Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH BIOKIMIA LANJUT

“KETIDAKSEIMBANGAN METABOLISME PROTEIN-ASAM AMINO


PADA PERIODE KRITIS ”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Biokimia Lanjut

Dosen Pengampu:

Dr. Ari Yuniastuti, SPt, M.Kes.


Prof. Dr. Retno Sri Iswari, S.U.

Disusun oleh:

Susi Erlianti (0402518008)

PENDIDIKAN IPA KONSENTRASI BIOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang
Ketidakseimbangan Metabolisme Protein-Asam Amino pada Usia Kritis untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Biokimia Lanjut.
Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, diantaranya: Dr. Ari
Yuniastuti, SPt, M.Kes. dan Prof. Dr. Retno Sri Iswari, S.U., selaku dosen pengampu Mata
Kuliah Biokimia Lanjut.
Kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang terkait pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Semarang, 03 Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Protein adalah makro molekul yang penting untuk kehidupan sel, yang terdiri dari asam
amino (AAs). Fungsi utama asam amino dalam tubuh adalah untuk menyediakan bahan
dasar sintesis protein, juga berperan sebagai bahan dasar pembentuk hormon amina,
nukleotida, purin dan pirimidin, hormon peptida, glutation karnitin, dan lain sebagainya.
Asam amino juga dioksidasi untuk mendukung kebutuhan energi tubuh. Jumlah asam amino
bebas dalam tubuh, baik intraseluler maupun ekstraseluler relatif kecil, kurang dari 40 gram
dalam tubuh orang dewasa normal dengan berat badan 70 kg. Asam amino bebas dalam
tubuh tidak mudah bercampur, dikarenakan asam amino tidak dapat secara bebas menembus
membran sel. Aliran keluar masuknya asam amino di dalam suatu sel terjadi melalui turn
over protein (pergantian protein).
Setelah proses penyerapan oleh sel mukosa usus halus, asam amino dibawa oleh aliran
darah menuju ke hati. Di dalam hati asam amino mengalami proses pembentukan atau
sintesis menjadi protein, dioksidasi menjadi CO2 dan H2O atau dilepaskan untuk dibawa
aliran darah ke bagian tubuh yang lain, misalnya ke jaringan otot dan jaringan adiposa untuk
mengalami proses metabolisme lebih lanjut.
Pada orang sehat, sintesis dan degradasi protein seimbang. Namun, dengan adanya
stimulasi hypercatabolic (misal: peradangan), pemecahan protein meningkat karena asam
amino yang dihasilkan dikonsumsi untuk keperluan metabolisme. Asam amino adalah
molekul totipoten biokimia yang ketika dideaminasi, dapat diubah menjadi energi, lipid,
karbohidrat dan / atau intermediet biokimia dari siklus fundamental, seperti siklus Krebs.
Konsekuensi biokimia hiperkatabolisme adalah kekacauan protein, terbukti secara klinis
dengan tanda-tanda seperti sarkopenia, hipalbuminemia, anemia, infeksi, dan perubahan
kompartemen cairan, dan lain-lain (Halim, 2017).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Protein dan Asam Amino
Protein merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari asam-asam amino yang diikat
satu sama lain dengan ikatan peptida. Asam amino sendiri terdiri dari rantai karbon (R =
rantai cabang), atom hidrogen, gugus karboksilat (COOH), kadang-kadang gugus hidroksil
(OH), belerang (S), serta gugus amino (NH2). Atom nitrogen pada gugus amino suatu asam
amino adalah karakteristik protein. Rata-rata terdapat sebanyak 16% nitrogen dalam suatu
protein.

Gambar 1. (1) asam amino, (2) struktur zwitter ion, (3) ikatan peptida antara dua asam amino.

Asam amino berfungsi sebagai prekursor untuk asam nukleat, hormon peptida, vitamin,
substrat yang digunakan untuk glukoneogenesis di hati dan sebagai substrat energi untuk
enterosit dan sel-sel imun tubuh. Sebagian besar protein dalam tubuh terdapat dalam otot
rangka. Jaringan viseral mengandung jumlah yang relatif kecil yaitu sekitar 10% dari total
protein. Protein dari diet merupakan sumber energi dan memberikan asam amino esensial
yang dibutuhkan untuk sintesis protein serta nitrogen yang mengandung molekul yang
diperlukan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan jaringan, sebagai respon kekebalan tubuh
dan untuk pemulihan dari cedera dan penyakit.
Asam amino penyusun protein dapat dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan dapat
atau tidaknya disintesis oleh tubuh manusia, diantaranya asam amino non-esensial (NEAAs)
adalah asam amino yang dapat disintesis dalam tubuh; asam amino esensial (EAAs) adalah
asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh; asam amino esensial kondisional ialah
asam amino yang dapat disintesis endogen tetapi menjadi kekurangan ketika dalam keadaan
patologis yang menganggu metabolisme protein dan asam amino dan sintesisnya tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme.
Tabel 2.1. Klasifikasi Asam Amino.
Esensial Non-esensial Esensial kondisonal
Histidin Alanin Arginin (neonatus,
penyakit kritis)
Isoleusin Asam aspartat Glutamin (penyakit
kritis)
Leusin Asparagin Sistein (prematuritas)
Lisin Asam glutamate Glisin (neonatus)
Methionin Serin Prolin (penyakit kritis)
Fenilalanin Tirosin
Threonin
Triptophan
Valin

B. Metabolisme Protein
Protein dalam sel hidup terus menerus diperbaharui melalui proses pertukaran protein,
yaitu suatu proses berkesinambungan yang terdiri atas penguraian protein yang sudah ada
menjadi asam amino bebas dan resintesis selanjutnya dari asam-asam amino bebas menjadi
protein. Dalam tubuh sekitar 1-2 % protein mengalami peruraian setiap hari. Sekitar 75- 80 %
dari asam amino yang dibebaskan akan digunakan kembali untuk sintesis protein yang baru.
Nitrogen sisanya akan dikatabolisasi menjadi urea (pada mamalia) dan kerangka karbon bagi
senyawa-senyawa amfi bolik (Murray, 2002).
Untuk mempertahankan kesehatan, manusia memerlukan 30- 60 g protein setiap hari
atau ekivalen dalam bentuk asam amino bebas. Asam-asam amino yang berlebih tidak akan
disimpan, tetapi diuraikan dengan cepat. Di dalam sel, protein akan diuraikan menjadi asam-
asam amino oleh protease dan peptidase. Protease intrasel akan memutus ikatan peptida
internal protein sehingga terbentuk senyawa peptida (Murray, 2002). Selanjutnya, oleh
peptidase, peptida tersebut akan diuraikan menjadi asam-asam amino bebas. Endopeptidase
akan memutus ikatan peptida internal sehingga terbentuk peptida-peptida yang lebih pendek,
selanjutnya ammopeptidase dan karboksipeptidase akan membebaskan asam-asam amino
masing-masing dalam gugus terminal-N dan -C pada peptida-peptida tersebut.
Penguraian protein seperti yang disebutkan di atas adalah untuk protein ekstrasel dan
intrasel yang mana penguraiannya tidak memerlukan ATP. Untuk protein yang berusia
pendek dan yang abnormal penguraiannya terjadi pada sitosol dan memerlukan ATP atau
ubikuitin. Asam amino yang terbentuk dari katabolisme protein ini akan dimetabolisasi
menjadi ammonia dan kerangka karbon. Selanjutnya kerangka karbon akan ikut dalam siklus
asam sitrat (TCA) dan glukoneogenesis. Sedangkan ammonia akan mengalami sintesis
membentuk urea atau membentuk asam amino baru (Poppe et al., 2003).

Gambar 2. Metabolisme Protein Secara Umum.

C. Katabolisme Protein
Degradasi atau pemecahan asam amino melalui reaksi transdeaminasi, menghasilkan
rangka karbon dan gugus amonia. Rangka karbon asam amino akan mengalami proses lanjut
masuk ke Siklus Krebs (untuk dimanfaatkan energinya). Bila kebutuhan energi tubuh sudah
terpenuhi maka rangka karbon asam amino diubah menjadi glukosa (khusus untuk asam
amino glukogenik) atau ketosa dan asam lemak (khusus untuk asam amino ketogenik).
Transaminasi adalah reaksi pemindahan gugus asam amino secara enzimatik dari suatu
asam amino ke suatu asam alfa keto (alfaketoglutarat) dihasilkan glutamat. Glutamat
diketahui sebagai asam amino yang mengumpulkan gugus amino hasil transaminasi. Reaksi
transaminasi yang dikatalisis oleh enzim amino transferase terjadi melalui dua tahap,
diantaranya: (1) gugus amino dari suatu asam amino ditransfer ke enzim menghasilkan asam
alfa keto yang analog dengan asam amino yang datang, dikatalisis oleh enzim transaminase/
aminotransferase; (2) gugs amino yang terikat pada enzim ditransfer ke suatu asam alfa keto
(alfaketoglutarat) membentuk suatu asam amino (glutamat) dan menghasilkan kembali enzim
semula.
Dalam reaksi ini tidak terjadi deaminasi total, karena ketoglutarat teraminasi pada saat
asam amino mengalami deaminasi. Tujuan reaksi transaminasi adalah mengumpulkan gugus
amino dari berbagai asam amino ke bentuk asam amino glutamat. Ada sekitar 12 asam amino
yang mengalami reaksi transaminasi dalam proses degradasinya. Beberapa asam amino lain
mengalami proses deaminasi dan karboksilasi.
Proses deaminasi asam amino dapat terjadi secara oksidatif dan non oksidatif. Reaksi
deaminasi oksidatif adalah reaksi pelepasan gugus amino dari asam amino (terutama
glutamat) menjadi ion amonium (NH4+) dan alfaketoglutarat dengan adanya NAD+. Contoh
asam amino yang mengalami deaminasi oksidatif ialah asam glutamat yang dikatalisis oleh
enzim L-glutamat dehidrogenaseyang dibantu oleh NAD atau NADP. Deaminasi non
oksidatif ialah penghilangan gugus amino serin yang dikatalisis oleh enzim serin dehidrase
menjadi asam piruvat. Reaksi ini terjadi pelepasan gugus amino karena proses hidrolisis.
Asam amino treonin juga mengalami deaminasi non oksidatif dikatalisis enzim treonin
dehidratase menjadi keto butirat.
Dekarboksilasi asam amino merupakan reaksi penghasil senyawa amin. Contoh asam
amino yang mengalami dekarboksilasi dalam degradasinya adalah histidin menjadi histamin
dan karbondioksida yang dikatalisis oleh enzim histidin dekarboksilase. Gugus amino hasil
deaminasi dari asam amino bila tidak dibutuhkan oleh tubuh untuk sintesis senyawa yang
mengandung N (seperti nitrogen dan haemoglobin), akan dibuang atau dikeluarkan dari tubuh
dalam bentuk senyawa tertentu tergantung pada spesiesnya masing-masing.
Setelah pembebasan gugus amino melalui reaksi transaminasi, deaminasi, dan
dekarboksilasi, rangka karbon hasil degradasi asam amino masuk ke Siklus Krebs melalui
tujuh cara yaitu: (1) masuk dalam bentuk senyawa asetil Co-A, asam amino yang termasuk
kelompok ini ialah phenilalanin, tirosin, leusin, lisin, isoleusin, dan triptophan; (2) masuk
dalam bentuk senyawa asetil Co-A tapi lebih dulu mengalami pengubahan menjadi
asetoasetil Co-A, yang termasuk dalam kelompok ini ialah phenilalanin, tirosin, leusin, lisin,
isoleusin dan triptophan; (3) masuk dalam bentuk senyawa asetil Co-A tetapi lebih dulu
mengalami pengubahan dalam bentuk piruvat yang selanjutnya mengalami dekarboksilasi,
yang termasuk dalam kelompok ini ialah alanin, threonin, glisin, serin, sistein; (4) masuk
dalam bentuk senyawa oksaloasetat, yang termasuk dalam kelompok ini ialah aspartat dan
asparagin; (5) masuk dalam bentuk senyawa fumarat, yang termasuk dalam kelompok ini
ialah phenilalanin, tirosin, dan aspartat; (6) masuk dalam bentuk senyawa suksinil Co-A,
yang termasuk kelompok ini ialah isoleusin, threonin, metionin, dan valin; (7) masuk dalam
bentuk senyawa alfa ketoglutarat, yang termasuk dalam kelompok ini ialah arginin, histidin,
glutamin, prolin (Iswari et al., 2015).
Gambar 3. Perantara turunan asam amino memicu Siklus Krebs.

Asam amino dapat dianggap sebagai "molekul totipoten biokimia" karena dapat
dikonversi menjadi energi, karbohidrat, lipid, dan zat antara biokimiawi tergantung pada
tuntutan metabolisme tubuh. Asam amino yang diubah menjadi asetoasetil Co-A digolongkan
sebagai asam amino ketogenik, karena proses degradasinya menghasilkan senyawa keton.
Asam amino yang diubah menjadi piruvat, alfa ketoglutarat, suksinat, oksaloasetat disebut
golongan asam amino glukogenik, karena produk tersebut mampu diubah kembali menjadi
glukosa dan glikogen.

Gambar 4. Asam amino sebagai "molekul totipoten biokimia".

Semua molekul hasil katabolisme asam amino memasuki Siklus Krebs dan dioksidasi
sempurna menjadi CO2 dan H2O. Selama transport elektron, ATP dihasilkan oleh fosforilasi
oksidatif sehingga asam amino berperan memberi persediaan energi bagi organisme.
Seperti yang telah kita ketahui, asam amino dikategorikan menjadi asam amino non
esensial (NEAAs), asam amino esensial (EAAs), dan asam amino esensial kondisional.
NEAA disintesis di dalam tubuh dari karbohidrat dan lemak yang memperoleh nitrogen dari
asam amino lainnya. EAA tidak dapat disintesis dan perlu diperkenalkan secara memadai
dengan diet. EAA merupakan input nutrisi yang paling relevan untuk sintesis protein. Dalam
kondisi seperti cedera, operasi, atau penyakit kronis, terdapat peningkatan permintaan asam
amino sebagai konsekuensi dari pengeluaran energi resting yang lebih tinggi. Pemakaian
EAAs ke dalam Siklus Kreb dan persaingannya dengan oksidasi glukosa atau asam lemak
melalui beta oksidasi merupakan strategi untuk mempertahankan produksi energi yang efisien
dalam kondisi patologis. Memang, beta oksidasi, yang sebagian besar sitoplasma,
mengurangi rasio ATP / O2 yang tersedia, dan mewajibkan sebagian besar EAAs digunakan
sebagai perantara Siklus Kreb. EAAs digunakan sebagai pengganti oksaloasetat turunan
piruvat yang diperpendek dengan sejumlah besar NADH yang dihasilkan dari mitokondria
karena oksidasi. Pergeseran metabolisme seperti itu adalah salah satu perubahan utama yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan nitrogen dan asupan nitrogen pada
pasien dengan kondisi metabolisme yang berubah secara kronis dan diukur sebagai
keseimbangan nitrogen (Pasini et al., 2018). Hal ini memicu ketidakseimbangan sirkulasi otot
dan protein yang menjadi bukti klinis dalam beberapa kondisi pengecilan otot (seperti
sarkopenia dan cachexia) dan atau hipoalbuminemia dengan atau tanpa anemia.
D. Patogenesis Ketidakseimbangan Protein: Sindrom Hipermetabolik
Lansia dan pasien dengan penyakit kronis (seperti infeksi dan sepsis) menunjukkan pola
mediator dengan rasio yang berubah antara molekul katabolik (misalnya, TNF-, kortisol,
katekolamin, glukagon, sitokin) yang mendorong degradasi protein dan faktor anabolik (
misalnya, insulin, faktor pertumbuhan mirip insulin, dan hormon pertumbuhan) yang
merangsang sintesis protein. Peningkatan rangsangan katabolik dan mengakibatkan gangguan
stimulasi anabolik/ katabolik merupakan suatu kondisi yang disebut sebagai "Sindrom
Hiperkatabolik (HS)". Hal ini sangat berdampak pada metabolisme seluruh tubuh dan
menyebabkan ketidakseimbangan antara input nutrisi dan kebutuhan sintetis/energi. Protein
kontraktil otot dan protein visceral yang bersirkulasi merupakan reservoir utama asam amino
dalam tubuh. Protein ini dapat terdegradasi oleh rangsangan katabolik dan/ atau latihan fisik
dan asam amino lainnya dapat digunakan kembali oleh sel untuk sintesis protein de novo.
Namun, sejumlah besar asam amino dideaminasi untuk menghasilkan energi dan zat antara
metabolisme lainnya melalui siklus Kreb dan/ atau dilepaskan ke dalam aliran darah untuk
mempertahankan kumpulan asam amino yang siap pakai. Dalam konteks ini, peran otot
rangka dan protein visceral yang bersirkulasi ialah memastikan pemeliharaan, penggerak dan
mengangkut molekul atau atom. Protein otot dan sistem sirkulasi melakukan pergantian
secara terus menerus.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 250-350 g protein per hari
dimetabolisme pada individu yang sehat. Namun, jumlah ini meningkat dalam kondisi
dengan permintaan metabolisme yang lebih tinggi. Lansia membutuhkan lebih banyak
protein untuk mengimbangi proses inflamasi dan kondisi katabolik yang berhubungan dengan
penyakit akut dan kronik yang pada umumnya terjadi akibat proses penuaan.
Ketidakseimbangan antara suplai protein dan kebutuhan protein dapat mengakibatkan
hilangnya massa otot skelet karena gangguan kronis pada keseimbangan antara sintesis dan
degradasi protein otot. Kebutuhan protein pada lansia meningkat karena terjadi peningkatan
metabolisme akibat inflamasi dan penyakit kronik, sedangkan asupan protein menurun karena
perubahan fisiologis yang menyebabkan penurunan selera makan dan kondisi lain seperti
gangguan kesehatan dan kondisi sosioekonomi.
Pada lansia terjadi perbedaan sintesis dan degradasi protein dibandingkan dengan dewasa
muda. Perbedaan tersebut terjadi pada fase makan dimana terjadi penurunan respons anabolik
protein otot terhadap asupan makanan pada lansia yang disebut resistensi anabolik. Resistensi
anabolik sintesis protein otot pada lansia ditandai dengan menurunnya sinyal anabolik
protein, menurunnya ambilan otot terhadap asam amino dari makanan, menurunnya
pengangkutan asam amino pasca prandial, menurunnya perfusi otot pasca prandial,
menurunnya ketersediaan asam amino pasca prandial, meningkatnya penyerapan asam amino
splaknik, dan menurunnya pencernaan dan absorpsi protein makanan. Proses penuaan akan
menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme pada lansia, akibatnya terjadi peningkatan
kebutuhan protein sehingga dibutuhkan asupan protein yang lebih tinggi (Halim, 2017).
Otot yang menua akan mengurangi respons anabolik terhadap dosis EAAs rendah (misal
kurang dari 10 g); namun, dosis yang lebih tinggi (misal 10-15 g, dengan setidaknya 3 g
leusin) cukup untuk menginduksi respon anabolik protein yang sebanding dengan orang
dewasa yang lebih muda. Oleh karena itu, disarankan agar orang yang lebih tua mengonsumsi
makanan yang kaya protein berkualitas tinggi dengan proporsi EAAs yang lebih tinggi,
seperti daging tanpa lemak dan makanan kaya leusin lainnya (misal kedelai, kacang, buncis,
dan lentil) (Pasini et al., 2018).
Gambar 5. Asam amino (AAs) dalam sel otot: fisiologis (atas) dan
sindrom hiperkatabolik (HS) dan/ atau resistensi insulin
(IS) (bawah).

E. Dampak Klinis dari Ketidakseimbangan Protein


Protein yang diperoleh dari makanan diperkaya dengan NEAA, yang tidak mendasar
untuk mendukung metabolisme global tetapi meningkatkan sintesis urea, dan EAAs,
yang sangat penting sebagai bahan bakar protein dan metabolisme global. Dengan
demikian asupan EAAs yang tidak mencukupi kebutuhan yang terus meningkat, nantinya
akan semakin memperburuk metabolisme protein seperti pada pasien obesitas dengan
penyakit kronis (misalnya: Gagal jantung). Asupan makanan menyediakan jumlah
protein yang memadai untuk memenuhi permintaan organ, menjaga integritas organ yang
penting bagi kehidupan. Sebaliknya, asupan EAA yang tidak cukup akan menginduksi
otot dan sirkulasi degradasi protein visceral agar melepaskan AAs untuk mengatasi
kekurangan tersebut. Sarkopenia dan hipoalbuminemia menjadi ciri klinis dari sindrom
hipermetabolik. Sindrom hipermetabolik juga mengurangi nafsu makan, serta mual dan
gangguan pencernaan pada seseorang dengan kondisi kronis yang mengarah ke nutrisi
yang tidak adekuat dan mengakibatkan berkurangnya ketersediaan nutrisi, termasuk
asam amino. Perubahan metabolisme protein pada pasien dengan penyakit kronis,
terutama yang berusia lebih tua, dapat meningkatkan risiko komplikasi yang mengancam
jiwa (misalnya, infeksi karena berkurang atau sel T yang bersirkulasi dan sekresi Ig
protein atau ketidakseimbangan rasio Na + / K +) dengan konsekuensi retensi air,
kegagalan pernapasan, dan edema paru. Selain itu, disfungsi jantung, aritmia ventrikel,
dan insufisiensi ginjal juga dapat terjadi (Pasini et al., 2018).

Gambar 6. Efek ketidakseimbangan protein pada berbagai sistem dan


keseimbangan cairan.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan

Dari pembahasan di atas, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:

- Protein adalah makro molekul yang terdiri dari asam amino (AAs), berfungsi untuk
menyediakan bahan dasar sintesis protein, juga berperan sebagai bahan dasar
pembentuk hormon amina, nukleotida, purin dan pirimidin, hormon peptida, glutation
karnitin, dan lain sebagainya.
- Asam amino dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya
disintesis oleh tubuh manusia, diantaranya asam amino non-esensial, asam amino
esensial, dan asam amino esensial kondisional.
- Aliran keluar masuknya asam amino di dalam suatu sel terjadi melalui turn over
protein (pergantian protein).
- Degradasi asam amino melalui reaksi transdeaminasi, menghasilkan rangka karbon
dan gugus amonia. Rangka karbon asam amino akan mengalami proses lanjut masuk
ke Siklus Krebs (untuk dimanfaatkan energinya). Bila kebutuhan energi tubuh sudah
terpenuhi maka rangka karbon asam amino diubah menjadi glukosa (khusus untuk
asam amino glukogenik) atau ketosa dan asam lemak (khusus untuk asam amino
ketogenik).
- Tidak seimbangnya antara asupan dan kebutuhan protein mengakibatkan perubahan
pada metabolisme sehingga ini memicu ketidakseimbangan sirkulasi otot dan protein.
- Sindrom Hiperkatabolik merupakan peningkatan rangsangan katabolik sehingga
mengakibatkan gangguan stimulasi anabolik/ katabolik.
- Konsekuensi biokimia hiperkatabolisme adalah kekacauan protein, terbukti secara
klinis dengan tanda-tanda seperti sarkopenia, hipalbuminemia, anemia, infeksi, dan
perubahan kompartemen cairan, dan lain-lain.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan ialah asupan protein
hendaknya mencukupi angka kebutuhan gizi tubuh sehingga keseimbangan metabolisme
protein tetap terjaga, terutama pada lansia dan seseorang dengan penyakit kronis yang
membutuhkan lebih banyak asupan protein dengan tujuan counter immune system atau untuk
perbaikan jaringan.
DAFTAR PUSTAKA

Halim, R. 2017. Pengaruh Asupan Protein dan Asam Amino Rantai Cabang (AARC)
terhadap Kekuatan Otot pada Lansia. JMJ. 5 (1): 41-48.

Iswari, R.S., R. Susanti, & A. Yuniastuti. 2015. Biochemistry. Semarang: Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNNES.

Murray, E., W. Khamri, M.M. Walker, P. Eggleton, A.P. Moran, J.A. Ferris, S. Knapp, Q.N.
Karim, M. Worku, P. Strong, K.B.M Reid, & M.R. Thursz. Expression of Surfactant
Protein D in the Human Gastric Mucosa and during Helicobacter pylori Infection.
Infection and Immunity. 70 (3): 1481-1487.
Pasini, E., G. Corsetti, R. Aquilani, C. Romano, A. Picca, R. Calvani, & F.S. Dioguardi.
2018. Protein-Amino Acid Metabolism Disarrangements: The Hidden Enemy of
Chronic Age-Related Conditions. Nutrients. 10 (391): 1-11.
Poppe, M., J. Bourke, M. Eagle, Anderson, D. Birchall, M. Brockington, M. Buddles, M.
Busby, F. Muntoni, A. Wills, & K. Bushby. 2003. The phenotype of limb-girdle
muscular dystrophy type 2I. Neurology. 2 (2): 1246-1251.

Anda mungkin juga menyukai