Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENGAMATAN DEKOMPOSISI TULANG SAPI

Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pengelolaan Limbah
Industri yang diampu oleh:

Dra. Dewi Widyabudiningsih, MT

oleh :

Siti Atika Mayapramesti NIM 171431028

Siti Fauziah NIM 171431029

kelas :

3A - ANALIS KIMIA

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

JURUSAN TEKNIK KIMIA

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KIMIA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pencemaran lingkungan berhubungan erat dengan sampah karena sampah merupakan
sumber pencemaran. Permasalahan sampah timbul karena produksi dan pengolahan
sampah tidak seimbang serta daya dukung alam sebagai tempat pembuangan sampah
semakin menurun. Jumlah sampah terus bertambah dengan cepat sedangkan pengolahan
sampah yang efisien masih belum terlaksana dengan baik. Salah satu alternatif
pengolahan sampah yang efisien yaitu dengan memilih sampah organik dan
memprosesnya menjadi pupuk kompos. Pengolahan sampah organik menjadi kompos
dapat mengatasi masalah lingkungan karena dapat membantu mengubah lingkugan yang
semula kotor, berbau dan dikerumuni lalat menjadi lingkungan yang bersih (Samekto,
2006).
Sampah berdasarkan kandungan zat kimia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
sampah anorganik pada umumnya tidak mengalami pembusukan, seperti plastik, logam.
Sedangkan sampah organik pada umumnya mengalami pembusukan, seperti daun, sisa
makanan. Sebenarnya sampah organik memiliki nilai yang lebih bermanfaat dengan cara
mengolah menjadi kompos akan membuat tanah menjadi subur karena kandungan unsur
hara bertambah. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pengamatan dekomsposisi sampah
organik khususnya tulang sapi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk
mendekomposisi sampah organik.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh tanah dan waktu terhadap dekomposisi tulang sapi?
2. Bagaimana pengaruh ukuran daun terhadap proses dekomposisinya?

1.3. Tujuan Percobaan


1. Mengetahui pengaruh kondisi tanah dan waktu terhadap proses dekomposisi tulang
sapi
2. Mengetahui pengaruh ukuran tulang sapi terhadap proses dekomposisinya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sampah

2.1.1 Pengertian Sampah

Berdasarkan SK SNI Tahun 1990, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri
dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar
tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.

Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat.
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah sudah
diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya
yang ditinjau dari segi social ekonimis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat
menyebabkan pencemaran atau gangguan terhadap lingkungan hidup.

Sampah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktifitas manusia
maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomi. Menurut kamus istilah lingkungan
hidup, sampah mempunyai definisi sebagai bahan yang tidak mempunyai nilai, bahan yang
tidak berharga untuk maksud biasa, pemakaian bahan rusak, barang yang cacat dalam
pembikinan manufaktur, materi berkelebihan, atau bahan yang ditolak.

2.1.2 Sumber Sampah

Sampah berasal dari kegiatan penghasil sampah seperti pasar, rumah tangga,
perkotaan (kegiatan komersial/ perdagangan), penyapuan jalan, taman, atau tempat umum
lainnya, dan kegiatan lain seperti dari industri dengan limbah yang sejenis sampah.6 Sumber
dari sampah di masyarakat pada umumnya, berkaitan erat dengan penggunaan lahan dan
penempatan. Beberapa sumber sampah dapat diklasifikasikan menjadi antara lain: 1)
perumahan, 2) komersil, 3) institusi, 4) konstruksi dan pembongkaran

2.1.3 Jenis-jenis Sampah

Berdasarkan bahan asalnya sampah dibagi menjadi dua jenis yaitu sampah organik dan
anorganik
1) Sampah Organik
Sampah organik yaitu buangan sisa makanan misalnya daging, buah, sayuran dan sebagainya.
Contoh sampah dari zat organik adalah: potongan-potongan/ pelat-pelat dari logam, berbagai
jenis batu-batuan, pecahan-pecahan gelas, tulang,belulang, dan lain-lain. Sampah jenis ini,
melihat fisiknya keras maka baik untuk peninggian tanah rendah atau dapat pula untuk
memperluas jalan setapak. Tetapi bila rajin mengusahakannya sampah dari logam dapat
kembali dilebur untuk dijadikan barang yang berguna, batu-batuan untuk mengurung tanah
yang rendah atau memperkeras jalan setapak, pecahan gelas dapat dilebur kembali dan
dijadikan barang-barang berguna, dan tulang-belulang bila dihaluskan (dan diproses) dapat
untuk pupuk dan lain-lain.

2) Sampah anorganik

Sampah anorganik yaitu sisa material sintetis misalnya plastik, kertas, logam, kaca, keramik
dan sebagainya. Melihat proses penghancurannya oleh jasad-jasak mikroba, maka sampah zat
organik terdiri atas:

a) Zat organik dari bahan plastik

Dengan perkembangnya Ilmu Pengetahuan dan disertai berkembangnya Industri, maka


banyak barang-barang atau perkakas dibuat dari bahan plastik. Bahan-bahan plastik termasuk
zat organic. Kita ketahui semua zat organik dapat dihancurkan oleh jasad-jasad mikroba, akan
tetapi zat plastik tidak dapat. Bila dibuang sembarangan maka zat plastik ini hancurnya
memakan waktu lama, yaitu antara 40 – 50 tahun, sehingga dikhawatirkan akan bertimbun-
timbun sampah dari plastik. Salah satu usaha yang dapat menghancurkan zat plastik adalah
sinar ultraviolet dari matahari. Ini pun akan memakan waktu yang lama juga, dibandingkan
dengan penghancuran zat organik lainnya oleh mikroba-mikroba. Jalan tercepat
menghancurkan plastik dapat dimanfaatkan kembali bersama sampah lainnya dapat pula
untuk mengurung tanah yang lebih rendah.

b) Zat organik non-plastik

Sampah zat organik bukan dari plastik banyak sekali macamnya, misalnya: kayu, kertas,
bekas pakaian, karet, sisa-sisa daging, dana lain-lain. Semua sampah zat organik dapat
diuraikan oleh mikroba-mikroba hingga menjadi bahan mineral. Bahan mineral-mineral hasil
penguraian ini baik sekali untuk pupuk.
Buangan bahan berbahaya dan beracun (B3), yaitu buangan yang memiliki karakteristik
mudah terbakar, korosif, reaktif, dan beracun. B3 kebanyak merupakan buangan dari industri,
namun ada juga sebagian kecil merupakan buangan dari aktifitas masyarakat kota atau desa
misalnya baterai, aki, disinfektan dan sebagainya.

2.2 Bakteri perombak bahan organik

Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang mengandung


senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik di laut maupun di darat.
Berbagai bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana (bulat, batang, koma, dan lengkung),
tunggal sampai bentuk koloni seperti filamen/spiral mendekomposisi sisa tumbuhan maupun
hewan. Sebagian bakteri hidup secara aerob dan sebagian lagi anaerob, sel 1.000 µm. Dalam
merombak bahan organik, biasanyaberukuran 1 µm - bakteri hidup bebas di luar organisme
lain, tetapi ada sebagian kecil yang hidup dalam saluran pencernaan hewan (mamalia, rayap,
dan lain-lain). Bakteri yang berkemampuan tinggi dalam memutus ikatan rantai C penyusun
senyawa lignin (pada bahan yang berkayu), selulosa (pada bahan yang berserat) dan
hemiselulosa yang merupakan komponen penyusun bahan organik sisa tanaman, secara alami
merombak lebih lambat dibandingkan pada senyawa polisakarida yang lebih sederhana
(amilum, disakarida, dan monosakarida). Demikian pula proses peruraian senyawa organik
yang banyak mengandung protein (misal daging), secara alami berjalan relatif cepat.

2.3 Fungi perombak bahan organik

Fungi terdapat di setiap tempat terutama di darat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan
warna. Pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam
mengurai sisa-sisa tanaman (hemiselulosa, selulosa, dan lignin). Umumnya mikroba yang
mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemiselulosa (Alexander, 1977).

Sebagian besar fungi bersifat mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan memakai
mikroskop); hanya kumpulan miselium atau spora yang dapat dilihat dengan mata. Tetapi
fungi dari kelas Basidiomycetes dapat diamati dengan mata telanjang sehingga disebut
makrofungi. Makrofungi menghasilkan spora dalam bangunan yang berbentuk seperti
payung, kuping, koral atau bola, bahkan beberapa makrofungi tersebut sudah banyak
dibudidayakan dan dimakan. Pertumbuhan hifa dari fungi kelas Basidiomycetes dan
Ascomycetes (diameter hifa 5–20 µm) lebih mudah menembus dinding sel-sel tubular yang
merupakan penyusun utama jaringan kayu. Pertumbuhan pucuk hifa maupun miselium
(kumpulan hifa) menyebabkan tekanan fisik dibarengi dengan pengeluaran enzim yang
melarutkan dinding sel jaringan kayu.

Residu tanaman terdiri atas kompleks polimer selulosa dan lignin. Perombakan
komponen-komponen polimer pada tumbuhan erat kaitan-nya dengan peranan enzim
ekstraseluler yang dihasilkan. Beberapa enzim yang Pupuk Organik dan Pupuk Hayati 215 -
glukosidase,terlibat dalam perombakan bahan organik antara lain adalah lignin peroksidase
(LiP), manganese peroksidase (MnP), dan lakase, selain kelompok enzim reduktase yang
merupakan peng-gabungan dari LiP dan MnP yaitu enzim versatile peroksidase. Enzim-
enzim ini dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, P. ostreatus, dan Bjekandera adusta (Lankinen,
2004).

Selain mengurai bahan berkayu, sebagian besar fungi menghasilkan zat yang bersifat
racun sehingga dapat dipakai untuk mengontrol pertumbuhan/perkembangan organisme
pengganggu, seperti beberapa strain Trichoderma harzianum yang merupakan salah satu
anggota dari Ascomycetes, bila kebutuhan C tidak tercukupi akan menghasilkan racun yang
dapat menggagalkan penetasan telur nematoda Meloidogyne javanica (penyebab bengkak
akar) sedangkan bila kebutuhan C tercukupi akan bersifat parasit pada telur atau anakan
nematoda tersebut. Residu tanaman mengandung sejumlah senyawa organik larut dalam air,
seperti asam amino, asam organik, dan gula yang digunakan oleh mikroba untuk proses
perombakan. Fungi dari kelas Zygomycetes (Mucorales) sebagian besar sebagai pengurai
amilum, protein, dan lemak, hanya sebagian kecil yang mampu mengurai selulosa dan khitin.
Beberapa Mucorales seperti Mucor spp. dan Rhizopus spp. mengurai karbohidrat tingkat
rendah (monosakarida dan disakarida) yang dicirikan dengan perkecambahan spora,
pertumbuhan, dan pembentukan spora yang cepat.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan

Alat Bahan
1. Sekop 1. Daun-daun dari tanaman sekitar
2. Penggaris gedung teknik kimia bawah
3. Gayung 2. Tanah
3. Air
3.2. Prosedur Kerja
Tulang di potong kecil-kecil
a. Disiapkan alat dan bahan untuk menggali tanah
b. Digali lubang hingga kedalam 40 cm.
c. Dimasukan tulang sapi yang dipotong-potong hingga hancur ke dalam lubang.
d. Kemudian tutup lubang, tapi tidak sampai tanah tertutup rapat.
e. Dilakukan pengamatan setiap harinya.
f. Bandingkan hasil dengan tulang utuh.

Tulang di potong kecil-kecil


a. Disiapkan alat dan bahan untuk menggali tanah
b. Digali lubang hingga kedalam 40 cm.
c. Dimasukan tulang sapi yang utuh ke dalam lubang.
d. Kemudian tutup lubang, tapi tidak sampai tanah tertutup rapat.
e. Dilakukan pengamatan setiap harinya.
f. Bandingkan hasil dengan tulang di potong kecil-keci.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1. Data Pengamatan

Tanggal Tulang Sapi Ukuran Besar Tulang Sapi dipotong-potong


kecil
12
September
2019

Awalnya tulang dalam ukuran Awalnya tulang dalam keadaan


besar di masukan ke dalam galian dipotong kecil kecil di masukan ke
tanah. Setelah itu di kubur dengan dalam galian tanah. Setelah itu di
tanah lagi. Aroma bau daging kubur dengan tanah lagi. Aroma bau
masih tercium. daging masih tercium.
13
September
2019

Pada hari esoknya dilakukan Pada hari esoknya dilakukan


pengamatan pada tulang ukuran pengamatan pada tulang ukuran
besar ini, hasilnya sama masih kecil, hasilnya sama masih ada
ada dan belum hilang, bau dan belum hilang, bau daging nya
daging nya pun masih tercium pun masih tercium.
17
September
2019

Selanjutnya dilakukan
Selanjutnya dilakukan
pengamatan lagi pada tulang
pengamatan lagi pada tulang
ukuran kecil, hasil dari
ukuran besar, hasil dari
pengamatan yaitu masih ada
pengamatan yaitu masih
sedikit sebagian tulang kecil tetapi
terdapat tulang utuh dalam
tidak seperti hari sebelumnya,
tanah galian tersebut dan aroma
dalam tanah galian tersebut dan
bau daging sedikit lebih
aroma bau daging sedikit lebih
berkurang.
berkurang.
20
September
2019

Tanggal 20 sept, dilakukan Tanggal 20 sept, dilakukan


pengamatan kembali, pengamatan kembali, bagaimana
bagaimana hasil tulang ukuran hasil tulang ukuran tersebut
tersebut selama seminggu. Hasil selama seminggu. Hasil yang di
yang di dapat yaitu masih dapat yaitu masih terdapat
terdapat 3potongan tulang beberapa potongan tulang ukuran
ukuran besar, sisanya sudah kecil, sisanya sudah hilang dan
hilang dan aroma bau daging aroma bau daging sudah tidak
sudah tidak tercium. tercium.
26
September
2019

Hasil pengamatan terakhir Hasil pengamatan terakhir yaitu,


yaitu, masih tersisa 1 tulang tulang ukuran kecil sudah hilang
berukuran besar pada galian dan tidak terdapat satupun tulang
tanah tersebut. yang tersisa.

4.2. Pembahasan
Pada tugas pengolahan limbah industri kali ini, kami berdua melakukan percobaan
bagaimana cara mengetahui pengaruh kondisi tanah dan waktu terhadap proses
dekomposisi tulang sapi. Sebelum dilakukan percobaan ini, kami mencari sampel yang
akan di gunakan yaitu tulang sapi, kami membuat 2 ukuran untuk tulang sapi yaitu
dengan ukuran besar, dan ukuran dipotong kecil-kecil. Setelah itu dilakukan penggalian
lubang dalam tanah pada tanggal 12 september 2019 dengan menggunakan alat sekop,
ukuran kedalaman tanah tersebut yaitu 40 cm. Lahan yang kami gunakan yaitu lahan
tanah sekitaran belakang gedung teknik kimia bawah. Sampel tulang sapi ditimbang
sebanyak 10 gram, setelah itu dilakukan penggalian kemudian dimasukan tulang dalam
galian tanah tersebut, masih terdapat aroma bau daging sapi. Tutup kembali dengan tanah
tulang sapi tesebut, pastikan tanah yang di masukan tidak terlalu menjadi padat.
Pada keesokan hari di tanggal 13 september 2019, dilakukan pengamatan pada tulang
sapi di dalam tanah tersebut, hasil pengamatan yaitu masih terdapat tulang sapi ukuran
besar maupun kecil dalam galian tanah, tulang pun masih berwarna merah dan masih ada
sedikit sisa daging yang menempel, dan menyebabkan aroma bau pada tulang.
Kemudian pada tangga 17 september 2019, dilakukan pengamatan lagi. Hasil
pengamatan yang di dapat yaitu masih sama seperti tgl sebelumnya pada kedua ukuran
tersebut, tetapi hanya bau aroma tulang sapi yang berkurang dari pada sebelumnya, dan
aroma bau busuk tercium karena terdapat bilatung di dalam galian tersebut yang menyatu
dengan tulang.
Pada tanggal 20 september 2019, dilakukan pengamatan kembali pada tulang sapi
tersebut. Hasil pengamatan yang di dapat yaitu,untuk tulang sapi berukuran besar masih
terdapat 3potongan tulang ukuran besar, sisanya sudah hilang dan aroma bau daging
sudah tidak tercium. Sedangkan yang berukuran kecil masih terdapat beberapa potongan
tulang ukuran kecil, sisanya sudah hilang dan aroma bau daging sudah tidak tercium.
Pengamatan terakhir pada tanggal 26 september 2019, hasil yang didapat yaitu pada
tulang ukuran kecil sudah hilang dan tidak terdapat satupun tulang yang tersisa.
Sedangkan pada tulang sapi ukuran besar masih terdapat 1 potongan tulang sapi yang
tersisa dan tidak terdekomposisi.
Hasil pada percobaan menunjukan bahwa dekomposisi pada tulang ukuran kecil lebih
baik dari pada tulang sapi ukuran besar, maka dari itu waktu yang di perlukan untuk
dekomposisi pada tulang sapi ukuran kecil lebih sebentar dibandingkan pada tulang sapi
ukuran besar. Hal ini bisa terjadi mungkin ada beberapa faktor penyebab yang
mempengaruhi laju dekomposisi tulang sapi, atau bisa karena lubang yang dibuat kurang
mempengaruhi suplai oksigen pada tulang sapi mikroorganisme pada tulang sapi.
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan

Proses terjadinya dekomposisi tulang sapi pada hasil percobaan kali ini paling baik
terjadi pada tulang sapi yang ukurannya sudah dipotong kecil-kecil. Dibutuhkan waktu
selama 2 minggu untuk mendekomposisi tulang sapi tersebut. Sedangkan tulang sapi
ukuran besar pada minggu ke 2 pun belum mengalami dekomposisi yang sempurna.
Terdapat beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi laju dekomposisi tulang sapi
diantaranya adalah ukuran dari tulang sapi tersebut. Selain itu juga kondisi tanah yang
gambut atau tidak gambut yang mempengarahui laju dekomposisi tulang sapi. Serta
kedalaman dan diameter lubang penguburan dapat mempengaruhi suplai oksigen pada
mikroorganisme pengurai tulang sapi.

5.2. Saran

Sebaiknya dilakukan percobaan membuat lubang penguburan yang sama agar kondisi
kedua lubang pun sama. Selain itu, pengamatan perlu dilakukan setiap hari untuk
meyakinkan hasil dekomposisi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

E. Colink, Istilah Lingkungan Untuk Manajemen, 1996

R Saraswati, Organisme Perombak Bahan Organik, dari:


http://balittanah.litbang.pertanian.go.id

S. Hadiwiyoto, Penanganan dan Pemanfaatan Sampah, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1983)

Shobri, Ahwan (2014) Program pilah sampah plastik, kardus, kertas dalam
meningkatkan nilai kebersihan siswa dan pendapatan sekolah di SDN Tambakaji 04, SDN
Ngaliyan 01 dan SDN Ngaliyan 03. Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo.

Sri Subekti, Pengelolaan Sampah Rumah Tangga 3R Berbasis Masyarakat Pendahuluan,


dari : http://www.scribd.com/doc/19229978/tulisan

Anda mungkin juga menyukai