Anda di halaman 1dari 6

Nama: Fardan Chaisar

NIM: G4A018057

Mekanisme Mengalahkan Realita

Saya bertugas sebagai koas bedah di RS Margono Soekarjo kala itu. Sebagai koas, kami
melakukan follow up pasien setiap paginya. Disuatu pagi, saya menemukan satu kasus pasien
kontraktur multiple digiti minimi sinistra post operasi rekonstruksi 1 bulan sebelumnya di
RSMS. Kali ini, Pasien dirawat inapkan untuk melakukan cek labortorium lengkap untuk
persiapan operasi. pasien diagendakan untuk operasi “debridement”. Selanjutnya, saya mengikuti
kegiatan operasi di ruang operasi IBS Margono. Menariknya, saya terkejut ketika debridement
yang dilakukan hanyalah membuka kasa lalu di siram povidon iodin lalu di bersihkan dengan
mengusap usap kasa lalu selesai ditutup kembali dengan kasa. Anestesi yang digunakan adalah
general anestesi. Bahkan, operator anestesi pun terkejut ketika operator bedah mengatakan
operasi sudah selesai padahal pasien kurang lebih baru 5 menit dilakukan anestesi. Saya pun
bertanya-tanya, apakah tidak bisa dilakukan di ruang tindakan biasa ? Jikalau tidak bisa, apakah
tidak bisa dengan anestesi local ? apakah mekanismenya sedemikian rupa sehingga mau tidak
mau dilakukan demikian ?

Kasus yang hampir sama. Ketika ada pasien “bule” yang telah lama tinggal di Indonesia
datang ke poli Bedah dengan diagnosis “Clavus” yang ingin dioperasi di RS Margono setelah
mendapat rujukan. Pasien ingin sekali tindakan one day surgery, seperti yang ada RS negaranya.
Tetapi akhirnya tidak terlayani karena mekanisme yang sedemikian rupa. Apakah waktu pasien
sangat tidak berharga ? Adakah mekanisme yang harus diperbaiki ?

Nama: Talitha Apta Nitisara


NIM: G4A018035

Apakah Benar Pasien Punya Hak?


Saya bertugas sebagai dokter muda bagian Obstetri dan Ginekologi di RS Margono
Soekarjo saat itu. Saya menyadari bahwa setiap individu memiliki hak untuk menentukan
otoritas pada dirinya. Tidak terkecuali pasien dalam perawatan rumah sakit. Pasien juga memiliki
hak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan sesuai
standar profesi serta standar prosedur operasional, namun suatu hari saya mendapati hal berbeda
yang menjadikan dilema etik bagi saya. Kala itu saya menemui seorang pasien hamil yang
hendak melahirkan. Kehamilan pasien tersebut tergolong kehamilan normal. Persalinan pasien
tersebut pun direncanakan secara spontan pervaginam. Sebagaimana umumnya pasien
melahirkan, sebelumnya bidan akan melakukan inform concent untuk pemasangan kontrasepsi.
Pada kasus ini pasien direkomendasikan untuk dilakukan pemasangan IUD. Setelah dilakukan
komunikasi, informasi, dan edukasi terhadap pasien, ternyata pasien menolak pemasangan IUD.
Penolakan pasien tersebut disampaikan bidan kepada Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP).
Mengetahui penolakan tersebut, DPJP menginstruksikan untuk memaksa pasien melakukan
pemasangan IUD disertai ancaman. Setelah penyampaian instruksi DPJP tersebut, ternya pasien
tetap menolak dan pasien menandatangai penyataan penolakan. Tidak lama dari itu dilakukan
pertolongan persalinan terhadap pasien. Pertolongan persalinan berjalan lancar dan selanjutnya
pasien dipindahkan ke bangsal rawat inap. Saat DPJP visite, perawat menjelaskan kepada DPJP
bahwa pasien tersebut merupakan pasien yang menolak pemasangan IUD. Lalu DPJP
menyatakan bahwa pasien dapat dipulangkan saat itu juga. Perawatpun bertanya mengapa pasien
dipulangkan padahal baru beberapa jam yang lalu melahirkan dan masih membutuhkan
pengawasan medik. Kemudian DPJP menjawab bahwa pasien dipulangkan karena menolak
pemasangan IUD. Setelah DPJP meninggalkan bangsal, perawat tadi pun bertanya kepada saya
mengenai tindakan apa yang sebaiknya dilakukan yang tentunya mendadikan dilema etik bagi
saya.

Nama : Syahrefa Aulia Zahra


NIM : G4A018037

Operasi Tanpa Indikasi Jelas


Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu oleh tenaga
medis. Tentunya pelayanan kesehatan harus sesuai standar profesi maupun standar operasional
prosedur. Pasien hamil G3P2A0 hamil 36 minggu dengan preeklampsia berat melakukan
pemeriksaan kehamilan rutin di poli kebidanan dan kandungan di RSMS. Dokter yang sedang
bertugas di poli (DPJP pasien) memutuskan untuk melaukan tidakan akhiri kehamilan karena
tekanan darah pasien sudah mencapai angka 165/110. Selanjutnya pasien dianjurkan mondok di
RSMS untuk dilakukan tindakan awal induksi agar bayi bisa lahir spontan pervaginam, namun
ketika pasien sudah mondok di kamar bersalin obat yang diberikan untuk induksi persalinan
ternyata hanya placebo. Hingga pada akhirnya perawat yang berjaga melaporkan kepada dokter
DPJP dengan alasan bahwa induksi yang di lakukan tidak respon, dan menganjurkan opsi
selanjutnya untuk dilakukan kelahiran perabdominam (sectio caesarea). Pasien saat itu hanya
bisa pasrah dan menerima ketika perawat menyampaikan bawa akan dilakukan oprasi pada
pasien.
Nama : Dhuhita Ghassanizada
NIM : G4A018034

Kerahasiaan Pasien Masihkah Penting?


RSUD Margono Soekarjo memiliki pasien yang dapat dikatakan cukup banyak. Setiap
harinya dapat terlihat jumlah pasien yang terlayani terbanyak hampir mencapai angka 5000
orang. Saat itu saya bertugas sebagai koas hari pertama di poliklinik kebidanan yang memiliki
pasien kurang lebih 100 orang tiap harinya. Saya mendampingi salah satu dokter spesialis
kandungan yang bertugas saat itu. Bidan yang bertugas di poli berpesan pada saya untuk
memanggil dua pasien sekaligus masuk ke dalam ruang dokter untuk diperiksa.
“Loh mbak meriksanya langsung dua pasien?”, tanya saya.
“Iya, Mbak. Dokternya memang selalu begitu”, jawabnya “Biar cepet”, tambahnya.
Saya pun melaksanakan apa yang disampaikan bidan tersebut. Saya memanggil dua
pasien sekaligus untuk masuk ke ruang dokter dan diikuti oleh pengantar pasien tersebut. Ketika
salah satu pasien diperiksa, pasien satunya tetap duduk di dalam sehingga dapat mengetahui
pasien yang sedang diperiksa mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
menggunakan USG. Tidak jarang pengantar pasien adalah suami pasien, dalam hal ini adalah
laki-laki yang dapat melihat pasien perempuan yang sedang diperiksa. Hal tersebut sangatlah
melanggar etik dan hak atas kerahasiaan pasien. Jaid, melayani pasien dengan jumlah banyak
dan dihadapkan dengan waktu yang terbatas dengan cara “mengorbankan” kerahasiaan pasien
apakah hal yang bijak?

Nama : Fista Ria Afrilla


NIM : G4A018076

Koas Hanya Bisa Diam dan Tersenyum


Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi. Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi
kedokteran adalah yang sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia,
kemampuan pasien, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Dalam melakukan
pelayanan kepada pasien, penting bagi seorang dokter untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik (terutama pemeriksaan yang sesuai dengan keluhan pasien), dan pemeriksaan penunjang
(apabila diperlukan). Suatu hari saat poliklinik Dokter A, datang seorang pasien baru Ny. X
berjenis kelamin perempuan dengan keluhan timbul benjolan pada payudara sebelah kiri. Setelah
melakukan anamnesis singkat, dokter langsung menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa rontgen thorax dan cek laboratorium, tanpa melakukan pemeriksaan fisik.
Ketika itu Dokter A dibantu dengan koas untuk menuliskan lembaran” pengantar ke radiologi
dan laboratorium PK. Lalu tiba-tiba keluarga pasien berkata “kok tidak diperiksa sama sekali
dok? Apa benjolannya tidak dilihat dulu?”. Dengan emosi Dokter A menjawab “ya sebentar to
pak ini kan saya masih nulis-nulis surat pengantarnya, tangan saya cuma ada dua!”. Lalu
Dokter A meminta koas untuk memeriksa pasien ditempat tidur. Setelah koas memeriksa dan
melaporkan hasil pemeriksaannya kepada Dokter A, Dokter A tetap berada dalam kursi dan tidak
menengok / memeriksa kembali. Saat itu keluarga pasien sempat bertanya kembali mengapa
Dokter A tidak memeriksa sendiri, namun Dokter A tidak menjawab dan langsung memberikan
surat pengantar untuk melakukan pemeriksaan penunjang serta meminta koas untuk memanggil
pasien selanjutnya. Setelah pasien keluar, Dokter A berkata kepada koas “Jadi pasien kok rewel
banget ya dek, tinggal nurut aja kok susah”, lalu koas hanya diam dan tersenyum.

Pada hari yang sama datang pasien bernama Ny. Y berjenis kelamin perempuan dengan
keluhan timbul benjolan pada payudara sebelah kanan. Pasien mempunyai riwayat operasi
mastektomi payudara kiri dengan dokter B beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan
anamnesis dan pemeriksaan, dokter A berkata lirih kepada koas “pantesan estetika-nya kurang
bagus, yang operasi dokter B memang sering seperti itu dek, kan kasihan pasiennya ya”. Entah
pada saat itu pasien dan keluarga mendengar perkataan Dokter A atau tidak. Lalu koas kembali
hanya diam dan tersenyum karena bingung harus memberi tanggapan apa...

Nama : Rizqiana Arum Sari


NIM : G4A018083

Apakah kesembuhanku dapat dikalahkan oleh jam kerja?


Saya bertugas sebagai koas. Siang itu Tn. X telah diedukasi oleh keluarga akan dilakukan
operasi A, pasien dan keluarga pasien telah setuju terkait prosedur dan tindakan yang telah
dijelaskan oleh dokter. Keesokan harinya Tn. X dijadwalkan operasi untuk operasi A pukul
08.00, 4 jam telah berlalu dan dokterpun belum datang juga, akhirnya dokterpun datang pada
pukul 13.00 dan segera bersiap untuk menjadi operator. Pada saat pasien dalam keadaan general
operasi, dokter memutuskan untuk mengubah planning operasi A menjadi operasi B karena
perawat sudah lelah menunggu dan ingin pulang lebih awal. Lalu dokter memutuskan melakukan
operasi B hanya untuk mengurangi nyeri tanpa memperbaiki yang hanya membutuhkan waktu 30
menit. Pasien tersebut akhirnya dijadwalkan ulang untuk operasi A dilain waktu. Keesokan
harinya pasien bertanya kepada saya mengapa setelah operasi masih seperti sebelumnya. Apa
yang harus saya katakan?
Nama : Sarah Jeihan Zaky Arafat
NIM : G4A018074

Apa kewajiban dan hak kami sebagai koas?

Sebagai koasisten di RS X yang bukan rumah sakit pendidikan kami mengalami banyak hal.
Sebagai koas di di RS X kami tidak dijelaskan secara mendetail mengenai kewajiban dan hak
kami, mengenai sejauh mana kami diizinkan untuk berinteraksi dengan pasien, dan seperti apa
keterlibatan kami dalam pengelolaan pasien.
Setiap hari kami berangkat untuk follow up pasien, melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
untuk memantau perkembangan pasien. Kemudian, hasilnya kami catat di rekam medis
elektronik. Lalu tidak lupa, kami catat secara singkat daftar dan perkembangan pasien tersebut
untuk kemudian dikirimkan kepada konsulen yang sedang kami ikuti. Format update pasien
tersebut kami sesuaikan dengan ketentuan yang diberikan oleh masing-masing konsulen. Tak
jarang kami datang subuh hari, karena jumlah pasien yang banyak, bahkan ada substase yang
membuat kami harus datang pukul 2 atau pukul 3 pagi karena waktu visit konsulen yang tidak
pasti.

Setelah kegiatan follow up selesai, kami berbagi tugas untuk ke poli dan ke instalasi bedah
sentral sesuai jadwal konsulen pada hari itu.

Pada suatu waktu, RS X menjalani serangkaian uji untuk akreditasi. Kami tidak diberikan
pengarahan sebelumnya terkait hal tersebut. Pada hari H pelaksanaan dan kedatangan asesor,
salah seorang koas dicari oleh kepala jurusan untuk menghadap saat itu juga dengan membawa
rekam medis bayangan. Koas tersebut kebingungan, karna selama ini kami hanya mengisi rekam
medis elektronik. Kemudian kepala jurusan bertanya ,"jadi apa yang kamu lakukan selama ini di
sini?"

Sejak saat itu saya bertanya-tanya, jadi sebenarnya apa tugas kami sebagai koas dan sejauh
mana seharusnya keterlibatan kami dalam pengelolaan pasien? Jika memang kami di RS X
adalah sebagai mahasiswa, maka kenapa bimbingan koas pun tidak terjadwal, bahkan terkadang
jika ingin diberi bimbingan koas harus kami yang mengejar-ngejar?
Nama : Zuhra Fahlisa Ningsih
NIM : G4A018090

Siapa yang harus memutuskan?


Keputusan terbaik yaitu dengan musyawarah. Dokter memiliki kewajiban untuk menyampaikan
keilmuannya tentang penyakit, prognosis dan pilihan beserta risikonya. Dokter juga bisa
memberikan pendapatnya, walaupun keputusan tetap ditangan pasien. Pada kasus ini Ny. S 38
tahun dengan diagnosis G1P0A0 hamil 17 minggu dengan hipertensi kronik berat dan TB paru,
dokter menyarankan untuk dilakukan terminasi atas indikasi HT kronik berat dan TB paru.
Dokter telah berusaha menyampaikan keadaan pasien kepada keluarga dan pasien dengan
maksud agar pasien bisa menentukan pilihannya. Bidan juga telah membantu menyampaikan
kembali dan mempersilahkan keluarga untuk berdiskusi. Menurut suami pasien, kehamilan ini
telah lama dinantikan sehingga suami pasien menolak saran dokter. Suami pasien memaksa
untuk dipulangkan saja. Pasien dan ibu pasien diam saja walau dokter telah menjelaskan hal
terburuk bila kehamilan dilanjutkan. Suami pasien bahkan mengancam bidan yang membantu
menjelaskan kondisi pasien.

Anda mungkin juga menyukai