PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sungai merupakan suatu sistem yang kompleks, namun sungai juga memiliki
karakteristik regurel yang universal. Pembangunan sungai pada dekade river development pada
umumnya sama sekali tidak memikirkan karakteristik alamiah baik biotik maupun abiotik sungai
yang ada. Bahkan sebenarnya bias disebut sebagai periode river exploitation (periode exploitasi
sungai).
Istilah koreksi sungai (river correction) dan normalisasi sungi yang selama ini banyak
digunakan, sebenarnya berangkat dari pengetahuan yang tidak integral bahkan sangat sempit
mengenai sungai. Proyek koreksi atau normalisasi sungai dipakai dengan maksud mengkoreksi
bentuk alur dan tampang melintang sungai alamiah menjadi bentuk-bentuk alur lurus dan
tampang melintang persegi panjang atau trapesium. Bentuk-bentuk inilah yang selanjutnya
disebut normal atau terkoreksi. Padahal sungai alamiah tersebut sudah memiliki aturan universal-
normalnya sendiri yang terbentuk sejak kejadian sungai tersebut.
Dalam kajian mengenai river development akan diambil contoh pada pembangunan
sungai di Eropa tengah yaitu sungai Rhein (Jerman dan Belanda), Mainz (Jerman), Elbe
(Cekoslovakia dan Jerman), Danube (Jerman, Austria, Hongaria, dan Rumania). Demikian juga
beberapa contoh pembangunan sungai di Indonesia. Pemilihan contoh di Eropa tengah dengan
pertimbangan bahwa periode pembangunan sungai, dampak pembangunan sungai dan restorasi
sugai sudah dialami oleh Negara-negara di Eropa dewasa ini. Pada dekade 1990-an hingga
sekarang mereka sedang giat-giatnya mengadakan renaturalisasi atau restorasi sungai
(mengembalikan sungai mendekati beentuk alamiahnya).
Sedang di Indonesia dan Negara dunia ketiga lainnya masih pada dekade pembangunan
sungai dengan metode yang sama dengan metode yang digunakan Negara-negara Eropa pada
dekade river development sekitar abad 16-19.
Dekade river development setelah berjalan 1 sampai 3 abad secara simultan menunjukkan
dampak negatif yang sangat besar. Dampak negatif dari river development dapat dibedakan
1
menjadi dampak biotik dan abiotik. Dampak abiotik diartikan segala dampak fisik non-hayati
akibat pembangunan sungai. Sedang dampak biotik adalah segala dampak yang berhubungan
dengan lingkungan ekologi. Perlu ditekankan bahwa antara dampak abiotik dan biotik saling
berpengaruh.
Berbagai dampak negatif tersebut sangat mutlak untuk dimengerti dan dipahami oleh
pihak yang berkecimpung dalam dalam rekayasa diwilayah keairan. Sehinggah antisipasi
penanggulangan dampaknya dapat dipersiapkan secara benar dan matang. Disamping itu perlu
pengembangan rekayasa baru yang tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, namun
tetap dapat menyelesaikan masalah wilayah keairan yang ada. Dalam hal ini perlu ditekankan
bahwa setiap konsep akan menghasilkan teknologi atau metode rekayasa baru sesuai konsep
tersebut.
B. Rumusan Masalah
C. Batasan Masalah
1. Masalah yang di koreksi hanya pada pelurusan, sudetan, pengerukkan, dan perkerasan
tebing sungai.
2. Dibahas hanya pada bendung dan bendungan tidak pada pembangunan lain di area
sungai.
D. Tujuan
E. Manfaat
1. Agar dapat mengetahui bagaimana dampak koreksi sungai.
2. Agar dapat mengatahui bagaimana dampak pembanguan di area sungai.
F. Sistematika Penulisan
1. BAB I PENDAHULUAN.
2
Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, manfaat dan
sistematika penulisan.
2. BAB II PEMBAHASAN
3. BAB II PENUTUP
BAB II
PEMBAHASAN
3
A. Dampak Koreksi Sungai ; Pelurusan, Sudetan, Pengerukan, Perkerasan Tebing
Sungai (Impacts Of River Correction)
4
With of the ELBE course max 850 m max 550 m, average 340 m, min
(island width included if in average 420 m 230 m (between banks)
cross-section) min 130 m
Width of the ELBE course max 750 m max 430 m, average 22 m, min
(without island) average 380 m 150 m (between grone-heads)
min 130 m
Length of ELBE course with 32 km 0
island in it
Island (with vegetation 55 (30/25) 0
/without)
Island area (with ca, 5.74 km2 0
2 2
vegetation/without) (4.13 km / 1.70 km
Length of amphibious zone ca. 70 km 0
around islands
Sedimentbars-all without 26 km 0
2
vegetation at the side of the (2,19 km )
ELBE (area)
River contruction 27 groynes Ca.1680 groynes
Length bank with river 5.4 km (2.5%) 198.3 km (91.8%)
construction (% of whole
banks)
Water of the floodplain 62 142
without connection
Water of the floodplain with 40 28
connect (total length/average (52.9 km / 1.3 km) (23.7 km / 0.8)
length)
Table 4.2 Perubahan sungai Bengawan Solo akibat pelurusan (daerah jembatan
Mbanmati sampai Jembatan Jurug (1986-1995) (Sudarta,2001)
5
keluar) sawah 179,72 ha dan tegalan
62,79 ha)
Luas genangan bekas sudetan 0 ha 66,16 ha berupa genangan, 44,40
tidak mengalir (oxbow buatan) ha terurug sebagian dan 36,48 ha
terurug
Sumber: Sudarta, 2001 diolah
6
Disamping hal tersebut di atas, koreksi sungai sering menyebabkan hilangnya
bantara sungai itu sendiri. Misal daerah bantara sungai dibuat tanggul, maka daerah
tersebut tidak berfungsi sebagai daerah retensi. Dengan pelurusan maka seluruh
formasi dasar sungai dan tepi kanan kiri sungai menjadi formasi sederhana, yaitu
tampang trapesium atau tampang segiempat. Dengan perubahan ini, otomatis
resistensi aliran menjadi sangat rendah. Dalam hidraulika retensi aliran biasa ditulis
dengan koefisien Chezy (C), koefisien Manning (1/n) dan koefisien Strickler (K st).
rumus umum yang digunakan adalah:
Dimana :
R= penampang basah
V= kecepatan, dan;
I= Kemiringan sungai
Sungai terkoreksi atau ternormalisasi suatu sungai, maka koefisien kecepatan atau
kekasaran Chezy (C) dan manning-strickler (k st) akan semakin besar, sehingga
kecepatan air (V) juga semakin tinggi. Contoh penurunan retensi aliran atau
peningkatan kecepatan akibat pelurusan dan sudetan dapat diperiksa pada
peningkatan kecepatan di hilir sudetan sungai Bengawan Solo pada gambar 4.1
dibawah ini:
7
(Suprianto & Maryono,2003, penelitian awal
perlu penelitian lanjut)
Gambar 4.2 Aliran pada sungai alamiah dengan vegetasi dan morphologi
natural kecepatan relatif rendah (A), aliran pada sungai
tanpa vegetasi dan dengan morphologi buatan-
kecepatan relatif tinggi (B) (Maryono & GTZ,2001)
Gambar 4.2 diatas memperhatikan dengan jelas fungsi vegetasi dan morphologi
alamiah terhadap peningkatan resistensi aliran, sehingga dapat memperlambat aliran
air.
8
Gambar 4.3 Pelurusan dan sudetan sungai; meningkatkan slope sungai (slope
sungai baru lebih terjal) dan memendekkan alur sungai
(sungai baru lebih pendek).
Dengan pola pelurusan sungai (river straightening) maka panjang sungai akan
memendek secara signifikan. Pemendekkan alur sungai berarti peningkatan
kemiringan sungai karena beda tinggi hilir dan hulu konstan sedang panjang hulu
hilir berkurang. Peningkatan alur memanjang sungai ini berdampak meningkatkan
tendensi erosi dasar sungai dibagian hulu dan tengah, serta meningkatkan tendensi
banjir dan sedimentasi di hilir. Pelurusan berakibat kerusakan habitat daerah tepi
sungai (habitat bantaran dan dasar sungai). Pemendekkan juga berdampak
menurunkan tingkat peresapan (waktu untuk meresap kedalam tanah), sehingga
konservasi air dihulu rendah.
9
Dengan kecepatan air yang meningkat ke arah hilir, maka debit air mencapai hilir
akan lebih tinggi hal ini dapat diilustrasikan volume air dari hulu ke hilir sama, tetapi
karena kecepatan air lebih besar dan kecepatan tempurnya pendek, maka debit yang
sampai ke hilir akan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diadakan pelurusan
sudetan/pengerukan (lihat Gambar 4.4).
Dengan pelurusan dan sudetan (koreksi sungai) didapat waktu mencapai pucak
debit pada gambar hidrograf dan waktu dasar (base time) semakin memendek. Hal
ini dikarenakan semakin tinggi kecepatan air mengalir kehilir, sehingga semakin
cepat debit air itu mencapai puncaknya. Kosekuensinya adalah bahwa waktu dasar
aliran memendek. Gambar 4.4 menunjukkan memendeknya waktu mencapai puncak
dan waktu dasar aliran pada sungai Rhine di Maxau (Jerman).
Gambar 4.4 pemendekkan waktu mencapai puncak dan waktu aliran dasar
serta meningkatkan debit puncak (Pencatatan Debit di
sungai Rhine, Maxau, Jerman)(dari maryono, 2002)
10
Dengan semakin tingginya debit aliran dan memendeknya waktu mencapai
puncak, maka kemungkinan banjir di hilir akan semakin tinggi. Dengan adanya
pertambahan debit dan kecepatan air dibagian hilir akan meningkatkan level muka air
di hilir. Disamping itu dengan meningkatnya kecepatan air menuju kehilir, akan
terjadi peningkatan sedimentasi hilir yang akan berakibat terjadinya peningkatan
tendensi banjir dihilir. Gambar dibawah menunjukkan peningkatan tendensi banjir di
sungai Bengawan Solo di stasiun Jurug Surakarta.
11
Grafik debit rata-rata tahunan tersebut memperlihatkan dengan jelas tendensi
banjir akibat pelurusan dan tendensi kekeringan dimusing kemarau. Sebelum
pelurusan pada musim kemarau debit sungai relatif lebih tinggi dibanding setelah
pelurusan. Sebaliknya, pada musim hujan debit sungai setelah pelurusan jauh lebih
besar dari debit sebelum pelurusan.
Contoh lain adalah peningkatan tendensi debit banjir sungai Rhine meningkat
dengan pesan seperti ditunjukkan gambar.
Gambar 4.6 peningkatan tendensi banjir dihilir sungai rhine, jerman dari
tahun 1901 – 2000 (VDG, 1999)
12
Pada tahun 1901 sampai 1931 hanya tecatat beberapa kejadian banjir namun pada
kurun waktu 1971 sampai 2000 tercatat frekuensi kejadian banjir semakin meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa banjir akan semakin sering terjadi dengan rampungnya
penyudetan-penyudetan serta pelurusan sungai yang ada.
13
Gambar 4.7 Tanggul Memanjang sungai jebol, sungai Oder, Jerman 1998
(Waser & Boden, 1998)
14
Gambar 4.8 Pelurusan dan Tanggul sungai Ara Metropolitan Tokyo, kondisi
bahaya (Minister of Land, Infrastucture and
Transportation, Japan, 2002)
15
Gambar 4.9 Tanggul Jebol, Sungai Shin Nagoya City (Minister of Land,
Infrastructure and Transportation, Japan, 2002)
Banjir akibar jebolnya tanggul pada umumnya berlangsung sangat cepat. Dan
pengalaman yang ada biasanya hanya dibutuhkan waktu kurang dari 2 jam hingga
banjir meluas ke sisi luar tanggul. Sebagai contoh adalah banjir di Pluit, Jakarta tahun
2003, banjir di kali Garang, Semarang 1990, Banjir di sungai Danube di Eropa 2002
dll. Air genangan banjir akibat jebolnya tanggul ini biasanya memerlukan waktu
cukup lama untuk surut kembali, karena tertahan tanggul yang membatasi sungai
yang bersangkutan dengan areal genangan. Berbeda dengan sungai tanpa tanggul,
banjir akan datang secara lambat karena sungai melimpah sepanjang bentarannya dan
akan mengalir keluar dari area banjir dengan relatif lebih cepat karena dapat
melewati sepanjang pinggir sungai.
16
hulu dan hilir saja, namun dapat terjadi di sepanjang sungai dengan lokasi yang sulit
diprediksikan. Gambar 4.10 di bawah ini menunjukkan tingkat erosi yang terjadi
pada sungai Rhein di berbagai tempat. Gambar tersebut juga menunjukkan proses
erosi setelah sekitar satu abad dari aktivitas pelurusan dan sudetan.
17
Gambar 4.10 Erosi di sungai Rhine-Eropa setelah pelurusan dan sudetan
(1810-1950) (Maryono, 2002)
Erosi sungai di berbagai titik terjadi dan dalam kurun waktu lama secara
simultan, di beberapa tempat mencapai 3,0 hingga 7,0 m. Erosi ini sangat berbahaya
jika terjadi pada pilar-pilar jembatan. Scouring yang intensif akan menyebabkan
kerusakan jembatan-jembatan disepanjang alur sungai yang tererosi. Disamping itu
erosi dasar sungai dapat menyebabkan tidak berfungsinya bangunan-bangunan
pengambilan di sepanjang sungai. Karena dengan erosi dasar sungai muka air akan
ikut menurun. Penurunan muka air ini dapat melampaui ambang pengambilan
bangunan sadap misalnya, sehingga bangunan tersebut tidak berfungsi.
Disamping erosi juga terjadi pendangkalan sungai dibagian hilir sudetan atau
pelurusan, karena peningkatan sadimen dari hulu. Pendangkalan ini akan memacu
masyarakat untuk mempertinggi tanggul sungai. Sehingga, sebagai contoh sungai
Rhinehilir, di beberapa tempat terjadi kenaikan tinggi tanggul dari sekitar 1-2 meter
pada awalnya dinaikkan menjdi 10 m secara bertahap. Semakin tinggi tanggul
semakin tinggi tingkat resiko banjir dan kerusakkannya.
Dengan perkembangan tanggul ini, maka dibeberapa sungai besar seperti pada
beberapa lokasi di sungai Rhine, Elba dan Danube, Shin-Nagoya, dasar sungainya
lebih tinggi dari daratan di luar tanggul. Sungai Bengawan Solo di daerah sekitar
jembatan Bacem dan Jurug (di hilir sudetan-periksa Gambar 3.6) telah mulai
mengalami pendangkalan dasar sungai. Jika tidak diadakan renaturalisi di hulu
sudetan maka dimungkinkan akan meningkatkan tendensi banjir di daerah Surakarta.
Biasanya masyarakat dan pemerintah kemudian mengusulkan peninggian tanggul
untuk alasan padahal semakin tinggi tanggul tingkat resiko banjir bandang semakin
besar, karena disamping konstruksi tanggul umumnya tidak tahan pada kondisi
18
genangan dalam waktu yang lama, juga karena dengan adanya tanggul pertumbuhan
pemukiman menuju tanggul semakin intensif. Usaha lain yang biasanya dilakukan
masyarakat adalah dengan menormalisasi, menyudet dan membuat tanggul serupa di
sungai bagian hilirnya. Sehingga dalam kurun waktu lama terjadilah pelurusan sungai
dari hulu sampai ke hilir. Jika pelurusan selesai maka bahaya erosi dasar sungai dan
tebing sungai akan meningkat dengan drastis sehingga diperlukan upaya pencegahan.
Usaha ini tidak pernah akan selesai.
Struktur dasar pada sungai alamiah pada umumnya relatif stabil. Struktur dasar
tersebut berubah bersiklus secara regular akan kembali ke bentuk semulanya,
sehingga struktur semacam ini dikatakan relatif tidak berubah atau konstan. Hanya
material penyusun dasar sungai tersebut yang bergerak mengelinding (Rollig) ke
hilir dan diganti lagi dengan material dari hulu. Dengan aktivitas pelurusan dan
sudetan maka terjadi perubahan karakteristik aliran baik arah, kecepatan dan besar
frekuensi debit serta tinggi muka air. Hal ini akan jelas menyebabkan perubahan
struktur dasar sungai secara drastis yang sebelumnya relatif stabil. Dengan
pembangunan sungai berupa pengerukan, pembetonan dinding, perkerasan dasar dan
sebagainya akan menyebabkan karakteristik aliran di sungai tersebut berubah.
Perubahan ini akan diikuti oleh perubahan seluruh struktur dasar sungai dalam
mencari keseimbangan barunya. Dalam skala ruang-waktu (room time scale:
keseimbangan morphologi sungai baru bisa dicapai sekitar 10.000-25.000 tahun-an
setelah terjadi perubahan.
Seperti diketahui bahwa di dasar sungai terdapat formasi riffle, dune, anti dune,
plan bed, gundukan pasir (bar), pulau dan meander. Seluruh struktur tersebut saling
terkait satu sama lain baik secara keseluruhan atau bagian-pembagian. Rusaknya satu
struktur dasar sungai, missal meander menjadi lurus, maka struktur dasar seperti bar,
dune dan antidune akan mengalami kolaps dan berubah sesuai dengan tingkat
perubahan morphologi sungai yang terjadi dan mencari keseimbangan baru di dunia.
Gambar 1.8 (pada Bab I) di sajikan struktur dasar alur sungai yang ada di dunia.
Sedangkan struktur dasar sungai lainnya berupa riffle, dune, antidune, bar, pulau dll,
disajikan pada “ sediment transport bodies’ (gambar 1.12). Perubahan yang
19
dilakukan dengan merubah struktur dasar alur sungai, missal dari meander dijadikan
lurus (pelurusan dan sudetan) atau dari lurus dimeanderkan, maka akan timbul
masalah instabilisasi alur dan struktur dasar sungai yang bersangkutan.
Dengai sungai-sungai yang lurus maka di sepanjang alur sungai tidak didapat
kondisi dinamik sungai yang cukup. Kondisi dinamik yang tinggi akan terjadi jika di
sepanjang alur sungai frekuensi genangan dan pengatusan (Pasang dan surutnya
muka air) tinggi, kecepatan disepanjang sungai beragam, kedalaman air sungai
beragam dan turbulensi aliran beragam. Kondisi dinamis yang seperti itu akan sangat
mendukung kehidupan flora dan fauna di daerah tersebut, karena dengan dinamisasi
wilayah aliran sungai yang tinggi, maka semakin banyak diversifikasi flora dan fauna
di alur sungai tersebut.
Sungai alamiah pada umumnya mempunyai tingkat dinamik sungai tinggi. Pada
sungai tersebut terdapat variasi debit di berbagai tempat, variasi kecepatan aliran,
variasi morfologi topografi sungai yang tidak monoton dan variasi formasi dasar
sungai. Dengan pelurusan sudetan bahkan penyederhanaan profil sungai baik profil
memanjang dan melintang, akan menjurus ke arah homogenisasi seluruh faktor yang
ada pada sungai, sehingga sifat dinamik sungai berubah menjadi sangat rendah.
Dengan menurunnya tingkat variasi-dinamik sungai ini, maka akan berdampak
negatif terhadap kondisi ekosistem biotik maupun abiotiknya. Gambar berikut
merupakan contoh perubahan drastis dari kondisi dinamik tinggi diubah menjadi
kondisi dinamik rendah.
20
Gambar 4.11 Kondisi dinamik sungai alamiah yang tinggi (kiri) berubah ke
kondisi dinamik rendah (kanan) (Patt et al, 1996)
21
Gambar 4.12 Sungai alamiah dengan dinamik sungai tinggi, Sungai Tambak
bayan Yogyakarta
Gambar 4.13 tersebut di atas dan Gambar 2.2, 3.1, 3.3 dan 3.4 merupakan contoh
perubahan klasik dari sungai alamiah menjadi sungai buatan yang sangat distruktif
terhadap ekosistem sungai, karena diversifikasi biotik dan abiotik sungai dihilangkan.
22
i. Peningkatan biaya pemeliharaan sungai (Increase of meintanance cost)
23
Gambar 4.14 Kecenderungan kembalinya sungai dari yang sudah diluruskan
ke meander lagi (Rhine-Jerman) (Theobalt & Nestmann,
1994)
Dengan pelurusan sudetan dan pelurusan sungai, maka akan terjadi peningkatan
temperatur air secara silmutan dari hulu sampai hilir. Pada sungai alamiah biasanya
temperatur sungai di hulu lebih rendah kemudian meningkat sampai di hilir (terjadi
kenaikan temperatur global sungai arah memanjang). Kenaikan temperatur ini akan
sangat berpengaruh pada berbagai jenis biota air yang ada. Di daerah tropis kenaikan
temperatur sungai ini tidak begitu berpengaruh, namun di daerah beriklim dingin
kenaikan temperatur air sungai ini dapat menyebabkan kematian berbagai jenis
hewan air yang ada. Kenaikan temperatur air sungai ini akan mudah diamati pada
sungai-sungai di daratan tinggi atau daerah dingin seperti di Kanada, Jerman, New
Sealand, Afrika Selatan dll.
Dengan pelurusan sungai, sudetan dan perbaikan tebing maka air pada musim
penghujanan air akan mengalir cepat menuju hilir sehingga pada musim kemarau
simpanan air di bagian hulu turun drastis. Pelurusan dan sudetan pada hakekatnya
adalah pengatusan air di wilayah sungai yang bersangkutan ke arah hilir. Oleh sebab
itu maka kekeringan akan semakin intensif setelah dilakukan rekayasa tersebut.
Defisit air pada musim kemarau ini berpengaruh terhadap penurunan muka air tanah.
Demikian juga penurunan muka air sungai juga dapat berpengaruh pada penurunan
muka air tanah di wilayah perairan sungai, karena antara air tanah dan air sungai
terjadi aliran masuk dan keluar. Selain itu penurunan muka air tanah juga dipengaruhi
oleh peningkatan run off akibat perubahan tata guna lahan dari daerah aliran sungai
(DAS) yang bersangkutan. Kekeringan disuatu wilayah sungai termasuk di DAS akan
semakin intensif setelah diadakan pelurusan dan normalisasi sungai. Hal ini karena
pelurusan dan sudetan pada hakekatnya adalah pengatusan wilayah dan DAS ke arah
hilir. Sehingga perbedaan level muka air sungai dan muka air tanah yang tinggi
24
antara musim hujan dan musim kemarau. Fluktuasi yang tinggi ini merupakan faktor
pendorong banjir, kekeringan dan longsoran tebing.
b. Penurunan jumlah flora dan fauna sungaim (Decrease of flora and fauna
number)
25
kualitas airnya sendiri. Seperti diketahui bahwa fungsi flora dan fauna termasuk
berbagai jenis mikro organisme sungai salah satunya adalah penguraian limbah yang
masuk ke sungai. Punahnya flora dan fauna sungai akan berakibat tidak terjadinya
proses penguraian limbah, sehingga kualitas air sungai akan memburuk. Penurunan
vegetasi sungai juga berakibat pada berkurangnya konservasi air yang masuk ke zone
perakaran vegetasi disepanjang alur sungai yang bersangkutan.
26
d. Kerasukan ekosistem sungai (Destruction of river ecosystem)
Kerusakan ekosistem pada awalnya disebabkan oleh kerusakan habitat mikro dan
makro secara lokal. Dengan semakin banyak habitat mikro dan makro di sungai yang
rusak maka akibatnya adalah rusaknya ekosistem sungai secara keseluruhan.
Pembangunan sungai seperti pelurusan, sudetan, tanggul, pembetonan bendung
melintang sungai, pembuatan krip di sungai, pembuatan bendungan akan berakibat
langsung pada kerusakan ekosistem sungai. Karena habitat berubah total dan tidak
lagi sesuai dengan syarat hidup flora dan fauna yang ada. Gambar berikut
memberikan contoh kerusakan ekosistem sungai Bengawan Solo akibat sudetan.
27
Gambar 4.17 Ekosistem sungai yang hancur karena pelurusan sungai (Oxbow
buatan sungai Bengawan Solo di daerah Sonorejo,
Sukoharjo, 2002)
Kerusakan ekosistem sungai juga terjadi pada sungai lama atau sungai yang mati
terpotong pelurusan. Sungai mati ini biasa disebut Oxbow buatan. Pada Oxbow
setelah pelurusan atau sudetan akan menjadi ekosistem tertutup. Ekosistem ini
dibanding dengan ekosistem sungai sangat berbeda, karena dalam oxbow buatan ini
tidak terjadi sisrkulasi air dari hulu ke hilir. Dalam perkembanganya oxbow ini akan
terpenuhi oleh sedimen maupun sisa-sisa tumbuh-tumbuhan yang berkembang
menjadi hutan moor pada oxbow ini (Gambar 4.17, 4.18, dan 4.19). pada Gambar
4.19 disajikan proses pembentukan hutan moor pada oxbow hasil pelurusan. Pada
saat hutan moor sudah berkembang, maka daerah ini sudah sama sekali bukan
merupakan bagian dari sungai.
28
Gambar 4.18 Salah satu bekas sungai Citarum (Oxbow buatan) 2003 di daerah
Rancamanya, telah mulai dipenuhi bangunan pemukiman dan
tempat pembuangan sampah (Sobirin, 2003)
Untuk mengembalikan daerah ini menjadi sungai seperti semula (pada dekade
restorasi sungai nanti) biasanya akan memenuhi hambatan yang disebabkan karena
Masalah ekologi, hidraulika dan sosial termasuk kepemilikan lahan. Oleh karena itu
sebelum pembentukan hutan moor ini terjadi atau tanah-tanah Oxbow ini dijarah,
maka sebaiknya dilakukan restorasi sungai secepatnya.
29
Gambar 4.19 Perubahan menjadi hutan moor pada Oxbow hasil pelurusan
sungai (DFW, 1995)
Pada pembangunan transportasi sungai, terdapat dilema yang sangat tajam antara
kebutuhan transportasi sungai yang sekaligus sebagai upaya memelihara sungai, dengan
dampak negatif yang ditimbulkan jika sungai secara besar-besaran (over development)
digunakan sebagai alur transportasi. Sehingga transportasi di sungai harus direncanakan
sesuai dengan karakteristik sungai, dan diusahakan tidak melampaui daya dukung sungai.
Misal kedalaman trag (celup) kapal tidak hanya didasarkan atas pertimbangan hidraulis
namun juga pertimbangan ekologi dasar sungai yang ada. Perkerasan tebing sungai untuk
30
menanggulangi erosi akibat gelombang kapal tidak hanya dirancang berdasarkan
pertimbangan hidraulis (seperti penggunaan beton atau pasangan batu), namun harus
memasukkan unsur ekologi. Misalnya dikembangkan perlindungan tebing sungai dengan
vegetasi, sehingga secara ekologis dan hidraulis dapat digunakan sebagai penahan
gelombang.
Berikut ini dibahas dampak negative akibat pembangunan sungai khusunya untuk
digunakan sebagai sarana alur transportasi, khususnya transportasi kapal-kapal besar
yang tidak sesuai dengan karakteristik dan kapasitas sungai yang dilewatinya. Dampak
negatif disini perlu dijabarkan dalam upaya pengembangan rekayasa diwilayah keairan
yang ramah lingkungan.
Transportasi air akan dapat merusak struktur dasar sungai seperti riffel, dune,
antidune. Disamping itu aktivitas pengerukan dasar sungai untuk memperlancar
transportasi sungai juga dapat berakibat negatif bagi seluruh ekosistem dasar sungai
yang ada. Contoh paling mudah adalah dengan pengerukan akan menyebabkan
rumput air tercabut akarnya. Ikan yang menggantungkan hidupnya pada rumput
tersebut akan punah. Seluruh flora dan fauna dasar sungai ( lihat Gambar 1.8 dan 1.9
Bab I) akan hancur, karena habitatnya berubah total. Contoh dibawah ini merupakan
habitat dasar sungai dari kelompok makrozobentos.
31
Gambar 4.20 Makrozobentos di dasar sungai (DFW, 1995)
Sungai alamiah umumnya memiliki frekuensi penurunan dan kenaikan muka air
Secara alamiah karena pengaruh angin atau pasang surut pada sungai yang cukup
lebar akan selalu terjadi gelombang permukaan. Dengan berkembangnya transportasi
sungai maka akan terjadi peningkatan frekuensi serta amplitudo gelombang
permukaan tersebut. Disamping itu dengan meningkatnya gelombang permukaan ini
akan berpengaruh terhadap stabilitas tebing sungai. Hal ini akan berpengaruh juga
terhadap fauna yang tinggal di sungai karena gangguan gelombang tersebut akan
mengusik/mengganggu ritme hidup fauna sungai tersebut. Pengurangan dampak
32
negatif dari gelombang ini adalah dengan memilih dan mengembangkan kapal-kapal
yang tidak menimbulkan gelombang yang besar.
Transportasi air akan menimbulkan dampak berupa polusi air secara langsung,
baik dari bahan bakar yang dipakai maupun bahan-bahan yang diangkut. Secara
komutatif polusi ini akan berakibat pada kehidupan dan lingkungan flora dan fauna
sungai yang ada. Disamping polusi air juga polusi suara yang berdampak negatif
terhadap fauna yang hidup di sepanjang sungai. Dalam hal ini perlu dikembangkan
pemeliharaan kapal sehingga tingkat kebocoran bahan bakar dapat ditekan dan juga
tingkat kebisingan dapat diturunkan.
33
Dampak biotik akibat pengembangan transportasi sungai adalah semakin
penurunan kualitas dan kuantitas habitat sungai dan akibat selanjutnya adalah
penurunan jumlah flora dan fauna sungai. Semakin intensif transportasi sungai
mengakibatkan semakin intensifnya gangguan terhadap habitat flora dan fauna
sungai. Dalam hal ini perlu penelitian daya dukung ekologi lingkungan sungai
kaitannya dengan pemanfaatannya untuk transportasi air.
34
ada teknologi yang efektif untuk dapat menjamin keseimbangan sedimen hulu-hilir.
Teknologi pipa pengurasan (culvert) juga belum bisa menanggulangi masalah ini.
Pada pembangunan bendung, sering sungai utama akan menderita defisit air.
Gambar 4.12 di bawah ini suatu contoh pembangunan bendung untuk pembangkit
tenaga air dengan menggunakan konstruksi kering. Dengan jonstruksi tersebut, satu
sisi mudah mengerjakannya karena semua konstruksi dikerjakan di tempat yang
kering. Setelah selesai bagian akhir pembatas sungai dengan saluran dibuka. Namun
jika jumlah air yang dipakai untuk memutar turbin melebihi batas maksimal,
sehingga air yang masih mengalir ke sungai utama di bawah debit air minimum yang
harus ada untuk ekologi, maka ekosistem sungai utama rusak. Pada hakekatnya
ekosistem sungai memerlukan debit minimal atau tinggi muka air minimal untuk
menjamin kelangsungan hidup ekosistem tersebut. Oleh karena itu perlu ditetapkan
dulu debit minimal yang harus disediakan di sungai utama tersebut. Demikian juga
bendung-bendung irigasi yang mengambil sebagian besar air sungai untuk pertanian,
perlu dikaji terlebih dulu tentang kebutuhan air untuk ekologi bagian hilir sungai.
35
Gambar 4.21 Bangunan bendung, sungai asli mengalami defisit air
36
e. Menurunkan dinamik alamiah sungai (Decline of natural river dynamics)
Sungai sebagai suatu sistem alamiah mempunyai derajat dinamik tinggi. Dalam
arti, dengan heterogenitas fisik sungai alamiah yang tinggi, mendorong terjadinya
dinamisasi sungai yang tinggi. Dinamisasi sungai tersebut akan berkurang jika di
sungai dibangun bendung missal untuk hydro power plant. Dengan bendung dan
saluran buatan, kondisi sungai menjadi homogin. Misalnya kecepatan air akan
menjadi no, maka air akan relatif tetap (homogen), dan profil melintang dan
memanjang berbentuk trapesium atau segiempat (homogin). Dengan kondisi
homogen ini maka deversivikasi vegetasi dan fauna akan menurun. Penyelesaian
masalah ini dapat dilakukan dengan membangun bendung gerak. Jika hal ini tidak
memungkinkan dapat dilakukan dengan cara kompensasi linkungan, yaitu mengganti
kondisi heterogen sepanjang back water tile yang ada di tempat lain.
Dampak biotik dari pembangunan bendung dan bendungan adalah memutus daur
hidup ikan jenis tertentu. Pada umumnya suatu sungai memiliki berbagai macam
jenis ikan, sebagian dari ikan tersebut biasanya juga mempunyai perilaku migrasi dari
hulu ke hilir atau dari hilir ke hulu. Dengan dibangunnya bendung/bendungan
melintang sungai maka kemungkinan terjadi migrasi dalam sungai sangat kecil atau
tertutup. Ikan tidak dapat bermigrasi lagi, akhirnya ikan-ikan dengan sifat migrasi ini
akan punah. Jenis fauna yang bermigrasi ini tidak hanya ikan saja, namun banyak
dari beberapa jenis fauna lainnya seperti kepiting, udang, belut dll. Penyelesaian
masalah ini adalah dengan membangun bangunan kemenerusan sungai, misal
fishway (tanpa ikan).
37
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
38
j. Meningkatkan temperatur air (Raise of water temperature)
b. Penurunan jumlah flora dan fauna sungaim (Decrease of flora and fauna
number)
39
penurunan jumlah flora dan fauna sungai. Semakin intensif transportasi sungai
mengakibatkan semakin intensifnya gangguan terhadap habitat flora dan fauna sungai.
Dalam hal ini perlu penelitian daya dukung ekologi lingkungan sungai kaitannya
dengan pemanfaatannya untuk transportasi air.
40