Anda di halaman 1dari 84

Majalah AsySyariah Edisi No.

86

Asy Syari’ah

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 0


Permata Salaf

Amr bin Murrah mengatakan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah
menemui manusia dan mengatakan, “Adalah memberatkan kami jika kalian bertanya tentang
sesuatu yang belum terjadi. Sungguh, yang telah terjadi saja sudah membuat kami sibuk.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau mengatakan,
“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi. Sungguh, aku mendengar
Umar radhiyallahu ‘anhu melaknat orang yang bertanya tentang hal seperti itu.”

Apabila Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang sesuatu, ia bertanya,
“Apakah itu sudah terjadi?” Jika dijawab, “Belum,” beliau mengatakan, “Biarkan sampai hal
itu terjadi dulu.”

Masruq Rahimahullah pernah mengisahkan bahwa dia pernah bertanya kepada Ubay bin
Ka’b radhiyallahu ‘anhu tentang suatu hal. Ubay bertanya, “Apakah hal itu sudah terjadi?”
Masruq menjawab, “Belum.” Ubay radhiyallahu ‘anhu menukas, “Kalau begitu, jangan
bebani kami sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu benarbenar terjadi, baru kami akan
berijtihad untukmu.” (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam hlm.123—124)

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 1


Surat Pembaca
Cover Ada Gambar Makhluk Bernyawa?

Bismillah. Asy-Syariah edisi 84, perhatikan gambar sampul, pada bagian dua kaki kursi,
ana melihat gambar makhluk bernyawa, gambar kepala binatang. Afwan, tolong dikoreksi.
085255xxxxxx

Jika diperhatikan lebih saksama, itu hanyalah ukiran biasa, yang sekilas membentuk
kepala binatang atau makhluk hidup. Jazakumullahu khairan atas perhatiannya.

Asy-Syariah “Muter-Muter”

Saya ibu rumah tangga biasa, sehari-hari biasa di dalam rumah saja. Saya sudah
berlangganan Asy-Syariah kurang lebih dua tahun. Kendala saya, sulit memahami bacaan
yang saya baca. Kadang saya harus membacanya berulang kali, kadang terasa berputar-putar
pokok masalahnya. Apakah Asy -Syariah hanya untuk kalangan anak kuliahan atau cerdik
pandai saja? Saya mohon karena keterbatasan IQ saya, gaya bahasa Asy-Syariah diperingan
agar mudah dimengerti, lebih memikat hati yang beku, dan menyentuh kalbu yang membatu.
085382xxxxxx

Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh pembaca, jika apa yang
kami sajikan masih jauh dari harapan. Gaya bahasa Asy-Syariah selama ini memang dominan
dari setiap penulis. Ada yang dengan pendahuluan yang panjang tidak segera masuk inti
permasalahan, ada yang cenderung puitis, ada yang membahas demikian panjang sehingga
sulit ditangkap intinya, ada yang kental dipengaruhi gaya bahasa ceramah, dan sebagainya.
Karena tergantung dari setiap penulis, cara memahaminya pun menjadi beragam. Di sisi lain,
sudah menjadi karakter Asy-Syariah, ketika membahas fikih— bukan perkara akidah atau
yang halhal yang telah jelas—, kami berupaya menampilkan segala sisi perbedaan pendapat
(ijtihad) di kalangan ulama, sehingga menjadikan bahasan terkesan muter-muter tidak segera
masuk inti kesimpulan. Meski di akhir tulisan kami menguatkan satu pendapat, namun dengan
menampilkan segala perbedaan pendapat itu, kami tidak lantas “memaksakan” pendapat
tertentu. Bagaimanapun, ini tetap menjadi masukan yang berharga bagi kami, menuntut
redaktur pelaksana untuk bekerja lebih keras, dan menjadi bahan evaluasi bagi para penulis ke
depan. Jazakumullahu khairan atas masukannya.

Semoga Istiqamah

Semoga rahmat, ampunan, dan petunjuk Allah Subhanahu wata’ala dilimpahkan kepada
ustadz-ustadz majalah Asy-Syariah, tim redaksi, agen, dan seluruh pihak yang terkait hingga
sampailah majalah Asy-Syariah sampai kepada kami. Dan berdoalah untuk kami yang
notabene sebagai pembaca agar mendapat hidayah dan istiqamah di atas agama Allah
Subhanahu wata’ala. Zainal-Temanggung

Jazakumullahu khairan, kita saling mendoakan dan berdoa kepada Allah Subhanahu
wata’ala, agar kita semua diberi kekuatan, kesabaran, dan istiqamah di atas as- Sunnah, serta
mengampuni kesalahankesalahan kita semua. Amin, barakallahu fikum.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 2


Manhaj “Sepenggal Catatan Tentang Terorisme”
Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Ketika dunia dalam keheningan, terorisme menggoncangnya dengan penuh kekuatan.


Sejarahnya yang selalu haus darah, sungguh menjadi ancaman bagi kehidupan. Tiada hunian
yang dirambahnya pasti diliputi keresahan. Terorisme benar-benar menggemparkan,
menakutkan, dan mengerikan. Ironinya, terorisme diidentikkan dengan Islam. Padahal Islam
mengutuk terorisme dan berlepas diri darinya.

Manhaji

Pada beberapa tahun terakhir ini, dunia digoncang oleh serangkaian aksi teror1 bom
yang mengerikan. Umat manusia terenyak bingung saat mendengar atau menyaksikan episode
horor yang menakutkan itu. Aksi teror bom yang dilakukan secara rahasia, baik dengan
meledakkan bom waktu, bom bunuh diri, maupun dengan sebatas pemberian ancaman bom
berupa kiriman paket, parcel, dan surat. Praktik batil yang tak selaras dengan Islam yang
murni dan fitrah yang suci. Akibatnya, tak sedikit kerugian yang diderita oleh umat manusia.
Gedung – gedung luluh lantak, mayat-mayat bergelimpangan, korban luka-luka pun harus
hidup menderita. Demikian pula kerugian yang bersifat psikis, sangat terasa dalam kehidupan.
Kegalauan jiwa muncul walau berada di tengahtengah hunian yang ditinggali. Sebuah tragedi
kemanusiaan yang telah menodai lembaran sejarah dengan penderitaan dan kehancuran.
Tragisnya, aksi teror bom terus merambah banyak negeri, termasuk Indonesia, tanah air kita.
Semoga Allah Subhanahu wata’ala senantiasa menjaganya, membimbing para pemimpinnya
di atas Islam, dan menjadikan masyarakatnya sebagai komunitas insan yang beriman lagi
bertakwa. Amiin….

Terorisme Bukan dari Islam

Tak dimungkiri bahwa tragedi 11 September 2001 benar-benar menggemparkan dunia.


Sebuah aksi teror yang terhitung perdana dalam kisaran dasawarsa (sepuluh tahun) terakhir
ini. Aksi teror yang dilakukan oleh dua pesawat Boeing 767 yang menabrakkan diri ke
menara kembar WTC dan Pentagon New York, Amerika Serikat (AS). Kedua pesawat itu
meledak saat menabrakkan diri ke menara kembar yang tinggi menjulang. Kebakaran pada
bagian atas gedung yang dibangun dengan konstruksi baja itu tak dapat dihindarkan. Tak lama
kemudian, menara kembar WTC yang megah itu pun hancur luluh lantak. Sekitar tiga ribu
jiwa tewas, dan tak sedikit jumlah korban luka-luka. Muncul pertanyaan, siapakah pelakunya?
Di antara sejumlah nama yang disebut-sebut berada di balik tragedi itu adalah Usamah bin
Laden dengan jaringan al-Qaedanya. Dengan jitu media massa Barat (baca: kafir)
memanfaatkan peluang emas tersebut sebagai modal utama untuk menebar opini bahwa Islam
adalah agama terorisme dan melahirkan para teroris. Tak sebatas itu, AS dan sekutunya
menjadikan peluang emas itu sebagai alasan kuat untuk melakukan berbagai operasi teror
berskala internasional. Siapakah korbannya? Di antara korbannya adalah rakyat Afghanistan
yang notabene muslim. Mereka dibombardir oleh AS dan sekutunya dengan amat kejam.
Alasannya sederhana, memburu para teroris yakni Usamah bin Laden dan jaringan
al-Qaedanya yang ditengarai bersembunyi di sana. Akibatnya, tak sedikit dari kaum muslimin
Afghanistan yang menjadi korban. Jumlahnya pun tak sebanding dengan jumlah korban
WTC. Selang setahun kemudian, aksi teror bom beralih ke tanah air. Tepatnya pada tanggal
12 Oktober 2002 aksi peledakan bom terjadi di Legian, Bali. Sekitar 202 jiwa tewas dan
ratusan orang korban luka-luka. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Bom Bali I, mengingat
menyusul aksi peledakan bom Bali berikutnya pada tanggal 1 Oktober 2005 yang dikenal

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 3


dengan Tragedi Bom Bali II. Siapakah pelakunya? Lagi-lagi nama yang disebut-sebut dari
pihak muslim. Mereka adalah Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas.

Setelah Bom Bali II, masih berlanjut berbagai aksi teror bom lainnya di tanah air.
Identifikasi pelakunya pun dari pihak muslim. Akibatnya, muncul sebuah penilaian
(paradigma) yang salah di kalangan “masyarakat luas” bahwa Islam adalah agama terorisme.
Padahal siapa pun yang mengkaji Islam secara proporsional pasti menyimpulkan bahwa Islam
adalah rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil’alamin) dan bukan agama terorisme.

Terorisme Bukan Jihad

Para pembaca yang mulia, bila mencermati berbagai aksi teror yang mengatasnamakan
Islam sejak zaman dahulu hingga hari ini, faktor utama yang melandasi para pelakunya adalah
prinsip keyakinan (ideologi), bukan harta atau yang semisalnya. Mereka meyakini bahwa
berbagai aksi teror itu adalah jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Adapun pelakunya
menyandang predikat mujahid, bukan teroris. Padahal jihad tidak bisa dilakukan secara
serampangan. Jihad mempunyai tahapan-tahapan yang harus dimengerti dengan baik dan
benar. Lebih dari itu, jihad harus dilakukan bersama penguasa dan tak bisa dilakukan oleh
perorangan atau kelompok tertentu.2 Cobalah perhatikan serangkaian aksi teror yang
dilakukan oleh kelompok sesat Khawarij terdahulu. Tidaklah mereka melakukannya kecuali
karena keyakinan jihad, bukan karena harta atau yang semisalnya. Padahal serangkaian aksi
teror yang mereka lakukan itu targetnya adalah orang-orang pilihan dari kalangan sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perhatikanlah paparan ringkas tentang serangkaian aksi teror yang dilakukan oleh kaum
Khawarij berikut ini.

1. Pengepungan terhadap rumah Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, hingga
berhasil membunuh sang Khalifah. Pimpinan tertinggi mereka saat itu adalah Abdullah bin
Saba’ al-Himyari.

2. Pembantaian terhadap Abdullah bin Khabbab bin al-Art rahimahullah, saat itu beliau
adalah Gubernur Madain (sebuah kota di Irak, arah tenggara Baghdad) pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Kaum Khawarij membunuhnya
dan membunuh budak wanitanya yang sedang hamil saat melewati wilayah kekuasaan
mereka. Tak hanya itu, mereka merobek perut budak wanita tersebut dan mengeluarkan janin
dari perutnya. Pemimpin utama mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ al-Yasykuri dan
Syabats at-Tamimi.

3. Pembunuhan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, saat beliau
keluar rumah hendak mengimami shalat subuh. Pelakunya adalah seorang teroris Khawarij
yang bernama Abdurrahman bin Muljam al-Muradi.

4. Upaya pembunuhan terhadap sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu
selaku Gubernur Syam (sekarang meliputi Palestina, Syiria, Lebanon, dan Yordania, -pen.).
Operasi tidak berhasil, karena beliau berhalangan hadir mengimami shalat subuh di hari yang
sama dengan hari terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Yang menjadi
korban adalah seseorang yang mewakili beliau sebagai imam pada shalat subuh tersebut.

5. Upaya pembunuhan terhadap sahabat Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu selaku
Gubernur Mesir. Operasi tidak berhasil, karena beliau berhalangan hadir mengimami shalat
subuh di hari yang sama dengan hari terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu. Sebagai korbannya, seseorang yang mewakili beliau sebagai imam pada shalat subuh

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 4


tersebut. (Lihat Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullah,
12/296—298; al- Bidayah wan Nihayah karya al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, 7/281; dan
Lamhatun ‘Anil Firaq adh-Dhallah karya asy- Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hlm.
31—33)3 Demikianlah serangkaian aksi teror berskala internasional yang dilakukan oleh
jaringan teroris Khawarij internasional saat itu. Tidak tanggung-tanggung, target operasi
mereka adalah dua khalifah mulia kaum muslimin yang keduanya adalah menantu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah memetik janji surga dari beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Berikutnya, dua tokoh sentral kaum muslimin di negeri Syam dan Mesir yang
keduanya tergolong sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Tidaklah
serangkaian operasi terkutuk itu dilakukan kecuali karena satu keyakinan bahwa para korban
operasi itu telah kafir dan aksi yang mereka lakukan itu adalah jihad di jalan Allah Subhanahu
wata’ala. Wallahul musta’an.

Bagaimanakah dengan serangkaian aksi teror bom yang terjadi belakangan ini? Apa
landasan para pelakunya? Jawabannya, tak beda dengan kaum Khawarij terdahulu itu.
Landasannya adalah ideologi “jihad”. Mari kita simak penuturan mereka yang terlibat dalam
serangkaian aksi teror bom tersebut. Usamah bin Laden berkata dalam sebuah kaset yang
berjudul “Bersiapsiaplah Untuk Jihad”, “…Hendaknya setiap muslim segera terjun ke
medan jihad memerangi orang-orang Yahudi dan Amerika! Sesungguhnya ini termasuk
kewajiban yang paling wajib, dan termasuk ibadah yang paling besar…. Tidak perlu kalian
bermusyawarah dengan seorang pun untuk membantai Amerika. Lakukanlah (berjihadlah)
dengan berkah dari Allah Subhanahu wata’ala!”

Bagaimana realisasi dari jihad yang dimaksud? Simaklah ucapan Usamah bin Laden
berikut ini, “Aku memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para
pemuda mulia yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah
melakukan peledakan bom di kota Riyadh (ibu kota Saudi Arabia), peledakan di kota Khubar
(Saudi Arabia), atau peledakan-peledakan di Afrika Timur, dan yang semisalnya.”

Adapun Imam Samudra—termasuk pengagum Usamah bin Laden—berkata,


“Konyolnya, ada ulama dari kalangan kaum muslimin yang termakan celotehan
vampire-vampire tersebut sehingga dengan seenaknya berfatwa, ‘Apa pun alasannya, Islam
mengutuk tindakan tersebut. Islam tidak membenarkan memerangi warga sipil dari bangsa
dan agama apa pun!’.” Ucapan senada terdengar juga ketika terjadi operasi jihad WTC dan
Pentagon pada 11 September 2001.”(Aku Melawan Teroris, hlm. 110) Imam Samudra berkata
terkait dengan aksi teror bom Bali, “Bom Bali adalah salah satu jihad yang harus dilakukan,
sekalipun oleh segelintir kaum muslimin.” (Aku Melawan Teroris, hlm. 115)

Demikianlah, serangkaian aksi teror bom berskala internasional itu mereka yakini
sebagai jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Padahal jauh panggang dari api. Aksi teror
bom itu bukan jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Aksi teror bom itu tak sesuai dengan
prinsip salaf, generasi terbaik umat ini. Justru tindakan tersebut adalah napak tilas gerakan
Khawarij, sekte sesat pertama yang muncul dalam ranah kehidupan Islam.4 Mengapa
dikatakan napak tilas gerakan Khawarij? Bukankah target operasi kaum Khawarij adalah
kaum muslimin, bahkan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan para
aktor bom tersebut target operasinya adalah orang-orang kafir, AS dan sekutunya? Ya, itu
sebagian target mereka. Tetapi, bukankah kemudian teror itu juga dilakukan di negeri-negeri
kaum muslimin, bahkan sebagiannya menjadikan kaum muslimin sebagai target?

Ketahuilah bahwa kondisi para aktor bom tersebut tak jauh berbeda dengan kondisi
kaum Khawarij terdahulu. Mereka sama-sama terlibat dalam serangkaian aksi teror berskala
internasional yang meresahkan umat. Apabila merujuk pada kamus, berarti mereka itu

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 5


sama-sama disebut teroris. Dalam hal target operasi, hakikatnya tak jauh berbeda juga. Jika
Amerika dan sekutunya dinilai kafir oleh para aktor bom tersebut, demikian pula Khalifah Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat yang mulia, mereka pun dinilai kafir oleh
kaum Khawarij. Jadi, target operasi keduanya sama-sama orang kafir di mata para eksekutor
teroris itu. Pernyataan bahwa target operasi para aktor bom tersebut adalah orang kafir,
hakikatnya hanya kamuflase saja. Bukankah di antara korban peledakan yang dilakukan oleh
para aktor bom tersebut baik dalam tragedi Khubar (Saudi Arabia) maupun bom Bali I & II
adalah kaum muslimin?! Entahlah, jika mereka semua juga dihukumi sebagai orang kafir!
Lalu, apa yang membedakan mereka dengan kaum Khawarij terdahulu yang menghukumi
Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat yang mulia sebagai orang
kafir?! Bahkan, mereka lebih sadis dan kejam dibandingkan kaum Khawarij terdahulu.
Mengingat korban kaum Khawarij bersifat spesifik pada orangorang yang ditarget saja,
sedangkan korban para aktor bom tersebut bersifat sporadis dan membabi buta. Para wanita,
anak-anak, dan semisalnya dari kalangan lemah pun tak urung jadi korbannya. Kalau kaum
Khawarij terdahulu dengan sadis merobek perut seorang wanita muslimah untuk
mengeluarkan janinnya, maka bom para teroris itu dengan sadis dapat menghancurkan tubuh
korbannya berkeping-keping dan meluluhlantakkan gedung-gedung yang kokoh.

Berikutnya, jika diandaikan bahwa korban pengeboman itu adalah orang kafir semata
(padahal ada yang muslim), maka dari jenis kafir apakah mereka? Bukankah korban
pengeboman tersebut mayoritasnya dari jenis orang kafir yang tidak boleh dibunuh dalam
syariat yang mulia ini?! Sebagian mereka dari jenis kafir musta’min yaitu orang kafir yang
berkunjung/wisata ke negeri muslim setelah mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah
kaum muslimin dalam batas waktu tertentu. Sebagian lagi dari jenis kafir mu’ahad yaitu
orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri, namun terikat perjanjian dengan kaum
muslimin untuk tidak saling menyerang. Sebagian yang lain dari jenis kafir dzimmi yaitu
orang kafir yang tinggal di negeri muslim dan mendapatkan jaminan dari pemerintah kaum
muslimin untuk hidup secara aman. Demikianlah tiga jenis orang kafir yang tak boleh
dibunuh dan tak boleh pula dirampas hartanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih dan dijelaskan oleh para ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah dalam berbagai karya tulis mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin Rahimahullah berkata, “Jiwa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala
untuk dibunuh adalah jiwa yang terjaga, yaitu jiwa seorang muslim, seorang kafir dzimmi,
kafir mu’ahad, dan kafir musta’min.” (al-Qaulul Mufid ala Kitabittauhid 1/38)

Melacak Akar Keislaman Para Teroris

Apa yang telah lalu merupakan sepenggal catatan tentang terorisme dan korelasinya
dengan kaum Khawarij terdahulu. Tentunya bila kita lebih giat mempelajari sejarah mereka,
niscaya akan lebih banyak catatan berharga tentang terorisme dan para teroris itu. Setidaknya
terkait dengan akar keislaman yang selalu dipegang erat oleh mereka dari masa ke masa.
Berikut ini adalah tiga akar kekeliruan mendasar yang telah menjerumuskan para teroris
Khawarij ke dalam lumpur terorisme yang hitam dan mengerikan itu. Mudah. mudahan Allah
Subhanahu wata’ala menyelamatkan kita semua darinya.

Pertama: Akidah Takfir

Terorisme tak bisa dipisahkan dari akidah takfir, yaitu sikap mudah mengafirkan orang
lain tanpa proses yang benar (syar’i). Bahkan, berbagai aksi teror dan kekerasan yang
mengatasnamakan agama, seperti penculikan, pembunuhan, pengeboman, pemberontakan,
dan semisalnya, baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok, mayoritasnya

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 6


disebabkan oleh akidah takfir ini. Menurut sejarah, akidah takfir diprakarsai oleh kaum
Khawarij terdahulu. Dengan akidah takfir, mereka lancang mengafirkan Khalifah Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat yang mulia. Mereka menghalalkan darah dan
harta siapa saja yang tak sepaham dengan mereka. Mereka melakukan pemberontakan
terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dan melancarkan berbagai aksi teror
berskala internasional. Akidah takfir dan pergerakannya terus berlanjut secara estafet dari
masa ke masa hingga hari ini. Efeknya terhadap umat sangat berbahaya sepanjang masa, yaitu
mengafirkan orang yang tak sepaham, menghalalkan darah dan harta mereka, melakukan
serangkaian aksi teror, serta memberontak terhadap pemerintah muslim. Apakah Usamah bin
Laden dan Imam Samudra mempunyai akidah takfir yang sangat berbahaya itu? Ya, keduanya
mempunyai akidah takfir yang sangat berbahaya itu. Simaklah penuturan mereka berikut ini.

• Usamah bin Laden berkata, “Maka para penguasa tersebut telah berkhianat kepada
Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, dengan itulah mereka telah keluar dari agama
(Islam) ini dan berarti mereka juga telah mengkhianati umat.” (Ceramah Terakhir untuk
Rakyat Irak pada bulan Dzulhijjah 1423 H, MAT hlm. 252)

• Usamah bin Laden berkata, “Para pemerintah itu telah melanggar dua kalimat
syahadat (syahadatain) dalam masalah yang paling prinsip. Yaitu sikap loyal mereka
terhadap orang-orang kafir, menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai syariat,
dan persetujuan mereka untuk berhukum kepada undang-undang atheis. Maka kepemimpinan
mereka itu secara syar’i sudah lama gugur dan tidak ada lagi pemerintahan Islam
setelahnya.” (al-Jazeera 5-12-1423 H, MAT hlm. 252)

• Imam Samudra berkata, “23 Mei 1924, mercusuar terakhir, benteng terakhir umat
Islam, tumbang sudah… Saat Khilafah Islamiyah musnah, dunia kembali ke zaman
jahiliah….” (Aku Melawan Teroris, hlm. 89—90)

• Imam Samudra berkata, “Aku di jalan Islam, di jalan Allah Subhanahu wata’ala,
sedangkan mereka di atas jalan jahiliah, di jalan Neo-Ilyasiq, atau clone (kembaran)
Ilyasiq.” (Aku Melawan Teroris, hlm. 200)

• Imam Samudra berkata, “Tetapi manusia, makhluk Allah Subhanahu wata’ala yang
zalim, bodoh lagi lemah, malah membuat way of life sendiri, menandingi hukum Allah
Subhanahu wata’ala yang sempurna. Manusia telah menyekutukan hukum Allah dengan
hukum buatannya sendiri. ‘Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.’
(al-Ahzab: 72) TETAPI MEREKA ANGKUH LAGI MUSYRIK, ‘Manusia dijadikan bersifat
lemah.’ (an-Nisa’: 28)… Di Indonesia, dan di mana pun, banyak kita temukan tipe manusia
seperti itu. Bahkan jumlah mereka mayoritas. Mereka telah menyekutukan hukum Allah
Subhanahu wata’ala dengan hukum made-in gado-gado.” (Aku Melawan Teroris, hlm.
200—201)

• Imam Samudra berkata , “Alhamdulillah, di atas segalanya, hal yang bagi saya cukup
penting dan bermakna ialah bahwa naskah asli buku ini ditulis dengan tinta yang halal, di
atas kertas yang halal pula, dengan perantaraan Pak Qadar, Pak Michdan, dan
saudara-saudara seislam di TPM. Bukan tinta dan kertas milik polisi atau negara.” (Aku
Melawan Teroris, hlm. 15)

Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, “Mengapa mereka terjatuh pada
akidah takfir yang sangat berbahaya itu?”

Menurut asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahsebabnya ada dua:

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 7


1. Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.

2. Ini yang terpenting, yaitu memahami agama tidak dengan kaidah syar’i (tidak mengikuti
jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, -pen.). (Fitnatut Takfir,
hlm. 13) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menambahkan sebab
ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas niat yang jelek. (Fitnatut Takfir, hlm.
19) Demikian pula asy-Syaikh Shalih al- Fauzan hafizhahullah menambahkan sebab yang
lain, yaitu adanya kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat
yang tidak pada tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ wat-Tafsiq wat-Takfir wa-Dhawabithuha, hlm.
14)5

Kedua: Melecehkan Para Ulama Kibar (Besar)

Sejarah mencatat bahwa orangorang yang terbelenggu akidah takfir, tidak akan berjalan
di atas bimbingan para ulama kibar (besar) dalam menyikapi berbagai permasalahan strategis
yang ada di tengah umat. Lihatlah kaum Khawarij terdahulu! Mereka mencampakkan
bimbingan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para ulama kibar (besar) di
masa itu. Apa sebabnya? Tidak lain karena para sahabat tersebut tidak menyetujui
penyimpangan-penyimpangan yang ada pada mereka. Bagaimanakah dengan Usamah bin
Laden dan Imam Samudra dalam hal ini? Ternyata mereka tak jauh berbeda dengan kaum
Khawarij terdahulu. Untuk lebih jelasnya, simaklah penuturan mereka berikut ini:

• Usamah bin Laden, saat memperingatkan umat dari fatwa-fatwa asy-Syaikh al-Imam
Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah, berkata, “Oleh karena itu, kami mengingatkan umat dari
fatwa-fatwa batil seperti ini yang tidak memenuhi syarat.” (Surat Usamah bin Laden, tanggal
28-8-1415, MAT hlm. 264)

• Imam Samudra berkata, “Pada saat mana ulama-ulama kian asyik tenggelam dalam
tumpukan kitab-kitab dan gema pengeras suara. Mereka tidak lagi peduli dengan penodaan,
penistaan, dan penjajahan terhadap kiblat dan tanah suci mereka….” (Aku Melawan Teroris,
hlm. 93)

• Imam Samudra berkata, “Ia (yakni Raja Fahd) dan gerombolan pembisiknya
mengelabui Dewan Fatwa Saudi Arabia yang—dengan segala hormat—kurang mengerti
trik-trik politik….” (Aku Melawan Teroris, hlm. 92)

Mengapa para ulama kibar (besar) tersebut disikapi oleh mereka sedemikian rupa?
Jawabannya sama, yaitu karena para ulama kibar (besar) tersebut tidak menyepakati
penyimpanganpenyimpangan yang ada pada mereka. Subhanallah, setali tiga uang. Oleh
karena itu, ketika para ulama kibar (besar) dicampakkan, tentu saja yang akan dijadikan
rujukan adalah ruwaibidhah yaitu orang dungu yang berani berbicara tentang urusan strategis
umat. Apabila demikian, maka jaminannya adalah kesesatan.

Ketiga: Akidah Khuruj alal Hukkam

Akidah khuruj alal hukkam, yaitu keyakinan boleh/wajib memberontak terhadap


penguasa kaum muslimin. Sejarah mencatat bahwa akidah khuruj alal hukkam galibnya
merupakan paket lanjutan dari akidah takfir, dan pelecehan terhadap para ulama kibar (besar).
Demikianlah proses yang terjadi pada kaum Khawarij ketika memberontak terhadap Khalifah
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Akidah khuruj alal hukkam sangat bertentangan
dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, bahkan
sebagai sebab terbesar bagi hancurnya kehidupan umat manusia.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 8


Al-Imam Ibnul Qayyim berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mensyariatkan
kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran dengan harapan dapat berbuah
kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Jika
pengingkaran terhadap kemungkaran itu memunculkan kemungkaran yang lebih besar
(memperparah keadaan) serta lebih dibenci oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya,
pengingkaran tersebut tidak boleh dilakukan walaupun Allah Subhanahu wata’ala membenci
kemungkaran tersebut dan pelakunya. Di antaranya pengingkaran terhadap para raja dan
penguasa (kaum muslimin) dengan pemberontakan. Sungguh, hal itu adalah sumber segala
kejahatan dan fitnah sepanjang masa.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/ 6)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, di antara prinsip
Ahlus Sunnah yang masyhur adalah tidak boleh membangkang terhadap para penguasa dan
tidak boleh pula memerangi mereka dengan senjata, walaupun mereka berbuat zalim. Hal ini
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam haditshadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang sahih lagi banyak jumlahnya. Mengingat kerusakan (yang ditimbulkan oleh sikap
membangkang dan memberontak, -pen.) berupa perang dan kekacauan yang lebih parah
dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kezaliman penguasa semata.….
Hampirhampir tidak ada satu kelompok pun yang memberontak terhadap penguasa
melainkan kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dibandingkan kerusakan yang hendak
dihilangkannya.” (Minhajus Sunnah, 3/391)6

Demikianlah sepenggal catatan tentang terorisme, semoga menjadi pelita dalam


kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Amiin….

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 9


Kajian Utama “Kejahilan, Lahan Subur Terorisme”
Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin

Saat berlalu sosok wanita yang mengenakan pakaian hitam dengan wajah ditutup cadar,
sekian pasang mata mengarah pandang padanya. Aneh, asing, tak seperti umumnya; begitu
kesan mereka. Pemandangan semacam ini kerap ditemui di berbagai tempat. Fenomena ini
memberi sedikit gambaran betapa masyarakat luas masih asing dengan ajaran Islam yang satu
ini, lebih-lebih pada kalangan muslimah. Nilai ajaran berhijab, menutup segenap tubuh,
termasuk menutup wajah dengan cadar belum tertanam secara baik. Pemahaman yang
berkembang selama ini, berbusana muslimah sekadar menutup kulit tubuh. Tak dipahami
bahwa berbusana muslimah yang selaras dengan tuntunan Allah Subhanahu wata’alal dan
Rasul- Nya harus tidak transparan, membentuk lekuk tubuh, dan memamerkan perhiasan
(tabarruj).

Detail penjelasan semacam ini tak diperhatikan sehingga busana muslimah lebih
menguat nilai modisnya daripada nilai syar’inya. Akibat nilai modis itulah busana muslimah
menjadi busana gaul yang memberi stimulus pada orang lain untuk lebih tertarik. Lebih lebih
pada kaum laki-laki, busana punmenjadi daya pikat. Jika demikian, tentu saja busana itu telah
menjadi sarana bagi berkembangnya fitnah (godaan). Sikap asing, merasa aneh masyarakat
dalam merespon cara berpakaian dengan hijab dan cadar bisa menjadi barometer sejauh mana
masyarakat mengenali pakaian yang sesuai dengan syariat. Ini tentu saja tidak bisa dilepaskan
dengan tingkat pemahaman masyarakat Islam terhadap agamanya. Semakin masyarakat
memahami agamanya, semakin banyak ketentuan syariat yang dia pahami.

Termasuk dalam hal ini ketentuan berbusana pada muslimah. Keterbatasan pemahaman
masyarakat tentang hal ini akan melahirkan sikap asing terhadap ajaran agamanya.
Diperparah lagi dengan dibumbui isu-isu negatif terkait dengan hijab dan cadar. Misalnya,
tumbuh stigma bahwa hijab dan cadar identik dengan kaum teroris. Apabila stigma ini terus
berkembang, tingkat obkjektivitas masyarakat dalam memahami pakaian yang syar’i akan
semakin rendah. Sikap merasa asing terhadap ketentuan agama tidak hanya dalam masalah
hijab dan cadar. Keterbatasan masyarakat dalam memahami ajaran agama ditemui pula dalam
hal lainnya.

Sebut saja masalah jenggot, berpakaian di atas mata kaki, larangan berjabat tangan
dengan lawan jenis yang bukan mahram, musik, dan lainnya. Bahkan, dalam masalah yang
mendasar sekalipun, banyak masyarakat Islam tidak memahaminya. Di antaranya adalah
masalah ibadah, thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan haji. Terkait pula dengan akidah,
membedakan antara syirik dan tauhid, sunnah dan bid’ah. Banyak kaum muslimin yang
begitu awam, tidak mengenali Islam secara baik dan benar. Inilah kenyataan yang ada. Dalam
hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,

‫ ِء‬Wَf\َ hُ _ْ bِ iَfjُklَ WًYZِ\]


َ ‫َأ‬eَ fَ Wَm‫ ُد َآ‬jRُ Tَ U
َ ‫ َو‬WًYZِ\]
َ ‫ ُم‬Wَ_U
ْ aِ bْ ‫َأ ا‬eَ fَ
“Islam pada awal (kemunculannya) dianggap sebagai sesuatu yang asing, dan akan
kembali menjadi sesuatu yang asing sebagaimana awal (kemunculannya). Berbahagialah bagi
orang-orang asing.” (HR. Muslim no. 145)

Siapakah orang asing itu (alghuraba’)? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam


menjelaskannya,

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 10


ْpqُ Rُ TِkZُ ْrms tِ \ُ uَ ‫ْ َأ ْآ‬pqِ TِvRْ Zَ ْrtَ \ٍ Tِuَ‫ْ ٍء آ‬jU
َ ‫س‬
ِ Wَy zِl ‫ن‬
َ jُ|bِWَ} ٌ‫س‬Wَy
“Orang-orang baik yang berjumlah sedikit di tengah-tengah manusia yang buruk yang
berjumlah banyak. Orang yang menentang (memaksiati) mereka lebih banyak dibandingkan
dengan yang menaatinya.” (ash-Shahihah no. 1619. Lihat Lamu ad-Dur al-Mantsur, hlm. 210)

Saat ditanya siapakah al-ghuraba’ itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫س‬
ُ Wsb‫ ا‬eَ €
َ lَ ‫ن ِإذَا‬
َ jُ|_ِv
ْ Zُ r
َ Zِƒbs‫ا‬
“Orang-orang yang berbuat kebaikan di saat manusia telah rusak.” ( ash- Shahihah, no.
1273. Lihat Lamu ad- Dur al-Mantsur, hlm. 210)

Terkait dengan “orang yang asing” ini, Syaikhul Islam rahimahullah mengutip firman
Allah Subhanahu wata’ala,

WَTْ Ž
َ yَ‫ْ أ‬rms t„ Wً_Tِ_…َ Wsb‫ض ِإ‬
ِ ْ‫ َˆر‬bْ ‫ ا‬zِl ‫ ِد‬Wَ€‰َ bْ ‫ ا‬r
ِŠَ َ‫ْن‬jqَ ْ Zَ ‹ٍ Ts Œِ fَ jُb‫ْ أُو‬pُ _ِYْ …َ rِt ‫ن‬
ِ ‫ ُŒ\ُو‬bْ ‫ ا‬r
َ tِ ‫ن‬ َ Wَ‫ آ‬Wَbْj_َlَ
r
َ Tِt\ِ Ž ْ tُ ‫ا‬jُyWَ‫ ِ“ َوآ‬Tlِ ‫ا‬jُl\ِ ْ ‫ ُأ‬Wَt ‫ا‬jُm_َ‘ َ rَ Zِƒbs‫ َ’ ا‬Yَ s ‫ْ ۗ وَا‬pqُ ْ tِ

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orangorang yang
mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi,
kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka,
dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada
mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (Hud: 116)

Mereka berjumlah sedikit sekali. Mereka disebut orang asing lantaran mayoritas
manusia tidak memiliki sifatsifat mereka. (Madariju as-Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
hlm. 158)

Al – Qadhi bin ‘ Iyadh rahimahullah menyatakan bahwa apa yang tampak dari hadits
tersebut adalah bersifat umum. Sesungguhnya Islam dimulai dari satu orang kemudian
sekelompok kecil manusia. Lantas tersebar luas, setelah itu akan berkurang hingga tak tersisa
kecuali sedikit sebagaimana di permulaan Islam datang. (al-Minhaj, 2/354)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan


bahwa kebodohan (umat Islam) terhadap akidah yang benar disebabkan berpaling dari
belajarmengajar akidah yang benar. Sedikit sekali perhatian dan dukungan terhadap hal itu
sehingga timbul satu generasi yang tak lagi mengenal akidah yang benar. Mereka tak
mengetahui segenap apa yang menyelisihi dan berlawanan dengannya. Karena itu, kebenaran
dinyatakan sebagai kebatilan dan yang batil diyakini sebagai kebenaran. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,

‹َ Ts _ِ‫ ِه‬WَŽbْ ‫ف ا‬
ُ \ِ Rْ Zَ ˜
َ ْrtَ ‫ ِم‬Wَ_U
ْ aِ bْ ‫ ا‬zِl ˆَ ™
َ yَ ‫Š\ْ َو ًة ِإذَا‬
ُ ‫Š\ْ َو ًة‬
ُ ‫ ِم‬Wَ_U
ْ aِ bْ ‫Š\َى ا‬
ُ •
ُ Œَ ْ ُ Wَmys ‫ِإ‬
“Sesungguhnya tali Islam terurai seikat demi seikat, ketika tumbuh dalam Islam orang
yang tidak mengetahui kejahiliahan.” (Aqidatu at-Tauhid, hlm. 14)

Disebutkan oleh Abu Idris al- Khaulani rahimahullah,

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 11


pُ ْ |
ُ bْ ‫ ا‬Wَqْ tِ žُ _ِ›َ mْ Zَ Wَt ‫ل‬
ُ ‫و‬s ˆَ lَ ،ً‫Š\ْ َوة‬
ُ ‫Š\ْ َو ًة‬
ُ žُ _ِ›َ mْ َ Wَmys ‫ َوِإ‬،Wَqfِ ‫س‬
ُ Wsb‫Ÿ ا‬
ُ _sRَ ›َ Zَ ‫Š\ًى‬
ُ ‫ ِم‬Wَ_U ْ ِa_ْ bِ ‫ن‬ s ‫ َأ‬ 
ُ Rْ mِ U
َ
‫¡ ُة‬
َv s b‫ ا‬Wَqْ tِ žُ _ِ›َ mْ Zَ Wَt \ُ ¢
ِ £‫و‬

“Saya mendengar sesungguhnya pada Islam terdapat ikatan yang manusia tergantung
padanya. Sesungguhnya akan tercerabut seikat demi seikat (ikatan tersebut). Pertama yang
dicabut dari ikatan tersebut adalah hukum. Adapun yang paling akhir adalah shalat.” (Lamu
ad-Dur al-Mantsur min al-Qauli wa al-Ma’tsur fi al-I’tiqad wa as-Sunnah, Abu Furaihan
Jamal bin al-Furaihan al-Haritsi, hlm. 212)

Selaras dengan hal itu, dinyatakan pula oleh Yunus bin Ubaid rahimahullah,

WَqYُ ¨
ِ Wَ} “ُ ْ tِ ‫ب‬
ُ \َ ]
ْ ‫ َوَأ‬،ٌ¥Zِ\hَ bَ Wَq_ُYَ Œْ Tَ lَ ‹َ s €
¦ b‫ ِ“ ا‬Tْ _َŠ
َ ‫ض‬
ُ \ِ Rْ yَ ‫ƒِي‬bs‫ن ا‬
s ‫ِإ‬
“Sungguh, benar-benar asing, orang yang kami tampakkan as-Sunnah kepadanya lantas
dia menerimanya. Lebih asing lagi adalah orang yang mengamalkannya.” (Lamu ad-Dur hlm.
212)

Demikian keadaan kaum muslimin. Betapa ajaran agama yang semestinya dipegang
erat, tetapi sebagian dari mereka masih merasakan sebagai ajaran yang asing. Mereka tak
mengenali nilai-nilai Islam secara baik dan benar. Mengapa demikian? Satu di antara
sebabnya, sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syaikh Fauzan bin Abdillah al- Fauzan
hafizhahullah adalah tidak adanya perhatian dan kepedulian terhadap syariat Islam itu sendiri.
Malas dan enggan untuk mempelajari Islam. Akhirnya, sikap jahil (tak mau memahami Islam)
terus-menerus menyelubungi mereka. Mereka akhirnya hidup dalam kegelapan dan selalu
bergelimang kegulitaan. Wal ‘iyadzu billah.

Selain itu, tumbuhnya sikap jumud dan hanya bisa mengikuti tradisi nenek moyang
menjadikan mereka asing dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya berkutat pada
kebiasaan-kebiasaan yang diperbuat oleh leluhurnya. Sikap seperti ini menjadikan seseorang
tersandera oleh kebodohannya. Allah Subhanahu wata’alatelah menggambarkan keadaan
sikap taklid tersebut dalam firman-Nya,

‫ن‬
َ jُ_Œِ Rْ Zَ Wَb ْp‫ ُؤ ُه‬Wَf£ ‫ن‬
َ Wَ‫ْ آ‬jbَ‫ ۗ َأ َو‬Wَy‫ َء‬Wَf£ “ِ Tْ _َŠ
َ WَTْ ‰َ bْ ‫ َأ‬Wَt ’ُ Yِ ›s yَ ْ©fَ ‫ا‬jُbWَ… “ُ _sb‫ل ا‬
َ ªَ yَ‫ أ‬Wَt ‫ا‬jُRYِ s ‫ ا‬pُ qُ bَ ©
َ Tِ… ‫َوِإذَا‬
‫ن‬
َ ‫ُو‬e›َ qْ Zَ Wَb‫ َو‬Wً¬Tْ ­ َ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.”
Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
(al-Baqarah: 170)

Sibuk dengan urusan dunia, sementara urusan agama dilalaikan. Sikap semacam ini
akan menggiring seorang hamba Allah Subhanahu wata’ala ke tepian yang membahayakan.
Dia akan jahil dengan urusan agamanya dan akan mengalami kebinasaan lantaran
kerakusannya pada dunia. Hidupnya dikendalikan oleh hawa nafsu yang terus memburu
dunia, bukan hawa nafsunya yang semestinya dia kekang dan kendalikan. Padahal kenikmatan
hidup di dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit sekali. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,

ٌ©Tِ_…َ Wsb‫ َ\ ِة ِإ‬¢


ِ °ْb‫ ا‬zِl WَTyْ e¦ b‫ ِة ا‬WَT|
َ bْ ‫عُ ا‬Wَ›tَ Wَmlَ ۚ ‫ َ\ ِة‬¢
ِ °ْb‫ ا‬r
َ tِ WَTyْ e¦ b‫ ِة ا‬WَT|
َ bْ Wِf pُ›Tِ®‫َأ َر‬
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 12
“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?
Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah
sedikit.” (at-Taubah: 38)

Berapa banyak manusia tersungkur dalam kehidupan dunia dan lalai dari urusan
agamanya. Sungguh, kehidupan dunia telah menipu dirinya hingga ia lalai dan tidak peduli
dengan agamanya. Akhirnya, kejahilan pun melingkupi dirinya. Potret buram semacam ini
sangat mirip dengan yang disebutkan oleh Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma saat
memberikan tafsir ayat,

WَTyْ e¦ b‫ ِة ا‬WَT|
َ bْ ‫ ا‬r
َ t„ ‫ ِه\ًا‬Wَ‘ ‫ن‬
َ jُm_َRْ Zَ (6) ‫ن‬
َ jُm_َRْ Zَ Wَb ‫س‬
ِ Wsb‫ َ\ ا‬uَ ‫ َأ ْآ‬r
s ِ bَٰ‫ ُ´ َو‬eَ Š
ْ ‫_ ُ“ َو‬sb‫ ا‬µ
ُ _ِ¶
ْ Zُ Wَb ۖ “ِ _sb‫ ا‬eَ Š
ْ ‫َو‬
‫ن‬
َ jُ_lِ Wَ] ْp‫ َ\ ِة ُه‬¢
ِ °ْb‫ ا‬rِŠ َ ْp‫َو ُه‬
“(Sebagai) janji yang sebenarbenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi
janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir
(saja) dari kehidupan dunia, sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (ar- Rum:
6—7)

Menurut Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Orang-orang kafir hanya


mengetahui kehidupan dunia. Adapun tentang perkara agama, mereka adalah orang-orang
yang teramat bodoh.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/321)

Karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim meniru gaya hidup orang-orang kafir.
Piawai apabila bergelut dengan urusan dunia, tetapi tak tebersit dalam benaknya untuk
meraup kebahagiaan di akhirat. Tujuan hidup seorang muslim adalah meniti kehidupan dunia
ini guna meraih surga nan penuh kenikmatan. Untuk itu, patut baginya senantiasa
memerhatikan bimbingan agama. Meniti jalan lurus yang digariskan oleh Allah Subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya. Inilah yang membedakan sikap hidup muslim dan kafir.

Bahaya Kejahilan

Jahil, tak memahami Islam dengan baik dan benar akan menggiring ke lembah bencana.
Kejahilan akan menjadikan seseorang tertimpa petaka. Betapa tidak, kejahilan yang ada pada
seorang akan menyeretnya berperilaku dan bersikap menyalahi Allah Subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bisa menjadi penentang al-haq, meremehkan
kebenaran. Jika demikian adanya, inilah sumbu bagi tersulutnya kebinasaan. Allah Subhanahu
wata’ala mengingatkan hal ini,

ٌpTِb‫Šƒَابٌ َأ‬
َ ْpqُ Yَ TِvZُ ْ‫ ْ› َ ٌ‹ َأو‬lِ ْpqُ Yَ Tِvُ ‫ ِ\ ِ´ أَن‬tْ ‫ْ َأ‬rŠ
َ ‫ن‬
َ jُ‰bِWَ¶Zُ r
َ Zِƒbs‫| َƒ ِر ا‬
ْ Tَ _ْ lَ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

‫\ِي‬tْ ‫ َأ‬µ
َ bَWَ¢ ْrtَ iَ_Š
َ ‫ ُر‬Wَhv
s b‫ل وَا‬
¦ ƒ¦ b‫© ا‬
َ Rِ ُ·‫َو‬
“Rendah dan hina diperuntukkan bagi orang yang menyelisihi perintahku.” (HR.
al-Bukhari)

Sungguh, ada seorang lelaki yang makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 13
menyuruhnya, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Laki-laki itu membantah, “Saya tidak
mampu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyatakan kepadanya, “Memang,
engkau pasti tak mampu.” Tiadalah yang mencegah laki-laki itu untuk menunaikan apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali kesombongan yang ada
pada dirinya. Laki-laki itu lantas tak mampu mengangkat tangannya. (HR. Muslim no. 2021,
hadits Iyas bin Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya)

Sikap jahil yang melekat di masyarakat Islam bisa menjadi lahan subur bagi tumbuhnya
terorisme. Kekurangpahaman sebagian kaum muslimin terhadap ajaran Islam yang
sebenarnya bakal menjadi celah menyusupnya paham-paham sempalan. Di antara sebab
terseretnya manusia dalam pusaran paham sempalan adalah kejahilan dalam memaknai ayat
atau hadits. Penafsiran terhadap satu ayat atau hadits tidak didasarkan pada kaidah baku
sebagaimana dituntunkan oleh para ulama salaf.

Di sisi lain, masyarakat muslim diliputi pula oleh kejahilan sehingga tidak mampu
memilah mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang batil. Sempurnalah sudah dua sisi
kejahilan. Sebagai pendakwah, jahil dalam menafsirkan ayat atau hadits, sedangkan yang
menerima dakwah juga jahil lantaran tak memiliki bekal untuk menyaring ajaran-ajaran yang
tidak benar. Berapa banyak anak muda yang masih polos dijejali paham ekstrem. Dengan
kehampaan ilmu syar’i yang ada pada mereka, dipiculah semangat berperang. Doktrin
ekstrem dengan kemasan jihad disuntikkan kepada mereka.

Akhirnya, daya tempur melibas musuh meluap-luap. Siapa yang tak sepaham dengan
mereka dinyatakan sebagai musuh atau kaki tangan kaum kafir. Sikap ekstrem ini berujung
pada pengkafiran serta penghalalan darah dan harta kaum muslimin. Tak sekadar itu, lantaran
tidak berbekal ilmu yang memadai, makna jihad menciut di hadapan mereka. Jihad dimaknai
oleh mereka sebagai tindakan perang, mengangkat senjata. Tak terlintas pengertian jihad yang
lebih luas sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Karena itu, yang menggayut dalam benak
mereka adalah jargon “Dibunuh atau Membunuh”. Pengertian jihad menjadi sempit adanya.
Dalam sebuah hadits dari Fadhalah bin Ubaid al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat Hajjatul Wada’ (haji perpisahan),

¸
ِ ‫Š ِ‹ ا‬
َ Wَ¹ zِl “ُ €
َ ‰ْ yَ eَ ‫ َه‬Wَ· ْrtَ eُ ‫ ِه‬WَŽmُ bْ ‫ا‬
“Orang yang berjihad (mujahid) itu adalah orang yang bersungguh-sungguh (melawan)
nafsunya dalam rangka menaati Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. al-Bazzar,

dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam ash-Shahihu
al-Musnad, 2/124 no. 1065)

Jadi, setiap muslim yang dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti Rasulullah) Shallallahu
‘alaihi wasallam terus-menerus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk senantiasa taat
kepada Allah Subhanahu wata’ala, dia adalah seorang mujahid. Dirinya terhitung dalam jihad.
Jadi, dengan hadits di atas pemaknaan jihad tak semata dengan cara berperang mengangkat
senjata.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah menyebutkan bahwa


menuntut ilmu adalah salah satu jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Beliau
mengungkapkan, sesungguhnya agama Allah Subhanahu wata’ala akan tegak melalui dua hal.
Pertama, ilmu dan burhan (hujah); kedua, pedang dan tombak.

Keduanya merupakan suatu keharusan. Sebab, tidak mungkin agama ini bisa tegak
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 14
kecuali dengan mewujudkan keduanya. Adapun bentuk jihad yang pertama (ilmu dan burhan)
didahulukan daripada jihad dengan pedang dan tombak (senjata). Tidaklah Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam merombak tatanan satu masyarakat hingga masyarakat tersebut diberdayakan
dengan cara mendakwahinya. Ini menunjukkan bahwa dakwah (menyampaikan ilmu) lebih
didahulukan dan diutamakan daripada berperang mengangkat senjata. (al-Ilmu, hlm. 11)

Al-Khatib, Abu Nu’aim, dan selain keduanya meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan,

ٌ‫د‬Wَq·
ِ “ُ ْ Š
َ º
َ |
ْ Yَ bْ ‫»ٌ وَا‬TِY€
ْ َ “ُ ›َ U
َ ‫َا َر‬etُ ‫ َدةٌ َو‬WَYŠ
ِ “ُ Yَ _َ¹
َ ‫ ٌ‹ َو‬Tَ ™
ْ¢
َ “ُ mَ _¦Rَ َ ‫ن‬
s aِ lَ pَ _ْ Rِ bْ ‫ا ا‬jُm_sRَ َ
“Pelajarilah ilmu. Sungguh mempelajarinya karena Allah adalah khasyah (rasa takut
kepada), mencarinya adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih, dan membahasnya
adalah jihad.”

Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu menyebutkan,

“ِ _ِŒْ Š
َ ‫ ِ“ َو‬Zِ ْ‫ َرأ‬zِl ¼
َ Œَ yَ ْeŒَ lَ ‫ ٍد‬WَqŽ
ِ fِ ½
َ ْTbَ pِ _ْ Rِ bْ ‫ ا‬iَb‫و ِإ‬s eُ hُ bْ ‫ن ا‬
s ‫ْ َرأَى َأ‬rtَ
“Barang siapa berpendapat bahwa berangkat menuntut ilmu itu bukan jihad, sungguh
telah ada kekurangan pada pemikiran dan akalnya.” (al-Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, hlm. 139 dan 145)

Karena itu, membenahi pemahaman kaum muslimin dengan memberikan ilmu agama
yang benar sesuai dengan tuntunan salaful ummah adalah tindakan teramat penting dewasa
ini. Tanpa bekal ilmu syar’i, umat akan mudah diombang-ambingkan oleh keadaan. Mereka
tidak memiliki cara pandang yang tepat dalam beramal. Bagai pucuk aru, ke mana angin
berembus, ke situlah ia mengarah. Wallahu a’lam.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 15


Kajian Utama “Bahaya Laten Terorisme”
Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin

Menangkal aksi terorisme tak semata dengan tindak represif aparat keamanan. Bisa saja
kelompok teroris itu telah ditangkap, dipenjara, bahkan dihukum mati. Namun, jangan
tumbuh anggapan bahwa terorisme telah lenyap. Sang teroris generasi baru dengan
kemampuan dan peralatan yang lebih strategis bisa melangsungkan aksinya sewaktu-waktu.
Sebab, aksi teror akan senantiasa tumbuh dari masa ke masa, seiring dengan tumbuh
kembangnya terorisme sebagai paham dan ideologi.

Walau para teroris sekarang ini telah dibungkam aparat keamanan, tetapi paham dan
ideologinya tidak sertamerta mati. Ideologi mereka akan terus bercokol di tengah masyarakat
manakala umat tak dibekali kemampuan menolak melalui ilmu agama yang benar selaras
pemahaman salafus saleh. Para pendahulu mereka (kelompok teroris) adalah orang-orang
yang secara fisik menampakkan dirinya sebagai ahli ibadah.

Ketika Abdullah bin al- ‘Abbas c diutus untuk melakukan dialog dengan kelompok
khawarij, beliau mengungkapkan keadaan mereka. Beliau mengatakan bahwa kelompok
Khawarij adalah orang-orang yang rajin beribadah. Mereka adalah orangorang yang kuat
menunaikan shalat malam, puasa, dan tak peduli pada Bahaya Laten Terorisme pakaian yang
dikenakannya. Pakaian mereka lusuh. Dahi mereka menghitam lantaran banyak sujud.
Tangan-tangan mereka pun terasa kasar. Wajah mereka pucat karena seringnya beribadah di
waktu malam. Itulah gambaran mereka, pendahulu kelompok teroris. Mereka memisahkan
diri dari pemerintahan yang sah saat itu, yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Tak hanya itu, pemerintah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pun dikafirkan dengan
alasan tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Konsentrasi pasukan mereka ditempatkan di satu wilayah yang disebut Harura’ (atau ada pula
yang menyebutkan di daerah Nahrawan).

Karena itu, kelompok Khawarij ini disebut juga dengan Haruriyah, yaitu orang-orang
yang menetap di Harura’. Walaupun jumlah mereka ribuan —dalam sebagian riwayat
disebutkan 12.000 orang, ada yang menyebutkan lebih sedikit dari itu—, tetapi tak seorang
pun sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama mereka. Tak ada seorang pun ulama
yang mendukung aksi mereka. Tidak ada dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Padahal para
sahabat Muhajirin dan Anshar adalah orang-orang yang paling paham tentang al-Qur’an.
Mereka lebih mengetahui tafsir al-Qur’an. Penyimpangan lainnya yang ada Mengapa Teroris
Tak Pernah Habis pada mereka adalah menghalalkan darah kaum muslimin. Untuk
melampiaskan keyakinan satu ini, kalangan Khawarij tak segan menghabisi nyawa kaum
muslimin. Dari kalangan mereka, hadir pula manusia jahat yang membunuh para sahabat
mulia. Di antara yang terbunuh adalah dua sahabat agung dan mulia, yaitu Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu ‘anhu dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ada tiga orang Khawarij yang bersekongkol
membunuh tiga sahabat mulia. Abdurrahman bin Amr, dikenal dengan Ibnu Muljam
al-Himyari, berencana membunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu; al-Burak bin
Abdillah menyanggupi membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan c; dan Amr bin Bakr siap
membunuh Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘anhu. Ketiganya merencanakan aksi menghalalkan
darah kaum muslimin. Abdurrahman bin Amr alias Ibnu Muljam al-Himyari melakukan
provokasi. Kecemburuan terhadap kelompok korban Nahrawan dibangkitkan oleh Ibnu
Muljam. Peristiwa Nahrawan pun diungkit. Mereka mengenang saat Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu memerangi teman-teman mereka di Nahrawan. Tak sedikit yang terbunuh
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 16
di antara mereka.

Akhirnya, dengan lantang mereka berucap, “Apa yang akan kita perbuat setelah
kematian teman-teman kita? Teman-teman kita yang terbunuh adalah manusia terbaik.
Mereka adalah orang-orang yang banyak melakukan shalat. Mereka menyeru kepada
Rabbnya. Tak pernah merasa takut walaupun manusia lain mencercanya. Kami telah menjual
jiwa-jiwa kami. Para pemimpin sesat itu akan kami datangi. Kami akan bunuh mereka. Kami
akan bebaskan negeri-negeri dari cengkeraman mereka. Kami akan membalas kematian
temanteman kami.” Ibnu Muljam lantas berkata, “Saya akan membunuh Ali.”Al-Burak bin
Abdillah menyertai dan berucap, “Saya akan habisi Mu’awiyah bin Abi Sufyan.” Amr bin
Bakr kemudian angkat bicara, “Saya akan libas Amr bin al-Ash.” Mereka saling berjanji,
berikrar setia, dan saling memercayai. Mereka tak akan sekali-kali mundur dari rencana ini.
Tekad mereka adalah membunuh atau dibunuh. Api telah berkobar, tak mungkin untuk
dipadamkan lagi.

Amarah telah memuncak, tak mungkin untuk diredam lagi. Hawa nafsu telah merasuk.
Hati telah dipenuhi oleh kebencian membusuk. Dendam telah membara di atas dasar
kebatilan. Barbar! Masuk bulan Ramadhan, malam Jumat, malam ketujuh belas. “Malam ini
adalah malam untuk menunaikan janjiku terhadap para sahabatku,” kata Ibnu Muljam. Untuk
melancarkan aksi terornya, Ibnu Muljam ditemani oleh dua orang, yaitu Wardan dan Syabib
bin Bajarah al-Asyja’i al-Haruri. Seraya membawa pedang, ketiganya bersiaga. Mereka
mengambil posisi menghadap pintu rumah tempat Ali bin Abi Thalib keluar. Saat yang
dinanti tiba. Ali keluar dari pintu rumah itu. Sontak, serangan bertubi-tubi menghantam
tubuhnya. Pedang yang berada di tangan Syabib berkelebat, mengenai bagian leher Ali bin
Abi Thalib.

Selang tak berapa lama, giliran pedang Ibnu Muljam menebas bagian samping atas
kepala. Darah pun bersimbah, mengucur membasahi janggut Ali. Saat melayangkan
pedangnya, Ibnu Muljam berucap, “La hukma illa lillah (tiada hukum kecuali milik Allah).
Tidak ada bagimu Ali, tidak ada pula bagi para sahabatmu.” Sejarah telah ditulis dengan
darah. Tak akan lekang dalam ingatan kaum muslimin atas tindakan barbar kaum teroris
Khawarij. Mereka telah berani menumpahkan darah para sahabat mulia. Mereka telah lancang
sebagaimana pendahulunya yang bersikap lancang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dzul Kuwaishirah mengucapkan, “Berbuat adillah, wahai Rasulullah!” Saat itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi sesuatu kepada para sahabat. Inilah karakter
kaum Khawarij, melawan penguasa atau mencelanya. Apabila kita mencermati keadaan
orang-orang Khawarij terdahulu, ternyata mereka adalah orang-orang yang rajin beribadah.
Namun, kerajinan ibadah yang mereka lakukan tidak diiringi oleh pemahaman yang benar
mengenai ibadah. Landasan ibadah kaum Khawarij hanyalah al-khauf, rasa takut. Ibadah yang
mereka tunaikan tidak diiringi dengan raja’ (mengharap) dan mahabbah (cinta).

Hanya saja, secara lahir tergambar betapa mereka adalah kaum yang tekun beribadah.
Setelah Abdullah bin ‘Abbas c melakukan dialog dengan mereka, sebagian mereka bertobat.
Sebagian lainnya tetap dengan pemahamannya, lalu diperangi oleh pemerintah Ali bin Abi
Thalib. Apakah tindakan Ali bin Abi Thalib memerangi sebagian pengikut Khawarij yang
tidak mau bertobat dianggap memerangi sesama muslim? Tentu tidak. Walau secara lahir
mereka menampakkan amaliah sebagaimana kaum muslimin lainnya, namun di balik itu
semua mereka memiliki keyakinan sesat. Keyakinan yang tak semata-mata akan merusak
tatanan sosial masyarakat (dalam bentuk pembunuhan, perampasan hak, dan kekacauan).
Lebih dari itu, keyakinankeyakinan sesat mereka akan merusak ajaran Islam.

Kemuliaan Islam akan dihancurkan. Ajaran Islam yang penuh rahmah akan dicemari

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 17


sehingga wajah Islam coreng-moreng. Islam diidentikkan dengan teror. Kaum muslimin yang
dengan ikhlas dan benar-benar mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir
tampak mirip, disamakan dengan kaum barbar yang tak beradab. Bisa jadi, amaliah secara
lahir tampak sama, atribut yang dikenakan juga persis. Akan tetapi, keyakinan yang
mendasari sikap dan perbuatan tidak bisa disamakan. Kaum teroris di masa sekarang
mengusung nama sebagai pejuang dan pembela Islam serta kaum muslimin.

Namun, itu hanya pengakuan sendiri secara sepihak. Sebab, tindakan mereka di
tengah-tengah umat Islam menampakkan wajah aslinya. Apa yang selama ini mereka perbuat
mencerminkan keyakinan yang batil. Klaim sebagai mujahid (pejuang) dan pembela Islam tak
pantas disematkan kepada mereka. Sebab, pada kenyataannya perjuangan dan amaliah mereka
di atas kebatilan. Jubah, sorban boleh sama. Jenggot dan pakaian di atas mata kaki juga boleh
sama. Tetapi, keyakinan yang tersimpan di hati tidak bisa disamakan. Itu semua akan tampak
dari ucapan, perilaku, dan amaliah lainnya. Pemahaman yang mereka usung akan tampak dari
perbuatannya yang tak terbimbing salafus saleh. Tindakan-tindakan anarkis yang mereka
lakukan bukan cerminan dari ajaran Islam nan luhur.

Bahkan, bukan pula cerminan dari ajaran jihad yang mulia sebagaimana diajarkan oleh
salafus saleh. Jihad yang diajarkan oleh salafus saleh, di antaranya harus dilakukan bersama
penguasa. Hal ini dituntunkan oleh al- Imam al-Barbahari rahimahullah dan para imam
lainnya bahwa, “Haji dan berperang dilaksanakan bersama pemerintah kaum muslimin
(penguasa) akan senantiasa berlangsung (hingga akhir kiamat).” (Syarhus Sunnah. Pernyataan
serupa dari para imam lain bisa dilihat pada majalah Asy-Syariah edisi 48)

Cara Identifikasi Teroris

Di antara cara mengidentifikasi seseorang yang berjubah, berjenggot, berpakaian di atas


mata kaki, dan berkopiah putih atau bersorban, apakah termasuk jaringan sesat atau tidak,
lihatlah teman seiring dalam beraktivitas dan mengaji ilmu agama. Sebab, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan,

©
ُ bِWَ¶Zُ ْrtَ ْp‫ ُآ‬eُ ¨
َ ‫¾\ْ َأ‬
ُ ْ Tَ _ْ lَ “ِ _ِTِ_¢
َ r
ِ Zِ‫ د‬iَ_Š
َ ‫\ْ ُء‬mَ bْ ‫ا‬
“Seseorang tergantung atas agama temannya. Maka dari itu, perhatikan siapa yang
menjadi teman dekatnya.” (lihat ash-Shahihah no. 927)

Saat al-Imam Sufyan ats-Tsauri tiba di Bashrah, beliau melihat kedudukan ar-Rabi’ bin
Shubaih di tengah-tengah umat. Lantas beliau bertanya tentang mazhab (pemahaman) agama
ar-Rabi’. Jawab mereka, “Tiada lain mazhabnya adalah as-Sunnah.”

Al-Imam Sufyan bertanya, “Siapa temannya?” Orang-orang menjawab, “Orangorang


Qadariyah (yang ingkar terhadap takdir).” Kata al-Imam Sufyan ats-Tsauri, “Kalau begitu, dia
seorang qadari.” (al-Ibanah, Ibnu Baththah. Lihat Ijma’ul Ulama ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir
min Ahli al-Ahwa’, asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri, hlm. 106)

Kemudian cermati buku-buku atau kitab-kitab yang dikaji, dibaca dan dijadikan rujukan
dalam bersikap, bertindak, beramal, dan berucap. Manakala buku atau kitab yang dijadikan
pegangan melegalkan anarkisme, terorisme, mendorong untuk melakukan kemaksiatan,
bid’ah, dan penyimpangan syar’i lainnya, akan semakin tampak arah kecenderungannya
dalam beragama. Di antara buku atau kitab yang berbahaya adalah tulisan Sayid Quthb,
Salman al-Audah, Hasan al-Bana, Said Hawa, Fathi Yakan, Abu Muhammad
al-Maqdisi (yang dijebloskan ke penjara di Jordania), dan Abdul Qadir bin Abdul Aziz
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 18
alias Dr. Fadhl alias Sayid Imam Abdul Aziz asy-Syarif (dipenjara seumur hidup di
Mesir atas perannya dalam kelompok Islamic Jihad, dia adalah teman sekolah dan
sahabat Aiman azh-Zhawahiri, pentolan al-Qaeda Usamah bin Ladin), serta buku-buku
yang diterbitkan oleh jaringan teroris Khawarij. Seseorang yang memiliki kecenderungan
kepada al-haq akan menghindari buku-buku semacam itu. Dia akan mengikuti bimbingan
salafus saleh.

Dinukil oleh al-‘Allamah Ibnu Muflih rahimahullah dalam al-Adabu asy-Syar’iyah,


mengutip apa yang disebutkan oleh asy- Syaikh Muwaffiquddin Rahimahullah bahwa salaf
melarang bermajelis dengan ahli bid’ah, memerhatikan buku-buku mereka dan mendengarkan
perkataannya. (Ijma’ul Ulama’, hlm. 69)

Untuk mengokohkan identifikasi, “Seseorang tergantung atas agama temannya. Maka


dari itu, perhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya.” berikutnya telusurilah kepada siapa
dia mengambil pemahaman agamanya. Dari sanalah akan diperoleh kepastian siapa
sesungguhnya sosok berjenggot, berjubah di atas mata kaki, dan berkopiah putih tersebut.
Sebab, bagi orang yang benar benar belajar Islam secara baik dan benar, tak semudah itu
duduk bersimpuh di depan guru. Dia harus mengetahui jati diri dan paham apa yang dianut
oleh gurunya. Muhammad bin Sirin rahimahullah pernah menyatakan,

ْpُ َ Zِ‫ن د‬
َ ‫ƒُو‬¢
ُ ْˆَ ْrms Š
َ ‫¾\ُو‬
ُ yْ Wَl ٌrZْ ‫ ِد‬pَ _ْ Rِ bْ ‫ن َهƒَا ا‬
s ‫ِإ‬
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikanlah dari siapa
kalian mengambil agama kalian.” (Muqqadimah Shahih Muslim)

Nasihat emas Muhammad bin Sirin rahimahullah di atas adalah pegangan untuk tidak
meremehkan penentuan sumber pengambilan Islam. Betapa banyak kaum muslimin yang
memiliki pemahaman menyimpang karena keliru menentukan sumber rujukan. Bisa saja yang
diajarkan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi saat orang yang dijadikan rujukan itu
menafsirkan tidak berdasar pada bimbingan salaf, terjadilah penyimpangan. Betapa
mengambil dan menerima ilmu agama haruslah dari orang yang adil dan terpercaya, yaitu
para ulama Ahlus Sunnah. Tidak kepada setiap orang hati dan pendengaran ini diserahkan. Ini
semua dalam rangka menepis penyimpangan dalam berislam agar Islam yang bersemi di hati
berasal dari sumber yang benar.

Setelah memahami permasalahan ini, maka sangat tidak baik apabila menyamaratakan
setiap orang berjenggot, berjubah, bercadar, berkopiah putih, atau sorban (imamah) adalah
kelompok teroris. Sebagai seorang muslim, hendaknya bijak dalam menyikapi keadaan. Benar
adanya, kalangan teroris mengenakan pakaian atau atribut lainnya yang sama dengan yang
dikenakan kaum muslimin pada umumnya. Dalam beberapa hal yang mencocoki mereka, para
ulama Ahlus Sunnah dijadikan rujukan. Karena itu, pantas apabila dalam mengenakan hal
yang bersifat lahir yang melekat pada tubuh ada kesamaan dengan kaum muslimin lainnya.

Sebut saja salah seorang pelaku bom Bali, Imam Samudra. Dia mengambil fatwa para
ulama Ahlus Sunnah berdasarkan seleranya. Terkait dengan urusan jilbab dan cadar, dia
merasa lebih pas dengan fatwa ulama Saudi, meskipun ulama itu tak lepas dari cercaannya.
Sementara itu, dalam masalah musik dan alat hiburan, dia mengambil fatwa asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani. Sekali lagi, tak mengherankan apabila para istri pelaku
bom Bali dan orang-orang yang berada dalam jaringannya berpakaian sama dengan kalangan
wanita Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kata Imam Samudra, “Secara pribadi dan keluarga, dalam masalah berpakaian
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 19
misalnya, jilbab atau hijab atau cadar, aku lebih setuju dan “pas” dengan fatwa para ulama
Saudi Arabia, seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih Utsaimin, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri,
dan lainlain. Dalam menyikapi dan menjaga diri beserta keluarga dari musik dan alat
hiburan lainnya, selain berpegang pada syaikh Muhaddits Nashiruddin al- Albani, aku juga
berpegang pada fatwa para ulama anggota Dewan Fatwa Saudi Arabia….”(Aku Melawan
Teroris, hlm. 64. Lihat Mereka Adalah Teroris, hlm. 181 dan 554—555)

Menyikapi keadaan ini, hendaklah seorang muslim tidak tergesa-gesa memberi


penilaian negatif terhadap orang-orang yang berjubah, bercadar, berjenggot, dan yang
semakna dengan itu. Apalagi jika langsung menyamakan dan mengelompokkan setiap orang
berjubah, berjenggot, atau wanita bercadar adalah bagian dari kelompok teroris. Sebab, sikap
demikian bisa menimbulkan antipati terhadap ajaran Islam. Bagaimana pun juga, berjubah,
berjenggot, atau wanita bercadar adalah bagian dari ketentuan syariat Islam. Tak bisa
dimungkiri bahwa semua itu ada tuntunannya dalam Islam.

Faktor pendorong orang-orang untuk berpenampilan agamis adalah karena hal itu
merupakan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, terlepas dari perbedaan pendapat ulama
dalam hal cadar, apakah wajib atau sunnah. Semua itu tak ubahnya ajaran agama Islam
semisal shalat, puasa, dan yang lainnya. Mereka para teroris Khawarij juga shalat dan puasa,
bahkan bisa jadi lebih rajin dan semangat melakukannya. Lantas apakah kita akan menilai
bahwa shalat dan puasa adalah ciri teroris? Tentu tidak demikian. Begitu pula masalah
jenggot dan cadar. Maka dari itu, ingatlah firman Allah Subhanahu wata’ala.

WًTِYt¦ WًmÀْ ‫ َوِإ‬WًyWَ›qْ fُ ‫ا‬jُ_mَ ›َ ¨


ْ ‫ ا‬eِ Œَ lَ ‫ا‬jُY€
َ ›َ ‫ ا ْآ‬Wَt \ِ Tْ hَ fِ ‫ت‬
ِ Wَtِ ْ¿mُ bْ ‫ وَا‬r
َ Tِtِ ْ¿mُ bْ ‫ن ا‬
َ ‫¿ْذُو‬Zُ r
َ Zِƒbs‫وَا‬
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata.” (al- Ahzab: 58)

Sisi yang lain, seorang muslim hendaknya tidak tertipu melihattampilan para teroris
mengenakan jubah, berjenggot dan kepala dibebat imamah (surban). Jangan ada anggapan
sedikit pun dengan atribut keislaman yang lekat di tubuh mereka bahwa mereka para teroris
adalah mujahid sejati. Ketahuilah, penampilan mereka berjubah, berjenggot, dan mengenakan
imamah atau peci putih mereka lakukan setelah mereka dijebloskan ke dalam penjara. Saat
mereka melakukan aksi teror di tengah-tengah masyarakat, tak sedikit pun ada keberanian
untuk menampilkan syiar-syiar keislaman. Tak sedikit dari mereka yang mengenakan celana,
kaos oblong, atau kemeja dengan jenggot dicukur habis, sementara topi pet ada di atas kepala.
Ini semua dilakukan untuk mengelabui aparat keamanan.

Mereka meneriakkan diri sebagai mujahid yang hendak menegakkan syariat Islam,
sementara syiar keislaman tak berani mereka tampakkan pada diri mereka. Aparat keamanan
lebih mereka takuti daripada Allah Subhanahu wata’ala. Mereka tinggalkan Sunnah
Rasul-Nya untuk menghilangkan jejak dan agar tidak teridentifikasi aparat keamanan. Allahu
musta’an. Tampak betapa kacau prinsip yang ada di dada mereka. Jelas, mereka bukan
mujahidin sejati, bukan pejuang umat yang berada di atas landasan keislaman. Lebih tepat
dikatakan mereka adalah teroris, pembuat tindakan anarkis dan kekacauan di tengah-tengah
umat. Pantas apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut mereka anjing-anjing
neraka.

‫ا‬jُ_›ِ …ُ iَ_›ْ …َ \ُ Tْ ¢
َ ‫ َو‬،ِ‫ء‬Wَm€
s b‫ ا‬pZِ‫ َأد‬ 
َ |
ْ َ ‫ا‬jُ_›ِ …ُ iَ_›ْ …َ \¦ ­
َ ‫ ِء‬Wَb¿ُ ‫ َه‬،ِ‫ر‬Wsb‫ب ا‬ ُ Wَ_‫ ِآ‬،ِ‫ر‬Wsb‫ب ا‬ ُ Wَ_‫ ِآ‬،ِ‫ر‬Wsb‫ب ا‬ ُ Wَ_‫ِآ‬
‫ ِء‬Wَb¿ُ ‫ْ َه‬pqُ _َ›َ …َ r
َ Zِƒbs‫ ِء ا‬Wَm€
s b‫ ا‬pZِ‫ َأد‬ 
َ |
ْ َ
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 20
“Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka. Mereka ini (kaum
Khawarij Azariqah) sejelekjelek orang yang dibunuh di bawah kolong langit. Dan sebaik-baik
orang yang terbunuh di bawah kolong langit adalah orang-orang yang dibunuh oleh mereka
(Khawarij Azariqah).” (al-Jami’ ash-Shahih, 1/201)

Kesamaan Khawarij dahulu dan sekarang adalah mengafirkan pemerintah kaum


muslimin dan orang-orang yang mendukungnya, melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, serta
membolehkan membunuh anak-anak muslimin. Inilah ideologi mereka. Ideologi mereka telah
diwujudkan dalam berbagai aksi “berbau darah” di sepanjang perjalanan sejarah.
Tindakan-tindakan mereka senantiasa dihiasi onar, kacau, dan kerusakan di muka bumi. Para
sahabat pun dibunuh, ditumpahkan darahnya.

Mereka jahil, tak berilmu, tak paham fikih dan syariat Islam lantaran mereka
berseberangan dengan para ulama Ahlus Sunnah. Di tengah-tengah mereka tidak ada ulama.
Mereka hanya memiliki semangat ibadah dan beramal, tetapi ditegakkan dengan emosi dan
kebodohan. Tidak di atas landasan ilmu yang benar. Itulah Khawarij. (Mereka Adalah Teroris,
hlm. 698—699)

Setelah aksi-aksi teror mereka diberangus aparat keamanan, kini mereka menerapkan
strategi baru. Keberadaan pondok pesantren yang masuk dalam jaringan mereka,
diberdayakan untuk kaderisasi. Kader-kader muda yang telah disusupi paham-paham
Khawarij dibekali pula dengan pelatihan berbau militer. Tujuannya menyiapkan
pejuangpejuang untuk “jihad”, yaitu melakukan aksi teror, kekacauan, keonaran dengan
dikemas bahasa jihad. Adapula dari mereka yang menyusup ke dalam badan amal usaha milik
ormas tertentu. Mereka menggunakan fasilitas-fasilitas milik ormas tersebut untuk merekrut
kaderkader baru.

Strategi lain yang mereka kembangkan adalah selalu melansir kata kunci “salaf” atau
“ahlus sunnah” ke hadapan umat. Di sisi lain, mereka menghantam habishabisan kaum
muslimin–yang mereka bahasakan sebagai kelompok salafi. Tak sedikit buku-buku yang
mereka terbitkan menyerang masyarakat yang benar-benar ingin mendakwahkan pemahaman
Ahlus Sunnah yang selaras dengan apa yang diajarkan oleh salafus saleh. Dari masa ke masa,
paham Khawarij terus menggelinding. Kaum muslimin hendaknya mewaspadai gerakan
mereka. Keyakinan batil yang ada pada mereka akan terus ditularkan ke tubuh umat Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‹ِ Zs \ِ Yَ bْ ‫ل ا‬
ِ ْj…َ \ِ Tْ ¢ َ ْrtِ ‫ن‬ َ jُbjُŒZَ ،ِ‫م‬Wَ_¨ْ ˆَ ْb‫ ُء ا‬Wَq‰َ U
ُ ‫ن‬ ِ WَU
ْ ˆَ bْ ‫ث ا‬
ُ ‫َا‬e¨ْ ‫ْمٌ َأ‬j…َ ‫ن‬
ِ Wَtªs b‫ ِ\ ا‬¢
ِ £ zِl ‫ج‬ ُ \ُ ¶
ْ Tَ U
َ
‹ِ Ts tِ \s b‫ ا‬r
َ tِ pُ qْ €
s b‫ق ا‬
ُ \ُ mْ Zَ Wَm‫ َآ‬r ِ Zّeِ b‫ ا‬rَ tِ ‫ن‬َ jُ…\ُ mْ Zَ ْp‫· َ\ ُه‬
ِ Wَ¨َ ‫ ِو ُز‬WَŽZُ Wَb ‫ن‬
َ £ْ\Œُ bْ ‫ن ا‬
َ ‫ ْŒ َ\أُو‬Zَ
“Pada akhir zaman akan keluar satu kaum yang muda belia usianya, pendek akalnya.
Mereka mengatakansebaik-baik ucapan manusia. Mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak
melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas (melesat keluar) dari agama seperti melesatnya
anak panah dari (tubuh) buruannya.” ( HR. al-Bukhari no. 3611 dan Muslim no. 1066)

Mereka rajin membaca al-Qur’an, tetapi tidak bisa memahami dengan benar ayat-ayat
yang mereka baca. Akibatnya, apa yang mereka baca tak bisa menembus hati. Secara bertahap
mereka tergiring untuk keluar dari ketentuanketentuan Islam. Mereka terjatuh pada
kebid’ahan dalam keadaan merasa yakin di atas kebenaran, yakin kalau sedang
memperjuangkan Islam. Itulah kebodohan mereka. Sebab, sesungguhnya akal mereka itu

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 21


dangkal. Wallahu a’lam.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 22


Kajian Utama “Demokrasi, Lahan Subur Terorisme”
Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin

Saat Presiden Republik Indonesia, Jenderal Besar Soeharto meletakkan jabatan


sebagai presiden, sorak sorai, gegap gempita berhamburan dari sebagian anak bangsa. Saat
itu, udara di Nusantara bertabur euforia. Kegembiraan demi kegembiraan menebar di alam
Indonesia. Keran kebebasan telah dibuka. Api demokrasi telah dipantik menyala. Meskipun
bagi sebagian anak bangsa yang mencermati keadaan, alam demokrasi yang baru dihirup saat
itu sebenarnya sedang cedera.

Betapa tidak, para pejuang demokrasi saat itu berpura-pura tidak mau tahu atau bahkan
melakukan politik “tutup mata” terhadap kelahiran “suasana baru” pasca-lengsernya Jendral
Besar Soeharto. Setelah Presiden RI kedua itu meletakkan jabatan, berarti kemenangan para
pejuang dan pecinta demokrasi. Mereka lupa bahwa demokrasi yang ada kini didapat dari cara
memaksakan kehendak, “meminta” agar presiden mau lengser. Sebuah cara yang tentu saja
bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Sebuah ironi, aneh dan tidak konsisten.
Pejuang demokrasi menggunakan cara-cara paksaan, tekanan, kepada penguasa melalui
massa.

Alhamdulillah, pihak penguasa bijak. Jenderal Besar Soeharto dengan penuh arif mau
meletakkan jabatan. Presiden saat itu mengambil keputusan mundur agar tidak terjadi
pertumpahan darah di kalangan anak bangsa. Sebuah sikap penuh tanggung jawab terhadap
keselamatan rakyatnya. Perjalanan sejarah ini tak akan luput dari catatan bangsa dan rakyat
Indonesia, bahwa pernah ada kemunculan demokrasi melalui cara-cara yang bertentangan
dengan “nilai” demokrasi itu sendiri. Demokrasi cedera. Mereka yang lantang
memperjuangkan demokratisasi ternyata menampilkan jiwa-jiwa tiran.

Mendiskusikan masalah bangsa dengan penguasa, sementara di luar arena diskusi,


gelombang massa memberi tekanan terhadap penguasa. Menampakkan raut wajah manis di
depan penguasa seraya tangan menggenggam belati terhunus di balik punggung. Itulah sosok
pejuang demokrasi kala itu. Buah dari demokrasi, lahirlah beragam kemelut. Poso bergejolak.
Keberanian kaum minoritas Kristen melonjak. Pembantaian terhadap kaum muslimin bisa
secara sistematis terlaksana. Sungai Poso yang membelah kota tercemari jasad-jasad kaum
muslimin yang tak bernyawa. Tragedi kemanusiaan buah dari alam kebebasan, alam
demokrasi.

Tak kalah mengerikan di Maluku, Tobelo dan Halmahera bersimbah darah. Ambon
banjir darah. Kaum muslimin diburu dan dibunuh. Tak sedikit yang dicincang. Menanam
demokrasi berbuah petaka. Demokrasi membawa angin kebebasan. Semua orang bebas
berbicara. Bebas bersuara dan berbuat. Setelah aksi terorisme kalangan Kristen di Poso dan
Maluku mereda, tumbuh ke permukaan terorisme yang mengusung nama “jihad”. Syariat
jihad yang mulia akhirnya jadi cemoohan manusia jahil. Akibat teroris Khawarij, dakwah
salafiyah nan lurus terkena getahnya. Tak sekadar itu, banyak orang tua yang cemas
memikirkan anak-anaknya mengaji ajaran sesat yang dikemas dengan bahasa “jihad”.

Setelah itu, anak-anaknya pandai merakit bom untuk dirinya sendiri. Dentuman bom
meledak, menggelegar. Lalu tubuh itu pun menjadi serpihan yang tercecer di sana sini. Bom
bunuh diri, sebuah antiklimaks dari mengaji agama dengan pemahaman Khawarij. Sekali lagi,
semua itu bisa terjadi di alam kebebasan, alam demokrasi. Di alam demokrasi, semua diberi
ruang. Menyuarakan kesesatan pun tidak dilarang. Alam demokrasi menjadi lahan subur bagi
ajaran sesat dan menyesatkan. Karena demokrasi, negara terbatasi untuk masuk lebih dalam
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 23
mengurusi kehidupan beragama. Kalaupun aparat menangani aksi terorisme kalangan
Khawarij, itu semata karena menyangkut keamanan masyarakat. Negara tidak mau
mencampuri urusan keyakinan seseorang. Berjalan di atas kesesatan atau kebenaran, negara
tidak peduli.

Semua diserahkan kepada individu. Selama keyakinan yang dianut tidak meresahkan
masyarakat, negara tidak peduli. Inilah buah kebebasan yang dituai dari kebebasan demokrasi.
Dalam negara demokrasi, alat negara tak akan melakukan tindakan berarti selama dalam batas
wacana atau retorika. Dalam negara demokrasi, ketika seseorang menyebarkan paham
kesesatan, alat negara tak akan bertindak. Kecuali jika orang yang terasuki paham sesat itu
beranjak melakukan aksi yang meresahkan atau membahayakan keamanan orang lain. Dalam
kondisi demikian, negara bertindak. Negara melakukan tindakan represif sebatas aksi fisik.
Adapun terkait ajaran atau paham, yang merupakan ruh keyakinannya, negara tak
menyentuhnya.

Karena itu, kaderisasi kelompok teroris Khawarij setiap tahun mengalami peningkatan.
Minimalnya, kaderisasi masih terus berlangsung. Rekrutmen melalui kelompok pengajian
atau pondok pesantren masih terus berlangsung. Melarangnya berarti akan mengekang
kebebasan seorang warga negara. Tentu saja, ini adalah perbuatan terlarang di negara yang
beriklim demokratis. Siapa yang menanam, ia yang menuai. Di bawah pimpinan dan
bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, masyarakat Madinah terjaga dan
terayomi. Di tengah komunitas kaum muslimin, hidup pula kalangan ahli kitab. Namun,
bukan berarti ahli kitab dibiarkan liar. Ahli kitab diberi dua pilihan; memeluk Islam atau
membayar jizyah. Bagi yang memilih memeluk Islam, ia akan mendapatkan hak dan
kewajiban sebagai seorang muslim.

Bagi yang tetap memeluk keyakinannya sebagai ahli kitab, ia diposisikan sebagai kafir
dzimmi yang dilindungi dengan kompensasi jizyah (upeti). Pada masa kekhalifahan Abu Bakr
ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, orang-orang yang membangkang tidak mau menunaikan
zakat diperangi. Setelah diimbau tetap membangkang, maka Khalifah melakukan tindakan
represif. Ini sebagai bentuk kepedulian penguasa terhadap praktik keagamaan yang
menyimpang.

Begitu pula pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tatkala
orang Khawarij melakukan konsentrasi massa dengan pedang terhunus (siap mengafirkan dan
memerangi orangorang di luar kelompoknya), Khalifah mengutus sahabat mulia, Abdullah
bin ‘Abbas c guna berdialog dengan kaum Khawarij. Pemerintah mengambil inisiatif agar
orang-orang Khawarij mau kembali memegang teguh pemahaman Islam yang benar, bukan
pemahaman yang menyempal. Akhirnya, sebagian mereka mau bertobat kembali kepada
ajaran Islam yang benar. Sebagian lagi tetap bersikukuh di dalam kesesatan. Pemerintahan Ali
mengambil langkah represif setelah cara dialogis dan persuasif fisik tidak dihiraukan. Sekali
lagi, ini adalah bentuk perhatian negara terhadap rakyatnya.

Inilah sistem Islam yang tak membiarkan manusia berada dalam kesesatan. Berbeda
dengan sistem demokrasi yang mengusung kebebasan. Rakyat akhirnya bebas
mengekspresikan apa yang terlintas dalam pikirannya, termasuk dalam masalah keyakinan.
Jadi, di alam demokrasi ini, apa pun macam keyakinan seseorang bisa tumbuh subur. Alam
demokrasi memola manusia untuk tidak peduli terhadap sesamanya dalam aspek yang sangat
mendasar, yaitu agama. Ini adalah sumber malapetaka bagi kehidupan. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,

‫ا‬jُyWَ‫وآ‬s ‫ا‬jَvŠ
َ Wَmfِ È
َ bَِٰ‫ ۚ ذ‬pَ Zَ ْ\tَ r
ِ fْ ‫ ا‬iَ€TِŠ‫ن دَاوُو َد َو‬
ِ Wَ€bِ ٰi_َŠ
َ ©
َ TِÇ‫\َا‬U
ْ ‫ ِإ‬zِfَ rِt ‫ َآ َ‰\ُوا‬r
َ Zِƒbs‫ ا‬r
َ Rِ bُ
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 24
‫ن‬
َ jُ_Rَ ‰ْ Zَ ‫ا‬jُyWَ‫ آ‬Wَt ½
َ ¬ْ Yِ bَ ۚ ´ُ jُ_Rَ lَ \ٍ َ ¦t rَŠ ‫ن‬
َ ْj‫ َه‬Wَ›َ Zَ Wَb ‫ا‬jُyWَ‫ن )( آ‬
َ ‫ُو‬e›َ Rْ Zَ
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra
Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama
lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

WًfWَŒŠ
ِ ْpُ Tْ _َŠ
َ º
َ Rَ Yْ Zَ ْ‫¸ َأن‬
ُ ‫ا‬r
s َ ­
ِ jُTbَ ْ‫ ْ َ ِ\ َأو‬mُ bْ ‫ ا‬r
ِŠَ ‫ن‬
s jُ qَ ْ ›َ bَ‫ف َو‬
ِ ‫\ُو‬Rْ mَ bْ Wِf ‫ن‬
s \ُ tُ ْˆ›َ bَ ´ِ eِ Tَ ِf zِ€‰ْ yَ ‫ƒِي‬bs‫وَا‬
ْpُ bَ ‫ب‬ َ WَŽ›َ € ْ Zُ Wَ_lَ “ُ yَ jُŠْeَ ps Àُ “ُ ْ tِ
“Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya. Sungguh, hendaklah kalian
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Jika tidak, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan
menimpakan kepada kalian hukuman dari-Nya, lantas kalian berdoa kepada- Nya dan tidak
dikabulkan.” (HR. at- Tirmidzi, no. 2169 dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu)

Secara langsung atau tidak, sistem demokrasi telah memberi pupuk bagi tumbuh
suburnya pemahaman Khawarij. Alih-alih menangkal laju aksi terorisme, akar masalah justru
tidak dituntaskan. Ideologi Khawarij masih dibiarkan tersebar. Karena menganut demokrasi,
pemerintah akan sulit melibasnya. Demokrasi menjadi bumerang bagi bangsa ini. Selain
demokrasi, isu HAM (Hak Asasi Manusia) pun bisa menjadi ganjalan dalam memberantas
terorisme. Saat kaum minoritas Kristen di Sulawesi Tengah dan Kepulauan Maluku
melakukan aksi terorisme, aparat keamanan gamang.

Akibatnya, sebagian merasa ragu untuk bertindak tegas lantaran dibayang-bayangi isu
HAM. Sementara itu, aksi-aksi kekerasan dan anarkisme ada di hadapan aparat keamanan.
Namun, moncong senjata yang disandang aparat tersumbat HAM. Akibatnya, terorisme yang
dilakukan oleh kaum Kristen leluasa beraksi. upaya pemberantasan terorisme? Karena HAM
memiliki prinsip yang sama dengan demokrasi. Prinsip dasar HAM adalah manusia memiliki
hak dasar untuk hidup dan memiliki kebebasan. Dasar pemikiran HAM semacam ini bisa
ditelusuri dari sejarah kemunculan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember
1948.

Deklarasi itu muncul sebagai reaksi ketertindasan manusia Eropa. Kehidupan


masyarakat Eropa yang penuh tekanan dan paksaan melahirkan sikap protes. Kondisi
kehidupan seperti itu menjadikan kebebasan sebagai barang langka dan mahal bagi bangsa
Eropa. Akhirnya, digagaslah perjuangan untuk menghargai hak asasi. Untuk itu, nilai
kebebasan harus menyertai. Tanpa kebebasan, hak asasi tiada arti. Jadilah kebebasan menjadi
prinsip dasar pemenuhan hak asasi manusia. Inilah benang merah antara demokrasi dan
HAM. (Untuk menelaah Sejarah HAM, silakan lihat Majalah Asy-Syariah, no. 42/1429
H/2008 M)

Terorisme tidak disebabkan oleh mengikuti al-Qur’an dan terjemahannya yang


dikeluarkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Sebagian orang berdalih, akibat
banyak kekeliruan terjemah di mushaf tersebut, lahirlah orang-orang yang gemar melakukan
aksi teror. Lantas mereka membuat terjemah al-Qur’an versi pemikiran mereka dan dijual
kepada khalayak luas. Kalau mau jujur belajar dan berkaca dari sejarah, maka perbuatan
anarkisme semacam terorisme telah ada sejak dahulu. Sebelum mushaf al- Qur’an dan
terjemahannya diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, aksi-aksi kekerasan dan terorisme
dengan menyandarkan kepada ayat al-Qur’an telah berlangsung. Lahirnya pemikiran

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 25


Khawarij di antaranya lantaran salah menggunakan ayat-ayat al-Qur’an. Ini terjadi pada
masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Hendaknya pula diperhatikan, terorisme atau orang yang menjadi teroris bukan hanya
orang Indonesia. Aksi terorisme dilakukan juga oleh orang-orang Arab. Mereka tentu
membaca al-Qur’an tanpa terjemahan bahasa Indonesia. Beberapa orang yang didakwa
sebagai teroris adalah jebolan dari pondok pesantren, bahkan sempat mendirikan dan
mengasuh pondok pesantren di Malaysia. Dalam kajian, mereka sudah tidak menggunakan
mushaf al-Qur’an dan terjemahan Kementerian Agama RI.

Lebih dari itu, aksi terorisme tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengaku
sebagai bagian kaum muslimin. Aksi terorisme dilakukan oleh orang kafir dari kalangan
Hindu, Budha, Kristen, Katolik, bahkan orang atheis yang tak mau mengakui adanya Allah
Subhanahu wata’ala seperti orang komunis. Tentu mereka melakukan aksi terorisme
didasarkan pada keyakinan mereka masing-masing. Terlepas dari masalah al-Qur’an dan
terjemahannya, hendaknya kaum muslimin “Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya.
Sungguh, hendaklah kalian menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Jika tidak, niscaya Allah
Subhanahu wata’ala akan menimpakan kepada kalian hukuman dari-Nya, lantas kalian berdoa
kepada-Nya dan tidak dikabulkan.” diberi pencerahan yang benar terkait dengan tafsir
al-Qur’an. Kaum muslimin hendaknya dibekali dengan kaidah untuk memahami ayat
al-Qur’an sehingga tidak disalahtafsirkan sesuai dengan kepentingan sesaat atau kepentingan
kelompok secara sempit.

Proses pembekalan keilmuan demikian sangat diperlukan oleh kaum muslimin. Karena
itu, membekali kaum muslimin dengan metodologi penafsiran al-Qur’an sebagaimana
kalangan salaf dan para imam ahli ijtihad, mutlak diperlukan. Dengan kata lain, bimbingan
dari para ulama Ahlus Sunnah dalam hal memahami Islam, terkhusus penafsiran al-Qur’an
adalah sesuatu yang sangat asasi. Tanpa hal itu, umat akan berjalan sesuai dengan akal pikiran
masingmasing dan atas desakan kepentingannya masing-masing. Allahu musta’an.

Sungguh, sangat berbahaya memberikan interpretasi terhadap ayat al-Qur’an tanpa


mengindahkan kaidah sebagaimana dipahami salafus saleh. Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani rahimahullah pernah mengisyaratkan hal ini. Kata beliau, “Didapati
sebagian penafsir dan penulis dewasa ini yang membolehkan makan daging binatang buas
atau memakai emas dan sutra (bagi laki-laki) dengan semata-mata bersandar kepada
al-Qur’an. Bahkan, dewasa ini didapati sekelompok orang yang hanya mencukupkan diri
dengan al-Qur’an saja (Qur’aniyyun). Mereka menafsirkan al-Qur’an dengan hawa nafsu dan
akal mereka tanpa dibantu oleh as-Sunnah yang sahih.” (Manzilatu as-Sunnah fil Islam wa
Bayanu Annahu La Yustaghna ‘anha bil Qur’an, hlm. 11)

Jauh sebelum itu, Abdullah bin ‘Abbas rahimahullah telah memberikan peringatan,
“Barang siapa berbicara tentang al-Qur’an dengan ra’yu (akal)-nya, persiapkanlah tempat
duduknya di neraka.” (I’lamu al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, Ibnul Qayyim
Rahimahullah, hlm. 54)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam mukadimah tafsirnya menyebutkan kaidah


menafsirkan al-Qur’an. Secara ringkas, kaidah tersebut adalah sebagai berikut.

1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Metodologi ini adalah yang paling sahih.

2. Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah. Sebab, as-Sunnah adalah pensyarah yang


menjelaskan al-Qur’an.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 26


3. Menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan para sahabat. Menurut beliau rahimahullah,
apabila tidak didapati tafsir dari al-Qur’an dan as-Sunnah, kita merujuk kepada pernyataan
para sahabat.

Sebab, mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari
berbagai fenomena dan situasi yang terjadi saat turunnya ayat. Apabila tidak didapati cara
menafsirkan dengan ketiga metode di atas, al-Qur’an ditafsirkan dengan pemahaman yang
dimiliki oleh para tabi’in. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Jika tafsir itu
datang dari Mujahid, jadikanlah sebagai pegangan.” Mujahid rahimahullah adalah seorang
tabi’in. Islam itu dimulai dalam keadaan asing, dan ia akan kembali asing sebagaimana
awalnya. Beruntunglah (berbahagialah) al-ghuraba’ (orang-orang asing).

Siapakah al-ghuraba’? Mereka adalah orang-orang saleh yang berjumlah sedikit di


tengah orangorang jelek yang berjumlah banyak. Yang memusuhi mereka lebih banyak
daripada yang menaati (mematuhi) mereka. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa
menghidupkan sunnahsunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di kala manusia
mematikannya.Wallahu a’lam.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 27


Kajian Utama “Terorisme berasal dari kata teror”
Terorisme berasal dari kata teror yang diberi akhiran –isme, yang berarti sistem
kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Adapun arti kata teror, yaitu perbuatan
(pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dan sebagainya). Teror
diartikan pula sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan.

Jadi, terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam


usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik). Terorisme diartikan juga sebagai
praktik-praktik tindakan teror. Arti teroris sendiri adalah orang yang menggunakan kekerasan
untuk menimbulkan rasa takut. (Lihat KBBI)

Kata terror (Ingg.) berasal dari bahasa Latin “terrer” yang berarti membuat gemetar atau
menggetarkan. Dalam praktiknya, kata terror dipakai juga untuk makna menimbulkan
kengerian. (Lihat Teror NII, Abu Mujahid, hlm. 101)

Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme, dijelaskan pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 1: Tindak Pidana Terorisme
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang ini. Perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana
Terorisme, diatur oleh ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), pasal 6 dan 7;
bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika: Apa itu
terorisme?

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman menimbulkan teror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).

2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk


menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara menghancurkan objek-objek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7). Menurut pasal
8, 9, 10, 11, dan 12:

1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.

2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

3. Menggunakan kekerasan.

4. Mengambil korban dari masyarakat sipil dengan maksud mengintimidasi pemerintah.

5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atau tujuan tertentu dari pelaku yang dapat
berupa motif sosial, politik, ataupun agama. Dalam perjalanan sejarah, aksi teror telah ada
sejak masa Yunani Kuno. Xenophon (430—349 SM), seorang ahli sejarah, pernah mengurai
nilai strategis perang urat syaraf guna menakutnakuti musuh. Sampai abad ke-18, aksi teror
masih dalam bentuk penyiksaan, pembuangan, penculikan, pembunuhan, dan perampasan
harta benda. Aksi demikian tidak hanya dilakukan orang per orang atau kelompok, tetapi
negara (penguasa) pun menggunakan cara teror untuk melucuti para pembangkang.
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 28
Pemerintah Prancis dekade 1793— 1794 menggunakan aksi teror untuk menyelamatkan
Revolusi Prancis 1789.

Ribuan orang tewas dalam aksi tersebut. Pada abad ke-19 di Rusia muncul organisasi
Narodnaya Volya yang salah satu pimpinannya adalah Mikhail Bakunin. Kelompok ini
melakukan sosialisasi anarkisme dan berpegang pada konsep “menyikat habis” tatanan yang
ada.

Selama abad ke-20 bermunculan pemerintahan yang menggunakan aksi teror seperti
Hitler di Jerman, Stalin di Uni Soviet, dan Pol Pot di Kamboja. Di sisi lain, organisasi
terorisme pun bermunculan di mana-mana dan dengan alasan serta latar belakang yang
berbeda. Namun, secara umum bermunculannya pemahaman kelompok teroris dipicu oleh
kondisi sosial, politik, ekonomi, psikologis, dan pemahaman agama yang rawan. Karena itu,
tak jarang aksi terorisme dilakukan oleh orangorang yang memiliki militansi religius yang
bersifat fanatis sempit dan kaku. Tidak hanya di kalangan muslim, aksi terorisme ada pula di
kalangan militan, fanatik, radikal Hindu, Katolik, Kristen, Budha, dan Yahudi. Demikian pula
aksi terorisme bisa muncul dari kalangan atheis dan komunis. Peristiwa G 30 S/ PKI adalah
fakta bahwa terorisme juga dilancarkan kaum komunis di Indonesia.

Theodore Hertzl, pendiri gerakan zionis merupakan “biang” terorisme zionis. Ia


membentuk kelompok teroris yang disusupkan ke Rusia dan Eropa. Tujuannya, balas dendam
terhadap negara-negara tersebut karena telah menistakan bangsa Yahudi. Hertzl berhasil
menyusupkan kadernya yang bernama Trotisky ke dalam barisan kepemimpinan revolusi
Rusia yang dipimpin oleh Lenin.

Melalui gerakan zionis ini pula, bangsa Yahudi merampas tanah milik orang orang
Palestina. Mereka melakukan aksi terorisme secara sistematis terhadap warga Palestina.
Terorisme juga berkembang di beberapa kawasan dunia ini. Di Amerika Latin, ada FARC
(Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia) di Kolombia, CAL (Comandos Armados de
Liberacion) di Puerto Rico, dan Sanders Luminoso (Jalan Terang) di Peru. Di Kanada ada
organisasi teroris FLQ (Front de Liberacion du Quebec).

Di kawasan Timur Jauh, ada Sekigum (Tentara Merah Jepang). Di Timur Tengah ada
gerakan terorisme seperti Black September, Lohame Herut Israel, Irgun Zvaileumi, dan
As-Sa’ga. Di Eropa antara lain Baader-Meinhof, Brigade Merah, Rotte Armee Fraktion di
Jerman. Di Italia ada Brigate Rosse (Tentara Merah). Aksi terorisme juga dilakukan oleh
Tentara Irlandia Utara (IRA) dan ETA (Euzkadita As-katasuna) di Basque, Spanyol.
(Terorisme Seorang Islam) Secara kualitatif, aksi terorisme mengikuti perkembangan zaman,
terutama dalam hal memanfaatkan dan menyerap kemajuan teknologi guna melancarkan
makarnya. Negara zionis Yahudi termasuk negara yang menggunakan teknologi persenjataan
terkini untuk melakukan aksi terorismenya. Entah berapa ribu warga Palestina yang dibantai
oleh Zionis Yahudi.

Demikian pula peristiwa April 1995, Timothy McVeigh melakukan aksi terorisme
dengan meruntuhkan gedung Federal di Oklahoma. Sedikitnya 169 orang tewas tertimbun
reruntuhan bangunan dan ratusan lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena cedera atau
luka. Timothy McVeigh adalah aktivis gerakan Patriot Kristen yang ingin menegakkan
superioritas kulit putih beragama Kristen di muka bumi ini. Begitulah ragam aksi terorisme.
Gerakan mereka pada umumnya dilandasi keputusasaan melihat realitas yang ada. Mereka
lantas mengambil jalan pintas seraya membawa bendera atas nama agama, kelompok
tertindas, bahkan bangsa. Memilih “jalan pintas” menunjukkan isyarat betapa mereka
memiliki akal yang dangkal dan cara berpikir yang pendek. Mereka adalah orang-orang yang

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 29


“bersumbu pendek”, mudah terstimulasi dan bereaksi, serta sufaha’ul ahlam, orang-orang
bodoh yang dangkal akalnya.

Wallahu a’lam.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 30


Kajian Utama “Rekam Jejak Aksi Terorisme di Bumi Nyiur
Melambai”
Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin

Secara tak resmi, gerakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia atau yang lebih
dikenal dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) sudah beroperasi sejak Mei
1948. Namun, baru diproklamirkan oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Cisampak,
Kecamatan Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
adalah nama lengkapnya. Lahir di Cepu, 7 Januari 1907. Kartosoewirjo tak memiliki riwayat
pendidikan agama. Pendidikan formalnya dihabiskan dalam sistem pendidikan Belanda. Ia
menyelesaikan pendidikan lanjutan atas di ELS (Europeesche Legere School) di Bojonegoro.
Tahun 1923 ia melanjutkan studi ke sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsan
School) di Surabaya. Di NIAS ini ia masuk kelas persiapan program tiga tahun. Namun, baru
setahun belajar di NIAS, Kartosoewirjo dikeluarkan lantaran didapati padanya buku-buku
bacaan sosialis dan komunis.

Pada saat itu pemerintah kolonial Belanda sangat antipati dengan gerakan berbau
komunis. Buku-buku tersebut ia dapatkan dari pamannya, Marko Kartodikromo, seorang
wartawan dan sastrawan yang juga tokoh komunis. Melalui pamannya inilah jiwa politik
Kartosoewirjo tumbuh. Bermula mengikuti gerakan Jong Java, sebuah organisasi pemuda
Jawa, Kartosoewirjo berpetualang dalam kancah politik. Setelah itu beralih ke Jong
Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda Islam Jawa. Melalui organisasi inilah
Kartosoewirjo muda berkenalan dengan tokoh-tokoh politik, seperti Agus Salim dan Haji
Oemar Said Tjokroaminoto. Keduanya termasuk pimpinan dalam Partai Syarikat Islam
(PSI).

Sejak itulah ia mulai belajar Islam secara intens dan kemudian mengarahkannya untuk
memasuki kancah perpolitikan dengan wadah organisasi PSI. Karena tak memahami bahasa
Arab, Kartosoewirjo belajar Islam melalui buku-buku berbahasa Belanda. Pemahaman
keislamannya bertambah mengental saat ia melakukan perawatan karena sakit beri-beri di
Malangbong, Garut. Di tempat inilah Kartosoewirjo berinteraksi dengan para kyai Garut. Di
antaranya, ia menimba ilmu dari Kyai Ardiwisastera, kelak menjadi mertuanya, Kyai Yusuf
Tauziri, Kyai Mustofa Kamil, dan Kyai Ramli. Para kyai tersebut mengajarkan tarekat
sufiyah (tasawuf). Mei 1948, ia memproklamirkan diri menjadi imam (pemimpin) Negara
Islam Indonesia.

Proklamasi ini adalah babak baru peta perpolitikan di Indonesia saat itu. Apalagi setelah
Negara Islam Indonesia diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949. Pemerintah Indonesia,
saat itu berupaya melakukan langkah dialog dalam rangka membujuk Kartosoewirjo dan
pasukannya agar mau kembali ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia. Saat itu yang
ditunjuk oleh pemerintah sebagai negosiator adalah Muhammad Natsir. Latar belakang
Kartosoewirjo melakukan langkah pemberontakan ini disebabkan ketidakpuasannya terhadap
langkah pemerintah Indonesia yang menurut anggapannya telah menghancurkan Negara
Indonesia dengan menerima perjanjian-perjanjian dengan Belanda. Selain itu, Kartosoewirjo
menuding pemerintah Indonesia telah dikuasai orang-orang komunis.

Pemahaman takfir (mudah mengafirkan orang di luar kelompoknya) pada Kartosoewirjo


bisa dilihat saat menyikapi Kyai Yusuf Tauziri. Walaupun Kyai Yusuf adalah gurunya dan
telah berinteraksi selama hampir dua puluh tahun, namun ketika Kyai Yusuf tak menyetujui
langkah politiknya dengan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah dan

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 31


mendeklarasikan DI/ TII, Sang Imam murka. Kyai Yusuf Tauziri pun dinyatakan murtad,
halal darahnya dan boleh diperangi. Karena sikap takfirnya inilah, pondok pesantren Cipari
milik Kyai Yusuf diserang. Pasukan bersenjata DI/TII menggempur pesantren Kyai Yusuf
berulang kali. Dalam periode tahun 1949 hingga 1958 pesantren tersebut diserang hingga
puluhan kali. Gempuran demi gempuran dengan senjata api menyalak berakibat hancurnya
gedung pesantren tersebut.

Kyai Yusuf sendiri selalu selamat saat penyerangan itu. Pada 4 Juni 1962, di lembah
antara Gunung Sangkar dengan Gunung Geber, sekitar Bandung Selatan, Kartosoewirjo
dikepung tiga peleton pasukan TNI. Saat itulah Kartosoewirjo berhasil ditangkap.
Penangkapan ini mengakhiri petualangan politik memberontak terhadap pemerintah selama
tiga belas tahun. Selama melakukan huru-hara bersenjata, banyak infrastruktur masyarakat
Jawa Barat yang rusak berat dan hancur. Produksi pertanian pun merosot tajam. Terjadi
pengungsian masyarakat secara besar-besaran dan tentu saja korban jiwa yang tidak sedikit.

Walau Kartosoewirjo tertangkap, diadili lalu dieksekusi mati pada 1962, dan sebagian
para tokoh DI/TII ditangkap dan dijebloskan ke penjara, tak berarti gerakan takfir ‘Sang
Imam’ berakhir. Bahkan, setelah melakukan pernyataan ikrar kesetiaan terhadap Negara
Republik Indonesia, beberapa tokoh tersebut, setelah menghirup udara alam bebas, melakukan
konsolidasi terhadap para mantan anggota DI/TII. Mereka melakukan perekrutan kembali
terhadap para mantan anggota pasukan DI/TII lalu membentuk wadah yang disebut Komando
Jihad. Belum seumur jagung, gerakan mereka terendus oleh pihak aparat. Mereka pun
digulung. Di antara pimpinan Komando Jihad yang ditangkap adalah Danu Muhammad
Hasan, Dodo Muhammad Darda, Haji Ismail Pranoto (Hispran), dan Gaos Taufik.
Mereka ditangkap beserta 700 anggota lainnya.

Sementara itu, tokoh Komando Jihad lainnya, seperti Aceng Kurnia dan Adah
Djaelani, berhasil lolos. Mereka lalu melakukan “hijrah” ke satu tempat yang dirahasiakan.
“Hijrah” ala DI/TII adalah sebuah konsep perjuangan Kartosoewirjo yang digulirkan sejak
masih aktif di Partai Syarikat Islam (PSI). Tahun 1970-an para mantan anggota DI/TII terus
berupaya melakukan konsolidasi. Dibuatlah struktur kepengurusan baru untuk melakukan
program “jihad” mereka. Dengan itu perjuangan jihad terus berlanjut. Walau pun mereka
pernah menyerah kepada aparat keamanan, namun itu dianggap sebagai fase “Hudaibiyah”.

Sebuah fase yang mereka “nukil” dari perjalanan sejarah, yang Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah melakukan perjanjian dengan kaum musyrikin Quraisy yang kemudian
dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah. Pernyataan semacam itulah yang terucap dari
Kartosoewirjo saat ditangkap aparat. Kata Kartosoewirjo, “Tah ieu teh Hudaibiyah jang
urang mah (Inilah Hudaibiyah bagi kita).” Dengan kalimat ini, para pengikut DI/ TII
senantiasa terinspirasi untuk terus melanjutkan perjuangan menegakkan Negara Islam
Indonesia.

Pada 1976, mereka mulai menyusun aksi-aksi teror. Diharapkan aksi-aksi tersebut
memberi dampak nasional dan internasional. Gaos Taufik langsung membentuk tim untuk
mewujudkan rencana tersebut. Di antara aksinya, melakukan pembajakan pesawat,
peledakan-peledakan di berbagai tempat, perampasan senjata, fai’ yaitu melakukan
perampokan guna mendanai gerakan mereka (inilah ajaran fai’ yang menyalahi
diselewengkan). Aksi perampokan pertama yang mereka lakukan ialah di perkebunan karet di
Marbu Selatan, Sumatra Utara, Juni 1976. Selain itu, mereka pun menggarong di Batang
Sereh, Belawan. Aksi teror lainnya, mengebom Rumah Sakit Imanuel di Bukit Tinggi, Gereja
Methodis, dan Perguruan Budi Murni, Medan. Di Padang kelompok ini pun meledakkan
Masjid Nurul Iman, lalu melakukan pelemparan granat saat diselenggarakan Musabaqah

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 32


Tilawatil Qur’an (MTQ). Aksi teror berlanjut dengan meledakkan tempat hiburan Bioskop
Ria dan Bar Apolo di Medan. Setelah melakukan pengeboman Masjid Nurul Iman, mereka
membuat selebaran gelap atas nama Angkatan Muda Kristen Indonesia. Tujuannya,
memancing kerusuhan yang lebih dahsyat, konflik horinsontal dengan mengungkit sentimen
agama.

Dengan alasan membiayai operasional perjuangan, maka Tim Fai’ dimasukkan dalam
struktur organisasi sebagai pasukan khusus (pasus). Adah Djaelani pun memerintahkan
untuk melakukan penggalangan dana dengan sistem fai’ ini. Diperintahkan kepada anak
buahnya agar mengaktifkan para pelarian anggota DI dari Sumatra. Di antara nama yang
disebut adalah Warman, yang dijuluki Macan Haruman. Dalam pelarian, Warman ditunjuk
menjadi camat DI di Gunung Haruman. Dengan senjata apinya, ia dikenal kerap membunuh
aparat atau penduduk desa yang berkhianat. Pihak aparat menyebut aksi-aksi Warman dan
kawan-kawannya dengan istilah “Teror Warman”. Bukti keganasan Warman, ia beserta
anggota DI lainnya, yaitu Hasan Bauw, Abdullah Umar, dan Farid Ghazali melakukan
aksi pembunuhan terhadap Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr.
Parmanto, MA, pada 1979. Pembunuhan tersebut dilatari oleh pemaparan Sang Rektor
kepada aparat terkait dengan jaringan Darul Islam atau Jamaah Islamiyah.

Selain itu, Sang Rektor adalah orang yang paling bertanggung jawab atas penangkapan
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir oleh petugas keamanan. Setelah peristiwa ini,
aparat melakukan pengejaran. Akhirnya, terbongkarlah tempat persembunyian salah satu
pelaku yang bernama Farid Ghazali. Saat upaya penangkapan, Farid Ghazali mencoba lari
dari sergapan petugas. Namun, timah panas aparat lebih cepat dari ayunan kakinya. Farid pun
terbunuh. Selang dua hari, Warman mendatangi Hasan Bauw. Pemuda Papua ini dituduh
membocorkan persembunyian Farid Ghazali kepada petugas. Atas tuduhan ini, Hasan Bauw
harus merasakan balasan dari Warman. Peluru pun menembus tubuh anak muda ini. Dia jatuh
terkapar dan mati.

Aksi terbesar pasukan khusus ini adalah melakukan perampokan kantor dinas P & K
(Pendidikan dan Kebudayaan) di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Aksi perampokan
itu berhasil menuai uang sejumlah hampir 20 juta rupiah. Uang tersebut semula akan
dibayarkan untuk menggaji para guru. Ini terjadi pada Mei 1980. Setelah melakukan berbagai
aksi, Warman menjadi target buruan petugas. Saat bersembunyi di daerah Soreang,
Kabupaten Bandung, petugas melakukan penyergapan malam hari 23 Juli 1981. Saat itu ia
bersama istrinya. Saat petugas memerintahkan untuk menyerah, Warman malah mencoba lari.
Aparat pun dengan sigap memuntahkan peluru ke tubuh Warman. Laki-laki itu langsung
roboh dengan tubuh bersimbah darah. Pada tubuhnya bersarang banyak peluru.

Di tempat persembunyian, petugas menemukan uang, amunisi, jimat bertuliskan huruf


Arab, serta beberapa barang lainnya milik sang “Macan Haruman” yang telah tewas. Selain
aksi “Teror Warman”, pada 11 Maret 1981 dini hari terjadi penyerangan oleh 14 anggota
Komando Jihad terhadap empat polisi di Kosekta 65 Cicendo, Bandung. Keempat orang
anggota kepolisian tersebut dibantai hingga meninggal. Namun, tak selang berapa lama para
pelaku penyerangan tersebut berhasil ditangkap. Penangkapan terhadap para pelaku
penyerangan Kosekta 65 Cicendo, Bandung ternyata bukan akhir dari kisah teror Komando
Jihad. Buntut penangkapan membawa implikasi terjadinya pembajakan pesawat DC-9 Woyla
milik Garuda pada 28 Maret 1981. Pesawat ini rencananya melayani jalur penerbangan
Palembang-Medan. Di tengah perjalanan pesawat dibajak oleh sekawanan teroris. Di bawah
komandan Imran bin Muhammad Zein, yang sekaligus sebagai penggagas pembajakan, empat
orang pembajak lainnya mengarahkan pesawat menuju Kolombo.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 33


Namun, karena bahan bakar habis, pesawat terpaksa mendarat di Bandar Udara Don
Muang, Bangkok, Muang Thai (Thailand). Para pembajak menuntut pembebasan
teman-teman mereka yang ditahan dalam kasus Cicendo. Selain itu, mereka meminta tebusan
1,5 juta dolar dan disiapkan pesawat untuk menerbangkan mereka ke Timur Tengah. Jika
tuntutan tidak dipenuhi, pesawat akan diledakkan. Namun, rupanya pemerintah tak mau
kompromi dengan para pembajak. Hanya dalam tiga hari drama pembajakan tersebut
berakhir. Tanggal 31 Maret 1981, pemerintah langsung menurunkan pasukan antiteror dari
Kesatuan Parakomando Kopassandha (sekarang Kopassus, -red.). Pembajakan berakhir
dengan korban meninggal pilot pesawat tersebut dan seorang anggota Kopassandha.

Adapun para teroris berhasil ditembak mati, sedangkan Imran bin Muhammad Zein
berhasil ditangkap yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Selain aksi-aksi teror yang
dilakukan pasukan khusus, mereka pun melakukan perekrutan anggota baru. Di Medan, Gaos
Taufik berhasil merekrut para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), seperti Timsar Zubil dan
kawankawan. Di kemudian hari, Timsar Zubil divonis hukuman mati karena aksi-aksi teror
berupa peledakan Bioskop Ria dan Bar Apolo. Di Bandung berhasil direkrut tokoh-tokoh
Gerakan Pemuda Islam (GPI), seperti Aja Jarul dan Edi Raidin. Direkrut pula anggota
Pemuda Muhammadiyah, seperti Mursalin Dahlan, Udin Wahyudin, dan Hari Riyadi. Di Jawa
Tengah, Haji Ismail Pranoto (Hispran, pejuang pertama DI/TII bersama Kartosoewirjo)
merekrut Haji Faleh, mantan pengurus Partai Masyumi di Kudus; Abdullah Sungkar dan Abu
Bakar Ba’asyir, keduanya adalah pengasuh pesantren Al-Mukmin Ngruki, Grogol, Sukoharjo.
Seiring waktu, berbagai perekrutan lainnya dilakukan di berbagai daerah.

Kader-kader baru hasil perekrutan DI ini selanjutnya menjadi agen perekrutan massa.
Melalui BPMI (Badan Pembangunan Muslimin Indonesia), Mursalin Dahlan melakukan
program pesantren kilat, yaitu kegiatan pelatihan agama dalam waktu singkat yang
menumbuhkan ghirah (semangat) berislam. Melalui BPMI ini pula, salah satu kadernya yang
pindah ke Malang, berhasil merekrut Muhammad Achwan yang kelak menjadi orang penting
di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Muhammad Achwan lantas ditunjuk sebagai ketua
BPMI Cabang Malang. Pada tahun 1982, Mursalin Dahlan melakukan konsolidasi dengan
tokohtokoh pesantren kilat di Bandung. Hasil konsolidasi tersebut disepakati bahwa seluruh
jaringan BPMI serta pesantren kilat di Jawa Barat dan Jawa Timur akan diwadahi dalam
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pesantren Kilat (LP3K). LP3K beserta kelompok
Husein al-Habsyi menjalin kerja sama. Kongsi mereka diwadahi dalam sebuah organisasi
bernama Ikhwanul Muslimin. Program IM ala Indonesia ini, selain melakukan kaderisasi
melalui pesantren kilat, juga bermaksud mengobarkan revolusi di Indonesia. Mereka pun
membuat struktur kepengurusan. Sebenarnya struktur tersebut adalah model yang digagas
oleh Ir. Sanusi (salah satu anggota kelompok Petisi 50 yang diprakarsai oleh mantan
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

Kelompok Petisi 50 adalah kelompok penentang pemerintahan Soeharto. Ir. Sanusi


adalah orang yang didakwa terlibat pengeboman BCA (Bank Central Asia) di kawasan bisnis
Cina di Jakarta, awal Oktober 1984. Ir. Sanusi dituduh sebagai orang yang mendanai
pengeboman tersebut yang pelaksanaannya melibatkan aktivis GPK (Gerakan Pemuda
Kabah). Aksi pengeboman ini terjadi selang beberapa pekan setelah peristiwa Tragedi
Tanjungpriok yang banyak menelan korban dari kalangan kaum muslimin. Menjelang Natal
1984, bom-bom rakitan telah disiapkan oleh Ibrahim Jawad, Husein al-Habsyi, Achmad
Muladawillah, dan Abdul Kadir al-Habsyi. Mereka akan melakukan aksi pada 24
Desembar 1984, sehari jelang Natal.

“Pesta Natal” dilakukan jelang tengah malam dengan meledakkan kompleks Seminari
Al-Kitab Asia Tenggara, Kompleks Gereja Kepasturan Katolik, Malang. Aksi teror ini

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 34


mengakibatkan penangkapan terhadap Muhammad Achwan dan rekannya, Murjoko.
Walaupun terjadi penangkapan terhadap aktivis LP3K, namun tak menyurutkan al-Habsyi dan
Ibrahim Jawad yang pernah belajar di Iran ini untuk melakukan aksi teror berikutnya. Mereka
merencanakan peledakan Candi Borobudur pada Januari 1985. Pada malam hari, Ibrahim
Jawad, Achmad Muladawillah, dan Abdulkadir al-Habsyi masuk ke Candi Borobudur.
Mereka membawa 14 bom. Setelah dilakukan pengetesan, hanya 13 bom saja yang diletakkan
di Candi Borobudur. Setelah dinihari, bom-bom tersebut meledak. Dari 13 bom yang
ditempatkan hanya sembilan yang meledak. Bom-bom itu menghancurkan sembilan stupa
beserta arca di dalamnya. Itulah aksi teror dengan kata sandi “camping”.

Setelah sukses melaksanakan camping, mereka merencanakan “Belajar Bahasa Arab”,


sebuah kata sandi untuk melakukan pengeboman di Bali. Mengapa Bali dijadikan sasaran?
Alasannya, Bali adalah tempat maksiat. Berangkatlah Abdulkadir al-Habsyi, Abdul Hakim,
Hamzah alias Supriyono, dan Imam alias Gozali Hasan menuju Bali. Namun, sebelum
mereka tiba di Bali, bom-bom rakitan yang mereka bawa meledak terlebih dulu. Ledakan
terjadi saat Bus Pemudi Express jurusan Malang— Bali yang mereka tumpangi berada di
Kampung Curah Puser, Desa Sumber Kencono, Banyuwangi. Bus itu pun luluh lantak.
Ledakan itu menewaskan tujuh penumpang termasuk Abdul Hakim, Hamzah alias Supriyono
dan Imam alias Gozali Hasan. Abdul Kadir al-Habsyi hanya cedera di telinga dan berhasil
melarikan diri. Anwar Warsidi, ketua pesantren di Way Jepara, Lampung, menampung para
anggota DI wilayah Jakarta dan Solo untuk membangun masyarakat Islam baru. Akibat ulah
para anggota DI, mereka diserang oleh TNI di bawah pimpinan Danrem 043/Garuda Hitam,
Kol. Hendropriyono, yang kelak menjadi Kepala Badan Intelijen Negara. Peristiwa ini terjadi
pada 6—7 Pebruari 1989, yang dikenal sebagai peristiwa GPK (Gerakan Pengacau
Keamanan) Warsidi. Di Solo, aparat keamanan tak kalah ketat dalam mengawasi para aktivis
DI. Abdullah Sungkar termasuk yang senantiasa dimata-matai oleh intelijen dalam setiap
ceramahnya. Dia termasuk penentang pemerintah Soeharto yang menerapkan asas tunggal
Pancasila. Akibat ceramah-ceramahnya yang menyerang tajam pemerintah, akhirnya
Abdullah Sungkar dan rekannya, Abu Bakar Ba’asyir menjadi buron. Pihak keamanan
berupaya menangkap keduanya.

Namun, keduanya berhasil lari ke Jakarta. Dari Jakarta, Abdullah Sungkar dan Abu
Bakar Ba’asyir merencanakan pelarian ke Malaysia melalui Medan. Pada hari yang
ditentukan, mereka berdua disertai Adung dan seorang murid lainnya, menuju ke Tanjung
Balai, Asahan. Dari sanalah mereka menyeberang menuju negara tetangga, Malaysia. Singkat
kisah, dari Malaysia keduanya berusaha ke Saudi Arabia. Keinginan itu terlaksana. Dari Saudi
Arabia, mereka ke Pakistan dan bertemu dengan Abdur Robbi Rasul Sayyaf. Pembicaraan
keduanya dengan Abdur Robbi Rasul Sayyaf menjajaki kemungkinan pengiriman kader-kader
DI dari Indonesia untuk pelatihan militer di Afghanistan.

Pada tahun 1985, Jamaah Darul Islam mulai mengirim para kader-kadernya ke
Afghanistan. Para kader itu ikut pelatihan militer yang diselenggarakan oleh al-Ittihad
al-Islamy. Di antara para kader tersebut adalah Ali Ghufron alias Muklas, Enceng
Nurjaman alias Hanbali, Fathurohman al-Ghozi, Ainul Bahri alias Abu Dujana, Abdul
Aziz alias Qudama alias Imam Samudra, dan lain-lain. Mereka dididik dalam urusan
persenjataan, bahan peledak, dan lain-lainnya. Pada April 1999, kelompok AMIN (Angkatan
Mujahidin Islam Nusantara) yang di antaranya tokohnya adalah Arif Fadhillah alias Abu
Dzar, yang meninggal di Sirisori pada 2000 dalam konflik Ambon, yang anggotanya
merupakan rekrutmen mantan preman Tanjung priok dan Tanah abang, Jakarta. Mereka
bertanggung jawab atas perampokan BCA dan peledakan yang hampir bersamaan di depan
Hayam Wuruk Plaza. Demikian juga pengeboman Masjid Istiqlal, Jakarta, yang terjadi empat
hari setelah peristiwa perampokan dan peledakan di atas. Kompi AMIN terlibat pula dalam

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 35


pembacokan terhadap Matori Abdul Jalil yang ketika itu menjabat Ketua Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), pada 5 Maret 2000.

Berikut aksi-aksi pengeboman yang terjadi di Indonesia, dengan pelaku tak semata
anggota Jamaah Islamiyah (JI). Ahad, 28 Mei 2000, satu bom meledak di gereja GKPI Jl.
Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan. Sebanyak 20 jemaat terluka. Beberapa jam kemudian
aparat berhasil menjinakkan bom di gereja HKBP Jl. Imam Bonjol dan gereja Kristus Raja Jl.
MT. Haryono, Medan. Agustus 2000 terjadi penyerangan terhadap gereja GKII di Jalan
Bunga Kenanga, Padang Bulan, Medan. Setelah itu bom natal 2000 pun berhamburan
meledak. Pada 24 Desember 2000 aksi bom natal serentak di delapan kota di Tanah Air. Di
Bandung, bom meledak saat dirakit. Peristiwa ini menewaskan Jabir sebagai komandan
lapangan dan wakilnya, Akim Akimudin.

Masih pada tahun 2000, Kedutaan Besar Filipina untuk Indonesia pun dibom. Diiringi
pula ledakan bom di Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan bom di Bursa Efek
Jakarta mengakibatkan 15 orang tewas, ditengarai pelakunya dari GAM (Gerakan Aceh
Merdeka). Aksi fai’ terjadi pada akhir Agustus 2002. Imam Samudra dan kawan-kawan
berhasil merampok toko emas “Elita” di Serang, Banten, dalam rangka mendanai Bom Bali I.
Rentetan lain aksi terorisme yang menodai Bumi Nyiur Melambai adalah Bom Bali I, Oktober
2002. Disusul kemudian Bom Kedutaan Australia pada 2004, yang tokoh utama dan pertama
ditangkap adalah Agus Ahmad Hidayat, meskipun otak pelaku pengeboman adalah Dr.
Azahari dan Noordin M. Top.

Pada Maret 2004, terjadi penangkapan terhadap Aman Abdurrahman alias Oman
Rochman, salah seorang dai Yayasan Al-Sofwa Jakarta, pelaku peledakan bom di
Cimanggis. Pada 15 Oktober 2004 bom meledak di Cicurug, Sukabumi. Pelakunya adalah
Jabir alias Gempur alias Nanang. Selain itu, Bom Bali II pada 2005 serta bom Hotel JW
Marriot dan Hotel Ritz Carlton pada 2009, penyerangan sekawanan teroris terhadap Mapolsek
Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatra Utara pada September 2010. Juga terjadi bom
bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra, Kantor Mapolres Cirebon Kota pada 15 April 2011.
Disusul oleh peristiwa bom bunuh diri lagi di GBIS Kepunton, Solo pada Ahad, 25
September 2011. Terkait aksi pengeboman yang dilakukan para teroris, di antara pelaku
pengeboman tersebut adalah orang-orang baru. Ini menandakan bahwa pasca-Bom Bali I,
perekrutan terhadap anggota jamaah baru terus berlangsung.

Di sinilah bukti kuat bahwa terorisme di Indonesia, bahkan dunia, adalah gerakan yang
bersifat laten. Sel-sel organisasi mereka masih aktif dan tersebar di berbagai tempat. Karena
itu, bahaya laten terorisme masih tetap ada. Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan:

• Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900—1942, Deliar Noer, LP3ES, 1996.


• Tinjauan Sejarah & Islam Teror NII, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2011.
• NII Sampai JI Salafy Jihadisme Di Indonesia, Solahudin, Komunitas Bambu, 2011.
• Arsip pribadi Abu Mujahid, tidak diterbitkan.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 36


Tanya Jawab Ringkas

Hakikat Ikhlas

Bismillah. Apakah Allah Subhanahu wata’ala menciptakan manusia juga atas dasar
keikhlasan? Firman Allah Subhanahu wata’ala, “Allah tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk menyembah-Ku”; apa sebenarnya ikhlas itu sendiri? Benarkah ada keikhlasan
yang hakiki di dunia ini? 081936XXXXXX

Penciptaan manusia dan jin adalah nikmat bagi mereka, bertujuan agar mereka
menyembah Allah Subhanahu wata’ala denganpenuh keikhlasan, yaitu ketulusan hanya
untuk-Nya tanpa menyekutukan-Nya. Hal itu sebagai wujud kesyukuran kepada-Nya atas
seluruh nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala berikan. Lantas Allah Subhanahu wata’ala
akan membalas dengan nikmat yang lebih besar lagi, yaitu kenikmatan yang sempurna dalam
jannah (surga) yangkekal abadi. Beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dibangun di
atas harapan mendapat surga dan takut neraka. Itulah keikhlasan yang hakiki. Demikianlah
yang diajarkan Allah Subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya. Jadi, itu semua demi maslahat
hamba itu sendiri. Adapun Allah Subhanahu wata’ala, Dia Mahakaya dan tidak butuh kepada
siapa pun dan apa pun, Mahasuci Dia Pemilik kerajaan langit dan bumi.al-Ustadz Muhammad
as-Sarbini

Suami Lebih Berhak Terhadap Istri

Bismillah. Saya seorang suami yang ditinggal istri pulang ke rumah keluarga istri
selama lebih dari sebulan. Saya tidaksetuju, tetapi istri tetap tinggal di sana. Adakah
ayat/hadits yang menguatkan bahwa saya lebih berhak atas istri daripada mertua saya? Jika
saya tidak menafkahi istri selama tiga bulan dengan tujuan memberi pelajaran istri, apakah
jatuh talak? 081384XXXXXX

1. Istri Anda telah melakukan nusyuz (kedurhakaan) dengan hal itu, dia wajib bertobat
dan kembali ke rumah Anda untuk menunaikan kewajiban selaku istri.

2. Terdapat hadits-hadits sahih yang menunjukkan bahwa hak suami atas seorang istri
lebih kuat daripada hak orang tuanya.

3. Boleh memberinya pelajaran dengan memutus nafkahnya selama ia masih berbuat


nusyuz sampai ia bertobat. Namun, talak tidak jatuh dengan sekadar memutus nafkah karena
nusyuznya, selama tidak menjatuhkan talak kepada istri dengan ucapan atau tulisan. al-Ustadz
Muhammad as-Sarbini

Pakai Behel untuk Merapikan Gigi

Bismillah. Bolehkah memakai behel untuk merapikan gigi dan menyenangkan calon
istri insya Allah nantinya? 085758XXXXXX

Jika memang gigi Anda tidak rapi dan tampak jelek, tidak mengapa memakai behel
(kawat gigi) untuk merapikannya. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Berwudhu di Kamar Mandi

Bismillah. Bolehkah berwudhu langsung di bak mandi dan bagaimana jika bak
mandinya ada kotoran cecak atau di dalam bak mandi ada ikannya? 085334XXXXXX
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 37
1. Tidak mengapa berwudhulangsung dari bak mandi.

2. Air bak mandi yang kejatuhan tahi cecak tidak menjadi najis karenanya, tetap suci
lagi menyucikan. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Nazar

Jika ada yang bernazar sesuatu kepada kita, apakah kita wajib mengingatkan meskipun
sudah sangat lama berlalu? 085229XXXXX

Sepertinya itu bukan nazar, melainkan janji. Hukumnya diperselisihkan; ada yang
berpendapat wajib ditunaikan, ada yang berpendapat sunnah (tidak wajib). Berdasarkan
pendapat pertama, wajib mengingatkannya agar ia menunaikan kewajibannya. Berdasarkan
pendapat kedua, tidak wajib mengingatkannya. Adapun nazar adalah mengikat janji kepada
Allah Subhanahu wata’ala dengan mewajibkan sesuatu atas diri. al-Ustadz Muhammad
as-Sarbini

Potong Kuku/Rambut Saat Junub

Bolehkah melakukan sunnah fitrah (potong kuku atau rambut) saat junub? Setelah itu,
potongannya apakah harus dicuci? 085879XXXXXX

Tidak ada dalil yang melarang melakukan sunnah fitrah saat junub dan saat haid/nifas.
Hal itu boleh. Potongan kukunya tidak perlu dicuci. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Haid Putus-Putus

Saya mengalami haid terputus-putus lebih dari 24 jam, bolehkah saya melayani suami
saya saat itu? 083898XXXXXX

Ya, jika haid terputus dalam jangka waktu lebih dari 24 jam, berarti Anda suci setelah
melewati 24 jam tersebut. Jadi, tunggu sampai melewati 24 jam, setelah itu Anda dianggap
suci menurut pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu ‘Utsaimin. Artinya, boleh
digauli suami pada saat suci tersebut setelah mandi suci. Wallahu a’lam. al-Ustadz
Muhammad as-Sarbini

Menggauli Istri Saat Haid

Bolehkah suami menggauli istri saat haid tanpa dukhul di area farj? 083898XXXXXX

Boleh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga melakukannya terhadap istrinya


yang haid, tanpa melakukan senggama. Anda wajib melayani suami sebatas itu. al-Ustadz
Muhammad as-Sarbini

Penghasilan 10 Juta/Bulan, Sudah Wajib Zakat?

Seorang pedagang yang berpenghasilan mencapai 10 juta/ bulan (laba bersih), apakah
terkena wajib zakat baginya? 085229XXXXXX

Ya, ia terkena zakat uang jika uang tersebut tersimpan sampai setahun (menurut
hitungan tahun Hijriyah) tanpa berkurang dari nishab (harga 595 gr perak). Zakatnya sebesar

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 38


1/40 (2,5 %). Adapun zakat profesi (penghasilan), tidak disyariatkan. Zakat perdagangan juga
tidak disyariatkan menurut pendapat yang rajih (kuat). Wallahu a’lam. al-Ustadz Muhammad
as-Sarbini

Operasi Caesar

Ketika seorang wanita merasakan akan melahirkan, bolehkah dioperasi caesar? Apa
manfaat dan bahayanya? 08179XXXXXX

Sebaiknya jangan menempuh operasi caesar kecuali dalam keadaan terpaksa menurut
bimbingan dokter ahli kandungan, karena hal itu berefek negatif. Lebih jelasnya,
konsultasikan kepada dokter ahli kandungan atau baca artikel yang mengulas masalah ini.
al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Ayah Meninggal, Punya Utang Puasa

Bolehkah ahli waris mengganti puasa Ramadhan ayahnya yang sakit pada bulan
Ramadhan dan meninggal pada bulan Muharam? Fidyah atau puasa? 081359XXXXXX

Jika selepas Ramadhan ayah Anda sempat sembuh dalam jangka waktu yang cukup
untuk mengqadhanya tetapi belum diqadha sampai meninggal, disyariatkan ahli warisnya
mengqadhakannya atau menfidyahkannya dari harta peninggalannya. Adapun jika tidak
sempat sehat lalu meninggal, tidak disyariatkan mengqadhakan atau menfidyahkannya
menurut pendapat yang rajih (kuat). Lihat buku Fikih Puasa Lengkap. al-Ustadz
Muhammad as-Sarbini

Penghitungan Zakat Pertanian

1. Bagaimana penghitungan zakat hasil pertanian (beras), karena untuk biaya


pengolahan cukup tinggi. Apakah hasil dari pertanian itu dikurangi beban biaya baru dihitung
nishabnya? Misal, hasil gabah 2 ton, biaya pengolahan 6 kuintal bila dinilai dengan hasil
gabah. Apakah 2 ton itu langsung diambil sepersepuluh atau 2 ton dikurangi biaya, kemudian
diambil sepersepuluhnya?

2. Berhubung orang yang akan mengeluarkan zakat tersebut adalah orang yang
berutang, bolehkah zakat tersebut untuk melunasi utangnya? 085229XXXXXX

1. Tidak, zakat hasil pertanian yang terkena zakat—seperti beras menurut sebagian
ulama—tidak dikurangi biaya pengolahannya. Biaya pengolahan dan panen sampai bersih
adalah tanggung jawab pemiliknya. Namun, jika pengolahannya membutuhkan pengairan
dengan bantuan alat dengan beban biaya yang besar, zakatnya hanya 1/20 dari hasil panen (5
%-nya), bukan 1/10 (10 %). Apabila tadah hujan dan semisalnya yang bebas biaya/berbiaya
kecil, zakatnya 1/10 (10 %).

2. Zakat itu harus diberikan kepada yang berhak, tidak boleh untuk membayar utang
sendiri. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Istri Minta Cerai, Diiyakan

Bismillah. Jika istri hamil sedang marah dan mengajak cerai suami kemudian suami
mengiyakan, apakah jatuh talak? Apakah jika suami mengajak jima’ sudah termasuk rujuk?
08996XXXXXX

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 39


Jika mengiyakan dengan mengatakan, “Ya,” ini termasuk kalimat kinayah (kiasan) yang
memiliki dua kemungkinan: diniatkan talak, berarti telah jatuh talak; jika tidak diniatkan
talak, tetapi sekadar untuk menenangkan saja atau mendustainya, tidak jatuh talak ini menurut
pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’.

Rujuk tidak terjadi dengan jima’ semata—bahkan hal itu haram—tanpa disertai niat
rujuk, menurut pendapat yang rajih. Adapun jima’ dengan disertai niat rujuk, sah sebagai
rujuk. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Cadar & Sarung Tangan bagi Wanita

Bismillah. Bolehkah wanita memakai cadar yang dijahit khusus untuk cadar, bukan
cadar yang berbentuk kerudung dan juga tidak memakai sarung tangan? 085293XXXXXX

Boleh, yang penting wajah tertutup dengan cadar dan kedua telapak tangan tertutup
dengan jilbab (kerudung besar). al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Ingin Segera Menikah

Usia saya sudah beranjak 36 tahun, sedangkan saya ingin menikah. Namun, saya masih
ragu karena hanya memiliki pemahaman agama yang sedikit, sedangkan menikah perlu ilmu
dan pekerjaan. Sampai sekarang saya berusaha untuk bersabar dengan berpuasa. Mohon
nasihatnya, jazakumullahu khairan. 082192XXXXXX

Jika begitu, bertawakallah kepada Allah Subhanahu wata’ala dan segeralah menikah
sambil terus membenahi diri sampai ajal menjemput. Semoga Allah Subhanahu wata’ala
menolong dan memudahkan Anda. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Menyalati Ahli Bid’ah

Apakah hukum menyalati jenazah orang ahli bid’ah? 085729XXXXXX

Yang penting tetap ada yang menyalati. Apabila dia awam bukan pelopor bid’ah,
tampaknya menyalati lebih bagus. Akan tetapi, jika dia adalah pelopor bid’ah, lebih baik tidak
ikut menyalati, biar orang lain saja. al-Ustadz Qomar Suaidi

Waktu Shalat Zuhur Hari Jumat bagi Wanita

Kapan waktu shalat zuhur pada hari Jumat bagi wanita, bolehkah secara bersamaan
ataukah harus menunggu shalat Jumat selesai? 085796XXXXXX

Shalat zuhur untuk wanita padahari Jumat yang penting telah masuk waktu shalat.
al-Ustadz Qomar Suaidi

Jadwal Waktu Shalat Terlalu Cepat?

Bismillah. Saya aktivis masjid yang bertugas mengumandangkan adzan. Salah seorang
pembaca majalah Asy-Syariah menyarankan untuk azan menyelisihi 20 menit dari jadwal
shalat abadi. Lalu mengapa saat puasa sunnah dan puasa Ramadhan orang itu turut berbuka
puasa bersama orang awam sesuai jadwal? Abdullah-Klaten

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 40


Pembaca Asy-Syariah tidak mewakili kami, redaksi dan pengelola Asy-Syariah. Kami
meyakini bahwa memakai jadwal shalat diperbolehkan asal cocok dan bisa dipercaya.
al-Ustadz Qomar Suaidi

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 41


Tafsir “Hukuman Bagi Para Penyamun”
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal al-Bugisi

ْ‫ا َأو‬jYُ _sv


َ Zُ ْ‫ا َأو‬jُ_›s Œَ Zُ ‫دًا أَن‬Wَ€lَ ‫ض‬ ِ ْ‫ َˆر‬bْ ‫ ا‬zِl ‫ن‬ َ ْjRَ € ْ Zَ ‫ ُ“ َو‬bَjُU‫_ َ“ َو َر‬sb‫ن ا‬
َ jُf‫ ِر‬Wَ|Zُ r
َ Zِƒbs‫َا ُء ا‬ª· َ Wَmys ‫ِإ‬
zِl ْpqُ bَ‫ ۖ َو‬WَTyْ e¦ b‫ ا‬zِl ٌ‫ْي‬ª¢ ِ ْpqُ bَ Èَ bَِٰ‫ض ۚ ذ‬ِ ْ‫ َˆر‬bْ ‫ ا‬rَ tِ ‫ْا‬j‰َ ُZ ْ‫ف َأو‬ٍ Wَ_¢ ِ ْrt„ pُq_ُ· ُ ْ‫ْ َوَأر‬pqِ ZِeZْ ‫ َ’ َأ‬k
s Œَ ُ
ٌ‫ر‬jُ‰]
َ “َ _sb‫ن ا‬ s ‫ا َأ‬jُm_َŠ ْ Wَl ۖ ْpqِ Tْ _َŠ
َ ‫رُوا‬eِ Œْ َ ‫© أَن‬
ِ Yْ …َ rِt ‫ا‬jُfWَ r َ Zِƒbs‫ ا‬Wsb‫( ِإ‬33) ٌpTِ¾Š َ ٌ‫Šƒَاب‬ َ ‫ َ\ ِة‬¢ ِ °ْb‫ا‬
ٌpTِ¨‫ر‬s
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang dari negeri (tempat
tinggalnya). Hal itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu
dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (al-Maidah: 33—34)

Sababun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Diriwayatkan dari Qatadah rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa
ada sekelompok orang yang berasal dari kabilah Ukl dan Urainah mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kami adalah para penggembala,
bukan petani, dan kami merasa berat dengan kondisi cuaca kota Madinah.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan mereka mendatangi


sekelompok unta agar meminum air kencing dan susunya. Namun, mereka justru membunuh
penggembala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut dan membawa lari
unta-untanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus pasukan untuk mencari jejak
mereka. Mereka pun ditangkap dan dibawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, serta mata mereka disayat
dengan besi panas. Selain itu, mereka juga dibiarkan di bawah terik matahari hingga tewas
dalam keadaan demikian.

Qatadah rahimahullah berkata, “Telah sampai kepada kami berita bahwa ayat ini
turunberkenaan tentang mereka.” (HR. al- Bukhari no. 3956, tanpa tambahan ucapan Qatadah
tentang sebab turunnya ayat, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa hlm. 846, Sunan Kubra an-Nasa’i
8/282, dan lainnya)

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ahli tafsir berbeda pendapat tentang sebab


turunnya ayat ini. Adapun jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan kabilah Urainah.” (Tafsir al-Qurthubi, 7/431)

Al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan ashab ar-ra’yi berkata, “Ayat ini turun
berkenaan dengan orang yang memberontak dari kalangan kaum muslimin, membajak, dan
melakukan pengrusakan di muka bumi.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Pendapat
al-Imam Malik adalah pendapat yang benar.” Abu Tsaur rahimahullah menjadikan ayat
setelahnya sebagai hujah bahwa ayat ini tidak diturunkan untuk kaum musyrikin, yaitu,

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 42


ٌpTِ¨‫ر‬s ٌ‫ر‬jُ‰]
َ “َ _sb‫ن ا‬
s ‫ا َأ‬jُm_َŠ
ْ Wَl ۖ ْpqِ Tْ _َŠ
َ ‫رُوا‬eِ Œْ َ ‫© أَن‬
ِ Yْ …َ rِt ‫ا‬jُfWَ r
َ Zِƒbs‫ ا‬Wsb‫ِإ‬
“Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (al-Maidah: 34)

“Para ulama bersepakat bahwa jika kaum musyrikin ditemukan dalam keadaan mereka
sudah masuk Islam, darah mereka haram untuk ditumpahkan. Hal ini menunjukkan bahwa
ayat di atas turun berkenaan dengan kaum muslimin.” (Tafsir al-Qurthubi, 7/433)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yang benar, hukum ayat ini mencakup kaum
musyrikin dan yang lainnya. Jadi, meliputi siapa saja yang melakukan apa yang terkandung
pada ayat tersebut, tidak dikhususkan pada sebab turunnya ayat. Yang menjadi sandaran
adalah keumuman lafadznya.” (Fathul Qadir, 2/50)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

‫ا‬jُ_›s Œَ Zُ ‫أَن‬
Asalnya dari kata “qatala” yang berarti membunuh, namun disebutkan dalam wazan
“taf’iil” ) ٌ©TِR‰ْ َ ( untuk menjelaskan bahwa hukum membunuh di sini lebih dari sekadar
hukum qishash yang menjadi hak syariat yang tidak bisa digugurkan meskipun keluarga yang
dibunuh memaafkannya. (Ruh al-Ma’ani, al-Alusi 6/119)

‫ا‬jُY_sv
َ Zُ ْ‫َأو‬
Disalib, maksudnya adalah pelaku kejahatan tersebut diikat pada sebuah kayu/tiang.
(at-Tafsir al-Muyassar)

‫ض‬
ِ ْ‫ َˆر‬bْ ‫ ا‬r
َ tِ ‫ْا‬j‰َ ُZ ْ‫َأو‬
Diasingkan dari muka bumi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa maknanya ia
dikejar sampai tertangkap lalu ditegakkan hukum had atasnya, atau dia melarikan diri
meninggalkan negeri Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Said
bin Jubair, dan yang lainnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah
dipenjarakan, sehingga ia diasingkan dari dunia bebas ke dalam dunia yang sempit. Pendapat
ini dikuatkan oleh Abu Hanifah Rahimahullah dan ulama Kufah. Asy-Syinqithi rahimahullah
berkata, “Tidak tersamarkan, ini bukanlah zahir ayat.”

Ada pula yang berpendapat bahwa ia diasingkan ke negeri lain dan dipenjara di sana,
seperti halnya pelaku zina. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Imam Malik, Ibnu Jarir
ath-Thabari, dan asy- Syinqithi rahimahumullah. (Adhwaul Bayan, 2/62)

Makna Memerangi Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan siapa yang dimaksud
orang yang memerangi Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Said bin Musayyib, Mujahid, Atha’, Hasan
al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i, ad-Dhahhak, dan Abu Tsaur rahimahumullah berkata, “Siapa
yang menghunuskan pedangnya di dalam wilayah Islam, menciptakan rasa takut dijalan-jalan
umum, lalu ia berhasil dibekuk, imam kaum muslimin boleh memilih: jika mau, ia boleh
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 43
membunuhnya, atau menyalibnya, atau memotong tangan dan kakinya.”

Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang melakukan
tindakan kezaliman terhadap manusia, baik di kota maupun di daerah yang lain, serta
melampaui batas dengan menumpahkan darah dan merampas harta manusia bukan karena
permusuhan, balas dendam, atau kebencian sebelumnya.”

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Diperselisihkan riwayat dari al-Imam Malik


rahimahullah dalam masalah ini, terkadang beliau menyebutkan di dalam kota, terkadang
tidak.” Sebagian ulama berkata, “Jika hal itu dilakukan di dalam kota, atau di rumahrumah,
atau di jalan-jalan, atau di daerah pedalaman dan kampung, hukumnya sama, dan hukum had
terhadap mereka pun sama. Ini adalah pendapat asy- Syafi’i dan Abu Tsaur rahimahumallah.”
Ada sebagian yang berpendapat, tidak dianggap muharib (memerangi Allah Subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya) jika ia melakukannya tidak di dalam kota, namun di luar kota.
Pendapat ini dikuatkan oleh Sufyan ats-Tsauri, Ishaq, dan Nu’man rahimahumullah.

Namun, pendapat ini dikritik oleh Ibnul Mundzir rahimahullah. Ia menguatkan pendapat
yang tidak membedakan antara dalam kota dan luar kota. Ia berkata, “Sebab, setiap mereka
berhak dikatakan sebagai muharib, dan ayat ini bersifat umum. Tidak boleh mengeluarkan
satu kaum dari keumuman ayat tersebut tanpa hujah.” (Lihat Tafsir al-Qurthubi 7/435—436,
Tafsir Ibnu Katsir 5/193)

Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan makna muharib yang dimaksud ayat ini,


“Ketahuilah bahwa (muharib) mencakup setiap orang yang melakukan hal tersebut, baik dia
muslim maupun kafir, di dalam kota maupun bukan, sedikit jumlahnya maupun banyak, dan
dalam perkara yang besar maupun kecil. Hukum Allah Subhanahu wata’ala dalam hal ini
adalah yang disebutkan di dalam ayat, yaitu dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki secarabersilang, atau diasingkan ke negeri lain dan dipenjara di sana.

Namun, hukum ini tidaklah diterapkan kepada setiap orang yang melakukan dosa.
Hukum ini diterapkan bagi orang yang dosanya melampaui batas, dengan merampas jiwa dan
harta manusia. Berbeda halnya dengan perbuatan yang telah ditetapkan hukumnya oleh selain
ayat ini yang disebutkan dalam kitab Allah Subhanahu wata’ala atau sunnah Rasul-Nya,
seperti membunuh dan perbuatan yang terdapat hukum qishash padanya. Sebab, kita
mengetahui bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ada yang terjatuh dalam
perbuatan dosa dan kemaksiatan tertentu, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak menerapkan hukum seperti yang disebut dalam ayat di atas.” (Fathul Qadir 2/50. Lihat
pula Tafsir Ibnu Katsir 5/185)

Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Orang yang melakukan pembunuhan senyap


termasuk muharib, yaitu orang yang bersiasat untuk membunuh seseorang guna mengambil
hartanya, meskipun ia tidak menghunuskan pedangnya. Misalnya, ia masuk ke dalam
rumahnya, atau menemaninya dalam safar lalu meracuni makanannya hingga membunuhnya.
Ia dibunuh dengan cara had, bukan qishash.” (Tafsir al-Qurthubi 7/436)

Hukuman bagi Muharib

Terjadi pula perbedaan pendapat dalam hal cara menetapkan hukuman atas seorang
muharib. Tidak ada satu pun hadits sahih yang menjelaskanrincian hukuman atas seorang
muharib. Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan setelah menyebutkan perselisihan ulama
yang menyebutkan rincian hukuman atas seorang muharib, “Saya tidak mengetahui satu dalil
pun yang merinci masalah ini, tidak dari kitabullah dan tidak pula dari sunnah Rasul-Nya

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 44


Shallallahu ‘alaihi wasallam, selain apa yang diriwayatkan Ibnu Jarir Rahimahullah dalam
Tafsirnya yang ia bersendiri meriwayatkannya. Ia berkata, ‘Ali bin Sahl memberitakan kepada
kami, ia berkata: al-Walid bin Muslim telah memberitakan kepada kami, dari Yazid bin Abi
Habib, bahwa Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepada Anas bin Malik dan bertanya
tentang ayat ini.

Anas membalasnya dan menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan tentang
sekelompok orang yang berasal dari kabilah Urainah dari suku Bujailah. Anas berkata bahwa
mereka murtad dari Islam, membunuh penggembala lalu merampas unta-untanya, dan
membuat teror-teror di jalan-jalan serta melakukan tindak pemerkosaan. Anas mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Jibril tentang cara
menegakkan hukuman atas mereka. Jibril menjawab, ‘Siapa yang mencuri dan membuat teror
di jalan, potong tangannya karena mencuri dan potong kakinya karena membuat teror. Siapa
yang membunuh, bunuhlah ia. Siapa yang membunuh dan membuat teror di jalan dan
menghalalkan kemaluan yang diharamkan, saliblah ia.’ Riwayat ini mengandung makna yang
sangat mungkar, selain juga tidak diketahui tentang keabsahannya.” (Fathul Qadir 2/52)

Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Seandainya riwayat di atas sahih, tentu akan


menyelesaikan perselisihan yang ada. Namun, dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah. Telah
diketahui bahwa hafalannya rusak setelah kitab-kitabnya terbakar, ia tidak bisa dijadikan
sebagai hujah.” (Adhwaul Bayan 2/61)

Penjelasan terbaik tentang hal ini ada dua pendapat

1. Pendapat yang mengatakan, “Ditegakkan atasnya hukuman yang sesuai dengan


kejahatan yang ia lakukan. Siapa yang membuat teror di jalanjalan dan merampas harta, ia
dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Jika merampas harta dan membunuh, dia
dipotong tangan dan kakinya lalu disalib. Jika membunuh tanpa merampas harta, ia dibunuh.
Jika tidak mengambil harta dan tidak membunuh, ia diasingkan dan tidak diberi kebebasan
untuk tinggal di sebuah negeri hingga tampak tobatnya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas c,
dan diriwayatkan pula dari Abu Mijlaz, an-Nakha’i, Atha’ al-Khurasani, dan yang lainnya
rahimahumullah. (Tafsir al-Qurthubi 7/436, Taisir al-Karim ar-Rahman al-Allamah as-Sa’di
hlm. 230)

2. Penguasa boleh memilih hukuman tersebut, berdasarkan zahir ayat ini. Pendapat ini
dikuatkan oleh Abu Tsaur dan al-Imam Malik, juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Said bin
Musayyib, Umar bin Abdul Aziz, Mujahid, adh-Dhahhak, dan an-Nakha’i. Seluruhnya
mengatakan bahwa seorang imam diberi pilihan untuk menetapkan hukuman yang diterapkan
atas muharib, dengan hukuman apa saja yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan atasnya,
apakah dengan dibunuh, disalib, dipotong anggota tubuhnya, atau diasingkan. Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jika disebut dalam al-Qur’an kata ‘atau’, ia berhak memilih.”

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Pendapat ini lebih sesuai dengan zahir ayat.”
Pendapat ini juga dikuatkan oleh asy-Syinqithi rahimahullah dalam Adhwaul Bayan. (Tafsir
al-Qurthubi, 7/437, Taisir al-Karim ar-Rahman hlm. 230, Adhwaul Bayan 2/60)

Apakah Ayat ini Mansukh?

Ada sebagian ulama yang berpendapatbahwa ayat ini mansukh karena adany dalil-dalil
yang melarang memotongmotong bagian tubuh seseorang. Namun, yang benar ayat ini tidak
mansukh karena ayat ini turun terkait dengan orang-orang yang murtad. Yang lebih
menguatkan, al- Imam Muslim, an-Nasa’i, dan selainnya, telah meriwayatkan secara sahih

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 45


dari Anas Radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam menyayat mata mereka dengan besi panas karena mereka menyayat mata
penggembala tersebut dengan besi panas. Ini menjadi qishash atas mereka.”

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ini pendapat yang bagus, serta semakna dengan
pendapat Malik dan asy-Syafi’i rahimahumallah.” (Tafsir al-Qurthubi 7/434)

Ini dikuatkan pula oleh firman Allah Subhanahu wata’ala ,

Wَt ©
ِ uْ mِ fِ “ِ Tْ _َŠ
َ ‫ُوا‬e›َ Š
ْ Wَl ْpُ Tْ _َŠ
َ ٰ‫ى‬eَ ›َ Š
ْ ‫ا‬r
ِ mَ lَ ۚ ٌ‫ص‬Wَv…ِ ‫ت‬ ُ Wَt\ُ | ُ bْ ‫|\َا ِم وَا‬
َ bْ ‫ ِ\ ا‬qْ ™
s bWِf ‫|\َا ُم‬َ bْ ‫ ُ\ ا‬qْ ™
s b‫ا‬
r
َ TِŒ›s mُ bْ ‫ َ’ ا‬tَ “َ _sb‫ن ا‬
s ‫ا َأ‬jُm_َŠْ ‫_ َ“ وَا‬sb‫ا ا‬jُŒs ‫ْ ۚ وَا‬pُ Tْ _َŠ
َ ٰ‫ى‬eَ ›َ Šْ‫ا‬
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku
hukum qishash. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa
Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 194)

Kapan Pelaku Kejahatan Itu Disalib?

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata, “Yang tampak, mereka disalib dalam keadaan


hidup hingga mereka mati, karena ini adalah salah satu hukuman yang ditetapkan oleh Allah
Subhanahu wata’ala. Sebagian orang berkata, ‘Ia disalib setelah terbunuh, dan tidak boleh
disalib sebelum ia mati yang akan menghalanginya dari mengerjakan shalat, makan, dan
minum.’ Namun, pendapat ini dibantah dengan pernyataan bahwa hal ini adalah hukuman
yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala bagi hamba-hamba-Nya di dalam
kitab-Nya’.” (Fathul Qadir 2/52)

Kehinaan di Dunia

Lalu Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia.”
Maknanya, karena buruknya perbuatan memerangi Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya,
serta bahayanya yang besar. Sebab, hal tersebut menjadi penghalang manusia dalam mencari
penghidupan karena mayoritas usaha mereka adalah berdagang, sedangkan sandaran utama
dalam berdagang adalah bepergian di muka bumi, sebagaimana firman-Nya,

“ِ _sb‫© ا‬
ِÍ
ْ lَ rِt ‫ن‬
َ jُh›َ Yْ Zَ ‫ض‬
ِ ْ‫ َˆر‬bْ ‫ ا‬zِl ‫ن‬
َ jُf\ِ Í
ْ Zَ ‫ن‬
َ ‫\ُو‬¢
َ £َ‫و‬
“Dan (Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu) orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (al-Muzzammil: 20)

Jika jalan-jalan diteror, manusia terputus dari melakukan safar sehingga mereka hanya
tinggal di rumah. Akibatnya, terputuslah pintu perdagangan dan mata pencahariannya. Maka
dari itu, Allah Subhanahu wata’ala menetapkan syariat hukum had yang keras bagi para
penyamun jalanan, yaitu kehinaan di dunia, sebagai teguran kepada mereka akan buruknya
perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai pembuka pintu perdagangan yang dihalalkan
Allah Subhanahu wata’ala bagi para hamba-Nya, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Selain
itu, Allah Subhanahu wata’ala menjanjikan bagi mereka siksaan yang pedih di akhirat. (Tafsir
al-Qurthubi 7/446) Namun, mereka yang bertobat sebelum ditemukan/ditangkap, Allah
Subhanahu wata’ala memberitakan tentang gugurnya hukuman tersebut atas mereka.
Firman-Nya,

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 46


ٌpTِ¨‫ر‬s ٌ‫ر‬jُ‰]
َ “َ _sb‫ن ا‬
s ‫ا َأ‬jُm_َŠ
ْ Wَl ۖ ْpqِ Tْ _َŠ
َ ‫رُوا‬eِ Œْ َ ‫© أَن‬
ِ Yْ …َ rِt ‫ا‬jُfWَ r
َ Zِƒbs‫ ا‬Wsb‫ِإ‬
“Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (al-Maidah: 34)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala mengecualikan


orang-orang yang bertobat sebelum mereka ditangkap dari keumuman hukuman yang
disebutkan. Yang tampak, tidak ada perbedaan, baik dalam urusan harta dan darah, maupun
urusan dosa lainnya yang telah ditentukan hukum hadnya. Jadi, orang yang bertobat sebelum
ditangkap tidak dikenai ketetapan hukum tersebut. Ini pula yang dilakukan oleh para sahabat.”
(Fathul Qadir 2/52)

Wallahul muwaffiq.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 47


Hadits “Memilih Teman Duduk”
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,

ْ‫ َأن‬Wst‫ ِإ‬Èِ€ ْ mِ bْ ‫© ا‬
ُ tِ Wَ|lَ \ِ Tِbْ ‫ ا‬Î ِ lِ Wَy‫ َو‬Èِ €
ْ mِ ْb‫© ا‬ِ tِ Wَ|‫ ِء َآ‬j¦€b‫½ ا‬ ِ Tِ_Žَ bْ ‫» وَا‬
ِ bِWsvb‫½ ا‬ ِ Tِ_Ž َ bْ ‫© ا‬ُ uَ tَ Wَmys ‫ِإ‬
Wst‫ َوِإ‬È
َ fَ WَTÀِ ‫ق‬َ \ِ | ْ Zُ ْ‫ َأن‬Wst‫ ِ\ ِإ‬Tْ ِ bْ ‫ ا‬Î
ُ ِlWَy‫ َو‬،ً‹Yَ T„ ¹
َ Wً|Zْ ‫ ْ ُ“ َر‬tِ eَ Ž
ِ َ ْ‫ َأن‬Wst‫ ْ ُ“ َوِإ‬tِ ‫ع‬ َ Wَ›Yْ َ ْ‫ َأن‬Wst‫ َوِإ‬È َ Zَ ƒِ |
ْ Zُ
‹ً uَ TِY¢
َ Wً|Zْ ‫ ْ ُ“ ِر‬tِ eَ Ž ِ َ ْ‫َأن‬

“Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik
dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli
darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi
akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak.”

Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari Rahimahullah dalam ash-Shahih


(no. 2101 dan 5534), Muslim Rahimahullah (8/37—38), Ibnu Hibban rahimahullah dalam
Shahih-nya, al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman, dan Ahmad rahimahullah
(4/404—405), semua melalui jalan Abu Burdah rahimahullah, dari Abu Musa rahimahullah,
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah menyebutkan jalan-jalan lain yang dapat dirujuk dalam kitab beliau, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah, hadits no. 3214.

Makna Hadits

Ada perkara penting yang kurang mendapat perhatian. Mengabaikan hal ini bisa
menjadi bahaya laten dan bom waktu bagi yang tidak memedulikannya.

Perkara itu adalah memilih teman duduk. Wajib bagi kita memilih teman-teman yang
baik, yang akan membantu kita dalam ketaatan. Demikian pula, wajib bagi kita menjauhkan
diri dari orangorang fasik, ahlul bid’ah, para pemilik pemikiran-pemikiran menyimpang, dan
pengikut hawa nafsu yang akan menjauhkan kita dari ketaatan kepada Allah Subhanahu
wata’ala. Ini faedah penting yang tersurat dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari rahimahullah.
Ketika menyebutkan hadits ini, al-Baihaqi Rahimahullah memberikan judul bab “Menjauhkan
Diri dari Kaum yang Fasik, Ahlul Bid’ah, dan Siapa Saja yang Tidak Membantumu untuk
Berbuat Taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.”

Demikianlah yang semestinya kita tempuh, memilih sahabat yang baik sebagaimana
diwasiatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sahabat sangat memengaruhi orang
yang diiringinya, dan tabiat teman dekat benar- benar menguasai tabiat temannya. Oleh
karena itu, semakna dengan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, banyak sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang kita berdekatan dengan orang-orang kafir dan
tinggal bersama mereka.

Banyak kasus orang tua dikagetkan ketika dahulu sang anak demikian santun, beradab
kepada orang tua, lembut dalam tutur kata, namun selepas pendidikannya di bangku kuliah,
sang anak lantas durhaka kepada keduanya. Kasar, kaku, dan suka menyakiti. Jangankan
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 48
tinggal serumah untuk berbuat ihsan kepada keduanya di saat kepayahan keduanya, ucapan
terima kasih pun berat untuk terucap. Bahkan, di antara yang pernah terjadi, sang anak begitu
mudah memberi vonis kafir kepada keduanya karena tidak mau ikut ideologinya. Lantas ia
pergi meninggalkan keduanya dengan dalih berjihad dengan jalan yang dia anggap
mengantarkan ke surga, padahal jalan yang ia tempuh jauh dari bimbingan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kita dikejutkan beberapa waktu lalu dengan peristiwa-peristiwa pengeboman, termasuk


di beberapa tempat wilayah Kerajaan Arab Saudi. Penulis mendapat kisah dari sebagian da’i
yang mendapat tugas dari pemerintah Arab Saudi untuk memberikan pengarahan di
penjara-penjara kepada para pelaku pengeboman. Sungguh, pelaku-pelaku tersebut bukan
orang idiot. Mereka cerdas otaknya, bahkan mahasiswa perguruan tinggi, di samping punya
semangat keislaman.

Hanya saja, mereka tidak belajar di bawah bimbingan tangan para ulama. Di antara
mereka ada yang belajar dari dunia maya, mengunjungi situssitus Khawarij, dan berkawan
dengan orang-orang berpemahaman takfir. Sungguh, di antara mereka ada yang memiliki
seorang ibu yang sudah renta di rumahnya, ditinggal telantar untuk berjihad—menurut
anggapan mereka— dengan melakukan peledakan di negeri Islam. Sangat menyedihkan.
Tampaknya, setiap kita wajib mulai berbenah ketika mengingat sabda Rasul Shallallahu
‘alaihi wasallam dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

\ِ Tِbْ ‫ ا‬Î
ِ lِ Wَy‫ َو‬È
ِ €
ْ mِ bْ ‫© ا‬
ِ tِ Wَ|‫ ِء َآ‬j¦€b‫½ ا‬
ِ Tِ_Ž
َ bْ ‫» وَا‬
ِ bِWsvb‫½ ا‬
ِ Tِ_Ž
َ bْ ‫© ا‬
ُ uَ tَ Wَmys ‫ِإ‬
“Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk itu seperti penjual
misik dan pandai besi.”

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan timbangan dalam
hal memilih teman. Kita diingatkan tentang timbangan tersebut, sebuah neraca yang sudah
mulai pudar di zaman ini.

Kisah Thalq bin Habib rahimahullah

Nama ini tidak asing bagi para penuntut ilmu. Seorang pemuka tabi’in, Thalq bin Habib
al-‘Anazi al-Bashri. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh al- Imam Muslim dalam ash-Shahih,
Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya rahimahumullah. Tahukah Anda
bahwa dahulu beliau terpengaruh dengan mazhab Khawarij yang mereka terjatuh pada
pemahaman mengafirkan para pelaku dosa besar? Mereka berkeyakinan bahwa pelaku dosa
besar, seperti orang yang bunuh diri, kekal di dalam neraka. Mereka pun tidak meyakini
adanya syafaat untuk pelaku dosa besar sehingga dikeluarkan dari neraka.

Dalam sebuah perjalanan, ketika Thalq bin Habib bersama kawan-kawan sepemahaman
melakukan perjalanan haji atau umrah, Allah Subhanahu wata’ala menyelamatkan Thalq dari
paham takfir tatkala bermajelis dengan sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, seorang
ulama dari generasi sahabat, generasi terbaik umat ini.

Kisah beliau diriwayatkan oleh al–Imam Ahmad rahimahullah dalam al-Musnad. Dalam
kisah tersebut Thalq bin Habib rahimahullah berkata,

¸
ُ ‫ ا‬Wَ‫ ٍ‹ َذ َآ َ\ه‬Zَ £ ©
s ‫ ِ“ ُآ‬Tْ _َŠ
َ ‫ت‬
ُ ْ‫ َŒ َ\أ‬lَ ¸
ِ ‫ ا‬eِ Yْ Š
َ r َ fْ \َ fِ Wَ·  
ُ TِŒbَ is›¨
َ ‹ِ Š
َ Wَ‰™
s bWِf WًYZِƒْ َ ‫س‬
ِ Wsb‫ِّ ا‬e­
َ ‫ْ َأ‬rtِ  ُ ْ ‫ُآ‬
‫ل‬
ِ jُU‫ ِ‹ َر‬s €ُ fِ pَ _َŠ
ْ ‫ َوَأ‬z„tِ ¸ ِ ‫با‬ ِ Wَ›ِ bِ ‫ك َأ ْ… َ\َأ‬
َ ‫ َأ ُ\َا‬،ُŸ_ْ ¹
َ WَZ : ‫ل‬
َ WَŒlَ ،ِ‫ر‬Wsb‫© ا‬ِ ‫ ُد َأ ْه‬jُ_¢
ُ WَqTِl ©s· َ ‫ َو‬ªs Š
َ
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 49
‫ن‬
s aِ lَ :‫ل‬
َ Wَ… .z„tِ “ِ ›ِ s €
ُ fِ pُ _َŠ
ْ ‫ َوَأ‬z„tِ ¸ ِ ‫با‬ ِ Wَ›ِ bِ ‫ َأ ْ… َ\ُأ‬ 
َ yْ ‫©ْ َأ‬fَ ،ِ¸‫ وَا‬،Wَb :  ُ _ْ Œُ lَ ‫“ُ؟‬bَ   ُ Rْ Í ِ ¦ Wَl ,¸ ِ ‫ا‬
،‫ا‬jُ·\ِ ¢ ْ ‫ ُأ‬ps Àُ Wَqfِ ‫ا‬jُfƒِّ Rُ lَ Wًfjُy‫ا ُذ‬jُfWَ}‫ْمٌ َأ‬j…َ ْrِ bَ‫ َو‬،َ‫ن‬jُ‫™ ِ\آ‬ ْ mُ bْ ‫ ا‬pُ ‫ ُه‬Wَq_ُ‫ت َأ ْه‬ َ ْ‫ƒِي َ… َ\أ‬bs‫ا‬
r
ُ|ْ yَ ‫رِ؛ َو‬Wsb‫ْ ا‬rtِ ‫ن‬َ jُ·\ُ ¶ ْ Zَ ‫ل‬ ُ jُŒZَ ¸ِ ‫لا‬ َ jُU‫ َر‬  ُ Rْ mِ U َ ْr‫ْ َأ ُآ‬pbَ ْ‫إِن‬-“ِ Tْ yَ ‫ ُأ ُذ‬iَb‫ ِ“ ِإ‬Zْ eَ Tَ fِ ‫َى‬j‫ َوَأ ْه‬-Wَ›ms } ُ
‫ َ ْŒ َ\ُأ‬Wَt ‫ ْŒ َ\ُأ‬yَ
Dahulu aku termasuk orang yang paling keras pengingkarannya terhadap adanya syafaat
(yakni syafaat bagi pelaku dosa besar untuk keluar dari neraka, -pen.), hingga (Allah
Subhanahu wata’ala mudahkan) aku berjumpa dengan sahabat Jabir bin Abdillah
Radhiyallahu ‘anhu. Di hadapannya, aku bacakan semua ayat yang Allah Subhanahu wata’ala
firmankan dalam al-Qur’an tentang kekekalan penghuni neraka (yakni Thalq memahami
mereka yang sudah masuk neraka tidak mungkin mendapat syafaat untuk keluar termasuk
pelaku dosa besar, -pen.). Seusai membacakan ayat-ayat tersebut Jabir berkata, “Wahai Thalq,
apakah engkau menyangka dirimu lebih paham terhadap al-Qur’an dariku? Dan apakah
engkau anggap dirimu lebih tahu tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dariku?” Thalq menjawab, “Tidak demi Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap Kitab
Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada
aku.” Jabir berkata, “Wahai Thalq, sesungguhnya semua ayat yang engkau baca tentang
(kekekalan ahli neraka) mereka adalah musyrikin (orang-orang yang mati dalam keadaan
musyrik). Akan tetapi (yang mendapatkan syafaat adalah) kaum yang melakukan dosa besar
(dari kalangan muslimin) yang diazab di neraka, kemudian mereka dikeluarkan darinya.”
Jabir lalu menunjuk kepada dua telinganya dan berkata, “Sungguh tuli kedua telinga ini jika
aku tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sabda beliau, ‘Mereka
(pelaku dosa besar) keluar dari neraka (setelah diazab),’ sedangkan kita membaca ayat-ayat
al-Qur’an.”

Lihatlah manfaat besar ketika seorang duduk bersama ulama, duduk dengan seorang
yang baik. Membuahkan faedah besar yang dipetik seumur hidup, bahkan sesudahnya. Thalq
bin Habib rahimahullah diselamatkan dari pemahaman yang salah tentang pelaku dosa besar.

Faedah yang Sayang Jika Dilewatkan

Dalam kisah Thalq bin Habib, ada sebuah faedah yang tidak ingin kita lewatkan. Faedah
yang terulang, namun perlu selalu diingatkan, yaitu wajibnya kembali kepada para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Faedah itu ada dalam pertanyaan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan jawaban Thalq bin
Habib rahimahullah.

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Thalq, apakah engkau menyangka dirimu
lebih paham terhadap al-Qur’an dariku? Dan apakah engkau anggap dirimu lebih tahu tentang
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dariku?” Thalq menjawab, “Tidak, demi
Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap Kitab Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Percakapan yang sangat indah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengingatkan
kepada Thalq sebelum beliau menjelaskan syubhat (kerancuan) berpikir yang ada pada diri
Thalq. Beliau ingatkan bahwa para sahabat adalah orang yang paling mengerti al-Kitab dan
as-Sunnah. Ini pula yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
beliau mengabarkan akan adanya perselisihan dan perpecahan umat di akhir zaman. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnah
beliau dan sunnah al-Khulafaar-Rasyidin, serta memerintah mereka untuk mengikuti jalan
sahabat, generasi terbaik yang telah diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Ketika Thalq
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 50
menyadari hal itu dan mau mendengar perkataan Jabir, selamatlah beliau dari pemikiran
Khawarij.1

Meninggalkan Majelis Ahlul Bid’ah

Di antara pokok penting yangm terkandung dari hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu -
dan ini termasuk pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah- adalah wajibnya meninggalkan ahlul
bid’ah dan majelis mereka. Pokok ini ditunjukkan oleh banyak dalil al-Kitab dan as-Sunnah.
Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

Wst‫ ِ\ ِ´ ۚ َوِإ‬Tْ ]
َ º
ٍ Zِe¨
َ zِl ‫ا‬jُ®jُ¶Zَ ٰi›s ¨
َ ْpqُ ْ Š
َ ْ‫Š ِ\ض‬ ْ ˆَ lَ Wَِ WَZ£ zِl ‫ن‬َ jُ®jُ¶Zَ r َ Zِƒbs‫ ا‬ 
َ Zْ ‫َوِإذَا َرَأ‬
r
َ TِmbِWs¾b‫ْ ِم ا‬jŒَ bْ ‫ َ’ ا‬tَ ٰ‫ „ƒ ْآ َ\ى‬b‫ ا‬eَ Rْ fَ ْeRُ Œْ َ Wَ_lَ ‫ن‬
ُ WَkTْ ™
s b‫ ا‬È َ s Tَ €
ِ ُZ
“Dan apabila kamu melihat orangorang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan
menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang
yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (al-An’am: 68)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah (wafat 1250 H) berkata dalam tafsirnya, Fathul


Qadir, “Dalam ayat ini ada nasihat (peringatan) yang agung bagi orang yang masih saja
membolehkan duduk bersama ahli bid’ah yang biasa mengubah Kalam Allah,
mempermainkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta
memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan hawa nafsu mereka yang menyesatkan
dan sesuai dengan bid’ah-bid’ah mereka yang rusak. Sungguh jika seseorang tidak dapat
mengingkari mereka dan tidak mampu mengubah keadaan mereka, ia harus meninggalkan
majelis mereka. Hal itu mudah baginya dan tidak sulit. Bisa jadi, para ahli bid’ah
memanfaatkan hadirnya seseorang di majelis mereka, meskipun ia dapat terhindar dari
syubhat yang mereka lontarkan, tetapi mereka dapat mengaburkannya kepada orang-orang
awam.

Jadi, hadirnya seseorang dalam majelis ahli bid’ah adalah kerusakan yang lebih besar
daripada sekadar kerusakan yang berupa mendengarkan kemungkaran. Kami telah melihat di
majelis-majelis terlaknat ini—yang banyak sekali jumlahnya—dan kami bangkit untuk
membela kebenaran, melawan kebatilan semampu kami, dan mencapai puncak kemampuan
kami.

Barang siapa mengetahui syariat yang suci ini dengan sebenar-benarnya, dia akan
mengetahui bahwa bermajelis dengan orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu
wata’ala bisa jadi akan melakukan hal-hal yang diharamkan. Lebih-lebih lagi bagi orang yang
belum mapan ilmunya tentang al-Qur’an dan as- Sunnah, sangat mungkin terpengaruhdengan
kedustaan-kedustaan mereka berupa kebatilan yang sangat jelas lalu kebatilan tersebut
akan tertanam di dalam hatinya sehingga sangat sulit mencari penyembuh dan pengobatannya,
meskipun ia telah berusaha sepanjang hidupnya. Ia akan menemui Allah Subhanahu wata’ala
dengan kebatilan yang ia yakini tersebut sebagai kebenaran, padahal itu adalah sebesar-besar
kebatilan dan sebesarbesar kemungkaran.” (Fathul Qadir)

Karena pentingnya pokok ini, menjauhkan diri dari ahlul bid’ah dan majelis-majelis
mereka, para ulama memasukkan masalah ini dalam pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, demikian pula ulama ahlul hadits mencantumkan bab-bab khusus terkait pokok yang
agung ini.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 51


1. Al-Imam Abu Dawud as-Sijistani rahimahullah (wafat 275 H), membuat sebuah bab
dalam Sunan Abi Dawud (4/198) dengan judul “Mujanabatu Ahlil Ahwa’ wa Bughdhuhum”
(bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu dan Membenci Mereka”).

2. Al-Imam Ibnu Baththah al-Akburi rahimahullah (wafat 387 H), dalam kitabnya
al-Ibanah (2/429) mencantumkan sebuah bab berjudul “at-Tahdzir min Shuhbati Qaumin
Yumridhunal Quluba wa Yufsidunal Imaan” (bab “Peringatan dan Ancaman dari Bergaul
dengan Kaum yang Dapat Membuat Hati Menjadi Sakit dan Merusak Iman”).

3. Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah (wafat 458 H) dalam Kitabul I’tiqad membuat


sebuah bab berjudul “an-Nahyu ‘an Mujalasati Ahlil Bida” (bab “Larangan Bermajelis dengan
Ahlul Bid’ah”).

4. Al-Imam al-Baghawi rahimahullah (wafat 516 H) dalam Syarhus Sunnah (1/219)


menyebutkan bab “Mujanabah Ahlil Ahwa” (bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu”).

5. Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah (wafat 656 H), dalam kitabnya at-Targhib wat
Tarhib (3/378) membuat bab “at-Tarhib min Hubbil Asyrar wa Ahlil Bida” (“Ancaman
Mencintai Orang- Orang yang Melakukan Kejelekan dan Bid’ah”).

6. Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 676 H) dalam kitabnya,


al-Adzkar, menyebutkan bab “at-Tabarri min Ahlil Bid’ah wal Ma’ashi” (bab “Berlepas Diri
dari Ahlul Bida’ dan Pelaku Maksiat”). Hal yang semisal ini banyak kita jumpai dalam
kitab-kitab hadits dan kitab-kitab i’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Manusia dan Media

Ketika kita berbicara teman duduk, bukan manusia saja yang perlu diwaspadai.
Termasuk media-media yang dahulu tidak terbayang akan menjadi teman dalam kesendirian.
Sang anak bersendiri dengan ponsel di tangannya berselancar mengarungi samudra dunia
maya. Teman duduk ini bisa menjadi bahaya laten muncul dan berkembangnya
pemikiranpemikiran sesat, paham takfir, dan semisalnya. Seandainya pemerintah atau
pihakpihak yang terkait mampu menutup situs-situs yang membahayakan akidah dan akhlak,
tentu hal ini termasuk tugas dan kewajiban mereka. Semoga Allah Subhanahu wata’ala
memperbaiki diri-diri kita, masyarakat kita, pemerintah kita, dan memberikan rezeki berupa
teman duduk yang baik, yang membantu kita dalam hal ketaatan dan membantu kita menjauhi
kejelekan.

Walhamdulillah, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi


ajma’in.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 52


Akidah “Hanya Allah Yang Berhak Menghalalkan Dan
Mengharamkan”
Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Allah Subhanahu wata’ala memiliki hak-hak yang khusus. Di antara hak khusus bagi
Allah Subhanahu wata’ala adalah hak tasyri’, yakni menetapkan syariat yang wajib dijalani
oleh makhluk-Nya. Di antara perkara tasyri’ adalah penetapan halal dan haram.

‫ن‬
s ‫ْ ۗ َوِإ‬pqُ َ Tْ fَ z
َÍِ Œُ bَ ©
ِv
ْ ‰َ bْ ‫ ُ‹ ا‬mَ _ِ‫ َآ‬Wَbْjbَ‫_ ُ“ ۚ َو‬sb‫ ِ“ ا‬fِ ‫ˆْذَن‬Zَ ْpbَ Wَt r
ِ Z„eb‫ ا‬r
َ t„ pُqbَ ‫ا‬jُŠ\َ ­ َ ‫ ُء‬Wَ‫­ َ\آ‬
ُ ْpqُ bَ ْ‫َأم‬
ٌpTِb‫Šƒَابٌ َأ‬
َ ْpqُ bَ r
َ TِmbِWs¾b‫ا‬
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan syariat untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak adaketetapan yang menentukan (dari
Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21)

Tiada yang berhak menghalalkan dan mengharamkan selain Allah Subhanahu wata’ala.
Tidak ada seorang pun yang boleh menghalalkan kecuali yang telah dihalalkan oleh Allah
Subhanahu wata’ala dan tidak mengharamkan kecuali yang diharamkan oleh Allah
Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

r
َ Zِƒbs‫ن ا‬
s ‫ب ۚ ِإ‬
َ ƒِ َ bْ ‫_ ِ“ ا‬sb‫ ا‬iَ_Š
َ ‫ َ› ْ‰ َ›\ُوا‬b„ ٌ‫¨\َام‬
َ ‫لٌ َو َٰهƒَا‬Wَ_¨
َ ‫ب َٰهƒَا‬
َ ƒِ َ bْ ‫ ا‬pُ ُ ›ُ َ €
ِ bْ ‫ َأ‬µ
ُ v ِ َ Wَmbِ ‫ا‬jُbjُŒَ Wَb‫َو‬
‫ن‬
َ jُ|_ِ‰ْ Zُ Wَb ‫ب‬ َ ƒِ َ bْ ‫_ ِ“ ا‬sb‫ ا‬iَ_Š
َ ‫ن‬
َ ‫ ْ‰ َ›\ُو‬Zَ
“Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta, ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung.” (an-Nahl: 116)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Masuk dalam kandungan ayat ini semua yang
membuat kebid’ahan yang tidak ada sandarannya dalam syariat dan semua yang
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dengan ra’yu (akal) dan selera hawa
nafsunya.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim)

Asy-Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Salafus shalih sangat berhati-hati


dari ucapan: ini halal dan yang ini haram, karena takutnya mereka akan kandungan ayat ini.”
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Al- Imam Abu Muhammad ad-Darimi dalam
Musnad-nya berkata, ‘Telah mengabarkan kepada kami Harun dari Hafsh dari al-A’mas: Aku
tidak pernah mendengar Ibrahim berkata: ini halal dan ini haram, tetapi mereka berkata:
mereka membencinya, mereka menyatakan sunnahnya…’.” (Tafsir Adwaul Bayan).

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

“ِ _sb‫ ا‬iَ_Š
َ ْ‫ْ ۖ َأم‬pُ bَ ‫ن‬
َ ‫_ ُ“ َأ ِذ‬sb£ ْ©…ُ WًbWَ_¨
َ ‫ َو‬Wًt‫¨\َا‬
َ “ُ ْ t„ pُ›_ْ Rَ Ž
َ lَ ‫ق‬
ٍ ْ‫ „رز‬r„t pُbَ “ُ _sb‫ل ا‬
َ ªَ yَ‫ أ‬Wst pُ›Zْ ‫ُ…©ْ َأ َرَأ‬
‫ن‬
َ ‫َ ْ‰ َ›\ُو‬

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 53


Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap
Allah?” (Yunus: 59)

Allah Subhanahu wata’ala telah melarang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu


tanpa dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengabarkan bahwa menghalalkan dan
mengharamkan sesuatu tanpa dalil adalah kedustaan atas nama Allah Subhanahu wata’ala.
Sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan pula bahwa barang siapa yang
mewajibkan sesuatu tanpa dalil atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil maka telah
menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wata’ala dalam perkara yang
merupakan kekhususan Allah Subhanahu wata’ala, yaitu penetapan syariat. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,

‫ن‬
s ‫ْ ۗ َوِإ‬pqُ َ Tْ fَ z
َÍِ Œُ bَ ©
ِv
ْ ‰َ bْ ‫ ُ‹ ا‬mَ _ِ‫ َآ‬Wَbْjbَ‫_ ُ“ ۚ َو‬sb‫ ِ“ ا‬fِ ‫ˆْذَن‬Zَ ْpbَ Wَt r
ِ Z„eb‫ ا‬r
َ t„ pُqbَ ‫ا‬jُŠ\َ ­ َ ‫ ُء‬Wَ‫­ َ\آ‬
ُ ْpqُ bَ ْ‫َأم‬
ٌpTِb‫Šƒَابٌ َأ‬
َ ْpqُ bَ r
َ TِmbِWs¾b‫ا‬
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang
menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21)

Dan barang siapa yang taat kepada penetap syariat selain Allah Subhanahu wata’ala
maka dia telah menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wata’ala, berarti dia
telah terjatuh dalam kesyirikan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

‫ن‬
َ jُ‫™ ِ\آ‬
ْ mُ bَ ْpُ ys ‫ْ ِإ‬p‫ ُه‬jُm›ُ Rْ ¹
َ ‫َوِإنْ َأ‬
“Jika kamu menaati mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
musyrik.” (al-An’am: 121)

Yakni janganlah kamu menaati orang yang menghalalkan sesuatu yang Allah
Subhanahu wata’ala haramkan berupa bangkai. Barangsiapa yang menaati mereka maka dia
adalah musyrik.

Termasuk Syirik

Allah Subhanahu wata’ala menegaskan bahwa seorang yang menaati ahbar (orang
berilmu dari kalangan Yahudi) dan ruhban (tukang ibadah dari kalangan Nasrani) dalam
menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh AllahSubhanahu wata’ala atau mengharamkan
apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wata’ala berarti telah menjadikan mereka sebagai
Rabb selain AllahSubhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

Wًqbَٰ‫ُوا ِإ‬eYُ Rْ Tَ bِ Wsb‫\ُوا ِإ‬tِ ‫ ُأ‬Wَt‫ َو‬pَ Zَ ْ\tَ r


َ ْf‫» ا‬
َ Tِ€mَ bْ ‫_ ِ“ وَا‬sb‫ن ا‬
ِ ‫ دُو‬r„t WًfWَfْ‫ْ َأر‬pqُ yَ WَY‫ْ َو ُر ْه‬p‫ َر ُه‬WَY¨ْ ‫¶ƒُوا َأ‬ َ s ‫ا‬
‫ن‬
َ jُ‫™ ِ\آ‬
ْ Zُ WsmŠ
َ “ُ yَ Wَ|Yْ U
ُ ۚ jَ ‫ ُه‬Wsb‫ َ“ ِإ‬bَٰ‫ ِإ‬Wsb ۖ ‫ًا‬e¨
ِ ‫وَا‬
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya
disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah:31)

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 54


Ketika ‘Adi bin Hatim mendengar ayat ini, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, kami
tidak beribadah kepada mereka.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada
beliau, “Bukankah mereka telah menghalalkan apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala
haramkan kemudian kalian mengikuti mereka? Mereka juga mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah Subhanahu wata’ala kemudian kalian pun ikut mengharamkannya?” Adi
berkata, “Benar demikian.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Itulah
bentuk peribadahan kalian kepada mereka.” (HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh
asy-Syaikh al-Albani)

Asy-Syaikh Abdurranman bin Hasan berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa taat
kepada ahbar dan ruhban dalam berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah
bentuk peribadahan kepada mereka kepada selain Allah Subhanahu wata’ala dan ini
merupakan syirik besar yang tidak akan Allah Subhanahu wata’ala ampuni berdasarkan akhir
ayat:

“ُ ْ Š
َ ¸
ُ ‫ا‬z
َ®ِ ‫ َ\ َة َر‬Zْ \َ ‫ ُه‬zِf‫ْ َأ‬rŠ
َ
‘Padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Esa, tidak ada Ilah (yang
berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.’
(at-Taubah: 31)

Ayat yang semakna dengan ini, firman Allah Subhanahu wata’ala,

ْpqِ Çِ WَTbِْ‫ٰ َأو‬ibَ‫ن ِإ‬


َ jُ¨jُTbَ r
َ Tِ¹WَT™
s b‫ن ا‬
s ‫€Ÿٌ ۗ َوِإ‬
ْ ‰ِ bَ “ُ ys ‫ ِ“ َوِإ‬Tْ _َŠ
َ “ِ _sb‫ ا‬pُ U ْ ‫ƒْ َآ ِ\ ا‬Zُ ْpbَ Wsmtِ ‫ا‬jُ_‫ َˆْ ُآ‬Wَb‫َو‬
‫ن‬
َ jُ‫™ ِ\آ‬ ْ mُ bَ ْpُ ys ‫ْ ِإ‬p‫ ُه‬jُm›ُ Rْ ¹
َ ‫ْ ۖ َوِإنْ َأ‬p‫ ُآ‬jُb‫ ِد‬WَŽTُ bِ
‘Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawankawannya agar mereka membantah
kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang
yang musyrik.’ (al-An’am: 121).”

Kelompok yang Banyak Terjatuh dalam Perbuatan Ini

Perbuatan sepeti ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang taklid kepada seorang
tokoh tertentu, seperti halnya Sufi dan lainnya, tidak mau mengindahkan dalil jika menyelisihi
tokoh yang ia taklidi. Inilah satu bentuk perbuatan syirik. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
hafizhahullah berkata, “Di antara bentuk menjadikan ahbar dan ruhban sebagai sesembahan
adalah menaati ulama yang sesat dalam perkara-perkara bid’ah dalam agama yang mereka
ada-adakan, khurafat, dan kesesatan lainnya, seperti perayaan maulid, tarekat-tarekat sufi, dan
tawasul kepada orang-orang mati, serta berdoa kepada mereka.” (Dari Irsyad ila Tashihil
Itiqad)

Penulis at-Tamhid Syarah Kitab at-Tauhid menerangkan, “Dan (amalan seperti ini)
ada di umat Islam, yaitu di kalangan sufi (shufiyah) atau orangorang yang ghuluw dalam
tasawuf, ghuluw dalam mengultuskan tokoh-tokoh mereka. Mereka menaati syaikh dan
wali-wali mereka yang mereka anggap wali, menaati mereka dalam merubah agama Allah
Subhanahu wata’ala.” (at-Tamhid, dengan sedikit perubahan)

Hukum Menaati Ulama dan Umara’ (Penguasa)

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 55


Ketaatan kepada ulama dan umara ada dua keadaan:

1. Menaati mereka dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu
wata’ala. Ini hukumnya wajib.

2 . Menaati mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa
yang halalkan dalam keadaan ia meyakininya, adalah kesyirikan. Adapun orang yang
mengikuti mereka ada beberapa keadaan:

a. Dia mengetahui bahwa mereka menyelisihi perintah Allah Subhanahu wata’ala


dan dia tetap menaatinya serta meyakini kebenarannya, maka ini adalah syirik
besar yang mengeluarkan dari Islam.

b. Dia menaati mereka dalam keadaan meyakini bahwa itu adalah haram dan
meyakini itu adalah salah, tetapi ia menaatinya karena hawa nafsu, maka ini
adalah syirik kecil.

c. Ia tidak mengetahui bahwa mereka menyelisihi syariat Allah Subhanahu wata’ala,


namun ia menyangka mereka di atas kebenaran maka ini adalah uzur kalau
memang orang seperti dia tidak tahu hal itu. (Lihat I’anatul Mustafid Syarah Kitab
at-Tauhid)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah berkata, “Ketahuilah


bahwa mengikuti ulama dan umara dalam menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah Subhanahu wata’ala dan sebaliknya, ada tiga macam:

a. Mengikuti mereka dalam perkara tersebut dalam keadaan meridhai ucapan


mereka, serta membenci hukum Allah Subhanahu wata’ala, maka orang ini kafir
karena telah membenci apa yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan.

b. Mengikuti mereka dalam keadaan dia ridha kepada hukum Allah Subhanahu
wata’ala dan tahu bahwa hukum Allah Subhanahu wata’ala lebih baik, lebih
tinggi, dan lebih bermaslahat bagi hamba dan negeri, namun karena hawa nafsu
dia lebih memilihnya. Orang ini tidaklah kafir namun namun dia menjadi orang
fasik pantas mendapat hukuman seperti hukuman orang bermaksiat lainnya.

c. Dia seorang yang jahil (bodoh) dan mengira itu adalah hukum Allah Subhanahu
wata’ala. Golongan ini terbagi dua:

 Seorang yang memungkinkan untuk mengetahui al-haq sendirian, namun dia


orang yang lalai maka dia seorang yang berdosa, karena Allah Subhanahu
wata’ala telah memerintah bertanya kepada ulama ketika tidak ada.

 Dia bukan seorang alim dan tidak memungkinkan belajar, maka dia mengikuti
mereka karena taklid. Dia menyangka itu adalah haq. Orang ini tidaklah
berdosa karena telah melakukan apa yang diperintahkan dan dia mendapatkan
uzur dalam perbuatannya. (Disadur dari al-Qaulul Mufid)

Seorang muslim hendaknya memberikan ketaatan yang mutlak hanya kepada Allah
Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Tidak dibolehkan menaati makhluk kecuali dalam
perkara yang dibenarkan secara syar’i. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 56


ْpُ ِt \ِ tْ ˆَ bْ ‫ ا‬zِb‫ل َوأُو‬
َ jُU\s b‫ا ا‬jُRTِ¹‫_ َ“ َوَأ‬sb‫ا ا‬jُRTِ¹‫ا َأ‬jُtَ £ r
َ Zِƒbs‫ ا‬WَqZ¦ ‫ا َأ‬
“Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
rasul-Nya, serta kepada ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)

Asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala


memerintahkan untuk taat kepada ulul amri, yaitu orangorang yang mengurusi manusia baik
kalangan umara, pemerintah, atau mufti (ahli fatwa), karena tidak akan lurus urusan agama
dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai bentuk ketaatan
kepada Allah Subhanahu wata’ala dan mengharapkan apa yang di sisi Allah Subhanahu
wata’ala, tetapi dengan syarat mereka tidak memerintah untuk berbuat maksiat kepada Allah
Subhanahu wata’ala.
Wallahu a’lam.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 57


Akhlak “Penyebab Maraknya Kesesatan”
Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Pergulatan antara penganut kebenaran dan pengikut kebatilan adalah kepastian dari
Allah Subhanahu wata’ala. Dengan ilmu dan kekuasaan-Nya yang sempurna Dia Subhanahu
wata’ala telah menakdirkan terjadinya sampai datangnya hari kiamat. Allah Subhanahu
wata’ala mengabarkan tentang awal pergulatan tersebut, yaitu antara Bapak kita, Adam
‘Alaihissalam, dan Iblis la’natullah ‘alaih. Iblis telah menyatakan permusuhan kepada
manusia di hadapan Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),

Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benarbenar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi
mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” Allah berfirman, “Keluarlah
kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang siapa di antara
mereka mengikuti kamu, benarbenar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu
semuanya.” (Dan Allah berfirman), “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di
surga serta makanlah olehmu berdua (buahbuahan) di mana saja yang kamu sukai, dan
janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk
orang-orang yang lalim.”

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan


kepadakeduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya dan setan berkata, “Rabb kamu
tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi
malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (setan) bersumpah
kepada keduanya, “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada
kamu berdua,” maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya.
Tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya,
dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka
menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku
katakan kepadamu sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
(al-A’raf: 16—22)

Kepastian ini juga akan dihadapi oleh seluruh nabi setelah Adam Alaihis salam beserta
para pengikut mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

‫ل‬
ِ ْjŒَ bْ ‫ف ا‬
َ \ُ ¢
ْ ‫• ُز‬
ٍ Rْ fَ ٰibَ‫ْ ِإ‬pqُ Í
ُ Rْ fَ zِ¨jُZ r
„Ž
ِ bْ ‫½ وَا‬ ِ yِabْ ‫ ا‬r
َ Tِ¹WَT­ َ ‫ا‬Ò‫و‬eُ Š َ zÓ Yِ yَ ©
„ ُ bِ Wَ_ْ Rَ ·
َ È
َ bَِٰƒ‫َو َآ‬
‫ن‬
َ ‫ ْ‰ َ›\ُو‬Zَ Wَt‫ْ َو‬p‫ َƒرْ ُه‬lَ ۖ ´ُ jُ_Rَ lَ Wَt È
َ f¦ ‫ َء َر‬Wَ­ ْjbَ‫]\ُورًا ۚ َو‬ ُ

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari
jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang
lain perkataan-perkataan yang indahindah untuk menipu (manusia). Jika Rabbmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa
yang mereka adaadakan.” (al-An’am: 112)

Terlebih lagi pergulatan yang harus dihadapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam melawan pembela kebatilan sehingga Allah Subhanahu wata’alamengibur beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman- Nya (yang artinya),

“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu


Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 58
menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan
mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalimitu mengingkari ayat-ayat Allah.
Sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar
terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang
pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari
berita rasul-rasul itu.” (al-An’am: 33—34)

Kita meyakini bahwa perseteruan yang terjadi antara ahlul haq (pengikut kebenaran)
dan ahlul batil (pengikut kebatian) di dunia fana ini terjadi dengan takdir Allah Subhanahu
wata’ala dan disertai oleh hikmah- Nya yang sempurna karena Allah Subhanahu wata’ala
adalah Yang Mahabijaksana. Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan hikmah tersebut dalam
firman-Nya,

\ً Tِvfَ È
َ f¦ ‫ن َر‬
َ Wَ‫ن ۗ َوآ‬
َ ‫\ُو‬Yِ v
ْ َ ‫ ْ› َ ً‹ َأ‬lِ •
ٍ Rْ Yَ bِ ْpُ Í
َ Rْ fَ Wَ_ْ Rَ ·
َ ‫َو‬
“Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah
kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)

r
َ TِmbَWَRbْ ‫ ا‬iَ_Š
َ ©
ٍÍ
ْ lَ ‫_ َ“ ذُو‬sb‫ ا‬r
s ِ bَٰ‫ض َو‬
ُ ْ‫ َˆر‬bْ ‫ت ا‬
ِ eَ €
َ ‰َ bs •
ٍ Rْ Yَ fِ pُqÍ
َ Rْ fَ ‫س‬
َ Wsb‫_ ِ“ ا‬sb‫ ُ’ ا‬lْ ‫ َد‬Wَbْjbَ‫َو‬
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian
yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi, Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.” (al-Baqarah: 251)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah menjelaskan, “Di antara


hikmah Allah menjadikan musuh-musuh bagi para nabi dan adanya pembela kebatilan yang
mengajak pada kebatilannya adalah sebagai ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Dengan
demikian, akan terpisahkan antara yang jujur dan yang berdusta, yang berakal sehat dan yang
jahil, serta yang melihat (dengan mata hatinya) dan yang buta. Selain itu, hikmah (adanya
ujian dan cobaan tersebut) adalah penjelasan dan penerangan tentang kebenaran karena
kebenaran akan bercahaya dan tampak jelas saat kebatilan menghadang dan memeranginya.
Saat itu terpisahkanlah dalil-dalil dan saksisaksi yang menunjukkan pada kebenaran tersebut
beserta hakikatnya, dengan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh kebatilan. Hal ini
(terpisahnya kebenaran dan kebatilan) termasuk hal yang paling dicari oleh para hamba.”
(Taisir al-Karimirrahman hlm. 270)

Dua Sebab Maraknya Ideologi Sempalan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

pُfs ‫ْا َر‬jŒَ _ْ َ is›¨


َ “ُ ْ tِ \Ô ­
َ ´ُ eَ Rْ fَ ‫ƒِي‬bs‫ ا‬Wsb‫نٌ ِإ‬Wَt‫ْ َز‬pُ Tْ _َŠ
َ zِْˆZَ Wَb “ُ ys aِ lَ ‫\ُوا‬Yِ }
ْ ‫ا‬
“Sabarlah kalian karena tidak datang sebuah masa kecuali yang setelahnya lebih jelek
dari yang sebelumnya, sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian.” (HR. al-Bukhari dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula,

©
ُ qْ Ž
َ bْ ‫ َ\ ا‬qَ ¾
ْ Zَ ‫ َو‬pُ _ْ Rِ bْ ‫ َ’ ا‬lَ ْ\Zُ ْ‫Š ِ‹ َأن‬
َ Ws€b‫ط ا‬
ِ ‫­\َا‬
ْ ‫ْ َأ‬rtِ ‫ن‬
s ‫ِإ‬

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 59


“Sesungguhnya termasuk tandatanda kiamat adalah dicabutnya ilmu dan merebaknya
kebodohan.” (Muttafaqun alaih dari Anas bin Malik)

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain,

Ÿ
ِ Yْ Zُ ْpbَ ‫ ِإذَا‬is›¨
َ ‫ ِء‬Wَm_َRُ bْ ‫• ا‬
ِ Yْ Œَ fِ pَ _ْ Rِ bْ ‫• ا‬
ُ Yِ Œْ Zَ ْrِ bَ‫ ِد َو‬WَYRِ bْ ‫ْ ا‬rtِ “ُ Š ُ ªِ ›َ ْ Zَ WًŠ‫َا‬ª›ِ yْ ‫ ا‬pَ _ْ Rِ bْ ‫• ا‬
ُ Yِ Œْ Zَ Wَb ‫ن ا‬
s ‫ِإ‬
‫ا‬j¦_®
َ ‫ا َوَأ‬j¦_Í َ lَ pٍ _ْ Š
ِ \ِ Tْ hَ fِ ‫ْا‬j›َ lْ ˆَ lَ ‫ا‬jُ_¬ِ €
ُ lَ WًbWsq· ُ WًU‫س ُرءُو‬ ُ Wsb‫¶ َƒ ا‬َ s ‫ ا‬WًmbِWَŠ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak akan mencabut ilmu dari manusia
dengan sekaligus. Akan tetapi, Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama (ahli
ilmu).Ketika Dia tidak menyisakan seorang alim pun, umat manusia akan menjadikan
orang-orang jahil sebagai pemimpin mereka, kemudian para pemimpin itu ditanya. Mereka
pun berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR.al-Bukhari dari
Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Tiga hadits di atas menunjukkan bahwa merebak dan semaraknya berbagai kesesatan
dalam agama ini disebabkan oleh jauhnya umat manusia dari ilmu Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah serta ahlinya (para ulama). Lebih jelasnya, kedua sebab itu adalah sebagai berikut.

1. Kebodohan

Kebodohan terhadap syariat Islam yang mulia dan sempurna adalah penyakit yang
membahayakan dan membinasakan. Namun, tidak ada yang menyadari bahwa kebodohan itu
adalah penyakit, selain orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ل‬
ُ ‫€¿َا‬
¦ b‫ ا‬z
ِّ Rَ bْ ‫ ُء ا‬Wَ‰­
ِ Wَmys‫ ِإ‬،‫ا‬jُm_َRْ Zَ ْpbَ ‫ا ِإذَا‬jُbˆَ U
َ Wَb‫َأ‬
“Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu? Hanyalah obat ketidaktahuan
(kebodohan) adalah bertanya.” ( HR. Abu Dawud dan dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizhahullah berkata (Bidayatul Inhiraf hlm. 133),
“Kebodohan adalah musuh semua risalah yang dibawa oleh para rasul Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata’ala memisalkan orang yang bodoh sebagai
makhluk yang paling jelek yang berjalan di muka bumi ini. Firman-Nya,

‫ن‬
َ jُ_Œِ Rْ Zَ Wَb r
َ Zِƒbs‫ ا‬pُ ْ Yُ bْ ‫ ا‬p¦ v
¦ b‫_ ِ“ ا‬sb‫ ا‬eَ ِŠ ‫ب‬
„ ‫وَا‬es b‫\ ا‬s ­
َ ‫ن‬
s ‫ِإ‬
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk pada sisi Allah ialah
orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun.” (al-Anfal: 22)

Wً_TِYU
َ ©
¦®
َ ‫ْ َأ‬p‫©ْ ُه‬fَ ۖ ‫ ِم‬WَRyْ ˆَ bْ Wَ‫ آ‬Wsb‫ْ ِإ‬p‫ن ۚ ِإنْ ُه‬
َ jُ_Œِ Rْ Zَ ْ‫ن َأو‬
َ jُRmَ €
ْ Zَ ْp‫ َ\ ُه‬uَ ‫ن َأ ْآ‬
s ‫ َأ‬¥
ُ €
َ|
ْ َ ْ‫َأم‬
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.
Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(dari binatang ternak itu).” (al-Furqan: 44)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan akibat jelek dari kebodohan dalam
kitabnya, Miftah Dar as- Sa’adah (1/382), “Pohon kejahilan akan membuahkan seluruh
kejelekan, kezaliman, permusuhan (tanpa alasan yang benar),…

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 60


Seluruh kejelekan dan kerusakan yang telah dan akan terjadi di alam semesta ini hingga
hari kiamat dan setelahnya (yakni di akhirat) disebabkan oleh penyelisihan terhadap apa yang
dibawa oleh para rasul e baik dalam hal ilmu maupun amalan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelopor dan


perintis mazhab Syiah Rafidhah adalah seorang zindiq kafir yang memusuhi agama Islam dan
kaum muslimin. Dia bukan ahli bdi’ah yang sesat karena takwil, seperti Khawarij dan
Qadariyah. Meski demikian, keyakinan-keyakinan Syiah Rafidhah laris di kalangan kaum
muslimin yang masih memiliki iman karena sangat bodohnya mereka.” (Minhajus Sunnah
4/363)

2. Jauhnya umat dari ulama syariat

Allah Subhanahu wata’ala menjadikan para ulama syariat sebagai para pemimpin yang
harus ditaati dalam urusan yang ma’ruf sebagaimana dalam firman-Nya,

ْpُ ِt \ِ tْ ˆَ bْ ‫ ا‬zِb‫ل َوأُو‬


َ jُU\s b‫ا ا‬jُRTِ¹‫_ َ“ َوَأ‬sb‫ا ا‬jُRTِ¹‫ا َأ‬jُtَ £ r
َ Zِƒbs‫ ا‬WَqZ¦ ‫ َأ‬WَZ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu.” (an- Nisa: 59)

Mereka adalah tempat untuk mengembalikan dan mengadukan seluruh problem umat
manusia, terkhusus dalam masalah agama. Umat senantiasa menunggu dan mengharapkan
bimbingan dan nasihat mereka. Sebab, mereka adalah orang yang paling memahami syariat
dan hal-hal yang akan bermanfaat bagiumat, baik yang terkait dengan urusan dunia maupun
agama. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ْpqُ ْ tِ \ِ tْ ˆَ bْ ‫ ا‬zِb‫ٰ أُو‬ibَ‫ل َوِإ‬ ِ jُU\s b‫ ا‬iَb‫ْ َرد¦و ُ´ ِإ‬jbَ‫ ِ“ ۖ َو‬fِ ‫ا‬jُŠ‫ف َأذَا‬ ِ ْj¶ َ bْ ‫ َأ ِو ا‬r
ِ tْ ˆَ bْ ‫ ا‬r
َ t„ ٌ\tْ َ‫ْ أ‬p‫ َء ُه‬Wَ· ‫َوِإذَا‬
Wً_Tِ_…َ Wsb‫ن ِإ‬
َ WَkTْ ™
s b‫ ا‬pُ ›ُ Rْ Yَ s Wَb “ُ ›ُ mَ ¨
ْ ‫ْ َو َر‬pُ Tْ _َŠ
َ “ِ _sb‫© ا‬
ُÍ
ْ lَ Wَbْjbَ‫ْ ۗ َو‬pqُ ْ tِ “ُ yَ jُkYِ َ›€
ْ Zَ rَ Zِƒbs‫ ُ“ ا‬mَ _ِRَ bَ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat
Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).” (an-Nisa: 83)

Di samping itu, mereka adalah orang yang paling peduli dan penyayang terhadap umat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Wَy‫ َوَأ‬Wَqْ Š
َ r
s qُ f¦ ƒُ Zَ jَ ‫ َو ُه‬WَqTِl r
َ Rْ Œَ Zَ ‫ش‬
ُ ‫ َ‰\َا‬bْ ‫ ِدبُ وَا‬WَŽ
َ bْ ‫© ا‬
َ Rَ Ž
َ lَ ‫رًا‬Wَy eَ …َ ْ‫© َأو‬ ٍ·ُ ‫© َر‬ ِ uَ mَ َ‫ْ آ‬pُ _ُuَ tَ ‫ َو‬zِ_uَ tَ
‫ِي‬eZَ ْrtِ ‫ن‬ َ jُ›_s‰َ َ ْp›ُ yْ ‫ ِر َوَأ‬Wsb‫ْ ا‬rŠ َ ْp‫ ُآ‬ªِ Ž َ| ُ fِ ٌƒ¢
ِ£
“Permisalanku dengan kalian ibarat seorang yang menyalakan api (di malam hari). Lalu
datanglah serangga dan kupu-kupu ingin masuk ke dalamnya dalam keadaan dia
menghalanginya agar tidak masuk ke dalam api. Dan aku memegangi pinggang kalian
(supaya kalian selamat) dari api (neraka), namun kalian senantiasa berusaha melepaskan diri
dari kedua tanganku.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah berkata, “Para ulama lebih sayang terhadap

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 61


umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada ayah dan ibu mereka.” Beliau
rahimahullah ditanya, “Bagaimana itu terjadi?” Jawab beliau, “Ayah dan ibu mereka menjaga
mereka (agar selamat) dari api dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka (sehingga
selamat) dari api neraka.” (Mukhtashar Nashihati Ahlil Hadits hlm. 167)

Itulah kedudukan mulia dan urgensi keberadaan ulama di tengah-tengah umat yang
tergambarkan dalam beberapa ayat dan hadits. Lantas apa yang terjadi ketika umat jauh dari
mereka? Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan tentang umat yang jauh
dari ilmu dan ulama dalam hadits Abdullah bin Amr c di atas. Disebutkan bahwa umat akan
menjadikan orang-orang bodoh sebagai pimpinan mereka sehingga mereka sesat dan
menyesatkan umat. Tidak ada musibah yang lebih dahsyat yang menimpa sebuah umat selain
jauhnya mereka dari ilmu dan ulama sehingga rusaklah urusan dunia dan agama mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‹َ Š
َ Ws€b‫¾ ِ\ ا‬
ِ ›َ yْ Wlَ “ِ _ِ‫ ِ\ َأ ْه‬Tْ ]
َ iَb‫ ُ\ ِإ‬tْ ˆَ bْ ‫ ا‬eَ U
„ ‫ِإذَا ُو‬
“Apabila sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah
kehancurannya.” (HR. al-Bukhari)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kalau bukan karena adanya ulama, sungguh
umat manusia akan seperti binatang ternak.” (Mukhtashar Nashihati Ahlil Hadits)

Ada dua kemungkinan yang menyebabkan umat jauh dari ulama syariat.

a. Sedikitnya jumlah ulama dibandingkan dengan kebutuhan umat.

Hal ini adalah salah satu tanda semakin dekatnya hari kiamat sebagaimana disebutkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu
‘anhuma di atas. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para dai yang mengajak umat kepada
berbagai kesesatan, seperti sufi, hizbiyah (fanatisme golongan), politik, dan sebagainya.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hati-hatilah kalian dari para dai
yang menyeru kepada kesesatan. Mereka memburu para pemuda dan berusaha memutuskan
hubungan para pemuda itu dengan keluarga dan masyarakatnya. Lantas mereka mencekoki
para pemuda tersebut dengan berbagai pemikiran sesat. Akhirnya, Anda akan dapati seorang
pemuda terpisah dari kedua orang tua dan keluarganya,lalu menjauh dari masjid-masjid kaum
muslimin, shalat Jumat,dan shalat jamaah. Setelah itu tidak diketahui lagi di mana dia, sampai
terdengar berita bahwa dia terbunuh bersama perusuh atau ditangkap bersama mereka oleh
aparat. Inilah buah yang akan dipetik apabila para pemuda tidak memedulikan dan mengikuti
nasihat para ulama.

Mereka tidak mau mengambil sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
memerintahkan untuk berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin, penguasa mereka,
berbakti dan membantu kedua orang tua, dan menjaga shalat Jumat dan shalat jamaah. Tatkala
mereka tidak memerhatikan hal-hal ini, niscaya mereka akan jatuh ke tangan musuh mereka.
Musuh-musuh itu akan mencari mereka, lalu mencekoki dengan doktrin-doktrin yang akan
menghancurkan kehidupan mereka. Kalaupun sebagian mereka masih tersisa, akan susah
sekali diobati karena pemikirannya sudah rusak dan sudah dicuci otak. Mereka layaknya
orang yang terkena penyakit yang belum ada obatnya semacam kanker atau lainnya.”
(al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 36)

b. Dijatuhkannya kewibawaan para ulama di hadapan umat Islam dengan berbagai cara.
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 62
Di antara cara yang ditempuh adalah menjuluki ulama syariat sebagai ulama sulthan
(pemerintah), ulama haid dan nifas yang tidak paham realitas, ulama antijihad, dan
sebagainya. Kalau kita perhatikan, cara yang mereka lakukan untuk menjauhkan umat dari
para ulamanya adalah cara-cara orang kafir yang menentang dakwah para nabi dan rasul
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahuwata’ala mengabarkan kepada para
hamba-Nya,

ْp‫©ْ ُه‬fَ ۚ “ِ fِ ‫ْا‬j}


َ ‫َا‬jَ ‫ ( َأ‬52) ٌ‫ن‬jُŽ
ْ tَ ْ‫¨\ٌ َأو‬
ِ WَU ‫ا‬jُbWَ… Wsb‫ل ِإ‬
ٍ jُU‫ر‬s r„t pِq_ِYْ …َ rِt r
َ Zِƒbs‫ ا‬iَ‫ َأ‬Wَt È
َ bَِٰƒ‫َآ‬
‫ن‬
َ jُ]Wَ¹ ٌ‫ْم‬j…َ
Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum
mereka, melainkan mereka mengatakan, “Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.”
Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah
kaum yang melampaui batas. (adz-Dzariyat: 52—53)

Bahkan, ketika Fir’aun berusaha menghadang dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi
Musa ‘Alaihissalam, dia mengatakan kepada umatnya,

‫ َد‬Wَ€‰َ bْ ‫ض ا‬
ِ ْ‫ َˆر‬bْ ‫ ا‬zِl \َ qِ ¾
ْ Zُ ‫ْ َأوْ أَن‬pُ َ Zِ‫ل د‬
َ e„ Yَ Zُ ‫ف أَن‬
ُ Wَ¢‫ َأ‬z„y‫ ُ“ ۖ ِإ‬fs ‫ع َر‬
ُ ْeTَ bْ ‫ٰ َو‬iU
َ jُt ْ©›ُ …ْ ‫ َأ‬zِy‫َذرُو‬
“Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya,
karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian atau menimbulkan
kerusakan di muka bumi.” (Ghafir: 26)

Demikian pula, cara inilah yang ditempuh oleh ahli bid’ah untuk menjauhkan umat dari
para ulama. Cara ini mereka warisi dari generasi ke generasi. Karena itu, al-Imam Abu
Utsman Ismail ash-Shabuni mengatakan, “Ciri-ciri ahli bid’ah itu tampak sekali pada
orangnya. Ciri dan tanda yang paling jelas adalah sangat kerasnya permusuhan, pelecehan,
dan penghinaan mereka terhadap para pembawa hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam (yakni para ulama ahli hadits).” (‘Aqidatu as-Salaf hlm. 101)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kaum muslimin wajib


menghormati para ulama karena mereka adalah pewaris para nabi. Melecehkan mereka berarti
melecehkan kedudukan mereka sebagai pewaris Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus
ilmu syariat yang mereka bawa. Barang siapa berani melecehkan ulama, tentu lebih berani
melecehkan kaum muslimin selain mereka. Para ulama adalah orang-orang yang wajib
dihormati karena ilmu dan kedudukan mereka di tengah-tengah umat, serta tanggung jawab
yang mereka emban demi kebaikan Islam dan kaum muslimin. Apabila para ulama sudah
tidak dipercaya, siapa lagi yang akan dipercaya? Apabila kepercayaan umat terhadap para
ulama telah hilang, kepada siapa lagi kaum muslimin bisa mengadukan berbagai problem
mereka? Siapa lagi yang dipercaya menjelaskan hukum-hukum syariat? Ketika semua itu
terjadi, umat pun akan terlantar, kekacauan pun akan tersebar.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm.
188)

Semoga Allah Subhanahuwata’ala senantiasa melimpahkan hidayah taufik kepada kita


semua untuk senantiasa ikhlas, sabar, dan istiqamah untuk menuntut ilmu Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman salafus saleh, di bawah
bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, agar selamat jiwa kita dan keluarga kita
serta seluruh kaum muslimin. Amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 63


Jejak “Perang Dzatu As-Salasil (Pasukan Berantai)”
Oleh : al Ustadz Abu Muhammad Harits

Khalid tiba bersama pasukannya yang berjumlah 2.000 orang yang sebelumnya ikut
memerangi orang-orang murtad. Bergabung pula 8.000 orang dari kabilah Rabi’ah. Khalid
kemudian menulis surat kepada tiga orang pembesar yang ada di Irak, yang juga sudah siap
berjihad, agar bersatu menyerang Irak. Ketiga pembesar itu adalah Ma’dzur bin ‘Adi al-‘Ijli,
Sulma bin al-Qain at-Tamimi, dan Harmalah bin Murabthah at-Tamimi.

Surat itu diterima baik dan ketiga pembesar itu pun menggabungkan pasukan mereka
yang jumlahnya bersama pasukan al-Mutsanna adalah 8.000 personil. Akhirnya, kekuatan
pasukan muslimin bertambah menjadi 18.000 personil. Mereka berkumpul di Ubulla.

Sebagaimana telah diceritakan, sebelum memasuki Irak, Khalid sudah menulis surat
peringatan kepada Hurmuz, pemimpin Persia, di perbatasan Ubulla.

Setelah mendekati wilayah pertempuran, Khalid memecah pasukannya menjadi tiga dan
memerintahkan setiap pasukan memilih jalannya sendiri-sendiri, tidak dari satu jalan saja.
Strategi ini disengaja Khalid untuk menepis adanya blokade-blokade. Akhirnya, di bagian
depan, berangkatlah al-Mutsanna, kemudian pasukan kedua adalah pasukan ‘Adi bin Hatim
ath-Tha’i, dan terakhir adalah pasukan Khalid. Mereka bersepakat bertemu di Hudhair.

Pasukan Rantai

Hurmuz sudah mengetahui arah pergerakan pasukan Khalid dan tahu pula bahwa kaum
muslimin berjanji untuk bertemu di Hudhair. Ia pun mempercepat gerak pasukannya untuk
mendahului kaum muslimin tiba di tempat tersebut. Hurmuz menempatkan Qubbadz dan
Anusyjan di bagian depan pasukan.

Sampailah berita kepada Khalid bahwa orang-orang Persia sudah bersegera menuju
Hudhair. Sebab itu, Khalid membawa pasukannya menjauh dari Hudhair menuju Kazhimah,
tetapi Hurmuz sudah mendahului pula dan berhenti di tempat yang cukup persediaan airnya.

Adapun Khalid berhenti di tempat yang tidak ada persediaan airnya. Khalid berkata
kepada sahabat-sahabatnya, “Turunkan beban-beban kalian kemudian rebut air mereka. Demi
Allah, air itu akan mengalir untuk golongan pasukan yang paling sabar dan tentara paling
mulia.”

Kaum muslimin segera menurunkan beban-beban mereka dalam keadaan kuda-kuda


masih berdiri tegak dan pasukan pejalan kaki mulai mendekati orang-orang kafir.

Allah Yang Maha Pemurah mulai mengirimkan awan dan menurunkan hujan di bagian
belakang barisan kaum muslimin. Akhirnya, kaum muslimin menjadi kuat dengan tersedianya
air yang melimpah untuk bekal mereka.

Itulah sebagian bukti kebersamaan Allah Subhanahu wata’ala dengan para wali-Nya
yang beriman.

Akhirnya, kedua pasukan itu saling berhadapan.

Hurmuz adalah Panglima Persia yang dikenal sebagai orang yang jahat dan curang,
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 64
bahkan menjadi simbol dengan kejahatannya.

Hurmuz sudah mendengar ketangguhan Khalid di medan laga sehingga ia berusaha


melakukan muslihat untuk menwgalahkan Khalid dan kaum muslimin dengan cepat.

Beberapa pengawalnya diperintahkan untuk maju bersamanya ke tengah-tengah


lapangan antara pasukan kaum muslimin dan Persia. Hurmuz mulai berjalan ke depan dan
menantang Khalid agar maju bertanding satu lawan satu dengannya.

Khalid menyambut tantangan itu dan turun dari kudanya. Dengan tenang, Khalid
berjalan ke tengah gelanggang sambil menghunus pedangnya. Hurmuz juga mulai maju.

Tiba-tiba, begitu mendekat, Hurmuz menyerang Khalid. Tetapi, dengan enteng Khalid
mengelakkan serangan lawan.

Kedua pedang mulai beradu. Beberapa saat keduanya masih tangguh dan saling tebas.

Dalam satu kesempatan, Khalid berhasil menelikung Hurmuz. Tetapi, beberapa


pengawal Hurmuz segera maju hendak menyergap Khalid ketika beliau lengah.

Qa’qa’ bin ‘Amr yang diturunkan dalam pasukan Khalid melihat kecurangan itu segera
memacu kudanya bersama beberapa orang berkuda lainnya menyerang pengawal Hurmuz.
Melihat keadaan ini, kaum muslimin di belakang Qa’qa’ segera menyerbu.

Tentara Persia dengan kekuatan dan persenjataan lengkap segera menyambut serangan
muslimin.

Bunyi gemerincing rantai menggema menyelingi suara takbir dan jerit kematian.
Pasukan Persia memang menggunakan rantai. Mereka mengikat kaki-kaki mereka agar tidak
lari dari medang perang. Inilah salah satu alasan perang ini dinamakan juga Dzatu as-Salasil
(pasukan rantai).

Walaupun jumlah kaum muslimin kalah jauh dibandingkan dengan tentara Persia, tetapi
semangat iman yang ada di hati mereka seakan-akan meruntuhkan gunung. Kekuatan inilah
yang sesungguhnya dihadapi oleh tentara penyembah api. Bagaimana mungkin mereka
menang?

Dengan cepat pertempuran itu diselesaikan oleh kaum muslimin. Puluhan ribu prajurit
Persia yang bertahun-tahun terlatih dalam strategi perang yang canggih saat itu
bergelimpangan sia-sia.

Kenyataan ini pula menambah dendam anak cucu dinasti Sasanid hingga saat ini
terhadap kaum muslimin, khususnya bangsa Arab (Quraisy, ed.).

Akhirnya, kaum muslimin memperoleh ghanimah yang berlimpah, dibawa oleh seribu
ekor unta. Tetapi, kaum muslimin tidak menyerang para petani yang mereka jumpai di
wilayah Persia. Para petani secara baik-baik ditawari untuk menerima Islam. Kalau mereka
menerima, ada kewajiban zakat dari hasil pertanian mereka. Kalau tidak, mereka harus
menyerahkan jizyah yang nilainya tetap jauh lebih kecil daripada yang dirampas oleh raja-raja
Persia dari petani-petani tersebut.

Dari ghanimah tadi, seperlimanya dikirim oleh Khalid kepada Khalifah Abu Bakr

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 65


ash-Shiddiq, sedangkan sisanya dibagi-bagi di antara para prajurit muslim.Termasuk yang
dikirimkan kepada Khalifah adalah mahkota Hurmuz yang bertakhtakan permata, yang
harganya mencapai seratus ribu dinar.

Akan tetapi, mahkota itu justru dikembalikan Khalifah kepada Khalid sebagai hadiah
untuk si Pedang Allah.

Berturut-turut, wilayah Irak mulai membuka dan menyerahkan diri kepada tentara Allah
Subhanahu wata’ala. Bala bantuan yang diinginkan oleh Hurmuz terlambat datang. Bahkan,
kedatangan mereka pun sia-sia karena menghadapi orang-orang yang merindukan bertemu
dengan Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana orang-orang Persia yang sangat mencintai
hidup.

Hampir 30.000 orang prajurit Persia mati di tangan kaum muslimin setelah mereka
memasuki wilayah Madzar.

Jatuhnya Madzar semakin menambah kemarahan dan dendam orang-orang Persia. Raja
mereka segera mengirim pasukan besar untuk menghentikan laju kaum muslimin. Tetapi,
siapa yang dapat menahan tentara Allah Subhanahu wata’ala? Siapa yang dapat mencegah
kekuatan iman jika sudah menerjang?

Dalam pertempuran di wilayah Waljah, kekalahan Persia demikian memalukan. Khalid


bertanding dengan seorang tentara Persia yang kekuatannya setara dengan seribu prajurit.
Tetapi, dengan mudah Khalid membunuhnya. Wallahu a’lam.

(insya Allah bersambung)

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 66


Ibrah “Bani Israil Menyembah Anak Sapi”
Oleh : al Ustadz Abu Muhammad Harits

Setelah berada di Bukit Thursina, Allah Subhanahu wata’ala menerangkan kepada Nabi
Musa ‘alaihis salam bahwa Dia telah memberikan cobaan kepada bani Israil dan mereka pun
disesatkan oleh Samiri. Nabi Musa ‘alaihis salam pun terkejut dan kecewa.

Begitu kembali dari Bukit Thur, beliau ‘alaihis salam melihat sebagian besar (sekitar
70.000 orang) bani Israil benar-benar melakukan kesyirikan, beribadah kepada patung anak
sapi emas. Mereka meratap dan menari-nari di sekeliling patung itu, sehingga kemarahan
beliau pun memuncak. Sambil melemparkan lembaran Taurat yang ada di tangannya ke tanah,
beliau berkata sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

ْpُ f„ ‫ َ\ َر‬tْ ‫ْ َأ‬p›ُ _ْ Ž


ِŠ
َ ‫ِي ۖ َأ‬eRْ fَ rِt zِyjُm›ُ ‰ْ _َ¢
َ Wَm€
َ ¬ْ fِ
“Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah
kamu hendak mendahului janji Rabbmu?” (al-A’raf: 150)

Tidak sampai di situ saja, beliau mengira bahwa saudaranya, Harun ‘alaihis salam,
kurang maksimal dalam mengingatkan dan membimbing kaumnya, sehingga beliau mencari
Nabi Harun ‘alaihis salam lalu menarik kepala dan janggut Nabi Harun ‘alaihis salam, seraya
berkata sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

‫\ِي‬tْ ‫ َأ‬ 
َ Tْ v
َ Rَ lَ ‫ ۖ َأ‬r
ِ Rَ Yِ ›s َ Wsb‫ ( َأ‬92) ‫ا‬j¦_®
َ ْpqُ ›َ Zْ ‫ ِإذْ َرَأ‬È
َ Rَ َ tَ Wَt ‫ن‬
ُ ‫رُو‬Wَ‫ ه‬WَZ ‫ل‬
َ Wَ…
“Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat,
(sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai
perintahku?” (Thaha: 92-93)

Nabi Harun ‘alaihis salam pun berkata kepada saudaranya, sebagaimana dalam firman
Allah Subhanahu wata’ala,

ْpbَ‫© َو‬
َ TِÇ‫\َا‬U
ْ ‫ ِإ‬zِfَ r
َ Tْ fَ  
َ …ْ \s lَ ‫ل‬
َ jُŒَ ‫ أَن‬ 
ُ Tِ™¢
َ z„y‫ ۖ ِإ‬zِUْ‫ َ\أ‬fِ Wَb‫ َو‬zِ›Tَ |
ْ _ِfِ ْƒ¢
ُ ْˆَ Wَb ‫م‬s ‫ ُأ‬r
َ fْ ‫ ا‬WَZ ‫ل‬
َ Wَ…
zِbْj…َ ْ¥…ُ ْ\َ
“Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan (pula) kepalaku.
Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), ‘Kamu telah memecah
antara bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.” (Thaha: 94)

Memang, Nabi Harun ‘alaihis salam tidak diam begitu saja dan membiarkan mereka
melakukan kesyirikan. Namun, karena bani Israil yang menyembah patung anak sapi itu
menganggapnya lemah, mereka hampir membunuh beliau.

Di sisi lain, orang-orang Yahudi dan Nasrani justru menganggap bahwa Nabi Harunlah
yang membuatkan patung itu untuk bani Israil. Alangkah kejinya tuduhan mereka ini.

Sangat disayangkan pula sikap sebagian kaum muslimin. Di manakah sentimen


keagamaan mereka terhadap salah seorang Nabi Allah Subhanahu wata’ala yang mulia?
Relakah mereka Nabi Harun ‘alaihis salam yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 67


dilecehkan begitu rupa dan dianggap sebagai pendukung kesyirikan?

Orang-orang Yahudi tidak pernah memuliakan para nabi dan rasul yang datang kepada
mereka. Jangankan terhadap para nabi dan rasul, Allah Subhanahu wata’ala juga tidak lepas
dari sikap pelecehan mereka.

Lebih menyedihkan lagi, adanya sebagian kaum muslimin yang ditokohkan,


menganggap diamnya Nabi Harun ‘alaihis salam adalah sikap toleran terhadap perbedaan
pendapat meskipun dalam urusan tauhid dan syirik. Tidakkah dia memerhatikan alasan Nabi
Harun ‘alaihis salam Tidakkah dia membaca bahwa ketika itu Nabi Musa ‘alaihis salam
sedang tidak ada bersama mereka? Tidakkah dia membayangkan seandainya Nabi Harun
‘alaihis salam menumpas orang-orang musyrik itu, lalu ditanya oleh Nabi Musa ‘alaihis salam
setelah tiba di tengah-tengah bani Israil, apa yang terjadi dengan bani Israil? Ke mana 70.000
orang bani Israil lainnya? Apa jawaban yang akan beliau berikan kepada Nabi Musa ‘alaihis
salam melihat bani Israil musnah?

Tidakkah dia memerhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak


memberi peluang sedikit pun kepada kesyirikan? Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
mengizinkan penduduk Thaif masih menyimpan berhala pujaan mereka meskipun hanya
sehari? Tokoh itu pula yang menyatakan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan dalam
urusan agama, tetapi tanah/wilayah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberinya petunjuk
agar bertobat.

Kepada anak-anak kaum muslimin yang tertipu oleh penampilan Yahudi dan Nasrani,
masihkah mereka beriman kepada al-Qur’anul Karim? Tidakkah mereka yakin bahwa
al-Qur’an ini menyempurnakan semua kitab agama yang terdahulu? Terhadap hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berani menolaknya kalau tidak sesuai dengan al-Qur’an,
meskipun sanadnya sahih, tetapi mengapa terhadap kitab-kitab yang tidak jelas kebenarannya,
keasliannya, bahkan tidak mempunyai sanad yang sahih sampai kepada nabi mereka, boleh
diterima mentah-mentah, tidak dihadapkan kepada al-Qur’an untuk dinilai benar atau
tidaknya? Bahkan, dijadikan acuan untuk menilai dan mengoreksi ajaran Islam?

Wallahul musta’an.

Bukankah dengan jelas Allah Subhanahu wata’ala berfirman, menceritakan upaya Nabi
Harun ‘alaihis salam memberi peringatan agar bani Israil tidak berbuat syirik?

‫\ِي‬tْ ‫ا َأ‬jُRTِ¹‫ َوَأ‬zِyjُRYِ s Wَl r


ُ mَٰ ¨
ْ \s b‫ ا‬pُ ُ fs ‫ن َر‬
s ‫ ِ“ ۖ َوِإ‬fِ p›ُ ِ›lُ Wَmys ‫ْ ِم ِإ‬j…َ WَZ ©ُ Yْ …َ rِt ‫ن‬ُ ‫رُو‬Wَ‫ْ ه‬pqُ bَ ‫ل‬ َ Wَ… ْeŒَ bَ‫َو‬
ٰiU َ jُt WَTْ bَ‫· َ’ ِإ‬
ِ ْ\Zَ ٰi›s ¨ َ r َ Tِ‰‫ ِآ‬WَŠ “ِ Tْ _َŠ
َ ‫ح‬
َ \َ Yْ ys rَb ‫ا‬jُbWَ… (90)
“Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya,“Hai kaumku,
sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Rabbmu
ialah Allah yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” Mereka
menjawab,“Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali
kepada kami.” (Thaha: 90—91)

Cukuplah Allah Subhanahu wata’ala menjadi saksi bahwa Nabi Harun ‘alaihis salam
telah berusaha melarang dan mencegah mereka dengan sekeras-kerasnya. Bagi orang-orang
Yahudi dan Nasrani, kalau mereka beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan
memuliakan para nabi dari kalangan mereka, yang jelas-jelas penerus bapak moyang mereka
-Ibrahim ‘alaihis salam- mereka semestinya mencabut tuduhan mereka terhadap Nabi Harun

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 68


‘alaihis salam. Sebab, bukan Nabi Harun ‘alaihis salam yang membuatkan patung anak sapi
emas itu, bahkan beliau tidak pernah menyetujui perbuatan bani Israil yang menyembah
patung anak sapi tersebut. Yahudi dan Nasrani juga harus meyakini dan menerima bahwa
memang Samirilah yang menyesatkan bani Israil.

Hendaknya mereka lebih dahulu dapat membuktikan keaslian dan kemurnian kitab yang
ada di tangan mereka, terutama dalam segi sanadnya. Rawi-rawinya harus bersih dari cacat
sampai kepada nabi mereka, dan ini tidak mungkin mereka lakukan kecuali mengada-ada.

Sebab itu, kaum mukminin, baik dari kalangan ahli kitab yang masuk Islam maupun
bukan, mereka sangat yakin bahwa kitab yang ada di tangan ahli kitab tidak lagi asli
sebagaimana diturunkan kepada Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam. Oleh sebab itu, tidak
mungkin kitab yang mereka anggap dari Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam tersebut dapat
dijadikan acuan untuk mengoreksi al-Qur’an.

Bahkan, seharusnya al-Qur’an-lah yang mereka jadikan acuan untuk mengoreksi


kitab-kitab tersebut. Dengan kenyataan tidak aslinya kitab yang ada di tangan mereka
sebagaimana diterima oleh Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam, sudah tentu keraguan mereka
tentang Samiri yang disebutkan dalam al-Qur’an tidak beralasan sama sekali.

Selain itu, apakah pantas seorang nabi yang mulia seperti Nabi Harun ‘alaihis salam
menyetujui kesyirikan, bahkan mendukungnya dengan menyediakan sarananya? Mahasuci
Allah, sungguh itu adalah tuduhan yang sangat keji. Siapa pun yang mengaku beriman, tentu
memuliakan para nabi yang diutus oleh Allah ‘azza wa jalla.

Kita kembali kepada kisah ini.

Setelah menerima jawaban Nabi Harun ‘alaihis salam, Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa
kepada Allah Subhanahu wata’ala memintakan ampunan untuk dirinya dan saudaranya yang
mulia ini, ‘alaihimassalam. Orang-orang yang tergoda ikut menyembah patung anak sapi itu
akhirnya sadar, mereka merasa berdosa,

r
َ tِ r
s yَ jُَ bَ Wَbَ ْ\‰ِ hْ Zَ ‫ َو‬Wَf¦ ‫ َر‬Wَmْ ¨
َ ْ\Zَ ْpbs rِ¬bَ ‫ا‬jُbWَ… ‫ا‬j¦_®
َ ْe…َ ْpqُ ys ‫ْ َو َرَأوْا َأ‬pqِ ZِeZْ ‫ َأ‬zِl Ø
َ Œِ U
ُ Wsmbَ‫َو‬
r
َ Zِ\Uِ Wَ¶bْ ‫ا‬
“Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka
telah sesat, mereka pun berkata, “Sungguh, jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada
kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi.”
(al-A’raf: 149)

Mereka pun datang menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan menanyakan cara bertobat
dari dosa tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

‫ا‬jُ_›ُ …ْ Wَl ْpُ Çِ ‫ ِر‬Wَf ٰibَ‫ا ِإ‬jُfjُ›lَ ©َŽْ Rِ bْ ‫ ا‬pُ ‫ ِذ ُآ‬Wَ¶„Wِf pُ€
َ ‰ُ yَ‫ْ أ‬p›ُ mْ _َ‘
َ ْpُ ys ‫ْ ِم ِإ‬j…َ WَZ “ِ tِ ْjŒَ bِ ٰiU
َ jُt ‫ل‬ َ Wَ… ْ‫َوِإذ‬
pُ Tِ¨\s b‫ب ا‬
ُ ‫ا‬sj›s b‫ ا‬jَ ‫ ُ“ ُه‬ys ‫ْ ۚ ِإ‬pُ Tْ _َŠ
َ ‫ب‬ َ Wَ›lَ ْpُ Çِ ‫ ِر‬Wَf eَ ِŠ ْpُ bs ٌ\Tْ ¢ َ ْpُ bَِٰ‫ْ ذ‬pُ €
َ ‰ُ yَ‫أ‬
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, sesungguhnya
kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu
(sembahanmu), maka bertobatlah kepada Bari’ (Allah Yang Menjadikan) kamu dan bunuhlah
dirimu. Hal itu lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu; maka Allah akan
menerima tobatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 69
(al-Baqarah: 54)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala menerima tobat mereka setelah
mereka membunuh diri mereka. Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan bahwa mereka yang
bunuh diri itu hampir mencapai 70.000 orang. Kemudian, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

‫ل‬
ِ jُU\s b‫ ِ\ ا‬Àَ ‫ْ َأ‬rt„ ‹ً Í َ Yْ …َ   ُ Í ْ Yَ Œَ lَ “ِ fِ ‫\ُوا‬v ُ Yْ Zَ ْpbَ Wَmfِ ‫ت‬ ُ ْ\v ُ fَ ‫ل‬َ Wَ… ( ) ‫ي‬ ¦ \ِ tِ WَU WَZ È َ Yُ kْ ¢ َ Wَmlَ ‫ل‬ َ Wَ…
È
َ bَ ‫ن‬s ‫س ۖ َوِإ‬ َ Wَ€tِ Wَb ‫ل‬ َ jŒُ َ ‫ ِة أَن‬WَT| َ bْ ‫ ا‬zِl È َ bَ ‫ن‬ s aِ lَ ْ¥‫ذْ َه‬Wَl ‫ل‬َ Wَ… ( ) zِ€‰ْ yَ zِb ْ bَjs U َ È َ bَِٰƒ‫ َو َآ‬Wَqُ ْƒYَ َ lَ
( ) Wً‰€ ْ yَ p„ Tَ bْ ‫ ا‬zِl “ُ s‰َ €
ِ َbَ ps Àُ “ُ s …َ \„ |َ ُbs ۖ Wً‰‫ ِآ‬WَŠ “ِ Tْ _َŠ َ  َ _ْ ‘
َ ‫ƒِي‬bs‫ ا‬È َ qِ bَٰ‫ٰ ِإ‬ibَ‫¾\ْ ِإ‬ ُ y‫¶َ_ َ‰ ُ“ ۖ وَا‬
ْ ُ rsb ‫ًا‬eŠ ِ ْjtَ
ْe…َ Wَt ‫ ِء‬WَYyَ‫ْ أ‬rtِ È َ Tْ _َŠ
َ ¼ ¦ Œُ yَ È َ bَِٰƒ‫ ) ( َآ‬Wًm_ْ Š ِ ‫ْ ٍء‬z­ َ © s ‫ َ’ ُآ‬U
ِ ‫ ۚ َو‬jَ ‫ ُه‬Wsb‫ َ“ ِإ‬bَٰ‫ ِإ‬Wَb ‫ƒِي‬bs‫_ ُ“ ا‬sb‫ ا‬pُ ُ qُ bَٰ‫ ِإ‬Wَmys ‫ِإ‬
‫ ِ‹ ِوزْرًا‬tَ WَTŒِ bْ ‫ْ َم ا‬jZَ © ُ mِ |ْ Zَ “ُ ys aِ lَ “ُ ْ َŠ ‫ض‬َ \َ Š ْ ‫ْ َأ‬rts ( ) ‫ ِذ ْآ\ًا‬Wsyeُ bs rِt ‫ك‬ َ WَTْ َ £ ْe…َ ‫Ÿ ۚ َو‬ َ Yَ U
َ
“Musa berkata, “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian), hai Samiri?” Samiri
menjawab, “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil
segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku
membujukku.” Musa berkata, “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam
kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku).’ Dan
sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat
menghindarinya, dan lihatlah sesembahanmu itu yang kamu tetap menyembahnya.
Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan
menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). Sesungguhnya
sesembahanmu hanyalah Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia.
Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” (Thaha: 95-98)

Meskipun singkat, ternyata kecintaan menyembah patung anak sapi itu benar-benar
meresap ke dalam hati sebagian besar bani Israil. Oleh sebab itu, Nabi Musa ‘alaihis salam
menghancurkan patung itu dengan membakarnya, lalu menghamburkannya ke dalam laut
sambil disaksikan oleh seluruh bani Israil. Semua itu agar mereka melihat bahwa benda yang
mereka sembah selain Allah Subhanahu wata’ala itu tidak berdaya apa-apa. Tidak mampu
menyelamatkan dirinya sedikit pun, sehingga bagaimana mungkin dia dapat menyelamatkan
orang-orang yang menyembahnya? Dengan lenyapnya wujud patung itu, hilang pula rasa
cinta terhadap benda yang tidak memberi manfaat atau mudarat tersebut.

Ingat kembali kisah ‘Amr bin Jumuh radhiyallahu ‘anhu sebelum masuk Islam.

Alangkah lemah akal dan keyakinan orang-orang berbuat syirik, dan alangkah indahnya
perumpamaan yang dibuat oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam al-Qur’anul Karim,

jِ bَ‫ َو‬WًfWَf‫ا ُذ‬jُŒ_ُ¶


ْ Zَ rَb “ِ _sb‫ن ا‬ِ ‫ دُو‬rِt ‫ن‬َ jُŠْeَ r َ Zِƒsb‫ن ا‬ s ‫ ُ“ ۚ ِإ‬bَ ‫ا‬jُRmِ ›َ U
ْ Wَl ٌ©uَ tَ ‫ب‬ َ \ِ ®ُ ‫س‬ ُ Wsb‫ ا‬WَqZ¦ ‫ َأ‬WَZ
‫ب‬
ُ jُ_k ْ mَ bْ ‫ وَا‬¥
ُ bِWskb‫ ا‬µَ Rُ ®
َ ۚ “ُ ْ tِ ´ُ ‫€›َ ِŒƒُو‬
ْ Zَ Wsb Wً¬Tْ ­
َ ‫ب‬ُ Wَfƒ¦ b‫ ا‬pُ qُ Yْ _ُ€
ْ Zَ ‫ ُ“ ۖ َوإِن‬bَ ‫ا‬jُRmَ ›َ ·
ْ‫ا‬
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan
itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan
seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Jika lalat itu merampas sesuatu
dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj: 73)

Jelaslah, semua yang diibadahi selain Allah ‘azza wa jalla, baik itu dari kalangan
malaikat yang didekatkan maupun nabi yang diutus, tidak akan pernah mampu menciptakan
sesuatu. Sudah tentu, selain dua golongan makhluk yang mulia ini tidak pula berdaya apa-apa.
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 70
Adakah yang mau mengambil pelajaran?

Sekilas Tentang Samiri

Samiri ini, menurut sebagian ahli tarikh, adalah salah seorang bani Israil yang terasing
di antara mereka. Ada pula yang berpendapat lain, dia termasuk penduduk Karman atau
Bajarma, dan nama aslinya adalah Mikha, atau Musa bin Zhafar. Samiri adalah penisbatan
kepada salah satu kabilah bani Israil.

Dahulu, Samiri bergaul dengan orang-orang yang menyembah patung anak sapi,
sehingga cintanya kepada anak sapi benar-benar merasuk tulang. Setelah Fir’aun tenggelam
dan bani Israil menyeberangi Laut Merah dengan selamat, mereka melewati sebuah negeri
yang penduduknya menyembah anak sapi. Melihat keadaan penduduk tersebut, mereka pun
berkata kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

‹ٌ qَ bِ£ ْpqُ bَ Wَm‫ َآ‬Wًqbَٰ‫ ِإ‬Wَbs ©َR·


ْ ‫ ا‬iَUjُt WَZ ‫ا‬jُbWَ…
“Hai Musa, buatlah untuk kami satu sesembahan sebagaimana mereka mempunyai
beberapa sesembahan.” (al-A’raf: 138)

Dari sinilah muncul ambisi Samiri untuk mengajak bani Israil menyembah patung anak
sapi. Dia teringat ketika Jibril berada di depan pasukan Fir’aun menggiring mereka memasuki
laut yang terbelah. Waktu itu Jibril berada di atas kendaraannya, dan Samiri melihat jejak kaki
kuda Jibril tersebut.

Kemudian Samiri mengambil segenggam tanah bekas jejak kaki kuda itu dan
menyimpannya dalam sebuah kantong. Ketika bani Israil melemparkan emas dan perhiasan
mereka ke dalam api yang sedang berkobar melahap perhiasan tersebut hingga meleleh,
Samiri melemparkan tanah yang disimpannya ke tumpukan emas yang sudah meleleh dalam
kobaran api itu sambil berkata, “Jadilah anak sapi!”

Dengan kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala, cairan emas dan perhiasan itu menjadi
patung seekor anak sapi yang mengeluarkan suara. Hal ini semakin membenamkan bani Israil
ke dalam fitnah (ujian) karena kebodohan mereka. Menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, patung itu bersuara karena angin yang masuk dari dubur sapi itu dan keluar dari
mulut. Wallahu a’lam.

Bagaimana Samiri mengenali Jibril? Wallahu a’lam, sebagian orang menceritakan


bahwa ketika Fir’aun membantai anak laki-laki bani Israil, ibu Samiri juga berusaha
menyelamatkan putranya, seperti halnya ibu Nabi Musa ‘alaihis salam.

Samiri disembunyikan di dalam sebuah gua oleh ibunya lalu ditinggal pergi. Diceritakan
mereka bahwa Allah Subhanahu wata’ala mengutus Jibril merawat bayi ini untuk satu urusan
yang sudah ditentukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Sejak saat itulah Samiri mengenal Jibril.
Ketika bani Israil menyeberangi laut bersama Nabi Musa dan Harun alaihimassalam, Jibril
berada di depan rombongan itu di atas kudanya.

Samiri mengenalinya, lalu mengambil bekas tapak kaki kuda Jibril yang membuat tanah
yang diinjaknya menghijau.

Menurut sebagian ahli kitab, nama Samiri adalah penisbatan kepada kota Samirah yang
dibangun seratus tahun sesudah Nabi Musa alaihis salam. Jadi, tidak mungkin yang
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 71
menyesatkan bani Israil sehingga menyembah patung anak sapi salah seorang penduduk kota
yang munculnya seratus tahun kemudian.

Dari sinilah mereka menganggap al-Qur’an salah dan mengatakan bahwa Nabi Harun
alaihis salam -lah yang membuat patung tersebut. Semoga Allah Subhanahu wata’ala
membinasakan mereka.

Di dalam kitab-kitab Israiliyat sendiri, dia mempunyai nama yang sama dengan Nabi
Harun bin ‘Imran, saudara Nabi Musa alaihis salam, yaitu Harun as-Samiri.

Dari sini pula, entah karena sengaja atau karena kebodohan, mereka menuduh Nabi
Harun-lah yang menyesatkan bani Israil. Wallahul musta’an.

Yang jelas, al-Qur’anul Karim menyebut nama ini, dan berarti tokoh ini ada, entah
dengan nama sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’anul Karim, atau dengan nama
dalam bahasa Ibrani lalu disesuaikan dengan dialek Arab.

Pelajaran dari Kisah Ini

Dari rangkaian kisah bani Israil bersama Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam sampai
mereka disesatkan oleh Samiri ini, dapat kita petik beberapa hikmah, di antaranya sebagai
berikut.

1. Luasnya kasih sayang dan karunia Allah Subhanahu wata’ala kepada bani Israil,
sehingga sudah sepantasnya mereka bersyukur dan semakin taat kepada-Nya.
2. Kebenaran itu tidak diukur berdasarkan jumlah yang banyak.
3. Orang yang lama terbenam dalam kebatilan dan baru sesaat meninggalkannya, sangat
dikhawatirkan sisa-sisa kebatilan itu masih bersemayam di dalam hatinya.
4. Keadaan ini pernah dialami oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tetapi, setelah mendapat teguran keras dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam, mereka tidak lagi mempunyai keinginan untuk melakukan kesyirikan itu.
Inilah salah satu keutamaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
5. Orang-orang yang berbuat syirik sama sekali tidak memiliki hujah yang mendukung
kesyirikan mereka.
6. Syirik adalah pelanggaran terhadap hak asasi paling utama, yaitu hak Allah ‘azza wa
jalla. Sebab itu, para nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala selalu
mengingatkan bahaya syirik ini dan melarang umatnya melakukan syirik. Tidak
mungkin mereka melegalkan apalagi mendukung atau menyiapkan sarana kesyirikan,
meskipun sekejap.
7. Rahmat Allah Subhanahu wata’ala terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan tidak menetapkan syariat keharusan bunuh diri sebagai cara untuk
bertobat.

Wallahu a’lam.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 72


Problema Anda
Persoalan-Persoalan Seputar Akikah

Pertanyaan : Banyak pertanyaan diajukan kepada Redaksi seputar mengakikahi diri


sendiri dan mengakikahi setelah hari ke-7 kelahiran. Juga bila baru punya satu kambing untuk
akikah anak laki-laki bolehkah dengan satu kambing dahulu, dan yang lain menyusul?
Demikian juga apakah bayi yang meninggal diakikahi?

(Dijawab oleh al Ustadz Qomar Suaidi):

1. Mengakikahi diri sendiri.


Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yang terkuat dari pendapat yang ada
adalah boleh. Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan
bahwa beliau mengakikahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.
Hadits ini sahih menurut pendapat yang paling kuat (rajih). Sebagian ulama
melemahkannya, namun pendapat mereka keliru. Oleh karena itu, kami akan sedikit
menyampaikan pembahasan hadits ini.
Sebenarnya hadits ini telah panjang lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab
beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya hanya akan meringkas apa yang
dijabarkan oleh beliau dan sedikit menambahkan yang perlu. Adapun bunyi hadits itu. Anas
berkata,

WÒTYِ yَ º
َ Rِ fُ Wَteَ Rْ fَ “ِ €
ِ ‰ْ yَ ْrŠ
َ Ÿ
sŠَ
“Nabi mengakikahi dirinya setelah diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai sanad
yang sampai kepada sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.
a. Al-Haitsam bin Jamil dari Abdullah bin al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas, dari
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu. Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi,
ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn A’yan.
b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Jalur ini
diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh.
c. Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Jalur
ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.

Untuk rantai sanad yang pertama, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah sanad
yang hasan, para rawinya adalah orang-orang yang yang telah dijadikan hujah (para periwayat
tepercaya) dalam Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin Jamil. Beliau (al-Haitsam bin
Jamil) sendiri adalah seorang yang tsiqah (tepercaya) dan hafizh (penghafal hadits), salah
seorang guru al-Imam Ahmad rahimahullah.
Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna, beliau adalah salah seorang periwayat dalam
Shahih al-Bukhari, artinya al-Bukhari rahimahullah menganggap bahwa Abdullah bin
al-Mutsanna termasuk tepercaya. Namun, ternyata ada ulama lain yang membicarakan
Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendudukkan
perselisihan ini dengan kesimpulan bahwa al-Bukhari rahimahullah hanya memercayai
sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna apabila dia meriwayatkan dari pamannya. Jika tidak,
al-Bukhari tidak bertumpu pada riwayatnya. Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita bahas
ini beliau riwayatkan dari pamannya, Tsumamah bin Anas, sehingga sesuai dengan syarat
al-Bukhari dalam hal ini.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 73


a) Mengenai rantai sanad yang kedua, terkhusus adanya perawi yang bernama Ismail
bin Muslim, maka asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Semacam sanad tersebut bisa dijadikan
pendukung sehingga hadits semakin kuat dengannya.”

Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu Hatim—beliau termasuk ulama yang keras dalam
mencacat para rawi—mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak ditinggalkan, haditsnya dapat
ditulis,” yakni untuk dukungan.

Ibnu Sa’d rahimahullah mengatakan, “Dia adalah orang yang diperhitungkan pendapat
dan fatwanya, memiliki pandangan dan hafalan terhadap hadits. Karena itu, aku dahulu
menulis hadits darinya karena kecerdasannya.”

Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.

b) Mengenai rantai sanad yang ketiga, para ulama melemahkannya karena kelemahan
perawinya, yaitu Abdullah bin al-Muharrar.

Dari pemaparan singkat tentang hadits ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau hasan. Di
antara ulama yang menganggap kuatnya hadits ini dari ulama terdahulu adalah adalah
adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-Isybili
dalam kitabnya al-Ahkam, dan Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu Tatsrib.

Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-Thahawi
termasuk yang menerima hadits ini karena mereka menyebutkan sanadnya tanpa
mengkritiknya.

Adapun para ulama yang menganggap lemah hadits ini, di antaranya al-Imam Ahmad
dan al-Baihaqi yang mengatakan hadits ini mungkar, juga an-Nawawi yang mengatakan batil,
sesungguhnya mereka melemahkan hadits ini dari jalur rantai sanad yang ketiga. Dengan
demikian, pendapat yang membolehkan mengakikahi diri sendiri adalah pendapat yang rajih
(kuat).

Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah satu
riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syaukani menggantungkan pendapat ini dengan
kesahihan hadits. Alhamdulillah, hadits ini sahih. (lihat al-Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah
hlm. 96)

Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu belum diakikahi, akikahilah dirimu


walaupun kamu lelaki.” Kata beliau, ‘walaupun kamu lelaki’ karena ada yang mengkhususkan
hukum ini bagi wanita.

Muhammad bin Sirrin rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku tahu bahwa aku
belum diakikahi, tentu aku akan mengakikahi diriku.” (ash-Shahihah 6/506 qism 1)

Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik
sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)

Sebagian ulama yang cenderung kepada pendapat ini mengatakan bahwa seandainya
hadits ini sahih, bisa jadi ini adalah kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun, sanggahan seperti ini lemah karena kekhususan itu harus berdasarkan dalil, sementara
itu di sini tidak ada dalil yang mengkhususkan hal ini untuk beliau.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 74


2. Mengakikahi selain hari ketujuh.
Dalam hal ini ada tiga pendapat sebagaimana disebutkan oleh Abu Zurah al-Iraqi dalam
kitab Tharhu at-Tatsrib. Namun, dengan mengetahui persoalan pertama, yaitu bolehnya
seseorang mengakikahi dirinya, tampak jelas bahwa diperbolehkan mengakikahi setelah hari
ketujuh. Walaupun tentu sangat ditekankan untuk melakukannya pada hari ketujuh saat ada
kemampuan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

’ِ fِ Wّ€
َ b‫ْ َم ا‬jZَ “ُ ْ Š
َ »
ُ fَ ْƒُ “ِ ›ِ Œَ TِŒRَ fِ ‹ٌ َTِ‫¡ ٍم َره‬
َ]ُ ©
¦ ‫ُآ‬
“Tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh.” (Sahih,
HR. Abu Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Di antara yang berpendapat bolehnya setelah hari ke-7 adalah Ibnu Sirin, asy-Syafi’i,
Ibnu Hazm, dan yang lain.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang tampak, pengaitan akikah dengan hari
ketujuh adalah sunnah. Jadi, sah saja apabila menyembelih pada hari ke-4, ke-8, ke-10, atau
setelahnya. Penentuan waktu ini adalah untuk penyembelihannya, bukan untuk memasak atau
memakannya.” (Tuhfatul Maudud hlm. 76)

Adapun Ibnu Hazm rahimahullah tidak membolehkan sebelum hari ketujuh.

Apakah penyembelihan itu pada hari kapan saja ataukah tiap kelipatan ketujuh?
Tampaknya, kapan saja boleh karena riwayat yang menyebutkan kelipatan ketujuh
adalah lemah, sebagaimana telah diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani Rahimahullah dalam
kitab al-Irwa’ (4/395).

3. Hanya memiliki satu ekor kambing untuk akikah anak lelaki.


Dalam hal ini hendaknya ia menunggu sampai memiliki dua ekor kambing, dan tidak
menyembelih terlebih dahulu kambing yang dia miliki. Hal ini berdasarkan sabda Rasul
Shallallahu ‘alaihi wasallam,

‫ن‬
ِ Wَ›¬َ lِ Wَtُ ‫ن‬
ِ WَWَ­ ‫¡ ِم‬
َ hُ bْ ‫ ا‬r
ِŠَ
“Untuk anak lelaki dua ekor kambing yang mukafi’ataan.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan
yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Mukafi’atan dalam hadits ini ditafsirkan dengan beberapa penafsiran, di antaranya
adalah mutaqaribatan, yakni seimbang.
Ada pula yang menafsirkan, ‘disembelih bersamaan’. Dawud bin Qais pernah bertanya
kepada Zaid bin Aslam, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada Zaid bin Aslam tentang makna
mukafi’atan.” Beliau menjawab, “Dua kambing yang mirip, yang disembelih bersama-sama.”
(Musykilul Atsar karya ath-Thahawi)

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah tentang Akikah Janin yang Gugur dan Bayi yang
Meninggal

Pertanyaan :
Janin yang gugur dari kandungan yang telah jelas bahwa dia laki-laki atau perempuan,
apakah diakikahi atau tidak? Demikian juga bayi yang terlahir apabila meninggal beberapa
hari setelah kelahiran sementara belum diakikahi saat dia hidup, apakah diakikahi setelah
kematiannya atau tidak? Apabila telah lewat satu bulan, dua bulan, setengah tahun, satu tahun,

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 75


atau bahkan lebih dari saat lahirnya bayi dan ia belum diakikahi, apakah diakikahi atau tidak?

Jawab:
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa akikah adalah sunnah, berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Ashhabus Sunan dari Salman bin Amir, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata,

‫ َˆذَى‬bْ ‫Š ْ ُ“ ا‬
َ ‫ا‬jُkTِt‫ َوَأ‬،Wًt‫Š ْ ُ“ َد‬
َ ‫ا‬jُŒZِ\‫ُˆ ْه‬lَ ‹ٌ Œَ Tْ Œِ Š
َ ‫ل‬
ِ Wَt žُ bْ ‫ َ’ ا‬tَ
“Bersama seorang anak itu akikahnya, maka tumpahkan darah untuk (akikahnya) dan
hilangkan rambut (kepalanya).”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Samurah radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ism€
َ Zُ ‫ َو‬،ُŸ_َ|
ْ Zُ ‫ َو‬،ِ“Rِ fِ WَU ‫ْ َم‬jZَ “ُ ْ Š
َ »
ُ fَ ْƒُ “ِ ›ِ Œَ TِŒRَ fِ ‹ٌ َ Tْ ‫ل َر ِه‬
ٍ Wَt ‫غ‬
ُ ©
¦ ‫ُآ‬
“Tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digundul,
dan diberi nama.” (HR. Ahmad dan Ashhabussunan, dan dinyatakan sahih oleh at-Tirmidzi)

Demikian pula hadits itu yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari
kakeknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ٌ‫ة‬Wَ­ ‹ِ Zَ ‫ ِر‬WَŽbْ ‫ ا‬r


ِŠ
َ ‫ َو‬،ِ‫ن‬Wَ›¬َ lِ Wَtُ ‫ن‬
ِ WَWَ­ ‫ل‬
ِ Wَt žُ bْ ‫ ا‬r
ِŠَ ،ْ©Rَ ‰ْ Tَ _ْ lَ ´ِ eِ bَ‫ْ َو‬rŠ
َ È
َ €
ِ ْ Zُ ْ‫ْ َأن‬pُ ْ tِ ¥
s ¨
َ ‫ْ َأ‬rtَ
“Barang siapa di antara kalian ingin mengakikahi anaknya, lakukanlah. Untuk anak
laki-lakinya dua ekor kambing yang seimbang dan untuk anak perempuannya satu ekor
kambing.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dengan sanad yang hasan)

Tidak ada akikah untuk janin yang gugur walaupun telah jelas apakah itu laki-laki atau
perempuan, apabila gugur sebelum ditiupkan ruh padanya, karena dia tidak disebut anak atau
bayi. Adapun akikah disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran, apabila janin dilahirkan
dalam keadaan hidup, lalu mati sebelum hari ketujuh, maka disunnahkan untuk diakikahi pada
hari ketujuh dan diberi nama. Apabila lewat hari yang ketujuh dan belum diakikahi, Sebagian
fuqaha berpendapat bahwa tidak disunnahkan untuk diakikahi setelahnya, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan waktunya pada hari ketujuh.

Sementara itu, ulama mazhab Hanbali dan sekelompok ahli fikih berpendapat bahwa
disunnahkan untuk diakikahi walaupun telah lewat satu bulan, satu tahun, atau lebih, dari
kelahirannya, berdasarkan keumuman hadits-hadits dan berdasarkan apa yang diriwayatkan
al-Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengakikahi dirinya setelah kenabian, dan ini pendapat yang lebih hati-hati.
Allah Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam
tercurah kepada nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para
sahabatnya.

Komisi Tetap untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa


Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazzaq Afifi; Anggota:
Abdullah Ghudayyan.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 76


Khutbah Jum’at “Sepuluh Hari Terakhir Di Bulan Ramadhan”
Oleh: al Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

‫ْ ُر‬j‰ُ hَ bْ ‫ ا‬jَ ‫ ِ“ َو ُه‬mِ Rَ yِ ©


ِ Zْ ªِ ·
َ iَ_Š َ ´ُ eُ mَ ¨ْ ‫ َوَأ‬،ِ‫ْر‬jqُ ™ ¦ b‫ ِم وَا‬WsZÚ َ ْ‫ف ا‬ ِ \ِّ vَ tُ ‫وْ ِر َو‬eُ Œْ mَ bْ ‫ِّ ِر ا‬eŒَ tُ “ِ _ِb eُ mْ |
َ b‫ا‬
‫ْ ٍء‬z­َ © „ ‫ ُآ‬iَ_Š َ jَ ‫ َو ُه‬eُ mْ | َ bْ ‫ ُ“ ا‬bَ‫ َو‬È
ُ _ْ mُ bْ ‫ ُ“ ا‬bَ ،ُ“bَ Èَ Zْ \ِ ­
َ ˜ َ ´ُ eَ ¨ ْ ‫¸ َو‬ ُ ‫˜ا‬ s ‫ َ“ ِإ‬bَ‫˜ ِإ‬
s ْ‫ َأن‬eُ qَ ­ ْ ‫ َوَأ‬،ُ‫ْر‬jُ ™ s b‫ا‬
“ِ bِ£ iَ_Š َ ‫ ِ“ َو‬Tْ _َŠ َ ¸ ُ ‫ ا‬is_} َ ،ُ\Tْ ِ mُ bْ ‫ج ا‬ ُ ‫€\َا‬ ِّ b‫ ُ\ وَا‬Zْ ƒِ s b‫ ُ\ ا‬Tْ ™
ِ Yَ bْ ‫ ُ“ ا‬bُْjUُ ‫ ُ´ َو َر‬eُ Yْ Š
َ ‫ًا‬ems |
َ tُ ‫ن‬ s ‫ َأ‬eُ qَ ­ْ ‫ َوَأ‬،ٍ\Zْ eِ …َ
‫َى‬jŒْ ›َ fِ ْz€ ِ ‰ْ yَ ‫ َو‬-‫س‬ ُ Wsb‫ ا‬WَqZ¦ ‫َأ‬-ْpُ Tْ } ِ ْ‫ُˆو‬lَ :eُ Rْ fَ Wst‫ َأ‬،ِ‫ْر‬j™ ُ ¦ b‫ وَا‬º ِ Rْ Yَ bْ ‫ ا‬iَb‫\ًا ِإ‬Tْ uِ َ‫ آ‬WًmTْ _ِ€
ْ َ pَ _sU
َ ‫ ِ“ َو‬fِ Wَ|} ْ ‫َوَأ‬
‫ح‬
ُ WَŽs b‫ َد ُة وَا‬WَR€ s b‫ح وَا‬ ُ¡ َ ‰َ bْ ‫ ا‬WَqYِ lَ ¸ ُ ‫ ا‬pُ ُ mَ ¨
ِ ‫¸ َر‬ َ ‫ْا ا‬jŒُ s Wَl ،s©· َ ‫ َو‬ªs Š َ ¸ ِ ‫ا‬
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah menetapkan keutamaan yang
besar bagi hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Kami memuji dan bersyukur kepada-Mu,
ya Allah, atas kenikmatan bertemu dengan bulan Ramadhan, lebih-lebih pada sepuluh hari
terakhir di bulan yang mulia ini. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi
dengan benar selain Allah Subhanahu wata’ala semata, serta saya bersaksi bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya.

Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wata’ala curahkan kepada
beliau, keluarga, para sahabat, dan kaum muslimin yang bersungguh-sungguh dalam
mengikuti jalannya.

Hadirin rahimakumullah,

Marilah kita bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sebenar-benar takwa.
Dengan bertakwa, seseorang akan ditinggikan derajatnya dan menjadi hamba yang mulia di
sisi-Nya. Oleh karena itu, marilah kita mewujudkan ketakwaan dalam hati kita dengan
senantiasa menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,

Seakan-akan baru saja kita bertemu dengan awal bulan yang mulia ini, ternyata
sekarang kita sudah mendekati pengujung bulan yang penuh kebaikan ini. Hari-hari yang
penuh dengan keutamaan ini akan terus berjalan meninggalkan kita serta akan menjadi saksi
di hadapan Allah Subhanahu wata’ala atas seluruh amalan dan perbuatan kita.

Hadirin rahimakumullah,

Di antara ibadah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan pada sepuluh hari yang
terakhir di bulan yang mulia ini adalah i’tikaf. Sebab, demikianlah yang dicontohkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana disebutkan dalam hadits,

‫ن‬
َ WَÍtَ ‫ْ َر‬rtِ \َ ¢
ِ ‫ َˆوَا‬bْ ‫™ َ\ ا‬
ْ Rَ bْ ‫ ا‬µ
ُ ِ ›َ Rْ Zَ p_U‫“ و‬T_Š ¸‫¸ }© ا‬
ِ ‫لا‬
ُ jُU‫ن َر‬
َ Wَ‫آ‬
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang
terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. al-Bukhari)

I’tikaf adalah menetap secara terus-menerus di dalam masjid untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala. I’tikaf ini bisa dilakukan di setiap masjid
Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 77
yang ditegakkan di dalamnya shalat berjamaah dan lebih utama jika ditegakkan pula shalat
Jum’at.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,

Sungguh menakjubkan keadaan orang yang beri’tikaf. Hari-harinya dipenuhi dengan


menyendiri dari manusia untuk berhubungan dengan Yang Mahakuasa. Dia tinggalkan
kesibukan dunianya untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dia tidak
keluar dari masjid selain untuk keperluan yang harus dilakukan, seperti bersuci, buang hajat,
dan semisalnya; atau untuk makan dan minum kalau tidak ada yang menyediakannya di
masjid. Bahkan, dia tidak keluar untuk menjenguk orang sakit atau bertakziah dan mengiringi
jenazah.

Dia sibukkan dirinya dengan berzikir, berdoa, shalat, dan ibadah lainnya. Adapun yang
dilakukan oleh sebagian orang, yaitu banyak ngobrol dengan orang lain ketika i’tikaf, hal ini
tidak tepat.

Hadirin rahimakumullah,

Perlu diketahui pula, seseorang tidak boleh meninggalkan tugas yang telah menjadi
kewajibannya -para pegawai misalnya- untuk menjalankan i’tikaf. Sebab, menjalankan
amanat adalah perkara yang wajib, maka tidak boleh dikalahkan dengan i’tikaf yang
hukumnya sunnah. Meski demikian, dia bisa memperbanyak tinggal di masjid untuk
beribadah, karena ketaatan di bulan ini lebih tinggi nilainya daripada ketaatan di bulan
lainnya.

Oleh karena itu, semestinya setiap orang berusaha meningkatkan amal ibadahnya,
lebih-lebih pada sepuluh hari yang terakhir. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam hadits,

´ِ \ِ Tْ ]
َ zِl eُ qِ ›َ Ž
ْ Zَ ˜
َ Wَt \ِ ¢
ِ ‫وَا‬Ú
َ ْ‫™ ِ\ ا‬
ْ Rَ bْ ‫ ا‬zِl eُ qِ ›َ Ž
ْ Zَ ‫ن‬
َ Wَ‫ آ‬p_U‫“ و‬T_Š ¸‫ }© ا‬z
s Yِ sb‫ن ا‬
s َ‫أ‬
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh beribadah pada
sepuluh hari yang terakhir tidak seperti pada hari-hari yang lainnya.” (HR. Muslim)

Di antara sebab ditingkatkannya ibadah pada sepuluh hari yang terakhir adalah karena
saat itu ada malam yang disebut lailatul qadar. Malam yang penuh dengan kebaikan bagi
orang-orang yang mengisinya dengan ketaatan. Malam yang seluruh malaikat secara bertahap
turun dari tempatnya di langit menuju bumi ini. Malam yang amalan seseorang di malam
tersebut setara dengan amalan yang dilakukan lebih dari seribu bulan. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,

(3) \ٍ qْ ­
َ µ
ِ bْ ‫ْ َأ‬rt„ ٌ\Tْ ¢
َ ‫ْ ِر‬eŒَ bْ ‫َ_ ُ‹ ا‬Tْ bَ (2) ‫ْ ِر‬eŒَ bْ ‫َ_ ُ‹ ا‬Tْ bَ Wَt ‫ك‬
َ ‫ َأدْرَا‬Wَt‫( َو‬1) ‫ْ ِر‬eŒَ bْ ‫َ_ ِ‹ ا‬Tْ bَ zِl ´ُ Wَbْ ªَ yَ‫ أ‬Wsy‫ِإ‬
(4)\ْt‫© َأ‬ „ ‫ ُآ‬r„t pِqf„ ‫ن َر‬ ِ ْ‫ذ‬aِ fِ WَqTِl ‫ح‬
ُ ‫\¦و‬b‫ َ ُ‹ وَا‬Çِ Wَ_mَ bْ ‫ل ا‬ ُ ªs َ َ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan
tahukah kamu, apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu
bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk
mengatur segala urusan.” (al-Qadr: 1-4)

Sungguh beruntung orang-orang yang bisa memanfaatkan kesempatan yang mulia ini

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 78


dengan berbagai amal saleh. Ia bisa meraih keuntungan yang berlipat-lipat. Kabar gembira
bagi mereka dengan ucapan yang dikatakan kepada penduduk surga, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wata’ala,

‫ن‬
َ jُ_mَ Rْ َ ْp›ُ ُ‫ آ‬Wَmfِ Wً¬Tِ‫ا َه‬jُf\َ ­
ْ ‫ا وَا‬jُ_‫ُآ‬
“(Dikatakan kepada mereka penduduk surga), “Makan dan minumlah dengan penuh
kenikmatan sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan(waktu di dunia).” (ath-Thur:
19)

Sungguh, kerugian yang besar bagi orang-orang yang tetap di atas


kemaksiatan-kemaksiatannya selama bulan Ramadhan. Sebab, kemaksiatan di bulan
Ramadhan yang mulia tidak sama dengan kemaksiatan yang dilakukan di luar Ramadhan,
meskipun kemaksiatan tidak boleh dilakukan kapan pun dan di bulan apa pun. Hanya saja,
kemaksiatan di bulan ini menunjukkan ketidakpedulian seseorang terhadap dirinya dan
jeleknya akhlak orang yang melakukannya.

Oleh karena itu, marilah kita jadikan bulan yang mulia ini sebagai saat untuk bertobat
kepada Allah Subhanahu wata’ala dan memulai lembaran baru dengan amalan-amalan saleh
dan ketakwaan kepada-Nya. Ingatlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

“ُ bَ \َ ‰َ hْ Zُ ْ‫© َأن‬
َ Yْ …َ Î
َ _َ€
َ yْ ‫ ا‬ps Àُ ‫ن‬
ُ WَÍtَ ‫ ِ“ َر‬Tْ _َŠ
َ ©
َ¢
َ ‫© َد‬
ٍ·ُ ‫ َر‬µ
ُ yْ ‫ َأ‬pَ ]
ِ ‫َو َر‬
“Sangatlah merugi orang yang berjumpa dengan bulan Ramadhan, namun berpisah
sebelum diampuni dosa-dosanya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, beliau mengatakan, “Hadits
hasan gharib.”)

Maka dari itu, di atas mimbar ini, kami mengajak diri kami dan kaum muslimin yang
masih terjatuh pada dosa-dosa besar untuk bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala; yang
durhaka kepada orang tua untuk berbakti kepada orang tuanya; yang memutus silaturahmi
untuk menyambung kembali silaturahmi dengan kerabatnya; yang meninggalkan shalat
berjamaah untuk segera memperbaiki keadaannya.

Apalagi yang masih terjatuh pada dosa besar yang paling besar, seperti perbuatan
menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, yang
diistilahkan dengan sedekah bumi atau sedekah laut, membenarkan perkataan para dukun atau
peramal, serta mengeramatkan kuburan dan menjadikan orang yang dimakamkan sebagai
perantara untuk meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan lain sebagainya.

Bertobatlah kepada Allah Subhanahu wata’ala, pelajarilah agama ini dengan benar.
Janganlah mengikuti ucapan setiap orang yang berbicara tentang agama ini sedangkan kita
belum yakin tentang dasar pijakannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ْpُ _َ¢
ِ ْeZُ ‫ْ َو‬pُ ِ Wَ¬T„ U
َ ْpُ َŠ \َ ‰„ َ Zُ ‫ْ أَن‬pُ f¦ ‫ٰ َر‬i€
َŠ
َ Wً¨jُvys ‹ً fَ ْjَ “ِ _sb‫ ا‬iَb‫ا ِإ‬jُfjُ ‫ا‬jُtَ £ r َ Zِƒbs‫ ا‬WَqZ¦ ‫ َأ‬WَZ
‫ ُر‬Wَqyْ ˆَ bْ ‫ ا‬Wَq›ِ |
ْ َ rِt ‫Ž\ِي‬ْ َ ‫ت‬
ٍ Ws· َ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha
(tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.” (at-Tahrim: 8)

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 79


Hadirin rahimakumullah,

Marilah kita tutup bulan Ramadhan ini dengan akhir yang baik. Sebab, sebagaimana
amalan itu akan dibalas sesuai dengan niatnya, amalan juga tergantung bagaimana
penutupannya. Maka dari itu, marilah kita terus melakukan amalan ibadah yang selalu kita
amalkan sejak awal hingga akhir Ramadhan.

Bahkan, setelah berakhirnya bulan ini pun tidak berarti kita berhenti beramal saleh.
Istiqamahlah dalam menjalankan shalat tarawih berjamaah sampai akhir Ramadhan ini untuk
mendapatkan apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

‹ٍ _َTْ bَ ‫ ُم‬WَT…ِ “ُ bَ ¥
َ ›ِ ‫ف ُآ‬
َ \ِ v
َ ْ Zَ is›¨
َ ‫ ِم‬Wَtaِ bْ ‫ َ’ ا‬tَ ‫ َم‬Wَ… ْrtَ “ُ ys ‫ِإ‬.
“Sesungguhnya barang siapa yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai
(salam), akan ditulis baginya pahala orang yang shalat semalam penuh.” ( HR. Ahlus Sunan
dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Begitu pula istiqamahlah dalam menjalankan puasa dan membaca al-Qur’an, apalagi
shalat lima waktu secara berjamaah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ َة‬jَ qْ ™
s b‫ َم وَا‬WَRk
s b‫ ُ› ُ“ ا‬Rْ َ tَ ،„‫ َأيْ َرب‬:‫ ُم‬WَTv ِّ b‫ل ا‬ ُ ْjŒُ Tَ lَ ،ِ‹tَ WTَ Œِ bْ ‫ْ َم ا‬jZَ eِ Yْ Rَ _ْ bِ ‫ن‬
ِ WَR‰َ ™
ْ Zَ ‫ن‬ ُ £ْ\Œُ bْ‫ ُم َوا‬WَTv
ِّ b‫ا‬
‫ن‬
ِ WَR‰َ ™ ْ Tَ lَ :‫ل‬
َ Wَ… ‫“ِ؛‬Tْ lِ zِRْ ‰ِّ ™
َ lَ ©
ِ Tْ _sbWِf ‫ْ َم‬js b‫ ُ› ُ“ ا‬Rْ َ tَ :‫ن‬ ُ £ْ\Œُ bْ ‫ل ا‬ ُ ْjŒُ Zَ ‫“ِ؛ َو‬Tْ lِ zِRْ ‰ِّ ™َ lَ .
“Puasa dan al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada seorang hamba pada hari
kiamat. Puasa akan berkata, ‘Wahai Rabb, aku telah mencegah dia dari makan dan syahwat,
maka izinkanlah aku memberikan syafaat untuknya.’ Al-Qur’an juga berkata, ‘Aku mencegah
dia dari tidur di malam hari, maka izinkanlah aku memberikan syafaat untuknya.’ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Keduanya (yaitu puasa dan al-Qur’an) pun
memberikan syafaat (kepada si hamba).” ( HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh
al-Albani)

Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala memberikan taufik-Nya kepada


kita semua dan menerima seluruh amalan kita.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 80


Khutbah Kedua

˜
s ْ‫ َأن‬eُ qَ ­ ْ ‫ َأ‬،‫ْ ُر‬j‰ُ hَ bْ‫ ا‬ªُ ZِªRَ bْ‫ ا‬jَ ‫¡ َو ُه‬ً mَ Š
َ r ُ€ َ¨ْ ‫ْ َأ‬pُ ¦Z‫ْ َأ‬p‫ ُآ‬jَ _ُYْ Tَ bِ ‫ َة‬WَT|
َ bْ ‫ت وَا‬ َ ْjmَ bْ ‫Ÿ ا‬
َ _َ¢ َ ‫ƒِي‬bs‫ِ_ ِ“ ا‬b eُ mْ | َ bْ ‫ا‬
´ُ eُ Yْ Š
َ ‫ًا‬esm| َ tُ ‫ن‬ s ‫ َأ‬eُ qَ ­
ْ ‫ َوَأ‬،ٌ\Zْ eِ …َ ‫ْ ٍء‬zَ­ ©ِّ ‫ ُآ‬iَ_Š َ jَ ‫ َو ُه‬  ُ Tْ mِ Zُ ‫ َو‬zِT| ْ Zُ ،ُ“bَ È َ Zْ ِ\­ َ ˜ َ ´ُ eَ ¨ ْ ‫¸ َو‬ ُ ‫˜ا‬ s ‫ َ“ ِإ‬bَ‫ِإ‬
Wً mْT_ِ€
ْ َ pَ _sU
َ ‫ َو‬،ِ“Yِ | ْ}َ ‫ ِ“ َو‬bِ£ iَ_Š َ ‫ ِ“ َو‬Tْ _َŠ
َ ¸ُ ‫ ا‬is_} َ ،ُ\Tْ ِ mُ bْ ‫ج ا‬ ُ ‫€\َا‬ ِّ b‫ ُ\ وَا‬Zْ ƒِ s b‫ ُ\ ا‬Tْ ™ِ Yَ bْ‫ ُ“ ا‬bُْjU
ُ ‫َو َر‬
eُ Rْ fَ Wst‫ أ‬.‫\ًا‬Tْ uِ ‫ َآ‬:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Perlu diketahui, sekarang kita berada pada sebaik-baik hari di bulan Ramadhan. Kita
telah berada pada sepuluh terakhir di bulan yang istimewa ini. Barang siapa
bersungguh-sungguh sejak awal bulan Ramadhan, lanjutkanlah dan tingkatkanlah amal
salehnya untuk mendapatkan keberuntungan yang berlipat-lipat. Barang siapa sebaliknya,
segeralah bertobat dan segera menyusul berlomba-lomba untuk beramal saleh.8800

Hadirin rahimakumullah,

Pada akhir bulan Ramadhan ini juga ada kewajiban besar yang harus diperhatikan oleh
kita semua, yaitu kewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Zakat ini berupa makanan pokok
sebanyak satu sha’ atau sekitar tiga kilogram, diberikan kepada yang berhak menerimanya
sebelum shalat ‘ied, atau boleh pula satu-dua hari sebelumnya. Disebutkan dalam hadits dari
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

\ٍّ ¨
ُ ،ٍ\TِY‫ ٍ\ َو َآ‬Tِh}
َ ©
ِّ ‫ْ ُآ‬rŠ
َ \ِ k
ْ ‰ِ bْ ‫ َة ا‬Wَ‫ َزآ‬p_U‫“ و‬T_Š ¸‫¸ }© ا‬
ِ ‫لا‬
ُ jُU‫ َر‬WَTِl ‫ن‬
َ Wَ‫¶ ِ\جُ ِإذْ آ‬
ْ yُ Ws‫ُآ‬
‫ ٍم‬WَR¹
َ ْrtِ WًŠWَ} ،ٍ‫ك‬jُ_mْ tَ ْ‫َأو‬
“Dahulu di saat Rasulullah bersama kami, kami mengeluarkan zakat fitrah atas anak
kecil maupun orang dewasa, baik yang merdeka maupun budak, sejumlah satu sha’ dari
makanan (pokok).” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya mengeluarkan zakat fitrah kepada yang
menerimanya dalam bentuk uang, karena demikianlah yang dilakukan di masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan pada waktu itu sudah ada alat tukar yang berfungsi seperti
uang di masa ini. Maka dari itu, janganlah kita menyelisihi suri teladan kita dalam
menjalankan ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Di samping itu, zakat fitrah ini harus benar-benar diberikan kepada yang berhak
menerimanya, yaitu fakir miskin. Sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an dan hadits, zakat
fitrah dan zakat mal ini tidak boleh digunakan untuk pembangunan masjid, madrasah, pondok
pesantren, atau kegiatan-kegiatan dakwah atau sosial yang diselenggarakan oleh
organisasi-organisasi atau yayasan-yayasan. Zakat harus diberikan kepada yang berhak
sebagaimana telah diatur oleh syariat.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,

Di antara amalan yang sangat ditekankan -bahkan dikatakan wajib oleh sebagian para
ulama-adalah melakukan shalat ‘Ied setelah keluar dari bulan Ramadhan, yaitu hari pertama
bulan Syawal. Karena itu, kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan janganlah
meninggalkan amalan yang besar ini.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 81


Namun, perlu diketahui bahwasanya shalat ‘Iedul Fitri adalah amalan yang bersifat
jama’i (bersama-sama) dan cara menetapkannya ditentukan oleh syariat. Maka dari itu sudah
semestinya bagi seluruh kaum muslimin di negeri ini untuk tidak berselisih atau membuat
aturan baru dalam hal menetapkannya.

Tidak sepantasnya bagi siapa pun untuk menetapkan jatuhnya hari ‘Iedul Fitri sebelum
saatnya. Untuk menjaga kebersamaan, penetapannya harus diserahkan kepada pemerintah.

Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa menunjukkan kepada


kita bahwa yang benar adalah benar sehingga kita menjalankannya, dan menunjukkan yang
salah adalah salah sehingga kita menjauhinya.

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 82


Maktabah IMU
http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com
http://asysyariah.com

Majalah Asy-Syari’ah Edisi 86 “Mengapa Teroris tak Pernah Habis” Page 83

Anda mungkin juga menyukai