Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah
antropometri gizi. Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan status gizi
anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai status gizi.
Disamping itu pula dalam kegiatan penapisan status gizi masyarakat selalu menggunakan
metode tersebut. Antropometri merupakan salah satu metode yang dapat dipakai secara
universal, tidak mahal, dan metode yang non invasif untuk mengukur ukuran, bagian, dan
komposisi dari tubuh manusia. Oleh karena itu, disebabkan pertumbuhan anak-anak dan
dimensi tubuh pada segala usia dapat mencerminkan kesehatan dan kesejahteraan dari
individu dan populasi, antropometri dapat juga digunakan untuk memprediksi performa,
kesehatan, dan daya tahan hidup. (Supariasa, 2002)
Antropometri penting untuk kesehatan masyarakat dan juga secara klinis yang dapat
mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan sosial dari individu dan populasi. Selain itu,
aplikasi antropometri mencakup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status
pertumbuhan, status gizi dan obesitas, identifikasi individu, olahraga, militer, teknik dan
lanjut usia. Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh
dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri gizi
adalah pengukuran yang berhubungan dengan berbagai macam dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Umumnya, antropometri digunakan untuk
mengukur status gizi dari berbagai ketidak seimbangan antara asupan protein dan energi.
(Supariasa, 2002)

B. Tujuan
a. Tujuan umum
1. Dapat melakukan pengukuran antropometri dengan tepat pada balita
2. Dapat menilai status gizi balita berdasarkan standar yang digunakan.
b. Tujuan khusus

1
1. Dapat melakukan pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) pada
balita.
2. Dapat menilai status gizi pada balita.

C. Manfaat
a. Agar mahasiswa dapat melakukan pengukuran berat badan (BB) dan panjang badan
(PB) pada balita
b. Agar mahasiswa dapat menentukan status gizi balita.
c. Agar mahasiswa bisa menentukan status pertumbuhan balita.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai
status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien.
Status gizi merupakan salah satu tolak ukur untuk menilai perkembangan kesehatan bayi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seorang bayi, diantaranya pemberian ASI
ekslusif, tingkat pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga. Penelitian status gizi merupakan
pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit (Beck,
2000).
B. Penilaian Status Gizi
1. Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan
metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran tubuh. Antropometri sebagai
indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter
adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar panggul dan tebal lemak dibawah
kulit. Ukuran tubuh manusia yang berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Penggunaan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. (Supariasa dkk., 2002). Dari beberapa
pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan sesuai dengan usia
adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Untuk keperluan perorangan di
keluarga, berat badan (BB), tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB) adalah yang paling
dikenal.
a. Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan
akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan
maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan

3
penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya
kecenderunagn untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun.
Oleh sebab itu, penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya
adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah
dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes RI.,
2004).
b. Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering
digunakan. Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan mineral pada
tulang. Berat badan seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
umur, jenis kelamin, aktifitas fisik, dan keturunan. Berat badan merupakan salah satu
ukuran antropometri yang memberikan gambaran masa tubuh (otot dan lemak)
(Supariasa dkk., 2002).
Alat yang digunakan di lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan:
1) Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain.
2) Mudah diperoleh dan relatif murah harganya.
3) Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg
4) Skala mudah dibaca.
5) Cukup aman untuk menimbang anak balita.
Alat yang memenuhi persyaratan dan dianjurkan untuk menimbang anak balita
adalah dacin (Supariasa dkk., 2002).
c. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan
skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan
umur. Pertumbuhan tinggi badan, tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif
terhadap masalah defisiensi gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama. Pengukuran tinggi
badan untuk balita yang sudah dapat berdiri dilakukan dengan alat pengukur tinggi
“mikrotoa” (Microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm (Supariasa, dkk., 2002).
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan
kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi

4
masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang
gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U (tinggi
badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan)
jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya
dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran
keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun
(Depkes RI., 2004).
d. Lingkar Lengan Atas (LILA)
Lingkar lengan atas sensitif untuk suatu golongan tertentu (Prasekolah), tetapi
kurang sensitif pada golongan lain terutama orang dewasa. Alat yang digunalan
merupakan suatu pita pengukur berupa fiberglass atau jenis kertas tertentu berlapis
plastik. LILA memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak
bawah kulit. LILA mencerminkan cadangan energi, sehingga dapat mencerminkan
status KEP pada balita dan KEK pada ibu WUS dan ibu hamil sebagai risiko bayi
BBLR.
Kesalahan pengukuran LILA (ada berbagai tingkat ketrampilan pengukur) relatif
lebih besar dibandingkan dengan tinggi badan, mengingat batas antara baku dengan gizi
kurang, lebih sempit pada LILA dari pada tinggi badan. Ambang batas pengukuran
LILA pada bayi umur 0-30 hari yaitu ≥ 9,5 cm. sedangkan pada balita yaitu < 12,5 cm
(Supariasa dkk., 2002).

Antopometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan


protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Indeks
antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi balita adalah berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), Berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) serta lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U) (Anggraeni dan Aviarini
, 2010).

5
Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku
Antropometeri WHO-NCHS
Indeks yang Batas
No. Sebutan Status Gizi
Dipakai Pengelompokan
1. BB/U < –3 SD Gizi Buruk
–3 s/d < –2 SD Gizi Kurang
–2 s/d +2 SD Gizi Baik
> +2 SD Gizi Lebih
2. TB/U < –3 SD Sangat Pendek
–3 s/d < –2 SD Pekdek
–2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
3. BB/TB < –3 SD Sangat Kurus
–3 s/d < –2 SD Kurus
–2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
Sumber : Depkes RI., 2004
Status gizi berdasarkan rujukan WHO-NCHS dan kesepakatan Cipanas 2000 oleh para
pakar Gizi dikategorikan seperti diperlihatkan pada tabel 2.1 diatas serta diinterpretasikan
berdasarkan gabungan tiga indeks antropometri seperti yang terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Kategori Interpretasi Status Gizi Berdasarkan Tiga Indeks (BB/U,TB/U, BB/TB
Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS)
No Indeks Antropometri
Keterangan
. BB/U TB/U BB/U
1. Baik Pendek Gemuk Kronis-Gemuk
2. Lebih Pendek Gemuk Kronis-Gemuk
3. Baik Normal Gemuk Gemuk
4. Lebih Normal Gemuk Tidak kronis-Gemuk
5. Lebih Normal++ Normal Gizi baik, tidak akut/kronis
6. Lebih Normal Gemuk Gemuk

6
7. Lebih Normal Normal Baik
8. Baik Pendek Normal Kronis
9. Baik Normal Normal Gizi baik, tidak akut/kronis
10. Baik Normal Normal Baik
11. Kurang Pendek Normal Kronis-Tidak akut
12. Kurang Normal Normal Baik
13. Baik Normal Kurus Akut
14. Baik Normal++ Kurus Tidak kronis-Akut
15. Kurang Pendek Kurus Kronis-Akut
16. Kurang Normal Kurus Tidak kronis-Akut
17. Kurang Normal Kurus Akut
Sumber: Depkes RI, 2004

Sumber : buku sk antropometri 2010

7
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau status
gizi orang dewasa yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak
dapat diterapkan pada bayi, anak remaja ibu hamil dan olahragawan. IMT juga tidak bisa
diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, asites, dan
hepatomegali. Rumus untuk menghitung IMT yaitu:

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)


𝐼𝑀𝑇 =
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)

Setelah IMT dihitung, kemudian dikategorikan seperti pada tabel berikut.


Tabel 2.3 Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat ringan 17,0 – 18,5
> 18,5 –
Normal
25,0
> 25,0 –
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan
27,0
Kelebihan BB tingkat berat > 27,0
Sumber : Depkes RI., 2002
2. Pemeriksaan Klinis
Metode pemeriksaan klinis didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti
kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaaan
tubuh seperti kelenjar tiroid. (Supariasa dkk., 2002).
Tanda-tanda klinis gizi kurang dapat menjadi indikator yang penting untuk menduga
defisiensi gizi, tetapi pemeriksaan terhadap tanda-tanda tersebut memiliki kelemahan bila
diinterpretasikan hanya atas dasar data klinis saja. Adanya dukungan pemeriksaan
konsumsi pangan dan biokimia serta pemeriksaan konsumsi pangan dan biokimia serta
pemeriksaan yang lain sangat membantu dalam menilai keadaan gizi individu atau

8
masyarakat (Supariasa dkk., 2002). Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis
secara cepat (rapid clinical survey). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat
tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Di samping itu,
digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan
fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
3. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan khusus gizi secara tidak langsung
dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi
makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat
keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat
gizi.
a. Metode Recall 24 Jam
Prinsip metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini,
responden, ibu atau pengasuh (bila anak masih kecil) disuruh menceritakan semua yang
dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya, dimulai sejak ia
bangun kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya. Hal penting yang perlu
diketahui bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat
kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif maka jumlah konsumsi
makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok,
gelas, piring, dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari
(Supariasa dkk., 2002).
Petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam
menaksir/memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) pewawancara menggunakan
alat bantu seperti contoh URT atau dengan menggunakan model dari makanan (food
model). Setelah itu menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Selanjutnya
membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKGA) atau Angka
Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia
Sebelum melakukan perhitungan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) individu,
dilakukan perhitungan BB ideal dan AKG individu (energi).

9
Perhitungan tersebut sebagai berikut:
BB ideal (untuk anak 1-5 tahun) = (Umur dalam tahun x 2) + 8
BB ideal
AKG individu (energi) = BB standar x Energi Standar
Konsumsi individu
TKE individu = AKG individu (energi) x 100%

Kriteria :
Baik : > 100% AKG
Sedang : 80-90% AKG
Kurang : 70-80% AKG
Defisit : < 70% AKG
Perhitungan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) juga didahului dengan perhitungan
AKG individu (protein). Perhitunan tersebut sebagai berikut:
BB ideal
AKG individu (protein) = BB standar x Protein Standar
Konsumsi protein
TKP individu = AKG individu (protein) x 100%

Kriteria:
Lebih : > 100% AKG
Baik : 80-100% AKG
Kurang : < 80% AKG
b. Metode Frekuensi Makan
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang asupan energi dan/atau zat-
zat gizi seseorang dengan menanyakan frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan
atau makanan jadi yang merupakan sumber utama zat-zat gizi yang diteliti. Kuesioner
memuat daftar bahan makanan atau kelompok makanan yang merupakan kontributor
penting terhadap asupan energi dan zat-zat gizi penduduk. Responden menyatakan
berapa kali sehari, seminggu, sebulan, atau setahun ia mengkonsumsi makanan tersebut.
Kuesionair ini biasanya menggunakan ukuran standar porsi (jumlah yang umumnya
dimakan per porsi untuk berbagai golongan umur atau gender) yang diperoleh dari data
populasi (Almatsier, 2005).
Metode Food Frequency Quetionairre (FFQ) adalah yang tepat di perlukan untuk
menilai asupan makanan dalam studi populasi, praktis dan memberikan perkiraan yang
lebih valid untuk mewakili asupan yang biasa dari pada recall 24 jam. Selama dua
10
dekade terakhir metode FFQ dapat diterima sebagai metode yang baik dalam penilaian
asupan makanan secara kuantitatif, terutama untuk memperkirakan asupan makanan
yang sebenarnya. Ada banyak keuntungan FFQ sehingga mendorong untuk digunakan
dalam sejumlah penelitian tertentu (Suparjo, 2013).
Langkah-langkah pelaksanaan metode frekuensi makanan yaitu:
1) Responden diminta memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada
kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran proporsinya.
2) Melakukan rekapitulasi tentang penggunaan jenis bahan makanan terutama bahan
makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu
pula (Supariasa dkk., 2002).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita


Menurut Supariasa (2012) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita
terbagi menjadi 2:
a. Faktor Langsung
1) Keadaan infeksi
Supariasa, 2012 menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara infeksi
(bakteri, virus dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. Ditekankan bahwa terjadi
interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi. Mekanisme
patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersamaan, yaitu penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan,
menurunnya absorbsi dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit, peningkatan
kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan perdarahan terus
menerus serta meningkatnya kebutuhan baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit
dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
2) Konsumsi makan
Pengukuran konsumsi makan sangat penting untuk mengetahui kenyataan apa
yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi
dan menemukan faktor diet yang dapat menyebabkan malnutrisi.
b. Faktor Tidak Langsung
1) Pengaruh budaya

11
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap
terhadap makanan, penyebab penyakit, kelahiran anak, dan produksi pangan. Dalam
hal sikap terhadap makanan, masih terdapat pantangan, tahayul, tabu dalam
masyarakat yang menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah. Konsumsi
makanan yang rendah juga disebabkan oleh adanya penyakit, terutama penyakit
infeksi saluran pencernaan. Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak
yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan gizi dalam keluarga. Konsumsi zat
gizi keluarga yang rendah, juga dipengaruhi oleh produksi pangan. Rendahnya
produksi pangan disebabkan karena para petani masih menggunakan teknologi yang
bersifat tradisional.

2) Pola pemberiaan makanan


Program pemberian makanan tambahan juga merupakan factor langsung yang
merupakan program untuk menambah nutrisi pada balita ini biasanua diperoleh saat
mengikuti posyandu. Adapun pemberin tambahan makanan tersebut berupa makanan
pengganti ASI yang biasa didapat dari puskesmas setempat (Almatsier, 2005).
3) Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi dibedakan berdasarkan:
a) Data sosial
Data sosial ini meliputi keadaan penduduk di suatu masyarakat, keadaan
keluarga, pendidikan, perumahan, penyimpanan makanan, air dan kakus. Ada
hubungan antara peran kader dengan status gizi balita, hal itu dikarenakan adanya
informasi yang didapatkan melalui pengambilan data yang telah dilakukan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran kader dapat berpengaruh terhadap status
gizi balita, yang berarti semakin tinggi peran kader maka semakin tinggi pula
penurunan angka gizi buruk pada balita (Purwanti, 2014).
b) Data ekonomi
Data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan yang
terlihat seperti tanah, jumlah ternak, perahu, mesin jahit, kendaraan dan
sebagainya serta harga makanan yang tergantung pada pasar dan n variasi musim.
Dinegara Indonesia yang jumlah pendapatan penduduk sebagian rendah adalah

12
golongan rendah dan menengah akan berdampak pada pemenuhan bahan makanan
terutama makanan yang bergizi. Adanya pendapatan yang baik yang diperoleh
masarakat dapat membatu dalam hal peningkatan status gizi, yang berarti ketika
jumlah pendapatan semakin meningkat maka segala pemenuhan gizi balita akan
dapat terpenuhi sehingga peningkatan status gizi balita dapat dilakukang
(Purwanti, 2014).
4) Pola asuh keluarga
Pola asuh adalah pola pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak-
anaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih sayang yang akan
berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan emosional. Terdapat
hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan
keluarga, jumlah anak dan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita. Pekerjaan
ibu merupakan faktor yangpaling dominan berhubungan dengan status gizi. Faktor
pengetahuan ibu tidak dapat dilakukan uji statistik sehingga tidak didapatkan
hubungan (Putri, 2015).
5) Produksi pangan
Data yang relevan untuk produksi pangan adalah penyediaan makanan
keluarga, sistem pertanian, tanah, peternakan dan perikanan serta keuangan.
6) Pelayanan kesehatan dan pendidikan
Pelayanan kesehatan meliputi ketercukupan jumlah pusat-pusat pelayanan
kesehatan yang terdiri dari kecukupan jumlah rumah sakit, jumlah tenaga
kesehatan, jumlah staf dan lain-lain. Fasilitas pendidikan meliputi jumlah anak
sekolah, remaja dan organisasi karang tarunanya serta media masa seperti radio,
televisi dan lain-lain.

13
BAB III
METODE PELAKSANAAN
A. Waktu Pelaksanaan
Praktikum penilaian status gizi ini dilaksanakan pada Senin, 4 November 2019 jam 9:30
WIB sampai selesai.
B. Tempat Pelaksanaan
Tempat pelaksanaan praktikum penilaian status guizi ini adalah di PosyanduKuncup
Mekar RW VII Kel. Surau Gadang
C. Alat
1. Metlin/meteran baju
2. Pita Lila
3. Timbangan BB injak
4. Microtoise
5. AUPB
D. Prosedur Pengukuran Status Gizi
1. Pengukuran Berat Badan Bayi

Timbangan bayi (baby scale) disiapkan dan diletakkan pada meja yang
rata

Timbangan dikalibrasikan pada angka 0

Bayi diletakkan pada timbangan dengan posisi terlentang

Hasil pengukuran berat badan bayi dicatat

14
2. Pengukuran Panjang Badan Bayi

Infantometer disiapkan dan diletakkan di meja yang rata

Tarik geser bagian yang dapat digeser sampai diperkirakan cukup


panjang untuk menaruh bayi

Bayi dibaringkan dengan posisi terlentang, diantara kedua siku, dan


kepala bayi ditempelkan pada bagian yang tidak dapat digeser

Kedua kaki bayi dirapatkan, lutut bayi ditekan sampai lurus dan
menempel pada meja, telapak kaki ditekan sampai membentuk siku

Bagian panel yang dapat digeser sampai persis menempel pada telapak
kaki bayi

Hasil pengukuran panjang badan bayi dicatat


3. Pengukuran Berat Badan Ibu

Timbangan injak disiapkan dan diletakkan pada permukaan tanah/lantai


yang rata

Timbangan dikalibrasikan pada angka 0

Responden berdiri diatas timbangan dengan posisi badan tegak dan


kepala menghadap lurus ke depan
15
Hasil pengukuran berat badan dicatat

4. Pengukuran Tinggi Badan Ibu


Angka yang tertera dibaca, pembacaan dilakukan tepat di
Microtoise disiapkan dan diletakkan pada dinding yang tegak lurus
depan angka (skala) pada garis merah, sejajar dengan mata
dengan permukaan tanah/lantai yang rata
praktikan.

Responden berdiri tegak, persis dibawah microtoise tanpa menggunakan


alas kaki

Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat, dan tumit
ditempelkan pada dinding tempat microtoise dipasang

Microtoise digeser sampai menyentuh bagian atas kepala responden

Angka yang tertera dibaca sejajar dengan mata praktikan lalu hasilnya
dicatat

16
5. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA)

Posisi pangkal bahu dan posisi ujung siku pada tangan sebelah kiri
ditentukan dengan telapak tangan ke arah perut dalam keadaan rileks

Pita Lila diletakkan di sepanjang pangkal bahu dan ujung siku

Titik tengah ditentukan antara pangkal bahu dan ujung siku responden

Pita Lila pada titik tengah lengan dilingkarkan dan ujung pita
dimasukkan pada lubang yang ada pada pita Lila

Pita ditarik perlahan dengan posisi pita tidak terlalu longgar dan tidak
terlalu ketat

Hasil pengukuran dilihat dan dicatat

6. Pengukuran Lingkar kepala Balita

Siapkan meteran atau pita ukur

Lingkarkan pita atau metran pada dareah glabella (frontallis) atau supra
orbita bagian anterior menuju oksiput pada bagian posterior.

Baca angka pada meteran kemudian catat hasilnya

17
7. Pengukuran lingkar dada balita

Letakkan meteran pada lantai yang rata

Baringkan bayi di atas meteran tadi tpat di tengah meteran

Pastikan bahwa garis mendatar disepanjang tengah meteran jatuh tepat


diputing susu bayi

Lingkarkan meteran pada dada bayi, baca dan catat angka pada meteran

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Data pengukuran Antropometri Balita
No. Nama Balita JK Umur BB TB Lingkar Lingkar IMT
(Bulan) (Kg) (Cm) kepala Dada
(Cm) (Cm)
1 Abdullah Rafif L 23 10 90 58 51 12.3
2 Abyan L 21 10.1 85 47 49 14
3 Adilla P 6 6.6 65.7 43 44 15.2
4 Afika P 17 8.1 77 46 45 13.6
5 Anindita P 16 8.2 71.7 44 44 15.9
6 Anindya P 16 7,9 76.8 45 46 13.3
7 Hanafi L 18 9 61.5 45 46 23
8 Humaira P 12 7.1 69 48 46 14.9
9 M. Azam L 20 10.6 87 47 46 14
10 Nadya P 54 13.8 103.1 48 49 12.9
11 Nafisa P 48 15.4 104 49 51 14.2
12 Zikran L 54 14.6 105.4 47 48 13.1

2. Data Pengukuran Ibu Hamil


No. Nama Ibu Umur BB TB LILA Usia
(Tahun) (Kg) (Cm) (mm) Kandungan IMT
1 Ibu Yosi 29 42 155 22,3 4 bulan 17.4

1. Abdullah

19
2. Abyan

20
3. Adilla

4. Afika

21
5. Anindita

6. Anindia

22
7. Hanafi

23
8. Humaira

9. Muhammad Azzam

24
10. Nadia

25
11. Nafisa

12. Zikran

26
B. Pembahasan
Dari data yang kami dapatkan yaitu sebanyak 12 orang balita dimana ada 11 orang
balita dalam keadaan normal dan 1 orang balita sudah berada di garis merah.
Kami juga mendapatkan data ibu hamil yang mengalami KEK dikarenakan hasil
pengukuran LILA ibu tersebut cukup rendah yaitu 22.3 cm. Hal ini dapat dilihat dari
berat badan ibu yang cukup rendah dan kondisi ibu yang lemah. Ibu tersebut mengaku
memiliki aktivitas yang cukup padat karena ibu tersebut masih memiliki anak yang
berusia 2 tahun yang mana sehari-hari ibu tersebut mengurus anaknya sehingga
menyebabkan ibu tersebut sering kali lelah. Kurangnya konsumsi makanan berupa sayur
dan buah juga menyebabkan asupan ibu tersebut kurang sehingga energy ikut berkurang
yang menyebabkan ibu tersebut cepat lelah.

27
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari kegiatan posyandu yang telah kami lakukan yaitu berupa penilaian status gizi
dengan melakukan beberapa pengukuran antropometri terhadap balita dan ibu hamil
dapat disimpulkan bahwa rata-rata status gizi balita di posyandu kuncup mekar memiliki
status gizi yang baik. Namun berbeda dengan ibu hamil yang kami dapatkan yaitu dalam
keadaan KEK. Hal ini menunjukkan bahwa posyandu kuncup mekar cukup berhasil
dalam melakukan program posyandu. Keberhasilan pengolahan posyandu harus
memerlukan dukungan dari beberapa pihak. Apabila kegiatan diposyandu dapat
diselenggarakan dengan baik, maka diharapkan mampu memberikan kontribusi yang
besar dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.

B. Saran
Saran dari kegiatan posyandu yang kami lakukan di posyandu kuncup mekar ini
adalah sebaiknya alat untuk melakukankegiatan posyandu harus disediakan dan dalam
kondisi yang baik. karena kondisi alat yang tidak memadai akan sangat berpengaruh pada
penilaian status gizi balita.

28
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier,S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arisman, 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Depkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
KIA. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 1995/Menkes/SK/XII/2010.
Andalas, 4(1).
Supariasa, Bakri, B dan Fajar, I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Supariasa. 2012. Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai