SOETANDYO WIGNJOSUBROTO
ANDRI PRASETYA
NPM. 5219220004
Hukum periode 1940 sampai dengan 1950 , dikatakan peride perkembangan hukum pasca
kolonial dimana dalam periode pasca kolonial ini pembangunan hukum Indonesia ( bukan lagi hukum
hindia-belanda), pembangunan hukum dikerjakan berdasarkan kebijakan Nasional. Berbeda dengan
kebijakan hukum di abad 19 yang kita kenal dengan Bewuste rechtpolitiek ( Penataan badan badan
Peradilan di Indonesia). yang akan membuat para pengambil keputusan lebih sulit dengan masalah
pengembangan hukum privat berikut upaya-upaya untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh
adanya realitas dualisme.
Dalam bab ini dibahas mengenai proses Unifikasi hukum perdata untuk seluruh golongan
penduduk Indonesia. Dimana kita ketahui proses Unifikasi Hukum tersebut sejak zaman Scholten
van Oud Harleem dan Wichers pada tahun 1840 sampai terakhir oleh Cowan di tahun 1920 masih
belum berhasil melakukan Unifikasi hukum perdata untuk semua golongan penduduk Indonesia.
Sampai dengan runtuhnya kekuasaan Kolonial unifikasi hukum privat dan lembaga lembaga
peradilan di Indonesia masih belum terwujud. . Dualisme hukum dengan hukum Eropa yang telah
terkodifikasi dan hukum adat yang sekalipun plural namun dicita-citakan pada suatu waktu akan
dikodifikasikan tetap berjalan dan berlaku
Pada masa ini juga hukum acara perdata, hukum acara pidana diatur dengan ordonansi
(Ordonansi adalah Peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jendral bersama dengan dewan rakyat
Volksraad / Pasal 82 IS) dimana hukum tersebut tetap harus konkordan dengan hukum yang berlaku
di negeri Belanda. Dan diatur dalam pasal 131 IS, bahwa ordonansi tersebut boleh berlaku pula untuk
golongan rakyat pribumi dan Timur Asing, tetapi Ordonansi ini tetap menghormati Hukum Adat ,
golongan penduduk yang bukan Eropa.
Dalam hal Peradilan masih dibedakan golongan golongan, dimana Badan Peradilan Eropa
mengadili perkara perkara yang melibatkan orang Eropa. Sedangkan golongan Pribumi Pengadilan
untuk Orang Pribumi masih dibadakan Pengadilan pengadilan yang berada di daerah daerah
swaprajda dan pengadilan yang dikuasai Oleh Hindia Belanda.
Setelah berhasil mengusir pemerintah kolonial Hindia Belanda, Jepang yang menduduki
kepulauan Nusantara membagi 3 Wilayah Komando , yaitu :
Jepang pada saat menduduki Wilayah Nusantara, Jepang Membuat Undang Undang bala
tentara Jepang ( Osamu Sirie) No 1 pada tahun 1942. Dimana seluruh wewenang badan badan
pemerintah dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap berlaku.
Kontribusi penting Jepang terhadap sistem hukum Indonesia adalah dihapuskan sistem
dualisme dalam tata peradilan. Hanya ada 1 sistem peradilan saja untuk semua golongan penduduk
(tetapi tetap kecuali untuk orang orang jepang).
meniadakan kesan perlunya orang-orang Eropa diperlakukan khusus di hadapan orang-orang Asia.
Jepang juga melakukan obral jabatan dengan mengisi bagian-bagian kekuasaan penting yang
rumpang dengan Perubahan struktural ini dapat dikatakan hanya sekadar ”membuang warna
Badan pengadilan tertinggi adalah Hoggerechtshof yang pada saat kedudukan Jepang disebut
sebagai Saiko Hoin, dan peradilan yang lainnya yaitu Raad van Justitie (Koto Hoin), Landraad (Tiho
Hoin), Landgerecht (Keizai Hoin), Regentschapsgerecht (Ken Hoin), dan Districtgerecht (Gun Hoin).
Residentiegerecht yang pada masa kekuasaan Hindia – Belanda mempunyai yurisdiksi khusus untuk
Pribumi yang memang ahli di bidang tersebut yang sebelumnya di masa kedudukan Belanda
telah diajarkan mengenai bidang-bidang tersebut. Yang mengisi bagian rumpang tersebut merupakan
Minimnya ketenagakerjaan yang tersedia pada golongan yang berkebangsaan Pribumi karena
pendidikan yang diberikan oleh Belanda sangatlah ketat, dan sulit. Oleh karena itu, pemerintahan
Jepang membuatkan sekolah profesi pendidikan singkat dalam bidang hukum untuk mengatasi
kekurangan-kekurangan.
menyiapkan diri dalam banyak pengelolaan pemerintahan dan kehakiman sebuah negara modern
Pada dasarnya dan pada awalnya, para pemuka Indonesia mencoba membangun hukum
Indonesia dengan mencoba lepas dari ide hukum kolonial. Namun, hal ini ternyata tidaklah mudah
karena segala upaya yang telah dilakukan itu berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasi ide
hukum itu ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin. Kesulitan lainnya
yang timbul ialah, tidak hanya keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus, karena sistem
pengelolaan hukum modern yang terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial.
Sehingga seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan
terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-asas yang telah digariskan sebelum kekuasaan
yang dipergunakan sampai masa akhir kekuasaan kolonial dan dinyatakan terus secara eksplisit di
Asas-asas itu ialah asas supremasi hukum yang selayaknya dan sedapatnya diunifikasikan,
dengan penyelenggaraan peradilan berdasarkan asas ketidakberpihakan, yang karena itu harus
mengenal pembagian kekuasaan, dan selayaknya diupayakan secara profesional oleh suatu korps
Setelah merancangkan Undang-Undang Dasar dan Pancasila, pemerintah tidak lagi berdaya
untuk menata ulang seluruh sistem hukum Indonesia secara total dan dalam waktu yang singkat.
Hukum Kolonial yang ditinggalkan oleh pemerintah Belanda ini diteruskan dan dinyatakan tetap
berlaku sesuai pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas
bahwa " Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
Unifikasi badan-badan pengadilan yang telah diperkenalkan pada masa pemerintahan militer
Jepang, diteruskan oleh pemerintah Indonesia dan melanjutkan proses penyederhanaannya. Gun
Hoin (districtsgerecht), ken Hoin (regentschapsgerecht), dan Keizai Hoin (landsgerecht) ditiadakan
dan dialihkan fungsi ke Tiho Hoin (Landraad) yang kini dinamakan Pengadilan Negeri. Koto Hoin
(Raad van Justitie) dijadikan pengadilan tingkat banding atau Pengadilan tinggi, sedangkan Saiko
Agung.
Tahun 1946 dan kembali mencoba merebut wilayah Indonesia. Tak ayal di daerah kekuasaan
Hindia belanda pasca-perang --yang sejak tahun 1948 juga menamakan dirinya Indonesia-- hukum
lama diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan aturan peralihan apapun, dan produk
undangan baru yang dihasilkan dan diundangkan, sebagian berupa peraturan-peraturan lokal yang
dibuat oleh negara-negara semi-independen (seperti Negara Indonesia dan Negara Madura) yang
dibuat dibawah kekuasaan sentral Hindia Belanda. Hukum buatan Republik Indonesia pun masih
dinyatakan berlaku kecuali hukum Republik itu dianggap bertentangan dengan ketentraman dan
ketertiban umum.
badan pengadilan adat dan swapraja tetap diteruskan tetap diteruskan, kecuali di daerah Sumatera
Timur yang sudah terlanjur tiada sebagai akibat revolusi sosial terhadap sultan-sultan Melayu yang
berkuasa. Selain itu, penyelenggaraan peradilan oleh pengadilan agama dan peradilan desa tetap
berjalan.
Pada tanggal 27 Desember 1949, Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, lahirlah
sebuah republik federal (Republik Indonesia Serikat) dimana Indonesia menjadi negara seperti
Independent tetapi masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus
1950, RIS Seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan beberapa satuan negara
Sepanjang sejarah pada masa RIS, sumber pembuatan hukum perundang-undangan yang
utama di Indonesia adalah RIS. Apa yang telah pernah dihasilkan oleh Republik yang satu ini telah
diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai hukum Indonesia (berdasarkan pasal 192 konstitusi
RIS 1949). Hukum ini pun diteruskan berlakunya pada tahun-tahun berikutnya (berdasarkan pasal
142 Undang Undang Dasar Sementara) dan memberikan garis-garis besar yang nyata mengenai
haluan strategik perkembangan hukum di Indonesia, baik yang berkenaan dengan substansi
BAB XI
sebuah Negara berbentuk republik Kesatuan. lahir menggantikannya. Undang Undang Dasar
Republik Indonesia Serikat yang hanya berfungsi selama tidak lebih dari 8 bulan digantikan oleh
undang undang dasar baru, yakni Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
(diumumkan sebagai Undang Undang no. 7 tahun 1950 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam
Seperti dua Undang Undang Dasar yang ada sebelumnya, UUDS ini menganut asas tetap
sudah ada sebelumnya. Pasal 142 UUDS menyebutkan bahwa "Peraturan-peraturan perundang-
undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap
Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang
Tapi dalam pasal 142 Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat itu.
Sekalipun sudah bertekad mendirikan negara kesatuan, pluralisme golongan rakyat dan pluralisme
hukumnya dikaidahi dalam pasal 24 ayat 2 UUD RIS yang berbunyi "perbedaan dalam kebutuhan
masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan". Namun pasal ini dianggap
merujuk kepada pluralisme yang terlanjur ada, bukan sebagai kebijakan untuk membuat dan
hukum nasional bukanlah tugas yang ringan. Dilema antara realisme pluralisme (yang telah dominan
sejak zaman kolonial) dan cita-cita unifikasi (yang merefleksikan persatuan dan kesatuan Indonesia)
Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapat dibedakan menjadi 2 periode, yaitu :
2. Periode 1956-1966 yang berlangsung di bawah arahan UUD 1945 (yang diberlakukan
Dekrit presiden ini menjadi penyeemangat kebijakan dalam suasana demokrasi terpimpin.
selesai menegaskan apakah di Indonesia diputuskan pluralisme atau unifikasi maupun hukum adat
atau hukum Belanda. Manakala yang akan dipentingkan adalah revolusi bangsa adalah pemuasan
kebutuhan Indonesia untuk memperoleh kemajuan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan sosial
yang cepat, hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan
kemajuan masyarakat.
Kelompok politik Islam ikut ikut serta mempersoalkan dan bagi mereka hukum syariah
Islam yang harus dikembangkan sebagai hukum nasional. Pada periode ini persoalan
nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan oleh badan-badan pengadilan belum
kunjung bisa diselesaikan. Namun, pada periode ini telah baru proses nasionalisasi pengadilan,
dimana kebijakan yang dianut untuk seluruh wilayah Republik, yakni peradilan yang diselenggarakan
oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung, masing-masing dengan kekuasaan untuk mengadili pada tingkat pertama,
banding, dan kasasi. Dengan UU nomor 90 tahun 1950 dan UU Darurat nomor 1 tahun 1951 diaturlah
tindakan-tindakan untuk meneruskan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia.
Pada periode ini demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950 oleh apa yang
disebut demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku kembali UUD 1945. Dalam
suasana sosio-politik seperti itu, penolakan terhadap segala hal yang berbau asing terasa demikian
intensnya.
Melalui Keputusan Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1960, digantikannya simbol
hukum Indonesia dari figur Dewi Yustisia (dalam peradaban Eropa melambangkan keadilan) ke
Pohon Beringin (dalam lingkungan budaya Jawa melambangkan pengayoman). Hampir bersamaan
dengan dikeluarkannya aturan tersebut, MPRS bersidang dan menetapkan suatu ketetapan yg pada
nomor II menegaskan bahwa setiap usaha untuk memperoleh kesatuan hukum harus memperhatikan
benar-benar realitas yang ada di Indonesia, dan bahwa asas-asas yang dipakai untuk membentuk
hukum nasional harus selalu bersesuaian garis-garis besar haluan negara dan harus pula didasarkan
pada hukum adat. Pergantian simbol hukum tersebut tidak ada perubahan yang terlalu mendasar di
dicabutlah sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku II BW dan hak-hak tanah menurut
hukum Eropa dari ketentuan Kitab itu. Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang
baru didasarkan pada kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Namun, UU ini mengabaikan kaidah
hukum adat dan hanya memperhatikan asas umum di dalam hukum adat Indonesia.
Dalam periode ini pandangan Menteri Kehakiman Sahardjo mengingatkan adanya Maklumat
Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang menyatakan bahwa semua hukum kolonial
itu dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu dahulu adanya peraturan peraturan
perundangan baru yang mencabutnya. Setelah Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek
dan Wetboek van Koophandel haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil,
melainkan yang materiil saja. Hal ini disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro,
Wirjono Prodjodikoro mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak berlaku oleh hukum nasional
tentang pertanahan. Selanjutnya Buku I BW mengenai Person dan Buku III BW mengenai kontrak
Demikian Rangkuman Bab X-XII Buku dari Hukum Kolonial-Ke Hukum Nasional Soetandyo
Wignjosoebroto.
-------------------------------------------------------00------------------------------------------------------