Anda di halaman 1dari 13

DISKUSI TOPIK TERKINI

STASE BAITUL INSAN KAMIL

NIKAH MUT’AH

Disusun oleh :

Widya Pintaka Septa Graha J510185078


Asti Oktavia Priwidianni J510185061
Zudha Mauliyani J510185011
Fernando Yudha Kusuma J510185121

FAKULTAS KEDOKTERN UMUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN MAKALAH DISKUSI TOPIK TERKINI

STASE BAITUL INSAN KAMIL (BIK)

Judul Makalah : Nikah Mut’ah

Ketua : Widya Pintaka Septa Graha J510185078


Anggota
Asti Oktavia Priwidianni J510185061
Zudha Mauliyani J510185011
Fernando Yudha Kusuma J510185121

Telah dipresentasikan dan direview oleh dosen Fakultas Kedokteran UMS dan
LPPIK UMS

Pada tanggal : 08 November 2019

Reviewer
1. Nama lengkap : dr. Erna Herawati Sp.KJ
NIK :1046
Jabatan fungsional : Tenaga Pengajar
2. Nama lengkap : Dr. Imron Rosyadi, M.Ag
NIK : 719
Jabatan fungsional : Tenaga Pengajar

Surakarta, 08 November 2019

Dosen Reviewer 1 Dosen Reviewer 2

dr. Erna Herawati Sp.KJ Dr. Imron Rosyadi, M.Ag

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan perjanjian antara suami dan istri, dalam Al qur’an


disebutkan dengan perjanjian yang kokoh. Dalam Islam adalah sesuatu yang kekal
tidak terbatas oleh waktu. Tujuan pernikahan dalam Islam adalah membentuk
keluarga yang bahagia, sejahtera, harmonis serta menghasilkan keturunan. Dalam
Islam pernikahan telah diatur dengan sangat baik. Maka dari itu pernikahan hanya
bisa dilakukan setelah semua pihak memenuhi aturan dan rukun dalam pernikahan
(Hakim, 2000). Namun di zaman sekarang banyak orang menyalahgunakan
pernikahan dengan membatasi rentang waktu atau menikah untuk sementara,
hanya untuk menyalurkan hasrat seksual saja. Pernikahan sementara dalam Islam
dikenal dengan nikah mut’ah, sedangkan di Indonesia dikenal dengan kawin
kontrak (Mustafa, 2003).

1
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Berikut adalah contoh kasus nikah mut’ah yang terjadi di Indonesia,


dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-354377/pencabulan-mahasiswi-upi-
bermodus-kawin-mutah-. Dugaan pencabulan terhadap mahasiswi UPI oleh ustadz
dari salah satu pesantren ternama di Bandung, dengan insial AR menggunakan
modus nikah mut’ah. Kasus ini diinvestigasi dipimpin langsung oleh Rektor UPI.
Perisitiwa ini terjadi pada November 2003. Awalnya kondisi mental mahasiswi
tersebut sedang down, dan teman kuliahnya menyarankan untuk menemui ahli
agama di Pondok Pesantren yang dikelola oleh ustadz kondang didekat UPI. Lalu
mahasiswi tersebut bertemu ustadz yang biasa menemani pimpinan ponpes, ustadz
tersebut dengan inisial AR. AR menganggap masalah yang dialami mahasiswi
tersebut sangat berat. AR mengatakan mahasiswi tersebut butuh konseling yang
lebih dari 2x pertemuan dimana konselingnya tidak hanya dilakukan di ponpes.
Akhirnya AR dan mahasiswi tersebut bertemu di klinik dekat UPI. Mereka
berboncengan menggunakan sepeda motor, namun malah dibawa ke salah satu
hotel daerah Lembang. Di hotel AR mendapat kunci bukan melalui resepsionis
namun dari satpam hotel. Disinilah terjadi pencabulan terhadap mahasiswi UPI.
AR membacakan rapalan-rapalan, setelah dibacakan rapalan mahasiswi tersebut
menjadi setengah sadar lalu AR mulai membuka baju mahasiswi tersebut. Saat
berontak AR berkata “kalo mau sembuh ya harus begini”. Akhirnya pencabulan
pun terjadi yang membuat mahasiswi tersebut semakin down. Lalu AR memberi
mahasiswi tersebut uang Rp. 50.000,- sembari berkata jika dia sudah dinikahi

2
3

secara mut’ah. Mahasiswi tersebut akhirnya bercerita kepada orang tuanya


mengenai kasus pencabulan yang terjadi pada dirinya. Orang tua korban tidak
terima, dan menemui AR yang akhirnya menikah. Namun hanya seminggu
mahasiswi tersebut diceraikan.
BAB III

PEMBAHASAN DARI PERSPEKTIF MEDIS

A. Infeksi menular seksual


Menurut Djuanda (2007) infeksi menular seksual merupakan
infeksi yang menular lewat hubungan seksual yang berisiko. Hubungan
seksual yang berisiko contohnya seperti berhubungan dengan orang yang
sudah menular infeksi maupun sering bergonta-ganti pasangan.
Beberapa contoh infeksi menular seksual yaitu:
 Gonorrhea : infeksi yang disebabkan Nisseria gonorrhea,
keluhan biasanya asimptomatis. Dapat juga nyeri pada
panggul bawah. Pada wanita biasanya berobat setelah ada
komplikasi.
 Klamidia : infeksi yang disebabkan Chlamydia
trachomatis, keluhan pada wanita biasanya perdarahan post
coital, disuri, keluar duh dari vagina, nyeri pada abdomen
bawah, conjungtivis, salpingitis, uretritis, servisitis.
 Sifilis : infeksi yang disebabkan Troponema palidum,
penyakit ini bersifat sistemik dan kronik.
 HIV : infeksi yang disebabkan Human immunodeficiency
virus type 1 dan 2. Virus ini mengakibatkan penurunan
sistem kekebalan tubuh (Djuanda, 2007).

B. Dampak Psikologis

Secara psikologis, orang yang melakukan pernikahan akan merasa


kebahagian dan juga ketentraman. Pernikahan ini harus dilandasi dengan
rasa cinta, kejujuran, serta kesetiaan dari masing-masing pasangan. Ikhlas

4
5

dalam menerima kekurangan serta kelebihan dari pasangan dan


mempunyai tujuan untuk menjadi keluarga sakinah,mawwadah wa
rahmah. Namun pada kasus nikah mut’ah ini tujuan pernikahan tidaklah
tercapai. Pernikahan hanya untuk sementara waktu, sehingga dalam
pernikahan ini tidak ada unsur kasih sayang dan juga kesetiaan dari
pasangan, tentulah akan berakibat buruk terhadap psikologis orang yang
melakukannya, terutama pada wanitanya. Wanita dapat menjadi depresi.
Karena merasa buang oleh pasangannya (Shihab, 2005).
BAB IV

NIKAH MUT’AH DALAM PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH

A. Pengertian Nikah

Pernikahan dalam bahasa arab adalah nikah. Nikah adalah


suatu aqad yang dengannya dapat menghalalkan hubungan sekssual bagi
seorang lelaki dan perempuan (Sabiq, 1998).
Menurut hukum islam, nikah itu pada hakikatnya ialah aqad antara calon
suami dan pihak calon istri (wali nikah) untuk memperbolehkan keduanya
bergaul sebagai suami-istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi aqad
nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang wanita (diwakili oleh wali nikahnya).
Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum nikah itu ada 5, antara lain:
1. Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.
2. Sunah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan
tergoda zina
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
5. Haram, bagi orang yang mempunyai niat akan menyakiti perempuan
yang dinikahinya.
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mut’ah -sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata mut’ah
(Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya
benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah diceraikan.
Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a barasal dari akar kata yang

6
7

sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji


tamattu’ disebut demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi
yang mengerjakannya.
Secara istilah, yang dimaksud Nikah Mut’ah adalah, seseorang yang
menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu
pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika
masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa
kata thalaq dan tanpa warisan (Mustafa, 2003).

B. Dasar Hukum Nikah Mut’ah


Nikah Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum
stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian
dan peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan.
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat
islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah
kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa.
Maka setelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi
berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan
yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang
sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk
berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan
bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan
kemaluannya.
Dari hadits Salamah memberikan keterangan bahwasannya Rasulullah saw
pernah memperbolehkan nikah mut’ah kemudian melarangnya dan menasah
rukhshah tersebut menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasannya
pelarangan dan perbolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum
perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian di
perbolehkan lagi pada tahun penaklukan makah atau tahun authas, setelah itu
nikah mut’ah diharamkan selama-lamanya, sehingga terhapus rukhshah itu
selama-lamanya (Qardawi & Ahmadi, 2003).
8

C. Rukun Nikah Mut’ah


Berikut adalah rukun yang terdapat pada nikah mut’ah:
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan
engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam
gandum.
4. Jangka waktu tertentu.

D. Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid


Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan
fatwa bahwa nikah mut’ah atau kawin kontrak hokumnya adalah haram.
Keputusan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan al-Thabaraniy dari al-Harits
bin Ghaziyyah: Ia berkata: saya mendengar Nabi SAW, bersabda pada hari
penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), ”Nikah mut’ah dengan wanita itu
haram, beliau mengulang sabdanya sebanyak tiga kali.”
Fatwa Majelis tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah tegas
tentang keharaman nikah mut’ah atau kawin kontrak tidak sebatas kepada laki-
lakidan wanita yang mengetahui bahwa nikah yang mereka lakukan adalah
mut’ah, tetapi juga berlaku secara umum, baik pihak wanita itu mengetahuinya
maupun tidak mengetahuinya. ”Orang-orang yang melakukan nikah mut’ah
sekarang ini,menurut hadis di atas jelas telah melakukan hal yang diharamkan.”
Bagi perempuan nikah mut’ah akan mendatangkan mudharat karena
pernikahanya tanpa perlindungan dan jaminan. Seorang wanita akan seperti digilir
oleh beberapa lelaki dalam waktu yang singkat. Bagi anak turunanya akan lebih
besar mudharatnya, karena tidak memliki perlindungan fisik maupun psikis
sehingga masa depan mereka yang seharusnya mendapat pendidikan menjadi
hilang. Maka terjadi pelanggaran terhadap hak anak, karena mereka ditelantarkan
begitu saja oleh orang tua mereka (Sabiq, 1998).
9

E. Martabat Wanita
Kaum Sunni melarang nikah mut’ah adalah untuk menjaga martabat
wanita itu sendiri. Syarat dan rukun nikah mut’ah yang sederhana, menjadikan
seorang wanita Nampak seperti mainan dan menjerumuskan kedalam pelacuran
terselubung. Nikah mut’ah tak lain adalah menjadikan wanita sekedar pemuas
nafsu.
Syarat dan rukun nikah adalah bentuk nyata Islam memuliakan wanita.
Seorang laki-laki tak akan bias menikahi seorang wanita dan membentuk sebuah
lembaga pernikahan tanpa memenuhi syarat dan rukun nikah (Shihab, 2005).
BAB V

PENUTUP

Menurut perspektif Muhammadiyah, nikah mutah tidak dapatmemenuhi


maksud-maksud disyariatkannya pernikahan, dan tidak pula memeliki tujuan
untuk membentuk rumah tangga yang abadi, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Islam mensyariatkan pernikahan untuk berbagai hikmah dan tujuan. Dilihat dari
segi tujuan nikah mutah hanya untuk bersenang-senang saja. Sedangkan kita
melihat aturan yang ada dalam nikah mutah, menjadikan wanita seperti barang
dagangan yang diperjualbelikan kehormatannya. Sehingga pernikahan mut’ah
tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan menurut syariat Islam.
Nikah mutah memiliki mudharat bagi wanita, dibuang tanpa perlindungan
serta jaminan. Mudharat yang lebih besar dapat menimpa anak keturunannya
apabila dalam waktu singkat tersebut sempat membuahkan keturunan. Anak yang
dilahirkan tidak mempunyai perlindungan fisik dan juga psikis. Mereka tidak
memperoleh tempat tinggal dan juga pemeliharaan serta pendidikan dengan layak.
Ini berarti telah terjadi pelanggaran terhadap hak anak.
Nikah mutah memiliki banyak mudharat sehingga harus dihindari dan
dilarang. Oleh karena itu apabila suatu perkawinan justru hanya membawa
kemudaratan bagi yang menjalankannya dan juga keturunannya haruslah
dihindari. Sehingga tujuan yang paling mendasar dalam pernikahan ini tidak
tercapainya, yang ada hanyalah membawa kemudharatan untuk suami isteri, anak
keturunan, bahkan untuk maasyarakat. Oleh karenanya nikah mutah haruslah
ditolak (Mustafa, 2003).

10
SUMBER PUSTAKA

Djuanda, A. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Gonore. Edisi V. Cetakan
III, 2008 dengan perbaikan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Hakim, R. (2000). Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

https://news.detik.com/berita/d-354377/pencabulan-mahasiswi-upi-bermodus-
kawin-mutah-

Mustafa, I. (2003). Perkawinan Mut'ah dalam Perspektif Hadits dan Tinjauan


Masa Kini. Jakarta: Penerbit Lentera.

Qardawi, Y., & Ahmadi, W. (2003). Halal Haram dalam Islam. Solo: Era Inter
Media.

Sabiq, S. (1998). Fiqh Sunnah. Bandung: al Ma'arif.

Shihab, M. Q. (2005). Perempuan, dari Cinta sampai Seks, dari Kawin Mutah
sampai Kawin Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera
Hati.

11

Anda mungkin juga menyukai