A. Definisi
B. Epidemiologi
Insiden penyakit demam tifoid cukup tinggi terutama di negara yang
berkembang dengan kepadatan penduduk serta kesehatan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat. Demam tifoid dan paratifoid bersifat endemic dan sporadic di
Indonesia. Penyakit ini tercantum dalam Undang-undang No.6 tahun 1962 tentang
wabah. Walaupun tercantum dalam undang-undang wabah, namun data yang
lengkap belum ada sehingga gambaran epidemiologi belum diketahui secara pasti.
Demam tifoid ini dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insidens tertinggi pada
anak-anak. Sumber penularan S.typhi ada dua yakni pasien dengan demam tifoid
dan karier. Transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi pada daerah endemic
sedangkan pada daerah nonendemik, makanan yang tercemar karier merupakan
sumber penularan utama.
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17
juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai
600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit
demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun
sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate demam
tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam
tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000
penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk.
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk
pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus
per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di
Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit
demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi
serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan.
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin
lelaki atau perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak.
Orang dewasa sering mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian
menghilang atau sembuh sendiri. Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun
seperti bisa dilihat pada di bawah ini.
12 – 29 tahun 70 – 80 %
30 – 39 tahun 10 – 20 %
40 tahun 5 – 10 %
C. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi bioserotipe A, B atau C. Kedua spesies Salmonella ini berbentuk batang,
berflagel, aerobic, tidak berspora, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37°C,
hidup subur pada media yang mengandung empedu dan gramnya adalah gram
negative. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu Salmonella
typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk
menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu
faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah
keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat
melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi.
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang
telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di
atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
D. Patofisiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1- 2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita.
Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala
meningitis, di sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan
menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi
gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak
dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari
dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.
3. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Tipes selalu memiliki gejala awal yang terlihat seperti penyakit influenza.
Terkadang penderita juga mengalami radang tenggorokan, flu, demam, sakit
kepala dan demam. Kondisi awal ini memang lebih mirip seperti gejala
influenza. Namun kondisi penyakit akan lebih parah setelah lebih dari satu
minggu dan gejala tipes akan terlihat jelas. Berikut ini beberapa gejala yang
terjadi sesuai fase perkembangan infeksi bakteri dalam tubuh.
F. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan
berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan
hingga saat ini.
G. Alur Diagnosis
1) Anamnesa
Identitas (Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat)
Perjalanan penyakit hingga timbulnya gejala
Riwayat penyakit keluarga atau lingkungan sekitar yang mengalami
keluhan/sakit yang sama dengan pasien
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik:
Febris
Kesadaran menurun
Bradikardi relative
Lidah kotor
Hepatomegaly
Splenomegaly
Nyeri abdomen
Roseolae.
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin
Dapat ditemukan leukopenia, leukositosis, atau leukosit normal,
aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan,
trombositopenia, gangguan fungsi hati.
Kultur Darah
Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu
pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif
mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapatkan
terapi antibiotik. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif
menjadi 20-25% dan minggu ke-4 hanya 10-15%.
Uji IgM Dipstick
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.
Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas
sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan
dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi
dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif
pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap
antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Uji Tubex
Pemeriksaan ini mudah dilakukan dan hanya membutuhkan
waktu singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5 menit). Untuk
meningkatkan spesivisitas, pemeriksaan ini menggunakan anti¬gen
O9 yang hanya ditemukan pada Salmonellae serogroup D dan tidak
pada mikroorganisme lain. Antigen yang menyerupai ditemukan
pula pada Trichinella spiralis tetapi antibodi terhadap kedua jenis
antigen ini tidak bereaksi silang satu dengan yang lain. Hasil positif
uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup
D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh
S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan.
Antigen ini dapat merangsang respons imun secara independen
terhadap timus, pada bayi, dan merangsang mitosis sel B tanpa
bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat ini, respon terhadap anti¬gen
O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat
dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan
hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji Tubex hanya dapat
mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak
dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi
lampau. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam
komponen, meliputi:
o Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas.
o Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang
diselubungi dengan antigen S. typhi O9
o Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru
yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk
antigen 09.
Komponen-komponen ini stabil disimpan selama 1 tahun
dalam suhu 40C dan selama beberapa minggu dalam suhu kamar. Di
dalam tabung, satu tetes serum dicampur selama kurang lebih 1
menit dengan satu tetes reagen A. Dua tetes reagen B kemudian
dicampurkan dan didiamkan selama 1-2 menit. Tabung kemudian
diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan
didiamkan. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.
Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya
dapat dilihat pada label.
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut.
Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B akan
bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah yang
mengandung medan magnet (magnet rak), komponen mag-net yang
dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan
membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai
akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum
mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan
dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet
rak dan memberikan warna biru pada larutan.
b) Suportif
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala
simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual,
muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu
dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan
ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat
perdarahan maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan
penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan
keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.
Diet
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan
haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk
di konsumsi, antara lain :
Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
Tidak mengandung banyak serat.
Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk
memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin
meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan
tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga
ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan
saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah
adalah :
Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan
aktivitas
Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga
asupan serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan
dengan toleransi perorangan
Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat)
sesuai dengan toleransi perorangan.
Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis,
terlalu asam dan berbumbu tajam.
Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu
tidak terlalu panas dan dingin
Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan
khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral,
makanan formula, atau makanan parenteral.
c)
Perawatan Medis
Tirah baring dan perawatan medis (medical care) bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan
sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi, buang air
kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat
tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring abolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud
tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan
usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus
diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus
diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air
kemih.
I. Komplikasi
Demam tifoid dapat memiliki komplikasi pada berbagai sistem organ yaitu:
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan Intestinal.
Pada plaques payeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka, jika
luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan
terjadi perdarahan. Selanjutnya jika luka menembus dinding usus maka
perforasi terjadi, apalagi kalau terjadi gangguan koagulasi.
2. Perforasi Usus.
Biasa timbul pada minggu ke 3 namun dapat terjadi pula minggu ke 1.
gejalanya : mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah menyebar keseluruh perut disertai tanda-tanda ileus.
Komplikasi Ekstratinal
1. Komplikasi Kardiovaskular :
Syok
Miokarditis
Trombosit
Tromboflebitis
2. Komplikasi Darah
Anemia Hemolitik
Trombositopenia
Koagulasi Intravaskular Diseminata
Sindorm Uremia Hemolitik
3. Komplikasi Paru
Pneumonia
Empyema
Pleuritic
4. Komplikasi Hepar dan Kandung Kemih
Hepatitis
Kolelitiasis
5. Komplikasi Ginjal
Glomerulonephritis
Pielonefritis
Perinefritis
6. Komplikasi Tulang
Osteomilitis
Periostitis
Spondilitis
Artritis
7. Komplikasi Neuropsikiatri
Delirium
Meningismus
Meningitis
Polyneuritis Perifer
Sindrom Guillain-Barre
Psikosis
Sindrom Katatonia
J. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia
penderita,keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada
tidaknya komplikasi.
Di Negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya
<1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya >10%. Biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endocarditis, dan
pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas tinggi.
Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak
diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antibiotik
yang tepat, manifestasi relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian
antibiotik dan menyerupai penyakit akut namum biasanya lebih ringan dan pendek.
Individu yang mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi
karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden
penyakit saluran empedu lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum.
DAFTAR PUSTAKA