Anda di halaman 1dari 35

28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TUBERKULOSIS PARU

2.1.1. Pengertian

Tuberkulosis merupakan penyakit menular disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis yakni kuman aerob yang dapat

hidup terutama di paru atau di berbagai tubuh organ lainnya yang

mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Penyakit ini

menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil

tuberkulosis (Tabrani, 2010)

2.1.2. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit

melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul, berukuran lebar 0,3–

0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Penyusun utama dinding sel M.

tuberculosis adalah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),

trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial

sulfolipids yang berperan dalam virulensi. M. tuberculosis bersifat

tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap

upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu

komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.

Universitas Sumatera Utara


29

tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi

monoklonal. (PDPI, 2006)

2.1.3. Biomolekuler

Genom Mycobacterium tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega

base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C). Dari hasil

pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik

yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan

sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA

target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen

protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti

elemen sisipan. Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi

protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut

panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen G menyandi

katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein

ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase. (PDPI,

2006)

2.1.4. Epidemiologi

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang masih menjadi

perhatian dunia karena sepertiga populasi dunia berpotensi tertular

tuberkulosis paru pada usia rata-rata 15-55 tahun. Jumlah penderita TB

yang mengalami kematian sekitar 14-37 orang pertahun dari 100. 000

populasi penduduk di Indonesia. (WHO 2014). Laporan WHO

Universitas Sumatera Utara


30

menyebutkan pada tahun 2013, diperkirakan 9.000.000 orang terkena

TB dan 1,5 juta meninggal karena penyakit TB, 360. 000 di antaranya

adalah HIV-positif. Pada tahun 2014 angka kematian TB turun sekitar

45% antara tahun 1990 dan 2013 dan prevalensi TB turun 41%.

Keenam negara yang menonjol memiliki jumlah terbesar kasus insiden

TB pada tahun 2013 adalah India (2,0 juta-2,3 juta), China (0,9 juta-1,1

juta), Nigeria (340. 000-880 000), Pakistan (370.000-650.000),

Indonesia (410.000-520.000) dan Afrika Selatan (410.000-520.000).

Diperkirakan 37 juta kehidupan diselamatkan antara tahun 2000 dan

2013 melalui penegakan diagnosa dan pengobatan yang tepat. Estimasi

prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 (WHO, 2010) dan

estimasi insiden berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah

kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya

(Kemenkes, 2011).

Universitas Sumatera Utara


31

Tabel 2.1. Perkiraan Pasien TB Secara Global.


HIV Prevalence in
Population HIV-positive
Mortality Prevalence Incidance incidents cases
(Thousands) TB mortality
(%)
Afganistan 30 552 42 27-53 0.3 0.2-0.3 340 178-554 189 167-212 0.34 0.29-0.40
Bangladesh 156595 51 33-69 0.1 <0.1-0.2 402 210-656 224 199-253 0.12 <0.1-0.16
Brazil 200362 2.2 1.3-3.4 1.0 0.8-1.4 57 27-99 46 41-52 14 13-16
Cambodia 15135 66 42-92 3.9 3.0-5.0 715 604-834 400 366-444 3.9 3.4-4.4
China 1385567 3.0 2.9-3.1 <0. <0.1-0.1 94 82-107 70 66-77 0,46 0.22-0.79
1
DR Congo 67514 68 33-78 9.5 0.3-35 549 285-898 326 297-356 7.5 0.13-27
Ethiopia 94101 32 17-50 5.9 3.8-8.5 211 170-257 224 188-276 11 7.4-14
India 1252140 19 12-28 3.0 2.5-3.5 211 143-294 171 162-184 5.7 4.8-6.6
Indonesia 249866 25 14-37 1.6 0.9-2.5 272 138-450 183 164-207 3.2 2.1-4.5
Kenya 44354 20 12-27 21 17-27 283 156-447 268 261-275 41 39-42
Mozambique 25834 69 39-101 14 105-198 559 303-893 552 442-680 57 39-74
8
Myanmar 53259 49 29-71 8.0 6.3-9.9 473 364-595 373 340-413 8.8 7.8-9.8
Nigeria 173615 94 39-156 49 27-78 326 246-418 338 194-506 25 10-44
Pakistan 182143 56 25-92 0.5 0.3-0.9 342 284-406 275 205-357 0.53 0.3-0.83
Sumber: Report WHO 2014

Universitas Sumatera Utara


32

2.1.5. PATOGENESIS

1) TUBERKULOSIS PRIMER

Mycobacterium tuberkulosis masuk melalui saluran napas bersarang di

jaringan paru akan membentuk sarang pneumoni, disebut sarang primer atau

afek primer. Dari sarang primer akan masuk ke saluran getah bening menuju

hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar

getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama

dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks

primer ini akan mengalami :

a) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,

garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c) Menyebar dengan cara:

i) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah

epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya

bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga

menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan

akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang

bronkus yang tersumbat ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan

peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal

sebagai epituberkulosis

Universitas Sumatera Utara


33

ii) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke

paru sebelahnya atau tertelan

iii) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini

berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi

bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan

menimbulkan tuberkulosis milier, meningitis.

2) TUBERKULOSIS POST PRIMER

Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah

tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post

primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal

lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu

sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan

sebagai berikut:

a) Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

b) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan

dengan pembentukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi

pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut

dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan

menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan ke luar:

i) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju

Universitas Sumatera Utara


34

keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan

menjadi tebal (kaviti sklerotik). kavitas tersebut akan menjadi:

ii) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang

disebutkan di atas

iii) memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi

mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

iv) bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti

menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut

sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped). (PDPI 2002,

2006)

2.1.6. IMUNOPATOGENESIS

Respon imun manusia terhadap pertahanan tubuh infeksi M. tuberculosis adalah

innate immunity dan imunitas spesifik didapat. Imunitas spesifik yang didapat

dibagi menjadi respon imun selular yaitu sel T dan makrofag yang teraktivasi

bersama sejumlah sitokin dan pertahanan secara humoral (anti bodi-mediated).


(
Tri Mulyani 2013) M. tuberculosis difagositosis oleh makrofag dan sel dendritik

melalui membrane-bound receptors yang akan memicu aktivasi macrophage

signalling pathways (NF-kB), menyebabkan sekresi pro-inflammatory cytokines,

chemokines dan molekul antimikroba serta aktivasi RVD yang dapat meginduksi

ekspresi antimicrobial peptides seperti cathelicidin dan β-defensin. Sel PMN

mengenali dan memfagosit Mycobacterium tuberculosis serta mensekresikan

Universitas Sumatera Utara


35

antimicrobial peptides yang berfungsi untuk membunuh bakteri. Sel NK, γδT cells dan

CD1-restricted T cells diaktivasi oleh ligand spesifik dan kemudian mengeluarkan

cytotoxic factor dan mensekresikan IFN-γ yang dapat mengaktifkan makrofag. (Abul

K. Azad, 2012).

Mycobacterium tuberculosis dapat hidup terus serta melanjutkan pertumbuhannya

di dalam sitoplasma makrofag setelah difagositosis. Induksi respons kekebalan

spesifik sekunder terhadap sejenis mikroba merangsang tubuh untuk serentak

memberikan kekebalan nonspesifik pada mikroba lain yang mempunyai sifat

pertumbuhan yang sama. Mycobacterium tuberculosis diinhalasi sehingga masuk

ke paru-paru, kemudian difagositosi oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai

3 fungsi utama, yaitu :

1) Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang memperlihatkan

efek mycobactericidal.

2) Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap Mycobacterium tuberculosis yakni IL-

1, IL-6, IL-8, IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang

penting.

3) Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T.

Sitokin mengatasi infeksi secara sempurna dan efisien melalui koordinasi respon

imun melalui sitokin (cytokin network). Sitokin proinflamasi berperan dalam terjadinya

migrasi sel-sel leukosit ke tempat kuman. Sel makrofag dan sel dendrit akan memproduksi

IL-12, IL-18, IL-1, IL-16, IL-12 merupakan sitokin yang meregulasi dihasilkan makrofag

mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi

klinis terhadap tuberkulosis. Sitokin IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan

demam sebagai karakteristik tuberkulosis, IL-6 akan meningkatkan produksi

Universitas Sumatera Utara


36

imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak

dijumpai pada pasien tuberkulosis, sedangkan IL-10 diproduksi oleh makrofag dan sel T

mempunyai efek antagonis terhadap respon sitokin proinflamasi yaitu, menekan produksi

IFN-γ, TNF-α dan IL-2. Sel T dan makrofag memproduksi tumor nekrosis factor-α (TNF-

α). Pembentukan granuloma dipengaruhi oleh TNF-α, IFN-γ, TGF-ß dan limfotoksin α3.

Transforming growth factor beta (TGF-ß) dan IFNγ berfungsi meningkatkan produksi

metabolit nitic oxide syntase (iNOS) dan membunuh bakteri TB serta pembentukan

granuloma untuk mengatasi infeksi. (Nastiti, 2008)

Sistem imun innate imunity akan mengeleminasi basil M. tuberkuloasis melalui kerja

sama antara alveolar makrofag dan NK sel melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF-α

dan INFγ. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-

sel pertahanan (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada

limfonodi regional, terjadi perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali basil

tersebut. Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem

imun alamiah. Makrofag dan sel dendritik memberi respon utama dalam memicu respon

imun innate terhadap kuman TB sekaligus memicu imunitas adaptif. Sel makrofag dan sel

dendritik memperesentasikan kuman tuberkulosis melalui mekanisme berikut:

1. Molekul MHC klas II mempresentasikan antigen ke sel T CD4+ yang spesifik kemudian

diproses dalam fagolisosom

2. Molekul MHC klas I yang diekspresikan seluruh sel yang berinti mempresentasikan

antigen kuman ke sel TCD8+ yang spesifik

3. Molekul MHC klas non polimorfik yang dipresentasikan oleh makrofag dan sel

dendritik kepada sel TCD1 terjadi sebelum terbentuknya antigen secara spesifik

Universitas Sumatera Utara


37

4. Molekul MHC klas II

Gambar:2.1. Fagositosis dan pengenalan kuman TB


Sumber: Am J Respir Crit Care Me 2002: 166:
Proses fagositosis diawali dengan penempelan M. tuberkulosis pada sel penjamu. Pada proses

fagositosis, pseudopodia mengelilingi M. tuberculosis sehingga terbentuk membrane bound tight

vacuole. Pembentukan vakuola disertai penempelan M. tuberculosis pada fagosit, melalui

reseptor komplemen (CR1, CR3, CR4), reseptor mannose dan molekul reseptor sel lainnya.

Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami opsonisasi pada komplemen C3, akan

menempel pada C1, C3, C4, karena apabila C3 tidak mengalami opsonisasi maka fungsi

makrofag dan sel dendrit sebagai fagositosis antigen mengalami penurunan 70-80%.

Universitas Sumatera Utara


38

Gambar 2.2. Adaptive immunity terhadap infeksi tuberkulosis (Tri Mulyati 2013)

Keterangan :

Makrofag yang terinfeksi dan sel dendritik mensekresikan sitokin IL-12, IL-23, IL-7,

IL-15 and TNF-α dan menyajikan antigen kepada CD4+ T cells (MHC class II), CD8+ T

cells (MHC class I), CD1-restricted T cells (glycolipid antigens) dan γδ T cells

(phospholigands). Sel T memproduksi sitokin efektor IFN-γ, yang dapat mengaktivasi

makrofag dan mengeluarkan TNF-α yang berfungsi membunuh Mycobacterium intraseluler

melalui pengeluaran reactive oxygen dan nitrogen intermediet. Cluster of Differentiation

(CD8+) cytotoxic T cells dapat membunuh Mycobacterium intraseluler melalui jalur

pengeluaran granulysin dan perforin-mediated. Namun, CD4+ Th2 cells memproduksi

sitokin imunosuppresif seperti IL-4 dan CD4+CD25+FoxP3+ regulatory T (Treg) cells

yang memproduksi IL-10 dan TGF-β yang mensupresi mekanisme mycobactericidal.

Antigen dari protein Mycobacterium tuberculosis yang didegradasikan bersama endosom

diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ sel T melalui MHC kelas II. Sedangkan antigen

protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di presentasikan kepada CD8+ sel T

Universitas Sumatera Utara


39

melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki reseptor sel T (TCR) dipermukaan sel

dan berikatan secara non kovalen dengan CD3 berguna untuk transuksi signal antigenik ke

sitoplasma. Sel Th yang disebut Th17 diproduksi dengan adanya IL-23 dan memproduksi

IL-17 yang penting untuk modulator inflamasi dan recall memory response. Sel Th17 dapat

mengundang neutrofil, monosit dan IFN-γ-producing CD4+ T cells, serta menstimulasi

chemokine. Namun IFN-γ memiliki pengaruh untuk mensupresi IL-17 yang memproduksi

sel Th17. GM-CSF, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor; IFN, interferon;

TGF, transforming growth factor; TNF, tumour necrosis factor

Gambar 2.3. Pembentukan granuloma (Basir 2012)

Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama dengan cara membatasi replikasi

bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan sel-T. Selama interaksi

antara anti gen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi pada berbagai organ, sel-T spesifik

memproduki IFN-γ dan mengaktifkan fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi

enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang menurunkan

pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri. Akan tetapi sering terjadi

keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi sebagian masih ada yang hidup dan tetap

Universitas Sumatera Utara


40

bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis

dan bisa bertahan dalam waktu yang lama. (Basir 2012)

Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh didominasi oleh pembentukan elemen

nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemen-elemen nekrotik ini akan selalu

dikeluarkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas. Pembentukan dan kelangsungan hidup

granuloma dikontrol oleh sel-T, dimana komunikasi antara sel-T dan makrofag di perantarai oleh

sitokin. IL-1, TNF-α, GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-γ dan TNF-β merupakan sitokin yang

mengontrol kelangsungan granuloma. (Basir, 2012)

Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam imunitas terhadap

tuberkulosis. Pada sistem ini, INF-γ telah diidentifikasikan sebagai sitokin utama untuk

mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan patogen ini.

Pembentukan granuloma dan kavitas dipengaruhi oleh berbagai macam sitokin sebagai hasil

interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang teraktivasi serta berbagai macam komponen

bakterial. (Basir, 2012)

Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui berbagai reseptor

antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem komplemen pada permukaan sel

kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui peranan fibronektin binding protein pada

proses fagositosis oleh sel fagositik mononuklerar. Dalam endosomal sel fagositik mononuklear

Mycobacterium tuberculosis bertahan hidup dengan jalan sebagai berikut:

1. Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah

2. Interferensi fusi fagolisomone

3. Resisten terhadap enzim lisosomal

4. Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate

Universitas Sumatera Utara


41

5. Sintesi heat shock protein (HSP)

6. Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma. (Basir, 2012)

2.1.7. CARA PENULARAN

Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber penularan

adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita tuberkulosis paru

batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada

suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak

berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara

sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama

beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau

droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke

dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru

ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran

nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang

penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin

tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita

tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap

tidak menular. Risiko penularan setiap tahun Annual Risk Of Tuberculosis Infection

(ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI

sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi,

kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita

tuberkulosis paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita

Universitas Sumatera Utara


42

tuberkulosis. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan

ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita setiap tahun,

dimana 50 penderita adalah BTA positif. Faktor risiko yang mempengaruhi

kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis paru adalah karena daya tahan

tubuh yang lemah, di antaranya karena gizi buruk dan HIV/AIDS. Human

Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang

terinfeksi kuman TB menjadi sakit tuberkulosis paru. Infeksi HIV mengakibatkan

kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi

infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis paru maka yang bersangkutan akan

menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi

HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat pula, dengan

demikian penularan penyakit tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.

Universitas Sumatera Utara


43

Faktor risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru, secara ringkas digambarkan pada gambar

berikut :

Suspek TB paru

Pemeriksaan dahak mikroskopis- Sewaktu, Pagi, sewaktu (SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++ +-- ---
++-

Antibiotika Non-AOT
Foto toraks dan
pertimbangan dokter
Tidak ada Ada
perbaikan perbaikan

Pemeriksaan dahak mikroskopis

Hasil BTA Hasil BTA


+++ ---
++-
+--
Foto toraks dan
TB pertimbangan dokter

BUKAN TB

Gambar 2.4. Alur diagnosisTB paru (Kemenkes, 2014)

2.1.8. GAMBARAN KLINIK

Gejala tuberkulosis dapat dibagi 2 yaitu gejala lokal (organ terkena disebut gejala

respiratorik) dan gejala sitemik.

Universitas Sumatera Utara


44

1) Gejala respiratorik

a) batuk lebih atau sama dengan 2 minggu

b) batuk darah

c) sesak napas

d) nyeri dada

2) Gejala sistemik

a) Demam

b) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan

menurun

3) Gejala tuberkulosis ekstra paru

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya

pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak

nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat

gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak

napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2.1.9. PEMERIKSAAN UNTUK MENDIANOSIS TB PARU

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan

3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan

berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)

1) Dahak

Memeriksa dahak secara mikroskopis pada 3 spesimen yang di kenal dengan

istilah SPS Dahak yang baik untuk di periksa adalah dahak yang

Universitas Sumatera Utara


45

mukopurulen ( nanah berwarna hijau kekuning- kuningan) bukan ingus

juga bukan ludah, jumlahnya 3-5ml tiap pengambilan. Pada orang dewasa

harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut- turut

sewaktu : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

pertama kali datang .

pagi : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bagun tidur. Pot dahak diantar kelaboratorium pelayanan kesehatan.

Sewaktu : Dahak dikumpulkan pada hari pada saat menyerahkan dahak

pagi kepada pihak pelayanan kesehatan

2.1.10. Cairan pleura

Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji

Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat

sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2.1.11. Pemeriksaan Radiologik

1) Gambaran radiologi pada penderita TB Primer

Biasanya kelainan lokasi ditemukan pada satu lobus, lebih sering terkena

pada paru kanan, terutama pada lobus bagian bawah, lobus tengah dan

lingula kiri serta segmen anterior lobus atas. Limfadenopati terjadi pada hilus

ipsilateral. Bagian paru mungin ditemukan infiltrat, ground glass opacity,

konsolidasi segmental atau lobar, dan atelektasis, kavitas yang dilaporkan

sekitar 15% kasus. Pada TB primer bisa terjasi kavitas terletak daerah apeks

segmen posterior, TB milier atau meningitis TB.

2) Gambaran radiologi pada penderita TB Post Primer

Universitas Sumatera Utara


46

Terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya. Selama infksi primer kuman

terbawa aliran darah kedaerah apeks dan segmen posterior lobus atas dan ke

segmen superior lobus bawah, selanjutnya terjadi reaktivasi infeksi di daerah

tekanan oksigen tinggi.

Gambaran radiologi yang dicurigai aktif adalah

a) Bayangan berwarna/noduler di segmen apikoposterior atas dan superior

bawah

b) Kavitas terutama lebih dari satu dan dikelilingi konsolidasi atau nodul

c) Efusi pleura bilateral

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tidak aktif

a) Fibrosis

b) Kalsifikasi

c) Penebalan pleura

3) Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:

foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan.Pada pemeriksaan foto toraks,

tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam- macam bentuk

(multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah

2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular

3) Bayangan bercak milier

Universitas Sumatera Utara


47

4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

1) Fibrotik

2) Kalsifikasi

3) Schwarte atau penebalan pleura

4) Luluh paru (destroyed Lung ) :

Secara radiologis proses dinilai tenang bila dalam jangka waktu 3 bulan hasil

foto torax sama. Bila dalam follow up dijumpai pleuritis dan penyebaran milier

secara merata dikedua paru yang menyerupai gambaran badai kabut dan

penyebaran sampai ke ginjal, tulang, sendi dan selaput otak. Luas lesi yang

tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan

sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

a) Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru

dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di

atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus

dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak

dijumpai kavitas

b) Lesi lanjut sedang, bila luas sarang-sarang yang berupa bercak tidak

melebihi luas satu paru, bila ada kavitas ukurannya tidak lebih dari 4 cm,

bila ada konsolidasi tidak lebih dari satu lobus

c) Lesi sangat lanjut, luas lesi melebihi lesi minimal dan lesi lanjut sedang,

tetapi bila ada kavitas ukuran lebih dari 4 cm.

4) Perbaikan foto toraks

Universitas Sumatera Utara


48

Perubahan hasil foto toraks setelah 2 bulan terdiagnosa penyakit TBC. Untuk

melihat perbaikan pada penderita TBC maka ada hasil ukur yang digunakan

adalah berapa banyak zona paru yang mengalami kerusakan berupa actie

parenchymal, kavitas, atau jaringan fibrotik sebelum dan sesudah perlakuan.

Pembagian zona paru adalah sebagai berikut:

a) Zona atas kanan (right upper zone) yang dibatasi dari atas sampai akhir

iga kedua anterior kanan

b) Zona atas kiri (left upper zone) yang dibatasi dari atas sampai akhir iga

kedua anterior kiri

c) Zona tengah kanan (right middle zone) yang dibatasi dari bawah iga

kedua anterior kiri sampai akhir iga keempat anterior kanan

d) Zona tengah kiri (left middle zone) yang dibatasi dari bawah iga kedua

anterior kiri sampai akhir iga keempat anterior kiri

e) Zona bawah kanan (right lower zone) yang dibatasi dari bawah iga

keempat anterior kanan sampai akhir iga keenam anterior kanan

f) Zona bawah kiri (left lower zone) yang dibatasi dari bawah iga keempat

anterior kiri sampai akhir iga keenam anterior kiri

5) Pemeriksaan khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara

konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih

baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1) Pemeriksaan BACTEC

Universitas Sumatera Utara


49

2) Polymerase chain reaction (PCR)

3) Pemeriksaan serologi, antara lain:

a) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

b) Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)

c) Mycodot

d) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

e) Imunoglobulin anti TB

2.2. VITAMIN D

2.2.1. Bentuk vitamin D

Vitamin D adalah hormon steroid yang telah lama dikenal karena perannya yang

penting dalam mengatur kadar kalsium tubuh, dan mineralisasi tulang. Vitamin D

merupakan turunan dari molekul steroid salah satu turunan dari kolesterol. Fungsi

utama vitamin D adalah mengatur penyerapan kalsium dan homeostasis. Sebagian

besar kerja vitamin ini diperantarai oleh reseptor nukleus yang mengatur ekspresi

gen. Terdapat dua bentuk aktif vitamin yaitu vitamin D2 dan vitamin D3. Vitamin

D2 atau dikenal juga dengan nama ergokalsiferol ini berasal dari turunan senyawa

kolesterol yang banyak ditemukan pada ragi dan tanaman. Vitamin D3

(kolekalsiferol) berasal dari turunan senyawa 7-dehidrokolesterol. Vitamin D3

diperoleh melalui makanan atau disentisis di kulit dari 7 dehydrocholesterol. 7

dehydrocholesterol adalah suatu zat perantara dalam sintesis kolesterol yang

menumpuk dikulit mengalami reaksi nonenzimatik jika terpajan oleh sinar

ultraviolet yang menghasilkan pravitamin D, pravitamin D menjalani reaksi lebih

Universitas Sumatera Utara


50

lanjut dalam waktu beberapa jam untuk membentuk kolekalsiferol yang diserap

kedalam aliran darah. (Bambang 2011, Hemant K Bid 2011, Roth DE 2004).

Kolekalsiferol yang disintesis dikulit dari makanan mengalami dua kali

dihidroksilasi untuk menghasilkan metabolit aktif 1,25 dihidroksivitamin D. Pada

ginjal, vitamin D dikonversi menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxycholecalciferol.

Vitamin D, dalam bentuk aktif 1,25-hydroxyvitamin nya D, memiliki tindakan

yang kompleks pada sistem kekebalan tubuh dengan cara penghambatan aktivitas

yang berbeda. Di dalam tubuh, kedua jenis prekursor vitamin D tersebut akan

mengalami proses hidroksilasi di hati oleh enzim cytochorme P450 CYP27A1

sehingga berubah menjadi bentuk 25 hidroksivitamin D (25-OHD). Zat 25-

hidroksivitamin D kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dan berikatan dengan

protein pengikat. Zat 25-hidroksivitamin D akan diubah oleh enzim mitokondria 1

α-hydroxylase CYP27B1, menjadi bentuk akhir 1,25-dihydroxyvitamin D

(1,25[OH]2D) disebut juga sebagai calcitriol bentuk ini merupakan bentuk

hormonal dari vitamin D. Proses sintesis akhir ini terutama terjadi di tubulus ginjal.

Sintesis calcitriol di ginjal, diatur oleh 2 hormon yang memiliki peran berkebalikan.

Hormon parathyroid (PTH) akan meningkatkan sintesis calcitriol, sementara

fibroblast-like growth factor-23 (FGF23) akan menurunkan proses sintesisnya.

Setelah diproduksi, calcitriol dilepaskan kembali ke dalam sirkulasi darah dan

berikatan dengan protein pengikat vitamin D (DBP) untuk ditransportasikan menuju

organ target. (Dusso, 2005)

Universitas Sumatera Utara


51

Gambar. 2.5. Proses biosintesis vitamin D3

Gambar. 2.6. Proses biosintesis vitamin D2

Universitas Sumatera Utara


52

Gamba: 2.6. Sintesis Vitamin D3


Sumber: Dusso, 2012

2.2.2. Peran Vitamin D

Vitamin D memiliki fungsi dalam sistem kekebalan tubuh, baik yang bersifat

alamiah non spesifik maupun kekebalan spesifik, yang mempunyai peran penting

dalam aktivasi dari 1 α-hidroksilase untuk mengkonversi 25 (OH) D menjadi

bentuk aktifnya [1, 25 (OH) 2D] yang meningkatkan fungsi cathelicidin, suatu

peptida yang memiliki sifat antimikroba baik terhadap gram positif maupun negatif

juga bersifat antivirus dan antijamur salah satunya peptida untuk M. tuberculosis.

(Martineau, 2011) Pembentukan kompleks vitamin D-RVD-RVDE pada sel

netrofil, makrofag dan epitel akan meningkatkan sintesis cathelicidin yang belum

aktif (hCAP18). Selanjutnya hCAP18 akan membelah dan menjadi cathelicidin

yang aktif (LL37), yang akan menyebabkan lisis bakteri dengan cara destabilisasi

Universitas Sumatera Utara


53

membran sel bakteri. Di sisi lain, invasi mikroorganisme dalam tubuh memicu

respon toll-like receptor (TLR) misalnya TLR2/1, akan meningkatkan

pembentukan RVD dan enzim 1-alphahidroksilase, sehingga proses pembentukan

cathelicidin oleh vitamin D akan meningkat. Proses ini akan terjadi apabila tersedia

cukup 25-OHD.

2.2.3. Peran vitamin D terhadap TB paru

Beberapa ahli telah menemukan hubungan antara kadar vitamin D dalam tubuh

rendah dan kemampuan pertahanan tubuh terhadap infeksi M. tuberculosis yang

rendah. Vitamin D bentuk 25-(OH)D dibentuk sebagai hasil hidroksilasi vitamin D2

dan D3 yang berasal dari makanan dan hasil konversi sinar matahari (vitamin D3)

oleh enzim 25-hidroksilase di dalam retikulum endoplasma hati yang oleh enzim 1-

alfa-hidroksilase menjadi 1,25-(OH)2D di dalam tubulus proksimal ginjal.

Metabolit aktif vitamin D adalah 1,25-dihidroksivitamin D [1,25-(OH)2D], suatu

hormon imunomodulator yang berperan penting pada sistem imun. Hormon tersebut

akan meningkatkan regulasi imun bawaan melalui fagositosis oleh monosit atau

makrofag untuk menekan pertumbuhan M. tuberculosis intraselular setelah

berikatan dengan reseptor vitamin D (RVD) yang diekspresikan dalam makrofag,

serta menurunkan regulasi acquired immunity melalui inhibisi ekspresi MHC kelas

II oleh antigen presenting cell, menghambat proliferasi limfosit dan produksi

imunoglobulin. Vitamin D merupakan salah satu mediator yang dapat menghambat

pertumbuhan M. tuberculosis di dalam makrofag dan monosit.

Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang dapat menerangkan mengapa

sebagian orang lebih resisten terhadap infeksi M. tuberculosis daripada yang

Universitas Sumatera Utara


54

lainnya. Gen reseptor vitamin D (RVD) merupakan salah satu gen kandidat penting

dari gen non-MHC yang berperan pada kejadian TB. Varian polimorfisme dari gen

RVD telah dianggap penting hubungannya dengan kerentanan dan resistensi

terhadap TB paru. Vitamin D akan memberikan efek setelah berinteraksi dengan

RVD yang merupakan suatu reseptor hormon inti. Varian polimorfisme gen RVD

dipengaruhi oleh suku bangsa dan geografi

Kemungkinan defisiensi kadar 1,25-(OH)2D serum pada penderita tuberkulosis

disebabkan oleh beberapa hal: 1) Defisiensi dan atau fungsi enzim 25-hidroksilase

yang berkurang di dalam retikulum endoplasma hati dan atau enzim 1-alfa-

hidroksilase di dalam tubulus proksimal ginjal. 2) Keluhan kurang nafsu makan

merupakan gejala yang umum pada pasien TB, yang timbul beberapa saat sebelum

terjadinya infeksi TB, sehingga terjadi masukan vitamin D yang rendah. 3) Vitamin

D pada pasien TB digunakan untuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman

M. tuberculosis, mulai dari masa inkubasi sampai terjadi infeksi TB. 4) Kadar

vitamin D dalam darah selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial dan nutrisi,

juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Kadar vitamin D dalam darah yang rendah

karena terjadi polimorfisme gen akan mempengaruhi metabolisme vitamin D.

2.2.4. Polimorfisme gen reseptor vitamin D (RVD)

Reseptor vitamin D (RVD) adalah ligand-activated transcription factor yang

terdapat pada sel monosit, makrofag, dan limfosit. Faktor genetik yang

mempengaruhi keberhasilan melawan infeksi reseptor vitamin D (RVD). Vitamin

D3 bekerja melalui RVD, RVD diaktifkan oleh sel T dan B. Vitamin D reseptor

(RVD) secara genetik terletak pada lengan kromosom 12 yaitu 12q13.11 mulai dari

Universitas Sumatera Utara


55

posisi 47.841.536 bp hingga 47.905.030 bp. Gen ini berukuran kurang lebih 75 kb,

terdiri dari 9 ekson, ekson I mengandung 6 subunit (1a-1f) yang merupakan regio

yang tidak ditranslasi (UTR), sedangkan 8 ekson lainnya mengkode protein gen

RVD yang terdapat pada sel monosit, limfosit T, limfosit B. VDR memiliki berat

sekitar 48,3 KD yang terdiri dari sekitar 427 asam amino. Ekson II dan III

mengkode domain ikatan-DNA sedangkan ekson IV-IX mengkode daerah ikatan-

ligand (Marwah at al,; Uitterlinden, 2004).

Reseptor vitamin D merupakan reseptor golongan steroid retinoid tiroid hormone

vitamin D. RVD berinteraksi dengan reseptor asam retinoic X (RxR) kebentuk kompleks

heterodimer (RxR-VDR) dan mengikat DNA spesifik dinamakan vitamin D respon elemen

(VDRE). RVD mengatur aktivitas transkripsi dari 1, 25 (OH) 2 D 3 - gen responsif dengan

kompleks respon vitamin D, Unsur yang terletak di daerah promotor gen target. (Holick,

2007) Reseptor vitamin D (RVD) mempunyai variasi alel yang mempengaruhi aktivitas

reseptor dan selanjutnya efek vitamin D dimediasi seperti penyerapan kalsium , ekskresi dan

modulasi proliferasi sel dan diferensiasi. Protein pada RVD terdiri dari Zink Finger DNA

binding dan mengaktifkan proses transkripsi atau perubahan DNA menjadi mRNA di inti sel.

RVD memiliki afinitas yang besar terhadap calcitrol. Setelah mencapai organ target, calcitrol

akan terlepas dari protein pengikatnya kemudian masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan

RVD membentuk 1,25 (OH)2 RVD kompleks. Beberapa polimorfisme telah diidentifikasi di

gen RVD. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan variasi alel gen RVD di berbagai

populasi. Salah satu DNA yang dikenal urutan varian adalah timin / sitosin (T / C)

polimorfisme dalam pertama dari dua potensial awal (ATG) kodon dipisahkan oleh 3 kodon.

Universitas Sumatera Utara


56

Polimorfisme yang telah diidentifikasi pada gen RVD adalah Bsm-1, Apa-1, diintron 8 (T ke

G), Taq-1 exson 9 (T ke C), Fok-1 (C ke T). Hasil polimorfisme dalam dua alel yang dapat

dibedakan dengan RFLP menggunakan endonuklease Apa1 ditemukan di wilayah gen 3

'RVD, dalam intron antara ekson 8 dan 9. Perubahan ekspresi mRNA RVD diperlihatkan

dengan varian genotip dari gen RVD (Bid et al, 2009) Hasil penelitian Hadad pada populasi

orang sehat diSyria ditemukan bahwa polimorfisme gen RVD dipengaruhi oleh etnis, hasilnya

menunjukkan distribusi polimorfisme gen TaqI dan ApaI dipengaruhi etnis, hal ini

menjelaskan bahwa faktor etnis mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit

(Haddad, 2014).

Gambar. 2.7. Gen Reseptor Vitamin D

Universitas Sumatera Utara


57

Gambar. 2.8. Polimorfisme pada Gen Reseptor Vitamin D

Regulasi fungsi imun berdasarkan peranan vitamin D dan metabolit aktifya 1,24 (OH)2D3

adalah:

1. Adanya RVD pada makrofag, sel monosit, sel limfosit T dan B yang teraktivasi

2. Kemampuan makrofag, sel T dan B teraktivasi untuk mengekspresikan CYP27B1

(enzim yang memproduksi 1,25 (OH)2D3

3. Kemampuan 1,25 (OH)2D3 untuk mengatur proliferasi dan fungsi makrofag, sel monosit

serta sel T dan B

Universitas Sumatera Utara


58

Pada tahun 2006, Liu dan rekan membuktikan bahwa M. tuberkulosis oleh Toll-like reseptor

2/1 (TLR2 / 1) kompleks meningkatkan ekspresi vitamin D reseptor (RVD) dan CYP27B1

dalam monosit. Sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D akan mengaktifkan antimikroba

intraseluler makrofag yang dimediasi oleh catelecidin dan pembunuhan intraseluler M.

tuberkulosis. (Bambang 2011, Hemant K Bid 2011, Roth DE 2004). Beberapa peneliti

menunjukkan hasil berbeda mengenai keterlibatan polimorfisme ApaI pada infeksi TB:

Penelitian Liu (2006), serum dari donor dengan vitamin D yang cukup mampu merespon

cathelicidin untuk merespon sistem imun bawaan, menunjukkan bahwa regulasi transkripsi

dari cathelicidin dapat dimediasi oleh aktivasi 1,25-dihydroxivitamin D. Hal ini didukung

penelitian Adams, menggunakan serum dari pasien dengan konsumsi vitamin D mampu

merespon aktivasi TLR yaitu produksi defensin-2 dan cathelicidin: dua antimicrobical

peptida yang diatur oleh 1,25 hydroxyvitamin D. Konsentrasi 4 mg / ml vitamin D mampu

melindungi makrofag manusia yang terinfeksi dan membatasi pertumbuhan mycobacteria

secara in vitro.

Studi dari Eun-Kyeong menegaskan bahwa peptida antimikroba memainkan peran

sentral pada kekebalan bawaan untuk mycobacteria, dengan cara langsung membunuh dan

modulasi kekebalan. Telah terbukti bahwa cathelicidin LL-37 menjadi kunci komponen

penghubung vitamin D3-dependent imunitas dan autophagy. (Siswanto 2009, Shadden 2014)

Penelitian Shadden, menemukan polimorfisme RVD timbul dari perbedaan antara

genotipe dan alel menurut etnisitas. Hal ini memerlukan perbandingan genotipe dan alel

frekuensi antara individu yang sehat dan pasien dalam setiap populasi untuk

membandingkan genotipe dan frekuensi alel. Ditemukan genotipe dan alel frekuensi RVD

(Taq-I dan Apa-I) pada populasi Suriah adalah adanya perbedaan hasil disetiap dunia. Hal

Universitas Sumatera Utara


59

ini didukung penelitan Gao bahwa polimorfisme gen reseptor vitamin D dipengaruhi oleh ras

suku bangsa. Kaitan polimorfisme gen reseptor vitamin D terhadap kejadian infeksi TB lebih

kuat ditemukan pada bangsa Asia (Gao,2010).

2.2.5. Dosis Penggunaan Vitamin

Kebutuhan vitamin D berbeda untuk tiap orang berdasarkan usia dan kondisi khusus

sepeti kehamilan. Namun para ahli menyatakan defisiensi vitamin D terjadi apabila

kadar 25-OHD kurang dari (< 20ng/ml). Insufficiency 21-29 apabila kadar 25-OHD

21-29 ng/ml. Sufficiency apabila Kadar 25-OHD > 30ng/ml, dan kadar toksik

didefinisikan apabila kadar 25-OHD > 150 ng/ml yang diikuti dengan

hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan hiperfosfatemia. Waktu paruh 25-OHD selama 2-

3 minggu, sedangkan waktu paruh 1,25 [OH]2D (calcitriol) selama 4-6 jam. Kadar

25-OHD mencerminkan asupan total vitamin D yang berasal dari makanan maupun

hasil pembentukan dari kulit, sedangkan kadar 1,25[OH]2D dipengaruhi oleh

kalsium serta hormon paratiroid. Kadar 25-OHD yang berada di sirkulasi juga

mencapai ratusan kali lipat dibanding 1,25[OH]2D. Oleh karenanya, meskipun

1,25[OH]2D (calcitriol) merupakan bentuk aktif biologis vitamin D namun untuk

pengukuran kadar vitamin D, dilakukan berdasarkan kadar 25-OHD. Konsentrasi

vitamin D3 adalah 1x10-7 M, mampu meningkatkan serapan mycobacterium

tuberculosis oleh makrofag. Dalam penelitian ditentukan bahwa dengan pemberian

vitamin D3 (1x10-7 M) menunjukkan peningkatan fagosit terhadap mycobacterium

tuberculosis. Vitamin D3 diubah sebagai ekspresi RVD mengatur tipe I dan tipe II

sitokin untuk memodulasi fungsi kekebalan tubuh terhadap mycobacterium

tuberculosis. (Selvaraj P, 2004) Dewasa sampai berusia 50 tahun membutuhkan 200

Universitas Sumatera Utara


60

IU/hari, dewasa berusia 50-70 tahun dan bayi membutuhkan 400 IU/hari, Dewasa

berusia diatas 70 tahun membutuhkan 600 IU/hari, untuk pencegahan osteoforosis

membutuhkan 800 IU/hari, Pengobatan defisiensi membutuhkan vitamin D sebagai

loading dose sebanyak 50.000 IU/minggu, diikuti maitenance sebanyak 400-1000

IU/hari. (Kusworini et al., 2011).

Tabel 2.2. Status Vitamin D


Serum 25-Hydroxyvitamin D (ng/ml) Status Vitamin D
10-20 Deficiency
21-29 Insufficiency
≥ 30 Sufficiency

Sumber: (Zittermann, 2003)

Penggunaan dosis vitamin D yang sudah diteliti pada penderita tuberculosis paru

adalah: Hasil penelitian Salahuddin 2013 yang melibatkan 259 subyek penelitian dengan

TB paru, menunjukkan bahwa supplementasi vitamin D3 dosis tinggi, 2x 600.000 IU

intramuskular mempercepat perbaikan klinis dan radiologis pada seluruh pasien TB.

Hasil penelitian Martineau at all, 2014, bahwa dosis oral 2.5mg (100.000 IU) dari

ergokalsiferol menunjukkan hasil signifikan mengurangi pertumbuhan mikobakteri. Hasil

penelitian Dini and Bianchi 2012, bahwa pemberian vitamin D 2,5 mg oral meningkatkan

kekebalan terhadap mycobacteri tuberculosi di Italy. Penelitian yang berkaitan di

Indonesia adalah dilakukan oleh (Siswanto, 2009) bahwa dengan pemberian vitamin D

pada pasien tuberculosis paru menunjukkan perbaikan hasil foto rongent dengan

pemberian vitamin D oral 800 IU perhari. Hasil penelitian Budi Setiawan 2010

ditemukan proporsi genotip terbanyak adalah genotip Aa sebesar 42,9% merupakan

Universitas Sumatera Utara


61

proporsi genotipe terbanyak dan ApaI pada kelompok kasus TB, sedangkan pada

kelompok kontrol adalah genotipe AA sebesar 54,8%.

2.3. SUKU BATAK

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara.

Nama Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku

bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur. Suku bangsa yang

dikategorikan ke dalam suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak

Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-

nilai kehidupan suku bangsa Batak diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari

nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Didalam

menjalankan kehidupan suku bangsa Batak terutama interaksi antara sesama manusia

dibuatlah nilai-nilai antara sesama, etika maupun estetika yang dinamai Adat. Dalam tata

pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata pemerintahan Kolonial Belanda,

setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi

Kabupaten setelah Indonesia merdeka.

2.4. KERANGKA TEORI

Sumber vitamin D
3.(makanan dan suplemen vitamin D+konversi SM)

Hidroksilase

Vitamin D2 dan D3

enzim 25-hidroksilase

25-(OH)D

enzim 1α-hidroksilase

1,25-(OH)2D Gen RVD Apa I


(hormon imunomodulator) (kromosom 12q13)

Universitas Sumatera Utara


62

Sel T CD8 Sel NK

4. Proteksi
autoimunitas
Th 1 Th 2

Riwayat penyakit

Merokok
HIV TB Status gizi
Alkohol

Bagan 2.9. Skema Kerangka Teori

4.1. Kerangka Konsep

- OAT + Vit D

Pasien Tb paru - Perbaikan


etnik batak radiologi

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai