PENDAHULUAN
Adult Respiratory Distress Syndrome didefinisikan pertama kali tahun 1994 oleh
(ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat daruratan di bidang pulmonology yang terjadi
karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang menyebabkan terjadinya gangguan per-
tukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Acute respiratory
distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut yang memerlukan perawatan
di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang tinggi. (Kapadia and
Bhutada, 2015)
Di Amerika Serikat insidens ARDS pada orang dewasa tahun 2005 diperkirakan
200.000 kasus per tahun dengan angka mortalitas 40%. Acute Respiratory Distress Sindrome
dapat terjadi pada semua kelompok umur, dari anak-anak sampai dewasa. Insidens ARDS
meningkat dengan pertambahan usia, berkisar 16 kasus per 100.000 per tahun pada rentang
usia 15-19 tahun dan meningkat menjadi 306 kasus per 100.000 per tahun pada rentang usia
1
ARDS sangat penting secara klinis agar dapat dilakukan tatalaksana dengan tepat. Acute Res-
piratory Distress Syndrome dapat disebabkan oleh mekanisme langsung di paru maupun
mekanisme tidak langsung di luar paru. Etiologi ARDS akibat kelainan primer paru dapat
terjadi akibat aspirasi, pneumonia, inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan ektra-
paru terjadi akibat sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan
seperti heroin Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik yang disebabkan
oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah sepsis berat
akibat infeksi lain di luar paru. Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan
terjadinya ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus trauma),
Oleh karena itu, penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus dari
perawat untuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut dikarenakan
klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat mengancam jiwa klien
Dewasa (ARDS) ?
2
Untuk mengetahui penerapan asuhan keperawatan pada penyakit syndrome distress
pernapasan
dewasa ?
Memperkaya sumber pengetahuan terkait dengan penyakit syndrome distress pernapasan de-
wasa
Manfaat penulisan Supaya pasien dan keluarga dapat mengetahui perawatan secara
Bermanfaat bagi rumah sakit sebagai standar operasional prosedur dalam menyikapi
san dewasa
3
3. Bagi instansi pendidikan
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.1 Definisi
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh pada tahun 1967. Menurut
Asbaugh dkk, ARDS didefinisikan sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat
bilateral yang difus pada foto toraks dan penurunan komplians atau daya regang paru.
Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat da-
ruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang
menjadi berkurang. (Young and O’Sullivan, 2016) Definisi ARDS mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu. Adult Respiratory Distress Syndrome didefinisikan pertama kali tahun
AECC adalah:
3) Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru kardiogenik.
5
4) Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-tanda
Derajat hipoksemia untuk membuat diagnosis ARDS ditentukan dengan rasio tekanan parsial
oksigen pada darah arteri (PaO2) dengan fraksi oksigen pada udara inspirasi (FiO2). Nilai
PaO2 didapat dari hasil pemeriksaan analisis gas darah dengan memperhatikan berapa liter
oksigen yang diberikan saat pengambilan spesimen darah. Fraksi oksigen didapat dengan
memperhatikan jumlah oksigen yang diberikan. Dengan pemberian oksigen binasal setiap 1
liter akan akan meningkatkan FiO2 4 % dan nilai tersebut ditambahkan dengan nilai FiO2
pada room air yang besarnya 21 %. Dengan pemberian oksigen melalui simple mask dimana
oksigen yang diberikan 8-10 liter maka besarnya FiO2 adalah 100 %. Kriteria ARDS
menurut AECC adalah bila didapatkan perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, sedangkan
bila perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg sesuai dengan ALI (Acute Lung Injury).
Dalam penggunaan kriteria AECC tersebut, terdapat beberapa keterbatasan sehingga definisi
ARDS diperbaharui di tahun 2011 dalam Kriteria Berlin. Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS
didefinisikan berdasarkan waktu, gambaran foto toraks, penyebab edema paru, dan derajat
hipoksemia. Definisi ARDS berdasarkan Kriteria Berlin dapat dilihat pada tabel 1. Pada
kriteria Berlin, PAWP tidak digunakan lagi dalam kriteria diagnosis, demikian juga dengan
terminologi ALI dan digantikan dengan pembagian subgroup ARDS berdasarkan tingkat
6
Tabel 2.1.1
minggu
paru
Derajat Hipoksia
Sedang cmH2O
PEEP ≥ 5 cmH2O
7
2.1.2 Etiologi
ARDS sangat penting secara klinis agar dapat dilakukan tatalaksana dengan tepat. Acute Res-
piratory Distress Syndrome dapat disebabkan oleh mekanisme langsung di paru maupun
mekanisme tidak langsung di luar paru. Etiologi ARDS akibat kelainan primer paru dapat
terjadi akibat aspirasi, pneumonia, inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan ektra-
paru terjadi akibat sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan
seperti heroin (table 2). Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik yang
disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah
sepsis berat akibat infeksi lain di luar paru. Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat
meningkatkan terjadinya ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada
kasus trauma), riwayat merokok, dan riwayat alkoholik. Skor APACHE (Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation) yang semakin besar juga meningkatkan risiko kejadian
ARDS. Saat ini faktor risiko yang sedang dipelajari adalah faktor risiko genetik yaitu asosiasi
antara variasi gen (gen FAS) dengan tingkat kejadian ARDS. (Young and O’Sullivan, 2016)
Tabel 2.1.2 :
Pneumonia Sepsis
8
Near drowning Flail chest
Luka bakar
Transfusi
Overdosis obat
Pankreatitis
Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang berkembang dengan
cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif,
pankreatitis, maupun aspirasi. Pada sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS jelas
didapat, namun pada beberapa kasus (seperti pada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit
9
2.1.4 WOC ( Web Of Coution)
10
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
11
Gambar, 2.1.5
2. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi oksigen
yang dihirup).
3. Chest X—ray: pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat juga ter-
lihat adanya bayangan infiltrat yang terletak di tengah region perihilar paru-paru.
Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan infil-
12
trat alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan lobus paru-paru.
respiratori (pH> 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis dapat juga
bul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai laktat darah,
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Medis
Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada pengobatan.
Oleh karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan pencegahan terhadap kemuncu-
lan ARDS. Hal-hal penting yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik adalah
faktor-faktor predisposisi seperti sepsis, pneumonia aspirasi, dan deteksi dini ARDS.
Pengobatan dalam masa laten lebih besar kemungkinannya untuk berhasil daripada
13
Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiologinya berbeda, yaitu mengem-
bangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri dan oksigeni-
sasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam-basa, dan sirkulasi dalam tingkat
Pemberian cairan harus dilakukan secara saksama, terutama jika ARDS disertai ke-
lainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan permeabilitas kapiler paru,
cairan dari sirkulasi merembes ke jaringan interstisial dan memperberat edema paru. Cairan
yang diberikan harus cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung
yang tidak cepat, ekstremitas hangat, dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau
memperberat edema paru. Jika perlu dimonitor dengan kateter SwanGanz dan teknik ther-
Pemberian albumin tidak terbukti efektifpada ARDS, sebab pada kelainan permeabili-
tas yang luas, albumin akan ikut masuk ke ruang ekstravaskular. Peranan kortikosteroid pada
ARDS masih diperdebatkan. Kortikosteroid biasanya diberikan dalam dosis besar, pemberian
metilprednisolon 30 mg/kgBB secara intravena setiap 6 jam sekali lebih disukai, kortikoster-
2. keperawatan
14
b. kaji keluaran urine, ttv dan ekstremitas setiap jam
a. pastikan fungsi ventilator yang tepat untuk memberikan volume tidal dan konsentrasi
mengekspreikan perasaannya
c. berikan penjelasan yang singkat dan sederhana mengenai prosedur oriensikan klien
dorong keluarga klien untuk mendekati berbicara dan menyentuh klien jika mereka
mengkehendaki
2.2.1 Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway
c) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
2) Breathing
15
a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, re-
traksi.
3) Circulation
b) Sakit kepala
4) Disability
5) Exposure
a) Enviromental control
16
b) Buka baju penderita tetapi cegah terjadinya hipotermia
b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas Pasien
kajian.
Kaji apakah klien sebelum masuk rumah sakit memiliki riwayat penyait yang
Kaji apakah klien pernah menderita riwayat penyakit yang sama sebelumnya.
4) Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breath)
Sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, apakah terdapat suara tambahan seperti
b) B2 (Blood)
hipoksemia).
c) B3 (Brain)
17
Tingkat kesadaran menurun (seperti bingung atau agitasi), pingsan, nyeri
berkeringat banyak.
d) B4 (Bowel)
e) B5 (Bladder)
Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutri-
si dan cairan akan memperberat keadaan seperti cairan yang berlebihan dan
f) B6 (Bone)
(0003)
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus yang berlebih
(0001)
18
Intervensi Keperawatan
19
Gangguan pertukaran gas normal
berhubungan dengan ketid- 1. pertahankan kepatenan jalan nafas
2. akseimbangan perfusi Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2. monitor pola nafas
keperawatan selama 2 X 24 jam ,
(00030) 3. pertahankan akses intravena
masalah gangguan pertukaran gas
4. sediakan sungkup oksigen untuk pasien
dapat teratasi dengan :
hiperventilasi, sesuai dengan kebutuhan.
Kriteria hasili :
5. tingkatkan waktu istirahat yang cukup,
1. mendemonstrasikan peningkatan
mminimal 90 menit tidur tidak terganggu (
ventilasi dan oksigenasi yang ad-
ekuat misalnya, dengan perawatan yang terorgan-
2. memelihara kebersihan paru-paru isir, batasi pengunjung, konsultasi yang
dan bebas dari tnda-tnada distress dikonrdinir ) sesuai dengan kebutuhan.
pernapasan
3. mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada cyanosis dan dyspnea ( mampu
mengeluarkan sputum, mampu
bernapasa dengan normal, tidak ada
purset lips )
4. tanda- tanda vital dalam rentang
normal
20
Ketidakefektifan bersihan Tujuan : setelah dilakukan tindakan
3. jalan nafas berhubungan keperawatan selama 1 x 24 jam, ma- 1. posisikan pasien untuk memaksimalkan venti-
dengan mukus yang ber- salah ketidakefektifan bersihan jalan lasi
napas dapat teratasi, dengan kriteria
lebih (00031) 2. lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mesti-
hasil :
nya
1. mendemonstrasikan batuk efektif
3. buang secret dengan memotivasi pasien untuk
dan suara napas yang bersih, tidak
melakukan batuk atau penyedot lender
ada cyanosis dan dyspnea ( mampu
mngeluarkan sputum, mampu 4. motivasi pasien untuk bernapas pelan, dalam,
bernapas dengan mudah, tidak ada berputar dan batuk
purset lips) 5. instruksikan agar bagaimana bisa melakukan
2. menunjukan jalan napas yang batuk efektif
paten ( klien tidak merasa tercekik, 6. auskultasi suara napas, catat area yang venti-
irama napas, frekuensi pernapasan lasinya menurun atau tidak ada dan adanya suara
dalam rentang normal, tidak ada
tambahan.
jalan napas abnormal )
3. mampu mengidentifikasikan dan
mencegah factor yang dapat meng-
hambat jalan napas
21
22
BAB III
ANALISIS JURNAL
Tabel 3.1
No Nama Penulis, Tahun, Desain Sampel Variable Intervensi Analisa Hasil penilitian Kesimpulan
Judul
Penilitian
1. Efektivitas Penggunaan Desain 30sampel Penggunaan Penggunaan Dari data demo- Penggunaan NIV
Ventilasi NIV pada
Ventilasi Non-Invasif paralel pasien de- Non-Invasif pasien gagal grafi tidak pada pasien gagal
dan Pasien napas pada 3
pada Pasien Gagal Napas randomized wasa. Gagal Napas jam pertama didapatkan perbe- napas pada
(Napas and Sardjito, trial (RCT) makna secara efektif dalam mem-
23
jukkan bahwa se- lasi mekanik dengan
pasien akan
mendapatkan per-
Intubasi memiliki
frekuensi napas
perlakuan NIV,
diperoleh nilai
p-value diperoleh
0,01>0,05, artinya
terdapat hubungan
bermakna antara
kadar pCO2
24
dan frekuensi na-
diberikan tindakan
NIV. Namun
dapat
perbaikan frek-
uensi napas
setelah dilakukan
NIV.
2. Extracorporeal membrane
oxygention (ecmo) pada
pasien (Mujahidin, 2016)
25
BAB IV
4.1 KESIMPULAN
Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat daruratan di
bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang menyebab-
kan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan menjadi
berkurang. Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik yang disebabkan oleh
bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah sepsis berat akibat
infeksi lain di luar paru. Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan terjadinya
ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus trauma), riwayat
merokok, dan riwayat alkoholik. Skor APACHE (Acute Physiology and Chronic Health
4.2 SARAN
Hasil penulisan ini mampu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang
Hasil penulisan ini diharapkan bagi instansi rumah sakit sebagai standar operasional
26
3. Bagi instansi pendidikan
27
DAFTAR PUSTAKA
Anak dengan Acute Respiratory Distress Syndrome yang Menggunakan Delta Pressure
syndrome’, ICU Protocols: A Stepwise Approach. Journal of Intensive Care, pp. 39–49. doi:
10.1007/978-81-322-0535-7_5.
Mujahidin (2019) ‘Tinjauan pustaka extracorporeal membrane oxygention (ecmo)’, pp. 144–
156.
Young, L. and O’Sullivan, F. (2016) ‘Acute respiratory distress syndrome’, Anaesthesia and
28