Anda di halaman 1dari 13

I.

Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai
katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung
reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.

II. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai factor.

predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi


endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis
merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral
(76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi
ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.

III. Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.

a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok
1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan
pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti
demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan,
malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada,
ortopnea atau sakit perut dan muntah.
1
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.

b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria
ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.

Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.

- Kriteria Mayor
Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah
poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada

2
stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman
di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan
fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai
dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan
katup jantung dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul
Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
 Regurgitasi Mitral
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung

- Murmur mid-diastolik (carrey coombs


murmur) di apeks
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar
 Regurgitasi aorta ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
- Aktivitas ventrikel kiri negative
 Stenosis mitral
- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras
Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,
suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium
dan tamponade perikardium yang mengancam.

Poliartritis Migrans

3
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling
sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
minggu.

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance


Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan
setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai
tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih
labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.

Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang kemudian
ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok seperti
ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas. Nodulus
Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian

4
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna
vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu
setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini
selalu menyertai karditis rematik yang berat.

- Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu
2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada

5
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya
meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
perkembangan penyakit.
c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan
untuk mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart
disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-
reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap
darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan
congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator
dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP
yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A
secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan
akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah
infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada
dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai

6
puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak
prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala
rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi


Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah
dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke
postero- lateral.

d. Dasar Diagnosis
Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan RHD

Kategori diagnosis Kriteria


- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
pertama
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya

7
- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
ulang tanpa RHD
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua minor
 Rheumatic Fever serangan
- ditambah dengan bukti infeksi SBHGA
ulang dengan RHD
sebelumnya
 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
 Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
 RHD
mendiagnosis sebagai RHD

IV. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal
jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

a. Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai
perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang
berulang.

8
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi
dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang
ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan
juga efek samping.
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada
pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24
jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin
G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan
penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan
terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung rematik,
dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic
fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah).

Tabel 4. Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever

Agen Dosis

Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral
satu kali sehari selama 10 hari
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb):
600,000 unit IM sekali
Pasien dengan BB > 27 kg:
1,200,000 unit IM sekali
Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg
diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
Pasien dengan BB > 27 kg: 500

9
mg oral 2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500
mg) oral 1x sehari selama 5 hari
Clarithromycin (Biaxin) 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi
2 dosis (maksimal, 250 mg 2x
sehari), selama 10 hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal,
1.8 g/hari), dibagi menjadi 3 dosis,
untuk 10 hari

Profilaksis Sekunder

Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya


rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif
untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.

Tabel 5. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever

Agen Dosis

Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb)


600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari
10
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb):
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari
Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)

Tabel 6. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever

Tipe Durasi setelah serangan

Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 40 tahun


dan penyakit jantung residu (pilih yang terlama) ; profilaksis
(penyakit katup persisten) seumur hidup mungkin diperlukan
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 21 tahun
tapi tanpa penyakit jantung residu (pilih yang terlama)
(tanpa penyakit katup persisten)
Rheumatic Fever tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 40 tahun
(pilih yang terlama)

b. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat
terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin.
Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan
kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi
pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami
perburukan.
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis
rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari,
setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi

11
60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa
digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari.
Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang
mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari.
Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.

c. Terapi Gagal Jantung


Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien
dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan.
Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik.
Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.
Tabel 7. Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever

Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis
pemeliharaan
Diuretik:
 Furosemide 0,5 – 2 mg/kg/hari,
 Metolazone 0,2 – 0,4 mg/kg/hari
Vasodilator:
 Captopril Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
 Sodium 0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung sulit
nitroprusside dikontrol. Monitor kadar sianida.
Inotropik:
 Dobutamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
 Dopamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus

12
 Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

d. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau
diuretik.
Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-
tanda fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.
Sesuai dengan anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah
sebagai berikut :
Tabel 8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever

Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu, mobilisasi


bertahap selama 2 minggu
Karditis, tanpa kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu, mobilisasi
bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu, mobilisasi
bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan kardiomegali dan gagal Tirah baring selama gagal jantung,
Jantung mobilisasi bertahap selama 3 bulan

e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

V. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode
awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar.
Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun
13
risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai

  • Medula Adrenal
    Medula Adrenal
    Dokumen9 halaman
    Medula Adrenal
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • File Bunda
    File Bunda
    Dokumen2 halaman
    File Bunda
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Tabel 4
    Tabel 4
    Dokumen8 halaman
    Tabel 4
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Terapi Cairan
    Terapi Cairan
    Dokumen2 halaman
    Terapi Cairan
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • CC1 Dewi
    CC1 Dewi
    Dokumen8 halaman
    CC1 Dewi
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Pembahasan Lapkas THT
    Pembahasan Lapkas THT
    Dokumen19 halaman
    Pembahasan Lapkas THT
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • PPT Faringitis
    PPT Faringitis
    Dokumen26 halaman
    PPT Faringitis
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • CC1 Dewi
    CC1 Dewi
    Dokumen8 halaman
    CC1 Dewi
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Jiwa
    Jurnal Jiwa
    Dokumen16 halaman
    Jurnal Jiwa
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Cover Ikm
    Cover Ikm
    Dokumen1 halaman
    Cover Ikm
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Nama 1
    Nama 1
    Dokumen1 halaman
    Nama 1
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • CC2 - Vertigo Central DOS
    CC2 - Vertigo Central DOS
    Dokumen22 halaman
    CC2 - Vertigo Central DOS
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • CC2 - Vertigo Central DOS
    CC2 - Vertigo Central DOS
    Dokumen22 halaman
    CC2 - Vertigo Central DOS
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • PPT Vertigo Central
    PPT Vertigo Central
    Dokumen12 halaman
    PPT Vertigo Central
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Nama
    Nama
    Dokumen1 halaman
    Nama
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis B Akut Vitri
    Hepatitis B Akut Vitri
    Dokumen5 halaman
    Hepatitis B Akut Vitri
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Jiwa
    Jurnal Jiwa
    Dokumen16 halaman
    Jurnal Jiwa
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Tenggorok
    Tenggorok
    Dokumen7 halaman
    Tenggorok
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Endometritis PPT Aa
    Endometritis PPT Aa
    Dokumen13 halaman
    Endometritis PPT Aa
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Tenggorok
    Tenggorok
    Dokumen11 halaman
    Tenggorok
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen4 halaman
    Daftar Pustaka
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Tenggorok
    Tenggorok
    Dokumen7 halaman
    Tenggorok
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Abstrak Dew
    Abstrak Dew
    Dokumen2 halaman
    Abstrak Dew
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat
  • PPT Faringitis
    PPT Faringitis
    Dokumen26 halaman
    PPT Faringitis
    Dewi Oktavia Sinaga
    Belum ada peringkat