Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

Seorang Perempuan 71 Tahun dengan Cedera Kepala Sedang


di RSUD Karanganyar

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Bedah

Pembimbing : dr. Juono Prabowo, Sp. B

Diajukan Oleh:
Zudha Mauliyani, S. Ked
J510185011

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS LAPORAN KASUS


Seorang Perempuan 71 Tahun dengan Cedera Kepala Sedang
di RSUD Karanganyar

Diajukan Oleh :
Zudha Mauliyani, S. Ked J510185011

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari………………….

Penguji :
dr. Juono Prabowo, Sp. B (..................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr. Iin Novita M., M. Sc, Sp. PD (.................................)
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 71 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal masuk : 23 September 2019, pukul 09.00

B. Primary survey
Airway Clear
Breathing 24 x /menit
Bernafas spontan, simetris kiri dan kanan
Circulation TD : 130/80 mmHg
HR : 68 x / menit
Regular, kuat angkat
CRT <2 detik
Disability GCS : 12 ( E4 M4 V4 )
Pupil Bulat, Isokor, diameter 2,5 mm / 2,5 mm, refleks
cahaya langsung / tak langsung +/+
Exposure T : 36,7 oC
Hematom 0,5x0,5 cm pada regio temporal
Vulnus Excoriatum 2x2 cm pada siku kanan

C. Secondary Survey
Allergies : Alergi disangkal
Medications : Tidak sedang menjalani pengobatan apapun
Past Medical History : Riwayat penyakit dahulu disangkal
Last Meal : Pukul 06.00
Event : Terjatuh di sawah pada pagi hari sekitar pukul 08.00 dengan
posisi terlentang
D. Anamnesis
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Riwayat Penyakit : Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan penurunan
Sekarang kesadaran setelah terjatuh di sawah. Pasien sempat pingsan
selama 30 menit kemudian sadarkan diri ketika dibawa dalam
perjalanan ke RS. Pada saat di RS, pasien membuka mata namun
masih sulit diajak berkomunikasi. Pasien mengeluh pusing (+),
mual (+) muntah (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan.

E. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kepala Bentuk normocephal
Wajah Luka (-)
Mata Perdarahan (-), luka (-), konjungtiva anemis (+)
Telinga Perdarahan (-), sekret (-)
Hidung Perdarahan (-), sekret (-)
Mulut Perdarahan (-), Bibir kering (-), pucat (+)
Leher Eritem (-) , udem (-)
Thorax Inspeksi : Pergerakan dinding dada spontan, simetris
kiri dengan kanan
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Vesikuler
Abdomen Inspeksi : Cembung (-), ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Ekstremitas Superior : Udem (-)
Inferior : Udem (-)
2. Status Lokalis
Hematom 0,5x0,5 cm pada regio temporal
Vulnus Excoriatum 2x2 cm pada siku kanan

3. Status Neurologis
Nervus cranialis dalam batas normal
Reflek fisiologis: superior +/+ inferior +/+
Reflek patologis: superior -/- inferior -/-
Kekuatan otot: superior 5/5 inferior 5/5

F. Diagnosa Kerja
Cedera kepala sedang
Vulnus excoriatum

G. Pemeriksan Penunjang
Darah rutin (23/09/2019)
Parameter Hasil
Hemoglobin 10.7
Hematokrit 31.8
Lekosit 11.97
Trombosit 272
GDS 159
Radiologi
CT Scan

Kesan : tampak perdarahan di temporal sinistra.


Luas perdarahan : 2x3x1x8 / 2 = 24 cc pada intracerebral

H. Terapi
Inf. RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 ampul/12 jam
Inj. Santagesic 1 ampul/8 jam
Inj. Omeprazol 1 ampul/8 jam
Inj. Piracetam 1 gr/ 8 jam
Mertigo SR 3x1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KEPALA


A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.

B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi
atas 3 fosa yaitu: fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi
oleh pia mater.

D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.7 Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari.

2.3 ETIOLOGI CEDERA KEPALA

Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai macam trauma dari luar, misalnya:
1. Luka tembak senjata api
2. Kecelakaan lalu lintas
3. Benturan pada kepala
4. Aktivitas olah raga juga dapat menyebabkan cedera kepala berat jika seseorang
tidak mengutamakan keselamatannya.

2.4 DEFINISI DAN KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
Pembagian trauma kapitis :
 Simple head injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
 Ada riwayat trauma kapitis
 Tidak pingsan
 Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik
dan cukup istirahat.
 Commotio cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak
lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak.
Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya
pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia
retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya
kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus
temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,
pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi
kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.
 Contusio cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah
adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula
hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat,
sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus.
Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang
selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio menimbulkan gejala
deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan
UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic
brain syndrome”. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral
terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi
menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat,
maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. Pemeriksaan penunjang
seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi
jangka pendek. Terapi dengan antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik,
neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
 Laceratio cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid
traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio
langsung dan tidak langsung. Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala
yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur
depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas
jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
 Basis cranii fracture
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior.
Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
 Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
 Epistaksis
 Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
 Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
 Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
 Gangguan pendengaran
 Parese N.VII perifer
 Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya
harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi.
Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
 Epidural Hematoma
Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan
duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga
terjadi kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Ditemukan adanya
lusid interval pada 50% kasus. Lucid interval adalah adanya fase sadar
diantara 2 fase tidak sadar karena bertambahnya volume darah yaitu pada saat
kejadian pasien tidak pingsan/ pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala
sebentar lalu membaik dengan sendirinya, tetapi beberapa jam kemudian
gejala menjadi progresif, nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun hingga
koma.
Gejala klinis :
Gejala fokal, akibat herniasi tentorial
– timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)
pada daerah kontralateral
– midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya
direct / indirect (-).
Bradikardi karena adanya peningkatan TIK
LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi)
EDH merupakan kasus yang paling emergency di bedah saraf karena
progresivitas yang cepat, karena duramater melekat erat pada sutura, sehingga
langsung mendesak parenkim otak  mudah herniasi trans dan infratentorial.
Sehingga jika penanganan terlambat, pasien bisa mati dan jika cepat pasien
bisa kembali seperti sedia kala.
Gambaran CT-Scan : gambaran hiperdens homogen berbentuk bikonveks
(seperti lensa cembung) diantara tabula interna dan durameter 
menggambarkan fraktur yang merupakan daerah coop (tempat terjadi benturan)
 Subdural hematoma
-Akut: karena trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya
seluruh parenkim otak ke kontralateral dan mengenai tulang kontralateral
sehingga mengenai arteri corticalis.
-Kronis: karena underlying disease. Contohnya kelainan hemostasis yg
menyebabkan pecahnya bridging vein, biasa terjadi pada orang tua
Secara umum yaitu perdarahan yang terjadi antara ruang duramater
dengan araknoid akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari
permukaan otak yang berjalan menuju sinus venosus didalam duramater.
Gejala-gejala, akut seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang
besar atau merupakan perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu
besar gejala permulaan ringan. Darah akan membeku dan mengalami
organisasi, kemudian akan dilapisi oleh kapsel. Gumpalan darah lama akan
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya sehingga menjadi lebih gembung.
Inilah yang menimbulkan gejala-gejala menyerupai tumor serebri/ proses
intrakranial yang meninggi.
Gejala klinis :
 Menyerupai tumor serebri dimana ditemukan peninggian tekanan
intrakranial.
 Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma
 Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat disertai mual
muntah
 Midriasis homolateral, gangguan visus.
 Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese.
 Refleks patologi (+)
 Subarachnoid hematoma
Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma
kapitis yang sering disebabkan oleh kontusio serebri.
Gejala klinis :
o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba
o Pusing, mual, muntah
o Kesadaran menurun hingga koma
o Kaku kuduk (+)
o Suhu tubuh meninggi
o Refleks patologi (+)
o timbul kejang atau gejala fokal
 Intraserebral hematoma
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang
menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak
pada lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis,
kadang- kadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya
penderita tidak tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan
menekan batang otak, bila hematoma berasal dari vena biasanya dapat
tertolong.
Pembagian cedera kepala lainnya:
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio
Cerebri
a. Skor GCS 13-15
b. Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari
10 menit
c. Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
d. Ada muntah, ada amnesia retrograde dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologis.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
a. Skor GCS 9-12
b. Ada pingsan lebih dari 10 menit
c. Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogade
d. Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
a. Skor GCS <8
b. Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
c. Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
d. Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.
Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala
ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera
kepala berat.

2.5 PATOFISOLOGI

Trauma di kepala akan menyebabkan berbagai macam reaksi pada tubuh, dan
mengakibatkan gegar otak, koma dan bahkan kematian. Cedera kepala terbagi menjadi
2 subkategori, yaitu:
1. Cedera primer, yang terjadi pada saat trauma, dan
2. Cedera sekunder, yang terjadi setelah trauma dan terus setelah jangka waktu
yang lama.
a. Cedera primer
Cedera primer secara langsung akan menyebabkan terputusnya kontinuitas
jaringan seperti kulit, otot, tulang dan pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan luka
terbuka dan hematoma.
Fraktur tulang kranial bisa menyebabkan kerusakan saraf, mengenai sinus dan
telinga hidung tenggorokan. Dampak benturan langsung ke daerah temporal bisa
menyebabkan tuli sensoris atau konduktif. Selain itu juga bisa terjadi Benign
paroxysmal vertigo ketika kristal kalsium karbonat berpindah dari urtikula ke kanalis
semisirkularis.
Perdarahan intrakranial dapat terjadi, seperti:
- Epidural hematoma, terjadi karena pecahnya pembuluh darah dan menyebabkan
darah terkumpul di antara duramater dan tengkorak, yang paling sering adalah
pecahnya arteri meningeal media. Karena duramater melingkupi vertebra juga
maka perdarahan juga bisa terjadi di kolumna vertebralis. Kondisi ini terjadi
antara 1-3% dari cedera kepala, dengan mortalitas 15-20%
- Subdural hematoma, terjadi karena pecahnya vena-vena jembatan yang berada di
ruang subdural. Mortalitasnya tinggi, mencapai 60-80%.
- Perdarahan intraventrikuler, terjadi di sistem ventrikuler dari otak, dimana cairan
cerebrospinalis diproduksi. Perdarahan interventrikuler terjadi pada 35% cedera
kepala sedang sampai berat. Angka kematiannya tinggi.
- Perdarahan subaraknoid, adalah perdarahan yang terjadi di ruang subaraknoid,
antara membran araknoid dan pia mater, biasanya terjadi spontan karena
rupturnya aneurisma cerebri atau karena trauma kepala.
- Perdarahan intraserebral , terjadi dalam jaringan otak itu sendiri. Angka
mortalitasnya mencapai 40%.
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada area terjadinya benturan
maupun tempat yang berlawanan dengan benturan. Biasanya kalau benturannya kecil
dan keras, efeknya akan langsung pada tempat benturan, tapi kalau objeknya besar
cederanya akan lebih sering terjadi berlawanan dengan tempat benturan.
Cedera kepala dapat menyebabkan kontusio (gegar) karena kerusakan struktur otak
yang menyebabkan berbagai kelainan neurologis. Kontusio ini adalah bentuk dari
Cedera axonal difus (kerusakan substansia alba jaringan otak).
b. Cedera sekunder
Cedera sekunder terjadi beberapa saat setelah terjadi benturan. Efek biokimia
yang terjadi seperti pelepasan asam amino eksitatori (EEAs) (termasuk glutamat dan
aspartat) akan meningkat signifikan setelah cedera kepala. Asam amino ini akan
menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan kematian neuron melalui mekanisme
influks Na+ dan Cl+, peningkatan influks Ca2+. Kerusakan jaringan akan mengaktifkan
berbagai macam sitokin inflamasi. Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi adalah
sebagai akibat dari perdarahan. Perdarah yang terjadi akan menyebabkan perfusi
jaringan otak menurun sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang tambah
memperparah kerusakan sel otak.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan hipoksia, iskemia, kejang,
edema otak, hidrosefalus dan herniasi otak. Herniasi ini dapat menyebabkan batang otak
terjepit dan bisa menyebabkan gangguan pernafasan dan kesadaran.
Selain itu juga akan terjadi perangsangan sistem simpatis, yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan hidrostatik melalui berbagai
mekanisme fisiologis tubuh di jantung, pembuluh darah dan ginjal. Hal ini bisa
menyebabkan kebocoran kapiler dan menyebabkan oedem paru, serta gangguan perfusi
jaringan. Perangsangan simpatis juga akan meningkatkan katekolamin, dan sekresi asam
lambung sehingga terjadi mual dan muntah.
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau
tanpa fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom
epidural, subdural dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan
fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang ini
mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan
jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang berseberangan
dengan benturan (contra coup)
2.6 MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik dari adanya peningkatan tekanan intra cranial adalah banyak dan
bervariasi serta dapat tidak jelas.
1. Perubahan tingkat kesadaran (paling sensitive diantara tanda peningkatan TIK)
2. Trias klasik :
-Nyeri kepala karena regangan duramater dan pembuluh darah.
-Papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus
-Muntah, seringkali proyektil.
3. Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan menandakan
dekompensasi otak dan kematian yang mengancam
4. Hipertermia
5. perubahan motorik dan sensorik
6. Perubahan bicara
7. Kejang

2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat


cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode
EMV (Eyes, Verbal, Movement)
A.Kesadaran
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
 Secara spontan 4
 Atas perintah 3
 Rangsangan nyeri 2
 Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
 Orientasi baik 5
 Jawaban kacau 4
 Kata-kata tidak berarti 3
 Mengerang 2
 Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
 Kemampuan menurut perintah 6
 Reaksi setempat 5
 Menghindar 4
 Fleksi abnormal 3
 Ekstensi 2
 Tidak bereaksi 1
B. Tanda-tanda vital
Meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan laju nafas. Hasilnya dapat berbeda-beda
pada setiap pasien tergantung keadaannya
C. Tingkat cedera luar yang terlihat
Dilihat apakah terdapat cedera kulit kepala, perdarahan hidung, mulut, telinga,
dan hematoperiorbital, serta apakah terdapat memar/lebam pada bagian-bagian tertentu
di kepala, sekitar hidung, dahi, pipi, dan area sekitar mata.
D. Tanda-tanda neurologis
Menilai bentuk dan ukuran pupil, simetris atau tidak, isokor atau tidak, gerakan
mata untuk melihat apakah ada kelumpuhan terhadap otot-otot penggerak bola mata
atau nervus yang mempersarafi otot tersebut.
E. Aktivitas motorik
Melakukan penilaian kekuatan otot pasien untuk melihat apakah ada lesi pada
sistem koordinasi atau medulla spinalis.
F. Reflek fisiologis dan patologis

G. Pemeriksaan nervus cranialis

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:


1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
2.9 DIAGNOSA

Berdasarkan: Ada tidaknya riwayat trauma kapitis


Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala laterlisasi
Pemeriksaan penunjang.

2.10 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Umun
 Observasi GCS dan Tanda Vital (Tekanan darah, Nadi, Respirasi, Suhu)
 Miringkan kepala 30°
 O2 lembab 4-6 liter/m
 IVFD NaCl 0,9% (30-40cc/kgBBperhari)
 Antibiotik
 Analgetik
 Antagonis H2 reseptor
 K/P : Manitol, Anti Konvulsan
 Pasang NGT, Kateter

2. Penatalaksanaan TIK
Terapi Konservatif
 Posisi : miringkan kepala 30 °
 Hiperventilasi ringan 15-30 menit
 Manitol 20% dosis 0,25 - 2 gr/Kg BB/kali pemberian tiap 4 – 6 jam
Terapi operatif (craniotomy, diversi LCS, dekompresi)
Indikasi ;
 Fraktur depresi
 Intracranial hematoma (EDH/SDH/ICH) > 25 cc
 Midline Shift > 5 cm
 Cedera penetrasi
Indikasi rawat bagi pasien cedera kepala yaitu :
 Penurunan kesadaran
 Nyeri kepala (dari sedang hingga berat)
 Riwayat tidak sadarkan diri selama > 15 menit
 Fraktur tulang tengkorak
 Rhinorea – otorhea
 Cedera penetrasi
 Intoksikasi alcohol atau obat-obatan
 Trauma multiple
 Hasil CT Scan abnormal
 Amnesia
 Tidak ada keluarga

2.11 KOMPLIKASI

Jangka pendek :

1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam
kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri
kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi,
pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan
akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda
bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan
laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak
(bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang
tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak
pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang
berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita
dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan
direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa
menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang
terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya
lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala
kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya
tekanannya dapat meninggi.
 TIK meningkat
 Cephalgia memberat
 Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII,
disartria, disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun,
mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan
tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia,
menarik diri, dan depresi.

2.12 PROGNOSIS

Skala Outcome Glasgow (GOS) digunakan secara luas sebagai standar yang
menjelaskan hasil akhir pada pasien cedera kepala. Merupakan skala lima butir yang
sederhana:
Good recovery [G] Pasien pulih ke tingkat fungsi sebelum cedera
Moderately disabled [MD] Pasien dengan deficit neurologis namun mampu merawat
diri sendiri
Severely disabled [SD] Pasien tidak mampu merawat diri sendiri
Vegetative [V] Tidak ada tanda-tanda berfungsinya mental luhur
Dead [D]
BAB III
DISKUSI KASUS

Perempuan usia 71 tahun dengan penurunan kesadaran setelah terjatuh di sawah.


Riwayat pingsan (+), pusing (+), mual (+) dan muntah (-). Pasien dapat membuka mata
namun masih sulit diajak berkomunikasi. Pada pasien ini didapatkan diagnosis cedera
kepala sedang, vulnus excoriatum didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang.
Primary Survey : Airway : clear, Breathing 24 x / menit, spontan, simetris kiri dan
kanan, Circulation TD : 130/80 mmHg, HR : 68 x/menit Reguler, Disability GCS : 12,
Pupil Bulat, Isokor, diameter 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya langsung / tak langsung
+/+, Exposure T : 36,7 oC (aksila), hematom 0,5x0,5 cm pada regio temporal, vulnus
excoriatum 2x2 di siku kanan.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan defisit neurologis. Kemudian pada pasien
dilakukan pemeriksaan radiologi yaitu CT scan didapatkan hasil bahwa tampak
perdarahan seluas +- 24 cc pada intracerebral.
Pasien diberikan terapi inf. RL 20 tpm; inj. Ceftriaxone 1 ampul/12 jam; inj.
Santagesic 1 ampul/8 jam sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri yang dirasakan
pasien; inj. Omeprazol 1 ampul/8 jam; inj. Piracetam 1 gr/ 8 jam sebagai golongan
nootropik dan neurotropik untuk meningkatkan fungsi kognitif pada otak; Mertigo SR
3x1untuk mengatasi pusing
DAFTAR PUSTAKA

1. Gartner, leslie P and james L. Hiatt. Color textbook head and neck Anatomy
fourth edition. Philadelphia. Elseivier Saunder. 2009. p. 396-399.
2. Schwartz. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi 6. Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta. 2000. p. 688-691.
3. Sjamsuhidajat, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit buku kedokteran EGC.
Jakarta.2014. p. 416-423.
4. Sabiston. Text book of surgery: the basic biological basic of modern surgical
practice. Edisi 19. Elsevier saunders. Canada. 2012. p. 1924-1931.

Anda mungkin juga menyukai