Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asal kata bioflok adalah dari kata bio yang berati kehidupan dan flok yang
berasal dari kata floc yang berarti gumpalan. Bioflok dapat diartikan sebagai
kumpulan mahluk hidup berukuran kecil (mikroorganisme) yang menyatu menjadi
gumpalan-gumpalan. Pada kenyataan yang menyatu dalam sebuah flok adalah bukan
hanya mahluk hidup saja (biotik), akan tetapi juga terdapat komponen abiotik yang
berperan penting dalam membentuk sistem flok tersebut.

Mikroorganisme air yang membentuk bioflok diantaranya adalah bakteri


heterotrof, fitoplankton, zooplankton, protozoa, nematoda, dan spesies alga. Pada
perairan yang besrsifat mesotrofik dan eutrofik kandungan fitoplankton dan
zooplankton serta mikroorganisme lainnya akan tinggi, sehingga berpeluang
membentuk bioflok yang sarat akan muatan mikroorganisme.

Selain mengandung mikroorganisme, di dalam bioflok juga terdapat feses,


sisa makanan, dan detritus (mikroorganisme mati yang terdekomposisi. Pada
budidaya ikan dengan kepadatan tinggi keberadaan feses, sisa pakan, dan detritus
akan tinggi. Sisa pakan akan menjadi komponen abiotik terbesar dalam bioflok.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan sistem bioflok ?
2. Bagaimana cara membuat sistem bioflok pada ikan gurami ?
3. Apa manfaat dari sistem bioflok ?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa itu sistem bioflok
2. Mahasiswa dapat mengetahui cara membuat sistem bioflok pada ikan gurami
3. Mahasiswa dapat mengetahui manfaat dari sistem bioflok
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teknologi Bioflok Untuk Budidaya Ikan Gurame
Teknologi bioflok pertama kali dikembangkan pada awal 1970 di Ifremer-
COP dengan spesies penaeid yang berbeda termasuk Penaeus monodon,
Fenneropenaeus merguiensis, Litopenaeus vannamei dan L. stylirostris. Pada
tahun 1980an dan awal 1990an Israel dan Amerika Serikat memulai teknologi
bioflok (BFT) dengan menggunakan ikan nila dan udang putih L. vannamei.

Teknologi bioflok (BFT/Bio Floc Technology) dalam akuakultur adalah


teknologi yang dikembangkan dengan memanfaatkan kemampuan
mikroorganisme yang membentuk flok untuk menghasilkan kondisi media
budidaya yang mendukung produksi ikan yang baik sekaligus menyediakan pakan
dalam bentuk flok yang potensial untuk meningkatkan efisiensi pakan dan
pertumbuhan ikan. Teknologi ini secara fisiologis akan mampu meningkatkan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan; secara ekonomis terwujudnya efiensi
pakan dan pergantian air dapat menekan biaya budidaya; dan secara ekologis
keberadaan bakteri yang melimpah mampu merombak bahan organik dengan
cepat sehingga timbulnya gas-gas beracun seperti NH3 dan H2S dapat terkendali
dan terwujud lingkungan perairan yang aman untuk mendukung budidaya
perikanan yang berkelanjutan.

Salah satu keunggulan dari budidaya sistem bioflok adalah hemat air,
karena tidak memerlukan pergantian air sepanjang proses budidaya. Bagi
pembudidaya ikan gurame, keunggulan ini akan memberikan dua keuntungan.
Keuntungan pertama adalah akan sedikit kontak pembudidaya dengan ikan,
sehingga akan dapat mengurangi stress bagi ikan gurame dan kematian ikan
akibat stres juga dapat dihindari. Keuntungan kedua adalah tidak adanya
pergantian air akan mengurangi biaya pengadaan air dan juga mengurangi biaya
listrik, sehingga biaya produksi akan lebih murah dan secara ekonomi
memberikan keuntungan yang lebih besar.
2.2 Bioflok Dan Mortalitas Ikan Gurame
Berdasarkan hasil analisis ragam diperoleh bahwa perlakuan C/N ratio
berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap mortalitas
ikan Gurame. Hasil uji lanjut pada Penelitian Tahun I menggunakan beda nyata
terkecil, terlihat bahwa kontrol berbeda nyata dengan perlakuan C/N ratio 12, 16,
dan 20. Perlakuan C/N ratio 12 sama dengan C/N ratio 16, tetapi berbeda dengan
perlakuan C/N ratio 20. C/N rasio 20 pada Penelitian Tahun I memberikan tingkat
mortalitas terbaik yaitu 0 (tidak ada ikan yang mati).

Pada penelitian Tahun II, perlakuan C/N rasio 12 memberikan pengaruh


yang lebih baik terhadap mortalitas dibanding kontrol. Proporsi protein pakan
yang rendah tidak mempengaruhi kemampuan bioflok (C/N rasio) untuk
mendukung kehidupan ikan yang baik, yaitu dengan tingkat mortalitas yang
rendah. Hal ini menunjukkan peran penting bioflok (C/N rasio) dalam
mengendalikan kematian ikan.

Mortalitas merupakan persentase ikan yang mati pada akhir penelitian.


Hasil penelitian ini memperlihatkan mortalitas ikan pada media bioflok lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol. Mortalitas dapat terjadi dikarenakan kualitas
air yang jelek atau karena pathogen. Pada penelitian ini kualitas air media
pemeliharaan pada media bioflok yang tidak ganti air dan kontrol yang ganti air
relatif sama (lihat Bab 6). Rendahnya nilai mortalitas pada media bioflok karena
ada peranan dari bakteri. Penambahan karbon pada media pemeliharaan ikan akan
meningkatkan kelimpahan bakteri. Pada penelitian ini nilai kelimpahan bakteri
pada media perlakuan C/N ratio (bioflok) lebih tinggi daripada kontrol pada akhir
penelitian. Bakteri yang tumbuh pada media bioflok ini merupakan bakteri
heterotroph dan menguntungkan. Tingginya jumlah bakteri yang menguntungkan
ini akan melawan bakteri pathogen yang ada di media pemeliharaan ikan. Selain
itu bioflok yang mengandung poly-β hydroxybutirate dapat meningkatkan system
imun ikan (Defoirdt dkk.(2007). Menurut Boyd (2015), nilai konsentrasi nitrit
0,66-2,00 mg/L dapat menyebabkan kematian pada ikan air tawar.

2.3 Konversi Pakan


Pakan ikan Gurame memperlihatkan bahwa media pemeliharaan ikan dengan
C/N ratio 12 memberikan efisiensi pakan terbaik, yaitu sebesat 1,31. Berdasarkan
hasil analisis ragam diperoleh bahwa C/N ratio berbeda memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (P<0,05) terhadap konversi pakan ikan Gurame. Hasil uji lanjut
menggunakan beda nyata terkecil, terlihat bahwa konversi pakan pada perlakuan
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Konversi pakan pada perlakuan kontrol memberikan hasil terendah dari


perlakuan lainnya, yaitu sebesar 1,82. Perlakuan C/N ratio 12 berbeda nyata dengan
perlakuan C?N ratio 16, tetapi sama dengan C/N ratio 20; sedangkan konversi pakan
perlakuan C/N ratio 16 sama dengan C/N ratio 20.

2.4 Kualitas Air

Suhu air selama penelitian berkisar antara 25,0-28,4 oC pada Tahun I dan
23,3–30,0 oC (Tabel 2). Nilai suhu tersebut masih tergolong baik sampai optimal
untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan Gurame. [12] menetapkan
kisaran sushu untuk kehidupan ikan adalah antara 12-35 oC dengan kisaran terbaik
anatara 24-30 oC.

Kisaran suhu pada setiap perlakuaan relatif sama, menunjukkan C/N rasio
yang berbeda tidak mempengaruhi suhu. Dengan demikian sekalipun pada
perlakuan C/N rasio tidak dilakukan pergantian air akan tetapi memiliki suhu
yang relatif sama dengan kontrol.
Nilai pH air menunjukkan derajat keasamaan air, semakin rendah pH derajat
keasamaannya semakin tinggi. Nilai pH air selama penelitian berkisar antara 6,3-7,2
(Penelitian Tahun I) dan 6,4-8,8 (Penelitian Tahun II) (Tabel 1). Sebaran nilai pH
tersebut masih tergolong normal, bahkan optimal. Menurut Bhatnagar and Devi
(2013) ikan masih dapat hidup pada kisaran pH 4-11, akan tetapi mencapai daya
dukung yang optimum pada pH 6,0-9,0.
Kelarutan Oksigen (DO)

Oksigen sangat dibutuhkan untuk proses pernapasan ikan. Ikan gurame


memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut labirin sehingga mampu hidup pada
oksigen yang rendah. Menurut Bhatnagar and Devi 2013 oksigen terlarut yang masih
dapat ditolerir oleh ikan adalah > 2 mg/L, dan ikan hidup optimal pada oksigen
terlarut > 5 mg/L. Konsentrasi oksigen terlarut pada Tahun I berkisar antara 5,1-7,7
mg/L dan pada Tahun II berkkisar antara , sehingga tergolong optimal untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hisupnya ikan Gurame.
Total Amonia (TAN)

Nilai TAN pada semua perlakuan masih dalam batas yang layak untuk
kelangsungan hidup ikan Gurame. Pada penelitian Tahun pertama didapatkan nilai
TAN antara 0,4-1,2 mg/L. Nilai TAN terendah diperoleh pada perlakuan konrol,
proses penyiponan dan pergantian air efektif mengeliminasi bahan organik, sehingga
kadar amonianya juga rendah. Pada perlakuan C/N rasio 12 dan 20 diperoleh nilai
TAN yang cukup tinggi yaitu 1,2 mg/L, akan teapi nilai tersebut masih dibawah
ambang batas amonia aman yang ditetapkan Bhatnagar and Devi 2013. Penambahan
karbon untuk meningkatkan C/N rasio terbukti mampu mengendalikan amonia
sekalipun tidak dilakukan pergantian air.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Hasil Pengamtan Amonia Awal Dan Akhir Penelitian Terjadi Penurunan
Nilai Tan, Yang Dapat Mengindikasikan Bahwa Bahan Organik Dimanfaatkan
Oleh Bakteri Untuk Pertumbuhannya. Menurut Hargreaves (2006), Untuk
Pertumbuhannya Bakteri Memanfaatkan Nitrogen, Sehingga Menurunkan
Konsentrasi Ammonium Yang Ada Di Dalam Air. Akumulasi Bahan Organik
Menurun Karena Adanya Aktivitas Bakteri (Avnimelech 2012). Pada Kontrol,
Nilai Tan Relatif Tidak Begitu Berfluktuasi Dibandingkan Pada Perlakuan C/N
Ratio, Dan Nilainya Juga Lebih Rendah. Rendahnya Nilai Tan Pada Perlakuan
Kontrol Dikarenakan Adanya Pergantian Air Sebanyak 20% Setiap Harinya.
Selain Itu Rendahnya Nilai Tan Pada Kontrol Dikarenakan Adanya Proses
Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Oleh Bakteri, Yang Merubah Tan Menjadi Nitrit Dan
Nitrat.
DAFTAR PUSTAKA

H. Manan, J. Hwei, Z. Moh, N. Azman, and K. Suhaimi, “Identification of biofloc


microscopic composition as the natural bioremediation in zero water exchange of
Pacific white shrimp , Penaeus vannamei , culture in closed hatchery system,”
Appl. Water Sci., vol. 7, no. 5, pp. 2437–2446, 2017.

Y. Avnimelech and G. Ritvo, “Shrimp and fish pond soils : processes and
management,” vol. 220, no. 1–4, pp. 549–567, 2003.

R. Crab, Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier, and W. Verstraete, “Nitrogen


removal techniques in aquaculture for a sustainable production,” Aquaculture, no.
October 2017, pp. 1–14, 2007.

D. J. W. Moriarty, “The role of microorganisms in aquaculture ponds,”


Aquaculture, vol. 151, no. 1997, pp. 333–349, 1997.

R. Affandi, “Studi kebiasaan makanan ikan gurame (Ospronemus gouramy),” J.


Ilmu-ilmu Perair. dan Perikan. Indones., vol. 1, no. 2, pp. 56–67, 1993.

I. Mokoginta, M. Suprayudi, and M. Setiawati, “Kebutuhan opiimtum protein dan


energi pakan benih ikan gurame (Osphronemus gouramy lac.),” J. Penelit.
Perikan. Indoinesia, vol. 1, no. 3, pp. 82–94, 1995.

D. P. Anderson, “Environmental factors in fish health: immunological aspects,”


Fish Physiol., vol. 15, no. 1996, pp. 289–310, 1996.

J. Ekasari, “Teknologi Biotlok : Teori dan Aplikasi dalam Perikanan Budidaya


Sistem Intensif,” J. Akuakultur Indones., vol. 8, no. 2, pp. 117–126, 2009.

W. J. Xu, L. Q. Pan, X. H. Sun, and J. Huang, “Effects of bioflocs on water


quality , and survival , growth and digestive enzyme activities of Litopenaeus
vannamei ( Boone ) in zero -water exchange culture tanks,” pp. 1–10, 2012.
[10] M. Emerenciano, E. L. C. Ballester, R. O. Cavalli, and W. Wasielesky,
“Biofloc.

Anda mungkin juga menyukai