Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat mengerjakan dan menyelesaikan laporan ini
sebagai tugas mata kuliah “Keperawatan Bencana”. Tanpa ilmu dan kesabaran
yang diberikan-Nya kami tidak bisa menghasilkan laporan seperti ini. Dalam
menyelesaikan makalah ini, kami juga mendapat banyak pengarahan dan
dukungan dari semua pihak yang sangat berjasa.
Dengan terselesaikannya laporan ini, diharapkan akan dapat bermanfaat
dalam penggunaanya. Baik di lingkungan mahasiswa ataupun masyarakat. Dan
saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini terdapat banyak
kesalahan, baik dalam hal penulisan maupun isinya. Oleh karena itu, kami
meminta maaf atas segala kesalahan tersebut. Dan kami juga menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca laporan ini. Sehingga kami dapat
membuat laporan yang lebih baik.

Gorontalo, November 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 RUMUSAN MASALAH 1

1.3 TUJUAN PENULISAN 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI TERAPI KOMPLEMENTER 3
2.1 FASE-FASE BENCANA 3
2.3 PERAWATAN INDIVIDU DAN KOMUNITAS PASCA BENCANA 4

BAB IV PENUTUP

1. KESIMPULAN 11

2. SARAN 11

DAFTAR PUSTAKA iii

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologi (UU No. 24 Tahun 2007)
Individu adalah merupakan unit terkecil pembentuk masyarakat. Dalam
ilmu sosial, individu berarti juga bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang
tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Sebagai contoh, suatu
keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kominitas adalah sebuah kelompok
social dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umunya memiliki
ketertarikan dan habitat yang sama.
Peran perawat cukup komplit, mulai dari penyusun rencana, pendidik,
pemberi layanan kesehatan dan bagian dari tim pengkajian kejadian bencana.
Tujuan tindakan keperawatan yang dilakukan selama bencana adalah untuk
mencapai kemungkian tingkat kesehatan terbaik bagi masyarakat korban. Jika
perawat berada di pusat area bencana, ia diharapkan mampu atau ikut melakukan
evakuasi dan memberi pertolongan pertama pada korban. Sementara di lokasi
penampungan, perawat dapat melakukan evaluasi kondisi korban, melakukan
tindakan keperawatan berkelanjutan dan mengkondisikan lingkungan terhadap
perawatan korban dengan penyakit menular. Dalam melakukan pertolongan
tentunya perawat tidak bisa bekerja sendiri, namun perlu keterlibatan dan
kerjasama dengan berbagai komponen dengan koordinasi dan persiapan yang baik
mulai dari pemerintahan pusat hingga kelurahan

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Bencana ?
2. Apa saja Fase-fase Bencana ?
3. Bagaimanakah Perawatan Individu dan Komunitas Pasca Bencana ?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui apa yang dimaksud dengan Bencana
2. Untuk Mengetahui apa saja fase-fase Bencana
3. Untuk Mengetahui Perawatan Individu dan Komunitas Pasca Bencana

1
BAB II

PEMBAHASAN

2
2.1 DEFINISI BENCANA

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


menggaggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
factor alam dan atau factor non alam maupun factor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban iwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis (http://www.bnpb.go.id)

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh factor


alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu Undang0Undang Nomor 24 Tahun
2007 juga mendeinisikan mengenai bencana alam, bencana non alam, dan
bencana social.

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.

2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemic dan wabah penyakit.

3. Bencana social adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi,
konflik social antar kelompok, antar komunitas masyarakat, dan terror.

2.2 FASE-FASE BENCANA

Menurut Barbara Santamaria (1995) dalam buku Community Health


Nursing , ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase Preimpact, fase
Impact, dan fase Postimpact.

1. Fase Preimpact merupakan fase WARNING, tahap awal dari bencana.


Informasi didapat dari badan satelit& meteorologi cuaca. Seharusnya

3
pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah,
lembaga, dan warga masyarakat.

2. Fase Impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-
saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk survive. Fase impact
ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat
dilakukan.

3. Fase Postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari


fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada
fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para
korban akan mengalami tahap penolakan, marah, tawar-menawar, depresi
hingga penerimaan. Tidak hanya fisik dan kejiwaan masyarakat yang
terganggu, keadaan fisik fasilitas umum yang membantu menunjang
kehidupan juga akan terganggu.

2.3 PERAWATAN INDIVIDU DAN KOMUNITAS PASCA BENCANA

Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab


peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap
preimpact, impact/emergency, dan postimpact.

Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri.


Koordinasi dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke
cabang-cabang di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana,
badan meteorologi, pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen
kesehatan, palang merah nasional, tenaga-tenaga kesehatan, departemen
penerangan, dinas transportasi hingga dinas kebakaran dan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan persiapan
penanggulangan bencana.

Peran perawat disini bisa dikatakan multiple, ia sebagai bagian dari


penyusun rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan, dan bagian dari tim
pengkajian kejadian bencana.

4
Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk
mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena
bencana tersebut. Jika seorang perawat berada di pusat area bencana, ia akan
dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan memberi pertolongan pertama pada
korban.

Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung


jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan
berkelanjutan, dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-
korban dengan penyakit menular.

Untuk menjadi perawat bencana yang sigap dan terampil, ada beberapa hal
yang perlu diikuti pada masa pra bencana yaitu:

1. Perawat mengikuti pedidikan dan pelatihan bagi tenaga keseahatan dalam


penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya (preimpact, impact,
postimpact). Materi pelatihan mencakup berbagai tindakan dalam
penanggulangan ancaman dan dampak bencana. Misalnya mengenai
intruksi ancaman bahaya, mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat
fase darurat (makanan, air, obat-obatan, pakaian, selimut, tenda dsb) dan
mengikuti pelatihan penanganan pertama korban bencana (PPGD)

2. Perawat ikut terlibat dalam berbagai tim kesehatan, baik dari dinas
kesehatan pemerintah, organisasi lingkungan, Palang Merah Nasional,
maupun LSM dalam memberikan penyuluhan dan simulasi dalam
menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat. Penyuluhan atau
pendidikan kesehatan kepada masyarakat harus meliputi:

1) Usaha pertolongan diri sendiri (masyarakat korban)

2) Keluarga atau kelompok

3) Pelatihan pertolongan pertama pada anggota keluarga, misalnya


menolong anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur, perdarahan
dan pertolongan luka bakar. Pelatihan ini akan lebih baik bila
keluarga juga dikenalkan mengenai perlengkapan kesehatan (first aid

5
kit)seperti obat penurun panas (parasetamol), tablet antasida,
antidiare, antiseptik, laksatif, termometer, perban, plester, bidai

4) Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan


membawa persediaan makanan, penggunaan air yang aman dan sehat

5) Perawat juga dapat memberikat beberapa alamat dan nomor telepon


darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulans.

6) Memberikan tempat alternatif penampungan atau posko bencana

7) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa


(misal pakaian seperlunya, portable radio, senter dan baterai)

Sementara untuk peristiwa emergensi, intervensi psikososial yang


dilakukan pada saat-saat gawat darurat (emergency) telah dikembangkan dan
direkomendasikan oleh kelompok kerja sebagai berikut

1. Fase segera setelah kejadian (rescue):

1) Menyediakan defusing (sarana pengungkapan tekanan/beban/emosi)


dan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja yang memberikan
bantuan kedaruratan.

2) Memastikan keselamatan korban dan memastikan terpenuhnya


kebutuhan-kebutuhan fisik dasar (rumah, makanan, air bersih).

3) Mencari cara menyatukan kembali keluarga dan komunitas.

4) Menyediakan informasi, kenyamanan, asistensi praktis, dan


pertolongan pertama masalah emosional.

2. Fase inventory awal (bulan pertama setelah kejadian):

1) Melanjutkan tugas-tugas penyelamatan.

2) Mendidik & melatih orang lokal dan relawan mengenai efek trauma.

3) Melatih konselor-konselor tambahan untuk situasi bencana.

6
4) Menyediakan dukungan praktis jangka pendek.

5) Mengindentifikasi mereka yang berada dalam resiko-resiko khusus.

6) Memulai dukungan krisis, debriefing dan bentuk lain semacamnya.

3. Fase inventory lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya):

1) Melanjutkan tugas penyelamatan dan fase awal.

2) Menyediakan pendidikan masyarakat.

3) Mengembangkan pelayanan-pelayanan outreach, dan


mengidentifikasi yang memerlukannya.

4) Menyediakan debriefing dan aktivitas-aktivitas lain sesuai kebutuhan


korban bencana.

5) Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan-layanan lain


berbasis lembaga kemasyarakatan.

4. Fase rekonstruksi:

1) Tindaklanjut terhadap korban yang selamat yang telah ditemui atau


ditangani sebelumnya.

2) Menyediakan hotline dan cara-cara lain yang memungkinkan


komunitas menghubungi konselor.

3) Melanjutkan layanan defusing dan debriefing untuk pekerja


penyelamatan dan komunitas.

Tomoto (2009) dari Hyogo Care centre Jepang menjelaskan bahwa


intervensi dasar yang dapat dilakukan pada korban bencana adalah:

a. Menjelaskan bahwa kondisi sudah aman

b. Berbagi pengetahuan dan informasi, dengan melakukan pendidikan

c. Psikologis dan memanfaatkan sumber daya lokal

7
d. Tidak memaksa terhadap tindakan yang akan dilakukan

e. Tidak menjanjikan bahwa tugas selanjutnya kita tanggung semua

Pilihan intervensi yang direkomendasikan adalah intervensi tahap awal,


tindakan medis berdasarkan diagnosis umum, dan tindakan medis oleh tenaga
spesialis:

1. Intervensi tahap awal

Korban bencana yang memerlukan intervensi awal ini adalah korban


yang terasingkan, korban yang tidak dapat beristirahat sebagaimana
mestinya, dan korban yang tidak memiliki tempat yang aman untuk
menceritakan pengalamannya (Foy dkk, 1984; Keane dkk., Martin dkk.,
2000 dalam Tomota, 2009). Prinsip intervensi pada tahap awal ini adalah:
a) tidak membahayakan, b) reaksi normal terhadap kondisi abnormal, c)
menceritakan pengalaman dan perasaan sendiri kepada orang yang dapat
dipercaya, d) pemulihan pola hidup normal dan aktifitas sehari-hari, e)
olah raga secukupnya, dan f) usahakan waktu tidur cukup Intervensi awal
yang dilakukan dengan tepat menunjukkan hasil 90% diantaranya pulih
tanpa bantuan tenaga spesialis (Rothbaum dkk, 1992 dalam Tomota,
2009). Pada tahap ini juga direkomendasikan untuk tidak melakukan
debriefing karena berdasarkan penelitian upaya debriefing ini tidak
efektif pada korban bencana baik untuk meringankan penderitaan
maupun untuk mencegah terjadinya PTSD

2. Tindakan medis berdasarkan diagnosis umum (primary care)

1) Pilihan pertama: SSRI (selective serotonin Reuptake Inhibitor,


misalnya Paxil, Luvox, Depromel)

2) Pilihan kedua: Tricyclic antidepressant, Catapres, inderal

3) Jika rasa cemas menguat, diberikan: Benzodiazepine anxiolytic dosis


tinggi, Solanax, Constan, tambahan Rivotril Landsen

8
4) Jika timbul dorongan impulsif dan ofensif yang kuat, diberikan
Tegretol, Depakene dan sebagainya. Tujuan diberikan obat ini tidak
untuk melupakan memori pengalaman yang traumatik namun untuk
memulihkan rasa percaya diri bahwa memori sudah dapat dikontrol.

5) Bila gejala mengarah gangguan jiwa, maka diberikan antiispychotic

3. Tindakan medis oleh tenaga spesialis, seperti a) terapi dengan obat, b)


terapi dengan dukungan moral, c) EMDR (Eye Movement
Desensitization and Reprocessing), d) CBT (Cognitive Behaviour
Therapy), dan e) Eksposur dalam jangka waktu panjang Selain prinsip-
prinsip intervensi tersebutdiatas

Tomoto (2009) juga menjelaskan perlunya menghindari kata-kata yang


diucapkan selama memberikan intervensi karena dapat melukai perasaan klien,
antara lain:

1. Teruslah berusaha. Pernyataan ini memberikan motivasi namun


padawaktu yang tidak tepat karena kondisi klien yang sedang berduka
yang masih sulit menerima advise dari luar

2. Kalau kamu tidak sembuh-sembuh, orang yang sudah meninggal juga


tidak akan tenang lho!.

3. kalau kamu menangis, orang yang sudah meninggal juga tidak akan
tenang lho!

4. Sudah bagus lho bahwa nyawa kamu masih bisa diselamatkan

5. Kamu kan punya keluarga, itu saja sudah bisa bahagia, bukan?

6. Anggap saja ini tidak pernah terjadi, mari mulai segalanya dari awal

7. Pasti ada hal yang baik dimasa yang akan datang

8. Cepat lupakan, bangkitkan semangatmu

9. Kamu lebih sehat dari yang saya pikirkan sebelumnya

9
10. Jangan berfikir begitu lagi

11. Mari berfikir positif

12. Segini saja cukupkan?

13. Tidak apa-apa lho!

Peran Perawat Di Dalam Posko Pengungsian Dan Posko Bencana

Selain tindakan emergency perawat juga memiliki tanggung jawab


terhadap masyarakat korban bencana yang mengungsi. Tugas dan tanggung jawab
tersebut yaitu:

1. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan


sehari-hari

2. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian

3. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan


penanganan kesehatan di RS

4. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian

5. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus


bayi, peralatan kesehatan

6. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular


maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan
lingkungannya

7. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas,


depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi
diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue,
mual muntah, dan kelemahan otot)

10
8. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan
dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain

9. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog


dan psikiater

10. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan


kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi

Individu korban bencana merupakan pihak yang sangat rentan dan sensitif
terhadap ungkapan atau pernyataan orang lain. Hal ini terjadi karena
ketidakstabilan emosi korban pasca bencana. Untuk itu perawat sebagai salah satu
tenaga kesehatan perlu memahami dan melatih untuk menggunakan tehnik
komunikasi secara terapeutik ketika berinterkasi dengan klien.

Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaaan fisik, sosial, dan
psikologis korban. Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga
terjadi post-traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan
tiga kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu
tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun
peristiwa-peristiwa yang memacunya. Ketga, individu akan menunjukkan
gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan
konsentrasi, perasaan bersalah, dan gangguan memori.

Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja
sama dengan unsur lintas sektor menangani masalah kesehatan masyarakat pasca-
gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan menuju keadaan sehat dan aman.

BAB III

11
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Meningkatnya kejadian bencana di seluruh dunia membuat setiap


Negara untuk siap menghadapi hal yang tidak terduga, termasuk bencana
alam. Oleh Karena itu, perawatan pasca bencana pada individu dan komunitas
yang tepat dalam kesiapsiagaan, respon dan fase pemulihan sangat penting
untuk dibentuk. Meskipun banyak disiplin ilmu yang diperlukan untuk
mendukung setiap perawat sebagai salah satu profesi kesehatan yang harus
disiapkan untuk menghadapi dan menangani bencana alam. Dengan demikian,
kesadaran sangat dibutuhkan dari perawat yang bekerja di daerah beresiko
tinggi dengan bencana. Disamping itu, perawat perlu mempersiapkan diri,
dengan memiliki pengetahuan dasar serta keterampilan untuk menghadapi
bencana.

Dengan demikian perawat bertanggung jawab untuk mencapai peran


dan kompetensi mereka dalam semua tahap bencana, terutama pada fase
respon atau tanggap darurat yang meliputi peringatan dan evakuasi.

3.2 Saran

Kita sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita bisa lebih


memahami tentang kesiapsiagaan mengatasi bencana dan peran perawat
pasca bencana pada individu dan komunitas dalam penanggulangannya.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat untuk kita semua.

12
DAFTAR PUSTAKA

Website.2015.materi penanganan pasca bencana: www.usgs.com

Purnomo Hadi, Dkk, Manajemen Bencana: Respon dan Tindakan Terhadap pasca
Bencana Jakarta: Niaga Swadaya, 2016.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (BNPB). (2016). Tsunami.

Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2016). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori


dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Herman Ade, wulan Susilo. (2018). penanggulangan bencana. Vol. 9, No. 2 Tahun
2018 Hal.102-115
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2015). Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pascabencana Gempa BUMI dan Tsunami di Kepulauan
Mentawai Bidang pemulihan perumahan dan permukiman

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah (2015). Penelitian


post traumatic stress disorder (gangguan stress pasca trauma bencana) di
Jawa Tengah

http://radenandriansyah.com/penanganan-bencana/macam-macam-bencana_pdf

Anda mungkin juga menyukai