Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adult Respiratory Distress Syndrome didefinisikan pertama kali tahun 1994 oleh

AECC (American-European Consensus Conference). Acute Respiratory Distress Sydrome

(ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat daruratan di bidang pulmonology yang terjadi

karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang menyebabkan terjadinya gangguan per-

tukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Acute respiratory

distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut yang memerlukan perawatan

di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang tinggi. (Kapadia and

Bhutada, 2015)

Di Amerika Serikat insidens ARDS pada orang dewasa tahun 2005 diperkirakan

200.000 kasus per tahun dengan angka mortalitas 40%. Acute Respiratory Distress Sindrome

dapat terjadi pada semua kelompok umur, dari anak-anak sampai dewasa. Insidens ARDS

meningkat dengan pertambahan usia, berkisar 16 kasus per 100.000 per tahun pada rentang

usia 15-19 tahun dan meningkat menjadi 306 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia

75-84 tahun. (Young and O’Sullivan, 2016)

Adult Respiratory Distress Syndrome dapat disebabkan karena inflamasi, infeksi,

gangguan vaskular dan trauma di intratorakal maupun ekstratorakal. Menentukan etiologi

1
ARDS sangat penting secara klinis agar dapat dilakukan tatalaksana dengan tepat. Acute Res-

piratory Distress Syndrome dapat disebabkan oleh mekanisme langsung di paru maupun

mekanisme tidak langsung di luar paru. Etiologi ARDS akibat kelainan primer paru dapat

terjadi akibat aspirasi, pneumonia, inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan ektra-

paru terjadi akibat sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan

seperti heroin Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik yang disebabkan

oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah sepsis berat

akibat infeksi lain di luar paru. Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan

terjadinya ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus trauma),

riwayat merokok, dan riwayat alkoholik. (Young and O’Sullivan, 2016)

Oleh karena itu, penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus dari

perawat untuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut dikarenakan

klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat mengancam jiwa klien

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep penyakit syndrome distress pernapasan dewasa (ARDS)?

2. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada penyakit syndrome distress pernapasan

Dewasa (ARDS) ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

2
Untuk mengetahui penerapan asuhan keperawatan pada penyakit syndrome distress

pernapasan

1.3.2 Tujuan Khusus

1.Bagaimanakah konsep penyakit syndrome distress pernapasan dewasa?

2.Bagaimanakah asuhan keperawatan pada penyakit syndrome distress pernapasan

dewasa ?

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memperkaya sumber pengetahuan terkait dengan penyakit syndrome distress pernapasan de-

wasa

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi pasien dan keluarga

Manfaat penulisan Supaya pasien dan keluarga dapat mengetahui perawatan secara

mandiri pada penyakit syndrome distress pernapasan dewasa

2. Bagi instansi rumah sakit

Bermanfaat bagi rumah sakit sebagai standar operasional prosedur dalam menyikapi

masalah kelengkapan anamnesis pasien dengan masalah syndrome distress pernapa-

san dewasa

3
3. Bagi instansi pendidikan

Dapat menambah pengetahuan dan sumbangan pemikiran tentang penyakit syndrome

distress pernapasan dewasa

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Penyakit Syndrome Distress Pernapasan Dewasa

2.1.1 Definisi

Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh pada tahun 1967. Menurut

Asbaugh dkk, ARDS didefinisikan sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat

bilateral yang difus pada foto toraks dan penurunan komplians atau daya regang paru.

(Bramantyo, Martuti and Pudjiastuti, 2018)

Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat da-

ruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang

menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan

menjadi berkurang. (Young and O’Sullivan, 2016) Definisi ARDS mengalami perkembangan

dari waktu ke waktu. Adult Respiratory Distress Syndrome didefinisikan pertama kali tahun

1994 oleh AECC (American-European Consensus Conference). Definisi ARDS menurut

AECC adalah:

1) Gagal napas dengan onset yang bersifat akut

2) Rasio PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg

3) Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru kardiogenik.

5
4) Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-tanda

peningkatan tekanan pada atrium kiri.

Derajat hipoksemia untuk membuat diagnosis ARDS ditentukan dengan rasio tekanan parsial

oksigen pada darah arteri (PaO2) dengan fraksi oksigen pada udara inspirasi (FiO2). Nilai

PaO2 didapat dari hasil pemeriksaan analisis gas darah dengan memperhatikan berapa liter

oksigen yang diberikan saat pengambilan spesimen darah. Fraksi oksigen didapat dengan

memperhatikan jumlah oksigen yang diberikan. Dengan pemberian oksigen binasal setiap 1

liter akan akan meningkatkan FiO2 4 % dan nilai tersebut ditambahkan dengan nilai FiO2

pada room air yang besarnya 21 %. Dengan pemberian oksigen melalui simple mask dimana

oksigen yang diberikan 8-10 liter maka besarnya FiO2 adalah 100 %. Kriteria ARDS

menurut AECC adalah bila didapatkan perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, sedangkan

bila perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg sesuai dengan ALI (Acute Lung Injury).

Dalam penggunaan kriteria AECC tersebut, terdapat beberapa keterbatasan sehingga definisi

ARDS diperbaharui di tahun 2011 dalam Kriteria Berlin. Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS

didefinisikan berdasarkan waktu, gambaran foto toraks, penyebab edema paru, dan derajat

hipoksemia. Definisi ARDS berdasarkan Kriteria Berlin dapat dilihat pada tabel 1. Pada

kriteria Berlin, PAWP tidak digunakan lagi dalam kriteria diagnosis, demikian juga dengan

terminologi ALI dan digantikan dengan pembagian subgroup ARDS berdasarkan tingkat

keparahan hipoksemia. (Young and O’Sullivan, 2016)

6
Tabel 2.1.1

Acute Respiratory Distress Syndrome

Waktu Gejala respirasi yang baru dirasakan

maupun yang memberat, terjadi dalam 1

minggu

Foto thoraks Opasitas bilateral, bukan disebabkan

oleh efusi, atelektasis maupun nodul

paru

Sumber edema Disebabkan oleh kegagalan respirasi,

bukan disebabkan karena gagal jantung

maupun kelebihan cairan

Derajat Hipoksia

Ringan 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 300

mmHg dengan PEEP atau CPAP ≥ 5

Sedang cmH2O

100 mmHg < PaO2/FIO2 < 200

Berat mmHg dengan PEEP > 5 cmH2O

PaO2/FIO2 ≤ 100 mmHg dengan

PEEP ≥ 5 cmH2O

Sumber, Berlin, 2011

7
2.1.2 Etiologi

Adult Respiratory Distress Syndrome dapat disebabkan karena inflamasi, infeksi,

gangguan vaskular dan trauma di intratorakal maupun ekstratorakal. Menentukan etiologi

ARDS sangat penting secara klinis agar dapat dilakukan tatalaksana dengan tepat. Acute Res-

piratory Distress Syndrome dapat disebabkan oleh mekanisme langsung di paru maupun

mekanisme tidak langsung di luar paru. Etiologi ARDS akibat kelainan primer paru dapat

terjadi akibat aspirasi, pneumonia, inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan ektra-

paru terjadi akibat sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan

seperti heroin (table 2). Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik yang

disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah

sepsis berat akibat infeksi lain di luar paru. Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat

meningkatkan terjadinya ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada

kasus trauma), riwayat merokok, dan riwayat alkoholik. Skor APACHE (Acute Physiology

and Chronic Health Evaluation) yang semakin besar juga meningkatkan risiko kejadian

ARDS. Saat ini faktor risiko yang sedang dipelajari adalah faktor risiko genetik yaitu asosiasi

antara variasi gen (gen FAS) dengan tingkat kejadian ARDS. (Young and O’Sullivan, 2016)

Tabel 2.1.2 :

Kerusakan Paru Langsung Kerusakan Paru tidak Langsung

Pneumonia Sepsis

Aspirasi cairan lambung Trauma

Kontusio paru Fraktur multipel

8
Near drowning Flail chest

Trauma inhalasi Trauma kepala

Luka bakar

Transfusi

Overdosis obat

Pankreatitis

Pasca bypass kardiopulmonal

Sumber, (Young and O’Sullivan, 2016)

2.1.3 Manifestasi klinis

Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang berkembang dengan

cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif,

pankreatitis, maupun aspirasi. Pada sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS jelas

didapat, namun pada beberapa kasus (seperti pada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit

diidentifikasi. Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat

injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lainnya.

9
2.1.4 WOC ( Web Of Coution)

10
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostik ARDS dapat dibuat berdasarkan pada kriteria berikut :

1. Infiltratpulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran Rontgen thoraks.

11
Gambar, 2.1.5

2. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi oksigen

yang dihirup).

3. Chest X—ray: pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat juga ter-

lihat adanya bayangan infiltrat yang terletak di tengah region perihilar paru-paru.

Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan infil-

12
trat alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan lobus paru-paru.

Tidak terjadi pembesaran pada jantung.

4. ABGs: hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnia (penurunan nilai CO2 dapat

terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap hiperventilasi),

hiperkapnia (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan pernapasan. Alkalosis-

respiratori (pH> 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis dapat juga

timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan anatomi-

caldeadspace dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis metabolisme dapat tim-

bul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai laktat darah,

akibat metabolisme anaerob.

5. Pulmonary Function Test: kapasitas pengisian paru-paru dan volume paru-paru

menurun, terutama PRC, peningkatan anatomicaldeadspace dihasilkan oleh area

di mana timbul vasokonstriksi dan mikroemboli.

2.1.6 Penatalaksanaan

1. Medis

Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada pengobatan.

Oleh karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan pencegahan terhadap kemuncu-

lan ARDS. Hal-hal penting yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik adalah

faktor-faktor predisposisi seperti sepsis, pneumonia aspirasi, dan deteksi dini ARDS.

Pengobatan dalam masa laten lebih besar kemungkinannya untuk berhasil daripada

jika dilakukan ketika sudah timbul gejala ARDS.

13
Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiologinya berbeda, yaitu mengem-

bangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri dan oksigeni-

sasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam-basa, dan sirkulasi dalam tingkat

yang dapat ditoleransi sampai membran alveoli kapiler utuh kembali.

Pemberian cairan harus dilakukan secara saksama, terutama jika ARDS disertai ke-

lainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan permeabilitas kapiler paru,

cairan dari sirkulasi merembes ke jaringan interstisial dan memperberat edema paru. Cairan

yang diberikan harus cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung

yang tidak cepat, ekstremitas hangat, dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau

memperberat edema paru. Jika perlu dimonitor dengan kateter SwanGanz dan teknik ther-

modelution untuk mengukur curah jantung.

Pemberian albumin tidak terbukti efektifpada ARDS, sebab pada kelainan permeabili-

tas yang luas, albumin akan ikut masuk ke ruang ekstravaskular. Peranan kortikosteroid pada

ARDS masih diperdebatkan. Kortikosteroid biasanya diberikan dalam dosis besar, pemberian

metilprednisolon 30 mg/kgBB secara intravena setiap 6 jam sekali lebih disukai, kortikoster-

oid terutama diberikan pada syok sepsis.

2. keperawatan

Menurut Yasmin & kristanti 2003

1) Mempertahankan pertukaran gas yang adekuat melalui oksigen ( pertahankan terapi

oksigen sesuai dengan kesanan dan pantau tanda-tanda hipoksemi

2) Mempertahankan perfusi jaringan. Pemulihan perfusi jaringan yang adekuat

a. pantau tekanan pumonari kapileri wetge

14
b. kaji keluaran urine, ttv dan ekstremitas setiap jam

3). menurunkan ansietas klien dan keluarganya

a. pastikan fungsi ventilator yang tepat untuk memberikan volume tidal dan konsentrasi

oksigen yang adekuat

b. identifikasi cara-cara agar klien dapat mengkomunikasikan kekhawatiran dan

mengekspreikan perasaannya

c. berikan penjelasan yang singkat dan sederhana mengenai prosedur oriensikan klien

terhdap lingkungan sekitar dan ulangi penjelasan secara teratur

d. berikan penjelasan tentang rutinitas keperawatan lingkungan kepada keluarga klien,

dorong keluarga klien untuk mendekati berbicara dan menyentuh klien jika mereka

mengkehendaki

4). Mepertahankan nutrisi yang adekuat

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Syndrom Distres Pernapasan Dewasa

2.2.1 Pengkajian

a. Pengkajian primer

1) Airway

a) Peningkatan sekresi pernapasan

b) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi

c) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,

d) Jalan napas bersih atau tidak

2) Breathing

15
a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, re-

traksi.

b) Peningkatan frekuensi nafas.

c) Nafas dangkal dan cepat

d) Kelemahan otot pernapasan

e) Reflek batuk ada atau tidak

f) Penggunaan otot Bantu pernapasan

g) Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak

h) Irama pernapasan : teratur atau tidak

i) Bunyi napas Normal atau tidak

3) Circulation

a) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia

b) Sakit kepala

c) Gangguan tingkat kesadaran

4) Disability

a) Keadaan umum : GCS, tingkat kesadaran, nyeri atau tidak

b) Adanya trauma atau tidak pada thoraks

5) Exposure

a) Enviromental control

16
b) Buka baju penderita tetapi cegah terjadinya hipotermia

b. Pengkajian Sekunder

1) Identitas Pasien

Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, Tanggal Peng-

kajian.

2) Riwayat Penyakit Sekarang

Kaji apakah klien sebelum masuk rumah sakit memiliki riwayat penyait yang

sama ketika klien mauk rumah sakit.

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji apakah klien pernah menderita riwayat penyakit yang sama sebelumnya.

4) Pemeriksaan Fisik

a) B1 (Breath)

Sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, apakah terdapat suara tambahan seperti

krekel, ronchi, wheezing.

b) B2 (Blood)

Takikardi, tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya

hipoksemia).

c) B3 (Brain)

17
Tingkat kesadaran menurun (seperti bingung atau agitasi), pingsan, nyeri

kepala (penyebabnya karena adanya trauma), mata berkunang-kunang,

berkeringat banyak.

d) B4 (Bowel)

Adakah penurunan prouksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan

adanya gangguan perfusi ginjal).

e) B5 (Bladder)

Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutri-

si dan cairan akan memperberat keadaan seperti cairan yang berlebihan dan

albumin yang rendah akan memperberat edema paru.

f) B6 (Bone)

Kelemahan otot, mudah lelah

2.2.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sindrom hipoventilasi (0005)

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi

(0003)

c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus yang berlebih

(0001)

18
Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Ketidakefektifan pola nafas Tujuan : Manajemen Jalan Nafas ( NIC hal 577 )
berhubungan dengan sin- Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Monitor status pernafasan dan oksigenasi
drom hipoventilasi (0005) keperawatan selama 1 x 24 jam, ma- sebagaimana mestinya.
salah ketidakefektifan pola nafas 2. Posisikan pasien untukmemaksimalkan ventilasi.
teratasi. 3. Instruksikan bagaimana agar bisa melakukan
Kriteria Hasil : batuk efektif.
1. mendemonstrasikan batuk efektif 4. Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya.
dan suara napas yang bersih, tidak Buang secret dengan memotivasi pasien
ada cyanosis dan dyspnea ( mampu Untuk melakukan batuk atau menyedot lender.
mngeluarkan sputum, mampu 5. Auskultasi suara nafas, catat area yang
bernapas dengan mudah, tidak ada ventilasinya menurun atau tidak ada dan
purset lips) adanya suara tambahan.
2. menunjukan jalan napas yang 6. Kolaborasi dengan tim medis untuk
paten ( klien tidak merasa tercekik, melakukan nebulizer.
frekuensi nafas dalam rentang nor-
mal, tidak ada suara napas abnormal
)
3. tanda-tanda vital dalam rentang

19
Gangguan pertukaran gas normal
berhubungan dengan ketid- 1. pertahankan kepatenan jalan nafas
2. akseimbangan perfusi Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2. monitor pola nafas
keperawatan selama 2 X 24 jam ,
(00030) 3. pertahankan akses intravena
masalah gangguan pertukaran gas
4. sediakan sungkup oksigen untuk pasien
dapat teratasi dengan :
hiperventilasi, sesuai dengan kebutuhan.
Kriteria hasili :
5. tingkatkan waktu istirahat yang cukup,
1. mendemonstrasikan peningkatan
mminimal 90 menit tidur tidak terganggu (
ventilasi dan oksigenasi yang ad-
ekuat misalnya, dengan perawatan yang terorgan-
2. memelihara kebersihan paru-paru isir, batasi pengunjung, konsultasi yang
dan bebas dari tnda-tnada distress dikonrdinir ) sesuai dengan kebutuhan.
pernapasan
3. mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada cyanosis dan dyspnea ( mampu
mengeluarkan sputum, mampu
bernapasa dengan normal, tidak ada
purset lips )
4. tanda- tanda vital dalam rentang
normal

20
Ketidakefektifan bersihan Tujuan : setelah dilakukan tindakan
3. jalan nafas berhubungan keperawatan selama 1 x 24 jam, ma- 1. posisikan pasien untuk memaksimalkan venti-
dengan mukus yang ber- salah ketidakefektifan bersihan jalan lasi
napas dapat teratasi, dengan kriteria
lebih (00031) 2. lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mesti-
hasil :
nya
1. mendemonstrasikan batuk efektif
3. buang secret dengan memotivasi pasien untuk
dan suara napas yang bersih, tidak
melakukan batuk atau penyedot lender
ada cyanosis dan dyspnea ( mampu
mngeluarkan sputum, mampu 4. motivasi pasien untuk bernapas pelan, dalam,
bernapas dengan mudah, tidak ada berputar dan batuk
purset lips) 5. instruksikan agar bagaimana bisa melakukan
2. menunjukan jalan napas yang batuk efektif
paten ( klien tidak merasa tercekik, 6. auskultasi suara napas, catat area yang venti-
irama napas, frekuensi pernapasan lasinya menurun atau tidak ada dan adanya suara
dalam rentang normal, tidak ada
tambahan.
jalan napas abnormal )
3. mampu mengidentifikasikan dan
mencegah factor yang dapat meng-
hambat jalan napas

21
22
BAB III

ANALISIS JURNAL

Tabel 3.1

No Nama Penulis, Tahun, Desain Sampel Variable Intervensi Analisa Hasil penilitian Kesimpulan
Judul
Penilitian
1. Efektivitas Penggunaan Desain 30sampel Penggunaan Penggunaan Dari data demo- Penggunaan NIV
Ventilasi NIV pada
Ventilasi Non-Invasif paralel pasien de- Non-Invasif pasien gagal grafi tidak pada pasien gagal
dan Pasien napas pada 3
pada Pasien Gagal Napas randomized wasa. Gagal Napas jam pertama didapatkan perbe- napas pada

di ICU RS Dr Sardjito controlled daan yang ber- 3 jam pertama lebih

(Napas and Sardjito, trial (RCT) makna secara efektif dalam mem-

2015) statistik (p>0,05) perbaiki

antara klinis respirasi, ka-

kedua kelompok dar pCO2 dan rasio

penelitian. Hasil P/F dibanding

analisis menun- penggunaan venti-

23
jukkan bahwa se- lasi mekanik dengan

bagian besar intubasi.

pasien akan

mendapatkan per-

lakuan NIV dan

Intubasi memiliki

frekuensi napas

yang cepat. Untuk

perlakuan NIV,

diperoleh nilai

p-value diperoleh

0,01>0,05, artinya

terdapat hubungan

bermakna antara

rasio P/F dengan

kadar pCO2

24
dan frekuensi na-

pas pada pasien

gagal napas yang

diberikan tindakan

NIV. Namun

secara klinis ter-

dapat

perbaikan frek-

uensi napas

setelah dilakukan

NIV.

2. Extracorporeal membrane
oxygention (ecmo) pada
pasien (Mujahidin, 2016)

25
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat daruratan di

bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang menyebab-

kan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan menjadi

berkurang. Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik yang disebabkan oleh

bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah sepsis berat akibat

infeksi lain di luar paru. Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan terjadinya

ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus trauma), riwayat

merokok, dan riwayat alkoholik. Skor APACHE (Acute Physiology and Chronic Health

Evaluation) yang semakin besar juga meningkatkan risiko kejadian ARDS.

4.2 SARAN

1. Bagi pasien dan keluarga

Hasil penulisan ini mampu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang

perawatan secara mandiri pada penyakit syndrome distress pernapasan dewasa

2. Bagi instansi rumah sakit

Hasil penulisan ini diharapkan bagi instansi rumah sakit sebagai standar operasional

prosedur dalam menyikapi masalah kelengkapan anamnesis pasien dengan masalah

syndrome distress pernapasan dewasa

26
3. Bagi instansi pendidikan

Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan sumbangan

pemikiran tentang penyakit syndrome distress pernapasan dewasa

27
DAFTAR PUSTAKA

Bramantyo, T. B., Martuti, S. and Pudjiastuti, P. (2018) ‘Perbandingan Mortalitas Pasien

Anak dengan Acute Respiratory Distress Syndrome yang Menggunakan Delta Pressure

Tinggi dan Rendah’, Sari Pediatri, 19(3), p. 156. doi: 10.14238/sp19.3.2017.156-60.

Kapadia, F. N. and Bhutada, U. (2015) ‘Mechanical ventilation in acute respiratory distress

syndrome’, ICU Protocols: A Stepwise Approach. Journal of Intensive Care, pp. 39–49. doi:

10.1007/978-81-322-0535-7_5.

Mujahidin (2019) ‘Tinjauan pustaka extracorporeal membrane oxygention (ecmo)’, pp. 144–

156.

Napas, G. and Sardjito, R. S. (2015) ‘Efektivitas Penggunaan Ventilasi Non-Invasif’,

3(November), pp. 13–25.

Young, L. and O’Sullivan, F. (2016) ‘Acute respiratory distress syndrome’, Anaesthesia and

Intensive Care Medicine, 17(10), pp. 526–528. doi: 10.1016/j.mpaic.2016.07.006.

28

Anda mungkin juga menyukai