Anda di halaman 1dari 18

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

“TEORI BEHAVIORISME (THORNDIKE, PAVLOV)”

DOSEN PEMANGKU:

Putri Wahyuni, M.Pd

OLEH:

KELOMPOK 3:

1. FADHILA TAWASSALNA (166411310)


2. MULIA INDAH SARI (166410996)
3. RAHMAYULI (166410981)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
kami telah dapat menyelesaikan Makalah Belajar dan Pembelajaran “Teori
Behaviorisme (Thorndike, Pavlov)”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.

Dalam Penulisan laporan ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan


baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua
pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai, Amiin.

Pekanbaru, September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 1

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Behaviorisme ......................................................................... 2

B. Tokoh-tokoh Teori Behaviorisme .................................................................................. 3

C. Penerapan Teori Behaviorisme dalam Matematika ........................................................ 10

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 12

B. Saran ............................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia untuk
menuju pada kehidupan yang lebih baik dan maju. Namun pada
kenyataannya, masyarakat masih belum menyadari akan pentingnya belajar
dan ilmu pengetahuan untuk kehidupannya. Pada pembahasan ini menjelaskan
pentingnya pembiasaan untuk belajar secara rutin, serta menumbuhkan
kecintaan untuk membaca buku, dan mencari tahu ilmu-ilmu pengetahuan
baru demi menunjang masa depan individu tersebut.
Sugesti adanya kemalasan untuk belajar di karenakan, sebagian
masyarakat kurang bahkan tidak tau pentingnya serta tujuan dalam
pembelajaran itu sendiri. Mereka menganggap bahwa proses pembelajaran
adalah pembuangan waktu yang sia-sia dan tidak membuahkan hasil yang
cepat dan nyata. Oleh karena itu mereka lebih memilih untuk langsung
bekerja sesuai dengan kemampuan yang dapat mereka lakukan tanpa adanya
latar belakang pendidikan yang menjamin kesejahteraan sosial mereka di
waktu yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Teori Behaviorisme?
2. Jelaskan tokoh-tokoh Teori Behaviorisme!
3. Jelaskan penerapan Teori Behaviorisme dalam Matematika?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Teori Behaviorisme
2. Mengetahui tokoh-tokoh Teori Behaviorisme
3. Mengetahui enerapan Teori Behaviorisme dalam Matematika?

1
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Behaviorisme


Menurut Udin dkk (2007:2.4) Teori belajar behavioristik
mendefinisikan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku, khususnya
perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar,
bukan sebagai hasil proses pematangan (atau pendewasaan) semata. Menurut
teori belajar behavioristik, perubahan perilaku manusia sangat dipengaruhi
oleh lingkungan yang akan memberikan beragam pengalaman kepada
seseorang. Lingkungan merupakan stimulus yang dapat mempengaruhi dan
atau mengubah kapasitas untuk merespons.
Teori Behavioristik merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh
Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori Behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada hasil
belajar dan tidak memperhatikan pada proses berpikir siswa. Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan
respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh pembelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

2
B. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik
a. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) Teori Classical Conditioning
Dalam pemikiranya Pavlov berasumsi bahwa dengan
menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat
berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Ivan Pavlov melakukan
eksperimen terhadap anjing. Pavlov melihat selama pelatihan ada
perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing
(salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut
anjing yang lapar anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi
karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga
secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun tanpa latihan atau
dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika
dihadapkan pada daging. Dalam percobaan ini daging disebut dengan
stimulus yang tidak terkondisikan (unconditional ed stimulus). Dan
karena saliva terjadi secara otomatis pada saat daging di dekat anjing
tanpa latihan atau pengondisian, maka keluarnya saliva pada anjing
tersebut dinamakan sebagai respons yang tidak dikondisikan
(unresponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan saliva pada anjing tanpa
latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus yang lain, seperti
bel, tidak dapat menghasilkan saliva. Karena stimulus tersebut tidak
menghasilkan respons, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan
stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Pavlov, jika
stimulus netral (bel) dipasangkan dengan daging (uncoditioning
stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang, maka stimulus netral
akan berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning
stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan
respons anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu bunyi

3
bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur
(saliva). Proses ini dinamakan classical conditioning.
 Hukum-hukum kondisional klasik
Dari hasil eksperimen menggunakan anjing tersebut,
Pavlov akhirnya menemukan beberapa hukum pengondisian,
yaitu pemerolehan (acquisition) , pemadaman (extinction),
generalisasi (generalization), diskriminasi (discrimination) ,
dan kondisioning tandingan.
Pemerolehan (acquisition) adalah membuat pasangan
stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-ulang
hingga muncul respons bersyarat, atau yang disebut acquisition
atau acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu).
Para peneliti seing kali membuat stimulus netral bersamaan
dengan stimulus bersyarat atau berbeda beberapa detik selisih
waktu pemberiannya dan segera menghetikan secara serempak.
Prosedur ini biasanya disebut dengan pengondisian secara
serempak (simultaneous conditioning). Prosedur ini akan
menghasilkan respons bersyarat. Prosedur ini lebih lebih
sederhana dan efektif dalam melatih orang atau hewan. Kadang
peneliti juga menggunakan prosedur yang berbeda, yakni
dengan menghentikan stimulus netral terlebih dahulu sebelum
stimulus tak bersyarat, walaupun prosedur ini jarang digunakan
dalam pengondisian. Memasangkan stimulus netral dengan
stimulus tak bersyarat selama latihan untuk memperoleh
sesuatu akan berfungsi sebagai penguat atau reinforcement
bagi respons bersyarat.
Pemadaman (ectinction) setelah respons itu terbentuk,
maka respons itu akan tetap ada selama masih diberikan
rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan rangsangan

4
tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk
beberapa lama, maka respons bersyarat lalu tidak mempunyai
penguat/reinforce dan besar kemungkinan respons bersyarat itu
akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin tak
terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang
disebut dengan pemadaman (extinction). Beberapa respons
bersyarat akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama
sekali untuk selamanya. Dalam kehidupan nyata, mungkin kita
pernah menjumpai realitas respons emosi bersyarat. Misalnya,
ada dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang biasa
bermain bersama. Pada saat mereka menginjak dewasa,
menjadi seorang gadis dan pemuda, tiba-tiba tumbuh perasaan
cinta pada diri pemuda kepada gadis tersebut, tetapi tidak
demikian dengan si gadis. Pada saat pemuda teman sejak
kecilnya itu menyatakan cintanya, gadis tersebut menolak
dengan alasan perasaan kepada pemuda itu hanya sebatas
teman. Namun karena pemuda itu sangat mencintai snag gadis,
dengan menggunakan berbagai cara yang dapat
membahagiakan, ia berusaha untuk mengambil hati gadis agar
menerima cintanya. Misalnya dengan selalu memberikan
perhatian, memberikan segala yang disukai oleh gadis itu, dan
lain sebagainya. Ketika perhatian dan kebaikannya kepada
gadis tersebut dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu saat
hati sang gadis menjadi luluh dan akhirnya menerima cinta
pemuda tersebut.
Generalisasi dan diskriminasi. Ternyata respons
bersyarat ini juga dapat dikenakan pada kejadian lain, namun
situasinya yang mirip. Inilah yang dikenal dengan generalisasi
stimulus atau generalisasi. Misalnya, pemuda yang mencintai

5
seorang gadis, dan ia merasa bahagia jika bertemu dengan
gadis terebut. Pada saat ia mengetahui bahwa gadis yang
dicintainya menyukai warna pink, maka ia akan merasa
bahagia ketika menjumpai benda-benda apa saja yang bewarna
pink. Bila suatu makhluk mengadakan generalisasi
(menyamaratakan), maka ia juga akan dapat melakukan
diskriminasi atau pembedaan. Diskriminasi yang dikondisikan
ditimbulkan melalui penguatan dan pemadaman yang selektif.
Dalam eksperimen Pavlov, 2 nada yang berbeda diberikan
kepada anjing terdiri dari stimulus differensial (SD1) dan
(SD2) , yang berfungsi sebagai stimulus pembeda. Salah satu
atau satu dari keduanya digunakan pada setiap percobaan.
Nada pertama (SD1) diikuti dengan shock elektris ringan, yang
kedua (SD2) tidak. Pada mulanya subjek memberikan respons
yang dikondisikan pada kedua nada. Namun, pada proses
percobaan amplitudo nada yang pertama semakin lama
semakin meningkat, sedang nda kedua semakin lama semakin
menurun. Dengan demikian melakukan proses penguatan
differensial, subjek dikondisikan untuk membedakan kedua
nada tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari perilaku
generalisasi dan diskriminasi ini dapar kita jumpai. Mislanya,
anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan
memberi pengutan dan pemadaman differensial, rentang
stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing
galak saja.
Kondisioning tandingan (counter conditioning)
kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari
kondisioning responden. Pada kondisioning jenis ini, respons
bersyarat yang khusus akan digantikan dengan respons

6
bersyarat lain yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok
(incompatible) dengan respons bersyarat yang sebelumnya.
Misalnya respons bersyarat berupa perasaan tidak suka
digantikan dengan persaan suka, takut dengan berani, benci
dengan cinta, dan lain sebagainya. Sehingga reaksi tersebut
dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti.
Prosedur kondisioning tandingan ini sifatnya langsung satu
perangkat latihan yang baru terjadi pula. Satu rangsangan
bersyarat yang dapat menimbulkan respons bersyarat yang
ingin diubah, diperlakukan sebagai rangsangan netral. Ini
kemudian diasosiasikan dengan rangsangan tak bersyarat yang
dapat menimbulkan respons tak bersyarat secara bertentangan.
Setelah dipasangkan berulang-ulang, rangsangan bersyarat itu
munkin akan hanya dapa memancing satu respons bersyarat
baru yang berlawan. Contoh, seorang anak kecil yang tidak
mau dicukur rambutnya karena takut dengan suara alat cukur
atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut ketika dipotong,
maka setiap dipotong rambutnya anak diberi gula-gula
kesukaannya ataupun diputarkan film kartun kesayangannya.
Sehingga ketika itu dilakukan terus-menerus akan muncul
respons tidak takut dengan alat-alat cukur rambut.

b. Edward Lee Thorndike (1874-1949) Teori Koneksionisme


Menurutnya, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi (koneksi) antara peristiwa yang disebut dengan Stimulus (S)
dengan Respon (R). Stimulus adalah perubahan dari lingkungan
exsternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk

7
beraksi/berbuat. Sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku
yang dimunculkan karena adanya perangsang.

Eksperimen Pavlov telah memberikan inspirasi bagi para


peneliti di Amerika Serikat seperti Thorndike. Thorndike adalah
psikologi Amerika yang pertama kali mengadakan eksperimen
hubungan S-R dengan hewan kucing melalui prosedur dan apparatus
yang sistematis, eksperimennya yaitu :

a) Kucing yang lapar dimasukkan dalam kotak kerangkeng (puzzle box).


Yang dilengkapi alat pembuka bila disentuh.
b) Diluar kotak ditaruh daging. Kucing dalam kerangkeng bergerak
kesana kemari mencari jalan untuk keluar tetapi gagal. Kucing terus
melakukan usaha dan gagal, keadaan ini berlangsung terus
c) Pada suatu ketika kucing tanpa sengaja menekan sebuah tombol
sehingga tanpa disengaja pintu kotak kerangkeng terbuka dan kucing
dapat memakan daging didepannya.
Percobaan Thorndike tersebut diulang-ulang, dan pola gerakan
kucing sama saja namun makin lama kucing dapat membuka pintunya.
Gerakan usahanya makin sedikit dan efisien. Pada kucing tadi terlihat
ada kemajuan-kemajuan tingkah lakunya. Dan akhirnya, kucing
dimasukkan dalam box terus dapat menyentuh tombol pembuka
(sekali usaha, sekali, terbuka) hingga pintu terbuka.
Dari percobaannya puzzle box diketahui bahwa supaya tercapai
hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk
memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-
percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (Error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah “Trial and Error learning atau
selecting and conecting learning” dan berlangsung menurut hukum-
hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh

8
thorndike ini sering disebut teori belajar koneksionisme atau asosiasi.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan
kegiatan membentuk asosiasi (conection) antara kesan panca indera
dengan kecenderungan bertindak.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum
belajar sebagai berikut:
a) Hukum Kesiapan(law of readiness), yaitu semakin siap suatu
organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka
pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
b) Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku
diulang/ dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan
perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-
latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hukum ini
menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan.
Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
c) Hukum akibat(law of effect), yaitu hubungan stimulus respon
cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung
diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk
pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil
perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan
cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu
perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung
dihentikan dan tidak akan diulangi.
Selain tiga hukum di atas Thorndike juga menambahkan
hukum lainnya dalam belajar yaitu Hukum Reaksi Bervariasi (multiple
response), Hukum Sikap (Set/ Attitude), Hukum Aktifitas Berat

9
Sebelah (Prepotency of Element), Hukum Respon by Analogy, dan
Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting).

C. Penerapan Teori Behaviorisme dalam Matematika


Sebelum memberikan pembelajaran guru menyiapkan bahan
pelajaran tujuannya agar target pencapaian dalam satu kompetensi dasar
dapat dipenuhi. Guru menggunakan metode ceramah, tanya jawab,
mengerjakan. Dan dalam kegiatan pembelajaran guru memberikan stimulus-
stimulus dan siswa merespon stimulus yang guru berikan. Misalnya, seorang
guru menyampaikan materi fungsi kuadrat, guru menjelaskan bahwa fungsi
kuadrat jika digambarkan akan sesalu membentuk parabola. Guru
memberikan stimulus berupa contoh dari fungsi kuadrat yaitu bola yang
dilempar keatas, gerakan rudal yang ditembakkan, lintasan roket yang
diluncurkan, lintasan bola yang ditendang. Dari contoh diatas, guru
menyampaikan bahwa dengan memanfaatkan pengetahuan mengenai
parabola (fungsi kuadrat), setiap gerakan dapat diperhitungkan untuk
memperoleh hasil yang akurat.
Guru memberikan contoh soal yaitu gambarkan grafik fungsi dari
persamaan kurva y=x2. Siswa merespon dengan memperhatikan penjelasan
dari guru. Lalu guru menjelaskan jawabannya yaitu cara yang digunakan
untuk menggambarkan grafik fungsi kuadrat adalah: pertama buat tabel
nilai, kedua letakkan koordinat yang diperoleh pada bidang cartesius, ketiga
hubungkan titik-titik tersebut sehingga terbentuk sebuah kurva yang mulus.
Setelah guru selesai menyampaikan materi, siswa diberi latihan soal oleh
guru sebagai tolak ukur dari materi yang sudah disampaikan. Latihan soal
yang diberikan yaitu menggambarkan grafik fungsi kuadrat pada bidang
cartesius dan siswa menjelaskan jawaban yang dikerjakannya. Jika siswa
mampu menjawab soal dengan benar maka akan ada penghargaan yang
diberikan oleh guru misalnya nilai tambahan. Sedangkan siswa yang belum

10
bisa menjawab dengan benar maka harus memperbaiki dengan memberikan
hukuman yaitu latihan tambahan atau PR agar siswa terbiasa dan dapat
memahami materi yang telah disampaikan.

11
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori belajar behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan
perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku
(yang baru) sebagai hasil belajar, bukan sebagai hasil proses pematangan (atau
pendewasaan) semata.
Tokoh-tokoh Teori Behavioristik antara lain yaitu Ivan Petrovich
Pavlov (1849-1936) Teori Classical Conditioning dalam pemikiranya Pavlov
berasumsi bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu,
perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan dan
Edward Lee Thorndike (1874-1949) Teori Koneksionisme teori belajar yang
dikemukakan oleh thorndike ini sering disebut teori belajar koneksionisme
atau asosiasi. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan
kegiatan membentuk asosiasi (conection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak

B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah tentang Teori Behaviorisme
(Thorndike, Pavlov) ini kita menjadi lebih tahu secara mendalam tentang
Teori Behaviorisme (Thorndike, Pavlov) dan tidak hanya sekedar tahu.

12
Daftar Pustaka

Baharuddin. 2010. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media


Winataputra, udin dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Universitas Terbuka

13
i
2

Anda mungkin juga menyukai