Anda di halaman 1dari 9

Bola mata yang retak --- Cuplikan Novel Vicky Rosalina

Dipagi yang masih terpejam, aku membuka mata di depan kaca…


Aku melihat…bola mata yang retak…
Tatapku menerawang…
Perlahan tampak bola dunia yang kian retak
Hancur oleh keegoisan
Bumi pertiwi teteskan air mata
Tangisi tangan-tangan yang melipat angkuh tak lagi terulur…
Sesali tapak-tapak tangan tak lagi terbuka…
Seperti saat Lady Di mengulas senyum di tangannya
Seperti Bunda Teresia menyeka air matanya
Ini bukan masalah siapa?, tapi apa?
Apa sebagai suatu tindakan
Apa sebagai suatu kepedulian
Tuhan tidak merencanakan untuk mematikan hati manusia
Tapi manusia merencanakan untuk mematikan hatinya
Demi apa? Sebuah Apa yang hina, sebuah Apa yang sia-sia!
Eram bumi menahan tangis
Terlalu banyak air mata yang tlah keluar hingga mengering
Terlalu banyak darah yang mengucur hingga mongering
Satu tangan…mungkin akan mengulur tangan-tangan yang lain
Ini hanya sebuah mungkin di pagi hari!
Bagi orang yang egois, serakah, yang bangun paling pagi!
Yang menatap bola mata retak di cermin kamar mandi
ketika langit kembali Ungu
Pintu bergetar, namun aku bahkan tak dapat merasakan getaran
tubuhku sendiri, aku tak dapat menahan takut, bayangan bila tiba-tiba
saja salah satu orang rumah-terutama bunda-terbangun dan
menemukan aku mencoba untuk melarikan diri dari rumah. Minggu
pagi, langit masih berwarna ungu seungu hatiku, aku berjalan melewati
garasi lalu mencoba untuk membuka pagar rumah tanpa
mengeluarkan suara yang dapat membangunkan nenekku yang
sedang tertidur di kamar depan-kamarku-yang rencananya mau
kubersihkan pagi ini. Berhasil! aku sudah selangkah berada diluar
rumah, berjalan dengan menghembuskan nafasku yang pertama diluar
rumah pagi ini, terlalu pagi, tapi tidak! tidak terlalu pagi bagi anak
yang mau lari dari rumah. Aku mulai memuji diriku sendiri sambil
berjalan, ha! Tommy Soeharto pun belum tentu bisa melakukan hal
yang sama seperti ini! galaknya bunda mengalahkan sipir-sipir yang
selama ini menjaga Tommy dengan penuh kasih! Semalaman aku tidak
tidur, aku tidak bisa tidur, gila! Otakku berpikir keras bagaimana
caranya keluar dari rumah dan melanjutkan rencanaku untuk mencari
pekerjaan, setelah dapet duit, aku mau mengganti duit perbaikkan
mobil bunda yang aku tabrakkin semalam. Tadi malam….yah…buruk!
sumpah aku tidak pernah menyangka bunda akan semarah itu, aku
tidak menyangka bunda lebih peduli dengan mobilnya tercinta
ketimbang keselamatan anak tunggalnya yang sedang nganggur-
menanti pengumuman SPMB. Tamparan bunda yang bertubi-tubi tadi
malam sudah tidak terasa lagi bagiku, heh-! dipukulin sih udah biasa!
Dan seperti biasa juga aku menghadapi bunda sendirian, papa hanya
bilang ”udah…udah…” Ketika tamparan bunda mulai berbunyi kencang
seperti bajaj nyusruk ke jurang! kakek mulai turun tangan dan
kemudian terjadilah perang keluarga, mungkin perang terbesar- selain
tawuran- yang pernah aku lihat secara langsung seumur hidupku.
Nggak ada alasan kuat kenapa aku harus-pada akhirnya- memutuskan
untuk pergi, bunda nggak ngusir, tapi aku tau dari kata-katanya itu
seperti mengusir secara halus, atau aku yang terlalu sensitif?lagi PMS
pula! tapi aku berpikir aku sudah dewasa, ini saatnya aku untuk
menunjukkan pada bunda bahwa aku bisa bertanggung jawab atas
kesalahan yang telah aku perbuat. Aku pikir udah bukan saatnya lagi
bagiku untuk diam, menunduk, nangis tiap kali habis melakukan
kesalahan, dengan mendengarkan ocehan bunda tiap detik dirumah
selama berbulan-bulan. Aku berpikir bagaimana caranya untuk
bangkit. Dan bagiku inilah saat yang tepat. And finally…here I am!
dengan duit yang tinggal sepuluh ribu dikantongku, aku masih
menapakkan kaki di kegelapan subuh. Di depan ada pos penjagaan,
ada hansipnya pula! Ah cuek! Ngadepin bunda bisa masa ini nggak
bisa?! “Baru pulang apa baru mau berangkat neng?” akhirnya si hansip
sok tau itu nanya juga. “Baru mau jalan pak, mau kemping, biasa anak
muda! Liburan!” jawabku sekenanya. “oh…pagi bener neng mau
kemping dimana emang?sendirian?”. Ah…rese! Jadi panjang deh
urusannya! tubuhku masih bergetar nih abis kabur. “Ee…ya iya dong
pak pagi! kan mau ke jawa ntar keretanya keburu penuh, pan musim
liburan ini! belom lagi saya harus ngumpul di sekolahan dulu nih, udah
ya pak doain aje biar selamet!”. Ok, enough! kasih alasan yang masuk
akal langsung tinggal! sambil lalu aku tak mendengarkan lagi
celotehnya. Lagian kagak kenal aja sok care! Di hadapanku sebuah
jembatan penyebrangan telah menanti dengan penampilannya yang
bisa dikatakan lumayan seram-kalo dalam keadaan normal-berhubung
aku terlalu gemetaran membayangkan wajah bunda, aku sudah tidak
terpikir lagi omongan orang tentang jembatan itu. Maka akupun mulai
menapaki anak tangganya satu demi satu sambil baca-bacaan dalam
hati. Lumayan ngeri juga sih, apalagi pohon disampingku ini saking
gede bayangannya jadi bikin penglihatanku gelap. Ok, berhasil! Aku
berjalan melintasi jembatan memandang kebawah, rupanya jalan tol
tidak pernah terlelap, buktinya pagi-pagi buta begini orang udah
seliweran di tol Bekasi-Jakarta. Aku berpikir apa yang direncanakan
orang-orang itu sepagi ini?jalan-jalan?kemping-seperti karanganku ke
hansip tadi-?ataukah ada yang bernasib sama sepertiku?lari dari
kemarahan bunda?adakah bunda-bunda yang lain yang seperti bunda
milikku satu-satunya itu?TIDAK!hah! tuhan menciptakan bunda seperti
itu hanya untuk aku. Kenapa?entahlah, udah ah! ngapain lagi mikirin
gituan! sekarang problem terbesarku adalah mau kemana sepagi ini?
kerumah Dinda?ya, mungkin. Tadi malam Dinda menawarkan diri untuk
menerimaku dirumahnya kalau-kalau bunda benar-benar mengusirku.
“Ya udah pi…loe mau kemana lagi?ini hari udah malem, mau kabur
kemana juga nyokap lo bakal ngeliat tuh ringsek khan?ya terima aja
lah…pasti diomelin sih, tapi nyokap lo masa gak ngerti sih orang
namanya baru bisa nyetir. Gini aja, kalo lo kenapa-kenapa ntar lo
langsung cabut aja kerumah gue, malem ini gue nggak tidur deh!”
nasehatnya masuk akal juga, tapi kalau dia lagi menghadapi bundanya
orang lain, bukan bundaku tercinta. Pada kenyataannya memang
bunda mengerti soal aku yang baru bisa nyetir, tapi soal aku menyetir
dalam keadaan mabuk?ntar dulu deh. Setan! Oh Tuhan!kemana aku
sekarang?kenapa aku semalam dirumah Ciky mau aja sih diajak
minum?perpisahan kelas sih-perpisahan kelas tapi mestinya aku tidak
bertindak setolol itu! Goblok dasar! Eh ntar dulu, kenapa aku mesti
kerumah Dinda? bukannya dia yang mengajakku minum semalam?
Brengsek! pake sok berbaik hati lagi, aku disuruh kerumahnya segala!
Tapi…kenapa aku jadi menyalahkannya? Seharusnya aku dong yang
punya kendali atas diriku sendiri! Jadi? Aku yang goblok nih Pi? Aduh
otakku mulai gak beres nih! Ok,pelan…pelan…! Santai…tarik napas…
fiuuhhh! Ok, inget-inget, dideket sini ada rumah…Uwa,nggak makasih!
apa gunanya aku kabur?! trus rumah…Titiw? nggak ah bonyoknya
rese! trus rumah nya Dinda…?asik sih..tapi adiknya banyak banget,
belom lagi nyokapnya rese, terus…Rista? Mmmmhh…boleh deh! Trus
ntar siang aku mulai cari kerja di ruko-ruko depan kompleks, kebetulan
bunda paling males jalan-jalan ke daerah ruko,’isinya cuman
Outlet,rental VCD, ama salon doang! bunda males ah!’kata bunda
sewaktu aku mengajaknya jalan-jalan sore, maklumlah bunda lebih
senag kalo acara JJS-nya sambil liat-liat toko kue. Siip, keputusan udah
aku ambil, sekarang aku mulai berjalan lagi masih diatas jembatan.
Aduh tinggi juga ya nih jembatan? Kenapa aku nggak langsung nyebur
aja kebawah loncatin pager kawat? Ah, gila apa? Pipi boleh goblok
dengan minum-minum semalam, dan nggak usah menambah
kegoblokan dengan mengakhiri hidup yang kadang bisa dibawa fun ini.
Kemudian ditengah kesunyian jalan yang aku lewati, terdengar jelas
adzan Subuh, sholat? Ok, why not?! Sekalian minta ampun atas
kegoblokan semalam, and minta bantuan buat survival. Akupun mulai
berjalan kearah mesjid gede didaerah situ. Tapi kalo nanti di mesjid
ada yang kenal gimana? Ah cuek! bukannya kemajuan bagus kalo
seorang pipi mau bangun pagi trus sholat di mesjid? Iya sih…tapi kan
masalahnya ini bukan daerahku lagi, dulu aku sempat tinggal di blok
ini selama dua tahun, sebelum akhirnya bunda, papa dan aku
memutuskan untuk pindah ke blok depan. Pasti nanti aku bertemu
dengan tetanggaku yang dulu, lalu mereka akan bertanya kenapa aku
bawa gembolan segede monyet, dan yang aneh, didekat rumahku
yang sekarang ada banyak banget mesjid, kenapa pake nyebrang
segala untuk sholat disini? Alaah…cuek! Namanya orang mau tobat
emang harus ijin orang sekomplek dulu? Maka aku pun terus berjalan
kearah mesjid. Sesampainya disana, sepi. Bagus! itu tandanya nggak
ada yang melihat kehadiranku. Tapi…aduh! Apa-apaan nih?kok tiba-
tiba mules? Ah tenang…rupanya dari tadi saking tegangnya aku tidak
menyadari panggilan alam. Kamar mandi kosong, so aku bisa
sepuasnya make. Aku buang air, cuci muka, lalu wudhu. Ketika
memasuki mesjid, bapak-bapak yang sudah mau mulai sholat sempat
mengangkat alis, tapi nggak ada tuh pertanyaan-partanyaan konyol
yang aku takutkan. Selesai sholat masih pukul 05.15 WIB aku lihat jam
di dinding. Masih kepagian untuk gedor-gedor pintu rumah orang. Jadi
aku memutuskan untuk istirahat sebentar di mesjid, tadi jalan lumayan
jauh juga, gila! Sakin ngerinya ampe nggak kerasa. Rumah Rista deket
kok, paling 5-10 menit-an. Aku termenung…pita rekaman kejadian
semalam berputar lagi…bunda pergi keondangan sama papa, aku
pinjem mobil bilang mau ke perpisahan kelas di rumah Ciky ama
Dinda, yang kebetulan ada dirumahku. Nenek sempat melarangku
untuk pergi, biasa-lah kasih nenek tiada tara!tapi aku berhasil
meyakinkan nenek kalau aku tidak berniat bermalam seperti
seharusnya, selanjutnya…Caow deh! bersama si busuk -Oops-Dinda
and mobil kesayangan bunda. Niat banget kerumah Ciky sih nggak,
tapi aku pengen banget ngeliat muka Daffy untuk yang terakhir
kalinya-maybe-sebelum akhirnya kita semua pencar kuliah dimana-
mana. Selama perjalanan ke rumah Ciky ada satu hal yang emang
udah mengganggu konsentrasiku nyetir, dinda bilang punya rahasia
tentang Daffy. Aku penasaran setengah mampus. Aku tau mereka
berdua deket, aku hanya berpikir kedekatan mereka hanya kedekatan
antara seorang cowok yang baru dua bulan ini aku sayang -walau
nggak banget-, dan seorang sahabatku yang juga deket banget ama
tuh cowok. And you know what? Ketika Dinda mulai bercerita,”Pi, lo
inget waktu ultah lo tgl 1 bln kemaren?waktu lo ngerayain kecil-kecilan
dirumah Daffy?” ya aku inget, tentu sajah!”Iya kenapa?”, “Lo inget gak
sih waktu lo ninggalin kita berdua di ruang tengah sementara lo asik-
asikan baca di perpusnya?”. Eits, kayaknua mulai ada yang nggak
bener nih, santai dulu pi,”Iya, kenapa?”,”aduh pi…tau nggak sih dia
tuh coba mau nge-kiss gue! rese banget gak seh?sumpah pi gue takut
banget! trus pas ada lo juga, dia tuh ngeraba-raba punggung gue tau
gak?semenjak itu gue nggak tau mau gimana, mau cerita ke siapa…
gue…”,”Hah! sumpah lo Din?lo kenapa nggak langsung bilang ke gue
Din?ya ampun Din sumpah gue nggak pernah kepikiran dia bakal gituin
lo, tapi kenapa?kenapa elo Din?dia kan tau lo deket banget ama
gue”,”itu juga yang gue nggak ngerti pi, tapi yang jelas, waktu gue
cerita ke dia kalo gue pengen banget ngerasain ciuman sama Rama,
dia tuh cuman bilang ’ya udah lo bilang aja ke cowok lo itu’ tapi trus
gue bilang nggak mau karena gue malu dan tiba-tiba dia nawarin diri
’ya udah kalo emang nggak berani, mau ama gue aja?’and selanjutnya
ya yg gue ceritain tadi”. Dan aku langsung pusing, speechless abis,
and mikir! Bangsat banget tuh cowok! Gila…selama ini ngomong ke
aku tuh kayak orang butuh sembako aja. Selanjutnya, aku mulai nggak
beres, aku sempet ngeliat dia pas lagi dirumah Ciky, tapi aku melengos
aja, pura-pura bego. And Honestly nih, aku sakit ati juga! Mungkin itu
yang bikin aku rada goblok pas diajakin minum. Asep rokok…minum…
musik…shit! aku bener-bener gak sadar, dan kenyataannya Daffy
nggak negor, dia malah sibuk telepon sana-sini. Mungkin ceweknya
sejuta kali! Sama kayak gayanya! And it truly made me feel hurts more
than before…and finally I decided to went home early. Biasanya aku
tahan semalam suntuk, menikmati malam bersama musik, bukan
minuman. Tapi semalem, yang aku lakuin Cuma duduk, minum sambil
ngerokok, turun sebentar, minum lagi, lagi, lagi,lagi…pulang and…
BOOM! kecelakaan itupun terjadi. And now…aku masih berpikir, tidak,
aku bukan berpikir, aku kecewa, yah amat…walau tidak sangat. Ok, I
must stop to think about last night, it’s over anyway…toh sampe abis
kecelakaan itupun Dinda masih mencoba untuk menghubungi Daffy
minta pertolongan, karena tadi malem kita berdua bingung banget
mau bawa tuh mobil kemana, and you know what? With cute and nice
he only said,’ya bawa aja ke bengkel , panggil petugas tol biar di
derek, sory gue nggak bisa nyusul, gue ada acara besok, so gak bisa
pulang pagi, urusan begituan khan gak bisa sebentar! ok?bye..’. and
finally I know who is he ezaxtly! Aku cukup terlalu tau! Mulai semalam
aku menutup buku bahwa cowok yang kukenal selama beberapa tahun
ini, yang sempat kukagumi-mungkin masih-hanya ada dalam
kehidupanku yang dulu, tidak yang sekarang. Aku merasakan kepalaku
masih rada pening, aku mulai berpikir lagi…kerja apa ya? Tunggu!
Rere, salah satu teman baikku dari SD pernah menawari aku pekerjaan
untuk selama liburan di Pizza Hut, masih ada nggak ya? Kalau begitu
kenapa aku nggak kerumahnya aja? Iya tuh boleh juga! Kan nyokapnya
single parents. Jadi nggak terlalu ribet donk? bilang aja aku sendirian
dirumah, bunda nganter kakek dan nenek pulang ke Bandung. Siip…
tinggal nunggu siangan dikit, trus cabut deh! Langit mulai berwarna
biru…makhluk pagi mulai mengeluarkan bentuknya. Burung-burung,
entah burung apa dan burung siapa, terdengar mulai bergosip ria atau
mungkin bernyanyi, entahlah kita tak akan pernah tau apa yang ada di
dalam diri seseoarang yang sebenarnya, termasuk Daffy. Aku berjalan
lagi, sekarang kearah keluar kompleks. Aku berniat untuk naik koasi
yang lewat didekat sini aja, berhubung duit tinggal 10.000! aku
menunggu koasi yang lewat di depan sebuah pos, mungkin sudah
nggak kepake, abis debunya kayak bedak MARKS. Lima menit berlalu…
sepuluh menit…sambil otakku yang tidak berhenti berpikir…tentang
nanti..esok..dan tentunya semalam! Tadi malam ketika aku masuk
kamar aku mendengar perang itu, kakek mengusulkan supaya aku
dimasukkan ke kuliah yang ikatan dinas, tapi bunda bilang sudah
terlambat, karena aku nggak mau ikut tes STAN kemarin siang. Males!
pikirku, kalo punya otak lumayan sih nggak apa-apa. Bunda dan kakek
saling menyalahkan atas perbuatanku, belum lagi nenekku yang kena
semprot juga sama bunda. Tuhan..apa hukuman untuk anak yang
durhaka? Lalu apa hukuman untuk anak yang durhaka atas contohan
orang tuanya sendiri? Aku tidak abis pikir, setiap hari bunda selalu
menyuruh aku sholat, dan memang bunda rajin sholat dan ngaji, tapi
kenapa kok bisa-bisanya bunda tega memaki nenek didepanku, dan itu
sering terjadi bukan hanya tadi malam. Ironisnya, kadang cuma
masalah sepele aja yang diributin sama bunda, tapi sampe keluarin
kata-kata kasar ke nenek. Mungkin itu yang membuat nenek begitu
perhatian ke aku dibanding ke cucu-cucu yang lain, katanya aku yang
paling pendiam tidak seperti bunda. Yah memang, untuk urusan itu aku
boleh berbesar hati, karena aku dididik keras oleh bunda, walau aku
anak tunggal, nggak ada tuh acara manja-manjaan segala, aku
terbiasa dengan membisu, menerima semua omongan bunda,
eventhough it’s realy hurts me! Much! Oh…sepuluh menit yang
panjang…aku merasakan mukaku mulai panas, aku menunduk,
dicelanaku ada tetesan air mata. Aku menangis, padahal pas ditampar
sama bunda tadi malam aku tidak bergeming sedikitpun, nangis
nggak, jatuh nggak, pokoknya strong enough deh! Tapi saat ini aku
benar-benar sedih. Aku memikirkan bagaimana nenek ketika
mendapati aku sudah tidak ada di sebelahnya. Tapi nenek tau kok
waktu aku beresin baju, dan ketika aku menulis surat untuk bunda. Ya,
aku bilang sama bunda kalau aku ingin menunjukkan rasa tanggung
jawabku ke bunda, dan bahwa aku akan pulang, bahwa bagaimanapun
rumahku disini, dan air ini jadi tak ingin untuk berhenti. Ah udah dong
pi! Kok jadi cengeng gini sih? Mana lagi nih koasi? Pukul 06.17, busyet!
Lama banget sih? Gimana nih? Apa naek ojek?aduh jangan boros deh
pi! Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sambil menunggu koasi,
aku melewati pangkalan ojek yang terdiri dari para tukang ojek yang
salah satunya dari tadi memperhatikanku. “Neng, nunggu koasi yak?
hari Minggu mah rada siangan neng! Mending naek ojek aja udah,
lebih cepet”. Aku berusaha untuk tidak menggubrisnya, pasaran turun
bo! Tapi, pantesan aja dari tadi tuh koasi tercinta kagak nongol-nongol.
Eh, masa iya mentang-mentang hari Minggu jadi rada siang?emang
orang cari duit ngaruh hari apa?kerja dikantoran sih masuk akal aja
deh. But anyway, aku nggak bisa berlama-lama disini, ntar keburu
siang, nyampe dirumah Rere jam brapa?lagian kalo ada bekas
tetanggaku yang dulu lewat, trus nanyain gimana?Think fast Pi..think
fast! Gini aja deh, mendingan ngitung duit aja dulu. Kalo naek ojek dari
sini ke pangkalan Mikrolet kira-kira berapa ya? Tiga rebu ampe empat
rebuan kali. Terus naek Mikrolet ampe halte ke arah rumah si Rere kira-
kira seribu lima ratus, itu aja udah lima rebu lima ratus. Terus naek
Metro Mini ampe rumah Rere berapa ya? Aduh..Bu Mega kapan dong
perubahan akan terjadi?apakah sebuah Revolusi harus dibayar mahal
seperti ini? Ampe mau kabur aja butuh duit gede?ah Pi stop talking
about politics! Mau kabur aja dari tadi kagak kelar-kelar. Ya udah,
nggak usah naek MM deh, jalan aja, but dari tadi udah jalan jauh kan?
Alah…namanya juga orang kabur! pegel-pegel dikit nggak apa-apa
deh. Ntar gampang lah, motong jalan. Lagian belom buat nelepon di
Wartel. Pokoknya kira-kira abis enam rebuan aja sih ada kali. Ok deh,
naek ojek! Aku langsung memanggil ojek yang dari tadi masih
memperhatikanku. Hah! Jangan-jangan dia kenal lagi? Ah cuek! bilang
aja abis nginep dirumah Uwa terus sekarang mau ke Bandung, lagian
sekarang udah nggak pagi-pagi amat kok. “Bang! Ojek!” teriakku.
Hanya dalam hitungan detik ojek meluncur dengan indahnya dan
berhenti tepat dihadapanku. Nah ojek begini nih yang keren! Cepet,
praktis, nggak pake lemot, efisien, pokoknya oke punya dah!
”pangkalan Mikrolet bang!” pintaku sambil naik ke motor. “mau
kemana neng?” akhirnya pertanyaan rese itu keluar juga.”lah,tadi kan
udah dibilang mau ke pangkalan Mikrolet”, “iyak, mau kemana
tujuannya ini hari jalan pagi-pagi, kagak ama mamanya tumben”
oh..shit! betul kan?dia mengenalku.”mau ke Bandung bang
Mamat,mau nyusul bunda” tiba-tiba aku ingat namanya, mungkin itu
namanya. Jalanan tidak sesepi yang aku kira, mungkin karena hari
Minggu orang banyak yang udah keluar pagi-pagi, mungkin ada juga
yang mau ibadah. Entahlah, terlalu banyak alasan untuk keluar pagi di
hari Minggu selain alasan yang aku punya. Sesampainya di pangkalan,
orang juga udah lumayan banyak. Aku mengeluarkan uang limaribu
dan menyodorkannya ke bang Mamat. Syukurlah kembaliannya dua
ribu, berarti perhitunganku nggak jauh beda. Aku langsung naik ke
Mikrolet dan duduk di pojok. Tasku yang lumayan menggembung aku
taruh dibawah dan kuapit dengan kakiku. Satu demi satu penumpang
mulai naik, ada seorang ibu yang pucat wajahnya, dengan pakaian
seadanya duduk dihadapanku. Matanya kosong,menerawang jauh…
entah kemana. Dan kupikir sama dengan milikku. Mobil penuh, lalu
berangkat. Pemandangan yang dilewati sudah tidak asing bagiku, tiap
hari aku melewatinya. Aku ingat ketika mau mengantar bunda ke
Jatinegara, lalu macet di jalan ini. Bunda dan aku membicarakan
tentang benyak hal, tentang masa lalu bunda, tentang kisah-kisahnya,
dan aku biasa bercerita tentang teman-teman sekolahku, tentang
Dhani, tentang Romy, tentang Darwis, tentang Syanhi, dan sedikit
tentang…Daffy. Cowok terakhir yang menyentakku dari buaian asap
cinta. ***** with love! Hatiku sudah mati! yah…aku banyak bercerita
tentang apa saja ke bunda. Pada kenyataannya, memang hanya dia
tempat aku bisa bercerita selama24jam. Kadang bunda bisa begitu
mengerti aku. Bunda tidak pernah sama sekali seperti ibu-ibu temanku
yang suka melarang pacaran. Bunda malah senang ketika para jejaka
yang aku sebut tadi main ke rumah. Seperti ketika Darwis sering
mengantarku pulang. Bunda malah sering mempertanyakan kenapa
aku tidak seperti remaja laen yang suka berpacaran. Karena pada
kenyataannya, sampai sekarang pun aku belum pernah pacaran. Aku
lebih menghargai hubungan pertemanan dengan sistem simbiosis
mutualisme. Karena aku muak dengan kedok-kedok yang
mengatasnamakan cinta, padahal tujuan utamanya cuman satu, nafsu!
Hah! Kalo begituan doang yang dicari sih ngapain susah-susah
pacaran! Mending pergi ke jalan, take and give and…goodbye…!
Nggak ada yang sakit ati, karena nggak ada yang merasa dirugikan,
nggak usah ada acara potong kue segala, 1 bulan , 2bulan alaah…
boros! Belom tentu kawin nangisnya udah berminggu-minggu. Bagiku
menjalin suatu hubungan itu perlu, untuk kita belajar, belajar
memahami orang, memahami diri sendiri, and memahami hidup.
Hidup ini untuk apa sih? Oh Tuhan! Seharusnya hidup ini hanya
untukMu, tapi apa boleh dikata?tidak semudah itu…walau tidak sesulit
itu! Aku banyak mengerti hidup dari orang-orang yang datang dan
pergi dalam hidupku. Dulu aku menganggapnya sebagai suatu
penghinaan, pengkhianatan, tapi sekarang aku lebih suka
menganggapnya sebagai sebuah pelajaran. Dan…aku banyak
mengambil pelajaran itu juga dari pengalaman-pengalaman bunda.
Bahwa dari seratus buah hubungan, 80% wanita-lah yang lebih
dirugikan. Dan kalau sudah mengingat hal ini aku setuju dengan
pemikiran Daffy yang seorang feminis. Ya, aku akui, dia pintar. Seakan
membaca berpuluh rak buku kalau sedang bersamanya. Tapi,
usahanya untuk meyakinkan aku bahwa ia berbeda dengan cowok-
cowok yang udah aku kenal, tadi malam gagal. Sama aja kok! tapi aku
tetap belum mengeluarkan doktrin kalau semua cowok sama aja. Aku
berpendapat, dari seratus orang berarti ada seratus karakter yang
berbeda, walau tetap ada beberapa kecenderungan yang sama. Tapi,
itulah manusia, kita tidak bisa berharap banyak dari seorang manusia.
Hah!? Apa yang aku katakan tadi? Kita tidak bisa berharap banyak dari
manusia, lalu apa yang bisa aku harapkan dari bunda? Untuk mencoba
lebih mengerti aku? Mungkin kekurangannya, dia tidak pernah bisa
untuk mencoba mengerti orang selain dari pada apa yang bisa dia
mengerti. Halte yang aku tuju sebentar lagi, aku mengeluarkan uang
dari kantongku, dan aku melihat sekilas ibu yang duduk didepanku itu
pun mengeluarkan uang, oh mungkin kita bertujuan sama.
Sesampainya disana aku turun. Aku duduk sebentar di halte, untuk
membereskan tasku yang mulai acak-acakan isinya. Ternyata si ibu itu
juga duduk disampingku, oh rupanya dia kecapekan juga. Ada sebuah
Wartel diseberang halte, baru buka kayaknya. Aku berpikir untuk
menelepon Rere dulu, sebelum aku berikan dia kejutan besar-besaran.
“Halo, selamat pagi! bisa bicara dengan Rere?”tanyaku.”Bentar!”
busyet! Rere pembokatnya galak amat. “halo?” suara Rere terdengar
serak, pasti baru bangun.”Re, ini gue Pipi, gue mau kerumah lo
sekarang boleh nggak?”,”mau ngapain Pi?gue baru mau ke rumah lo
ntar siang, lo tunggu gue ya Pi! gue mau nginep”,”ha!? Aduh Re, gue
ini mau nginep, ntar gue jelasin deh dirumah lo, emang rumah lo
kosong?udah ntar juga ada gue kok. Lo tunggu gue aja deh,
ok?”,”nggak bisa Pi, gue ribut ama nyokap, Pi sumpah gue nggak tau
mesti gimana, gue pengen curhat kesiapa gue nggak tau lagi Pi
gimana dong? Nyokap tuh dari semalem maki-maki temen-temen gue
di telepon tau nggak sih? Cuman gara-gara gue ngilangin Hp-nya
doang Pi”. Oh shit! Cuman?! Sama donk! Aku juga ‘cuman’ nabrakkin
mobil nyokap! Ah Rere, bikin tambah pusing aja sih. “ya udah deh Re,
gue nggak jadi kesana and kayaknya lo nggak bisa kerumah gue juga,
karena gue bernasib sama ama lo, sorry ya Re! Thanks anyway!”
sebelum pulsa berjalan lebih jauh telepon langsung aku tutup, aku
tidak tau lagi bagaimana penilaian Rere terhadapku, seorang sobat
lama yang berkhianat? masalahnya aku juga sedang dalam masalah.
Seperti aku bilang, kita tidak bisa berharap banyak dari manusia. Aku
kembali ke halte, ternyata si ibu itu masih ada. Aku termenung, sambil
menyaksikan mobil-mobil yang lewat. Mau kemana lagi sekarang?
dengan duit tinggal lima ribu-an. Si Rere kenapa pake ribut segala sih?
Jangan-jangan yang tadi ngangkat telepon nyokapnya lagi? Ah…
puyeng! Aku melirik, si ibu itu masih termenung, matanya masih
kosong, menatap lurus kedepan diluar batas cakrawala. Dan ia
meneteskan air mata. Oh Tuhan..kenapa begitu banyak air mata pagi
ini? Aku, Rere, sekarang si ibu ini. Tiba-tiba saja aku ingin tau, aku
berdehem sedikit, apa yang ditangiskan seorang ibu di halte yang sepi
pagi-pagi selain kabur dari rumah? “Ehm, ibu menangisi kepergian
siapa?”aku beranikan diri untuk bertanya. Diam…ya udah, mungkin
terlalu privacy, terlalu dalem,atau mungkin dia rada ‘miring’ kali. Aku
menguap, oh pagi yang melelahkan. Aku jadi terpikir, semua yang
telah aku lakukan dalam beberapa jam kebelakang tadi hanya didasari
oleh kecewa, kecewa yang mendalam! Daffy…Dinda…bunda…tiba-tiba
aku merasa membenci semuanya, semua yang selama ini aku pikir
dapat aku sentuh, aku jamah, saat jiwa ini sepi. Tapi untuk apa? Buang-
buang waktu membenci orang! “saya menangisi kepergian saya”,
suara parau si ibu tadi membangkitkan anganku, wah bisa buka mulut
juga si ibu ini, padahal aku rada ngantuk, tapi kan aku yang tadi nanya
duluan. “kepergian ibu? Kalau ibu udah memutuskan untuk pergi,
kenapa harus ditangisi? Lagian…kenapa ibu memutuskan untuk pergi,
kalau ibu sendiri belum merasa yakin?”wah jadi curhat nih bentar lagi.
“Bukan saya yang memutuskan untuk pergi, tapi suami saya, dia
merasa saya mengganggu rumah tangganya dengan istri mudanya.
Saya..saya tulus menyayanginya dari dulu, saya sudah bahagia hanya
dengan mengurus anak dan suami di rumah, saya tidak pernah
menuntut apa-apa, sampai akhirnya dia bilang mau kawin lagi, saya
hanya bisa menangis, dan semalam dia mengusir saya, hanya karena
istrinya merasa saya judesin” oh..shit! satu lagi pemikiran Daffy yang
terbukti. Aku diam sebentar, membiarkan bebannya meluap dengan
tangisnya. “terkadang kita memang harus menerima kenyataan pahit.
Kalau layangan kesayangan kita putus terbawa angin dan entah
tersangkut dimana,kita merasa hancur, lalu tiba-tiba ada angin
berhembus yang membawa layangan kembali kepelukan kita, apa kita
harus menolaknya? Saya rasa sulit, lalu…kenapa tidak mencoba
mengalihkan ketulusan yang ibu punya sekarang? Untuk anak
misalnya, apa tidak terpikir oleh ibu bagaimana rasanya menjadi anak
yang hidup bersama ibu tiri? Dan saat kita menyadari bahwa layangan
itu masih tetap milik kita, saya rasa tidak masalah apa yang sudah
terjadi dulu, karena yang terpenting adalah bagaimana seseorang
dapat menghayati eksistensi dirinya lewat orang lain yang
membutuhkannnya, tanpa orang lain itu harus kita cintai lebih dulu,
karena cinta akan tiba manakala jembatan kasih tlah terbentang
dihadapannya”. Dia kembali terdiam…lama. Lalu mengangguk dan
berkata,”saya harus pulang? Dengan melanjutkan tugas saya sebagai
ibu? Bukan sebagai istri? Karena tugas saya sudah jatuh ke tangan
orang lain? Bagaimana bisa dengan perasaan yang sudah hancur
seperti ini?”,”ya…saya pikir kalau ibu melakukannya dengan ikhlas,
akan lebih mudah bagi ibu untuk memaafkan. Dengan begitu akan
lebih mudah juga bagi ibu untuk menyatukan kembali hati yang
hancur…lagian…maaf, kenapa bisa segitu besarnya cinta ibu terhadap
suami, tapi anak…kok malah…”,”saya tidak pernah bisa punya anak!
Anak yang sudah kami besarkan selama ini adalah anak pungut. Itulah
sebabnya saya tidak mengerti bagaimana membagi kasih ini, cinta
ini.”,”oh, maaf. Tapi menurut saya, yang seperti saya bilang tadi,
bagaimana seseorang dapat menghayati eksistensinya lewat orang
lain yang membutuhkannya”. Lama kita berdua terdiam, entah apa
yang dia pikirkan. Tiba-tiba aku berpikir tentang bunda, nenek, kakek,
papa, dan yang terpenting sebuah rumah, sebuah keluarga. Aku ingin
sebuah keluarga yang dapat menerimaku sebagai pribadi. Yang
membutuhkanku, agar aku dapat menemukan eksistensi diriku. Aku
ingin pulang. Oh tidak! Ini hanya sindrom anak minggat! Relax
pipi..relax! nanti juga tenang. Santai aja dulu. Pokoknya aku nggak
boleh mundur disini, gila kali! Udah keluar rumah aja deg-degannya
kaya apaan tau. Masa udah sampe sini, mau mundur gitu aja sih?
Cuman gara-gara ngobrol ama ibu-ibu yang lagi Broken Home. Makin
siang halte semakin ramai, mungkin karena banyak orang si ibu itu
diam aja. Ada tukang gorengan, baru dateng, kayaknya sih mangkal
nih. Aduh…laper berat nih bo! Eits, Pi inget dong! Dana nih dana! Eh, si
ibu itu beli, aduh sayang nggak kenal, nggak bisa minta deh. Lalu dia
memesan minuman di warung rokok di sudut halta. Busyet! Ini ibu kok
malah jadi piknik? Udah nggak bingung kali ye? Nggak lama kemudian
dia menghampiriku, “mau de? Ambil aja! Saya juga laper!”. Otomatis
jadi mokal abis, tau aja dia kalau aku laper. Tanpa malu-malu aku
mencomot ba’wan pake cabe, kita makan sambil cerita-cerita. Dia
bercerita tentang keluarganya. Acara piknik pun semakin meriah
karana ternyata dia memesan dua teh botol, wah makin seru deh
obrolannya. Akhirnya aku pun bercerita tentang diriku, bagaimana aku
bisa sampai disini, tentang bunda, mobilnya, semuanya. Aku tidak
menyangka ternyata dibalik kesenduan wajahnya ternyata dia enak
diajak ngobrol. Tiba-tiba aku merasa seperti sedang ngobrol bersama
bunda. Tapi pikiranku itu cepat-cepat aku tepis sebelum aku
meneteskan air mata untuk yang kesekian kalinya hari ini. Menjelang
Dzuhur, kita berdua mencari mesjid terdekat, lalu sholat dan
melanjutkan obrolan di teras mesjid, kali ini sambil ditemani dengan
ketoprak yang kebetulan tukangnya juga sholat disitu. Tak terasa hari
semakin sore, dan aku lupa dengan tujuan awalku. Aku jadi ingat kalau
aku membutuhkan pekerjaan. Lalu aku bertanya padanya, dan dia
malah menjawab,”udah sore, sebaiknya saya pulang, seperti saran
kamu tadi. Terima kasih ya nak! Ternyata usia seseorang kadang tidak
menunjukkan kedewasaannya” aku melihat kesejukan di wajahnya, aku
berharap dia udah nggak bingung lagi. Tapi lain hal denganku, makin
bingung aja, aduh gimana bilangnya nih kalau aku mau numpang tidur
dirumahnya aja? Kerjaan biar aku cari besok. “iya, tapi tadinya saya
mau…”,”kamu juga pulang, harus pulang! Bunda juga membutuhkan
kamu seperti anak saya yang kamu bilang membutuhkan saya.” Aku
terkejut dengan kata-katanya.”nggak bu, bunda nggak membutuhkan
saya, saya Cuma biang kerok dirumah, pembuat masalah, trouble
maker banget deh!”. “pipi, saya berbicara dari sudut pandang seorang
ibu. Karena pada kenyataannya, saya terlalu takut untuk tau bahwa
anak saya tidak membutuhkan saya lagi, seperti suami saya. Dan dari
kamu saya jadi sadar, kalau dia membutuhkan saya. Dan sekarang,
saya berharap dari saya kamu sadar, se-galak-galaknya bunda, dia
tetap membutuhkan kamu, yaah…paling tidak kan ada nenek yang
selalu membutuhkan kamu. Jadi, pulanglah! Kita sama-sama takut
untuk ditolak, tapi kita juga sama-sama memiliki kasih yang besar
untuk membuat diri ini menjadi berani. Ok?” Untuk kali ini aku benar-
benar tidak dapat menahan tangis, aku menangis, menunduk, dan ia
memelukku. Oh bunda…Pi sayang bunda! Walau Pi nggak pernah
bilang Pi pengen bunda tau itu. Pi sayang bunda, papa, nenek, Kakek,
semua…Pi sayang semua..Pi butuh kalian semua!! Tuhan…langitMu
mulai memerah…di senja ini…sampaikan kasihku pada bunda Tuhan!
Katakan aku merindukannya, aku memohon maaf padanya, aku
menyayanginya, aku akan pulang nanti malam…ketika langit kembali
ungu. Ketika hati ini hancur, mengeras, dan menyatu kembali,
kemudian melunak seperti agar-agar. Aku pergi membawa kecewa
yang mendalam, dan gengsi yang terlampau tinggi untuk mengakui
bahwa aku membutuhkan kasih, aku membutuhkan mereka, kalian
semua! Tapi entahlah…aku mulai melunak, dan aku memutuskan untuk
pulang dengan membawa segenap harap, dengan masih menyimpan
kecewa yang tidak mudah untuk pergi, walau aku tau…itu pasti! Ia
pasti pergi.

Anda mungkin juga menyukai