meninggal dunia, digerogoti oleh detik-detik dan menit-menit yang selalu berlari saling mengejar. Aku duduk terdiam tanpa punya daya dan hasrat lagi. Invalid. Bagai serdadu yang kehilangan satu kakinya saat perang bergejolak. Bagai onggokan daging yang hanya punya nyawa.
Pikiranku kini menerawang pergi
meninggalkan jasad yang masih bernafas. Pikiran dan hati tak mau berdamai. Mereka baru saja bertarung. Entah siapa yang menang. Yang pasti pikiranku memutuskan untuk berkelana sejenak.
“Aku butuh laki-laki,” tiba-tiba
pikiranku berteriak kencang. “Aku bosan hidup sendiri mendapati tak ada pria di sampingku yang akan menjadi teman setia di sisa usiaku. Aku bosan tak ada bahu yang bersedia menjadi sandaran saat isak tangisku tumpah. Aku ingin ada laki-laki yang bersedia menitipkan benihnya padaku untuk kemudian kami rawat bersama menjadi anak-anak yang sholeh. Aku ingin membentuk keluarga yang penuh warna cinta. Aku ingin....”
Pikiranku tercekat serak dan
kehilangan suaranya. Terlalu lelah ia mengembara dan kemudian pulang untuk mengabarkan apa yang menjadi hasratnya. Tubuhku pun lunglai selelah pikiranku. Adakah dayaku untuk menjadikan hasrat pikiranku menjadi nyata?