Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan nila memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga banyak

dibudidayakan secara intensif. Sistem budidaya secara intensif memiliki

keunggulan yaitu padat tebar tinggi sehingga tingkat produksi tinggi. Namun juga

memiliki kekurangan yaitu menghasilkan limbah budidaya yang tinggi. Limbah

tersebut merupakan akumulasi dari residu organik yang berasal dari pakan yang

tidak termakan, ekskresi amoniak, dan feses. Limbah ini berdampak buruk bagi

kualitas air budidaya sehingga kehidupan ikan menjadi terganggu seperti

pencemaran air media pemeliharaan.

Pakan merupakan input produksi budidaya yang sangat menentukan

tingkat pertumbuhan ikan, namun sebagian pakan yang diberikan hanya 25% yang

dikonversi sebagai hasil produksi dan yang lainnya terbuang sebagai limbah (62%

berupa bahan terlarut dan 13% berupa partikel terendap). Hal ini berdampak

secara signifikan terhadap degradasi kualitas air pada sistem budidaya. Salah satu

teknologi budidaya ikan yang mampu memanfaatkan limbah budidaya terutama

dalam bentuk ammonia adalah teknologi bioflok. Teknologi bioflok merupakan

sistem pemanfaatan limbah nitrogen pada budidaya ikan oleh bakteri heterotrof.

Bakteri heterotrof merupakan golongan bakteri yang mampu memanfaatkan

bahan-bahan organik sebagai bahan makanannya (Riberu, 2002). Teknologi ini

didasarkan pada konversi nitrogen anorganik terutama ammonia oleh bakteri

heterotrof menjadi biomassa mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh

organisme budidaya (Ekasari, 2009).

1
Bakteri heterotrof merupakan penyusun utama bioflok. Di alam, bakteri

heterotrof mendominasi ketersediaan mikroorganisme dengan jenis yang

bervariasi. Namun demikian, bakteri heterotrof sebagai pembentuk bioflok dapat

pula diperoleh dari biakan murni atau dalam bentuk produk komersil (probiotik).

Efektivitas kemampuan sumber bakteri yang berbeda dalam sistem bioflok belum

diketahui secara pasti. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai

efektivitas penggunaan beberapa sumber bakteri dalam sistem bioflok terhadap

keragaan ikan nila (Oreochromis

1.2 Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :

1. Agar mahasiswa lebih memahami bidang bioteknologi pada salah satu

usahabudidaya.

2. Mengetahui proses bioteknologi pada salah satu usaha perikanan budidaya.

3. Mengetahui dampak bioteknologi pada salah satu usaha perikanan

budidaya.

4. Mengetahui dan menganalisis perkembangan industry aquaculture pada

salah satu usaha budidaya.

5. Mengetahui perkembangan industry aquaculture pada salah satu usaha

perikanan budidaya.

1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang didapatkan dari praktikum ini adalah :

1. Agar dapat mengetahui bidang bioteknologi pada salah satu usaha

budidaya.

2
2. Agar dapat mengetahui proses bioteknologi pada salah satu usaha

perikanan budidaya.

3. Agar dapat mengetahui dampak bioteknologi pada salah satu usaha

perikanan budidaya.

4. Agar dapat mengetahui dan menganalisis perkembangan industry

aquaculture pada salah satuusaha budidaya.

5. Agar dapat mengetahui perkembangan industry aquaculture pada salah

satu usaha perikanan budidaya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila Merah Oreochromis sp.

Ikan nila merah termasuk dalam famili Cichlidae yang memiliki sifat

mouthbreeder atau memelihara telur dan larva dalam mulut. Nila merah mulai

dikenal di kalangan masyarakat karena ciri fisiknya yang menyerupai kakap

merah. Nila merah merupakan hasil persilangan dari beberapa spesies ikan

nilayang menghasilkan warna merah yang bervariasi (Anonim, 2009c). Klasifikasi

ikan nila merah menurut Dr. Trewavas (Suyanto, 2003) adalah sebagai berikut :

Gambar 1. ikan nila merah

Filum : Chordata

Kelas : Osteichtyes

Ordo : Percomorphi

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis sp.

Ikan nila memiliki bentuk tubuh memanjang, ramping dan relatif pipih.

Ikan nila juga memilki kemampuan adaptasi yang baik dalam berbagai jenis air,

tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivor, mampu mencerna

makanan secara efisien, memiliki pertumbuhan yang cepat serta tahan terhadap

4
penyakit (Suyanto, 2003). Ikan nila bersifat omnivora dan dapat

memanfaatkanfitoplankton, zooplankton, bakteri dan detritus sebagai pakan. Ikan

nila juga diketahui memiliki kemampuan untuk memfilter fitoplankton dengan

diameter kurang dari 5 µm di perairan (Lovell, 1989).

2.2 Pakan

Pakan yang digunakan selama penelitian ini adalah pakan buatan khusus

bagi kepiting dan di produksi di Laboratorium Pakan Universitas Hasanudin.

Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu probiotik B engandung bakteri

Lactobacillus, Rhodopseudomonas, Saccarhomyces), probiotik C (mengandung

bakteri Lactobacillus, Nitrosomonas, Bacillus subtilis, Bacillus sp.

2.3 Kebutuhan Kualitas Air Ikan Nila Merah Oreochromis sp.

2.2.1 Suhu

Suhu air akan mempengaruhi laju pertumbuhan, laju metabolisme dan

nafsu makan ikan. Suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan oksigen dan zatzat

toksik yang terlarut dalam air. Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan

kecepatan metabolisme dan respirasi ikan, dan selanjutnya mengakibatkan

peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC akan

menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen olehorganisme akuatik hingga 2-3

kali lipat (Effendi, 2003). Kisaran suhu optimal dalam pemeliharaan ikan nila

berkisar antara 25–30 oC (Hepher and Pruginin, 1981).

2.2.2 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen merupakan faktor pembatas dalam perairan, sehingga apabila

ketersediaannya dalam air tidak mencukupi kebutuhan ikan budidaya, maka

segala aktivitas ikan akan terhambat. Pada umumnya, ikan nila masih dapat

5
bertahan hidup pada perairan dengan kadar oksigen terlarut (DO) lebih rendah

dari 0,5 mg/L, namun DO minimum yang harus dipertahankan dalam

pemeliharaan ikan nila harus lebih tinggi dari 3 mg/L, karena rendahnya DO dapat

berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat

mengakibatkan kematian (Popma dan Lovshin, 1996).

2.2.3 Nilai pH

Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan

basa dalam air. Menurut Odum (1971), nilai pH berfungsi sebagai faktor pembatas

bagi kehidupan organisme dan sebagai indeks lingkungan. Nilai pH dipengaruhi

oleh beberapa faktor antara lain aktivitas fotosintesis, aktivitas biologi, suhu,

kandungan oksigen dan adanya kaitan dengan anion dalam perairan. pH di bawah

6,5 atau lebih besar dari 9 dapat menurunkan kemampuan reproduksi dan

pertumbuhan ikan. Ikan nila dapat hidup pada kisaran pH antara 6,0-8,5. Namun

pertumbuhan optimalnya terjadi pada pH 7,0-8,0 (Suyanto, 2003).

2.4 Nitrogen dalam Sistem Akuakultur

Bentuk nitrogen dalam perairan mencakup nitrogen anorganik dan

organik. Nitrogen anorganik terdiri atas amonia (NH3), amonium (NH4+), nitrit

(NO2-), nitrat (NO3-) dan molekul nitrogen dalam bentuk gas (N2). Sedangkan

nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea (Effendi, 2003). Sumber

utama nitrogen dalam sistem akuakultur adalah pupuk dan pakan.

Ikan dan krustasea hanya mengasimilasi 20-25% protein dalam pakan yang

diberikan, sisanya akan diekskresikan ke dalam air dalam bentuk nitrogen

anorganik (Avnimelech dan Ritvo, 2003). Adanya akumulasi nitrogen anorganik,

terutama amonia sebagai hasil metabolisme ikan serta proses dekomposisi dari

6
pakan tak termakan (uneaten feed) dan feses dalam kolam budidaya merupakan

salah satu masalah utama dalam sistem budidaya intensif.

Amonia merupakan bentuk nitrogen anorganik yang bersifat toksik

terhadap organisme budidaya. Konsentrasi amonia yang tinggi di dalam air akan

mempengaruhi permeabilitas ikan oleh air dan mengurangi konsentrasi ion di

dalam tubuh. Amonia juga meningkatkan konsumsi oksigen di jaringan, merusak

insang, dan mengurangi kemampuan darah mengangkut oksigenAmonia mulai

menurunkan nafsu makan ikan nila pada konsentrasi 0,08 mg/L dan dapat

menyebabkan kematian pada konsentrasi 0,2 mg/L (Popma dan Lovshin, 1996).

Effendi (2003) menyatakan bahwa amonia dalam perairan terukur dalam

dua bentuk, yaitu amonia yang tak terionisasi (NH3) dan ion amonium (NH4+).

Keseimbangan antara ion amonium dan amonia tergantung pada nilai pH dan suhu

perairan.

2.5 Teknologi Bioflok

Teknologi bioflok merupakan teknologi budidaya yang didasarkan pada

prinsip asimilasi nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) oleh komunitas

mikroba (bakteri heterotrof) dalam media budidaya yang kemudian dapat

dimanfaatkan oleh organisme budidaya sebagai sumber makanan Bioflok

merupakan suatu agregat yang tersusun atas bakteri pembentuk flok, bakteri

filamen, mikroalga (fitoplankton), protozoa, bahan organik serta pemakan bakteri

dan dapat mencapai ukuran hingga 1000 µm (De Schryver et al., 2008).

Adanya pemanfaatan nitrogen anorganik oleh bakteri heterotrof mencegah

terjadinya akumulasi nitrogen anorganik pada kolam budidaya yang dapat

menurunkan kualitas perairan. Penambahan sumber karbon ke dalam air

7
menyebabkan nitrogen dimanfaatkan oleh bakteri heterotrof yang selanjutnya

akan mensintesis protein dan sel baru (protein sel tunggal). Bioflok kemudian

dimanfaatkan sebagai pakan ikan sehingga dapat mengurangi kebutuhan protein

pakan.Peningkatan pengambilan nitrogen karena pertumbuhan bakteri heterotrof

dapat menurunkan konsentrasi amonia lebih cepat dibandingkan bakteri

nitrifikasi. Immobilisasi amonia oleh bakteri heterotrof terjadi lebih cepat karena

laju pertumbuhan dan hasil biomassa mikroba per unit substrat dari bakteri

heterotrof 10 kali lebih tinggi daripada bakteri nitrifikasi (Hargreaves,

2006).Beberapa faktor kunci pengembangan sistem heterotrof dalam budidaya

yaitu:

(1) padat tebar tinggi

(2) aerasi cukup untuk mempertahankan pencampuran (mixing) air, dan

(3) input bahan organik yang tinggi yang akan dimanfaatkan sebagai sumber

makanan oleh ikan dan bakteri, serta dapat menciptakan keseimbangan nutrien

yang dibutuhkan bakteri seperti karbon dan nitrogen (McIntosh, 2000).

Beberapa parameter penting dalam sistem budidaya dengan teknologi bioflok

antara lain total suspended solid (TSS), volatile suspended solid (VSS) dan

volume flok (FV). Padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi

dengan diameter > 1 µm yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter

pori 0,45 µm. Di dalam perairan, TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta

jasad-jasad renik (Effendi, 2003).

8
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu Dan Tempat Praktikum

Praktikum ini di laksanakan di BPBAT (Balai Perikanan Budidaya Air

Tawar) pada hari Senin 21 Oktober 2019 Pukul 08.00 Wita s/d selesai.

3.2 Alat Dan Bahan

1. Alat

Adapun alat yang di gunakan dalam praktikum ini :

Tabel 1. Alat

no Alat Kegunaan

1 Pena Untuk menulis

2 Buku Untuk mencatat hasil

3 Camera Documentasi wawancara

2. Bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini:

Tabel 2. Bahan

No Bahan Kegunaan

1. Sumber Sebagai bahan utama

9
3.3 Prosedur Kerja

1. Persiapan Alat Dan Bahan

2. Mengajukan pertanyaan:

a. Produk bioteknologi aquaculture apa yang dilakukan dalam usaha anda?

b. Bagaimana proses bioteknologi yang anda lakukan?

c. Bagaimana dampak yang dihasilkan oleh bioteknologi pada usaha anda ?

d. Apakah dengan diadakannya proses bioteknologi dapat memberikan

pengaruh pada pengembangan industri aquacultur?

e. Bagaimana perkembangan industri aquaculture pada usaha anda?

10
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari hasil praktikum didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 3. Hasil

no Pertanyaan Jawaban

1. Produk bioteknologi Teknologi Bioflok

aquaculture apa yang dilakukan

dalam usaha anda?

2.Bagaimana proses bioteknologi Memanfaatkan bakteri heterotrof

yang anda lakukan? sebagai organisme yang mengubah

amoniak menjadi Nitrat dan nitrit

3.Bagaimana dampak yang Memberikan dampak yang positif

dihasilkan oleh bioteknologi pada karena efektifitas serta efisien pakan

usaha anda dan lahan dalam sistem budidayanya

4.Apakah dengan diadakannya Ya sangat berpengaruh

proses bioteknologi dapat

memberikan pengaruh pada

pengembangan industri aquacultur?

5.Bagaimana perkembangan industri Perkembangan yang sangat pesat karena

aquaculture pada usaha anda? mampu menggunakan lahan yang kecil

dan efisien terhadap air dan pakan

11
4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini kita mendapatkan hasil dari beberapa pertanyaan

yang kami ajukan yaitu teknologi bioflok ini membawa pengaruh besar terhadap

keberhasilan suatu budidaya pada dasarnya teknologi bioflok ini dapat digunakan

secara efektif dan efisien baik efisien terhadap lahan , air dan pakan oleh karena

itu teknologi bioflok merupakan teknologi masa depan dalam bidang akuakulture

karena semakin sempitnya lahan yang di sebabkan banyaknya manusia yang

menggunakan lahan sebagai pembangunan rumah toko dan bidang pertanian

untuk itu teknologi bioflok dapat dijadikan sebagai pilihan untuk berbudidaya.

12
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Teknologi bioflok adalah teknologi yang dapat menguntungkan bagi para

pembudidaya dan mampu bersaing untuk masa depan dalam bidang perikanan

karena hemat lahan hemat air dan pakan serta murah dalam melakukan budidaya

dan juga dengan mudah mengontrol perumbuhan baik kualitas air dan

sebagainya.

5.2 Saran

Mahasiswa harus dapat memahami tehnik tehnik yang di gunakan dalam

tehnologi bioflok dan dapat memecahkan masalah apa saja dalam mengunakan

tehnologi bioflok

13
DAFTAR PUSTAKA

Avnimelech Y. 2007. Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal

discharge bio-flocs technology ponds. Aquaculture 264, 140-147.

Avnimelech Y, Ritvo G. 2003. Shrimp and fish pond soils: processes and

management. Aquaculture 220, 549-567.

Azim ME, Little DC. 2008. The biofloc technology (BFT) in indoor tanks: water

quality, biofloc composition, and growth and welfare of Nile tilapia

(Oreochromis niloticus). Aquaculture 283, 29-35.

Boyd CE. 1988. Water quality in warmwater fish ponds. Auburn University.

Agricultura Experiment Station. Alabama. 359 hal.

De Schryver P, Verstraete W. 2009. Nitrogen removal from aquaculture pond

water by heterotrophic nitrogen assimilation in lab-scale sequencing batch

reactors. Bioresource Technology 100, 1162-1167.

Effendi H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumberdaya dan

lingkungan perairan. Jakarta: Gramedia. 257 hal.

Effendi I. 2004. Pengantar akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya. 188 hal.

Suyanto R. 2003. Nila. Jakarta: Penebar Swadaya. 105 hal.

14
15

Anda mungkin juga menyukai