Anda di halaman 1dari 20

STRATEGI BELAJAR MENGAJAR UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Pembelajaran
Matematika II

OLEH:

KELOMPOK 3
BESSE HARNANENGSI HAR (181050701045)
SUSWANTY ALMARDOTA (181050701050)
AZHAR IBRAHIM (181050701054)
SULFIANA USE (181050701059)
ELIESER KULIMBANG (1050701048)

PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
A. Latar Belakang

Kurikulum pendidikan di Indonesia menempatkan matematika sebagai mata pelajaran


wajib yang diberikan kepada siswa sekolah dasar sampai sekolah menengah. Harapannya
siswa di Indonesia dapat memiliki kemampuan berpikir kritis, logis dan kreatif dalam
meghadapi segala jenis tantangan pada era modern dewasa ini. Hal ini juga ditegaskan oleh
Depdiknas (2006) bahwa salah satu standar kompetensi kelulusan mata pelajaran matematika
untuk satuan pendidikan dasar hingga menengah, agar siswa memiliki kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.

Pentingnya mengajarkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis harus


dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat disepelekan lagi. Penguasaan kemampuan
berpikir kritis tidak cukup dijadikan sebagai tujuan pendidikan semata, tetapi juga sebagai
proses fundamental yang memungkinkan siswa untuk mengatasi ketidaktentuan masa
mendatang (Cabera,1992).

Matematika dianggap mampu untuk menimbulkan serta mengembangkan kemampuan


berpikir, salah satunya kemampuan berpikir kritis. Sehingga diharapkan dengan belajar
matematika, siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis khususnya dalam hal ini
adalah kemampuan berpikir kritis matematisnya. Selain tujuan dalam pembelajaran
matematika menurut Utami Sumarmo dalam bukunya (2017) menyebutkan setidaknya ada
tiga alasan menagapa kemampuan berpikir kritis sangat di perlukan seseorang khususnya bagi
siswa yaitu: alasan pertama tututan zaman yang mengharuskan seseorang untuk mencari,
memilih dan mengggunakan informasi untuk menjalani kehidupannya. Kedua setiap orang
dalam kehidupannnya selalu di hadapkan dengan masalah dan sebuah pilihin, yang terkadang
masalah dan pilihan itu cukup berat dalam kehidupannya, oleh sebab itu seseorang di tutuntut
mampu berpikir kritis dalam menghadapinya dan memilih pilihan yang terbaik untuk dirinya.
Ketiga setiap orang khususnya peserta didik dapat berkompetisi secara sehat dan adil serta
mampu bekerjasama dengan orang lain dalam memecahkan permasalahan hidup.

Upaya memfasilitasi agar kemampuan berpikir kritis siswa berkembang menjadi sangat
penting, mengingat beberapa hasil penelitian masih mengindikasikan rendahnya kemampua
berpikir kritis siswa di Indonesia. Hasil penelitian Suryanto dan Somerset (Zulkardi, 2001)
terhadap 16 SMP pada beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa hasil tes mata
pelajaran matematika sangat rendah, terutama pada soal cerita (aplikasi matematika).
Kemampuan aplikasi merupakan bagian dari domain kognitif yang lebih rendah daripada
kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi. Padahal ketiga kemampuan tersebut digolongkan
oleh Bloom dalam kemampuan berpikir kritis (Duron dkk, 2006).

Kemampuan kritis merupakan hal yang penting, namun kenyataan dilapangan belum
sesuai dengan yang diharapkan. Hasil TIMSS dan PISA juga mengidentifikasi bahwa
kemampuan berpikir kritis matematis siswa Indonesia masih kurang memuaskan. TIMSS atau
Trends in Mathematics and Science Study adalah sebuah riset internasional untuk mengukur
kemampuan anak anak kelaas 4 dan kelas 8 dibidang matematika dan IPA. Hal ini dapat dilihat
dari hasil data TIMSS dari tahun ke tahun sebagai berikut:

No Tahun Peringkat Banyaknya Negara yang mengikuti


TIMSS
1 1995 38 40 Negara
2 1999 34 38 Negara
3 2003 35 50 Negara
4 2007 36 49 Negara
5 2011 38 42 Negara
6 2015 45 50 Negara
Sumber: http://m.bernas.id

Dengan diagram hasil TIMSS untuk bidang study matematika sebagai berikut :

HASIL TIMSS
45
38

38
36
35
34
PERINGKAT

1995 1999 2003 2007 2011 2015


TAHUN
Hasil PISA tahun 2012 yang diikuti oleh 34 negara anggota OECD dan 31 negara mitra
(termasuk Indonesia) menempatkan posisi Indonesia pada urutan ke 64 dari 65 negara
partisipan. Menurut Noer (2009), hasil studi TIMSS terungkap bahwa siswa Indonesia lemah
dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan justifikasi atau pembuktian
dan pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan generalisasi
atau konjektur dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan.
Sedangkan dalam studi PISA, siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal soal yang
difokuskan pada Mathematic literacy yang ditunjukkan oleh kemampuan siswa dalam
menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam
kehidupan sehari hari. Berdasarkan fakta diatas, dapat dikatakn bahwa kemampuan
pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif pada umumnya masih
rendah.

B. Kajian Teori

a. Pengertian Berpikir Kritis


Menurut Schafersman, berpikir kritis adalah suatu kegiatan berpikir dengan benar dan
memperoleh pengetahuan yang relevan dan reliabel. Menurut Ennis, berpikir keritis adalah
pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk menentukan apa yang mesti
dilakukan. Menurut Johnson, bepikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara
terorganisasi dan merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot
pendapat pribadi dan pendapat orang lain. Menurut Fisher, berpikir kritis adalah mode berpikir
mengenai hal, substansi, atau masalah apa saja dimana si pemikir meningkatkan kualitas
pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam
pemikiran dan menerapkan standar intelektual padanya (Masrukan, 2016: 608).

Berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat diperlukan pada zaman sekarang.
Selain itu, berpikir kritis juga memiliki manfaat dalam jangka panjang, mendukung siswa
dalam mengatur keterampilan belajar mereka, dan kemudian memberdayakan individu untuk
berkontribusi secara kreatif pada profesi yang mereka pilih. Menurut Cheng menegaskan
bahwa berpikir kritis harus menjadi dasar yang meresap dari pengalaman pendidikan semua
siswa mulai dari pra-sekolah hingga sekolah menengah atas dan perangkat di universitas serta
program terstruktur dalam berpikir kritis harus dimulai dengan mengenalkan karakter
(disposisi) yang tepat dan beralih menuju ke pengembangan kemampuan berpikir kritis.
Artinya, berbekal dengan kemampuan berpikir kritis, guru telah membantu mempersiapkan
peserta didik untuk masa depannya. Sedangkan menururt Ben-Chaim mengatakan bahwa
kemampuan berpikir kritis menjadi sangat penting agar sukses di kehidupan, sebagai langkah
perubahan untuk terus melaju dan sebagai kompleksitas serta saling meningkatkan
ketergantungan (Masrukan, 2016: 608).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah berpikir
rasional tentang sesuatu, kemudian mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang
sesuatu tersebut yang meliputi metode-metode pemeriksaan atau penalaran yang akan
digunakan untuk mengambil suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan. Seseorang yang
berpikir kritis memiliki ciri-ciri yaitu:

1. Mampu berpikir secara rasional dalam menyikapi suatu permasalahan


2. Mampu membuat keputusan yang tepat dalam menyelesaikan masalah
3. Dapat melakukan analisis, mengorganisasi, dan menggali informasi berdasarkan fakta
yang ada
4. Mampu menarik kesimpulan dalam menyelesaikan masalah dan dapat menyusun argumen
dengan benar dan sistematik.
b. Berpikir kritis dalam matematika

Matematika merupakan bagian dari ilmu yang memiliki sifat khas jika dibandingkan
dengan ilmu pengetahuan yang lain. Kekhasan pada matematika menjadikan matematika
sebagai ratu sekaligus pelayan dalam ilmu pengetahuan. Pentingnya matematika dalam
kehidupan sehari-hari menjadikan matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang harus
dikuasai oleh setiap siswa. Menurut Lambertus matematika mempelajari tentang pola, struktur,
keteraturan yang terorganisasi, yang dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi kemudian
ke unsur-unsur yang terdefinisi, hingga ke aksioma atau postulat dan dalil-dalil atau teorema.
Komponen matematika tersebut membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan
terorganisir dengan baik (Masrukan, 2016: 609).

Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif, yang artinya proses pengerjaan matematika
harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan
(induktif), tetapi harus berdasarkan pada pembuktian secara deduktif. Berpikir deduktif
merupakan cara berpikir yang diawali dari pembuktian pernyataan yang bersifat umum yang
dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang bersifat khusus. Tujuan dari berpikir deduktif
adalah untuk menentukan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Dalam penalaran
deduktif, kesimpulan yang ditarik merupakan akibat logis dari alasan-alasan yang bersifat
umum menjadi bersifat khusus. Penerapan cara berpikir deduktif ini akan menghasilkan
teorema-teorema yang selanjutnya dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah baik
dalam matematika murni maupun dalam matematika terapan (Masrukan, 2016: 609).

Keunikan dan kompleksitas unsur pada matematika mengharuskan para pembelajar


matematika mampu berpikir kritis dalam mempelajari matematika. Glaser menyatakan bahwa
berpikir kritis dalam matematika merupakan kemampuan dan disposisi yang dikombinasikan
dengan pengetahuan, kemampuan penalaran matematik, dan strategi kognitif sebelumnya,
untuk menggeneralisasikan, membuktikan, mengevaluasi situasi matematik secara reflektif.
Kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan untuk
memahami dan memecahkan suatu permasalahan atau soal matematika yang membutuhkan
penalaran, analisis, evaluasi dan intrepetasi pikiran. Berpikir kritis dalam pembelajaran
matematika dapat meminimalisir terjadinya kesalahan saat menyelesaikan permasalahan,
sehingga pada hasil akhir akan diperoleh suatu penyelesaian dengan kesimpulan yang tepat.
Glaser menyebutkan beberapa syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam matematika, yaitu:

1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang individu tidak dapat secara
langsung mengenali konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi
suatu masalah.
2. Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran matematika, dan strategi
kognitif.
3. Menghasilkan generalisasi, pembuktian, dan evaluasi
4. Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi, rasionalisasi argumen,
penentuan cara lain untuk menjelaskan suatu konsep atau memecahkan suatu masalah dan
pengembangan studi lebih lanjut.

Peningkatkan pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran


matematika sangat diperlukan karena berpikir kritis dan matematika merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui berpikir kritis dan berpikir
kritis dilatih melalui serangkaian proses dalam pembelajaran matematika. Kemampuan
berpikir kritis diartikan sebagai kegiatan penalaran yang beroriantasi pada suatu proses
intelektual yang melibatkan pembentukan konsep, aplikasi, analisis, ataupun penilaian dari
suatu informasi untuk memecahkan suatu masalah.

Facion mengungkapkan empat kecakapan berpikir kritis utama yang terlibat di dalam
proses berpikir kritis, yaitu: (Karim, 2015: 95)

1. Interpretasi
Menginterpretasi adalah memahami dan mengekspresikan makna atau signifikansi dari
berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian-kejadian, penilaian, kebiasaan, atau
adat, kepercayaan-kepercayaan, aturan-aturan, prosedur atau kriteria-kriteria.
2. Analisis
Analisis adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan inferensial yang dimaksud dan
aktual diantara pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan, konsep-konsep, deskripsi-
deskripsi atau bentuk-bentuk representasi lainnya yang dimaksudkan untuk
mengekspresikan kepercayaan-kepercayaan, penilaian, pengalaman-pengalaman, alasan-
alasan, informasi atau opini-opini.
3. Evaluasi
Evaluasi berarti menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi-representasi
yang merupakan laporan-laporan atau deskripsi-deskripsi dari persepsi, pengalaman,
situasi, penilaian, kepercayaan atau opini seseorang, dan menaksir kekuatan logis dari
hubungan-hubungan inferensial atau dimaksud diantara pernyataan-pernyataan, deskripsi-
deskripsi, pertanyaan-pertanyaan, atau bentuk-bentuk representasi lainnya.
4. Inferensi
Inferensi berarti mengidentifikasi dan memperoleh unsur-unsur yang diperlukan untuk
membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal, membuat dugaan-dugaan dan
hipotesis, memper-timbangkan informasi yang relevan dan menyimpulkan konsekuensi-
konsekuensi dari data, situasi-situasi, pertanyan-pertanyaan atau bentuk-bentuk
representasi lainya.
Tabel Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
Indikator Umum Indikator
Menginterpretasi Memahami masalah yang ditunjukkan dengan menulis diketahui
maupun yang ditanyakan soal dengan tepat
Menganalisis Mengidentifikasi hubungan-hubungan antara pernyataan,
pertanyaan, dan konsep yang diberikan dalam soal yang ditunjukkan
dengan membuat model matematika dengan tepat dan memberi
penjelasan dengan tepat
Mengevaluasi Menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal,
lengkap dan benar dalam melakukan perhitungan.
Menginferensi Membuat kesimpulan dengan tepat

Untuk memperoleh data kemampuan berpikir kritis matematis siswa, dilakukan


penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penskoran yang digunakan
adalah skor rubrik yang dimodifikasi dari Facione (1994) dan Ismaimuza (2013).
Tabel Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
Indikator Keterangan Skor
Tidak menulis yang diketahui dan yang ditanyakan 0
Menulis yang diketahui dan yang ditanyakan dengan tidak tepat. 1
Menuliskan yang diketahui saja dengan tepat atau yang ditanyakan
2
Interpretasi saja dengan tepat.
Menulis yang diketahui dari soal dengan tepat tetapi kurang lengkap. 3
Menulis yang diketahui dan ditanyakan dari soal dengan tepat dan
4
lengkap.
Tidak membuat model matematika dari soal yang diberikan. 0
Membuat model matematika dari soal yang diberikan tetapi tidak
1
Analisis tepat.
Membuat model matematika dari soal yang diberikan dengan tepat
2
tanpa memberi penjelasan.
Membuat model matematika dari soal yang diberikan dengan tepat
3
tetapi ada kesalahan dalam penjelasan.
Membuat model matematika dari soal yang diberikan dengan tepat
4
dan memberi penjelasan yang benar dan lengkap.
Tidak menggunakan strategi dalam menyelesaikan soal. 0
Menggunakan strategi yang tidak tepat dan tidak lengkap dalam
1
menyelesaikan soal.
Menggukanak strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal, tetapi
tidak lengkap atau menggunakan strategi yang tidak tepat tetapi 2
Evaluasi lengkap dalam menyelesaikan soal.
Menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal,
lengkap tetapi melakukan kesalah dalam perhitungan atau 3
penjelasan.
Menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal,
4
lengkap dan benar dalam melakukan perihitungan atau penjelasan.
Tidak membuat kesimpulan. 0
Membuat kesimpulan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan
1
konteks soal.
Membuat kesimpulan yang tidak tepat meskipun disesuaikan dengan
2
Inferensi konteks soal.
Membuat kesimpulan dengan tepat, sesuai dengan konteks tetapi
3
tidak lengkap
Membuat kesimpulan dengan tepat, sesuai dengan konteks soal dan
4
lengkap.

Adapun manfaat berpikir kritis dalam pembelajaran matematika antara lain:


1. Berpikir kritis mampu menyelesaikan masalah yang ada dalam pembelajaran matematika
dan juga kehidupan sehari-hari.
2. Berpikir kritis dapat membantu dalam pengambilan keputusan.
3. Berpikir kritis dapat membedakan antara fakta dan opini. Terutama fakta dan opini yang
didapat dari dunia digital. Jawaban dengan cara yang berbeda dari setiap orang dapat
memicu rasa ingin tahu atas kebenaran dari masalah tersebut. Berpikir kritis membantu
kita untuk tetap tenang sekalipun dalam masalah yang sulit.

C. Karakteristik Matematika Kaitannya dengan Berpikir Kritis

Menurut Soejadi (Yuhasriati: 2012) karakteristik dari matematika, yaitu: (1) memiliki
objek yang abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki
simbol-simbol yang kosong arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, (6) konsisten
dalam sistemnya. Berikut ini akan diuraikan masing-masing karakteristik matematika:

1. Memiliki objek yang abstrak


Dalam matematika objek dasar yang dipelajari adalah abstrak, sering juga disebut
objek mental. Objek- objek itu merupakan objek pikiran. Objek dasar meliputi: 1) fakta;
2) konsep; 3) operasi ataupun relasi; 4) prinsip. Dari objek dasar itulah dapat disusun
suatu pola dan struktur matematika.
2. Bertumpu pada kesepakatan
Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau
konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang disepakati, maka pembahasan
selanjutnya akan menjadi mudah dilakukan dan dikomunikasikan. Kesepakatan yang
amat mendasar adalah aksioma (postulat, pernyataan pangkal yang tidak perlu
pembuktian) dan konsep primitif (pengertian pangkal yang tidak perlu didefinisikan,
undefined term). Aksioma diperlukan untuk menghindari pembuktian yang berputar-putar
sehingga kebenarannya tidak perlu dibuktikan. Sedangkan, konsep primitif diperlukan
untuk menghindari pendefinisian yang berputar-putar.
3. Berpola pikir deduktif
Matematika merupakan ilmu deduktif, karena proses mencari kebenaran
(generalisasi) dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan yang lain.. Pola pikir deduktif didasarkan pada urutan kronologis dari
pengertian pangkal, aksioma (postulat), definisi, sifat-sifat, dalil-dalil (rumus-rumus) dan
penerapannya dalam matematika sendiri atau dalam bidang lain dan kehidupan sehari-
hari. Pola pikir deduktif adalah pola pikir yang didasarkan pada hal yang bersifat umum
dan diterapkan pada hal yang bersifat khusus, atau pola pikir yang didasarkan pada suatu
pernyataan yang sebelumnya telah diakui kebenarannya.
Contoh bila kita ingin membuktikan bahwa jumlah besar sudut segitiga adalah
180°, maka kita harus menggunakan teorema sebelumnya atau dengan menggunakan
postulat bahwa besar sudut setengah lingkaran atau sudut garis lurus adalah 180°.
Jelasnya, jika kita ingin membuktikan teorema tiga, maka kita hanya dapat menggunakan
teorema dua atau satu, dan seterusnya. Walaupun, dalam matematika mencari kebenaran
itu bisa dimulai dengan cara induktif, tapi seterusnya yang benar untuk semua keadaan
harus bisa dibuktikan secara deduktif, karena dalam matematika sifat, teori/dalil belum
dapat diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif.
4. Memiliki simbol-simbol yang kosong arti
Matematika memiliki banyak simbol. Rangkaian simbol-simbol dapat membentuk
kalimat matematika yang disebut model matematika. Secara umum simbol dan model
matematika sebenarnya kosong dari arti, artinya suatu simbol atau model matematika
tidak ada artinya bila tidak dikaitkan dengan konteks tertentu. Contoh: simbol x tidak ada
artinya. Apabila kita menyatakan bahwa x adalah bilangan bulat, maka x menjadi
bermakna, artinya x mewakili suatu bilangan bulat. Pada model matematika x + y = 40,
x dan y tidak berarti, kecuali bila dinyatakan konteks dari model itu. Misalnya: x dan y
mewakili panjang suatu sisi bangun datar tertentu atau x dan y mewakili banyaknya
barang jenis I dan II yang dijual di suatu toko. Kekosongan arti dari simbol-simbol dan
model-model matematika merupakan ‟kekuatan‟ matematika, karena dengan hal itu
matematika dapat digunakan dalam berbagai bidang kehidupan.
5. Memperhatikan semesta pembicaraan
Matematika memiliki simbol dan model yang kosong dari arti, namun akan
bermakna jika dikaitkan dengan konteks tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya lingkup
atau semesta dari konteks yang dibicarakan. Lingkup atau semesta dari konteks yang
dibicarakan sering diistilahkan dengan nama ‟semesta pembicaraan‟. Ada-tidaknya dan
benar-salahnya penyelesaian permasalahan dalam matematika dikaitkan dengan semesta
pembicaraan. Contoh: Bila dijumpai model matematika 4x = 10, kemudian akan dicari
nilai x, maka penyelesaiannya tergantung pada semesta pembicaraan. Bila semesta
pembicaraannya himpunan bilangan bulat maka tidak ada penyelesaiannya. Mengapa?
Karena tidak ada bilangan bulat yang bila dikalikan 4 hasilnya 10. Bila semesta
pembicaraannya bilangan rasional maka penyelesaian dari permasalahan adalah x = 10 :
4 = 2,5.
6. Konsisten dalam sistemnya
Dalam masing-masing sistem dan strukturnya berlaku konsistensi. Hal ini juga dikatakan
bahwa setiap sistem dan strukturnya tersebut tidak boleh kontradiksi. Suatu teorema
ataupun definisi harus menggunakan istilah atau konsep yang telah ditetapkan terbih
dahulu.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua karakteristik


matematika mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Matematika merupakan
suatu mata pelajaran yang mampu meningkatkan daya nalar para siswa, seperti pengertian
matematika yang diungkapkan oleh Jonshon dan Rising bahwa matematika merupakan pola
pikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang
menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya
dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.
(Rahmi: 2013). Oleh karena itu, matematika berperan dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa.

D. Contoh Soal Berpikir Kritis

Beberapa contoh soal berpikir kritis yang dikutip dari Furqoni (2016) diuraikan sebagai
berikut:

1. Contoh soal uraian yang mengukur kemampuan berpikir kritis


Berikut adalah beberapa contoh soal yang dapat mengukur kemampuan berpikir kritis
siswa:
a. Soal yang memuat indikator mengevaluasi dan menjelaskan:
SOAL:
Sebuah bola ditembakkan ke udara dari permukaan tanah. Setelah t detik, bola tersebut
mencapai ketinggian h meter. Bola menyentuh tanah (jatuh ke tanah) setelah 4 detik. Jika
lintasan bola dinyatakan dalam bentuk fungsi, diantara ketiga fungsi berikut manakah yang
memenuhi? Kemukakan alasannya!
1) ℎ(𝑡) = 24𝑡 − 6𝑡 2
2) ℎ(𝑡) = 6𝑡 2 − 24𝑡
3) ℎ(𝑡) = 𝑡 2 − 16
b. Soal yang mengukur indikator mengevaluasi dan menjelaskan:
SOAL:
Perhatikan gambar berikut!

Gambar I adalah gambar sebuah benada berbentuk prisma segitiga sama sisi ABC.DEF
dengan AB = BC = CA = 10cm dan AD = BE = CF = 30cm.
Gambar II adalah gambar prisma pada gambar I yang dipotong/diiris dari titik F melalui
titik P dan Q, dengan titik P dan Q berturut-turut adalah titik tengah dari AD dan BE.
Terdapat pernyataan bahwa: “Sudut F pada segitiga FDE sama besar dengan sudut F pada
segitiga FPQ.” Apakah kamu setuju dengan pernyataan tersebut? Jelaskan jawabanmu!
c. Soal yang memuat indikator menginterpretasi dan menganalisis:
SOAL:
Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk 12 cm. Titik P terletak pada
perpanjangan rusukCD sehingga CD : DP = 3 : 2. Tentukan jarak titik P terhadap bidang
BCGF.
2. Contoh Rubrik Penskoran Soal Uraian yang Memuat Indikator Interpretasi, Analisis,
dan Evaluasi

SOAL:
Ayah memiliki dua lembar brosur penjualan motor “Honda” dari dua dealer yang berbeda. Ada
sebuah sepeda motor yang ingin dibeli ayah dan memiliki harga yang sama di kedua dealer itu.
Dealer pertama memberlakukan diskon 10% dari harga barang yang telah dikenai pajak 5%
terlebih dahulu. Sedangkan, dealer kedua memberlakukan pajak 5% dari harga barang yang
telah dikenai diskon 10% terlebih dahulu. Ayah berpendapat bahwa dealer pertama
memberikan harga yang lebih murah. Apakah kamu setuju dengan pendapat ayah? Berikan
alasanmu!
Tabel. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian
Jawaban Skor
Misalkan harga sepeda motor itu adalah x. 4
Analisis

Pada dealer pertama berlaku: 4


Harga barang setelah kena pajak adalah: Evaluasi
1 21 21𝑥
𝑥 + (5%)𝑥 = 𝑥 (1 + ) = 𝑥( ) =
20 20 20
Harga barang setelah kena diskon:
4
21𝑥 21𝑥 21𝑥 1 21𝑥 9 189𝑥
= − (10%) = (1 − ) = ( )= Analisis
20 20 20 10 20 10 200

Pada dealer kedua berlaku:


4
Harga barang setelah kena diskon adalah:
1 9 9𝑥 Evaluasi
𝑥 − (10%)𝑥 = 𝑥 (1 − ) = 𝑥 ( ) =
10 10 10
Harga barang setelah kena diskon:
9𝑥 9𝑥 9𝑥 1 9𝑥 21 189𝑥
= + (5%) = (1 + ) = ( )=
10 10 10 20 10 20 200

Maka, harga sepeda motor di kedua dealer itu sama. Sehingga, ayah salah
4
ketika mengatakan bahwa dealer pertama memberikan harga yang lebih murah
Inferensi
TOTAL 20

E. Strategi Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis

Berikut ini akan diuraikan beberapa strategi pembelajaran untuk meningkatkan


kemampuan berpikir kritis:
1. Pengunaan Metode Improve

Hal ini sesuai dengan penelitian Hawa Liberna Unversitas Indrapasta PGRI dengan
judul “Peningkataan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa melalui Penggunaan
Metode Improve pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel”

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hasil belajar matematika rata-rata baik karena
terdapat 75% siswa mendapat nilai diatas 60, yaitu yang KKM yang digunakan oleh SMPN 248
Jakarta. Perhitungan penelitian kemampuan berpikir kritis matematis SMPN 248 Jakarta diperoleh
nilai rata – rata adalah 47.71, nilai modus adalah 46.19 median adalah 44.25, standar deviasi adalah
7.65, nilai maksimum adalah 61, nilai minimum adalah 31. Dari hasil hasil perhitungan diatas
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis rata – rata baik.

2. Penggunaan Pendekatan Metacognitive Instruction

Hal ini sesuai dengan penelitian Mega Achdisty Noordyana STKIP Garut dengan
judul “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa melalui Pendekatan
Metacognitive Instruction”

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa setelah dilakukan perhitungan dengan SPSS


hasilnya apat dilihat pada tabel 4.18 diperoleh nilai sig. (1-tailed) sebesar 0,000 < a = 0,05
maka hipotesis nol ditolak, artinya peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan Metacognitive Instraction
secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode
konvensional (ekspositori).

3. Penggunaan Pendeatan Contextual Teaching and Learning

Hal ini sesuai dengan penelitian Ali Syahbana Universitas Muhammadiyah Bengkulu
dengan judul “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP melalui
Pendekatan Contextual Teaching and Learning”

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Hasil analisis data melalui uji statistik
menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan pada peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan
pendekatan CTL dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran matematika
dengan pendekatan konvensional. Ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan CTL dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP Negeri 17 Palembang.

4. Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik


Kognitif

Hal ini sesuai dengan penelitian Dasa Ismaimuza FKIP Universitas Tadulako Palu
dengan judul “Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Ditinjau dari Pngetahuan Awal
Siswa”

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan kritis matematis siswa


yang memperoleh pembelajaran PBLKK dengan PAM tinggi = 92,50, sedang = 71,69 dan
rendah = 61,52. Rata-rata ini masih lebih tinggi dari rata-rata kemampuan kritis matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran KV dengan PAM tinggi = 87,500, sedang = 64,64
dan rendah = 48,85. Jadi siswa yang memperoleh pembelajaran PBLKK lebih tinggi dari
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional berdasarkan PAM siswa.

5. Pengembangan E-Modul

Hal ini sesuai dengan penelitian I M. Suarsana & G. A. Mahayukti Universitas


Pendidikan Ganesha dengan judul “Pengembangan E-Modul Berorentasi Pemecahan
Masalah untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa”

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada uji coba siklus 1, tergolong sedang,
berarti belum sesuai dengan harapan. Berdasarkan hasil pengamatan, hal ini terjadi karena
dalam mengikuti perkuliahan, utamanya perkuliahan online banyak mahasiswa mengalami
kendala teknis dan belum tahu fitur-fitur yang tersedia dalam portal elearning yang dalam
hal ini digunakan learning management system (LMS) moodle. Dengan perbaikan tersebut
kembali diadakan uji coba siklus 2 untuk topik Suku Banyak. Hasil tes keterampilan
berpikir kritis menunjukkan terjadi peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas
yaitu dari rata-rata 27,6 (sedang) menjadi 31,4 (tinggi). Hasil ini telah memenuhi indikator
keberhasilan yang ditetapkan.
6. Pembelajaran dengan Scaffolding

Hal ini sesuai dengan artikel Ary Woro Kurniasih FMIPA UNNES dengan judul
“Scaffolding sebagai Alternatif Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Matematika”

Hasil tulisannya mengatakan bahwa salah satu upaya yang perlu dikembangkan oleh
guru agar kemampuan berpikir kritis siswa dalam belajar matematika dapat ditingkatkan
adalah dengan pemberian scaffolding. Scaffolding dapat diberikan kepada siswa dapat
berupa memodelkan perilaku tertentu (modeling of desired behaviors), menyajikan
penjelasan (offering explanations), mengundang partisipasi siswa (inviting student
participation), verifikasi dan klarifikasi pemahaman siswa (verifying and clarifying student
understandings), dan mengajak siswa memberikan petunjuk/kunci (inviting students to
contribute clues). Pada prinsipnya scaffolding diberikan kemudian pemberian scaffolding
dikurangi dan pada akhirnya dihilangkan setelah siswa benarbenar memperoleh
pemahaman.

7. Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah

Hal ini sesuai dengan artikel Desti Haryani Universitas Palangkaraya dengan judul
“Pembelajaran Matematika dengan Pemecahan Masalah untuk Menumbuhkembangkan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa”

Hasil tulisannya mengatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pemecahan


masalah di samping akan melatih siswa menjadi pemecah masalah yang baik juga akan
melatih atau akan “menumbuhkembangkan” kemampuan berpikir kritis siswa karena
setiap tahapan dalam pemecahan masalah memerlukan kemampuan berpikir kritis dari
siswa. Dengan terlatihnya siswa untuk menggali berpikir kritisnya dalam pembelajaran
matematika dengan pemecahan masalah diharapkan siswa akan dapat
mengimplementasikan berpikir kritis dalam berbagai bidang kehidupan baik pada masa
sekarang maupun di masa yang akan datang.
8. Penggunaan Pendekatan Indukti-Deduktif dengan Strategi Think-Pair-Square-Share

Hal ini sesuai dengan penelitian Enung Sumaryati & Utari Sumarno STKIP Siliwangi
Bandung dengan judul “Pendekatan Induktif-Deduktif dengan Strategi Think-Pair-Square-
Share untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Berpikir Kritis serta Disposisi
Matematis Siswa SMA”

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pretes kemampuan pemahaman dan


kemampuan berikir kritis siswa pada kedua kelas pembelajaran tidak berbeda dan
tergolong sangat rendah yaitu 7,2% dan 6,1% dari skor ideal tes pemahaman matematis
dan 9,36% dan 10,1% dari skor ideal tes berpikir kritis. Setelah pembelajaran kemampuan
pemahaman dan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapat pembelajaran induktif-
deduktif disertai strategi Think-Pair-Square-Share (berturut-turut 53,4% dan 44,4%,
dengan gain 0,50 dan 0,39) meningkat lebih baik dari kemampuan siswa yang mendapat
pembelajaran biasa (berturut-turut 39,9% dan 32,8% dengan gain 0,36 dan 0,25). Namun
demikian pencapaian kemampuan pemahaman dan kemampuan berpikir kritis matematis
siswa pada kedua kelas pembelajaran masih tergolong belum memuaskan.

Dihubungkan dengan capaian kemampuan pemahaman dan berpikir kritis matematis


yang masih tergolong kurang (antara 32,8 dan 53,4% dari skor ideal), terdapat kesesuaian
dengan temuan capaian disposisi matematis (102,05 dan 104,55 dari skor ideal 175) yang
tergolong sedang atau netral. Beberapa kegiatan dan pendapat terhadap proses-proses
matematis yang tergolong belum memuaskan antara lain adalah dalam hal rasa percaya
diri, sifat fleksibel, rasa ingin tahu, dan mengaplikasikan matematika ke bidang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Cabrera, G.A.(1992).A Framework for Evaluting the Techng of Critical Thingking. Dalam R.N
Cassel (ed). Education.113 (1),59-63.
Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah
Atas. Jakarta : Depdiknas.
Duron, R. (2006). Critical Thinking Framework for any Discipline. International Jornal of
Teaching and Learning in Higher Education, 17(1),160-166.
Eny Sulistiani & Masrukan. 2016. Pentingnya Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika
untuk Menghadapi Tantangan MEA. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Matematika X Universitas Negeri Semarang, 2016.
Fardani, Zuhur. 2017. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran
Matematika untuk Membangun Karakter Bangsa, (Online), (https://www.researchgate.net/,
diakses 23 April 2019)
Furqoni, Tejo. 2016. Pengembangan Soal Matematika untuk Mengukur Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa SMA. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Yogyakarta.
Harian Kompas.(5 Desember 2013). Skor PISA: Posisi Indonesia Nyaris Jadi Juru Kunci.
Haryani, Desti. 2011. Pembelajaran Matematika dengan Pemecahan Masalah untuk
Menumbuhkembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Universitas Negeri Yogyakarta. (Online).
(https://core.ac.uk/, diakses pada 23 April 2019)
Ismaimuza, Dasa. 2011. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Ditinjau dari Pengetahuan Awal
Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika, (Online), Vol. 2, No. 1, (http://ojs.uho.ac.id/, diakses
23 April 2019)
Karim & Normaya. 2015. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran Matematika
dengan Menggunakan Model Jucama di Sekolah menengah Pertama. EDU-MAT Jurnal
Pendidikan Matematika, (Online), Vol. 3, No. 1, (https://ppjp.ulm.ac.id/journal/, diakses 23
April 2019)
Kurniasih, Ary Woro. 2012. Scaffolding sebagai Alternatif Upaya Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis Matematika. Jurnal Kreano, Vol. 3, No. 2, (https://journal.unnes.ac.id/,
diakses 23 April 2019)
Libena, Hawa. 2013. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Melalui
Penggunaan Metode Improve pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Jurnal
Formatif, (Online), Vol. 2, No. 3, Hal. 190-197, (https://journal.lppmunindra.ac.id/, diakses
pada 23 April 2019)
Noer, S.H.(2009). Penngkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Volume 3, 473-483.
Noordyana, Mega Achdisty. 2016. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
melalui Pendekatan Metacognitive Istruction. Jurnal Mosharafa, (Online), Vol. 5, No. 2,
(https://journal.institutpendidikan.ac.id/, diakses 23 April 2019)
Rahmi, Rahmi. 2013. Menciptakan Pembelajaran Matematika yang Kreatif dan Menyenangkan.
Jurnal Pelangi, (Online), Vol. 6, No. 1, (https://ejournal.stkip-pgri-sumbar.ac.id/, diakses 29
April 2019)
Suarsana, I. M & Mahayukti, G. A. 2013. Pengembangan E-Modul Berorientasi Pemecahan
Masalah untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa. Jurnal Pendidikan
Indonesia, (Online), Vol. 2, No. 2, (https://ejournal.undiksha.ac.id/, diakses 23 April 2019)
Syahbana, Ali. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui
Pendekatan Contextual Teaching and Learning. Jurnal Edumatica, (Online), Vol. 2, No. 1,
(https://online-journal.unja.ac.id/, diakses 23 April 2019)
Yuhasriati. 2012. Pendekatan Reakistik dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Peluang,
(Online), Vol. 1, No. 1, (http://jurnal.unsyiah.ac.id/, diakses 27 April 2019)

Anda mungkin juga menyukai