Anda di halaman 1dari 11

BAB X

PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI


INDONESIA PADA MASA PERALIHAN PASCA KOLONIAL
1940-1950.

Penggolongan rak yat k e dalam ti ga golongan menu ru t Pasal


109 Re g e ri ng sre g le me nt tahu n 1854 tetap saj a b erlak u dan
di teru sk an seb agai Pasal 163 Ind i sche S ta a tsre g e li ng yang
b erlak u sej ak tahu n 19 25 seb agai p enggant i
Re g e ri ng sre g le me nt tahu n 1854
Samp ai dengan tahu n 19 42 Pendu du k Hi ndi a b el anda t et ap
masi h di b agi men jad i 3 go l o n gan :
1. Erop a ( yai tu orang orang b elanda dan Orang o rang yang
b erasal dari Erop a termasu k dan ti dak t erb at as Orang o rang
J ep ang.

2. Pri b u mi (semu a p endu du k asli di t anah j aj ahan k ecu al i


merek a yang telah menu ndu k an di ri s ecara p enu h dan s u k arel a
dalam hu k u m golongan lai n) dan

3 Ti mu r A si ng (semu a orang yang t i dak t erm as u k du a


golongan Erop a dan Pri b u mi ) dan di b agi k em b al i m enj adi s u b
golongan Ci na dan Su b Golongan T i m u r A s i ng.
PROSES UNIFIKASI HUKUM
• Pada masa ini hukum acara perdata, hukum acara pidana diatur
dengan ordonansi (Ordonansi adalah Peraturan yang dibuat oleh
Gubernur Jendral bersama dengan dewan rakyat Volksraad / Pasal
82 IS)
Hukum tersebut tetap harus konkordan dengan hukum yang
berlaku di negeri Belanda, diatur dalam pasal 131 IS, bahwa ordonansi
tersebut boleh berlaku pula untuk golongan rakyat pribumi dan
Timur Asing, tetapi Ordonansi ini tetap menghormati Hukum Adat ,
golongan penduduk yang bukan Eropa.
Dalam hal Peradilan masih dibedakan golongan golongan,
dimana Badan Peradilan Eropa mengadili perkara perkara yang
melibatkan orang Eropa. Sedangkan golongan Pribumi Pengadilan
untuk Orang PribumI.
B . Perkembangan Tata Hukum
Indonesia pada masa pendudukan
Jepang.

JEPANG YANG MENDUDUKI KEPULAUAN NUSANTARA MEMBAGI 3


WILAYAH KOMANDO , YAITU :

JAWA DAN MADURA.

SUMATERA ( YANG MASIH DIKONTROL OLEH SINGAPURA).

INDONESIA BAGIAN TIMUR.

JEPANG PADA SAAT MENDUDUKI WILAYAH NUSANTARA, JEPANG


MEMBUAT UNDANG UNDANG BALA TENTARA JEPANG ( OSAMU SIRIE) NO 1
PADA TAHUN 1942.

KONTRIBUSI PENTING JEPANG TERHADAP SISTEM HUKUM INDONESIA


ADALAH DIHAPUSKAN SISTEM DUALISME DALAM TATA PERADILAN.
HANYA ADA 1 SISTEM PERADILAN SAJA UNTUK SEMUA GOLONGAN
PENDUDUK (TETAPI TETAP KECUALI UNTUK ORANG ORANG JEPANG).
Perubahan struktural ini dapat dikatakan hanya sekadar ”membuang warna
kekuasaan Belanda” untuk digantikan dengan ”warna kekuasaan Jepang”.

Badan pengadilan tertinggi adalah Hoggerechtshof yang pada saat kedudukan


Jepang disebut sebagai Saiko Hoin,

dan peradilan yang lainnya yaitu Raad van Justitie (Koto Hoin),

Landraad (Tiho Hoin),

Landgerecht (Keizai Hoin),

Regentschapsgerecht (Ken Hoin), dan

Districtgerecht (Gun Hoin). Residentiegerecht yang pada masa kekuasaan Hindia –


Belanda mempunyai yurisdiksi khusus untuk mengadili perkara orang-orang Eropa
saja, kini dihapus.
TATA HUKUM DI INDONESIA PADA MASA
REVOLUSI FISIK (1945-1950)

SETELAH MERANCANGKAN UNDANG-UNDANG DASAR DAN PANCASILA,


PEMERINTAH TIDAK LAGI BERDAYA UNTUK MENATA ULANG SELURUH SISTEM
HUKUM INDONESIA SECARA TOTAL DAN DALAM WAKTU YANG SINGKAT. HUKUM
KOLONIAL YANG DITINGGALKAN OLEH PEMERINTAH BELANDA INI DITERUSKAN
DAN DINYATAKAN TETAP BERLAKU SESUAI PASAL II ATURAN PERALIHAN
UNDANG UNDANG DASAR 1945

UNIFIKASI BADAN-BADAN PENGADILAN YANG TELAH DIPERKENALKAN PADA


MASA PEMERINTAHAN MILITER JEPANG, DITERUSKAN OLEH PEMERINTAH
INDONESIA DAN MELANJUTKAN PROSES PENYEDERHANAANNYA.

GUN HOIN (DISTRICTSGERECHT), KEN HOIN (REGENTSCHAPSGERECHT), DAN KEIZAI


HOIN (LANDSGERECHT), DITIADAKAN DAN DIALIHKAN FUNGSI KE TIHO HOIN

(LANDRAAD) YANG KINI DINAMAKAN PENGADILAN NEGERI.

KOTO HOIN (RAAD VAN JUSTITIE) DIJADIKAN PENGADILAN TINGKAT BANDING ATAU
PENGADILAN TINGGI,

SEDANGKAN SAIKO HOIN (HOOGGERECHTSHOF) DIJADIKAN PENGADILAN


PEMERIKSA PERKARA-PERKARA KASASI ATAU MAHKAMAH AGUNG.
Pada tanggal 27 Desember 1949, Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Belanda, lahirlah sebuah republik federal (Republik Indonesia Serikat)

dIndonesia menjadi negara seperti Independent tetapi masih di bawah kekuasaan


Hindia Belanda.

Namun pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS Seperti Negara Sumatera Timur, Negara
Indonesia Timur, dan beberapa satuan negara bergabung menjadi sebuah negara
republik kesatuan.

Sepanjang sejarah pada masa RIS, sumber pembuatan hukum perundang-


undangan yang utama di Indonesia adalah RIS.
BAB XI
PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA
PASCA REVOLUSI FISIK PADA ZAMAN
PEMERINTAHAN PRESIDEN SOEKARNO
(1950-1966)
DENGAN BERAKHIRNYA REPUBLIK INDONESIA
SERIKAT (RIS) PADA TANGGAL 17 AGUSTUS 1950,
LAHIRLAH SEBUAH NEGARA BERBENTUK
REPUBLIK KESATUAN.

LAHIR MENGGANTIKANNYA. UNDANG UNDANG


DASAR REPUBLIK INDONESIA SERIKAT YANG
HANYA BERFUNGSI SELAMA TIDAK LEBIH DARI 8
BULAN DIGANTIKAN OLEH UNDANG UNDANG
DASAR BARU, YAKNI UNDANG UNDANG DASAR
SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA

(DIUMUMKAN SEBAGAI UNDANG UNDANG NO. 7


TAHUN 1950 PADA TANGGAL 15 AGUSTUS 1950
DALAM LEMBARAN NEGARA TAHUN 1950 NO. 56).
Perkembangan yang terjadi
dalam periode ini dapat
dibedakan menjadi 2 periode,
yaitu :

1. PERIODE 1950-1959 YANG BERLANGSUNG DI BAWAH


ARAHAN UUDS DAN

2. PERIODE 1956-1966 YANG BERLANGSUNG DI BAWAH


ARAHAN UUD 1945

(YANG DIBERLAKUKAN KEMBALI BERDASARKAN


DEKRIT PRESIDEN TANGGAL 5 JULI 1959).
PEMBANGUNAN HUKUM PADA PERIODE 1950-1959

Di periode orang belum juga selesai menegaskan apakah di Indonesia


diputuskan pluralisme atau unifikasi
maupun hukum adat atau hukum Belanda.

Yang terpenting pada periode ini adalah revolusi bangsa adalah


pemuasan kebutuhan Indonesia untuk memperoleh kemajuan ekonomi
dan pertumbuhan kesejahteraan sosial yang cepat.

Hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang menghambat laju


pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat.

Kelompok politik Islam ikut ikut serta mempersoalkan dan bagi mereka
hukum syariah Islam yang harus dikembangkan sebagai hukum nasional.

Pada periode ini persoalan nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil


yang akan diterapkan oleh badan-badan pengadilan belum kunjung bisa
diselesaikan.
PEMBANGUNAN HUKUM PADA PERIODE 1959-1966

Pada periode ini demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950 oleh apa
yang disebut demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku kembali
UUD 1945.

Dalam suasana sosio-politik seperti itu, penolakan terhadap segala hal yang
berbau asing terasa demikian intensnya.

Produk hukum perundang-undangan pada periode ini adalah UU Pokok Agraria


sehingga dicabutlah sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku II BW
dan hak-hak tanah menurut hukum Eropa

Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang baru didasarkan pada
kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Namun, UU ini mengabaikan kaidah hukum
adat dan hanya memperhatikan asas umum di dalam hukum adat Indonesia.
Dalam periode ini pandangan Menteri Kehakiman Sahardjo mengingatkan
adanya Maklumat Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang
menyatakan bahwa semua hukum kolonial itu dapat dinyatakan tak berlaku
lagi tanpa menunggu dahulu adanya peraturan peraturan perundangan baru
yang mencabutnya.

Setelah Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van
Koophandel haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil,
melainkan yang materiil saja.

Hal ini disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, Wirjono
Prodjodikoro mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak berlaku oleh
hukum nasional tentang pertanahan.

Anda mungkin juga menyukai