Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI PERDARAHAN POST PARTUM


Perdarahan Post Partum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir
yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan
akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa
menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional
dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml pada persalinan per vaginam
dan 1000 mL pada kelahiran dengan Sectio Caesarea dapat dikategorikan sebagai
Perdarahan Post Partum.1,2,4 Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan
untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah
perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah
menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, keringat
dingin, menggigil, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit,
kadar Hb < 8 g/dL.8
Perdarahan obstetrik dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan,
persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi
dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu
keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin.1
Berdasarkan waktu kejadiannya perdarahan pasca persalinan dibagi
menjadi dua bagian, yaitu :1,2,5,6
1. Perdarahan Post Partum Dini (Early Post Partum Haemorrhage atau
Perdarahan Post Partum Primer). Perdarahan Post Partum Primer terjadi dalam 24
jam pertama. Penyebab utama Perdarahan Post Partum Primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam
pertama.
2. Perdarahan Masa Nifas (Late Post Partum Haemorrhage atau Perdarahan Post
Partum Sekunder). Perdarahan Post Partum Sekunder terjadi setelah 24 jam
pertama. Perdarahan Post Partum Sekunder sering diakibatkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal. Sisa plasenta
yang tertinggal ini akan mengalami nekrosis dengan pengendapan fibrin dan pada

3
4

akhirnya akan membentuk polip plasenta. Perdarahan dengan cepat terjadi apabila
tangkai polip tersebut terlepas dari miometrium.

2.2 EPIDEMIOLOGI PERDARAHAN POST PARTUM


AKI di Indonesia tahun 2011 sebesar 116,01 per 100.000 kelahiran hidup,
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan AKI pada tahun 2010 sebesar
104,97 per 100.000 kelahiran hidup. Kejadian kematian maternal paling banyak
adalah pada waktu nifas sebesar 48,65%, kemudian pada waktu hamil sebesar
25,75% dan pada waktu persalinan sebesar 25,60%.
Di Indonesia AKI masih tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain
yakni Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina maka Indonesia menempati
urutan pertama karena AKI mencapai angka 307 per 100.000 kelahiran hidup,
sedangkan di negara-negara maju kematian ibu berkisar antara 5 – 10 per 100.000
kelahiran hidup. Salah satu penyebab utama kematian ibu antara lain karena
perdarahan yaitu mencapai 30 - 35 %.2,6

2.3 ETIOLOGI PERDARAHAN POST PARTUM


Atonia uteri merupakan penyebab yang paling umum dari Perdarahan Post
Partum, diperkirakan 80% dari semua kasus perdarahan. Etiologi : 4,6,8
- Atonia uteri 50-60%
- Sisa plasenta 23-24%
- Retensio plasenta 16-17%
- Laserasi jalan lahir 4-5%
- Kelainan darah 0,5-0,8%

1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana miometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Pada kehamilan cukup bulan aliran
darah ke uterus sebanyak 500-800cc/menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan
segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar
350-500cc/menit dari bekas tempat melekatnya plasenta. Bila uterus berkontraksi
5

maka miometrium akan menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan di


antara serabut otot tadi.1
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah
persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan
tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Atonia uteri merupakan
penyebab tersering Perdarahan Post Partum; sekurang-kurangnya 2/3 dari semua
Perdarahan Post Partum disebabkan oleh atonia uteri.2
Pada keadaan normal, uterus yang kuat atau berkontraksi tidak akan
mengalami perdarahan setelah melahirkan. Perdarahan Post Partum dapat
dikendalikan melalui kontraksi serat-serat miometrium. Kontraksi dan retraksi ini
menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke
tempat plasenta terhenti. Sehingga dengan kata lain, Atonia uteri adalah gagalnya
uterus untuk mempertahankan kontraksi dan retraksi normalnya. Akibat dari
atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan.2
Faktor-faktor predisposisi terjadinya atonia uteri :1,3
1. Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB >
4000 gram) dan polihidramnion
2. Kehamilan lewat waktu
3. Partus lama
4. Grande multipara
5. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat)
6. Infeksi uterus (chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia)
7. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta)
8. Riwayat Perdarahan Post Partum
9. Obesitas
10. Umur > 35 tahun

Patofisiologi Atonia Ateri


Perdarahan pada atonia uteri umumnya berasal dari pembuluh darah yang
terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas
keseluruhan. Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan Perdarahan Post
6

Partum. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh
pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan
sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah
partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut di atas, jika otot berkontraksi
akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi
ini akan menyebabkan terjadinya Perdarahan Post Partum.2,3

Gambar 2.1 Anyaman Pembuluh Darah Uterus (a)

Gambar 2.2 Anyaman Pembuluh Darah Uterus (b)


7

Gambar 2.3 Perbandingan Uterus Normal dengan Atonia Uteri


Pada atonia uteri, uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik. Hal ini
terjadi karena proses persalinan yang lama sehingga menyebabkan kelelahan,
peregangan rahim yang berlebihan karena kehamilan ganda, janin besar, kelainan
uterus karena mioma uteri, faktor sosioekonomi yaitu malnutrisi dan sering
dijumpai pada multipara dan grande multipara, anemia berat, penggunaan
oksitosin yang berlebihan dalam persalinan. Atonia uteri juga dapat timbul karena
salah penanganan kala III persalinan. Akibatnya ketidakmampuan miometrium
untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya perdarahan Postpartum.2

Diagnosis Atonia Uteri


Perdarahan Post Partum ditandai juga dengan timbulnya perdarahan
banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama,
tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat.
Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang
wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total
tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala tersebut baru tampak pada
kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok.
Diagnosis Perdarahan Post Partum dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan -
8

setelah anak lahir, secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan 1 jam
sesudahnya.1
Apabila terjadi Perdarahan Post Partum dan plasenta belum lahir, perlu
diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir,
perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan akibat
perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan
lembek pada palpasi, sedangkan pada perdarahan akibat perlukaan, uterus
berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu
diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya perlukaan dalam jalan
lahir.1

Pencegahan Atonia Uteri


Anemia dalam kehamilan harus diobati karena dapat berbahaya. Apabila
sebelumnya penderita sudah pernah mengalami Perdarahan Post Partum,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa
pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta.
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan
penanganan kala tiga secara aktif, yaitu :1,3
a. Menyuntikan Oksitosin; sebelum menyuntikkan oksitosin lakukan terlebih
dahulu pemeriksaan fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
Selanjutnya suntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskular pada bagian luar paha
kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu.
b. Peregangan Tali Pusat Terkendali; peregangan tali pusat ini dilakukan dengan
memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau
menggulung tali pusat. Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian
bawah uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem
atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva. Saat uterus berkontraksi,
menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan
uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial. Tindakan selanjutnya yang dapat
dilakukan adalah dengan mengeluarkan plasenta; jika dengan penegangan tali
pusat terkendali, tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan
plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali
9

pusat ke arah bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir hingga
plasenta tampak pada vulva. Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta
belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak ± 5-10 cm dari vulva. Bila
plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit,
suntikkan ulang 10 IU Oksitosin intramuskular. Kemudian periksa kandung kemih
dan lakukan kateterisasi bila penuh, tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan
tindakan plasenta manual. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan
melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan
plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput
ketuban.
c. Masase Uterus; segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus
uteri dengan menggosok fundus secara sirkular menggunakan bagian palmar 4 jari
tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).

Penatalaksanaan Atonia Uteri


Penatalaksanaan atonia uteri yaitu :2,6
a. Masase uterus + pemberian uterotonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU dalam
500ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin I.V, yang dapat diulang 4 jam
kemudian, suntikan prostaglandin).
b. Kompresi Bimanual Interna

Gambar 2.4 Kompresi Bimanual Uteri Interna


10

Letakan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan untuk
menahan bagian belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang lain pada
korpus depan dari dalam vagina, kemudian tekan kedua tangan untuk
mengkompresi pembuluh darah di dinding uterus. Amati jumlah darah yang
keluar yang ditampung dalam tempat tampungnya. Jika perdarahan berkurang,
teruskan kompresi, pertahankan hingga uterus dapat berkontraksi atau hingga
pasien sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil, cobalah mengajarkan pada
keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna sambil penolong
melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksanaan atonia uteri.
c. Kompresi Bimanual Eksterna

Gambar 2.3 Kompresi Bimanual Uteri Eksterna


Letakkan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan sedapat
mungkin meraba bagian belakang uterus. Letakan tangan yang lain dalam keadaan
terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian rapatkan kedua tangan untuk
menekan pembuluh darah di dinding uterus dengan jalan menjepit uterus di antara
kedua tangan tersebut.
d. Tampon utero-vaginal
Tampon dilakukan secara lege artis lalu diangkat 24 jam kemudian.
Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena umumnya
dengan usaha-usaha tersebut di atas perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri
sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa pemberian tampon yang
dilakukan dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan perdarahan
dalam uterus di belakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus
11

menghalangi pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan
tersebut menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi.
e. Tindakan operatif
Tindakan operatif dilakukan jika upaya-upaya di atas tidak dapat
menghentikan pendarahan. Tindakan opertif yang dilakukan adalah :
1) Ligasi arteri uterina
2) Ligasi arteri hipogastrika
Tindakan ligasi arteri uterina dan arteri hipogastrika dilakukan
untuk yang masih menginginkan anak. Tindakan yang bersifat sementara
untuk mengurangi perdarahan menunggu tindakan operatif dapat
dilakukan metode Henkel yaitu dengan menjepit cabang arteri uterina
melalui vagina, kiri dan kanan atau kompresi aorta abdominalis.
3) Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch merupakan teknik menjahit untuk meningkatkan
kompresi verikal pada sistem vaskuler.
4) Histerektomi
12

Gambar 2.6 Bagan Penatalaksanaan Atonia Uteri

Pemberian Uterotonika
Tabel 2.1 Jenis Uterotonika dan Cara Pemberiannya
Jenis dan
Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Cara
IV : 20 U dalam 1
Dosis dan cara L larutan garam
IM atau IV Oral atau rektal
pemberian fisiologis dengan
(lambat) : 0,2 mg 400 mg
awal tetesan cepat
IM : 10 U
13

Ulangi 0,2 mg IM
IV : 20 U dalam 1 setelah 15 menit
L larutan garam Bila masih 400 mg 2-4 jam
Dosis lanjutan
fisiologis dengan diperlukan, beri setelah dosis awal
40 tetes/menit IM/IV setiap 2-4
jam
Dosis Tidak lebih dari 3
Total 1 mg (5 Total 1200 mg
maksimal per L larutan
dosis) atau 3 dosis
hari fisiologis
Pemberian IV Preeklampsia,
Kontraindikasi Nyeri kontraksi
secara cepat atau vitium kordis,
atau hati-hati Asma
bolus hipertensi

2. Laserasi Jalan Lahir


Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan
bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu
cepat dan tidak terkendali. Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir
lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut
berasal dari perlukaan jalan lahir.1
Cedera selama kelahiran merupakan penyebab Perdarahan Post Partum
kedua terbanyak ditemukan. Selama kelahiran pervaginam, laserasi pada serviks
dan vagina dapat terjadi secara spontan tetapi lebih sering ditemukan setelah
penggunaan forsep atau ekstraktor vakum.1
Dinding pembuluh darah dalam jalan lahir mengembang selama kehamilan
dan dapat terjadi perdarahan yang banyak. Laserasi terutama cenderung terjadi
pada perineum, di daerah periuretral, dan pada iskiadikus spinalis di sepanjang
aspek-aspek posterolateral vagina. Serviks dapat menyebabkan laserasi pada dua
sudut lateral sementara terjadi dilatasi yang cepat dalam tahap pertama
persalinan.1
14

Klasifikasi Klinis Laserasi Jalan Lahir


a. Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin
dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlalu kuat
dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak
janin serta melemahkan otot-otot maupun fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan
bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih
kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang
daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang
lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan
dengan pembedahan vaginal. Apabila mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu. Pada robekan
tingkat dua, mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot
perineum. Pada robekan tingkat tiga sampai pada otot sfingter sedangkan robekan
tingkat empat, bisa sampai mukosa rektum.1

b. Robekan Dinding Vagina


Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak
seberapa sering terdapat. Mungkin ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi
lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan forceps, lebih-lebih apabila
kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat
pada pemeriksaan dengan spekulum. Perdarahan biasanya banyak, tetapi mudah
diatasi dengan jahitan.1

c. Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks
seorang multipara berbeda daripada yang belum pernah melahirkan pervaginam.
Robekan serviks biasanya terdapat di pinggir samping serviks bahkan kadang-
kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan
15

tersebut dapat membuka pembuluh-pembuluh darah yang besar dan menimbulkan


perdarahan yang hebat. Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan
buatan; ekstraksi dengan forceps; ekstraksi pada letak sungsang, dekapitasi,
perforasi, dan kranioklasi terutama jika dilakukan pada pembukaan yang belum
lengkap.1

d. Ruptur Uteri
Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat
berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada
kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada
bagian bawah uterus. Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula.
Apabila robekan tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal
ini dinamakan kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptur
uteri dan kolpaporeksis. Apabila pada ruptur uteri peritoneum pada permukaan
uterus ikut robek, hal ini dinamakan ruptur uteri komplit, jika tidak disebut ruptur
uteri inkomplit. Pinggir ruptur biasanya tidak rata, letaknya pada uterus
melintang, atau membujur, miring, dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Menurut
cara terjadinya ruptur uteri terbagi atas; 1) Ruptur uteri spontan, 2) Ruptur uteri
traumatik, 3) Ruptur uteri pada parut uterus.1

Penatalaksanaan Laserasi Jalan Lahir


a. Penatalaksanaan Robekan Perineum dan Robekan Dinding Vagina :8
1) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan
2) Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
3) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang
yang dapat diserap
4) Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator
Khusus pada Robekan Perineum Komplit (hingga anus dan sebagian
rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum,
sbb :
16

1) Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung


robekan
2) Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa,
menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani.
Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0
3) Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang
yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
4) Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler
5) Berikan antibiotik profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral)
b. Penatalaksanaan Robekan serviks :8
1) Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur
akan mengalami robekan pada posisi spina iskiadika tertekan oleh kepala bayi
2) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
3) Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan
dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan
lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke
arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
4) Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus
uteri dan perdarahan pasca tindakan
5) Beri antibiotik profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
6) Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan
transfusi darah

3. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga
atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Penemuan pada ultrasonografi
adanya masa uterus yang echoic mendukung diagnosa retensio plasenta. Hal ini
bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada
Perdarahan Post Partum Lambat. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak
perlu dilakukan dilatasi dan kuretase.7,13
17

Gambar 2.7 Retensio Plasenta


Menurut tingkat perlekatannya retensio plasenta terbagi atas beberapa
bagian, antara lain adalah :1,6
a. Plasenta adhesiva, yaitu implantasi yang kuat dari korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta, yaitu implantasi korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi korion plasenta hingga mencapai atau
memasuki miometrium.
d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi korion plasenta yang menembus lapisan otot
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh kontriksi ostium uteri.
Tabel 2.2 Gambaran dan Dugaan Penyebab Retensio Plasenta
Plasenta
Gejala Plasenta akreta
inkarserata
Konsistensi
Keras Cukup
uterus
Tinggi
2 jari bawah pusat Sepusat
fundus
Bentuk
Agak globuler Diskoid
uterus
18

Perdarahan Sedang Sedikit/tidak ada


Tali pusat Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Konstriksi Terbuka
Separasi Melekat
Sudah lepas
plasenta seluruhnya
Syok Jarang Jarang sekali
Kondisi umum yang menjadi penyebab retensio plasenta adalah :1,6
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih dalam.
2. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi
pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan
menghalangi plasenta keluar (Plasenta inkarserata). Plasenta mungkin pula tidak
keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus
dikosongkan.

Penatalaksanaan Retensio Plasenta


Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah anak lahir, maka harus
diusahakan untuk mengeluarkannya. Setelah bayi lahir dilakukan dengan segera
manajemen aktif kala III yaitu : Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit
pertama setelah bayi lahir, melakukan penegangan tali pusat terkendali, dan
masase fundus uteri.1
Bila plasenta tidak lahir dalam 15 menit sesudah bayi lahir, ulangi
manajemen aktif kala III dengan memberikan oksitosin 10 IU intramuskuler dan
teruskan penegangan tali pusat terkendali dengan hati-hati. Teruskan melakukan
penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir kalinya. Jika plasenta masih tetap
belum lahir, rujuk segera kerumah sakit. Bila terjadi perdarahan, maka plasenta
harus segera dilahirkan secara manual dengan melakukan manual plasenta.1,6,12
19

Gambar 2.8 Manual plasenta


Secara singkat penatalaksanaan dari Retensio Plasenta adalah demikian :4
a. Kandung kemih dikosongkan, masase uterus dan suntikan oksitosin (iv, im atau
infus) dan boleh dicoba perasat Crede secara Lege artis. Jika tidak berhasil
lakukan manual plasenta.
b. Setelah manual plasenta diberi injeksi ergometrin jika masih ada jaringan
plasenta yang tertinggal dilakukan kuretase dengan kuret tumpul ukuran besar
bersamaan dengan injeksi oksitosin.
c. Manual plasenta segera dilakukan bila : Perdarahan kala III > 200 cc, Penderita
dalam narkose, Riwayat Perdarahan Post Partum habitualis, atau Tali pusat putus

4. Gangguan Pembekuan darah


Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet
biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada
kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat
perlekatan plasenta dan pembekuan darah memiliki peran penting beberapa jam
hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat
menyebabkan Perdarahan Post Partum sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari
sebab lain, terutama trauma.8
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat
persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya,
seperti ITP atau sindrom HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis.
20

Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar
merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.8
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang
berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang
didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang
berhubungan dengan solusio plasenta, sindrom HELLP, IUFD, emboli air ketuban
dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar
fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus
mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusitasi cairan kristaloid dan
transfusi PRC.8
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi
jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan.
Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen
yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).8

Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
Perdarahan Post Partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari
terjadinya Perdarahan Post Partum, seperti solutio plasenta, sindrom HELLP, fatty
liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.8,14
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada
pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit
dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar
5.000 – 10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-
gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3.
transfusi trombosit diindikasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika
direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan
diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan
karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4 hari.8,14
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V,
VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak
21

diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi
dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat
pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara
empiris.8,14
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan
fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan
penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk
terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.8,14

2.4 DIAGNOSIS PERDARAHAN POST PARTUM


Perdarahan Post Partum digunakan untuk persalinan dengan umur
kehamilan lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20
minggu disebut sebagai abortus spontan. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan
adanya Perdarahan Post Partum :7,10
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah (hematokrit)
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum
Tabel 2.3 Penilaian Klinik untuk Menentukan
Penyebab Perdarahan Post Partum
Tanda dan Gejala Penyulit Diagnosis Kerja
Syok
Uterus tidak berkontraksi Bekuan darah pada
dan lembek serviks atau posisi
Atonia uteri
Perdarahan segera setelah telentang akan
anak lahir menghambat aliran
darah keluar
Darah segar mengalir Pucat
segera setelah bayi lahir Lemah
Robekan jalan lahir
Uterus berkontraksi dan Menggigil
keras
22

Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir Tali pusat putus akibat
setelah 30 menit traksi berlebihan
Perdarahan segera Inversio uteri akibat Retensio plasenta
Uterus berkontraksi dan tarikan
keras Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian Uterus berkontraksi
selaput tidak lengkap tetapi tinggi fundus Retensio sisa plasenta
Perdarahan segera tidak berkurang
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi massa Neurogenik syok
Inversio uteri
Tampak tali pusat (bila Pucat dan limbung
plasenta belum lahir)
Sub-involusi uterus
Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah Anemia
fragmen plasenta
dan pada uterus Demam
(terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder

Kriteria Diagnosis8
1. Pemeriksaan fisik : Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar
melalui vagina terus menerus
2. Pemeriksaan obstetri : Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi
uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir
3. Pemeriksaan ginekologi : Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau
telah diperbaiki, pada pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka
jalan lahir dan retensio sisa plasenta

Pemeriksaan Penunjang8,9
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk
23

b. Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal
c. Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan
2. Pemeriksaan radiologi
a. Onset Perdarahan Post Partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium
atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat
adanya gumpalan darah dan retensio sisa plasenta.
b. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan
resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum
seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

2.5 KOMPLIKASI PERDARAHAN POST PARTUM


Perdarahan Post Partum juga dapat disertai dengan komplikasi di samping
dapat menyebabkan kematian. Perdarahan Post Partum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan tubuh penderita berkurang.
Perdarahan banyak, kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat
nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut.
Gejala-gejalanya adalah astenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai
menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi,
amenorea, dan kehilangan fungsi laktasi.1,2,11

Anda mungkin juga menyukai