Anda di halaman 1dari 35

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A217101/ Agustus 2019


** Pembimbing / dr. T. Rahadiyan, Sp.JP-FIHA

SINDROM KORONER AKUT

Oleh:

Enita Harianti

NIM. G1A217101

Pembimbing: dr. T. Rahadiyan, Sp.JP-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN KARDIOLOGI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)


SINDROM KORONER AKUT

Disusun Oleh :
Enita Harianti
G1A1217101

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Kardiologi RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Agustus 2019

Pembimbing

dr. T. Rahadiyan, Sp.JP-FIHA

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat Clinical Science Session(CSS) yang
berjudul “Sindrom Koroner Akut” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Kardiologi di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. T. Rahadiyan, Sp.JP-FIHA


yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Kardiologi di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini,


sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
kasus ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Jambi, Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ......................................................................................... ii
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Kardiovaskular merupakan salah satu penyebab kematian utama


di Indonesia sehingga diperlukan pedoman atau strategi tatalaksana yang
bertujuan mempermudah petugas kesehatan yang bertugas pada lini terdepan
untuk mampu menegakkan diagnosis dini serta memberi tatalaksana awal yang
tepat pada pasien sindrom koroner akut (SKA) khususnya infark miokard akut
(IMA) disertai elevasi segmen ST (IMA-EST), sehingga dapat menurunkan angka
mortalitas pasien SKA, khususnya IMA-EST.1
Istilah ACS banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian
yang gawat pada pembuluh darah koroner. ACS merupakan satu sindrom yang
terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, unstable angina, Acute Myocardial
Infarction dengan segmen ST elevasi (STEMI) dan Acute Myocardial Infarction
tanpa segmen ST elevasi (NSTEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau
pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Alasan rasional menyatukan semua
penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme patofisiologi yang
sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya
agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan
stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. Sedangkan
letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi
ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan
trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan
pada elevasi ST adalah trombus komplet/oklusif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Koroner Akut (SKA)3,9


2.1.1 Definisi Sindrom Koroner Akut
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatan jantung yang
terjadi karena adanya ruptur atau erosi dari plak aterosklerosis yang
memiliki gambaran berupa angina pektoris tidak stabil (unstable angina
pectoris/UAP), infark miokardium akut (IMA) baik dengan peningkatan
segmen ST (ST segmen elevation myocardial infarction/ STEMI) maupun
tanpa peningkatan segmen ST (non ST segmen elevation myocardial
infarction/NSTEMI).

2.1.2 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner,
baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti sekitar 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total
pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi
yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah
gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan
stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel
(perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA
tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria,
tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor
ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia,
dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah
mempunyai plak aterosklerosis.

2.1.3 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut


1. Angina Pektoris Tak Stabil (APTS)
APTS adalah dimana simptom iskemia sesuai SKA, tanpa terjadi
peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) dengan atau
tanpa perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen
ST, inversi gelombang T dan elevasi segmen ST yang transien. Yang
termasuk dalam angina tak stabil adalah:
a) Bila pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di
mana angina adalah cukup berat dan frekuensi lebih dari 3 kali
per hari.
b) Bila pasien dengan angina yang makin bertambah berat,
sebelumnya angina stabil, tapi serangan angina timbul lebih
sering dan lebih berat nyerinya tetapi faktor presipitasi makin
ringan.
c) Pasien dengan serangan angina masa istirahat.
2. Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)
Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah sama
dengan angina pektoris tak stabil dan penatalaksanaan juga adalah
sama. Akan tetapi NSTEMI ditegakkan dengan adanya nekrosis
miokard dan adanya peningkatan biomaker jantung.
3. Infark Miokard Dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)
Infark miokard ini merupakan gambaran cedera miokard transmural
akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus.

2.1.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan
angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar
ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten (beberapa
menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin),
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina tipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti),
sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak
yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada
pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilanngnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak
prediktif terhadap diagnosis SKA.
Presentasi klinik IMA-NEST dan APTS pada umumnya berupa:
1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami
oleh sebagian besar pasien (80%)
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society (CSS). Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin
berat; minimal kelas III klasifikasi CSS.
4. Angina pasca infark miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu
setelah infark miokard.
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen,
terutama pada wanita dan lanjut usia. Keluhan yang paling sering
dijumpai adalah awitan baru atau perburukan sesak napas saat
aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut
presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin,
umur, dan jumlah faktor risiko.
Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat
PJK, terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi
dari SKA. Keluhan yang sama pada seorang pria lanjut usia (>70
tahun) dan menderita diabetes berpeluang menengah suatu SKA.
Angina ekuivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada seseorang
tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan
presentasi dari SKA (Tabel 1.4).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan
pada pasien dengan karakteristik berikut:
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non-koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang
diklasifikasikan sebagai risiko tinggi, risiko sedang, atau risiko
rendah menurut National Cholesterol Education Program (NCEP).
Nyeri dengan gambaran dibawah ini bukan karakteristik iskemia
miokard (nyeri dada non-kardiak):
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi
atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di
daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai
keluhan SKA, maka terminologi angina dalam panduan ini lebih
mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan
penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis
kontraindikasi terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan
diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung
disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat
penyakit serebrovaskular.

2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga
(S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa
untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-
tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi basah
halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang
perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

3. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya
di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan
EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik.15 Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat
darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina
timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan
keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB
(Left Bundle Branch Block) baru/persangkaan baru, elevasi segmen
ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi
segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar
sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun
adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead
V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita,
nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah
≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap
lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.15
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien
STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien
tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien
dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan penanda jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG
pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif
dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST
seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai
spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks
QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak
ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah
NSTEMI atau Angina tidak stabil . Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3
dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen
ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten
(<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi
untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai
dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan
EKG yang nondiagnostik.
Gambar 2.1 Evolusi Gelombang EKG pada STEMI
Tabel 1 Nilai Ambang Diagnostik Elevasi Segmen ST

Tabel 2.14 Lokasi Infark berdasarkan Sadapan EKG

Tabel 2. Lokasi infark berdasar sadapan EKG

4. Pemeriksaan Biomarka Jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau Troponin I/T merupakan penanda
nekrosis miosit jantung dan menjadi penanda untuk diagnosis infark
miokard. Troponin I/T sebagai penanda nekrosis jantung mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan
penanda jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun
tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner/non koroner). Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak non koroner seperti takiaritmia,
trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan non kardiak yang dapat
meningkatkan kadar Troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya Troponin T dan
Troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan
ini, Troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari Troponin
T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
Troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah
awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan
angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan
pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas
lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat
waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan penanda jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung
(point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point
of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika
waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam.
Jika penanda jantung secara point of care testing menunjukkan hasil
negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. penanda jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI,
depresi ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia
miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan penanda jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan
penanda jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-
darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang
nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit. dalam ruang intensive
cardiovascular care (ICVCU/ICCU).

Gambar 2.2 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung 3

5. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel
lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.

6. Pemeriksaan foto polos dada


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang
gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan
pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi
komplikasi dan penyakit penyerta.

7. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan Penyakit Jantung Koroner, sehingga sebaiknya
segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko
tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi
trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada
pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin
namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik.
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan
stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman
EKG dengan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.

2.1.5 Klasifikasi SKA


1. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) dan Infark Miokard Non-Elevasi
Segmen T (IMA-NEST)
Angina pektoris tidak stabil (APTS) dan infark miokard akut tanpa elevasi
ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda. Menurut pedoman American College of Cardiology
(ACC) dan American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan
infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul
cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga
adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa.2
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS) dan infark miokard non ST
elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat
disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka
jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak
meningkat, diagnosis mengarah APTS.3

Stratifikasi Risiko
Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan
selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing-
masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun,
≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2
kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan
penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis
koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah
skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko
menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi
(risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi
untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA
termasuk APTS/NSTEMI. 3

Tabel 2.2 Skor TIMI untuk APTS dan NSTEMI

Tabel 2.3 Stratifikasi Risiko berdasarkan skor TIMI


Klasifikasi GRACE (Tabel 2.4) mencantumkan beberapa variable yaitu
usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, henti jantung saat
tiba di ruang gawat darurat, kreatinin serum, biomarka jantung yang positif, dan
frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas
saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indicator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut
dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognostik) dalam 30 hari
(Tabel 2.6) Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variable dalam
klasifikasi GRACE.
Tabel 2.4. Skor GRACE
Tabel 2.5 Stratifikasi Risiko Kematian berdasarkan Skor GRACE

Tabel 2.6 Mortalitas 30 hari berdasarkan Kelas Killip

Penatalaksanaan
Tindakan umum

Pasien perlu perawatan dirumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner,


pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen; pemberian
morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun
sudah mendapatkan nitrogliserin.

1. Anti Iskemia

1.1. Penyekat Beta (Beta blocker) 3

Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi
hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler
yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada
kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien APTS atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra.
penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta
juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama
tidak ada indikasi kontra. Pemberian penyekat beta pada pasien dengan

riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap
dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥ III. Beberapa penyekat beta
yang sering dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat pada tabel 2.7. 3

Tabel 2.7 Jenis dan dosis penyekat beta

1.2 Nitrat 3

Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.

1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina.

2. Pasien dengan APTS/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya


mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra.

3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau
hipertensi dalam 48 jam pertama APTS/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat
intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan
mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor
(ACE-I).

4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.

5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat
untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan. 3

Tabel 2.8 Jenis dan dosis nitrat

1.3 Calcium channel blockers (CCBs) 3

Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner
yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan
CCB pada APTS dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina. 3

Table 2.9 Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium

2. Antiplatelet3

1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya
untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.

2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin


dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih.

3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama


DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko
seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid.

4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan


sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.

5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian


iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa
memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien
yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian
dihentikan).

6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan


ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap
hari.

7. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau

dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.

8. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-

2 selektif dan NSAID non-selektif ).

Tabel 2.10 Jenis dan dosis antiplatelet

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor


glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik
dan perdarahan. Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat
diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi
(misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan
rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi atau
pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif. 3

4. Antikogulan

Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.3


1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan
terapi antiplatelet.

2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan


berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.

3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko


yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan.

4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan


bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa).

5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.

6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia.

7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu


dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.

Tabel 2.11 Jenis dan Dosis antikoagulan

5. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi


remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada
penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK,
beberapa penelitian memperkirakan adanya efek anti aterogenik. 3

Tabel 2.12 Jenis dan dosis Inhibitor ACE

6. Statin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan


modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita APTS/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi
statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan
sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL. Menurunkan
kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

2. Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST)

STEMI didefenisikan sebagai kejadian oklusi mendadak di arteri koroner


epikardial dengan gambaran EKG elevasi segmen ST.

Faktor Resiko

Berdasarkan studi Framingham, faktor risiko STEMI dapat dibagi menjadi


dua, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.6,7

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

1. Usia
Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan usia. Perubahan
utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika intima disertai tunika
media yang mengalami fibrosis. Ketebalan dari tunika intima yang diamati secara
bertahap meningkat ketika dekade keempat dan kemudian menipis secara
bertahap. Umur berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner
karena dapat mempengaruhi faktor risiko lain, seperti tekanan darah tinggi,
obesitas, dan kadar lemak. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai total
kolesterol dan Low Density Lipoprotein (LDL) meningkat disertai nilai High
Density Lipoprotein (HDL) yang rendah, juga berhubungan dengan pertambahan
umur.

2. Jenis kelamin

Pria mempunyai risiko lebih besar dari perempuan dan mendapat serangan lebih
awal dalam kehidupannya dibandingkan wanita. Itu dikarenakan kebanyakan
faktor risikonya tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok, alkohol, dan kadar
HDL yang lebih rendah dari wanita dan sebelum menopause, estrogen
memberikan perlindungan kepada wanita dari penyakit jantung koroner.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :

1. Merokok

Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida, ammonia,


formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya adalah nikotin (efek akut)
dan tars (efek kronis). Efek nikotin pada system kardiovaskuler adalah efek
simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar
sistol, meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac output,
dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik,
penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih mudah memasuki
dinding arteri yang berperan dalam patogenesis PJK.

2. Dislipidemia.
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol terdiri dari 2
bentuk utama, yaitu HDL yang berperan dalam membawa kadar lemak yang
tinggi dalam jaringan ke hati untuk dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan
LDL yang berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner.
Nilai LDL yang tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan risiko
penyakit jantung, terutama PJK.

3. Hipertensi

Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding jantung


menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik.
Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan faktor risiko yang lain, akan
meningkatkan risiko penyakit jantung. Patofisiologi dari hipertensi menyebabkan
PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan pada endotel
yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan membuat
penumpukan okigen reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi yang
mendukung perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan
pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang
menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri. Itu menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokardium dan menurunnya aliran darah koroner.

4. Diabetes melitus

Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan pembentukan plak
ateromatous pada arteri2. Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan banyak
perubahan pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide
adenine dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti sebagai stresor
oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP) N-acetyl
glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi enzimatik seluler, dan
pembentukan advanced glycation end product (AGE) yang secara langsung
menganggu fungsi sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan
reactive oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida endotel
dan menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur.

Tatalaksana
Tatalaksana STEMI mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun
konsensus dari para ahli sesuai pedoman pada Gambar 2.3 3

Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,


menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi
ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu
disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada .3

Gambar 2.3 Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI 3

Pasien dengan STEMI harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan

dalam 1,5 – 2 jam setelah terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa

sedini mungkin. Pasien dengan STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12

jam awal. Terapi fibrinolitik diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang

dilakukan pada 30 menit awal dari kedatangan di Rumah Sakit.


Berdasarkan ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with

ST-Elevation Myocardial Infarction (2013), tatalaksana pasien STEMI dijabarkan

sebagai berikut :3

1. Pemberian Oksigen

Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri

< 94%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen

selama 6 jam pertama.

2. Nitrogliserin

Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4

mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian

seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena.

3. Analgesik

Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8

mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk

manajemen nyeri yang disebabkan STEMI.

4. Aspiria

Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan

aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg.

Selanjutnya aspirin diberikan secara oral dengan dosis 75-162 mg.

5. Beta Bloker

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,

selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol 5

mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis.


6. Klopidogrel

Pemberian Klopidogrel 600 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan dosis

rumatan sebesar 75 mg per hari. Obat-obat seperti penghambat reseptor beta dan

ACE inhibitor harus segera diberikan kecuali terdapat kontraindikasi dan pasien

harus dalam keadaan hemodinamik stabil. Statin dilaporkan memberikan hasil

yang baik.

Terapi Reperfusi

Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi.

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat

disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI

berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.

Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau

medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90 menit.

Reperfusi, dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan dalam waktu kurang

dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien infark miokard yang juga

memenuhi salah satu kriteria berikut :

 ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang berturutan,

 ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,

 Left bundle branch block baru.

Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada

tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung

pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian

(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih
dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah

fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat

dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP. 3

Terapi Fibrinolitik3

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada

tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu

yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam

sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer

tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak

medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan

gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu

dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon

lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.

Jenis obat fibrinolotik sebagai terapi reperfusi adalah:

 Streptokinase

◦ Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline

0,9% dalam waktu 30-60 menit.

◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam

 Alteptase

◦ Dosis awal bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg selama 30 menit,

kemudian 0,5mg / kg selama 60 menit, dosis total tidak lebih dari

100mg
◦ Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan terapi

fibrinolitik, hal ini dikarenakan terdapat beberapa kontraindikasi pada

penggunaannya. Berikut adalah kontraindikasi penggunaan fibrinolitik.

Pemberian Antikoagulan3

Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan

terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap,

hingga maksimum 8 hari. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi,

dapat diberikan terapi antikoagulan selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari

pemberian. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight

Heparin (LMWH) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien

yang mendapat terapi fibrinolisis.


Jenis-jenis obat antikoagulan antara lain:

 Warfarin

o Dosis awal yang dapat diberikan yaitu 10 mg dan 5 mg pada hari

kedua dengan pengaturan dosis pada hari ketiga sekitar 3-7,5 mg.

o Pemberian obat ini secara oral.

o Kontraindikasi pemberian pada penyakit-penyakit dengan

kecenderungan perdarahan, tukak saluran cernaa, defisisensi

vitamin K, serta penyakit hati dan ginjal yang berat.

 Heparin

o Dosis awal yang diberikan yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000 U)

secara bolus. Kemudian pemberian lanjutan melalui infuse

dengan dosis 12 U/kgBB.

o Pemberian heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang

mengalami perdarahan misalnya pasien hemophilia, endokarditis

bacterial subakut, perdarahan intracranial, hipertensi berat, dan

syok.

 Enoxaparin (Lovenox)

o Dosis yang diberikan 1 mg/kg setiap 12 jam subkutan, ditambah

dengan pemberian aspirin 100-325 setiap harinya selama minimal

2 hari.

Kontraindikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan hemoragia dan pernah


menderita trombositopenia selama pengobatan.
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular


yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka
kematian yang tinggi sehingga diperlukan pedoman atau strategi tatalaksana yang
bertujuan mempermudah petugas kesehatan yang bertugas pada lini terdepan
untuk mampu menegakkan diagnosis dini serta memberi tatalaksana awal yang
tepat pada pasien sindrom koroner akut (SKA) khususnya infark miokard akut
(IMA) disertai elevasi segmen ST (IMA-EST), sehingga dapat menurunkan angka
mortalitas pasien SKA, khususnya IMA-EST.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Trisnohadi HB, Muhadi. Angina Pektoris Tak Stabil/Infark Miokard Akut


Tanpa Elevasi ST. Dalam : Sudoyo AW, et.al, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
edisi VI jilid II; 2014. Hlm: 1449-1455
2. Dharma S. Cara mudah membaca EKG. Jakarta : EGC. 2015
3. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi 4. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesial Kardiovaskular Indonesia. 2018.
4. Steven, Yang Eric., 2004. Coronary Artery Disease (2st ed.). USA: Icon
Learning System. pp: 114.
5. ST-Segment Elevation Myocardial Infartion in Hurst’S The Heart Volume II
14th Edition. Manesh R, et al, Editor : Fuster V, et al. New York :MacGraw
Hill Education. 2017
6. Paduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah Edisi Pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesial
Kardiovaskular Indonesia. 2016.
7. ST Elevation Myocardial Infarction In Braunwald’s Heart Disease Volume II
Eleventh Edition. Benjamin M, et al. Editor: Zipes DW, et al. Canada :
Elsevier. 2015.
8. Sindrom Koroner Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
VI. Alwi Idrus, Editor: Setiati siti, et al. Jakarta : InternaPublishing. 2014.
9. 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation: Task Force for
the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting without
Persistent ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology
(ESC). Eur Heart J. 37(3):267-315. doi: 10.1093/eurheartj/ehv320. Epub 2015
Aug 29.

Anda mungkin juga menyukai