Anda di halaman 1dari 41

IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH

A. Pendahuluan

Eksistensi hukum di negeri ini mendapat sorotan tajam dalam berbagaikasus dan peristiwa belakangan
ini.Pandangan-pandangan yang bermunculanbernada sumbang.Hal ini dapat dipahami, karena
reputasinya tidak selaludapat dilihat sebagai pen-iamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat
ataupenjamin keadilan. Hal ini dapat dianggap wajar, terlebih lagi bila mengingatkesan-kesan yang ada
dalam mas;,arakat yaifu hukum selalu mengenai pihakyang lemah, tetapi tak mampu menembus pihak
yang kuat. Tambahan pulabahwa negara ini adalah nesara berdasarkan hukum, bukan
Negaraberdasarkan kekuasaan.

Gambaran di atas menyiratkan adanya “tangan-tangan tak tampak” yang berada di balik sosok hukum
dan mengendalikan serta memanfaatkanmenurut kepentingannya.Di sinilah tampak bahwa politik
mewarnai hukum.Karenanya sesungguhnya hukum merupakan produk politik. Kendatipundemikian,
demokrasi menempati porsi yang memadai dalam bentuk mendorong rakyat agar berpartisipasi dalam
proses pembuatan hukum. Tentusaja hal ini dimaksudkan agar produk hukum yang dihasilkan tidak
sajaberasal dari atas, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspirasi rakyat banyak sehingga hukum
yang dihasilkannya pun diharapkan mampu.

Melindungi pihak yang lemah dan tidak tumpul ketika harus berhadapandengan pihak yang
kuat.Kenyataannya, tenyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyaratanlainnya.Politik kerap kali
melakukan intervensi atas pembuatan danpelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan susbsistem
mana antarahukum dan politik yang lebih dominan?untuk menjawab pertanyaan di ataskita sudah
memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana.

dapat dirumuskan sebagai kebiiaksanaan hukum yang akan atau telahdilaksanakan secara Nasional oleh
Pemerintah. Disini hukum tidak hanyadipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan-keharusanyang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagaisubsistem dalam
kenyataan (das sein)|.

Tulisan ini adalah dalam upaya turut serta mengisi satu bagian darisasaran pembangunan nasional
Indonesia yaitu mengembangkan hubungankerja yang serasi antara Pusat dan Daerah atas dasar
keutuhan NegaraKesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya diarahkan pada pelaksanaanOtonomi
Daerah.Sasaran pembangunan nasional tersebut tidak mudah, karena ada satuanggapan bahwa sifat
tarik menarik bahkan “spanning”hubungan antara pusatdan daerah adalah sesuatu
,vang alamiah.Untuk menembus hal yang tidakmudah tersebut perlu adanya suatu dasar yang harus
menjadi pangkal tolak untuk mengembangkan suatu bentuk hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah. Dari sudut pandang ilmu hukum, maka perangkat-perangkat

Hukumlah khususnya kaidah hukum dan teori hukum merupakan pangkaltolak yang tepat.Undang-
undang Dasar 1945 yang telah diterima dan ditetapkan sebagai”ketentuan tertinggi tingkatnya”.dalam
sistem hukum nasional merupakanpangkal tolak yang tepat untuk mencari dan menemukan dasar-
dasarpengembangan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

Dalam membicarakan otonomi Daerah, kita harus terlebih dahulu mengtahui bagaimana atau dimana
letak otonomi daerah dalam system pemerintahan Negara Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang-
Kemudianapa landasan hukum otonomi Daerah serta bagaimana kedudukan dan alatkelengkapannya
dalam menjalankan tugasnya, dan apa peranannya dalamsistem dan struktur pemerintahan di lndonesia
secara keseluruhan.

Pengertian dan makna otonomi daerah telah mengalami pergeseranmendasar sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah digantikan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974.Kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, karenaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dianggap
memiliki banyakkelemahan.Sesuai ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam halMenimbang: a.
disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraanpemerintahan daerah sesuai dengan amanat undang-
undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945. pemerintahan daerah, yang mengatur
danmengurus rumah sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugaspembantuan,
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraanmasyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran sertamasyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikanprinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) (5) dijelaskan bahwa:

“Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan olehpemerintah daerah dan


DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuandengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip NegaraKesatuan Republik lndonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-
undangDasar 1945. “Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau walikota, dan

perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah” Adapun” Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalahlembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahdaerah” Disebutkan juga bahwa “otonomi daerah adalah hak wewenang
dankewajiban daerah otonom tmurk mengatui dan mengurus sendiri urusanpemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturanperundang-undangan.”

Pemerintahan daerah adalah bagian dari struktur pemerintahanIndonesia atau disebut juga subsistem
dari sistem pemerintahan NegaraIndonesia. Untuk menjelaskan saling keterkaitan dan tempat otonomi
daerahdalam sistem pemerintahan daerah serta letak dan keterkaitan pemerintahandaerah dengan
sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia maka perludiurai secara singkat ketentuan yang
terdapat dalan UUD 1945 yangmelandasi dan mengatur sistem ketetanegaraan republik
Indonesia.Berangkat dari ketentuan perundang-undangan di atas maka otonomidaerah merupakan hak
yang harus diterima oleh daerah dalam mengurusrumah tangganya sendiri secara demokratis, sekaligus
menjadi wewenang dantanggung jawab serta kewajiban daerah dalam akselerasi tercapainya
tujuanpembangunan Nasional.Sebab pemerintah daerah merupakan bagian daristruktur pemerintahan
lndonesia atau disebut juga sebagai subsistem darisistem pemerintahan Negara lndonesia.

B. PolitikHukum

Hubungan kausalitasd antara hukum dan politik atau pertanyaan tentangapakah hukum yang
memepengaruhi politik ataukah politik yangmempengaruhi hukum.Pertama, Hukum Determinen atas
politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatanpolitik diatur harus tunduk pada aturan-aturanhukum.Kedua,
PolitikDeterminan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi darikehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bahkan salingbersaingan. Ketiga, Politik dan Hukum sebegai
susbsisteme kemasyarakatanberada pada posisi yang sederajatan determinasinya seimbang antara yang
satudengan yang lain karena meskipun hukum merupakan keputusan politik tetapibegitu hukum ada
maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturanhukum. Perbedaan jawaban di atas disebabkan
oleh perbedaan cara para ahlimemandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut mereka yang
hanyamemandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealisberpegang teguh pada
pandangan bahwa hukum harus merupakan pedomandalam segala tingkat hubungan antar anggota
masyarakat termasuk dalamsegala kegiatan politik.

Sedangkan mereka yang memandang hukum darisudut das sein (kenyataan) atau para penganut faham
empiris melihat secararealistis bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik bukan sajadalam
pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.Kegiatan legislatif (pembuatan
undang-undang) dalam kenyataannyamemang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik
dibandingkandengan menjalankan hukum vang sesungguhnya lebih-lebih jika pekerjaanhukum itu
dikaitkan dengan masalah prosedur.Tampak jelas bahwa lembagalegislatif (yang menetapkan produk
hukum) sebenarnya lebih dekat denganpolitik daripada dengan hukum itu sendiri. Dengan demikian
jawaban tentanghubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda tergantung dariperspeklif
yang dipakai untuk memberikan jawaban tersebut Politik hukum adalah legal policy yang akan atau
telah dilaksanakansecara nasional oleh pemeriniah lndonesia yang meliputi :

Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruanterhadap materi-materi


hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.

Kedua, pelaksanaan ketenruan hukum yang telah ada termasuk penegasanfungsi lembagadan
pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebutterlihat politik hukum mencakup proses
pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan
dibangun danditegakkan.

Politik hukum baru lang berisi upaya pembaruan hukum menjadikeharusan ketika tanggal 17 Agustus
1945 Indonesia diproklamirkan sebagai Negara merdeka. Proklamasi kemerdekaan menuntut
pembaruan ataupenggantian atas hukum-hukum peninggalan jaman penjajahan Jepang dan Belanda
sebab jika dilihat dari sudut tata hukum maka proklamasi.
Kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total. Proklamasikemerdekaan telah membawa
Indonesia pada idealita dan realita hukum yanglain dari sebelumnya.Indonesia menganut asas Negara
hukum artinya seluruh sisi politik dankelembagaan Negara harus tunduk kepada hukum. Kajian negara
hukum harusdimulai dari Negara hukum klasik yaitu Nomokrasi Plato (427-347 SM) danNegara Hukum
Madinah yang dibanguna oleh Nabi Muhammad SAW

(570-632). Gagasan Negara Hukum Plato (427-347 SM) tentang nomokrasi.Konon katanya Negara harus
dipimpin oleh orang bijak (the phitosophers) danmembagi warga Negara menjadi tiga lapisan
masyarakat yaitu :the perpectguardians (kaum filosof lang bijak dan bestari); the auxiliary
guardians(golongan pembantu seperti militer dan tehnokrat); the ordinory people (kaumpetani dan
pedagang). Negara hukum Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW(570-632) pada kurun
waktu tahun 622-632 yang merupakan tipe idealNegara hukum yang didasarkan pada perjanjian
masyarakat. Negara hukum Madinah adalah Negara hukum yang didirikan oleh Nabi Muhammad
SAW,bermula dari perjanjian Aqabah Pertama tahun 620 dan perjanjian AqabahKedua tahun 621,
Konstitusi madinahberlaku tahun 622. Kemudian daripada itu lahir cikal bakal Negara hukum modern
danbentuk konkritnnya lahir setelah filosof Jerman immanuel Kant (1724-1804)dengan konsep rechstaat
dan filosof inggris A.v. Dicey dengan rule of law,yang merupakan gagasan untuk menjamin hak asasi dan
pemisahankekuasaan.Konsep rechstaat berkembang daram suilsana liberalisme dankapitalisme abad ke-
18 yang dirumuskan oleh rmmanuel Kant (1724-l804)untuk menjabarkan faham laissez faire laissez aller
dan nochwachtersstaat.

Untuk menjamin kedudukan hukum setiap individu, yang diinspirasi olehteori pemisahan
kekuasaanMontesquieu (1989-1755) yang lahir untukmenghindari pemusatan kekuasaan yang dapat
mendorong terjadinyasewenang-wenangan dan berkaitan dengan paham demokrasi
dariRousseau(1712-1778).Lebih lanjut unsur-unsur negara hukum gagasan Immanuel Kant(1724-1804)
yang dikembangkan oleh Friedrich Stahl, sebagai berikut :

(1).Adanya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. (2). Adanya pemisahankekuasaan Negara. (3).
setiap tindakan negara harus didasarkan atas undangundangyangtelah ditetapkan terlebih dahulu. (4).
Adanya peradilanadministrasi negara. Konsep negara hukum trechstaat) dikembangkan lagi
oleh S.W.Couwenberg. Menjadi sepuluh unsur sebagai berikut :

Pemisahan antara negara dan masyarakat sipil, pemisahan antarakepentingan umurndan kepentingan
khusus perorangan, danpemisahan antara hukum publik dan hukum privat.

Pemisahan antara negara dan gereja.

Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil.

Persamaan terhadap undang-undang

Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasarsistem hukum.

Pemisahan kekuasaan berdasarkan Trias Politika dan system cheksanda balances.


Asas Legalitas.

Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yangtidak memihak dan netral.

Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa olehperadilan yang bebas dan tidak
memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakan prinsip tanggung gugat negara secara
yuridis.

Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat territorial maupun vertical.

Menurut M. Scheltema, negara berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama yaitu (1). Asas
kepastian hukum. (2). Asas persamaan. (3). Asas demokrasi. (4). Asas pemerintah dibentuk untuk
melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Beda dengan recltstaot, the rule of law yang mulai
dikembangkan di Inggris dan berkembang pula di Amerika Serikat Perkembangannya di

Amerika Serikat dalam government of judiciary, yang oleh W. Friedman mempunyai dua arti, yaitu
formal dan materil.arti formal adalah kekuasaan hukum yang terorganisasi (organized public power) dan
setiap negara modem memiliki rezim hukum sendiri-sendiri. Arti material adalah adalah pemerintahan
oleh hukum yang berkeadilan (the rule of just /aw), sedangkan oleh pelopor utamanya A.V. Dicey, the
rule of law mempunyai tiga unsur, yaitu : supremacy of law, equality before the law, and the
constitution bosed on individual rights.

C. Otonomi Daerah

Undang-undang Dasar 1945 memuat ketentuan tentang pemrintahan daerah(pasal 18) yang beirisi
beberapa pokok pikiran :

Pertama : bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangihak-hak rakyat

daerah untuk turut serta secara bebas dalam penyelenggaranpemerintahan daerah.

Kedua : Bentuk hubungan pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hakrakyat daerah untuk

berinisiatif atau berprakarsa

Ketiga : Betuk hubungan antara pust dan daerah dapat berbeda-beda antaradaerah yang satu dan

yang lainnya.

Keempat : Bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangkamewujudkan keadilan

dan kesejahteraan sosial di daerah.

Para tokoh ahli pemerintahan seperti Ryaas Rasyid, Affan Gafar dankawan-kawan adalah arsitek dibalik
lahirnya undang-undang nomor 2 tahun1999.Ryaas Rasyid (2002) mensemukakan sejumlah argumentasi
mengapadalam sistem pemerintahan Iadonesia sebaiknya menggunakan prinsip-prinsipdesentralisasi
antara lain sebagai berikut:

Efektifitas dan Efisiensi penyelengaraan pemerintahan. Organisasi negara merupakan sebuah entitas
yang sangat kompleks.Pemerintah negara mengelola berbagai dimensi kehidupan dan juga berfungsi
sebagai disributif. Sangat tidak memungkinkan jika pemerintah melaksanakannya secara sentralistik.

Pendidikan Politik Banyak kalangan ilmu politik bahwa pemerintahan daerah merupakan

kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi sebuah negara. Denganadanya desentralisasi malia hal
itu akan memberikan kesempatan bagiwarga masyarakat untuk berpartisipasi politik baik dalam memilih
maupundipilih.

Pemerintah Daerah sebagi persiapan untuk karir politik lanjutan.

Stabilitas Politik Kalangan ilmuan politik sependapat bahwa salah satu manfaat dari

desentralisasi atau otonomi daerah adalah dalam penciptaan stabilitas politik.

Kesetaraan Politik Dengan dibangunnya pemerintahan daerah, maka kesetaraan politik di antara
berbagai komponen akan terwujud.

Akuntabilitas Publik

Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan :

Baik berdasarkan pengkajian perbandingan maupun pengkajian atasperundang-undangan lndonesia


yang ada dan yang pernah ada ditemukansatu kecenderungan umum hubungan antara pusat dan
daerah yaitu di satupihak makin menguatnva kedudukan dan peranan pusat dan di pihak lainmakin
surutnya kemandirian (kebebasan daerah).

Pemberian otonomi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerahsebagai suatu masyarakat hukum
hingga saat ini belum diletakan padasuatu landasan konsepsi yang jelas, yang mencakup dan
berorientasi padaupaya mengembangkan pemerintahan daerah yang baik (good localgovernntent).

Masih banyakan produk hukum yang diwarnai oleh kepentingan-kepentinganpolitik pemegang


kekuasaan, sehingga hukum belum dapatmenampilkan jati dirinya sebagai penjamin kepastian
stabillitas, keadilandan kesejahteraan.

Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidangpemerintahan, kecualikewenangan


dalam bidang politik luar negeri,pertaharnn keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, ogam
sertakewenangan lain (pasal 7 ayat (1).Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
meliputikebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunannasional secara
makro. dana perimbangan keuangan, sistem administrasiNegara dan lembaga perekonomian Negara
pemberian dan pemberdayaansumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologiyang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

Kewenangan Pemerintah yang diserahkan kepada Daerah dalam rangkadesentralisasi harus disertai
dengan penyerahan dan pengalihanpembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia
sesuaidengan kewenangan yang diserahkan tersebut.

Demokrasi politik akan menciptakan kebebasan bagi warga masyarakat. Salahsatu faktor yang tidak bias
di nafikan dalam hal demokrasi dan system desentralisasi adalah adanya akuntabilitas publik.
Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan di atas merupakanprinsip-prinsip dasar pijakan yang
secara teoritis menjadi dasar kebijakandesentralisasi di Indonesia cita-cita yang berkembang agar
demokratisasi dankebebasan untuk beraspirasi di jamin secara hukum. Kehadiran udang-undangNomor
tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-undangNomor 32tahun2004 tentang pemerintahan
daerah adalah langkah maju bagi pemerintahIndonesia untuk menuju masa depan demokrasi politik dan
ekonomi yangmeningkat.

Kecenderungan terjdinya proses tarik menarik antara kepentingannegara dan masyarakar seperti
dikemukakan Islami harus dijawab melaluihadirnya aparatur pemerintah yang disamping professional
juga memiliki hatinurani yang sensitive terhadap aspirasi masyarakat yang terus berkembang.Sebagai
wujud sikap kesediaan mendengar dan kemampuan untukmenyediakan apa yang diinginkan oleh rakyat.
Tanpa adanya perubahan sikapmental dan kemampuan aparatur pemerintah, mungkin desentralisasi
danotonomi daerah hanya merupakan retorika politik belaka.

Di kutip dari

(seminar hukum dan Kebijakan Publik)

oleh

DR. H. Deddy Ismatullah, SH.,M.Hum

Share this:
SEJARAH HUKUM INDONESIA

Berbicara sejarah hukum di Indonesia sama saja kita berbicara tentang sejarah Indonesia itu sendiri,
karena hukum di Indonesia merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Kalau boleh kita petakan,
perjalanan hukum di Indonesia dapat kita bagi menjadi 3 masa yaitu:

Masa sebelum penjajahan (pra kolonial)

Pada masa ini hukum lebih di dominasi oleh aturan adat atau kebiasaan yang sudah berkembang di
masyarakat.

Masa kolonial

Belanda sebagai negara yang pernah menjajah Indonesia selama 250 tahun lebih tentunya pengaruhnya
sangat besar terhadap perkembangan sejarah hukum di Indonesia. Bahkan produk hukum di Indonesia
banyak sekali mereduksi dari produk hukum yang dibikin Belanda. Sistem hukum Eropa (khususnya
Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang
dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari “Papal Revolution” hingga Revolusi kaum borjuis-
liberal di Perancis pada akhir abad 19. Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak
dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dimasa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan
penting diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi
peradilan sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda. Dimasa itu bahkan sempat
diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga
golongan penduduk. Ketiga golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (Europeanen) dan mereka yang
dipersamakan dengannya; (2) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen); dan (3) Golongan Bumi
Putera (Inlanders). Untuk tiap golongan penduduk tersebut berlaku hukumnya sendiri-sendiri. Asas
utamanya adalah hukum adat bagi orang Indonesia (Bumi Putera) dan orang-orang yang digolongkan
sama dengan pribumi, sedangkan hukum Belanda bagi orang-orang Eropa. Namun demikian karena
sebab-sebab yang jelas dan masuk akal asas tersebut benar-benar tidak berlaku. Seperti yang
dikemukakan Daniel S. Lev, bahwa “perlakuan terhadap hukum adat setempat adalah salah satu tema
yang paling membingungkan dan bermakna ganda dalam sejarah kolonial Indonesia.” Bahkan menurut
Soetandyo, penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial itu
mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia.

3. Masa pasca kolonial

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masing-masing terbuka
untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta sistem hukum rakyat
dengan segala keanekaragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional
mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide-
ide hukum kolonial yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa substansi hukum
rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi
hukum nasional. Akan tetapi dalam kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses
realisasinya ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.7 Menurut Lev, para
advokat Indonesia ketika itu dan juga sejumlah besar cendekiawan lainnya menginginkan negara yang
terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Hal itu agaknya terjadi karena
berbagai kesulitan yang diduga oleh Soetandyo telah timbul bukan hanya karena keragaman hukum
rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit itu, akan tetapi juga karena sistem pengelolaannya
sebagai suatu tata hukum yang modern (melihat tata organisasi, prosedur-prosedur, dan asas-asas
doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta pula rofesionalisasi penyelenggaraannya) telah terlanjur
tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tak akan mudah dirombak atau digantikan begitu
saja dalam waktu singkat.

Kekuatan moral hukum progresif sebagai das Sollen

Membangun kekuatan hukum yang bermoral dan berkeadilan untuk mematahkan kekuatan pro status
quo sungguh merupakan upaya yang tidak ringan. Upaya tersebut tentu saja harus dimulai dari bawah
dan tidak dari atas. Dari bawah maknanya, proses pendidikan hukum yang selama ini berlangsung di
Indonesia hendaknya berbenah dan mengubah haluan. Fakultas-fakultas hukum tidak sekedar mendidik
mahasiswa hukum yang akan menjadi calon-calon tukang menerapkan hukum positif yang kerjanya
seperti robot yang tidak bernurani, melainkan harus mendidik manusia-manusia yang memahami
hukum sambil menata dan mengasah qalbunya atau nuraninya agar dalam menekuni profesi mereka
menegakkan hukum yang bersangkutan mampu berpihak pada kata hatinya yang paling dalam. Proses
tersebut harus tercermin dalam usaha pembaharuan pendidikan hukum di tanah air kita, yang
mengarah pada perubahan sikap seseorang terhadap masalah yang dihadapi bangsa ini. Hal itu harus
dilakukan sebagai imbangan dari pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis universiter” atau
“teoritis ilmiah”39 namun kurang menyentuh nurani para peserta didik, sehingga berakibat bekunya
nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta didik di fakultas-fakultas hukum di Indonesia ke depan
jangan lagi hanya diarahkan untuk memiliki skills sebagai tukang menerapkan hukum positif tetapi
kurang cerdas spiritual dan emosionalnya dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri. Untuk itu
maka, kurikulum fakultas hukum orientasinya tidak saja terbatas pada pengajaran profesional skills,
tetapi harus meliputi juga etika dan moral profesional (professional ethics and moral), tanggung jawab
profesional (professional responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual management), sehingga para
mahasiswa yang akan menjadi lulusan fakultas hukum diharapkan tidak hanya cerdas secara intelektual,
melainkan juga cerdas secara emosional, dan juga cerdas spiritualnya. Ketiga faktor yang amat penting
dalam pembentukan watak atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif disatukan dalam
penggemblengan kader-kader calon penegak hukum, maka insya Allahkekuatan moral hukum progresif
tidak sekedar menjadi harapan (das sollen) melainkan akan terwujud dalam kenyataan (das sein) di
masa datang.

Penutup

Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi.

1. Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan
hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif
masa lalu sebagai latar belakang.

2. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat,
merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial.
Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada
pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat disamping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya.
Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk
menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa
kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.

3. Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu, penggunaan hukum tertulis yang
dipositipkan penguasa itu ternyata tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari
keadilan. Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya sebatas keadilan
hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat(substantial
justice). Akibatnya, penegakan hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang
terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement). Suatu keadaan dimana seolah-olah
telah dilakukan penegakan hukum, padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak
melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat.

4. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum
progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum anti-status quo sesungguhnya merupakan respons terhadap
keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum positif, kekuatan hukum
progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah
kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum,
maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan,
pengembangan, maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi
sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia

5. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila tunas-tunas bangsa yang
sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses
pembelajarannya. Adalah conditio sine qua nonterhadap mereka calon-calon sarjana hukum Indonesia
masa depan itu pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral
keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan tumbuh secara simultan bersama
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Sejarah Hukum di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum
Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari
aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan
Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a. Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:

1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;

2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan

3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang
berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata
pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan
menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

b. Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau
Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi
kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur
perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini
dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi
sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini
ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya
subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal
swasta.

c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang


Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang
berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:

Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum

Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi

Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi

Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum.

Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:

Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan

Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan
Non-Tionghoa, dan Pribumi.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-
undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari
menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan
perundang-undangan yang terjadi:

Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara,
diberlakukan juga untuk orang-orang Cina

Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.

Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:

Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan

Unifikasi kejaksaan

Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan

Pembentukan lembaga pendidikan hukum

Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang
pribumi.

B. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal

a. Periode Revolusi Fisik


Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang
peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:

Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan

Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan
pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b. Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan
tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan
peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap
perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi
peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung
dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

C. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a. Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam


dinamika hukum dan peradilan adalah:

Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di


bawah lembaga eksekutif

Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman

Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses
peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965

Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga
hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim
Orde Baru? membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah
UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga
melakukan:

Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif

Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum;
Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

D. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen
UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang
mengemuka adalah:

Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan

Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia

Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa
pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai
belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi,
jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses
peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat
hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber
daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan
hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ilmu hukum Indonesia adalah suatu sistem pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum
terdapat di Indonesia, sehingga kita dapat mengenal tentang hukum di Indonesia. Dari Makalah ini kita
dapat mengetahui sejarah hukum di Indonesia sehingga kita dapat lebih mendalami dan memahami
tentang hukum secara singkat dan jelas, yang kedepannya akan mendorong kita agar berhati-hati dalam
bertindak. Di dalam makalah ini juga telah diterangkan berbagai hukum yang berlaku di Indonesia yang
dilihat dari sejarah hukum Indonesia, sehingga kita dapat mempunyai pedoman dan pengetahuan yang
lebih tentang hukum.

Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CDIQFjAA&url=http%3
A%2F%2Fimages.flowst.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment%2F0%2FTCB13QooC0sAABZH40c
1%2FSejarah%2520Hukum%2520di%2520Indonesia.doc%3Fkey%3Dflowst%3Ajournal%3A20%26nmid%
3D344912228&ei=PTOhT8vKOYnnrAey9JT1CA&usg=AFQjCNFjvTraBrafnYPEB6HD0kYUCrQRkQ

SEJARAH HUKUM INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum
Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari
aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di Indonesia hingga dewasa ini sangat
sulit dihindari karena lebih dari satu abad tatkala Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-Indië (Hindia
Belanda) “telah berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing
ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Sistem hukum
asing yang dimaksud tidak lain adalah sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada
tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai
revolusi, mulai dari ‘Papal Revolution’ hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad
19.
Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di masa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun
1848.Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan – sebagai akibat gelombang
liberalisme yang berasal dari Belanda.Di masa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah
jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk. [1]

Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum publik,hukum
perdata/hukum pribadi]], hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata
usaha negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam,hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum
lingkungan.[2]

BAB II

PEMBAHASAN

1. Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan
Politik etis hingga penjajahan Jepang.

Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk :
1. Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;

2. Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan

3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau
Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi
kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur
perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini
dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi
sebengis sebelumnya.Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini
ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya
subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal
swasta.

Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang
berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:

1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;

2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;

3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;

4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;

5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga


runtuhnya kekuasaan colonial.

Ø pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan[3]:

1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;

2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan
Non-Tionghoa, dan Pribumi.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-
undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari
menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan
perundang-undangan yang terjadi:

1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara,
diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;

2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di
bidang peradilan,

Dan pembaharuan yang dilakukan adalah:

1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;

2) Unifikasi kejaksaan;

3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;

4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum;

5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang
pribumi.

2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal[4]

a. Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang
peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan
dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan
adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian
Mahkamah Islam Tinggi.

b. Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata
peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan
adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap
perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi
peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung
dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru


a. Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam


dinamika hukum dan peradilan adalah:

1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di


bawah lembaga eksekutif;

2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman;

3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses
peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;

4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan,
sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim
Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah
UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga
melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada
masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)[5]

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen
UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang
mengemuka adalah:

1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;

2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan

3) Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa
pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai
belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi,
jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses
peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat
hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber
daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan
hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

Hokum di Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum perdata, hukum publik,
hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.

Dan berikut merupakan beberapa pengertian dari macam-macam hokum di atas

1. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam
masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Dan
salah satu contoh dari hokum perdata adalah masalah keluarga

macam-macam dari hokum perdata adalah hokum benda , hokum keluarga , hokum waris dan hokum
lainnya.

2. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah.atau
Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan masyarakat

3. Hukum pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi
unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana

4. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu
terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya .

5. Hukum internasional adalah Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu
dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan
luas.[6]

BAB III

PENUTUP

Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi. Kondisi apa pun yang
terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan hukum di Indonesia,
tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif masa lalu sebagai latar
belakang. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat,
merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa
kolonial.Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga
dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat di samping tidak tertulis juga sangat
pluralistik adanya.Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan
memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan
(status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.
Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu,penggunaan hukum tertulis yang
dipositipkan penguasa itu ternyata
tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan.
Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya
sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh
rasa keadilan masyarakat (substantial justice). Akibatnya,penegakan hukum di negeri ini tampak jelas
carut marutnya. Oleh karena yang terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement).

Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum,


padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa pun yang sesuai dengan
harapan masyarakat. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut
“kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hokum anti-status quo sesungguhnya merupakan
respons terhadap keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hokum positif,
kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral
dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur
penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar
proses pendidikan, pengembangan,
maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi sebanyak-
banyaknya rakyat Indonesia. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan
apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masa-masa
mendatang juga diubah proses pembelajarannya. Adalah conditio sine qua non terhadap mereka
caloncalon sarjana hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan
budi pekerti, etika serta moral keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan
tumbuh secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual.
PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL

INDONESIA*)

Oleh : Barda Nawawi Arief

A. Pendahuluan

Cukup banyak masalah/tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dalam upaya melakukan
pembangunan nasional (BANGNAS). Khususnya dalam masalah pembangunan hukum nasional
(BANGKUMNAS), minimal dapat diidentifikasikan tiga masalah besar, yaitu :

masalah peningkatan kualitas penegakan hukum in concreto (masalah (“law enforcement”).

masalah pembangunan/pembaharuan SHN (Sistem Hukum Nasional); dan

masalah perkembangan globalisasi yang multi kompleks, masalah internasio-nalisasi hukum,


globalisasi/transnasionalisasi kejahatan, dan masalah hitech/ cyber crime yang terus berkembang.

Ketiga masalah itu dapat dibedakan, tapi sulit dipisahlepaskan karena ada saling keterkaitan erat.

Masalah pembangunan Sistem Hukum Nasional (SHN/SISKUMNAS) atau masalah BANGKUMNAS yang
menjadi topik dalam kuliah umum ini, bukanlah masalah baru. Masalah ini sudah merupakan masalah
umum yang sering/lama dibicarakan di berbagai forum seminar nasional (mungkin sebelum anda
lahir) [1]. Namun tidak berarti merupakan ”masalah basi”, karena ”pembaharuan/pembangunan
hukum” pada hakikatnya merupakan ”pembaharuan/pembangunan yang berkelan-jutan” (sustainable
reform/sustainable development).[2] Di dalam pembaharuan/ pembangunan hukum selalu terkait
dengan ”perkembangan/pembangunan masyarakat yang berkelanjutan” maupun ”perkembangam yang
berkelanjutan dari kegiatan/ aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide dasar/
konsepsi intelektual”. Jadi ”law reform” terkait erat dengan ”sustainable society/development”,
”sustainable intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”, “sustainable intellectual
conceptions/basic ideas”. Kajian terhadap masalah ini tentunya merupakan kajian yang “bergenerasi”.
Ini berarti masalah pembaharuan/pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan masalah yang
harus terus menerus dikaji. Terlebih kajian ilmiah mengenai pembaharuan/pembangunan hukum
nasional, tidak pernah secara nasional dima-sukkan sebagai kurikulum terstruktur/struktural, baik
dalam KURNAS (Kurikulum Nasional) maupun KURTI (Kurikulum Inti). Kalaupun ada, sifatnya hanya
sebagai kurikulum lokal atau hanya untuk bidang ilmu/konsentrasi tertentu. [3]

Bertolak dari uraian di atas, saya sampaikan penghargaan (acungan jempol) kepada Program Magister
Ilmu Hukum Pascasarjana UBH, yang memilih masalah besar “Pembangunan SISKUMNAS” sebagai topik
dalam Kuliah Umum ini, walaupun topik ini tidak tercantum secara eksplisit dalam kurikulum terstruktur
S2 Ilmu Hukum, Program Pascasarjana UBH.

Sebagai suatu “masalah besar” yang memerlukan kajian bergenerasi, tidaklah mungkin kuliah umum ini
mengungkap semua permasalahan, terlebih sebenarnya hampir semua permasalahan telah dibahas
dalam berbagai seminar nasional. Namun setidak-tidaknya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan/pelengkap untuk mata kuliah Politik Hukum atau sebagai bahan rangsangan
pemikiran/renungan “sekilas” untuk kajian lebih lanjut (yang lebih mendalam) oleh peserta program S2
dalam membuat tesis. Hal ini sangat diharapkan, karena salah satu ciri tesis S2 (bedanya dengan skripsi
S1) lebih diharapkan membahas masalah-masalah prospektif ke depan, yaitu masalah ”law reform and
development” daripada sekedar masalah ”law enforcement”. Terlebih Konvensi Hukum Nasional bulan
Maret 2008 masih membicarakan masalah Grand Design sistem dan politik hukum nasional, dan di akhir
rekomendasinya masih menegaskan : “perlu disusun Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional
dengan landasan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional dan Pancasila sebagal landasan
filosofisnya”. [4]

Bukankah rekomendasi itu merupakan suatu tantangan yang ironis (terutama bagi Program
Pascasarjana)? Sudah 64 tahun kita merdeka, namun “Grand Design Sistem dan Politik Hukum
Nasional”-nya saja masih belum tersusun. Sekedar illustrasi, RKUHP yang sudah 45 tahun, dan disusun
oleh beberapa generasi/angkatan (bahkan banyak yang sudah meninggal), namun masih saja tetap
berupa rancangan dan belum dibicarakan di DPR sampai saat ini.

B. Ruang Lingkup/Sistematika Materi KULUM

Bertolak dari judul, sederetan pertanyaan bisa dimunculkan (lihat footnote).[5] Namun dalam
keterbatasan waktu, kuliah umum ini lebih difokuskan pada materi :

Pengertian dan ruang lingkup pembangunan SHN.

Pendekatan dan Strategi pembangunan SHN.

Posisi dan peran PTH (Pendidikan Tinggi Hukum) dalam BANGKUMNAS.

Pilihan fokus materi ini didasarkan pada peran/fungsi PTH (termasuk program Pascasarjana) sebagai
pusat ”Geisteswissenschaft” (IP Kerokhanian/Kejiwaan), pusat ide/pemikiran konseptual, pusat
pembaharuan, the center of jurisprudence; the center of law science reform and development.
Disamping alasan itu, pilihan topik ini dilandaskan juga pada berbagai kesimpulan/rekomendasi
Seminar/Konvensi Hukum Nasional yang sering menyata-kan, bahwa landasan konstitusional (UUD NRI
’45) dan landasan filosofis Pancasila perlu disusun/diimplementasikan dalam SHN dan Politik Hukum
Nasional. Jadi kebanyakan baru sebatas “pernyataan/statement”[6], sedangkan realisasi/implementasi-
nya masih belum begitu konkret atau setidak-tidaknya masih bermasalah.

C. Pengertian dan ruang lingkup pembangunan SHN

1. Pengertian

Pengertian ”pembangunan”

Walaupun sudah berulang kali seminar hukum nasional diselenggarakan, namun tidak satupun dijumpai
penjelasan tentang pengertian ”Pembangunan” itu sendiri. Yang umumnya diungkap adalah masalah
yang berkaitan dengan pembangunan hukum nasionalnya itu sendiri (antara lain ruang lingkup/
bidang/program/tahapan pembangunan hukum nasionalnya). Jadi kata/istilah ”pembangunan” seolah-
olah sudah diterima begitu saja sebagai istilah umum. Namun dalam berbagai seminar terungkap,
bahwa ”pembangunan” sering diidentikkan atau terkait erat di dalamnya dengan berbagai
istilah/masalah ”pengembangan, pembaharuan, reformasi, pembinaan, penataan, pemantapan
kembali, peninjauan, evaluasi”. Jadi tercakup di dalamnya pengertian”development”, ”reform”,
”renovation”, ”rebuild”, ”reconstuction”, ”eva-luation/re-evaluation”.

Pengertian dan Ruang Lingkup Sistem Hukum Nasional (SHN/SIS-KUMNAS)

Apabila dilihat dari sudut teoritik/konseptual tentang ”sistem hukum”, maka SHN dapat dikatakan
sebagai kesatuan dari berbagai sub-sistem nasional, yaitu ”substansi hukum nasional”, ”struktur hukum
nasional”, dan ”budaya hukum nasional”.

Apabila SHN hanya dilihat sebagai substansi hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa, SHN pada
hakikatnya adalah Sistem Hukum Pancasila. Apabila dijabarkan lebih lanjut, SHN-Pancasila adalah SHN
yang berlandas-kan/berorientasi pada tiga pilar/nilai keseimbangan PS, yaitu :

- berorientasi pada nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius);

- berorientasi pada nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik); dan

- berorientasi pada nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial).

Dengan demikian, sistem/tatanan hukum di Indonesia yang tidak ber-orientasi pada ke-3
pilar/nilai/pendekatan/jiwa (ruh) demikian, TIDAK DAPAT dikatakan sebagai SHN, walaupun dibuat oleh
badan legislatif Indonesia. Sangat tepatlah apabila Seminar Hukum Nasional ke-II/1968 pernah
menegaskan, bahwa :

“UUD 1945 hanyalah boleh dilaksanakan atas dasar Pancasila. Pelak-sanaan UUD 1945 yang berlawanan
dengan semangat dan jiwa Pancasila berarti manipulasi konstitusi dan pengkhianatan terhadap
Pancasila”.
2. Ruang Lingkup Pembangunan SHN

Ruang lingkup pembangunan SHN dapat dilihat dari berbagai aspek/sudut. Apabila dilihat dari ruang
lingkup SHN sebagaimana dikemukakan di atas, maka pembangunan ruang lingkup SHN dapat
mencakup pembangunan ”substansial” (substansi hukum/legal substance), pembangunan ”struktural”
(stuktur hukum/legal structure), dan pembangunan ”kultural” (budaya hukum/legal culture). Kalau
dilihat sebagai ”program pembangunan”, maka ruang lingkupnya bisa disebut dengan berbagai program
yang terkait dengan bidang hukum.

Dalam Lokakarya Bangkumnas Repelita VI (1994-1999), ketiga bidang/ ruang lingkup pembangunan SHN
pernah dirinci sebagai berikut :

Pembangunan ”perangkat hukum nasional” (maksudnya bidang substansi hukum, pen.) terdiri dari 14
sektor : (1) sektor HTN dan HAN; (2) sektor Hukum Tata Ruang; (3) sektor Hukum Bahari (Laut); (4)
sektor Hukum Dirgantara; (5) sektor Hukum Kependudukan; (6) sektor Hukum Lingkungan; (7) sektor
Hukum Kesehatan; (8) Hukum Kesejahteraan Sosial; (9) sektor Hukum Teknologi dan Informatika; (10)
sektor Hukum Keluarga dan Waris; (11) sektor Hukum Ekonomi; (12) sektor Hukum Pidana; (13) sektor
Hukum Militer dan Bela Negara; dan (14) sektor Hukum Transnasional.

Pembangunan ”tatanan hukum nasional” (maksudnya bidang struktur hukum, pen.) terdiri dari 5 sektor
: (1) Sektor kelembagaan, administrasi dan manajemen lembaga-lembaga hukum; (2) Sektor mekanisme,
proses dan prosedur; (3) sektor peningkatan koordinasi dan kerjasama nasional; (4) sektor peningkatan
kerjasama regional & internasional; dan (5) sektor pengembangan sarana & prasarana pendukung
pembangunan hukum.

Pembangunan ”budaya hukum nasional” terdiri dari 5 sektor : (1) Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu
Hukum Nasional; (2) Pembinaan Kesadaran hukum & perilaku taat hukum; (3)
Pengembangan/pembinaan perpustakaan, penerbitan dan informatika hukum; (4) Pengembangan dan
pembinaan profesi hukum; (5) Pengembangan dan pembinaanpendidikan hukum.

Catatan :

Sub-3 di atas, dalam Renstra (Rencana Strategik) pembangunan hukum nasional Repelita VI,
disederhanakan menjadi 3 bidang :

Cita hukum, Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional;

Pranata Hukum dan Lembaga Hukum;

Perilaku Hukum pemerintah dan masyarakat.

D. Pendekatan dan Strategi Pembangunan SHN

Kalau bertolak dari ketiga nilai/pilar keseimbangan PS, maka pendekatan yang seyogyanya ditempuh
dalam membangun SHN-Pancasila, adalah :
pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius);

pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik); dan

pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan


sosial).

Karena PS merupakan nilai-nilai filosofis kultural yang fundamental, maka dapatlah ditegaskan bahwa
strategi pembangunan SHN seharusnya berawal/dimulai dari “pembangunan kultural” (budaya hukum
nasional), karena nilai-nilai PS inilah yang merupakan ruh/jiwa/nur/nilai-dasar/ide-dasardari SHN.
Pembangunan/pem-baharuan SHN pada hakikatnya berawal dari pembaharuan nilai/ide-dasarnya.

Sudahkah nilai-nilai kejiwaan itu terwujud/terimplementasi dalam pemba-ngunan SHN Indonesia? Kalau
dalam rekomendasi Konvensi Hukum Nasional 2008 (lihat di atas) masih dinyatakan : “perlu
disusun Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional dengan landasan UUD NRI 1945 sebagai
landasan konstitusional dan Pancasila sebagal landasan filosofisnya”, bukankah ini berarti, landasan
filosofi PS masih belum terimplementasi atau setidaktidaknya masih belum terbangun/terbina dengan
serius?

Salah satu bidang pembangunan “budaya hukum nasional” yang diutamakan/ didahulukan menurut
Renstra di atas, ialah sektor Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional. Strategi demikian sangat tepat,
karena berdasarkan bangunan teori hukum menurut Meuwissen dapat diskemakan sbb. : (1) Filsafat
Hukum (landasan dari keseluruhan teori hukum – berarti dalam arti luas); (2) Teori hukum (dalam arti
sempit); dan (3) Ilmu Hukum.[7] Apabila teori Meuwissen itu diimplementasikan dalam membangun
SHN Indonesia, berarti harus dibangun terlebih dahulu (1) Filsafat Hukum Pancasila, kemudian (2) Teori
Hukum PS; dan akhirnya terbangun (3) Ilmu Hukum PS (Ilmu Hukum Nasional). Ketiga hal inilah yang
seharusnya dibangun/di-kembangkan dalam SISKUMNAS.

Masalah strategis ini belum terwujud secara menyeluruh dalam IHN Indonesia (Ilmu Hukum Nasional).
Contoh konkret di bidang hukum pidana. Sampai saat ini, ilmu hukum pidana yang diajarkan masih
bersumber/bertolak dari Ilmu Hukum Pidana yang berorientasi pada KUHP warisan zaman Belanda,
karena RKUHP masih saja belum menjadi hukum pidana positif. Dirasakan janggal, apabila tujuannya
membangun atau membina/mengembangkan SHN (termasuk sistem hukum pidana nasional), tetapi
yang dipelajari/diajarkan terus menerus adalah ilmu hukum warisan zaman kolonial.

E. Posisi dan Peran PTH Dalam membangun/Mengembangkan IHN (Ilmu Hukum Nasional)

Membangun/mengembangkan/memperbaharui ilmu hukum nasional, terkait erat dengan peran dan


tugas PTH (Pendidikan Tinggi Hukum). Tugas PTH tidak hanya menyelenggarakan “pendidikan hukum
profesional” (“professional law education”)untuk menghasilkan sarjana hukum yang memiliki
kemampuan akademik dan kemampuan profesional (termasuk kemahiran/ketrampilan hukum) dalam
bidang hukum positif, tetapi juga dituntut untuk mengemban “tugas keilmuan/konsepsional
akademik” dan “tugas nasional” dalam melakukan upaya pengkajian dan pengembangan/pembaharuan
ilmu hukum nasional. Kedua tugas PTH itu sesuai dengan penegasan Pasal 2 (1) PP No. 60/1999 : Tujuan
pendidikan tinggi adalah:

menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau
profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;

mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta


mengupayakan penggunaannya untukmeningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
kebudayaan nasional.

Inilah yang merupakan tantangan bagi lembaga PTH di Indonesia. Seberapa jauh kegiatan FH dan
Pascasarjana Hukum beserta seluruh civitas academicanya, dapat mendukung, mengisi atau
memberikan sumbangan konsep/wawasan baru bagi tersusunnya pembaharuan IHN, termasuk Ilmu
Hukum Pidana Indonesia? Dalam salah satu bagian dari pidato pengukuhan saya (1994), pernah saya
tegaskan :

Dalam situasi sedang menghadapi masalah besar di bidang pembaharuan hukum pidana itu, sangatlah
dirasakan janggal apabila di dalam pendidikan tinggi hukum tidak ada kajian khusus mengenai
“pembaharuan hukum pidana”.

Ini tidak berarti, bahwa selama ini pendidikan tinggi hukum tidak terlibat sama sekali dalam masalah
besar itu. Namun patut dicatat, bahwa kegiatan itu terkadang :

– lebih bersifat individual, insidental/temporal, dan

– hasilnya tidak disusun kembali berdasarkan suatu kerangka teori atau sistematika ilmiah tertentu,
untuk kemudian disajikan dan dikembangkan sebagai bahan pelajaran/kajian bagi para mahasiswa.

Oleh karena itu mungkin tidak sedikit ide-ide pembaharuan/pengembangan hukum pidana yang tidak
sampai kepada para mahasiswa. Tidak sedikit bahan-bahan pembaharuan hukum pidana hanya
berhenti setelah seminar dan kegiatan ilmiah lainnya itu selesai, karena para dosen/mahasiswa kembali
terlibat dalam kesibukan dan kewajiban rutinnya yaitu mengajarkan/ mempelajari hukum pidana positif
(yang berorientasi pada WvS/KUHP zaman Belanda).

Kajian mengenai pembaharuan hukum dan politik hukum (termasuk pula kajian “pembaharuan hukum
pidana” dan “kebijakan/politik hukum pidana”) merupakan tugas nasional yang melekat pada setiap
pendidikan tinggi hukum sebagai suatu lembaga ilmiah. Oleh karena itu, kajian mengenai hal ini
seyogyanya distrukturkan atau dilembagakan.

Kalau pada hakikatnya, pembaharuan/pembangunan hukum merupakan suatu“kegiatan berlanjut


(sustainable activity) atau merupakan “konsep berlanjut (sustainable concept/idea)”, bukankah wajar
kalau kajian mengenai pembaharuan/pengembangan IHN (khususnya kajian tentang pembaharuan/
politik hukum pidana nasional) seharusnya distrukturkan dalam kurikulum nasional/kurikulum inti
(KURNAS/KURTI)? Salah satu kesimpulanSeminar Hukum Nasional ke III/1974 di Surabaya, khususnya
“Mengenai Pendidikan Hukum” pernah menegaskan antara lain : “Agar lembaga pendidikan hukum …..
menitikberatkan pada hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan kemungkinan
pembaharuan dan Pembinaan Hukum Nasional”.

Dari uraian di atas dapatlah ditegaskan, bahwa membangun/menata ulang pendidikan hukum nasional
dan IHN memang sangat diperlukan karena :

merupakan tuntutan/amanat nasional;

merupakan bagian dari BANGNAS/BANGKUMNAS;

merupakan bagian dari pembangunan SHN (Sistem Hukum Nasional);

merupakan respon terhadap perkembangan nasional dan global; dan

sesuai dengan hakikat/fungsi ilmu hukum sebagai “ilmu normatif (das Sollen) mengenai masalah faktual
(das Sein)”, yang tentunya harus mengalami perubahan apabila kondisi faktual dan ide
konsepsional/ide-ide dasarnya berubah (nasional/global);

Untuk mempersiapkan/menyongsong “Generasi Baru Hukum Indonesia” (“Sarjana Hukum Indonesia Era
Reformasi dan Era Digital”) atau untuk mempersiapkan “the lawyer of tomorrow” (meminjam
istilah Nicholas J Gervassis dari University of Edinburgh sewaktu mengomentari buku Human Rights in
the Digital Age, Edited by Mathias Klang and Andrew Murray[8]).

Pengembangan IHN terkait erat dengan pengertian dan hakikat “ilmu hukum” itu sendiri. Ilmu hukum
pada hakikatnya merupakan “normatieve maatschappij wetenschap”,yaitu “ilmu normatif tentang
hubungan kemasyarakatan” atau “ilmu hubungan kemasyarakatan (kenyataan) yang normatif”. Secara
singkat dapat dikatakan, bahwa ilmu hukum merupakan “ilmu normatif (das Sollen) tentang kenyataan
(das Sein”), atau “ilmu kenyataan (das Sein) yang normatif”. Dengan demikian, kalau “hukum”
dipandang sebagai salah satu “institusi sosial/kemasyarakatan” (berupa “norma” maupun “keajegan-
keajegan perilaku”) dalam mengatur/mempolakan dan memecahkan masalah/kenyataan sosial, maka
ilmu hukum pada hakikatnya merupakan ilmu yang berkaitan dengan konsep/ wawasan
(pandangan/ide-ide dasar) dalam mengatur dan memecahkan masalah-masalah kemanusiaan dan
kemasyarakatan.

Bertolak dari pengertian dan hakikat ilmu hukum yang demikian, maka dapatlah ditegaskan, bahwa ilmu
hukum pada dasarnya adalah ilmu normatif tentang “konsep/wawasan kemanusiaan dan
kemasyarakatan”. Dengan demikian wajar-lah apabila kajian ilmu (sistem) hukum di suatu masyarakat
mengandung karakteristik yang berbeda/berlainan karena didasarkan pada konsep/ide-dasar/wawasan
yang berbeda (dilihat dari sudut sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio kulturalnya).

Bertolak dari pengertian dan hakikat yang demikian pula, maka masalah besar dalam perkembangan
ilmu hukum di Indonesia ialah masalah perkembangan/ perubahan/pergeseran orientasi
konsep/wawasan dari ilmu hukum sebelum kemerdekaan (ilmu hukum warisan penjajah) ke ilmu hukum
setelah atau dalam alam kemerdekaan. Dengan kata lain, masalah besarnya terletak pada bagaimana
membangun/mengembangkan “ILMU HUKUM INDONESIA”. Inilah yang merupakan hakikat dan
tantangan kajian ilmu hukum di Indonesia.

Kalau di atas dikemukakan, bahwa ilmu hukum pada hakikatnya merupakan ilmu normatif tentang
“konsep/wawasan kemanusiaan dan kemasyarakatan”, maka dalam konteks Indonesia, “Ilmu Hukum
Indonesia/Nasional” (IHI/IHN) tentunya berarti “ilmu normatif tentang konsep kehidupan
bermasyarakat (di) Indonesia”. Bila dikaitkan dengan istilah dalam Pembukaan UUD’45, dapatlah
dikatakan, bahwa IHN adalah “ilmu normatif tentang konsep ‘berkehidupan kebangsaan yang bebas’
di Indonesia”. Berkehidupan kebangsaan yang bebas mengandung aspek yang sangat luas, yaitu dalam
seluruh aspek kehidupan bermasyarakat/ berbangsa/bernegara (meliputi aspek “ipoleksosbud”).
Dengan demikian IHIN meliputi juga ilmu normatif atau ilmu tentang “tatanan berkehidupan
kebangsaan” (di berbagai aspek “ipoleksosbud”).

Apabila “tatanan berkehidupan kebangsaan” yang dicita-citakan bangsa Indo-nesia adalah tatanan
berdasarkan Pancasila, maka Ilmu Hukum Indonesia adalah ilmu mengenai tatanan berkehidupan
kebangsaan berdasarkan Pancasila. Ini berarti membangun SHN pada hakikatnya membangun konsep-
konsep tatanan yang berorientasi pada nilai/paradigma Pancasila, yaitu paradigma Ketuhanan (moral-
religius), paradigma kemanusiaan, paradigma kebangsaan (persatuan/ke-pentingan umum), paradigma
kerakyatan/demokrasi, dan paradigma keadilan sosial. Dapat pula dikatakan secara singkat, bahwa Ilmu
Hukum Nasional (Ilmu Hukum PS) adalah Ilmu Hk yg berorientasi pada tiga pilar/nilai keseimbangan PS,
yaitu:

IH bernilai/berpilar/berorientasi – Ketuhanan (bermoral religius);

IH bernilai/berpilar/berorientasi – Kemanusiaan (humanistik)

IH bernilai/berpilar/berorientasi – Kemasyarakatan (nasionalistik; demo-kratik; berkeadilan sosial).

Ini berarti, Ilmu Hk yg tidak berorientasi pada ke-3 pilar/nilai/pendekatan/jiwa (ruh) demikian, BUKAN
Ilmu Hkm Nasional.

Mengingat uraian di atas, wajarlah apabila Prof. Moeljatno[9] pernah menyatakan, bahwa “Dalam
negara kita yang berdasarkan Pancasila, dengan adanya sila ketuhanannya, maka tiap ilmu pengetahuan
(termasuk ilmu hukum, pen.) yang tidak dibarengi dengan ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap”. Prof.
Dr. Notohamidjojo[10]pun sering menegaskan, bahwa “tanggung jawab jurist ialah merohaniahkan
hukum”, dan “penilaian scientia yuridis harus mendalam dan mendasar pada conscientia” (nilai
kebenaran, keadilan, kejujuran, kasih sayang antar sesama dsb). Dengan demikian tidak ada
“sekulerisasi” dalam pendidikan hukum dan ilmu hukum di Indonesia.

Di dalam rambu-rambu sistem hukum nasional jelas dinyatakan, hal-hal sbb. :

Pasal 29 (1) UUD’45 : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Psl. 3 (2) UU:4/2004 : Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila
Pasal 4 (1) UU:4/2004 : Peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME”.

Pasal 8 (3) UU Kejaksaan No. 16/2004 : “Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”.

Dari berbagai ketentuan di ataspun jelas, pendidikan hukum dan ilmu hukum di Indonesia seharusnya
tidak bersifat sekuler. Konsekuensinya, PTH dan IHN harus juga menggali/mengkaji ilmu hukum ber-
Ketuhanan YME. Apabila tidak, bagai-mana mungkin ketentuan yuridis-religius di atas dapat dipahami
dan diterapkan dengan baik. Sangatlah ironis, dalam negara yang ber-Ketuhanan YME dan peradilannya
dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME”, tetapi mahasiswa hukum dan aparat penegak
hukumnya hanya tahu tentang keadilan berdasarkan “tuntunan UU”, tetapi tidak tahu tentang keadilan
berdasarkan “tuntunan Tuhan”.

Di samping rambu-rambu nasional di atas, kesimpulan Seminar Hukum Nasional ke VI (1994) pernah
menegaskan, bahwa : “Perlu untuk dikembangkan gagasan mengenai kualitas pemberian keadilan (the
dispension of justice) yang lebih cocok dengan sistem hukum Pancasila”. Ini berarti PTH dan IHN harus
menggali, mengkaji, dan mengajarkan kepada mahasiswa tentang apa itu “Keadilan Pancasila”.
Bukankah, seperti dikatakan Prof. Paul Scholten, Ilmu Hukum adalah juga “ilmu tentang
keadilan”?[11] Ini berarti Ilmu Hukum Indonesia, adalah “ilmu tentang Keadilan Pancasila”.

Keadilan PS berarti keadilan berke-Tuhanan, keadilan berkemanusiaan (humanistik), keadilan


nasionalistik, demokratik, dan berkeadilan sosial. Apa maknanya semua itu? PTH/IHN lah yang
seharusnya melakukan kajian. Namun yang jelas, keadilan PS yang demikian itu, jelas bukan sekedar
“keadilan formal” tetapi “keadilan substantif/materiel”.

Patut kiranya dikaji keterkaitan antara asas Peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan
YME” dengan asas “independensi peradilan”. Kebebasan/kemerdekaan/independensi peradilan selama
ini sering hanya diarti-kan sebagai kebebasan dari campur tangan/intervensi dari kekuasaan negara
lainnya. Kenyataannya, adanya mafia peradilan menunjukkan tidak adanya ke-merdekaan praktek
peradilan dari berbagai nafsu tercela/kotor.

Hakikat/nilai substansial dari “kebebasan (independensi) peradilan” justru seharusnya bersumber dari
keyakinan akan asas peradilan yang dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kebebasan/kemerdekaan (independensi) substansial hanya ada pada orang yang merasa
terikat/bergantung pada kekuasaan/tuntunan Ilahiah (transendental), bukan pada kekuasaan lain.
Dengan menghayati/menjiwai hakikat keadilan berdasar tuntunan Tuhan, barulah orang (hakim) akan
terbebas dari “nilai/kekuasaan subjektif” berupa hawa nafsu; kebencian golongan; ataupun hubungan
kekerabatan (nepotisme/favoritisme).[12] Inilah seharusnya yang menjadi karakteristik “independensi”
Indonesia. Oleh karena itu, tuntunan/ilmu Ketuhanan itu harus diintegrasikan dalam PTH/IH Indonesia.
Kalau tidak, maka wajarlah asas juridis-religius (Demi Keadilan berda-sarkan Ketuhanan YME) hanya
menjadi formalitas (sekedar “irah-irah”) putusan. Jadi hanya keadilan formal, bukan keadilan
substantif/materiel.
Renungan dan kajian mendalam tentang SHN/IHN Pancasila seyogyanya dikaji dan dikembangkan terus
menerus sebagai upaya mencari alternatif/model lain dari sistem/ilmu hukum yang ada saat ini (minimal
“model lain/baru” daripada warisan zaman Belanda). Hal ini perlu, karena ilmu dan praktek penegakan
hukum saat ini (tidak hanya di Indonesia) ternyata masih memprihatinkan dan dipandang tidak mampu
mengatasi masalah sehingga banyak upaya/pemikiran untuk mencari “model/alternatif lain” (a.l. Prof.
Satjipto menawarkan model hukum progresif; dan saya sedang mengembangkan model konstruksi
pemikiran hukum/penegakan hukum integral-kontekstual).

Di tingkat dunia pun, upaya mencari “model/ alternatif lain” inipun muncul karena ada
ketidakpuasan/keresahan terhadap sistem yang ada. Ketidakpuasan ini terlihat antara lain dari
pernyataan Habib Ur Rahman Khan (dalam makalah Workshop UNAFEI):[13]

“People are busy doing research, holding seminar, international conference and writing books, trying to
understand crime and its causes in order to control it. But the net result of all these efforts is to the
contrary. Crime marches on” .

Selanjutnya beliau mengungkapkan pemikirannya sebagai berikut :[14]

“I suggest that, just as in the 19th century attention was diverted from the crime to its author – the
criminal, we should go a step further and focus our attention, not on the criminal, but on to its author
– society. We will have to change our socio-political and economic system that breeds criminals”.

Dalam Kongres-kongres PBB ke-6/1980, ke-7/1985, ke-10/2000, perkembangan pemikiran upaya


penanggulangan kejahatan sebagai produk masyarakat ini, memunculkan ide “penanggulangan
kejahatan secara integral” dan menekankan pada upaya “penanggulangan kausatif” (yaitu
menanggulangi sebab/kondisi)[15]. Dalam “Deklarasi Bangkok” (Bangkok Declaration), hasil Kongres PBB
ke-11/2005, bahkan diajukan gagasan/model “Restorative Justice”. Model ini antara lain terwujud dalam
bentuk “mediasi penal” (penal mediation) yang sering dinyatakan sebagai ”the third way” atau ”the
third path” dalam upaya ”crime control and the criminal justice system” [16]. Dikatakan sebagai “the
third way/path” karena merupakan upaya alternatif dari gagasan/ide sebelumnya, yaitu ide/model
“Retributive” dan “Rehabilitative”.

Dengan mengungkapkan perkembangan dunia itu, saya ingin menegaskan bahwa dengan kajian yang
mendalam dan terus menerus SHN/IHN Pancasila, tidak mus-tahil “gagasan/model Indonesia” ini dapat
ditawarkan ke dunia internasional sebagai model alternatif.

Bertolak dari pandangan Prof. Moeljatno seperti dikemukakan di atas[17] (bahwa “ilmu pengetahuan
yang tidak dibarengi dengan ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap”), maka IHN Pancasila yang
seyogyanya dibangun adalah IHN ber-Ketuhanan. Artinya, IHN harus juga mengacu/menggali ilmu
Ketuhanan, baik yang ada di berbagai ajaran agama maupun dari ayat-ayat/tanda-tanda/contoh ciptaan
Tuhan di alam, sebagaimana halnya dengan “Biomimetika” (biomimetics), cabang baru ilmu
pengetahuan yang mencoba meniru makhluk hidup (a new branch of science that seeks to imitate living
things).[18]yaitu ilmu yang mempelajari rancangan di alam (hasil ciptaan/ilmu Allah), dan memecahkan
masalah berdasarkan rancangan alam/Tuhan itu. Cabang ilmu pengetahuan ini telah secara luas
diterapkan dalam dunia teknologi. Para begawan ilmu di bidang eksak (astronom; fisikawan; ahli
matematika; ahli aero-dinamica; ahli bio-kimia; ahli bio-molekuler; biologiwan dsb.) telah lama
mengakui kecanggihan ilmu tuhan.[19] Ucapan Albert Einstein yang terkenal “Science without Religion is
lame; Religion without scienceis blind” sering kita baca dalam berbagai literatur. Oleh karena itu, dalam
membangun IHN patut kiranya direnungi :

Apakah proses perjalanan panjang dari “perkembangan penelitian/kajian/ keilmuan/pemikiran” dari


para Ilmuwan/Guru Besar itu begitu saja dapat diabaikan? Layakkah Ilmu/teori HP bersifat sekuler?

Kalau ilmu “hukum” mengandung di dalamnya ilmu “mengatur/menata”, bukankah Ilmu Tuhan
merupakan ilmu “Maha Mengatur”?

Bagaimana menggali/membangun Ilmu HP yang tidak sekuler (yg religius) atau bagaimana membangun
“BIOMIJURIDIKA” (seperti “Biomimetika”)?

Semua bahan renungan itu, merupakan bahan kajian/studi bagi PTH, khususnya program Pascasarjana
Ilmu Hukum.
Implementasi Negara Hukum di Indonesia
Negara Hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari enampuluh tahun lamanya kualifikasi
sebagai Negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam penjelasan Undang-undang Dasar. Dalam
penjelasan mengenai sistem pemerintahan Negara dikatakan “Indonesia ialah Negara yang
berdasar atas hukum (rechsstaat)”. Selanjutnya dijelaskan, “Negara Indonesia berdasar atas
hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.” Sekian puluh tahun kemudian konsep tersebut
lebih dipertegas melalui amandemen keempat dan dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi,
yaitu bab I tentang “Bentuk dan Kedaulatan”. Dalam pasal 1 ayat 3 ditulis “Negara Indonesia
adalah Negara hukum”.
Dari amandemen-amandemen dibuktikan secara jelas, Undang-undang Dasar Negara
Indonesia tidak statis, melainkan memiliki dinamika. Amandemen keempat tersebut dapat dibaca
sebagai keinginan bangsa Indonesia untuk lebih mempertegas identitas negaranya sebagai suatu
Negara hukum[1]. Negara hukum di Indonesia berjalan bersamaan dengan prinsip demokrasi ia
terbukti dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 bahwa “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-undang Dasar”. Hal ini membuktikan
bahwa selain sebagai Negara Hukum Indonesia juga menganut Negara demokrasi. Kedua konsep
Negara tersebut berjalan bersama di Negara Indonesia sebagai sistem pemerintahan yang ideal.
Dimana masyarakat yang mengatur hukum tersebut dan masyarakat pula yang tunduk dalam
peraturan hukum yang mereka rancang.
Pada dasarnya dalam negara demokrasi, konsep Negara hukum merupakan suatu hal
mutlak, ia dibutuhkan demi menyelaraskan keadilan dalam kebebasan berdemokrasi.
Penyelenggaraan-penyelenggaraan politik perlu diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
jelas. Hukum adalah pilar dalam mengawal Negara demokrasi.
Penyelenggaraan hak-hak politik dalam demokrasi pada dasarnya menimbulkan gagasan
bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi,
apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution).
Undang-undang Dasar itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian
kekuasaan Negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan
parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan-gagasan ini dinamakan konstitusionalisme
(constitusionalism)sedangkan Negara yang menganut gagasan ini dinamakan constitusional
state atau rechtsstaatyaitu Negara Hukum.
Dalam gagasan konstitusionalisme tidak hanya mengandung pemisahan antara kekuasaan
eksekutif, legislative, dan yudikatif semata namun ia mempunya fungsi khusus, yaitu
menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak-
hak asasi dari warga negaranya. Undang-undang Dasar dianggap sebagai perwujudan hukum
yang tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai
dengan dalil : “government by laws, not by men” (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan oleh
manusia)[2]
Maka dari itu, disini saya akan membahas lebih lanjut mengenai berbagai konsep yang
diberikan oleh para ahli dalam membentuk Negara hukum yang sebenarnya, membentuk suatu
kedaulatan dimana hukum menjadi pilar utama dalam menyelenggarakan pemerintahan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah Pemikiran Negara Hukum
Munculnya konsep teori Negara hukum tidak lepas dari pemikiran-pemikiran sebelumnya
yakni di masa sejarah dahulu ketika zaman Yunani kuno. Pemikir pertama mengenai Negara
hukum sebenarnya sudah sangat lama. Cita Negara hukum untuk pertama sekali dikemukakan
oleh Plato yang diungkapkan dalam tiga bukunya yakni pertama politeia (the republica) yang
ditulisnya ketika ia masih muda; kedua, Politicos (stateman); dan ketiga Nomoi (the law). Dalam
buku-bukunya tersebut dia sudah menganggap adanya hukum untuk mengatur warga Negara.
Sehingga ia menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh
hukum.
Pemikiran dari Plato kemudian dilanjutkan oleh muridnya yakni Aristoteles. Ia
menyatakan ada tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi yakni pertama, pemerintahan
dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan
yang dilaksanakan atas kehendak rakyat bukan atas paksaan-tekanan[3].
Aristoteles juga merumuskan Negara sebagai Negara hukum yang didalamnya terdapat
sejumlah warganegara yang ikut serta dalam permusyawaratan Negara (Acclesia). Yang
dimaksudkan dengan Negara hukum disini oleh aristoteles adalah Negara yang berdiri di atas
hukum yang menjamin keadilan bagi warganegaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warganegara dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan
sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminakan keadilan bagi pergaulan
antara warganegaranya. Maka menurutnya yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia
melainkan pikiran yang adil yang tertuang dalam peraturan hukum sedangkan penguasa hhanya
memengang hukum dan keseimbangan saja.[4]
Pemikiran awal pada zaman yunani kuno ini memang masih merupakan konsep awal
bagaimana membentuk Negara yang seharusnya. Pemikiran tersebut masih terlalu ideal dan
umum maka tidak memberikan mekanisme secara rigid dalam mengembangkan konsep Negara
hukum. Hal ini tidak terlepas karena pada saat zaman yunani kuno Negara yang dimaksud masih
merupakan sebuah polis yakni kota-kota kecil sehingga pengaturan masyarakat di zaman itu
belum memberikan persoalan yang kompleks seperti pada saat ini.

Kedaulatan Hukum
Sebelum kita memahami mengenai konsep Negara hukum maka terlebih dahulu dapat
kita pahami bahwa dasar berpikir dari konsep Negara hukum sangat erat kaitannya dengan
pemikiran-pemikiran yang menganggap bahwa kedaulatan Negara itu berada pada hukum.
Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit yang merupakan kekuasaan tertinggi
di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa maupun
rakyat atau warganegara, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua
sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Menurut Krabbe hukum
itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia[5].
Bentuk kedaulatan hukum dalam kehidupan bernegara merupakan suatu kebutuhan yang
mendasar. Hukum sebagai aturan dasar dimana terdapat rambu-rambu dan arahan bagaimana
masyarakat, pemimpin Negara, dan berbagai organ Negara seharusnya dapat bertindak dan
bekerja. Hukum disini sebagai pengawal kehidupan bernegara, ia hidup dan dibangun
berdasarkan suatucontract social masyarakat dimana mereka membuat aturan-aturan yang
seharusnya ditaati. Disana tersimpan harapan dan cita-cita masyarakat mengenai apa yang
seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan dalam kehidupan bernegara. Krabe
mengemukakan “Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya
harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukkum membawahkan Negara.
Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum
mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang secara (impersonal)”.[6]
Wujud teori kedaulatan hukum merupakan dasar pemikiran awal dimana Negara
selayaknya memiliki kedaulatan hukum yang kuat. Maka pemikiran dasar dari teori kedaulatan
hukum ini memunculkan berbagai konsep-konsep Negara hukum yang lebih modern.

ABAD XIX
Di abad XIX freidrich Julius Stahl (eropa continental dengan civil law system)
merumuskan unsur-unsur Negara hukum (rechsstaat) yang banyak diilhami oleh Immanuel
Kant, sebagai berikut:
1. Perlindungan HAM
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan demi jaminan hak itu
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan
Kemudian pada saat yang hampir sama muncul pula konsep Negara hukum (rule of law) dari
A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon.
1. Supremasi hukum (tidak ada kesewenang-wenangan atau seseorang hanya dapat dihukum jika
melanggar hukum)
2. Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law)
3. Terjaminnya HAM oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan[7]
Terdapat perbadaan konsep antara keduanya Freidrich Julius Stahl merupakan sarjana yang
berasal dari Negara dengan sistem civil law dan A.V. Dicey merupakan sarjana dengan
pemikiran yang berasal dari Anglo saxon. Keduanya berada di dua kutub hukum yang berbeda
namun terdapat suatu kesamaan, dimana penjabaran prinsip-prinsip dari konsep Negara hukum,
keduanya sepakat bahwa ia harus dapat menjamin Hak Asasi Manusia dan mewujudkan suatu
supremasi hukum yang kuat. Sehingga pada akhirnya konsep Negara hukum tidak hanya menjadi
pandangan ideal semata melainkan ia dapat terwujud dengan menjamin kedaulatan hukum dan
perlindungan hak-hak atas manusia.

Nomokrasi Islam
Selanjutnya dalam agama Islam, terdapat konsep Negara hukum yang dirumuskan oleh
Prof. Dr. Tahir Azhari S.H. dimana beliau merumuskan menjadi Sembilan prinsip-prinsip dasar
Nomokrasi Islam atau Negara hukum.
Nomokrasi Islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum
sebagai berikut:
1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah
2. Prinsip musyawarah (musyawarat)
3. Prinsip keadilan
4. Prinsip persamaan
5. Prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia
6. Prinsip peradilan bebas
7. Prinsip perdamaian
8. Prinsip kesejahteraan
9. Prinsip ketaatan rakyat[8]
Kesembilan pokok prinsip tersebut tercantum dalam Al-Qur’an dan diterapkan oleh Sunnah
Rasulullah. Kesembilan prinsip tersebut terwujud dalam pemerintahan Nabi Muhammad SAW di
kota Madinah, yang kemudian membentuk suatu konstitusi tertulis pertama di dunia yang
terwujud dalam Piagam Madinah.
Suatu konsep yang berbeda dengan anggapan bahwa konsep Negara Islam adalah Negara
Teokrasi yakni Negara berdasarkan atas kekuasaan Tuhan. Melainkan di dalamnya terdapat
prinsip-prinsip Negara hukum yang dapat dipelajari sebagai konsep untuk
mengimplemtasikannya pada pemerintahan saat ini.

Indonesia Sebagai Negara Hukum


Sebagai Negara yang lahir pada zaman modern, maka Indonesia juga menyatakan diri
sebagai Negara hukum. Indonesia membentuk suatu dasar pemerintahannya berdasarkan
kedaulatan hukum seperti yang dijelaskan pada uraian di atas. Konsep-konsep pemikiran barat
dan Islam juga memiliki pengaruh dalam konsep Negara hukum yang diterapkan di Indonesia.
Ketentuan Indonesia sebagai Negara hukum ini dapat dilihat dalam pembukaan, batang tubuh
dan penjelasan UUD 1945.
1. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 memuat dalam alinea pertama kata “peri-keadilan”,
dalam alinea kedua istilah “adil”, serta dalam alinea keempat perkataan-perkataan “keadilan
sosial” dan kemanusiaan yang adil”, semua istilah-istilah ini berindikasi pada pengertian Negara
hukum karena bukankah salah satu tujuan hukum itu mencapai keadilan. Kemudian dalam
pembukaan UUD 45 alinea keempat ditegaskan “….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”. Penganutan pahan
konstitusionalisme atau sistem konstitusional, merupakan prinsip lebih khusus dari pada prinsip
Negara hokum
2. Batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara
hukum (pasal 1 ayat 3), kemudian “presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintah menurut Undang-undang Dasar (pasal 4). Ketentuan ini berarti bahwa presiden
dalam menjalankan tugasnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam
UUD.
3. Penjelasa UUD 1945, yang merupakan penjelasan otentik dan menurut hukum tata Negara
Indonesia mempunyai nilai yuridis, dengan huruf besar menyebutkan: “Negara Indonesia
berdasarkan hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Ketentuan
terakhir ini memperjelas, apa yang secara tersirat dan tersurat telah dinyatakan dalam pembukaan
dan batang tubuh UUD 1945.
Dari perumusan dalam Undang-undang Dasar tersebut jelas bahwa Negara Indonesia
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 menganut prinsip-prinsip Negara hukum yang umum
berlaku.
Prinsip bahwa Indonesia suatu Negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua
pemikiran yaitu:
Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam Negara Indonesia adalah hukum yang dibuat
oleh rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif. Jadi, suatu kedaulatan hukum
sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat. Pemikiran kedua ialah bahwa
sistem pemerintahan Negara memerlukan kekuasaan (power/macht) namun tidak ada suatu
kekuasaan pun di Indonesia yang berdasarkan atas hukum.
Sjachran Basah dalam kaitan apa yang dikemukakan di atas berpendapat:
“arti Negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum.
Paham kedaulatan hukum. Paham itu adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi
terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang
dalam hal ini bersumber pada pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum…… kemudian
hal di atas itu dikontradiktifkan dan dipisahkan secara tegas antara Negara hukum pada satu
pihak dan Negara kekuasaan pada pihak lain yang dapat menjelma seperti dalam bentuk diktator,
atau bentuk lainnya semacam, yang tidak dikehendaki apabila dilaksanakan di persada pertiwi
ini.”
Pada akhirnya dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan atas hukum maka konstitusi kita UUD 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi
yang supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[9]

Negara Hukum dan Demokrasi Indonesia


Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” dan Negara Indonesia adalah Negara
Hukum” dalam kedua aturan tersebut terdapat dua ketentuan yakni kedaulatan berada di tangan
rakyat dan konsep Negara hukum. Dalam pengertian modern, Negara hukum itu tidak lain adalah
Negara konstitusional atau constitutional state.
Dengan demokrasi, ruang kebebasan dibuka lebar, tetapi kebebasan itu memerlukan
aturan, sehingga dapat terselenggara dengan teratur. Karena itu peranan hukum sangat
menentukan dan bahkan berfungsi sebagai pengimbang terhadap kebebasan. Dengan dasar
pemikiran itulah maka pengertian demokrasi tidak dapat dipisahkan dan bahkan harus dipandang
berpasangan dengan konsep Negara hukum, rechsstaat.
Sebaliknya Negara hukum rechsstaat atau the rule of law itu sendiri yang ideal ialah
Negara hukum yang demokratis (democratische reachtsstaat). Suatu Negara hukum dapat saja
dibangun tanpa dasar demokrasi , tetapi apabila hukum yang ditegakkan itu tidak dibuat
berdasarkan prinsip-prinsip dalam demokrasi, maka Negara hukum yang demikian bukanlah
Negara hukum yang demokratis.
Dengan demikian maka terdapat hubungan yang sangat kuat antara demokrasi dan
Negara hukum. Keduanya menyatu dalam konsepsi UUD 45 mengenai kedaulatan Negara atau
kekuasaan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia. Keseimbangan dan hubungan saling
melengkapi di antara keduanya adalah sangat penting untuk menjamin agar gagasan Negara
hukum dan demokrasi itu membuahkan hasil yang sebaik-baiknya berupa kebebasan (freedom),
keadilan (justice), dan kesejahteraan (prosperity).[10]

Kesimpulan
Konsep Negara hukum merupakan suatu bentuk Negara yang berdasarkan atas
kedaulatan hukum. Hukum/peraturan memiliki kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan.
masyarakat maupun pemerintah tunduk kepada hukum itu sendiri. Terdapat sebuah pendapat
yang mengatakan bahwa “segala yang dilakukan oleh pemerintah itu dilarang sampai terdapat
hukum yang memberinya kewenangan dan segala yang dilakukan oleh masyarakat itu boleh
dilakukan sampai terdapat hukum yang melarang melakukan sesuatu”. Pendapat tersebut
merupakan suatu pandangan bahwa baik pemerintah atau Negara dan masyarakat tunduk
terhadap hukum.
Hukum tercipta bukan semata-mata untuk kepentingan penguasa atau orang-orang
tertentu saja namun ia harus tercipta atas tujuan kemanfaatan, keadilan, dan penegakkan hukum
yakni dengan memberikan kebaikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hukum harus
memberikan tujuan tersebut baik secara moral, kesusilaan, ajaran agama, dan nilai-nilai
kemanusiaan. Hukum di Negara Indonesia tidak akan mungkin dapat tercipta bertentangan
dengan nilai-nilai ajaran agama dan adat kebangsaan Indonesia. Keduanya kerap mempengaruhi
peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia.
Bentuk Negara hukum yang ada di Indonesia nyata tercantum dalam peraturan konstitusi
Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 disebutkan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, pada butir tersebut dimaksudkan bahwa
Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang mana kedaulatan berada di tangan
rakyat, tetapi ada aturan-aturan tegas di dalamnya yakni Undang-undang Dasar. Sehingga
sekalipun kedaulatan adalah milik rakyat tetapi proses pelaksanaannya diatur berdasarkan nilai-
nilai dan aturan-aturan hukum dalam konstitusi UUD 45.
Terdapat kesenimbangan hubungan antara konsep Negara hukum dan konsep Negara
demokrasi, sebuah teori kedaulatan hukum dan rakyat. Kedua konsep ini diterapkan secara
bersamaan di Negara Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal di 1 ayat 2 konstitusi seperti
penjelasan di atas. Bahwa Negara Indonesia menganut kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.
Memang pada dasarnya kedua konsep ini tidaklah saling bertentangan, melainkan keduanya
saling mengisi dimana tidak mungkin tercipta suatu Negara hukum tanpa adanya kedaulatan
rakyat di dalamnya. Begitu pula dengan konsep Negara demokrasi, konsep tersebut tidak akan
dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya supremasi hukum yang kuat di dalamnya. Konsep
pemikiran ini bukanlah suatu hal yang baru. Pandangan mengenai Negara hukum dan demokrasi
saling mengisi dalam unsur-unsur dan penjabaran cirri-ciri kedua konsep tersebut. Maka lebih
tepatnya Hukum adalah pilar bagi demokrasi, begitu pula dengan Negara hukum, ia tidak akan
berjalan baik tanpa adanya partisipasi rakyat dalam merancang hukum yang sesuai dengan
masyarakat yang diatur.
pada pasal 1 ayat 3 UUD 45 disebutkan juga bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
hukum” tambahan ayat ini merupakan hasil dari amandemen ke-3 yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstaat). Negara yang memiliki aturan-aturan dan
kedaulatan hukum yang kuat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara
hukum sangat erat dengan kaitannya dengan rule of law, aturan hukum sehingga tidak boleh ada
kekuatan lain yang berada di atas hukum itu sendiri demi tercapainya suatu tertib hukum bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
Negara hukum adalah konsep bernegara yang ideal, apalagi jika disandangkan dengan
Negara demokrasi. keduanya dapat memberikan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia sepanjang
dijalankan sesuai dengan seharusnya. Negara Indonesia menganut kedua konsep tersebut, yakni
antara konsep Negara hukum dan demokrasi.
Meskipun konsep Negara hukum menjadi dasar dalam pemerintahan Indonesia namun
praktik dari implementasi ini masih belum terwujud dengan baik. Bentuk-bentuk lemahnya
supremasi hukum, ketidakbermanfaatan hukum, hukum tidak mewakili rasa keadilan
masyarakat, hingga maraknya tindakan anarkis dan main hakim sendiri di masyarakat Indonesia
adalah wujud dari buruknya implementasi pemerintah dalam menerapkan konsep Negara hukum.
Konsep Negara hukum hanya menjadi retorika dan idealisme semata, tidak dapat
diimplementasikan dengan seharusnya. Hal ini merupakan tugas besar bagi pemerintah dan
masyarakat Indonesia. Negara hukum jangan hanya menjadi suatu aturan yang tidak dijalankan
namun ia harus dapat dijalankan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Demi terciptanya suatu
masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.

[1] Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Gentapublishing, 2009
[2] Dasar-dasar ilmu politik, Prof Miriam Budiarjo, Gramedia, 1998
[3] Negara Hukum Indonesia, Azhary, hal 19-21, UI Press 1995
[4] Ilmu Negara, Moh, Kusnardi, SH, Prof. Dr. Bintarn R. Saragih, MA, Gaya media pratama, 2008
[5] Ilmu Negara, Soehino,S.H hal 156, Penerbit Liberty Yogyakarta
[6] Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Hestu Cipto Handoyo, SH. M.Hum,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003
[7] Hukum Tata Negara I, Narainuun Mangungsong, SH, M.Hum, 2010
[8] Negara Hukum, Prof. Dr. H. Tahir Azhary, SH. Kencana prenada, 2007
[9] Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Drs. H. Nukhthoh Arfawie Kurde S.H., M.Hum, Pustaka Pelajar,
2005
[10] Konstitusi Ekonomi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Buku Kompas, 2010

Anda mungkin juga menyukai