Anda di halaman 1dari 57

SEMINAR PROPOSAL PENELITIAN

Efek Jus Pinang (Areca catechu) Terhadap Motilitas Sperma dan


Jaringan Testis Tikus Putih Galur Sprague Dawley

Diajukan Oleh :

ROBI’ATUL ADAWIYAH

NIM : G1A114054

Pembimbing Substansi : dr. Ave Olivia Rahman, MSc


Pembimbing Metodologi : Dr. dr. Charles.AS,SpOT(K)Spine,MPd
Penguji I : dr. Ahmad Syauqy, M.Biomed
Penguji II : dr. Hasna Dewi, Sp.PA, M.Kes
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

WHO

PINANG Kandungan

Khasiat

Efek Farmakologi

Penelitian Sebelumya

Efek biji pinang motilitas sperma dan jaringan testis


1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dirumuskan


masalah penelitian sebagai berikut:

“Apakah jus biji Pinang dosis kecil (Areca Catechu L)


mempengaruhi jaringan testis tikus putih?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek jus biji Pinang dosis besar (Areca Catechu L) terhadap jaringan testis
pada tikus putih.
1.3.2 Tujuan Khusus

•Untuk mengetahui gambaran histopatologi testis pada tikus setelah


pemberian jus pinang selama45 hari dengan dosis kecil 250 mg/kgBB.

•Untuk mengetahui gambaran histopatologi testis pada tikus setelah


pemberian jus pinang selama 45 hari dengan dosis besar 10.000 mg/kgBB.

•Untuk mengetahui gambaran histopatologi testis pada tikus setelah


pemberian jus pinang selama 45 hari pada kontrol negatif.

•Membandingkan jaringan testis pada ketiga kelompok.


1.4 Manfaat Penelitian

Bagi Masyarakat

Bagi Institusi Pendidikan

Bagi Peneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telaah Pustaka
2.1.1 Pinang (Areca catechu L)
2.1.1.1 Klasifikasi Tumbuhan Pinang

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Arecidae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu L.
2.1.1.2 Morfologi Tanaman
Tumbuhan berhabitat pohon dengan batang tegak, tinggi dapat mencapai
25 m, tajuk pohon tidak rimbun. Pelepah daun berbentuk tabung,
panjang 80 cm; tangkai daun pendek; helaian daun panjang 80 cm; anak
daun ukuran 85 x 5 cm, dengan ujung terbelah.

2.1.1.3 Morfologi Buah Pinang


Berdasarkan tingkat kematangannya buah pinang dibagi menjadi
tiga jenis. Buah pinang muda/mentah berwarna hijau muda hingga
hijau tua, dengan kulit dan biji yang lembut, buah pinang
sedang/masak berwarna kuning sampai keemasan dengan kulit
seperti sepon dan mengandung banyak air dari pada buah pinang
muda dan matang.
2.1.1.4 Kandungan Fitokimia

Fitokimia pinang:
• Polyphenol : Secara umum terdiri dari flavonoid, katekin 10%,
Epikatekin 2,5%, dan leukocyanidin 12%.
• Alkaloid : Terdiri dari arecolin 7,5 mg/g, arecaidine 1,5 mg/g,
guvacoline 2,0 mg/g, guvacine 2,9 mg/g.
• Lemak : Terdiri dari asam lemak arecanut (19,5%), asam lauric
(46,2%), asam myristic (12,7%), asam palmitic (1,6%), asam stearic
(0,3%), asam dekanoic (6,2%), asam oleic (5,4%), asam dodecenoic
(0,3%), asam tetradecenoic (0,6%), asam hexadecenoic (7,2%).
• Mineral : Terdiri dari kalsium (0,05%), phosphor (0,13%), besi (1,5
mg/100g), Vit.B6 (286,9 mg), dan Vit.C (416,2 mg).
2.1.1.5 Khasiat
Biji pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin
terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Proantosinin
mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, anti-inflamasi,
anti-alergi, dan vasodilatasi.

2.1.2 Histologi
a. Tubulus seminiferus
Tubulus seminiferus terdiri sel spermatogenik dan sel Sertoli yang
mengatur dan menyokong nutrisi spermatozoa yang berkembang, hal ini
tidak dijumpai pada sel tubuh lain.
b. Sel-sel germinal
Spermatogonium adalah sel spermatif, yang terletak di samping lamina
basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12 μm
dan intinya mengandung kromatin pucat.
c. Sel Sertoli
Sel Sertoli adalah sel pyramid memanjang yang sebagian memeluk sel-sel
dari garis keturunan spermatogenik. Fungsi utama sel Sertoli adalah untuk
menunjang, melindungi dan mengatur nutrisi spermatozoa.

d. Sel Leydig
Sel insterstisial Leydig merupakan sel yang memberikan gambaran
mencolok untuk jaringan tersebut. Sel-sel Leydig letaknya berkelompok
memadat pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan
tubulus seminiferus.
2.1.2.1 Spermatogenesis

Proses Spermatogenesis:
a. Spermatogenesis
b. Meiosis
c. Spermiogenesis
d. Spermatozoa
2.1.3 Tinjauan Hewan Percobaan
2.1.3.1 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Lama Hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun
Lama Produksi 1 tahun
Berat Tikus Dewasa Jantan 450-520 gram
Betina 250-300 gram
Kebutuhan Makan 5-10 g/100 g berat badan
Kebutuhan Minum 10 ml/100 g berat badan
Jangka Hidup 3-4 tahun
Temperatur Rektal 36°C-40°C
Detak Jantung 250-450 kali/menit

Tekanan Darah Sistol 84-134 mmHg


Diastol 60 mmHg
Laju Pernapasan 70-115 kali/menit
Serum Protein (g/dl) 5,6-7,6 (g/dl)
Albumin (g/dl) 3,8-4,8 (g/dl)
Globulin (g/dl) 1,8-3 (g/dl)
Glukosa (mg/dl) 50-135 (mg/dl)
Nitrogen Urea Darah (mg/dl) 15-21 (mg/dl)
Kreatinin (mg/dl) 0,2-0,8 (mg/dl)
Total Bilirubin (mg/dl) 0,2-0,55 (mg/dl)
Kolesterol (mg/dl) 40-130 (mg/dl)
2.1.3.2 MetodeEuthanasia
Cervical
Dislocation

Decapitation
Euthanasia
Fisik:
Stunning &
Menurut Franson metode Exsanguination
dasar euthanasia terbagi
menjadi fisik dan kimia : Captive bolt

Euthanasia Inhalasi
Kimia:
2.2 Kerangka Teori
2.3 Kerangka Konsep
2.4 Hipotesis
Pemberian jus biji pinang (Areca Catechu L) dengan dosis
yang meningkat akan mempengaruhi kerusakan terhadap testis
tikus putih.
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
eksperimental jenis laboratorium dengan menggunakan
rancangan The Randomized Post Test Control only Group
Design dengan menggunakan hewan percobaan sebagai obyek
penelitian.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium biomedik
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penelitian ini akan dilaksanakan dalam rentang waktu dari
bulan September sampai penelitian selesai.
3.3. Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tikus
Putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley
berumur 2-3 bulan dengan berat badan antara 150-200 gram
yang biasa digunakan untuk penelitian dan diperoleh dari
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
3.3.2 Sampel Penelitian dan Besar Sampel
Jumlah sampel penelitian minimal untuk tiap kelompok
adalah 5 ekor hewan coba.Penelitian ini menggunakan 5 ekor
tikus untuk tiap kelompok hewan coba sehingga jumlah tikus
yang digunakan untuk penelitian ini sebanyak 15 ekor tikus.
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi :
• Berjenis kelamin jantan
• Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan
bergerak aktif)
• Berusia sekitar 2-3 bulan
• Memiliki berat badan sekitar 150-200 gram

Kriteria Eksklusi :
• Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di
laboratorium
• Mati selama masa pemberian perlakuan
• Tikus yang sakit selama proses adaptasi yang ditandai dengan gerakan yang
tidak aktif.
3.3.4 Cara Pengambilan Sampel
Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu
dengan metode simple random sampling, menggunakan
sebanyak 15 ekor tikus yang dipilih secara acak, kemudian
dibagi kedalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok
terdiri dari 5ekor tikus.
3.3.5 Alat dan Bahan Penelitian
Alat penelitian
• Bak plastik (kandang) • Jarum pentul
• Tempat minum tikus • Mikroskop cahaya
• Suntikan/alat gavage • Neraca timbangan analitik
• Thermometer ruang • Sarung tangan
• Blender/lumpang • Neubauer-improved
• Pisau bedah
• Gunting bedah
• Bak bedah
• Sonde lambung 5 ml • Microscope slides ground
• Tissue edges dan deck glass
• Lap • Botol vial
• Kertas label • Pinset
• Cawan petri • Cetakan paraffin
• Beaker glass 100 ml • Objek glass
• Beaker glass 250 ml • Cover glass
• Pipet tetes • Staining jar
• Pipet leukosit • Mikrotom
• Refrigerator • Kuas
• Gelas ukur 10 ml • Magnetic stirrer
• Gelas ukur 1000 ml • Hot plate
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
•Tikus jantan •Minyak ermersi
•Makanan tikus •Paraffin lunak dan keras
•Biji pinang muda •ERILICH’s Haematoxylin
•Aquades •HAUPS
•NacCL 0,9% •Entelan
•Alkohol 30%, 50%, 60%, 70%, •Xylol
80%, 90%, 96%, 100% •Toluola
•Eosin
3.3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
3.3.6.1 Identifikasi Variabel
a. Variabel Dependen : Motilitas sperma dan jaringan
testis tikus putih
b. Variabel Independen : Dosis pemberian jus biji
pinang
c. Variabel Perancu
1. Dapat dikendalikan : Umur, makanan
2. Tidak dapat dikendalikan : Hormonal, keadaan psikologis tikus
3.3.6.2 Definisi Operasional Variabel
Parameter Definisi Skala Ukur
Hasil Ukur

Diameter Tubulus - Diameter terkecil tubulus Ratio


Seminiferus seminiferus dalam satuan
µm.

Nekrosis Spermatogonia (+) hilangnya inti sel , Derajat nekrosis Ordinal


dibaca pada pembesaran 1 = Tidak ada ; 0
400x, 4 lapang pandang 2 = Ringan ;<30%
3 = Sedang ; 30-50%
4 = Berat ;>50%

Nekrosis Spermatosit (+) hilangnya inti sel , Derajat nekrosis Ordinal


dibaca pada pembesaran 1 = Tidak ada ; 0
400x, 4 lapang pandang 2 = Ringan ;<30%
3 = Sedang ; 30-50%
4 = Berat ;>50%
Parameter Definisi Skala Ukur
Hasil Ukur

Nekrosis Spermatid (+) hilangnya inti sel , Derajat nekrosis Ordinal


dibaca pada pembesaran 1 = Tidak ada ; 0
400x, 4 lapang pandang 2 = Ringan ;<30%
3 = Sedang ; 30-50%
4 = Berat ;>50%

Nekrosis Spermatozoa (+) hilangnya inti sel , Derajat nekrosis Ordinal


dibaca pada pembesaran 1 = Tidak ada ; 0
400x, 4 lapang pandang 2 = Ringan ;<30%
3 = Sedang ; 30-50%
4 = Berat ;>50%

Nekrosis Sel sertoli (+) hilangnya inti sel , Derajat nekrosis Ordinal
dibaca pada pembesaran 1 = Tidak ada ; 0
400x, 4 lapang pandang 2 = Ringan ;<30%
3 = Sedang ; 30-50%
4 = Berat ;>50%
Parameter Definisi Skala Ukur
Hasil Ukur

Hiperplasia Sel Leydig (+) Penumpukan sel Derajat nekrosis Ratio


leydig , dibaca pada 1 = Tidak ada ; 0
pembesaran 400x, 4 2 = Ringan ;<30%
lapang pandang 3 = Sedang ; 30-50%
4 = Berat ;>50%

Fibrosis sel leydig (+) Pembentukan Derajat nekrosis Ordinal


jaringan ikat fibrosa 1 = Tidak ada ; 0
yang berlebihandi sel 2 = Ringan ;<30%
leydig, dibaca pada 3 = Sedang ; 30-50%
pembesaran 400x, 4 4 = Berat ;>50%
lapang pandang
Sel inflamasi (+) Adanya sel inflamasi Derajat nekrosis Ordinal
di jaringan testis , dibaca 1 = Tidak ada ; 0
pada pembesaran 400x, 2 = Ringan ;<30%
4 lapang pandang 3 = Sedang ; 30-50%
4 = Berat ;>50%
3.4 Prosedur Penelitian
1. Aklimatisasi hewan coba
2. Prosedur pembuatan jus pinang: dosis 250mg/KgBB
3. Prosedur pembuatan jus pinang dosis 10.000 mg/KgBB
4. Pengambilan Testis
3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histologi testis


akan dianalisis menggunakan digunakan uji non parametrik
Kruskal-Wallis.
Hipotesis dianggap bermakna bila nilai p<0,05. Jika pada uji
one-way ANOVA atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai
p,0,05 digunakan untuk melihat perbedaan antar kelompok
perlakuan.
3.6 Alur Penelitian
3.7 Etika Penelitian
Hewan coba diperlakukan sesuai dengan kode etik penelitian
yang berlaku. Pada penelitian ini digunakan hewan coba yaitu
Tikus Putih (rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley
yang dipelihara di Laboratorium Biomedik Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi. Setelah
penelitian dilaksanakan, Tikus Putih (rattus norvegicus) jantan
galur Sprague Dawley akan diterminasi dengan cara dekapitasi.
3.8 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan, terdapat beberapa kendala


yang merupakan hambatan penelitian ini, antara lain:
a. Keterbatasan biaya dalam menyediakan sampel, alat-alat dan
bahan penelitian
b. Keterbatasan dalam pembuatan preparat histopatologi
c. Keterbatasan tenaga dan waktu.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1 Rata-rata Skor Penilaian Histopatologi Jaringan Testis
Tikus Pada Tiap Kelompok
Gambaran Histopatologi Testis
Diameter Tubulus Seminiferus

Gambar 4.1 Diameter Tulubus Seminiferus perbesaran 100x


dengan pengecatan HE. A= Kelompok kontrol negatif, B=
Kelompok dosis kecil (250 mg/kgBB), C=Kelompok dosis besar
(10.000 mg/kgBB)
Nekrosis Spermatogonia
Nekrosis Spermatosit

Gambar 4.3 Derajat tingkat nekrosis spermatosit perbesaran 400x dengan


pengecatan HE. A= Kelompok kontrol negatif, B= Kelompok dosis kecil (250
mg/kgBB), C=Kelompok dosis besar (10.000 mg/kgBB)
Nekrosis Spermatid

Gambar 4.4 Derajat tingkat nekrosis spermatidperbesaran 400x dengan


pengecatan HE. A= Kelompok kontrol negatif, B= Kelompok dosis kecil (250
mg/kgBB), C=Kelompok dosis besar (10.000 mg/kgBB)
Nekrosis Spermatozoa

Gambar 4.5 Derajat tingkat nekrosis spermatozoa perbesaran 400x dengan pengecatan
HE. A= Kelompok kontrol negatif, B= Kelompok dosis kecil (250 mg/kgBB),
C=Kelompok dosis besar (10.000 mg/kgBB)
Nekrosis Sel Sertoli

Gambar 4.6 Derajat tingkat nekrosis sel sertoliperbesaran 400x


dengan pengecatan HE. A= Kelompok kontrol negatif, B=
Kelompok dosis kecil (250 mg/kgBB), C=Kelompok dosis besar
(10.000 mg/kgBB)
Hiperplasia Sel Leydig

Gambar 4.7 Derajat tingkat nekrosis hiperplasia perbesaran


400x dengan pengecatan HE. Tampak perbedaan nekrosis
hiperplasia pada kelompok 1,2 dan 3 A= Kelompok kontrol
negatif, B= Kelompok dosis kecil (250 mg/kgBB),
C=Kelompok dosis besar (10.000 mg/kgBB)
Fibrosis Sel Leydig

Gambar 4.8 Derajat tingkat nekrosis fibrosisperbesaran 400x


dengan pengecatan HE. A= Kelompok kontrol negatif, B=
Kelompok dosis kecil (250 mg/kgBB), C=Kelompok dosis
besar (10.000 mg/kgBB)
Sel Inflamasi

Gambar 4.9 Derajat tingkat nekrosis sel inflamasi


perbesaran 400x dengan pengecatan HE. A= Kelompok
kontrol negatif, B= Kelompok dosis kecil (250
mg/kgBB), C=Kelompok dosis besar (10.000 mg/kgBB)
Penebalan Pembuluh Darah

Gambar 4.10 Derajat tingkat nekrosis Penebalan Pembuluh


Darah perbesaran 400x dengan pengecatan HE. A=
Kelompok kontrol negatif, B= Kelompok dosis kecil (250
mg/kgBB), C=Kelompok dosis besar (10.000 mg/kgBB)
BAB V KESIMPULAN
DAN SARAN
• Pemberian jus biji pinang 250 mg/kgBB menyebabkan
penyusutan ukuran diameter tubulus seminiferus, nekrosis
spermatogonia dan nekrosis spermatosit.
• Pemberian jus biji pinang 10.000 mg/kgBB menyebabkan
penyusutan ukuran diameter tubulus seminiferus, nekrosis
spermatogonia dan nekrosis spermatosit yang lebih besar
dibandingkan pemberian jus biji pinang 250 mg/kgBB.
• Pada penelitian ini tidak terdapat kerusakan pada nekrosis
spermatid, nekrosis spermatozoa, nekrosis sel sertoli, hyperplasia
sel leydig, fibrosis sel leydig, sel inflamasi dan penebalan
pembuluh darah terhadap pemberian dosis jus biji pinang 10.000
mg/kgBB

DAFTAR PUSTAKA
1. World health organization/WHO. Traditional medicine. 2008. (diakses 13 Juni 2017). Diunduh dari: URL:
http://www.who.int/medicines/areas/traditional/
2. Abbott Ryan. Documenting traditional medical knowledge. 2014. (diakses 13 Juni 2014). Diunduh dari: URL:
http://www.wipo.int/export/sites/www/tk/en/resourches/pdf/medical _tk.pdf
3. L,Widowati,Dzulkarnain, B. Tanaman obat untuk diabetes mellitus. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran; 2005. Hal: 53-54
4. Boucher & Mannan. (2002). Areca Nut Symposium Metabolic Effects of The Consumption of Areca catechu. Addiction
Biology 7, 103–110.
5. Anonim, Materia Medika Indonesia Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1989
6. Yusriah L, Sapuan SM, Zainudin ES, Mariatti M. Characterization of physical, mechanical, thermal and morphological
properties of agro-waste betel nut (Areca catechu) husk fibre. Journal of Cleaner Production. 2014: 174-180
7. Amudhan MS, Begum VH, dan Hebbar KB. 2012. A review on phytochemical and pharmacological potential of Areca
catechu L. seed. IJPSR. 3(11): 4151-4157.
8. Kafie Sajala, et al,. Antifertility Effect of Areca Catechu in Male Albino Rats. International journal of pharmaceutical
Science Review and Research. September-October 2011;10(1).
9. Shyi-Wu, Guey-Shyang WH, Te-Jung C, Wang PS. 2008. Effects of arecoline on testosterone release in rat. Am J Physiol
Endocrinil Metab. 295:E497-E504.
10. Junqueira,LC., 2007. Persiapan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik. Histology Dasar: teks dan atlas. Edisi 10.
Jakarta : EGC.3 – 5.
11. Kishore Kumar. P, Raju A.B. A Riview On Male Fertility. Hygeia Journal for Drugs and Medicines.
2011;3(1):20-28
12. Dorland, Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta:EGC,1765.
13. Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.Twelfth Edition.
Asia: Wiley
14. Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia, PA, USA:
Elsevier Saunders.
15. Ganong, W. F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22.Jakarta: EGC.
16. Fiore, M. S. H. di. 1986. Atlas Histologi Manusia. Ed-V. Penerjemah H. M. Martoprawiro, S.K.
Siswoyo, I. Suryono dan S. Wonodirekso.EGC. Jakarta.
17. Junqueira, L.C., Carneiro, J. dan Kelley, R.O. 1997. Histologi Dasar. Penerjemah Jan
Tambayong.EGC. Jakarta
18. Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. 2006. Tikus Laboratorium. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada.
19. Isroi. Biologi rat (Rattus norvegicus); 2010 (diakses 5 Juni 2017). Diunduh dari: URL:
http://isroi.wordpress.com
20. V.Baumans. Use of Animals in Experimental Research: aan ethical dilemma.
http\\nature.com/gt/journal. Tanggal 18 oktober 2017
21. Hendari S. 1983. “Metode pewarnaan histologi dan histokimia” Penerbit Daktara Karya Aksara:
Jakarta
22. Chang MC, Ho YS, Lee PH, Chan CP, Lee JJ, Hahn LJ,Wang YJ, and Jeng JH. 2001. Areca nut extract and
Arecoline induced the cell cycle arrest but not apoptosis of cultured oral KB cells:association of glutathione .
reactive oxygen species and mitochondrial membrane potential. J. Carcinogenesis. 22: 1527-1533
23.Sinha A, and Rao AR. 1985. Induction of shape abnormality and unscheduled DNA syntesis by Arecoline in
the germ cells of mice. J. Mutat. Res.158: 189-192
24.Shokri, Saeed, Masoud Hemadi dan Robert John Aitken 2012. Transmission Elektron Microscopy for The
Quantitaitve Analysis of Testis Ultra Structure. P. 113. Diakses melalui www.intechopen.com/books pada
tanggal 5 juli 2018 kach
25.Siti Syairah Mohd Mutalip M.Sc., Gurmeet Kaur Surindar Singh M.Sc., Aishah Mohd Shah B.Sc., Mashani
Mohamad M.Sc., Vasudevan Mani Ph.D., Siti Nooraishah Hussin M.Sc.Histological changes in testes of rats
treated with testosterone, nandrolone, and stanozolol. Iran J Reprod Med Vol. 11. No. 8. pp: 653-658, August
2013
26.Aulanni’am, Muslim Akmal, dan Rosmaidar. Efek Antifertilitas Fraksi Air Biji Pinang ( Areca catechu)
sebagai Agen Apoptosispada Sel-sel Jaringan Testis Rattus norvegicus.Vol. 23, No. 3, September 2007
27.Kovacevic, K., Budefeld, T., Majdic. 2006. Reduce Seminifereous TubuleDiameter in Mice Neotally Exposed
To Perfume. Slov Vet Res. Vol 43: pp.177-183
28.Jeng JH, Chang MC, and Hahn LJ. 2001. Role of arecanut in betel quid-associated chemical carci
nogenesis:Current awareness and future pers pectives.J. Oral. Oncol. Pathol. Med. 28: 64-71.
29.Agbaje I M, Rogers DA, McVicar CM, et all. Insulin dependantdiabetesmellitus: implications for male
reproductive function. Journal HumanReproduction May 2007;10:1093.
30.Creasy, Dianne, Axel Bube, Eveline De Ruk, dkk., 2012. Proliferative and Nonproliferative Lessions of The
Rat and Mouse Male Reproductive System. Toxicologic Pathology. 40 : 40s-121S.

Anda mungkin juga menyukai