Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah

kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis

didefinisikan sebagai inflamasi kandung empedu yang paling sering disebabkan

oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis. Sembilan puluh persen

kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus (kolesistitis kalkulosa),

sementara 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulosa.1

Sekitar 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan

sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis akut. Insidensi terjadinya

kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia. Penjelasan secara fisiologis untuk

peningkatan insidensi tersebut belum ada. 2

Prevalensi penderita kolesistisis lebih banyak ditemukan pada perempuan

bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan prevalensi perempuan

menderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak dari pada laki-laki, sehingga lebih

banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar progesteron

selama kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga penyakit

kandung empedu meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan,

kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut Peningkatan

insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio androgen-

estrogen.1,2
2

Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis. Prevalensinya

meningkat pada orang Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun menurun

dan jarang pada individu yang berasal dari sub-sahara Afrika dan Asia. Di

Amerika Serikat, penduduk kulit putih lebih sering terkena kolesistitis daripada

penduduk kulit hitam.5

Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, angka

kejadian kolesistitis dan kolelitiasis umumnya relatif lebih rendah dibandingkan

dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut

umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesman

LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara kita.5,6

Meskipun telah ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk kolesistitis

namun penyakit ini masih memiliki tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang

cukup tinggi terutama pada orang lanjut usia. Referat ini membahas mengenai

kolesistitis dan yang berkaitan dengannya.


3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kandung Empedu (Vesica fellea)

a. Anatomi

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear

yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm.

Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat

menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan

collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior

hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen

setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan

visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai

duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi

kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum

mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan

collum dengan permukaan visceral hati.4


4

Gambar 1. Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri

hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.

Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan

kandung empedu.4

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak

dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi

lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi

lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus

coeliacus.5,7
5

Gambar 2. Anatomi vesica fellea dan saluran billier

b. Fisiologi

Salah satu fungsi hati adalah untuk memproduksi cairan empedu,

normalnya antara 600-1200 ml/hari. Kandung empedu (vesica fellea) berperan

sebagai reservoir empedu dan mampu menyimpan sekitar 45-50 ml cairan

empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam

kandung empedu, dan di sini akan mengalami proses pemekatan. Fungsi primer

dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan

natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang

terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.

Untuk membantu proses pemekatan cairan empedu ini, mukosa vesica fellea

mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.


6

Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang

membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.7

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli.

Cairan ini kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di

dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus

hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris

komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke

kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat

penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.6

Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu memiliki dua fungsi penting:

1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,

karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu

membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel

yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah

pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak

yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.7

2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk

buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari

penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel-

sel hati.7
7

c. Pengosongan cairan empedu

Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam

duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat

lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung

buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya

kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam.6

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial

kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak

kedalam duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan

pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas

pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang

menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Lemak

menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum,

hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu

berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal

duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya

empedu yang kental ke dalam duodenum.6

Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh

seratserat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik.

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan

lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari

kandung empedu. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke


8

duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana

kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.6

d. Komposisi cairan empedu

Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi

lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Garam

empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan

empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam

empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.

Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat

ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.5

Ada dua macam garam empedu dari hati, yaitu : Asam deoksikolat dan

Asam kolat. Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja

kumankuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar

(90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa

usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat.

Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila

ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka

absorbsi garam empedu akan terganggu.5

Fungsi garam empedu adalah menurunkan tegangan permukaan dari

partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar

dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut serta
9

membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut

dalam lemak.5

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan

globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi

bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma

terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)

yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan

misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.5

Tabel 1. Komposisi cairan empedu

2.2. Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan

nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,

kolesistitis dapat dibagi menjadi:

a. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung

empedu yang berada di duktus sistikus.

b. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.


10

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan

kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul

pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada

kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,

nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada

kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya

dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.

2.3 Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah

stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.

Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan

sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut

akalkulus.

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan

empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu

menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia

dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti

bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai

saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan

respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,

lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung

empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.


11

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50

sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak

dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,

Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin

yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan

hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya

menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.

Gambar 3. Patofisiologi kolesistisis akut

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko

terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan

trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang

menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar

nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat


12

termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,

diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu

(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi

parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama

dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,

sifilis, tuberkulosis, aktinomises).

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang

mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu

tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk

mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan

empedu.

2.4 Manifestasi Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik

perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan

suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang

rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai

60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari

adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi

kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan

yang sembuh spontan.

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan

penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami


13

anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan

gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan

fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada

seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan

membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan

atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda

Murphy).

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan

peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas

sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus

paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen

biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%

kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi

bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.

Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan

gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan

dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien

dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun

sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien

sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut

yang jelas sebelumnya.


14

2.4 Diagnosis

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian

atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari

pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut

juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam.

Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien

menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari

regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ).

Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan

menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat

penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat

kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan

riwayat atau gejala yang muncul.

Gambar 4. Algoritma diagnosis kolesistisis


15

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas

dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,

demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang

berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran

ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5

μmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami

peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).

Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan

kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk

menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada

kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis.

Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta

leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu

dipertimbangkan.

Klasifikasi/Derajat Stadium kolesistisis akut

1. Kolesistitis akut ringan (derajat 1)

Pasien dengan inflamasi ringan pada kandung empedu, tanpa disertai

disfungsi organ, dan kolesistektomi dapat dilakukan dengan aman dan berisiko

rendah. Pasien pada derajat ini tidak memenuhi kriteria untuk kolesistitis

sedang dan berat.

2. Kolesistitis akut sedang (derajat 2)

Salah satu kriteria yang harus dipenuhi adalah :

a. Leukositosis
16

b. Massa teraba di abdomen kuadran atas

c. Keluhan berlangsung lebih dari 72 jam

d. Inflamasi lokal yang jelas (peritonitis bilier, abses perikolesistikus, abses

hepar, kolesistitis gangrenosa, kolesistitis emfisematosa)

Derajat inflamasi akut pada stadium ini meningkatkan taraf kesulitan

untuk dilakukan kolesistektomi. Operasi laparoskopi sebaiknya dilakukan

dalam waktu 96 jam setelah onset.

3. Kolesistitis akut berat (derajat 3)

a.Disfungsi kardiovaskuler (hipotensi dilatasi dengan dopamin atau dobutamin)

b. Disfungsi neurologis (penurunan kesadaran)

c. Disfungsi pernapasan (rasio PaO2/FiO2 < 300)

d. Disfungsi renal (oliguria, kreatitin >2mg/dL)

e. Disfungsi hepar (PT-INR > 1,5)

f. Disfungsi hematologi (trombosit <100.000/mm)

Pada pasien ini, derajat kolesistitis akut agak sulit ditentukan karena

berada diantara kategori ringan dan sedang. Untuk derajat sedang, kondisi

pasien tidak memenuhi semua syarat. Hanya leukositosis saja yang sesuai

dengan kriteria derajat sedang. Namun, berdasarkan respon klinis, dapat

digolongkan kondisi pasien sebagai derajat ringan.

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat

memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus

kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu. Foto polos abdomen tidak

dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien


17

kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena

mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat

memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga

pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya

kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya

keganasan pada kandung empedu.

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin

dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding

kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan

ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada

kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding

kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu

empedu membantu penegakkan diagnosis.

Gambar 5. Hasil USG pada kolesistisis

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI

dilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan

perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema


18

subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas.

Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik

yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.

Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya


batu empedu dan penebalan dinding kandung empedu.
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n

Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik

ini tidak mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis

dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna.

Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu

pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong

kolesistitis akut.
19

Gambar 7. Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45


menit; Kanan: pada pasien kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu
setelah 1 jam 30 menit.
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat

digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu

empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani

laparaskopi kolesistektomi.

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti

pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran

kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel

inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang

disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat

ditemukan gangren dan perforasi.

2.5 Diagnosis Banding

Kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera mungkin agar dapat dilakukan

penanganan sedini mungkin dan menghindari terjadinya peningkatan morbiditas

dan mortalitas pada pasien. Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang
20

tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di

bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi

ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita

hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis.

Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat

mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain yang dapat dipertimbangkan antara

lain adalah aneurisma aorta abdominal, iskemia mesenterik akut, dan kolik

biliaris.

2.6 Penatalaksanaan

A. Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis

akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit

sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki

status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,

obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian

antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti

peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan

metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum

terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun

pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram

negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.


21

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam

dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole

dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus

yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat

mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.

Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan

kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien

dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus

dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat

tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain

yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,

pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan

Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.

B. Terapi bedah

Waktu yang tepat untuk dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih

diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 –

8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik.

Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro

operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi

konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih

singkat dan biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi

dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik


22

operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan

mengaburkan anatomi.

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu

dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi

kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada

kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons

terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi

menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).

Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani

kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi

bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis

keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien

yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar

pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas

untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk

kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari

60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit

pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau

jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakitberat

atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang

terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada

lain waktu.
23

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kolesistitis:

a. Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang

tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin

dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya

empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara

laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.

b. Ileus batu kandung empedu. Jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu

berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di

ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.

c. Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan

adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme

penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan

Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan

diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).

Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan

kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.

d. Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.

2.8 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung

empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak

jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang

menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
24

peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik

yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75

tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul

komplikasi pasca bedah.


25

BAB 3
KESIMPULAN

Kolesistitis merupakan inflamasi pada dinding kandung empedu yang

paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis.

Umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.

Kolesistisis dapat memberikan gejala nyeri akut, nyeri bilier, nyeri

abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Keluhan yang khas untuk

serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan

nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat

memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau

skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Trias dalam menegakkan kolesistisis akut terdiri dari

nyeri akut kuadran kanan atas, demam, dan leukositosis. Pemeriksaan penunjang

yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan ultrasonografi (USG), pemeriksaan CT

scan abdomen dan MRI, Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat

radioaktif HIDA atau 96n Tc6 Iminodiacetic acid, Endoscopic Retrogard

Cholangiopancreatography (ERCP), dan pemeriksaan histologi.

Penatalaksanaan kolesisitisis terdiri dari terapi konservatif dan terapi

bedah. Terapi konservatif terdiri dari pengobatan umum termasuk istirahat total,

perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi

elektrolit, obat penghilang rasa nyeri (petidin dan antispasmodik) dan pemberian
26

antibiotik pada fase awal untuk mencegah komplikasi. Terapi bedah terdiri dari

kolesistostomi atau kolesistektomi. Komplikasi yang dapat terjadi akibat

kolesistisis adalah empiema, ileus batu kandung empedu, kolesistitis

emfisematous, dan komplikasi lain berupa sepsis dan pankreatitis.


27

DAFTAR PUSTAKA

1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata


M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. Hal 477-478.

2. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J


Long Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.

3. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin


Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009

4. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan


Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.

5. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 17 Desember 2018. Dari


[online] http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview

6. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary
Colic in Emergency Medicine. [Diakses pada: 17 Desember 2018]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.

7. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.


Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 43044.

8. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011].
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.

9. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile


Ducts, dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-
1736, Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill, 1998

10. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.


Gastroenterol Clin North Am. 2009;28(1):75-97.

11. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg.
2009;232(2):202-7.

12. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet.
2008;170(1):25-31.
28

13. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin


Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009

14. Kolesistitis akut. Dalam Irawan C, Tarigan TEJ, Marbun MB, editor. Panduan
tata laksana kegawatdaruratan di bidang ilmu penyakit dalam – Internal
medicine emergency life support/IMELS. Jakarta: Interna Publishing. 58-62

15. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of


information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy
for acute cholecystitis. Br J Surg. 2010;97(2):210-9.

16. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan


Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009

Anda mungkin juga menyukai