Otitis Media adalah infeksi telinga meliputi infeksi saluran telinga luar (Otitis Eksterna),
saluran telinga tengah (Otitis Media), dan telinga bagian dalam (Otitis Interna). (Rahajoe, N.
2012).
Otitis media ialah radang telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang
biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas. (William, M. Schwartz., 2004).
Otitis Media adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena masuknya
bakteri patogenik ke dalam telinga tengah (Smeltzer, S. 2001).
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga tengah,
tuba eustachi, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. (Djaafar, Z.A, 2007).
Etiologi
1. Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media yang
menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga akan terganggu
2. ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), inflamasi jaringan di sekitarnya (misal : sinusitis,
hipertrofi adenoid), atau reaksi alergi (misalkan rhinitis alergika). Pada anak-anak, makin sering
terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA
dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal.
3. Bakteri
Bakteri yang umum ditemukan sebagai mikroorganisme penyebab adalah Streptococcus
peumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis, dan bakteri piogenik lain, seperti
Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris.
Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas (ISPA) yang disebabkan oleh
bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tuba eustachius. Ketika bakteri
memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan infeksi dan terjadi pembengkakan,
peradangan pada saluran tersebut. Proses peradangan yang terjadi pada tuba eustachius
menyebabkan stimulasi kelenjar minyak untuk menghasilkan sekret yang terkumpul di belakang
membran timpani. Jika sekret bertambah banyak maka akan menyumbat saluran eustachius,
sehingga pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang osikel (maleus, incus,
stapes) yang menghubungkan telinga bagian dalam tidak dapat bergerak bebas. Selain
mengalami gangguan pendengaran, klien juga akan mengalami nyeri pada telinga.
Otitis media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat
berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang diperhatikan,
terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya tahan tubuh yang kurang baik.
Manifestasi Klinis
Secara umum, manifestasi klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan Otitis Media
Akut adalah:
1. Othalgia (Nyeri telinga)
2. Demam, batuk, pilek
3. Membran timpani abnormal (sesuai stadium)
4. Gangguan pendengaran
5. Keluarnya secret di dari telinga berupa nanah
6. Anak rewel, menangis, gelisah
7. Kehilangan nafsu makan, dan lain-lain.
Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan stadium
1. Stadium Oklusi.
Bertujuan untuk membuka tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung.
a. HCl Efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak <12 tahun
b. HCl Efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak >12 tahun
atau dewasa.
c. Sumber infeksi juga harus diobati dengan memberikan antibiotik.
2. Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgetik. Antibiotik diberikan minimal selama 7
hari. Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Untuk
terapi awal, diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat dalam darah.
3. Stadium Supurasi
Pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu,
analgesik juga diperlukan agar nyeri dapat berkurang.
4. Stadium Perforasi
Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu.
5. Stadium Resolusi
Biasanya akan tampak sekret keluar. Pada keadaan ini dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3
minggu, namun bila masih keluar sekret diduga telah terjadi mastoiditis. Pada stadium ini, harus
di follow up selama 1 sampai 3 bulan untuk memastikan tidak terjadi otitis media serosa.
Tindakan
1. Timpanosintesis
Tindakan dengan cara mengambil cairan dari telinga tengah dengan menggunakan jarum untuk
pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari prosedur ini adalah perforasi kronik membran timpani,
dislokasi tulang-tulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi nervus fasialis
atau korda timpani. Timpanosintesis merupakan prosedur yang invasif, dapat menimbulkan nyeri,
dan berpotensi menimbulkan bahaya sebagai penatalaksanaan rutin.
2. Miringotomi
Tindakan insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari telinga tengah. Pada miringotomi
dilakukan pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior membran timpani. Untuk tindakan ini
diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga yang sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan
ukuran kecil dan steril. Indikasi untuk miringotomi adalah terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia berat,
gagal dengan terapi antibiotik, pasien imunokompromis, neonatus, dan pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif.
Komplikasi
Intra-Temporal
1. Abses subperiosteal
2. Labirintitis
3. Paresis fasial
4. Petrositis
Intra-Kranial
1. Abses ekstradura
2. Abses perisinus
3. Tromboflebitis sinus lateral
4. Abses otak
5. Meningitis otikus
A. Pengkajian
1. Anamnesa: Nama klien, No. Rek. Media, Usia , Tinggi dan berat badan, Tanggal dan
waktu kedatangan, Orang yang dapat dihubungi.
2. Keluhan Utama : Menanakan alasan klien berobat ke rumah sakit dan menanyakan apa
saja keluhan yang ia rasakan.
3. Riwayat Kesehatan Dulu : menanyakan apakah klien pernah mengalami otitis media
sebelumnya.
4. Riwayat kesehatan keluarga : menanyakan apakah ada anggota keluarga yang memiliki
riwayat penyakit ini sebelumnya
5. Riwayat penyakit sekarang : tanyakan pada klien gejala-gejala apa saja yang
dirasakannya saat ini.
a. Tanyakan kepada klien pendapatnya mengenai kesehatan dan penyakit. Apakah pasien
langsung mencari pengobatan atau menunggu sampai penyakit tersebut mengganggu
aktivitas pasien.
b. Tanyakan tentang penggunaan obat-obat tertentu (misalnya antidepresan trisiklik,
antihistamin, fenotiasin, inhibitor monoamin oksidase (MAO), antikolinergik dan
antispasmotik dan obat anti-parkinson.
c. Tanyakan tentang penggunaan alcohol, dan tembakau untuk mengetahui gaya hidup
klien.
2. Pola Nutrisi – Metabolik
a. Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari klien ( pagi, siang dan
malam )
b. Tanyakan bagaimana nafsu makan klien, apakah ada mual muntah, pantangan
atau alergi
c. Tanyakan apakah klien mengalami gangguan dalam menelan
d. Tanyakan apakah klien sering mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran
yang mengandung vitamin antioksidant
3. Pola Eliminasi
a. Tanyakan bagaimana pola BAK dan BAB, warna dan karakteristiknya
b. Berapa kali miksi dalam sehari, karakteristik urin dan defekasi
c. Adakah masalah dalam proses miksi dan defekasi, adakah penggunaan alat bantu untuk
miksi dan defekasi.
Pemeriksaan Fisik
1. Tanda – tanda vital : ukur suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
2. Kaji adanya perilaku nyeri verbal dan non verbal
3. Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher
4. Kaji kemungkinan tuli
5. Pemeriksaan fisik dilakukan dari hair to toe dan berurutan berdasarkan system.
5. Kolaborasi dengan
pasien, orang terdekat
dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih
dan
mengimplementasikan
tindakan penurunan
nyeri nonfarmakologi,
sesuai kebutuhan.
Terapi Relaksasi
1. Gambarkan
rasionalisasi dan
manfaat relaksasi serta
jenis relaksasi yang
tersedia (misalnya,
music, meditasi,
bernafas demean ritme,
relaksasi rahang dan
relaksasi otot
progresif).
2. Pertimbangkan
keinginan individu
untuk berpartisipasi,
kemampuan
berpartisipasi, pilihan,
pengalaman masa lalu
dan kontraindikasi
sebelum memilih
strategi relaksasi
tertentu.
5. Tunjukkan dan
praktikan teknik
relaksasi kepada klien.
7. Evaluasi dan
dokumentasikan respon
terhadap terapi
relaksasi.
Pemberian analgesic (2210)
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan keperahan nyeri
sebelum mengobati
pasien.
2. Cek perintah
pengobatan meliputi
obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesic
yang diresepkan.
4. Evaluasi kemampuan
pasien untuk berperan
serta dalam pemilihan
analgetik, rute dan dosis
dan keterlibatan pasien
sesuai kebutuhan.
5. Dokumentasikan respon
terhadap analgesic dan
adanya efek samping.
5. Dokumentasi nyeri
pasien, jumlah,dan
frekuensi dosis obat dan
respon terhadap
pengobatan nyeri dalam
catatan perkembangan
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey. 2012. Nursing
Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa : Mosby Elsavier
Jhonson,Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Loui, Missour ;
Mosby
NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2018-2020.
Jakarta : EGC