Anda di halaman 1dari 9

DEKONSTRUKSI SYARIAH :

SEJARAH & STRATEGINYA


Oleh : Akhmad Arifin

A. Pendahuluan

Tulisan ini membagi “Dekonstruksi Syariah’ pada dua hal, yaitu


secara makro, untuk melihat bagaimana konflik antara Islam dan Barat
secara global, baik lewat perang senjata maupun perang pemikiran.
Sedangkan secara mikro untuk melihat lebih detail, bagaimana pola
penghancuran lewat model pemikiran kontemporer. Karena, kedua hal ini
sangat bersinambungan antara satu dengan lainnya. pemikiran
‘Dekonstruksi Syariah’ tidak pernah dapat dilepaskan dari model cara
berfikir Barat, yang liberal, historis, dan skeptis. Dan ketiga nya, secara
kebetulan menjadi ciri khas para pemikir ‘islam’ kontempoer.

B. Tinjauan Makro Terhadap Dekonstruksi Syariah

Dekonstruksi syariah tidak dapat dilepaskan dari Perang Pemikiran.


Sejarah konfrontasi antara Islam dengan Barat dimulai ketika rasulullah
berperang melawan kekaisaran
Romawi di Tabuk. Setelah itu,
diikuti dengan perluasan wilayah
kekuasaan Islam sejak masa
Khulafaur Rasyidin, yang

Perluasan Wilayah Zaman Umar ibn Khattab


menaklukkan daerah-daerah
yang dikuasai Romawi, seperti Palestina, Mesir, dan Syiria. Konflik
antara Islam dan Barat ini terus berlanjut, dengan puncaknya terjadi
Perang Salib, memperebutkan wilayah suci Jerusalem pada abad 11.
Konflik ini terus berlanjut di bidang lainnya. Dimulai ketika,
kerajaan Spanyol dan Portugis (Katholik) mencari sumber kekayaan lain
lewat jalur penjajahan di berbagai tempat, seperti di Benua Amerika dan
India. Kemudian berlanjut pada fase hegemoni
Portugis dan Spanyol (Katholik) terhadap wilayah-
wilayah di Asia dan Afrika, termasuk di wilayah
muslim. Diikuti dengan berbagai perang untuk
melepaskan diri dari hegemoni penjajahan oleh
para pejuang muslim. Pada saat-saat seperti ini,

maka penjajah menggunakan berbagai cara untuk Snouck Hurgronje ,


Penasehat Belanda di Bidang
meredakan perlawanan mereka, dari penggunaan Keagamaan di akhir abad 19

hardpower (cara keras) hingga softpower (cara lunak).


Pada awal mulanya, Hukum Islam diterima dan diterapkan secara
perundangan di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kaum muslimin,
tidak terkecuali di Nusantara. Hukum Islam mulai menjauh dari
kehidupan ummat Islam, ketika penjajah mengenalkan dan menerapkan
hukum barat di berbagai negara. Kekuasaan Barat terhadap negeri-negeri
muslim berpuncak pada runtuhnya kedaulatan Turki Utsmani, sebagai
penyokong gerakan perlawanan kerajaan-kerajaan Islam waktu itu.
Runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani diikuti dengan krisis
ekonomi tahun 1933 di Eropa, dan berpuncak pada munculnya gerakan
Nazisme, yang mencita-citakan mendirikan Jerman Raya di Eropa
Tengah, dan menjadi sebab munculnya Perang Dunia II. Setelah Perang
Dunia II, terjadi berbagai perubahan hampir menyeluruh , termasuk di
negara-negara terjajah termasuk Indonesia.
Hampir semua negara terjajah memerdekakan diri pada medio
1940an ini, termasuk Indonesia. Hal ini menandai awal berdirinya Nation-
State, sebuah paham bahwa sebuah bangsa (yang terdiri dari rakyat yang
menempati wilayah tersebut) punya otonomi penuh dalam menjalankan
pemerintahannya sendiri. perubahan lain pasca Perang Dunia adalah
munculnya Deklarasi Hak Asasi Manusia dan berdirinya Negara Israel
pada tahun 1948.
Ketika Indonesia memerdekakan diri, permasalahan pertama yang
dihadapi adalah penentuan dasar negara. Apakah dasar negara yang
dianut oleh Indonesia adalah negara Sekular ataukah negara Islam.
berbulan-bulan perdebatan dimulai, dan
berakhir dengan ditandatanganinya Piagam
Jakarta. Tetapi kemudian, pada tanggal 18
Agustus, Piagam Jakarta dicabut, karena
desakan dari orang timur indoensia yang Sidang BPUPKI merumuskan
Dasar Negara
mengancam tidak mau bergabung dengan
indonesia, jika 7 kata dalam pancasila tidak dicabut.
Setelah itu berbagai peristiwa politik terjadi, termasuk terkait
dengan penentuan dasar negara. pada tahun 1955, dimulainya era
pemilihan umum setelah negara dalam keadaan stabil setelah lebih dari 4
tahun menghadapi perang kemerdekaan (1945-1949). Dalam pemilihan
umum ini, Masyumi dan NU adalah dua dari 4 partai pemenang pemilu.
Kemudian, konfrontasi dasar negara berlanjut di sidang parlemen,
sebelum parlemen dibubarkan oleh Dekrit Presiden 1959.
Kemudian muncul gerakan PKI, yang mengancam eksistensi ajaran
agama (Islam). tokoh-tokoh Islam dijebloskan dalam penjara, beberapa
organisasi islam yang menolak konsep nasakom dibubarkan (termasuk
Masyumi, PSI, atau organisasi yang dianggap underbow mereka). Di
tingkat grassroot terjadi potensi konflik horizontal yang semakin
membesar ditambah dengan krisis ekonomi waktu itu. Berpuncak pada
peristiwa Gestapu.
Setelah Gestapu, terjadi penyingkiran politisi Islam oleh Orde Baru.
Beberapa tokoh Masyumi yang dibebaskan kembali, tidak diberikan
ruang untuk bergerak. Puncaknya, dengan dikumpulkan semua partai
politik islam dalam satu parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan.
Dimana posisi partai waktu itu, sebagai penjaring aspirasi daripada
oposan. Kemudian, pada tahun 1984 Orba memberlakukan syariat Islam.
sejak saat itu, maka perjuangan ‘penegakan syariat islam’ hampir mustahil
untuk digaungkan kembali.

C. Tinjauan Mikro Terhadap Dekonstruksi Syariah

Supremasi Orde Baru juga didukung oleh perangkat bawahnya. Di


tingkat perguruan tinggi islam, sudah dimasukkan pemikiran sekular
sejak akhir tahun 1960an, dengan berdirinya beberapa group diskusi di
sekitar PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Salah satunya, Di
Yogyakarta berdiri Limitted Group yang diprakarsai oleh Prof. Mukti Ali.
Kemudian pada tahun 1970an, media massa penyokong Orde Baru
mempopulerkan pidato Nurcholis Madjid (Ketum HMI waktu itu) dengan
slogannya “Islam Yes, Partai Islam No”,
kemudian pada tahun 1978, muncul
buku ‘Islam ditinjau dari Berbagai
Aspeknya” karangan Harun Nasution,
yang dijadikan rujukan bagi
Mukti Ali, Djohan Efendi, Dawam
pembelajaran para mahasiswa tingkat Rahardjo, & Ahmad Wahib Membentuk
Limitted Group di akhir tahun 1960an
perguruan islam negeri.
Di era 1980an muncul para pemikir muslim, baik dalam atau luar
negeri yang berhaluan sekularis. Mereka rata-rata kelahiran tahun 1940.
Di dalam negeri terdapat beberapa nama seperti Abdurrahman Wahid
(lahir 1940), Nurcholis Madjid (1939), Syafii Ma’arif (1939), Dawam
Rahardjo (1942), Ahmad Wahib (1940an). Begitu juga di luar negeri, juga
muncul para pemikir dengan usia sepantaran, seperti Muhammad
Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Farraj Fauda, Hassan Hanafi, abdullah
Ahmed An Naim, Aminah Wadud dan sebagainya.
Semua pemikir setelahnya tidak bisa ‘berkembang’, mereka seperti
kehabisan energi untuk melakukan ‘kreasi baru’. sehingga, yang
dilakukan mereka hanya pengulangan (recite). Artinya, mereka
melakukan kritik terhadap ‘stagnansi pemikiran islam’ tetapi, mereka
sendiri sudah ‘mentok’. IAIN sendiri menghadapi dilema, bahwa sejak
tahun 1970an mereka sudah mengembangkan model pemikiran liberal,
tetapi obyek pembahasannya masih monoton, dengan kajian tokoh atau
pemikiran yang hampir sama, dan tidak ada yang baru. tantangan
lainnya, adalah mereka harus menghadapi iklim persaingan kualitas
sarjana. Apalagi Skill dalam ‘dekonstruksi agama’ tidak dibutuhkan di
dunia kerja, atau di dunia usaha.
Beberapa obyek ‘Dekonstruksi Agama’ juga masih sama dalam 3-4
dasawarsa terakhir. Yaitu meliputi hal-hal berikut ini; Hukum Waris Islam,
Hukum kriminal Islam, Hukum murtad, Batas aurat perempuan, Larangan
pernikahan Beda Agama, Larangan Imam Wanita Bagi Makmum lelaki dewasa,
Larangan zina dan LGBT, Kebolehan poligami, dan Larangan kepemimpinan
orang kafir terhadap Muslim.
Untuk melakukan dekonstruksi syariah terhadap obyek-obyek di
atas, mereka juga menggunakan pola yang hampir sama dengan yang
digunakan oleh tokoh-tokoh sebelum mereka. Berikut adalah beberapa
langkah yang sering mereka gunakan.
Langkah pertama adalah melakukan dekonstruksi terhadap
epistemologi Islam. epistemologi Islam yang pertama adalah al Qur’an.
Beberapa kajian terhadap al Qur’an diarahkan, seolah-olah al Qur’an
adalah produk politik pada zaman lampau. Al Qur’an sebagaimana yang
terdapat dalam mushaf Utsmani adalah sebuah alat pemaksa politis, bagi
golongan Quraisy kepada kelompok non Quraisy untuk mengakui
supremasi mereka, terutama dalam teks suci. Pendekatan material (isi)
dilakukan oleh seorang Orientalis Arthur Jeffery, bahwa al Qur’an
memiliki bukti sejarah yang lemah, karena al Qur’an sebagaimana yang
terdapat dalam mushaf-mushaf abad I H, tidak memuat titik dan harokat,
yang memungkinkan perbedaan bunyi (tetapi klaim Arthur jeffery ini
dibantah keras oleh Al A’zhami). Pendekatan yang sama juga
diberlakukan kepada ilmu Hadits, dengan tokohnya Ignaz Golziher, yang
menyatakan bahwa rantai
periwayatan selama lebih dari 2
abad, tidak memungkinkan
hadits nabi dapat terekam lewat
sanad-sanad. Hal ini juga
terbantahkan mengingat fakta
banyaknya hadits mutawattir, Mushaf al Qur'an dari abad 1 H
yang berkesesuaian satu dengan
lainnya, meskipun hadits itu diriwayatkan oleh orang-orang yang
berbeda, dengan jalur periwayatan yang sangat berbeda pula.
Strategi kedua mereka adalah melakukan dekonstruksi terhadap
formulasi syariah. Bagi mereka, syariah merupakan karya manusia
(ulama) bukan hukum Tuhan. Menurut Khalid Abu Fadhl, seberapapun
usaha untuk menafsirkan al Qur’an dan Sunnah, tetapi makna yang
diturunkan dari mereka selalu didasarkan pada proses negoisasi-negoisasi
kekuasaan. Dalam logika seperti ini, maka pemaknaan-pemaknaan syariat
dilakukan oleh manusia, seperti kaedah (ushul fiqh)nya maupun isinya,
tidak dapat dilepaskan oleh faktor manusia-nya. Sehingga, banyak
serangan yang ditujukan kepada Imam Syafi’i sebagai peletak kaedah
ushul fiqh.
Menurut mereka, pendapat imam syafi’i ini dipertahankan dan
disebarluaskan oleh ‘mesin kekuasaan’. Karena faktor ini, ‘ijtihad’ di dunia
islam mengalami kebekuan selama berabad-abad. Tetapi pendapat ini
‘bullshit’, karena pemikiran ini mengasumsikan bahwa semua ulama
dalam berbagai abad, tidak bisa berfikir secara kritis. Kelemahan lain
asumsi ini adalah mudahnya seseorang dalam ‘mereduksi’ segala hal
sebagai ‘produk sejarah’, tanpa mau melihat secara detail bagaimana
seorang ulama (Imam Syafi’i) dalam memformulasikan ushul fiqh.
Strategi ketiga yang ditempuh dalam melakukan dekonstruksi
terhadap syariat adalah pernyataan bahwa syariah bertentangan dengan
semangat zaman. Kalimat ‘konteks harus diletakkan di atas teks’ sangat lazim
diucapkan oleh kelompok liberal di PTAIN. Mereka lupa bahwa masalah
syariah, dalam cabang filsafat, masuk dalam pembahasan ‘ethika’.
Sedangkan pembahasan masalah ‘ethika’, sebuah tindakan dikatakan
benar atau salah, selalu bersifat relatif, dan tidak pernah sebuah ethika
dinilai berdasarkan pada ‘kesesuaian dengan zaman’. Sebuah perbuatan
dikatakan ‘tidak sesuai dengan zaman’, jika sebuah perbuatan itu tidak
pernah (tidak lazim) dipraktekkan/dilakukan dalam suatu masa/tempat.
Artinya, syariah islam dikatakan ‘tidak sesuai zaman’, karena ia tidak
diterapkan secara kaffah.
Contoh sulitnya
menilai bahwa ‘hukum islam
tidak sesuai dengan zaman’
adalah terkait pelaksanaan
hukuman pidana. Sebgai
contohnya pada zaman
sekarang, hukuman bagi
Penahanan Setya Novanto. Menyelesaikan Masalah?
pelaku kriminal adalah
penjara. Apakah ‘penjara’ bisa menyelesaikan urusan kriminalitas? Justru
dalam penjara ini, para pelaku kriminal bisa menjalin ‘relasi’ dengan
kelompok kriminal lainnya. bahkan dalam banyak kasus, penjara dapat
dijadikan ‘sarang’ bagi pelaku kejahatan. Betapa banyak, kasus kejahatan
dikendalikan lewat lembaga ini, dari kasus korupsi sampai narkoba.
Sehingga, yang lebih banyak terjadi adalah penjara bukan tempat ‘edukasi’
(sebagaimana yang diharapkan), tetapi malah jadi tempat penggodokan
bagi para calon penjahat.
Bentuk dekonstuksi keempat berkaitan dengan asumsi bahwa
syariah lebih cenderung pada nilai moralitas (Sistem Ethika) daripada
legalitas (sistem hukum). Artinya, syariah itu semacam falsafah hidup
(jalan) daripada sebuah aturan yang ketat. Asumsi ini mengasumsikan
syariah sebagaimana ‘falsafah’ layaknya Taoisme, Konfusionisme, atau
Budhisme, yang menekankan jalan Hidup. Beberapa kalimat yang jadi ciri
khas mereka adalah ‘Akhlaq di atas Syariah’. Pendekatan ini juga tidak
sesuai dengan ciri khas ajaran Nabi. Karena dalam ajaran Nabi, ajaran
agama tidak hanya dimensi spiritualitas belaka melainkan banyak
dimensi, yaitu dimensi tauhid, dimensi amaliyah, dimensi da’wah-muamalah
dan dimensi ruhiyah.
Sedangkan strategi kelima adalah dengan pendekatan feminis,
bahwa hukum islam bias gender. Dalam logika ini, kemunculan syariah
dipandang sebagai produk dari budaya patriarki. Pernyataan segala
sesuatu diakibatkan oleh ‘konstruk sosial dari sistem patriarkhi’, selalu
menyederhanakan kompleksitas fakta sosial itu sendiri. Karena dalam
semua tinjauan (apapun pendekatan keilmuannya: baik itu biologi,
psikologi, sosiologi, etnologi, dst), lelaki dan perempuan itu pasti punya
karakter dan peran sosial yang berbeda-beda, yang diakibatkan karena
faktor fisik mereka.

D. Kesimpulan
Dekonstruksi Syariah tidak dapat dilepaskan dari konflik
worldview, antara Pandangan Hidup Islam yang menjadikan tauhid
sebagai jalan hidupnya, dan pandangan Barat yang sekular dan liberal.
Keduanya mempunyai jejak pertemuan sejak abad pertengahan,
kemudian diikuti pada masa penjajahan, kemudian di masa modern.
Tidak selamanya konflik itu diwujudkan dengan sarana fisik, melainkan
lebih dari itu, yaitu sarana intelektual. Salah satu strategi yang digunakan
dalam sarana intelektual yaitu ‘dekonstruksi syariah.

Anda mungkin juga menyukai