Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH BANDUNG


AGUSTUS 2018

Disusun oleh :

NURMIATI LATAE

21172044

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG
BANDUNG
2018
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
karena atas berkat rahmat-Nya yang begitu melimpah, penulis dapat menyelesaikan
Laporan Akhir Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung (RSMB). Laporan ini merupakan salah satu persyaratan
dalam menempuh sidang Program Pendidikan Profesi Apoteker di Sekolah Tinggi
Farmasi Bandung.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas
segala bantuan dan bimbingan kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Entris Sutrisno, S.Farm,M.H.Kes.,Apt. selaku Ketua
Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
2. Ibu Dr. Patonah, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
3. Ibu Lia Marliani, M.Si., Apt. selaku pembimbing dari Sekolah
Tinggi Farmasi Bandung.
4. Ibu Fellycia Gufita, S.Farm., Apt selaku pembimbing dari
Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung (RSMB)
5. Bapak/Ibu dan seluruh staf Rumah Sakit Muhammadiyah
Bandung (RSMB) yang telah membantu selama kegiatan
praktek berlangsung.
6. Seluruh dosen dan civitas akademik di Sekolah Tinggi Farmasi
Bandung yang telah memberikan pengarahan dan pembelajaran
selama menempuh masa pendidikan profesi Apoteker.
7. Kepada seluruh keluarga besar yang tak pernah putus
mendoakan dan motivasi serta perhatian yang tidak henti-
hentinya.
Harapan penulis, semoga serangkaian kegiatan yang telah dilakukan dan hasil
yang diperoleh bermanfaat untuk penulis dan pembaca.
Bandung, Agustus 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iv
BAGIAN PENDAHULUAN .............................................................................. v
Sumpah Apoteker .................................................................................... v
Kode Etik Apoteker................................................................................. vi
Pedoman Disiplin Apoteker .................................................................... ix
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia ................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................ 2
1.3 Waktu dan Pelaksanaan.................................................................. 3
BAB II TINJAUAN UMUM .............................................................................. 4
2.1 Gambaran Umum Rumah Sakit ................................................................ 4
2.1.1 Definisi Rumah Sakit...................................................................... 4
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit ...................................................... 4
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit .................................................................. 5
2.1.4 Sumber Daya Manusia..................................................................... 6
2.1.5 Panitia Farmasi dan Terapi .............................................................. 7
2.2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi .......................................................... 8
2.2.1. Definisi Instalasi Farmasi Rumah Sakit ......................................... 8
2.2.2 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit ........................... 8
2.3 Organisasi dan Personalia ......................................................................... 9
2.4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi............................................................... 10
2.5 Pelayanan Farmasi Klinik ......................................................................... 14
BAB III TINJAUAN KHUSUS .......................................................................... 23
3.1 Profil Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung ......................................... 23
3.1.1 Sejarah Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung ............................. 23
3.1.2 Sarana dan Prasarana ....................................................................... 25
3.1.3 Jenis dan Pelayanan ......................................................................... 25
3.2 Lokasi . ..................................................................................................... 26
3.3 Struktur Organisasi ................................................................................... 26
3.4 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker...................................................... 27
3.5 Pengelolaan Perbekalan Farmasi............................................................... 37
3.6 Pelayanan Farmasi Klinik ......................................................................... 40
BAB IV Tugas Khusus .................................................................................... 43
4.1 Pemantauan Terapi Obat pada Pasien Gagal Jantung ....................... 43
BAB V Kesimpulan dan Saran....................................................................... 55
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 55
5.2 Saran ......................................................................................... 55
Daftar Pustaka ……… ....................................................................................... 56
Daftar Lampiran…….. ........................................................................................ 58
Daftar Lampiran…….. ........................................................................................ 58
Lampiran 1 Struktur Organisasi Rumah Sakit (RSMB) ..................... 58
Lampiran 2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit ....... 60
Lampiran 3 Struktur Organisasi PFT .................................................. 61
Lampiran 4 Sistem Distribusi Obat Rawat Inap ................................. 62
Lampiran 5 Sistem Distribusi Obat Rawat Jalan ................................ 63
Lampiran 6 Salinan Resep dan Etiket ................................................. 64
Lampiran 7 Form Rekonsiliasi Obat .................................................. 65
Lampiran 8 Form Pemantauan Obat ................................................... 66
Lampiran 9 Form Pelayanan Informasi Obat ..................................... 67
Lampiran 10 Form Pengkajian Resep................................................... 68
Lampiran 11 Form Validasi Penerimaan Barang ................................. 69
SUMPAH APOTEKER

Saya bersumpah/berjanji akan membaktikan hidup saya guna kepentingan


perikemanuasiaan terutama dalam bidang kesehatan.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan keilmuan saya sebagai apoteker.
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian
saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik - baiknya sesuai dengan martabat
dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh –
sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan,
kesukuan, kepartaian, atau kedudukan sosial.

KODE ETIK APOTEKER

MUKADIMAH
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta
dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan
keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya serta dalam
mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman
pada satu ikatan moral yaitu :
BAB I - KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
atau Janji Apoteker.
Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan
mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 4
Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan
pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang
lain.

Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada
khususnya.
BAB II - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PASIEN
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat. menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk
hidup insani.
BAB III - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 10
Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk
mematuhi ketentuan-ketentuan kode Etik.
Pasal 12
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap
kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam
memelihara keluhuran martabat jabatan
kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan
tugasnya.
BAB IV - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS
KESEHATAN LAIN
Pasal 13
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan
meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan
menghormati sejawat petugas kesehatan lain.

Pasal 14
Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang
dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya kepercayaan masyarakat kepada
sejawat
petugas kesehatan lain.
BAB V - PENUTUP
Pasal 15
Seorang Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode
etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika
seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak
mematuhi kode etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima
sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (IAI)
dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa
PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Apoteker Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang


dianugerahi bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian di bidang
kefarmasian, yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi warga negara
Republik Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,
berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Disiplin Apoteker merupakan tampilan kesanggupan Apoteker untuk
menaati kewajiban dan menghindari larangan sesuai dengan yang ditetapkan dalam
peraturan perundangundangan dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati
atau dilanggar dapat dijatuhi hukuman disiplin.
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau
ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam
tiga hal, yaitu:
1. Melaksanakan praktik Apoteker dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggungjawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan
baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan Apoteker.
Pelanggaran disiplin berupa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Apoteker yang
tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin Apoteker.

BAB II
KETENTUAN UMUM

1. Disiplin Apoteker adalah kesanggupan Apoteker untuk menaati kewajiban dan


menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi
hukuman disiplin.
2. Penegakan Disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh
Apoteker.
3. Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia yang disingkat MEDAI, adalah
organ organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia yang bertugas membina,
mengawasi dan menilai pelaksanaan Kode Etik Apoteker Indonesia oleh
Anggota maupun oleh Pengurus, dan menjaga, meningkatkan dan menegakkan
disiplin apoteker IndonesiaApoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
4. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Tenaga kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang membantu
Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.
7. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia, yang selanjutnya disingkat SPAI
adalah pendidikan akademik dan pendidikan profesional yang diarahkan guna
mencapai kriteria minimal sistem pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat, di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
8. Kode Etik adalah Kode Etik Apoteker Indonesia yang menjadi landasan etik
Apoteker Indonesia.
9. Kompetensi adalah seperangkat kemampuan profesional yang meliputi
penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill
dan attitude), dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
10. Standar Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan bertanggungj
awab yang dimiliki oleh seorang Apoteker sebagai syarat untuk dinyatakan
mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan profesinya.
11. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kompetensi seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik
profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
12. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu serta
diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan/praktik profesinya.
13. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah
diregistrasi.
14. Praktik Apoteker adalah upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
15. Standar Praktik Apoteker adalah pedoman bagi Apoteker dalam menjalankan
praktiknya yang berisi prosedur-prosedur yang dilaksanakan apoteker dalam
upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
16. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin
yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
17. Standar Prosedur Operasional, yang selanjutnya disingkat SPO adalah
serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses
penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan,
dimana dan oleh siapa dilakukan.
18. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran.
19. Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di
Indonesia.
BAB III
LANDASAN FORMAL

1. Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras.


2. Undang-Undang tentang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. Undang-Undang tentang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 tentang Sumpah Apoteker.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
9. Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan, dan peraturan
turunannya.
10. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI), Kode Etik Apoteker Indonesia, serta peraturan-peraturan organisasi
lainnya yang dikeluarkan oleh IAI.

BAB IV
BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN APOTEKER

1. Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten.


Penjelasan: Melakukan Praktek kefarmasian tidak dengan standar praktek
Profesi/standar kompetensi yang benar, sehingga berpotensi
menimbulkan/mengakibatkan kerusakan, kerugian pasien atau masyarakat.
2. Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian yang menjadi tanggung
jawabnya, tanpa kehadirannya, ataupun tanpa Apoteker pengganti dan/ atau
Apoteker pendamping yang sah.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu dan/ atau
tenagatenaga lainnya yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut.
4. Membuat keputusan profesional yang tidak berpihak kepada kepentingan
pasien/ masyarakat.
5. Tidak memberikan informasi yang sesuai, relevan dan “up to date” dengan cara
yang mudah dimengerti oleh pasien/masyarakat, sehingga berpotensi
menimbulkan kerusakan dan/ atau kerugian pasien.
6. Tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Standar Prosedur Operasional
sebagai Pedoman Kerja bagi seluruh personil di sarana pekerjaan/pelayanan
kefarmasian, sesuai dengan kewenangannya.
7. Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin „mutu‟, ‟keamanan‟, dan
‟khasiat/ manfaat‟ kepada pasien.
8. Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat dan/atau bahan
baku obat, tanpa prosedur yang berlaku, sehingga berpotensi menimbulkan
tidak terjaminnya mutu, khasiat obat.
9. Tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat menimbulkan
kerusakan atau kerugian kepada pasien.
10. Melakukan penataan, penyimpanan obat tidak sesuai standar, sehingga
berpotensi menimbulkan penurunan kualitas obat.
11. Menjalankan praktik kefarmasian dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
ataupun mental yang sedang terganggu sehingga merugikan kualitas pelayanan
profesi.
12. Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan
tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar yang sah, sehingga
dapat membahayakan pasien.
13. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan dalam pelaksanaan praktik swa-
medikasi (self medication) yang tidak sesuai dengan kaidah pelayanan
kefarmasian.
14. Memberikan penjelasan yang tidak jujur, dan/ atau tidak etis, dan/atau tidak
objektif kepada yang membutuhkan.
15. Menolak atau menghentikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien tanpa
alasan yang layak dan sah.
16. Membuka rahasia kefarmasian kepada yang tidak berhak.
17. Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.
18. Membuat catatan dan/atau pelaporan sediaan farmasi yang tidak baik dan tidak
benar.
19. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
atau Surat Izin Praktik Apoteker/Surat Izin kerja Apoteker (SIPA/SIKA)
dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
20. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan
MEDAI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
21. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan
yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
22. Membuat keterangan farmasi yang tidak didasarkan kepada hasil pekerjaan
yang diketahuinya secara benar dan patut.

BAB V
SANKSI DISIPLIN

Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan per-
Undang-Undang an yang berlaku adalah :
1. Pemberian peringatan tertulis.
2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi
Apoteker, atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker;
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
apoteker.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang
dimaksud dapat berupa :
1. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap
atau selamanya;

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker


yang dimaksud dapat berupa :
a. Pendidikan formal; atau
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi
pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanan
kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama1
(satu) tahun.

BAB VI
PENUTUP

PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA ini disusun untuk menjadi


pedoman bagi Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI) dalam
menetapkan ada/atau tidak adanya pelanggaran disiplin oleh para praktisi dibidang
farmasi, serta menjadi rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh para praktisi
tersebut agar dapatmenjalankan praktik kefarmasian secara profesional. Dengan
ditegakkannya disiplin kefarmasian diharapkan pasien akan terlindungi dari
pelayanan kefarmasian yang kurang bermutu; dan meningkatnya mutu pelayanan
apoteker; serta terpeliharanya martabat dan kehormatan profesi kefarmasian.

STANDAR KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA

TUJUAN
1. Memastikan bahwa seorang apoteker memiliki seluruh kompetensi yang relevan
untuk mejalankan perannya dan mampu memberikan pelayanan kefarmasian
sesuai ketentuan tentang praktik kefarmasian.
2. Memberikan arah dalam pengembangan pendidikan farmasi (a.l. identifikasi dan
penetapan capaian pembelajaran, pengembangan kurikulum, dan evaluasi hasil
belajar) dan pelatihan ditempat kerja
3. Memberikan arah bagi apoteker dalam pengembangan kompetensi diri secara
berkelanjutan.
STRUKTUR
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia terdiri dari 10 (sepuluh) standar
kompetensi. Kompetensi dalam sepuluh standar tersebut merupakan persyaratan
untuk memasuki dunia kerja dan menjalani praktikprofesi
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia (SKAI) adalah :
1. Mampu melakukan praktik kefarmasian secara professional dan etik
 Menguasai kode etik yang berlaku dalam praktik profesi
 Mampu melakukan praktik legal sesuai ketentuan regulasi
 Mampu melakukan praktik profesional dan etik
2. Mampu melakukan optimalisasi penggunaan sediaan farmasi
 Mampu melakukan upaya penggunaan obat rasional
 Mampu melakukan konsultasi dan konseling sediaan farmasi
 Mampu melakukan pelayanan swamedikasi
 Mampu mengelola efek samping untuk memastikan keamanan
penggunaan obat dan sediaan farmasi lainnya
 Mampu melakukan evaluasi penggunaan obat
 Mampu melakukan pelayanan farmasi klinis berbasis biofarmasi-
farmakokinetik

3. Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan


 Mampu melakukan penyiapan sediaan farmasi
 Mampu melakukan penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan
4. Mampu memberikan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
 Mampu melakukan pencarian Informasi Sediaan Farmasi Dan Alat
Kesehatan
 Mampu memberikan Informasi Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
5. Mampu memformulasi dan produksi sediaan farmasi
 Mampu menjelaskan prinsip dan prosedur pembuatan sediaan farmasi
 Mampu menetapkan formulasi sediaan farmasi
 Mampu membuat sediaan farmasi
 Mampu menjamin mutu sediaan farmasi
6. Mampu memberikan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat
 Mampu memberikan penyediaan informasi obat dan pelayanan
kesehatan
 Mampu memberikan upaya promosi penggunaan sediaan farmasi yang
baik & benar
 Mampu memberikan upaya preventif dan promotif kesehatan
masyarakat
7. Mampu melakukan pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
 Mampu melakukan seleksi bahan baku, sediaan farmasi, alat kesehatan
 Mampu melakukan pengadaan bahan baku, sediaan farmasi, alat
kesehatan
 Mampu melakukan penyimpanan dan pendistribusian bahan baku,
sediaan farmasi, alat kesehatan
 Mampu melakukan pemusnahan bahan baku, sediaan farmasi, alat
kesehatan
 Mampu melakukan penarikan bahan baku, sediaan farmasi, alat
kesehatan
 Mampu melakukan pengelolaan infrastruktur
8. Mampu melakukan komunikasi efektif
 Mampu menunjukkan ketrampilan komunikasi
 Mampu menunjukkan ketrampilan komunikasi dengan pasien
 Mampu menunjukkan ketrampilan komunikasi dengan tenaga
kesehatan
 Mampu menunjukkan ketrampilan komunikasi secara non-verbal
9. Mampu melakukan ketrampilan organisasi dan hubungan interpersonal
 Mampu melakukan penjaminan mutu dan penelitian di tempat kerja
 Mampu melakukan perencanaan dan pengelolaan waktu kerja
 Mampu melakukan optimalisasi kontribusi diri terhadap pekerjaan
 Mampu melakukan bekerja dalam tim
 Mampu melakukan membangun kepercayaan diri
 Mampu melakukan penyelesaian masalah
 Mampu melakukan pengelolaan konflik
 Mampu melakukan peningkatan layanan
 Mampu melakukan pengelolaan tempat kerja
10. Landasan ilmiah dan peningkatan kompetensi diri
 Mengasai landasan ilmiah praktik kefarmasian
 Mawas diri dan pengembangan diri
 Belajar sepanjang hayat dan kontribusi untuk kemajuan profesi
Mampu menggunakan teknologi untuk pengembangan profesionalitas.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan berdasarkan undang-undang nomor 36 tahun 2009 merupakan
hak setiap manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Derajat kesehatan bagi masyarakat
diwujudkan dengan upaya kesehatan yang terpadu. Upaya kesehatan
diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan (preventif), (kuratif)
dan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam hal merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan kesehatan yang
merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Berdasarkan Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Rumah Sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah sakit adalah salah satu sarana
kesehatan yang berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar dan upaya
kesehatan rujukan atau upaya kesehatan penunjang. Rumah sakit juga dapat
digunakan untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian serta
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 salah satu dari
fasilitas pelayanan kefarmasian adalah Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) yang
juga menjadi bagian penunjang medik di rumah sakit. Menurut Undang- Undang
RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang dimaksud dengan instalasi
farmasi adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas menyelenggarakan,
mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi
serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS) ini dipimpin seorang apoteker dan dibantu oleh
beberapa apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan kompeten secara profesional. IFRS merupakan satu-satunya
bagian rumah sakit yang bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan dan
perbekalan kesehatan (fungsi manajemen) dan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk
pelayanan farmasi klinik. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
No.72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik
merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam
rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek
samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga
kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Apoteker di rumah sakit memiliki peran yang cukup penting dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan, terutama dalam bidang kefarmasian.
Mengingat orientasi kefarmasian saat ini, mengharuskan adanya perubahan
pelayanan dari paradigma lama yang berorientasi pada produk (drug oriented) ke
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan mengacu
pada pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care).
Dalam upaya meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan
keahlian di bidang kefarmasian, serta untuk mempersiapkan calon apoteker
memasuki dunia kerja sebagai tenaga farmasi yang profesional, maka dilaksanakan
Praktik Kerja Profesi Apoteker di Instalasi Farmasi Rumah sakit Muhammadiyah
Bandung. Dengan adanya praktik kerja ini diharapkan para calon apoteker
mendapatkan bekal tentang instalasi farmasi di rumah sakit sehingga kedepannya
dapat mengabdikan diri sebagai apoteker yang profesional.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui, memahami tugas dan tanggung jawab apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit.
2. Membekali calon apoteker agar memiliki pengetahuan tentang penerapan
pelayanan farmasi klinis di Rumah Sakit.
3. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga
farmasi yang profesional.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktik Kerja Profesi Apoteker dilakukan di Rumah Sakit Muhammadiyah
Bandung Jl. KH. Ahmad Dahlan No.53 yang dilaksanakan mulai tanggal
1 Agustus – 31 Agustus 2018.
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Gambaran Umum Rumah Sakit


2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan
upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
72 tahun 2016 tentang Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat.
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Tugas dari Rumah Sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan
perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan. Adapun fungsi Rumah Sakit
menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit antara lain :
a Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua adalah
upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Yang dimaksud dengan
pelayanan kesehatan paripurna tingkat ketiga adalah upaya kesehatan
perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan
teknologi kesehatan sub spesialistik.
c Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan undang-undang RI No 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
klasifikasi rumah sakit terdiri dari:
A. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan:
1. Rumah Sakit Umum (RSU), memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit
2. Rumah Sakit Khusus, memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
B. Berdasarkan pengelolaannya
1. Rumah Sakit Publik, dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah,
dan badan hukum yang bersifat nirlaba.
2. Rumah Sakit Privat, dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang
berbentuk perseroan terbatas atau persero.
C. Berdasarkan Afiliasi atau orientasi pendidikan
1. Rumah Sakit Pendidikan, menyelenggarakan pendidikan dan penelitian
secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan
kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya
2. Rumah Sakit Non Pendidikan, yang tidak memiliki program pelatihan
residensi dan tidak ada afiliasi dengan universitas.
D. Berdasarkan Fasilitas dan kemampuan pelayanan
Rumah Sakit Umum
a. Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5
(lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga
belas) subspesialis.
b. Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4
(empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua)
subspesialis dasar.
c. Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4
(empat) spesialis penunjang medik.
d. Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
Rumah Sakit Khusus
a. Kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik
subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap.
b. Kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik
subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas.
c. Kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik
subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.
2.1.4 Sumber Daya Manusia
Berdasarkan Undang-Undang Rumah sakit Republik Indonesia Nomor. 44
tahun 2009, rumah sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis
dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen
rumah sakit dan tenaga non kesehatan. Jumlah dan jenis sumber daya manusia
disesuaikan dengan jenis dan klasifikasi rumah sakit.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
menyatakan bahwa yang termasuk ke dalam tenaga kesehatan adalah :
1. Tenaga Medis (Dokter dan Dokter gigi)
2. Tenaga Psikologi Klinis
3. Tenaga Keperawatan dan Kebidanan
4. Tenaga Kefarmasian (Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian: Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi)
5. Tenaga Kesehatan Masyarakat (epidemiolog Kesehatan, Entermolog
Kesehatan, Penyuluh Kesehatan, Administrator Kesehatan, Sanitarian)
6. Tenaga Kesehatan Lingkungan
7. Tenaga Gizi (Nutrition, Dietician)
8. Tenaga Keterapian Fisik (Fisioterapi, Terapis wicara)
9. Tenaga Keteknisian Medis (Radiografer, Radioterapis, Teknisi Gigi,
Teknisi Elekromedia, Anlis Kesehatan, Dokter Mata, Teknik Transfusi,
Perekam Medis)
10. Tenaga Teknik Biomedik
11. Tenaga Kesehatan Tradisional
2.1.5 Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit menyatakan bahwa Panitia Farmasi dan Terapi
merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah
Sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri
dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker
IFRS, dan tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. Panitia Farmasi dan Terapi
harus dapat membina hubungan yang baik dengan komite lain di Rumah Sakit yang
berhubungan dengan penggunaan obat. Panitia Farmasi dan Terapi dapat diketuai
oleh seorang dokter ataupun Apoteker, apabila ketua PFT tersebut adalah seorang
dokter maka Apoteker bertugas sebagai sekertaris, begitupun sebaliknya apabila
Apoteker bertugas sebagai ketua PFT tersebut maka dokter bertugas sebagai
sekertaris.
Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur,
sedikitnya dua bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali
dalam satu bulan. Biasanya, rapat PFT dapat mengundang pakar dari dalam maupun
dari luar Rumah Sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT,
memiliki keahlian khusus, dan keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat
bagi PFT.
Tugas Panitia Farmasi dan Terapi :
1. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit
2. Melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam formularium
Rumah Sakit
3. Mengembangkan standar terapi
4. Mengidentifikasi permasalahan dengan penggunaan Obat
5. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang
rasional
6. Mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
7. Mengkoordinir penatalaksanaan medication error
8. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di Rumah
Sakit.
2.2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi
2.2.1 Definisi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi farmasi adalah bagian dari Rumah Sakit yang bertugas
menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di
Rumah Sakit. Instalasi farmasi tersebut dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai
penanggung jawab. Dalam penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di rumah sakit
dapat dibentuk satelit farmasi sesuai dengan kebutuhan yang merupakan bagian dari
Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
2.2.2 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tugas pokok IFRS berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Farmasi
Rumah Sakit yaitu:
a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi professional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi
c. Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
d. Memberi pelayanan bermutu melalui analisis, dan evaluasi untuk
meningkatkan mutu pelayanan farmasi
e. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
f. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi
g. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi
h. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
Fungsi dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit yaitu memberikan pelayanan
yang bermutu dengan ruang lingkup yang berorientasi pada kepentingan
masyarakat yang meliputi dua fungsi, yaitu:
a. Fungsi non farmasi klinik
Fungsi non farmasi klinik yaitu melaksanakan kegiatan yang berkaitan
dengan perencanaan, penetapan spesifikasi produk dan pemasok,
pengadaan, pembelian, produksi, penyimpanan, pengemasan dan
pengemasan kembali, distribusi dan pengendalian semua perbekalan
kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit.
b. Fungsi farmasi klinik
Fungsi farmasi klinik yaitu fungsi yang secara langsung dilakukan sebagai
bagian terpadu dari perawatan pasien dan memerlukan interaksi dengan
profesional kesehatan lain yang secara langsung terlibat dalam pelayanan
pasien. Misalnya dalam proses penggunaan obat, mencakup wawancara
sejarah obat pasien, konsultasi dengan dokter tentang pemilihan regimen
obat pasien tertentu, interpretasi resep, pembuatan profil pengobatan pasien,
evaluasi penggunaan obat (EPO), pelayanan informasi obat (PIO),
pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan (ROM), konsultasi
dengan perawat tentang regimen obat, edukasi pasien/keluarga pasien dan
lain sebagainya.
2.3 Organisasi dan Personalia
Pelayanan farmasi diatur dan dikelola demi terciptanya tujuan pelayanan,
oleh karena itu diperlukan suatu sumber daya manusia yang mempunyai suatu
tanggung jawab sesuai dengan bidangnya dalam menjalankan tugas dan fungsinya
di Rumah Sakit, antara lain :
1. IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) dipimpin oleh Apoteker.
2. Pelayanan farmasi diselenggarakan dan dikelola oleh Apoteker yang
mempunyai pengalaman minimal dua tahun di bagian farmasi rumah sakit.
3. Apoteker telah terdaftar di Depkes dan mempunyai Surat Ijin Praktek.
4. Pada pelaksanaannya Apoteker dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.
5. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap segala aspek hukum
dan peraturan-peraturan farmasi baik terhadap pengawasan distribusi
maupun administrasi barang farmasi.
6. Setiap saat harus ada apoteker di tempat pelayanan untuk melangsungkan
dan mengawasi pelayanan farmasi dan harus ada pendelegasian wewenang
yang bertanggung jawab bila kepala farmasi berhalangan.
7. Adanya uraian tugas (job description) bagi staf dan pimpinan farmasi.
8. Adanya staf farmasi yang jumlah dan kualifikasinya disesuaikan dengan
kebutuhan.
9. Apabila ada pelatihan kefarmasian bagi mahasiswa fakultas farmasi atau
tenaga farmasi lainnya, maka harus ditunjuk apoteker yang memiliki
kualifikasi pendidik/pengajar untuk mengawasi jalannya pelatihan tersebut.
10. Penilaian terhadap staf harus dilakukan berdasarkan tugas yang terkait
dengan pekerjaan fungsional yang diberikan dan juga pada penampilan
kerja yang dihasilkan dalam meningkatkan mutu pelayanan.
2.4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
dinyatakan bahwa pengelolaan perbekalan farmasi yang meliputi alat kesehatan,
sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh
Instalasi Rumah Sakit dengan sistem satu pintu. Apoteker bertanggung jawab
terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
di rumah sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuan yang
berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai merupakan suatu
siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan
kefarmasian.
Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
meliputi :
A. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan.
B. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin
terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
C. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin
ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau
dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang
berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang
dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode
pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan
proses pengadaan, dan pembayaran.
D. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
E. Penyimpanan
Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban,
ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai.
F. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan
ketepatan waktu. Rumah sakit harus menentukan sistem distribusi yang
dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara :
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi
Farmasi.
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan.
3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola
(di atas jam kerja) maka pendistribusian didelegasikan kepada penanggung
jawab ruangan.
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock
kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan
interaksi Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap
melalui Instalasi Farmasi
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai berdasarkan Resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis
tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit
dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b
+ c atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk
pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian Obat
dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock
atau Resep individu yang mencapai 18%. Sistem distribusi dirancang atas dasar
kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan :
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi
G. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan
cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
H. Pengendalian dan Administrasi
a) Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) di Rumah Sakit.
b) Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
Kegiatan administrasi terdiri dari :
1. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian
persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara
periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu
(bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
2. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka
perlu menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan
merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya,
pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan
yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan Kefarmasian secara rutin
atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulanan, semesteran atau
tahunan.
3. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak
terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan
cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
2.5 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik adalah penerapan pengetahuan obat untuk
kepentingan penderita, dengan memperhatikan kondisi penyakit, penderita dan
kebutuhannya untuk mengerti terapi obatnya, dan pelayanan ini memerlukan
hubungan yang profesional antara apoteker, penderita, dokter, perawat, dan tenaga
medis lain yang terlibat memberikan perawatan kesehatan. Tujuan utama pelayanan
farmasi klinik adalah meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengkoreksi
kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan obat. Pelayanan farmasi
klinik yang dilakukan meliputi:
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait
Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada
dokter penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep sesuai
persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis
baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.

2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain
yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh
dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat
pasien. Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat :
a. Membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan
informasi penggunaan Obat
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh tenaga
kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan
c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD)
d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat
e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan
Obat
f. Melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan
g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat yang
digunakan
h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat;
i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat
j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu
kepatuhan minum obat (concordance aids)
k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa
sepengetahuan dokter
l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan
alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien.
Kegiatan yang dilakukan:
a. Penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada pasien/keluarganya
b. Melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat pasien.
Informasi yang harus didapatkan :
a. Nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat
b. Reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi
c. Kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat (jumlah Obat yang tersisa).

3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error)
seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat.
Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien
dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta
pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan
sebaliknya. Adapun tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah :
a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi
dokter
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter
Selain itu, adapun tahapan proses rekonsiliasi obat yaitu :
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang digunakan oleh pasien
meliputi nama obat, dosis, rute pemberian, frekuensi, obat mulai diberikan,
diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping
obat, dicatat tanggal kejadian obat yang menyebabkan terjadinya reaksi
alergi dan efek samping. Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari
pasien, keluarga pasien dan rekam medik. Data obat yang dapat digunakan
tidak lebih dari tiga bulan sebelumnya. Semua obat yang digunakan pasien
baik resep maupun obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses
rekonsiliasi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan akan
digunakan. Pada tahap ini ketidak cocokan sering terjadi ketika ditemukan
perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidak cocokan dapat terjadi bila
ada obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidak
cocokan ini dapat bersifat disengaja oleh dokter pada saat penulisan resep
maupun tidak sengaja dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat
menuliskan resep.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi.
d. Komunikasi
Komunikasi dilakukan dengan pasien/keluarga pasien/perawat mengenai
perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap
informasi obat yang diberikan.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak
bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan
pihak lain di luar Rumah Sakit. Adapun tujuan PIO sebagai berikut :
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
terutama bagi PFT
c. Menunjang penggunaan obat yang rasional
5. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari Apoteker kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling
untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan
dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien
atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian
konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi
pasien (patient safety).
Secara khusus konseling obat ditujukan untuk :
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat
g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional
bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Adapun kegiatan dalam PTO meliputi :
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat
Selain itu, tahapan dalam melakukan PTO adalah :
 Pengumpulan data pasien
 Identifikasi masalah terkait obat
 Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
 Pemantauan
 Tindak lanjut
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada
dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak
dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
Adapun tujuan MESO antara lain :
a. Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal, frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan.
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan atau
mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO.
d. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
e. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO antara lain :
a. Mendeteksi adanya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (ESO)
b. Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami ESO
c. Mengevaluasi laporan ESO
d. Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di PFT
e. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif
dan kuantitatif. Adapun tujuan EPO adalah :
a. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat
b. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu
c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat
d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat
Kegiatan praktek EPO meliputi :
a. Mengevaluasi penggunaan obat secara kualitatif
b. Mengevaluasi penggunaan obat secara kuantitatif
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan
teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari
terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Adapun tujuan dispensing sediaan steril adalah :
a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan
b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk
c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya
d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
a. Pencampuran obat suntik
Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang
menjamin kompatibilitas dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan
dosis yang ditetapkan. Kegiatan pencampuran obat suntik meliputi
mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infuse, melarutkan sediaan
intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai, mengemas
menjadi sediaan siap pakai.
b. Penyiapan Nutrisi Parenteral
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh
tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dan menjaga
stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang
menyertai. Adapun kegiatan dalam dispensing sediaan khusus adalah
mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk
kebutuhan perorangan dan mengemas ke dalam kantong khusus untuk
nutrisi.
c. Penanganan Sediaan Sitostatik
Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan obat kanker secara
aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga
farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap
lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan
kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada
saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien
sampai pembuangan limbahnya. Kegiatan dalam penanganan sediaan
sitostatik meliputi melakukan perhitungan dosis secara akurat, melarutkan
sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai, mencampur sediaan obat
kanker sesuai dengan protocol pengobatan, mengemas dalam kemasan
tertentu dan membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi
hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang
merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker
kepada dokter. Adapun tujuan dari PKOD adalah :
a. Mengetahui kadar obat dalam darah
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat
Kegiatan PKOD meliputi :
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah
b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD dan
Menganalisis hasil PKOD dan memberikan rekomendasi.
BAB III
TINJAUAN KHUSUS

3.1 Profil Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung


3.1.1 Sejarah Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung
Pada tahun 1965, sebelum muktamar Muhammadiyah ke-36
diselenggarakan oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, Mayjen. Masyhudi meminta
kepada pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Barat pada masa kepemimpinan
Bapak H.M Yunus Anis agar segera memprakarsai berdirinya sebuah rumah sakit
Islam di Bandung. Alasannya adalah karena sudah ada lima yayasan yang akan
mendirikan rumah sakit Islam namun tidak pernah terwujud.
Sebagai tindak lanjut dan adanya keinginan mendirikan rumah sakit yang
bernafaskan Islam, maka muktamar Muhammadiyah yang ke-36 yang dilaksanakan
pada bulan Juli 1968 di Bandung menghasilkan suatu keputusan agar setiap provinsi
di wilayah NKRI dibangun sebuah rumah sakit, sekolah perawat, dan sekolah
kebidanan.
Terdorong atas tanggung jawab dan rasa keprihatinan umat Islam di
Bandung khususnya, dalam pembangunan sebuah Rumah Sakit Muhammadiyah,
dengan melihat kenyataan di Bandung ini hanya ada lima rumah sakit swasta milik
non muslim. Niat ini kemudian disampaikan dalam rapat pleno para pimpinan
wilayah Muhammadiyah dan Aisyiyah pada tahun 1967 dan rapat kerja majelis
pendidikan dan kesejahteraan umat (PKU), agar di Bandung segera didirikan
Rumah Sakit Muhammadiyah, yang kemudian disetujui untuk segera didirikan.
Langkah awal segera dilakukan dalam menentukan titik lokasi berdirinya
Rumah Sakit Muhammadiyah, yaitu dengan meminta saran kepada Walikota
Kotamadya Bandung, yang saat itu dijabat oleh Bapak E. Sukarna Widjaya dan
Kepala Dinas Bapak Dr. Uton Muchtar Rafe’I, MPH, bahwa Rumah Sakit
Muhammadiyah harus segera dibangun di wilayah Karees. Setelah dianalisa
ternyata sesuai dengan rencana pengembangan kota, karena di wilayah-wilayah lain
pelayanan telah terpenuhi.
Pimpinan wilayah Muhammadiyah saat itu langsung mengadakan
musyawarah dengan pimpinan Muhammadiyah wilayah priangan, pimpinan
Muhammadiyah cabang Bandung lama, bagian PKU cabang, pimpinan Aisyiyah
cabang Bandung lama. Hasil dari musyawarah tersebut adalah berupa keputusan
bahwa lokasi gedung Panti Asuhan Taman Harapan Muhammadiyah dan Asrama
Putri Aisyiyah agar ditukar amal usahanya dengan Rumah Sakit Islam
Muhammadiyah.
Sesuai dengan berita acara serah terima gedung Nomor 130-47/13 tertanggal
1 September 1967, maka Panti Asuhan Taman Harapan Muhammadiyah yang
semula terletak di Jalan Banteng Nomor 53, dipindahkan ke Jalan Nilem Nomor 09
(bekas Poliklinik Bersalin Muhammadiyah cabang Lengkong), sedangkan Asrama
Putri Aisyiyah dipindah ke asrama muslihat di Jalan Buah Batu Bandung.
Adapun yang menjadi alasan didirikannya Rumah Sakit Muhammadiyah di bekas
lokasi Panti Asuhan tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Tidak membutuhkan banyak biaya karena hanya tinggal dilakukan
perbaikan lokal dan kamar-kamar.
2. Sudah dimilikinya perizinan dari Departemen Sosial.
3. Adanya dukungan dari unsur masyarakat dan keluarga besar
Muhammadiyah.
4. Adanya fasilitas air dan listrik yang memadai.
5. Adanya kemudahan perolehan izin dari pemerintah kota Bandung.
6. Adanya persetujuan dari Gubernur dan Walikota.
7. Usaha dan kerja pembangunan terbatas pada pengadaan peralatan dan
renovasi yang bersifat sederhana.
Atas dasar itu, maka akhirnya RSMB dapat dibangun dan dibuka secara
resmi oleh Gubernur Jawa Barat beserta pimpinan Muhammadiyah pada hari sabtu
tanggal 17 November 1968. Pada saat itu Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung
hanya memiliki fasilitas yang terbatas, diantaranya yaitu pelayanan klinik umum,
pusat kesehatan (Health Centre), laboratorium klinik, ruangan penderita penyakit
umum dan khusus, serta Rumah Sakit Bersalin dan Balai Kesehatan Ibu dan Anak
(BKIA).
Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung bertugas melaksanakan upaya
kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara seksama dan terpadu
dengan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat, didasarkan atas tanggung jawab untuk memenuhi pelayanan
medis, serta sebagai media dakwah Islamiyah.
Sesuai dengan fasilitas yang dimiliki oleh Rumah Sakit Muhammadiyah
Bandung, maka rumah sakit ini termasuk kategori rumah sakit umum kelas C yang
memberikan pelayanan medis yang bersifat umum serta mempunyai pelayanan
medis spesialis yang meliputi spesialis anak, jiwa, bedah, penyakit dalam,
kebidanan dan kandungan, THT, saraf, kulit&kelamin, mata, dan bedah mulut.
3.1.2 Sarana dan Prasarana
Rumah Sakit Muhammadiyah dengan luas bangunan 2.853 m, diatas lahan
seluas 7.751 m, dengan jumlah tempat tidur 176 buah dengan distribusi berdasarkan
kelas perawatan.
3.1.3 Jenis Pelayanan
Dibawah ini adalah jenis pelayanan yang terdapat di Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung, yaitu:
1. Pelayanan Rawat Jalan
2. Pelayanan Rawat Inap
3. Pelayanan Gawat Darurat
4. Pelayanan Rawat Intensif
5. Pelayanan Rehabilitasi Medik
6. Pelayanan Operasi
7. Pelayanan Farmasi
8. Pelayanan Radiologi
9. Pelayanan USG, EKG, dan lain-lain
10. Pelayanan Laboratorium (Anatomi dan Klinik)
11. Pelayanan Gizi
12. Pelayanan Rohani
13. Pelayanan Hemodialisa
14. Pelayanan Medical Check-Up
15. Pelayanan Keluarga Berencana di Rumah Sakit
16. Penyuluhan Kesehatan di Rumah Sakit
17. Pelayanan Spesialistik yang meliputi :
a. Spesialis Bedah
b. Spesialis Obstetri dan Gynecology
c. Spesialis Kesehatan Anak
d. Spesialis Penyakit Dalam
e. Spesialis Mata
f. Spesialis THT
g. Spesialis Rehabilitasi Medik
h. Spesialis Anastesi
i. Spesialis Saraf
j. Spesialis Paru
k. Spesialis Jiwa
l. Spesialis Bedah Saraf
m. Spesialis Bedah Urologi
n. Spesialis Bedah Onkologi
o. Spesialis Bedah Mulut
p. Spesialis Rematologi
q. Spesialis Hematologi
r. Spesialis Jantung
s. Spesialis Patologi Klinik
t. Spesialis Patologi Anatomi
u. Spesialis Radiologi
v. Spesialis Endokrin
3.2 Lokasi
Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung terletak di Jalan KH. Ahmad
Dahlan Nomor 53 Bandung, telp (022) 7301062, fax (022) 7323545.
3.3 Struktur Organisasi
Susunan organisasi Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung dipimpin oleh
direktur yang membawahi wakil direktur umum dan keuangan, wakil direktur
medis dan keperawatan. Direktur secara tidak langsung mengawasi komite medik
dan komite keperawatan.Wakil direktur umum dan keuangan membawahi bagian
tata usaha, keuangan, dan sumber daya. Wakil direktur medis dan keperawatan
membawahi bidang pelayanan medik, keperawatan, dan penunjang medis. Selain
itu direktur membawahi bidang syiar islam dan pengembangan da’wah serta satuan
pengawas intern (SPI).
3.4 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker
A. Kepala Unit Farmasi
Bertanggung jawab kepada : Manajer Penunjang Medik
Melakukan supervisi atas :
1. Koordinator Pengelolaan Perbekalan Farmasi
2. Koordinator Pelayanan Farmasi Klinik & Peningkatan Mutu
3. Koordinator Distribusi
4. Koordinator Administrasi
Tanggung Jawab :
1. Bertanggung jawab untuk ketepatan pengelolaan perbekalan dan
penggunaan perbekalan Farmasi
2. Bertanggung jawab dalam penyusunan program kerja dan anggaran
Farmasi.
3. Bertanggung jawab dalam penyusunan sistem organisasi dan tata kerja
Farmasi.
4. Bertanggung jawab dalam penggunaan sarana fasilitas.
5. Bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan staf di Unit
Farmasi.
6. Bertanggung jawab dalam penyusunan SOP Farmasi.
7. Bertanggung jawab dalam melakukan koordinasi dengan unit terkait.
Wewenang :
1. Memastikan terselenggaranya proses pelayanan Unit Farmasi sesuai dengan
pedoman yang berlaku.
2. Menetapkan dan mendelegasikan praktek pekerjaan kefarmasian kepada
staf farmasi.
3. Memastikan mengendalikan semua pengelolaan perbekalan farmasi dan
pelayanan kefarmasian berjalan dengan baik.
4. Menetapkan penilaian terhadap kinerja staf.
5. Menandatangani dokumen-dokumen yang berkaitan dengan farmasi.
6. Memastikan semua usulan yang akan diajukan kepada atasan
7. Memberikan pelayanan kefarmasian sesuai dengan aturan yang berlaku
dengan memperhatikan etika profesi.
Uraian tugas :
1. Mempelajari Program Kerja Rumah Sakit, Kebijakan Direksi, rencana
kerja Bagian Penunjang Medik, Peraturan dan Perundang-undangan yang
berlaku di Unit Farmasi.
2. Membantu Manajer Penunjang Medik melaksanakan fungsi utamanya
melakukan kegiatan peracikan, penyimpanan dan pengeluaran obat-obatan
dan bahan kimia.
3. Mengkoordinasikan penyusunan tata kerja Unit Farmasi mulai dari
distribusi tugas, pengarahan pelaksanaan tugas, penentuan target kerja dan
bimbingan dalam pencapaian target kerja.
4. Merancang penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) di Unit
Farmasi bersama Koordinator dibawah tanggung jawabnya.
5. Melakukan koordinasi dengan unit kerja terkait untuk kelancaran
pelayanan.
6. Melakukan pengendalian dan pengawasan pelayanan yang berkualitas di
Unit Farmasi.
7. Membuat penilaian prestasi kerja pegawai (DP3) untuk pengembangan karir
pegawai.
8. Melakukan pengelolaan Sumber Daya lnsani di Unit Farmasi.
9. Mengkaji dan menganalisa data kunjungan dan jumlah persediaan
perbekalan farmasi sebagai bahan masukan kepada Atasan.
10. Mengkordinasikan pengelolaan perbekalan farmasi secara periodik sesuai
kebutuhan.
11. Menerima laporan pengelolaan perbekalan dan pelayanan farmasi sebagai
bahan tindak lanjut kepada Atasan.
12. Melaksanakan fungsi pelayanan farmasi klinik berdasarkan kebijakan
rumah sakit.
13. Menyusun rencana program pelayanan dan pengembangan pelayanan
Farmasi untuk disampaikan kepada Atasan sebagai bahan masukan.
14. Mengadakan rapat internal Farmasi dan mengikuti rapat koordinasi lainnya.
15. Menyampaikan usulan pemecahan masalah yang berkaitan dengan kegiatan
Farmasi kepada Atasan.
B. Koordinator Distribusi
Bertanggung jawab kepada : Kepala Unit Farmasi
Melakukan supervisi atas :
1. Apoteker Farmasi Sentral
2. Apoteker Farmasi Raudhah
Tanggung Jawab :
1. Bertanggung jawab atas pelayanan obat atas resep dokter.
2. Bertanggung jawab atas pelayanan Barang Medis habis Pakai.
3. Bertanggung jawab atas penyimpanan obat narkotika dan psikotropika.
4. Bertanggung jawab atas pencatatan dan administrasi terkait.
5. Bertanggung jawab atas stok persediaan farmasi.
Wewenang :
1. Melaksanakan skrining resep dokter.
2. Mengajukan permohonan pengadaan sediaan farmasi yang dibutuhkan.
3. Menerima, menyimpan dan mendistribusikan psikotropika dan narkotika.
Uraian tugas :
1. Mengatur pelaksanaan pelayanan resep pasien rawat inap dan rawat jalan.
2. Mengatur dan mengendalikan distribusi obat dan alat kesehatan habis pakai
melalui resep dokter, depo dan ruang perawatan.
3. Mengendalikan dan mengawasi kegiatan distribusi, penyimpanan dan
pemakaian obat terutama Narkotika dan Psikotropika.
4. Mengawasi kegiatan distribusi obat dan alat kesehatan di masing-masing
depo.
5. Melakukan pelayanan informasi obat.
6. Membuat laporan pemakaian OKT dan narkotik untuk disampaikan ke
atasan.
7. Melaksanakan pelaporan piutang resep karyawan Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung untuk ditindaklanjuti unit terkait.
8. Melakukan stock opname alat kesehatan habis pakai, reagen serta
persediaan lain yang ada di unit farmasi.
9. Melaksanakan pelaporan distribusi obat dan alat kesehatan habis pakai
melalui resep dokter, depo dan ruang perawatan.
10. Mengikuti pertemuan rutin di Unit Farmasi.
11. Melaksanakan tugas lain dari atasan.
C. Koordinator Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Bertanggung jawab kepada : Kepala Unit Farmasi
Melakukan supervisi atas :
1. Petugas Perencanaan dan Pengadaan
2. Petugas Penerimaan dan Penyimpanan
Tanggung Jawab :
1. Bertanggung jawab atas aspek-aspek pengelolaan perbekalan farmasi.
2. Bertanggung jawab atas keamanan seluruh kegiatan pengelolaan
perbekalan.
3. Bertanggung jawab atas penataan dan penempatan perbekalan farmasi
Wewenang :
1. Memastikan pemesanan obat dan perbekalan kesehatan lainnya.
2. Menentukan penerimaan dan penyimpanan perbekalan kesehatan.
3. Memastikan produksi produksi perbekalan yang dibutuhkan oleh rumah
sakit.
4. Memastikan penyaluran perbekalan diterima oleh unit yang membutuhkan.
Uraian tugas :
1. Membantu kepala unit farmasi dalam penyusunan program kegiatan
tentang pengelolaan perbekalan farmasi.
2. Membantu kepala unit farmasi dalam penyusunan prosedur, standar
pedoman pengelolaan perbekalan farmasi.
3. Mengatur perencanaan dan pengadaan alat dan bahan perbekalan farmasi.
4. Mengatur penerimaan dan penyimpanan alat dan bahan perbekalan farmasi.
5. Mengatur perbekalan farmasi yang diperlukan oleh rumah sakit.
6. Mengatur keamanan pengadaan dan penyimpanan perbekalan farmasi.
7. Mengatur penyaluran perbekalan farmasi ke depo farmasi sental, depo
farmasi raudhah dan farmasi OK dan ICU dan unit lain yang membutuhkan.
8. Melakukan evaluasi dan membuat laporan kegiatan yang dilaksanakan
untuk dilaksanakan ke atasan.
9. Melaksanakan praktek pekerjaan kefarmasian.
D. Koordinator Pelayanan Farmasi Klinik Dan Peningkatan Mutu
Bertanggung jawab kepada : Kepala Unit Farmasi
Melakukan supervisi atas :
1. Apoteker Farmasi Klinik
2. Apoteker Monitoring dan Evaluasi
Tanggung Jawab :
1. Bertanggung jawab atas ketepatan dan keamanan obat yang diterima oleh
pasien.
2. Bertanggung jawab atas sumber data yang disediakan untuk penyusunan
formularium.
3. Bertanggung jawab atas ketepatan pelayanan informasi obat.
4. Bertanggung jawab atas kelancaran praktek kerja profesi apoteker.
Wewenang :
1. Melaksanakan praktek farmasi klinik.
2. Memastikan resep obat sudah dilakukan validasi.
3. Membimbing mahasiswa pendidikan profesi apoteker.
4. Memastikan dan mengendalikan mutu pelayanan farmasi.
Uraian tugas :
1. Membantu kepala unit farmasi dalam penyusunan program pelayanan
farmasi klinik dan peningkatan mutu pelayanan.
2. Membantu kepala unit farmasi dalam penyusunan prosedur, standar
pedoman pelayanan farmasi klinik dan peningkatan mutu pelayanan.
3. Melaksanakan validasi resep untuk menjamin ketepatan obat yang
diberikan untuk pengobatan pasien.
4. Memberi pelayanan informasi dan konsultasi obat.
5. Menyiapkan data atau bahan kajian sebagai pelaksanaan teknis Panitia
Farmasi dan Terapi.
6. Mengevaluasi pelayanan resep.
7. Mengawasi pelayanan resep dan membuat evaluasi pelayanan resep.
8. Mengawasi penggunaan dan pelaporan pelayanan resep obat Narkotika dan
OKT.
9. Mengevaluasi seluruh kegiatan pelayanan Unit Farmasi.
10. Melakukan kegiatan penelitian untuk pengembangan Unit Farmasi.
11. Melakukan proses pengendalian mutu pelayanan farmasi.
12. Membimbing praktek kerja mahasiswa profesi farmasi.
13. Melaporkan hasil kegiatan kepada atasan.
E. Apoteker Farmasi Raudhah
Bertanggung jawab kepada : Koordinator Distribusi
Melakukan supervisi atas : Tenaga Teknis Kefarmasian Pelaksana
Tanggung Jawab :
Mengorganisir, melaksanakan dan mengawasi kegiatan pelayanan
kefarmasian meliputi farmasi IGD, farmasi rawat inap (Raudhah, Arafah
dan Dewi Sartika) dan farmasi OK dan ICU di RS Muhammadiyah
Bandung.
Wewenang :
1. Mengajukan usulan rencana kerja dan kegiatan pelayanan kefarmasian
kepada Kepala Unit Farmasi.
2. Melakukan supervisi, pengawasan, dan pengarahan terhadap pelaksanaan
tugas Tenaga Teknis Kefarmasian dan petugas administrasi di farmasi
raudhah dan depo farmasi OK dan ICU.
3. Membina staf unit farmasi raudhah bila melanggar disiplin kerja.
4. Menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam proses dispensing (dimulai
dari resep diterima sampai obat diserahkan kepada pasien/perawat).
5. Menyelesaikan drug related problem’s yang terjadi pada pasien di
unit/ruang perawatan.
6. Menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam proses penggunaan obat
baik oleh perawat (proses administering dalam pelayanan resep rawat inap)
maupun oleh pasien (pelayanan resep rawat jalan).
7. Melakukan pemantauan efek terapi dan efek samping obat yang digunakan
oleh pasien di unit/ruang perawatan.
8. Bekerjasama dengan profesi kesehatan lain atas dasar saling menghormati
kompetensi dan standar etik masing-masing.
Uraian tugas :
1. Merencanakan kebutuhan SDM depo farmasi raudhah dan depo farmasi OK
dan ICU.
2. Melaksanakan proses pelayanan resep (dispensing) untuk pasien depo
farmasi raudhah dan depo farmasi OK dan ICU sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
3. Mengadakan koordinasi dan kerjasama baik internal maupun eksternal yang
terkait dalam rangka kelancaran pelayanan depo farmasi raudhah dan depo
farmasi OK dan ICU.
4. Melakukan administrasi dan dokumentasi semua kegiatan dengan rapi dan
lengkap dan bila perlu melaporkannya kepada kepala unit farmasi.
5. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diminta oleh kepala unit farmasi.
6. Monitoring semua peralatan dan sarana yang ada di farmasi raudhah dan
depo farmasi OK dan ICU agar selalu dalam keadaan baik, lengkap dan siap
pakai.
7. Melakukan evaluasi terhadap semua kegiatan di farmasi raudhah dan depo
farmasi OK dan ICU dan bila perlu mengadakan perbaikan-perbaikan.
8. Melakukan review terhadap resep dokter untuk memastikan ketepatan
pengobatan, ketepatan dosis sesuai dengan umur/BB, ketepatan rute dan
kecepatan pemberian obat serta identifikasi Drug Related Problem’s lain
seperti interaksi obat, reaksi alergi serta kepatuhan pasien.
9. Melalui persetujuan penulis resep dan atau manajemen Rumah Sakit,
melakukan substitusi generik atau substitusi formularium nasional atau
substitusi formularium Rumah Sakit.
10. Menyiapkan/Melakukan supervisi terhadap tenaga teknis kefarmasian pada
proses penyiapan/peracikan obat.
11. Membuat profil pengobatan/daftar terapi dalam rangka Dispensing Dosis
Unit.
12. Merekapitulasi rincian pemakaian obat/alat kesehatan pasien dan biayanya.
13. Ikut serta dalam proses pendampingan bagi calon Apoteker dalam program
Praktek Kerja Profesi Apoteker.
F. Apoteker Farmasi Sentral
Bertanggung jawab kepada : Koordinator Distribusi
Melakukan supervisi atas : Tenaga Teknis Kefarmasian Pelaksana
Tanggung Jawab :
Mengorganisir, melaksanakan dan mengawasi kegiatan pelayanan
kefarmasian meliputi farmasi poliklinik, farmasi multazam RS
Muhammadiyah Bandung.
Wewenang :
1. Mengajukan usulan rencana kerja dan kegiatan pelayanan kefarmasian
kepada Kepala Unit Farmasi.
2. Melakukan supervisi, pengawasan, dan pengarahan terhadap pelaksanaan
tugas Tenaga Teknis Kefarmasian dan petugas administrasi di depo farmasi
sentral.
3. Menegur dan membina staf unit farmasi sentral bila melanggar disiplin
kerja.
4. Menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam proses dispensing (dimulai
dari resep diterima sampai obat diserahkan kepada pasien/perawat).
5. Menyelesaikan drug related problem’s yang terjadi pada pasien di
unit/ruang perawatan.
6. Menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam proses penggunaan obat
baik oleh perawat (proses administering dalam pelayanan resep rawat inap)
maupun oleh pasien (pelayanan resep rawat jalan)
7. Melakukan pemantauan efek terapi dan efek samping obat yang digunakan
oleh pasien di unit/ruang perawatan.
8. Bekerjasama dengan profesi kesehatan lain atas dasar saling menghormati
kompetensi dan standar etik masing-masing
Uraian tugas :
1. Merencanakan kebutuhan SDM depo farmasi sentral.
2. Melaksanakan proses pelayanan resep (dispensing) untuk pasien farmasi
sentral sesuai dengan prosedur yang berlaku.
3. Mengadakan koordinasi dan kerjasama baik internal maupun eksternal yang
terkait dalam rangka kelancaran pelayanan farmasi sentral.
4. Memberikan pendidikan serta membimbing staf dibawahnya dan
mahasiswa yang menjalani praktek kerja/penelitian/magang di unit farmasi.
5. Melakukan administrasi dan dokumentasi semua kegiatan dengan rapi dan
lengkap dan bila perlu melaporkannya kepada kepala unit farmasi.
6. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diminta oleh kepala unit farmasi.
7. Membuat laporan penggunaan obat psikotropika dan narkotika setiap bulan.
8. Melakukan evaluasi terhadap semua kegiatan di depo farmasi sentral dan
bila perlu mengadakan perbaikan-perbaikan.
9. Melakukan review terhadap resep dokter untuk memastikan ketepatan
pengobatan, ketepatan dosis sesuai dengan umur/BB, ketepatan rute dan
kecepatan pemberian obat serta identifikasi Drug Related Problem’s lain
seperti interaksi obat, reaksi alergi serta kepatuhan pasien.
10. Melakukan komunikasi yang efektif kepada dokter penulis resep atau
perawat jika ditemukan Drug Related Problem’s.
11. Melakukan koordinasi dengan apoteker/dokter penulis resep/unit perawatan
untuk memecahkan Drug Related Problem’s.
12. Melalui persetujuan penulis resep dan atau manajemen Rumah Sakit,
melakukan substitusi generik atau substitusi formularium nasional atau
substitusi formularium Rumah Sakit.
13. Menyiapkan/Melakukan supervisi terhadap tenaga teknis kefarmasian pada
proses penyiapan/peracikan obat.
14. Ikut serta dalam proses pendampingan bagi calon Apoteker dalam program
Praktek Kerja Profesi Apoteker.
G. Apoteker Farmasi Klinik
Bertanggung jawab kepada Koordinator Farmasi Klinik dan Peningkatan
Mutu
Tanggung Jawab :
1. Bertanggung jawab atas ketepatan dan keamanan obat yang diterima oleh
pasien.
2. Bertanggung jawab atas ketepatan pelayanan informasi obat.
3. Bertanggung jawab atas kelancaran praktek kerja profesi apoteker.
Wewenang :
1. Melaksanakan praktek farmasi klinik.
2. Memastikan resep obat sudah dilakukan validasi.
3. Membimbing mahasiswa pendidikan profesi apoteker.
Uraian tugas :
1. Memberi masukan terhadap program kerja instalasi farmasi
2. Membuat perencanaan pengembangan dan perbaikan pelayanan farmasi di
depo farmasi
3. Mengatur sistem dan alur pelayanan farmasi di depo farmasi
4. Memimpin, mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan
kefarmasiaan di depo farmasi
5. Membuat, memperbaiki, mengembangkan dan menjalankan protap sesuai
dengan perkembangan ilmu kefarmasian.
6. Melaksanakan pengawasan, pembinaan, bimbingan dan evaluasi terhadap
staf di depo farmasi dalam rangka pengembangan mutu pelayanan farmasi.
7. Melaksanakan pengendalian, pengawasan dan pengelolaan pelayanan
farmasi di depo farmasi .
8. Membina hubungan kerja yang baik dengan unit kerja yang ada di
lingkungan rumah sakit.
9. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Unit Farmasi.
3.5 Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi di IFRS Muhammadiyah Bandung meliputi
pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
produksi/pengemasan kembali, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan.
3.5.1 Pemilihan
Pemilihan perbekalan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit berdasarkan Formularium
Rumah Sakit yang disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) RSMB
berdasarkan pola konsumtif, efektifitas dan keamanan, mutu dan harga.
3.5.2 Perencanaan dan Pengadaan
Perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
yang dilakukan di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung berdasarkan buku
defekta, barang fast moving/slow moving dan pola penyakit yang mengacu ke
Formularium Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.
Pengadaaan di Rumah Sakit Muhammadiyah terdiri dari pengadaan medis
habis pakai dan penunjang (Laboratorium, radiologi, gizi, dll). Pemesanan sediaan
farmasi dan perbekalan farmasi di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung
dilakukan setiap hari sesuai kebutuhan, untuk menghindari penumpukan barang,
kekosongan barang dan meminimalisir barang yang kadaluarsa.
3.5.3 Penerimaan
Penerimaan perbekalan farmasi dari Pedagang Besar Farmasi (PBF)
merupakan suatu kegiatan yang dipesankan oleh petugas pengadaan ke PBF
berdasarkan perencanaan pemesanan obat yang telah disetujui oleh Kepala Instalasi
Farmasi. Penerimaan perbekalan kesehatan dari PBF dilakukan di gudang farmasi
pada saat jam kerja. Penerimaan perbekalan farmasi diluar jam kerja yang dikirim
PBF dilakukan karena sangat diperlukan untuk pengobatan pasien, dapat diterima
oleh petugas IFRS yang bertugas pada shift siang. Pencatatan dan pelaporan
penerimaan perbekalan farmasi berupa jumlah dan nilai dari perbekalan farmasi
yang diterima melalui gudang instalasi farmasi. Kebijakannya meliputi seluruh
kegiatan penerimaan perbekalan kesehatan perlu dilakukan pencatatan pada
komputer dan pelaporan didokumentasikan. Penyimpanan arsip instalasi farmasi
minimal tiga tahun sekali dan dapat dimusnahkan dengan cara dibakar dan dibuat
berita acara pemusnahan.
3.5.4 Penyimpanan
Penyimpanan perbekalan farmasi dan alat kesehatan adalah pengelolaan
dalam penyimpanan perbekalan farmasi yang diterima dari PBF di gudang instalasi
farmasi. Perbekalan kesehatan yang diterima dari PBF sesuai dengan pesanan
disimpan terlebih dahulu di gudang instalasi farmasi rumah sakit, dengan
menggunakan prinsip First In First Out untuk kemudian didistribusikan ke unit
distribusi. Penyimpanan narkotika dan psikotropika, kebijakannya adalah
penyimpanan narkotika di lemari khusus yang memiliki pintu ganda yang terkunci.
Penyimpanan sitostatika disimpan terpisah dengan obat lain. Sedangkan
penyimpanan vaksin di ruang pelayanan pada lemari pendingin dengan suhu
terkendali 2-8oC.
3.5.5 Pendistribusian
Pendistribusian merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi
di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap
dan rawat jalan. Secara keseluruhan sistem distribusi yang dijalankan di Rumah
Sakit Muhammadiyah Bandung ada 4, yaitu floor stock, unit dose, resep individu,
dan kombinasi antara ketiga metode tersebut.
a. Floor stock
Merupakan sistem distribusi obat dimana sediaan obat sudah tersedia di
ruang perawat yang nantinya saat dibutuhkan perawat akan menyiapkan
obat yang dibutuhkan dari lemari persediaan obat tersebut. Untuk
memenuhi persediaan obat yang berada di setiap ruangan maka perawat di
setiap ruangan akan membuat daftar perbekalan farmasi yang dibutuhkan
yang selanjutnya akan diserahkan ke bagian instalasi farmasi yang khusus
mengelola untuk persediaan ruangan tersebut, yang nantinya akan dikirim
perbekalan yang dibutuhkan tersebut ke setiap ruangan. Atau perawat bisa
menyerahkan daftar perbekalan farmasi yang dibutuhkan dan
mengambilnya dari instalasi farmasi.
b. Unite dose
Merupakan sistem distribusi obat yang dilakukan oleh bagian farmasi
dengan menyediakan obat hanya untuk satu kali pemberian atau maksimal
untuk pemberian 24 jam. Setiap pagi petugas dari farmasi akan menyiapkan
obat untuk penggunaan selama 24 jam yang sudah terbagi dalam beberapa
sesi pemberian obat, yaitu jam 07.00, jam 12.00, jam 18.00 dan jam 20.00.
Untuk penyerahan obat kepada pasien dilakukan oleh perawat.
c. Resep individual
Resep individual merupakan sistem distribusi obat yang pelayanan jumlah
obat dan signa obat yang disiapkan sesuai dengan yang tertulis di resep
dokter. Sistem distribusi ini merupakan sistem distribusi yang paling sering
digunakan sehari-hari dalam melayani resep pasien. Pelayanan yang
menggunakan sistem distribusi ini antara lain pelayanan resep pasien rawat
jalan, pelayanan resep karyawan Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung,
Pelayanan resep untuk pasien kontraktor/peserta asuransi.
d. Kombinasi
Merupakan sistem distribusi obat yang menggabungkan antara beberapa
sistem distribusi dari ketiga sistem diatas. Biasanya kombinasi ini antara
sistem distribusi resep individual dengan sistem distribusi persediaan ruang.
Sistem kombinasi ini biasanya diberlakukan di bagian pelayanan pasien
rawat inap.
3.5.6 Pengelolaan Perbekalan Alat Kesehatan yang Rusak atau Kadaluarsa
Pengelolaan perbekalan alat kesehatan yang rusak/kadaluarsa adalah
perbekalan kesehatan yang sudah memasuki batas aman untuk digunakan.
Perbekalan kesehatan yang mendekati kadaluarsa diinformasikan kepada staf
medik melalui PFT atau diretur kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF)/distributor.
Perbekalan kesehatan yang sudah memasuki waktu kadaluarsa/rusak diusulkan
untuk dimusnahkan.
3.5.7 Pengendalian
Pengendalian adalah proses yang dilakukan untuk menjaga agar
penggunaan perbekalan farmasi sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat
sebelumnya. Pengendalian memiliki tujuan agar penggunaan obat sesuai dengan
formularium rumah sakit, penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi,
memastikan persediaan efektif dan efisien agar tidak terjadi kekosongan atau
kelebihan, kerusakan, kadaluarsa atau kehilangan. Biasanya untuk melakukan
pengendalian dilakukan evaluasi terhadap barang yang ada, baik fast moving, slow
moving maupun death stock. Terakhir biasanya akan dilakukan stock opname yang
secara rutin dilakukan satu tahun sekali.
3.5.8 Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap nilai dari seluruh perbekalan farmasi
yang disalurkan melalui unit distribusi baik secara tunai, kredit maupun untuk
keperluan ruang perawatan, unit penunjang diagnostik dan lain-lain. Seluruh
penjualan/penggunaan perbekalan farmasi harus dilakukan pencatatan dan
pelaporan.
3.6 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan farmasi yang berinteraksi langsung
dengan pasien berkenaan dengan penggunaan obat. Tujuan dari pelayanan farmasi
klinik di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung adalah untuk menjamin kesehatan,
efektifitas, ketepatan, dan rasionalitas obat. Penanggung jawab dari pelayanan
farmasi klinik di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung adalah Kepala Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Kebijakan yang dibuat oleh
Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung mengenai pelayanan farmasi klinik, antara
lain:
1. Pengkajian dan pelayanan resep
Merupakan proses yang mencakup berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
seorang apoteker, mulai dari penerimaan resep atau permintaan obat bebas
bagi penderita rawat inap dan penderita rawat jalan dengan memastikan
penyerahan obat yang tepat, serta informasi obat yang diperlukan penderita
sehingga pasien mampu mengkonsumsi obat dengan baik dan benar.
Konsultasi dengan dokter tentang pemilihan regimen obat pada pasien
tertentu. membuat solusi dengan dokter penulis resep jika terdapat masalah
dalam resep.
2. Pelayanan informasi obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di
luar Rumah Sakit.
Pelayanan informasi obat diberikan kepada pasien pada saat penyerahan
obat. Informasi obat tersebut meliputi cara penggunaan obat, waktu
konsumsi dan tempat penyimpanan apabila diperlukan. Informasi obat
kepada dokter dan profesional kesehatan lain dilakukan apabila terdapat
obat baru yang harus segera diketahui oleh profesional kesehatan.
3. Rekonsiliasi
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk
mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak
diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat.
4. Konseling
Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dalam
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat
pasien rawat jalan dan rawat inap. Tujuan konseling adalah memberikan
pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara
menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda
toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan obat-obat lain.
Kriteria Pasien:
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil
dan menyusui)
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan
lain-lain)
c. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
phenytoin)
d. Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi) dan
e. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
5. Pemantauan Terapi Obat
Dalam pemantauan terapi obat yang tepat dan aman bagi pasien tidaklah
mudah untuk dilaksanakan maka diperlukan kerjasama yang baik antara
apoteker dengan tenaga kesehatan lainnya. Upaya IFRS Muhammadiyah
Bandung dalam pencegahan kesalahan obat terus ditingkatkan dan
dikembangkan sejalan dengan berkembangnya kasus-kasus yang terjadi
pada pasien dalam hal penggunaan obat.
6. Monitoring efek samping obat
MESO adalah program pemantauan keamanan obat setelah dikonsumsi
untuk mendukung upaya jaminan atas keamanan obat. Pasien dapat
mengungkapkan keluhan-keluhannya selama mengkonsumsi obat.
7. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi penggunaan obat merupakan program yang mengkaji,
meganalisis, dan menginterpretasi pola penggunaan obat. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus – menerus penggunaan obat
yang rasional dan untuk memastikan bahwa obat digunakan dengan tepat,
aman dan efektif. Apoteker RSMB peranan penting dalam menyediakan
informasi obat, penetapan kriteria penggunaan obat dan berpartisipasi
dalam pelaksanaan perbaikan penggunaan obat sehingga tujuan EPO
tercapai.
BAB IV
TUGAS KHUSUS

PEMANTAUAN TERAPI OBAT PADA PASIEN GAGAL JANTUNG


(CHF)

4.1 Definisi
Gagal jantung (Heart Failure, HF) adalah kondisi patofisiologi dimana
jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolis tubuh. Gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks
dimana seorang pasien merasakan gejala gagal jantung diantaranya (nafas pendek
yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan),
tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti
objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat. Gagal jantung
sering juga diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan penurunan fungsi sistolik
(fraksi ejeksi) atau dengan gangguan fungsi diastolik (fungsi sistolik atau fraksi
ejeksi normal).
Tanda dan gejala gagal jantung
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien
Gejala khas Tanda khas Gagal Tanda objektf
gagal jantung : Jantung
Sesak nafas saat Takikardia, edema perifer, Gangguan struktur atau
istrahat atau hepatomegali. fungsional jantung saat
aktifitas, istrahat, kardiomegali,
kelelahan, edema abnormalitas dalam gambaran
tungkai ekokardiogr

Klasifikasi Gagal Jantung


Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau berdasarkan
gejala :
Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas
struktural jantung fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang Tidak terdapat batasan dalam melakukan
menjadi gagal jantung. Tidak terdapat aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari
gangguan struktural atau fungsional jantung, tidak menimbulkan
tidak terdapat tanda atau gejala kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

Stadium B Kelas II
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
terdapat keluhan saat istrahat, namun
Telah terbentuk penyakit struktur jantung aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
yang berhubungan dengan perkembangan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak
berhubungan dengan penyakit struktural terdapat keluhan saat istrahat, tetapi aktfitas
jantung yang mendasari fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi atau sesak
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa
gagal jantung yang sangat bermakna saat keluhan. Terdapat gejala saat istrahat.
istrahat walaupun sudah mendapat terapi Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
medis maksimal (refrakter)

4.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
4.3 Patofisiologi
HF bisa karena banyak penyakit jantung atau kelainan yang merubah fungsi
sistolik, diastolik, atau keduanya. Penyebab disfungsi sistolik (menurunnya
kontraktilitas) adalah pembesaran kardiomyopati, hipertropi ventrikular, dan
pengurangan massa otot (seperti, myocardial infarction, MI). hipertropi ventrikular
bisa disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (seperti, hipertensi sistemik atau
pulmonal) atau kelebihan volume seperti (kondisi dimana output jantung tinggi).
Penyebab disfungsi diastolik (pembatasan pada pengisian ventricular) adalah
peningkatan kekakuan ventricular. Kekakuan ventricular bisa disebabkan oleh
hipertropi ventrikular, penyakit infiltratif, dan iskemi serta infark myocardia.
Penyebab paling umum adalah penyakit iskemi jantung, hipertensi atau
keduanya. Ketika fungsi cardiac menurun, jantung bergantung pada mekanisme
kompensasi berikut :
1. Takikardi dan peningkatan kontraktilitas melalui sistem saraf simpatik
2. Mekanisme Frank-Starling, dimana peningkatan preload meningkatkan
stroke volume
3. Vasokontriksi
4. Hipertropi ventrikular dan remodelling.
Mekanisme kompensasi ini awalnya menjaga fungsi cardiac, tapi kelamaan
memicu siklus berbahaya yang memperburuk HF. Model neurohormonal dari HF
mengenali bahwa kejadian yang mengawali seperti infark myocardiac akut
menyebabkan penurunan output cardiac kondisi HF lalu menjadi penyakit sistemik
yang perkembangannya terutama didukung oleh faktor neurohormon dan
autocrine/paracrine.
Faktor pemicu yang umum yang bisa menyebabkan pasien yang
sebelumnya mengalami kompensasi tidak lagi mengalami kompensasi termasuk
yang tidak terkait dengan diet atau terapi obat, iskemi koroner, terapi yang kurang
atau tidak sesuai, hipertensi yang tidak terkontrol, dan aritmia. Obat bisa memicu
atau memperparah HF karena inotropik negatif atau efek kardiotoksik atau karena
retensi air dan natrium.
4.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik muncul dari kongesti yang berkembang dibalik ventrikel
yang gagal dan sehingga tergantung pada apakah kegagalan pada sisi kiri atau
kanan. Kebanyakan pasien awalnya mengalami gagal ventrikel kiri, tapi kedua
ventrikel pada akhirnya akan terkena karena antara ventrikel terdapat dinding septal
dan karena gagal ventrikel kiri akan meningkatkan kerja ventrikel kanan.
4.5 Teknik Diagnostik
Sebagain besar pasien, namun keadaan tertentu memerlukan terapi
spesifik dan mungkin penyebab dapat dikoreksi. Uji diagnostik biasanya paling
sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering
kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal.
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi
disfungsi sistolik dan diastolic. Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas, sehingga adanya perbaikan kualitas
hidup, mengurangi masa tinggal di rumah sakit, memperlambat perkembangan
penyakit, dan memperlama hidup.
Algoritma diagnostik gagal jantung.

4.5.1 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau
elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien
dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosterone.
Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai pada gagal
jantung
Tanggal
Jenis Pemeriksaan Nilai normal 23/08/2018 24/08/2018 25/08/2018
Hemoglobin Pria 14,0 -17,5 gr /dL 11,0 gr /dL (Rendah) - -
Hematokrit Pria 42-53 % 34 % (Rendah) - -
Leukosit 4.000 -10.000 Sel/mm3 8,100 Sel/mm3 - -
Trombosit 150.000 – 400.000 188,000 Sel/mm 3
- -
Sel/mm3
Gula Darah Sewaktu Sampai 160 mg/dL 113 mg/dL - -
Troponin 1 Negatif : 0 – 0,02 mg/dL Positif : 0,04 mg/dL - -
Ureum 15,0 - 43,2 mg/dL 119,7 mg/dL (Tinggi) - 115,4 mg/dL(Tinggi)
Kreatinin Pria : 0,73 -1,36 mg/dL 3,02 mg/dL (Tinggi) - 2,46 mg/dL(Tinggi)
AST/SGOT Pria sampai 37 U/L - 10 U/L -
ALT/SGPT Pria sampai 41 U/L - 8 U/L -
Kolesterol < 200 mg/dL - 170 mg/dL -
Tringliserida < 200 mg/dL - 56 mg/dL -
HDL Kolesterol > 40 mg/dL - 38 mg/dL -
LDL Kolesterol < 130 mg/dL - 120 mg/dL -
Natrium 135 – 148 mmol/L - 141,8 mmol/L -
Kalium 3,5 -5,3 mmol/L - 5,77 mmol/L (Tinggi) -
Chloride 98 – 107 mmol/L - 116,3 mmol/L (Tinggi) -
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung).
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal
jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi
sistolik sangat kecil (< 10%).
Foto Toraks
Foto Toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik.
Abnormalitas Foto Toraks yang umum ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekokardiograf, doppler


ventrikel kanan, atria, efusi
perikard

Hipertrofi Hipertensi, stenosis Ekokardiografi, Doppler


ventrikel aorta,
kardiomiopati hipertrofi

Tampak Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis


paru normal

Kongesti Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis


vena paru pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri

Edema intersital Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis


pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan etologi nonkardiak (jika


peningkatan tekanan efusi
pengisian jika efusi bilateral banyak)
Infeksi paru, pasca bedah/
keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis/gagal jantung
limfatik kronik

Area Emboli paru atau emfsema Pemeriksaan CT,


paru hiperlusen Spirometri, ekokardiografi

Infeksi paru Pneumonia sekunder Tatalaksana kedua penyakit:


akibat kongesti paru gagal jantung dan
infeksi paru

Infltrat paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostik lanjutan

4.6 Terapi Farmakologi


Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. strategi pengobatan
mengunakan obat dan alat pada pasien gagal jantung simtomatik dan disfungsi
sistolik. Penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap
kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai. Tujuan
pengobatan gagal jantung yaitu menurunkan Mortalitas (jumlah kematian),
Morbiditas (jumlah sakit) dengan meringankan gejala dan tanda, memperbaiki
kualitas hidup, menghilangkan edema dan retensi cairan, meningkatkan kapasitas
aktifitas fisik, mengurangi kelelahan dan sesak nafas, mengurangi kebutuhan rawat
inap, menyediakan perawatan akhir hayat.
Obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung
Hipertensi
Hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko menjadi gagal jantung.
Terapi antihipertensi secara jelas menurunkan angka kejadian gagal jantung.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat
memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke.
Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes
juga terkena hipertensi.
Dosis awal (mg) Dosis target (mg)
ACEI
Captopril 6,25 (3 x/hari) 50 - 100 (3 x/hari)
Enalapril 2,5(2 x/hari) 10 - 20 (2 x/har)
Lisinopril 2,5 - 5 (1 x/hari) 20 - 40(1 x/hari)
Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2 x/hari)
Perindopril 2 (1 x/hari) 8 (1 x/hari)

ARB
Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)
Valsartan 40 (2 x/hari) 160 (2 x/hari)

Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)
Spironolakton 25 (1 x/hari) 25 - 50 (1 x/hari)

Penyekat β
Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)
Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 - 50 (2 x/hari)
Metoprolol 12,5 / 25 (1 x/hari) 200 (1 x/hari)
Spironolakton adalah inhibitor aldosterone yang menghasilkan efek diuretik
hemat-kalium lemah. Penggunaannya pada HF telah dipelajari karena aldosterone
adalah neurohormone yang berperan penting dalam ventricular remodelling dengan
meningkatkan deposit kolagen dan cardiac fibrosis. Karena potensinya, rendahnya
resiko, dan rendahnya biaya, spironolakton bisa digunakan untuk semua pasien HF
simtomatik. Konsentrasi serum kalium harus dimonitor secara rutin karena potensi
resiko hypokalemia.
Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40 – 240
Bumetanide 0.5 – 1.0 1–5
Torasemide 5 – 10 10 – 20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12.5 – 100
Metolazone 2.5 2.5 – 10
Indapamide 2.5 2.5 – 5
Diuretik hemat kaliu m
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5 - 25 (+ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 - 200
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I).Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (cairan seimbang) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk menghindari dehidrasi
atau reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
• Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
• Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
• Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten.
Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
Angiotensin II receptor blocker (seperti, losartan, candesartan, valsartan)
mem-block angiotensin II reseptor subtipe AT1, mencegah efek berbahaya dari
angiotensin II,dari manapun sumbernya. ARB tampaknya tidak mempengaruhi
bradikinin dan tidak dihubungkan dengan efek samping batuk yang terkadang
muncul dari akumulasi bradikinin yang dirangsang oleh penggunaan ACE inhibitor.
Meski beberapa data menyarankan bahwa ARB menghasilkan manfaat
mortalitas yang sama dengan ACE inhibitor tapi dengan efek samping yang lebih
kecil, ACE inhibitor tetapi merupakan obat pilihan untuk HF karena khasiatnya
yang telah terbukti, yang juga terlihat untuk MI dan diabetes.
Saat ini, ARB pada HF sebaiknya terbatas pada pasien yang tidak bisa
menerima ACE inhibitor, terutama karena batuk yang sulit disembuhkan atau
angioedema. ARB sebaiknya tidak menjadi alternatif bagi pasien dengan hipotensi,
hiperkalemi, atau gangguan fungsi ginjal, karena ACE inhibitor sebab ARB akan
memberikan efek samping seperti itu.
Angina
Penyekat β merupakan pilihan utama dalam tatalaksana penyakit penyerta
ini. Revaskularisasi dapat menjadi pendekatan alternatif untuk pengobatan kondisi
ini.
Tabel 20 Rekomendasi terapi farmakologis angina pectoris stabil pada
pasien gagal jantung
Langkah I :
Penyekat β, merupakan rekomendasi lini pertama untuk mengurangi angina
karena obat ini juga memiliki keuntungan pada terapi gagal jantung
Alternatif penyekat β
• Ivabradin, harus dipertimbangkan pada pasien dengan irama sinus yang
intoleran terhadap penyekat β untuk menghilangkan angina
• Nitrat per oral atau transkutan, harus dipertimbangkan pada pasien yang
intoleran terhadap penyekat β, untuk menghilangkan angina
• Amlodipin, harus dipertimbangkan pada pasien yang intoleran terhadap
penyekat β, untuk menghilangkan angina
• Nicorandil, dapat dipertimbangkan pada pasien yang intoleran terhadap
penyekat β, untuk menghilangkan angina
Langkah 2 : Menambahkan obat anti angina
Berikut adalah obat yang dapat ditambahkan pada penyekat β, bila kombinasi tidak
direkomendasi
• Penambahan ivabradine direkomdasikan bila angina persisten walaupun
sudah mendapat pengobatan dengan penyekat β (atau alternatifnya), untuk
menghilangakan angina
• Penambahan nitrat per oral atau transkutan, direkomdasikan bila angina
persisten walaupun sudah mendapat pengobatan dengan penyekat β (atau
alternatifnya), untuk menghilangakan angina
• Penambahan amlodipin, direkomdasikan bila angina persisten walaupun
sudah mendapat pengobatan dengan penyekat β (atau alternatifnya), untuk
menghilangakan angina
Penambahan nicorandil dapat dipertimbangkan bila angina persisten
walaupun sudah mendapat pengobatan dengan penyekat β (atau
alternatifnya), untuk menghilangakan angina
Langkah 3 : Revaskularisasi koroner
Revaskularisasi koroner direkomendasikan bila angina persisten walaupun sudah
mendapat dua obat anti angina
Alternatif revaskularisasi koroner : obat angina ke-3 dari yang telah disebutkan
diatas dapat dipertimbangkan bila angina persisten walaupun sudah mendapat dua
obat anti angina
Diltiazem dan verapamil tidak direkomendasikan karena bersifat inotropik
negative, dan dapat memperburuk kondisi gagal jantung

Disfungsi Ginjal Dan Sindroma Kardiorenal


Laju fitrasi glomerulus akan menurun pada sebagian besar pasien gagal
janrtung, terutama pada stadium gagal jantung yang lanjut ( advanced ). Fungsi
renal merupakan predictor independen yang kuat bagi prognosis pasien gagal
jantung. Penghambat renin-angiotensin-aldosteron (ACE/ ARB, MRA) biasanya
akan menyebabkan penurunan ringan laju filtrasi glomerulus, namun hal ini jangan
dijadikan penyebab penghentian terapi obat-obat tersebut, kecuali terjadi penurunan
yang sangat signifikan. Sebaliknya, bila terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus
yang signifikan, makan harus dipikirkan adanya stenosis arteri renalis. Hipotensi,
hiponatremia dan dehidrasi juga dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Hal
lain yang juga dapat menurunkan fungsi ginjal, yang kurang dipahami adalah
hipervolum, gagal jantung kanan dan kongesti vena ginjal. Sedangkan obat-obatan
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal antara lain NSAID, beberapa
antibiotic (gentamicin, trimethoprim), digoxin, tiazid.
Komorbiditas Lain
Anemia dan defisiensi besi
Anemia didefiniskan sebagai konsentrasi hemoglobin. Anemia didefiniskan
sebagai konsentrasi hemoglobin <13 g/dL pada pria dan <12 g/dL pada perempuan,
merupakan suatu kondisi yang sering ditemukan pada gagal jantung. Kondisi ini
lebih sering dijumpai pada usia lanjut, perempuan dan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Anemia berhubungan dengan status fungsional dan
prognosis yang lebih buruk, serta risiko rehospitalisasi yang lebih tinggi.Defisiensi
besi dapat menyebabkan disfungsi muscular dan anemia pada gagal jantung.
Beberapa studi menunjukan terapi dengan stimulan eritropoetin memberikan
perbaikan status fungsional pasien, akan tetapi hal ini masih dalam penelitian yang
lebih lanjut.
4.7 Terapi Non Farmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
1. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun
non-farmakologi.
2. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
3. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
4. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.
5. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah
sakit atau di rumah.
Hasil Yang Diinginkan
Tujuan terapetik untuk HF kronik adalah perbaikan simtom dan kualitas
hidup, mengurangi masa tinggal di rumah sakit, memperlambat perkembangan
penyakit, dan memperlama hidup.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah
dilaksanakan di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung pada bulan Agustus 2018,
dapat disimpulkan bahwa :
1) Telah Meningkatnya pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi
dan tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
2) Telah terbekalinya calon apoteker mengenai wawasan, pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
di Rumah Sakit.
3) Telah terberikannya gambaran nyata terhadap calon apoteker mengenai
permasalahan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit.

5.2. Saran
Berdasarkan hasil kegiatan PKPA yang dilaksanakan di Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung, ada beberapa hal yang dapat disarankan :
1) Menyediakan media informasi seperti buku-buku informasi obat terbaru,
majalah tentang obat, jurnal terbaru, dan lain sebagainya untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan bagi Apoteker.
2) Apoteker menyediakan leaflet/brosur sebagai media penyebaran informasi
mengenai obat dan kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh pasien saat sedang
menunggu obat.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi
Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Pemberian Informasi Obat,
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Mary K. Stamatakis (2013). Acute Kidney Injury. Dalam: Marie A. Chisholm-
Burns, Terry L. Schwinghammer, Barbara G.Wells, Patrick M. Malone,
Jill M. Kolesar, dan Joseph T. Dipiro. Pharmacotherapy Principles and
Practices third edition. McGraw-Hill Companies: New York
Mary K. Stamatakis (2016). Acute Kidney Injury. Dalam: Marie A. Chisholm-
Burns, Terry L. Schwinghammer, Barbara G.Wells, Patrick M. Malone,
Jill M. Kolesar, dan Joseph T. Dipiro. Pharmacotherapy Principles and
Practices fourth edition. McGraw-Hill Companies: New York
Melyda (2017). CDK-259/ vol. 44 no. 12 th. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana
Acute Kidney Injury (AKI) pada Syok Septik.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia., 2015, Pedoman Tata
Laksana Gagal jantung, edisi pertama, Centra communications.
Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung, 2011, Profil Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung, Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.
Bandung.
Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung, 2011, tentang Formularium Rumah
Sakit Muhammadiyah Bandung, Rumah Sakit Muhammadiyah Bandumg.
LAMPIRAN 1

STRUKTUR ORGANISASI RUMAH SAKIT

MUHAMMADIYAH BANDUNG

BADAN
PELAKSANA
HARIAN

DIREKTUR

WADIR YANMED WADIN


DAN UMUM
KEPERAWATAN KEUANGAN
DAN SDM

MANAJEMEN MANAJEMEN MANAJEMEN MANAJEM


PELAYANAN PENUNJANG KEPERAWAT MANAJEMN MANAJEMEN MANJEMEN
UMUM KEUNGAN
MEDIK MEDIK AN LOGISTIK DAN SDI DAN
AKUNTANSI BINDROH
Struktur Wakil Direktur Pelayanan Medik Dan keperawatan

Struktur Wakil Direktur Umum, Keuangan Dan SDI


LAMPIRAN 2

STRUKTUR ORGANISASI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT


MUHAMMADIYAH BANDUNG

DIREKTUR

WAKIL DIREKTUR PELAYANAN MEDIK

KEPALA INSTALASI FARMASI

PFT

ADMINISTRASI DAN

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN


FARMASI

PENGELOLAAN PERBEKALAN PELAYANAN FARMASI KLINIK


DISTRIBUSI
KESEHATAN
DAN PENINGKATAN MUTU
PELAYANAN

PERENCANAAN DAN
RAWAT JALAN PELAYANAN
PENGADAAN
INFORMASI OBAT

PENERIMAAN DAN RAWAT INAP


PENYIMPANAN KONSELING DAN
KONSULTASI OBAT

PERSEDIAAN
RUANGAN

PRODUKSI
MONITORING DAN EVALUASI
LAMPIRAN 3

STRUKTUR ORGANISASI PANITIA FARMASI TERAPI

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH BANDUNG

DIREKTUR RS PKU MUHAMMADIYAH BANDUNG

KOMITE MEDIK

PANITIA FARMASI DAN TERAPI

KETUA DOKTER

SEKRETARIS APOTEKER

ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA


LAMPIRAN 4

SISTEM DISTRIBUSI OBAT RAWAT INAP

Dokter Penderita

Dikendalikan Dikendalikan
Resep Perawat
IFRS

Dispensing Persediaan Persediaan


Dikendalikan
(IFRS) di Ruang IFRS
IFRS

Dikendalikan Lemari obat di


Perawat Ruang Perawat

Perawat
Kereta Obat
menyiapkan obat

Perawat memberi
PASIEN
obat
LAMPIRAN 5

SISTEM DISTRIBUSI OBAT RAWAN JALAN

Resep

IFRS

Obat Obat Tidak Tersedia

ganti
Beri Harga Konsultasi Dokter tidak diganti

Salinan resep
Setuju Tidak Setuju
Salinan Resep
Resep & Pasien Resep diserahkan
diberi nomor pada pasien

Obat

Obat diperiksa
Faktur

Obat & Faktur diserahkan


pada pasien disertai informasi
LAMPIRAN 6

SALINAN RESEP DAN ETIKET


LAMPIRAN 7

FORM REKONSILIASI OBAT


LAMPIRAN 8

FORM PEMANTAUAN TERAPI OBAT

LAMPIRAN 8
LAMPIRAN 9

FORM PELAYANAN INFORMASI OBAT


LAMPIRAN 10

FORM PENGKAJIAN RESEP


LAMPIRAN 11

FORM VALIDASI PENERIMAAN BARANG

Anda mungkin juga menyukai