Anda di halaman 1dari 22

DEMAM TYPHOID

A. Definisi

Demam Tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan


oleh Salmonella enteric serotype typhi atau parathypi pada usus halus dengan
gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran. Satu-satunya reservoar kuman S.typhi adalah manusia. Demam Tifoid
banyak di temukan di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini erat
kaitannya dengan kualitas hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang
baik. Penularan penyakit ini hampir selalu melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus dan paratifus
abdominalis. Tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung S.typhi setelah satu tahun pascademam tifoid tanpa gejala klinis.

B. Epidemiologi
Insiden penyakit demam tifoid cukup tinggi terutama di negara yang
berkembang dengan kepadatan penduduk serta kesehatan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat. Demam tifoid dan paratifoid bersifat endemic dan sporadic di
Indonesia. Penyakit ini tercantum dalam Undang-undang No.6 tahun 1962 tentang
wabah. Walaupun tercantum dalam undang-undang wabah, namun data yang
lengkap belum ada sehingga gambaran epidemiologi belum diketahui secara pasti.
Demam tifoid ini dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insidens tertinggi pada
anak-anak. Sumber penularan S.typhi ada dua yakni pasien dengan demam tifoid
dan karier. Transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi pada daerah endemic
sedangkan pada daerah nonendemik, makanan yang tercemar karier merupakan
sumber penularan utama.

Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17
juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai
600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit
demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun
sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate demam
tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam
tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000
penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk.
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk
pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus
per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di
Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit
demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi
serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan.
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin
lelaki atau perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak.
Orang dewasa sering mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian
menghilang atau sembuh sendiri. Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun
seperti bisa dilihat pada di bawah ini.
 12 – 29 tahun 70 – 80 %
 30 – 39 tahun 10 – 20 %
 40 tahun 5 – 10 %

C. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi bioserotipe A, B atau C. Kedua spesies Salmonella ini berbentuk batang,
berflagel, aerobic, tidak berspora, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37°C,
hidup subur pada media yang mengandung empedu dan gramnya adalah gram
negative. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu Salmonella
typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk
menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu
faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah
keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat
melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi.

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang
telah memenuhi kriteria penilaian.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di
atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
D. Patofisiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis


berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas
seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup
intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas
humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang
akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi
primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi
flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada
pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang
mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala
sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1- 2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita.
Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala
meningitis, di sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan
menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi
gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak
dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus.

Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari
dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.

2. Gangguan pada Saluran Pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecahpecah.
Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung.
Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

3. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Tipes selalu memiliki gejala awal yang terlihat seperti penyakit influenza.
Terkadang penderita juga mengalami radang tenggorokan, flu, demam, sakit
kepala dan demam. Kondisi awal ini memang lebih mirip seperti gejala
influenza. Namun kondisi penyakit akan lebih parah setelah lebih dari satu
minggu dan gejala tipes akan terlihat jelas. Berikut ini beberapa gejala yang
terjadi sesuai fase perkembangan infeksi bakteri dalam tubuh.

a) Infeksi bakteri minggu pertama


Penderita tipes akan memiliki beberapa gejala yang sama seperti jenis
penyakit biasa atau kelelahan. Kondisi ini ditandai dengan tubuh yang
semakin lemah. Setelah penderita mendapatkan infeksi bakteri selama
satu minggu, maka gejala yang muncul adalah:
 Demam yang terus mengalami kenaikan pada malam hari.
 Sakit kepala dari mulai bagian sekitar mata dan bagian belakang
yang menyebabkan penderita tidak bisa beraktivitas.
 Nafsu makan yang terus menurun sehingga tubuh juga menjadi
lebih lemah.
 Gangguan pencernaan yang menyebabkan sembelit dan diare.
 Muncul batuk kering yang tidak bisa disembuhkan dengan jenis
obat batuk.
 Timbul bercak merah pada kulit kaki dan tangan.

b) Infeksi bakteri minggu kedua


Penyakit tipes akan semakin parah apabila sampai 2 minggu
terkena infeksi dan tidak mendapatkan perawatan yang cukup. Penderita
akan merasa lebih sakit bahkan tidak bisa melakukan aktifitas. Beberapa
gejala tipes setelah 2 minggu adalah:
 Demam yang terus naik dan turun yang biasanya terjadi diawali
dari sore hari hingga kemalam. Bahkan kondisi tertentu bisa
menyebabkan demam hingga lebih dari 40 derajat Celcius.
 Nafsu makan yang terus mengalami penurunan dan tubuh
terlihat lebih kurus.
 Gangguan pencernaan yang sangat parah seperti diare dan
sembelit.
 Perut bengkak dan terasa lebih keras.

c) Infeksi bakteri minggu ketiga


Setelah masuk ke minggu ke tiga maka penyakit tipes akan
bertambah semakin parah. Biasanya penderita sudah tidak bisa
melakukan aktifitas sama sekali. Tubuh penderita akan sulit untuk
berjalan atau bangun dari tempat tidur. Selain itu demam tinggi yang
terjadi sepanjang hari akan membuat penderita semakin parah. Biasanya
pada tahap ini sudah disertai dengan beberapa gejala komplikasi
penyebaran bakteri dari usus ke bagian lain.

d) Infeksi bakteri minggu keempat


Tipes pada minggu ke empat justru akan membuat penderita
merasa lebih baik. Pada masa ini biasanya penderita tidak akan merasa
demam dan tubuh terlihat lebih bugar. Tapi pada fase ini justru ada
bahaya yang mengancam jika ada komplikasi. Merupakan fase
penyembuhan bila tidak ada tanda-tanda komplikasi. Mereda 2-4
minggu. Malaise tetap ada selama 1-2 bulan.

F. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan
berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan
hingga saat ini.

Pemeriksaan Penunjang bisa dilakukan dengan pemeriksaan darah perifer dan


SGPT. Pemeriksaan SGPT ada beberapa macam, yaitu :
1. Uji Widal
2. Uji Tubex
3. Uji Typhidot
4. Uji IgM Dipstick
5. Kultur Darah

G. Alur Diagnosis
1) Anamnesa
 Identitas (Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat)
 Perjalanan penyakit hingga timbulnya gejala
 Riwayat penyakit keluarga atau lingkungan sekitar yang mengalami
keluhan/sakit yang sama dengan pasien

2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik:
 Febris
 Kesadaran menurun
 Bradikardi relative
 Lidah kotor
 Hepatomegaly
 Splenomegaly
 Nyeri abdomen
 Roseolae.

3) Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Darah Rutin
Dapat ditemukan leukopenia, leukositosis, atau leukosit normal,
aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan,
trombositopenia, gangguan fungsi hati.
 Kultur Darah
Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu
pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif
mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapatkan
terapi antibiotik. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif
menjadi 20-25% dan minggu ke-4 hanya 10-15%.
 Uji IgM Dipstick
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.
Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas
sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan
dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi
dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
 Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif
pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap
antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
 Uji Tubex
Pemeriksaan ini mudah dilakukan dan hanya membutuhkan
waktu singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5 menit). Untuk
meningkatkan spesivisitas, pemeriksaan ini menggunakan anti¬gen
O9 yang hanya ditemukan pada Salmonellae serogroup D dan tidak
pada mikroorganisme lain. Antigen yang menyerupai ditemukan
pula pada Trichinella spiralis tetapi antibodi terhadap kedua jenis
antigen ini tidak bereaksi silang satu dengan yang lain. Hasil positif
uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup
D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh
S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan.
Antigen ini dapat merangsang respons imun secara independen
terhadap timus, pada bayi, dan merangsang mitosis sel B tanpa
bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat ini, respon terhadap anti¬gen
O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat
dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan
hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji Tubex hanya dapat
mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak
dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi
lampau. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam
komponen, meliputi:
o Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas.
o Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang
diselubungi dengan antigen S. typhi O9
o Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru
yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk
antigen 09.
Komponen-komponen ini stabil disimpan selama 1 tahun
dalam suhu 40C dan selama beberapa minggu dalam suhu kamar. Di
dalam tabung, satu tetes serum dicampur selama kurang lebih 1
menit dengan satu tetes reagen A. Dua tetes reagen B kemudian
dicampurkan dan didiamkan selama 1-2 menit. Tabung kemudian
diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan
didiamkan. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.
Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya
dapat dilihat pada label.
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut.
Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B akan
bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah yang
mengandung medan magnet (magnet rak), komponen mag-net yang
dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan
membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai
akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum
mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan
dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet
rak dan memberikan warna biru pada larutan.

Interpretasi hasil uji Tubex:


Skor Interpretasi
<2 Negatif
3 Borderline
4-5 Positif
>6 Positif
Berbagai penelitian (House dkk, 2001; Olsen dkk, 2004; dan
Kawano dkk, 2007) menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan
spesivisitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%).
 Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thypi.
Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman
S.thypi dengan antibodi yang di sebut aglutinin. Antigen yang di
gunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan di olah di laboratorium. Peningkatan titer uji Widal
>4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis.
Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai
gambaran klinis khas menyokong diagnosis. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu:
i. Aglutinin O dari tubuh kuman
ii. Aglutinin H dari flagella kuman
iii. Aglutinin v simpai dari simpai kuman
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di
gunakan untuk diagnostic demam tifoid semakin tinggi titernya
semakin tinggi kemungkinan terinfeksi penyakit ini. Ada
beberapa faktor yang memepengaruhi uji widal yaitu :
- Pengobatan dini dengan antibiotic
- Gangguan pembentukan antibody dan pemeberian
kortikosteroid
- Waktu pengambilan darah
- Daerah endemik atau non endemik
- Riwayat vaksinasi
- Reaksi anamnestik, yaitu penigkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demem tifoid akibat infeksi demem tifoid
masa lalu atau vaksinasi.
- Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat
aglutinasi silangdan starin salmonella yang di gunakan
untuk suspensi antigen.Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer glutinin yg bermaknadiagnostik
untuk demem tifoid. Batas titer yg dipakai hanya
kesepakatan saja,haya berlaku setempat saja,dan dapat
berbeda pada tiap-tiap laboratorium.
H. Tatalaksana
Penatalaksanaan secara umum meliputi managemen medikamentosa,
managemen nutrisi yang baik serta perawatan medik yang baik merupakan aspek
penting dalam pengobatan demam tifoid. Sampai saat ini masih dianut trilogi
penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
a) Medikamentosa
 Etiologi
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol,
ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah
sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah
meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
 Kloramfenikol diberikan dengan dosis 4x500 mg/hari, anak:
50-100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian,
oral atau intravena, selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah
demam turun. Pada keadaan malnutrisi atau penyulit lain
diberikan hingga 21 hari.
Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-
4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat,
selama 21 hari. Namun efeknya lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol.
 Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam
3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari. Efeknya
setara dengan kloramfenikol namun efek penurunan
demamnya lebih lambat.
 Kotrimoksasol 2x2 tablet 480 mg, anak: 10 mg/kbBB/hari
dan sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari yang diberikan
terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Tabel 1. Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi dan S


paratyphi A
S. typhi S. paratyphi A
Ceftriaxon 92,6 100

Kloramfenikol 94,1 100

Tetrasiklin 100 100

Trimetoprim- 100 100


Sulfametoksazol
Ciprofloksasin 100 100

Levofloksasin 100 100

 Pada kasus berat, dapat diberi sefalosporin generasi 3


Ceftriakson dengan dosis 100 mg/kg BB/hari dan diberikan 2
kali sehari selama 5-7 hari, maksimal 4 mg/hari. Cefotaxim
dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari melalui 3-4 kali
pemberian.
 Cefixime merupakan pilihan alternatif, terutama pada kasus
leukosit < 2000/uL dengan pemberian oral 10-15 mg/kgBB/hari
selama 10 hari.
 Kuinolon baik diberikan untuk tifoid namun tidak dianjurkan
pemberiannya pada anak-anak.
 Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug
Resistance), maka pilihan antibiotika adalah meropenem,
azithromisin dan fluoroquinolon.
 Penggunaan Glukokortikosteroid. Kortikosteroid diberikan pada
pasien demam tifoid berat dengan gangguan kesadaran
(delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan
dosis awal 3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak
delapan kali pemberian.

b) Suportif
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala
simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual,
muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu
dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan
ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat
perdarahan maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan
penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan
keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.
 Diet
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan
haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk
di konsumsi, antara lain :

Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.

Tidak mengandung banyak serat.

Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.

Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk
memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin
meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan
tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga
ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan
saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah
adalah :

Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan
aktivitas

Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total

Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total

Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total

Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga
asupan serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan
dengan toleransi perorangan

Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat)
sesuai dengan toleransi perorangan.

Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis,
terlalu asam dan berbumbu tajam.

Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu
tidak terlalu panas dan dingin

Makanan sering diberikan dalam porsi kecil

Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan
khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral,
makanan formula, atau makanan parenteral.
c)
Perawatan Medis
Tirah baring dan perawatan medis (medical care) bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan
sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi, buang air
kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat
tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring abolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud
tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan
usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus
diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus
diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air
kemih.

Adapun dari referensi lain yaitu :


 Istirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi
 Diet lunak dan terapi suportif (antipiretik, antiemetik, cairan yang
adekuat)
 Antibiotik dengan pilihan antara lain :
o Kloramfenikol : 4x500 mg/hari peroral/IV hingga 7 hari
bebas demam.
o Tiamfenikol : 4x500 mg
o Kotrimoksazol :2x960 mg selama 2 minggu
o Ampisilin dan amoksisilin : 50-150 mg/KgBB selama 2
minggu
o Seftriakson : 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam
perinfus sekali sehari, selama 3-5 hari
o Golongan fluorokuinolon :
 Norfloksasin : 2x400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin : 2x500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin : 2x400 mg/hari selama 7 hari
o Kombinasi antibiotik diberikan pada tifoid toksik, peritonitis
atau perforasi, syok septik
o Pada kehamilan diberikan : ampisilin, amoksisilin,
seftriakson.

I. Komplikasi
Demam tifoid dapat memiliki komplikasi pada berbagai sistem organ yaitu:
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan Intestinal.
Pada plaques payeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka, jika
luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan
terjadi perdarahan. Selanjutnya jika luka menembus dinding usus maka
perforasi terjadi, apalagi kalau terjadi gangguan koagulasi.
2. Perforasi Usus.
Biasa timbul pada minggu ke 3 namun dapat terjadi pula minggu ke 1.
gejalanya : mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah menyebar keseluruh perut disertai tanda-tanda ileus.
Komplikasi Ekstratinal
1. Komplikasi Kardiovaskular :
 Syok
 Miokarditis
 Trombosit
 Tromboflebitis
2. Komplikasi Darah
 Anemia Hemolitik
 Trombositopenia
 Koagulasi Intravaskular Diseminata
 Sindorm Uremia Hemolitik
3. Komplikasi Paru
 Pneumonia
 Empyema
 Pleuritic
4. Komplikasi Hepar dan Kandung Kemih
 Hepatitis
 Kolelitiasis
5. Komplikasi Ginjal
 Glomerulonephritis
 Pielonefritis
 Perinefritis
6. Komplikasi Tulang
 Osteomilitis
 Periostitis
 Spondilitis
 Artritis
7. Komplikasi Neuropsikiatri
 Delirium
 Meningismus
 Meningitis
 Polyneuritis Perifer
 Sindrom Guillain-Barre
 Psikosis
 Sindrom Katatonia

J. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia
penderita,keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada
tidaknya komplikasi.
Di Negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya
<1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya >10%. Biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endocarditis, dan
pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas tinggi.
Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak
diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antibiotik
yang tepat, manifestasi relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian
antibiotik dan menyerupai penyakit akut namum biasanya lebih ringan dan pendek.
Individu yang mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi
karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden
penyakit saluran empedu lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
2. Crump, J.A. 2004. The Global Burden of typhoid Fever. Buletin WHO Vol.
82 No. 5
3. Marleni M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested PCR dalam
Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke 4.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
4. Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Bandung: Universitas
Padjajaran
5. Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular Approach
2nd Edition. ASM Press.
6. Tim Penyusun. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta:Media
Aesculapius;2014

Anda mungkin juga menyukai