Jl. Arjuna Utara No.6, RT.5/RW.2, Duri Kepa, Kb. Jeruk, Kota Jakarta Barat,
Abstrak
Fraktur adalah suatu keadaan dimana putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau
tulang rawan sendi. Biasanya fraktur bisa terjadi karena adanya suatu trauma, misalnya
kecelakaan. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab tersering terjadinya fraktur. Pada
kecelakaan lalu lintas kita juga harus mewaspadai pada kemungkinan terjadinya politrauma
yang dapat mengakibatkan trauma pada organ-organ lain. Selain kecelakaan, fraktur bisa
terjadi karena jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cidera olahraga.
Abstract
Fracture is a situation where the breakdown in continuity of bone, cartilage or cart ilage
epifisis joints. Usually a fracture can occur due to trauma, such as an accident. Traffic
accidents are the most frequent cause of the occurence of fractures. On traffic accidents we
must also be aware of the possibillity of the occurence of the politrauma which can lead to
tauma in other organs. In addition to accidents, fractures can occur due fail from height,
work accident, and the hurt the sport.
Pendahuluan
Tulang merupakan bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia,
karena dengan berkoordinasi bersama otot, tulang menjadi alat gerak pasif dan ikut
berpartisipasi dalam pergerakan sehari-hari manusia. Kelainan atau adanya cedera pada
tulang tentu akan menganggu aktivitas sehari-hari dan membuat produktivitas manusia
menurun.
Salah satu cedera tulang yang memiliki risiko tinggi ialah fraktur tulang atau patah
tulang. Fraktur tulang dapat berupa fraktur tulang terbuka ataupun fraktur tulang tertutup.
Fraktur sendiri, memiliki definisi putusnya kesinambungan suatu tulang atau terputusnya
kontinuitas tulang. Fraktur adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas tulang, sering
diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh
darah, otot dan persarafan. Bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan
udara luar atau permukaan kulit atau kulit diatasnya masih utuh ini disebut fraktur tertutup
(atau sederhana), sedangkan bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit yang cenderung untuk mengalami kontaminasi dan
infeksi ini disebut fraktur terbuka.1
Anamnesis
Anamnesis merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang
dipaparkan oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan
kunjungan ke dokter. Anamnesis diperoleh dari komunikasi aktif antara dokter dan pasien
atau keluarga pasien.
Anamnesis meliputi: identitas pasien, keluhan utama (pada umumnya keluhan utama
pada kasus fraktur adalah rasa nyeri), Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu,
Riwayat Penyakit Keluarga, Riwayat Psikososial.2
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi (Look)
Arti inspeksi adalah dilihat. Dilihat secara anterior, posterior dan lateral dari
frakturnya dengan melihat bagian yang dikeluhkan oleh pasien tersebut apakah ada
pembengkakan, memar dan deformitas. Apakah ada hal lain yang abnormal. Hal lain
yang juga penting adalah jika kulit tersebut robek atau tidak. Serta luka yang memiliki
hubungan dengan fraktur tersebut.
Palpasi (Feel)
Palpasi adalah meraba, jika ada nyeri tekan ditempat fraktur tersebut. Perlu juga
memeriksa nadi/ pulsasi apakah lemah atau kuat di tempat tersebut. Bisa saja terjadi
cedera pembuluh darah yang menunjukan keadaan darurat yang perlu pembedahan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
Temperatur setempat yang meningkat;
Nyeri tekan: nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang;
Pergerakan (Movement)
Pada pergerakan dapat ditemukan gerakan abnormal seperti krepitasi atau bunyi
“kretek- kretek” pada sendi yang terdapat fraktur terutama pada sendi lutut dengan.
Tapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi- sendi
di bagian yang mengalami cedera jika pasien tersebut masih dalam keadaan sadar.1
Foto Rontgen
Pada proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang
impacted, untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial. Pergeseran dinilai
melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat ketidakcocokan garis trabekular
pada kaput femoris dan ujung leher femur. Penilaian ini penting karena fraktur yang
terimpaksi atau tidak bergeser (stadium I dan II Garden) dapat membaik setelah fiksasi
internal, sementara fraktur yang bergeser sering mengalami nonunion dan nekrosis
avaskular.1,3
Radiografi foto polos secara tradisional telah digunakan sebagai langkah pertama
dalam pemeriksaan pada fraktur tulang pinggul. Tujuan utama dari film x-ray untuk
menyingkirkan setiap patah tulang yang jelas dan untuk menentukan lokasi dan luasnya
fraktur. Adanya pembentukan tulang periosteal, sclerosis, kalus, atau garis fraktur dapat
menunjukkan tegangan fraktur.3,4
Radiografi mungkin menunjukkan garis fraktur pada bagian leher femur, yang
merupakan lokasi untuk jenis fraktur. Fraktur harus dibedakan dari patah tulang kompresi,
yang menurut Devas dan Fullerton dan Snowdy, biasanya terletak pada bagian inferior leher
femoralis. Jika tidak terlihat di film x-ray standar, bone scan atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI) harus dilakukan.4
MRI telah terbukti akurat dalam penilaian fraktur dan andal dilakukan dalam waktu 24
jam dari cedera, namun pemeriksaan ini mahal. Dengan MRI, fraktur biasanya muncul
sebagai garis fraktur di korteks dikelilingi oleh zona edema intens dalam rongga meduler.
Dalam sebuah studi oleh Quinn dan McCarthy, temuan pada MRI 100% sensitif pada pasien
dengan hasil foto rontgen yang kurang terlihat. MRI dapat menunjukkan hasil yang 100%
sensitif, spesifik dan akurat dalam mengidentifikasi fraktur collum femur.3
Pemeriksaan Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui: Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat
luas. Adanya peningkatan leukosit yang merupakan respon stres normal saat terjadi trauma.
Ada juga peningkatan kreatinin dalam plasma akibat trauma otot.
Working Diagnosis
Berdasarkan hasil anemnesa dan pemeriksaan fisik, didapatkan pasien menderita fraktur
tertutup femur dextra 1/3 proximal. Klasifikasi fraktur femur dibagi berdasarkan adanya luka
yang berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi menjadi:
Tertutup
Fraktur femur terbuka
a. Fraktur tertutup (closed) bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga
derajat yaitu:
Derajat I:
Luka <1cm
Tidak kotor
Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan.
Derajat II :
Laserasi 1- 10cm
Luka sedikit kotor
Kerusakan jaringan tendon (sedikit)
Fraktur kominutif sedang
Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:
a. Luka >10cm, Tulang rusak secara komunitif, banyak otot rusak, kulit masih
dapat menutup luka.
b. Adanya kulit yang tidak dapat menutup luka (skin loss)
c. Terdapat lesi neuro- vaskuler (mengenai saraf) 1,4
Diferential Diagnosis
a. Fraktur Caput Femur
b. Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femoris adalah fraktur yang terjadi disebelah proksimal linea
intertrochanter pada daerah intrakapsular sendi panggul yang termasuk kolum femur
dimulai dari bagian distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal
dari intertrokanter.1,5
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung
terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak
langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah.
Kebanyakan fraktur collum femur (intrakapsuler) terjadi pada wanita tua (60 tahun
keatas) dimana tulangnya sudah mengalami osteoporosis. Trauma yang biasa dialami
seperti jatuh terpelest dikamar mandi.1,5
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan riwayat trauma, pada
penderita muda ditemukan riwayat kecelakaan. Pada penderita tua biasanya trauma
ringan (jatuh terpelest dikamar mandi). Penderita tidak dapat berdiri karena sakit
sekali di panggul terutama daerah inguinal depan. Posisi panggul dalam keadaan
fleksi dan eksorotasi. Fraktur kolum femur dengan pergeseran akan menyebabkan
deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal sedangkan pada fraktur
tanpa pergeseran deformitas tidak jelas terlihat.
Gambar 1. Fraktur Collum1
Manifestasi Klinis
Etiologi
Epidemiologi
Fraktur femur merupakan cedera yang banyak dijumpai pada pasien usia tua dan
menyebabkan morbiditas serta mortalitas. Dengan meningkatnya derajat kesehatan dan usia
harapan hidup, angka kejadian fraktur ini juga ikut meningkat. Fraktur ini merupakan
penyebab utama morbiditas pada pasien usia tua akibat keadaan imobilisasi pasien di tempat
tidur. Rehabilitasi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Imobilisasi menyebabkan pasien
lebih senang berbaring sehingga mudah mengalami ulkus dekubitus dan infeksi paru. Angka
mortalitas awal fraktur ini adalah sekitar 10%. Bila tidak diobati, fraktur ini akan semakin
memburuk. Fraktur femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada
wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan
osteoporosis pasca menopause.4
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit dan infiltrasi sel darah putih.7
Penatalaksanaan
o Recognition
Yaitu penilaian dan diagnosis fraktur. Prinsip pertama adalah mengetahui
dan menilai keadan fraktur dengan anamnesis dan pemeriksaan klinik serta
radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan juga lokalisasi fraktur,
bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan komplikasi
yang mungkin terjadi setelah pengobatan.
o Reduction
Yaitu reduksi draktur atau tindakan pengembalian tulang ke posisi semula
agar dapat berfungsi kembali seperti semula. Pada fraktur intra-artikuler
diperlukan reduksi atau dibenarkan secara anatomis dan mengembalikan fungsi
normal. Tidak hanya tulang, sendi pun juga harus dibenarkan untuk mencegah
komplikasi seperti kekakuan, dan deformitas.
o Retaining
Artinya tindakan imonilisasi untuk mengistirahatkan alat gerak yang sakit
tersebut sampai mendapat kesembuhan. Dalam kasus ini wanita tersebut berarti
harus istirahat dengan tidak boleh banyak berjalan karena akan berdampak pada
femurnya.
o Rehabilitation
Adalah tindakan untuk mengembalikan kemampuan dari anggota atau alat
gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali. Berarti pasien harus berlatih
berjalan misalnya dengan gips, atau tongkat supaya tulang femurnya bisa
berfungsi dengan baik.9
Komplikasi
a. Komplikasi dini
Kerusakan arteri. Insiden kerusakan arteri memang jarang, tapi juga harus diwaspadai.
Contohnya seperti kerusakan arteri poplitea setelah trauma. Hal ini terjadi karena
kumpulan vaskular terhambat. Serta bisa juga karena laserasi langsung.
b. Komplikasi lanjut
o Kekakuan sendi lutut. Hal ini hampir tidak dapat dihindari, karena itu
diperlukan banyak latihan.
o Non-union yaitu fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu. Hal ini
dapat disertai kekakuan lutut dan mungkin diakibatkan oleh gerakan lutut yang
dipaksakan terlalu awal. Fraktur sulit diterapi dan kecuali kalau dilakukan
dengan hati- hati.
o Mal-union yaitu bila tulang sembuh dengan fungsi anatomis abnormal
(angulasi, perpendekan, atau rotasi) dalam waktu yang normal. Fiksasi internal
sangat sulit dan malunion kadang terjadi. Osteotomi dibutuhkan pada pasien
yang masih melakukan aktivitas fisik untuk melakukan koreksi terhadap
malunion yang terjadi. 10
Prognosis
Prognosis dari kasus fraktur femur tergantung tipe dan tingkat keparahan fraktur.
Semakin kompleks fraktur yang terjadi, semakin jelek prognosisnya. Pada umumnya terapi
yang sesuai akan memberikan hasil yang baik pada pasien.
Kesimpulan
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian). Pasien pada kasus di atas
mengalami fraktura femur dextra 1/3 proksimal. Fraktur ini merupakan jenis fraktur
traumatik, dimana penyebab fraktur ini pasien tersebut jatuh dengan posisi menyamping dan
pangkal paha yang membentur lantai. Diagnosis ini dapat ditegakkan dengan pasti melalui
gejala-gejala yang ditimbulkan dari pasien tersebut dan hasil pemeriksaan penunjang berupa
foto rontgen yang mendukung diagnosis pasti.
Daftar Pustaka
1. Thomas MA. Terapi dan rehabilitas fraktur. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2011.h. 245, 262, 276.
2. Gleadle J. At a glance Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Erlangga Medical Series.
Jakarta, 2009. h. 106.
3. Rasad, S. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. h.31.
4. Patel P R. Lecture notes radiologi. Erlangga medical series. Edisi ke-2. Jakarta, 2007.
h. 222-3
5. Bagian Ilmu Bedah FKUI. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.h. 503-12, 537-43.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Interna Publishing. 2009. h. 904-6
7. Bell S, Elbow and Brukner P, Khan K. Clinical sports medicine. 3rd Ed. Australia :
McGraw-Hill. 2010. h. 303-6.
8. Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki.Volume2.
Edisi 6. EGC : Jakarta.
9. Gunawan, Sulitia G. Farmakologi dan terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2008. h. 57-89.
10. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi 3, Jilid 2. Jakarta : Media Aeskulapius. 2000. h. 346-8.