1 Latar Belakang
Dewasa ini kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat hal ini disebabkan
oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya hidup dan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. Konstribusi terbesar dalam
penyediaan daging secara Nasional umumnya berasal dari ternak unggas dan sapi potong.
Pada tahun 2017, data Direktorat Jendral Peternakan menunjukkan bahwa konsumsi
daging ayam ras mencapai sebesar 5,683 kg, atau mengalami peningkatan sebesar 11,22
persen dari konsumsi tahun 2016 sebesar 5,110 kg (Ditjennak, 2018). Hal ini
menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap daging ayam cukup tinggi.
Namun, seiring dengan peningkatan konsumsi daging ayam masalah keamanan
pangan menjadi topik yang cukup mendapat perhatian saat ini (Hermawati, 2017).
Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka peningkatan keamanan pangan, salah
satunya adalah penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit dan pemacu
pertumbuhan. Salah satu antibiotik yang sering digunakan pada pakan ternak ayam adalah
tetrasiklin. Tetrasiklin merupakan golongan antibiotik yang banyak digunakan oleh
peternak ayam sebagai obat maupun tambahan pakan untuk memacu pertumbuhan (feed
additives).
Menurut Bahri et al. (2015) hampir semua pabrik pakan menambahkan antibiotika ke
dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di
Indonesia mengandung antibiotika. Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan
tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun
2005 (Dirjenak, 2006). Pemeriksaan residu secara kualitatif pada 6 provinsi di Indonesia
menunjukkan 4,1% sampel paha ayam dan 2,7% sampel hati dinyatakan positif golongan
tetrasiklin (Werdiningsih dkk., 2013). Kontaminasi residu juga sering terjadi di luar
negeri diantaranya studi di Kroasia, rata-rata kadar streptomycin dalam daging 44,14
μg/kg dan dalam susu 15,57 μg/kg, kadar tetrasiklin dalam daging 1,62 μg/kg dan dalam
susu 1,5 μg/kg (Vragovic et al., 2011). Dengan meningkatnya penggunaan antibiotika
tersebut, maka meningkat pula manfaat dan resiko yang mungkin ditimbulkan. Resiko ini
berupa residu antibiotika pada hasil-hasil ternak (daging dan telur) akibat penggunaan
antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis atau tidak memperhatikan waktu henti obat.
Secara umum dampak negatif residu antibiotika pada produk hewan adalah dampak
kesehatan (bahaya toksikologik, mikrobiologik dan imunopatologi) dan dampak ekonomi.
Bahaya toksikologik diantaranya adalah mutagenik (terjadinya perubahan genetik),
teratogenik (terjadinya cacat lahir), karsinogenik (pemicu kanker), bahaya mikrobiologis
(resistensi pengobatan antibiotika dan gangguan pertumbuhan flora normal usus) dan
bahaya imunopatologi (reaksi alergis). Residu antibiotika juga berdampak negatif bagi
ekonomi karena dapat mengakibatkan penolakan produk terutama bila produk tersebut di
ekspor ke negara yang konsisten dan serius dalam menerapkan sistem keamanan pangan
(Dewi et al. 2014).
Karena banyaknya efek negatif residu antibiotik terhadap kesehatan, maka peneliti
tertarik untuk meneliti cara menghilangkan residu antibiotik tetrasiklin pada daging ayam
yang sebelumnya telah di rendam pada air jeruk nipis. Analisis residu antibiotik pada
daging ayam dapat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV.