dan peradilan yang lainnya yaitu Raad van Justitie (Koto Hoin),
KOTO HOIN (RAAD VAN JUSTITIE) DIJADIKAN PENGADILAN TINGKAT BANDING ATAU
PENGADILAN TINGGI,
Namun pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS Seperti Negara Sumatera Timur, Negara
Indonesia Timur, dan beberapa satuan negara bergabung menjadi sebuah negara
republik kesatuan.
Kelompok politik Islam ikut ikut serta mempersoalkan dan bagi mereka
hukum syariah Islam yang harus dikembangkan sebagai hukum nasional.
Pada periode ini demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950 oleh apa
yang disebut demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku kembali
UUD 1945.
Dalam suasana sosio-politik seperti itu, penolakan terhadap segala hal yang
berbau asing terasa demikian intensnya.
Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang baru didasarkan pada
kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Namun, UU ini mengabaikan kaidah hukum
adat dan hanya memperhatikan asas umum di dalam hukum adat Indonesia.
Dalam periode ini pandangan Menteri Kehakiman Sahardjo mengingatkan
adanya Maklumat Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang
menyatakan bahwa semua hukum kolonial itu dapat dinyatakan tak berlaku
lagi tanpa menunggu dahulu adanya peraturan peraturan perundangan baru
yang mencabutnya.
Setelah Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van
Koophandel haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil,
melainkan yang materiil saja.
Hal ini disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, Wirjono
Prodjodikoro mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak berlaku oleh
hukum nasional tentang pertanahan.