BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dikatakan sufi jika bisa melewati beberapa tahapan tertentu dalam beribadah
kepada Allah SWT seperti: mahabbah, makrifat dan seterusnya
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian sufi?
2. Bagaimana cara kaum sufi mendekatkan diri pada Allah SWT?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengertian sufi.
2. Mengetahui cara kaum sufi mendekatkan diri pada Allah SWT.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sufi
a) Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan.
Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka
melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama salat dan puasa.
b) Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat
di mesjid.
Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid
dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur’an dan berdzikir sebelum
waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
c) Ahlu as-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke
Madinah.
Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid
Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah (pelana)
sebagai bantal. Ahlu as-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa,
berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia.
4
1
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Ed. 2, (Cet. 2; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 63.
5
Kecintaan dan kerinduan kepada Allah adalah salah satu simbol yang
disukai sufi untuk menyatakan rasa kedekatannya dengan Allah, yang
pertama kali diperkenalkan oleh Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H).
2. Al-Wahdat Asy-Syuhud
Ibn al-Faridl mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bersatu atau
manunggal adalah hilangnya segala kemampuan ekspresinya untuk
merasakan dan menyadari dirinya yang ia sadari dan ia lihat hanya
Allah.
3. Al-Mukasyafah
Jalur ini merupakan penangkapan langsung terhadap objek (Tuhan)
karena telah tersingkapnya segala penghalang antara manusia dengan
Tuhan.2
1) Penyucian hati
Tathhiru al galbi atau penyucian hati sebagai langkah pertama tarekat,
terdiri atas dua bagian. Yaitu mawas diri dan penguasaan serta
pengendalian nafsu-nafsu. Menurut Ma’ruf Karkhi tasawuf adalah:
“Tasawuf itu memilih Tuhan dan berputus asa terhadap apa saja
yang ada di tangan para makhluk.”
Setiap orang sufi terhadap dunia diam saja (tak ingin) bila tidak punya
apa-apa, dan bila punya apa-apa tidak memperdulikannya.
Penyucian hati terhadap setiap ikatan keduniawian berarti pembinaan
budi luhur, karena memperebutkan keduniaan adalah sumber
kericuhan dan kejahatan dan pangkal penghambaan nafsu-nafsu yang
tercela.
2
Ibid., h. 64-66.
6
Mawas diri di dalam tasawuf adalah mawas diri yang ditujukan bagi
kepentingan olah batin. Mawas diri bagi kepentingan sufisme
ditujukan untuk pengenalan dan penguasaan kemampuan batin. Oleh
karena itu, hati bagi para sufi lebih penting daripada akal. Bahkan hati
bagi mereka adalah segalanya.
Kaum sufi mengendalikan nafsu syahwat (lauwamah) dan nafsu
amarah (ghodhob) agar bisa hidup sebagai hamba Allah. Yakni
berusaha memfanakan (melenyapkan) sifat-sifat tercela dan menghias
diri dengan sifat-sifat terpuji, atau berusaha masuk pada budi perangai
yang sesuai dengan Sunnah dan keluar dari budi perangai yang
rendah. 3
2) Konsentrasi dalam zikir
Awal daripada zikir adalah lenyapnya kesadaran akan dirinya, dan
akhirnya fana’nya orang yang zikir pada zikirnya, yakni tidak sadar
lagi akan zikirnya lantaran tenggelam jiwanya dalam mengingat Allah
SWT.4
Zikir adalah jalan atau tangga utama untuk mengantar ke penghayatan
fana’ dan ma’rifatullah.
3) Fana’
Fana’ adalah proses beralihnya kesadaran dari alam indrawi ke alam
kejiwaan atau alam batin. Oleh karena itu, fana’ adalah hal yang amat
didambakan dalam tasawuf.5
3
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Ed.1, (Cet. 2; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1997), h. 41-48.
4
Ibid., h. 110.
5
Ibid., h. 105.
7
Makrifat hanya terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan
dengan hati sanubari mereka. Makrifat dimasukkan Tuhan ke dalam hati
seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Makrifat tidak
diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian dari Tuhan. Makrifat
bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan
rahmat Tuhan.
6
Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik: Jembatan menuju Makrifat, (Cet. 1; Jakarta:
Kencana, 2004), h. 84.
8
hubungannya dengan Tuhan, yaitu qalb, roh, dan sirr. Qalb untuk
mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai Tuhan dan sirr untuk
melihat Tuhan.7
Taubat, bagi kaum sufi bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga
sebagai syarat mutlak agar dapat dekat dengan Allah. Oleh karena itu,
mereka menetapkan istigfar sebagai salah satu amalan yang harus dilakukan
beratus-ratus kali dalam sehari agar ia bersih dari dosa.
7
Ibid., h. 86-87.
8
Arfah Shiddiq dan Nurul Fuadi, Akhlak dan Tasawuf, (Ujung Pandang: Lembaga Dakwah
dan Studi Islam Yayasan Badan Wakaf UMI, 1996), h. 86.
9
Tawakkal, bagi kaum sufi memiliki citra tersendiri. Ini berarti bahwa
dalam segala hal baik sikap maupun perbuatan harus diterima dengan tulus.
Jangan meminta, jangan menolak, dan jangan menduga-duga.9
Kefakiran, artinya tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada
dirinya. Tidak meminta rezeki kecuali untuk dapat menjalankan kewajiban-
kewajiban.
9
Rifay Siregar, op.cit., h. 114-122.
10
Arfah Shiddiq dan Nurul Fuadi, op.cit., h. 87-88.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sufisme merupakan istilah tasawuf dari tipe mistisisme. Kata sufi atau
tasawuf mulai diperkenalkan pada akhir abad kedua hijriah. Sufi
adalah gelaran atau panggilan kehormatan yang semisal dengan
sahabat.
2. Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya
dapat menimbulkan akhlak yang mulia.
3. Inti ajaran tasawuf adalah makrifat atau jalan menuju Zat Allah.
4. Ada beberapa cara yang dilakukan kaum sufi untuk mendekatkan diri
pada Allah, seperti taubat, wara’, kefakiran, sabar, zuhud, tawakkal,
kerelaan, cinta, dan ma’rifat.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Shiddiq, Arfah, dan Nurul Fuadi. 1996. Akhlak dan Tasawuf. Ujung Pandang:
Lembaga Dakwah dan Studi Islam Yayasan Badan Wakaf UMI.
Siregar, Rivay. 2002. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.