Hiperplasia prostat (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pembesaran
progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pras prostatika (Arif Muttaqin & Kumala Sari, 2012).
Hiperplasia prostat benigna (Benign Prostatic Hyperplasia, BPH) adalah
pembesaran atau hipertrofi, kelenjar prostat. Kelenjar prostat membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih dan menghambat aliran keluar urine. Berkamih yang tidak lampias dan retensi urine yang memicu statis urine dapat menyebabkan hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi saluran kemih (urinary tract disease, UTI). Penyebab gangguan ini tidak dipahami dengan baik, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal. BHP sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40 tahun (Brunner & Suddarth, 2013).
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan istilah histopatologi yang
digunakan untuk menggambarkan adanya pembesaran prostat. Terminologi BPH secara histologi ialah terdapat pembesaran pada sel-sel stroma dan sel-sel epitel pada kelenjar prostat. BPH akan menjadi suatu kondisi klinis jika telah terdapat berbagai gejala pada penderita. Gejala yang dirasakan ini dikenal sebagai gejala saluran kemih bawah (lower urinary tract symptoms= LUTS) (Coyne, 2008 dalam Heru Haryanto dan Tori Rihiantoro, 2016).
2.2 Etiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Penyebab yang pasti dari terjadinya BHP sampai sekarang belum diketahui secara pasti; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. (Purnomo, 2005)
Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat, yaitu sebagai berikut.
1. Dihydrotestosteron, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi. 2. Ketidakseimbangna hormon estrogen-testosteron. Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. 3. Interaksi stroma-epitel. Peningkatan epidermal growth factor dan fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan apitel. 4. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan apitel dari kelenjar prostat. 5. Teori sel stem. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit. 2.3 Manifestasi Klinis dari Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Kategori keparahan BPH berdasarkan gejala dan tanda
Keparahan Penyakit Kekhasan gejala dan tanda
Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinary puncak <10 mL/s
Volume urin residural setelah pengosongan >25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan
gejala dan iritatif penghilangan gejala (tanda dari detrusor yang tidak stabil)
Parah Semua yang diatas tambah satu atau dua lebih
komplikasi BPH
Sumber: ISO Farmakoterapi 2 hal: 146
Ket; BUN: Blood Urea Nitrogen
Menurut Brunner & Suddarth (2013) tanda dan gejala dari hiperplasia prostat benigna (Benign Prostatic Hyperplasia, BPH), yaitu:
1. Prostat besar, seperti karet, dan tidak lunak (nontender). Prostatisme
(kompleks gejala obstruktif dan iritatif) terlihat. 2. Keraguan dalam memulai berkemih, peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, mengejan. 3. Penurunan volume dan kekuatan aliran urine, gangguan saluran urine, urine menetes. 4. Sensasi berkemih yang tidak lampias, retensi urine akut (lebih dari 60 mL), dan UTI berulang. 5. Keletihan, anoreksia, mual dan muntah, serta ketidaknyamanan pada panggul juga dilaporkan terjadi, dan pada akhirnya terjadi azotemia dan gagal ginjal akibat retensi urine kronis dan volume residu yang besar. 2.4 Patofisiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia. Jika prostat membesar maka akan meluas ke atas (kandung kemih) sehingga pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravertikal ebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatica maka otot destrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dan kandung kemih berupa: hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula, dan divertikel kandung kemih. Tekanan intraveratikal yang tinggi diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat ke dalam gagal ginjal. 2.5 WOC Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Hiperplasia Prostat
Penyempitan lumen uretra
Respon obstruksi : Peningkatan Respon iritasi :
tekanan intravesika Pancaran miksi Frekuensi lemah meningkat Intermitensi Noktura Hesistensi Urgensi Miksi tidak puas disuria Menetas setelah miksi
Gangguan pemenuhan Perubahan pola
eliminasi urine pemenuhan eliminasi urine Nyeri miksi
Respon perubahan pada Respon perubahan pada ginjal
Trabekulasi Hidroureter Selula Hidronefrosis Divertikel kandung kemih Pielonefritis Gagal ginjal 2.6 Pemeriksaan Diagnostik Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) 1. Laboratorium: meliputi ureum (BUN), kreatinin, elektrolit, tes sentivitas dan biakan urin. 2. Radiologis menurut Wim De Jong et al (2005): a. Intravena pylografi b. BNO c. Sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk. d. Retrograd e. Ultrasonografi (USG) dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS= Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu. f. Ct Scanning g. Cystoscopy h. Foto polos abdomen. 3. Prostatektomi Retro Pubis: pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan abematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat. 4. Prostatektomi parineal: yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum. 2.7 Penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) 1. Penatalaksanaan Medis Rencana terapi bergantung pada penyebab, tingkat keparahan obstruksi dan kondisi pasien. Terapi mencakup:
a. Segera melakukan kateterisasi jika pasien tidak dapat berkemih
(konsultasikan denan ahli urologi jika kateter biasa tidak dapat dimasukkan). Kistostomi suprapubik terkadang diperlukan. b. “Mengunggu dengan penuh waspada” untuk memantau perkembangan penyakit. 2. Penatalaksanaan Farmakologi a. Penyekat alfa-adrenergik (mis., alfuzosin, terazosin), yang merelaksasi otot polos leher kandung kemih dan prostat, dan penyekat 5-alfa- reduktase. b. Manipulasi hormonal dengan agens antiandrogen (finasterida [Proscar]) mengurangi ukuran prostat dan mencegah pengubahan teetosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). c. Penggunaan agens fitoterapeutik dan suplemen diet lain (Serenoa repens [saw palmetto berry] dan Pygeum africanum [plum Afrika]) tidak direkomendasikan, meskipun biasa digunakan 3. Penatalaksanaan Bedah a. Gunakan terapi invasif secara minimal: terapi panas mikro-gelombang transuretra (transurethral microwave heat treatment, TUMT; kompres panas ke jaringan prostat); ablasi jarum transuretra (transurethral needle ablation, TUNA; melalui jarum tipis yang ditempatkan di dalam kelenjar prostat); sten prostat (tetapi hanya untuk pasien retensi kemih dan untuk pasien yang memiliki risiko bedah yang buruk). b. Reseksi bedah: reseksi prostat transuretra (transurethral resection of the prostate, TURP; standar terapi bedah); insisi prostat transuretra (transurethral incision of the prostate, TUIP); elektrovaporisasi transuretra; terapi laser; dan prostatektomi terbuka. (Brunner & Suddarth, 2013)