Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam memilih cara melakukan prosedur anestesia dipengaruhi oleh


beberapa faktor, antara lain umur, status fisik (termasuk adanya
kelainan/penyakit), posisi pembedahan, keterampilan dan kebutuhan dokter
pembedah, ketrampilan dan pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien,
bahaya kebakaran dan ledakan serta yang lainnya. Sebagian besar prosedur
pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia umum, sedangkan operasi
lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar kepala,
leher, intra-torakal, intra abdominal paling baik dilakukan dengan menggunalan
anestesia umum endotrakea. Anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat
yaitu secara parenteral, perektal, perinhalasi. Anestesia regional berdasarkan
teknik pemberian yaitu infiltrasi lokal, field block, blok saraf, analgesia
permukaan (topikal), dan analgesia regional intra vena.1,2
Pada pasien dengan prolaps katub mitral, teknik anestesi yang terpilih
adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau yang menggangu status
hemodinamik. Untuk prosedur perifer, block syaraf atau plexus atau saddle block
yang terpilih. Spinal dan epidural dapat setidaknya secara tiba-tiba menurunkan
preload dan afterload, yang dapat memberatkan MVP. Menghindari obat-obatan
yang melepaskan histamine, dan pemilihan obat muscle relacsan haruslah dengan
pertimbangan terhadap efek kardiovaskular. Atropin, ketamin hendaknya
dihindari, dan pada keadaan dehidrasi serta penggantian cairan dan darah
hendaknya secara agresif dilakukan. Jika takikardia timbul pada keadaan
euvolemia maka pengobatan dengan beta-bloker sesuai untuk diberikan. Jika
vasopressor dibutuhkan pada keadaan hipovolemia relatif (pada spinal tinggi)
maka phenylepinefrin yang terpilih. 3,4
Sedangkan pada pasien dengan mitral stenosis, epidural anestesi
merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih. Hindari hidrasi yang cepat, dan
pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin dapat meningkatkan denyut
jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload ventrikel yang dapat
mencetuskan gagal jantung. 3,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI KARDIOVASKULAR

SISTEM KARDIOVASKULAR

Sistem peredaran darah terdiri atas jantung, pembuluh darah, dan darah itu sendiri.
System ini berfungsi untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh dan sel-sel tubuh.
Darah yang berisi oksigen, glukosa, dan substansi lainnya, akan dipakai sel untuk
metabolism. Hasil akhir metabolism selanjutnya dibawa system peredaran darah
vena keluar tubuh melalui bebrapa system, antara lain system perkemihan,
pernafasan dan pencernaan. Jantung, bertindak sebagai pompa, akan memompa
darah melalui dua system vascular yang disusun secara seri, yaitu system sirkulasi
paru yang melayani ambilan oksigen dan membuang CO2 hasil metabolism dan
sirkulasi sistemik yang menyampaikan oksigen ke jaringan dan mengambil hasil
sampingan metabolism ke system pembuangan ( paru, ginjal, dan hepar).

JANTUNG

Secara anatomis, jantung merupakan organ tunggal yang fungsional dibagi


menjadi 2 atrium dan 2 ventrikel. Atrium, terdiri atas atrium kanan dan kiri,
disusun sebagai saluran dan pompa priming, yaitu pompa yang mengawali
pemampaan, sedangkan ventrikel bertindak sebagai ruang pemompaan
utama.Ventrikel terdiri atas ventrikel kanan, menerima darah dari vena sistemik
yang mengandung darah terdeoksigenasi dan memompanya ke pelepasan
paru.Ventrikel kiri menerima darah dari vena pulmonal yang kaya oksigen,
kemudian darah dipompa ke dalam sirkulasi sistemik. Empat katup jantung
berfungsi untuk memastikan arus darah terpompa searah melalui masing-masing
ruang. Aksi pemompaan normal jantung adalah hasil dari serangkaian kompleks
peristiwa listrik dan mekanis. Jantung terbentuk dari sekumpulan otot lurik khusus
dalam struktur kerangka jaringan ikat. Otot jantung terdiri atas bangunan atrium,
ventrikel, dan sel-sel sebagai pacemaker dan media penjalaran impuls (konduksi).

2
Sel otot jantung mengatur rangsangan untuk kontraksinya sendiri sehingga
memungkinkan untuk berfungsi sebagai alat pompa yang sangat efisien. Struktur
bangunan sel otot jantung saling terhubung secara seri dan di antaranya terdapat
diskus atau piringan yang memungkinkan penjalaran impuls secara cepat dan
teratur pada setiap ruangan. Aktivitas listrik mudah menyebar dari satu atrium ke
yang lain dan dari satu ventrikel ke yang lain melalui jalur konduksi khusus. Pacu
jantung biasanya berasal dari nodus sinoatrial (SA node), yaitu sekelompok sel
alat pacu jantung khusus dalam sulkus terminalis, terletak di belakang dari
persimpangan atrium kanan dan vena kava superior. Sel-sel ini akan
menghasilkan muatan listrik negatif lemah dan potensial membran istirahat (-50
sampai-60 mV). Impuls yang dihasilkan di SA node dengan cepat menuju nodus
atrio-ventrikularis (AV). Impuls dari nodus AV selanjutnya dihantarkan oleh sel-
sel yang membentuk bundel His ke seluruh otot jantung melalui serabut Purkinje

Menentukan Kinerja Ventrikel

Kinerja jantung sangat dipengaruhi oleh fungsi ventrikel, dalam hal ini
dicerminkan dari fungsi ventrikel kiri. Konsep yang sama juga berlaku untuk
ventrikel kanan. Meskipun kedua ventrikel sering dianggap berfungsi secara
terpisah, sebenarnya keduanya saling melengkapi. Selain itu, faktor yang
memengaruhi fungsi sistolik dan diastolik dapat dibedakan, yaitu fungsi sistolik
yang melibatkan ejeksi ventrikel dan fungsi diastolik yang berhubungan dengan
pengisian ventrikel Fungsi sistolik ventrikel sering disamakan dengan curah
jantung (cardiac output), yaitu volume darah yang dipompa oleh jantung per
menit. Karena kedua ventrikel berfungsi secara seri, output keduanya biasanya
sama. Curah jantung/cardiac output (CO) dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut.

CO= SV x HR

Heart rate (HR) adalah detak jantung per menit. Stroke volume (SV, isi sekuncup)
adalah volume darah yang dipompa jantung setiap satu kontraksi biasanya
ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu: preload, afterload, dan kontraktilitas.

3
Analoginya serupa dengan kontraksi otot rangka. Preload adalah panjang otot
sebelum kontraksi, sedangkan afterload adalah ketegangan

otot pada saat jantung terisi penuh oleh darah dan siap berkontraksi.Makin penuh
jantung terisi oleh darah, makin kuat kontraksi jantung. Hukum ini dikemukakan
oleh Frank Starling, disebut hukum Frank Starling Afterload jantung juga dapat
disamakan dengan ketegangan dinding ventrikel selama sistole atau hambatan
arteri terhadap ejeksi jantung. Semakin besar radius ventrikel, semakin besar
tegangan dinding ventrikel yang di- butuhkan untuk menghasilkan tekanan
ventrikel yang sama. Sebaliknya, peningkatan ketebalan dinding ventrikel
mengurangi ketegangan dinding. Kontraktilitas jantung (inotropisme) adalah
kemampuan intrinsik dari miokardium untuk memompa tanpa adanya perubahan
preload atau afterload. Kontraktilitas terkait dengan laju pemendekan otot
miokardium, bergantung pada konsentrasi kalsium intraseluler selama sistole.
Peningkatan denyut jantung juga dapat meningkatkan kontraktilitas dalam kondisi
tertentu. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan kadar kalsium intraseluler.
Kontraktilitas dapat diubah oleh saraf, humoral, atau pengaruh farmakologis.
Aktivitas sistem saraf simpatis biasanya memiliki efek yang paling penting
terhadap kontraktilitas jantung. Serabut simpatis menginervasi atrium dan
ventrikel otot serta jaringan di nodus. Frekuensi kontraksi jantung per menit
dinyatakan sebagai sifat kronotropik. Pelepasan norepinefrin meningkatkan
kontraktilitas melalui aktivasi reseptor B1 dan juga frekuensi kontraksi jantung
(kronotropik positif). Reseptor adrenergik juga terdapat dalam miokardium, tetapi
tampaknya hanya memiliki sedikit efek inotropik dan kronotropik. Obat
simpatomimetik dan sekresi epinefrin dari kelenjar adrenal juga meningkatkan
kontraktilitas melalui aktivasi reseptor B1.

Pada orang dengan anoksia, asidosis, penurunan simpanan katekolamin di dalam


hati, dan hilangnya fungsi massa otot akibat dari iskemia atau infark dapat terjadi
penurunan kontraktilitas miokardium. Karena jantung adalah pompa dengan
banyak ruang tiga dimensi, bentuk ventrikel dan disfungsi katup dapat
memengaruhi stroke trolume Untuk melihat kemampuan kerja ventrikel, dapat
digunakan cardiac index (CI) atau indeks jantung, ditentukan dengan membagi

4
CO dengan body surface area (BSA). BSA biasanya diperoleh dari normogram
berdasarkan tinggi dan berat badan. Cardiac index normal adalah 2,5-4,2
L/min/m2. Hasil di bawah normal menunjukkan penurunan kemampuan pompa
ventrikel. Karena. hasil ini kurang sensitif, Cl jarang digunakan untuk keperluan
sehari-hari. Perkiraan fungsi ventrikel lebih sering menggunakan pengukuran
saturasi oksigen vena, secara praktis diukur dengan menggunakan oksimetri.
Saturasi oksigen vena dapat mencerminkan apakah perfusi jaringan memadai atau
tidak.

CI = CO

BSA

Tekanan intraventrikel selama systole tergantung pada kekuatan kontraksi


ventrikel, sifat viskoelastik dari aorta cabang proksimal, dan sifat darah itu.

sendiri. Makin riscous atau kental darah dan makin padat atau banyak sel-
sel darah, makin terbeban jantung untuk berkontraksi. Untuk mempermudal bisa
dibayangkan jika ada selang air yang berisi air biasa dengan oli pelumas Selang
manakah yang lebih tinggi tahanannya? Tentu saja lebih tinggi selang yang berisi
oli karena harus melawan kekentalan cairan di dalamnya. Adanya tahanan
vaskular secara sistemik atau menyeluruh juga akan berpengaruh pada tekanan
intravaskular. Tahanan ini disebut sebagai resistansi vaskular sistemik atau
systemic vascular resistance (SVR). Tonus arteriol merupakan penentu utama
SVR. Karena sifat viskoelastik umumnya tetap pada setiap pasien, afterload
ventrikel kiri biasanya disamakan secara klinis dengan SVR dapat dihitung
dengan persamaan berikut

SVR= 80x MAP-CVP

CO

Mean arterial pressure (MAP) adalah tekanan arteri rata-rata dalam


milimeter Hg, dihitung dengan persamaan: MAP-1(2 x diastolik) + sistolik] /3.
Dibutuhkan nilai MAP minimal sekitar 60 untuk menyuplai darah arteri koroner,
otak, dan ginjal. Nilai normal MAP biasanya berkisar antara 70-110. Central

5
venous pressure (CVP) adalah tekanan vena sentral dalam milimeter Hg, dan CO
adalah cardiac output dalam liter per menit. Nilai SVR normal adalah 900-1500
dyn s/cm. Tekanan darah sistolik juga dapat digunakan sebagai perkiraan
afterload ventrikel kiri dengan tidak adanya perubahan kronis dalam ukuran,
bentuk, atau ketebalan dinding ventrikel atau perubahan akut pada resistansi
vaskuler sistemik Fungsi sistolik ventrikel dapat pula diketahui dari ejection
fraction (EF) yaitu perbandingan antara sisa volume darah di ventrikel setelah
akhir sistole dan volume diastolik ventrikel kiri. Nilai normalnya sekitar 0,67
0,08. Ejection fraction dapat diukur dengan menggunakan
ekokardiografi.Pengukuran dapat dilakukan sebelum operasi kateterisasi jantung,
pemeriksaan radionukleotida, transthoracic echocardiogram (TTE) atau
trasesophageal echocardiogram (TEE) Setelah mengetahui fungsi-fungsi dan
pengukuran kinerja jantung maka dapat ditentukan apakah jantung masih
berfungsi normal atau mengalami penurunan fungsi Pengetahuan ini diharapkan
dapat meningkatkan etan an juesurn eep uesuedet ip sipaus seinad urepedseway
tipa keluhan kardiovaskular

2.2 ANESTESI PADA PASIEN GANGGUAN JANTUNG


2.2.1 PROLAPS KATUP MITRAL
Mitral Valve Prolapsed (MVP) adalah suatu kondisi dimana
menggelembungnya berlebihan lapisan katup mitral (umumnya, lapisan posterior)
kedalam atrium kiri selama systole. Insidensi dari sindroma MVP yang telah
dilaporkan sekitar 10 % (kemungkinan overestimasi; insidensi tepat sedikitnya 3
%). Suatu proliferasi miksomatus dari lapisan, annulus, dan chordae, yang
menyebabkan prolaps dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan rupture
chordae dan mitral regurgitation (MR) berat.3

1. Evaluasi Klinis
Kebanyakan keluhan dari pasien dengan MVP adalah palpitasi dan dada
rasa tidak nyaman. Nyeri dada seperti angina dengan rasa ditusuk dan diiris. Pada
MR yang jelas, dapat pula terjadi gagal jantung. Terdapat klik midsistolik, yang
diikuti dengan murmur sistolik middle-to-late: semakin berat regurgitasi, semakin

6
panjang pula murmur. Klik timbul pada awal dan murmur bertambah panjang
pada manuver valsava.3

2. Premedikasi
Pasien dengan MVP seringkali tampak cemas, dan takikardia, Sangatlah
penting persiapan yang tepat secara fisiologis dan farmakologis. Pasien dengan
MR membutuhkan antibiotik profilaksis sebelum operasi. Pasien tanpa regurgitasi
dapat dengan atau tanpa antibiotik. 3

3. Monitor
Monitoring standar diperlukan terutama pada MR yang meragukan. Pasien
dengan pasti MR diamati serupa dengan pasien dengan kelainan katup. 3,5

4. Manajemen Anestesi
Tehnik anestesi terpilih adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia
atau yang menggangu status hemodinamik. Untuk prosedur perifer, block syaraf
atau plexus atau saddle block yang terpilih. Spinal dan epidural dapat setidaknya
secara tiba-tiba menurunkan preload dan afterload, yang dapat memberatkan
MVP. Menghindari obat-obatan yang melepaskan histamine, dan pemilihan obat
muscle relacsan haruslah dengan pertimbangan terhadap efek kardiovaskular.
Atropin, ketamin hendaknya dihindari, dan pada keadaan dehidrasi serta
penggantian cairan dan darah hendaknya secara agresif dilakukan. Jika takikardia
timbul pada keadaan euvolemia maka pengobatan dengan beta-bloker sesuai
untuk diberikan. Jika vasopressor dibutuhkan pada keadaan hipovolemia relatif
(pada spinal tinggi) maka phenylepinefrin yang terpilih. 3,4

5. Pemulihan
Monitoring tekanan darah, denyut jantung dan status volume intravaskular
postoperatif secara terus-menerus hingga hemodinamik stabil.3

2.2.2 MITRAL STENOSIS

7
Mitral Stenosis (MS) seringkali disebabkan penyakit jantung rheumatik
dengan gambaran klinis penyakit bermanifestasi setelah 3-5 tahun pasca infeksi.
Pada kasus ini, 25% merupakan murni MS , dan 40% merupakan kombinasi MS
dan mitral regurgitasi (MR). Stenosis terjadi karena fusi komissura, kalsifikasi,
dan penebalan lapisan dan chordae tendineae.

1. Evaluasi Klinis
Gejala yang timbul akibat aktivitas yang menimbulkan gangguan
hemodinamik merupakan suatu hal yang penting dalam menilai derajat beratnya
MS. Gejala utama pada MS yaitu dyspnea yang dikarenakan berkurangnya daya
komplains dari paru. Orthopnea, paroksimal nocturnal dyspnea dan dyspnea saat
istirahat seringkali berhubungan dengan tekanan atrium kiri, sekunder karena
perbedaan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri. Gradien ini dapat
berubah secara cepat sebagai akibat perubahan cardiac output dan waktu
pengisian diastolik.3,4

2. Premedikasi
Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti penanganan
gagal jantung antara lain digitalis untuk memperlambat laju ventrikel pada atrial
fibrillasi, diuretika dan retriksi natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari sebelum
operasi. Terdapat beberapa obat-obatan untuk mengobati hipertensi pulmonal
yang berat antara lain inhaled prostasiklin dan nitrit oxide.3,4

3. Monitor
Pembesaran Atrium kiri dan atrial fibrilasi merupakan gambaran utama
pada EKG. Deviasi aksis kanan dan hipertropi ventrikel kanan timbul akibat
hipertensi pulmonal. Gambaran rontgen dada menunjukkan pembesaran atrium
kiri dan ventrikel kanan. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat sebagai
pemeriksaan non invasif. Doppler echo juga berguna dalam menilai derajat
beratnya MS dan memperkirakan gradien transvalvular. System skoring dengan
menggunakan ekokardiografi berguna dalam menilai hasil pemakaian percutaneus

8
ballon valvuloplasty. Cardiac catheterization juga dapat menentukan gradien
transvalvular, area katup mitral , fungsi ventrikel kiri dan tekanan ventrikel kanan.
Takikardi memperberat hemodinamik dengan cara menurunkan waktu diastolik.
Curah jantung yang menurun berkaitan tidak hanya dikarenakan oleh derajat
beratnya stenosis tetapi juga sekunder oleh penyakit vaskuler pulmonal dan reflex
vasokontriksi pada sirkulasi sistemik. Kenaikan yang mendadak pada volume
darah dapat mecetuskan edema, gagal jantung kanan, atau atrial fibrillasi. 2-5

4. Manajemen Anestesi
Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih.
Hindari hidrasi yang cepat, dan pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin
dapat meningkatkan denyut jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan
afterload ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung. 3,4

5. Pemulihan
Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema paru dan gagal
jantung kanan. Nyeri, hiperkarbia, asidosis respiratorik, dan hipoksia arteri
merupakan penyebab meningkatnya denyut jantung atau pulmonary vascular
resistence (PVR). Pemberian antibiotik dan antikoagulan dilanjutkan.3

2.2.3 MITRAL REGURGITASI


Prolapse Katup Mitral dan penyakit jantung rheumatik kronis akan
menyebabkan mitral regurgitasi (MR). Ruptur chordae tendineae dan prolaps
katup mitral dapat disebabkan trauma dan endokarditis. Derajat beratnya
regurgitasi dan lesi merupakan faktor yang menentukan perjalanan penyakit. MR
berat akut yang disebabkan oleh apapun, tanpa terapi bedah memiliki prognosis
yang jelek. MR ringan kronik memiliki prognosis yang lebih baik hingga
beberapa tahun tanpa adanya tanda-tanda disfungsi ventrikel kiri. Kelelahan dan
dispnoe merupakan gejala yang timbul sebagai konsekuensi dari disfungsi
ventrikel kiri. MR akut dapat menimbulkan manifestasi gagal jantung kongestif
yang berat dan edema paru, dan kadang terdapat kolaps kardiovaskuler dan
hipotensi. 3,4

9
1. Evaluasi Klinis
Pada MR kronis terjadi overload volume ventrikel kiri. Hipertropi
ventrikel kiri menyebabkan LV end-diastolic pressure (LVEDP) terpelihara
normal, meskipun ada peningkatan LV end-diastolic volume (LVEDV).
Pembesaran atrium kiri dan distensible menyebabkan tekanan atrium kiri normal
walaupun pada keadaan volume regurgitasi yang besar. Stroke volume ventrikel
kiri meningkat. Pada MR akut, complains dari atrium kiri terbatas dan secara
jelas meningkatkan tekanan pada atrium kiri yang menyebabkan edema pulmonal
serta mencetus kontraksi dan takikardia karena kompensasi simpatis. 3,4

2. Premedikasi
Reduksi afterload bermanfaat dalam hal penatalaksanaan pasien dengan
akut dan kronik MR yang diharapkan akan mempertahankan stroke volume.
Selain itu dengan menurunkan volume ventrikel kiri dapat menurunkan ukuran
annulus mitral dengan demikian terhadap orifisium regurgitasi. Pasien ini
seringkali juga diobati dengan inotropik (digitalis) dan diuretik, karena akan
menurunkan fraksi regurgitan.
Beberapa tindakan pembedahan dapat lebih bijaksana dipertimbangkan
sebelum terjadinya kegagalan ventrikel kiri yang jelas, misalnya pada pasien
dengan disfungsi otot papillary mungkin memerlukan pemasangan pompa balon
intraortic pre operatif. 3,4

3. Monitor
Monitoring didasarkan pada derajat disfungsi ventrikel. Pemantauan
tekanan arteri pulmonal sangat bermanfaat pada pasien dengan gejala. Penurunan
afterload intraoperatif akibat vasodilator memerlukan pengawasan penuh terhadap
hemodinamik.4
Kateterisasi arteri pulmonal sangat berguna untuk menilai tekanan
pengisian ventrikel, curah jantung, dan efek pemberian vasodilator. Ukuran
regurgitan dan gelombang V tidak berkorelasi dengan derajat MR. 4,5

10
4. Manajemen Anestesi
Penanganan anestesi disesuaikan dengan derajat beratnya MR dan fungsi
ventrikel kanan. Faktor-faktor yang memicu regurgitasi harus dihindari, seperti
denyut jantung yang lambat (sistolik yang panjang) dan peningkatan afterload
secara mendadak. Bradikardi dapat meningkatkan volume regurgitasi akibat
peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan annulus mitral yang melebar
secara mendadak. Denyut jantung harus dipertahankan antara 80-100x/menit.
Peningkatan afterload ventrikel kiri secara mendadak, seperti akibat intubasi
endotrakeal dan stimulasi pembedahan, harus segera ditangani tetapi tanpa depresi
miokardium yang berat. Kelebihan cairan juga dapat memperburuk regurgitasi
akibat melebarnya ventrikel kiri.3,4
Anestesi spinal dan epidural dapat ditoleransi dengan baik, juga dapat
menghindari terjadinya bradikardi. Anestesi epidural dapat menurunkan tahanan
vaskular sistemik (SVR), sehingga membantu aliran darah dan mencegah kongesti
paru. Pasien dengan gangguan ventrikel yang berat sering sangat sensitif dengan
efek depresan dari obat volatile. Anestetik yang berbahan dasar opioid lebih cocok
digunakan, karena menghindari bradikardia. Pemilihan pankuronium sebagai
relaksan otot disertai anestetik yang berbahan dasar opioid biasanya sangat
bermanfaat.4

5. Pemulihan
Mencegah nyeri, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis dapat membantu
meningkatkan SVR.3

2.2.4 AORTA STENOSIS


Aorta stenosis (AS) bisa terjadi kongenital atau didapat. Penyebab
kongenital meliputi katup unikuspid atau bikuspid dan fusi sebelum lahir.
Penyebab didapat meliputi kalsifikasi senilis dan penyakit jantung rematik. Pada
AS karena kalsifikasi terjadi degenerasi dari daun katup, pembentukan kalsifikasi,
diikuti obstruksi akibat stenosis. Pada AS terjadi kelebihan tekanan ventrikel kiri.
Hipertropi konsentrik mempertahankan tekanan dinding yang normal, sehingga
fraksi ejeksi dipertahankan. Tekanan sistolik yang melampaui 50 mmHg dengan

11
curah jantung yang normal atau muara aorta efektif <0,75 cm2 pada rata-rata
ukuran dewasa biasanya dianggap sebagai kritis obstruksi aliran ventrikel kiri.
Ventrikel kiri menghadapi peningkatan secara bertahap untuk mengatasi ejeksi.
Afterload terus meningkat sampai pada saat volume sekuncup berkurang dan
ventrikel kiri mulai membesar akibat timbunan volume.2,3

1. Evaluasi klinis
Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien
bisa tetap asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala menunjukkan
harapan hidup kurang dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat penting untuk menilai
derajat beratnya AS. Pada pasien yang menunjukkan gejala diperlukan kateterisasi
jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan pengukuran aortic valve area
(AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif dengan ballon valvuloplasi aorta
perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis dengan fungsi ventrikel yang buruk
mungkin memerlukan pembedahan penggantian katup aorta untuk dapat
memperbaiki gejala klinis.3,4

2. Premedikasi
Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah
endokarditis infektif. Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi
miokardium atau penurunan tekanan darah harus dihindari, biasanya yang
disebabkan oleh agen volatile. Pemilihan agen penghambat neuromuscular
didasarkan pada denyut jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang menurunkan
afterload dapat menurunkan tekanan diastolik aorta dan mengganggu aliran darah
subendokardial. 3,4

3. Monitor
Diperlukan pengawasan ketat pada EKG dan tekanan darah, yang
bertujuan mempertahankan irama sinus, denyut jantung, dan volume intravaskular
yang normal. Hipotensi harus dihindari dan preload harus dipertahankan adekuat.
Hipotensi harus segera diatas untuk mencegah penurunan tekanan perfusi koroner.
Kebutuhan oksigenasi meningkat. Fenilefrin dosis kecil (50-100 ug) dapat

12
menaikkan tekanan darah dan perfusi koroner. Takikardi sangat penting
diperhatikan karena menurunkan waktu perfusi subendokardial. Bradikardi akan
meningkatkan gradient katup, yang menyebabkan hipertensi sistemik dan iskemik
subendokardial. Pada EKG, iskemia akan menunjukkan depresi segmen-ST dan
kelainan gelombang-T. Takiartimia supraventrikular harus ditangani segera
karena dapat menyebabkan kekacauan hemodinamik. Hilangnya sistolik atrial
dapat mengganggu pengisian ventrikel kiri dan kongesti paru yang berat.
Disritmia atrial memerlukan DC kardioversi. 3-5

4. Manajemen Anestesi
Pada pasien dengan AS ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik)
umumnya anestesi spinal atau epidural lumbal dapat ditoleransi dengan baik.
Perhatian khusus diberikan pada terjadinya hipotensi akibat penurunan preload,
afterload, atau keduanya. Anestesi epidural lebih disukai karena onset hipotensi
lebih lambat dan memungkinkan penanganan yang lebih agresif. 3,4
Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi
kontraindikasi. Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik anestesi
yang berbahan dasar opioid biasanya menyebabkan depresi jantung minimal,
sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-opioid seperti etomidat dan
kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika digunakan agen volatile,
konsentrasinya harus diperhatikan untuk menghindari depresi miokardium,
vasodilatasi, dan hilangnya sistolik atrium yang normal. Esmolol, pilihan
penghambat beta adrenergik, lebih disukai karena waktu paruhnya pendek.4

5. Pemulihan
Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia, hiperkarbia, dan
hipotermia merupakan hal yang diperhatikan post operatif.3

2.2.5 AORTA INSUFISIENSI


1. Evaluasi klinis
Aorta insufisiensi (AI) dapat disebabkan oleh penyakit katup akibat
demam rematik, atau proses degeneratif pada akar aorta yang menyebabkan

13
kelemahan katup pada usia lanjut. AI biasanya berkembang secara lambat dan
progresif (kronis), tetapi juga bisa berkembang secara akut. Pada AI kronis, terjadi
kelebihan volume yang menyebabkan dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi dinding
ventrikel, dan dapat berlanjut menjadi disfungsi ventrikel kiri akibat hipertrofi
yang tidak lagi adekuat untuk mengatasi tekanan pada dinding ventrikel. Pada AI
yang akut, terjadi overload diastolik ventrikel kiri yang berat, yang dapat berlanjut
menjadi kegagalan ventrikel kiri. Penurunan curah jantung mengaktifkan refleks
system saraf simpatik yang meningkatkan denyut jantung dan SVR.
Gejala yang dapat ditemui antara lain takikardi dan dispnoe akibat
kongesti vena pulmonal, serta angina akibat berkurangnya tekanan perfusi
koroner. Sedangkan pada AI yang akut dengan onset kegagalan ventrikel kiri yang
cepat tanpa kompensasi, menimbulkan gejala kolaps kardiovaskular (kelelahan,
dispnoe, dan hipotensi). 3,4
2. Premedikasi
Pasien AI akut sering memerlukan operasi emergensi sehingga beresiko
tinggi untuk terjadi aspirasi. Induksi dengan etomidat bermanfaat karena
menurunkan SVR dengan depresi miokardium minimal. Pankuronium merupakan
pilihan yang baik sebagai relaksan otot karena dapat mencegah bradikardi. 3,4

3. Monitor
Denyut jantung harus dipertahankan dalam batas atas normal (80-100
x/menit). Bradikardi meningkatkan volume regurgitan. Distensi ventrikel dapat
menghasilkan bradikardi yang berat. Penderita lebih bisa mentoleransi kenaikan
denyut jantung yang moderat.
Agen inotropik positif dapat bermanfaat untuk mempertahankan tekanan
perfusi sistolik, khususnya pasien pre-operatif dengan disfungsi ventrikel kiri.
Sebagai vasopressor untuk mengatasi hipotensi lebih dipilih menggunakan
efedrin. Fenilefrin dosis kecil (25-50 ug) dapat digunakan jika terjadi hipotensi
akibat vasodilatasi yang berat. Penurunan afterload intraoperatif dengan
nitroprusside secara optimal membutuhkan monitoring ketat pada
hemodinamik.3,4

14
4. Manajemen Anestesi
Penderita AI kronik dapat dengan aman diberikan anestesi umum atau
regional. Sebagian besar penderita mentoleransi dengan baik anestesi spinal dan
epidural. Anestesi umum sebaiknya menggunakan isoflurane dan desflurane
karena adanya vasodilatasi. Penderita AI berat mungkin tidak dapat mentoleransi
depresi miokardium, sehingga tekhik narkosis berbahan dasar opioid lebih sesuai.4

2.2.6 REGURGITASI TRIKUSPID


1. Evaluasi klinis
Regurgitasi trikuspid umumnya merupakan kelainan fungsional yang
ditandai dilatasi dari ventrikel kanan yang disebabkan hipertensi pulmonal.
Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi pada hipertensi pulmonal dan overload
volume dari ventrikel kanan yang sering disebabkan kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit katup aorta atau mitral. Angka kejadian yang signifikan
regurgitasi tricuspid yang merupakan komplikasi sekunder dari infeksi
endokarditis yang sering menyertai penderita penyalahgunaan obat secara
intravena. Regurgitasi trikuspid biasanya dikarenakan stenosis dari katup tricuspid
yang merupakan komplikasi dari demam rheumatik. 6

2. Monitor
Volume cairan intravaskuler dan tekanan vena sentral dipertahankan
dalam batas maksimal normal untuk menjamin terpenuhinya stroke volume
ventrikel kanan dan pengisian dari ventrikel kiri. Tekanan intratorak yang tinggi
pada tekanan positif ventilasi paru atau venodilatasi oleh obat dapat menurunkan
tekanan balik vena dan lambat laun akan mempengaruhi stroke volume ventrikel
kiri. Hindari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler pulmonal seperti
hypoxemia arterial dan hiperkarbia.6
Pengawasan intraoperatif temasuk pengukuran tekanan pengisian atrium
kanan akan sangat membantu dalam memilih pengganti cairan intravena dan
menditeksi efek yang lebih lanjut dari obet anastesi atau tehnik pada jumlah
regurgitasi tricuspid. 5,6

15
3. Manajemen anestesi
Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik
dengan satu kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup aorta
atau mitral.
Kombinasi obat-obat anestesi atau tehnik yang spesifik tidak dianjurkan
dalam menangani pasien dengan regurgitasi tricuspid. Namun anastesi volatile
yang dapat menyebabkan vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan untuk
digunakan, dan ketamin dapat digunakan karena efeknya dalam mempertahankan
aliran balik vena. Nitro-oksida adalah vasokonstriktor yang lemahapabila
dikombinasikan dengan opioid dan dapat memperparah regurgitasi tricuspid
dengan mekanisme ini. Penggunaan nitro-oksida akan membantu mengontrol
aliran darah balik vena sentral dan kemungkinan dapat membantu meningkatkan
tekanan atrium kanan. 6
2.2.7 DEFEK SEPTUM VENTRIKEL
1. Evaluasi klinis
Defek septum ventrikel yang kecil akan menimbulkan bising pansistolik
yang ringan pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks yang normal dan
gambaran elektrokardiogram right bundle branch. Tekanan intrakardial masih
normal dengan shunting left-to-right yang minimal. Ventrikel septal defek yang
sedang sampai besar menimbulkan murmur pansistolik yang keras dengan
expiratory splitting pada suara jantung kedua dan adanya pembesaran jantung kiri,
akhirnya bisa juga terjadi pembesaran jantung kanan. Saturasi oksigen pada
ventrikel kanan meningkat sebagai akibat adanya left-to-right shunt. Tekanan end
diastolic ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal dan tekanan end diastolic
ventrikel kiri juga meningkat. Ventrikel septal defek yang sedang biasanya
menyebabkan penurunan tahanan vascular pulmonal, sedangkan VSD yang besar
menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler pulmonal tersebut. Peningkatan
tahanan vaskuler pulmonal yang berlangsung lama menyebabkan shunting yang
biridectional dan akhirnya right-to-left shunt yang disertai dengan sianosis dan
clubbing.7,8

2. Manajemen anestesi

16
Panduan dalam premedikasi, monitoring, induksi, dan penatalaksanaan
intraoperatif dapat diaplikasikan untuk seluruh tipe defek septum. Problem khusus
pada pasien defek septum ventrikel diantaranya adalah: peningkatan PBF, CHF,
dan penurunan fungsi ventrikuler.7
Pada pasien dengan defek septrum ventrikel supracristal, insufisiensi aorta
merupakan problem tambahan. Pada defek septum ventrikel kecil akan
membebani ventrikel kiri, sedangkan defek septum ventrikel besar akan
membebani kedua ventrikel.7,8
Sebagian besar pasien dengan defek septum mengalami pintasan kiri-ke-
kanan yang akan cenderung menurunkan waktu induksi pada penggunaan agen
inhalasi yang relative soluble, seperti misalnya halothane. Karena darah yang
melewati pintasan kemudian mengalami resirkulasi melalui paru, sebagian akan
mengalami saturasi oleh agen anestesi, oleh sebab itu konsentrasi alveolar akan
meningkat dengan lebih cepat, akibatnya induksi anestesi akan terjadi lebih cepat.
Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous oksida relatif lebih tidak terpengaruh
oleh mekanisme ini, sehingga tidak terjadi akselerasi induksi. Agen intravena
dikatakan memiliki efek onset yang lebih lambat, karena terjadinya dilusi
tambahan oleh darah yang mengalami resirkulasi. Anestesiolog dapat
mengkompensai dampak adanya pintasan dengan meningkatkan konsentrasi agen
intra vena; meskipun terdapat risiko overdosis.7,8
Faktor–faktor tersebut, meskipun nyata, namun memiliki aspek
kepentingan klinis yang kecil dalam induksi anestesi dibandingkan dengan faktor
lain, seperti misalnya kecukupan premedikasi dan mempertahankan volume
ventilasi yang adekuat.7
Teknik induksi pada pasien dengan pintasan kiri-ke-kanan bukanlah hal
yang bersifat kritis dan dapat disesuaikan menurut keinginan pasien, tingkat
kooperativitas, atau ada-tidaknya jalur infus intravena pre-induksi. Pasien yang
telah terpasang infus ataupun menginginkan induksi intravena dapat dengan aman
diinduksi dengan menggunakan thiopental 2-4 mg/kg atau preparat induksi
intravena lainnya, diikuti dengan pemberian suksinilkolin atau pancuronium
sebagai agen blokade neuromuscular sebelum dilakukan intubasi. Pada pasien
dengan penyakit yang lebih parah (hipertensi pulmoner dengan gagal jantung

17
kanan) dapat diberikan fentanyl 5-10 μg/kg atau ketamin 1-2 mg/kg untuk
menggantikan thiopental sebagai agen induksi intravena. Setelah dilakukan
induksi, kemudian ditambahkan agen inhalasi sesuai dengan kebutuhan situasi
klinis.7,8

3. Pemantauan
Pemantauan dasar untuk perbaikan ASD atau VSD adalah sama dengan
sebagian besar prosedur operasi kardiovaskuler: EKG, tekanan darah (invasif dan
non-invasif), oksimetri nadi, kapnografi, tekanan vena sentral/CVP, temperatur,
produksi urin, pemeriksaan laboratoris berupa analisis gas darh dan elektrolit.
CVP merupakan panduan yang baik untuk memberikan terapi cairan. Namun,
hasilnya dapat meragukan paling tidak dalam 2 situasi berikut:
1. Segera setelah ventrikulotomi, tekanan jantung kanan akan cenderung
tinggi sebagai akibat dari penurunan fungsi jantung kanan, sedangkan
fungsi jantung kiri normal.
2. Setelah penutupan ASD, tekanan atrium kiri untuk sementara waktu
akan lebih tinggi dibandingkan tekanan atrial kanan. Pemasangan
kanula pada atrium kiri bias jadi berguna pada beberapa kasus, namun
tidak diperlukan secara rutin.
Kateter arteri pulmonalis yang dipasang dengan tujuan untuk mengukur
tekanan atau curah jantung digunakan pada beberapa sentra, namun hingga saat
ini belum diterima secara luas karena adanya penyulit berupa insersi pada anak
kecil, perubahan letak yang terjadi saat kanulasi atau perbaikan, kemungkinan
menembus defek septum, biaya yang harus dikeluarkan, dan sejauh mana
perannya dalam mempengaruhi outcome penderita belumlah diketahui.7,8

2.1.8 PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PENYAKIT


JANTUNG BAWAAN
Dua akibat utama pada penyakit jantung bawaan yang bermakna adalah
gagal jantung kongestif dan sianosis. Gagal jantung kongestif harus dikontrol
dengan digitalis, diuretik, dan atau obatobatan yang mengurangi afterload
sebelum dilakukan tindakan bedah elektif apapun. Terapi obat-obatan harus

18
diteruskan pada periode perioperatif. Kadar kalium serum yang adekuat dan
menghindari hipokarbia penting untuk menghindari keracunan digitalis pada
pasien-pasien yang mengkonsumsi digitalis. Pengendalian penyakit jantung
kongestif dapat memperbaiki fungsi paru dan mengurangi kemungkinan
terjadinya hipoksemia perioperatif atau gagal nafas.9,10
Sianosis merupakan ciri gangguan jantung dengan shunt kanan ke kiri.
Aliran darah paru yang terbatas, dan atau campuran vena pada sirkulasi sistemik.
Hipoksemia berat menyebabkan polisitemia yang diikuti oleh peningkatan volume
dan viskositas darah, neovaskularisasi, hiperventilasi alveolar untuk
mempertahankan normokarbia pada arteri, dan koagulopati. Clubbing atau
osteoarthropati ruas distal jari-jari tangan dan kaki merupakan tanda dari penyakit
jantung sianotik yang berkepanjangan.9,10
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis harus mencakup penilaian beratnya gangguan kardiopulmonal,
seperti adanya sianosis atau gagal jantung kongestif, toleransi latihan, episode
sianotik akut, tingkat aktivitas, pola makan dan pertumbuhan, gejala-gejala lain
yang bersangkutan, dan abnormalitas anatomis.9,10
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan warna kulit, tingkat aktivitas,
pola dan frekuensi nafas, dan kesesuaian perkembangan untuk usia pasien.
Jantung dan paru harus diauskultasi dan akses intravena serta jalan nafas pasien
harus diperhatikan dengan seksama. Denyut nadi perifer harus dipalpasi dan
tekanan darah diukur pada kedua lengan dan tungkai bawah bila diduga terdapat
koartasio.9,10
Rontgen toraks diperiksa untuk melihat tanda-tanda pembesaran jantung,
adanya gagal jantung kongestif, penurunan aliran darah paru, abnormalitas posisi
jantung, dan adanya abnormalitas dinding toraks. EKG dapat normal walaupun
terdapat kelainan jantung bawaan. Namun, abnormalitas pada EKG dapat menjadi
petunjuk yang penting untuk menentukan kelainan jantung yang mendasarinya.
Echokardiografi akan menunjukkan abnormalitas anatomis, dan dengan doppler,
akan memberikan informasi tentang pola aliran dan gradien tekanan. Kateterisasi
jantung dapat menentukan anatomi, aliran shunt pulmonal dan sistemik, resistensi
vaskuler, dan tekanan pada ruang-ruang intrakardiak.10

19
Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif harus ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang
menyeluruh dari anatomi dan semua prosedur bedah yang pernah dijalani. Hanya
dengan adanya hipoksemia, hal ini menunjukkan penanganan yang inadekuat dan
terdapatnya abnormalitas jantung. Selain menentukan derajat hipoksemia pada
keadaan istirahat, riwayat episode hipersianotik termasuk faktor pencetus atau
perubahan yang mendadak pada derajat hipoksemia harus diketahui. Walaupun
penurunan toleransi latihan tidak spesifik untuk hipoksemia, ini dapat menjadi
indikator yang baik untuk fungsi kardiovaskuler secara keseluruhan dan
merupakan bagian anamnesis yang dapat mempengaruhi pengelolaan anestesi.11
Anak dengan hipoksemia biasanya lebih kecil untuk usianya. Walaupun
sangat sulit untuk membedakan apakah hipoksemia disebabkan gangguan pada
jantung atau paru, usaha ini harus dilakukan karena infeksi paru aktif merupakan
indikasi untuk menunda prosedur bedah elektif. Bila terdapat gejala yang
berkaitan dengan hiperviskositas atau hemostasis abnormal, harus dikonsultasikan
dengan ahli hematologi untuk menentukan perlunya phlebotomi preoperatif.
Riwayat kerusakan neurologis sebelumnya akibat pembedahan, emboli, atau
infeksi harus diperhatikan.11
Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus dimulai dengan hematokrit
dan indeks ukuran eritrosit. Secara umum, hematokrit berhubungan dengan
tingkat keparahan hipoksemia. Namun, anak-anak atau dewasa dapat menderita
defisiensi besi atau phlebotomi yang berlebihan, sehingga hematokrit tampak
berkurang. Bergantung pada besarnya pembedahan, hemostasis yang adekuat
harus dipastikan dengan uji fungsi platelet dan koagulasi. Pemeriksaan
echocardiografi sangat penting untuk menentukan anatomi dan pola aliran darah.
Echocardiografi transesofageal harus dipertimbangkan bila dengan pemeriksaan
prekordial tidak adekuat.9,11
Hipoksemia saja bukan merupakan indikasi untuk pemantauan invasif.
Besarnya pembedahan, fungsi ventrikel, teknik anestesi dan tingkat keparahan
penyakit yang mendasari merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
sebelum memasang kateter vena sentral atau arteri. Pemasangan kateter pada

20
arteri pulmonalis secara teknis sulit dan informasi yang didapat sulit untuk
ditafsirkan. Tentu saja, oksimeter yang baik sangat diperlukan. Bila tersedia,
echocardiografi transesofageal dapat memberikan data yang berguna tentang
fungsi ventrikel, volume akhir diastolik dan besarnya shunt kanan ke kiri. Ruang
rugi fisiologis dapat meningkat dan pengukuran end tidal CO2 dapat lebih rendah
dari PCO2 arteri.9,11

Premedikasi dan Pemilihan Obat Anestesi


Premedikasi dapat sangat berguna bila anak mempunyai riwayat
hipoksemia yang diperparah dengan eksitasi atau agitasi. Obat-obatan oral, rektal
atau intramuskular semuanya aman dan efektif. Pemberian melalui oral memiliki
keuntungan yaitu menghindari rasa terkejut atau takut saat memberikan obat
premedikasi. Suplemen oksigen dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi
oksigen pada garis dasar.11
Pilihan obat-obat anestesi kurang penting dari pada mencapai kondisi
hemodinamik yang sesuai untuk tiap kelainan jantung. Apapun kelainan jantung
yang mendasarinya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan yang adekuat. Hal ini paling baik dicapai dengan memahami penyebab
yang mendasari hipoksemia pada tiap pasien. Terdapat dua kategori umum pasien
yang mengalami hipoksemia akibat kelainan jantung, yaitu pasien dengan aliran
darah pulmonal yang terbatas dan shunt darah dari kanan ke kiri, dan pasien
dengan aliran darah paru yang tidak terganggu dan terdapat pencampuran darah
vena pulmonal dan vena sistemik. Pengelolaan anestesi pada masing-masing
kondisi ini cukup berbeda, bila aliran darah pulmonal terbatas, sumber obstruksi
aliran harus diidentifikasi dan dilakukan pemeriksaan aliran darah melewati
obstruksi tersebut.
Strategi umum untuk menghindari hipoksemia saat induksi dan
pemeliharaan anestesi pada pasien dengan aliran darah paru terbatas adalah
dengan memastikan hidrasi yang adekuat, mempertahankan tekanan darah
sistemik arteri, meminimalkan resistensi aliran darah pulmonal, dan menghindari
peningkatan kebutuhan oksigen sistemik yang tiba-tiba (menangis, berontak, dan
anestesi yang kurang dalam).8

21
Pada keadaan-keadaan dimana aliran darah pulmonal tidak terganggu
namun terdapat pencampuran darah vena sistemik dan pulmonal, saturasi arteri
akan bergantung pada perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs
ratio). Secara umum, tidak dapat diharapkan darah arteri tersaturasi maksimal.
Peningkatan perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs ratio) dapat
meningkatkan beban kerja jantung atau dapat pula menyebabkan penurunan
perfusi sistemik bila fungsi kardiovaskuler sudah maksimal. Pertimbangan utama
anestesi pada kategori pasien ini adalah mempertahankan fungsi ventrikel dan
mencegah terjadinya perubahan Qp/Qs ratio.8,11
Walaupun efek shunting pada kecepatan induksi harus dipertimbangkan,
namun kemaknaan klinisnya minimal. Pertimbangan harus ditujukan pada
pengelolaan hemodinamik.8,9
Pertimbangan postoperatif yang penting adalah tumpulnya respon
kemoreseptor terhadap hipoksia. Situasi ini sama dengan pasien yang telah
mengalami endarterektomi karotid bilateral. Hipoksia yang berat dapat terjadi
tanpa menimbulkan respon normal peningkatan ventilasi, terutama bila diberikan
obat yang menekan respirasi seperti narkotik. Saturasi oksigen harus
dipertahankan pada kadar yang sesuai dengan pemberian suplemen oksigen
sampai anak sadar penuh. Mekanisme tumpulnya respon terhadap hipoksia ini
belum diketahui, namun tampaknya respon ventilasi terhadap hipoksemia akan
kembali normal setelah pembedahan untuk mengoreksi hipoksemia. Hipoksemia
kronis tidak menyebabkan perubahan respon ventilasi terhadap karbon dioksida
atau konsentrasi ion hidrogen.8,9

22
BAB III
KESIMPULAN

Pemilihan cara anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya


penyakit penderita. Beberapa faktor, antara lain umur, status fisik, posisi
pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dokter pembedah, ketrampilan dan
pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan
ledakan serta yang lainnya juga mempengaruhi pemilihan teknik anestesi.
Sebagian besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia
umum, sedangkan operasi lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal.
Pada pasien dengan prolaps katub mitral, teknik anestesi yang terpilih
adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau yang menggangu status
hemodinamik. Pada pasien dengan mitral stenosis, epidural anestesi merupakan
tekhik anestesi regional yang terpilih.
Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik
dengan satu kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup aorta
atau mitral.
Dalam pemberian obat anestesi dalam pembedahan pasien dengan
kelainan jantung bawaan, apapun kelainan jantung yang mendasarinya, tujuan
utama adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini
paling baik dicapai dengan memahami penyebab yang mendasari hipoksemia
pada tiap pasien.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Pramono ardi, Buku Kuliah Anestesi. Jakarta. Penerbik buku kedokteran EGC,
2014; 1-2
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi
kedua. Jakarta. Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001: 1-8

3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Valvular heart disease. In: Clinical
anesthesiology. 4th ed. The United States of America. Appleton and lange,
2006:463-78

4. Bready LL, Mullins RM, Noorily SH, Smith RB. Decision making in
anesthesiology an algorithmic approach. 3rd ed. Mosby. St Louis Missouri.
2000: 122-34

5. Bongard FS, Sue DY. Critical care diagnosis and treatment. 1st ed. The United
States of America. Appleton and lange. 1994: 463-77

6. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and co-existing disease. 4th ed.
Churchill livingstone. Philadelphia. 2002: 25-43

7. Gurkowski MA, Bracken CA. Specialty Anesthesia. 2nd ed. Mosby.


Pennsylvania. 2002: 279-89

8. Nasution AH. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek. Majalah Kedokteran


Nusantara, 2008; 41(2): 133-138

9. Morgan, GE, Mikhail, MS & Murray, MJ. Anesthesia for Patients With
Cardiovascular Disease. In: Clinical Anesthesiology, 4th edition, McGraw-
Hill Companies, New York. 2006, p424-5

10. Ahmad MR. Anesthesia for Non-Cardiac Surgery in Children with Congenital
Heart Disease. The Indonesian Journal of Medical Science, 2010; 1(8): 467-
476.

11. Hollinger I. Congenital Heart Disease. Clinical cases in anesthesia. 3rd


edition. 2005; 69: 409-18.

12. Frankville DD, Lake CL. Anesthesia for noncardiac surgery in children and
adults with congenital heart disease. Pediatric Cardiac Anesthesia. 3nd
edition. 1998; 26: 485-513.

13. Mashour GA, Avery EG. Anesthesia for cardiac surgery. Dalam: Clinical
anesthesia procedures of the Massachusetts general hospital. 7th edition. 2007;
23: 421-3.

24

Anda mungkin juga menyukai