Anda di halaman 1dari 8

TUGAS SEJARAH HUKUM

BAB X-XI BUKU SOSIO LEGAL INDONESIA

SOETANDYO WIGNJOSUBROTO

ANDRI PRASETYA

NPM. 5219220004

SEMESTAR GASAL 2019-2020


BAB X

PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA PADA MASA PERALIHAN


PASCA KOLONIAL 1940-1950.

Hukum periode 1940 sampai dengan 1950 , dikatakan peride perkembangan hukum pasca
kolonial dimana dalam periode pasca kolonial ini pembangunan hukum Indonesia ( bukan lagi hukum
hindia-belanda), pembangunan hukum dikerjakan berdasarkan kebijakan Nasional. Berbeda dengan
kebijakan hukum di abad 19 yang kita kenal dengan Bewuste rechtpolitiek ( Penataan badan badan
Peradilan di Indonesia). yang akan membuat para pengambil keputusan lebih sulit dengan masalah
pengembangan hukum privat berikut upaya-upaya untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh
adanya realitas dualisme.

Dalam bab ini dibahas mengenai proses Unifikasi hukum perdata untuk seluruh golongan
penduduk Indonesia. Dimana kita ketahui proses Unifikasi Hukum tersebut sejak zaman Scholten
van Oud Harleem dan Wichers pada tahun 1840 sampai terakhir oleh Cowan di tahun 1920 masih
belum berhasil melakukan Unifikasi hukum perdata untuk semua golongan penduduk Indonesia.
Sampai dengan runtuhnya kekuasaan Kolonial unifikasi hukum privat dan lembaga lembaga
peradilan di Indonesia masih belum terwujud. . Dualisme hukum dengan hukum Eropa yang telah
terkodifikasi dan hukum adat yang sekalipun plural namun dicita-citakan pada suatu waktu akan
dikodifikasikan tetap berjalan dan berlaku

Pada masa ini juga hukum acara perdata, hukum acara pidana diatur dengan ordonansi
(Ordonansi adalah Peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jendral bersama dengan dewan rakyat
Volksraad / Pasal 82 IS) dimana hukum tersebut tetap harus konkordan dengan hukum yang berlaku
di negeri Belanda. Dan diatur dalam pasal 131 IS, bahwa ordonansi tersebut boleh berlaku pula untuk
golongan rakyat pribumi dan Timur Asing, tetapi Ordonansi ini tetap menghormati Hukum Adat ,
golongan penduduk yang bukan Eropa.

Dalam hal Peradilan masih dibedakan golongan golongan, dimana Badan Peradilan Eropa
mengadili perkara perkara yang melibatkan orang Eropa. Sedangkan golongan Pribumi Pengadilan
untuk Orang Pribumi masih dibadakan Pengadilan pengadilan yang berada di daerah daerah
swaprajda dan pengadilan yang dikuasai Oleh Hindia Belanda.

Setelah berhasil mengusir pemerintah kolonial Hindia Belanda, Jepang yang menduduki
kepulauan Nusantara membagi 3 Wilayah Komando , yaitu :

 Jawa dan Madura.

 Sumatera ( yang masih dikontrol oleh singapura).

 Indonesia bagian Timur.

Jepang pada saat menduduki Wilayah Nusantara, Jepang Membuat Undang Undang bala
tentara Jepang ( Osamu Sirie) No 1 pada tahun 1942. Dimana seluruh wewenang badan badan
pemerintah dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap berlaku.
Kontribusi penting Jepang terhadap sistem hukum Indonesia adalah dihapuskan sistem
dualisme dalam tata peradilan. Hanya ada 1 sistem peradilan saja untuk semua golongan penduduk
(tetapi tetap kecuali untuk orang orang jepang).

Reorganisasi badan-badan pengadilan juga diadakan karena sebenarnya Jepang ingin

meniadakan kesan perlunya orang-orang Eropa diperlakukan khusus di hadapan orang-orang Asia.

Jepang juga melakukan obral jabatan dengan mengisi bagian-bagian kekuasaan penting yang

rumpang dengan Perubahan struktural ini dapat dikatakan hanya sekadar ”membuang warna

kekuasaan Belanda” untuk digantikan dengan ”warna kekuasaan Jepang”.

Badan pengadilan tertinggi adalah Hoggerechtshof yang pada saat kedudukan Jepang disebut

sebagai Saiko Hoin, dan peradilan yang lainnya yaitu Raad van Justitie (Koto Hoin), Landraad (Tiho

Hoin), Landgerecht (Keizai Hoin), Regentschapsgerecht (Ken Hoin), dan Districtgerecht (Gun Hoin).

Residentiegerecht yang pada masa kekuasaan Hindia – Belanda mempunyai yurisdiksi khusus untuk

mengadili perkara orang-orang Eropa saja, kini dihapus.

Pribumi yang memang ahli di bidang tersebut yang sebelumnya di masa kedudukan Belanda

telah diajarkan mengenai bidang-bidang tersebut. Yang mengisi bagian rumpang tersebut merupakan

rechtsambtenaren dan bestuurambtenaren pribumi didikan Belanda untuk menjamin berlanjutnya

roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum.

Minimnya ketenagakerjaan yang tersedia pada golongan yang berkebangsaan Pribumi karena

pendidikan yang diberikan oleh Belanda sangatlah ketat, dan sulit. Oleh karena itu, pemerintahan

Jepang membuatkan sekolah profesi pendidikan singkat dalam bidang hukum untuk mengatasi

kekurangan-kekurangan.

Lewat kesempatan-kesempatan seperti itu pemuka-pemuka di Indonesia dapat belajar dan

menyiapkan diri dalam banyak pengelolaan pemerintahan dan kehakiman sebuah negara modern

yang pada masa lampau banyak didominasi oleh orang-orang Belanda.

TATA HUKUM DI INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950)

Pada dasarnya dan pada awalnya, para pemuka Indonesia mencoba membangun hukum

Indonesia dengan mencoba lepas dari ide hukum kolonial. Namun, hal ini ternyata tidaklah mudah

karena segala upaya yang telah dilakukan itu berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasi ide

hukum itu ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin. Kesulitan lainnya
yang timbul ialah, tidak hanya keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus, karena sistem

pengelolaan hukum modern yang terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial.

Sehingga seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan

terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-asas yang telah digariskan sebelum kekuasaan

kolonial tumbang. Dasar-dasar konstitusionalnya dapat ditemukan dalam Regerings-reglement 1854

yang dipergunakan sampai masa akhir kekuasaan kolonial dan dinyatakan terus secara eksplisit di

dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Asas-asas itu ialah asas supremasi hukum yang selayaknya dan sedapatnya diunifikasikan,

dengan penyelenggaraan peradilan berdasarkan asas ketidakberpihakan, yang karena itu harus

mengenal pembagian kekuasaan, dan selayaknya diupayakan secara profesional oleh suatu korps

kehakiman yang terpisah dan terbebaskan dari kekuasaan eksekutif.

Setelah merancangkan Undang-Undang Dasar dan Pancasila, pemerintah tidak lagi berdaya

untuk menata ulang seluruh sistem hukum Indonesia secara total dan dalam waktu yang singkat.

Hukum Kolonial yang ditinggalkan oleh pemerintah Belanda ini diteruskan dan dinyatakan tetap

berlaku sesuai pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas

bahwa " Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum

diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini".

Unifikasi badan-badan pengadilan yang telah diperkenalkan pada masa pemerintahan militer

Jepang, diteruskan oleh pemerintah Indonesia dan melanjutkan proses penyederhanaannya. Gun

Hoin (districtsgerecht), ken Hoin (regentschapsgerecht), dan Keizai Hoin (landsgerecht) ditiadakan

dan dialihkan fungsi ke Tiho Hoin (Landraad) yang kini dinamakan Pengadilan Negeri. Koto Hoin

(Raad van Justitie) dijadikan pengadilan tingkat banding atau Pengadilan tinggi, sedangkan Saiko

Hoin (Hooggerechtshof) dijadikan pengadilan pemeriksa perkara-perkara kasasi atau Mahkamah

Agung.

Tahun 1946 dan kembali mencoba merebut wilayah Indonesia. Tak ayal di daerah kekuasaan

Hindia belanda pasca-perang --yang sejak tahun 1948 juga menamakan dirinya Indonesia-- hukum

lama diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan aturan peralihan apapun, dan produk

perundang-undangan pemerintah militer Jepang tidak lagi berlaku. Produk-produk perundang-

undangan baru yang dihasilkan dan diundangkan, sebagian berupa peraturan-peraturan lokal yang

dibuat oleh negara-negara semi-independen (seperti Negara Indonesia dan Negara Madura) yang
dibuat dibawah kekuasaan sentral Hindia Belanda. Hukum buatan Republik Indonesia pun masih

dinyatakan berlaku kecuali hukum Republik itu dianggap bertentangan dengan ketentraman dan

ketertiban umum.

Landgerechten diteruskan untuk mengadili perkara-perkara semua golongan penduduk dan

badan pengadilan adat dan swapraja tetap diteruskan tetap diteruskan, kecuali di daerah Sumatera

Timur yang sudah terlanjur tiada sebagai akibat revolusi sosial terhadap sultan-sultan Melayu yang

berkuasa. Selain itu, penyelenggaraan peradilan oleh pengadilan agama dan peradilan desa tetap

berjalan.

Pada tanggal 27 Desember 1949, Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, lahirlah

sebuah republik federal (Republik Indonesia Serikat) dimana Indonesia menjadi negara seperti

Independent tetapi masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus

1950, RIS Seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan beberapa satuan negara

bergabung menjadi sebuah negara republik kesatuan.

Sepanjang sejarah pada masa RIS, sumber pembuatan hukum perundang-undangan yang

utama di Indonesia adalah RIS. Apa yang telah pernah dihasilkan oleh Republik yang satu ini telah

diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai hukum Indonesia (berdasarkan pasal 192 konstitusi

RIS 1949). Hukum ini pun diteruskan berlakunya pada tahun-tahun berikutnya (berdasarkan pasal

142 Undang Undang Dasar Sementara) dan memberikan garis-garis besar yang nyata mengenai

haluan strategik perkembangan hukum di Indonesia, baik yang berkenaan dengan substansi

hukumnya maupun yang berkenaan dengan susunan badan-badan peradilannya.

BAB XI

PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA PASCA REVOLUSI FISIK PADA ZAMAN

PEMERINTAHAN PRESIDEN SOEKARNO (1950-1966)


Dengan berakhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950, lahirlah

sebuah Negara berbentuk republik Kesatuan. lahir menggantikannya. Undang Undang Dasar

Republik Indonesia Serikat yang hanya berfungsi selama tidak lebih dari 8 bulan digantikan oleh

undang undang dasar baru, yakni Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia

(diumumkan sebagai Undang Undang no. 7 tahun 1950 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam

Lembaran Negara Tahun 1950 no. 56).

Seperti dua Undang Undang Dasar yang ada sebelumnya, UUDS ini menganut asas tetap

memberlakukan semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang

sudah ada sebelumnya. Pasal 142 UUDS menyebutkan bahwa "Peraturan-peraturan perundang-

undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap

berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik

Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,

ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang

Undang Dasar (yang baru) ini".

Tapi dalam pasal 142 Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat itu.

Sekalipun sudah bertekad mendirikan negara kesatuan, pluralisme golongan rakyat dan pluralisme

hukumnya dikaidahi dalam pasal 24 ayat 2 UUD RIS yang berbunyi "perbedaan dalam kebutuhan

masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan". Namun pasal ini dianggap

merujuk kepada pluralisme yang terlanjur ada, bukan sebagai kebijakan untuk membuat dan

meneruskan pluralisme hukum.

Tugas-tugas yang dibebankan oleh ketentuan-ketentuan konstitusional guna membangun

hukum nasional bukanlah tugas yang ringan. Dilema antara realisme pluralisme (yang telah dominan

sejak zaman kolonial) dan cita-cita unifikasi (yang merefleksikan persatuan dan kesatuan Indonesia)

tidaklah mudah diatasi begitu saja.

Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapat dibedakan menjadi 2 periode, yaitu :

1. Periode 1950-1959 yang berlangsung di bawah arahan UUDS dan

2. Periode 1956-1966 yang berlangsung di bawah arahan UUD 1945 (yang diberlakukan

kembali berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959).

Dekrit presiden ini menjadi penyeemangat kebijakan dalam suasana demokrasi terpimpin.

PEMBANGUNAN HUKUM PADA PERIODE 1950-1959


Masalah yang dihadapi parlemen pada periode 1950-1959 ini sulit. Di sini orang belum juga

selesai menegaskan apakah di Indonesia diputuskan pluralisme atau unifikasi maupun hukum adat

atau hukum Belanda. Manakala yang akan dipentingkan adalah revolusi bangsa adalah pemuasan

kebutuhan Indonesia untuk memperoleh kemajuan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan sosial

yang cepat, hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan

kemajuan masyarakat.

Kelompok politik Islam ikut ikut serta mempersoalkan dan bagi mereka hukum syariah

Islam yang harus dikembangkan sebagai hukum nasional. Pada periode ini persoalan

nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan oleh badan-badan pengadilan belum

kunjung bisa diselesaikan. Namun, pada periode ini telah baru proses nasionalisasi pengadilan,

dimana kebijakan yang dianut untuk seluruh wilayah Republik, yakni peradilan yang diselenggarakan

oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan

Mahkamah Agung, masing-masing dengan kekuasaan untuk mengadili pada tingkat pertama,

banding, dan kasasi. Dengan UU nomor 90 tahun 1950 dan UU Darurat nomor 1 tahun 1951 diaturlah

tindakan-tindakan untuk meneruskan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia.

PEMBANGUNAN HUKUM PADA SUBPERIODE 1959-1966

Pada periode ini demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950 oleh apa yang

disebut demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku kembali UUD 1945. Dalam

suasana sosio-politik seperti itu, penolakan terhadap segala hal yang berbau asing terasa demikian

intensnya.

Melalui Keputusan Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1960, digantikannya simbol

hukum Indonesia dari figur Dewi Yustisia (dalam peradaban Eropa melambangkan keadilan) ke

Pohon Beringin (dalam lingkungan budaya Jawa melambangkan pengayoman). Hampir bersamaan

dengan dikeluarkannya aturan tersebut, MPRS bersidang dan menetapkan suatu ketetapan yg pada

nomor II menegaskan bahwa setiap usaha untuk memperoleh kesatuan hukum harus memperhatikan

benar-benar realitas yang ada di Indonesia, dan bahwa asas-asas yang dipakai untuk membentuk

hukum nasional harus selalu bersesuaian garis-garis besar haluan negara dan harus pula didasarkan

pada hukum adat. Pergantian simbol hukum tersebut tidak ada perubahan yang terlalu mendasar di

antara sistem hukum Indonesia.


Produk hukum perundang-undangan pada periode ini adalah UU Pokok Agraria sehingga

dicabutlah sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku II BW dan hak-hak tanah menurut

hukum Eropa dari ketentuan Kitab itu. Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang

baru didasarkan pada kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Namun, UU ini mengabaikan kaidah

hukum adat dan hanya memperhatikan asas umum di dalam hukum adat Indonesia.

Dalam periode ini pandangan Menteri Kehakiman Sahardjo mengingatkan adanya Maklumat

Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang menyatakan bahwa semua hukum kolonial

itu dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu dahulu adanya peraturan peraturan

perundangan baru yang mencabutnya. Setelah Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek

dan Wetboek van Koophandel haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil,

melainkan yang materiil saja. Hal ini disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro,

Wirjono Prodjodikoro mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak berlaku oleh hukum nasional

tentang pertanahan. Selanjutnya Buku I BW mengenai Person dan Buku III BW mengenai kontrak

seharusnya ditinjau ulang dan diganti.

Demikian Rangkuman Bab X-XII Buku dari Hukum Kolonial-Ke Hukum Nasional Soetandyo
Wignjosoebroto.

-------------------------------------------------------00------------------------------------------------------

Anda mungkin juga menyukai