Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan
pasien ke dokter pada pelayanan primer. Ini adalah gejala bukan diagnosis,
penyebab dari sumbatan hidung dapat berasal dari struktur maupun sistemik. Yang
disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan, trauma, dan gangguan
congenital. Yang disebabkan sistemik terkait dengan perubahan fisiologis dan
patologis. Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung tersumbat.1
Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, aktivitas
harian dan kenyamanan. Polip nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami
inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga hidung. Polip nasi ini
dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau tanpa bantuan
endoskopi.1,2
Pada populasi umum, prevalensi polip nasi secara keseluruhan pada orang
dewasa berkisar antara 1-4%. Kejadian polip nasi pada anak sangat jarang.
Perkiraan insidensi polip nasi pada pasien berusia dibawah 16 tahun sebesar 0,1%-
0,2%.3 Menurut data yang di publikasikan di USA, polip nasi terjadi 2%-5% dari
populasi umum. Di Indonesia angka kejadian belum diketahui dengan pasti. Di
RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari 2014-2015, dari 39 penderita polip nasi
sebagian besar berusia 51-60 tahun (13 orang, 33,33%). Lebih sering pada lelaki
yaitu 21 orang (53,8%) dengan keluhan utama hidung tersumbat dirasakan oleh 31
orang (79,5%). 4
Patofisiologi polip nasi bersifat multifaktorial, beberapa faktor seperti infeksi,
alergi, perubahan polisakarida, fenomena Bernoulli dan ketidakseimbangan
vasomotor dapat mempengaruhi satu pasien yang sama.4 Sampai saat ini, polip nasi
masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi
yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat mengenali
gejala dan tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang
tepat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung.

2.1.1 Hidung Luar


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah
: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala
nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan 1 beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Gambar 1. Kerangka tulang dan tulang rawan hidung2

2.1.2 Kavum Nasi


Rongga hidung/kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Pintu/lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi,

2
tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, superior dan inferior.1
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer,
Krista nasalis os maksila dan Krista nasalis os palatine, sedangkan bagian tulang
rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1

Gambar 2. Anatomi kavum nasi


Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang paling terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.1
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Terdapat tiga meatus tergantung dari letaknya, yaitu meatus
inferior, meatus medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan etmoid anterior. Pada meatus

3
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid,
tulang ini berlubang-lubang sebagai tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1

2.1.3 Kompleks Osteomeatal (KOM)


Di bagian dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina
papirasea terdapat celah yang disebut kompleks ostiomeatal (KOM). Struktut
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum
etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. Kompleks
ostiomeatal merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan
drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid
anterior dan frontal.1

4. Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Sedangkan bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatine mayor dan a. sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapatkan pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.1

4
Gambar 3. Pendarahan hidung
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfiSial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.1

Gambar 4. Pleksus Kiesselbach

5
5. Persarafan
Persarafan sensoris bagian depan dan atas rongga hidung didapatkan dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N. V-1). Sedangkan rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapatkan persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dan n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus
superficial mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-
sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1

6. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket ) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan
sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong
ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,

6
sekret kental dan obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated
epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal
dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

2. Fisiologi Hidung

1. Fungsi Respirasi
Pada inspirasi, udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun
ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudin mengiuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di
bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kemali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara
:
 Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim padanas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
 Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konk dn septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian
suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC.

3. Fungsi Penyaring dan Pelindung

7
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
 Rambut (vibriasse) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
4. Fungsi Penghidu
Hidung juga akan bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan
rasamanis strawberi, jeruk, pisang atau coklat, dan juga untuk membedakan
rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.1
5. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum
mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.1
6. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contoh : iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.1

3. Polip Nasi
a. Definisi1,2

8
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu-abuan, mengkilat, lunak
karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat
berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, suram dan lebih
kenyal (polip fibrosa).

Gambar 5. Polip Nasi


Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel an
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke
arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.

b. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake Lee
1997, Ferguson et al.2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya
meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun
sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria
(Kirtsreesakul 2005, Ferguson et al 2006, Erbek et al 2007).3
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3%
di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1 (Fransina 2008). Di
Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi,
sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%.3 Frekuensi kejadian
polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur
sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita
dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak

9
dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya
cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk
menderita polip (Fransina 2008).2,3
Pada populasi umum, prevalensi polip nasi secara keseluruhan pada orang
dewasa berkisar antara 1-4%. Kejadian polip nasi pada anak sangat jarang.
Perkiraan insidensi polip nasi pada pasien berusia dibawah 16 tahun sebesar 0,1%-
0,2%.3 Menurut data yang di publikasikan di USA, polip nasi terjadi 2%-5% dari
populasi umum. Di Indonesia angka kejadian belum diketahui dengan pasti. Di
RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari 2014-2015, dari 39 penderita polip nasi
sebagian besar berusia 51-60 tahun (13 orang, 33,33%). Lebih sering pada lelaki
yaitu 21 orang (53,8%) dengan keluhan utama hidung tersumbat dirasakan oleh 31
orang (79,5%).4

c. Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau
sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal
dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian
menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak
mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak
mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah.1,2,6
Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak.
Pada anak-anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Yang dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain:6,7
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.

10
d. Patogenesis
Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah
dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan
predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi, yang
dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis
kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997;
Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007).7,8
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya
epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang
menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998).
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang
sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang
lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa
dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan
berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media. Walaupun
demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasi
dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar & Mangunkusumo 2001).7,8

e. Patofisiologi
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan
mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di
daerah sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti
oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan
penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip.1,8
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang
mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan
edema dan lama-kelamaan menjadi polip.1,2,8

11
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi
polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.1,2

f. Manifestasi Klinis
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang menetap dengan
derajat yang bervariasi tergantung dengan lokasi dan ukuran polip. Umumnya,
penderita juuga mengeluh rinore cair dan post nasal drip. Anosmia atau hiposmia
dengan gangguan pengecapan juga merupakan gejala polip nasi. Rinoskopi anterior
dan posterior dapat menunjukkan massa polipoid yang berwarna keabuan pucat
yang dapt berjumlah satu atau multipel dan paling sering muncul dari meatus media
dan prolaps ke kavum nasi. Massa tersebut terdiri dari jaringan ikat longgar, sel
inflamasi, dan beberapa kapiler serta kelenjar dan ditutupi oleh epitel torak berlapis
semu bersilia (ciliated pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet. Penelitian menunjukkan bahwa eosinofil merupakan sel-sel
inflamasi yang paling sering ditemukan pada polip nasi. IL-5 yang menyebabkan
eosinofil bertahan lama sehingga berdasarkan histokimia polip nasi dapat
dibedakan dengan rinosinusitis.6,7,8
Polip nasi hampir selalu ditemukan bilateral dan jika ditemukan unilateral
diperlukan pemeriksaan histopatologi untuk menyingkirkan kemungkinan
keganasan. Polip nasi tidak sensitif terhadap sentuhan dan jarang berdarah.6,7,8

Gambar 6. Polip nasi


g. Gambaran Histopatologi
Makroskopis

12
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening,
lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak
terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung
banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip
yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak
mengandung jaringan epitel.1,2
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di
meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskopi,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tunbuh ke arah
belakang dan membesar di arah nasofaring, disebut polip koana. Polip koana
kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip anterokoana.
Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.1,2

Mikroskopis
Secara mikroskipos tampak epitel pada mukosa polip serupa dengan mukosa
hidung normal. Yang itu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab. Sel-selnya terdiri dari limpofisl, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan
makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar
sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena
sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis
tanpa keratinisasi.1,
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi dua
yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik.1

h. Penegakkan Diagnosis
Anamnesis

13
Keluhan utama penderita polip nasi dalah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai rasa sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal
drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.1
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip dengan asma. Selain itu, harus ditanyakan
riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya
serta alergi makanan.1

Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan. 1

Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip nasi yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila. 1

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK,
CT Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan
pada kompleks osteomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang

14
gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan
pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 1,8,9

i. Klasifikasi1,10
Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund (1997), yaitu:
 Stadium 0: Tidak ada polip, atau polip masih beradadalam sinus
 Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus media
 Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga
hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
 Stadium 3: Polip yang masif

j. Diferensial Diagnosis9,10
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-cirinya
sebagai berikut :
 Tidak bertangkai
 Sukar digerakkan
 Nyeri bila ditekan dengan pinset
 Mudah berdarah
 Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan
polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang
juga harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah
yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung
lainnya.8
Diagnosa banding lainnya adalah angiofibroma nasofaring juvenile.
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan nasal tumor ini
mempunyai tempat perleketan spesifik di dinding posterolateral atap rongga
hidung. Dari anamnesis diperoleh keluhan adanya sumbatan pada hidung dan
epistaksis berulang yang massif. Terjadi obstruksi hidnung sehingga timbul
rhinorea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba eustachius

15
menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan
adanya perluasan tumor ke intracranial.9
Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi posterior terlihat adanya tumor
yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda,
diliputi oleh selaput lender keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi
dan tidak jarang ditemukan ulserasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologic
konvensional akan terlihat gambaran klasik sebagai tanda Holman Miller yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang.9,10
Pada pemeriksaan CT Scan dengan zat kontras akan tampak perluasan
tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Angiofibroma nasofaring juvenile
banyak terjadi pada anak-anak atau remaja laki-laki. 9,10
Diagnosa banding lainnya adalah Inverted papilloma, yaitu tumor jinak
primer dari hidung dan sinus paranasal. Penyebab pasti papiloma inverted
belum diketahui. Beberapa teori telah diajukan, meliputi alergi, inflamasi
kronik dan karsinogen berhubungan dengan pajanan serta infeksi virus
papiloma.11
Tanda gejala tumor jinak ini antar lain : Rinore, epistaksis, sakit kepala,
sinusitis dan bengkak pada kedua hidung, anosmia, dan gangguan pendengaran.
Pada tumor ini ditemukan sumbatan unilateral, disertai epistaksis yang biasanya
juga terjadi unilateral dan tidak dipicu oleh sesuatu. Epistaksis akan sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan.12
Gambaran makroskopis IP mirip seperti polip tetapi lebih padat dan
permukaan bergerombol, dengan warna bervariasi dari merah muda sampai
agak pucat, lebih banyak jaringan vaskularnya dari polip. 13
Diagnosis banding lainnya adalah keganasan pada hidung. Etiologi belum
diketahui, diduga adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu, kayu, formaldehid,
kromium, dan lain-lain10

k. Penatalaksanaan

16
Tujuan utama penatalaksanaan kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe eosinofilik
memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal
dibandingkan polip tipe neutrofilik.1,2,10
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid:4,10
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,
kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc,
tiap 5-7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat
untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan
pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil,
sehingga lebih aman.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimsbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi local,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi
Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas
endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional) atau FESS.1,4,6,10

17
Gambar . Skema tatalaksana Polip nasi

l. Prognosis

18
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi.8,10
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung
kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.8,10

BAB III
LAPORAN KASUS

19
3.1 IDENTITAS
Nama : Tn. ER
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Trans 38 SEI Gohong
MRS : 29 Oktober 2019
No. CNM : 33 13 24
Tanggal Pemeriksaan : 30 Oktober 2019

3.2 ANAMNESIS
• Keluhan utama : Hidung tersumbat sejak 3 tahun yang lalu
• Keluhan : Pasien datang ke poliklinik THT dengan keluhan hidung
tersumbat yang dirasakan sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan hidung
tersumbat ini dirasakanpada hidung kiri. Keluhan disertai dengan keluar
cairan warna putih dari kedua hidung yang kadang terjatuh ke
tenggorokan, bau (-). Pasien mengaku keluhan hidung tersumbat ini
seringdisertai keluhan pusing serta penciumannya berkurang. Pasien juga
mengakusering batuk dan pilek, dan jika pilek mengeluarkan ingus yang
kental. Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya benjolan pada
ronggahidung sebelah kiri, yang menyebabkan keluhan hidung
tersumbatsemakin memberat pada hidung. Pasien merasa benjolan tersebut
mulai muncul 1 tahun belakangan ini dan benjolan semakin membesar.
Benjolan dirasakan tidak nyeri. Pasien juga mengatakan saat tidur sering
terganggu dan bernafas dari mulut karena hidung tersumbat sejak keluhan
ini muncul. Riwayat epistaksis disangkal pasien dan keluhan nyeri saat
pasien menunduk juga disangkal. Pasien mengeluhkan nyeri tenggorokan.

20
Keluhan sering nyeri tenggorokan memberat terutama dirasakan sejak 2
bulanyang lalu. Riwayatdemam (-). Tidak ada keluhan mual ataupun
muntah. Faktor yang memperberat keluhan adalah saat pasien memakan
seafood dimana hidung terasa semakin gatal dan mengeluarkan cairan
kental berwarna kekuningan dan ringan saat pasien tidak banyak
beraktivitas berat.

• Riwayat Penyakit Dahulu


- riwayat sering keluar cairan kental dari hidung dan semakin memberat
ketika terkena debu dan perubahan cuaca (+)
- riwayat hipertensi (-)
- riwayat asma (-)
- riwayat epistaksis (-)
- riwayat diabetes meilitus (-)

• Riwayat penyakit keluarga


Riwayat keluhan yang sama disertai alergi dari keluarga ibu pasien (+)

• Riwayat kebiasaan
Pasien merokok sejak usia 16 tahun, dalam satu hari bisa menghabiskan 1
bungkus rokok.

• Riwayat Pengobatan
Sebelum dioperasi pasien berobat jalan pada tanggal 21 oktober 2019 ke
poliklinik THT dan diberikan terapi medikamentosa terlebih dahulu yang
diantaranya adalah Clindamisin 300mg 2x1, Pseudoefedrin 2x1 dan Metil
prednisolon 4mg 3x1. Tetapi tidak didapatkan berkurangnya keluhan dan ukuran
polip.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

21
A. Status Generalis
• Keadaan umum : tampak sakit sedang
• Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
• TD : 120/80 mmHg
• Nadi : 80x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
• Respirasi : 22x/menit
• Suhu : 36.80 Celcius

B. Status Lokalis
Pemeriksaan Telinga
Pada pemeriksaan telinga dibagian telinga kiri dan kanan didapatkan bentuk
dan ukuran dalam batas normal, liang telinga tidak didapatkan sumbatan,
keadaan membran timpani intake, pantulan cahaya +/+.

Pemeriksaan Hidung
Pada pemeriksaan hidung kanan dan kiri didapatkan hidung dalam bentuk
normal, namun pada pemeriksaan hidung kiri didapatkan cavum nasi tampak
massa translusen multipel yang memenuhi rongga hidung bagian depan dan
tidak nyeri pada perabaan.

Pemeriksaan Tenggorok
Pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan hasil tonsil T1/TI, mukosa faring
tidak hiperemis

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium

22
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
Hb : 16,9 g/dl
Eritrosit : 5,8 jt/mm3
Leukosit : 9.660/mm3
Hematokrit : 49%
Trombosit : 298.00/mm3
LED : 6mm
Waktu perdarahan / BT : 2 menit
Waktu pembekuan / CT : 4 menit
HbS Ag (Antigen) : Negatif
Glukosa-Sewaktu : 144 mg/dl
Ureum : 34 mg/dl
Kreatinin : 0,97 mg/dl
SGOT/AST : 34 U/L
SGPT/ALT : 38 U/L

B. Pemeriksaan Radiologi

Gambar 8. Foto Thorax


Interpretasi foto thorax
- Cor tidak membesar, CTR <50%, aorta normal, trakea di tengah
- Sinuses costofrenikus dan diafragma normal
- Pulmo : Hili normal, corakan bronkovaskuler meningkat

23
- Tidak tampak bercak infiltrat
- Jaringan lunak dan tulang dinding dada tidak tampak kelainan
Kesan
1. Tidak tampak kardiomegali
2. Tidak tampak TB paru aktif

3.5 Diagnosa
- Polip cavum nasi sinistra
- Rhinosinusitis kronis sinistra

3.6 Pentalaksanaan
• Rencana dilakukan Tindakan polipektomi pada tanggal 30 Oktober 2019
• Pada tanggal 30 Oktober 2019, dilakukan Polipektomi dan didapatkan
hasil : Polip cavum nasi kiri -> tampak berbenjol-benjol, hiperemis yang
berasal dari meatus medius dan bagian depan dari konka media kiri.

FOLLOW UP

24
Hari/Tangg
Follow up Terapi
al

Rabu, 30 S : Hidung tersumbat (+) sebelah kiri • Inf RL 500cc +


Oktober Rinoskopi anterior : tampak polip crome 10 cc : D5% +
2019 hidung kiri (+), perdarahan (-) = 2:1 -> 24 tpm
• Inj Cefotaxime
KU : Baik 1gr/12 jam
TD : 120/80 mmHg
N : 82 x/menit
• Asam traneksamat
500mg/8jam/IV
RR : 21 x/menit
T : 36,8 • Ketorolac 30 mg/ 8
jam/IV
A : Polip cavum nasi • Dexametason 1gr
• PO = Lansoprazole
P : Polipektomi dengan general 30 mg 2x1
anastesi

Gambar. 9 Gambar.10
Tindakan Polip Post
Polipektomi Polipektomi

25
Hari/Tangg
Follow up Terapi
al

Kamis, 31 S : nyeri post OP (+), perdarahan tidak • Inf RL 500cc +


Oktober aktif (+), demam (-), makan minum crome 10 cc : D5% +
2019 (+), nyeri menelan(+), muntah (-), = 2:1 -> 24 tpm
tampon terpasang di hidung (-/+) • Inj Cefotaxime
1gr/12 jam
KU : Baik
TD : 110/70 mmHg • Asam traneksamat
N : 87 x/menit 500mg/8jam/IV
RR : 21 x/menit • Ketorolac 30 mg/ 8
T : 36,6 jam/IV
• Dexametason 1gr
A : Polip cavum nasi post Polipektomi • PO = Lansoprazole
H1 30 mg 2x1

Jum’at, 1 S : nyeri post OP (-), perdarahan (-), • Inf RL 500cc : D5%


November demam (-), makan minum (+), nyeri + crome 10 cc = 2:1 -
2019 menelan(-), muntah (-), tampon > 24 tpm
terpasang di hidung (-/+) • Inj Cefotaxime
1gr/12 jam
KU : Baik
TD : 120/70 mmHg • Asam traneksamat
N : 80 x/menit 500mg/8jam/IV
RR : 20 x/menit • Ketorolac 30 mg/ 8
T : 36,9 jam/IV
• Dexametason 1gr
A : Polip cavum nasi post Polipektomi • PO = Lansoprazole
H2 30 mg 2x1

26
Hari/Tangg
Follow up Terapi
al

Sabtu, 2 S : nyeri post OP (-), perdarahan (-), • PO. Cefixime 200mg


November demam (-), makan minum (+), nyeri 2x1
2019 menelan(-), muntah (-), tampon • PO. Asam
terpasang di hidung (-/+) Traneksmat 2x1
KU : Baik • Pseudoefedrin 2x1,
TD : 110/70 mmHg • Betametason 2x1
N : 91 x/menit • Asam Mefenamat
RR : 22 x/menit 500 mg 3x1
T : 36,9 • Boleh rawat jalan
A : Polip cavum nasi post Polipektomi
• Kontrol ulang 1
minggu post op ke
H3
poli THT
P : Lepas tampon cavum nasi kiri

Gambar. 3.5. Endoskopi post polipektomi

BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan kasus pasien Tn.ER 23 tahun datang ke poliklinik THT dengan


diagnosis Polip cavum nasi sinistra yang ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik yang dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2019. Dari anamnesis didapatan
keluhan hidung tersumbat sudah dialami sejak 3 tahun yang lalu dan keluhan
tersumbat dirasakan pada hidung kiri dan disertai keluar cairan warna putih dari
kedua hidung dan tidak berbau. Kemudian 1 tahun belakangan pasien merasa
benjolan mulai muncul di rasa di hidung kiri dan semakin besar dari sebelumnya.

27
Benjolan tidak nyeri, dan hidung tersumbat disertai penciuman berkurang dan nyeri
kepala. Saat tidur sering terganggu dan sering bernafas dari mulut karena hidung
yang tersumbat. Pasien mengeluh batuk dan pilek, keluhan sering muncul jika
pasien terpapar pada debu, adanya perubahan cuaca serta memakan makanan
seafood.
Berdasarkan teori pasien didiagnosa ke polip cavum nasi dengan
rhinosinusitis kronis kiri karena dari gejala utama terdapat sumbatan hidung yang
menetap dengan derajat yang bervariasi tergantung dengan lokasi dan ukuran polip.
Penderita juga mengeluh rinore cair dan post nasal drip. Anosmia atau hiposmia
dengan gangguan penghidu. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung
disertai rasa sakit kepala di daerah frontal. Gejala sekunder yang dapat timbur
adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan
gangguan kualitas hidup. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang
pada anak-anak.
Berdasarkan teori salah satu etiologi dari polip yaitu : Alergi yang merupakan
faktor yang banyak menjadi sorortan karena 3 hal yaitu , sebagian besar polip
hidung terdiri dari eosinophil, temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan
tanda alergi. Paparan allergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya
polip hidung melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung , sehingga
jaringan menjadi prolaps. Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang
mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada
daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Dari anamnesis didapatkan
bahwa pasien sering keluar cairan dari hidung dan semakin memberat ketika
terkena debu dan perubahan cuaca.
Berdasarkan pemeriksaan fisik hidung kiri dengan rhinoskopi anterior
didapatkan vestibulum nasi : hiperemis (+), secret mukopurulen (+), cavum nasi :
tampak massa berwarna pucat, translusen multiple dan soliter.
Berdasarkan teori pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang
berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan dan tidak
nyeri. Berdasarkan klasifikasi Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund

28
(1997), pasien merupakanStadium 2 yaitu polip sudah keluar dari meatus media,
tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung.
Penatalaksanaan polip nasi sesuai bagan dari penalaksaan polip hidung,
pada stadium 2 dapat dilakukan dengan terapi bedah dan terapi medik. Sebelumnya
pasien datang pada tanggal 21/10/2019 ke poliklinik THT dan diberikan terapi
medikamentosa terlebih dahulu, pada tanggal 29/10/2019 pasien kembali kontrol
ke poli tetapi tidak didapatkan berkurangnya keluhan dan ukuran polip sehingga
pada tanggal 30/10/2019 dilakukan operasi Polipektomi.
Secara makroskopik polip post polipektomi didapatkan massa bertangkai
dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat multiple. Hal ini sesuai dengan keadaan yang
didapatkan pada saat operasi.

Selama perawatan di RS pasien diterapi dengan pemberian obat :


 Inj. Cefotaxime 1gr/12 jam merupakan Obat ini merupakan obat golongan
sefalosporin antibiotik spektrum luas yang melawan banyak bakterigram-
positif dan gram-negatif. Oleh karena spektrumnya yang luas, sefotaksim
digunakan untuk berbagai infeksi.
 Kalnex 500 mg/8jam/IV adalah obat dengan kandungan Asam Traneksamat
500 mg. Asam Traneksamat merupakan golongan anti-fibrinolitik yang
digunakan untuk membantu menghentikan pendarahan pada sejumlah
kondisi, Asam Traneksamat merupakan competitive inhibitor dari aktivator
plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan
menghancurkan fibrinogen, fibrin dari faktor pembekuan darah lain, oleh
karena itu Asam Traneksamat dapat digunakan untuk mengatasi perdarahan
akibat fibrinolisis yang berlebihan. Kegunaan Asam Traneksamat lainnya
termasuk untuk mengatasi masalah pendarahan abnormal pascaoperasi.
 Ketorolac 30 mg/8 jam/IV merupakan Ketorolac adalah salah satu jenis
obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs) yang biasanya dipakai untuk
meredakan peradangan dan rasa nyeri pasca operasi.

29
 Dexametason 1 gr merupakan disebut juga polipektomi
medikamentosayaitu golongan kortikosteroid sebagai anti inflamasi pada
polip hidung berfungsi untuk mengurangi infiltrasi dan aktivasi eosinofil
serta mengurangi sekresi dari sitokin kemotaktik oleh mukosa dan sel sel
epitel polip. Penelitian histologi mengemukakan terjadi penurunan protein
kationik eosinofil dan konsentrasi albumin secara signifikan seperti reduksi
kadar eotaxin dan fibronektin, pada jaringan homogenasi dari pasien polip
hidung yang diterapi dengankortikosteroid oral. Dengan
mempertimbangkan inflamasi yang didominasi oleh eosinofil. Pada
patofisiologi polip hidung dan efek inhibisi dari kortikosteroid pada
inflamasi tersebut, kortikosteroid menjadi terapi andalan pada polip hidung.
 Obat minum Lansoprazole 30 mg 2x1 merupakan Lanzoprazole adalah
kelompok obat proton pump inhibitor. Obat ini digunakan untuk mengatasi
gangguan pada sistem pencernaan akibat produksi asam lambung yang
berlebihan. Pasien ini diberikan karena salah satu efek samping dari
pemberian dexametason.
Pasien dipulangkan setelah pengangkatan tampong cavum nasi kiri dan tidak
didapatkan perdarahan. Pasien disarankan untuk kontrol di poli THT setelah
pemberian obat oral habis.

BAB V
KESIMPULAN

Pasien 23 tahun datang ke poliklinik THT dengan diagnosis Polip cavum


nasi sinistra yang ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik. Berdasarkan
klasifikasi Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund (1997), pasien
merupakanStadium 2 yaitu polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga
hidung tapi belum memenuhi rongga hidung.Penatalaksanaan polip hidung
berfokus pada pendekatan dengan obat obatan, dengan pilihan utamanya berupa
kortikosteroid oral dan intranasal, pembedahan dilakukan pada pasien yang tidak
berespon terhadap obat obatan. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan

30
polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa yang menjadi terapi andalan
pada polip hidung.
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya
jugaperlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Sehingga terapi yang
paling ideal alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab
daneliminasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. 2000)
2. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology
of the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology.
New York: Thieme, 2006, h. 2 – 13)
3. Christopel V.S. Perbedaan Rasio Eosinofil-Limfosit pada Derajat Klinis
Polip Nasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. 2018)

31
4. Agustin Sutrawati NMD, Ratnawati LM. Karakteristik penderita polip nasi di
Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari 2014-2015.
Mediciana 2019 Vol 50. 2019 : 138-42)
5. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit
TelingaHidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia. 1989
6. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea&
Febiger 14th edition. Philadelphia. 1991
7. Newton, JR. Ah-See, KW. A Review of nasal polyposis. Therapeutics and
Clinical Risk Management 2012:4(2) 507–512
8. Polip Nasal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31926/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 12 November 2019
9. Drake Lee AB. Nasal Polyps. In: Scott Brown’s Otolaryngology, Rhinology.
5th Ed Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR ests) Butterworths. London, 1987:
142-53
10. Darusman, Kianti Raisa. Referat: Polip Nasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Trisaksi. 2002
11. Salim, Agus. Imunoekspresi p63 Pada Inverted Papilloma Dan Karsinoma
Sel Skuamosa Sinonasal Available at
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33509 [accessed on September,
10]
12. Thapa, Narmaya. 2010. Diagnosis and Treatment of Sionasal Inverted
Papilloma. Nepalese Journal of ENT Head and Neck Surgery; Volume 1,
No.1 (Jan-June 2010).
13. Lee DK, Chung SK, Dhong HJ et al Focal hyperrotosis on CT of sinonasal
inverted papilloma as a predicator of tumor origin. ANJR Am J Neuroradiol.
2007. PubMed citation

32

Anda mungkin juga menyukai