NIM: G4A018057
Saya bertugas sebagai koas bedah di RS Margono Soekarjo kala itu. Sebagai koas, kami
melakukan follow up pasien setiap paginya. Disuatu pagi, saya menemukan satu kasus pasien
kontraktur multiple digiti minimi sinistra post operasi rekonstruksi 1 bulan sebelumnya di
RSMS. Kali ini, Pasien dirawat inapkan untuk melakukan cek labortorium lengkap untuk
persiapan operasi. pasien diagendakan untuk operasi “debridement”. Selanjutnya, saya mengikuti
kegiatan operasi di ruang operasi IBS Margono. Menariknya, saya terkejut ketika debridement
yang dilakukan hanyalah membuka kasa lalu di siram povidon iodin lalu di bersihkan dengan
mengusap usap kasa lalu selesai ditutup kembali dengan kasa. Anestesi yang digunakan adalah
general anestesi. Bahkan, operator anestesi pun terkejut ketika operator bedah mengatakan
operasi sudah selesai padahal pasien kurang lebih baru 5 menit dilakukan anestesi. Saya pun
bertanya-tanya, apakah tidak bisa dilakukan di ruang tindakan biasa ? Jikalau tidak bisa, apakah
tidak bisa dengan anestesi local ? apakah mekanismenya sedemikian rupa sehingga mau tidak
mau dilakukan demikian ?
Kasus yang hampir sama. Ketika ada pasien “bule” yang telah lama tinggal di Indonesia
datang ke poli Bedah dengan diagnosis “Clavus” yang ingin dioperasi di RS Margono setelah
mendapat rujukan. Pasien ingin sekali tindakan one day surgery, seperti yang ada RS negaranya.
Tetapi akhirnya tidak terlayani karena mekanisme yang sedemikian rupa. Apakah waktu pasien
sangat tidak berharga ? Adakah mekanisme yang harus diperbaiki ?
Pada hari yang sama datang pasien bernama Ny. Y berjenis kelamin perempuan dengan
keluhan timbul benjolan pada payudara sebelah kanan. Pasien mempunyai riwayat operasi
mastektomi payudara kiri dengan dokter B beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan
anamnesis dan pemeriksaan, dokter A berkata lirih kepada koas “pantesan estetika-nya kurang
bagus, yang operasi dokter B memang sering seperti itu dek, kan kasihan pasiennya ya”. Entah
pada saat itu pasien dan keluarga mendengar perkataan Dokter A atau tidak. Lalu koas kembali
hanya diam dan tersenyum karena bingung harus memberi tanggapan apa...
Sebagai koasisten di RS X yang bukan rumah sakit pendidikan kami mengalami banyak hal.
Sebagai koas di di RS X kami tidak dijelaskan secara mendetail mengenai kewajiban dan hak
kami, mengenai sejauh mana kami diizinkan untuk berinteraksi dengan pasien, dan seperti apa
keterlibatan kami dalam pengelolaan pasien.
Setiap hari kami berangkat untuk follow up pasien, melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
untuk memantau perkembangan pasien. Kemudian, hasilnya kami catat di rekam medis
elektronik. Lalu tidak lupa, kami catat secara singkat daftar dan perkembangan pasien tersebut
untuk kemudian dikirimkan kepada konsulen yang sedang kami ikuti. Format update pasien
tersebut kami sesuaikan dengan ketentuan yang diberikan oleh masing-masing konsulen. Tak
jarang kami datang subuh hari, karena jumlah pasien yang banyak, bahkan ada substase yang
membuat kami harus datang pukul 2 atau pukul 3 pagi karena waktu visit konsulen yang tidak
pasti.
Setelah kegiatan follow up selesai, kami berbagi tugas untuk ke poli dan ke instalasi bedah
sentral sesuai jadwal konsulen pada hari itu.
Pada suatu waktu, RS X menjalani serangkaian uji untuk akreditasi. Kami tidak diberikan
pengarahan sebelumnya terkait hal tersebut. Pada hari H pelaksanaan dan kedatangan asesor,
salah seorang koas dicari oleh kepala jurusan untuk menghadap saat itu juga dengan membawa
rekam medis bayangan. Koas tersebut kebingungan, karna selama ini kami hanya mengisi rekam
medis elektronik. Kemudian kepala jurusan bertanya ,"jadi apa yang kamu lakukan selama ini di
sini?"
Sejak saat itu saya bertanya-tanya, jadi sebenarnya apa tugas kami sebagai koas dan sejauh
mana seharusnya keterlibatan kami dalam pengelolaan pasien? Jika memang kami di RS X
adalah sebagai mahasiswa, maka kenapa bimbingan koas pun tidak terjadwal, bahkan terkadang
jika ingin diberi bimbingan koas harus kami yang mengejar-ngejar?
Nama : Zuhra Fahlisa Ningsih
NIM : G4A018090