Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pengelolaan Limbah
Industri yang diampu oleh:
oleh :
kelas :
3A - ANALIS KIMIA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah
Berdasarkan SK SNI Tahun 1990, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri
dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar
tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat.
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah sudah
diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya
yang ditinjau dari segi social ekonimis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat
menyebabkan pencemaran atau gangguan terhadap lingkungan hidup.
Sampah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktifitas manusia
maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomi. Menurut kamus istilah lingkungan
hidup, sampah mempunyai definisi sebagai bahan yang tidak mempunyai nilai, bahan yang
tidak berharga untuk maksud biasa, pemakaian bahan rusak, barang yang cacat dalam
pembikinan manufaktur, materi berkelebihan, atau bahan yang ditolak.
Sampah berasal dari kegiatan penghasil sampah seperti pasar, rumah tangga,
perkotaan (kegiatan komersial/ perdagangan), penyapuan jalan, taman, atau tempat umum
lainnya, dan kegiatan lain seperti dari industri dengan limbah yang sejenis sampah.6 Sumber
dari sampah di masyarakat pada umumnya, berkaitan erat dengan penggunaan lahan dan
penempatan. Beberapa sumber sampah dapat diklasifikasikan menjadi antara lain: 1)
perumahan, 2) komersil, 3) institusi, 4) konstruksi dan pembongkaran
Berdasarkan bahan asalnya sampah dibagi menjadi dua jenis yaitu sampah organik dan
anorganik
1) Sampah Organik
Sampah organik yaitu buangan sisa makanan misalnya daging, buah, sayuran dan sebagainya.
Contoh sampah dari zat organik adalah: potongan-potongan/ pelat-pelat dari logam, berbagai
jenis batu-batuan, pecahan-pecahan gelas, tulang,belulang, dan lain-lain. Sampah jenis ini,
melihat fisiknya keras maka baik untuk peninggian tanah rendah atau dapat pula untuk
memperluas jalan setapak. Tetapi bila rajin mengusahakannya sampah dari logam dapat
kembali dilebur untuk dijadikan barang yang berguna, batu-batuan untuk mengurung tanah
yang rendah atau memperkeras jalan setapak, pecahan gelas dapat dilebur kembali dan
dijadikan barang-barang berguna, dan tulang-belulang bila dihaluskan (dan diproses) dapat
untuk pupuk dan lain-lain.
2) Sampah anorganik
Sampah anorganik yaitu sisa material sintetis misalnya plastik, kertas, logam, kaca, keramik
dan sebagainya. Melihat proses penghancurannya oleh jasad-jasak mikroba, maka sampah zat
organik terdiri atas:
Sampah zat organik bukan dari plastik banyak sekali macamnya, misalnya: kayu, kertas,
bekas pakaian, karet, sisa-sisa daging, dana lain-lain. Semua sampah zat organik dapat
diuraikan oleh mikroba-mikroba hingga menjadi bahan mineral. Bahan mineral-mineral hasil
penguraian ini baik sekali untuk pupuk.
Buangan bahan berbahaya dan beracun (B3), yaitu buangan yang memiliki karakteristik
mudah terbakar, korosif, reaktif, dan beracun. B3 kebanyak merupakan buangan dari industri,
namun ada juga sebagian kecil merupakan buangan dari aktifitas masyarakat kota atau desa
misalnya baterai, aki, disinfektan dan sebagainya.
Fungi terdapat di setiap tempat terutama di darat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan
warna. Pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam
mengurai sisa-sisa tanaman (hemiselulosa, selulosa, dan lignin). Umumnya mikroba yang
mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemiselulosa (Alexander, 1977).
Sebagian besar fungi bersifat mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan memakai
mikroskop); hanya kumpulan miselium atau spora yang dapat dilihat dengan mata. Tetapi
fungi dari kelas Basidiomycetes dapat diamati dengan mata telanjang sehingga disebut
makrofungi. Makrofungi menghasilkan spora dalam bangunan yang berbentuk seperti
payung, kuping, koral atau bola, bahkan beberapa makrofungi tersebut sudah banyak
dibudidayakan dan dimakan. Pertumbuhan hifa dari fungi kelas Basidiomycetes dan
Ascomycetes (diameter hifa 5–20 µm) lebih mudah menembus dinding sel-sel tubular yang
merupakan penyusun utama jaringan kayu. Pertumbuhan pucuk hifa maupun miselium
(kumpulan hifa) menyebabkan tekanan fisik dibarengi dengan pengeluaran enzim yang
melarutkan dinding sel jaringan kayu.
Residu tanaman terdiri atas kompleks polimer selulosa dan lignin. Perombakan
komponen-komponen polimer pada tumbuhan erat kaitan-nya dengan peranan enzim
ekstraseluler yang dihasilkan. Beberapa enzim yang Pupuk Organik dan Pupuk Hayati 215 -
glukosidase,terlibat dalam perombakan bahan organik antara lain adalah lignin peroksidase
(LiP), manganese peroksidase (MnP), dan lakase, selain kelompok enzim reduktase yang
merupakan peng-gabungan dari LiP dan MnP yaitu enzim versatile peroksidase. Enzim-
enzim ini dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, P. ostreatus, dan Bjekandera adusta (Lankinen,
2004).
Selain mengurai bahan berkayu, sebagian besar fungi menghasilkan zat yang bersifat
racun sehingga dapat dipakai untuk mengontrol pertumbuhan/perkembangan organisme
pengganggu, seperti beberapa strain Trichoderma harzianum yang merupakan salah satu
anggota dari Ascomycetes, bila kebutuhan C tidak tercukupi akan menghasilkan racun yang
dapat menggagalkan penetasan telur nematoda Meloidogyne javanica (penyebab bengkak
akar) sedangkan bila kebutuhan C tercukupi akan bersifat parasit pada telur atau anakan
nematoda tersebut. Residu tanaman mengandung sejumlah senyawa organik larut dalam air,
seperti asam amino, asam organik, dan gula yang digunakan oleh mikroba untuk proses
perombakan. Fungi dari kelas Zygomycetes (Mucorales) sebagian besar sebagai pengurai
amilum, protein, dan lemak, hanya sebagian kecil yang mampu mengurai selulosa dan khitin.
Beberapa Mucorales seperti Mucor spp. dan Rhizopus spp. mengurai karbohidrat tingkat
rendah (monosakarida dan disakarida) yang dicirikan dengan perkecambahan spora,
pertumbuhan, dan pembentukan spora yang cepat.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
Alat Bahan
1. Sekop 1. Daun-daun dari tanaman sekitar
2. Penggaris gedung teknik kimia bawah
3. Gayung 2. Tanah
3. Air
3.2. Prosedur Kerja
Tulang di potong kecil-kecil
a. Disiapkan alat dan bahan untuk menggali tanah
b. Digali lubang hingga kedalam 40 cm.
c. Dimasukan tulang sapi yang dipotong-potong hingga hancur ke dalam lubang.
d. Kemudian tutup lubang, tapi tidak sampai tanah tertutup rapat.
e. Dilakukan pengamatan setiap harinya.
f. Bandingkan hasil dengan tulang utuh.
Selanjutnya dilakukan
Selanjutnya dilakukan
pengamatan lagi pada tulang
pengamatan lagi pada tulang
ukuran kecil, hasil dari
ukuran besar, hasil dari
pengamatan yaitu masih ada
pengamatan yaitu masih
sedikit sebagian tulang kecil tetapi
terdapat tulang utuh dalam
tidak seperti hari sebelumnya,
tanah galian tersebut dan aroma
dalam tanah galian tersebut dan
bau daging sedikit lebih
aroma bau daging sedikit lebih
berkurang.
berkurang.
20
September
2019
4.2. Pembahasan
Pada tugas pengolahan limbah industri kali ini, kami berdua melakukan percobaan
bagaimana cara mengetahui pengaruh kondisi tanah dan waktu terhadap proses
dekomposisi tulang sapi. Sebelum dilakukan percobaan ini, kami mencari sampel yang
akan di gunakan yaitu tulang sapi, kami membuat 2 ukuran untuk tulang sapi yaitu
dengan ukuran besar, dan ukuran dipotong kecil-kecil. Setelah itu dilakukan penggalian
lubang dalam tanah pada tanggal 12 september 2019 dengan menggunakan alat sekop,
ukuran kedalaman tanah tersebut yaitu 40 cm. Lahan yang kami gunakan yaitu lahan
tanah sekitaran belakang gedung teknik kimia bawah. Sampel tulang sapi ditimbang
sebanyak 10 gram, setelah itu dilakukan penggalian kemudian dimasukan tulang dalam
galian tanah tersebut, masih terdapat aroma bau daging sapi. Tutup kembali dengan tanah
tulang sapi tesebut, pastikan tanah yang di masukan tidak terlalu menjadi padat.
Pada keesokan hari di tanggal 13 september 2019, dilakukan pengamatan pada tulang
sapi di dalam tanah tersebut, hasil pengamatan yaitu masih terdapat tulang sapi ukuran
besar maupun kecil dalam galian tanah, tulang pun masih berwarna merah dan masih ada
sedikit sisa daging yang menempel, dan menyebabkan aroma bau pada tulang.
Kemudian pada tangga 17 september 2019, dilakukan pengamatan lagi. Hasil
pengamatan yang di dapat yaitu masih sama seperti tgl sebelumnya pada kedua ukuran
tersebut, tetapi hanya bau aroma tulang sapi yang berkurang dari pada sebelumnya, dan
aroma bau busuk tercium karena terdapat bilatung di dalam galian tersebut yang menyatu
dengan tulang.
Pada tanggal 20 september 2019, dilakukan pengamatan kembali pada tulang sapi
tersebut. Hasil pengamatan yang di dapat yaitu,untuk tulang sapi berukuran besar masih
terdapat 3potongan tulang ukuran besar, sisanya sudah hilang dan aroma bau daging
sudah tidak tercium. Sedangkan yang berukuran kecil masih terdapat beberapa potongan
tulang ukuran kecil, sisanya sudah hilang dan aroma bau daging sudah tidak tercium.
Pengamatan terakhir pada tanggal 26 september 2019, hasil yang didapat yaitu pada
tulang ukuran kecil sudah hilang dan tidak terdapat satupun tulang yang tersisa.
Sedangkan pada tulang sapi ukuran besar masih terdapat 1 potongan tulang sapi yang
tersisa dan tidak terdekomposisi.
Hasil pada percobaan menunjukan bahwa dekomposisi pada tulang ukuran kecil lebih
baik dari pada tulang sapi ukuran besar, maka dari itu waktu yang di perlukan untuk
dekomposisi pada tulang sapi ukuran kecil lebih sebentar dibandingkan pada tulang sapi
ukuran besar. Hal ini bisa terjadi mungkin ada beberapa faktor penyebab yang
mempengaruhi laju dekomposisi tulang sapi, atau bisa karena lubang yang dibuat kurang
mempengaruhi suplai oksigen pada tulang sapi mikroorganisme pada tulang sapi.
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Proses terjadinya dekomposisi tulang sapi pada hasil percobaan kali ini paling baik
terjadi pada tulang sapi yang ukurannya sudah dipotong kecil-kecil. Dibutuhkan waktu
selama 2 minggu untuk mendekomposisi tulang sapi tersebut. Sedangkan tulang sapi
ukuran besar pada minggu ke 2 pun belum mengalami dekomposisi yang sempurna.
Terdapat beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi laju dekomposisi tulang sapi
diantaranya adalah ukuran dari tulang sapi tersebut. Selain itu juga kondisi tanah yang
gambut atau tidak gambut yang mempengarahui laju dekomposisi tulang sapi. Serta
kedalaman dan diameter lubang penguburan dapat mempengaruhi suplai oksigen pada
mikroorganisme pengurai tulang sapi.
5.2. Saran
Sebaiknya dilakukan percobaan membuat lubang penguburan yang sama agar kondisi
kedua lubang pun sama. Selain itu, pengamatan perlu dilakukan setiap hari untuk
meyakinkan hasil dekomposisi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Shobri, Ahwan (2014) Program pilah sampah plastik, kardus, kertas dalam
meningkatkan nilai kebersihan siswa dan pendapatan sekolah di SDN Tambakaji 04, SDN
Ngaliyan 01 dan SDN Ngaliyan 03. Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo.