Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KEPERAWATAN KRONIS

EFEK PSIKOLOGIS PADA PENYAKIT KRONIS

DISUSUN OLEH:

1. ENDANG SUNARNI 7. ARMY REZA MUTIAS


(J210171052) (J210171126)
2. FAUZIYAH NURMALITA H 8. WIDYA MEILINA P
(J210171061) (J210171172)
3. NURUL SYIFA N.F 9. ALI MUCHTADI S
(J210171097) (J210171176)
4. ERNI ROSITA 10. ENGGAR FITRIA N.S
(J210171101) (J210171181)
5. DINA SEPTIYANI I 11. WAHYU RAHMAWATI
(J210171105) (J210171185)
6. ROSITA RAJAB 12. IRFAN DARUL M
(J210171115) (J210171189)

PRODI KEPERAWATAN S1 TRANSFER

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
EFEK PSIKOLOGIS PADA PENYAKIT KRONIS

Setiap orang berpotensi mengalami gangguan kesehatan jiwa yang salah


satu faktor risikonya adalah penyakit fisik yang besifat kronis sepanjang
berinteraksi dengan lingkungan dan terus terlibat dalam kemajuan zaman.

Hasil analisis regresi logistik multifariat dengan kemodelan lainnya yakni


untuk mengetahui efek dari jumlah penyakit kronis yang diderita didapatkan
bahwa setelah di kontrol oleh karakteristik responden, resiko untuk mengalami
gangguan mental emosional terlihat semakin besar seiring dengan semakin
banyaknya jenis penyakit yang diderita oleh responden. Hasil penelitian
menunjukkan adanya tren meningkat risiko untuk mengalami gangguan mental
emosional pada tingkatan atau jumlah penyakit kronis yang diderita responden.

Oleh karena itu, individu atau responden cenderung menggunakan


penyesuaian atau pertahanan diri (mekanisme koping) untuk mengatasi
kecemasannya. Akan tetapi, karena mekanisme koping tersebut berlangsung
secara tidak disadari dapat menjadi respon maladaptif terhadap stress berupa
peningkatan risiko gangguan mental emosional.

Hasil lain yang menarik adalah tren dan hubungan yang signifikan antara
pendidikan dengan gangguan mental emosional. Semakin rendah pendidikan
responden, semakin tinggi risikonya untuk mengalami gangguan mental
emosional. Hal ini mungkin bagi mereka yang berpendidikan rendah mempunyai
keterbatasan dalam pola koping terhadap permasalahan-permasalahan yang
dialami. Namun, mereka yang berpendidikan lebih tinggi memiliki kemampuan
dan pengetahuan yang lebih sehingga berdampak terhadap kemampuan mengatasi
persoalan hidup dan cenderung mampu mengatasi permasalahan.
Psychological Well Being menurut Carol D. Ryff (1995) adalah
pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika
individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki
tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi
pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh
secara personal.

Penelitian berikut dilakukan pada 2 pasien yang berjenis kelamin


perempuan, yaitu ZH dan GY yang merupakan penyandang gagal ginjal dan
melakukan cuci darah minimal seminggu sekali.

Menurut dimensi penerimaan diri hasil penelitian menunjukkan kedua


subjek belum dapat menerima keadaan dirinya secara penuh. Secara kasat mata
keduanya nampak menerima kondisinya, akan tetapi jika digali secara mendalam
keduanya masih belum dapat menerima secara keseluruhan. Hal ini karena sakit
yang diderita kedua subjek sangat kompleks dan cenderung kronis yang
berdampak pada kondisi psikologis.

Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain subjek ZH


menunjukkannya upaya menyapa orang yang ada di sekitarnya, namun secara
emosional subjek masih belum mampu. Keterbatasan waktu dan fisik yang
menyebabkan ZH jarang berkomunikasi dengan orang di sekitar lingkungan
rumahnya. Berbeda dengan GY sifatnya yang ringan tangan membuat hubungan
dengan orang di sekitar menjadi hangat. GY juga termasuk orang yang supel
sehingga mudah sekali akrab dengan orang lain. Walaupun GY orang yang mudah
tersinggung, sifat ini tidak pernah ditunjukkan kepada orang lain kecuali pada
keluarganya.

Sedangkan dalam menghadapi tekanan sosial ZH dan GY cenderung sama,


apabila terkena masalah yang sangat berat dan membebani pikiran mereka maka
kesehatan mereka akan turun drastis. Karena itu keduanya mempunyai cara
tersendiri untuk meluapkan beban yang ada pada dirinya. ZH memilih untuk
menangis, menurutnya dengan menangis akan dapat mengurangi sedikit beban
yang ada di pikirannya. Sedangkan GY biasa diluapkan dengan kemarahannya
lalu kemudian GY menceritakan kepada orang terdekatnya.

Pada dimensi tujuan hidup yaitu keinginan untuk dapat sehat kembali tidak
pernah luntur dari kedua subjek. ZH sadar bahwa sakit yang dideritanya tidak
dapat disembuhkan karena organ yang paling vital sudah tidak dapat berfungsi
dengan baik lagi, sehingga ZH selalu berusaha mendekatkan diri pada ALLAH
dan berdoa agar selalu diberi usia yang panjang sehingga ZH dapat selalu
berkumpul dengan keluarganya. Tidak jauh berbeda dengan GY, ia dapat bertahan
sampai sekarang hanyalah untuk anaknya. GY tidak lagi berfikir tentang hartanya
karena tujuannya saat ini hanyalah selalu mendekatkan diri pada Allah agar dia
diberi kesembuhan.

Pada dimensi penguasan lingkungan, kedua subjek termasuk individu yang


dapat menguasai lingkungan dengan baik walaupun dengan kondisi fisik yang
terbatas serta tidak menghentikan aktivitas ataupun kegiatan yang ada lingkungan
sekitarnya.Dalam hal ini dukungan sosial sangat berpengaruh penting.

Pada dimensi pertumbuhan pribadi keduanya mampu mengembangkan


potensi yang ada pada dirinya masing-masing dan terbuka dengan pengalaman
yang baru. ZH sekarang dengan pengalaman barunya yaitu mengikuti grub
shalawat karena sebeulumnya dia adalah pemain volly sedangkan GY tetap dalam
bisnis berdagang.

Kondisi kesehatan dari penyakit gagal ginjal sangat mempengaruhi kondisi


psikis dari penyandangnya. Oleh karena itu, diharapkan kepada para penyandang
gagal ginjal agar mengubah mindset yang ada pada dirinya dan segera
menemukan potensi yang ada pada dirinya agar hidupnya bisa lebih bermanfaat
untuk orang lain. Serta diharapkan agar selalu mendekatkan diri kepada Allah,
menerima dengan lapang dada, tidak menutup diri, dan tidak merasa sendiri agar
dapat menatap masa depan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai