Anda di halaman 1dari 17

KASUS-KASUS DI BIDANG SUMBER DAYA AIR

TERKAIT HUBUNGAN DENGAN MASYARAKAT, REKAN


KERJA, DAN PETUGAS

TUGAS MATA KULIAH

Diajukan untuk memnuhi salah satu tugas Mata Kuliah Metode


Penelitian dan Etika Profesi (SA5031) Dosen Pengampu Prof. Indratmo
Soekarno, Ph.D

Oleh:

LUPITA LESTARI NIM 25819006

FITRIYA RAHMAWATI NIM 25819007

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
Contoh kasus di bidang sumber daya air, terkait hubungan dengan :

1) Pemberi Kerja
1.1 Proyek Bendung Cihara Ambrol, Kontraktor Kurangi Spek

Gambar 1. Seorang Ahli Konstruksi Memberikan Kesaksian

Ahli kontruksi, Anton Soekiman dalam pendapatnya menyampaikan bahwa dia


bersama tim melakukan analisis baik yang bersumber dari gambar kontrak maupun
melihat secara visual ke lokasi proyek serta melakukan wawancara dengan semua
pihak, baik dengan kontraktor, konsultan, pengawas dan pihak dinas untuk mencari
Penyebab dari gagalnya bangunan tersebut.

Anton dalam kesaksiannya di Aula Gedung Cakra PN Tipikor Serang, pada Rabu, 28
Agustus 2019 menyatakan Metode dilakukan dengan melihat secara visual, dan
bertanya kepada pihak yang terlibat, setelah itu mengukur mutu beton yang terpasang
maupun yang sudah ambrol.

Anton menjelaskan bahwa sangat mudah untuk menganalisis mengapa sayap


kiri bendung sebelum difungsikan terjadi ambrol. Penyebabnya adalah kontraktor tidak
melakukan pekerjaan sesuai spek, sehingga kualitas bangunan baik pembesian maupun
pembetonan tidak sesuai dengan spesifikasi yang seharusnya digunakan.

Doktor Teknik dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung tersebut


meguraikan mereka melihat dari jarak Pembesian yang seharusnya 25 cm menjadi 29–
30 cm. Besi yang seharusnya dipakai adalah besi 29 tapi nyatanya malah besi 19, belum
lagi adukan beton yang salah.
Dikatakan Anton, untuk memadukan temuan secara visual dapat dilihat dari
Desain gambar berdasarkan hasil feasibility study yang dilakukan konsultan perencana
dengan pekerjaan yang dibangun. Artinya desain itu sebagai tolak ukur bagi kontraktor
untuk mengerjakan sesuai spek, begitupun konsultan pengawas dapat mengawasi
secara detail dan rinci apabila kontraktor melakukan penyimpangan.

Anton menegaskan peran konsultan pengawas sangat penting, dia harus setiap
hari ada di lokasi. Dia bertanggung–jawab terhadap owner, maka desain itu yang
menjadi tolak ukurnya.

Selama di lokasi proyek Bendung Cihara, timnya mengukur mutu beton


menggunakan alat Hammer Test, sehingga memperoleh hasil kualitas beton yang
seharusnya 250 K, yang terpasang hanya berkisar diantara 80 sampai 90 K. Oleh karena
itu dapat kita simpulkan kontraktor mengerjakan proyek tidak sesuai Spek.

Dadang Handayani selaku kuasa hukum terdakwa Ade Pasti menyampaikan,


keterangan Ahli tidak mengurai peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dengan
demikian kaitan dengan proses pekerjaan itu dilakukan dengan kesengajaan oleh
kontraktor yang tidak menjalankan kewajibannya sesuai spek. Sehingga kualitas dan
Kuantitas bangunan menjadi tidak sesuai yang diharapkan.

Dadang Handayani mengatakan bahwa secara administrasi PPK juga lalai, tapi
secara teknis ada tanggung–jawab hirarki. Saksi ahli menyimpulkan kualitas kontruksi
jadi tanggung–jawab kontraktor dan pengawas, karena pengawas mewakili PPK
sebagai owner.

Lebih lanjut Dadang menyinggung ihwal perencanaan yang tidak relevan dan
pokja memilih pemenang lelang yang cacat secara administrasi. Maka pokja juga harus
diminta pertanggung–jawaban. Hulunya ada di pokja, mereka sudah tahu bahwa
penyedia jasa tidak memiliki pengalaman tapi malah dimenangkan, padahal tidak
memenuhi persyaratan administrasi.

Kesaksian ahli ini merupakan sidang lanjutan dalam kasus Bendung Cihara
yang menyeret H. Ade Pasti Kurnia sebagai PPK dari Dinas SDAP Banten, Cepi
Sapriyudin dari PT Aji Tama Mulya dan Konsultan Pengawas Agun Ginanjar dan
Hendi.

1.2 Diduga Terima Suap, Pejabat PUPR Biarkan Kontraktor Tak Penuhi Target
Bantuan Bencana Donggala
Pejabat Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat ( PUPR) Teuku Mochamad Nazar diduga menerima suap 33.000
dollar Amerika Serikat dari PT Tashida Sejahtera Perkasa (TSP). Akibat menerima
suap, Nazar diduga membiarkan PT TSP yang tidak memenuhi target pada pekerjaan
penanganan tanggap darurat sistem penyediaan air minum (SPAM) di Donggala,
Sulawesi Tengah, pada 2018. Proyek itu dilakukan pasca bencana alam di Donggala.

Hal itu dijelaskan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam surat
dakwaan terhadap Nazar yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Menurut jaksa, pada 19 Desember 2018, Nazar selaku Kepala Satuan Kerja (Kasatker)
sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) pada proyek Penanganan Tanggap Darurat
SPAM Sulawesi Tengah, menerima laporan dari Dwi Wardhana bahwa pekerjaan PT
TSP belum selesai. Dwi merupakan staf Satker Tanggap Darurat Permukiman Pusat.

Bahkan, menurut Dwi pengerjaan proyek bisa mundur hingga bulan Januari
2019. Namun, meski mengetahui adanya ketentuan bahwa proyek dibayar seluruhnya
jika sudah selesai, Nazar tetap memerintahkan Dwi untuk memproses pembayaran
seluruhnya kepada PT TSP. Jaksa Arin Karniasari saat membacakan surat dakwaan
berujar bahwa terdakwa beralasan sebentar lagi akan tutup tahun anggaran.

Selanjutnya, Dwi dan Dita Prijanti selaku pejabat penguji Surat Perintah
Membayar (SPM), kemudian pada 20 Desember 2018, melaksanakan perintah Nazar
dengan memproses pembayaran kepada PT TSP. Dwi dan Dita membuat dua SPM,
yaitu SPM 95 persen pembayaran pekerjaan dengan nilai Rp 15,656 miliar dan SPM 5
persen Retensi (jaminan pemeliharaan) dengan nilai Rp 824 juta

Menurut jaksa, Nazar mengetahui penerbitan SPM tersebut terdapat


kekurangan persyaratan, karena Nazar selaku PPK belum menandatangani Surat
Perjanjian Kerja, Berita Acara Pembayaran, Bukti Pembayaran, Berita Acara Serah
Terima Barang, Pemeriksaan Hasil Pekerjaan, serta Surat Serah Terima Barang.
Selanjutnya, atas SPM yang tidak lengkap persyaratannya tersebut, kemudian
diterbitkan Surat Perintah Penyediaan Dana (SP2D) pada 25 Desember 2018, untuk
pembayaran ke rekening PT TSP. Menurut jaksa, sejak awal Nazar sudah menunjuk
langsung PT TSP untuk menjadi kontraktor pelaksana proyek. Kemudian, pada 6
Desember 2018, Nazar menerima 33.000 dollar AS dari PT TSP.

1.3 Pampatnya Keran Regulasi Sumber Daya Air


Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Fary Djemi Francis, Senin
(26/8/2019) seusai rapat kerja dengan perwakilan pemerintah terkait dengan
pembahasan tingkat pertama Rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Air
(RUU SDA) menyatakan DPR akan segera melakukan siding paripurna.

Ucapan Fary memang menjadi kenyataan. Sepekan berselang, Selasa (3/9),


Rapat Paripurna ke-6 masa persidangan I Tahun Sidang 2019—2020 digelar. Salah
satu agenda Rapat Paripurna adalah pembahasan tingkat kedua dan pengambilan
keputusan terhadap RUU SDA.

Selain agenda terkait dengan RUU SDA, Rapat Paripurna juga membahas tiga
agenda lain, yaitu pengesahan RUU tentang Pekerja Sosial menjadi Undang-Undang;
penyampaian pendapat fraksi terkait usulan Badan Legislatif DPR tentang Perubahan
atas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan persetujuan pertimbangan
kewarganegaraan untuk Otavio Dutra menjadi warga negara Indonesia.

Ketiga agenda tersebut mengalir tanpa hambatan. Tak dinyana, pembahasan


RUU SDA malah pampat. Wakil Ketua DPR Utut Adianto yang disertai ketukan palu
beralalasan karena persoalan teknis, Rapat Paripurana menunda pembahasan lanjutan
tingkat kedua RUU SDA.

Gejala penundaan RUU SDA sudah tercium sejak di meja absensi. Di muka
pintu ruang Rapat Paripurna, tidak ada draf RUU SDA. Padahal, draf RUU Pekerja
Sosial yang juga masuk agenda pembahasan tingkat kedua, tersedia di meja.

Rapat Paripurna yang digelar pun terbilang sepi dengan kursi kosong
melompong. Berdasarkan perhitungan kepala atau headcount, ada 82 orang anggota
DPR yang menghadiri sidang.

Utut yang menjadi pimpinan sidang mempunyai hitungan lain. Dia mengklaim
bahwa ada 286 dari 560 anggota DPR yang hadir dalam rapat. Klaim itu berasal dari
absensi Sekretariat Jenderal DPR.

Seusai sidang, Fary menjelaskan bahwa penundaaan pembahasan tingkat kedua


RUU SDA disebabkan adanya usulan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber
daya air di permukaan dan cekungan air dalam. Oleh karena itu, Komisi V perlu
melakukan sinkronisasi terhadap usulan pemerintah tersebut.
Dia menerangkan bahwa pengaturan air permukaan selama ini berada di
Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat (PUPR), sedangkan cekungan air
dalam menjadi ranah Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM).

Pengaturan ini akan diatur lebih diperinci dalam produk hukum turunan undang-
undang. Fary menjelaskan bahwa pengaturan itu ada di PP (peraturan pemerintah), tapi
pemerintah mau itu dibunyikan saja di dalam undang-undang.

Dia menjamin bahwa pembahasan usulan tersebut tidak akan memakan waktu
lama. Menurut Fary, hanya perlu rapat konsultasi dengan menteri untuk membahas
usulan pengaturan air permukaan dan cekungan air dalam.

Penyusunan RUU SDA memang sudah mendekati garis akhir. Panitia Kerja
RUU SDA telah menyusun rancangan berisi 16 bab dan 79 pasal. Penyusunan dan
pembahasan RUU tersebut sudah berjalan hampir 5 tahun. Undang-Undang tentang
SDA perlu dibuat kembali setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 7
Tahun 2004 tentang SDA.

Di sisi lain, tidak banyak waktu lagi bagi legislator untuk bersidang mengingat
masa bakti anggota DPR periode 2014—2019 tinggal terisa kurang dari 2 bulan. Maka,
keran regulasi sumber daya air seyogyanya tak boleh lagi pampat.

2) Rekan Kerja

2.1 Ekspansi Properti Ancam Waduk Saguling

Ekspansi properti di Kabupaten Bandung Barat dikhawatirkan bisa mengurangi


usia Waduk Saguling yang seharusnya mampu melayani kebutuhan listrik 50 tahun,
namun hanya bisa 30 tahun.

General Manager PT Indonesia Power (IP) Hendres Wayen mengatakan,


penyebab berkurangnya usia waduk salah satunya ekspansi properti di sekitar lahan
Waduk Sangguling. Ia menambahkan, hal inilah yang dikhawatirkan karena ekspansi
yang dilakukan perusahaan properti tersebut tidak hanya mencaplok kawasan waduk
dengan melakukan overlap. Namun, lebih dari itu ada ihwal teknis yang bisa
mengancam.

PT Indonesia Power merupakan anak usaha PT PLN (Persero) yang


mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling di Bandung Barat.
Menurut Hendres, selain ekspansi properti, berkurangnya usia waduk juga disebabkan
oleh laju sedimentasi akibat erosi aliran air menuju Waduk Saguling.

Ia mengatakan, namun hal ini masih bisa diantisipasi karena erosi juga salah
satu penyebabnya adalah aktivitas masyarakat di sekitar yang melakukan penambangan
liar. Hal ini masih bisa ditanggulangi sebab ada CSR yang mengubah mata pencaharian
mereka dari menambang menjadi beternak.

Waduk Saguling punya peran penting sebagai PLTA untuk memenuhi sistem
ketenagalistrikan Jawa-Madura-Bali ketika berada dalam kondisi black out. PLTA
berkapasitas 4 x 175,8 megawatt (MW) tersebut merupakan penyuplai awal ketika
pembangkit utama lainnya dalam keadaan tidak berfungsi. Hendres menambahkan,
bayangkan saja kalau PLTA Saguling ini mengalami masalah. Saat black out, tak ada
daya listrik di Jawa-Bali, dari Suralaya, Cilacap, Saguling masuk Suralaya jaringan 500
Kv itu.

Sementara itu, Manajer Operasi dan Pemeliharaan PT Indonesia Power Alam


Barzah mengatakan, ekspansi developer di sekitar waduk bertentangan dengan aturan-
aturan yang mengatur tentang perlindungan waduk sebagai objek vital. Aturan-aturan
tersebut di antaranya terdapat pada Undang- Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan
Ruang. Termasuk pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 26/2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.

Keputusan Presiden RI Nomor 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan


Lindung. Selain itu, Waduk Saguling juga sebagai objek vital nasional diatur dalam
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 2288 K/07/Mem/2008.
Dalam aturan tersebut dijelaskan PLTA merupakan salah satu objek vital nasional yang
harus dilindungi. Barzah menambahkan, Sementara pengembang properti telah
melakukan tindakan dengan merencanakan pembangunan properti secara sepihak.

2.2 Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Masih Lemah

Pengelolaan sumber daya air tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya
tersebut. Kondisi itulah yang melatar belakangi Collaborative Knowledge Network
Indonesia (CKNet-INA) UGM menyelenggarakan workshop bertema "Regional Open
Network Conference on WRIM 2009".

Berdasarkan penjelasan Koordinator CKNet-INA UGM, Dr. Rachmat Jayadi,


CKNet-INA merupakan jaringan kerja sama ilmu pengetahuan yang memfokuskan
pelayanan pada upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang
pengelolaan infrastruktur, air, dan lingkungan. CKNet-INA UGM telah ditunjuk
menjadi fasilitator untuk mendukung kebijakan pemerintah, dalam hal ini Pemda DIY.
CKNet-INA UGM diberi kepercayaan sebagai fasilitator dalam mendesentralisasikan
pengetahuan tentang pengelolaan air dan meningkatkan pelayanan kepada berbagai
pengguna air serta stakeholder lainnya. Di samping itu, juga untuk memperkuat
kualitas sumber daya manusia pemerintah daerah.

Yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air selama ini
adalah lemahnya koordinasi antarsektoral dalam instansi pemerintah. Rachmat
mencontohkan salah satunya adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(Bapedal) yang menangani permasalahan lingkungan terkait dengan surutnya volume
air karena kemarau. Hal tersebut sesungguhnya tidak hanya menjadi tugas Bapedal.
Surutnya volume air juga terkait dengan daerah resapan di hulu yang menjadi
wewenang tugas Dinas Konservasi Hutan.

Menurut Rachmat, sebenarnya koordinasi sektoral antarinstansi pemerintah


telah dilaksanakan. Namun, realisasi dari kesepakatan yang telah terbentuk berjalan
sangat lamban. Di samping monitoring evaluasi yang masih lemah, pengelolaan
sumber daya air terpadu (hulu-hilir) pun belum terkoordinasi dengan baik.

Terdapat berbagai isu dominan terkait dengan pengelolaan sumber daya air.
Beberapa isu yang menyeruak ialah pengendalian daya rusak air (seperti banjir dan
kekeringan), baik dari segi intensitas maupun besaran, dan kurangnya keterlibatan
masyarakat dalam program pengelolaan air sejak adanya otonomi daerah. Isu pokok
lainnya adalah inkonsistensi dan rendahnya penegakan hukum terhadap para
pelanggarnya. Staf pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM ini
menambahkan, pemerintah telah membuat undang-undang, tetapi pada praktiknya
setiap terjadi pelanggaran penerapan sanksinya masih sangat lemah.

Dalam pengelolaan sumber daya air, apabila tiap instansi mengacu pada UU
No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, seharusnya perencanaan pengelolaan
sumber daya air akan berjalan lancar. Setiap wilayah sungai terdapat pola pengelolaan
sumber daya air dan hal inilah yang dijadikan sebagai payung master plan bagi masing-
masing sektor.

Sehubungan dengan upaya peningkatan kemampuan di bidang pengelolaan


sumber daya air, CKNet-INA UGM dalam waktu dekat akan menyelenggarakan
beberapa pelatihan singkat. Pemberdayaan perhimpunan petani pemakai air,
pengelolaan sumber daya air terpadu, serta penyusunan master plan penanggulangan
banjir dan longsor berbasis masyarakat adalah beberapa agenda palatihan yang
direncanakan.

Senada dengan itu, Kepala Bapeda DIY, Dra. Harnowati, mengemukakan


permasalahan perencanaan, institusional, manajemen, dan ekonomi saat ini terkait
dengan pengelolaan sumber daya air. Diungkapkannya bahwa peran antarsektor dalam
pembinaan pelaku kegiatan belum berjalan optimal dan terpadu. Pengelolaan
lingkungan melalui pengembangan ekonomi bisnis juga masih sangat minim.
Sementara itu, konsep lingkungan dan ekonomi dianggap bertentangan. Hal tersebut
terjadi jika pemanfaatan sumber daya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang seimbang.

Ditambahkannya, pengelolaan sumber daya air terpadu (hulu-hilir) dapat


dilakukan dengan meningkatkan sistem pengawasan kualitas dan kuantitas air sungai.
Selain itu, harus juga dilakukan upaya pengendalian pencemaran air dan peningkatan
tataguna air.

2.3 Program Serasi Diimbau Diubah Jadi Sistem Perbaikan Irigasi Rawa

Gambar. Anggota Komisi IV DPR RI Muhammad Nasyit Umar

Anggota Komisi IV DPR RI Muhammad Nasyit Umar mengimbau Direktorat Jenderal


Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) untuk
segera mengubah program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (Serasi) menjadi
Sistem Perbaikan Irigasi Rawa.

Nasyit menjelaskan, jika Ditjen PSP masih menggunakan istilah Serasi yang digunakan
saat ini, hal itu akan menimbulkan kontroversi bahwa seakan-akan ada persoalan yang
besar terhadap rawa.

Hal itu ia ungkapkan usai mengikuti pertemuan Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi
IV DPR RI ke Kantor Gubernur Sumatera Selatan, yang diwakili Sekretaris Daerah
Provinsi Sumsel dan jajaran instansi terkait lainnya, di Palembang, Sumsel, Senin
(29/7/2019).

Terlebih, sambung Nasyit, perubahan istilah tersebut juga dimaksudkan agar tidak
menyinggung Kementerian lainnya, yaitu Ditjen Sumber Daya Air (SDA) Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia.

“Selaku Anggota Komisi IV DPR RI, saya mendorong Ditjen Prasarana dan Sarana
Pertanian untuk merubah istilah Serasi ini menjadi Sistem Perbaikan Irigasi Rawa.
Sehingga, dari Kementerian PUPR dalam hal ini Ditjen SDA tidak tersinggung. Kalau
SerasiI ini dengan penggunaan kata selamatkan rawa ini, maka seakan-akan ada
persoalan yang begitu besar dengan rawa. Padahal, sebenarnya kan tidak ada,” ujar
Nasyit.

Selain itu, Nasyit mengharapkan, dalam pelaksanaan pembangunan Serasi tersebut


hendaknya Ditjen PSP juga terus melakukan koordinasi dengan Balai Besar Pengairan
Sumsel. Mengingat, pembangunan rawa sebenarnya sudah ada sejak 10 tahun yang
lalu.

Oleh karena itu, tutur Nasyit, pengaturan irigasi rawa itu sebenarnya itu sudah berjalan
dengan bagus. Hanya, ke depannya Nasyit mendorong Kementan untuk meningkatkan
indeks pertanaman dari 100 menjadi 200 indeks pertanamannya.

“Saya berharap, Ditjen PSP Kementan di dalam pelaksanaan pembangunan SERASI


ini berkoordinasi dengan Balai Besar Pengairan Provinsi Sumatra Selatan, karena
pembangunan rawa sudah ada sejak 10 tahun yang lalu," tutur Nasyit.

"Dengan demikian, diharapkan dengan koordinasi yang baik kedua lembaga bisa
meningkatkan hasil daripada program Serasi ini yang tadinya 100 indeks pertanaman
bisa meningkat menjadi 200 indeks pertanamannya,” pesan legislator Fraksi Partai
Demokrat ini.
Nasyit juga menyoroti bantuan peralatan dalam bentuk eskavator yang dikucurkan oleh
Kementan kepada Kelompok Tani. Nasyit mengingatkan, perlu kehati-hatian dalam
melakukan penggalian di saluran irigasi dengan menggunakan eskavator karena bentuk
daripada jaringan irigasi itu tidak berubah dari yang sudah ada saat sekarang ini.

Dia menjelaskan, jika dipaksakan melakukan penggalian melebihi desain yang sudah
ada, hal itu akan berpengaruh terhadap dasar saluran dan penampang saluran yang ada.

“Persoalannya adalah bantuan peralatan dalam bentuk eskavator untuk melakukan


penggalian di saluran itu perlu berhati-hati, karena bentuk daripada jaringan irigasi itu
tidak berubah dari yang sudah ada saat sekarang ini," jelas Nasyit.

"Jikalau dilakukan penggalian melebihi desain yang ada maka hal itu akan berpengaruh
terhadap dasar saluran dan penampang saluran yang ada saat itu,” pungkas legislator
dapil Sulawesi Selatan II itu.

3) Masyarakat

3.1 Sungai Lemon di Blitar Diduga Tercemar Limbah Pabrik Gula

Gambar. Sungai Lemon yang diduga tercemar limbah pabrik gula


Sungai Lemon di Blitar dikeluhkan warga diduga tercemar limbah pabrik gula.
Keluhan warga tersebut viral di media sosial. Agus, seorang petani warga Dusun
Sambigede, membenarkan apa yang di-posting warganet di medsos. Air Sungai Lemon
selama ini dipakai sebagai sumber air irigasi bagi lahan sekitar. Namun, sejak sekitar
20 hari lalu, airnya berubah menjadi keruh, pekat, dan berbau. Agus juga menyaksikan
banyak ikan mengambang di sungai itu yang kemudian dijaring warga.
Agus takut ikan-ikan mabuk yang dijaringnya dari sungai tersebut sebanyak 11
kg beracun. Ia juga khawatir tanaman cabai dan jagung yang disiram memakai air
Sungai Lemon akan mati atau beracun jika dipanen dan dikonsumsi warga.

Sungai Lemon mengalir ke arah barat dan bermuara di bawah Sungai Brantas
yang berarus deras. Di sungai inilah lokasi konservasi ikan tawes dan jenis ikan sungai
lainnya. Lokasinya sekitar 3 km dari pabrik gula dan masuk Desa Tawangrejo.
Konservasi Baderbang ini dikelola Ketua Pokmaswas Fajar Bengawan, Moh
Sonhadi. Dia menyatakan area konservasi yang berjarak 3 km tidak terdampak. Namun
pihaknya menyayangkan jika upaya penyadaran lingkungan yang selama lima tahun
dilakukan gagal total karena limpasan limbah pabrik.

Sonhaji mengatakan bahwa mereka sudah tebar jutaan bibit ikan bantuan
Pemprov di Sungai Lemon. Tapi semua mati akibat terkontaminasi limbah. Dia
berharap, pabrik gula segera membenahi proses pengolahan limbahnya, karena tidak
mudah menyadarkan warga sekitar akan pentingnya menjaga ekosistem alam.

3.2 Pencemaran Sungai Ajkwa oleh PT. Freeport

Betapa mahal biaya pengambil alihan tambang Freeport oleh pemerintah yang
dibungkus dengan nasionalisme semu. Lewat perusahaan negara, pemerintah mesti
mengeluarkan duit senilai Rp 55,8 triliun untuk menguasai 51,23 persen saham PT
Freeport Indonesia. Kini, kita pun harus menanggung kerusakan lingkungan akibat
limbah tambang alias tailing yang tidak dikelola dengan baik.
Gambar. Sungai Ajkwa dialiri pasir sia tambang (tailing) PT Freeport di Timika

Sesuai dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada 2017, nilai
kerugian lingkungan itu mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan lingkungan terjadi karena
tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika,
Papua. Kerugian lingkungan di area hulu diperkirakan mencapai Rp 10,7 triliun, muara
sekitar Rp 8,2 triliun, dan Laut Arafura Rp 166 triliun. Pelanggaran serius terjadi karena
area penampungan tailing sebetulnya telah dibatasi hanya 230 kilometer persegi di
wilayah hulu, tapi merembes hingga ke muara sungai.

Pemerintah semestinya menyelesaikan urusan itu saat tambang emas masih


dikendalikan Freeport-McMoRan. Perusahaan itu seharusnya diberi sanksi berat.
Masalah yang tidak dibereskan selama bertahun-tahun ini akhirnya menumpuk menjadi
risiko lingkungan yang amat mahal. Saat negosiasi pengambilalihan Freeport,
pemerintah pun kurang lihai menggunakan isu lingkungan ini sebagai senjata untuk
menekan harga pembelian saham.

Freeport telah membuang limbah tambang area hulu Sungai Ajkwa sejak 1995.
Dengan kapasitas produksi 300 ribu ton, menurut penghitungan Badan Pemeriksa
Keuangan, rata-rata 230 ribu ton limbah dihasilkan setiap hari. Maklum, dari seluruh
tanah yang dikeruk dan diolah perusahaan tambang ini, hanya 3 persen yang
mengandung mineral. Sisanya sebagian besar dibuang. Melimpahnya tailing Freeport
menyebabkan pencemaran air serta kerusakan hutan dan kebun sagu. Masyarakat
setempat pun menjadi terisolasi.

Masyarakat di sekitar tambang boleh jadi terlena oleh besarnya santunan yang
diberikan perusahaan tambang emas itu. Freeport rajin membagi-bagikan uang
kerohiman kepada penduduk dengan nilai sekitar Rp 85 miliar per tahun. Dana
kompensasi itu disalurkan lewat Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten
Mimika, dan Lembaga Masyarakat Adat.

Setelah memegang mayoritas saham Freeport lewat PT Indonesia Asahan


Aluminium (Inalum), pemerintah kini harus siap menanggung segala konsekuensinya.
Pemerintah mesti membuktikan bahwa perusahaan itu bisa mengelola limbah dengan
lebih baik. Kerusakan lingkungan yang lebih besar harus dicegah. Peta jalan
penyelesaian masalah limbahhasil kesepakatan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Freeportmesti benar-benar dijalankan. Urusan yang perlu segera dibereskan antara lain
pengurangan sedimen non-tailing di area tambang dan pembangunan tanggul baru di
bendungan penampungan agar tailing tidak merembes sampai jauh.

Dilihat dari segi lingkungan, opsi menurunkan produksi demi mengurangi


tailing mungkin sangat masuk akal. Tapi hitung-hitungan ekonomi tentu lain. Jika
produksi Freeport turun, pemasukan buat negara juga merosot. Apalagi pemerintah
juga harus membuktikan bahwa investasi pembelian saham PT Freeport segera kembali
atau balik modal.

Kini pemerintah mesti menyelesaikan semua pekerjaan rumah PT Freeport tanpa bisa
menyalahkan pihak lain. Pemerintah juga harus memastikan tragedi lingkungan akibat
limbah perusahaan ini tidak akan terulang.

3.3 Air irigasi Rawan Dicuri

Sejumlah mesin pompa air menyedot air dari saluran irigasi


Pelaksanaan program gilir giring air yang digulirkan Pemkab Indramayu, untuk
mengantisipasi kekeringan, terancam gagal. Pasalnya, penggelontoran air di saluran
irigasi itu diduga rawan tindakan pencurian maupun premanisme air.

Berdasarkan pantauan mulai dari Bendung Tanggul 21 di Kecamatan


Kandanghaur hingga Bendung Tanggul 16 di Kecamatan Terisi yang melalui dua
kecamatan, Losarang dan Gabuswetan, ditemukan banyak bobokan ilegal pada tang
gul saluran irigasi. Sejumlah mesin pompa air pun menyedot air dari saluran irigasi
yang seharusnya diperuntukkan bagi daerah lain. Kuwu Desa Karangmulya,
Kecamatan Kandanghaur, Nasuha menyatakan, Jadwal gilir girang air itu hanya di atas
kertas. Di lapangan, siapa yang kuat dia yang menang.

Nasuha mengatakan, titik yang rawan terjadinya pencurian air mulai dari
Bendung Tanggul 17 di Kecamatan Terisi hingga Bendung Tanggul 21 di Kecamatan
Kandanghaur, yang melewati Kecamatan Lo Sarang dan Gabuswetan. Ia
menambahkan, masalah penyaluran air irigasi di musim tanam gadu memang sangat
sensitif. Bahkan, bisa menimbul kan konflik di antara sesama petani yang sangat
membutuhkan air.

Camat Kandanghaur Dudung Indra Ariska mengungkapkan, saat dihadapkan


pada kebutuhan air yang sangat mendesak, maka aksi bobok saluran irigasi dan
premanisme air diibaratkan sebagai penyakit kronis akut. Dia berharap, dengan adanya
aparat keamanan yang turun untuk mengawal penyaluran air irigasi, masalah tersebut
bisa diminimalisasi. Terpisah, Dandim 0616 Indramayu, Letkol Arh Zaenudin
menyatakan, akan menempatkan 294 personel di setiap pintu air. Dia pun berjanji akan
menindak tegas setiap mafia air.

Senada diungkapkan Wakil Kapolda Jabar, Brigjen Mochamad Taufik,


didampingi Kapolres Indramayu, AKBP Wijonarko. Dia pun berjanji akan menindak
oknum yang melakukan tindakan penyimpangan air irigasi.
DAFTAR PUSTAKA

Riady, Erliana. (2019, 18 September). Sungai Lemon di Blitar Diduga Tercemar,


Banyak Ikan Mabuk Mengambang. Dikutip 9 Oktober 2019 dari Detik News
: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4710935/sungai-lemon-di-
blitar-diduga-tercemar-banyak-ikan-mabuk-
mengambang?_ga=2.176925797.1981254813.1570630203-
1977047023.1570630203.

Anonim. (2009, 30 Januari). Menanggung Dampak Limbah Freeport. Dikutip 9


Oktober 2019 dari Berita Online Tempo: https://kolom.tempo.co/
read/1169527/menanggung-dampak-limbah-freeport/full&view=ok
Yulianto, Agus (2015, 4 Juni). Air Irigasi Rawan Dicuri. Dikutip 9 Oktober 2019 dari
Berita Online Republika: https://republika.co.id/berita/koran/news-
update/npeoo624/air-irigasi-rawan-dicuri

Faiz. (2019, 28 Agustus). Ahli Konstruksi: Proyek Bendung Cihara Ambrol,


Kontraktor Kurangi Spek. Dikutip 9 Oktober 2019 dari Berita Online Banten
Cyber : https://mediabantencyber.co.id/2019/08/28/ahli-kontruksi-proyek-
bendung-cihara-ambrol-kontraktor-kurangi-spek/

Anonim (2019, 31 Juli). Program Serasi Diimbau Diubah Jadi Sistem Perbaikan
Irigasi Rawa. Dikutip 10 Oktober 2019 dari Berita Online Media Indonesia
: https://mediaindonesia.com/read/detail/250293-program-serasi-diimbau-
diubah-jadi-sistem-perbaikan-irigasi-rawa

https://nasional.kompas.com/read/2019/05/15/17130431/diduga-terima-suap-pejabat-
pupr-biarkan-kontraktor-tak-penuhi-target-bantuan

https://ekbis.sindonews.com/read/1009925/150/ekspansi-properti-ancam-waduk-
saguling-1433727751

https://ugm.ac.id/id/berita/745-koordinasi-pengelolaan-sumber-daya-air-masih-
lemah

Anda mungkin juga menyukai