Anda di halaman 1dari 5

9.

Sintesis (definisi, etiologi, epidemiologi, tatalaksana, pencegahan, edukasi, prognosis, dan komplikasi)

Jawab:

Definisi

Syok merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolism jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor
utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor
penentu ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok
juga terjadi hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel sehingga
seringkali menyebabkan kematian pada pasien.

Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat menyebabkan kematian,
terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen atau pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis
termasuk ke dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan Coombs.

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan merupakan bagian
dari syok distributif yang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan
kematian pada beberapa pasien. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit
untuk menggambarkananafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa
adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya.

Epidemiologi

Data yang menjelaskan jumlah insiden dan prevalensi dari syok dan reaksi anafilaksis saat ini
sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika Serikat menunjukkan 10 dari 1000 orang
mengalami reaksi anafilaksis tiap tahunnya. Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di
USA mengalami reaksi anafilaksis, dengan resiko megalami kematian sebesar 1%.

Etiologi

Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga dan lateks.
Gambaran klinis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat
masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung, dan
kematian mendadak.

a. Tatalaksana inisial

Pastikan airway dan breathing dalam kondisi baik. Bila pasien tampak sesak, mengi atau sianosis, berikan
oksigen 3-6 L/menit dengan sungkup atau kanul nasal.
Pasang akses vena untuk resusitasi cairan atau pemberian obat-obatan.

Berikan epinefrin 1:1000 sebanyak 0,3-0,5 mg IM pada sepertiga medial anterolateral paha. Rute
pemberian alternatif adalah subkutan. Lokasi alternatif ialah lengan atas. Tinggikan posisi tungkai/lengan
bila memungkinkan. Dosis dapat diulang 5-15 menit berikut apabila belum ada perbaikan klinis.

Bila anafilaksis disebabkan oleh sengatan serangga sehingga berikan injeksi epinefrin kedua 0,1-0,3 mg
(1:1000) pada lokasi sengatan (untuk memberikan efek vasokonstriksi, kecuali pada daerah kepala, leher,
tangan, dan kaki.

b. Apabila tekanan darah turun (hipotensi)

Posisikan pasien dalam posisi Trendelenburg.

Berikan resusitasi cairan secara agresif: bolus 1000mL cairan isotonis salin normal, yang ditranfusikan
hingga tekanan sistolim > 90mg.

Apabila gejala klinis belum membaik atau hipotensi berulang, berikan epinefrin 1 : 10.000 dengan dosis
0,3-0,5 mL IV perlahan; atau pertimbangkan pemberian infus epinefrin 0,0025-0,1 ug/KgBB/menit.
Pertimbangkan efek pemberian epinefrin.

Apabila hipotensi belum juga teratasi, berikan infus norepinefrin 0,05-0,5 ug/KgBB/menit. Injeksi dititrasi
unutk menjaga tekanan darah tetap stabil (seperti sebelum anafilaksis).

Pada pasien yang mengkonsumsi β-blocker non selektif, berikan injeksi :

Glukagon 1mg/vial dengan dosis bolus 1-5 mg IV dalam 5 menit, dilanjutkan infus 5-15 ug/menit, atau

Atropin sulfat 1mg/mL dengan dosis 0,3-0,5 mg IV (dapat diulang setiap 5-10 menit hingga tercapai dosis
maksimal 2mg), atau

Isoproterenol HCl 0,2 mg/Ml dengan dosis di atas 2ug/menit IV

Pertimbangkan rawat ICU apabila klinis belum membaik atau disertai komorbid lain.

c. Pada pasien dengan sesak hebat, curiga adanya spasme bronkus atau edema saluran
napas:

Bila disertai spasme bronkus, berikan tambahan inhalasi β-2 agonis, seperti albuterol 0,5 mL dalam NaCl
0,9% 2,5 mL selama 15-30 menit;

Bila spasme menetap, berikan aminofilin 5,5 mg/kgBB yang dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10 mL; diberikan
perlahan-lahan dalam 20 menit (bila pasien tidak sedang menggunakan teofilin rutin). Bila perlu,
lanjutkan dengan rumatan infus aminofilin 0,2-1,2 mg/KgBB/jam;
Pemberian kortikosteroid intravena (seperti metilprednisolon 1-2 mg/KgBB atau maksimum 250 mg
dalam 4-6 jam) dapat membantu apabila gejala belum membaik dalam 1-2 jam terapi;

Bila disertai edema hebat saluran napas atas, pertimbangkan untuk intubasi endotrakeal.

d. Pada pasien dengan urtikaria dan angioedema, dapat ditambahkan antihistamin seperti:

Difenhidramin HCl 50 mg/mL dengan dosis 25-50 mg IV atau IM.

Hidroksizin 25 mg/mL dengan dosis 25-50 mg IM atau per oral setiap 6-8 jam.

Pencegahan

Pencegahan alergen harus dilakukan berdasarkan diagnosis yang sudah dikonfirmasi dengan modalitas
diagnostik. Edukasi pencegahan harus mengikut sertakan semua pihak yang bertanggungjawab pada
persiapan makanan. Di Amerika Serikat, telah diberlakukan peraturan untuk memberikan label pada
produk susu, telur, kacang, tree nut, ikan, shellfish, gandum, dan kedelai. Hal ini berlaku untuk produk
kemasan dan makanan di restoran.

Jika pencegahan dengan penghindaran alergen gagal, akan timbul reaksi alergi yang ringan
sampai berat, seperti reaksi anafilaksis. Untuk gejala alergi yang ringan, seperti urtikaria, diberikan
pengobatan simtomatis lini pertama dengan antihistamin 1 (AH1) generasi I. Jika pengobatan lini
pertama tidak mengurangi gejala, steroid dan imunosupresan bisa diberikan sebagai pengobatan lini
kedua. Steroid tidak menghambat degranulasi sel mast kulit, namun mempengaruhi fungsi dan produksi
sitokin oleh berbagai sel.

Terapi emergensi terhadap anafilaksis yang diinduksi oleh makanan sama dengan terapi
anafilaksis yang diinduksi oleh penyebab lain. Pengenalan yang cepat dan pemberian epinefrin sangat
krusial untuk memberikan perbaikan dari gejala. Oleh karena itu, pasien dan keluarga yang merawat
pasien, diberikan edukasi mengenai penggunaan yang tepat dari epinefrin self-injectable.3,8

Pada pasien alergi yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai risiko untuk
memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini harus dikenali,
diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan pada ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-
kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi.3,8

Komplikasi:
Kelamaan hipoksia jaringan (otak atau ginjal) memperberat keadaan dan bisa menyebabkan
kematian.

Prognosis:

Namun pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis memiliki risiko untuk kambuh bila terpajan oleh
pencetus yang sama. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis:

Alergen

Atopi

Penyakit kardiovaskular

Penyakit paru

Asma

Keseimbangan asam basa dan elektrolit

Obat-obatan (ACEI dan beta blocker)

Interval waktu dari mulai terpajan alergen

Alergi tidak bisa disembuhkan tapi hanya diberi obat untuk meringankan gejala atau keluhan.
Prognosis baik apabila diberikan penanganan yang cepat ketika keluhan timbul kembali.

Sumber :

Definisi,etio, epidemio :
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f216832eb3ad0c53b11569144fed27cf.pdf

Tatalaksana :

Tanto, Chris., Liwang, Frans., dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius

Pencegahan dan edukasi:

1. Kam, Alexander., Raveinal. 2018. Imunopatogenesis dan Implikasi Klinis Alergi Makanan pada Dewasa.
Jurnal Kesehatan Andalas. 7(2) 144-151. (http://jurnal.fk.unand.ac.id) diakses pada tanggal 31 Oktober
2019.
2. Setiati, Siti., Alwi, Idrus, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.

Komplikasi dan prognosis:

Sudung, Mulyadi, dkk. 2013. Urtikaria dam Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat Pada Anak.
Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI-RSCM

Anda mungkin juga menyukai