Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sungai merupakan suatu sistem yang kompleks, namun sungai juga memiliki
karakteristik regurel yang universal. Pembangunan sungai pada dekade river development pada
umumnya sama sekali tidak memikirkan karakteristik alamiah baik biotik maupun abiotik sungai
yang ada. Bahkan sebenarnya bias disebut sebagai periode river exploitation (periode exploitasi
sungai).
Istilah koreksi sungai (river correction) dan normalisasi sungi yang selama ini banyak
digunakan, sebenarnya berangkat dari pengetahuan yang tidak integral bahkan sangat sempit
mengenai sungai. Proyek koreksi atau normalisasi sungai dipakai dengan maksud mengkoreksi
bentuk alur dan tampang melintang sungai alamiah menjadi bentuk-bentuk alur lurus dan
tampang melintang persegi panjang atau trapesium. Bentuk-bentuk inilah yang selanjutnya
disebut normal atau terkoreksi. Padahal sungai alamiah tersebut sudah memiliki aturan universal-
normalnya sendiri yang terbentuk sejak kejadian sungai tersebut.
Dalam kajian mengenai river development akan diambil contoh pada pembangunan
sungai di Eropa tengah yaitu sungai Rhein (Jerman dan Belanda), Mainz (Jerman), Elbe
(Cekoslovakia dan Jerman), Danube (Jerman, Austria, Hongaria, dan Rumania). Demikian juga
beberapa contoh pembangunan sungai di Indonesia. Pemilihan contoh di Eropa tengah dengan
pertimbangan bahwa periode pembangunan sungai, dampak pembangunan sungai dan restorasi
sugai sudah dialami oleh Negara-negara di Eropa dewasa ini. Pada dekade 1990-an hingga
sekarang mereka sedang giat-giatnya mengadakan renaturalisasi atau restorasi sungai
(mengembalikan sungai mendekati beentuk alamiahnya).
Sedang di Indonesia dan Negara dunia ketiga lainnya masih pada dekade pembangunan
sungai dengan metode yang sama dengan metode yang digunakan Negara-negara Eropa pada
dekade river development sekitar abad 16-19.
Dekade river development setelah berjalan 1 sampai 3 abad secara simultan menunjukkan
dampak negatif yang sangat besar. Dampak negatif dari river development dapat dibedakan

1
menjadi dampak biotik dan abiotik. Dampak abiotik diartikan segala dampak fisik non-hayati
akibat pembangunan sungai. Sedang dampak biotik adalah segala dampak yang berhubungan
dengan lingkungan ekologi. Perlu ditekankan bahwa antara dampak abiotik dan biotik saling
berpengaruh.
Berbagai dampak negatif tersebut sangat mutlak untuk dimengerti dan dipahami oleh
pihak yang berkecimpung dalam dalam rekayasa diwilayah keairan. Sehinggah antisipasi
penanggulangan dampaknya dapat dipersiapkan secara benar dan matang. Disamping itu perlu
pengembangan rekayasa baru yang tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, namun
tetap dapat menyelesaikan masalah wilayah keairan yang ada. Dalam hal ini perlu ditekankan
bahwa setiap konsep akan menghasilkan teknologi atau metode rekayasa baru sesuai konsep
tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana dampak koreksi sungai ?


2. Bagaimana dampak pembangunan disungai ?

C. Batasan Masalah

1. Masalah yang di koreksi hanya pada pelurusan, sudetan, pengerukkan, dan perkerasan
tebing sungai.
2. Dibahas hanya pada bendung dan bendungan tidak pada pembangunan lain di area
sungai.

D. Tujuan

1. Untuk mengetaui dampak koreksi sungai.


2. Untuk mengetahui dampak pembangunan disungai.

E. Manfaat
1. Agar dapat mengetahui bagaimana dampak koreksi sungai.
2. Agar dapat mengatahui bagaimana dampak pembanguan di area sungai.

F. Sistematika Penulisan
1. BAB I PENDAHULUAN.

2
Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, manfaat dan
sistematika penulisan.

2. BAB II PEMBAHASAN

3. BAB II PENUTUP

BAB II
PEMBAHASAN

3
A. Dampak Koreksi Sungai ; Pelurusan, Sudetan, Pengerukan, Perkerasan Tebing
Sungai (Impacts Of River Correction)

1) Dampak Abiotik (Abiotik Impacts)

a. Perubahan drastis morphologi sungai


Dekade pembangunan sungai yang berlangsung sekitas 150 sampai 300
tahun telah menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat ekstrim pada
sebagian besar wilayah sungai di dunia ini. Di Indonesia sudah banyak terjadi
perubahan yang sangat drastis selama pembangunan sekitar 40 tahunan.
Sungai Citarum, Ciliwung, Kali medium, Cimeneng, sungai Bengawan Solo
dll. Merupakan contoh perubahan morphologi sungai akibat berbagai kegiatan
rekayasa hidraulik diwilayah sungai di Indonesia. Berikut ini disajikan contoh
perubahan morphologi sungai untuk Sungai Elba (Cekosclowakia, Polandia,
dan Jerman ). Dari tahun 1776 sampai dengan 1992 setelah diadakan rekayasa
sungai. Evaluasi terhadap rekayasa ini disajikan pada tabel 4.1. sedang tabel
4.2 menyajikan perubahan morphologi sungai pada Sungai Bengawan Solo.
Pada tabel 4.1 terlihat dengan jelas bahwa perubahan lebar rata-rata sungai
Elba dari 420m tahun 1776 menjadi 340m tahun 1992. Jadi sungai Elba
mengalami penyempitan sebesar 90m ; panjang sungai dengan konstruksi
penguat tebing 1776 sepangjang 5,4 km tapi paa tahun 1992 menjadi 198,3
km (sekitar 91,8% dari seluruh panjang Elba); danau-danau exbow pinggir
sungai pada tahun 1776 sebanyak 62 buah sedang pada tahun 1992 sebanyak
142 buah. Perubahan-perubahan morphologi dari morphopogi alamiah ke
morphologi buatan ini telah menunjukkan dampak negatif yang sangat nyata,
diantaranya banjir yang semakin intensif (missal banjir Elba tahun 2002 yang
lalu serta banjir-banjir lainnya). Disamping juga kerusakan ekologi dan
konservasi sungai secara total.

Table 4.1 Perubahan Morphologi Sungai Elbe (1776-1994) (Harm, 1999)

The morphological structure of a historical map from 1776 (NIEDER-SACHSISCHES


LANDESVERWALTUNGSAMT 1961) compared wih those of modern topographical
maps (NIEDERSACHSISCHES LANDESVERWALTUNGSAMT 1994)
Structure/characteristic 1776 1994

4
With of the ELBE course max 850 m max 550 m, average 340 m, min
(island width included if in average 420 m 230 m (between banks)
cross-section) min 130 m
Width of the ELBE course max 750 m max 430 m, average 22 m, min
(without island) average 380 m 150 m (between grone-heads)
min 130 m
Length of ELBE course with 32 km 0
island in it
Island (with vegetation 55 (30/25) 0
/without)
Island area (with ca, 5.74 km2 0
2 2
vegetation/without) (4.13 km / 1.70 km
Length of amphibious zone ca. 70 km 0
around islands
Sedimentbars-all without 26 km 0
2
vegetation at the side of the (2,19 km )
ELBE (area)
River contruction 27 groynes Ca.1680 groynes
Length bank with river 5.4 km (2.5%) 198.3 km (91.8%)
construction (% of whole
banks)
Water of the floodplain 62 142
without connection
Water of the floodplain with 40 28
connect (total length/average (52.9 km / 1.3 km) (23.7 km / 0.8)
length)

Table 4.2 Perubahan sungai Bengawan Solo akibat pelurusan (daerah jembatan
Mbanmati sampai Jembatan Jurug (1986-1995) (Sudarta,2001)

Karakteristik Kondisi 1986 Kondisi 1995


(sebelum sudetan- (setelah sudetan-pelurusan)
pelurusan)
Panjang penggal sungai 50 km 34,8 km (30,4% memendek)
Panjang sudetan 0 km 10,6 km
Panjang normalisasi/pelurusan 0 km 24,2 km
Panjang tanggul 0 km 24,2 km
Luas daerah terisolir akibat 0 ha 515,9 ha (berupa lahan
sudetan (tidak ada akses pemukiman 273,04 ha, lahan

5
keluar) sawah 179,72 ha dan tegalan
62,79 ha)
Luas genangan bekas sudetan 0 ha 66,16 ha berupa genangan, 44,40
tidak mengalir (oxbow buatan) ha terurug sebagian dan 36,48 ha
terurug
Sumber: Sudarta, 2001 diolah

Tabel 4.2 menunjukan beberapa perubahan fisik sangat penting pada


pembangunan sudetan dan pelurusan serta pembuatan tanggul di sungai Bengawan
Solo antara jembatan Mbanmati dan jembatan Jurug (sekitar 50 km). Pelurusan
sepanjang 50 km ini akan meningkatkan bahaya banjir dan sedimentasi di daerah
hilir dan erosi di daerah hulu. Daerah terisolir akibat sudetan terluas 515,9 ha
menyebabkan kerugian masyarakat yang sangat besar ditinjau secara ekonomi.
Genangan seluas 66,16 ha lebih merupakan tempat dengan ekosistem sungai yang
mati dan sarang nyamuk dan tempat pembuangan sampah.

Disamping Bengawan Solo, sungai-sungai lainnya missal Brantas, Citandui,


Citarum dll, juga mengalami perubahan morphologi serupa secara “paksa”. Dampak
yang timbul dapat dirasakan misal terjadinya banjir di Bandung pada tanggal 18
Februari 2003 akibat sudetan di hulu sungai Citarum (supardiono S., kompas, 18
Februari,2003). Erosi intensif di sungai Citandui akibat pelurusan dan pembuatan
tanggul memanjang sungai Citandui, pendangkalan sungai Bengawan Solo di daerah
jembatan Bacem Surakarta akibat penyudetan dibagian hulunya dll.

b. Penurunan tahanan aliran (Decrease of flow resistance)

Dengan adanya koreksi sungai pelurusan, sudetan, pengerukan,


pembetonan,dinding tebing sungai menyebabkan seluruh potensi retensi morphologi
dan ekologi di kanan kiri sungai hilang. Sungai berperilaku seperti sebuah kanal
(saluran) dengan retensi yang sangat rendah. Retensi ekologi (biotik) sungai alamiah
diwakili oleh tumbuh-tumbuhan yang ada di sepanjang alur sungai. Sedangakan
retensi abiotik (morphologi) ditimbulkan oleh tampang melintang dan tampang
memanjang sungai. Dengan diubahnya tampang melintang dan memanjang sungai
menjadi sangat teratur (dengan sudetan dan normalisasi), maka otomatis retensi aliran
akan berkurang.

6
Disamping hal tersebut di atas, koreksi sungai sering menyebabkan hilangnya
bantara sungai itu sendiri. Misal daerah bantara sungai dibuat tanggul, maka daerah
tersebut tidak berfungsi sebagai daerah retensi. Dengan pelurusan maka seluruh
formasi dasar sungai dan tepi kanan kiri sungai menjadi formasi sederhana, yaitu
tampang trapesium atau tampang segiempat. Dengan perubahan ini, otomatis
resistensi aliran menjadi sangat rendah. Dalam hidraulika retensi aliran biasa ditulis
dengan koefisien Chezy (C), koefisien Manning (1/n) dan koefisien Strickler (K st).
rumus umum yang digunakan adalah:

V=C √ R . I atau (4.1)


V=(1/n)R2/3.I1/2 atau (4.2)
V=kst.R2/3.I1/2 atau (4.3)

Dimana :
R= penampang basah
V= kecepatan, dan;
I= Kemiringan sungai

Sungai terkoreksi atau ternormalisasi suatu sungai, maka koefisien kecepatan atau
kekasaran Chezy (C) dan manning-strickler (k st) akan semakin besar, sehingga
kecepatan air (V) juga semakin tinggi. Contoh penurunan retensi aliran atau
peningkatan kecepatan akibat pelurusan dan sudetan dapat diperiksa pada
peningkatan kecepatan di hilir sudetan sungai Bengawan Solo pada gambar 4.1
dibawah ini:

Gambar 4.1 Peningkatan Kecepatan rata-rata setelah pelurusan dan sudetan


sungai Bengawan Solo di Stasiun Jurug (1991-1995
tahap konstruksi, setelah 1995 peningkatan kecepatan drastis)

7
(Suprianto & Maryono,2003, penelitian awal
perlu penelitian lanjut)

Gambar 4.2 Aliran pada sungai alamiah dengan vegetasi dan morphologi
natural kecepatan relatif rendah (A), aliran pada sungai
tanpa vegetasi dan dengan morphologi buatan-
kecepatan relatif tinggi (B) (Maryono & GTZ,2001)

Gambar 4.2 diatas memperhatikan dengan jelas fungsi vegetasi dan morphologi
alamiah terhadap peningkatan resistensi aliran, sehingga dapat memperlambat aliran
air.

c. Meningkatkan slope memanjang sungai (Increase of river bed slope dan


memendekkan panjang alur sungai (decrease of river length)

Dengan adanya koreksi sungai berupa pelurusan, sudetan dll. Kemiringan


memanjang (slope memanjang) sungai akan meningkat. Hal ini disebabkan karena
beda tinggi antara hulu dan hilir sebelum dan sesudah koreksi sungai tetap, sementara
setelah dikoreksi panjang sungai dari hulu sampai hilir memendek. Sehingga sebelum
dikoreksi panjang sungai lebih panjang daripada setelah dikoreksi. Dengan beda
tinggi yang sama dan panjang alur yang lebih pendek, akan menghasilkan slope yang
lebih besar.

8
Gambar 4.3 Pelurusan dan sudetan sungai; meningkatkan slope sungai (slope
sungai baru lebih terjal) dan memendekkan alur sungai
(sungai baru lebih pendek).

Dengan pola pelurusan sungai (river straightening) maka panjang sungai akan
memendek secara signifikan. Pemendekkan alur sungai berarti peningkatan
kemiringan sungai karena beda tinggi hilir dan hulu konstan sedang panjang hulu
hilir berkurang. Peningkatan alur memanjang sungai ini berdampak meningkatkan
tendensi erosi dasar sungai dibagian hulu dan tengah, serta meningkatkan tendensi
banjir dan sedimentasi di hilir. Pelurusan berakibat kerusakan habitat daerah tepi
sungai (habitat bantaran dan dasar sungai). Pemendekkan juga berdampak
menurunkan tingkat peresapan (waktu untuk meresap kedalam tanah), sehingga
konservasi air dihulu rendah.

d. Meningkatkan debit air di hilir (Increase of river discharge) dan memendekkan


waktu debit mencapai puncak (decrease of peak time)

9
Dengan kecepatan air yang meningkat ke arah hilir, maka debit air mencapai hilir
akan lebih tinggi hal ini dapat diilustrasikan volume air dari hulu ke hilir sama, tetapi
karena kecepatan air lebih besar dan kecepatan tempurnya pendek, maka debit yang
sampai ke hilir akan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diadakan pelurusan
sudetan/pengerukan (lihat Gambar 4.4).
Dengan pelurusan dan sudetan (koreksi sungai) didapat waktu mencapai pucak
debit pada gambar hidrograf dan waktu dasar (base time) semakin memendek. Hal
ini dikarenakan semakin tinggi kecepatan air mengalir kehilir, sehingga semakin
cepat debit air itu mencapai puncaknya. Kosekuensinya adalah bahwa waktu dasar
aliran memendek. Gambar 4.4 menunjukkan memendeknya waktu mencapai puncak
dan waktu dasar aliran pada sungai Rhine di Maxau (Jerman).

Gambar 4.4 pemendekkan waktu mencapai puncak dan waktu aliran dasar
serta meningkatkan debit puncak (Pencatatan Debit di
sungai Rhine, Maxau, Jerman)(dari maryono, 2002)

Dengan pemendekkan waktu debit mencapai puncak dan pemendekkan waktu


dasar, maka puncak hidrograf aliran akan bergeser ke kiri. Dengan pergeseran itu
otomatis debit lebih tinggi dan waktu kejadian banjir akan lebih cepat serta waktu
aliran dasarnya memendek. Arti aliran dasar memendek adalah bahwa indikasi
kekeringan akan terjadi di musim kemarau.

e. Meningkatkan kemungkinan kejadian banjir (increase of flood even


probabilities)

10
Dengan semakin tingginya debit aliran dan memendeknya waktu mencapai
puncak, maka kemungkinan banjir di hilir akan semakin tinggi. Dengan adanya
pertambahan debit dan kecepatan air dibagian hilir akan meningkatkan level muka air
di hilir. Disamping itu dengan meningkatnya kecepatan air menuju kehilir, akan
terjadi peningkatan sedimentasi hilir yang akan berakibat terjadinya peningkatan
tendensi banjir dihilir. Gambar dibawah menunjukkan peningkatan tendensi banjir di
sungai Bengawan Solo di stasiun Jurug Surakarta.

Gambar 4.5 peningkatan tendensi banjir sungai Bengawan Solo setelah


pelurusan dan sudetan (Suprianto & Maryono, 2003)

11
Grafik debit rata-rata tahunan tersebut memperlihatkan dengan jelas tendensi
banjir akibat pelurusan dan tendensi kekeringan dimusing kemarau. Sebelum
pelurusan pada musim kemarau debit sungai relatif lebih tinggi dibanding setelah
pelurusan. Sebaliknya, pada musim hujan debit sungai setelah pelurusan jauh lebih
besar dari debit sebelum pelurusan.

Contoh lain adalah peningkatan tendensi debit banjir sungai Rhine meningkat
dengan pesan seperti ditunjukkan gambar.

Gambar 4.6 peningkatan tendensi banjir dihilir sungai rhine, jerman dari
tahun 1901 – 2000 (VDG, 1999)

12
Pada tahun 1901 sampai 1931 hanya tecatat beberapa kejadian banjir namun pada
kurun waktu 1971 sampai 2000 tercatat frekuensi kejadian banjir semakin meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa banjir akan semakin sering terjadi dengan rampungnya
penyudetan-penyudetan serta pelurusan sungai yang ada.

Pelurusan dan sudetan biasanya juga diikuti dengan pembuatan tanggul


sepanjang sudetan atau pelurusan yang dibuat. Dengan meningkatnya debit dan
sedimentasi di hilir maka menurut bebrapa pengalaman akan terjadi
ketidakmampuan tanggul-tanggul tersebut menahan air dan akhirnya jebol. Hampir
sebagai besar banjir yang terjadi baik di Indonesia dan di Eropa disertai dengan
jebolnya tanggul pelurusan ini. Berikut ini beberapa kejadian jebolnya tanggul
sungai.

13
Gambar 4.7 Tanggul Memanjang sungai jebol, sungai Oder, Jerman 1998
(Waser & Boden, 1998)

14
Gambar 4.8 Pelurusan dan Tanggul sungai Ara Metropolitan Tokyo, kondisi
bahaya (Minister of Land, Infrastucture and
Transportation, Japan, 2002)

15
Gambar 4.9 Tanggul Jebol, Sungai Shin Nagoya City (Minister of Land,
Infrastructure and Transportation, Japan, 2002)

Banjir akibar jebolnya tanggul pada umumnya berlangsung sangat cepat. Dan
pengalaman yang ada biasanya hanya dibutuhkan waktu kurang dari 2 jam hingga
banjir meluas ke sisi luar tanggul. Sebagai contoh adalah banjir di Pluit, Jakarta tahun
2003, banjir di kali Garang, Semarang 1990, Banjir di sungai Danube di Eropa 2002
dll. Air genangan banjir akibat jebolnya tanggul ini biasanya memerlukan waktu
cukup lama untuk surut kembali, karena tertahan tanggul yang membatasi sungai
yang bersangkutan dengan areal genangan. Berbeda dengan sungai tanpa tanggul,
banjir akan datang secara lambat karena sungai melimpah sepanjang bentarannya dan
akan mengalir keluar dari area banjir dengan relatif lebih cepat karena dapat
melewati sepanjang pinggir sungai.

f. Meningkatkan erosi dan transport sediman (Increase of erosian and sediment


transport rate)

Dengan peningkatan kecepatan air akibat pelurusan dan sudetan akan


meningkatkan erosi di bagian hulu. Selanjutnya meningkatkan transportasi sediman
ke arah hilir. Keseimbangan erosi dan sedimentasi (degradasi dan agradasi) akan
berubah mengarah ke semakin banyaknya erosi di daerah hulu dan daerah tengah.
Erosi akibat pelurusan dan sudetan di sungai ini sebenarnya tidak hanya terbatas pada

16
hulu dan hilir saja, namun dapat terjadi di sepanjang sungai dengan lokasi yang sulit
diprediksikan. Gambar 4.10 di bawah ini menunjukkan tingkat erosi yang terjadi
pada sungai Rhein di berbagai tempat. Gambar tersebut juga menunjukkan proses
erosi setelah sekitar satu abad dari aktivitas pelurusan dan sudetan.

17
Gambar 4.10 Erosi di sungai Rhine-Eropa setelah pelurusan dan sudetan
(1810-1950) (Maryono, 2002)

Erosi sungai di berbagai titik terjadi dan dalam kurun waktu lama secara
simultan, di beberapa tempat mencapai 3,0 hingga 7,0 m. Erosi ini sangat berbahaya
jika terjadi pada pilar-pilar jembatan. Scouring yang intensif akan menyebabkan
kerusakan jembatan-jembatan disepanjang alur sungai yang tererosi. Disamping itu
erosi dasar sungai dapat menyebabkan tidak berfungsinya bangunan-bangunan
pengambilan di sepanjang sungai. Karena dengan erosi dasar sungai muka air akan
ikut menurun. Penurunan muka air ini dapat melampaui ambang pengambilan
bangunan sadap misalnya, sehingga bangunan tersebut tidak berfungsi.

Disamping erosi juga terjadi pendangkalan sungai dibagian hilir sudetan atau
pelurusan, karena peningkatan sadimen dari hulu. Pendangkalan ini akan memacu
masyarakat untuk mempertinggi tanggul sungai. Sehingga, sebagai contoh sungai
Rhinehilir, di beberapa tempat terjadi kenaikan tinggi tanggul dari sekitar 1-2 meter
pada awalnya dinaikkan menjdi 10 m secara bertahap. Semakin tinggi tanggul
semakin tinggi tingkat resiko banjir dan kerusakkannya.

Dengan perkembangan tanggul ini, maka dibeberapa sungai besar seperti pada
beberapa lokasi di sungai Rhine, Elba dan Danube, Shin-Nagoya, dasar sungainya
lebih tinggi dari daratan di luar tanggul. Sungai Bengawan Solo di daerah sekitar
jembatan Bacem dan Jurug (di hilir sudetan-periksa Gambar 3.6) telah mulai
mengalami pendangkalan dasar sungai. Jika tidak diadakan renaturalisi di hulu
sudetan maka dimungkinkan akan meningkatkan tendensi banjir di daerah Surakarta.
Biasanya masyarakat dan pemerintah kemudian mengusulkan peninggian tanggul
untuk alasan padahal semakin tinggi tanggul tingkat resiko banjir bandang semakin
besar, karena disamping konstruksi tanggul umumnya tidak tahan pada kondisi

18
genangan dalam waktu yang lama, juga karena dengan adanya tanggul pertumbuhan
pemukiman menuju tanggul semakin intensif. Usaha lain yang biasanya dilakukan
masyarakat adalah dengan menormalisasi, menyudet dan membuat tanggul serupa di
sungai bagian hilirnya. Sehingga dalam kurun waktu lama terjadilah pelurusan sungai
dari hulu sampai ke hilir. Jika pelurusan selesai maka bahaya erosi dasar sungai dan
tebing sungai akan meningkat dengan drastis sehingga diperlukan upaya pencegahan.
Usaha ini tidak pernah akan selesai.

g. Kerusakan struktur dasar sungai (Destruction of bed forms)

Struktur dasar pada sungai alamiah pada umumnya relatif stabil. Struktur dasar
tersebut berubah bersiklus secara regular akan kembali ke bentuk semulanya,
sehingga struktur semacam ini dikatakan relatif tidak berubah atau konstan. Hanya
material penyusun dasar sungai tersebut yang bergerak mengelinding (Rollig) ke
hilir dan diganti lagi dengan material dari hulu. Dengan aktivitas pelurusan dan
sudetan maka terjadi perubahan karakteristik aliran baik arah, kecepatan dan besar
frekuensi debit serta tinggi muka air. Hal ini akan jelas menyebabkan perubahan
struktur dasar sungai secara drastis yang sebelumnya relatif stabil. Dengan
pembangunan sungai berupa pengerukan, pembetonan dinding, perkerasan dasar dan
sebagainya akan menyebabkan karakteristik aliran di sungai tersebut berubah.
Perubahan ini akan diikuti oleh perubahan seluruh struktur dasar sungai dalam
mencari keseimbangan barunya. Dalam skala ruang-waktu (room time scale:
keseimbangan morphologi sungai baru bisa dicapai sekitar 10.000-25.000 tahun-an
setelah terjadi perubahan.

Seperti diketahui bahwa di dasar sungai terdapat formasi riffle, dune, anti dune,
plan bed, gundukan pasir (bar), pulau dan meander. Seluruh struktur tersebut saling
terkait satu sama lain baik secara keseluruhan atau bagian-pembagian. Rusaknya satu
struktur dasar sungai, missal meander menjadi lurus, maka struktur dasar seperti bar,
dune dan antidune akan mengalami kolaps dan berubah sesuai dengan tingkat
perubahan morphologi sungai yang terjadi dan mencari keseimbangan baru di dunia.
Gambar 1.8 (pada Bab I) di sajikan struktur dasar alur sungai yang ada di dunia.
Sedangkan struktur dasar sungai lainnya berupa riffle, dune, antidune, bar, pulau dll,
disajikan pada “ sediment transport bodies’ (gambar 1.12). Perubahan yang

19
dilakukan dengan merubah struktur dasar alur sungai, missal dari meander dijadikan
lurus (pelurusan dan sudetan) atau dari lurus dimeanderkan, maka akan timbul
masalah instabilisasi alur dan struktur dasar sungai yang bersangkutan.

h. Menurunkan daya dinamis sungai (Decline of river dynamics)

Dengai sungai-sungai yang lurus maka di sepanjang alur sungai tidak didapat
kondisi dinamik sungai yang cukup. Kondisi dinamik yang tinggi akan terjadi jika di
sepanjang alur sungai frekuensi genangan dan pengatusan (Pasang dan surutnya
muka air) tinggi, kecepatan disepanjang sungai beragam, kedalaman air sungai
beragam dan turbulensi aliran beragam. Kondisi dinamis yang seperti itu akan sangat
mendukung kehidupan flora dan fauna di daerah tersebut, karena dengan dinamisasi
wilayah aliran sungai yang tinggi, maka semakin banyak diversifikasi flora dan fauna
di alur sungai tersebut.

Sungai alamiah pada umumnya mempunyai tingkat dinamik sungai tinggi. Pada
sungai tersebut terdapat variasi debit di berbagai tempat, variasi kecepatan aliran,
variasi morfologi topografi sungai yang tidak monoton dan variasi formasi dasar
sungai. Dengan pelurusan sudetan bahkan penyederhanaan profil sungai baik profil
memanjang dan melintang, akan menjurus ke arah homogenisasi seluruh faktor yang
ada pada sungai, sehingga sifat dinamik sungai berubah menjadi sangat rendah.
Dengan menurunnya tingkat variasi-dinamik sungai ini, maka akan berdampak
negatif terhadap kondisi ekosistem biotik maupun abiotiknya. Gambar berikut
merupakan contoh perubahan drastis dari kondisi dinamik tinggi diubah menjadi
kondisi dinamik rendah.

20
Gambar 4.11 Kondisi dinamik sungai alamiah yang tinggi (kiri) berubah ke
kondisi dinamik rendah (kanan) (Patt et al, 1996)

21
Gambar 4.12 Sungai alamiah dengan dinamik sungai tinggi, Sungai Tambak
bayan Yogyakarta

Gambar 4.13 Ilustrasi pembuatan tanggul (dinamik sungai rendah) ( DVG


1995)

Gambar 4.13 tersebut di atas dan Gambar 2.2, 3.1, 3.3 dan 3.4 merupakan contoh
perubahan klasik dari sungai alamiah menjadi sungai buatan yang sangat distruktif
terhadap ekosistem sungai, karena diversifikasi biotik dan abiotik sungai dihilangkan.

22
i. Peningkatan biaya pemeliharaan sungai (Increase of meintanance cost)

Dengan pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul dan pembetonan dinding sungai,


bukan berarti seluruh pekerjaan rekayasa sungai pada lokasi tersebut sudah selesai.
Namun justru pembangunan tersebut mengawali suatu pekerjaan yang terus-menerus
untuk memelihara bangunan tersebut. Pemeliharaan bangunan tersebut perlu biaya
permanen yang mahal, karena pada hakekatnya sungai-sungai yang direkayasa justru
merupakan sungai yang lebih yang mempunyai kecenderungan mencari
keseimbangan. Salah satunya bergerak mendekati kondisi alamiah sebelumnya.
Sehingga pada sungai hasil pelurusan dari sungai yang bermeander, akan cenderung
ke kondisi meander seperti sebelumnya. Gambar 4.13 menunjukkan proses
kembalinya sungai yang sudah diluruskan.

Sekali mengubah sungai alamiah menjadi sungai teknik/buatan (lurus), maka


sejenak itu pula hurus dianggarakan biaya pemeliharaan dan perawatan. Bangunan
pelindung tebing misalnya dari beton setiap 5-7 tahun sekali mesti harus
direhabilitasi, bangunan-bangunan sungai lurus harus selalu dipelihara dari erosi dan
endapan yang tidak terprediksi letaknya dll.

23
Gambar 4.14 Kecenderungan kembalinya sungai dari yang sudah diluruskan
ke meander lagi (Rhine-Jerman) (Theobalt & Nestmann,
1994)

j. Meningkatkan temperatur air (Raise of water temperature)

Dengan pelurusan sudetan dan pelurusan sungai, maka akan terjadi peningkatan
temperatur air secara silmutan dari hulu sampai hilir. Pada sungai alamiah biasanya
temperatur sungai di hulu lebih rendah kemudian meningkat sampai di hilir (terjadi
kenaikan temperatur global sungai arah memanjang). Kenaikan temperatur ini akan
sangat berpengaruh pada berbagai jenis biota air yang ada. Di daerah tropis kenaikan
temperatur sungai ini tidak begitu berpengaruh, namun di daerah beriklim dingin
kenaikan temperatur air sungai ini dapat menyebabkan kematian berbagai jenis
hewan air yang ada. Kenaikan temperatur air sungai ini akan mudah diamati pada
sungai-sungai di daratan tinggi atau daerah dingin seperti di Kanada, Jerman, New
Sealand, Afrika Selatan dll.

k. Penurunan muka air tanah (Decrease of groundwater tables)

Dengan pelurusan sungai, sudetan dan perbaikan tebing maka air pada musim
penghujanan air akan mengalir cepat menuju hilir sehingga pada musim kemarau
simpanan air di bagian hulu turun drastis. Pelurusan dan sudetan pada hakekatnya
adalah pengatusan air di wilayah sungai yang bersangkutan ke arah hilir. Oleh sebab
itu maka kekeringan akan semakin intensif setelah dilakukan rekayasa tersebut.
Defisit air pada musim kemarau ini berpengaruh terhadap penurunan muka air tanah.
Demikian juga penurunan muka air sungai juga dapat berpengaruh pada penurunan
muka air tanah di wilayah perairan sungai, karena antara air tanah dan air sungai
terjadi aliran masuk dan keluar. Selain itu penurunan muka air tanah juga dipengaruhi
oleh peningkatan run off akibat perubahan tata guna lahan dari daerah aliran sungai
(DAS) yang bersangkutan. Kekeringan disuatu wilayah sungai termasuk di DAS akan
semakin intensif setelah diadakan pelurusan dan normalisasi sungai. Hal ini karena
pelurusan dan sudetan pada hakekatnya adalah pengatusan wilayah dan DAS ke arah
hilir. Sehingga perbedaan level muka air sungai dan muka air tanah yang tinggi

24
antara musim hujan dan musim kemarau. Fluktuasi yang tinggi ini merupakan faktor
pendorong banjir, kekeringan dan longsoran tebing.

2) Dampak Biotik (Biotic Impacts)

a. Penurunan kualitas dan kuantitas habitat sungai (Decrease of river habitats)

Penurunan habitats sungai diartikan memburuknya kualitas dan kuantitas habitat


sungai baik pada zone aquatis (badan sungai), zone amphibi maupun zone penyangga
(di luar zone amphibi). Dengan pelurusan, noemalisasi, pentalutan dan pembuatan
tanggul sisi, maka otomatis kualitas dan kuantitas habitat sempadan sungai
memburuk drastis. Gambar berikut ini menunjukkan hilangnya daerah pinggir sungai
akibat koreksi sungai atau akibat desakan penduduk ke sempadan sungai.

Gambar 4.15 Hilangnya daerah sempadan sungai akibat koreksi sungai


(hilangnya sempadan sungai berarti hilangnya habitat dan
ekosistem pinggir sungai)

b. Penurunan jumlah flora dan fauna sungaim (Decrease of flora and fauna
number)

Berkurangnya habitat flora dan fauna sungai, otomatis berakibat penurunan


deversifikasi dan jumlah flora dan fauna sungai. Hal ini juga berakibat pada
menurunnya retensi sungai dan penurunan kemampuan sungai untuk memperbaiki

25
kualitas airnya sendiri. Seperti diketahui bahwa fungsi flora dan fauna termasuk
berbagai jenis mikro organisme sungai salah satunya adalah penguraian limbah yang
masuk ke sungai. Punahnya flora dan fauna sungai akan berakibat tidak terjadinya
proses penguraian limbah, sehingga kualitas air sungai akan memburuk. Penurunan
vegetasi sungai juga berakibat pada berkurangnya konservasi air yang masuk ke zone
perakaran vegetasi disepanjang alur sungai yang bersangkutan.

c. Penurunan tingkat heterogenitas wilayah sungai(Decline of river heterogenity)

Penurunan heterogenitas ini sama dengan proses penurunan kualitas dan


kuantitas habitat dan disertai dengan penurunan kualitas dan kuantitas flora dan
fauna. Dengan pelurusan maka wilayah sungai diubah menjadi sistem saluran tanpa
bantaran sepanjang sungai atau dengan bantaran buatan yang homogen. Sehingga
heterogenitas sungai akan berkurang sangat drastis . gambar 4.14 memberikan contoh
perbandingan sungai kecil yang masih alami dan telah diluruskan, jelas terlihat
heterogenitas pada sungai alamiah jauh lebih tinggi dibanding sungai yang telah
diluruskan.

Gambar 4.16 Perbandingan sungai kecil alamiah (sangat heterogen) dan


sungai ditanggul atau diluruskan (sangat homogin);
tanda panah menunjukkan tipikal perubahan pada
konsep pembangunan hidraulik mumi (Patt, et al.,
1999)

26
d. Kerasukan ekosistem sungai (Destruction of river ecosystem)

Kerusakan ekosistem pada awalnya disebabkan oleh kerusakan habitat mikro dan
makro secara lokal. Dengan semakin banyak habitat mikro dan makro di sungai yang
rusak maka akibatnya adalah rusaknya ekosistem sungai secara keseluruhan.
Pembangunan sungai seperti pelurusan, sudetan, tanggul, pembetonan bendung
melintang sungai, pembuatan krip di sungai, pembuatan bendungan akan berakibat
langsung pada kerusakan ekosistem sungai. Karena habitat berubah total dan tidak
lagi sesuai dengan syarat hidup flora dan fauna yang ada. Gambar berikut
memberikan contoh kerusakan ekosistem sungai Bengawan Solo akibat sudetan.

27
Gambar 4.17 Ekosistem sungai yang hancur karena pelurusan sungai (Oxbow
buatan sungai Bengawan Solo di daerah Sonorejo,
Sukoharjo, 2002)

Kerusakan ekosistem sungai juga terjadi pada sungai lama atau sungai yang mati
terpotong pelurusan. Sungai mati ini biasa disebut Oxbow buatan. Pada Oxbow
setelah pelurusan atau sudetan akan menjadi ekosistem tertutup. Ekosistem ini
dibanding dengan ekosistem sungai sangat berbeda, karena dalam oxbow buatan ini
tidak terjadi sisrkulasi air dari hulu ke hilir. Dalam perkembanganya oxbow ini akan
terpenuhi oleh sedimen maupun sisa-sisa tumbuh-tumbuhan yang berkembang
menjadi hutan moor pada oxbow ini (Gambar 4.17, 4.18, dan 4.19). pada Gambar
4.19 disajikan proses pembentukan hutan moor pada oxbow hasil pelurusan. Pada
saat hutan moor sudah berkembang, maka daerah ini sudah sama sekali bukan
merupakan bagian dari sungai.

28
Gambar 4.18 Salah satu bekas sungai Citarum (Oxbow buatan) 2003 di daerah
Rancamanya, telah mulai dipenuhi bangunan pemukiman dan
tempat pembuangan sampah (Sobirin, 2003)

Untuk mengembalikan daerah ini menjadi sungai seperti semula (pada dekade
restorasi sungai nanti) biasanya akan memenuhi hambatan yang disebabkan karena

Masalah ekologi, hidraulika dan sosial termasuk kepemilikan lahan. Oleh karena itu
sebelum pembentukan hutan moor ini terjadi atau tanah-tanah Oxbow ini dijarah,
maka sebaiknya dilakukan restorasi sungai secepatnya.

29
Gambar 4.19 Perubahan menjadi hutan moor pada Oxbow hasil pelurusan
sungai (DFW, 1995)

3) Dampak Koreksi Sungai pada Pembangunan Transportasi Sungai

Pada pembangunan transportasi sungai, terdapat dilema yang sangat tajam antara
kebutuhan transportasi sungai yang sekaligus sebagai upaya memelihara sungai, dengan
dampak negatif yang ditimbulkan jika sungai secara besar-besaran (over development)
digunakan sebagai alur transportasi. Sehingga transportasi di sungai harus direncanakan
sesuai dengan karakteristik sungai, dan diusahakan tidak melampaui daya dukung sungai.
Misal kedalaman trag (celup) kapal tidak hanya didasarkan atas pertimbangan hidraulis
namun juga pertimbangan ekologi dasar sungai yang ada. Perkerasan tebing sungai untuk

30
menanggulangi erosi akibat gelombang kapal tidak hanya dirancang berdasarkan
pertimbangan hidraulis (seperti penggunaan beton atau pasangan batu), namun harus
memasukkan unsur ekologi. Misalnya dikembangkan perlindungan tebing sungai dengan
vegetasi, sehingga secara ekologis dan hidraulis dapat digunakan sebagai penahan
gelombang.

Berikut ini dibahas dampak negative akibat pembangunan sungai khusunya untuk
digunakan sebagai sarana alur transportasi, khususnya transportasi kapal-kapal besar
yang tidak sesuai dengan karakteristik dan kapasitas sungai yang dilewatinya. Dampak
negatif disini perlu dijabarkan dalam upaya pengembangan rekayasa diwilayah keairan
yang ramah lingkungan.

1. Dampak abiotik (Abiotic impacts)

Dampak abiotik pembangunan transportasi sungai diantaranya adalah terjadinya


kerusakan struktur dasar sungai karena laju kapal/propelar kapal di samping juga
penurunan atau peningkatan muka air, kenaikan tinggi gelombang, polusi dan kerusakan
tebing sungai akibat gempuran gelombang kapal. Dengan ukuran kapal dan laju
kecepatan yang tidak proporsional dengan ukuran sungai maka seluruh komponen abiotik
badan sungai akan mengalami perubahan atau kerusakan.

a. Kerusakan struktur dasar sungai (Destruction of river bed forms)

Transportasi air akan dapat merusak struktur dasar sungai seperti riffel, dune,
antidune. Disamping itu aktivitas pengerukan dasar sungai untuk memperlancar
transportasi sungai juga dapat berakibat negatif bagi seluruh ekosistem dasar sungai
yang ada. Contoh paling mudah adalah dengan pengerukan akan menyebabkan
rumput air tercabut akarnya. Ikan yang menggantungkan hidupnya pada rumput
tersebut akan punah. Seluruh flora dan fauna dasar sungai ( lihat Gambar 1.8 dan 1.9
Bab I) akan hancur, karena habitatnya berubah total. Contoh dibawah ini merupakan
habitat dasar sungai dari kelompok makrozobentos.

31
Gambar 4.20 Makrozobentos di dasar sungai (DFW, 1995)

b. Perubahan frekuensi penurunan dan kenaikan muka air

Sungai alamiah umumnya memiliki frekuensi penurunan dan kenaikan muka air

Spesifik. Dengan berkembangnya lalu lintas sungai berikut bangunan-bangunan


perlengkapanya seperti sluce gate (pintu-pintu pengatur kedalaman air sungai) dan
krip-krip pengarah arus akan dapat menyebabkan perubahan frekuensi tinggi muka
air. Perubahan frekuensi ini dapat berdampak negatif terhadap jenis flora dan fauna
air tertentu. Dekade ini belum ditemukan teknologi ekohidraulik untuk
menanggulangi masalah ini.

c. Peningkatan frekuensi dan amplitudo gelombang permukaan air sungai


(Increase of amplitude and frequency of surface waves)

Secara alamiah karena pengaruh angin atau pasang surut pada sungai yang cukup
lebar akan selalu terjadi gelombang permukaan. Dengan berkembangnya transportasi
sungai maka akan terjadi peningkatan frekuensi serta amplitudo gelombang
permukaan tersebut. Disamping itu dengan meningkatnya gelombang permukaan ini
akan berpengaruh terhadap stabilitas tebing sungai. Hal ini akan berpengaruh juga
terhadap fauna yang tinggal di sungai karena gangguan gelombang tersebut akan
mengusik/mengganggu ritme hidup fauna sungai tersebut. Pengurangan dampak

32
negatif dari gelombang ini adalah dengan memilih dan mengembangkan kapal-kapal
yang tidak menimbulkan gelombang yang besar.

d. Kerusakan proteksi tebing sungai (Destructure of river protections)

Dengan adanya kapal-kapal yang lalu lalang di sebuah sungai maka


konsekuensinya adalah perlunya proteksi tebing sungai dengan pertambahan
intensitas pelayaran, maka bahaya berikutnya adalah rusaknya proteksi tebing sungai
yang telah dibuat.

Gempuran gelombang kapal dapat menyebabkan peningkatan tendensi erosi


tebing sungai. Peningkatan pelayaran biasanya dibarengi dengan pembuatan talud
dan pelindung tebing. Tanaman tepi sungai kemudian ditebang agar jarak pandang
dan kebersihan sungai terjaga. Penebangan tanaman tepi sungai ini akan berakibat
fatal yaitu peningkatan kecepatam arus, erosi tebing dan sedimentasi di tempat-
tempat tertentu. Pada prinsipnya penebangan vegetasi tepi sungai tidak perlu
dilakukan, karena vegetasi tepi sungai dapat meredam gelombang yang diakibatkan
kapal serta menurunkan energi arus air. Pemilihan kapal yang tidak menimbulkan
gelombang besar perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

e. Peningkatan polusi air sungai (Increase of pollution)

Transportasi air akan menimbulkan dampak berupa polusi air secara langsung,
baik dari bahan bakar yang dipakai maupun bahan-bahan yang diangkut. Secara
komutatif polusi ini akan berakibat pada kehidupan dan lingkungan flora dan fauna
sungai yang ada. Disamping polusi air juga polusi suara yang berdampak negatif
terhadap fauna yang hidup di sepanjang sungai. Dalam hal ini perlu dikembangkan
pemeliharaan kapal sehingga tingkat kebocoran bahan bakar dapat ditekan dan juga
tingkat kebisingan dapat diturunkan.

2. Dampak biotik (Biotic impacts)

33
Dampak biotik akibat pengembangan transportasi sungai adalah semakin
penurunan kualitas dan kuantitas habitat sungai dan akibat selanjutnya adalah
penurunan jumlah flora dan fauna sungai. Semakin intensif transportasi sungai
mengakibatkan semakin intensifnya gangguan terhadap habitat flora dan fauna
sungai. Dalam hal ini perlu penelitian daya dukung ekologi lingkungan sungai
kaitannya dengan pemanfaatannya untuk transportasi air.

B. Dampak Pembangunan Bendungan dan Bendungan di Sungai (Dampak Biotik dan


Abiotik)

a. Mengubah keseimbangan angkutan sedimen (Change of srdiment balance)

Dengan dibangunnya Bendungan atau Bendung di sungai, akan terjadi perubahan


keseimbangan angkutan sedimen (sediment balance). Dengan bendung/bendungan
maka proses degradasi dan agradasi di sepanjang sungai akan terganggu di bagian
hulu akan terjadi sedimen surplus sedangkan hilir terjadi sedimen defisit. Sedimen
defisit di bagian hilir ini akan berpengaruh pada penggerusan di bagian hilir
bendung/bendungan. Terganggunya keseimbangan sedimen akan dapat menginisiasi
terjadi erosi dan sedimentasi di berbagai tempat yang sulit diprediksi. Dengan
bendung/bendungan permanen, maka akan terjadi pemutusan ekosistem alur sungai
secara drastis dari ekosistem yang bersifat terbuka dari hulu hingga hilir, menjadi
ekosistem yang terpisah. Sungai bukan lagi sebagai ekosistem terbuka tapi suatu
ekosistem yang semi terbuka atau tertutup. Penanggulan dampak negatif dari ketidak-
seimbangan angkutan sedimen ini adalah dengan cara membangun bendung semi
permanen atau bendung karet. Untuk konsentrasi bendungan sampai saat ini belum

34
ada teknologi yang efektif untuk dapat menjamin keseimbangan sedimen hulu-hilir.
Teknologi pipa pengurasan (culvert) juga belum bisa menanggulangi masalah ini.

b. Merubah elevasi muka air tanah (Change of groundwater tables)

Dengan pembendungan maka akan terjadi perubahan muka air tanah.


Peningkatan muka air tanah ini tidak mesti berdampak positif bagi vegetasi di tempat
yang bersangkutan. Karena banyak vegetasi yang tidak sesuai hidup pada kondisi
muka air tanah tinggi. Sehingga perlu diupayakan konservasi dan kompensasinya.

c. Pengurangan debit pada sungai utama (Water deficit)

Pada pembangunan bendung, sering sungai utama akan menderita defisit air.
Gambar 4.12 di bawah ini suatu contoh pembangunan bendung untuk pembangkit
tenaga air dengan menggunakan konstruksi kering. Dengan jonstruksi tersebut, satu
sisi mudah mengerjakannya karena semua konstruksi dikerjakan di tempat yang
kering. Setelah selesai bagian akhir pembatas sungai dengan saluran dibuka. Namun
jika jumlah air yang dipakai untuk memutar turbin melebihi batas maksimal,
sehingga air yang masih mengalir ke sungai utama di bawah debit air minimum yang
harus ada untuk ekologi, maka ekosistem sungai utama rusak. Pada hakekatnya
ekosistem sungai memerlukan debit minimal atau tinggi muka air minimal untuk
menjamin kelangsungan hidup ekosistem tersebut. Oleh karena itu perlu ditetapkan
dulu debit minimal yang harus disediakan di sungai utama tersebut. Demikian juga
bendung-bendung irigasi yang mengambil sebagian besar air sungai untuk pertanian,
perlu dikaji terlebih dulu tentang kebutuhan air untuk ekologi bagian hilir sungai.

35
Gambar 4.21 Bangunan bendung, sungai asli mengalami defisit air

d. Peningkatan luas genangan (Enlargement of inundated area)

Pembangunan bendung-bendungan di suatu sungai biasanya menimbulkan


perluasan area genangan. Perluasan area genangan ini selain berdampak positif
terhadap meningkatnya konservasi air, juga dapat berdampak negatif terhadap
ekosistem wilayah sungai yang tergenangi. Panjang daerah yang terkena dampak
negatif terhadap ekosistem sungai bagian hulu pembendungan adalah sepanjang back
water effect. Pada prinsipnya dengan penggenangan ini akan menyebabkan terjadinya
penurunan kecepatan air (mendekati tidak bergerak) dan kedalaman air bertambah
dll. Perubahan kecepatan dan kedalaman air ini jelas akan berdampak pada flora dan
fauna di bagian hulu bendung atau bendungan tersebut. Penyelesaian masalah ini
adalah dengan cara memperkecil areal genangan. Dalam perencanaannya harus
dipilih suatu tempat yang mempunyai head cukup dengan areal genangan seminimal
mungkin.

36
e. Menurunkan dinamik alamiah sungai (Decline of natural river dynamics)

Sungai sebagai suatu sistem alamiah mempunyai derajat dinamik tinggi. Dalam
arti, dengan heterogenitas fisik sungai alamiah yang tinggi, mendorong terjadinya
dinamisasi sungai yang tinggi. Dinamisasi sungai tersebut akan berkurang jika di
sungai dibangun bendung missal untuk hydro power plant. Dengan bendung dan
saluran buatan, kondisi sungai menjadi homogin. Misalnya kecepatan air akan
menjadi no, maka air akan relatif tetap (homogen), dan profil melintang dan
memanjang berbentuk trapesium atau segiempat (homogin). Dengan kondisi
homogen ini maka deversivikasi vegetasi dan fauna akan menurun. Penyelesaian
masalah ini dapat dilakukan dengan membangun bendung gerak. Jika hal ini tidak
memungkinkan dapat dilakukan dengan cara kompensasi linkungan, yaitu mengganti
kondisi heterogen sepanjang back water tile yang ada di tempat lain.

f. Memutuskan daur hidup jenis ikan tertentu (Interruption of fish migrations)

Dampak biotik dari pembangunan bendung dan bendungan adalah memutus daur
hidup ikan jenis tertentu. Pada umumnya suatu sungai memiliki berbagai macam
jenis ikan, sebagian dari ikan tersebut biasanya juga mempunyai perilaku migrasi dari
hulu ke hilir atau dari hilir ke hulu. Dengan dibangunnya bendung/bendungan
melintang sungai maka kemungkinan terjadi migrasi dalam sungai sangat kecil atau
tertutup. Ikan tidak dapat bermigrasi lagi, akhirnya ikan-ikan dengan sifat migrasi ini
akan punah. Jenis fauna yang bermigrasi ini tidak hanya ikan saja, namun banyak
dari beberapa jenis fauna lainnya seperti kepiting, udang, belut dll. Penyelesaian
masalah ini adalah dengan membangun bangunan kemenerusan sungai, misal
fishway (tanpa ikan).

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1) Dampak Koreksi Sungai ; Pelurusan, Sudetan, Pengerukan, Perkerasan


Tebing Sungai (Impacts Of River Correction)

1. Dampak Abiotik (Abiotik Impacts)

a. Perubahan drastis morphologi sungai

b. Penurunan tahanan aliran (Decrease of flow resistance)

c. Meningkatkan slope memanjang sungai (Increase of river bed slope dan


memendekkan panjang alur sungai (decrease of river length)

d. Meningkatkan debit air di hilir (Increase of river discharge) dan


memendekkan waktu debit mencapai puncak (decrease of peak time)

e. Meningkatkan kemungkinan kejadian banjir (increase of flood even


probabilities)

f. Meningkatkan erosi dan transport sediman (Increase of erosian and


sediment transport rate)

g. Kerusakan struktur dasar sungai (Destruction of bed forms)

h. Menurunkan daya dinamis sungai (Decline of river dynamics)

i. Peningkatan biaya pemeliharaan sungai (Increase of meintanance cost)

38
j. Meningkatkan temperatur air (Raise of water temperature)

k. Penurunan muka air tanah (Decrease of groundwater tables)

2. Dampak Biotik (Biotic Impacts)

a. Penurunan kualitas dan kuantitas habitat sungai (Decrease of river habitats)

b. Penurunan jumlah flora dan fauna sungaim (Decrease of flora and fauna
number)

c. Penurunan tingkat heterogenitas wilayah sungai(Decline of river


heterogenity)

d. Kerasukan ekosistem sungai (Destruction of river ecosystem)

3. Dampak Koreksi Sungai pada Pembangunan Transportasi Sungai

1. Dampak abiotik (Biotic impacts)

Dampak abiotik pembangunan transportasi sungai diantaranya adalah terjadinya


kerusakan struktur dasar sungai karena laju kapal/propelar kapal di samping juga
penurunan atau peningkatan muka air, kenaikan tinggi gelombang, polusi dan
kerusakan tebing sungai akibat gempuran gelombang kapal. Dengan ukuran kapal dan
laju kecepatan yang tidak proporsional dengan ukuran sungai maka seluruh komponen
abiotik badan sungai akan mengalami perubahan atau kerusakan.

2. Dampak biotik (Biotic impacts)

Dampak biotik akibat pengembangan transportasi sungai adalah semakin


penurunan kualitas dan kuantitas habitat sungai dan akibat selanjutnya adalah

39
penurunan jumlah flora dan fauna sungai. Semakin intensif transportasi sungai
mengakibatkan semakin intensifnya gangguan terhadap habitat flora dan fauna sungai.
Dalam hal ini perlu penelitian daya dukung ekologi lingkungan sungai kaitannya
dengan pemanfaatannya untuk transportasi air.

2) Dampak Pembangunan Bendungan dan Bendungan di Sungai (Dampak Biotik dan


Abiotik)

a. Mengubah keseimbangan angkutan sedimen (Change of srdiment balance)

b. Merubah elevasi muka air tanah (Change of groundwater tables)

c. Pengurangan debit pada sungai utama (Water deficit)

d. Peningkatan luas genangan (Enlargement of inundated area)

e. Menurunkan dinamik alamiah sungai (Decline of natural river dynamics)

f. Memutuskan daur hidup jenis ikan tertentu (Interruption of fish


migrations).

40

Anda mungkin juga menyukai