Anda di halaman 1dari 24

TOKOH DAN PENOKOHAN

DALAM TEKS CERITA FANTASI

Makalah

ELIN NOFIA JUMESA


NIP 199511102019032017

MTsN 4 PASAMAN BARAT


2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil Alamin. Puji syukur ke hadirat Allah Swt., karena berkat rahmat

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Tokoh dan Penokohan

dalam Teks Cerita Fantasi”. Salawat beserta salam untuk Nabi Muhammad saw yang telah

membawa kita dari alam kebodohan hingga ke alam yang penuh ilmu pengetahuan seperti yang

kita rasakan saat ini.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis tokoh dan penokohan dalam

Teks Cerita Fantasi.

Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Penulis mengharapkan kritik dan

saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat

memberikan sumbangan yang berarti dan bermanfaat.

Pasaman Barat, 8 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................i

DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................1


A. Latar Belakang ..................................................................................................1
B. Fokus masalah ....................................................................................................2
C. Perumusan masalah ..........................................................................................2
D. Pertanyaan penelitian ........................................................................................2
E. Tujuan penelitian ...............................................................................................2
F. Manfaat penelitian .............................................................................................2
G. Batasan Istilah ....................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................4


A. Hakikat Teks Cerita Fantasi ............................................................................4
B. Tokoh dan Penokohan .......................................................................................6
C. Pembahasan .......................................................................................................16

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ............................................................................................................22
B. Saran ......................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................23


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap anak memiliki imajinasi, imajinasi masing-masing anak akan berbeda. imajinasi
berupa bayangan, gambaran, rekaan, angan-angan, dan khayalan yang berada di luar logika.
Imajinasi anak cenderung lazim dan dapat diterima karena biasanya berupa fantasi-fantasi anak
tentang lingkungan sekitarnya yang membuatnya tertarik. Imajinasi anak dapat pula berkembang
dari tontonan dan bacaan yang diperoleh. Imajinasi anak-anak umumnya penuh keceriaan dan
berisi hal-hal luar biasa.
Imajinasi yang dimiliki anak berbeda dengan imajinasi orang dewasa. Anak-anak
cenderung mempercayai cerita-cerita yang tidak masuk akal, dongeng-dongeng, dan kisah-kisah
mistis lainnya. Sementara orang dewasa pada umumnya sudah tidak mempercayai cerita-cerita
yang berada di luar nalar. Kepercayaan anak-anak terhadap hal-hal tidak masuk akal itu pulalah
yang dapat membuat mereka mengarang-ngarang cerita yang tidak masuk akal pula.
Fantasi membantu anak mengembangkan imajinasinya, hal tersebut selaras dengan
pendapat Huck dan Susan (1989:394) bahwa kemampuan membayangkan cara hidup alternatif,
menghasilkan gagasan, menciptakan dunia baru yang aneh, memimpikan mimpi adalah
keterampilan yang vital bagi kelangsungan hidup manusia. Anak mampu menciptakan dan
mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak tercipta dan tidak ada dengan fantasi yang
dimilikinya, sesuatu itu dapat pula merupakan hasil kreasi dari hal-hal yang sudah ada. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010:107) bahwa penyebutan imajinasi tidak
semata-mata menyaran pada “sesuatu yang dikhayalkan,” tetapi juga berarti “kemampuan
mencipta,” ‘creative ability’. Fantasi yang dimiliki anak membuat mereka kreatif dan
berkontribusi meningkatkan daya imajinasi dan daya khayalnya.
Coleridge (dalam Nurgiyantoro, 2010:20) menyebutkan bahwa fantasi sering juga disebut
dengan cerita fantasi atau yang dikenal dengan sebutan literary fantasy dan berbeda dengan
cerita rakyat fantasi atau folk fantasy yang tidak diketahui penulisnya. Cerita fantasi merupakan
cerita yang menampilkan tokoh, alur, dan tema yang kebenarannya diragukan, baik sebagian
maupun seluruh isi cerita. Cerita fantasi juga menampilkan peristiwa realitsik tetapi juga
mengandung sesuatu yang sulit diterima.
Pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 adalah pembelajaran berbasis
teks. Prinsip dasar pembelajaran berbasis teks adalah bahasa dipandang sebagai teks
(Kemendikbud, 2013: iv). Menurut Mahsun (2014:1), teks adalah satuan bahasa yang digunakan
sebagai ungkapan suatu kegiatan sosial baik secara lisan maupun tulis dengan struktur berpikir
yang lengkap. Definisi tersebut menuntun pada pencirian teks yang wujudnya dapat berupa
bahasa yang dituturkan atau dituliskan. Jenis teks dalam Kurikulum 2013 dapat dibedakan atas
tujuan, struktur, dan ciri kebahasaan teks tersebut.
Dalam kurikulum 2013, siswa kelas VII diperkenalkan dengan delapan jenis teks, yaitu 1)
teks cerita fantasi, 2) teks deskripsi, 3) teks prosedur, 4) teks laporan observasi, 5) teks puisi
rakyat, 6) teks cerita rakyat, 7) teks surat, dan 8) teks literasi. Teks cerita fantasi merupakan salah
satu teks yang wajib dipelajari oleh siswa kelas VII SMP pada semester pertama. Sebagai salah
satu teks yang dipelajari, setiap anak harus mampu menuangkan imajinasinya ke dalam bentuk
cerita (teks) fantasi.
Kegiatan menulis teks cerita fantasi merupakan kegiatan yang bagus untuk
mengembangkan daya khayal dan kreativitas anak karena dalam menulis cerita fantasi anak
dituntut untuk menuliskan seluas-luasnya imajinasi yang mereka miliki, baik itu melalui tokoh,
alur penceritaan, maupun latar yang digunakan dalam cerita tersebut. Semakin luas imajinasi
seorang anak, cerita fantasi yang ditulis akan semakin menarik dan bervariasi. Lewat cerita
fantasi tersebut, anak juga dapat menyelipkan nilai-nilai kehidupan yang baik, seperti tolong-
menolong, sikap pantang menyerah, berani, jujur, dan rela berkorban melalui tokoh yang
ditampilkan dengan teknik penghadiran wataknya masing-masing.
Penelitian terhadap teks cerita fantasi karya siswa merupakan hal yang sangat penting dan
memiliki peran dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam kurikulum 2013 kelas VII SMP
semester 1 pada materi menulis (memproduksi) teks cerita fantasi, siswa tentu akan
memunculkan berbagai jenis tokoh yang beragam. Watak yang dimiliki oleh tokoh-tokoh
tersebut dihadirkan dengan teknik penghadirannya masing-masing. Sesuai dengan salah satu ciri
umum teks cerita fantasi, tokoh dalam teks cerita fantasi digambarkan memiliki kesaktian-
kesaktian tertentu, mengalami peristiwa misterius yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
mengalami kejadian dalam berbagai latar waktu, dan dapat ada pada seting waktu dan tempat
yang berbeda zaman (bisa waktu lampau atau waktu yang akan datang/futuristik), maka dengan
imajinasi dan fantasi yang dimilikinya siswa dapat menampilkan berbagai jenis tokoh yang
beragam teknik penghadiran tokoh yang beragam pula.
Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti tertarik dan merasa perlu untuk menganalisis
tokoh dan penokohan dalam teks cerita fantasi karya siswa. Tokoh dan penokohan tersebut akan
dianalisis dari jenis-jenis tokoh yang dimunculkan dan teknik penghadiran watak tokoh yang
digunakan. Hal tersebut bertujuan agar peneliti mengetahui apa saja jenis-jenis tokoh dan teknik
penghadiran tokoh yang digunakan siswa di dalam tulisannya.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini difokuskan pada tokoh dan
penokohan dalam teks cerita fantasi. Teks cerita fantasi ini akan diteliti dan dianalisis dari jenis-
jenis tokoh yang muncul dan teknik penghadiran watak tokoh yang digunakan dalam teks cerita
fantasi.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah tersebut, permasalahan dalam penelitian
ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, yaitu “Apa sajakah jenis-jenis tokoh dan teknik
penghadiran tokoh yang digunakan dalam teks cerita fantasi yang berjudul ‘Badai Ajaib, Buku-
Buku yang Hilang, dan Cahaya dan Kegelapan’?” (selanjutnya dibaca “tersebut”)
D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
Pertama, jenis tokoh apa sajakah yang dimunculkan dalam teks cerita fantasi tersebut? Kedua,
teknik penghadiran tokoh apa sajakah yang digunakan untuk menggambarkan watak-watak
tokoh dalam teks cerita fantasi tersebut?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, mendeskripsikan jenis-jenis tokoh apa saja yang dimunculkan dalam teks cerita fantasi
tersebut. Kedua, mendeskripsikan teknik penghadiran watak tokoh apa saja yang digunakan
dalam teks cerita fantasi tersebut.
F. Manfaat Penelitian
Merujuk pada tujuan penelitian tersebut, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat
teoretis dan praktis. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai
berikut. Pertama, bagi bidang pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan-bahan
untuk mempelajari teori-teori tentang tokoh dan penokohan dalam teks cerita fantasi. Kedua,
bagi bidang kesastraan, penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang teks cerita fantasi.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai berikut. Pertama,
bagi guru semoga hasil penelitian ini dapat memberikan masukan untuk pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia khusunya teks cerita fantasi dan mengenai tokoh dan penokohan. Kedua,
bagi siswa semoga hasil penelitian ini dapat memberikan masukan untuk mengembangkan
keterampilan siswa dalam memunculkan jenis tokoh yang lebih bervariasi dan menggunakan
teknik penghadiran tokoh yang beragam dalam teks cerita fantasi yang mereka tulis. Ketiga, bagi
peneliti lain untuk memberikan informasi secara tertulis maupun referensi mengenai teks cerita
fantasi dan tokoh dan penokohan dalam teks cerita fantasi karya siswa.
G. Batasan Istilah
Berikut ini dikemukakan batasan istilah yang digunakan untuk menghindari kerancuan
dalam penelitian ini dan sebagai panduan memahami istilah. Batasan istilah tersebut diuraikan
sebagai berikut. (1) Tokoh adalah seseorang atau pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita
dan dikisahkan perjalanan hidupnya yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu. (2) Teknik penghadiran tokoh adalah suatu cara penghadiran tokoh fiksi
ke hadapan pembaca dengan teknik tertentu sesuai dengan perkembangan alur untuk
menggambarkan watak tokoh. (3) Teks cerita fantasi adalah sebuah teks yang berisi serangkaian
peristiwa atau cerita yang bisa membuat pembaca percaya bahwa apa pun keanehan dan
keajaiban yang terjadi pada tokoh dalam cerita tersebut melalui rangkaian peristiwa yang
dialaminya adalah benar dan dapat diterima.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Teks Cerita Fantasi


1. Hakikat Teks
Halliday dan Ruqaiyah (dalam Mahsun, 2014:1) menyatakan bahwa teks merupakan
jalan menuju pemahaman tentang bahasa. Teks diartikan sebagai bahasa yang berfungsi atau
bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Dengan demikian, teks
merupakan ungkapan pernyataan suatu kegiatan sosial yang bersifat verbal.
Menurut Mahsun (2014:1) teks adalah satuan bahasa yang digunakan untuk
mengungkapkan suatu kegiatan sosial baik secara lisan maupun tulis dengan struktur berpikir
yang lengkap. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan suatu pernyataan tentang sebuah
ide atau suatu hal baik secara lisan maupun tulisan secara lengkap dan jelas untuk
mengungkapkan makna secara kontekstual dengan tata organisasi tertentu.
2. Hakikat Fantasi
Beberapa pendidik dan orang tua mempertanyakan nilai fantasi untuk anak-anak masa
kini. Mereka berpendapat bahwa anak-anak menginginkan cerita kontemporer yang relevan dan
berbicara mengenai masalah kehidupan sehari-hari. Anak-anak sendiri telah menolak kebenaran
pernyataan ini dengan memilih banyak buku fantasi sebagai favorit mereka.
Fantasi seringkali mengungkapkan wawasan baru tentang dunia kenyataan. Sebuah novel
fiksi realistis modern mungkin sudah ketinggalan zaman dalam lima tahun, tetapi fantasi ditulis
dapat bertahan dengan lama. Yang terpenting, fantasi membantu anak mengembangkan
imajinasinya. (Huck dan Susan, 1989:394).
Akar utama semua fantasi adalah jiwa manusia. Penulis fantasi modern berbicara
mengenai kebutuhan terdalam kita, ketakutan paling gelap kita, dan harapan tertinggi kita.
Fantasi, seperti puisi, berarti lebih dari yang dikatakan. Mendasari sebagian besar buku, fantasi
adalah komentar metaforis mengenai masyarakat saat ini. Beberapa anak akan menemukan
makna yang lebih dalam dalam sebuah dongeng, yang lain hanya akan membacanya sebagai
cerita yang bagus. Tiap anak memiliki kapasitas yang berbeda untuk berpikir imajinatif. Anak
yang berpikiran harfiah menemukan penghentian realitas sebagai penghalang untuk menikmati
fantasi; sementara anak-anak yang lain menikmati kesempatan untuk memasuki dunia yang
penuh pesona. Menurut Sujanto (2015:48) fantasi adalah suatu daya jiwa yang dapat membentuk
tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan lama. Dengan fantasi manusia dapat
membentuk sesuatu yang sebelum ini belum ada, sehingga sesuatu yang baru itu merupakan
suatu kreasi dengan menggunakan berbagai macam cara.
Coleridge (via Lukens, dalam Nurgiyantoro, 2010:20) mengatakan “Fantasi dapat
dipahami sebagai “the willing suspension of disbelief”, yaitu sebuah cerita yang menawarkan
sesuatu yang sulit diterima. Fantasi sering juga disebut sebagai cerita fantasi (literary fantasy)—
dan perlu dibedakan dengan cerita rakyat fantasi (folk fantasy) yang tidak pernah dikenali siapa
penulisnya—di samping dunia realitas. Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim
dan dapat diterima sehingga sebagai sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca.”
3. Hakikat Teks Cerita Fantasi
Teks cerita fantasi merupakan salah satu jenis teks narasi. Teks narasi merupakan cerita
fiksi yang berisi perkembangan kejadian/ peristiwa terhadap seorang tokoh. Rangkaian peristiwa
dalam cerita disebut alur. Cerita berkembang dari tahap pengenalan (apa, siapa, dan di mana
kejadian terjadi), timbulnya pertentangan, dan penyelesaian/akhir cerita. Tokoh dan watak tokoh
merupakan unsur cerita yang mengalami rangkaian peristiwa tersebut.
Teks cerita fantasi adalah sebuah teks yang menceritakan sebuah rangkaian peristiwa
yang berada di luar nalar dan akal sehat manusia. Semua kejadian dalam cerita ini mengandung
keajaiban dan keanehan-keanehan yang terjadi pada seorang tokoh. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Rebbeca J Lukens (dalam Norton, 1983:259) yang mengatakan bahwa cerita fantasi
adalah sebuah cerita yang berhasil membuat kita menunda-nunda ketidakpercayaan. Tokoh,
konflik, dan tema cerita tampak dapat dipercaya oleh kita, kita merasa semua hal tersebut masuk
akal dan bahkan kita menganggap sesuatu yang alami dan lumrah ketika kita dapat mengetahui
pikiran dan perasaan binatang.
Menurut Isnatun (2016:21) teks cerita fantasi adalah sebuah karya yang dibangun dalam
alur penceritaan yang normal namun bersifat imajinatif dan hayali. Biasanya seting, penokohan,
maupun konflik tidak realistis bahkan terkesan dilebih-lebihkan dan tidak mungkin terjadi di
dunia nyata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teks cerita fantasi merupakan sebuah teks yang berisi
serangkaian peristiwa atau cerita yang bisa membuat pembaca percaya bahwa apa pun keanehan
dan keajaiban yang terjadi pada tokoh dalam cerita tersebut melalui rangkaian peristiwa yang
dialaminya adalah benar dan dapat diterima.
B. Tokoh dan Penokohan
1. Tokoh
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu
diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Dalam cerita
fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia,
misalnya kancil, kucing, sepatu, dan lain-lain.
1) Hakikat Tokoh
Tokoh adalah komponen penting dalam sebuah cerita. Apabila tokoh tidak ada, sulit
menggolongkan karya tersebut ke dalam karya sastra naratif karena terjadinya alur adalah karena
tindakan dan akibat dari tindakan-tindakan tokoh. Setiap tokoh dalam karya sastra naratif adalah
pejuang yang memperjuangkan sesuatu: harta, kekasih, menaklukkan kezaliman, dna lain-lain.
Penokohan atau perwatakan adalah temperamen tokoh-tokoh yang hadir di dalam cerita. Pola-
pola tindakan tokoh dipengaruhi oleh temperamen ini. Watak atau temperamen ini mungkin
berubah, mungkin pula tetap sesuai dengan bentuk perjuangan yang dilakukannya.
Kurniawan dan Sutardi (2012:61) menyebutkan bahwa tokoh dalam cerita merujuk pada
“orang” atau “individu” yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita, yaitu orang atau individu
yang akan mengaktualisasikan ide-ide penulis. Lewat tokoh inilah penulis menyampaikan
gagasan-gagasannya. Namun, karena tokoh hakikatnya adalah manusia yang alamiah maka tokoh
juga harus dibiarkan bertindak dan berpikir sesuai konteks diri dan ceritanya. Jika tokoh dipaksa
mengikuti pikiran penulis maka cerita bisa menjadi kotbah belaka, kealamiahan cerita tidak ada
sehingga pembaca pun menjadi jenuh.
Menurut Nurgiyantoro (2010:222) tokoh cerita adalah pelaku yang dikisahkan perjalanan
hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur, baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa
yang terjadi. Dalam cerita fiksi anak, tokoh cerita tidak harus berwujud manusia, seperti anak-
anak atau orang dewasa lengkap dengan nama dan karakternya, tetapi juga dapat berupa binatang
atau suatu objek lain yang biasanya merupakan bentuk personifikasi manusia.
Tokoh-tokoh cerita fiksi hadir sebagai seseorang yang berjati diri, bukan sebagai sesuatu
yang tanpa karakter. Tiap tokoh hadir dengan ciri khasnya sehingga dapat dibedakan antara
tokoh yang satu dengan yang lain. Jadi, aspek jati diri seorang tokoh penting untuk ditonjolkan
karena dari situlah pertamakali identitas tokoh akan dikenali. Kualitas jati diri tidak hanya
berkaitan dengan ciri fisik, tetapi juga kualitas nonfisik. Oleh karena itu, tokoh cerita dapat
dipahami sebagai kumpulan kualitas mental, emosional, dan sosial yang membedakan seseorang
dengan orang lain (Lukens, dalam Nurgiyantoro, 2010:223).
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:223) menyatakan bahwa tokoh cerita (character)
dapat diartikan sebagai seseorang yang ditampilkan dalam teks cerita naratif (juga: drama) yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu sebagaimana yang
diekspresikan lewat kata-kata dan ditunjukkan dalam tindakan.
Tokoh dalam fantasi moderen sangat beragam seperti imajinasi seorang penulis kreatif.
Elemen imajiner memungkinkan penulis untuk menyingkirkan pahlawan mereka dari dunia
nyata. Sebagai contoh, mereka dapat memanusiakan hewan dengan memberi mereka ucapan,
mereka dapat mengurangi ukuran tokoh manusia dan menghadirkannya di latar dunia manusia
atau menempatkannya di lingkungan baru, mereka dapat memunculkan tokoh penyihir atau yang
memiliki kekuatan tidak biasa lainnya. Mereka bisa menggunakan mesin waktu untuk
menempatkan tokoh dalam periode sejarah atau ke masa depan. Selain itu, tokoh juga
dimunculkan dengan kekuatan yang tidak biasa atau menempatkan tokoh di dunia yang aneh
sehingga tercipta tokoh yang berkesan. Tokoh juga harus bisa dipercaya; hal itulah yang
mendorong pembaca untuk menunda ketidakpercayaannya. Bahasa adalah salah satu cara agar
penulis dapat membuat dan memunculkan tokoh yang dapat dipercaya (Norton, 1983:260).
Tokoh juga tampak bisa dipercaya karena mereka ditempatkan di dunia nyata sebelum
mereka memasuki dunia fantasi. Ketika tokoh nyata ini berhadapan dengan yang fantastis,
pembaca percaya bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Jika pembaca mempercayai tokoh ini,
mereka juga menunda ketidakpercayaan. Menurut Nurgiyantoro (2010:107) walaupun tokoh
cerita “hanya” merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia harus merupakan seorang tokoh yang
hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging,
yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia
fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan
yang disandangnya. Jika seorang tokoh bersikap dan bertindak secara lain dari citra yang telah
digambarkan sebelumnya dan menjadi suatu hal yang mengejutkan, hal tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan dari segi plot sehingga cerita tetap memiliki kadar plausibilitas. Jika
seorang tokoh bertindak secara “aneh” untuk ukuran kehidupannya yang wajar, maka sikap dan
tindakannya harus tetap konsisten.
2) Jenis Tokoh
Menurut Nurgiyantoro (2010:224) jenis tokoh cerita fiksi anak dapat dibedakan ke dalam
bermacam kategori tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Jika dilihat berdasarkan
ide pemunculan, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh rekaan dan tokoh sejarah, berdasarkan
tingkat pentingnya tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan,
berdasarkan fungsi penampilannya tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan
antagonis, berdasarkan perwatakannya tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh hitam dan tokoh
putih, berdasarkan kompleksitas karakter, tokoh dapat dibedakan dalam tokoh sederhana dan
tokoh bulat, dan berdasarkan perkembangan perwatakan, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh
statis dan tokoh berkembang. Berikut penjelasan masing-masing jenis tokoh tersebut.
a) Tokoh Rekaan dan Tokoh Sejarah
Nurgiyantoro (2010:275) menjelaskan bahwa tokoh rekaan merupakan tokoh yang secara
faktual tidak dapat ditemukan di dunia nyata atau di dalam sejarah. Tokoh-tokoh itu adalah tokoh
imajinatif, dalam arti tokoh yang diciptakan lewat kekuatan imajinasi pengarang, maka tidak
terlalu berlebihan jika tokoh-tokoh itu disebut sebagai “anak kandung” pengarang.
Tokoh sejarah adalah tokoh nyata, bukan rekaan pengarang—muncul dalam cerita—atau
personifikasi tokoh-tokoh manusia nyata dalam tokoh cerita. Artinya, tokoh cerita fiksi itu
mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu seperti yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tertentu dari
kehidupan nyata walau hal itu hanya menyangkut beberapa aspek saja. Pengangkatan tokoh yang
mempersonifikasikan tokoh nyata pada umumnya akan mudah dikenal dan dipahami oleh anak
karena keduanya berangkat dari realitas yang sama sehingga mudah dipersepsikan. Namun
demikian, tokoh yang benar-benar rekaan seperti tokoh cerita pada cerita fiksi fantasi juga dapat
mudah dipahami anak karena fantasi anak masih dengan mudah menerima berbagai macam
fantasi yang tidak masuk akal sekalipun (Nurgiyantoro, 2010:275)
“Tokoh sejarah yang diangkat ke dalam cerita fiksi juga tidak dapat seratus persen
mempertahankan jati dirinya yang sesungguhnya. Hal itu terutama disebabkan hakikat fiksi
adalah karya imajinatif yang di dalamnya terkandung unsur penciptaan.” (Nurgiyantoro,
2010:275).
b) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Menurut Nurgiyantoro (2010:176) tokoh utama (central character, main character)
adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa
mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya
dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun sebagai yang dikenai kejadian. Bahkan dalam novel-novel
tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halam
buku yang bersangkutan.
Tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain,
oleh karena itu ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir
sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi
perkembangan plot. Tokoh utama adalah tokoh yang dibuat sinopsisnya, tokoh utama dalam
sebuah cerita mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak selalu sama.
Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap
perkembangan plot secara keseluruhan.
Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan
dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun
tak langsung. Meskipun demikian, pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat
dilakukan secara eksak, perbedaan itu lebih bersifat gradasi. Hal inilah antara lain yang
menyebabkan orang bisa berbeda pendapat dalam hal menentukan tokoh utama dan tokoh
tambahan dalam sebuah cerita fiksi (Nurgiyantoro, 2010:176).
c) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Sebuah cerita fiksi menjadi menarik dan bahkan mencekam karena terjadi pertentangan
di antara kedua kelompok tokoh yang berseberangan. Pertentangan yang lazim terjadi, apalagi
dalam cerita anak, adalah antara tokoh(-tokoh) yang berkarakter baik dan yang berkarakter jahat.
Tokoh yang golongan pertama lazim disebut sebagai tokoh protagonis (protagonistic character),
sedang yang kedua tokoh antagonis (antagonistic character).
Tokoh berkarakter baik lazimnya menjadi tokoh protagonis karena pembaca akan
cenderung berpihak pada tokoh-tokoh jenis ini. Tidak ada pembaca anak, juga lazimnya dewasa,
yang tidak memihak tokoh protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh-tokoh yang membawa
misi kebenaran dan nilai-nilai moral yang berseberangan dengan tokoh antagonis yang justru
pembawa kejahatan atau malapetaka. Dalam cerita fiksi anak, pembedaan antara tokoh
protagonis dan antagonis sering lebih eksplisit karena buku bacaan itu sekaligus berfungsi untuk
menanamkan nilai-nilai moral sebagaimana yang diperankan oleh tokoh protagonis. Hal itu
terutama terlihat pada novel-novel yang berkategori fantasi dan formula seperti dalam novel
Harry Potter (Nurgiyantoro, 2010:228). Meskipun demikian, tidak mutlak bahwa tokoh
protagonis adalah tokoh berkarakter baik dan antagonis adalah tokoh berkarakter jahat.
Pada intinya tokoh protagonis merupakan tokoh yang pembaca berpihak atau
memberikan dukungan padanya, bagi pembaca dialah bintang atau lakon yang disukai, hal
tersebut sejalan dengan pendapat Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2010:178) bahwa
tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi—yang salah satu jenisnya secara populer
disebut hero—tokoh yang merupakan pengewajantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi
kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-
harapan kita sebagai pembaca. Pendek kata, segala apa yang dirasa, dipikir, dan dilakukan tokoh
itu sekaligus mewakili kita. Identifikasi diri terhadap tokoh yang demikian disebut empati.
Tokoh yang menghambat atau yang menyebabkan konflik terhadap tokoh protagonislah yang
disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang menghambat atau menentang
tokoh protagonis dalam menjalankan misinya atau dalam menyelesaikan tugasnya. Umumnya
tokoh antagonis merupakan tokoh yang dibenci oleh pembaca.
Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan antagonis kadang-kadang tidak
mudah, atau paling tidak orang bisa berbeda pendapat. Tokoh yang mencerminkan harapan dan
atau norma ideal kita memang dapat dianggap tokoh protagonis. Namun, tak jarang ada tokoh
yang tak membawakan nilai-nilai moral kita, atau yang berdiri di pihak “sana”, justru yang diberi
simpati dan empati oleh pembaca. Jika terdapat dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih
banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar
memperoleh simpati, empati, dari pembaca (Luxemburg dkk, dalam Nurgiyantoro 2010:180).
Tokoh penjahat, misalnya mungkin sekali ia akan diberi rasa simpati oleh pembaca jika
cerita ditulis dari kacamata si penjahat itu sehingga memperoleh kesempatan banyak untuk
menyampaikan visinya, walau secara faktual ia dibenci oleh masyarakat, termasuk pembaca
sendiri.
d) Tokoh Putih dan Hitam
Istilah tokoh putih dan tokoh hitam lazimnya dimaksudkan untuk menyebut tokoh yang
berkarakter baik dan buruk. Tokoh putih adalah tokoh yang berkarakter baik dan sekaligus
membawakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Sebaliknya tokoh berkarakter jahat
dan sebagai pemicu konflik dan pertentangan-pertentangan dikategorikan sebagai tokoh hitam
(Nurgiyantoro, 2010:227).
Tokoh-tokoh cerita dalam cerita fiksi anak pada umumnya dapat dibedakan ke dalam
tokoh putih dan tokoh hitam. Artinya, tokoh-tokoh yang dihadirkan memiliki karakter yang jelas
terpilah: putih atau hitam, baik atau jahat, dan tidak yang “abu-abu” alias mempunyai
kemungkinan keduanya. Namun, dalam sebuah novel tidak harus ada tokoh hitamnya. Demikian
juga dalam cerita fantasi tokoh hitam yang jahat tidak harus ada. Banyak cerita fantasi, termasuk
cerpen-cerpen fantasi yang dapat dibaca di Kompas edisi Minggu, yang menampilkan cerita
tanpa harus menghadirkan tokoh hitam dan tetap saja menarik (Nurgiyantoro, 2010: 227-228).
e) Tokoh Datar dan Tokoh Bulat
Pembagian karakter tokoh cerita ke dalam karakter datar (flat character) dan bulat (round
character) berasal dari Forster, yaitu berkaitan dengan kadar kompleksitas karakter seorang
tokoh cerita. Untuk dapat mengetahui apa saja karakter seorang tokoh, perlu dilakukan analisis,
baik lewat kata-kata, tingkah laku, maupun yang dinarasikan. Berdasarkan hasil analisis atau
identifikasi itulah kemudian seorang tokoh dikategorikan berkarakter datar atau bulat.
Menurut Nurgiyantoro (2010:228) tokoh berkarakter datar atau yang lazim pula disebut
tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki karakter yang “itu-itu” saja, tokoh yang
hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, karakter yang tertentu dan sudah pasti mirip
dengan formula. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi
kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi
pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, menoton, hanya
mencerminkan satu watak tertentu. Watak yang telah pasti itulah yang mendapat penekanan dan
terus-menerus terlihat dalam fiksi yang bersangkutan.
Tokoh datar dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan
dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu. Dengan
demikian pembaca akan dengan mudah memahami watak dan tingkah laku tokoh datar
(Nurgiyantoro, 2010:182).
Tokoh berkarakter bulat, di pihak lain, adalah tokoh yang memiliki banyak karakter dan
adakalanya bersifat tidak terduga, maka karakternya pun tidak dapat dirumuskan sebagaimana
tokoh datar. Tokoh bulat merupakan tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai sisi
kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang
diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-
macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Dibandingkan dengan tokoh
datar, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping
memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan
(Abrahams dalam Nurgiyantoro 2010:183).
Perbedaan tokoh cerita ke dalam datar atau bulat sebenarnya lebih bersifat teoretis sebab
pada kenyataannya tidak ada ciri perbedaan yang pilah di antara keduanya. Perlu pula ditegaskan
bahwa pengertian tokoh datar dan bulat tidak bersifat pengontrasan. Artinya, tokoh datar bukan
sebagai kebalikan atau pertentangan tokoh bulat. Dengan demikian, apakah seorang tokoh cerita
itu dapat digolongkan sebagai tokoh datar (sederhana) atau bulat (kompleks), mungkin saja
orang berbeda pendapat.
f) Tokoh Statis dan Berkembang
Nurgiyantoro (2010:229-230) menjelaskan bahwa tokoh statis (static character) adalah
tokoh yang secara esensial karakternya tidak mengalami perkembangan. Sejak awak
kemunculannya hingga akhir cerita tokoh tidak mengalami perubahan dan perkembangan
karakter. Artinya, karakter bersifat konstan, jika baik ia akan terus-menerus terlihat baik, dan
demikian pula sebaliknya.
Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya
perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antar manusia. Jika
diibaratkan, tokoh statis adalah bagaikan batu karang yang tak tergoyahkan walau tiap hari
dihantam dan disayang ombak. Tokoh yang bersifat statis pada umumnya adalah tokoh yang
berkarakter datar, tidak banyak jatidirinya yang bisa diungkap (Nurgiyantoro, 2010:188).
Tokoh berkembang (developing character) sering juga disebut sebagai tokoh yang
dinamis (dynamic character), di pihak lain, dapat dipahami sebagai tokoh yang mengalami
perubahan dan perkembangan karakter sejalan dengan alur cerita. Sejalan dengan perkembangan
alur yang menampilkan berbagai peristiwa dan konflik yang juga semakin meningkat, karakter
tokoh juga mengalami perubahan dan perkembangan untuk menyikapi dan menyesuaikan dengan
tuntutan alur. Sikap dan watak tokoh berkembang, dengan demikian akan mengalami
perkembangan dan atau perubahan dari awal, tengah, dan akhir cerita, sesuai dengan tuntutan
koherensi cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2010:229-230).
2. Penokohan
Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Boulton
(dalam Aminuddin 2009:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau
memunculkan tokokhnya itu dapat dengan berbagai macam cara. Mungkin pengarang
menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki
semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai
dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan
mementingkan diri sendiri.
Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penamaan,
pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek fisiologis), keadaan jiwa tokoh (aspek psikologis),
keadaan sosial (aspek sosiologi), serta karakter tokoh. Hal-hal yang termasuk di dalam
penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau
konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama cerita (Hassanudin, 2009:93).
Teknik Penghadiran Tokoh
Nurgiyantoro (2010:194) dengan mengacu kepada pendapat Abrams menyatakan bahwa
secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya—atau lengkapnya: pelukisan sifat,
sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh—dapat
dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yaitu teknik analitis dan teknik dramatik. Teknik
dramatik terbagi lagi menjadi empat teknik penghadiran tokoh, yaitu teknik aksi, teknik kata-
kata, teknik penampilan, dan teknik komentar orang lain. Berikut penjelasan masing-masing
teknik penghadiran tokoh tersebut.
a) Teknik Analitis
Teknik analitis sering juga disebut teknik ekspositori, dalam teknik analitis pelukisan
tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-
belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa
sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. Bahkan sering dijumpai dalam
satu karya fiksi belum lagi kita sebagai pembaca akrab dengan tokoh-tokoh cerita, informasi
kedirian tokoh tersebut justru telah lebih dahulu kita terima secara lengkap. Hal semacam itu
biasanya terdapat pada tahap perkenalan. Pengarang tidak hanya memperkenalkan latar dan
suasana dalam rangka “menyituasikan” pembaca, melainkan juga data-data kedirian tokoh cerita
(Nurgiyantoro, 2010:195).
b) Teknik Dramatik
Menurut Nurgiyantoro (2010:198), penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik,
artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya,
pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.
Pengarang membiarkan (baca: menyiasati) para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya
sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun
nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Dalam karya fiksi yang baik, kata-kata, tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang
diceritakan tidak sekedar menunjukkan perkembangan plot saja, melainkan juga sekaligus
menunjukkan sifat kedirian masing-masing tokoh pelakunya. Dengan cara itu cerita akan
menjadi efektif, berfungsi ganda, dan sekaligus menunjukkan keterkaitan yang erat antara
berbagai unsur fiksi. Berikut ini adalah empat dari jenis teknik dramatik.
(1) Teknik Aksi
Menurut Nurgiyantoro (2010:232) teknik aksi disebut juga teknik tingkah laku. Teknik
aksi dimaksudkan sebagai teknik penghadiran tokoh lewat aksi, tindakan, dan tingkah laku yang
ditunjukkan oleh tokoh yang bersangkutan. Aksi, tindakan, dan tingkah laku seseorang, anak
sekalipun, pada umumnya menunjukkan sikap dan karakternya. Dengan demikian, pemahaman
terhadap berbagai aksi dan tingkah laku seseorang dapat dipandang sebagai salah satu cara untuk
memahami sikap dan karakter cerita. Pemahaman ini juga berlaku bagi penulis buku bacaan
cerita anak, yaitu bahwa aksi dan tingkah laku yang dikisahkan dalam alur cerita sekaligus
menunjukkan karakter yang dimiliki tokoh anak itu. Dalam sebuah cerita harus ada keterkaitan
yang jelas antara apa yang dilakukan tokoh dengan sikap dan kepribadian yang disandangkan
kepadanya.
Misalnya, seorang anak yang pemberani tidak akan takut berjalan sendirian di dalam
gelap, tidak akan takut berhadapan dengan sebayanya yang nakal, dan tentu lebih menyukai
sesuatu yang bersifat menantang. Anak yang rajin akan dengan senang hati membantu
orangtuanya, dan lain-lain yang kesemuanya itu ditunjukkan lewat aksi dan tingkah laku tokoh
secara konkret (Nurgiyantoro, 2010: 232).
(2) Teknik Kata-Kata
Menurut Nurgiyantoro (2010:233) teknik kata-kata dapat dipahami sebagai cara
menunjukkan karakter tokoh lewat verbal, lewat kata-kata yang diucapkan. Sama halnya dengan
tingkah laku nonverbal, tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata juga mencerminkan
karakter tokoh yang bersangkutan. Kata-kata yang diucapkan tokoh adalah cermin segala sesuatu
yang hidup dalam pikiran dan perasaan, dan itu adalah sebagian jati dirinya. Dengan demikian,
pemahaman terhadap apa yang diucapkan tokoh dapat dipandang sebagai salah satu cara untuk
lebih memahami karakter tokoh tersebut. Hal ini juga berlaku bagi penulis buku bacaan cerita
anak, yaitu bahwa kata-kata yang diucapkan para tokoh dalam kaitannya dengan alur cerita
sekaligus menunjukkan karakter yang dimiliki tokoh anak itu.
Tidak semua percakapan mencerminkan kedirian tokoh atau paling tidak, tidak mudah
untuk menafsirkannya sebagai demikian. Namun, percakapan yang efektif, yang lebih fungsional
adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh.
(3) Teknik penampilan
Teknik penampilan dapat dipahami sebagai teknik penghadiran tokoh dengan seluruh
kediriannya baik yang terlihat secara fisik maupun sikap dan perilakunya. Teknik ini
menghubungkan antara bentuk tampilan fisik yang antara lain meliputi bentuk perawakan
lengkap dengan ciri khasnya (tinggi-rendah, besar-kecil, tampan-cantik, gemuk-kurus, dan lain-
lain), tingkah laku nonverbal (aksi, tindakan, tingkah laku, kebiasaan yang dilakukan, dan lain-
lain), dan kata-kata (wujud kata-kata, nada suara, tempo berbicara, dan lain-lain). Jadi, teknik
penampilan ini pada hakikatnya merupakan sesuatu yang dapat diamati pada seorang tokoh, baik
yang menyangkut aspek fisik maupun nonfisik dalam sekali kesempatan yang secara keseluruhan
mencerminkan gambaran tentang sikap dan karakter seseorang (Nurgiyantoro, 2010:234).
Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang
memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk
fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif. Di samping itu, ia juga
dibutuhkan untuk mengefektif dan mengongkretkan ciri-ciri kedirian tokoh yang telah dilukiskan
dengan teknik yang lain (Meredith dan Fizdgerald, dalam Nurgiyantoro 2010:210).
(4) Teknik komentar orang lain
Pemahaman terhadap seseorang tidak hanya sebatas mengamati apa yang dilakukan,
dikatakan, dan atau ditampilkan oleh yang bersangkutan, tetapi secara lebih lengkap juga dapat
dilakukan dengan melihat apa yang dikatakan oleh orang lain tentangnya. Komentar tokoh lain
merupakan salah satu cara yang biasa dipergunakan untuk melukiskan karakter seorang tokoh,
baik untuk menunjukkan sikap dan karakter yang belum diungkap dengan teknik lain maupun
untuk memperkuat teknik lain yang sudah dipergunakan, baik yang menyangkut sikap dan
karakter yang berkualifikasi positif maupun negatif (Nurgiyantoro, 2010:234).
Dengan adanya komentar tokoh-tokoh lain gambaran jatidiri seorang tokoh menjadi lebih
lengkap dan hal itu akan memudahkan pengimajian dan pemahaman oleh pembaca anak-anak.
Komentar tentang tokoh itu dapat diberikan oleh orang-orang dekatnya, misalnya tokoh
protagonis, atau justru oleh orang lain yang menjadi tokoh antagonis.
C. Pembahasan
Pembahasan dilakukan berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk (1) mendeskripsikan
jenis-jenis tokoh yang muncul dalam teks cerita fantasi yang berjudul ‘Badai Ajaib, Buku-
Buku yang Hilang, dan Cahaya dan Kegelapan’?” (selanjutnya dibaca “tersebut”) (2)
mendeskripsikan teknik penghadiran watak tokoh yang digunakan dalam teks cerita fantasi
tersevut. Kedua hal tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Jenis-Jenis Tokoh dalam Teks Cerita Fantasi
Tokoh-tokoh yang muncul dalam teks cerita fantasi tersebut digolongkan ke dalam 12
jenis tokoh. 12 jenis tokoh tersebut dilihat dari berbagai segi. Dilihat berdasarkan ide
pemunculan, tokoh terdiri atas tokoh rekaan dan tokoh sejarah. Dilihat berdasarkan tingkat
pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Dilihat berdasarkan fungsi
penampilan tokoh, tokoh terdiri atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Dilihat berdasarkan
perwatakan, tokoh terdiri atas tokoh putih dan tokoh hitam. Dilihat berdasarkan sederhana atau
kompleksnya tokoh, tokoh terdiri atas tokoh datar dan tokoh bulat. Dilihat berdasarkan
berkembang atau tidaknya perwatakan, tokoh terdiri atas tokoh statis dan tokoh berkembang.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa secara umum teks
cerita fantasi tersebut lebih cenderung menampilkan tokoh rekaan, tokoh tambahan, tokoh putih,
tokoh datar, dan tokoh statis. Akan tetapi jenis tokoh lain tetap digunakan dalam cerita fantasi
tersebut.
2. Teknik Penghadiran Tokoh dalam Teks Cerita Fantasi
Watak dari tokoh-tokoh yang muncul dalam teks cerita fantasi tersebut digambarkan
melalui berbagai macam teknik penghadiran tokoh. Secara umum ada dua teknik penghadiran
tokoh yang digunakan dalam menggambarkan watak tokoh-tokohnya, yaitu teknik analitis dan
teknik dramatik. Teknik dramatik terbagi menjadi teknik aksi, teknik kata-kata, teknik
penampilan, dan teknik komentar orang lain. Jadi secara khusus, ada lima teknik penghadiran
tokoh yang digunakan, yaitu teknik analitis, teknik aksi, teknik kata-kata, teknik penampilan, dan
teknik komentar orang lain.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa secara umum teks
cerita fantasi tersebut lebih cenderung menggunakan teknik analitis, teknik aksi, dan teknik kata-
kata. Akan tetapi teknik penghadiran tokoh lain tetap digunakan dalam cerita fantasi tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan dua hal. Dua hal tersebut sebagai berikut.
Pertama, jenis tokoh yang sering muncul dalam teks cerita fantasi yang berjudul ‘Badai Ajaib,
Buku-Buku yang Hilang, dan Cahaya dan Kegelapan’?” (selanjutnya dibaca “tersebut”),
jika dilihat dari ide pemunculan tokoh adalah rekaan dibandingkan tokoh sejarah, jika dilihat dari
tingkat kepentingan tokoh, lebih cenderung muncul tokoh tambahan dibandingkan tokoh utama
karena umumnya dalam satu teks cerita fantasi mereka hanya menggunakan satu tokoh utama
dan banyak tokoh tambahan.
Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, teks cerita fantasi tersebut cenderung
menggunakan tokoh protagonis dibandingkan tokoh antagonis, tetapi lebih banyak lagi tokoh
yang tidak dapat digolongkan ke dalam dua jenis tokoh tersebut karena hanya muncul sekilas
saja sehingga sulit diidentifikasi, jika dilihat berdasarkan perwatakan, lebih cenderung
menggunakan tokoh putih dibandingkan tokoh hitam, bahkan ada banyak teks cerita fantasi yang
ditulis tidak memunculkan tokoh hitam sama sekali, jika dilihat berdasarkan sederhana atau
kompleksnya tokoh, lebih cenderung menggunakan tokoh datar dibandingkan tokoh bulat, dan
jika dilihat berdasarkan berkembang atau tidaknya watak tokoh, lebih cenderung menggunakan
tokoh statis dibandingkan tokoh berkembang. Hal tersebut dapat diartikan bahwa tokoh rekaan
lebih cenderung digunakan dibandingkan tokoh tambahan, tokoh putih, tokoh datar, dan tokoh
bulat.
Kedua, teknik penghadiran tokoh yang lebih cenderung digunakan dalam teks cerita
fantasi tersebut ada tiga teknik, yaitu teknik analitis, teknik aksi, dan teknik kata-kata. Teknik
penampilan dan teknik komentar orang lain cenderung tidak digunakan dalam menggambarkan
watak tokoh.
B. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi penelitian, diajukan saran-saran sebagai berikut.
Pertama, bagi bidang pendidikan semoga makalah ini dapat menjadi bahan untuk mempelajari
teori-teori tentang tokoh dan penokohan. Kedua, bagi bidang kesusasteraan semoga makalah ini
dapat menjadi bahan untuk mempelajari teori-teori tentang cerita fantasi. Ketiga, guru hendaknya
dapat mencari bahan atau referensi yang beragam untuk pembelajaran Bahasa Indonesia
khususnya mengenai tokoh dan penokohan.
Keempat, siswa-siswi kelas VII yang memelajari Teks Cerita Fantasi hendaknya
mengembangkan pemahaman dan keterampilan dalam menulis teks cerita fantasi dengan sering
membaca dan berlatih serta mengembangkan kemampuan dalam memunculkan jenis tokoh yang
lebih bervariasi dan menggunakan teknik penghadiran tokoh yang lebih beragam dalam teks
cerita fantasi yang mereka tulis. Kelima, peneliti lain hendaknya dapat merancang penelitian
yang lebih mendalam tentang teks-teks cerita fantasi karya siswa serta tokoh dan penokohan
dalam teks cerita fantasi karya siswa. Dengan demikian, diperoleh gambaran yang lebih luas dan
mendalam tentang penguasaan siswa terhadap tokoh dan penokohan dalam teks cerita fantasi
serta terhadap teks cerita fantasi itu sendiri
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sina Baru Algensindo.


Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Harsiati, dkk. 2016. Bahasa Indonesia untuk SMP/MTS Kelas VII (Edisi Revisi)
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Huck. S Charlotte and Susan Hepler Janet Hickman. 1989. Children’s Literature in the
Elementary School. Florida: Harcourt Brage College Publisher

Anda mungkin juga menyukai