S
DENGAN GAGAL NAFAS
Disusun Oleh :
1. Latifah Nur Azalia ( P1337420217049 )
2. Elis Atika ( P1337420217050 )
3. Ni’mah Rahmawati ( P1337420217053 )
4. Feni Rishayani ( P1337420217059 )
5. Feby Aldila Damyanti ( P1337420217066 )
6. Maginta Resy Diana ( P1337420217067 )
7. Metri Astriani ( P1337420217070 )
8. Abizhar Anugrah Haryo Suseno ( P1337420217081 )
9. Dwi Putri Rizkiyati ( P1337420217082 )
3B
A. PENGERTIAN
Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi
hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan
asidosis (Corwin, 2009). Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran
gas paru yang mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon
dioksida dan oksigen yang tidak adekuat (Morton, 2011).
Urden, Stacy dan Lough mendifinisikan gagal napas akut sebagai suatu
keadaan klinis yaitu sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran
gas yang adekuat (Chang, 2009). Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak
adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi
karbondioksida arteri) dan asidosis.
B. ETIOLOGI
1. faktor penyebab gagal napas
a. penyakit paru/ jalan napas instrinsik
1) Obstruksi jalan napas besar:
a) Deformitas kongenital
b) Laringitis akut, epiglotis
c) Benda asing
d) Tekanan ekstrinsik
e) Cedera traumatik
f) Pembesaran tonsil dan adenoid
g) Apnea tidur obstruktif
2) Penyakit bronkial:
a) Bronkitis kronis
b) Asma
c) Bronkiolitis akut
3) Penyakit parenkim:
a) Emfisems pulmonal
b) Fibrosis pulmonal dan penyakit infiltratif difusi kronis lainnya.
c) Pneumonia berat.
d) Cedera paru akut akibat berbagai penyebab (sindrom gawat napas
akut).
4) Penyakit kardiovaskulaer:
a) Edema jantung paru
b) Embolisme paru masif atau berulang
c) Vaskulitis pulmonal
b. Gangguan ekstra pulmonal:
1) Penyakit pleura dan dinding dada:
a) Pneumototaks
b) Efusi pleura
c) Fibrotoraks
d) Deformitas dinding dada
e) Cedera traumatik pada dinding dada: flail chest
f) Obesitas
2) Gangguan otot pernapasan dan taut neuromuskuler:
a) Miastenia gravis dan gangguan mirip miastenia
b) Distrofi muskuler
c) Polimiositis
d) Botulisme
e) Obat paralisis otot
f) Hipokalemia berat dan hipofosfatemia
3) Gangguan saraf perifer dan medula spinalis:
a) Poliomielitis
b) Sindrom Guillain-Barre
c) Trauma medula spinalis (kuadriplegia)
d) Sklerosis lateral amiotropik
e) Tetanus
f) Sklerosis multipel
4) Gangguan sistem saraf pusat:
a) Overdosis obat sedatif dan narkotik
b) Trauma kepala
c) Hipoksia serebral
d) Cedera serebrovaskuler
e) Infeksi sistem saraf pusat
f) Kejang epilepsi: status epileptikus
g) Gangguan metabolik dan endokrin
h) Poliomielitis bulbar
i) Hipoventilasi alveolar primer
j) Sindrom apnea tidur
2. Faktor pemicu gagal napas akut:
a. Perubahan sekret trakeobronkus
b. Infeksi virus atau bakteri
c. Gangguan pembersih trakeobronkus
d. Obat-obat: sedatif, narkotik, anestesi, oksigen
e. Inhalasi atau aspirasi iritan, muntah, benda asing
f. Gangguan kardiovaskuler: gagal jantung, embolisme paru, syok
g. Faktor mekanis: pneumothoraks, efusi pleura, distensi abdomen
h. Trauma termasuk pembedahan
i. Abnormalitas neuromuskuler
j. Gangguan allergi: bronkospasme
k. Peningkatan kebutuhan oksigen: demam, infeksi
l. Keletihan otot inspirasi (Morton, 2012)
C. PENATALAKSANAAN
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan
kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik. Penatalaksanaan non spesifik adalah
tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas,
seperti pada tabel 2 berikut ini
1. Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh
hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-
benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas.
Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus
dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas (Sue dan
Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera
diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat
tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harusdiberikan dengan FiO2 60-
100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-
menerus. (Brusasco dan Pellegrino, 2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus
rendah dan sistem arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat
dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus
rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan
FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan
mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian
oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya electronic demand device,
reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan dibandingkan nasal
kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat
ventury mask menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem
ini bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah
(24-35 %). Pada pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan
mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Alat
tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui
proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup
untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen
dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan
pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Sue dan Bongard, 2003).
2. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian
obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus
dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan
untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal tube (ETT)
berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas
alami (Sue dan Bongard, 2003).
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar,
resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan
jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi
rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan
positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
fibreoptik (Sue dan Bongard, 2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen,
obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup
adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan
ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel 1 di atas dan juga tabel 4 berikut
ini:
Tabel 4. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis:
a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b. PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit
neuromuskular
Secara Klinis:
a. Perubahan status mental dengan dengan gangguan
proteksi jalan napas
b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)
d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas
trakea
(Sue dan Bongard, 2003)
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di
atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih
berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan
fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea
(ventilasi tekanan positif non invasif) (Sue dan Bongard, 2003).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut
atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face
mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya untuk memasukkan udara
ke dalam paru (Muhardi, 1989)..
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini
akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi
pada bagian dengan imbalan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-
tiba selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris. Namun, kegagalan
ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis
karena kompensasi metabolik. Dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH
< 7.25) dan masalahnya tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana
pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau
face mask merupakan alternatif yang efektif, namun seperti telah diketahui,
pada keadaan pemulihan yang lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi
mode assist-control atau synchronized intermittent ventilation dengan setting
rate sesuai dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinnkan kenyamanan
pasien (Nemaa, 2003).
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas (Tabel 1
dan tabel 4) atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas
yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah
termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia
walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi
PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis.
Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang.
Sebanyak 75 % pasien yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat
tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam
maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas
dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan
sekali dengan diagnosis utama, usia, dan jumlah organ yang gagal. Pasien
asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan pasien kanker kurang dari 10
%. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang dari 50 %. Sebagian
penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat
komplikasi pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure.
Secara umum bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien
sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum
dihubungkan dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini
adalah efek samping akibat tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya
relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan
bisa diputus untuk istirahat (Sue dan Bongard, 2003).
3. Terapi suportif lainnya
a. Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan
ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan.
Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan
pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi.
Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan
pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainagepostural.
Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan
bronkodilator (Muhardi, 1989)
b. Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek
bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara inhalasi lebih sedikit
sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif
mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga
empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan
dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi
pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian,
dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia,
walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik
tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta
adrenergik (Sue dan Bongard, 2003).
c. Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada
derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada
asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya
lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi
pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus
selalu dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik. Ipratropium
bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio
untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi,
dan retensi urin (Sue dan Bongard, 2003).
d. Teofilin.
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta
adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase
pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin,
stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek
samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih
parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang
(Sue dan Bongard, 2003).
e. Kortikosteroid.
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak
diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah
didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid
aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir
selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping
kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi
natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar),
gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan
gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh
otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang
memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning (Sue dan Bongard,
2003).
f. Ekspektoran dan nukleonik.
Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik
sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin
berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental.
Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki
pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan
langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit
(3-5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik
juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan bila berhasil
akan keluar sekret yang lebih banyak (Sue dan Bongard, 2003).
g. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari
penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya,
sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan
(Muhardi, 1989).
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien
gagal nafas di UGD sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU.
Penanganan lebih lanjut terutama masalah penggunaan ventilator akan
dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal nafas di
ICU pada tahap berikutnya.
ASUHAN KEPEAWATAN PADA PASIEN NY.S
DENGAN GAGAL NAFAS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 53 tahun
Alamat : Purbalingga Wetan 003/005
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku/bangsa : Jawa/ Indonesia
Diagnose medis : Gagal nafas
B. PENGKAJIAN PREMIER
A : Airway
- Terdapat secret di jalan nafas ( sumbatan jalan nafas)
- Peningkatan sekresi pernafasan
- Bunyi nafas krekeis,ronchi dan wheezing
B : Breathing
- Distress pernafasan : pernafasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi
- Menggunakan otot akseeori pernafasan
- Kesulitan bernafas : diaforesis,sianosis
- Pernafasan menggunakan alat bantu nafas
C : Circulation
- Penurunan curah jantung, gelisah, latergi, takikardi
- Sakit kepala
- Nadi teraba, 100 x/ menit, regular
- Adanya obstruksi pada daerah perut sehingga saat bernafas terasa nyeri
- Perfusi : CRT : <3 detik, akral hangat
- TD : 110/80 mmHg
D : Disability
- Kesadaran : Apatis
- GCS : E4 M4 V4=12
- Pupil : isokor, ukuran 2/2 mm, refleks Cahaya +/+
E : Eksposure
- Kepala bersih dan tidak ada luka
- Tidak ada lebam pada kelopak mata bagian kanan
- Tidak ada lesi pada punggung dan kaki
F : Folley Cateter
- Terpasang DC cateter ukuran 18
G : Gastric
- Terpasang NGT ukuran 16 dilubang hidung kanan dengan kedalaman 50 cm
- Tidak ada Residu lambung (NGT)
C. POLA FUNGSIONAL GORDON
a. Pola Persepsi Kesehatan
Keluarga pasien mengatakan kesehatan itu sangat penting dan ketika sakit
pasien langsung dibawa ke tempat pelayanan kesehatan untuk berobat.
b. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : keluarga pasien mengatakan makan 3x sehari, tidak ada
alergi makanan, satu porsi habis, minum 7-8 gelas.
Saat sakit : Pasien mengatakan tidak nafsu makan, hanya menghabis-
kan setengah porsi dari biasanya dan minum kurang dari 8 gelas/ hari.
c. Pola Eliminasi
Sebelum sakit : keluarga pasien mengatakan BAB 1 kali sehari, konsistensi
lembek. BAK 6-8 kali dalam sehari , urin kuning jernih.
Saat sakit: pasien terpasang DC, urin sebanyak 500 CC, berwarna kuning
keruh, BAB 1x sehari .
d. Pola latihan dan aktifitas
Sebelum sakit : keluarga pasien mengatakan pasien dapat beraktifitas secara
mandiri.
Saat sakit :
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4
Mandi
Minum
Toileting
Ambulasi
Berpindah
Mobilisasi di tempattidur
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dibantu alat
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu alat dan orang lain
4 : Tergantung total
e. Pola Istirahat Tidur
Sebelum sakit : keluarga pasien mengatakan tidur 6-7 jam dalam sehari.
Saat sakit: pasein tampak lebih banyak tertidur, namun saat di beri rangsang
pasien masih bisa terbangun.
f. Pola Perspektif Kognitif
Saat pasien tampak sedikit sulit dalam berbicara, penglihatan sedikit kabur,
tidak ada gangguan dalam perabaan , tidak ada gangguan pendengaran.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Keluarga pasien mengatakan yakin pasien masih bisa sembuh dan
beraktifitas normal seperti biasanya.
h. Pola Sex danReproduksi
Keluarga pasien mengatakan pasien sudah berkeluarga dan mempunyai
anak 3
i. Pola Koping dan Toleransi Stress
Sebelum sakit : Pasien mengatakan kadang berekreasi bersama keluarga
atau kerabat pada akhir pekan.
Saat sakit : Pasien tidak dapat bepergian.
j. Pola Peran dan Hubungan
Keluarga pasien mengatakan hubungan pasien dengan keluarga baik
k. Pola Nilai dan Keyakinan
Keluarga pasien mengatakan pasien beragama islam
E. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala : Bentuk simetris, kulit kepala dan rambut bersih, tidak ada benjolan.
2. Mata : Letak simetris, refleks pupil dan pengelihatan sedikit kabur.
3. Hidung : Tidak ada polip, terdapat sekret, terpasang NGT
4. Telinga : Letak simetris, sedikit serumen, fungsi pendengaran baik.
5. Mulut : Mukosa bibir kering, terdapat sianosis.
6. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
7. Toraks :
Inspeksi: Terdapat jejas pada regio dada kanan lateral bawah.
Perkusi : Tidak terdapat nyeri tekan.
Palpasi : Sonor.
Auskultasi : Krekeis,ronchi dan wheezing
8. Jantung
9. Abdomen:
Inspeksi: Bentuk abdomen simetris.
Auskultasi: Bising usus 5x/menit
Perkusi : Bunyi timpani.
Palpasi : Nyeri skala 5
10. Kulit : Pucat, diaforesis
11. Genitalia : Vulva bersih, terpasang down catheter
12. Ekstremitas :
Atas : Tangan kiri terpasang infus dan fungsi pergerakan normal, tidak
ada lesi.
Bawah : Fungsi pergerakan normal, tidak ada lesi
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d benda asing dalam jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
H. INTERVENSI
No. Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi
(NOC) (NIC)
inspirasi tambahan
Suara 2 4
perkusi
nafas
Skala :
1 : Deviasi berat dari kisaran
normal
2 : Deviasi yang cukup berat daei
kisaran normal
3 : Deviasi sedang dari kisaran
normaal
4 : Deviasi ringan dari kisaran
normal
5 : Tidak ada deviasi dari kisaran
normal
2. Gangguan Tujuan : Setelah dilakukan NIC: Terapi oksigen (3320)
pertukaran gas tindakan keperawatan selama 2x24 1. Pertahankan kepatenan jalan
b.d jam diharapkan Gangguan nafas
ketidakseimban pertukaran gas teratasi dengan 2. Berikan oksigen tambahan
gan ventilasi kriteria hasil : seperti yang disarankan
perfusi (00030) NOC : Status pernafasan : 3. Monitor aliran oksigen
pertukaran gas (0402) 4. Amati tanda-tanda hipoventilasi
Indikator Awal Tuju induksi oksigen
an
Keseimban 2 4
gan
ventilasi
dan perfusi
Saturasi 2 4
oksigen
Gangguan 2 4
kesadaran
Skala:
1 : Deviasi berat dari kisaran
normal
2 : Deviasi yang cukup berat daei
kisaran normal
3 : Deviasi sedang dari kisaran
normaal
4 : Deviasi ringan dari kisaran
normal
5 : Tidak ada deviasi dari kisaran
normal
I. IMPLEMENTASI
J. EVALUASI
S : 36,5oC
N : 85x/ menit
RR : 20x/ menit
A : Masalah gangguan
jalan nafas teratasi
sebagian.
P : Anjurkan pasien
untuk menjaga pola
pernafasan dan lanjutkan
terapi obat.
A : Masalah gangguan
pertukaran gas teratasi.
P : Anjurkan pasien
untuk melakukan nafas
dalam mandiri ketika
terasa sesak.
DAFTAR PUSTAKA