Anda di halaman 1dari 2

Kereta, Genta dan Cinta

Oleh: Gede Prama

Kalau boleh ditukarkan, banyak orang yang mau menukarkan seluruh air matanya
dengan gelak tawa. Bisa dimaklumi, karena gelak tawa itu menyenangkan, dan air
mata itu menyedihkan. Kemewahan anak kecil seperti inilah yang sempat muncul
dalam pikiran, ketika harus melepas Ibu tercinta yang dijemput oleh sang kematian
di tanggal 7 Juli 2001. Ada sejumlah hal yang telah dicita-citakan sejak dulu, namun
tidak bisa dilakukan hanya karena kematian menjemput Ibu lebih dulu dari perkiraan
kami sekeluarga.

Haru, kejut, sedih bercampur jadi satu, ketika seorang kakak menelepon dan
mengabarkan bahwa Ibu tercinta telah tiada. Masih jelas dalam ingatan, bagaimana
Ibu melindungi anak bungsunya dalam banyak kesempatan sambil menangis. Belum
hilang dari kenangan, bagaimana saya sebagai anak bungsu disusui Ibu sampai kelas
satu sekolah dasar. Setiap kali pulang sekolah, saya cari kursi agar Ibu mau duduk.
Kemudian, duduk mewahlah saya dalam pangkuan Ibu sambil meminum susu
terenak, tersehat dan terbaik di dunia. Hanya kurang dari sebulan sebelum beliau
pergi ke tempat yang amat jauh, saya masih sempat memapahnya mendaki
rangkaian banyak tangga di sebuah tempat sembahyang. Ketika seorang sahabat
dekat bertanya, kenapa mesti saya yang memapahnya, dengan spontan saya
menjawab : 'sedang membuat kenangan indah bersama orang yang amat saya
cintai'. Dan Ibu yang berada di sebelah saya, hanya bisa tersenyum kecil.

Masih ada segunung kenangan yang disisakan Ibu buat saya, yang tentu saja terlalu
panjang untuk diceritakan di sini. Yang jelas, dari demikian banyak duka kematian
yang pernah saya alami, kematian Ibu termasuk salah satu kehilangan berat dalam
hidup. Ia tidak hanya memproduksi sekumpulan air mata, gunungan duka, rencana-
rencana cinta yang tidak bisa dilaksanakan, tetapi juga hutang-hutang cinta yang
belum tentu bisa dibayar.

Sebagaimana manusia lainnya, tidak ada orang yang bisa membayar hutangnya
secara lunas kepada orang tuanya - apa lagi Ibu. Sudah menjadi kodrat hidup setiap
orang, kalau kita harus berhutang pada orang tua. Namun, hutang itu menjadi lebih
besar lagi, kalau kita hidup dalam kuantitas dan kualitas cinta orang tua yang di atas
rata-rata. Dan latar belakang inilah yang membuat saya demikian kehilangan pada
wafatnya Ibu.

Entah dari mana datangnya inspirasi, ketika keluarga meminta saya memberi
sambutan sebelum liang lahat ditutup, tiba-tiba saja saya teringat serangkaian kata-
kata - maafkan saya lupa dari mana kata-kata indah ini pernah saya baca - yang
amat menyentuh hati.

Kereta bukanlah kereta, sebelum ia dijalankan Nyanyian bukanlah nyanyian, sebelum


ia dinyanyikan Genta bukanlah genta, sebelum ia dibunyikan Dan, Cinta bukanlah
cinta, sebelum ia dilaksanakan.

Dan yang membuat hutang saya pada Ibu demikian menumpuk dan menggunung,
karena ia mewariskan sebuah kekayaan hidup yang paling berguna : cinta yang
sudah dilaksanakan. Betapapun kuatnya emosi ini, air mata siapapun akan jatuh
kalau ditinggalkan seorang Ibu yang melaksanakan cintanya secara amat
mengagumkan.

Ini semua seperti mau bertutur ringkas dan jelas ke saya, bukan kereta, bukan genta
yang membuat orang itu dikenang lama. Melainkan perangkat-perangkat sikap yang
penuh dengan warna cinta. Dan berbeda dengan kereta dan genta, sikap-sikap jenis
terakhir tidak hanya membahagiakan orang-orang yang diberikan, ia juga
membahagiakan siapa saja yang melakukannya dengan penuh keikhlasan.

Kalau kehilangan Ibu agak memberatkan hati, kesadaran bahwa pemberi cinta justru
lebih berbahagia dibandingkan yang diberikan, membuat saya agak sedikit lega.
Rupanya, Ibu telah melewati masa-masa hidup yang amat berbahagia. Dan ini
bukannya tanpa bukti. Sejumlah keluarga yang menungguinya di rumah sakit
menjelang akhir hayatnya, selalu menggunakan kedatangan saya sebagai alasan
supaya Ibu mau membuka mulutnya agar mau makan. Dan ternyata, berapa kalipun
kakak saya menyebut kata 'Gede Prama datang', sebanyak itu juga Ibu membuka
mulutnya sebagai tanda bersedia makan.

Ada memang penyesalan di dada dan di hati ini. Namun, Tuhan masih menyisakan
perasaan untung pada saya. Sebab, seminggu sebelum Ibu wafat saya masih sempat
memegang tangannya erat-erat sambil mengucapkan serangkaian doa. Dengan
mulut yang terkunci rapat-rapat, matanya masih menatap saya dengan senyuman
yang seperti dulu. Pagi hari berikutnya, ia sudah bisa bicara, dan sehari sesudahnya
kemampuan berbicaranya sudah kembali ke keadaan normal. Dan karena insting
bertutur tidak terlalu baik, jam 02:00 pagi ketika saya siap meninggalkan kota kecil
di Bali Utara sana, saya sempatkan datang ke rumah sakit kembali. Setelah mencium
keningnya. Ibu yang tadinya masih tidur membuka matanya pelan-pelan dan berucap
dalam bahasa Bali yang lembut : rahayu (kurang lebih berarti semoga selamat dalam
lindungan Tuhan). Inilah kata terakhir yang diucapkan Ibu ke saya. Dan semalam
sebelum telepon mengejtukan itu datang, saya masih bermimpi bergandengan
tangan bersama Ibu di sebuah tebing tinggi yang dikelilingi hamparan samudera.

Mimpi terakhir ini seperti sedang bertutur ke saya, bahwa Ibu masih akan terus
membimbing saya dengan modal dan kekayaan yang sama : cinta yang
dilaksanakan. Selamat jalan Ibu, modal kekayaan terakhir ini juga sedang saya bagi
ke banyak sekali orang yang membaca tulisan reflektif ini.

Bunda, saya mencintaimu sampai akhir hayatku...

[kembali ke MainMenu]

Anda mungkin juga menyukai