Anda di halaman 1dari 20

BAB I

RESENSI BUKU (BOOK REVIEW)

A. Hukum dan Politik Di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan


(Daniel S. Lev)
1. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat (Bab I)
Dalam bab ini, Daniel S. Lev lebih banyak membahas tentang
penerapan hukum waris adat dalam sejarah peradilan di Indonesia.
Perilaku perdata sebagian besar orang Indonesia diatur oleh hukum adat.
Secara umum hukum adat di Indonesia membahas mengenai pewarisan
adat yang berhubungan dengan pengadilan adat yang ada di Indonesia.
Ini ditandai dengan adanya pembagian harta warisan di beberapa daerah
yang ada di nusantara memiliki aturan yang berbeda. Untuk itu timbul
usaha untuk selalu memperbaiki hukum tersebut. Yang menjadi faktor
untuk berkembangnya suatu hukum yang baru adalah faktor sosial dan
ekonomi, meskipun ada beberapa faktor di luar dua itu yang
mempengaruhi nya seperti seberapa jauh hukum yang baru tersebut dapat
diterima di dunia Internasional. Karena tujuannya adalah untuk
meningkatkan sistem hukum agar setingkat mutunya dengan sistem
hukum bangsa-bangsa yang beradab dan modern. Sejalan dengan
penegakan hukum tersebut melalui lembaga peradilan yang ada di
Indonesia yaitu Mahkamah Agung yang saat itu memutus dalam tingkat
kasasi permasalahan waris adat, terlebih dahulu mendapatkan pelimpahan
dari pengadilan-pengadilan adat setempat tentunya dapat sejalan dengan
hukum adat yang berlaku.
2. Lembaga-Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia (Bab IV)
Dalam Bab ini Daniel S. Lev lebih banyak membahas berbagai pola
perubahan sistem hukum Indonesia sejak revolusi, dengan tujuan
menjelaskan mengapa dan bagaimana fungsi hukum di tanah jajahan itu
ditangani oleh lembaga-lembaga yang bercorak lain dengan penanganan
fungsi hukum di Negara yang merdeka. Selain itu mengkaji bagaimana
lembaga-lembaga peradilan secara umum berkait dengan proses politik
dan ekonomi, dan dengan nilai-nilai budaya. Daniel S. Lev
mengembangkan dua konsep yang perlu diberi definisi sekedarnya.
Konsep pertama adalah sistem hokum. Yang digunakan disini adalah
prosedur. Suatu sistem hukum terdiri dari berbagai proses formal, yang
melahirkan lembaga-lembaga formal, bersama-sama dengan proses-
proses informal di sekelilingnya. Dalam negara modern lembaga sentral
sistem hukum adalah birokrasi, termasuk pula di dalamnya pengadilan.
Sumber kekuasaan suatu sistem hukum yang pertama-tama adalah sistem
politik yang kebasahanya (atau tiada kebahasaanya) meluas ke aturan-
aturan substantif yang diterapkan oleh sistem hukum, dan yang
organisasi, tradisi, dan gayanya menentukan seberapa jauh proses hukum
tertentu digunakan (atau dapat digunakan) untuk menyelenggarakan
pengelolaan sosial dan untuk mencapai berbagai tujuan bersama.
Konsep kedua adalah budaya hokum. Yang digunakan dalam
perbincangan yang terdiri dari dua unsur yang berkaitan dengan nilai
keacaraan (proscedural legal values) dan nilai-nilai hukum substantif.
Nilai-nilai hukum keacaraan berkait dengan sarana-sarana penataan
sosial dan pengelolaan perselisihan (conflict management). Nilai-nilai ini
adalah landasan budaya sistem hukum, dan nilai-nilai ini membantu
menentukan yang terpenting “ruang sistem” (sistem space) yang
diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama, atau lembaga-lembaga
lainnya yang berlainan di sembarang waktu dalam sejarah masyarakat.
Unsur budaya hukum yang substantif terdiri dari anggapan dasar
mengenai distribusi dan penggunaan sumber daya dalam massyarakat,
benar dan salah dari segi sosial dan sebagainya. Secara garis besar tulisan
pada bab ini berkaitan dengan peranan dan perubahan peradilan dalam
sistem hukum, dan juga hubungan antara sistem hukum dan budaya
hukum yang diakhiri dengan evolusi sistem politik dan hukum nasional.
Dalam pembahasan mengenai evolusi tertib hukum nasional,
dijelaskan bahwa sistem hukum nasional tidak terdapat di Indonesia

2
sampai pada saat kekuasaan kolonial Belanda mendirikan Negara yang
mencakup segenap pulau di Nusantara. Sebelum itu berbagai tertib
hukum yang berlain-lainan masing-masing mandiri dalam sistem sosial
dan politik yang beragam. Bentuk hukum dan peradilan berkembang dari
sistem keluarga yang ada. Pekerjaan hukum yang terutama dalam
masyarakat tersebut adalah mempertahankan keutuhan kelompok-
kelompok kekerabatan dan membela segala akibat penataaanya dan
keyakinannya yang mendukung. Sebagian besar permasalahan
perselisihan diserahkan penyelesaiannya kepada desa atau keluarga, dan
cara penyelesaiannya yang lazim barangkali adalah kompromi.
Kekuasaan yang ada pada masyarakat bersifat askriptif terbalur oleh
makna pentinganya keluarga dan agama, dan konsep-konsep hukum
dikaitkan dengan tertib keluarga, kedaerahan, agama dan status yang
dapat berubah dalam kenyataan tetapi tidak dapat berubah dalam teori.
Hukum tertulis kurang berdaya paksa bila dibandingkan dengan
kekuasaan istana dan pemerintahan aristocrat. Sehingga dalam kerajaan
lebih sedikit jumlah hukum daripada kata-kata bijak yang memancar
secara sporadik dari istana sebagai perintah penguasa yang bertahta.
Islam datang dan memperkenalkan tradisi hukum baru ke nusantara.
Hukum islam tidak diterima dengan utuh. Penerimaan di Indonesia selain
dari hal-hal yang berkenaan dengan ibadah bagian hukum islam yang
diterima khususnya hanya menyangkut aturan-aturan mengenai
perkawinan dan pewarisan, selebihnya diadakan perubahan agar sesuai
dengan nilai-nilai lokal. Melaui sarana Islam, sebuah konsepsi sosial
politik yang bersifat supralokal dapat terbentuk bahkan sebelum belanda
mempersatukan seluruh Nusantara secara administratif. Hukum bersifat
supralokal ini terlihat dari tidak adanya satu bahasa yang dapat menjadi
behasa yang khas sebagi milik bangsa Indonesia dan juga belum adanya
konsep-konsep hukum suatu kelompok dengan kelompok yang lain.Islam
tidak mengahasilkan budaya hukum nasional di Indonesia lebih dari yang
dihasilakn atau yang dapat dihasilka berupa sebuah Negara kesatuan.

3
Islam tidak mengembangkan pengendalian garis ekonomi dan
administratif yang kuat di seluruh negeri.
Sifat sistem hukum Hindia Belanda yang mencolok adalah
keterkaitanya yang sangat kuat dengan logika internal masyarakat
kolonial dan tujuan-tujuannya. Tiap besar kelompok penduduk tunduk
kepada hukum yang berbeda yang diterapkan dengan dua perangkat
peradilan yang berlainan. Orang Belanda dan priyayi besar disediakan
hak istimewa berupa pengadilan khusus untuk perkara-perkara hukum
mereka dan diberi hak untuk mendaftarkan kelahiran dan kematian
mereka pada capil. Selain orang Belanda dan priyayi ternyata terdapat
golongan para pegawai tinggi dan para perwira tentara yaitu dengan
menundukan diri kepada hukum Eropa atau masuk Kristen. Lain selain
mereka menundukan diri kepada hukum acara untuk orang Indonesia
yaitu HIR. Posisi ekonomi merupakan penentu kesamaan hukum yang
tidak dapat ditawar-tawar.
Pertentangan adat dan islam merupakan perbincangan politik yang
penting dan karenanya juga merupakan pokok perbincangan budaya
hukum di Indonesia. Di dalam aturan Hukum adat pertama penghargaan
terhadap hukum adat ke dalam tertib hukum melalui struktur, pendidikan,
dan ideologi hukum, dan kedua masa depan hukum adat tidak bisa tidak
terancam oleh munculnya politik dan administrasi tingkat nasional.
Mengenai lembaga-lembaga hukum, pada masa penyerahan Belanda
kepada Jepang lembaga-lembaga berantakan; terjadi perubahan semangat
hukum tatkala hukum diterapkan oleh pemerintah militer. Pada sekitar
tahun 1942-1945 ada arah penyatuan. Struktur rangkap diganti oleh
pengadilan tunggal dan berjenjang tiga dan menggunakan hukum acara
yang semula hanya untuk orang Indonesia yang sampai sekarang masih
tetap berlaku. Tetap dipertahankannya bentuk-bentuk hukum yang lama
yang sudah dikenal baik.
Dasar-dasar tertib hukum yang lama dihapus oleh Revolusi dan
perjuangan politiklah yang kemudian terjadi. Hukum yang lama tidak

4
jelas sama sekali sampai kurun Demokrasi Terpimpin terutama pada awal
tahun 1960an. Suatu simbol tandingan “hukum revolusi” muncul di masa
demokrasi terpimpin, pada saat Soekarno dengan tandas menentang
simbol-simbol lain yang oleh ahli hukum diyakini sebagai sesuatu yang
harus ad, sehingga melemahnya hukum dan meledaknya kegiatan politik.
Kelembagaan tidak penting karena sebagian lebih mengutamakan
kontak pribadi, penjajahan pengaruh dan savoir faire birokrasi. Peranan
penentu dan pengatur urusan menjadi elemen utamanya. Wertheim
berpendapat bahwa semua yang terjadi akibat demoralisasi yang
disebabkan oleh revolusi dan pendudukan. Pengaruh norma patrimonial
tradisonal dan kesetiaan kepada kedudukan pribadi lebih kuat
dibandingkan kepada negaranya. Geertz menggungkapkan ini adalah
primodial dengan keluarga, kaum (clan), kelompok agama, dsb.
Sedangkan primodial bertentangan dengan dinas pemerintah.
Ahli hukum tergantung pada seberapa luas nilai-nilai keahlian
mereka diterima secara umum oleh sub sistem kelembagaan. Sehingga
gambaran umum permainan politik adalah bahwa politik tidak berjalan
sesuai dengan aturan hukum tetapi berlangsung sesuai dengan aturan
pengaruh, uang, keluarga, status sosial dan kekuasaan militer. Demokrasi
terpimpin ini masyarakat hukum formal mendapat serangan sejadi-
jadinya, dicap konservatif bahkan reaksioner bahkan dianggap sekedar
embel-embel. Sukarno mendengungkan tema yang bertentangan yakni
jati diri budaya tradisional dan gerakan revolusi. Masyarakat hukum
formal selalu terikat dengan hukum tertulis “hukum kolonial” yang
dalam Negara merdeka selalu mendapat serangan walaupun hukum
nasional yang baru belum terbentuk.
Daniel S. Lev juga membahas mengenai Pengawasan menurut
prosedur dengan keluwesan gerak pada saat itu. Negara hukum tidak
menarik dan penuh dengan pembatasan dan di samping itu pertanyaan
tidak terjawab adalah Negara hukum apa (the rule of what law?) Pada
1961 sukarno menunjukan telunjuk ke arah ahli hukum “Engkau tidak

5
dapat mengadakan revolusi bersama para ahli hukum” Mereka harus
menyesuaikan diri atau ditinggal. Terdapat pertentangan antara ahli
politik dan ahli hukum. Advokat awal kemerdekaan sedikit sekali akan
tetapi bagi mereka yang mendapat label itu akan mudah berhubungan
dengan lapisan atas atas birokrasi kolonial dan pengadilan Belanda dan
bahkan terlibat dalam perekonomian uang. Hakim dan advokat
merupakan masyarakat hukum yang berpendidikan.
Kejaksaan bercabang dua untuk masyarakat eropa ada officieren van
justitie yang berpendidikan hukum, mereka terorganisir dalam sebuah
paket yang sangat bergengsi yang setaraf dengan hakim dan advokat.
Jaksa adalah pegawai rendahan yang sedikit pengetahuan pidana dan
hukum acara pidana untuk orang-orang Indonesia tetapi tunduk pada
pemerintah Residen Belanda.
Pada pemerintahan Syahrir Kepolisian dipisahkan dari Kementrian
Dalam Negeri di bawah Perdana Menteri sehingga memiliki wewenang
yang terpisah dari kementrian dalam negeri mengakibatkan polisi
menjadi kekuatan yang baru. Terdapat juga pertentangan antara Jaksa dan
Hakim, Polisi dengan Jaksa, pemenang ditentukan oleh peta kekuatan
politik di masing-masing lembaga. Permasalahan yang timbul misalnya
Jaksa minta persamaan gaji dengan hakim, Menteri yang didukung jaksa
mengabulkan ini, dan mendapat pertentangan dari hakim dengan
melakukan mogok walaupun tidak membuahkan hasil. Jaksa dengan
Polisi menyangkut prosedur; wewenang melakukan penyelidikan
pendahuluan yang ada di tangan jaksa menurut hukum tetapi yang
diinginkan oleh pihak kepolisian. Jaksa berargumen bahwa mereka
menggantikan officer van justitie kolonial, polisi berkelakar bahwa
keahlian mereka mengusut jelas tinggi dan bahwa revolusi memerlukan
dibuatnya rumusan baru mengenai tugas kepolisian. Di kondisi ini polisi
menang, kemengangan ini juga merupakan kemenangan politik
mengingat jumlah polisi yang sangat besar sehingga tidak mungkin
mengabaikan.

6
Simbol-simbol direduksi sekedar menjadi senjata dalam perjuangan
politik dengan taruhan yang sangat besar. Hal ini diindahkan adalah
kekuasaan dan kemanfaatan nyata, dan kedua hal ini melahirkan
perangkat status kelembagaan yang berbeda dengan perangkat yang
dibentuk berdasarkan tolak ukur. Masa penjajahan peringkat teratas ada
di lembaga pengadilan kemudian kejaksaan dan terakhir kepolisian.
Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan terjadi kebalikan dari zaman
kolonial kepolisian memegang kendali yang paling atas kemudian di
susul kejaksaan baru pengadilan.
Kembali ke paham tradisional mengenai organisasi pemerintahan,
dalam pandangan ini apa pun perbedaan fungsi yang ada ada kurang
penting bila dibandingkan dengan sumber yang khas. Tentu akan
ditentang oleh golongan cendikiawan dan profesi hukum yang konsep
kelembagaannya nontradisional. Pencabutan UU No 19/1964 yang
mengabsahkan campur tangan presiden dalam urusan proses peradilan
dan juga meminta diberi kewenangan untuk menguji undang-undang di
Majelis Konstituante, walapun pada Juli 1959 Konstituante di bubarkan.
Hukum kelembagaan pada saat itu menurut Gresham yakni proses
formal cenderung dihindarkan dalam rangka menyelesaikan perselisihan
melalui proses yang lebih bersifat kekeluargaan dan lebih akomodatif.
Budaya hukum berupa “kompromi” yang memberi gambaran kontrasnya
dengan budaya hukum yang cenderung dikaitkan dengan substansi
perkara dan “hak”. Pengadilan sekuler berdampingan dengan pengadilan
agama sehingga menimbulkan pertentangan diantara keduanya.
Pada tahun 1937 pengadilan agama di Jawa dan Madura terbatas
pada urusan perceraian saja. Di luar Jawa PA diberi wewenang untuk
urusan pewarisan. Terjadinya persaingan mengenai yurisdiksi sehingga
mendorong persaingan orang-orang untuk mencari aturan-aturan yang
menguntungkan. Secara Substansial kedudukan UU dan Perubahan
Hukum pada 1942 mengalami perubahan dengan diundangkannya

7
berbagai UU atau karena MA kadang mengesampingkan Yurisprudensi
yang berasal dari masa kolonial.

B. Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasinal (Prof. Dr. Bagir


Manan, S.H., MCL.)
Pemikiran Prof Bagir Manan tersebut tertuang dalam buku “Beberapa
Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia” dalam
rangkan Liber Amicorum Prof. Dr. CFG. Soenaryati Hartono, S.H.
Terkait dengan arah politik pembangunan Hukum Nasional, Bagir Manan
melihat perkembangan hukum di Indonesia saat ini khususnya pada era pasca
reformasi, yang kurang mencerminkan politik hukum yang jelas dan terarah.
Perubahan dalam masyarakat serta perkembangan hukum yang begitu
dinamis dan saling mempengaruhi memberikan pandangan kepada penulis
untuk menguji sampai sejauh mana ungkapan “hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat” oleh penganut aliran sociological yurisprudence
dianggap relevan saat ini karena adanya fenomena terjadinya pergeseran
pandangan aliran sociological yurisprudence saat ini yang lebih mengarah
pada pembaharuan sistem penegakan hukum, dan bukan pada pembentukan
hukum (pembaharuan dan pembentukan undang-undang). Dari apa yang
diulas Bagir Manan tersebut, pembahasan mengenai sejarah politik hukum di
Indonesia masih sangat menarik dan perlu untuk selalu dikaji mengingat
politik hukum yang merupakan kebijakan di bidang hukum memang harus
disusun dan dilaksanakan secara terarah sehingga hukum itu dapat efektif
diterapkan di dalam masyarakat.
Dalam tulisannya mengenai kembali ke Politik Hukum Pembangunan
Nasional, Bagir Manan memandang sangat penting untuk membangun suatu
sistem hukum suatu negara khususnya Indonesia karena tidak ada suatu
negara atau masyarakat tanpa adanya sistem hukum yang mencerminkan
kedudukan hukum serta sistem pengelolaan hukumnya. Selain itu dilain sisi
hingga saat ini berbagai ketentuan dan sistem kerja hukum di Indonesia masih
menerapkan ketentuan dan sistem kerja hukum peninggalan kolonial.

8
Ungkapan “KEMBALI” dalam tulisan Bagir Manan menggambarkan adanya
suatu perbandingan politik hukum dalam sejarah hukum di Indonesia baik
pada era Pra Orde Baru, Orde Baru maupun pada Masa Reformasi,
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam perkembangannya
lebih mengarah pada pembaharuan sistem penegakan hukum, dan bukan pada
pembentukan hukum (pembaharuan dan pembentukan undang-undang).
Terkait dengan pembangunan hukum Bagir Manan juga mengutip pandangan
Yehezkel Dror bahwa antara hukum dan masyarakat selalu terjadi
kesenjangan karena hukum yang selalu tertinggal dari perkembangan
masyarakat, serta perubahan hukum seringkali menyebabkan adanya
kesenjangan masyarakat, karena ada kalanya masyarakat menolak hukum
yang dibentuk untuk mendorong suatu perubahan.
Bagir Manan juga mengungkapkan mengenai sejarah pembaharuan
hukum di Indonesia mempengaruhi adanya perubahan sosial. Pra Orde Baru
atau kususnya pada era orde lama yang sistem pemerintahannya terkesan
represif telah melakukan pembaharuan hukum khususnya dibidang yudikatif.
Hakim telah membuat suatu pembaharuan hukum tentang pemberlakuan
Burgerlijke Wetboek maupun Wetboek van Koophandel kepada orang-orang
Indonesia. Hal itu mencerminkan adanya perubahan kepada prisnsip non
diskriminatif. Pada masa orde baru yang dikenal sebagai masa pembangunan
tidak disertai dengan pembaharuan hukum secara substansial maupun integral
sehingga terkesan kepentingan penguasa yang lebih dominan. Demikian pula
keberlanjutannya pada masa reformasi yang mengedepankan penegakan
hukum dengan tidak disertai dengan pembinaan hukum.
Bagir manan telah mengungkapkan bahwa sebenarnya arah politik
hukum nasional telah tertuang dalam konstitusi. Akan tetapi dalam politik
hukum hukum selanjutnya kebijakan yang muncul mengedepankan pada
penegakan hukum, padahal pembinaan hukum yang baiklah lebih mendorong
perubahan sosial. Untuk itu Bagir Manan menganggap pentingnya kembali
pada politik pembangunan hukum nasional yang meliputi program

9
pendidikan tinggi hukum, program pembentukan hukum serta program
penegakan hukum memalui politik penguatan lembaga penegak hukum.

BAB II
KRITIK DAN ANALISA

10
A. KRITIK
1. Hukum dan Politik Di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan
(Daniel S. Lev)
a. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat
Hukum adat di Indonesia telah banyak di populerkan oleh Van
Vollenhoven dan Ter Haar, meskipun sebagian dari sumber sejarah
ada yang mengatakan bahwa hukum adat atau hukum asli Indonesia
ini merupakan temuan dari Snouck Hurgronje. Yang menjadi
perhatian adalah seberapa besar pengaruh hukum adat terhadap
pengadilan pada masa revolusi. Karena secara kita ketahui bahwa
efek dari zaman kolonialisme Belanda membagi permasalahan
hukum ke dalam 3 golongan (Eropa, Timur Tengah, dan Pribumi)
sehingga permasalahan ini terus mengakar kepada masyarakat
sampai kepada permasalahan warisan. Dalam buku ini dijelaskan
bahwa Mahkamah Agung pada saat itu yang memutus permasalahan
warisan haruslah secara teliti melihat latar belakang budaya yang
berkembang di daerah. Terutama daerah-daerah yang menganut
sistem kekerabatan timbal balik (bilateral) di Jawa, sistem patrilineal
di Sumatera Utara, Bali, dan Lombik, dan yan terakhir adalah sistem
matrilineal di daerah Sumatera Barat. Meskipun pada saat itu sudah
menganut sistem hukum Eropa Kontinental, tetapi dalam ranah
pengadilan, pengembangan yurisprudensi (case law) baru dalam
hukum waris adat berkembang sangat pesat, yurisprudensi ini
khususnya putusan yang diputus melalui Hakim Agung Wirjono
Prodjodikoro menjadi sebuah patronisasi dari para hakim-hakim
yang menjalankan tugasnya di pengadilan.
Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai perkembangan
yurisprudensi yang begitu pesat terhadap posisi janda di mata
hukum. Bila ditelaah melalui teori yang dikemukakan oleh Lawrence
M. Friedmen bahwa pendekatan sistem hukum terbagi atas tiga yaitu

11
Legal Structure, Legal Substance, dan Legal Culture dapat dikatakan
belum menjelaskan secara keseluruhan apa yang tertera di dalam bab
tersebut. Karena berkembangnya yurisprudensi tersebut tidak bisa
digunakan keseluruhan di nusantara, mengingat kasus yang terjadi
banyak terdapat di Pulau Jawa, dan terlebih Mahkamah Agung pada
saat itu secara tidak sadar memberlakukan putusan tersebut pada
pengadilan-pengadilan yang terdapat di luar Pulau Jawa. Selain
mengenai putusan, dalam bab ini tidak dijelaskan mengenai posisi
janda yang sudah mendapatkan hak waris bagaimana statusnya
apabila kemudian hari melangsungkan pernikahan kembali. Apakah
harta warisan itu gugur atau tetap seperti yang diputuskan oleh
hakim, jika memang gugur dengan dilangsungkannya pernikahan
tersebut, apakah itu akan melanggar hukum adat, atau sebaliknya jika
tidak gugur akan melanggar hukum positif yang ada pada masa
tersebut. Titik pangkal dari bab ini adalah bahwa dari keseluruhan
penjelasan mengenai perkembangan yurisprudensi yang di cetuskan
oleh hakim Wirjono Projodikoro tidak ada data yang memperlihatkan
secara jelas, apakah melalui sumber tertulis atau pengamatan
langsung. Di dalam bab tersebut hanya terdapat penjelasan bahwa
“hukum yang diciptakan oleh hakim”. Ia menambahkan, bahwa
rasa keadilan memang merupakan sumber hukum. Jika di teliti
lebih mendalam dengan tidak adanya sumber tertulis atau
pengamatan di lapangan, lantas darimana hakim dapat
memutus suatu perkara pada masa itu khususnya mengenai
waris.
b. Lembaga-Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia
Masa transisi dari zaman kolonial menuju zaman kemerdekaan
menggunakan sistem hukum tradisional walaupun sistem hukum
nontradisional sudah ada. Hal ini juga dipengaruhi oleh kurangnya
ahli hukum pada zaman tersebut. Terdapat pula pertentangan antara
sistem hukum Islam, adat dan juga warisan kolonial yang juga

12
merupakan kendala di dalam kelembagaan hukum. Budaya hukum
yang sangat kental melalui “kompromi” juga sangat kental di dalam
kehidupan hukum sehingga kembali ke sistem hukum tradisional
yang menitik beratkan pada kedekatan emosional. Proses-proses
formal hukum dipinggirkan dikarenakan demoralisasi dari revolusi
yang didengungkan oleh Soekarno dan pendudukan hukum terhadap
HIR untuk semua golongan tanpa terkecuali bumiputera.
Selain itu juga ada hal yang tidak terjawab yaitu mengenai ciri
pokok konsepsi keadilan Indonesia? Apa hubungannnya antara
konsepsi ini dan hukum nasional? Sampai sekarang belum juga
terjawab mengenai makna dan juga konsep keadilan menurut
Indonesia. Sampai sekarang ini belum ada pendapat dari ahli hukum
yang memberikan statement yang jelas mengenai konsep keadilan
menurut versi Indonesia. Adil menurut versi Islam akan menjadi
momok yang menakutkan untuk golongan tradisi keagamaan Jawa
Pra-Islam dan juga Kristen. Kurang diperhatikannya aturan hukum
yang berlaku jika dibandingkan dengan aturan hukum itu.
Konsep Unifikasi adalah motif utama perubahan hukum sejak
1945. Tidak adanya bantalan antara Hukum lokal dan nasional yang
di satu pihak melindungi ketidak pekaan terhadap tradisi, dan di lain
pihak terhadap ketidaktaatan dan tantangan-tantangan terhadap
penguasa. Bantalan penahan ini keefektifitasannya diperbesar oleh
tidak adanya kekuatan organisasional yang amat besar di tangan
pemerintah untuk memberlakukan kekuatannya.
Mengenai permasalahan penegakan hukum dalam kelembagaan,
konsep Unifikasi adalah motif utama perubahan hukum sejak 1945.
Siklus penegakan hukum dari masa tradional ke masa kolonial
bahkan masuknya Jepang mengalami perubahan yang drastis.
Penggunaan HIR yang diterapkan untuk semua golongan merupakan
salah satu perubahan yang sangat signifikan pada masa itu. Hal ini
dikarekan zaman kolonial yang memberi pembagian yang kontras

13
terhadap golongan menjadi satu warna. Penggunaan HIR di semua
lapisan golongan merupakan langkah politik yang di ambil pada
jaman ini.
Tidak adanya sistem hukum yang pasti merupakan salah satu
kendala dalam penegakan hukum. Masih seringnya pengggunaan
hukum kolonial yang dianggap bertentangan dengan nasionalisme
walaupun perlawanan terhadapnya sangat keras dengan munculnya
“Revolusi” yang menghendaki perubahan di segala bidang. Revolusi
yang dimaksudkan juga tidak kalah hebat masuk ke dalam revolusi
hukum. Revolusi menghendaki perubahan penggunaan produk
kolonial diganti dengan undang-undang baru. Sehingga pada zaman
itu banyak muncul undang-undang baru bermunculan dan yang tidak
kalah menariknya masih dipergunakannya hukum kolonial di
dalamnya.
Penegakan hukum formal dikesampingkan bahkan tidak
mempunyai arti apa-apa. Masyarakat lebih menggunakan penegakan
hukum dengan prinsip “kompromi”. Sehingga dengan berlakunya
prinsip itu maka kekuasaan dan pengaruh ekonomi kuat yang
menjadi primadona. Para ahli hukum tersingkirkan di belakang saat
zaman revolusi. Mereka dianggap sekumpulan orang yang tidak
dapat diajak kerjasama. Lembaga penegak hukum pun tidak kalah
hebohnya dalam penegakan hukum jaman peralihan ini. Budaya
hukum yang digunakan merupakan budaya hukum “yang kuat maka
yang menjadi pemegang kendali”. Kekuasaan Yudikatif dapat masuk
dalam ranah legislatif, hal ini dapat dilihat ketika Ketua Mahkamah
Agung dimasukan juga menjadi anggota parlemen. Permasalahan
hukum di dalam kelembagaan lebih menyangkut antar lembaga
penegak hukum, misalnya polisi dengan jaksa, atau jaksa dengan
hakim. Simbol-simbol direduksi sekedar menjadi senjata dalam
perjuangan politik dengan taruhan yang sangat besar. Hal ini
diindahkan adalah kekuasaan dan kemanfaatan nyata, dan kedua hal

14
ini melahirkan perangkat status kelembagaan yang berbeda dgn
perangkat yang dibentuk berdasarkan tolak ukur. Ahli hukum
tergantung pada seberapa luas nilai-nilai keahlian mereka diterima
secara umum oleh subsistem kelembagaan. Sehingga gambaran
umum permainan politik adalah bahwa politik tidak berjalan sesuai
dengan aturan hukum tetapi berlangsung sesuai dengan aturan
pengaruh, uang, keluarga, status sosial dan kekuasaan militer.
2. Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasinal (Prof. Dr. Bagir
Manan, S.H., MCL.)
Terkait tulisan Bagir Manan Dalam mewujudkan suatu
pembangunan hukum yang ideal yang dapat efektif diimplementasikan di
dalam masyarakat Indonesia tidak terlepas dengan mengkaji sejarah
politik hukum nasional. Membahas mengenai politik hukum memang
tidak dapat terlepas dari sistem hukum suatu negara. Muncul beberapa
pertanyaan terkait pembahasan mengenai tulisan Bagir Manan mengenai
“Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasional”
Hal mendasar di dalam politik hukum negara sebagai suatu
kebijakan di bidang hukum yaitu mengenai konsistensi suatu negara
dalam menganut sistem hukumnya. Bagir Manan telah menjelaskan
bahwa pentingnya membangun suatu sistem hukum di Indonesia karena
karena ada 2 alasan yaitu pertama tidak ada suatu negara atau masyarakat
tanpa adanya sistem hukum yang mencerminkan kedudukan hukum serta
sistem pengelolaan hukumnya. Kedua dilain sisi hingga saat ini berbagai
ketentuan dan sistem kerja hukum di Indonesia masih menerapkan
ketentuan dan sistem kerja hukum peninggalan kolonial. Dari kedua
alasan tersebut secara tersirat bahwa pada alasan pertama menunjukkan
bahwa sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari cerminan sejarah
masyarakat Indonesia asli, tetapi di lain sisi pada alasan kedua faktor
penjajahan juga berperan dalam pembentukan sistem hukum. Jika
melihat kembali pada konsep sistem hukum dari Lawrence Friedman
yang terdiri dari Legal Substance, Legal Structure, maupun Legal

15
Culture, maka sebenarnya sesuai alasan yang pertama dari pentingnya
pembentukan sistem hukum, Indonesia mempunyai karakteristik
tersendiri dalam membentuk suatu sistem hukum yang “mandiri”
dengan menambahkan suatu politik unifikasi hukum yang berlaku
umum bagi seluruh warga negara Indonesia. Akan tetapi pada
kenyataanya secara konstitusional Indonesia telah mengabdikan diri pada
sistem hukum kolonial (pasal II Aturan Peralihan). Hal tersebut
sebenarnya menunjukkan bahwa yang dijelaskan Bagir Manan mengenai
alasan pembentukan sistem hukum bertentangan satu sama lain.
Demikian pula dalam memaknai “KEMBALI” kepada politik
Pembangunan Hukum Nasional apakah harus merujuk kepada politik
pada saat orde baru yang menurut hemat kami syarat dengan politik
hukum adopsi dari belanda bahkan tersirat adanya sifat meneruskan.
Bagir Manan juga menyoroti tentang perkembangan politik saat ini
yang mengedepankan politik penegakkan, padahal menurut beliau politik
pembinaan hukum lebih penting dalam pembangunan hukum di
Indonesia baik melalui program pendidikan tinggi hukum, pembentukan
hukum, maupun penegakkan hukum. Padahal dalam politik pembentukan
hukum pada saat ini tidak bisa dipisahkan dari politik penegakkan hukum
karena pada prinsipnya politik hukum menurut beberapa ahli harus
memiliki unsur jangkauan atau arah pengembangan hukum yang lebih
baik. Program Pendidikan Hukum yang dimaksud oleh Bagir Manan juga
menunjukkan adanya formalitas dalam pendidikan hukum, padahal
seharusnya pendidikan hukum dalam politik hukum negara perlu
dimaknai sebagai budaya hukum / kesadaran hukum masyarakat terhadap
hukum maupun sistem hukum suatu negara yang tidak hanya diberikan
pada bangku formal. Dari gambaran politik hukum oleh Bagir Manan
kami menilai terlihat begitu pentingnya suatu sistem hukum negara
dalam menentukan arah politik hukumnya, sehingga bagi Indonesia
dalam menentukan politik hukum selanjutnya harus mempertimbangkan

16
sistem hukum apa yang sekarang relevan dan efektif diterapkan di
Indonesia.

B. ANALISA
1. Analisa atas review dan kritik buku Daniel S. Lev
a. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat
putusan pengadilan yang menjadi sumber untuk pemutusan warisan
terhadap janda pada saat itu dapat dikatakan tepat namun hanya
untuk beberapa wilayah saja. Sebelum membahas mengenai hukum
waris adat, haruslah diketahui terlebih dahulu definisi mengenai
hukum adat tersebut.
Pasal 75 Regeringsreglement menyebutkan bahwa hukum adat adalah
peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama
dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Nico Ngani dalam bukunya Perkembangan Hukum Adat di Indonesia,
menyebutkan 3 hal yang perlu dipahami dalam definisi tersebut :
1. Definisi tersebut menimbulkan kesan seakan-akan hukum adat
sebagian besar merupakan peraturan agama, sehingga apabila
peraturan agama berubah maka berubah pulalah hukum adat.
2. Termasuk dalam definisi itu semua peraturan yang berlaku dalam
masyarakat, seperti tata susila, adat sopan santun, kebiasaan-
kebiasaan, dan sebagainya.
3. Adanya perbedaan antara kebiasaan dan hukum adat. Hukum
kebiasaan tidak tertulis, sedangkan hukum adat memang ada yang
tidak tertulis tetapi ada pula yang tertulis (pada daun lontar, dan
sebagainya)
Jika disandingkan dengan makna yang terdapat didalam definisi no.1
berkaitan dengan politik hukum waris adat tentunya mengenai
pewarisan adat kepada janda adalah sebuah peraturan yang
berhubungan dengan agama. Ketika peradilan disini Mahkamah
Agung mengeluarkan putusan bahwa seorang janda mendapatkan hak

17
warisnya setelah dikeluarkannya putusan tersebut, maka secara aturan
putusan tersebut telah melanggar dan merubah peraturan yang telah
ada. Tetapi, Mahkamah Agung dengan mengeluarkannya putusan
tersebut adalah untuk membentuk sebuah aturan yang berlaku dan
berhubungan dengan hukum nasional.
Karena sering kali bahwa aturan hukum adat sering bersinggungan
dengan aturan hukum nasional.
Cornellis van Vollenhoven menetapkan 19 lingkaran hukum adat
(adatrechtskringen) yang selanjutnya setiap lingkaran dibagi lagi
dalam kukuban hukum (adatrechtsgouwen). Artinya bahwa dengan
adanya putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan haruslah dapat
diterima oleh semua wilayah tidak hanya kepulauan Jawa saja.
Meskipun pada saat itu zaman sudah memasuki revolusi dalam artian
penjajahan sudah lah berakhir.
Hukum waris adalah hukum yang berisi seluruh peraturan hukum
yang mengatur pemindahan harta milik, barang-barang, harta benda
dari generasi yang berangsur mati (yang mewariskan) kepada
generasi muda (para ahli waris). Maka untuk daerah yang kental
dengan agama Islam maka hukum adat nya dipengaruhi oleh hukum
agama, dan hampir disemua daerah bahwa hukum adat sering
dipengaruhi oleh spiritual baik itu yang tradisional ataupun bukan.
Harus dihindari bahwa pertemuan antara hukum adat dan hukum
agama akan menimbulkan konsekuensi yang menyesatkan seperti
yang dijelaskan oleh L.W.G. van den Berg yang berjudul Afwikijngen
van het Mohammedaansche Familie en efrecht op Java en Madura
yang terbit pada tahun 1894. Dikatakan bahwa hukum adat pada
pokoknya adalah terdiri atas hukum fikih dengan penyimpangan di
sana-sini.

b. Lembaga-Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia

18
2. Analisa atas review dan kritik tulisan Prof. Bagir Manan

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tulisan Daniel S. Lev, dapat disimpulkan bahwa


hukum adat sangat mempengaruhi pemikiran hakim-hakim di pengadilan
khususnya setiap perkara yang ditangani oleh Wirjono Prodjodikoro yang selalu
menjadi acuan untuk para hakim lain dalam memutus suatu permasalahan hukum
adat khususnya permasalahan waris. Terkait dengan hal tersebut senada dengan
konsep “Kembali Ke Politik Pembangunan Hukum Nasional” diharapkan arah
politik hukum yang tidak meninggalkan karakteristik sistem hukum asli negara
(Indonesia) serta tetap memperhatikan perkembangan pembangunan hukum yang
semakin dinamis, yang mengedepankan keseimbangan antara politik

19
pembentukan hukum serta penegakkan hukum berdasarkan sistem hukum yang
telah disepakati secara nasional.

20

Anda mungkin juga menyukai