Anda di halaman 1dari 64

1

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani yakni ―an" (tidak,


tanpa) dan ―aesthētos‖ (rasa, persepsi, kemampuan untuk merasa), secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Sedangkan reanimasi berasal dari kata ―re‖ berarti kembali, dan
―animasi/animation‖ yang berarti gerak/hidup. Awal mula penemuan dan
perkembangan anastesiologi terjadi pada tahun 1846. 1,2
Tindakan anastesi berarti memberikan pelayanan anastesia umum pada
pasien yang akan dilakukan pembedahan yang meliputi ―trias anastesia‖ yakni
hipnotik ( tidak sadarkan diri=mati ingatan), analgesia (bebas nyeri=mati rasa),
relaksasi otot rangka (mati gerak). Akibat pengaruh obat anastetikum yang
menimbulkan ―efek trias anastesia‖ pasien akan mengalami koma (tidak
sadar), reflek-reflek proteksi menghilang akibat mati rasa dan kelumpuhan otot
rangka termasuk otot pernafasan, sehingga pasien sangat memerlukan tindakan
bantuan kehidupan selama prosedur anastesi/ bedah berlangsung, yakni
reanimasi/resusitasi atau bantuan nafas.1
Operasi Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) adalah operasi yang
paling umum dilakukan dan sangat sering membutuhkan ahli bedah dan
anestesi untuk berbagi ruang kerja yang sama. Karenanya komunikasi antara
kedua pihak sangat penting. Tracheal tube lebih tidak mudah untuk lepas dari
trakea selama prosedur ini daripada sebagian besar prosedur lain karena
Dokter bedah harus sering memindahkan kepala pasien untuk mencapai
operasi.3
Prosedur telinga-hidung-tenggorokan (THT) merupakan prosedur
2

yang unik dikarenakan antara anestesiologis dan operator berbagi jalan


nafas. Pengelolaan anestesi pada pasien berpusat pada pengaturan jalan
nafas. Kerjasama dan komunikasi antara operator dan anestesiologis
menjadi lebih penting disbanding pembedahan pada wajah dan leher.4

Membuat, memelihara dan menjaga jalan nafas pada kondisi anatomi


yang abnormal dan intervensi pembedahan yang simultan dapat menguji
ketrampilan dan kesabaran ahli anestesi. Tepatnya pengetahuan mendalam
tentang anatomi jalan nafas dan apresiasi umum prosedur THT akan
membuktikan betapa bernilainya hal tersebut dalam menangani tantangan
para ahli anestesi ini. Penelitian terbaru tentang pertanggungjawaban medis
mengklaim melalui American Society of Anesthesilogist, bahwa faktor
kesalahan manusia masih menjadi penyebab terbanyak kematian dalam
anestesi; masalah jalan nafas menyumbang lebih dari 30% kasus pada orang
dewasa dan 43% kasus pada anak.4
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi dan Reanimasi

Berdasarkan analisis kata ―anestesi‖ (an = tidak, aetesi = rasa) dan


―reanimasi‖ (re = kembali, animasi/animation = gerak = hidup) maka ilmu
anestesi dan reanimasi merupakan cabang ilmu kedokteran yane mempelajari
tatalaksana untuk me‖matikan‖ rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak
nyama yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari
tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien
selama mengalami ―kematian‖ akibat obat anestesi.
Ruang lingkup cabang ilmu anestesi dan reanimasi sendiri meliputi :

a. Usaha – usaha penanggulangan nyeri dan stress emosional agar pasien


merasa nyaman, baik pada keadaan nyeri akut maupun nyeri kronik
b. Usaha – usaha kedokteran gawat darurat yang meliputi bantuan
resusitasi,

PPGD dan terapi intensif

c. Usaha – usaha kedokteran perioperative yang meliputi evaluasi


persiapan praoperatif, tindakan anestesi dan reanimasi intraoperative
dan tindakan anestesi dan reanimasi pascaoperatif.1
2.2 Tindakan Anestesi Pada Operasi Liang Telinga Secara Umum

Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi – operasi liang telinga :

- Mastoidektomi

- Rekonstruksi liang telinga termasuk


4

timpanoplasti Masalah anestesi dan reanimasi


1. Ancaman sumbatan jalan nafas selama operasi

2. perdarahan luka operasi

3. Operasi berlangsung lama

4. Perubahan tekanan pada liang telinga tengah khususnya pada


operasi timpanoplasti
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi

1. Evaluasi

a. Penilaian status presen

b. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan


penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif : persiapan rutin

3. Premedikasi, diberikan secara intramuscular 30 – 45 menit pra


induksi dengan obat – obat sebagai berikut
Petidin : 1,0 – 2,0 mg/kgBB

Midazolam : 0,04 – 0,10 mg/kgBB

Atropin :0,01 mg/kgBB


4. Pilihan anestesinya

Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa


endotrakea dan nafas kendali. Hindari pemakaian N2O pada operasi
timpanoplasti, karena NO akan mempengaruhi tekanan pada liang
telinga
5. Pemantauan selama anestesia, sesuai dengan standar pemantauan
dasar intra operatif
6. Terapi cairan dan transfuse darah
5

Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahn


yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah pasien dan apabila
> 20%, diberikan transfuse darah
7. Pemulihan anestesinya, sesuai dengan tatalaksana anestesi yang
dipilih

8. Pasca anestesia, sesuai dengan tatalaksana pasien pasca anestesi


dengan perhatian khusus terhadap penanggulangan nyeri pasca
bedah.1
2.2.1 Anestesi Lokal

Prosedur pembedahan telinga seperti operasi premeatal,


stapedektomi, dan pembedahan telinga tengah yang tidak disertai
komplikasi dimana lamanya kurang dari 2 jam, dapat diberikan
pada pasien yang terseleksi penggunaan infiltrasi dari lokal anestesi
dan titrasi sedasi yang hati-hati. Pasien harus mengerti, komunikatif
dan kooperatif (harus selalu diingat, terutama selama bedah
mikroskopik telinga tengah). Pada kunjungan preoperatif,
anestesiolog sebaiknya mempersiapkan juga pemeriksaan yang
sama seperti pada anestesi umum.
Tujuan sedasi preoperatif adalah membuat pasien tenang,
kooperatif, dan nyaman tetapi tidak overmedicated atau kehilangan
kontak dengan sekitar. Sedasi ringan dapat diberikan titrasi iv
propofol (0,5-0,7 mg/kg) selama penyuntikan lokal anestesi dan, jika
perlu, disertai midazolam (0,02-0,04 mg/kg iv) selama prosedur.7

2.2.2 Blok Saraf

Terdapat empat saraf sensoris yang menginervasi telinga. N


auriculotemporal (bagian mandibula dari saraf trigeminal)
mensuplai meatus auditorius yang lebih luar dan dapat diblok
6

dengan injeksi 2 ml lokal anestesi kedalam dinding anterior meatus


auditorius eksternus. Cabang utama n. aurikular (pleksus saraf
servikal) menyuplai bagian medial bawah dari aurikula dan
sebagian meatus auditorius eksternus. Berkas aurikular N. Vagus
berjalan diantara processus mastoideus dan meatus auditorius
eksternus untuk mensuplai konkha dan meatus auditorius eksternus.
Saraf utama aurikular dan aurikular (vagus) dapat diblok dengan
injeksi 2-3 ml lokal anestesi posterior ke saluran telinga (saraf
utama aurikular). Saraf tympani (N. Glossofaringeus) mensuplai
cavum tympani dan dapat dilakukan blok topikal dengan
menginstalasi 4% lidokain. Ketika perforasi luas membrane
tympani, berhati-hati untuk tidak memasukan substansi beracun
kedalam canalis auditorius, karena dapat merusak ruang telinga
tengah.7
Penambahan efinefrin pada lokal anestesi meningkatkan
intensitas dan durasi dari efek dan memberikan vasokonstriksi lokal,
yang dapat menurunkan perdarahan. Dosis aman bagi efinefrin
adalah 0,1 mg (10 ml dalam konsentrasi 1:10.000) dan bila perlu
dapat diulang setelah 20 menit.7
2.2.3 Anestesi Umum

Anestesi umum pada bedah telinga membutuhkan perhatian


untuk menjaga n. facialis, dan efek N2O pda telinga tengah, posisi
kepala yang ekstrim, kemungkinan emboli udara, kehilangan darah,
dan, selama bedah mikro pada telinga, kontrol perdarahan, dan
pencegahan mual dan muntah.8
Posisi Penderita Selama Pembedahan Telinga yakni ketika
posisi kepala penderita pada pembedahan dengan anestesi umum,
salah satunya termasuk ekstensi kepala yang ekstrem dan diputarnya
7

leher. Cedera dapat terjadi pada pleksus brachialis (cedera regangan)


atau servik vertebrae. Penderita dengan aliran darah karotis yang
terbatas terutama mudah terserang penurunan aliran darah yang
berlanjut pada posisi leher yang berlebihan.8

2.2.4 Obat – Obat Perioperatif


Premedikasi
Premedikasi dimaksudkan untuk memfasilitasi prosedur
anestesia. Premedikasi adalah pemberian satu obat atau lebih
sebelum anestesia untuk mencegah semua penyakit yang dapat
timbul selama dan sesudah anestesia maupun pembedahan.
Premedikasi dapat diberikan di ruangan atau di kamar bedah. Obat-
obat premedikasi juga memiliki efek samping, sehingga tidak semua
pasien yang akan menjalani anestesia selalu mendapatkan
premedikasi yang sama.18
Premedikasi sendiri bukan merupakan tindakan yang
dilakukan sebelum pemberian obat tertentu, melainkan pemberian
obat atau obat-obatan sebelum anestesia, untuk mendapatkan
kondisi yang diharapkan oleh anestesiologi. Obat premedikasi
diberikan oleh dokter anestesiologi bukan dokter lain. Premedikasi
bukan suatu keharusan dan sesuatu yang rutin untuk setiap anestesia.
18

Tujuan dari premedikasi yaitu mengurangi kecemasan,


mengurangi nyeri, mengurangi kebutuhan obat-obat anestetik,
mengurangi sekresi saluran pernapasan, menyebabkan amnesia,
mengurangi kejadian mual-muntah pascaoperasi, membantu
pengosongan lambung, mengurangi produksi asam lambung atau
meningkatkan pH asam lambung, dan mencegah refleks-refleks
8

yang tidak diinginkan.19


Benzodiazepin
Golongan obat benzodiazepin adalah diazepam, temazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepin memiliki beberapa efek
yakni ansiolitik, sedatif, dan amnesia. Midazolam oral sering
digunakan pada anak-anak. Midazolam sirup efektif sebagai sedatif
dan ansiolitik pada dosis 0,2-0,4 mg/kgBB. Waktu pulih dari
midazolam meningkat pada pasien usia lanjut, obesitas, dan
penyakit hati berat. Dosis dari midazolam intravena adalah 0,05
mg/kgBB. 18, 20
Antagonis reseptor H2, Inhibitor Pompa Proton
Proton pump inhibitor seperti omeprazole, lansoprazol dan
pantoprazole bekerja pada sel parietal lambung, berikatan dengan
menghambat pompa proton sehingga menghambat sekresi asam
lambung. Penggunaannya untuk profilaksis aspirasi asam lambung
pada anesthesia umum tertentu terbatas dibandingkan dengan
penggunaan di atas. Inhibitor reseptor H2 menghambat pengikatan
histamin pada reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi dan volum
gaster serta menurunkan pH lambung sehingga lebih efektif
mencegah pneumonia aspirasi. Sebagai profilaksis dapat digunakan
dosis ranitidine 50 mg IV. Ranitidin oral 150-300 mg diberikan
malam hari dan waktu 1-2 jam pra-anastesia. Pemberian harus lebih
18
berhati-hati pada pasien dengan kelainan ginjal dna hepar.
Antagonis Serotonin
Serotonin atau 5-hidroksitriptamin(5-HT) adalah
neurotransmitter monoamine. Secara dominan 5-HT ada dalam
traktus gastrointestinal, platelet dan susunan saraf pusat. Pada
system hematologi, serotonin 5HT2A bertanggung jawab pada
kontraksi otot polos dan menyebabkan kontraksi yang meningkatkan
9

peristaltic tanpa memengaruhi sekresi. Selain itu 5HT3 dapat


ditemukan pada reseptor yang memediasi pusat muntah di otak dan
juga lambung. Antagonis 5HT3 yang pertama dikenal ada beberapa
jenis, yaitu derivate karbazol(ondansetron), indazol(granisetron),
dan indol(tropisetron dan dolasetron). Granisteron biasa diberikan 1
mg sebelum induksi anestesi. Antagonis reseptor 5HT hamper
semuanya adalah antiemetik. Penggunaan rutin sebagai profilaksis
antimual dan muntah dianjurkan sebelum induksi dan pasca bedah
terutama pada pasien dengan riwayat mual muntah, pasien menjalani
pembedahan yang berisiko tinggi menyebabkan nausea seperti
laparoskopi, serta operasi yang memerlukan pencegahan mual
muntah seperti pada bedah saraf atau operasi mata. Dosisi yang
direkomendasikan pada ondansetron adalah 4 mg. 18
Obat-obat Anestesi Umum
Obat anestesi dapat digunakan untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi atau sedasi tergantung dari dosis yang
diberikan. Dalam sebagian besar kasus, obat anestesi intravena
digunakan untuk induksi dan obat anestesi inhalasi digunakan untuk
pemeliharaan. Obat anestesi intravena akan menuju ke seluruh
jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya menuju organ
target dan akhirnya dieksresikan. Obat yang sering digunakan untuk
induksi anestesi intravena adalah propofol dan ketamine. 21
Propofol
Propofol telah menjadi pilihan paling popular dalam
intravena anestesi. Kemampuan onsetnya dengan barbiturate
inttravena hampir sama namun kecepatan pemulihan propofol lebih
cepat dan pasien dapat berjalan lebih cepat setelah anestesi umum.
Efek farmakologi propofol adalah hipnotik murni, tidak mempunyai
efek analgetik maupun relaksasi otot. Propofol juga memiliki efek
10

antiemetic sehingga mengurangi kejadian mual muntah pasca


operasi. Propofol memiliki onset 30-45 detik dengan durasi 4-7
menit. Sakit saat dimasukkan secara bolus merupakan adverse effect
yang umum pada propofol. Efek samping yang ditimbulkan
hipotensi, depresi napas hingga apnea, nyeri pada saat injeksi,
pergerakkan involunter, cegukan dan propofol infusion
syndrome(asidosis metabolic, kardiomiopati akut, dan miopati
skeletal). Dosis Induksi propofol yaitu 1-2mg/kgBB.20,21
Sevofluran
Sevofluran memiliki kecepatan induksi 2-3 menit.
Konsentrasi induksi 6-7% dengan konsentrasi pemeliharaan 2-3%.
Efek samping yang diberikan adalah vasodilatasi hingga
menyebabkan hipotensi dan depresi napas. Keuntungan dari
sevofluran ialah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosa saluran pernapasan, dan pemulihan paling cepat. Namun
kelemahan dari sevofluran ialah analgesia dan relaksasi yang kurang
sehingga perlu dikombinasikan dengan obat lain. 20
Nitrous oxide(N2O)
Nitrous oxide(N2O) berdifusi secara bertahap dari alveoli ke
dalam darah dan mencapai saturasi 100% dalam waktu 5 jam. N2O
tidak diikat oleh hemoglobin, tetapi larut dalam plasma dengan
kelarutan 15 kali lebih besar daripada kelarutan oksigen. N2O
mampu berdifusi ke seluruh rongga dalam tubuh sehingga dapat
menyebabkan hipoksia difusi jika tidak dikombinasi dengan
oksigen. Efek klinis yaitu analgetik. Efek samping yang ditimbulkan
adalah depresi napas(jika diberikan bersama opioid), tuli karena
perubahan tekanan rongga telinga, pneumothoraks, depresi sumsum
tulang(pada pemakaian jangka panjang), efek teratogenik(usia
gestasi 1-6 minggu) dan hipoksia difusi pasca anestesi. 20
11

2.2.5 Menjaga Nervus Facialis


Identifikasi pembedahan dan penjagaan terhadap nervus
facialis merupakan hal yang esensial dalam banyak pembedahan pada
telinga. Hal tersebut menjadi lebih mudah diketahui dan
dikonfirmasikan jika pasien tidak lumpuh total. Jika tekhnik
pelumpuh otot narkotik harus dipakai, efek pelumpuh otot harus
dimonitor untuk memastikan masih tersisanya 10-20% respon otot.
Prosedur pembedahan telinga dihubungkan dengan 0,6 – 3,0 %
insiden paralisis n. facialis. Monitoring intraoperative berupa
bangkitan aktivitas electromyographic wajah dapat menjaga fungsi n.
facialis selama pembedahan pada mastoid atau area tulang temporal.3

2.3 Laringeal Mask Airway


Penemuan dan pengembangan ―laryngeal mask airway‖ (LMA) oleh
seorang ahli anestesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan
dampak yang luas dan bermakna dalam praktek anestesi, penanganan airway
yang sulit, dan resusitasi kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan
antara penggunaan ―face mask‖ dengan intubasi endotracheal. LMA
12

memberikan ahli aeastesi alat baru penanganan airway yaitu jalan


nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan
yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan
nafas intratracheal. Ahli anestesi mempunyai variasi yang lebih besar untuk
penanganan jalan nafas sehingga lebih dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-
tiap pasien, jenis anastesi, dan prosedur pembedahan. 14
LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis,
terdiri dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga berfungsi
sebagai balon yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan sudut sekitar
30°. LMA dapat dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave,
namun demikian juga tersedia LMA yang disposible. 14
Jenis-Jenis LMA
Sampai saat ini berbagai jenis telah diproduksi dengan keunggulan dan
tujuan tertentu dari masin-masing jenis LMA. Jenis-jenis LMA yang telah
tersedia sebagai berikut:
1. LMA klasik
2. LMA flexible
3. LMA proseal
4. LMA fastrach
LMA Klasik
Tidak seperti jalan nafas supraglotik, tersedia dalam berbagai ukuran,
yang cocok untuk semua penderita mulai dari bayi sampai dengan dewasa.
Suatu metode pemasangan LMA klasik dengan teknik standar
direkomendasikan oleh Dr Archie Brain. Setelah deflasi cuff secara penuh,
LMAdimasukkan dengan bantuan indek jari menekan masker kearah
cranioposterior melewati kurva palatofaringeal, dilanjutkan kearah caudal
sampai dirasakan adanya tahanan di mana ujung masker memasuki upper
esophageal sphincterKeberhasilan LMA yang klasik mendorong munculnya
13

berbagai jenis LMA lainnya dengan beberapa tujuan tertentu seperti untuk
intubasi buta disertai dengan akses ke lambung (Proseal LMA).

Gambar 2.1 LMA Klasik

Gambar 2.2 LMA Flexible


LMA Proseal
LMA proseal dengan akses lambung dapat mendekomprasi lambung
seketika LMA dipasang. LMA proseal lebih sesuai secara anatomis untuk jalan
nafas dan lebih cocok untuk ventilasi tekanan positif.Jenis LMA proseal
memberikan dua keuntungan: (1) adanya akses ke lambung memungkinkan
untuk memasukkan selang lambung dan kemudian dekompresi lambung; (2)
desain ulang terhadap balon LMA memungkinkan untuk mengembangkan
14

balon LMA lebih besar dan posisi balon LMA yang lebih tepat terhadap jalan
nafas. 10,14

Gambar 2.3 LMA Proseal


LMA Fastrach
LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung (
diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm,
handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara
LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang
pengangkat epiglottic. Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal
mask yang dirancang khusus untuk dapat pula melakukan intubasi tracheal.
Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar
dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang
berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan
insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat ‖pengangkat epiglotis‖,
yang merupakan batang semi rigid yang menempel pada mask. ILMA didesign
untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang netral. Ukuran ILMA : 3 – 5,
15

dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang dapat dipakai ulang,
dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm internal diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi
esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus.
Intubasi pada ILMA bersifat ‖blind intubation technique‖. Setelah intubasi
direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak
biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA
dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam managemen
kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera
tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi
cardiopulmonal.
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan
intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk
insersi ILMA dari belakang, depan atau dari samping pasien dan dengan
posisipasien supine, lateral atau bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA
merupakan jalan nafas yang cocok untuk insersi selama mengeluarkan pasien
yang terjebak.

Gambar 2.4 LMA Fastrach


16

Berbagai macam ukuran LMA 10,14


Ukuran Masker Berat Badan (Kg) Volume Balon (mL)
1 <5 4
1,5 5 – 10 7
2 10 – 20 10
2½ 20 – 30 14
3 30 – 50 20
4 50 – 70 30
5 > 70 40

Indikasi Penggunaan LMA 12


1) Pemasangan Ventilasi Elektif
2) Kesulitan Jalan Nafas
3) Cardiac Arrest
4) Saluran Untuk Intubasi
5) Manajemen Jalan Nafas Prehospital
6) Anak-Anak
Kontraindikasi Penggunaan LMA12
Kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi penggunaan LMA :
1. Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus
intestinal)
2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya
artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan
memasukkan LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.
3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar
4. Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
5. Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)
17

6. Ventilasi paru tunggal.


Teknik Insersi LMA 12
Macam-macam teknik insersi LMA :
1. Teknik Klasik/standard (Brain’s original technique)
2. Inverted/reserve/rotation approach
3. Lateral apporoach à inflated atau deflated cuff
Teknik insersi LMA yang dikembangkan oleh dr. Archie Brain telah
menunjukkan posisi terbaik yang dapat dicapai ini pada berbagai variasi pasien
dan prosedur pembedahan. Walaupun sampai sekarang telah banyak teknik
insersi yang dianjurkan namun demikian teknik dari dr.Brain ini membuktikan
secara konsisten lebih baik. Banyak teknik insersi lainnya yang menyebabkan
penempatan LMA yang teralalu tinggi dari jalan nafas atas dan pengembangan
balon terlalu besar untuk mencegah kebocoran gas anastesi disekeliling
LMA. Tekanan balon LMA yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
pembengkakan struktur pharyngeal dan menyebabkan pengurangan toleransi
terhadap LMA pada kasus-kasus emergensi.
Konsep insersi LMA mirip dengan mekanisme menelan. Setelah
makanan dikunyah, maka lidah menekan bolus makanan terhadap langit-langit
rongga mulut berasamaan dengan otot-otot pharyngeal mendorong makanan
kedalam hipopharyng. Insersi LMA, dengan cara yang mirip balon LMA yang
belum terkembang dilekatkan menyusuri langit-langit dengan jari telunjuk
menekan LMA menyusuri sepanjang langit-langit keras dan langit-langit lunak
terus sampai ke hipopharyngx. Teknik ini sesuai untuk penderita dewasa
ataupun anak-anak dan sesuai untuk semua model LMA.10,14
18

Gambar 2.5 Posisi LMA

Gambar 2.6 Cara pemasanga LMA dengan jari


19

Gambar 2.7 Cara pemasangan LMA dengan introducer


Gambar Teknik Insersi LMA
a. LMA dalam keadaan siap untuk diinsersi. Balon harus dalam keadaan
kempes dan rim membelakangi lubang LMA. Tidak boleh ada lipatan pada
ujung LMA.
b. Insersi awal LMA dengan melihat langsung, ujung masker ditekan terhadap
palatum durum. Jari tengah dapat digunakan untuk menekan dagu
kebawah. Masker ditekan kearah depan terus maju ke dalam pharynx untuk
memastikan bahwa ujungnya tetap datar dan menolak lidah. Dagu tidak
perlu dijaga agar tetap terbuka bila masker telah masuk kedalam mulut.
Tangan operator yang tidak terlibat proses intubasi dapat menstabilisasi
occiput.
c. Dengan menarik jari sebelahnya dan dengan sedikit pronasi dari lengan
bawah, biasanya dengan mudah akan dapat mendorong masker. Posisi
leher tetap flexi dan kepala tetap extensi.
20

d. LMA ditahan dengan tangan sebelah dan jari telunjuk kemudian


diangkat. Tangan menekan LMA ke bawah dengan lembut sampai terasa
tahanan. 10
Keberhasilan insersi LMA tergantung dari hal-hal detail sebagai berikut : 10
1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran
pada balon LMA
2. pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap
keluar berlawanan arah dengan lubang LMA
3. lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA
4. pastikan anastesi telah adekuat (baik general ataupun blok saraf regional)
sebelum mencoba untuk insersi. Propofol dan opiat lebih memberikan
kondisi yang lebih baik daripada thiopental.
5. posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing
6. gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum
durum terus turun sampai ke hipofarynx sampai terasa tahanan yang
meningkat. Garis hitam longitudinal seharusnya selalu menghadap ke
cephalad (menghadap ke bibir atas pasien)
7. kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai
8. pastikan pasien dalam anastesi yang dalam selama memposisikan pasien
9. obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh piglotis yang
terlipat kebawah atau laryngospame sementara
10. hindari suction pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA
sampai penderita betul-betul bangun (misalnya membuka mulut sesuai
perintah).
21

Malposisi LMA

Gambar 2.8 Malposisi LMA yang umum terjadi

Teknik-teknik Lain Yang Dapat Dilakukan Bila Kesulitan Insersi LMA


Ditangan yang terampil, teknik standard insersi LMA dapat berhasil
pada sebagian besar pasien (>98%) pada usaha yang pertama atau yang
kedua. Penyebab yang lazim akan kegagalan insersi LMA adalah karena
penguasaan teknik yang rendah, anastesi yang dangkal (yang menyebabkan
terjadi batuk, mual, dan laryngospasme), pengguna belum berpengalaman, sulit
mengatasi lengkungan 90° dibelakang pharynx ke hipopharynx, lidah dan tosil
yang besar, dan penggunaan ukuran LMA yang tidak tepat. Beberapa teknik
manuver telah dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut diantaranya:
menarik lidah kedepan, menggangkat dagu, dan menggunakan laryngoscope,
menggunakan bilah lidah atau forcep Magill untuk menggangkat
lidah. Masukkan LMA dengan balon menghadap ke bawah dan kemudian
diputar 180° setelah sampai dinding posterior parynx. 10
Balon dapat dikembangkan sebagian atau penuh bila memasukkan LMA
tanpa kesulitan. Walaupun trik ini dapat memudahkan operator yang belum
berpengalaman namun dapat terjadi komplikasi berupa obstruksi parsial jalan
nafas jika ujung LMA arytenoid didepan larynx. lebih jauh hal tersebut dapat
22

menyebabkan batuk atau laryngospame karena rangsangan pada refleks


pelindung jalan nafas yang disebabkan oleh posisi LMA yang tinggi di dalam
pharynx. Pada pasien dengan lengkung palatum yang tinggi, mendekati palatum
durum secara agak diagonal dari samping dengan posisi LMA bersudut 15° atau
20° dari lateral ke midline dapat juga membantu. 14
Keuntungan dan kerugian LMA
Keuntungan LMA dibandingkan Face Mask
Bila dibandingkan dengan pemakaian dengan face mask maka LMA
dapat memberikan ahli anastesi lebih banyak kebebasan untuk melaksanakan
tugas yang lain (misalnya mencatat perjalanan anastesi, memasukkan obat-
obatan dll) dan mengurangi angka kejadian kelelahan pada tangan operator.
Dengan LMA dapat memberikan data capnography yang lebih akurat dan dapat
mempertahankan saturasu oksigen yang lebih tinggi. Kontaminasi ruangan
oleh obat-obat anastesi inhalasi dapat dikurangi tetapi dengan manipulasi yang
lebih kecil terhadap jalan nafas. Cedera pada mata dan saraf wajah dapat
dihindari dibandingkan bila memakai face mask. 10
Keuntungan LMA dibandingkan dengan ETT
Walaupun LMA tidak dapat menggantikan posisi ETT (khususnya pada
prosedur operasi yang lama dan yang memerlukan proteksi terhadap aspirasi)
namun LMA mempunyai berbagai kelebihan. LMA lebih mudah dimasukkan
dan mengurangi rangsangan pada jalan nafas dibandingkan ETT (sehingga
dapat mengurangi batuk, rangsang muntah, rangsang menelan, tahan nafas,
bronchospame, dan respon kardiovaskuler) adalah dua keuntungan yang
dimiliki LMA dibandingkan ETT. Level anestesi yang lebih dangkal dapat
ditoleransi dengan menggunakan LMA dibandingkan ETT. Ditangan yang
terampil, penempatan LMA dapat lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan
menempatkan ETT, sehingga lebih memudahkan untuk resusitasi. Trauma
pada pita suara dapat dihindari karena LMA tidak masuk sampai ke lokasi pita
23

suara. Insidens kejadian suara serak setelah penggunaan LMA dapat dikurangi
bila dibandingkan dengan pemakaian ETT. 10
Keuntungan dan Kerugian LMA dibandingkan dengan Face Mask atau ETT 12
Keuntungan Kerugian
Dibandingkan Tangan operator bebas Lebih invasive
dengan Face Mask Lebih leluasa pada operasi THT Resiko trauma pada jalan
Lebih mudah untuk nafas lebih besar
mempertahankan jalan nafas Membutuhkan keterampilan
Terlindung dari sekresi jalan baru
nafas Membutuhkan tingkat
Trauma pada mata dan saraf anastesi lebih dalam
wajah lebih sedikit Lebih membutuhkan
Polusi ruangan lebih sedikit kelenturan TMJ (temporo-
mandibular joint)
Difusi N2O pada balon
Ada beberapa kontraindikasi
Dibandingkan dg Kurang invasive Meningkatkan resiko
ETT Anestesi yang dibutuhkan lebih aspirasi gastrointestinal
dangkal Tidak aman pada pasien
Berguna pada intubasi sulit obisitas berat
Trauma pada gigi dan laryngx Maksimum PPV (positive
rendah pressure ventilation) terbatas
Mengurangi kejadian Keamanan jalan nafas
bronkhospasme dan kurang terjaga
laryngospasme Resiko kebocoran gas dan
Tidak membutuhkan relaksasi polusi ruangan lebih tinggi
otot Dapat menyebabkan distensi
Tidak membutuhkan mobilitas lambung
24

leher
Mengurangi efek pada tekanan
introkular
Mengurangi resiko intubasi ke
esofagus atau endobronchial

Komplikasi Penggunaan LMA 10,14

1. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :


a. Gagal insersi (0,3 – 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 – 35%)
2. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
a. Tenggorokan lecet (0 – 70%)
b. Disfagia (4 – 24%)
c. Disartria (4 – 47%)
3. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d. Regurgitasi klinik (0,1%)

2.4 Prosedur Operasi Telinga Tengah


Myringotomy & Insertion of Pressure Equalization Tubes

Anestesi umum, contoh dengan Laryngeal Mask Airway, cukup


memuaskan. Vagal henti jantung dapat terjadi bila area ‗vagal‘ pada membran
timpani (disuplai oleh serabut auricular) terangsang, dimana dapat dihindari
dengan pemberian atropin.3
25

Beberapa jenis analgesi diperlukan pada seluruh anak yang diobati tanpa
rawat inap. Derkay dkk menemukan bahwa dapat digunakan tetes telinga saat
operasi yang telah dicampur dengan 4% lidokain, penggunaan analgesik oral
preoperasi dapat memberikan sedikit manfaat. Pemberian oral preoperasi
berupa acetaminofen, atau acetaminophen dengan codein, dan bahkan
buthorphanol intranasal direkomendasikan sama efektifnya.13 Otitis media
kronis (OM) ditandai dengan demam dan sakit telinga (baik ada atau tidak
discharge telinga) dan sering terjadi pada anak-anak. Ini sering terjadi dan
berhubungan dengan saluran pernapasan atas baik berasal dari virus atau
bakteri. Dalam banyak kasus OM merespon merespon antibiotik, namun infeksi
berulang biasanya memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan sebuah
lubang di gendang telinga (miringotomi) untuk mengurangi tekanan dan
mengalirkan sekresi telinga tengah.3

Sebuah tekanan kecil penyama logam (equalizing metal) atau tabung


plastik (plastic tube) umumnya dimasukkan untuk menjaga lubang terbuka dan
mencegah akumulasi cairan. Tabung ini berada di lubang tersebut selama enam
bulan dan akan terlepas secara spontan.3 Tak menutup kemungkinan terkadang
harus diangkat dengan operasi jika memiliki dampak buruk. Bedah untuk
penempatan tabung ini membutuhkan watu yang sangat singkat tetapi
membutuhkan anak untuk tetap diam.7 Anestesi untuk penyisipan tekanan
penyama (equalizing) atau tabung miringotomi biasanya menggunakan induksi
inhalasi anestesi dengan halotan atau sevoflurane dengan atau tanpa nitrous
oxide (jika tersedia) dan oksigen. N2O dapat membuat distensi pada gendang
telinga dan membuatnya lebih mudah bagi dokter bedah.3

Ventilasi spontan dipertahankan sepanjang operasi dimana dialirkan


memulai facemask. Oral airway mencegah obstruksi jalan napas dan gerakan
pernapasan. Jika tersedia, ahli bedah menggunakan mikroskop atau pembesar
kacamata untuk melakukan myringotomies. Perangkat pembesar meningkatkan
26

kemampuan dokter bedah untuk melihat bidang operasi dan meningkatkan


penempatan tabung. Prosedur ini biasanya berlangsung 10- 15 menit, bahkan
13
ketika tabung ditempatkan di kedua telinga. Nyeri yang terjadi biasanya
minimal setelah prosedur ini, dan hanya analgesik ringan biasanya diperlukan
(acetaminophen oral 10-15mg / kg, intra-operatif rectal acetaminophen 40-
45mg / kg, intranasal fentanyl 2mcg / kg atau intramuskular morfin 0.1mg / kg
sampai dengan jumlah 2mg).3
2.5 Permasalah pada operasi liang telinga

2.5.1 Nitrous Oksida dan Tekanan Telinga Tengah

Telinga tengah dan sinus-sinus paranasal merupakan rongga


normal berudara dan tetap terbuka, ruangan tanpa ventilasi. Ruangan
telinga tengah mendapat ventilasi intermiten saat tuba eusthachia
terbuka. Ekspansi dari udara ruangan melalui pergantian nitrogen
dengan N2O dimana terdapat perbedaan 34 kalilipat antara koefisien
darah/gas dari dua gas (0,013 untuk nitrogen dan 0,46 untuk N2O).
Terutama pada inhalasi dengan konsentrasi tinggi, N2O memasuki
ruang berudara lebih cepat dari keluarnya nitrogen. Pada ruang yang
tetap seperti telinga tengah, akan menghasilkan peningkatan
tekanan.9
Normalnya ventilasi pasif pada tuba eusthachii menghasilkan
tekanan sekitar 200-300 mmH2O. Jika fungsi tuba eusthachii
menurun karena trauma bedah, penyakit atau inflamasi dan udema
akut, tekanan telinga tengah dapat mencapai 375 mmH2O dalam 30
27

menit mulai diberikannya N2O. Sebagai tambahan, setelah


penghentian N2O, gas dengan cepat direabsorbsi, dan menyokong,
ditandai, terbentuknya tekanan negatif telinga tengah. Saat fungsi
tubae eusthachii abnormal, tekanan negative telinga -285 mm H2O
dapat tercapai setelah 75 menit penghentian N2O. Tekanan tertentu
dapat mendukung terjadinya serous ottitis, disartikulasi stapes, dan
mengganggu pendengaran.
Diperlihatkan tanda berubahnya tekanan telinga tengah
berhubungan dengan N2O, Patterson dan Bartlet juga mencatat
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh hematotympani
dan disartikulasi penopang stapes. Penelitian ini dipercaya bahwa
anestesi N2O dapat beresiko pada pendengaran pasien yang
mendapatkan bedah rekonstruksi telinga tengahsebelumnya.10,11
Memburuknya fungsi telinga tengah untuk sementara,
peningkatan cepat tekanan telinga tengah sesuai dengan konsentrasi
inhalasi N2O, mual dan muntah, dan sobeknya membran tympani
semua berhubungan dengan meningkatnya tekanan telinga tengah
dan fungsi abnormal tuba eustachii selama anestesi N2O diberikan
pada pasien yang rentan. Pasien yang rentan termasuk di dalamnya
adalah dengan riwayat bedah otologik, otitis media akut atau kronik,
sinusitis, infeksi saluran nafas bagian atas, membesarnya adenoid,
dan kondisi patologis pada nasofaring. Menurunnya kepekaan,
meningkatnya hambatan, dan tuli hantaran telah ditemukan pada
pasien yang diberikan anestesi N2O untuk adenotonsilektomi.10,11

Bulging eardrum dan ―lifting of‖ graft membran timpani dapat


terjadi selamabedah tymphanoplasty. Tidak ditemukan kejadian
penggunaan N2O (kurang dari 50%) pada anestesi umum
timpanoplasti tipe I yang mengganggu penempatan graft atau
28

hasil akhir prosedur pembedahan. Untuk menghindarikomplikasi


anestesiologi harus mengetahui batas konsentrasi N2O sampai 50%
dan menghentikan penggunaannya 15 menit sebelum menutup
telinga tengah.11
2.5.2. Pembedahan Telinga Tengah : Mual dan Muntah

Prosedur pada telinga tengah sering menyebabkan mual


dan muntah, Karena telinga mempunyai bagian erat yang terlibat
dengan keseimbangan. Operasi telinga dapat menyebabkan pusing
(vertigo) pascaoperasi dan mual pasca operasi dan muntah
(PONV). Induksi dan pemeliharaan dengan propofol telah terbukti
menurunkan PONV di pasien yang menjalani operasi telinga
tengah. PONV dapat merusak hasil rekonstruksi telinga tengah.
Pengaturan anestesi pembedahan telinga tengah termasuk
12
didalamnya adalah minimalisasi PONV. Banyak obat yang
terbukti efektif, termasuk infus propofol, granisetron, transdermal
scopolamine, ondansetron, droperidol, dan eliminasi N2O.
Diperlihatkan juga bahwa N2O mendorong muntah pada anak
setelah anestesi umum singkat untuk miringotomi. PONV dapat
dikontrol dengan dosis iv obat potensial antiemesis (contoh
droperidol, 0,01/kg: ondansetron, 0,05 mg/kg; atau dolasetron,
0,20 mg/kg) diberi selama pembedahan. 10,11

2.6 Anatomi Telinga


Pinna atau daun telinga merupakan corong terbentuk dari tulang rawan
yang simetris bilateral yang membantu memfokuskan suara serta menentukan
arah datangnnya suara. Pinna terdiri atas mangkuk konka, tragus di bagian
anterior, anti heliks di bagian superior dan posterior, serta anti tragus dibagian
inferior.5
29

Gambar 2.9 Anatomi skematis daun telinga5


Heliks memanjang dibagian superior dan posterior membentuk
helicalcrus pada lobulus, mengelilingi antiheliks, konka, dan antitragus.
Diantara heliks dan antiheliks terdapat scaphoid fossa. Fossa triangular terletak
diantara crura superior dan inferior dari antiheliks. Pinna tertambat pada tulang
cranial oleh kulit, tulang rawan, otot-otot auricular, serta ligamen-ligamen
ekstrinsik.5

Anatomi Liang Telinga

Gambar 2.10 Anatomi liang telinga5

Liang telinga memiliki panjang sekitar 2,5 cm dan diameter sekitar 0,6
cm. Liang telinga sedikit berbentuk huruf S. Sepertiga lateral liang telinga
merupakan tulang rawan sedangkan duapertiga medialnya merupakan tulang
keras. Bagian tulang rawan dari liang telinga ini berbentuk relatif bulat pada
individu yang masih muda dan sejalan dengan pertambahan usia akan berubah
menjadi lebih oval. Bagian tulang rawan ini memiliki celah-celah kecil yang
30

disebut fissura santorini yang dapat berperan sebagai jalan penyebaran infeksi
dari liang telinga ke kelenjar parotis dan mastoid. Struktur tulang keras liang
telinga dibentuk oleh bagian timpanik dan squamous dari tulang temporal.6
Liang telinga di selimuti oleh kulit yang menghasilkan serumen (ear
wax) dan memiliki rambut di permukaannya. Tidak ada kelenjar keringat di
liang telinga. Karena letaknya yang terlindung, kulit liang telinga tidak
bersentuhan atau bergesekan secara alami sebagaimana kulit yang ada
dipermukaan tubuh. Sehingga untuk membersihkannya dibutuhkan mekanisme
pembersihan sendiri untuk menyingkirkan sel-sel mati dan serumen. Ada dua
31

jenis sel yang berperan dalam sekresi serumen, yaitu sel sebacea yang letaknya
berdekatan dengan follikel rambut dan sel seruminous penghasil serumen.6
Kulit di liang telinga memiliki persarafan yang tidak biasa. Reseptor
sensorisnya dipersarafi oleh empat saraf kranial (CN) yang berbeda, yaitu
bagian mandibular dari nervus Trigeminus (CN V), nervus facial (CN VII),
nervus glossofaringeal (CN IX), dan cabang auricular dari nervus vagus (CN
X), yang mempersarafi dinding posterior dari liang telinga dan membran
timpani. Cabang saraf ini merupakan bagian dari Arnold‘s nerve, yang juga
menerima kontribusi persarafan dari nervus glossofaringeus sehingga beberapa
individu akan mengalami refleks batuk saat kulit dari bagian dalam liang
telinga tersentuh. Persarafan oleh nervus glossofaringeus dan nervus vagus
juga mengakibatkan timbulnya efek pada jantung dan sirkulasi darah saat ada
stimulasi mekanis pada liang telinga, sehingga pada individu-individu yang
sensitif dapat pingsan saat telinganya dibersihkan dari serumen (ear wax).6
Telinga luar membantu transimisi suara menjadi lebih efisien mencapai
membran timpani dengan berperan sebagai resonator fungsional. Kontribusi
akustik dari telinga luar adalah meningkatkan transmisi serta frekuensi suara.
Kedalaman serta bentuk liang telinga yang berkelok-kelok melindungi
membrane timpani serta struktur di telinga tengah dan telinga dalam. Rambut
di lateral liang telinga luar mencegah masuknya benda asing berukuran kecil
serta debris-debris dari luar.5
Anatomi Membran Timpani

Membran timpani adalah sebuah membran tipis yang sedikit oval yang
mengakhiri liang telinga. Berbentuk kerucut dengan tinggi 2 mm serta apeks
yang mengarah kedalam. Terlihat dari liang telinga luar, membrane ini sedikit
cekung dan digantung oleh cincin tulang. Secara normal membran ini berada
pada tegangan tertentu. Luas permukaan nya kira-kira 85 mm2. Bagian utama
dari membran timpani adalah pars tensa dengan area kira-kira seluas 55 mm2,
32

yang tersusun atas serat-serat sirkuler yang saling tumpang tindih. Serat-serat
ini tersusun atas kolagen dan membentuk membran kaku yang ringan sehingga
ideal untuk mengubah gelombang suara menjadi getaran pada tulang malleus.
Bagian lebih kecil dari membran timpani adalah pars flaccida, terletak diatas
manubrium malleus, lebih tebal dari pada pars tensa dan serat-seratnya tidak
tersusun baik seperti serat-serat kolagen pada pars tensa. Membran timpani di
lapisi oleh selapis sel epidermis, yang merupakan lanjutan dari liang telinga.
Bagian luar membrane timpani ini bermigrasi dari tengah ke bagian luar dan
memindahkan luka kecil dan parut serta mentransport benda asing kecil keluar
ke liang telinga. Lubang kecil pada membran timpani biasanya akan sembuh
spontan.6

2.7 Otitis Media Efusi


Otitis Media merupakan salah satu masalah serius dalam pelayanan
kesehatan di seluruh dunia, bukan hanya mengakibatkan situasi menyulitkan
bagi pasien dan keluarganya tapi juga merupakan beban ekonomi yang
menekan system pelayanan kesehatan. Meski otitis Media kebanyakan
didiagnosis dan terapi pada anak-anak oleh dokter anak ataupun dokter THT-
KL, terdapat kecenderungan terjadi over diagnosis dan diikuti pula over
treatment. Otitis media efusi (OME) adalah suatu penumpukan cairan dalam
telinga tengah dengan membrane timpani yang masih utuh tanpa disertai tanda-
tanda infeksi akut. Adanya cairan di dalam telinga tengah mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran.13

Orang tua mengeluhkan anak-anaknya mendengarkan suara dari televise


dengan volume terlalu keras, sering menanyakan ulang atas jawaban yang
diberikan orang tuanya dan tidak segera mengacuhkan jika dipanggil. Beberapa
anak mungkin tidak didaptkan keluhan. Cairan dalam telinga tengah pada anak-
anak bisa berbulan-bulan dan baru diketahui ketika diadakan pemeriksaan rutin.
33

Anak-anak memerlukan kemampuan mendengar untuk belajar berbicara.


Adanya gangguan pendengaran karena cairan di telinga tengah mengakibatkan
terjadinya keterlambatan berbicara. Diagnosis dini dapat mecegah hambatan
pendengaran pada anak akibat otitis media efusi.13

Patofisiologi
Patofisiologi OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus atau
bakteri, gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor
lingkungan dan sosial. Dugaan yang sering dikemukakan dan diperkirakan
berperan pada mekanisme terjadinya OME adalah gangguan fungsi tuba dan
mukosa telinga tengah sebagai organ target alergi.13
Gangguan Fungsi Tuba
Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga
telinga tengah terganggu, drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring
terganggu dan gangguan mekanisme proteksi rongga telinga tengah terhadap
refluks dan rongga nasofaring. Akibat gangguan tersebut rongga telinga tengah
akan mengalami tekanan negatif. Tekanan negatif di telinga tengah
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan selanjutnya terjadi
transudasi. Selain itu terjadi infiltrasi populasi sel-sel inflamasi dan sekresi
kelenjar. Akibatnya terdapat akumulasi sekret di rongga telinga tengah.
Inflamasi kronis di telinga tengah akan menyebabkan terbentuknya jaringan
granulasi, fibrosis dan destruksi tulang. Obstruksi tuba Eustachius yang
menimbulkan teradinya tekanan negatif di telinga tengah akan diikuti retraksi
membran timpani. Orang dewasa biasanya akan mengeluhkan adanya rasa tak
nyaman, rasa penuh alau rasa tertekan dan akibatnya timbul gangguan
pendengaran ringan dan tinitus. Anak-anak mungkin tidak muncul gejala
seperti itu. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu lama cairan akan
tertarik keluar dari membran mukosa telinga tengah, menimbulkan keadaan
yang kita sebut dengan otitis media serosa. Kejadian ini sering timbul pada
34

anak-anak berhubungan dengan infeksi saluran napas atas dan sejumlah


gangguan pendengaran mengikutinya.13
Infeksi
Infeksi bakteri merupakan faktor penting dalam patogenesa terjadinya
OME sejak dilaporkan adanya bakteri di telinga tengah. Streptococus
pneumonia, haemophilus influenzae, moraxella catarrhalis dikenal sebagai
bakteri patogen terbanyak ditemukan dalam telinga tengah. Meskipun hasil
yang didapat dari kultur lebih rendah. Penyebab rendahnya angka ini diduga
karena: 13
a) Penggunaan antibiotik jangka lama sebelum pemakaian ventilation tube
akan mengurangi proliferasi bakteri patogen,
b) sekresi imunoglobulin dan lisosim dalam efusi telinga tengah akan
menghambat proliferasi bakteri patogen,

c) Bakteri dalam efusi telinga tengah berlaku sebagai biofilm.

Status Imunologi
Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekretori lg
A. Imunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum timpani.
Sekretori Ig A terutama ditemukan pada efusi mukoid dan dikenal sebagai suatu
imunoglobulin yang aktif bekerja dipermukaan mukosa respiratorik. Kerjanya
yaitu menghadang kuman agar tidak kontak langsung dengan permukaan epitel,
dengan cara membentuk ikatan komplek. Kontak langsung dengan dinding sel
epitel adalah tahap pertama dari penetrasi kuman untuk infeksi jaringan,
Dengan demikian Ig A aktif mencegah infeksi kuman.13
Alergi
Bagaimana faktor alergi berperan dalam menyebabkan OME masih
belum jelas. Akan tetapi dari gambaran klinis dipercaya bahwa alergi
memegang peranan. Dasar pemikirannya adalah analogi embriologik, dimana
mukosa timpani berasal sama dengan mukosa hidung. Setidak-tidaknya
35

manifestasi alergi pada tuba Eustachius merupakan penyebab oklusi kronis dan
selanjutnya menyebabkan efusi.13
Namun, dari penelitian kadar Ig E yang menjadi kriteria alergi atopik,
baik kadarnya dalam efusi maupun dalam serum tidak menunjang sepenuhnya
alergi sebagai penyebab. Etiologi dan patogenesis otitis media oleh karena
alergi mungkin disebabkan oleh satu atau lebih dari mekanisme dibawah ini:13
a) mukosa telinga tengah sebagai organ sasaran (target organ)
b) pembengkakan oleh karena proses inflamasi pada mukosa tuba Eustachius
c) obstruksi hidung oleh karena proses inflamasi, dan
d) aspirasi bakteri nasofaring yang terdapat pada sekret alergi ke dalam ruang
telinga tengah.

Diagnosis

Diagnosis OME tidak mudah dan terdapat perbedaan yang bermakna


sesuai dengan kecakapan klinisi, khususnya di tingkat pelayanan primer atau
dokter anak yang mendiagnosisnya. Gejala OME tidak ada yang sensitif
maupun spesifik, banyak anak justru tanpa gejala. Pemeriksaan fisik pada
penderita OME berpotensi tidak akurat karena kesan subyektif gambaran
membran timpani sulit dinilai. Belum lagi anak-anak sulit diajak kerjasama
dalam pemeriksaan. Dalam mendiagnosis diperlukan kejelian dari pemeriksa.
Ini disebabkan keluhan yang tidak khas terutama pada anak-anak, Biasanya
orang tua mengeluh adanya gangguan pendengaran pada anaknya, guru
melaporkan bahwa anak mempunyai problem pendengaran, kemunduran dalam
pelajaran di sekolah, bahkan dalam gangguan wicara dan bahasa. Seringkali
OME ditemukan secara tidak sengaja pada saat skrining pemeriksaan telinga
dan pendengaran di sekolah-sekolah. Untuk menegakkan diagnosis OME
dilakukan dengan anammnesis, otoskopi, timpanomentri, audiometri atau
audiologi.13
36

Anamnesis
OME senng terjadi pada anak- anak, walau demikian penvakit imi
jarang menimbulkan keluhan. Riwayat penyakit ini biasanya diketahui dari
orang tua ataupun guru anak-anak tersebut. Keluhan yang disampaikan adalah
sikap acuh terhadap suara disekitarnya, gangguan atau keterlambatan bicara
juga prestasi belajar anak yang semakin menurun. Pada anak-anak yang lebih
besar atau orang dewasa biasanya dirasakan adanya rasa yang tidak nyaman
pada telinga (terasa penuh), suara yang bergema pada telinga, mungkin juga
didapatkan tinitus. Anammesis tidak didapatkan keluhan tanda-tanda adanya
infeksi. Tidak didapatkan demam.13
Riwayat penyakit perlu digali secara lengkap dan dicari faktor-faktor
resiko terjadinya OME pada penderita. Status imunologi, status gizi, riwayat
alergi pasien dan keluarganya serta kelainan kongenital yang menyertai misal
palatoskizis merupakan faktor yang harus mendapatkan perhatian pada pasien
yang dicurigai menderita OME.13
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu otoskopi dan tes penala. Pada
pemeriksaan otoskopi dapat terlihat membran timpani yang kelabu atau
menguning yang telah kekurangan pergerakan. Jika membran timpani
translusen, maka dapat terlihat air-fluid level atau gelembung udara kecil pada
telinga tengah.13

Gambar 2.11 Gambaran membran timpani dengan : a. air-fluid level, b.


bubble appearance
37

Pada otitis media efusi yang sudah lama, membran timpani yang terlihat
pada otoskopi masih utuh tetapi suram, berwarna kuning kemerahan atau
keabu-abuan.13

Gambar 2.12 Gambaran membran timpani pada otitis media efusi kronis

Pada tes penala dapat ditemukan tuli konduktif pada pasien dengan otitis
media efusi, dengan tes Rinne negatif, tes Weber lateralisasi ke telinga yang
sakit, dan tes Schwabach memanjang pada telinga yang sakit.
Otoskopi
Otoskopi dilakukan untuk menilai kondisi, warna, dan translusensi
membran timpani. Macam-macam perubahan atau kelainan yang terjadi pada
membran timpani dapat dilihat sebagaimana berikut:13
a) Membran timpani yang suram dan berwama kekuningan yang mengganti
gambaran tembus cahaya selain itu letak segitiga refiek cahaya pada
kuadran antero inferior memendek, mungkin saja didapatkan pula
peningkatan pembuluh darah kapiler pada membran timpani tersebut. Pada
kasus dengan caian mukoid atau mukopurulen membran timpani berwarna
lebih muda (krem),

b) Membran timpani retraksi yaitu bila manubrium malei terlihat lebih pendek
dan lebih horisontal, membran kelihatan cekung dan refleks cahaya
memendek, Warna mungkin akan berubah agak kekuningan.
38

c) Atelektasis, membran timpam biasanya tipis, atropi dan mungkin


menempel pada inkus, stapes dan promontorium, khususnva pada kasus-
kasus yang sudah lanjut, biasanya kasus seperti ini karena disfungsi tuba
Eustachius dan OME yang sudah berjalan lama.

d) Membran timpani dengan sikatrik, suram sampai retraksi berat disertai


bagian yang atropi didapatkan pada otitis media adesif oleh karena tenjadi
jaringan fibrosis ditelinga tengah sebagai akibat proses peradangan
sebelumnya yang berlangsung lama. Keadaan ini dapat sebagai komplikasi
otitis media supuratif atau OME non supuratif yang menyebabkan rusaknya
mukosa telinga tengah. Waktu penyembuhan terbentuk jaringan fibrotik
yang menimbulkan perlekatan.

e) Gambaran air fluid fevels atau bubles biasanya ditemukan pada OME yang
berisi cairan serus,

f) Membran timpani berwarna biru gelap atau ungu diperlihatkan pada kasus
hematotimpanum yang disebabkan oleh fraktur fraktur tulang temporal,
leukimia, tumor vaskuler telinga tengah. Sedang wama biru yang lebih
muda mungkin disebabkan oleh barotrauma.

g) Gambaran lain adalah ditemukannya sikatrik dan bercak kalsifikasi,

Gambar 2.13 Gambaran membran timpani dengan bubles.


39

Pemeriksaan otoskopi menunjukkan kecurigaan OME apabila


ditemukan tanda-tanda:13
a) tidak didapatkan tanda-tanda radang akut,

b) terdapat perubahan warna membran timpani akibat refleksi dari adanya


cairan didalam kavum timpani,

c) membran timpani tampak lebih menonjal,

d) membran retraksi atau atelcktasis,

e) didapatkan air fluid levels atau bubles, atau

f) mobilitas membran berkurang atau fiksasi.

Otoskop pneumatik/Otosko Siegel

Otoskopi pneumatik diperkenalkan pertama kali oleh Siegle, bentuknya


relatif tidak berubah sejak pertama diperkenalkan pada tahun 1864. Alat ini
dilengkapi dengan dua macam kaca pembesar yaitu Brucnings diagnostic head
untuk diagnostik dan Frenzel operating head untuk tindakan ringan, yang bisa
dihubungkan dengan bola karet untuk membuat tekanan negatif atau positif
pada meatus akustikus eksternus. Mempunyal enam spekulum telinga dengan
berbagal ukuran, yang bisa disesuaikan dengan ukuran meatus akustikus
eksternus dan untuk penerangannya dipakai lampu kepala.13
Otoskopi pneumatik selain bisa melihat jenis perforasi, jaringan
patologi, dan untuk embrana timpan yang masih utuh bisa juga dilihat
gerakannya (mobilitas) dengan jalan memberi tekanan positif maka membrina
timpani akan bergerak ke medial dan bila diberi tekanan negatif maka
membrana timpani akan bergerak ke lateral. Otoskopi preumatik merupakan
standar fisik diagnostik pada OME.13
40

Gambar 2.14 Membran timpani dengan pemeriksaan otoskop pneumatik.


Timpanometri
Timpanometer adalah suatu alat untuk mengetahui kondisi dari sistem
telinga tengah. Pengukuran ini memberikan gambaran tentang mobilitas
membran timpani, keadaan persendian tulang pendengaran, keadaan dalam
telinga tengah termasuk tekanan udara didalamnya, jadi berguna dalam
mengetahui gangguan konduksi dan fungsi tuba Eustachius.14 Grafik hasil
pengukuran timpanometri atau timpanogram dapat untuk mengetahui gambaran
kelainan di telinga tengah. Meskipun ditemukan banyak variasi bentuk
timpanogram akan tetapi pada prinsipnya hanya ada tiga tipe, yakni tipe A, tipe
B dan tipe C.13
Tipe A yaitu gambaran timpanogram dengan puncak yang tajam atau
curam dimana tekanan dalam telinga tengah berkisar antara 0 sampal -100 mm
H20. Tipe ini terdapat pada telinga tengah yang normal, fiksasi, sikatnk atau
diskontinuitas tulang pendengaran.Tipe B bentuknya relatif datar, hal ini
menunjukkan gerakan membrana timpani terbatas karena adanya ciran atau
perlekatan dalam kavum timpani, Grafik yang sangat datar dapat terjadi akibat
perforasi membrana timpani, serumen yang banyak pada liang telinga luar atau
kesalahan pada alat yaitu saluran buntu.13
Timpanogram tipe C bila puncak kurve bergeser pada tekanan negatif
41

dibawah -100 mm H20, keadaan ini terjadi pada tekanan negatif di kavum
timpani sebagai akibat insufisiensi fungsi tuba Eustachius.13

Gambar 2.15 Gambaran tiga tipe timpanogram.

Pemeriksaan Timpanometri dapat memperkirakan adanya cairan


didalam kavum timpani lebih baik dibanding dengan pemeriksaan otoskopi
saja.13

Audiometri
Dari pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan nilai ambang
tulang dan udara. Secara garis besar interpretasi audiogram adalah sebagai
berikut:13
a) Tuli konduksi bila hantaran tulang lebih baik dan hantaran udara sebesar
10 dB dengan hantaran udara diatas 20 dB.
b) Tuli persepsi, bila hantaran tulang sama dengan hantaran udara, keduanya
tidak normal atau lebih dari 70 dB.
42

c) Tuli campuran, bila hantaran tulang berkurang (diatas 20 dB) namun


masih lebih bak dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih,
Gangguan pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien OME
dengan cairan yang kental (glue ear). Meskipun demikian beberapa studi
mengatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara cairan serus dan kental
terhadap gangguan pendengaran, sedangkan volume cairan yang ditemukan
didalam telinga tengah lebih berpengaruh.13
Pasien-pasien dengan OME pada audiogram sering ditemukan gangguan
pendengaran dengan tuli konduksi ringan sampai sedang sehingga tidak begitu
berpengarih dengan kehidupan sehari-hari. Tuli bilateral persisten lebih dari 25
dB dapat mengganggu perkembangan intelektual dan kemampuan berbicara
anak. Bila hal ini dibiarkan bisa saja ketulian bertambah berat yang berakibat
buruk bagi pasien. Akibat buruk ini dapat berupa gangguan lokal pada telinga
maupun gangguan yang lebih umum, seperti gangguan perkembangan bahasa
dan kemunduran dalam pelajaran sekolah. Pasien dengan tuli konduksi yang
lebih berat mungkin sudah didapatkan fiksasi atau putusnya rantai osikel.13
43

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ni Nengah Jejel
Umur : 39 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BeratBadan : 63 kg
Alamat : Songang, Kintamani
Agama : Hindu
Diagnosis pre operasi : Otitis Media Eksudatif Dextra
Jenis pembedahan : Miringotomi
Jenis anestesi : General Anestesi – Laringeal Mask Airway
Tanggal masuk : 30-07 2019
Tanggal Operasi : 31-07-2019
No.RekamMedis 288763
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Telinga terasa tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien perempuan usia 39 tahun datang sadar ke RSU Bangli dengan
keluhan telinga terasa tersumbat dan penurunan pendengaran pada telinga
kanan. Keluhan dirasakan sudah cukup lama sekitar satu tahun belakangan.
Pasien mengatakan keluhan telinga tersumbat dirasakan terus menerus setiap
hari dan semakin memberat sehingga pasien merasa kurang pendengaran
bahkan sampai kadang-kadang tidak dapat mendengar. Pasien mengatakan
keluhan dirasakan secara tiba-tiba sekitar satu tahun yang lalu dan perlahan-
lahan dirasakan semakin memberat dan mengganggu aktivitas. Pasien juga
mengatakan sejak beberapa hari ini telinganya terasa nyeri yang dirasakan
secara terus menerus dan mengganggu pasien. Pasien mengatakan keluhan
44

tidak membaik baik saat istirahat ataupun beraktivitas. Pasien tidak pernah
megalami keluhan yang sama sebelumnya. Keluhan lain seperti batuk, pilek,
pusing disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat Penggunaan zat anestesi (-)
- Riwayat Gastritis (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat Sakit Jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB Paru (-)
- Riwayat stroke (-)
- Riwayat keluarga mengalami keluhan yang sama seperti pasien saat ini,
disangkal oleh pasien
Riwayat Pengobatan : Dekongestan
Riwayat social : merokok (-), alkohol (-), gigi lubang (-),
gigi goyang (-)
45

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status generalis :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 63 kg
Tanda – tanda vital :
1. Tekanan Darah : 110/80 mmHg
2. Nadi : 80 x/menit
3. Respirasi : 20 x/menit
4. Suhu : 36.2oC
5. NRS : 2

B1 (Brain) : E4 V5 M6
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kedua pupil
isokor.
B2 (Breath) :
Inspeksi : Bentuk simetris, gerak pernafasanstatis dan dinamis
simetris, tetraksi sela iga (-).
Palpasi : Fremitus vocal dan taktil simetriskanan dan kiri, tidak
teraba massa, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi -/-, wheezing -/-.
B3 (Blood) :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba sela iga kelima linea
midklavikuka sinistra
46

Perkusi : Batas jantung kiri sela iga V linemidklavikula sinistra, Batas


jantung kanan sela iga V linea parasternal dextra, Batas pinggang jantung
sela iga II linea parastelnal sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, tidak ditemukangallop
maupun murmur.
B4 (Blader) : Urine Spontan
B5 (Bowel) :
Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, datar, tidak ada ditemukan
sikatrik dan massa.
Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit normal.
Palpasi : Nyeri tekan (-), turgor kulit baik hepar tidak teraba mebesar.
Perkusi : Terdengar timpani pada seluruh lapang abdomen
B6 (Bone) : Akral hangat, fraktur (-).

LEMON
• Look eksternal :
• Trauma wajah (-)
• Lebar jarak gigi seri dan bawah normal
• Lidah lebar (-)
• Obesitas (-)
• Evaluated
• Jarak gigi seri atas dan bawah 3 jari
• Jarak hyoid mental 3 jari
• Jarak hyoid thyroid 2 jari
• Mallampati
• Skor 1
47

• Obstruksi
• Epiglositis (-)
• Peritonsilar abses (-)
• Trauma (-)
• Neck
• Mobilitas leher bebas
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah Lengkap : tanggal 30 Juli 2019

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Darah Rutin

Leukosit 8,6 3.5– 10/uL

Hemoglobin 14,9 12 – 16 g/dL

Hematokrit 44,2 37 – 47 %

Eritrosit 5,24 4,3 – 6,0 juta/uL

Trombosit 278. 150 – 400/uL

MCV 84,3 75 – 100 fl

MCH 28,4 25 – 35 pg
48

MCHC 33,7 31- 38 g/dL

Faal Hemostasis

Waktu Perdarahan 1‘30‖ 1-3 menit

Waktu Pembekuan 8‘00‖ 1-6 menit

3.5 Persiapan Praanastesi


a. Persiapan psikis :
- KIE sesuai Surat Izin Operasi (SIO)
- Berdoa
b. Persiapan fisik
- Puasa minimal 8 jam pre operasi untuk makanan padat, makanan lunak
minimal 6 jam, air putih minimal 2 jam pre operasi
- Tidak menggunakkan make up berlebihan
- Mandi bersih
- Tidak menggunakan perhiasan berbahan logam.
3.6 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan:
- Diagnosis pre operatif : Otitis Media Eksudatif Dextra
- Status operatif : ASA I
- Jenis operasi : Miringotomi
- Jenis anestesi : General Anastesi Laringeal Mask Airway
49

3.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengaan status fisik ASA I dilakukan tindakan anestesi dan
diberikan terapi anestesi yaitu:

a. Pramedikasi :
Sedatif :Midazolam 0,05 – 0,1 mg/KgBB  3 mg (IV)
Analgetik : Ketorolac 0,5mg/KgBB  30 mg (IV)
Antiemetik : Ondancentron 0,05-0,1 mg/KgBB  4 mg (IV)
Ranitidine 1-2 mg/KgBB 50 mg (IV)
b. Induksi :
Fentanyl 1-2 µg/KgBB  100 µg (IV)
Propofol 2-2,5mg/KgBB150 mg (IV)
c. Intubasi :
Laringeal Mask Airway ukuran 4
d. Maintenence :
N2O : O2 : Sevofluran : 60: 40 : 2 vol%
Terapi cairan
Maintenance (M) = BB x kebutuhan cairan per jam
= 63 x 1cc/jam
= 63 cc/jam

Jenis operasi (O) = BB x jenis operasi (kecil)


= 63 kg x 2cc/kg
= 126 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
Jam pertama = M + 50% P + O
= 63 cc + 0+ 126 cc
=189 cc
50

e. Pemantauan Selama Anestesi


Melakukan monitoring secara kontinue tentang keadaan pasien yaitu
reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi dan tekanan darah setiap 3 menit.
Respirasi : Inspeksi pernapasan spntan pada pasien & saturasi
oksigen
Cairan : Monitoring input cairan
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)
11.30  Pasien masuk ke kamar 120/70 80 100
operasi, dan dipindahkan ke
meja operasi
 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi, saturasi
O2
 Infuse RL terpasang pada
tangan kiri
 Premedikasi

 Midazolam 3 mg
 Ketorolac 30 mg IV
 Ondancetron 4 mg IV
 Ranitidine 50 mg IV

11.45  Obat induksi dimasukkan 110/75 68 100


secara IV:
 Fentany 100 µg
51

 Propofol 150 mg
Kemudian mengecek apakah
reflex bulu mata masih ada atau
sudah hilang.

 Jika tidak ada, lalu dilakukan


tindakan oksigenasi dengan
face mask dengan sungkup
no. 3, dengan teknik jaw
thrust

11.50  Dilakukan tindakan 110/80 70 99


pemasangan laryngeal
mask airway no 4
 Sambungkan LMA
dengan mesin anestesi.
 Evaluasi dengan
auskultasi kedua lapang
paru .
 Kedua mata pasien
diberikan
ophthalmicointment
(salep mata) dan ditutup
dengan kassa.
 Berikan maintenance
O2: 2 L, N2O: 2 L,
Sevoflurane: 2 vol%
52

 Evaluasi hemodinamik,
saturasi.
11.55  Operasi dimulai 110/80 79 100
 Kondisi terkendali
12.45  Kondisi terkendali 115/67 81 100
 Miringotomi selesai
dilakukan
12.50  Melakukan ekstubasi saat 110/70 75 100
pasien tidak sadar dengan
memperhatikan : nafas
adekuat, hemodinamik stabil,
saturasi, volume tidal.
 Jika syarat terpenuhi,
keluarkan udara dari cuff dan
mengeluarkan LMA.
 Memasang goedel (oral
airway)
 Gas N2O dan Sevoflurane
dimatikan, dan gas O2
dinaikkan menjadi 6%
(oksigenasi) dengan
menggunakan face mask.
 Melihat saturasi pasien,
melihat dada pasien baik
atau tidak dalam bernapas.
 Menilai skor aldrete, bila
skor ≥8 pasien dapat
dipindahkan ke RR.
53

 Gas O2 dihentikan
 Pelepasan alat monitoring
(saturasi dan tensimeter)
 Pasien dipindahkan ke
Recovery Room
13.00  Setelah pasien masuk di 110/78 82 100
Recovery Room, selanjutnya
dilakukan pemasangan alat
monitoring
 Pasien dapat dibangunkan
dan memonitoring keadaan
pasien selama 2 jam post
operasi.
 Menilai skor aldrete, bila
skor 10 pasien dapat
dipindahkan ke ruangan
perawatan.

3.8 Analgetik Post Op


Ketorolac 3x30 mg IV.
54

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan
dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi. Pasien
Perempuan 39 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi miringiotimi
pada tanggal 31 Juli 2019 dengan diagnosis otitis media eksudatif dextra. Persiapan
operasi dilakukan pada tanggal 30 Juli 2019. Dari anamnesis terdapat keluhan telinga
terasa tersumbat dan penurunan pendengaran pada telinga kanan. Keluhan dirasakan
sudah cukup lama sekitar satu tahun belakangan. Pasien mengatakan keluhan telinga
tersumbat dirasakan terus menerus setiap hari dan semakin memberat sehingga pasien
merasa kurang pendengaran bahkan sampai kadang-kadang tidak dapat mendengar.
Pasien mengatakan keluhan dirasakan secara tiba-tiba sekitar satu tahun yang lalu dan
perlahan-lahan dirasakan semakin memberat dan mengganggu aktivitas. Pasien juga
mengatakan sejak beberapa hari ini telinganya terasa nyeri yang dirasakan secara
terus menerus dan mengganggu pasien. Pasien mengatakan keluhan tidak membaik
baik saat istirahat ataupun beraktivitas. Pasien tidak pernah megalami keluhan yang
sama sebelumnya. Keluhan lain seperti batuk, pilek, pusing disangkal. Pemeriksaan
fisik dari tanda vital didapatkan; tekana darah 110/80 mmHg, nadi 80x/menit;
respirasi 20x/menit; suhu 36,2OC, Vas 3. Dari pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan tanggal 30 Juli 2019 dalam batas normal. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk
dalam ASA I yaitu penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa
untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi. Aspirasi isi
lambung, penyebab, akibat dan gejalanya dapat dibedakan oleh 3 bahan aspirat yaitu
berupa asam, partikel (sisa makanan) dan bakteri. Secara umum aspirasi dapat
55

dicegah dengan mencegah isi lambung agar tidak masuk ke faring, aspirasi yang di
faring dijaga tidak masuk trakhea dan paru. Selain bahan aspirat, volume isi lambung
menentukan keparahan akibat aspirasi sehingga jumlah yang cairan masuk paru
diupayakan menjadi lebih sedikit. Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat
terlihat segera setelah kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam
lambung terjadi 2 fase yaitu trauma pada jaringan dan reaksi keradangan. Dalam
waktu 5 detik, asam akan bereaksi dengan mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam
waktu 15 detik telah terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan kehilangan lapisan
sel superfisial yang bersilia dan yang tidak bersilia. Regenerasi terjadi dalam waktu 3
hari, dan dalam waktu 7 hari terjadi regenerasi yang sempurna pada sel yang
mengalami kerusakan. Sel alveolar tipe II sangat peka terhadap asam hidroklorid dan
mengalami kerusakan dalam waktu 4 jam setelah terjadinya aspirasi. Peningkatan
lisophophosphatidyle choline yang cepat dalam 4 jam setelah aspirasi asam
mengakibatkan peningkatan permiabilitas alveolar dan cairan paru (lung water).
Peningkatan cairan paru mengakibatkan menurunkan compliance paru, menurunkan
kemampuan perfusi-ventilasi paru. Pada fase kedua, ditandai dengan pelepasan
sitokin sitokin inflamasi yag terangsang dengan adanya zat asam seperti TNFα dan
interleukin-8. Hal ini akan merangsang ekspresi sel adhesion molecule L-selectin dan
beta-2 integrins pada neutrofil, and intercellular adhesion molecules (ICAM) pada
endothel paru yang selanjutnya merangsang reaksi peradangan (neutrophilic
inflammatory response).15,16
Akibatnya memicu reaksi peradangan yang menyeluruh yang memungkinan
terjadinya kegagalan kardiopulmoner. Aspirasi isi lambung secara bersamaan
menyebabkan terjadi fokus peradangan dan reaksi tubuh terhadap benda asing dengan
kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam. Partikel dan asam lambung
bekerja sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler alveolar. Aspirasi
partikel besar dari isi lambung, akan menimbulkan gejala obstruksi jalan napas, dan
dalam waktu pendek dapat terjadi kematian pasien, oleh karena itu partikel tersebut
harus segera dikeluarkan, dan dilakukan oksigenasi dan ventilasi untuk menghindari
56

hipoksia, dan segera dilakukan intubasi untuk mencegah aspirasi selanjutnya. Isi
lambung tidak steril sehingga aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri. 60-100%
terdiri dari kuman anaerob. Gabungan kuman aerob dan anaerob sering dijumpai pada
aspirasi pneumoni yang terjadi di rumah sakit. Pseudomonas aeroginosa, Klebsiella
dan Escheresia colli merupakan kuman gram negatif yang banyak dijumpai sebagai
penyebab pneumonia nosokomial. Staphylococcus aureus merupakan kuman gram
positif yang patogen. Kuman gram negatif yang dijumpai pada pemakaian ventilator,
34% berasal dari aspirasi isi lambung dan sekret orofaring, dan diduga merupakan
penyebab kematian pneumonia pasca bedah. Penggantian puasa juga harus dihitung
dalam terapi.14,16
Pemilihan teknik anestesi pada pasien adalah anastesi umum dengan
pemasangan laryngeal mask airway. Alasan pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan
indikasi sebagai berikut:
- Lokasi pembedahan pada daerah kepala (telinga).
- Posisi pasien saat operasi adalah terlentang
- Induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan cukup lama
- Manipulasi yang dilakukan yaitu manipulasi liang telinga.
- Jenis kelamin pasien, dimana perempuan memiliki tingkat kecemasan yang
lebih besar dari laki-laki.
- Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui keadaan pasien baik
Pasien masuk ke ruang operasi pada pukul 11.30 WITA dilakukan pemasangan
monitoring tekanan darah, nadi, saturasi, dengan hasil tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 80x/menit, dan SpO2 100%. Pada pasien ini, urutan tindakan anastesi dimulai
dari preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.
Pasien diberikan obat-obat premedikasi bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman bagi pasien, mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus,
memperlancar induksi, mengurangi dosis obat anestesia, mengurangi rasa sakit dan
gelisah paska bedah, menimbulkan amnesia retrograde
Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut:
57

4.2 Premedikasi
- Analgesik : ketorolac injeksi 30 mg (IV)
Konsentrasi 30 mg/ml dalam dalam 1 Ampul 1 ml
Diberikan secara intravena.Dosis untuk bolus intravena harus diberikan
selama minimal 15 detik.Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV
maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai
dalam 1 hingga 2 jam.Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4
sampai 6 jam bila diperlukan dosis maks 90mg/hari, pada manula, gangguan
faal ginjal, dan BB <50kg dibatasi maks 60mg/hari. Efek pemberian obat ini
yaitu menghambat biosintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu
reseptor opioid di sistem saraf pusat dimana mekanisme kerjanya menghambat
enzim siklooksogenase (COX 1). Selain menghambat sintese prostaglandin,
juga menghambat tromboksan A2 sehingga memiliki efek anti inflamasi. Pada
pasien ini diberikan ketorolac injeksi 30 mg IV dengan tujuan untuk
mendapatkan efek analgesia yang terkandung dalam ketorolac sehingga dapat
mengurangi nyeri pada pasien.14,16
- Antiemetik : ondancentron injeksi 4 mg (IV)
- Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB
Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis selektif 5-HT3,
menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer.
Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di
chemoreceptor trigger zone. Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan
saraf vagus terminalis di visceral yang menghantar impuls eferen dari saluran
cerna ke pusat muntah.Onset 30 menit, dengan durasi 3 jam.Pada pasien ini
diberikan ondancentron 4 mg (IV) untuk mendapatkan efek emetik sehingga
pasien tidak merasakan mual ataupun muntah saat dilakukan induksi operatif
ataupun pasca operatif. 16,17
- Ranitidine injeksi 50 mg (IV)
58

Konsentrasi 50 mg/2 ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 1-2 mg/kgBB


Efek pada Gastrointestinal, ranitidine bekerja dengan menghambat secara
kompetitif reseptor histamin H2 menghambat kerja histamin secara kompetitif
pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung.Dosis intravena
intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg setiap 6-8 jam.Jika
perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi
pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg perhari.Pada pasien ini
diberikan ranitidine injeksi 50 mg (IV) untuk mendapatkan mencegah agar
tidak terjadinya aspirasi ke paru-paru.14,16,17
4.3 Induksi
- Fentanyl injeksi 100 mcg (IV)
Konsentrasi 0,05 mg/ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 12mcg/kgBB
Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama bekerja
sentral pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan meningkatnya ambang
batas nyeri, mengurangi persepsi nyeri menghambat serabut saraf nyeri
ascending, menyebabkan depresi nafas dan sedasi.Pada dosis lazim kesadaran
pasien menurun dan khasiat analgetiknya yang kuat.Onset 30-120 detik dengan
durasi 30-60 menit. Dosis 1-2 mcg/kgBB IV. Tujuan dari pemberian fentanyl
adalah untuk meningkatkan kualitas analgesia intraoperative dan dapat
menghasilkan onset 1 sampai 2 menit dan dari analgesia berdurasi 30 menit
sampai 1 jam.16
- Propofol injeksi 100 mg (IV)
Konsentrasi 10 mg/ml dalam 1 ampul berisi 20 ml, dosis pemberian 2-
2,5mg/kg/BB.
Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik melalui interaksinya
dengan reseptor GABA dengan cara meningkatkan GABA. Pada pemberian
dosis induksi (2 mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung cepat, pasien
akan bangun 4-5 menit tanpa disertai efek samping. Khasiat farmakologinya
adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot.
59

Walaupun terjadi penurunan tonus otot rangka, hal ini disebabkan oleh efek
sentralnya Induksi anestesia 2,0-2,5 mg/kgBB. Pada bayi dan lansia dosis
disesuaikan.Pasien tua memerlukan dosis induksi lebih rendah 25% - 50% dari
dosis lazim.16
Pemasangan LMA pada pasien dilakukan berdasarkan indikasi yang
telah disebutkan di atas. Untuk pemasangan LMA membutuhkan kedalaman
anastesi yang lebih besar. Pada pasien tersebut diberikan propofol dengan dosis
150mg untuk mencapai kedalaman anastesi yang optimal. Selama operasi
berlangsung dilakukan pemantauan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, dan
saturasi oksigen setiap 5 menit secara efisien dan terus menerus, dan pemberian
cairan intravena berupa RL. Cairan yang diberikan adalah RL (Ringer Laktat)
karena merupakan kristaloid dengan komposisinya yang lengkap (Na+, K+, Cl-,
Ca++, dan laktat) yang mengandung elektrolit untuk menggantikan kehilangan
cairan selama operasi, juga untuk mencegah efek hipotensi akibat pemberian
obat-obatan intravena dan gas inhalasi yang mempunyai efek vasodilatasi.10,15
Pada pasien ini diberikan maintanance O2 : N2O : sevofluran = 40 : 60 :
2vol% secara inhalasi dalam kasus ini yaitu face mask dengan tujuannya yaitu
untuk memperpanjang durasi obat induksiagar terpenuhinya trias anestesia
yaitu hipnotik analgesia dan relaksasi otot.1
Selama operasi keadaan pasien stabil. Setelah operasi selesai,
selanjutnya melakukan ekstubasi saat pasien tidak sadar dengan memperhatikan
syarat ekstubasi: nafas adekuat, hemodinamik stabil, saturasi, volume tidal.Jika
syarat terpenuhi, keluarkan udara dari cuff dan mengeluarkan OTT, kemudian
memasang goedel (oral airway)dan gas N2O dan Sevoflurane dimatikan, dan
gas O2 dinaikkan menjadi 6% (oksigenasi) dengan menggunakan face
mask.Serta melihat saturasi pasien, melihat dada pasien baik atau tidak dalam
bernapas.Menilai skor aldrete, bila skor ≥8 pasien dapat dipindahkan ke
ruangan perawatan.
60

Gas O2 dihentikandan observasi dilanjutkan pada pasien di recovery


room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi,
respirasi dan saturasi oksigen dan menghitung aldrete score.15,16

4.4 Post operasi


Terapi Analgetik
Pada pasien ini diberikan : Ketorolac 3x30 mg. Pemberian analgetik post
operasi pasien tersebut pada pasien ini digolongkan sebagai nyeri akut
berdasarkan WFSA Analgesic Ladder dimana pada awal pemberian obat dimulai
dari injeksi opioid kuat, analgesik lokal, dan NSAIDs dengan NRS pasien 3
sehingga pada pasien ini menggunakan analgetik NSAIDs.17
Ketorolac merupakan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs). Ketorolac
60 mg diberikan secara intravena. Mulai timbulnya efek analgesia setelah
pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum
analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam.Durasi median analgesia umumnya 4
sampai 6 jam. Dosis awal yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–30
mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan dosis maks 90mg/hari, pada manula,
gangguan faal ginjal, dan BB <50kg dibatasi maks 60mg/hari. Efek pemberian
obat ini yaitu menghambat biosintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu
reseptor opioid di sistem saraf pusat dimana mekanisme kerjanya menghambat
enzim siklooksogenase (COX 1). Selain menghambat sintese prostaglandin, juga
menghambat tromboksan A2 sehingga memiliki efek anti inflamasi. 17

Terapi PONV (Postoperative Nausea and Vomiting)


Salah satu efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anastesi
umum yakni mual dan muntah. Pada pasien ini, pasca operasi mengeluh mual
dan muntah lebih dari 5 kali. Pasien mengeluh mual dan muntah lebih terasa jika
melakukan perubahan posisi. Pada kondisi ini pasien diberikan Ondasentron 4
mg k/p. Setelah 2 jam pemberian Ondasentron 4 mg iv, pasien mengaku keluhan
61

mual dan muntah sudah berkurang. Hal ini sebanding dengan literatur dimana
prosedur pada telinga tengah sering menyebabkan mual dan muntah, Karena
telinga mempunyai bagian erat yang terlibat dengan keseimbangan. Operasi
telinga dapat menyebabkan pusing (vertigo) pascaoperasi dan mual pasca operasi
dan muntah (PONV). Banyak obat yang terbukti efektif, termasuk infus propofol,
granisetron, transdermal scopolamine, ondansetron, droperidol, dan eliminasi
N2O. PONV dapat dikontrol dengan dosis iv obat potensial antiemesis (contoh
droperidol, 0,01/kg: ondansetron, 0,05 mg/kg; atau dolasetron, 0,20 mg/kg)
10,11
diberi selama pembedahan.
62

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Otitis media efusi (OME) adalah suatu penumpukan cairan dalam
telinga tengah dengan membrane timpani yang masih utuh tanpa disertai
tanda-tanda infeksi akut. Adanya cairan di dalam telinga tengah
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran.
Dalam banyak kasus OM merespon merespon antibiotik, namun
infeksi berulang biasanya memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan
sebuah lubang di gendang telinga (miringotomi) untuk mengurangi tekanan
dan mengalirkan sekresi telinga tengah. Anestesi umum, contoh dengan
Laryngeal Mask Airway, cukup memuaskan. Sebuah tekanan kecil penyama
logam (equalizing metal) atau tabung plastik (plastic tube) umumnya
dimasukkan untuk menjaga lubang terbuka dan mencegah akumulasi cairan.
Tabung ini berada di lubang tersebut selama enam bulan dan akan terlepas
secara spontan.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien ini adalah anastesi umum
dengan pemasangan laryngeal mask airway. Alasan pemilihan teknik anestesi
ini berdasarkan lokasi pembedahan, posisi pasien saat operasi, induksi dan
pemeliharaan anestesi, dan manipulasi.

5.2 Saran
Pada terapi pembedahan otitis media efusi (OME) sebaiknya
menggunakan general anestesia dengan pemasangan laryngeal mask airway.
Sebaiknya pemantauan post operatif nausea dan vomiting (PONV) pada
pasien miringotomi menggunakan obat potensial antiemesis salah satunya
yakni ondancetron 0,05 mg/KgBB. Untuk terapi analgetik post op nyeri akut
sebaiknya menggunakan WFSA analgetik ladder.
63

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda, Gde, Agung. 2017. Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Renimasi. Penerbit PT. Macan Jaya Cemerlang: Jakarta.
2. Robinson DH, Toledo AH. Historical development of modern anesthesia.
2012.
3. Olutoyin O.A.George. Anesthesia for ear, nose, and throat (ENT) surgery.
Chapter17.p(469-470).Anesthesia Care of Pediatric patient.2014.
4. Donlon JV. Anesthesia for eye, ear, nose, and throat surgery. In: Miller RD,
ed. Anesthesia. 5th ed. New York: Churchill Livingston. 2000. p(2173-98)
5. Reena AB. Thomas RG. 2016. Ear anatomy : overview, Embryology, and
gross anatomy. Cited 1 Agustus 2019. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1948907-overview
6. Aage, RM. Anatomy,Physiology,and disorders of the auditory
system.2nd.2006.p(3-9)
7. Alexander B, Richard W. Open access atlas of otolaryngology, head & neck
operative surgery. Local and regional anaesthesia technique for otologic
(EAR) surgery. 2012
8. Miller‘s Anesthesia. Ronald D Milller, International Edition, Volume 2.
2010. p(2364-66).
9. David EL, David LB. Anesthesia for Otorhinolaryngologic (Ear, Nose,
Throat) Surgery. Anesthesiology. 2nd. 2012. p(1226-28)
10. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange
Medical Books Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York
11. Paul GB. Bruce FC. Clinical Anesthesia. 5th. 2001. p(1002-3).
12. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas
Kedokteran. 2012.
13. Widodo, Agus., Soepriyadi. 2008. Diagnosing Otitis Media With Effusion.
Surabaya: Universitas Airlangga.
14. Latief S, A., Suryadi K, A., Dachlan M, R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI: Jakarta.
15. Moore KL. 2002. Anatomi klinis dasar. Dalam. Jakarta: EGC.
16. Ting,H.Paul. Intravenous Anesthetic. Available at :
http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 21 Februari
2019
th
17. Goodman and Gilman‘s.1985. The pharmacological bases of therapeutics. 7
edition. New York : Mac Millian Publishing Co. Inc
18. Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi.Jakarta:Departemen
anestesiologi dan intensive care RS Cipto Mangunkusumo;2012.h.197—207.
64

19. Katzung BG..Basic & clinical pharmacology.10th ed.USA : The McGraw-Hill


Companies; 2007.
20. Brunton LL, Parker KL.Goodman&gillman :manual of pharmacology and
therapeutics. USA : The McGraw-Hill Companies;2008.p.221-53.
21. Beauchamp, Evers, Mattox. Sabiston textbook of surgery.19th
ed.Canada:Elsevier;2012.p.405

Anda mungkin juga menyukai