BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Pengertian
tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap
2.1.3. Biomolekuler
base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C). Dari hasil
pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik
elemen sisipan. Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi
2006)
2.1.4. Epidemiologi
yang mengalami kematian sekitar 14-37 orang pertahun dari 100. 000
TB dan 1,5 juta meninggal karena penyakit TB, 360. 000 di antaranya
45% antara tahun 1990 dan 2013 dan prevalensi TB turun 41%.
TB pada tahun 2013 adalah India (2,0 juta-2,3 juta), China (0,9 juta-1,1
(Kemenkes, 2011).
2.1.5. PATOGENESIS
1) TUBERKULOSIS PRIMER
jaringan paru akan membentuk sarang pneumoni, disebut sarang primer atau
afek primer. Dari sarang primer akan masuk ke saluran getah bening menuju
integrum)
sebagai epituberkulosis
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu
sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut:
disebutkan di atas
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
iv) bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
2006)
2.1.6. IMUNOPATOGENESIS
innate immunity dan imunitas spesifik didapat. Imunitas spesifik yang didapat
dibagi menjadi respon imun selular yaitu sel T dan makrofag yang teraktivasi
chemokines dan molekul antimikroba serta aktivasi RVD yang dapat meginduksi
antimicrobial peptides yang berfungsi untuk membunuh bakteri. Sel NK, γδT cells dan
cytotoxic factor dan mensekresikan IFN-γ yang dapat mengaktifkan makrofag. (Abul
K. Azad, 2012).
efek mycobactericidal.
1, IL-6, IL-8, IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang
penting.
Sitokin mengatasi infeksi secara sempurna dan efisien melalui koordinasi respon
imun melalui sitokin (cytokin network). Sitokin proinflamasi berperan dalam terjadinya
migrasi sel-sel leukosit ke tempat kuman. Sel makrofag dan sel dendrit akan memproduksi
IL-12, IL-18, IL-1, IL-16, IL-12 merupakan sitokin yang meregulasi dihasilkan makrofag
dijumpai pada pasien tuberkulosis, sedangkan IL-10 diproduksi oleh makrofag dan sel T
mempunyai efek antagonis terhadap respon sitokin proinflamasi yaitu, menekan produksi
IFN-γ, TNF-α dan IL-2. Sel T dan makrofag memproduksi tumor nekrosis factor-α (TNF-
α). Pembentukan granuloma dipengaruhi oleh TNF-α, IFN-γ, TGF-ß dan limfotoksin α3.
Transforming growth factor beta (TGF-ß) dan IFNγ berfungsi meningkatkan produksi
metabolit nitic oxide syntase (iNOS) dan membunuh bakteri TB serta pembentukan
Sistem imun innate imunity akan mengeleminasi basil M. tuberkuloasis melalui kerja
sama antara alveolar makrofag dan NK sel melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF-α
dan INFγ. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-
sel pertahanan (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada
limfonodi regional, terjadi perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali basil
tersebut. Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem
imun alamiah. Makrofag dan sel dendritik memberi respon utama dalam memicu respon
imun innate terhadap kuman TB sekaligus memicu imunitas adaptif. Sel makrofag dan sel
1. Molekul MHC klas II mempresentasikan antigen ke sel T CD4+ yang spesifik kemudian
2. Molekul MHC klas I yang diekspresikan seluruh sel yang berinti mempresentasikan
3. Molekul MHC klas non polimorfik yang dipresentasikan oleh makrofag dan sel
dendritik kepada sel TCD1 terjadi sebelum terbentuknya antigen secara spesifik
reseptor komplemen (CR1, CR3, CR4), reseptor mannose dan molekul reseptor sel lainnya.
Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami opsonisasi pada komplemen C3, akan
menempel pada C1, C3, C4, karena apabila C3 tidak mengalami opsonisasi maka fungsi
makrofag dan sel dendrit sebagai fagositosis antigen mengalami penurunan 70-80%.
Gambar 2.2. Adaptive immunity terhadap infeksi tuberkulosis (Tri Mulyati 2013)
Keterangan :
Makrofag yang terinfeksi dan sel dendritik mensekresikan sitokin IL-12, IL-23, IL-7,
IL-15 and TNF-α dan menyajikan antigen kepada CD4+ T cells (MHC class II), CD8+ T
cells (MHC class I), CD1-restricted T cells (glycolipid antigens) dan γδ T cells
diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ sel T melalui MHC kelas II. Sedangkan antigen
protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di presentasikan kepada CD8+ sel T
melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki reseptor sel T (TCR) dipermukaan sel
dan berikatan secara non kovalen dengan CD3 berguna untuk transuksi signal antigenik ke
sitoplasma. Sel Th yang disebut Th17 diproduksi dengan adanya IL-23 dan memproduksi
IL-17 yang penting untuk modulator inflamasi dan recall memory response. Sel Th17 dapat
chemokine. Namun IFN-γ memiliki pengaruh untuk mensupresi IL-17 yang memproduksi
bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan sel-T. Selama interaksi
antara anti gen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi pada berbagai organ, sel-T spesifik
memproduki IFN-γ dan mengaktifkan fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi
enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang menurunkan
pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri. Akan tetapi sering terjadi
keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi sebagian masih ada yang hidup dan tetap
bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis
Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh didominasi oleh pembentukan elemen
nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemen-elemen nekrotik ini akan selalu
dikeluarkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas. Pembentukan dan kelangsungan hidup
granuloma dikontrol oleh sel-T, dimana komunikasi antara sel-T dan makrofag di perantarai oleh
sitokin. IL-1, TNF-α, GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-γ dan TNF-β merupakan sitokin yang
Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam imunitas terhadap
tuberkulosis. Pada sistem ini, INF-γ telah diidentifikasikan sebagai sitokin utama untuk
Pembentukan granuloma dan kavitas dipengaruhi oleh berbagai macam sitokin sebagai hasil
interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang teraktivasi serta berbagai macam komponen
Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui berbagai reseptor
antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem komplemen pada permukaan sel
kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui peranan fibronektin binding protein pada
proses fagositosis oleh sel fagositik mononuklerar. Dalam endosomal sel fagositik mononuklear
Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber penularan
adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita tuberkulosis paru
batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau
dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap
tidak menular. Risiko penularan setiap tahun Annual Risk Of Tuberculosis Infection
(ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi,
kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita
tuberkulosis paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita
tuberkulosis. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan
ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita setiap tahun,
kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis paru adalah karena daya tahan
tubuh yang lemah, di antaranya karena gizi buruk dan HIV/AIDS. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi
infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis paru maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi
HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat pula, dengan
Faktor risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru, secara ringkas digambarkan pada gambar
berikut :
Suspek TB paru
Antibiotika Non-AOT
Foto toraks dan
pertimbangan dokter
Tidak ada Ada
perbaikan perbaikan
BUKAN TB
Gejala tuberkulosis dapat dibagi 2 yaitu gejala lokal (organ terkena disebut gejala
1) Gejala respiratorik
b) batuk darah
c) sesak napas
d) nyeri dada
2) Gejala sistemik
a) Demam
menurun
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
1) Dahak
istilah SPS Dahak yang baik untuk di periksa adalah dahak yang
juga bukan ludah, jumlahnya 3-5ml tiap pengambilan. Pada orang dewasa
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
Biasanya kelainan lokasi ditemukan pada satu lobus, lebih sering terkena
pada paru kanan, terutama pada lobus bagian bawah, lobus tengah dan
lingula kiri serta segmen anterior lobus atas. Limfadenopati terjadi pada hilus
sekitar 15% kasus. Pada TB primer bisa terjasi kavitas terletak daerah apeks
Terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya. Selama infksi primer kuman
terbawa aliran darah kedaerah apeks dan segmen posterior lobus atas dan ke
bawah
b) Kavitas terutama lebih dari satu dan dikelilingi konsolidasi atau nodul
a) Fibrosis
b) Kalsifikasi
c) Penebalan pleura
3) Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
(multiform).
1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
1) Fibrotik
2) Kalsifikasi
Secara radiologis proses dinilai tenang bila dalam jangka waktu 3 bulan hasil
foto torax sama. Bila dalam follow up dijumpai pleuritis dan penyebaran milier
secara merata dikedua paru yang menyerupai gambaran badai kabut dan
penyebaran sampai ke ginjal, tulang, sendi dan selaput otak. Luas lesi yang
a) Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kavitas
b) Lesi lanjut sedang, bila luas sarang-sarang yang berupa bercak tidak
melebihi luas satu paru, bila ada kavitas ukurannya tidak lebih dari 4 cm,
c) Lesi sangat lanjut, luas lesi melebihi lesi minimal dan lesi lanjut sedang,
Perubahan hasil foto toraks setelah 2 bulan terdiagnosa penyakit TBC. Untuk
melihat perbaikan pada penderita TBC maka ada hasil ukur yang digunakan
adalah berapa banyak zona paru yang mengalami kerusakan berupa actie
a) Zona atas kanan (right upper zone) yang dibatasi dari atas sampai akhir
b) Zona atas kiri (left upper zone) yang dibatasi dari atas sampai akhir iga
c) Zona tengah kanan (right middle zone) yang dibatasi dari bawah iga
d) Zona tengah kiri (left middle zone) yang dibatasi dari bawah iga kedua
e) Zona bawah kanan (right lower zone) yang dibatasi dari bawah iga
f) Zona bawah kiri (left lower zone) yang dibatasi dari bawah iga keempat
5) Pemeriksaan khusus
1) Pemeriksaan BACTEC
c) Mycodot
e) Imunoglobulin anti TB
2.2. VITAMIN D
Vitamin D adalah hormon steroid yang telah lama dikenal karena perannya yang
penting dalam mengatur kadar kalsium tubuh, dan mineralisasi tulang. Vitamin D
merupakan turunan dari molekul steroid salah satu turunan dari kolesterol. Fungsi
besar kerja vitamin ini diperantarai oleh reseptor nukleus yang mengatur ekspresi
gen. Terdapat dua bentuk aktif vitamin yaitu vitamin D2 dan vitamin D3. Vitamin
D2 atau dikenal juga dengan nama ergokalsiferol ini berasal dari turunan senyawa
lanjut dalam waktu beberapa jam untuk membentuk kolekalsiferol yang diserap
kedalam aliran darah. (Bambang 2011, Hemant K Bid 2011, Roth DE 2004).
yang kompleks pada sistem kekebalan tubuh dengan cara penghambatan aktivitas
yang berbeda. Di dalam tubuh, kedua jenis prekursor vitamin D tersebut akan
hormonal dari vitamin D. Proses sintesis akhir ini terutama terjadi di tubulus ginjal.
Sintesis calcitriol di ginjal, diatur oleh 2 hormon yang memiliki peran berkebalikan.
Vitamin D memiliki fungsi dalam sistem kekebalan tubuh, baik yang bersifat
alamiah non spesifik maupun kekebalan spesifik, yang mempunyai peran penting
bentuk aktifnya [1, 25 (OH) 2D] yang meningkatkan fungsi cathelicidin, suatu
peptida yang memiliki sifat antimikroba baik terhadap gram positif maupun negatif
juga bersifat antivirus dan antijamur salah satunya peptida untuk M. tuberculosis.
netrofil, makrofag dan epitel akan meningkatkan sintesis cathelicidin yang belum
yang aktif (LL37), yang akan menyebabkan lisis bakteri dengan cara destabilisasi
membran sel bakteri. Di sisi lain, invasi mikroorganisme dalam tubuh memicu
cathelicidin oleh vitamin D akan meningkat. Proses ini akan terjadi apabila tersedia
cukup 25-OHD.
Beberapa ahli telah menemukan hubungan antara kadar vitamin D dalam tubuh
dan D3 yang berasal dari makanan dan hasil konversi sinar matahari (vitamin D3)
oleh enzim 25-hidroksilase di dalam retikulum endoplasma hati yang oleh enzim 1-
hormon imunomodulator yang berperan penting pada sistem imun. Hormon tersebut
akan meningkatkan regulasi imun bawaan melalui fagositosis oleh monosit atau
serta menurunkan regulasi acquired immunity melalui inhibisi ekspresi MHC kelas
Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang dapat menerangkan mengapa
lainnya. Gen reseptor vitamin D (RVD) merupakan salah satu gen kandidat penting
dari gen non-MHC yang berperan pada kejadian TB. Varian polimorfisme dari gen
RVD yang merupakan suatu reseptor hormon inti. Varian polimorfisme gen RVD
disebabkan oleh beberapa hal: 1) Defisiensi dan atau fungsi enzim 25-hidroksilase
yang berkurang di dalam retikulum endoplasma hati dan atau enzim 1-alfa-
merupakan gejala yang umum pada pasien TB, yang timbul beberapa saat sebelum
terjadinya infeksi TB, sehingga terjadi masukan vitamin D yang rendah. 3) Vitamin
M. tuberculosis, mulai dari masa inkubasi sampai terjadi infeksi TB. 4) Kadar
vitamin D dalam darah selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial dan nutrisi,
juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Kadar vitamin D dalam darah yang rendah
terdapat pada sel monosit, makrofag, dan limfosit. Faktor genetik yang
D3 bekerja melalui RVD, RVD diaktifkan oleh sel T dan B. Vitamin D reseptor
(RVD) secara genetik terletak pada lengan kromosom 12 yaitu 12q13.11 mulai dari
posisi 47.841.536 bp hingga 47.905.030 bp. Gen ini berukuran kurang lebih 75 kb,
terdiri dari 9 ekson, ekson I mengandung 6 subunit (1a-1f) yang merupakan regio
yang tidak ditranslasi (UTR), sedangkan 8 ekson lainnya mengkode protein gen
RVD yang terdapat pada sel monosit, limfosit T, limfosit B. VDR memiliki berat
sekitar 48,3 KD yang terdiri dari sekitar 427 asam amino. Ekson II dan III
vitamin D. RVD berinteraksi dengan reseptor asam retinoic X (RxR) kebentuk kompleks
heterodimer (RxR-VDR) dan mengikat DNA spesifik dinamakan vitamin D respon elemen
(VDRE). RVD mengatur aktivitas transkripsi dari 1, 25 (OH) 2 D 3 - gen responsif dengan
kompleks respon vitamin D, Unsur yang terletak di daerah promotor gen target. (Holick,
2007) Reseptor vitamin D (RVD) mempunyai variasi alel yang mempengaruhi aktivitas
reseptor dan selanjutnya efek vitamin D dimediasi seperti penyerapan kalsium , ekskresi dan
modulasi proliferasi sel dan diferensiasi. Protein pada RVD terdiri dari Zink Finger DNA
binding dan mengaktifkan proses transkripsi atau perubahan DNA menjadi mRNA di inti sel.
RVD memiliki afinitas yang besar terhadap calcitrol. Setelah mencapai organ target, calcitrol
akan terlepas dari protein pengikatnya kemudian masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan
RVD membentuk 1,25 (OH)2 RVD kompleks. Beberapa polimorfisme telah diidentifikasi di
gen RVD. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan variasi alel gen RVD di berbagai
populasi. Salah satu DNA yang dikenal urutan varian adalah timin / sitosin (T / C)
polimorfisme dalam pertama dari dua potensial awal (ATG) kodon dipisahkan oleh 3 kodon.
Polimorfisme yang telah diidentifikasi pada gen RVD adalah Bsm-1, Apa-1, diintron 8 (T ke
G), Taq-1 exson 9 (T ke C), Fok-1 (C ke T). Hasil polimorfisme dalam dua alel yang dapat
'RVD, dalam intron antara ekson 8 dan 9. Perubahan ekspresi mRNA RVD diperlihatkan
dengan varian genotip dari gen RVD (Bid et al, 2009) Hasil penelitian Hadad pada populasi
orang sehat diSyria ditemukan bahwa polimorfisme gen RVD dipengaruhi oleh etnis, hasilnya
menunjukkan distribusi polimorfisme gen TaqI dan ApaI dipengaruhi etnis, hal ini
(Haddad, 2014).
Regulasi fungsi imun berdasarkan peranan vitamin D dan metabolit aktifya 1,24 (OH)2D3
adalah:
1. Adanya RVD pada makrofag, sel monosit, sel limfosit T dan B yang teraktivasi
3. Kemampuan 1,25 (OH)2D3 untuk mengatur proliferasi dan fungsi makrofag, sel monosit
Pada tahun 2006, Liu dan rekan membuktikan bahwa M. tuberkulosis oleh Toll-like reseptor
2/1 (TLR2 / 1) kompleks meningkatkan ekspresi vitamin D reseptor (RVD) dan CYP27B1
tuberkulosis. (Bambang 2011, Hemant K Bid 2011, Roth DE 2004). Beberapa peneliti
menunjukkan hasil berbeda mengenai keterlibatan polimorfisme ApaI pada infeksi TB:
Penelitian Liu (2006), serum dari donor dengan vitamin D yang cukup mampu merespon
cathelicidin untuk merespon sistem imun bawaan, menunjukkan bahwa regulasi transkripsi
dari cathelicidin dapat dimediasi oleh aktivasi 1,25-dihydroxivitamin D. Hal ini didukung
penelitian Adams, menggunakan serum dari pasien dengan konsumsi vitamin D mampu
merespon aktivasi TLR yaitu produksi defensin-2 dan cathelicidin: dua antimicrobical
secara in vitro.
sentral pada kekebalan bawaan untuk mycobacteria, dengan cara langsung membunuh dan
modulasi kekebalan. Telah terbukti bahwa cathelicidin LL-37 menjadi kunci komponen
penghubung vitamin D3-dependent imunitas dan autophagy. (Siswanto 2009, Shadden 2014)
genotipe dan alel menurut etnisitas. Hal ini memerlukan perbandingan genotipe dan alel
frekuensi antara individu yang sehat dan pasien dalam setiap populasi untuk
membandingkan genotipe dan frekuensi alel. Ditemukan genotipe dan alel frekuensi RVD
(Taq-I dan Apa-I) pada populasi Suriah adalah adanya perbedaan hasil disetiap dunia. Hal
ini didukung penelitan Gao bahwa polimorfisme gen reseptor vitamin D dipengaruhi oleh ras
suku bangsa. Kaitan polimorfisme gen reseptor vitamin D terhadap kejadian infeksi TB lebih
Kebutuhan vitamin D berbeda untuk tiap orang berdasarkan usia dan kondisi khusus
sepeti kehamilan. Namun para ahli menyatakan defisiensi vitamin D terjadi apabila
kadar 25-OHD kurang dari (< 20ng/ml). Insufficiency 21-29 apabila kadar 25-OHD
21-29 ng/ml. Sufficiency apabila Kadar 25-OHD > 30ng/ml, dan kadar toksik
didefinisikan apabila kadar 25-OHD > 150 ng/ml yang diikuti dengan
3 minggu, sedangkan waktu paruh 1,25 [OH]2D (calcitriol) selama 4-6 jam. Kadar
25-OHD mencerminkan asupan total vitamin D yang berasal dari makanan maupun
kalsium serta hormon paratiroid. Kadar 25-OHD yang berada di sirkulasi juga
tuberculosis. Vitamin D3 diubah sebagai ekspresi RVD mengatur tipe I dan tipe II
IU/hari, dewasa berusia 50-70 tahun dan bayi membutuhkan 400 IU/hari, Dewasa
Penggunaan dosis vitamin D yang sudah diteliti pada penderita tuberculosis paru
adalah: Hasil penelitian Salahuddin 2013 yang melibatkan 259 subyek penelitian dengan
intramuskular mempercepat perbaikan klinis dan radiologis pada seluruh pasien TB.
Hasil penelitian Martineau at all, 2014, bahwa dosis oral 2.5mg (100.000 IU) dari
penelitian Dini and Bianchi 2012, bahwa pemberian vitamin D 2,5 mg oral meningkatkan
Indonesia adalah dilakukan oleh (Siswanto, 2009) bahwa dengan pemberian vitamin D
pada pasien tuberculosis paru menunjukkan perbaikan hasil foto rongent dengan
pemberian vitamin D oral 800 IU perhari. Hasil penelitian Budi Setiawan 2010
proporsi genotipe terbanyak dan ApaI pada kelompok kasus TB, sedangkan pada
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara.
Nama Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku
bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur. Suku bangsa yang
dikategorikan ke dalam suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-
nilai kehidupan suku bangsa Batak diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari
nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Didalam
menjalankan kehidupan suku bangsa Batak terutama interaksi antara sesama manusia
dibuatlah nilai-nilai antara sesama, etika maupun estetika yang dinamai Adat. Dalam tata
setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi
Sumber vitamin D
3.(makanan dan suplemen vitamin D+konversi SM)
Hidroksilase
Vitamin D2 dan D3
enzim 25-hidroksilase
25-(OH)D
enzim 1α-hidroksilase
4. Proteksi
autoimunitas
Th 1 Th 2
Riwayat penyakit
Merokok
HIV TB Status gizi
Alkohol
- OAT + Vit D