Anda di halaman 1dari 6

Media Sosial Media Menghakimi

Tidak perlu lagi memperoleh berita dengan menunggu petugas koran sambil minum
kopi dipagi hari ataupun mencari frekuensi untuk mendengar radio. Kegiatan tersebut
perlahan-lahan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat yang lebih memilih untuk
menggenggam smartphone. Handphone yang awalnya hanya digunakan untuk menelpon dan
SMS (​Short Message Services​), sekarang semakin berkembang menjadi smartphone yang
memiliki fitur-fitur yang menggantikan kebiasaan masyarakat untuk mendapatkan berita dan
informasi. Fitur-fitur tersebut adalah media sosial. Hanya dengan satu kali “KLIK”, dengan
mudah pengguna media sosial bisa mendapatkan berita, informasi ataupun data yang mereka
perlu dan butuhkan.

Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media”
diartikan sebagai alat komunikasi (Laughey, 2007; McQuail, 2003). Sedangkan kata “sosial”
diartikan sebagai kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan
kontribusi kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada kenyataannya, media
dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam makna bahwa keduanya
merupakan produk dari proses sosial (Durkheim dalam Fuchs, 2014). Dari pengertian
masing-masing kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah alat
komunikasi yang digunakan oleh pengguna dalam proses sosial.

Facebook, Instagram, Twitter dll adalah beberapa contoh media sosial saat ini yang
menjadi jendela manusia untuk melihat fenomena dunia, terutama bagi generasi muda
(milenial). Media sosial menjadi kebutuhan utama sekarang ini untuk mencari segala
informasi dengan cepat. Pengguna facebook di Indonesia didominasi usia 18-34
tahun,sedangkan Instagram di dominasi usia 18-24. Informasi yang tersebar dari media sosial
pun dapat dengan bebas diakses dan direspon oleh generasi milenial. Namun, seringkali
generasi milenial kurang bijaksana dalam merespon fenomena yang sedang viral di media
sosial.

Generasi milenial di Indonesia memiliki kecenderungan sifat untuk memberikan label


benar dan salah secara langsung terhadap suatu fenomena yang nantinya bisa menjadi sebuah
permasalahan yang lebih besar karena dapat memicu konflik atau permusuhan, terutama
dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang yang beranekaragam.
Contohnya adalah fenomena pemotongan nisan salib yang terjadi di Yogyakarta. Dimana
netizen langsung saja memberikan cap diskriminasi agama terhadap fenomena tersebut. Atau
contoh lainnya, fenomena Bobby Yoga Cahyadi yang meninggal bunuh diri akibat netizen
yang menghakimi Bobby lewat media sosial karena kegagalannya dalam melaksanakan event
locstock2, tahun 2013 silam.

Dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini, maka banyak
pemahaman yang beranekaragam pula. Cara merespon yang sifatnya menghakimi antara
benar dan salah menjadi kurang bijaksana mengingat setiap pemahaman yang dimiliki oleh
setiap orang tidak akan lepas dari latar belakang ​ras, daerah, budaya dan juga kepercayaan
agama yang dimiliki.

Memahami Ketaksepahaman

Kebebasan akses informasi yang diberikan oleh media sosial memberikan persoalan
baru tentang seberapa valid informasi tersebut. Video berdurasi 1 menit dari instagram
ataupun sebuah foto dan deskripsi singkat dari facebook belum bisa merepresentasikan
sebuah fenomena secara utuh. Selain melihat substansi dari konten informasi, siapa yang
memberikan informasi di media sosial juga harus diperhatikan karena bisa jadi beberapa
fenomena memang sengaja digunakan sebagai media untuk menggiring opini bagi oknum
tertentu. Dengan demikian generasi muda sebagai pengguna aktif media sosial harus mulai
cermat dalam menerima dan merespon berbagai fenomena yang dibagikan melalui media
sosial, bukan lagi soal menghakimi tapi ini soal bagaimana caranya memahami.

Memahami sendiri diartikan Dilthey sebagai sebuah proses kognitif dan reflektif
untuk menghadirkan makna seutuh-utuhnya ke dalam kesadaran peneliti. Generasi Milenial
sebagai generasi pembaharu harus mampu memberikan pembaharuan cara berpikir dalam era
kemajuan teknologi ini terutama untuk hidup bermasyarakat di Indonesia.
Pemahaman yang dimiliki seorang beragama Kristen pastinya berbeda dengan
pemahaman yang dimiliki seorang beragama Islam, Hindu ataupun Budha ataupun
kepercayaan yang lain. Begitu pula dengan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat Bali
sudah pasti berbeda dengan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat Yogyakarta,
Kalimantan ataupun pada daerah lain. Hal inilah yang dimaksud dengan ketaksepahaman.
Ketaksepahaman terjadi ketika adanya perbedaan pemahaman antara satu dengan yang lain.
Perbedaan pemahaman itu tercipta salah satunya karena perbedaan pengetahuan atau
paradigma yang dipengaruhi oleh latar belakang subjek. Dengan pemahaman yang
berbeda-beda tersebut memberikan label benar dan salah justru akan menciptakan perdebatan
yang tidak akan berakhir. Untuk memperjelas mari lihat contoh fenomena berikut.

Pulau Bali terkenal dengan tempat wisata dan tradisinya yang unik. Yakni mengadu
ayam atau dengan kata lain sabung ayam (tajen). Sabung Ayam atau tajen di Pulau Dewata
Bali ini adalah tradisi adat masyarakat turun temurun di kepulauan Bali.

Tajen Bali adalah bentuk simbolis dalam upacara adat Bali atau yang terkenal sebagai
Tabuh Rah. Selain untuk acara keagamaan, Tajen Bali merupakan salah satu kegiatan hiburan
bagi masyarakat Bali. Sebenarnya Tajen Bali sangat berbeda dengan Sabung Ayam, karena
Sabung Ayam memiliki maksud hanya untuk hiburan semata saja sedangkan Tajen Bali
merupakan salah satu acara keagamaan yang bernama Tabuh Rah.

Tabuh Rah memiliki arti meneteskan darah ke bumi. Ini merupakan bagian dari ritual
yang menyimbolkan permohohan agar pengaruh negatif tidak menggangu dan manusia bisa
terhindar dari marabahaya.

Dalam contoh tersebut terdapat sebuah fenomena sabung ayam. Saat melihat
fenomena tersebut, tanpa melakukan proses memahami, pasti yang terbesit pertama kali
adalah “judi”. Namun, bila fenomena tersebut dilihat dengan menggunakan proses
memahami, hal yang dilakukan pastinya adalah dengan melihat konteks atau latar
belakangnya. Tentang dimana dan Kapan kegiatan itu dilakukan, siapa yang melakukan,
bagaimana kegiatan itu dilakukan. Saat fenomena tersebut bisa dilihat secara utuh melalui
latar belakang dan perspektif yang komprehensif, maka fenomena itu baru bisa disimpulkan
sebagai judi atau bukan.
Dalam pemahaman masyarakat Bali fenomena sabung ayam bisa jadi sebuah ritual
keagamaan yang sedang dilakukan. Namun dengan demikian dalam merespon fenomena
sabung ayam masyarakat Bali juga tidak bisa dengan menilai mereka melakukan praktek
perjudian ataupun praktek penyiksaan binatang karena sabung ayam yang dilakukan adalah
cara masyarakat Bali untuk melestarikan budaya leluhur mereka. Bayangkan jika fenomena
tersebut langsung direspon tanpa melakukan proses memahami maka yang terjadi adalah
sebuah perdebatan yang mungkin bisa memicu konflik dan perpecahan antara masyarakat
Bali dan pihak lain. Hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang berbeda dari budaya
masyarakat Bali dengan pihak yang tidak memiliki pemahaman budaya tersebut.

Ketaksepahaman Bukan Selalu Kesalahpahaman

Ada berbagai kasus ketaksepahaman yang terjadi dalam waktu dekat ini. Sebagai contoh
adalah kasus ustad Abdul Somad yang terjadi sekitar dua bulan yang lalu (Agustus/2019).
Terdapat pertanyaan dari salah seorang jemaah pengajian tersebut “Apa sebabnya ustad kalau
saya menengok salib, menggigil hati saya” pertanyaan ini di jawab oleh ustad Abdul Somad
dengan mengatakan bahwa “jin kafir sedang masuk. Karena di salib itu ada jin kafir”. Di
media sosial ramai-ramai netizen membagikan video tersebut. Hanya sampai pada penjelasan
di salib itu ada jin kafir. Memang benar ustad Abdul Somad mengatakan seperti itu, namun
didalam video lengkapnya, ustad Abdul Somad memberikan penjelasan bahwa pada salib
terdapat pula patung yang sangat persis dengan manusia. Sedangkan dalam ajaran Agama
Islam, dilarang untuk membuat patung dengan bentuk yang lengkap. Karena jika lengkap,
terdapat kemungkinan patung tersebut akan dihuni oleh jin-jin. Permasalahan disini masih
banyak generasi muda yang hanya meng-KLIK bagikan, tanpa tahu kronologi yang pasti.
Dan pasti langsung menjudge bahwa apa yang di katakana ustad itu adalah penistaan.

Ketakspahaman tidak melulu tentang kesalahpahaman. Barangkali ada hal yang harus di
selaraskan. Ketaksepahaman terjadi karena adanya sebuah paradigma yang dipengaruhi oleh
adanya latar belakang. Sama hal nya dengan seorang dokter yang bertanya kepada anaknya
“Siapa aku” lalu anaknya menjawab, “Engkau adalah ayahku, ayah terbaik yang aku miliki di
dunia ini. Kebangganku”. Kemudian ia bertanya kembali kepada istrinya “Siapa aku”
kemudian istrinya menjawab, “Kau adalah suami dan ayah yang baik untukku juga anakku”.
Terakhir, ia menanyakan pertanyaan yang sama kepada salah satu pasiennya dan pasien
tersebut menjawab, “Dokter adalah orang baik yang mau menolong saya”. Hal ini
membuktikan bahwa ketaksepahaman bukan berarti salah. Jawaban yang berbeda tidak boleh
di artikan salah begitu saja, karena jawaban/pendapat yang berbeda, bisa jadi terjadi karena
adanya sudut pandang yang berbeda.

Saling Memahami

Persoalan yang sebenarnya terjadi bukanlah pada ketaksepahaman dalam


brmasyarakat, tapi dalam hal menyikapi ketaksepahaman tersebut. Memahami adalah salah
satu cara terbaik untuk menyikapi ketaksepahaman. Kesadaran inilah yang harus dibangun
pada generasi muda. Untuk bisa memahami secara utuh dan menciptakan sikap saling
memahami. Schleiermacher memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana cara
memahami.

Schleiermacher mencoba untuk mengatakan bahwa untuk bisa memahami harus


melihat konteks secara luas, dengan melihat bagaimana latar belakang yang mempengaruhi
individu. Dengan demikian dapat diperoleh kesimpulan tentang betapa pentingnya melihat
konteks atau latar belakang sebelum membuat penilaian tentang sebuah fenomena.

Jika kesadaran akan proses memahami ini berhasil dibangun kepada generasi muda
terutama mereka yang menjadi pengguna aktif di media sosial, maka kemungkinan terjadinya
konflik akibat ketaksepahaman bisa diminimalisir. Lalu bagaimana cara untuk membangun
kesadaran ini kepada generasi muda?
Cara terbaik tentunya adalah melalui kurikulum pendidikan. Namun jika hal tersebut
dirasa terlalu jauh untuk dapat terlaksana maka cara lain adalah melalui peran aktif para
akademisi ataupun mahasiswa. Gerakan untuk mengedukasi masyarakat seperti membuka
ruang diskusi, ruang membaca dan ruang untuk menulis harus secara masiv dilaksanakan.

Daftar Pustaka

ahmad, k. (2019, August 18). ​ustad abdul somad hukum melihat salib dan jin kafir.​
Retrieved from harakatuna: http://www.harakatuna.com

Diduga depresi, promotor musik bunuh diri​. (2013, may 26). Retrieved from
daerah.sindonews.com: https://daerah.sindonews.com

Hardiman, F. B. (2015). ​Seni Memahami.​ serpong: PT KANISIUS.

Mengenal Sejarah Dan Budaya Sabung Ayam Tajen Bali.​ (2018, August 27).
Retrieved from juarasabungayam.org: http://juarasabungayam.org

Mulawarman. (2017). ​perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya ​, 1-2.

rizal, A. (2019, june 27). ​Berapa Jumlah Pengguna Facebook dan Instagram di
Indonesia?​ Retrieved from infokomputer.grid.id: http://infokomputer.grid.id

Anda mungkin juga menyukai