon pemain itu bukan siswa yang lemah
dalam pelajaran, sehingga jika dia menurun nilainya dalam
ulangan atau tidak naik kelas, maka kegiatan drama bisa menjadi
kambing hitam. Pendek kata, memilih pemain harus cermat, dan
guru harus tahu betul keadaan calon-calon pemain itu.
Jika kita menyaksikan sebuah pementasan drama, maka kita
melihat seorang atau lebih melakukan perbuatan. Seorang dara
berjalan dari kursi ke meja, mengambil pisau, memegangi pisau
itu. Lalu berjalan lagi ke panggung-depan (front stage), dan tepat
pada tempat tertentu spot light menyala menerangi si dara itu.
Lantas terdengar musik keras-keras ketika sang dara tersebut
mengamati pisau. Kita melihat perbuatan, laku, atau akting
(acting). Pada dasarnya, siswi putri yang memerankan dara itu
hanya melakukan perbuatan seperti yang ditulis pada naskah
(biasanya ditulis dalam kurung atau dengan huruf kapital atau
dicetak miring), ternyata tidaklah cukup. Perbuatan atau laku atau
akting itu harus hidup. Artinya, dara itu harus mempunyai alasan
mengapa dia melakukan perbuatan seperti itu. Alasan itu tidak
tampak pada naskah. Dia harus digali dari naskah pada setiap
gerakan, dialog, yang dibayangkan akan dilakukan di panggung.
Ada beberapa jenis alasan, tetapi yang paling banyak menuntut
perhatian ada dua. Pertama, alasan yang langsung menjadi motif
perbuatan. Misalnya, seorang gadis berjalan mendekati seorang
ibu yang tengah menyayur dan membawa pisau. Dara itu mela-
kukan perbuatan itu karena si ibu berteriak meminta pisau. Maka
alasan dara itu sekadar membawakan pisau, tak kurang dan tak
lebih. Ada alasan lain yang tidak langsung menjadi motif per-
buatan. Walaupun si ibu tidak meminta pisau, dara itu memba-
wakannya pisau. Alasannya, dara ingin membantu ibu menyayur.
Biasanya akting seperti ini lebih dramatik, kadang menarik, me-
ngesankan, karena ada nuansa lucu tetapi mengharukan. Ada
nuansa tipu muslihat kecil-kecil, romantika kecil-kecil, yang jika

218
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

ternyata diketahui dara dengan pisaunya itu akan menimbulkan


dramatika yang besar dan mengguncangkan.
Jelasnya, alasan mendorong perbuatan. Kemudian perbuat-
an itu menjadi alasan untuk peristiwa berikutnya yang lebih be-
sar. Persoalan pokok memindahkan gagasan atau ide dari naskah
drama ke pentas letaknya di sini: menciptakan alasan-alasan itu.
Jadi, alasan itulah yang menghidupkan akting, sehingga akting
bernas dan berbobot, sekaligus menyatukan seluruh pentas men-
jadi satu kebulatan yang bermakna. Soal lain yang menyangkut
pemindahan ide dari naskah ke pentas adalah menentukan pi-
lihan tafsir dari sekian banyak kemungkinan. Pertama, apakah
sebuah pentas akan disajikan serealistik mungkin, dengan meng-
halalkan bisik-bisik, jika naskahnya menuntut begitu. Akan tetapi
walaupun bisik-bisik bentuk-wujud aktingnya, bisik-bisik itu toh
harus terdengar oleh penonton. Adakah mikrofon yang sangat
peka tersedia, yang bisa diselipkan di busana dan tanpa kabel?
Bagaimana dengan tata riasnya, peralatan panggung, peralatan
pemain, pencahayaan, dan lainnya lagi? Konsistensi atau tepat-
asas sikap harus terwujud di pentas. Sekali pilihan dijatuhkan
(realistik, misalnya) maka seluruh wujud pentas adalah dunia
yang realistik itu. Ini artinya, kecermatan sangat dibutuhkan
untuk menyajikan yang detil.
Akan tetapi, panggung juga bisa disajikan bagaikan sebuah
lukisan. Pelukis Yayat Surya misalnya. tidak menggambarkan
rumah yang utuh dan detil, tetapi cukup garis yang patah-patah
tetapi menyarankan bayangan rumah. Hal demikian dapat pula
dilakukan di pentas. Untuk menyajikan suasana antik cukup
disajikan satu meja antik dengan kursi sejumlah yang dibutuhkan
dan dengan latar belakang kosong. Pilihan kedua ini akan me-
nampilkan suasana lebih puitik; yang pertama, yang realistik-
detail itu, akan lebih menyajikan suasana prosaik: serba jelas,
tanpa nuansa-nuansa. Kedua, sebagai karya sastra, naskah drama
menawarkan kemungkinan tekanan. Hamlet, karya Shakespeare

219
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

yang sudah diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo, bisa disajikan


dengan tekanan seorang pemuda cerdas di tengah kebrengsekan
moral bangsanya; atau seorang pemuda yang banyak merancang
dan terlalu sibuk berteori dan kurang praktis; atau seorang yang
mencoba menggenggam nasibnya di tangannya sendiri. Pilihan
tekanan ini akan membawa konsekuensi penafsiran peran dan
bagaimana mengembangkannya dalam rangka alurnya. Keman-
tapan tafsir ini akan sangat membantu suksesnya pentas, karena
pemain tahu benar apa yang dilakukannya, juga penata cahaya,
tata rias, penata artistik, dan lainnya lagi. Sekali sutradara me-
langkah tidak jelas, seluruh pentas tidak akan jelas pula! Ketiga,
sutradara dapat memilih: setia kepada naskah atau memandang
naskah sebagai bahan mentah untuk pementasan. Jika kedua
yang dipilih, sutradara bisa merancang pentas lucu walaupun
dia menggarap Hamlet, yang setiap orang tahu itu naskah tragedi.
Hamlet disajikan sebagai tokoh tolol, yang tidak tahu apa yang
harus dilakukan di tengah musuh-musuhnya, yang sebenarnya
keluarganya sendiri. Monolog yang terkenal “berbuat atau tak
berbuat itulah soalnya” dapat disajikan dengan “sok filsafat”
sehingga Hamlet tampak sebagai pahlawan yang konyol. Tafsir
seperti ini muncul akhir-akhir ini sebagai trend atau kecende-
rungan kesenian yang “antihero”; maksudnya, jika banyak orang
yang terkagum kepada pahlawan, pada tafsir ini apa yang dimak-
sud pahlawan itu dipertanyakan kembali.
Apa yang dimaksud dengan penyutradaraan di Indonesia,
pada umumnya tidak pernah berpadanan dengan kata directing
dalam bahasa Inggris. Jika seorang guru menyutradarai, sebe-
narnya dia tidak hanya menyutradarai tapi Juga mengajari ba-
gaimana caranya main. Menyutradarai dalam arti yang sebenar-
nya hanyalah mungkin jika yang dihadapi pemain-pemain yang
berpengalaman; mereka bahkan untuk pertama kalinya naik pen-
tas. Karena itu, menyutradarai sebenarnya juga suatu proses
belajar dalam bentuknya yang lain. Pada kesempatan ini, banyak
kemungkinan akan ditemukan bibit-bibit calon pemain yang baik,

220
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

bahkan perancang tata rupa seperti cahaya, busana, dekor, pe-


nanggung jawab panggung, atau perancang tata pentas. Pada
tahap awal menyutradarai siswa-siswa itu, tentulah latihan dasar
harus diberikan: teknik vokal (mengucapkaan kata yang jelas dan
tidak perlu keras) dan teknik phrasing (memotong-motong kalimat
panjang dalam mengucapkannya sehingga apa yang dikandung
dalam kalimat itu menjadi eksplisit). Kedua, kebersamaan, yaitu
menyadarkan calon pemain bahwa sukses pementasan bukan
karena kehebatan seorang aktor atau aktris yang sangat dahsyat.
Kebersamaan juga berarti bahwa seorang pemain yang tampil
menjadi bagian dari jagat panggung itu; ia menjadi bagian dari
kursi-meja, lampu, gelas; alat-alat lain yang tersedia di panggung.
Pemain harus menghubungkan diri secara batiniah dengan ben-
da-benda itu, yang diwujudkan, misalnya dengan menyentuh-
nya, walaupun tidak disebutkan pada naskah. Dia harus meres-
pons pemain-pemain lain, walaupun pemain itu tidak langsung
berbicara kepadanya. Jika seorang pemain tidak memberi tang-
gapan terhadap pemain lain yang masuk panggung, dia harus
mempunyai alasan mengapa demikian. Dengan cara ini, sikapnya
yang acuh bermakna: mungkin benci, mungkin muak, mungkin
memancing perhatian, atau yang lain. Persoalan yang sukar ada-
lah: jika ada dua pemain yang tengah dalam dialog dan ada
beberapa pemain yang lain di panggung, tetapi tidak berdialog.
Bagaimana pemain yang diam itu dijaga agar tetap berada dalam
satu kesatuan utuh jagat adegan itu. Jika tidak, dan dialog dua
pemain itu cukup panjang dan serius dalam arti membicarakan
masalah pokok drama itu, pemain yang diam akan menjadi dunia
sendiri yang tidak integral, tidak menyatu. Di samping itu, pe-
main yang tidak berdialog akan sangat tersiksa dan tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Pemandangan seperti ini sangat men-
jengkelkan penonton.
Pada titik ini penyutradaraan pementasan itu gagal. Hal
yang juga cukup sukar adalah menjaga keseimbangan. Ada pe-
main yang berbakat hebat dalam menghafal dialog dan mudah

221
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

disutradarai; tapi ada pula pemain yang sulit menghafal, sukma-


nya agak bebal, kurang lentur, dan sukar menjiwai peran. Kesa-
daran dirinya begitu kuat dipertahankan dan tidak untuk meng-
hidupkan perannya. Di panggung, pemain yang model kedua
ini akan dimakan oleh yang pertama. Jika mereka merupakan
pasangan, maka yang kedua harus digarap lebih dahulu secara
khusus, atau diganti kalau perlu. Dalam hubungan menjaga kese-
imbangan ini, pemain yang mudah menghafal ditugasi pula untuk
memancing dialog yang harus diucapkan lawan bicaranya yang
lupa. Karena itu, perlu ditekankan pada saat latihan, mana kata
kunci yang kelak menjadi pelatuk lancarnya dialog. Suksesnya
pemain yang mudah menghafal tergantung dari lawan bicaranya,
dia tidak dapat berhasil sendirian. Masih dalam hal kebersamaan
kesadaran akan saat-tepat sangat penting. Misalnya, saat mana
pemain harus muncul. Terlambat muncul akan mengurangi dra-
matikanya dan mengganggu irama, apalagi jika adegan itu ham-
pir menuju puncak. Untuk menumbuhkan kesadaran ini, kesi-
gapan atau readness sangat perlu ditumbuhkan.
Salah satu cara, siswa dilatih tidak banyak bergurau walau-
pun tidak sedang main: di samping itu mereka diminta selalu
stand by walaupun saat munculnya di panggung masih cukup
lama. Konsentrasi memang memerlukan “ancang-ancang” dan
tidak timbul mendadak. Saat tepat ternyata bukan hanya penting
bagi pemain, tetapi juga bagi penanggung jawab ilustrasi musik
dan lighting man. Memang, mereka bisa saja menyimak dialog
pada naskah untuk mengetahui kapan musik harus menguman-
dang dan kapan spot light harus menyala. Akan tetapi, cara seperti
ini terlalu mengambil risiko. Oleh karena itu, kelompok kedua
ini perlu diikutsertakan dalam latihan, setidaknya menjelang pe-
nyempurnaan. Dengan cara ini, mereka dapat belajar mengikuti
irama permainan, dan irama itu akan menggema serta dalam
batinnya. Dengan demikian, kebersamaan di sini adalah keber-
samaan seluruh anggota pelaksana pementasan; sebab mereka
itulah yang menciptakan jagat panggung pada waktu pementasan

222
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

berlangsung. Ini artinya, keseimbangan yang harus dijaga sutra-


dara bukan hanya antarpemain, tetapi juga antara pelaksana tata
pentas, kostum, pencahayaan, ilustrasi musik, permainan, dan
peralatan lainnya. Pendeknya, sutradara mengontrol semuanya.
Untuk melaksanakan penyutradaraan terkadang guru ba-
nyak mengalami kesulitan, terutama siswa yang pada umumnya
belum punya pengalaman. Sejauh diketahui, seorang guru yang
ditugasi menyiapkan pementasan biasanya juga memberi pelajar-
an drama, sebagai pelajaran ekstrakurikuler, seminggu dua jam.
Pada kesempatan itu, di samping guru dapat mengenalkan jagat
panggung, misalnya jenis-jenis pentas: arena, tapal kuda, dan
sebagainya. Tentu saja, petunjuk ini masih jauh dari memuaskan.
Oleh karena itu dianjurkan guru dan siswa juga membaca buku-
buku yang lain yang dapat membantu tugasnya menemukan dan
mengembangkan bakat siswa serta membuka kesempatan me-
reka mengapresiasikan diri.

Epilog
Pementasan drama yang dimainkan oleh generasi muda,
termasuk siswa SLTA, dewasa ini mulai menunjukkan gejala
menggembirakan. Maksudnya tentu bukan untuk menghina ke-
senian itu, tetapi satu usaha menyajikan tafsir baru terhadap
khazanah sastra drama dalam rangka lebih memberikan apresiasi
di tengah perubahan sosial dan nilai-nilai budaya. Suatu misi
yang terpuji. Demikianlah sesungguhnya seorang guru atau su-
tradara memiliki cukup kemerdekaan untuk berbuat terhadap
naskah drama. Hanya, jika sebuah pementasan sekolah ditujukan
untuk merangsang kreativitas, menempuh kebebasan tafsir se-
perti di atas, maka sebelum pementasan dimulai perlu adanya
penjelasan ala kadarnya sehingga penonton disiapkan terlebih
dahulu. Ini perlu untuk menanggulangi dugaan yang tidak di-
inginkan. Misalnya, menghindari tuduhan bahwa pementasan
drama sekadar untuk berbuat yang aneh-aneh.

223
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Bukankah mendidik siswa selalu mempunyai alasan bagi


setiap langkah dan ini sangat penting di tengah kehidupan yang
kompleks dan adanya ketidakpuasan oleh ini dan itu? Salah satu
cara mengatasi ketidakpuasan siswa mungkin dengan mengajak
mereka memberdayakan potensi diri untuk menumbuhkembang-
kan ekspresi dramatik guna merenungi arti hidup yang lebih
humanis.

224

Anda mungkin juga menyukai