Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Tabel 4.1 Pengaruh Suhu Heat Moisture Treatment dan
penambahan tepung porang terhadap nilai swelling power
Penambahan suhu swelling
Solubility
porang (oC) power
0 2,3 2,5
80 4,87 4,06
90 4,95 4,5
0%
100 7,58 6,35
110 6,21 7,54
120 6,41 8,04
0 2,2 3,2
80 4,53 4,1
90 5,31 4,2
5%
100 8,12 6,23
110 7,45 8,14
120 6,67 8,3
0 3,21 2,76
80 4,87 4,76
90 7,85 5,17
10%
100 8,12 7,12
110 8,87 8,09
120 5,65 8,13
0 3,05 2,89
80 5,04 4,89
90 6,96 5,89
15%
100 8,16 7,03
110 6,73 8,05
120 4,87 8,13
0 2,98 3,25
80 6,72 5,17
90 6,67 6,17
20%
100 7,81 7,18
110 5,78 8,08
120 5,63 8,2
4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Suhu Heat Moisture Treatment dan penambahan Tepung Porang terhadap
Nilai Swelling Power

Swelling power adalah kemampuan pati untuk mengembang jika dipanaskan pada
suhu dan waktu tertentu (Balagopalan et al., 1988 dalam Baah, 2009). Semakin besar nilai
swelling power maka kemampuan pengembangan dan volume semakin besar. Nilai swelling
power. Penentuan kondisi yang optimal didasarkan pada nilai swelling power yang paling
mendekati karakteristk tepung terigu.

10
9
8
7
6
Swelling 0% porang
5
Power 5% porang
4
10% porang
3 15% porang
2 20% porang

1
0
0 80 90 100 110 120
Suhu HMT

Gambar 4.1 Pengaruh Suhu HMT terhadap nilai Swelling Power

Menurut grafik yang didapatkan, grafik menunjukkan bahwa pada suhu


0 oC hingga 100 oC niai swelling power mengalami peningkatan, namun pada
suhu 110 oC dan 120 oC mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena
semakin tinggi suhu operasi maka nilai swelling power tepung modifikasi akan
semakin menurun. Perlakuan pemanasan yang tinggi menyebabkan terjadinya
pengaturan kembali molekul pati yang mengakibatkan menurunnya kapasitas
pengembangan granulapati (Homdok dan Noomhorm, 2007).
Wang, dkk (2006) juga menyebutkan bahwa semakin tinggi suhu
pemanasan, maka semakin banyak terbentuk kristalin baru yang dapat
meningkatkan stabilitas granula dan mengurangi kemampuan pembengkakan
granula. Menuru Vieira dan Sarmeto (2008) serta Adebowale (2005), suhu
mempengaruhi perubahan kristalin dan memberikan perubahan pada kapasitas
pembengkakan pati. Seiring meningkatkan suhu, maka semakin banyak terbentuk
amilosa- lipid yang kompleks sehingga menurunkan kapasita pembengkakan pati
(Olayinka, dkk, 2008).

9
8
7
6

Swelling 5 Suhu 0 oC
Power 4 Suhu 80 oC
Suhu 90 oC
3 Suhu 100 oC
Suhu 110 oC
2 Suhu 120 oC

1
0
0 5% 10% 15% 20%
Penambahan Porang

Gambar 4.2 Pengaruh Penambahan Porang terhadap Nilai Swelling Power


Menurut grafik yang diperoleh, didapatkan hasil penambahan porang dari
0% hingga 10% menyebabkan nilai swelling power mengalami kenaikan,
kemudian pada penambahan yang lebih banyak dari 15% hingga 20% terjadi
penurunan.
Semakin tinggi tepung porang yang ditambahkan, maka akan semakin
banyak pula air yang akan diserap. Sesuai dengan pernyataan Wojtowicz (2007)
bahwa penambahan berbagai jenis emulsifier, stabilizer dan thickener akan
meningkatkan volume pengembangan dari suatu produk roti. Tepung porang
merupakan salah satu jenis thickening agent yang memiliki kemampuan mengikat
air yang sangat kuat (Charoenrein et al. 2011). Wen et al. (2008) juga
menyebutkan bahwa glukomanan dalam air mampu mengembang hingga 200 x
berat awal.
Penurunan pada konsentrasi porang yang terlalu besar disebabkan semakin
banyaknya kadar amilosa yang terdapat dalam tepung, dimana menurut
Wijayatiningrum (2009) swelling power berbanding lurus dengan amilopektin dan
berlawanan dengan amilosa pada suatu bahan. Hal ini disebabkan karena
amilopektin berperan sebagai daerah amorf tempat terjadinya penyerapan air,
sedangkan amilosa merupakan polimer rantai panjang yang lurus dengan sedikit
percabangan (dibawah 1%) dengan berat molekul 500.000g/mol dan memiliki
bentuk helix serta bersifat hidrofobik (Nwokocha, 2008).
4.2.2 Pengaruh Suhu Heat Moisture Treatment dan Panambahan Tepung Porang
terhadap Nilai Solubility
Solubility merupakan sifat yang berkaitan dengan kemudahan molekul air
untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula patiBerdasarkan hasil
karakterisasi, upaya modifikasi bertujuan untuk menaikkan nilai solubility agar
sesuai atau mendekati karakteristik tepung terigu. Penentuan kondisi yang optimal
didasarkan pada nilai swelling power yang paling mendekati karakteristk tepung
terigu.

10
9
8
7
6
Solubility 5 0% porang

4 5% porang
10% porang
3
15% porang
2
20% porang
1
0
0 80 90 100 110 120
Suhu HMT
Gambar 4.3 Pengaruh Suhu Heat Moisture Treatment terhadap Nilai Solubility

Menurut grafik yang didapatkan nilai solubility mengalami peningkatan


seiring dengan meningkatnya suhu Heat Moisture Treatment. Hal ini disebabkan
karena semakin tinggi suhu operasi justru membuat nilai solubility semakin
meningkat. Hal tersbut berkebalikan dengan fenomena swelling power. Meskipun
kapasitas pengembangan menurun sebagai akibat stabilitas granula pati meningkat
dan terbentuknya kompleks amilosa-lipid (Olayinka dkk., 2008), nilai solubility
tepung justru meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut
disebabkan karena terjadinya starch damage pada saat penggilingan tepung menir
dan porang. Semakin tinggi starch damage menyebabkan banyak daerah kristalin
berubah menjadi daerah amorph sehingga menurunkan kekuatan asosiasi granula
(Suksomboon et al., 2005).

Semakin tinggi suhu, semakin banyak amilosa yang keluar dari granula
pati menyebabkan semakin tinggi nilai kelarutam atau solubility tepung modifikasi.
Granula pati dapat mengembang ketika dipanaskan bersama air, ikatan hidrogen
yang menstabilkan struktur double heliks dalam kristal terputus sehingga ikatan
hidrogen tergantikan oleh air (Herawati, 2009). Pengembangan granula
mengakibatkan granula pecah dan keluarnya molekul pati terutama amilosa.
Semakin banyak amilosa yang kelaur maka semakin besar solubility. Oleh karena
itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi, pada umunya memiliki solubility yang
tinggi pula.

10
9
8
7 Suhu 0 oC

6 Suhu 80 oC

Solubility 5 Suhu 90 oC

4 Suhu 100 oC

3 Suhu 110 oC
2 Suhu 120 oC
1
0
Gambar 4.40 Pengaruh5%
Penambahan Tepung 15%
Porang terhadap nilai Solubility
10% 20%
Penambahan Porang
Menurut grafik yang didapatkan nilai solubility mengalami peningkatan seiring
dengan peningkatan komposisi tepung porang. Nilai daya serap air yang semakin besar
menunjukan bahwa bubursemakin semakin mudah larut dalam air sehingga memudahkan
pada saat proses penyeduhan. emakin tinggi tepung porang yang ditambahkan, maka
akan semakin banyak pula air yang akan diserap. Sesuai dengan pernyataan Wojtowicz
(2007) bahwa penambahan berbagai jenis emulsifier, stabilizer dan thickener akan
meningkatkan volume pengembangan dari suatu produk pasta. Tepung porang
merupakan salah satu jenis thickening agent yang memiliki kemampuan mengikat air
yang sangat kuat (Charoenrein et al. 2011). Wen et al. (2008) juga menyebutkan bahwa
glukomanan dalam air mampu mengembang hingga 200 x berat awal. Glukomannan
sendiri dilaporkan mempunyai kemampuan menyerap air yang tinggi yaitu hingga 100 g
air per g glukomannan (Tatirat & Charoenrein, 2011).

4.3 Pengaruh HMT dan Penambahan Porang terhadap Volume Pengembangan Roti
Analisa volume pengembangan roti dilakukan pada variabel terbaik uji swelling
power dan solubility, serta pada masing-masing perlakuan untuk melihat pengaruh yang
diberikan berdampak nyata atau tidak. Hasil percobaan pengaruh HMT dan penambahan
porang terhadap volume pengembangan roti dapat dilihat pada tabel 4.3

Tabel 4.2 Pengaruh perlakuan HMT dan penambahan porang terhadap volume
pengembangan roti

Volume
Pengem Persen Volume Persen
Variabel bangan Pengembangan Pengembangan Pengemban
Adonan Adonan (%) Roti (ml) gan Roti(%)
(ml)
Tepung Terigu 140 46.67 470 156.67

Tepung Beras 40 13.33 310 103.33

Tepung Beras
Penambahan 50 16.67 330 110
Porang 10%
Tepung Beras
80 26.67 370 123.33
HMT 100

Tepung Beras
HMT 100,
90 30 370 123.33
Penambahan
Porang 10%

Berdasarkan tabel hasil percobaan pada variabel tepung beras HMT 100 dan
HMT 100 serta penambahan porang 10% memiliki nilai pengembangan adonan dan
roti terbesar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Volume penambahan tertinggi
masih berada di bawah volume pengembangan tepung terigu dengan perbedaan
sebesar 16.67% pada adonan dan 23.34% pada pengembangan roti.

Dengan menggunakan ANOVA didapatkan bahwa perlakuan HMT


berpengaruh nyata terhadap volume pengembangan roti (P=0.012), sedangkan
penambahan tepung porang tidak memberikan pengaruh yang nyata (P=0.5) pada
volume pengembangan roti. Penambahan glukomanan sebagai pengganti gluten
memberikan penambahan volume pengembangan pada hasil percobaan, namun tidak
berperan signifikan seperti perlakuan HMT.

Perlakuan HMT memberikan pengaruh nyata pada volume pengembangan


disebabkan karena kandungan amilopektin dalam tepung memiliki struktur yang
mudah menyerap air dan air akan tertahan di dalamnya jika sudah terserap (Akubor,
2003). Adanya sifat tersebut akan menjadikan struktur pati akan berongga ketika
dipanggang akibat menguapnya air dari dalam molekul pati sehingga volume roti
akan lebih besar. Proses modifikasi pati akan meningkatkan volume pengembangan
selama pemanggangan akibat terbentuknya gugus karbonil dan gugus karboksil pada
pati hasil modifikasi, hal ini juga disebabkan rusaknya granula pati akibat
pemanasan sehingga proses hidrasi air ke dalam molekul pati akan meningkat (Wang
dan Wang, 2003). Penggunaan suhu yang tinggi pada proses pemanggangan akan
semakin meningkatkan jumlah air yang menguap. Namun suhu yang terlalu tinggi
dapat mengakibatkan case hardening dimana kecepatan penguapaan air dari
permukaan roti ke udara lebih cepat daripada kecepatan penguapan air dari bagian
dalam roti ke bagian permukaan roti. Hal ini kemungkinan akan berdampak pada
tingkat volume pengembangan roti yang tidak begitu besar karena jumlah air yang
diuapkan tidak cukup banyak.

4.4 Uji Organoleptik Roti Hasil Percobaan

Uji Organoleptik dilakukan kepada 25 responden dengan parameter warna,


tekstur, dan rasa menggunakan skala hedonik. Hasil uji organoleptik roti hasil
percobaan dapat dilihat pada tabel 4.4

Tabel 4.3 Hasil uji organoletik roti pada berbagai perlakuan


Rata-Rata Pengamatan
Variabel
Warna Tekstur Rasa
Tepung Terigu 3.92 3.44 3.72
Tepung Beras 2.6 2.44 2.52

Tepung Beras Penambahan


1.76 1.72 1.56
Porang 10%

Tepung Beras HMT 100 2.72 2.56 2.64

Tepung Beras HMT 100,


1.92 1.84 1.72
Penambahan Porang 10%

Berdasarkan hasil uji organoleptik didapatkan hasil terbaik pada variabel


perlakuan HMT 100, dimana nilainya mendekati tepung beras tanpa perlakuan. Hasil
uji organoleptik pada penambahan tepung porang memberikan penurunan nilai yang
spesifik pada berbagai pengamatan baik pada tepung beras tanpa perlakuan maupun
dengan perlakuan HMT.

Dengan melakukan ANOVA pada hasil yang didapat, diketahui bahwa


penambahan porang memberikan pengaruh nyata pada hasil uji organoleptik warna
(P=0.015), tekstur (P=0.009), dan rasa (P=0.013), sedangkan perlakuan HMT tidak
memberikan pengaruh nyata pada uji organoleptik baik warna, tekstur, maupun rasa
(P=0.09, P=0.055, P=0.09).
Penambahan porang memiliki pengaruh nyata terhadap warna roti menjadi
keunguan, dimana pada tepung beras murni warna roti berupa kuning pucat. hal ini
disebabkan warna umbi porang sendiri yang memiliki warna mencolok yaitu ungu
karena kandungan antosianin dengan jumlah 0,753- 1,317 mg/100g (Winarti, 2008).
Adapun tekstur roti pada penambahan porang memiliki perbedaan yang nyata
dengan tepung beras, dimana pada roti penambahan porang tekstur roti menjadi lebih
rapuh, kasar, dan berongga dibandingkan dengan tepung beras tanpa perlakuan, hal
ini disebabkan karena kadar glukomanan yang dapat menahan CO2 sehingga tekstur
lebih berongga. Tekstur rapuh dan mudah membentuk remah disebabkan
pencampuran tepung porang disebabkan penambahan komposisi amilosa pada
campuran dan memperbesar persentase terjadinya peristiwa retrogradasi yang
menyebabkan bergabungnya molekul amilosa yang membengkak menjadi molekul
mikrokristal dan mempermudah sifat rapuh roti (Charles et al, 2005). Penambahan
glukomanan menyebabkan tekstur menjadi kasar karena glukomanan merupakan
serat makanan dengan ukuran sel yang lebih besar dibanding komponen lainnya
(Lasmini, 2002).
Adapun penambahan porang berpengaruh terhadap rasa roti berupa rasa
meninggalkan sisa pasir di mulut dan lebih seret dibandingkan roti dari tepung beras
tanpa perlakuan. Hal disebabkan oleh peristiwa retrogradasi amilosa dan
penambahan glukomanan secara signifikan yang menyebabkan bentuk roti tidak
solid dan mudah terurai. (Charles et al, 2005)
Pada uji organoleptik didapatkan roti dengan perlakuan yang paling dapat
diterima oleh responden adalah roti dengan perlakuan HMT 100 tanpa penambahan
porang, dengan perbedaan nilai sebesar 1.2, 0.88, dan 1.08 pada warna, tekstur, serta
rasa dibandingkan dengan roti berbahan baku tepung terigu.

Anda mungkin juga menyukai