Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Pemimpin Masyarakat Batak Toba

Batak Toba merupakan salah satu sub suku dari suku Batak yang berdomisili

di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai kebudayaan

unik, diantaranya; terlihat dalam sistem sosial mereka yang disebut dengan

harajaon. Harajaondapat didefinisikan pola kepemimpinan dan sistem

kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sistem Harajaon

berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan

kampung atau huta. Selain berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku

maupun huta, harajaon juga mengatur luas teritori dan pola serta otorisasi

kepemimpinan dalam suatu suku dan huta (Vergouwen, 1986).

Dalam sistem Harajaon, kepemimpinan dalam satu suku dinamakan Raja

Maropat. Posisi Raja Maropat ini erat kaitannya dengan kelompok kekerabatan yang

disebut marga. Hal ini terkait juga dengan mitologi suku Batak yang meyakini bahwa

seluruh orang Batak dari berbagai sub suku adalah keturunan Si Raja Batak yang

kemudian melahirkan banyak keturunan. Keturunan Si Raja Batak inilah yang

mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tertentu guna memperjelas identitas

genealogis mereka. Kelompok-kelompok itulah yang disebut marga. Penentuan

pemimpin dalam kelompok suku itu berdasarkan pada silsilah marga atau tarombo

dari masing-masing anggota suku. Bila berdasarkan tarombo tersebut ada seseorang

yang silsilahnya mendekati garis keturunan terdekat dari Si Raja Batak, maka orang

itu dapat diangkat sebagai pemimpin.

Universitas Sumatera Utara


Dalam huta maupun horja tidak ada pranata yang mengatur aspek religiusitas

masyarakat Batak Toba. Aspek religiusitas baru dikelola dalam suatu lembaga yang

secara struktural lebih tinggi dari horja. Lembaga itu adalah Bius. Bius merupakan

perserikatan yang terdiri dari kelompok-kelompok marga yang ada di beberapa

horja. Perserikatan bius ini dipimpin oleh raja bius yang terdiri dari terdapat empat

orang (raja na opat), yaitu Raja Parmalim (religi), Raja Adat (hukum adat), Raja

Parbaringin (sosial, politik dan keamanan), Raja Bondar (ekonomi). Raja Parmalim

merupakan bagian dari Raja Bius yang memiliki otoritas dibidang agama, dalam hal

ini agama Parmalim (agama asli Batak). Masing-masing dari Raja bius itu dipilih

oleh wakil-wakil dari kelompok marga. Raja Parbaringin, misalnya, dipilih oleh

penduduk dari tiap-tiap marga dalam bius melalui suatu musyawarah.

Ciri-ciri utama kelompok terkecil masyarakat Batak Toba, adalah kampung

(huta). Kelompok ini menghuni daerah tertentu dengan batas yang jelas dan disebut

kelompok sekampung (sahuta). Kampung (huta) dibangun oleh satu klen atau marga

tertentu dengan membangun satu rumah yang dihuni oleh anggota keluarga yang

berasal dari satu leluhur. Watak persekutuan kampung antara lain: (1) ada batas-batas

yang pasti, (2) mempunyai lahan untuk perluasan huta maupun untuk perairan, dan

(3) mengelola sendiri aneka ragam kegiatan “dalam negerinya” seperti mengurus

parit atau pagar desa, balai pertemuan, menyelesaikan percekcokan warga,

memimpin berbagai upacara, perpindahan warga dan sejenisnya (Vergouwen, 1986).

Keadaan seperti ini berlangsung dalam suatu kurun waktu yang lama di masa

lampau.

Mengenai hakekat otoritas kepala sebagai pemimpin, sikap orang Batak

(Toba) mengikuti suatu penalaran yang khas. Seorang pemimpin dipercayai sebagai

orang yang mempunyai kualitas istimewa (sahala) yang meliputi: (1) kualitas dalam

Universitas Sumatera Utara


kekuasaan yang istimewa (sahala harajaon), dan (2) kualitas untuk dihormati

(sahala hasangapon) karena wibawa atau kharismanya (Vergouwen, 1986). Orang

yang memiliki kedua sahala ini mampu menjadi pemimpin yang berkualitas dalam

arti mampu menjalankan otoritas dan dipatuhi oleh anggota kelompok. Pada pihak

lain, mereka yang mengikuti kepemimpinan dari orang-orang seperti ini akan

menjadi makmur.

Selain pengelompokan berdasarkan wilayah tempat tinggal, juga ada

pengelompokan berdasarkan kekerabatan. Kelompok-kelompok seperti ini, sesuai

dengan silsilah, dapat berwujud kelompok suku atau marga. Identitas keluarga Batak

Toba ditentukan oleh predikat marga dan ini diturunkan kepada anak laki-laki sesuai

dengan sistem kekerabatan patrilineal. Dalam kelompok seperti ini para anggota

hanya akan bertemu jika ada pesta atau pertemuan adat dan pesertanya bisa berasal

dari berbagai daerah. Dalam pertemuan seperti ini yang terutama berperan adalah

pemimpin adat atau pimpinan marga (raja).

Di daerah Batak kepemimpinan informal dapat dibedakan atau terpisah

menurut tiga bidang, yakni: (1) kepemimpinan di bidang adat, (2) kepemimpinan di

bidang pemerintahan, dan (3) kepemimpinan di bidang keagamaan. Kepemimpinan

di bidang adat menjalankan tugas yang berhubungan dengan perkawinan, kematian,

warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran dan sejenisnya. Kebanyakan aturan-

aturan adat tidak tertulis dan cukup banyak serta rumit. Karena itu hanya orang yang

telah lama mengikuti serta belajar tentang aturan dan pelaksanaan adat, yang mampu

menjalankan kepemimpinan adat.

Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah seorang turunan

tertua dari pendiri kampung (huta), yang bertugas menjalankan pemerintahan sehari-

10

Universitas Sumatera Utara


hari di samping menjalankan tugas peradilan. Pemimpin pemerintahan yang berasal

dari turunan tertua ini sering juga disebut sebagai raja huta atau raja kampung.

Pemimpin ini walaupun secara formal (dewasa ini) tidak lagi memegang jabatan

sebagai kepala desa, tetapi pengaruhnya masih cukup besar, terutama apabila ia

mampu menjaga wibawa. Dalam banyak hal tentang desa, pada umumnya penduduk

masih meminta pendapat dan saran dari raja huta.

Pemimpin agama di tanah batak telah ada sejak dahulu kala, yakni ketika

sebagian besar masyarakat masih mempercayai adanya roh, jiwa atau tondi yang

mempunyai kekuatan. Dewasa ini ketika hampir semua orang Batak memeluk agama

Nasrani, Islam dan yang lain-lain, mereka menjalankan kepercayaannya sesuai

dengan ajaran agama masing-masing. Dasar kepemimpinan di bidang agama adalah

kepercayaan dan penguasaan pemimpin tentang aturan-aturan ritual sesuai dengan

ajaran agama yang dianut. Pemimpin agama ini, selain mempunyai keyakinan agama

yang mendalam, juga mengetahui dan menguasai aturan keagamaan secara lebih

akurat.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sering juga disebut modernisasi, telah

mempengaruhi kehidupan di pedesaan. Dilihat dari hubungan antara unsur

tradisional dan unsur modern, masyarakat Batak Toba telah dan sedang mengalami

perubahan dari cara hidup dan berpikir yang bercorak tradisional kepada yang lebih

modern. Hal ini menyebabkan terjadi perubahan sikap dan perbuatan orang Batak

dalam kehidupan. Perubahan cara berpikir tradisional yang berorientasi ke belakang

dan statis, beralih pada pikiran yang berorientasi ke depan. Cara berpikir magis-

religius berubah ke cara berpikir rasional dan kreatif. Hal-hal di atas telah

meningkatkan kegiatan ekonomi dan pendidikan yang mengarah ke sekularisme.

Akibat peningkatan pendidikan dan kegiatan ekonomi serta mobilitas yang tinggi,

11

Universitas Sumatera Utara


memungkinkan seseorang mempunyai pengetahuan, keterampilan dan sikap positif

terhadap pembaharuan. Mereka menjadi pemimpin sekuler atau kontemporer, karena

mereka muncul belakangan (masa kini).

2.2 Konsep Modernisasi

Dalam Yulia Siska (2015: 67-69) modernisasi berasal dari bahasa latin yaitu

modo (cara) dan ernus (masa kini). Secara harfiah modernisasi berarti proses menuju

masa kini atau proses menuju masyarakat yang modern. Modernisasi diartikan

sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang

tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang

modern. Secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut.

a. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan

meningkatnya taraf penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.

b. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam

pergaulan hidup dalam masyarakat.

Dalam berkas DPR RI (buku individu 6 hal: 14), teori modernisasi

dipengaruhi oleh pemikiran Herbert Spencer (1820-1903),yang menganalogikan

masyarakat layaknya perkembangan makhluk hidup. Manusia dan masyarakat

termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap, yang

berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi bentuk yang lebih kompleks

menuju tahap akhir yang sempurna. Bagi Spencer perubahan sosial itu mengikuti

perkembangan sebuah organisme yang akan bertambah sempurna apabila bertambah

kompleks dan terjadi diferensiasi dan integrasi antar organ-organnya. Spencer

berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri
12

Universitas Sumatera Utara


secara internal akan menjadi stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara

mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap

akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai.

2.3 Konsep Pemimpin

Dalam Kartini Kartono(1998:33-34) pemimpin adalah seorang pribadi yang

memiliki kecakapan dan kelebihan sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang

lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian

satu atau beberapa tujuan. Pemimpin juga mendapatkan pengakuan serta dukungan

dari bawahannya, dan mampu menggerakkan bawahan ke arah tujuan tertentu.

Pemimpin ialah kepala aktual dari organisasi partai di kota, dusun atau subdivisi-

subdivisi/bagian-bagian lainnya. Sekalipun dia itu secara nominal (pada namanya)

saja dipilih secara langsung atau tidak langsung oleh pemilih-pemilih pemberi suara

partai, secara aktual dia itu sering dipilih oleh satu klik kecil atau oleh supervisor

langsung dari partai. Jadi pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus,

dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang

dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran-

sasaran tertentu.

Tiga teori yang menonjol dalam menjelaskan kemunculan pemimpin ialah: 1)

teori genetis, 2) teori sosial, 3) teori ekologis(Kartini Kartono,1998: 29). Teori

genetis menyatakan bahwa pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi

pemimpin oleh bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya; dia ditakdirkan lahir

menjadi pemimpin dalam situasi kondisi yang bagaimanapun juga, yang khusus;

secara filsafi, teori tersebut menganut pandangan deterministis. Teori sosial (lawan

13

Universitas Sumatera Utara


teori genetis) menyatakan bahwa pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dan

dibentuk, tidak dilahirkan begitu saja; setiap orang bisa menjadi pemimpin, melalui

usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri. Teori

ekologis atau sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu),

menyatakan bahwa seorang akan sukses menjadi pimpinan, bila sejak lahirnya dia

telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat

dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sebagai dengan

tuntutan lingkungan/ekologisnya.

Dalam Berliana Kartakusumah (2006: 28) Bennis dan Norma B., menyatakan

bahwa terdapat dua pandangan dasar tentang teori kepemimpinan. Pertama, teori

kepemimpinan “great man”yang berpandangan bahwa kepemimpinan adalah

dilahirkan, bukan dibuat atau diciptakan. Kedua teori kepemimpinan “Big Bang”,

yang berpendirian bahwa situasi dan pengikut secara bersama membentuk pemimpin.

Sejalan dengan itu, Ryaas (2000) mengklarifikasi bahwa terdapat dua gugus

pandangan tentang teori kepemimpinan, yaitu teori the event making man dan teori

the eventful man. Menurut Ryaas, kedua gugus teori tersebut dalam praktiknya dapat

saling mendukung. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Sondang, yang menyatakan

bahwa teori tentang asal-usul kepemimpinan meliputi tiga pandangan dasar.

Pertama, berpandangan bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang

efektif, karena yang bersangkutan dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan atau

disebut sebagai pandangan “leaders are born”. Kedua, memiliki pendirian bahwa

kepemimpinan seseorang dapat dibentuk, dipelajari, dan dikembangkan melalui

pelbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang terarah dan intensif, yang disebut

sebagai pandangan “leaders are made”. Ketiga, berpandangan bahwa kepemimpinan

seseorang pada dasarnya dibentuk oleh tiga aspek pembentuk kepemimpinan yang

14

Universitas Sumatera Utara


meliputi: (1) bakat yang dibawa sejak lahir, (2) pendidikan dan pelatihan

kepemimpinan yang terarah, intensif, dan berkelanjutan, (3) kesempatan menduduki,

mempraktikkan, dan mengembangkan bakat dan kemampuan kepemimpinan yang

dimiliki seseorang.

2.4 Teori Manusia Modern (Alex Inkeles)

Ciri manusia modern mencakup dua bagian, yaitu internal dan eksternal; yang

satu berkaitan dengan lingkungan, yang lainnya dengan sikap, nilai, dan perasaan.

Perubahan kondisi eksternal dapat dirumuskan dengan mengacu kepada serangkaian

istilah-istilah esensial; urbanisasi, pendidikan, komunikasi massa, industrialisasi,

politisasi. Istilah-istilah tersebut menunjukkan bahwa berbeda dengan nenek moyang

yang hidup dalam masyarakat yang bertata tradisional, manusia modern tidak begitu

suka bekerja sebagai petani, tetapi lebih suka bekerja sebagai buruhperusahaan besar

dan kompleks yang berdasarkan pada penggunaan kekuasaan dan teknologi maju

secara intensif (Onong Uchjana Effendy, 1986: 148).

Salah satu perangsang ciri kehidupan kota adalah media komunikasi massa:

surat kabar, radio, film dan televisi. Pengalamannya dari tempat-tempat dan gagasan-

gagasan yang baru itu akan diperluas oleh dampak pendidikan; jika tidak langsung

kepadanya, maka akan menimpa anak-anaknya, yang akan membawa pengaruh

sekolah ke rumahnya. Besar kemungkinan ia akan berhubungan dengan masalah

politik, khususnya dalam ruang lingkup nasional, karena ia akan lebih terterpa

komunikasi massa, lebih termobilisasikan dalam gelora kehidupan kota, lebih terseret

oleh gerakan-gerakan politik yang bersaing, yang mencari dukungan, karena

mungkin ia mendaftarkan diri sebagai penduduk untuk pengganti kedudukannya

15

Universitas Sumatera Utara


sebagai pemimpin, pelindung atau kepala keluarga yang pernah didambakan ketika ia

berada di desa asalnya. (Onong Uchjana Effendy, 1986: 149-150).

Hal yang paling mendukung setiap modernisasi adalah sumber daya manusia

modern. Adapun konsep manusia modern yang dikemukakan oleh Alex Inkeles

memiliki karakteristik pokok sebagai berikut (Alvin & Suwarsono, 2013: 31):

a. Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern selalu

berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru.

b. Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap

berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orang-tua, kepala suku (etnis),

dan raja.

c. Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan

kemampuannya untuk menundukkan alam semesta.

d. Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi.

Mereka berkehendak untuk meniti tangga jenjang pekerjaannya.

e. Manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu

merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan mereka

capai dalam waktu lima tahun ke depan, misalnya.

f. Manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik. Mereka bergabung

dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam

urusan masyarakat lokal.

Faktor-faktor pokok yang mengakibatkan manusia negara Dunia Ketiga

mampu menyerap nilai dan pranata sosial modern.Pertama, pendidikan merupakan

faktor yang terpenting yang mencirikan manusia modern. Satu tahun pendidikan

mampu menaikkan dua sampai tiga poin skala modernisasi dari nol sampai seratus.

16

Universitas Sumatera Utara


Lebih jauh, bahwa kurikulum teknis seperti Matematika, Kimia, Biologi, bukan

merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap penyerapan nilai dan

pembentukan manusia modern. Bagi Inkeles, justru kurikulum informal, seperti

misalnya kecenderungan tenaga pengajar pada nilai-nilai Barat, pemakaian buku-

buku Barat, dan melihat film-film Barat, membantu penyerapan nilai-nilai modern.

Kedua, jenis pekerjaan yang diukur dari satuan pekerjaan dari pabrik, memiliki

pengaruh independen terhadap pembentukan nilai-nilai modern. Jika terjadi

keterlambatan sosialisasi karena misalnya seseorang telah tidak mengalami

pendidikan formal, maka orang tersebut masih memiliki kesempatan untuk menjadi

manusia modern jika ia bekerja pada pabrik yang berskala besar (Alvin &

Suwarsono, 2013: 32).

2.5 Tipe Pemimpin (Max Weber)

Dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan

bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong

oleh perkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke-16 dan digerakkan

oleh doktrin Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Dimana keberhasilan adalah

tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus melakukan

aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasi oleh

disiplin dan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang-senang, yang didorong oleh

ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari Calvinisme yang berkombinasi

dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat Barat kepada perkembangan

masyarakat kapitalis modern (Damsar, 2010: 34).

17

Universitas Sumatera Utara


Hubungan antara semangat kapitalisme dan etika Protestan memiliki kaitan

konsistensi logis dan pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara timbal

balik. Hubungan semacam itu disebut sebagai elective affinity. Hubungan tersebut

menghantarkan kapitalisme mentransformasi diri dalam bentuk modern, yang

bercirikan: tata buku/akuntansi rasional, hukum rasional, teknik rasional

(mekanisasi), dan massa buruh menerima upah di pasar bebas karena perlu untuk

memperoleh penghasilan.Weber membangun tipologi kewenangan dengan tiga tipe,

yaitu: kewenangan tradisional, kewenangan kharismatik, dan kewenangan legal-

rasional (Damsar, 2010: 69-70).

Gambar 2.1

Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan Menurut Bentuk/Tipe

Kekuasaan
Wewenang
Kepemimpinan

Tradisional Kharismatik Rasional

1. Kewenangan tradisional, yaitu kewenangan yang didasarkan atas dasar

tradisi, kebiasaan, kekudusan aturan dan kekuatan zaman dulu. Weber

membedakan kewenangan tradisional ini atas: a) Gerontokrasi, pada tangan

orang-orang tua dalam suatu kelompok; b) Patriarkalisme, pada suatu satuan

kekerabatan yang dipegang oleh seorang individu tertentu yang memiliki

otoritas warisan; dan c) Patrimonial, pegawai pemerintah lahir di dalam

administrasi rumah tangga si pemimpin.

2. Kewenangan karismatik, yaitu kewenangan yang diperoleh oleh seseorang

karena dipandang memiliki kualitas kepribadian individu yang

18

Universitas Sumatera Utara


extraordinary(luar biasa) dan diperlakukan sebagai orangyang dianugerahi

kekuatan-kekuatan dan kualitas supernatural (adiduniawi), superhuman

(adiinsasi), dan exceptional (pengecualian).

3. Kewenangan legal-rasional, yaitu kewenangan didasarkan atas komitmen

terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur

secara impersonal. Apabila masa jabatannya berakhir maka berakhir pula

kewenangan yang dimilikinya.

Kepemimpinan kharismatik didasarkan pada kualitas luar biasa yang dimiliki

oleh seseorang sebagai pribadi. Pengertian ini bersifat teologis, karena untuk

mengidentifikasi daya tarik pribadi pada diri seseorang harus menggunakan asumsi

bahwa kemantapan dan kualitas kepribadian yang dimilikinya adalah anugerah

Tuhan. Weber mengidentifikasi sifat kepemimpinan ini dimiliki oleh mereka yang

menjadi pemimpin keagamaan. Penampilan seseorang yang diidentifikasikan sebagai

kharisma dapat diketahui dari ciri-ciri fisikal, seperti mata yang bercahaya, suara

yang kuat, dagu yang menonjol atau tanda-tanda yang lain.Otoritas legal diwujudkan

dalam organisasi birokrasi. Tanggung jawab pemimpin dalam mengendalikan

organisasi tidak ditentukan oleh penampilan kepribadian individu melainkan dari

prosedur aturan yang telah disepakati. Unsur-unsur emosional dikesampingkan dan

digantikan dengan unsur yang rasional. Bentuk kepemimpinan tradisional, yang

bersumber pada kepercayaan yang telah mapan terhadap kesakralan tradisi

kuno.Kedudukan pemimpin ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan lama yang

dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam melaksanakan berbagai tradisi(Edi

Susanto, 2007: 35).

19

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai